Neonatus Kurang Bulan dengan Berat Badan Lahir Rendah dan Respiratory Distress Syndrome Rudy Hermawan Cokro Handoyo 102010097-C5 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Terusan Arjuna Utara no. 6, Jakarta 11510 Email: [email protected]Pendahuluan Peralihan dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin memerlukan banyak perubahan fisiologi dan biokimia. Hilangnya ketergantungan terhadap peredaran darah ibu melalui plasenta, memerlukan pengaktifan fungsi paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida dan fungsi organ lain seperti hati , jantung, ginjal, selain itu juga termasuk sistem imunologi yang berperan dalam perlindungan terhadap infeksi. Tidak semua bayi dapat beradaptasi dengan baik bahkan banyak meninggal akibat kegagalan penyesuaian biokimia dan fisiologi.Kegagalan itu disebabkan oleh keadaan seperti asfiksia, prematuritas, gangguan persalinan, dan lain-lain. Besarnya angka kesakitan dan kematian neonatus mencerminkan besarnya masalah kegagalan penyesuaian kehidupan bayi baru lahir. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Neonatus Kurang Bulan dengan Berat Badan Lahir
Rendah dan Respiratory Distress Syndrome
Rudy Hermawan Cokro Handoyo
102010097-C5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang dengan 02
Sianosis menetap walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan udara masuk
Tidak ada udara masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan stetoskop
Dapat didengar tanpa alat bantu
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
Penatalaksanaan
17
Terapi respiratory distress syndrome ditujukan untuk mencegah komplikasi dan
memburuknya keadaan yang terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia
dan asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir yang mengalami
gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk neonatus (NICU), bila tidak
tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Sebelum dirujuk
atau dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat diperlukan untuk
mencapai keberhasilan perawatan.
Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan neonatus yang mengalami
distress pernafasan. Keadaan hipo maupun hipertermi harus dihindari. Temperatur bayi harus
dijaga dalam rentang 36,5−37,5oC.
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas yang berat,
dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah keadaan hipoglikemia.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya
dimulai dengan jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10% atau
¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat
ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak
hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3
g/kgBB/hari. Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress nafas
sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas seperti sepsis perlu
dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai sampai
hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang dianjurkan adalah ampisillin dan
gentamisin.5
Penatalaksanaan Respiratorik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari
lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan
pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan
menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan
ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus
mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah
dihangatkan.5
Tabel 5. Panduan untuk monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri.5
> 95% Bayi aterm
88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)
18
85-92% < 28 minggu
Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan
sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan
menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada
pasien yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadan
klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu.
Penatalaksanaan di ruang NICU
Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan intensif neonatus (NICU)
saat ini telah mengalami perkembangan. Penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled
nitric oxide (iNO), telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi gagal
nafas pada neonatus (misalnya dengan pemberian nitrat oksida, extracorporeal membrane
oxygenation), 25-30% penderita yang berhasil bertahan hidup mengalami gangguan kognitif, 6-
13% mengalami cerebral palsy, 6-30% mengalami gangguan pendengaran, dan pada usia sekolah
banyak yang mengalami gangguan perhatian, pendengaran, disfungsi neuromotorik dan perilaku.
Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada
sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan
optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang
minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress pernafasan, derajat
abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta
keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai
penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh
parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang
diinginkan.
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2
kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan
tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang
menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis
antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan
nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.3
Surfaktan
Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami
respiratory distress syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya
19
4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30%
atau lebih.
Tabel 6. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.2
Nama Produk Dosis Awal Dosis TambahanGalfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali pemberian
dengan interval tiap 12 jamBeractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total
4 dosis dalam 48 jamColfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit Dapat diulang setelah 12 dan 24 jamPorcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap
12 jam
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang
lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang
dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage,
tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif
karena volume surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain, bradikardi, hipoksemia, hipo atau
hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi, hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT)
dapat terjadi pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi
pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari aliran darah paru kedalam
sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat diatasi dengan menghentikan pemberian
surfaktan dan meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi.2
High Frequency Ventilation
High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik yang menggunakan volume
tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat. Keuntungan HFV adalah dapat memberikan gas
yang adekuat dengan tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga mengurangi kejadian
barotrauma.
High frequency ventilation menggunakan konsep untuk mengurangi trauma volume dan
atelektaruma, yang akan mengurangi PaCO2 dengan resiko barotrauma yang kecil pada paru-
paru. HFV telah digunakan pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) yang
memerlukan bantuan nafas lebih lanjut. HVF mengurangi kejadian barotrauma pada bayi dengan
berat badan rendah. Pada saat ini penggunaan HFV lebih direkomendasikan karena komplikasi
yang lebih sedikit. Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan ventilator biasa.
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS yang menggunakan ventilator HFV
20
memperlihatkan penurunan kejadian lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan
ventilasi yang adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah, sehingga
penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks, hipoplasia paru, sindroma aspirasi
mekonium, pneumonia dengan atelektasis.
