FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh:Nama : Fransiscus Christian H.WNIM :
12.70.0036Kelompok C3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
201518
17
HASIL PENGAMATAN
1.1. Pengukuran Lapisan Nata de cocoHasil pengamatan terhadap
pengukuran lapisan nata de coco pada hari ke-0, hari ke-7, dan hari
ke-14 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Lapisan Nata de coco pada hari ke-0, ke-7,
dan ke-14KelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)%
Lapisan Nata
H0H7H14H0H7H14
C1100,30,503050
C2100,250,702570
C3100,30,401520
C4200,30,901545
C52,500,30,301212
Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa tinggi media awal pada setiap
kelompok berbeda-beda tergantung dari volume wadah yang digunakan.
Pada hari ke-0, belum ada pertumbuhan lapisan nata de coco. Pada
hari ke-7 dan hari ke-14, sudah terlihat tumbuhnya lapisan nata de
coco pada permukaan media air kelapa. Dari semua kelompok terlihat
bahwa dari hari ke-7 menuju hari ke-14, prosentase ketebalan
lapisan nata de coco mengalami peningkatan yang tidak telalu
signifikan. Pada kelompok C1, ketebalan nata de coco dari 30%
meningkat menjadi 50%. Pada kelompok C2, ketebalan nata de coco
dari 25% meningkat menjadi 70%. Pada kelompok C3, ketebalan nata de
coco dari 15% meningkat menjadi 20%. Pada kelompok C4, ketebalan
nata de coco dari 15% meningkat menjadi 45%. Namun hal yang janggal
terjadi pada kelompok C5, yang tidak mengalami perubahan prosentase
ketebalan lapisan nata de coco sebesar 12% pada hari ke-7 dan tetap
12% pada hari ke-14.
2. PEMBAHASAN
Dalam pembuatan nata de coco digunakan air kelapa sebagai
substratnya dan bakteri yang digunakan untuk proses fermentasinya
adalah Acetobacter xylinum, selain itu juga ditambahkan gula dan
urea. Digunakan air kelapa untuk pembuatan nata karena air kelapa
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Acetobacter
xylinum dapat tumbuh dan berkembang dalam air kelapa dan membentuk
nata sebab dalam air kelapa mengandung air 91,23 %, protein 0,29 %,
lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 %, dan abu 1,06 %. Juga terkandung
sukrose, dextrose, fruktose, vitamin B kompleks yang terdiri dari
asam niotinat 0,01 mikrogram, asam pentotenat 0,52 mikrogram,
biotin 0,02 mikrogram, riboflavin 0,01 mikrogram, dan asam folat
0,003 mikrogram per mililiter (Awang, 1991). Nata de coco merupakan
jenis komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary
fiber), yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi,
yang melibatkan jasad renik (mikroba), dimana bahan dasar pembuatan
nata de coco adalah air kelapa dari buah yang sudah tua, dan
beberapa jenis bahan yang mengandung gula, protein, dan mineral
(Pambayun, 2002).
Nata de coco merupakan salah satu produk fermentasi yang
dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan jasad renik (mikroba)
untuk menghasilkan nata yang tersusun atas senyawa selulosa
(dietary fiber) (Pambayun, 2002). Pendapat yang sama diungkapkan
pula oleh Santosa et al., (2012) yang mengatakan bahwa nata de coco
adalah produk fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang
dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter
xylinum. Menurut Anastasia et al., (2008), dari asal katanya; Nata
dapat diartikan sebagai selulosa yang berbentuk padat, berwarna
putih transparan, dan bertekstur kenyal serta kuat, dengan
kandungan air sekitar 98%; sedangkan Coco dapat diartikan sebagai
buah kelapa. Maka, selulosa yang dihasilkan dari air buah kelapa
dinamakan sebagai nata de coco.
Mekanisme Pembentukan NataDalam pembuatan nata de coco,
mikroorganisme yang dilibatkan selama proses fermentasinya adalah
bakteri Acetobacter xylinum. Komponen selulosa yang dinamakan nata
bisa terbentuk apabila bakteri tersebut dapat tumbuh selama proses
fermentasi, dimana air kelapa terpenuhi sebagai substratnya yang
banyak mengandung gula. Seperti proses fermentasi pada umumnya,
ketersediaan gula sangat penting untuk mendukung pertumbuhan
mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi karena gula
dijadikan sebagai substrat utama pertumbuhannya dan akan mengalami
konversi menjadi senyawa-senyawa asam organik akibat aktivitas
mikroorganisme yang terlibat. Dalam air kelapa, proses konversi
gula menjadi asam-asam organik diawali dengan pemecahan gula
menjadi polisakarida (selulosa) oleh Acetobacter xylinum. Kemudian,
dari hasil pemecahan ini akan terbentuk serat-serat tipis seperti
benang-benang halus yang dibentuk oleh selulosa. Seiring dengan
waktu berjalannya proses fermentasi, serat-serat tipis tersebut
akan membentuk jaringan kuat dengan lapisan selulosa yang semakin
tebal. Meskipun nutrisi dalam nata de coco kecil karena hanya
terdiri dari air, tetapi serat-serat kasar yang dihasilkan dari
selulosa ini (dietary fiber) sangat diperlukan oleh tubuh dalam
proses fisiologi, terutama daalam sistem pencernaan (Astawan &
Astawan, 1991).
Dalam praktikum pembuatan nata de coco ini, proses pembuatan
dibagi menjadi 2 tahap utama, yaitu pembuatan media dan proses
fermentasi. Media yang digunakan dalam praktikum ini adalah air
kelapa, dimana hal ini sesuai dengan teori Widayati et al., (2002)
yang mengatakan bahwa kandungan gula pada air kelapa tersusun atas
polisakarida (dekstrosa) yang memiliki potensi besar untuk
dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik.
Sedangkan pada proses fermentasi, bakteri yang terlibat dalam
pembuatan nata de coco ini adalah Acetobacter xylinum. Sesuai
dengan teori Ofinade (2003), nutrisi yang ada pada air kelapa
seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks sangat
mendukung sebagai substrat pertumbuhan bagi bakteri Acetobacter
xylinum di saat fermentasi berlangsung.
2.1. Pembuatan MediaProses pembuatan media, pertama-tama,
dilakukan penyaringan air kelapa yang akan digunakan sebagai media.
Sesuai dengan teori Volk & Wheeler (1993), proses penyaringan
bertujuan untuk memisahkan kotoran yang tidak terlarut pada air
kelapa. Setelah disaring, air kelapa dimasak melalui proses
perebusan hingga mendidih, dimana hal ini bertujuan untuk membunuh
semua mikroorganisme yang terkandung pada air kelapa. Pembuatan
media fermentasi bertujuan untuk memberikan makanan, menunjang
kondisi lingkungan untuk pembiakan mikroorganisme dalam jumlah
besar, membuat biakan penyuburan, dan agar diperoleh biakan murni
(Volk & Wheeler, 1993). Dengan membunuh semua mikroorganisme,
Acetobacter xylinum yang nantinya akan ditanamkan pada media tidak
mengalami gangguan pertumbuhan karena hadirnya mikroorganisme
kontaminan (Tortora et al., 1995). Dapat dilihat pada gambar 1.
(a) (b)
Gambar 1. a; Penyaringan sebelum di rebus ; b memulai
perebusan
Proses selanjutnya adalah pemberian gula pasir ke sebanyak 10%
(150 gram untuk 5 kelompok) ke dalam air kelapa yang telah direbus,
lalu diaduk hingga larut. Sesuai dengan teori Hayati (2003), proses
penambahan gula dilakukan untuk memperoleh karakteristik nata de
coco yang diinginkan dari segi penampakan, tekstur, dan
flavor.Selain itu, gula yang ditambahkan juga bertujuan untuk
meningkatkan nilai nutrisi Nata de coco dan juga sebagai
pengawet.
Jika yang dijelaskan oleh Hayati (2003) tersebut lebih kepada
fungsi gula dalam produk akhir nata de coco yang dihasilkan,
berbeda dengan Awang (1991) yang menjelaskan fungsi utama gula
dalam proses fermentasi. Fungsi utama gula selama proses fermentasi
adalah sebagai sumber karbon yang digunakan untuk menunjang
pertumbuhan bakteri. Dalam praktikum ini, gula yang digunakan
adalah gula pasir, dimana hal ini sesuai dengan teori Pambayun
(2002) bahwa monosakarida, disakarida, dan sukrosa (gula pasir)
merupakan sumber karbon yang sering digunakan dalam proses
fermentasi. Jumlah gula yang ditambahkan dalam praktikum ini adalah
sebanyak 10%. Sesuai dengan teori Sunarso (1982), dalam proses
pembuatan nata de coco, konsentrasi optimum gula sebesar 10% akan
dapat diperoleh serat-serat selulosa yang tebal, liat, dan kokoh.
Apabila konsentrasi gula yang digunakan terlalu banyak, bakteri
Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkan gula tersebut secara
optimal. Akibatnya, akan ada banyak gula yang tidak dimanfaatkan
oleh bakteri dan hasil akhir nata de coco yang dihasilkan menjadi
terlalu manis.
Setelah proses penambahan gula, tahap selanjutnya adalah
penambahan ammonium sulfat sebanyak 0,5% (7,5 gram untuk 5
kelompok). Menurut Awang (1991), syarat medium yang akan digunakan
dalam proses fermentasi minimal harus mengandung unsur karbon dan
nitrogen. Jika unsur karbon sudah didapatkan melalui penambahan
gula, maka sesuai dengan teori Awang (1991), sumber nitrogen
diperoleh dari penambahan ammonium sulfat. Pambayun (2002)
menambahkan, selain karbon, nitrogen juga digunakan untuk mendukung
pertumbuhan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Selain dari
ammonium sulfat, sumber nitrogen yang lain dapat diperoleh dari
ammonium fosfat (ZA) dan urea. Pada praktikum ini, penggunaan
ammonium sulfat tergolong ke dalam sumber nitrogen yang bersifat
anorganik.
Proses selanjutnya setelah penambahan dengan ammonium sulfat
adalah proses pemanasan selama 10 menit untuk menghomogenkan media,
kemudian dilakukan penambahan asam asetat glasial (asam cuka
glasial) di dalam lemari asam sampai tercapai kondisi media dengan
pH 4 5. Anastasia et al., (2008) mengatakan bahwa acidulan perlu
ditambahkan ke dalam media pertumbuhan Acetobacter xylinum agar
tercipta kondisi pH medium yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal
ini sesuai dengan teori Pambayun (2002), bakteri Acetobacter
xylinum tumuh dalam suasana asam sekitar pH 4,3 dan tidak dapat
tumbuh pada suasana basa/alkali. Atlas (1984) juga menambahkan,
pada kondisi pH 4.5, selulosa akan terbentuk melalui senyawa 2,5
asam ketoglukonat. Dalam pengukuran pH menggunakan pH-meter sesuai
dengan yang dilakukan pada praktikum ini harus diperhatikan agar
pengukuran pH tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Atlas
(1984) mengatakan, pengukuran pH yang terlalu rendah akan
mengakibatkan Acetobacter xylinum menggunakan energi secara
berlebihan untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu
besar dengan kondisi sebenarnya ia tumbuh. Lama-kelamaan, aktivitas
Acetobacter xylinum akan terhenti karena energi yang tersedia telah
habis.
Setelah pengkondisian pH pada media, selanjutnya dilakukan
pemanasan kembali media hingga semua campuran larut. Setelah itu,
media kembali disaring dengan menggunakan kain saring. Sesuai
dengan teori Pato & Dwiloted (1994), proses pemasakan kembali
dilakukan untuk mensterilkan media pertumbuhan Acetobacter xylinum.
Hal ini karena selama proses penambahan gula, ammonium sulfat, dan
asam asetat glasial tidak dapat dilakukan secara aseptis, sehingga
diperlukan pemanasan lagi untuk membunuh mikroorganisme yang
nantinya tidak diinginkan tumbuh dan mengganggu aktivitas
Acetobacter xylinum dalam membentuk nata (selulosa). Proses
penyaringan kembali juga dilakukan untuk tujuan yang sama yaitu
memurnikan media agar tidak mengandung kontaminan bersifat fisik
seperti kotoran, pasir, dan padatan-padatan lain.
2.2. Proses FermentasiProses fermentasi diawali dengan
mempersiapkan 5 wadah plastik bersih (untuk 5 kelompok) sebagai
tempat fermentasi. Masing-masing wadah diisi dengan 250 media yang
telah disiapkan sebelumnya pada proses pembuatan media. Kemudian,
biang nata (starter) Acetobacter xylinum ditambahkan ke dalam media
sebanyak 10% dari jumlah media (25 ml). Penuangan biang nata
(starter) ke dalam media ini harus dilakukan secara aseptis,
setelah itu, media yang telah dituang biang nata digojog secara
perlahan agar seluruh starter tercampur secara homogen di dalam
media. Selanjutnya, wadah ditutup dengan kertas coklat untuk proses
inkubasi. Proses penuangan starter ini sudah sesuai dengan teori
Rahayu et al., (1993) yang mengatakan bahwa jumlah inokulum yang
ditambahkan pada pembuatan nata berkisar antara 5-10%. Proses
penuangan biang nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media
dapat dilihat pada Gambar 2.
(b)(c)(a) Gambar 2 : (a) nata yang siap untuk diukur dan
dimasukkan dalam wadah plastik. (b) pengukuran nata dan siap masuk
ke wadah. (c) penuangan starter pada nata yang sudah didalam
wadah.
Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu ruang. Selama proses
inkubasi, media yang akan ditumbuhi lapisan nata harus dijaga agar
tidak terkena goncangan dan terhindar dari paparan cahaya matahari.
Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, hari ke-7, dan hari ke-14
mengenai terbentuknya lapisan pada permukaan media cair. Ketebalan
lapisan yang terbentuk diukur dengan menggunakan penggaris dan
kemudian dihitung proseantasenya. Dari prosentase tersebut dapat
diketahui besarnya kenaikan lapisan nata dari hari ke hari.
Proses inkubasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan
kesempatan pada bakteri Acetobacter xylinum untuk beradaptasi,
beraktivitas, dan memproduksi selulosa (nata) pada media air kelapa
yang mengandung gula (Rahayu et al., 1993). Kondisi waktu dan suhu
inkubasi (fermentasi) yang dibutuhkan untuk sampai terbentuk
lapisan nata de coco ini sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993),
bahwa untuk memperoleh lapisan nata dengan ketebalan yang optimum,
lama fermentasi yang dibutuhkan sekitar 10-14 hari pada suhu
28-32C. Maka sesuai apabila pada praktikum ini, suhu ruang yang
digunakan untuk inkubasi nata adalah 30C. Pada penelitiannya, Czaja
et al., (2004) menambahkan, pada hari ke-16 sudah tidak tampak
adanya peningkatan ketebalan lapisan nata. Hal ini menandakan bahwa
sudah tidak ada lagi pertumbuhan nata oleh bakteri Acetobacter
xylinum, yang dapat membuktikan bahwa waktu inkubasi mencapai
optimal pada 14 hari.
Selama proses inkubasi, wadah ditutup dengan kertas coklat.
Kertas coklat ini merupakan kertas yang sangat tipis dan memiliki
pori-pori yang besar. Menurut Pambayun (2002), penutupan dengan
kertas coklat ini bertujuan untuk melindungi nata dari kontaminasi
luar atau lingkungan sekitar. Namun, penutupan dengan kertas coklat
ini masih memungkinkan adanya udara (oksigen) untuk masuk ke dalam
wadah fermentasi. Hal ini juga sesuai dengan teori Budiyanto (2002)
yang mengatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum merupakan bakteri
yang bersifat obligat anaerob. Kouda et al (1997) manambahkan,
ketersediaan oksigen berpengaruh terhadap produksi selulosa sebagai
hasil metabolit sekunder dari Acetobacter xylinum.
Selama proses inkubasi, penempatan media juga dijaga agar jangan
sampai terkena goncangan. Seperti yang dikatakan oleh Budiyanto
(2002), gerakan atau goncangan selama proses fermentasi nata de
coco akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan
menyebabkan terbentuknya lapian nata yang baru yang strukturnya
terpisah dari nata yang sudah terbentuk sebelumnya (pecah).
Akibatnya, ketebalan nata de coco yang diproduksi tidak seragam
antara sisi satu dengan sisi yang lain. Budiyanto (2002) juga
mengatakan bahwa penempatan inkubasi juga harus diperhatikan dimana
tempat fermentasi harus terhindar dari paparan cahaya matahari
secara langsung dan jauh dari sumber panas. Paparan panas akan
menyebabkan pertumbuhan Acetobacter xylinum terhambat oleh karena
suhu yang tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhannya. Wadah
fermentasi yang ditutup dengan kertas coklat dan kondisi inkubasi
yang terhindar dari paparan cahaya matahari dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. (a) Wadah fermentasi yang ditutup dengan kertas
coklat.
Pada praktikum ini hasil nata tersebut tidak jadi, dikarenakan
tidak terbentuk nata yang bisa disensori. Bisa disebut juga nata
tersebut kontaminasi hal ini terjadi ketika pada awal pemasakan
kurang aseptis dan tempat untuk mengolah juga kurang aseptis jadi
dapat terkontaminasi pada produknya.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh, pada hari ke-0 belum
terbentuk lapisan nata karena memang proses inkubasi baru dimulai.
Pada hari ke-7 mulai terbentuk lapisan nata pada semua kelompok.
Prosentase lapisan nata tertinggi terdapat pada kelompok C1 sebesar
30%, kemdian diikuti oleh kelompok C2 sebesar 25%, lalu kelompok C3
dan C4 sebesar 15%, dan prosentase terkecil terdapat pada kelompok
C5 sebesar 12%. Perbedaan prosentase tiap kelompok ini dikarenakan
wadah fermentasi yang digunakan tidak memiliki volume yang sama
sehingga tinggi nata yang terbentuk mengikuti panjang dan lebar
wadah. Pada hari ke-7, semua nata mulai terbentuk, dimana hal ini
sesuai dengan teori Rahman (1992) yang mengatakan bahwa pembentukan
lapisan nata menunjukkan adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum
pada media air kelapa.
Pada hari ke-14, lapisan nata yang terbantuk semakin tebal.
Prosentase ketebalan nata yang paling besar ditunjukkan oleh
kelompok C2 sebesar 70%, lalu diikuti oleh kelompok C1 sebesar 50%,
lalu kelompok C4 sebesar 45%, kelompok C3 sebesar 20%, dan
prosentase terkecil terdapat pada kelompok C5 sebesar 12%. Jika
dibandingkan dari hari ke-7 sampai hari ke-14, kenaikan ketebalan
nata pada kelompok C1 sebesar 20%, kelompok C2 sebesar 45%,
kelompok C3 sebesar 5%, kelompok C4 sebesar 30% dan C5 tidak
terjadi perubahan dari hari ke-7 hingga ke-14. Prosentase kenaikan
nata terbesar terjadi pada nata yang dihasilkan oleh kelompok C2
dan terkecil pada kelompok C5(tidak terjadi perubahan). Sesuai
dengan teori Rahman (1992), aktivitas Acetobacter xylinum
ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang berwarna putih yang
lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat. Ketebalan nata yang
mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-14 pada
praktikum ini sudah membuktikan bahwa Acetobacter xylinum selama
proses fermentasi terus bekerja memecah gula yang ada dalam media
cair. Polisakarida yaitu selulosa akan membentuk benang-benang
serat yang terus menebal dengan jaringan yang kokoh atau kuat
sehingga disebut sebagai pelikel nata (Anastasia et al., 2008).
Sedangkan perbedaan ketebalan nata antar kelompok, seperti pada
kelompok C2 yang menghasilkan nata paling tebal adalah karena
aktivitas Acetobacter xylinum yang lebih tinggi daripada starter
yang diberikan di kelompok lain.
Ketidaksesuaian dengan teori Rahman (1992) dan Anastasia et al.,
(2008) di atas terjadi pada kelompok C5 yang justru tidak terjadi
perubahan ketebalan dari hari ke-7 sampai hari ke-14. Pada
praktikum ini, beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
ketidakberhasilan nata yang dihasilkan, adalah sebagai berikut:a.
Kebersihan alatAlat-alat yang digunakan dalam pembuatan nata de
coco harus dalam keadaan steril agar tidak menghambat pertumbuhan
bakteri Acetobacter xylinum (Budiyanto, 2002). Dalam praktikum ini,
alat-alat yang tidak steril seperti wadah fermentasi yang kurang
bersih dan kertas coklat sebagai penutup yang kurang bersih
memungkinkan ketidakberhasilan nata yang dibuat oleh kelompok C5.b.
pH FermentasiKondisi keasaman media yang kurang sesuai juga dapat
berpengaruh terhadap nata yang dihasilkan (Anastasia et al.,
2008).Mungkin pada saat penentuan pH dengan asam asetat glasial
tidak ditentukan secara tepat sehingga mempengaruhi nata akhir yang
dihasilkan karena pH optimum untuk pertumbuhan nata adalah 4.3 4.5
(Pambayun, 2002 dan Atlas, 1984).c. Kondisi AseptisKondisi aseptis
perlu diterapkan dalam pembuatan nata de coco karena penggunakan
sukrosa (gula pasir) dalam jumlah besar akan sangat memungkinkan
terjadinya kontaminasi oleh yeast (Jagannath et al., 2008). Pada
praktikum ini, ketidak aseptisan saat proses inokulasi starter /
biang nata menyebabkan nata de coco yang dihasilkan tidak mengalami
peningkatan ketebalan dan malah mengalami kontaminasi oleh
mikroorganisme lain.
Pada Jurnal: Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa
(CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco
(Santosa et al., 2012), dijelaskan mengenai pembuatan minuman
instan dari nata de coco. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui konsentrasi dekstrin dan CMC yang tepat agar produk
minuman yang dihasilkan dapat memiliki penampakan, warna, flavor,
kelarutan, kadar air, dan kandungan serat kasar yang baik.
Konsentrasi dekstrin dianalisa pada 3 level konsentrasi yaitu 10%,
12,5% , dan 15%. Sedangkan konsnetrasi CMC yang dianalisa terdiri
dari 5 level konsentrasi yaitu 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; dan 2,5%. Dari
hasil yang diperoleh, ternyata pada konsentrasi dekstin 15% dan
konsentrasi CMC 2,5% dapat menghasilkan minuman instan nata de coco
yang memiliki tingkat kelarutan tertinggi, kandungan serat kasar
(crude dietary fiber) yang tertinggi, warna yang paling menarik,
aroma yang menyenangkan, dan penampilan serbuk instan yang
homogen.
Pada Jurnal: The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate
concentrations on the production of bacterial cellulose
(Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum (Jagannath et al., 2008),
diteliti mengenai pengaruh konsentrasi pH, sukrosa, dan ammonium
sulfat terhadap produksi nata de coco oleh bakteri Acetobacter
xylinum. Sesuai dengan yang dilakukan pada praktikum, untuk
mendapatkan ketebalan lapisan nata yang optimum, media fermentasi
dikondisikan pada pH 4.0 dengan penambahan sukrosa 10%, serta
penambahan ammonium sulfat sebesar 0,5%. Pada kondisi tersebut,
kualitas nata de coco yang dihasilkan adalah memiliki permukaan
yang lembut dan tekstur yang kenyal serta lembut.
Pada Jurnal: Different Media Formulation on Biocellulose
Production by Acetobacter xylinum (0416) (Kamarudin et al., 2013),
dijelaskan mengenai pembuatan media dengan formulasi yang berbeda
dalam rangka menghasilkan selulosa yang diproduksi oleh Acetobacter
xylinum. Media yang diuji terdiri dari 3 jenis, dimana ketiganya
menggunakan bahan baku yang sama yaitu dari air kelapa sebagai
sumber karbon namun formulasi yang dibuat berbeda-beda. Media
tersebut adalah CWHSM (Coconut water in Hestrin-Schramm medium), CM
(Complex medium), dan HSM (Hestrin-Schramm medium), dengan
masing-masing komposisinya sebagai berikut.
Fermentasi dilakukan selama 12 hari dengan kondisi yang sama
seperti yang dilakukan pada praktikum ini. Pengamatan dilakukan
dengan membandingkan berat kering, kemampuan penangkapan sel (cell
entrapped), pH media, dan tingkat produktivitas nata yang
dihasilkan. Dari hasil fermentasi, diperoleh bahwa media CWHSM
paling cocok untuk memproduksi nata de coco karena menghasilkan
produktivitas tinggi yaitu sampai dengan 0.044 gram per liter per
hari.
Pada Jurnal: Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas
Inokulum Pasta Nata de Coco (Melliawati, 2008), dijelaskan mengenai
pengaruh jenis bahan pembawa terhadap kualitas Acetobacter xylinum
yang dihasilkan. Dimana Acetobacter xylinum ini nantinya dibuat
untuk inokulasi dalam bentuk pasta (bubur) ke dalam nata de coco.
Bahan pembawa yang digunakan adalah CMC, agar, pati sagu, dan
selulosa yang diinokulasikan dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hasil
menunjukkan bahwa semua bahan tersebut dapat digunakan sebagai agen
pembawa dalam inokulum Acetobacter xylium berbentuk pasta. Tetapi,
bahan pembawa yang memiliki kualitas tekstur paling baik adalah
pada bahan pembawa kombinasi antara CMC dan selulosa yang
diinokulasikan dengan Acetobacter sp.RMG-2. Hal ini karena kedua
materi pembawa tersebut dapat mempertahankan konsistensi jumlah
inokulum Acetobacter xylium selama penyimpanan 12 minggu pada suhu
4C tanpa kehilangan kemampuannya untuk memproduksi selulosa.
Pada Jurnal: Physicochemical Properties and Characterization of
Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of Cellulose
(Halib et al., 2012), diteliti mengenai sifat fisikokimia dan
karakteristik selulosa yang diekstrak dari nata de coco. Pengujian
dilakukan dengan metode FTIR untuk melihat pengaruh selulosa
terhadap panas dan sifat kelarutan. Diperoleh hasil bahwa,
kelarutan selulosa dari nata de coco yang tertinggi diperoleh pada
selulosa yang dilarutkan ke dalam pelarut cupriethylenediamine.
Dengan melarutkan selulosa pada pelarut tersebut, secara tidak
langsung menunjukkan kemurnian selulosa yang dihasilkan.
Pada Jurnal: Dinamika Populasi Acetobacter selama Proses
Fermentasi Nata de Coco (Seumahu et al., 2005), diamati mengenai
dinamika populasi bakteri yang terlibat dalam pembuatan nata de
coco. Pengukuran dinamika populasi bakteri dilakukan dengan isolasi
DNA, amplifikasi, dan kloning Gen 16S rRNA. Metode yang digunakan
adalah metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pengujian dilakukan
terhadap 2 jenis nata yaitu nata yang berkualitas baik dan nata
yang berkualitas buruk. Pada intinya, dengan pengujian untuk
mengetahui dinamika populasi Acetobacter dalam nata, baik pada
media yang baik maupun pada media yang buruk sama-sama mengandung
bakteri yang merugikan, dimana bakteri yang merugikan tersebut akan
mengganggu aktivitas Acetobacter. Sama dengan yang dilakukan pada
praktikum, fermentasi yang pada awalnya menggunakan kultur murni
Acetobacter xylinum, tetapi pada prosesnya, media tetap bercampur
dengan mikroorganisme lain. Akhirnya media tersebut malah menjadi
media dengan kultur campuran. Mixed culture dalam jumlah kecil
tidak akan berpengaruh nyata pada kegagalan pembentukan nata,
tetapi jika jumlah mixed culture terlalu besar akan menyebabkan
kontaminasi dan nata tidak terbentuk.
Selain dapat dihasilkan dari air kelapa, nata juga dapat
dihasilkan dari air jagung yang produknya disebut dengan nata de
corn. Pada Jurnal: Pengaruh Penambahan Gula, Asam Asetat, dan Waktu
Fermentasi terhadap Kualitas Nata de Corn (Rizal et al., 2013),
ternyata dibuktikan bahwa jumlah penambahan gula, asam asetat, dan
waktu fermentasi yang dilakukan tidak sama dengan pembuatan nata de
coco. Pada media air jagung yang digunakan untuk menghasilkan nata
de corn, kondisi optimum pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah
pada pH 5 5.5, dengan penambahan gula sebanyak 4,5%, dan waktu
fermentasi selama 14 hari. Dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan
Acetobacter xylinum pada air kelapa, pH optimum untuk
pertumbuhannya hampir sama yaitu pada rentang pH 5, namun pad aair
jagung kondisinya sedikit lebih basa. Sedangkan penambahan gula
lebih banyak pada pembuatan nata de coco karena membutuhkan 10%
sedangkan nata de corn hanya membutuhkan 4,5%. Tetapi, waktu yang
diperlukan adalah sama yaitu 14 hari.3. KESIMPULAN Nata de coco
adalah produk fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang
dihasilkan dari air kelapa dengan melibatkan mikroba Acetobacter
xylinum. Air kelapa mengandung 0,14% protein, 1,5% lemak, 4,6%
karbohidrat, 1,06% abu, dan 98% air. Acetobacter xylinum merupakan
bakteri yang bersifat obligat anaerob. Selulosa berbentuk
serat-serat tipis seperti benang-benang halus yang disebut nata.
Tahap pembuatan nata de coco terdiri dari pembuatan media dan
proses fermentasi. Kemampuan Acetobacter xylinum dalam menghasilkan
selulosa tergantung dari metode fermentasi, sumber karbon, sumber
nitrogen, pH, dan temperatur. Kondisi optimum media air
kelapaadalah pada konsentrasi gula 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan
pH 4.5. Inkubasi dilakukan selama 14 hari pada suhu 28-32C, tanpa
goncangan, dan terhindar dari paparan cahaya matahari. Pada hari
ke-7, nata mulai terbentuk di permukaan media cair. Aktivitas
Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang
berwarna putih yang lama kelamaan akan semakin menebal dan memadat.
Proses pembuatan nata de coco memerlukan perlakuan aseptis. Aroma
asam berasal dari produksi asam oleh bakteri Acetobacter
xylinum.
Semarang, 5 Juli 2015 Asisten Dosen:Praktikan:- Wulan Apriliana
Nies Mayangsari
Fransiscus Christian (12.70.0036)4. DAFTAR PUSTAKAAnastasia;
Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam
Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional
Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Budiyanto, M.A.K., (2002), Dasar-dasar Ilmu Gizi, Malang: UMM
Press.
Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004).Structural
Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and
Agitated Culture. Cellulose11: 403 411.
Halib, N; M.C.I.M. Amin; dan I. Achmad.(2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food
Industries as a Source of Cellulose.Journal of Sains Malaysia 41
(2) (2012): 205 211.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa.
Yogyakarta.
Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; dan S.S. Manjunatha. (2008). The
effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the
production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) byAcetobacter
xylinum. World Journal Microbiology Biotechnology (2008) 24: 2593
2599.
Kamarudin, S; M. Sahaid. K.; M. Sobri, T.;W. Mochtar, W.Y.; D.
Radiah, A.B.; dan H. Norhasliza. (2013). Different Media
Formulation on Biocellulose Production by Acetobacterxylinum(0416).
Journal of Science and Technology. 21 (1): 29 36.
Kouda T, Naritomi T, Yano H, dan Yoshinaga F. (1997). Effects of
oxygen and carbon dioxide pressures on bacterial cellulose
production by Acetobacter in aerated and agitated culture. Journal
of Fermentation and Bioengineering. 84: 124-127.
Melliawati, R. (2008). Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan
Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco.Jurnal Biodiversitas Volume 9,
Nomor 4, halaman 255 258.
Onifade. A.K. Jeff-Agboola, Y.A. 2003. Effect of Fungal
Infectionon Proximate nutrient Composition of Coconut (Cocos
Nucifera Linn) fruit. Food, Agriculture & Environment. Volume
1(2).
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi.UGM.Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Rizal, H.M.; D.M. Pandiangan; dan A. Saleh.(2013). Pengaruh
Penambahan Gula, Asam Asetat, dan Waktu Fermentasi terhadap
Kualitas Nata de Corn.Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 19. Halaman
34 39.
Santosa, B; Kgs. Ahmadi; dan D. Taeque.(2012). Dextrin
Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of
Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco.IEESE International
Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1, No. 1, pp. 6
11.
Seumahu, C.A.; A. Suwanto; dan M.T. Suhartono.(2005). Dinamika
Populasi Acetobacter selama Proses Fermentasi Nata de Coco.Jurnal
Mikrobiologi Indonesia, Vol. 10, No. 2, pp. 75 78.
Sunarso.(1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de
Coco.Skripsi.UGM.Yogyakarta.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case.(1995). Microbiology.The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler.(1993). Mikrobiologi
Dasar.Erlangga. Jakarta.
Widayati, Eny; Sutarno; dan Setyaningsih, Ratna. (2002). Seleksi
Isolat Bakteri untuk Fermentasi Asam Laktat dari Air Kelapa
Varietas Rubescent (Cocos nucifera L. var. rubescent). Biosmart
Volume 4 Nomor 2 Halaman 32-35.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan Rumus:
Persentase Lapisan Nata =
Kelompok C1
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0%
H7 Persentase Lapisan Nata = = 30 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 %
Kelompok C2
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0%
H7 Persentase Lapisan Nata = = 25%
H14 Persentase Lapisan Nata = = 70%
Kelompok C3
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0%
H7 Persentase Lapisan Nata = = 15%
H14 Persentase Lapisan Nata = = 20%
Kelompok C4
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0%
H7 Persentase Lapisan Nata = = 15%
H14 Persentase Lapisan Nata = = 45%
Kelompok C5
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0%
H7 Persentase Lapisan Nata = = 12%
H14 Persentase Lapisan Nata = = 12%
5.2. Abstrak Jurnal
5.3. Laporan Sementara