Inhaled Nitric Oxide
Pengunaan Inhaled nitric oxide (iNO) berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator di
paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan karena
memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).
Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan salah
satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam batas
normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh darah
dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP
kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase dependent cGMP, yang
secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan relaksasi otot
polos. Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida endogen
secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida menyebabkan
angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal. Terapi iNo pada bayi baru
lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui
ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek
samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi
prematur dengan gagal napas.1
Prognosis
Tergantung prematuritas dan berat ringannya penyakit. Bila penyakitnya ringan penyembuhan
dapat terjadi pada hari ke 3-7. Namun dengan perawatan yang intensif, mortalitasnya dapat
menurun. Bayi yang sembuh mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang seperti bayi
prematur lain yang tidak mengalami Respiratory Distress Syndrome.
Pencegahan
Salah satu strategi yang selama ini digunakan adalah dengan pemberian obat-obatan untuk
menghentikan kontraksi rahim dengan pemberian obat-obat tokolitik. Hal ini penting karena
dengan adanya kontraksi awal akan merangsang proses lanjutan terjadinya mekanisme kontraksi
sebenarnya. Salah satu obat yang dianjurkan sesuai dengan anjuran Food and drug
Administration (FDA) adalah ritodrin. Sekitar 80 persen wanita dengan kontraksi prematur yang
diterapi dengan ritodrin kehamilannya bisa dipertahankan sampai 24-48 jam. Usaha lain yang
dilakukan di samping menunda proses kontraksi rahim tadi adalah dengan pemberian hormon
21
kortikosteroid, yang bertujuan mengurangi risiko sindroma gawat nafas bayi saat lahir,
pencegahan perdarahan intraventrikel, radang usus dan keadaan lain yang meningkatkan risiko
kematian bayi. Umumnya efek suntikan akan terjadi setelah 18 jam disuntik dengan dosis
pertama, dan pengaruh maksimal akan terjadi dalam 48 jam pascasuntikan. Selain itu, penting
sekali diperhatikan kerja sama yang baik dengan tim perinatologis (dokter anak) untuk persiapan
pertolongan bayi segera setelah lahir. Karena tanpa perawatan yang baik pascalahir akan sia-sia
saja upaya pemberian obat-obatan tadi. Selain obat ritodrin juga dipakai obat yang bisa
menghambat perangsang kontraksi rahim, seperti magnesiumsulfat, calsium chanel blockers, dan
prostaglandin sinthesis inhibitor. Secara teoritis obat yang diberikan akan membuat otot rahim
relaksasi dengan mengikat reseptor adrenergiknya sehingga akan meningkatkan kadar protein
kinase yang akan menekan reaksi awal kontraksi (myosin-light chain kinase). Penelitian
menunjukkan bahwa insidensi bayi lahir prematur setelah pemberian obat ini menurun sangat
signifikan. Obat lain yang bisa dipakai untuk mencegah kontraksi prematur adalah nitrik oksida
(N20) dengan tujuan menstabilkan tonus otot polos rahim dengan pemberian transdermal glyceryl
trinitrat. Selain itu juga bisa dengan pemakaian magnesium sulfat (MgSO4), dengan harapan
terjadi hyperpolarisasi yang menghambat myosin light chain kinase dan kompetisi dengan
kalsium intraselular. Obat calsium beta bloker juga bisa digunakan untuk mencegah kontraksi
prematur. Obat ini sering digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi. Pemberian calsium
bloker bertujuan menghambat influks kadar calsium intrasel, sehingga otot rahim tetap dalam
relaksasi. Obat antiprostaglandin bisa juga digunakan, obat anti-Cyclooxygenase
(COX)/prostglandin sintetase seperti indometasin sering juga dipakai untuk mencegah kontraksi
prematur. Sangat perlu diperhatikan oleh ibu hamil adalah mencegah terjadinya kontraksi
prematur terutama bagi kelompok berisiko, misalnya dengan kehamilan ganda. Selain itu, bagi
kelompok yang mempunyai riwayat kelahiran prematur, sebaiknya mengurangi frekuensi
berhubungan badan saat usia kehamilan di atas 28 minggu, demi menghindari dampak relatif
prostaglandin dari cairan sperma.1
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:
1. Ruptur alveoli: Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk
dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
22
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS
terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam
paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi:
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan
pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan
tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik,
adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.1
Kesimpulan
Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) merupakan istilah dari disfungsi
pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan
keerlambatan perkembangan maturitas paru. Gangguan ini biasanya juga di kenal denga nama
hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membrane hyaline, karena pada penyakit ini
selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. RDS sering ditemukan pada bayi
premature. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin
muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya, semakin
tua usia kehamilan semakin rendah kejadian RDS.
Daftar Pustaka
1. Honrubia D, Stark AR. Respiratory distress syndrome. Dalam : Cloherthy J, Eichenwald
EC, Stark AR. editor. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott