Top Banner
191

MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

Feb 01, 2022

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id
Page 2: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

MODUL PELATIHAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

(K3) UMUM

Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., M.Kes., FISPH., FISCM

Continuing Development Medical Education

(CDME) FK-UMM

2 0 2 0

Page 3: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

MODUL PELATIHAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) UMUM

Penulis: Dr. Febri Endra Budi Setyawan, dr., M.Kes., FISPH., FISCM.

Penerbit: Continuing Development Medical Education (CDME) FK-UMM Redaksi: Jl. Bendungan Sutami 188A Malang Telp. (0341) 552443 Email: [email protected]

Cetakan pertama, Agustus 2020

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari Penerbit

Page 4: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan anugerah sehingga penulis dapat menyelesaikan Modul Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Umum ini. Modul pelatihan ini disusun berbekal pengalaman di lapangan tentang kebutuhan pengetahuan tentang keselamatan dalam melakukan pekerjaan dan kesehatan dalam lingkungan kerja. Penulis berharap modul pelatihan ini dapat membantu memberikan pemahaman tentang keselamatan dan kesehatan kerja.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat penting untuk dipelajari dengan baik. Indonesia saat ini menuju menjadi negara maju sehingga tidak bisa dihindari peran K3 menjadi sangat penting. Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus dipelajari dengan baik karena dengan memahami arti penting K3 akan meminimalkan bahkan mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan timbulnya penyakit akibat kerja.

Penulis menyadari bahwa modul pelatihan ini masih harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman. Selain itu, baik dari isi, tata bahasa, tata urutan maupun referensi yang menjadi rujukan, meskipun telah diupayakan dengan maksimal akan tetapi terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan dan kritik untuk menyempurnakan modul pelatihan ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran, waktu dan telah mendukung terhadap kehadiran modul pelatihan ini. Mudah-mudahan buku ini memberikan manfaat bagi seluruh umat, Amien.

Malang, Agustus 2020 Penulis

Page 5: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

ii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar i Daftar Isi ii DASAR-DASAR KESEHATAN dan

KESELAMATAN KERJA (K3) 1

KEBIJAKAN, PERATURAN PERUNDANGAN DALAM BIDANG HIPERKES dan KESELAMATAN KERJA

13

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN dan KESEHATAN KERJA (SMK3)

31

AUDIT dan INSPEKSI K3 51

PENYAKIT AKIBAT KERJA dan SISTEM PELAPORAN

89

HIRAC & JSA 105

HIGIENE INDUSTRI 131

ERGONOMI 141

KESEHATAN KERJA 155

PERTOLONGAN PERTAMA (THE FIRST AID) 165

TANGGAP DARURAT KEBAKARAN 177

Page 6: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

1

DASAR-DASAR KESEHATAN dan KESELAMATAN KERJA (K3) Pengertian

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah bidang yang berhubungan dengan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja pada sebuah institusi ataupun lokasi proyek. Pengertian K3 (secara khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pengertian K3 secara keilmuan; dimana K3 merupakan

ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (akibat pekerjaan dan lingkungan kerja).

2. Pengertian K3 secara filosofis; suatu upaya yang dilakukan untuk memastikan keutuhan dan kesempurnaan jasmani dan rohani tenaga kerja pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya terhadap hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan salah satu hal penting yang wajib diterapkan oleh semua perusahaan. Hal ini juga tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 87. Menurut America Society of safety and Engineering (ASSE), K3 diartikan sebagai bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan lingkungan dan situasi kerja. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3 menyebutkan bahwa K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK).

Filosofi dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, melalui upaya-upaya pengendalian semua bentuk potensi bahaya yang ada di lingkungan tempat kerjanya. Apabila semua potensi bahaya telah dikendalikan dan memenuhi batas standar aman, maka akan memberikan kontribusi terciptanya kondisi lingkungan kerja yang aman, sehat dan proses produksi menjadi lancar,

Page 7: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

2

yang pada akhirnya akan dapat menekan risiko kerugian dan berdampak terhadap peningkatan produktivitas.

Menurut International Association of Safety Professional, filosofi K3 dibagi menjadi 8 (delapan) filosofi yaitu: 1. Safety is an ethical responsibility

K3 adalah tanggungjawab moral/etik. Masalah K3 hendaklah menjadi tanggung awab moral untuk menjaga keselamatan sesama manusia. K3 bukan sekedar pemenuhan perundangan atau kewajiban

2. Safety is a culture, not a program K3 bukan sekedar program yang dijalankan perusahaan untuk sekedar memperoleh penghargaan dan sertifikat. K3 hendaklah menjadi cerminan dari budaya dalam organisasi

3. Management is responsible Manajemen perusahaan adalah yang paling bertanggung jawab mengenai K3. Sebagian tanggungjawab dapat dilimpahkan secara beruntun ke tingkat yang lebih bawah

4. Employee must be trained to work safety Setiap tempat kerja, lingkungan kerja dan jenis pekerjaan memiliki karakteristik dan persyaratan K3 yang berbeda. K3 harus ditanamkan dan dibangun melalui pembinaan dan pelatihan

5. Safety is a condition of employment Tempat kerja yang baik adalah tempat kerja yang aman. Lingkungan kerja yang menyenangkan dan serasi akan mendukung tingkat keselamatan. Kondisi K3 dalam perusahaan adalah pencerminan dari kondisi ketenagakerjaan dalam perusahaan

6. All injuries are preventable Prinsip dasar dari K3 adalah semua kecelakaan dapat dicegah karena kecelakaan ada sebabnya. Jika sebab kecelakaan dapat dihilangkan maka kemungkinan kecelakaan dapat dihindarkan

7. Safety program must be site specific Program K3 harus dibuat berdasarkan kebutuhan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja sesuai dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemampuan finansial dll. Program K3 dirancang spesifik untuk masing-masing organisasi atau perusahaan

Page 8: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

3

8. Safety is good business Melaksanakan K3 jangan dianggap sebagai pemborosan atau biaya tambahan. Melaksanakan K3 adalah sebagai bagian dari proses produksi atau strategi perusahaan. Kinerja K3 yang baik akan memberikan manfaat terhadap bisnis perusahaan.

Jadi dalam K3 kita mengenal dan akan mempelajari 2

(dua) istilah utama yaitu keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Terdapat 2 (dua) sudut pandang namun menjadi satu kesatuan. Sudut pandang pertama tentang keselamatan kerja adalah bagaimana bisa diciptakan proses kerja dan lingkungan kerja yang aman agar pekerja selamat dan tidak terjadi kecelakaan kerja. Sedangkan sudut pandang kedua adalah kesehatan kerja adalah bagaimana membuat proses kerja dan linmgkungan kerja itu bebas dari sebab terjadinya sehingga pekerja sehat dan tidak terjadi penyakit akibat kerja.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat dipahami dari 5 (lima) pendekatan, yaitu:

1. Keilmuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu bidang keilmuan dimana kajian-kajiannya tidak hanya terbatas pada ilmu kesehatan dan keselamatan namun juga melakukan pengkajian terhadap ilmu-ilmu lain seperti : Higine industri, ergonomi, human faktor, epidomologi, statistik, kedokteran, rekayasa , kimia, toksikologi, manajemen, hukum, sosial , perilaku dan lain-lain.

2. Filosofi Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani atau rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat adil dan makmur.

3. Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu aktivitas yang sudah menjadi ketetapan dalam ketentuan perundangan, wajib untuk dilaksanakan dan pelanggaran terhadap K3 dapat dikenakan sangsi pidana berupa denda atau hukuman kurungan.

Page 9: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

4

4. Ekonomi Keselamatan dan Kesehatan Kerja apabila dapat dijalankan dengan baik, maka dapat mencegah terjadinya kerugian secara materiil dan secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan produktivitas.

5. Kemanusiaan Kecelakaan kerj dapat menimbulkan penderitaan bagi korban (pekerja) maupun keluarganya sehingga Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat melindungi pekerja dan masyarakat. Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga merupakan bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia).

Tujuan K3 Menurut Undang Undang No. 1 tahun 1970 tentang

Keselamatan Kerja, tujuan dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selain itu, K3 juga berfungsi untuk melindungi semua sumber produksi sehingga dapat digunakan secara efektif. Sementara itu, fungsi K3 secara khusus adalah sebagai berikut:

1. Sebagai alat untuk mengidentifikasi dan melakukan penilaian terhadap resiko dari bahaya keselamatan di tempat kerja

2. Sebagai alat untuk memberikan saran terhadap perencanaan dan pengorganisasian dalam praktik kerja, termasuk juga desain area kerja

3. Sebagai alat dalam memberikan informasi, pelatihan, dan edukasi terkait kesehatan kerja dan Alat Pelindung Diri (APD)

4. Dan sebagai alat dalam mengelola pertolongan pertama pada kecelakaaan serta tindakan darurat lainnya.

Fungsi K3 Pada implementasinya, Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3) memiliki cukup banyak fungsi dan manfaat, baik untuk perusahaan maupun bagi pekerja. Secara umum fungsi K3 sebagai berikut:

Page 10: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

5

1. Sebagai pedoman untuk mengidentifikasi, menilai risiko dan bahaya untuk keselamatan dan kesehatan di lingkungan kerja

2. Membantu memberikan saran tentang perencanaan, proses pengorganisasian, desain tempat kerja, dan implementasi pekerjaan

3. Sebagai pedoman dalam memantau kesehatan dan keselamatan pekerja di lingkungan kerja

4. Memberikan saran tentang informasi, pendidikan, serta pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

5. Sebagai pedoman dalam menciptakan desain, metode, prosedur, dan program pengendalian bahaya

6. Sebagai referensi dalam mengukur efektivitas langkah-langkah pengendalian bahaya dan program pengendalian bahaya

Berdasarkan fungsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu hal penting yang harus diterapkan oleh semua perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan amanat Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 87. Implementasi K3 di area kerja ditujukan untuk melindungi rekan kerja, keluarga pekerja, konsumen, dan orang lain yang juga mungkin terpengaruh kondisi lingkungan kerja. Fungsi K3 cukup penting bagi moral, legalitas, dan finansial. Semua perusahaan yang menjadi area kerja untuk sekelompok orang memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pekerja dan orang lain yang terlibat tetap berada dalam kondisi aman sepanjang waktu. Adapun fungsi dari K3 secara khusus adalah sebagai berikut.

1. Mencegah terjadinya penyakit akibat kerja 2. Meningkatkan derajat kesehatan pekerja melalui

promosi K3 3. Menjaga status kesehatan para pekerja pada kondisi

yang optimal 4. Menciptakan sistem kerja yang aman 5. Mencegah terjadinya kerugian (loss) baik moril maupul

materil akibat terjadinya kecelakaan kerja, dan 6. Melakukan pengendalian terhadap resiko yang ada di

tempat kerja

Page 11: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

6

Ruang Lingkup K3 Mengacu pada pengertian K3 di atas, terdapat beberapa

aspek yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam pelaksanaan K3, yaitu: 1. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah lokasi dimana para pekerja melakukan aktifitas bekerja. Kondisi lingkungan kerja harus memadai (suhu, ventilasi, penerangan, situasi) untuk meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan atau penyakit.

2. Alat Kerja dan Bahan Alat kerja dan bahan adalah semua alat kerja dan bahan yang dibutuhkan suatu perusahaan untuk memproduksi barang/jasa. Alat-alat kerja dan bahan merupakan penentu dalam proses produksi, tentunya kelengkapan dan kondisi alat kerja dan bahan harus diperhatikan.

3. Metode Kerja Metode kerja merupakan standar cara kerja yang harus dilakukan oleh pekerja agar tujuan pekerjaan tersebut tercapai secara efektif dan efisien, serta keselamatan dan kesehatan kerja terjaga dengan baik. Misalnya, pengetahuan tentang cara mengoperasikan mesin dan juga alat pelindung diri yang sesuai standar.

Keselamatan Kerja Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu kata

‘safety’ dan biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari peristiwa celaka (accident) atau nyaris celaka (near-miss). Jadi pada hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan berbagai cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya kecelakaan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keselamatan adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan sehingga manusia dapat merasakan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian terutama untuk para pekerja konstruksi. Agar kondisi ini tercapai di tempat kerja, maka diperlukan adanya keselamatan kerja.

Page 12: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

7

Penerapan keselamatan kerja pada suatu kegiatan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh pelaku kegiatan guna melindungi keamanan para pekerja. Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat dan kematian sebagai akibat kecelakaan kerja. Keselamatan kerja yang baik adalah pintu gerbang bagi keamanan tenaga kerja keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik barang maupun jasa.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaannya. Keselamatan kerja adalah segala upaya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan saat melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja adalah tindakan aktif setiap orang untuk menjaga keselamatan dirinya dari hal-hal yang tidak diiginkan. Keselamatan kerja adalah sistem perlindungan diri terhadap segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kecelakaan. Keselamatan kerja adalah tindakan preventif terhadap kecelakaan yang dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab diri saat bekerja. Penggunaan alat kerja harus benar-benar di perhatikan oleh setiap perusahaan. Alat keselamatan kerja juga harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja nasional seperti penggunaan helm safety, jacket safety dan juga sepatu safety.

Tujuan dari keselamatan kerja adalah untuk menjamin keselamatan pekerja dalam melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produktifitas nasional. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada ditempat kerja dan agar sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Unsur-unsur penunjang keselamatan kerja adalah sebagai berikut: 1. Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja 2. Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan

kesehatan kerja 3. Teliti dalam bekerja 4. Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan

keamanan dan kesehatan kerja. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena

sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya

Page 13: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

8

pada kinerja perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Adapun sasaran keselamatan keerja secara terinci adalah:

1. Mencegah terjadinya kecelakaan ditempat kerja 2. Mencegah timbulnya penyakit akibat kerja 3. Mencegah/mengurangi kematian akibat kerja 4. Mencegah atau mengurangi cacat tetap 5. Mengamankan material, konstruksi, pemakaian,

pemeliharaan bangunan-bangunan, alat-alat kerja,mesin-mesin, dan instalasi-instalasi

6. Meningkatkan produktivitas kerja tanpa memeras tenaga kerja dan menjamin kehidupan produktifnya

7. Menjamin tempat kerja yang sehat, bersih, nyaman, dan aman sehingga dapat menimbulkan kegembiraan semangat kerja

8. Memperlancar,meningkatkan dan mengamankan produksi, industri serta pembangunan

Kesehatan Kerja Kesehatan kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah

No.88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja adalah upaya yang ditujukan untuk melindungi setiap orang yang berada di Tempat Kerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan dari pekerjaan. Tempat Kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, letak pekerja bekerja, atau yang sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat sumber bahaya sesuai dcngan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesehatan Kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari keselamatan dan Kesehatan Kerja, tercermin dalam berbagai Undang-Undang. Undang-Undang yang dimaksud, antara lain yaitu Undang-Undang yang mengatur mengenai keselamatan kerja dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan serta Undang-Undang yang mengatur mengenai kesehatan telah mengamanatkan pengaturan tentang Kesehatan Kerja. Produktifitas kerja dapat

Page 14: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

9

terwujud apabila Pekerja berada dalam kondisi sehat dan bugar untuk bekerja serta merasa aman dan terlindungi sebelum, saat, dan setelah bekerja.

Program kesehatan kerja merupakan suatu hal penting

dan perlu diperhatikan oleh pihak pengusaha. Karena dengan adanya program kesehatan yang baik akan menguntungkan para karyawan secara material, karena karyawan akan lebih jarang absen, bekerja dengan lingkungan yang lebih menyenangkan, sehingga secara keseluruhan karyawan akan mampu bekerja lebih lama. “Istilah kesehatan dan keselamatan kerja mengacu pada kondisi psikologis fisik dan psikologis pekerja yang merupakan hasil dari lingkungan yang diberikan oleh perusahaan. Jika suatu perusahaan melakukan pengukuran keamanan dan kesehatan yang efektif, semakin sedikit pegawai yang mengalami dampak penyakit jangka pendek atau jangka panjang akibat bekerja di perusahaan tersebut.” Aspek Pemicu Kecelakaan Kerja

Perlu diakui jika penerapan K3 bukan hanya merupakan tanggungjawab pemerintah tapi juga semua pihak, terutama masyarakat industri. Namun, tidak hanya memahami pentingnya K3 dalam kerja, kita perlu tahu apa aspek yang bisa mengakibatkan kecelakaan kerja agar bisa menghindarinya di waktu mendatang. Berikut faktor-faktor pemicu kecelakaan kerja: 1. Aspek Langsung: Kondisi serta Tindakan Tidak Aman

Aspek langsung yaitu berbentuk kondisi serta tindakan tidak aman atau beresiko. Beberapa dari kondisi tidak aman, yakni tidak terpasangnya pengaman (safeguard) di bagian mesin yang berputar, tajam atau panas, ada instalasi kabel listrik yang kurang standard (isolasi mengelupas, tidak rapi), alat kerja yang kurang layak pakai, dan lain-lain. Selain itu, tindakan tidak aman diantaranya bisa berupa kecerobohan, meninggalkan langkah kerja, tidak memakai alat pelindung diri (APD), kerja tanpa perintah, meremehkan petunjuk kerja, tidak mematuhi rambu-rambu dalam tempat kerja, serta tidak mengatur izin kerja.

Page 15: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

10

Tindakan tidak aman itu sangatlah beresiko sebelum mengawali pekerjaan dengan resiko atau bahaya tinggi.

2. Aspek Tidak Langsung: Pekerjaan serta Pribadi Aspek tidak langsung terbagi dalam aspek pekerjaan serta aspek pribadi. Termasuk juga dalam aspek pekerjaan yakni pekerjaan yang tidak sesuai, baik dengan tenaga kerja ataupun dengan kondisi sesungguhnya. Termasuk pekerjaan beresiko tinggi tapi belum ada usaha pengendalian di dalamnya, beban kerja yang tidak sesuai, dan lain-lain. Sementara aspek pribadi terkait dengan mental atau kepribadian tenaga kerja yang tidak sesuai dengan pekerjaan, konflik, depresi, ketrampilan yang tidak sesuai, dan lain-lain.

3. Aspek Dasar: Lemah Manajemen Aspek dasar biasanya berkaitan dengan lemahnya manajemen serta pengendaliannya, minimnya fasilitas serta prasarana, minimnya sumber daya, minimnya prinsip, dan lain-lain. Menurut teori domino H.W Heinrich, peran paling besar pemicu masalah kecelakaan kerja ialah aspek kelalaian manusia, yakni sebesar 88 %. Sedang 10 % yang lain ialah dari aspek ketidaklayakan properti atau barang serta 2 % aspek lain-lain. Oleh karenanya, sebaiknya kita menjadi pekerja selalu harus konsentrasi serta waspada saat bekerja hingga bisa meminimalisasi kecelakaan itu. Janganlah lupa ikut selalu untuk membuat suasana bahagia saat kita bekerja.

Penerapan K3 Dalam K3 ada tiga norma yang selalu harus dipahami, yaitu:

1. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehtan kerja

2. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja 3. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja

Sasaran dari K3 adalah: 1. Menjamin keselamatan operator dan orang lain 2. Menjamin penggunaan peralatan aman dioperasikan 3. menjamin proses produksi aman dan lancar

Page 16: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

11

Tapi dalam pelaksanaannya banyak ditemui habatan dalam penerapan K3 dalam dunia pekerja, hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu: Dari sisi masyarakat pekerja

Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar (upah dan tunjangan kesehatan/kesejahtraan)

K3 belum menjadi tuntutan pekerja Dari sisi pengusaha

Pengusaha lebih menekankan penghematan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. dan K3 dipandang sebagai beban dalam hal biaya operasional tambahan

Peran K3 dalam Perusahaan Beberapa peran K3 dalam lingkungan kerja sebagai

berikut: 1. Setiap tenaga kerja memiliki hak untuk mendapatkan

perlindungan untuk kesehatan dan keselamatan demi kesejahteraan hidup

2. Setiap orang yang berada di lingkungan kerja harus dijamin aman

3. Semua sumber produksi harus digunakan secara efisien dan aman

4. Merupakan tindakan antisipatif dan preventif dari perusahaan dalam upaya mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja

Untuk itu, maka program Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) memiliki suatu peranan penting dalam kemajuan sebuah perusahaan dan meningkatkan keterampilan para pekerjanya untuk lebih profesional.

Page 17: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

12

Page 18: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

13

KEBIJAKAN, PERATURAN PERUNDANGAN DALAM BIDANG HIPERKES dan KESELAMATAN KERJA

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap kedua, maka penekanan pembangunan ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang melalui upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta peningkatan daya saing perekonomian. Dalam bidang ketenagakerjaan upaya peningkatan daya saing perekonomian diarahkan pada: Mendorong terciptanya kesempatan kerja yang layak (decent work), yaitu lapangan kerja produktif dengan perlindungan dan jaminan sosial yang memadai; dan Meningkatkan kompetensi tenaga kerja dan produktivitas. Pekerjaan yang layak dengan perlindungan yang memadai, salah satunya diupayakan melalui penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Sejak diterbitkannya UU No, 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, penerapan K3 di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini terlihat karena masih tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia, dan memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2009 tercatat 96.314 kasus kecelakaan kerja, tahun 2010 tercatat 98.711 kecelakaan kerja, sedangkan tahun 2011 tercatat 99.491 kasus kecelakaan kerja. Tingginya angka kecelakaan kerja menimbulkan kerugian bagi tenaga kerja, perusahaan dan pemerintah. Kerugian bagi pekerja adalah kurang terlindungi hak dasar tenaga kerja dan kelangsungan pendapatan bagi tenaga kerja dan keluarga. Bagi perusahaan apabila banyak pekerja yang mengalami kecelakaan kerja maupun Penyakit Akibat Kerja (PAK) baik disadari atau tidak, kerugiannya cukup besar antara lain berupa kerugian akibat kerusakan asset perusahaan, meningkatnya biaya pengobatan, kehilangan pekerja terampil, meningkatnya angka mangkir kerja, menurunnya produktifitas dan lain-lain. Bagi pemerintah, kerugiannya antara lain adalah meningkatnya

Page 19: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

14

pengangguran, kemiskinan, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Menghadapi kondisi permasalahan tersebut, maka diperlukan usaha pencegahan kecelakaan kerja dan PAK yaitu kebijakan pemerintah dibidang keselamatan dan kesehatan kerja.

Dasar Hukum Peraturan perundang-undangan yang terkait adalah

sebagai berikut: 1. UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 2. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Ruang Lingkup Ruang lingkup pembelajaran Kebijakan dan Peraturan

di bidang keselamatan dan kesehatan kerja meliputi: 1. Kebijakan nasional tentang K3 2. Peraturan perundangan tentang Keselamatan dan

Kesehatan Kerja

Kebijakan Nasional Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2)

menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pekerjaan yang layak dalam konteks ini artinya bahwa pekerjaan yang dilakukan harus bersifat manusiawi yang memungkinkan pekerja dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat manusia. Penjelasan tersebut lebih dipertegas lagi dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No.13/2003 Paragraf 5 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 86 menyebutkan:

(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas

a. Keselamatan dan kesehatan kerja b. Moral dan susila; dan

Page 20: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

15

c. Pelakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai agama

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya K3

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Selanjutnya ketentuan pokok mengenai K3 telah tertuang Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Selain itu, Kementerian terkait juga mengabarkan kebijakan tentang K3 dalam bentuk Kebijakan.

Visi K3 Nasional Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3) di Indonesia. Untuk mencapai visi sebagaimana tersebut diatas, maka Misi K3 Nasional adalah:

1. Meningkatkan penerapan SMK3 2. Meningkatkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan

K3 3. Meningkatkan peran serta pengusaha, tenaga kerja,

masyarakat untuk mewujudkan kemandirian dalam pelaksanaan K3.

Strategi Sesuai dengan visi, misi dan kebijakan K3 nasional,

maka telah disusun rencana strategi dan program kerja utama K3 yaitu:

1. Menyusun dan meningkatkan kebijakan K3 2. Meningkatkan sumber daya manusia di bidang k3 3. Meningkatkan pembinaan penerapan SMK3 4. Meningkatkan sarana dan prasarana pengawasan K3 5. Meningkatkan jejaring dan peran serta instansi,

lembaga, personil dan pihak pihak terkait.

Peraturan Perundangan K3 Dewasa ini Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

sudah mulai memasyarakat, khususnya dilingkungan

Page 21: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

16

perusahaan besar dan menengah di berbagai sektor kegiatan dan wilayah. Pengusaha, pengurus dan tenaga kerja sudah sangat banyak yang memahami dan menyadari arti pentingnya K3.Pada kalangan ini dinilai adanya kebutuhan-kebutuhan untuk lebih mendalami peraturan, ketentuan-ketantuan dan materi-materi K3. Hal tersebut terlihat dari semakin banyaknya pelatihan-pelatihan K3 yang diselenggarakan secara mandiri di perusahaan-perusahaan. Dilain pihak, untuk perusahaan kecil dan beberapa perusahaan menengah baik pengusaha, pengurus dan tenaga kerjanya belum mengenal dan memahami peraturan perundang-undangan K3. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaklumi bahwa upaya pembinaan termasuk penyuluhan, pelatihan, dan upaya persuasive lainnya merupakan prioritas untuk dilakukan dan sangat strategis dalam rangka pencegahan kemungkinan terjadinya kecelakaan di tempat kerja secara dini.

Setiap Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia harus dapat dikembalikan atau bersumber pada Hukum dasar tertulis yang tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan Perundang-undangan K3 terkait dengan UUd 1945 pasal 27 ayat (2). Setiap ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 masih bersifat sangat umum, oleh karena itu untuk mewujudkan cita-cita tersebut khususnya di bidang ketenagakerjaan dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-undang No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja.

Pada UU No.14 tahun 1969 pasal 9 dan 10 mengatur tentang pembinaan dan perlindungan tenaga kerja termasuk K3. Berdasarkan tersebut diatas, maka Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja disyahkan oleh Presiden RI pada tanggal 12 Januari 1970 atas persetujuan DPR RI, dan sejak saat itulah VR 1910 Stbl. 406 dicabut. UU No.14 tahun 1969 telah dicabut dan kini berlaku UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun K3 tetap menjadi perhatian, dimana tertera pada pasal 86 dan 87. Jenis Jenis Peraturan Perundangan A. UU.No.1 TAHUN 1970

Sebagai pertimbangan dikeluarkannya UU.No.1 tahun 1970 adalah sebagai berikut;

Page 22: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

17

1. Veiligheids Reglement 1910 Stbl.406 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.

2. Teknik, teknologi dan penerapannya, industrialisasi, administrasi pemerintahan dan kondisi situasi tenaga kerja telah berkembang dengan pesat. Didalam beberapa hal, VR tidak mampu menampung perkembangan tersebut.

3. Sifat repressife dan polisionil pada VR dinilai kurang sesuai dan kurang mendukung perkembangan ekonomi pada umumnya dan penggunaan sumber-sumber produksi dan penanggulangan kecelakaan kerja pada khususnya serta alam Negara Indonesia yang merdeka dan berdasarkan Pancasila.

Perbedaan pokok antara VR 1910 dengan Undang-

undang No.1 tahun 1970 sebagai berikut: 1. Perluasan ruang lingkup. 2. Perubahan pengawasan repressife menjadi preventif. 3. Perumusan teknis yang lebih tegas. 4. Penyesuaian tata usaha sebagaimana diperlukan bagi

pelaksanaan pengawasan. 5. Tambahan pengaturan pembinaan K3 bagi manajemen

dan tenaga kerja. 6. Tambahan pengaturan pemungutan retribusi

pengawasan. Batang tubuh UU.No.1 tahun 1970 sebagai berikut: Bab I: Tentang Istilah, Pasal 1 Ayat (1) Pengertian tempat kerja harus benar-benar dapat dipahami, oleh karena merupakan ruang lingkup UU No.1 tahun 1970, dimana pada tempat tersebut harus diberlakukan ketentuan –ketentuan tentang K3. Tempat kerja tidak sama dengan tempat bekerja. Tempat kerja pada dasarnya adalah tempat bekerja yang dimana terdapat 3 unsur pokok, yaitu adanya tenaga kerja, bahaya kerja dan usaha. Bunyi ayat tersebut:

Page 23: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

18

“Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. Ayat (2) Pengertian Pengurus juga harus benar-benar dimengerti oleh karena Penguruslah yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan semua ketentuan K3 ditempat kerja. Pengurus dalam pengertian seseorang pimpinan suatu tempat kerja. Bunyi ayat tersebut: “Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Ayat (3) Pengertian dari “Pengusaha” tidak sama dengan “Pengurus”. Pengurus adalah pimpinan sesuatu tempat kerja, sedangkan “Pengusaha” adalah orang atau badan hukum yang memiliki atau mewakili pemilik suatu tempat kerja. Bisa saja pengusaha dan pengurus suatu tempat kerja adalah satu orang, yaitu terutama pada perusahaan-perusahaan berskala kecil. Bunyi pasal tersebut: Pengusaha ialah:

a. Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.

b. Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja.

c. Orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jika yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia.

Ayat (4) Pengertian “Direktur” cukup jelas seperti tertulis pada ayat ini. Perlu dijelaskan bahwa dalam prekteknya yang disebut

Page 24: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

19

Direktur adalah Dirjen Binwasnaker sesuai dengan Kepmenaker No.Kep.79/Men/1977. Bunyi ayat tersebut: Direktur ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang undang ini. Ayat (5) Dalam pengertian “Pegawai Pengawas” perlu dijelaskan pengertian “pegawai berkeahlian khusus” yaitu artinya bahwa pegawai Kemnakertrans atau Dinas di Propinsi/Kota/Kabupaten yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan untuk dapat ditunjuk sebagai Pengawas harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana tertuang pada Permenaker No.Per.03 tahun 1978 dan Permenaker No.Per.03/Men/1984 tentang pengawasan ketenagakerjaan terpadu. Bunyi ayat tersebut: Pegawai Pengawas ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Depnaker yang ditunjuk oleh Menteri tenaga Kerja. Ayat (6) Rumusan pengertian Ahli Keselamatan Kerja pada ayat ini cukup jelas. Dari rumusan tersebut dimengerti bahwa untuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU No.1 tahun 1970, Kemnakertans melibatkan tenaga teknis dari luar Kemnakertrans dari luar Dinas yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan di daerah, baik instansi/ lembaga pemerintah maupun swasta yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan di dalam Permenakertrans No.Per.04/Men/1987 dan Permenaker No.Per.02/Men/1992. Latar belakang dari pemikiran/ konsep ini adalah bahwa Kemnakertrans tidak mungkin mampu membentuk pegawai pengawas dalam jumlah maupun kemampuan dalam berbagai bidang keahlian sesuai dengan perkembangan teknologi. Walaupun persyaratan terhadap pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970 dapat dilakukan oleh ahli keselamatan kerja tersebut, namun kebijakan nasional K3 tetap berada pada Menakertrans. Walaupun di dalam ayat (5) dan (6) disebutkan bahwa yang mengangkat pegawai pengawas maupun Ahli keselamatan Kerja adalah Menakertrans, akan tetapi dalam pelaksanaannya

Page 25: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

20

adalah diangkat oleh Dirjen Binwasnaker sesuai Kepmenakertranskop No.Kep.599/Men/SJ/D/1979. Bab II: Ruang Lingkup. Pasal 2 Ayat (1) Di dalam ayat ini ditunjukkan ruang lingkup UU.No.1 tahun 1970 yaitu tempat kerja dimanapun selama dalam wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Bunyi ayat tersebut: Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Ayat (2) Ayat ini memperinci tempat-tempat bekerja yang termasuk tempat kerja sebagaimana dimaksud ayat(1) yaitu huruf a sampai dengan r, dimana terdapat bahaya kerja yang bertalian dengan ; a. Keadaan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan lain

sebagainya. b. Lingkungan. c. Cara kerja. d. Proses produksi.

Bunyi ayat tersebut: Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja dimana;

a. Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.

b. Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.

c. Dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan pengairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dsb, atau dimana

Page 26: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

21

dilakukan pekerjaan persiapan. Dan seterusnya sampai dengan huruf r.

Ayat (3) Ayat ini merupakan escape clausal dalam penataan ruang lingkup UU.No.1 tahun 1970, sebab kemungkinan untuk waktu yang akan datang ditemukan tempat kerja baru selain yang terperinci pada ayat (2) sehuibungan dengan perkembangan teknik dan teknologi. Bunyi ayat tersebut: Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja ruangan-ruangan atau lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat diubah perincian tersebut dalam ayat (2). Dalam penjelasan pasal 2 di isyaratkan bahwa peraturan organik sebagai peraturan pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970 digolongkan dalam pembidangan teknis dan sektoral / industri. Bab III: Syarat-syarat Keselamatan Kerja Pasal 3 Ayat (1) Ayat ini berisikan arah dan sasaran yang akan dicapai melalui persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan pelaksanaan UU.No.1 tahun 1970, yaitu huruf a sampai dengan r. Bunyi ayat tersebut antara lain: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk;

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan. b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.

Dan seterusnya sampai dengan huruf r. Ayat (2) Merupakan escape clausal dari apa yang telah di tetapkan pada ayat 91) sesuai perkembangan teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru dikemudian hari. Bunyi ayat tersebut:

Page 27: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

22

Dengan peraturan perundangan dapat diubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru dikemudian hari. Pasal 4 Ayat (1) Menjelaskan sejak tahap apa atau kapan syarat/ketentuan K3 diterapkan yaitu sejak tahap perencanaan dan seterusnya. Bunyi ayat tersebut: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. Ayat (2) Ayat ini menjelaskan isi dari setiap ketentuan/syarat K3, yaitu akan mengatur tentang konstruksi, bahan dan lain sebagainya dari bahan, barang produk teknis dan aparat produksi. Bunyi ayat tersebut: Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perliundungan, pengujian, dan pengecekan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan barang, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan umum. Ayat (3) Merupakan escape clausal ayat (1) dan (2). Catatan: Pasal 4 tersebut diatas mencerminkan salah satu sifat preventif dari UU,No.1 tahun 1970. Bab IV: Pengawasan Pasal 5 Ayat (1) Ayat ini menjelaskan tugas pokok Direktur, yaitu pelaksanaan umum UU.No.1 tahun 1970 dean tugas pokok pegawai

Page 28: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

23

pengawas dan ahli keselamatan kerja, yaitu mengawasi langsung terhadap ditaatinya UU.No.1 tahun 1970 dan peraturan pelaksanaannya. Bunyi ayat tersebut: Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya. Ayat (2) Dalam menjelaskan ayat ini dapat dijelaskan wewenang dan kewajiban Direktur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep.79/Men/1977. Disamping itu dijelaskan wewenang dan kewajiban pegawai pengawas dan ahli K3 sesuai Permenaker No.03/Men/1978 untuk ahli K3. Dalam hal ini perlu diutarakan bahwa perbedaan kewenangan antara pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja yaitu dalam hal penyidikan. Bunyi ayat tersebut: Wewenang dan kewajiban Direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 6 Pasal ini mengatur tentang Panitia Banding, yaitu sebagai sarana dan mekanisme penyelesaian banding apabila pengurus tempat kerja tidak dapat menerima putusan Direktur dimana putusan Panitia Banding ini tidak dapat dibanding lagi, artinya keputusannya mengikat. Pasal 7 Pasal ini mengatur kewajiban pengusaha untuk membayar retribusi, yaitu sejumlah uang sebagai imbalan jasa pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa peraturan pelaksanaan pasal ini adalah Permenaker No.06/Men/1986 tetapi Permenaker ini telah dicabut.

Page 29: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

24

Bunyi pasal tersebut sebagai berikut: Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini, pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal 8 Pasal ini menetapkan kewajiban pengurus untuk memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik baik secara awal bagi tenaga kerja yang baru diterima ataupun dipindahkan. Disamping itu pada ayat (2) mewajibkan Pengurus untuk memeriksanakan kesehatan seperti tersebut diatas secara berkala pada semua tenaga kerjanya. Pemeriksaan kesehatan tersebut diatas ditretapkan dilakukan oleh dokter penguji kesehatan badan tenaga kerja dan sesuai dengan Permenaker No.Per.02/Men/1982. Bunyi ayat (1) sebagai berikut: Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Bunyi ayat (2) sebagai berikut: Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur. Bunyi ayat (3) sebagai berikut: Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan. Bab V: Pembinaan Pasal 9 Pasal ini mengatur kewajiban Pengurus dalam pembinaan tenaga kerja dan kewajiban untuk memenuhi dan mentaati semua syarat dan ketentuan K3 di tempat kerja. Bunyi ayat (1) sebagai berikut: Kewajiban pengurus untuk melakukan pembinaan terhadap tenaga kerja baru, yaitu menunjukkan dan menjelaskan 4 pokok yang haris diketahui/dipahami tenaga kerja baru yang bersangkutan.

Page 30: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

25

4 pokok/hal tersebut sebagai berikut: a. Kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul

dalam tempat kerjanya. b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang

diharuskan dalam tempat kerjanya. c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang

bersangkutan. d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melakssanakan

pekerjaannya. Ayat (2) Inti dari ayat ini adalah Pengurus tidak dapat mempekerjakan tenaga kerja yang baru diterima sebelum tenaga kerja yang bersangkutan memahami 4 hal/ pokok dimaksud ayat (1). Ayat (3) Pengurus juga wajib melakukan pembinaan bagi tenaga kerjanya secara berkala tentang;

a. Pencegahan kecelakaan. b. Pemberantasan kebakaran. c. Pertolongan pertama pada kecelakaan. d. Hal-hal lain dalam rangka meningkatkan K3 di tempat

kerjanya. Pelaksanan pembinaan K3 berupa pelatihan dapat diseseuaikan dengan Permenaker No.Per.04/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa K3 dan Surat Edaran Dirjen Binwasnakar No.SE.01/DJPPK/VI/2009. Ayat (4) Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati senua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang diwajibkan. Bab IV: Panitia Pembina K3 Pasal 10 Ayat (1) Dimaklumi bahwa K3 adalah merupakan kepentingan dan kewajiban Pengurus Pengusaha dan Tenaga Kerja, oleh karena itu mereka harus berkerja sama. Untuk mewadahi kerja sama

Page 31: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

26

dimaksud Menakertrans berwenang membentuk P2K3 pada tempat-tempat kerja tertentu. Kebijaksanaan Menakertrans mengenai tempat kerja mana yang perlu dibentuk P2K3 termasuk mengenai Ahli K3 sebagaimana tertuang pada Permenaker No.Per.04/Men/1987 dan Permenaker No.Per.02/Men/1992. Bunyi ayat (1) sebagai berikut: Menteri tenaga kerja berwenang membentuk P2K3 guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari Pengusaha atau Pengurus dan Tenaga Kerja dalam tempat-tempat kerja yang melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha produksi. Ayat (2) Dalam ayat ini disebutkan bahwa susunan, tugas dan lain-lain yang berkaitan dengan P2K3 akan ditetapkan oleh Menaker. Untuk ini telah diatur pada Permenaker sebagaimana tersebut diatas. Bunyi ayat (2) sebagai berikut: Susunan P2K3, tugas dan lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bab VII: Kecelakaaan Pasal 11 Mengatur kewajiban Pengurus untuk melaporkan kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yang dipimpinnya. Tata cara dan bentuk pelaporan sesuai dengan ketetapan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Ayat (1) Pengurus diwajibkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh Menaker. Ayat (2) Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan. Bab VIII: Kewajiban dan Hak Tenaga Kerja

Page 32: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

27

Di dalam pasal ini secara jelas dan tegas diatur kewajiban dan hak tenaga kerja untuk;

a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli K3.

b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat K3 yang

diwajibkan. d. Memintapenurus agar dilaksanakan semua syarat K3

yang diwajibkan. e. Menyetakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana

syarat-syarat K3 serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.

Bab IX: Kewajiban Bila Memasusi Tempat Kerja Pasal 15 Menetapkan bahwa siapapun yang memasuki suatu tempat kerja harus mentaati dan melaksanakan ketentuan yang berlaku bagi tempat kerja tersebut. Bab X: Kewajiban Pengurus Pasal 14 Kewajiban Pengurus untuk secara tertulis menenpatkan UU.No.1 tahun 1970 dan peraturan-peraturan lain dan gambar-gambar K3 yang sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaan pada tempat kerja yang bersangkutan. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai bahan pembinaan dan peringatan bagi siapapun yang berada di tempat kerja tersebut. Disamping itu, Pengurus wajib menyediakan alat perlindungan diri secara cuma-cuma bagi siapapun yang memasuki tempat kerja. Bab XI ; Ketentuan Penutup Pasal 15 Ayat (1) Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa sebagian besar ketentuan yang ada di dalam UU.No.1 tahun 1970 masih bersifat umum dan perlu diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. Ayat (2)

Page 33: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

28

Menetapkan sangsi bagi pelanggaran terhadap UU.Nol.1 tahun 1970 dan peraturan pelaksanaanya yaitu:

a. Hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau b. Denda setinggi-tingginya Rp.100.000,- (Seratus ribu

rupiah). Ayat (3) Adalah mengklasifikasikan pelanggaran dimaksud sebagai tindak pidana pelanggaran. Pasal 16 Pasal ini mewajibkan kepada Pengusaha untuk memenuhi ketentuan UU.No.1 Tahun 1970 paling lama 1 (satu) tahun setelah diundangkannya UU.No.1 tahun 1970. Pasal 17 Merupakan pasal yang mengatur tentang peralihan yaitu tetap memberlakukan semua peraturan perundangan yang telah ada (kecuali VR) tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UU.No.1 tahun 1970. Pasal 18 Menetapkan nama penyebutan dari UU.No.1 tahun 1970. Peraturan Pelaksanaan UU.No.1 Tahun 1970 Peraturan pelaksanaan UU.No.1 Tahun 1970 pada saat ini sudah semakin lengkap yaitu antara lain sebagai berikut:

1. Permenaker tentang Bejana Tekanan 2. Permenaker tentang Kualifikasi Juru las, 3. Permenaker tentang Pesawat Tenaga dan Produksi. 4. Permenaker tentang Pesawat Angkat dan Angkut. 5. Permenaker tentang Petugas dan Operator Pesawat

Angkat dan Angkut. 6. Kepmenaker tentang Berlakunya PUIL 2000. 7. Permenaker tentang Penyalur petir. 8. Permenaker tentang Lift 9. Permenaker tentang Alat Pemadam api ringan. 10. Permenaker tentang Instalasi Alarm Kebakaran

Otomatik. 11. Kepmenaker tentang Penanggulangan Kebakaran di

Tempat Kerja.

Page 34: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

29

12. Permenaker tentang Konstruksi Bangunan. 13. SKB Menaker dan Menteri PU tentang K3 pada

Konstruksi Bangunan. 14. Kepmenaker tentang penggunaan bahan kimia di tempat

kerja. 15. Permenaker tentang faktor fisik dan faktor kimia di

tempat kerja. 16. Permenaker tentang Asbes di tempat kerja. 17. Permenaker tentang Pestisida di tempat kerja. 18. Permenaker tentang kewajiban pelatihan Hyperkres dan

keselamatan kerja bagi Dokter perusahaan. 19. Permenaker tentang kewajiban pelatihan Hyperkes dan

keselamatan kerja bagi tenaga paramedis perusahaan. 20. Permenaker tentang pemeriksaan kesehatan tenaga

kerja. 21. Permenaker tentang Penyakit akibat kerja. 22. Kepres terkait dengan Penyakit yang timbul dalam

hubungan kerja. 23. Permenaker tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. 24. Permenaker tentang Alat Pelindung diri. 25. Permenaker tentang P3K. 26. Dll.

Selain itu juga diterbitkan beberapa Instruksi Menaker, Surat Edaran Menaker dan Surat Edaran Dirjen Binwasnaker. B. Stoom Ordonantie 1930

Stoom Ordonantie (Undang-undang Uap) 1930, sampai saat ini belum dicabut yang berarti masih berlaku. Sebagai peraturan pelaksanaan UU.Uap 1930 ini adalah Stoom verordening (Peraturan Uap) 1930 dan Permenaker No.Per.01/Men/1988 tentang kualifikaai dan syarat-syarat operator Pesawat uap. Selain itu juga terkait erat dengan Permenaker No.Per.02/Men/1982 tentang kualifikasi juru las. Didalam Stoom Ordonantie 1930 dan Stoom verordening 1930 tersebut diatas diatur mengenai Pesawat-pesawat uap yang wajib memiliki Akte Izin dari Disnaker atau Kemenakertrans maupun jenis-jenis Pesawat uap yang tidak wajjb memiliki Akte Izin untuknya. Jangka waktu pemeriksaan berkala, serta tata cara teknik pemeriksaan dan pengujian juga diatur dalam Undang-undang dan Peraturan tersebut.

Page 35: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

30

Selain itu juga diatur mengenai persyaratan konstruksi dan perlengkapan pesawat uap yang harus dipenuhi. Disana juga diatur mengenai larangan-larangan yang harus dipatuhi pemakai pesawat uap di Indonesia, kewajiban serta hak-haknya. Bagi pemakai dan atau operator yang melanggar Undang-undang dan peraturan uap tersebut diatas dapat dikenakan sangsi denda atau kurungan. Sedangkan yang diatur dalam Permenaker tentang kualifiaksi dan syarat-syarat operator pesawat uap antara lain mengatur prosedur untuk memperoleh sertifikat operator pesawat uap dari Dirjen Binwasnaker, wewenang dan kewajiban Operator Pesawat Uap serta mengenai pencabutan sertifikat operator pesawat uap. Sesuai dengan Permenaker tentang kualifikasi juru las, maka untuk melakukan pengelasan sesuatu pesawat uap terutama pada bagian-bagian yang bertekanan adalah hanya boleh dilakukan oleh Welder yang memiliki sertifikat juru las kelas I dari Dirjen Binwasnaker. C. UU.No. 3 TAHUN 1969

Untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja dan kesehatan tenaga kerja maka Pemerintah RI telah mengeluarkan Undang-undang No.3 tahun 1969 tentang persetujuan konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.120 mengenai Hygiene dalam perniagaan dan kantor-kantor, disana pada intinya mempersyaratkan agar setiap tempat kerja khususnya pada kantor/tempat dimana dilakukan pekerjaan dagang dan kantor selalu memenuhi syarat–syarat kebersihan dan kesehatan tempat kerja.

Page 36: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

31

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN dan KESEHATAN KERJA (SMK3)

Globalisasi perdagangan saat ini memberikan dampak persaingan sangat ketat dalam segala aspek khususnya ketenagakerjaan yang salah satunya mempersyaratkan adanya perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, tidak terlepas dari upaya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi melalui SMK3 guna menjamin terciptanya suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/ buruh, dan atau serikat pekerja serikat buruh dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang nyaman, efisien dan produktif.

Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja melalui SMK3 telah berkembang di berbagai negara baik melalui pedoman maupun standar. Penerapan SMK3 bersifat normatif sehingga harus ditaati oleh perusahaan. Untuk itu pegawai pengawas mempunyai kewajiban melakukan pengawasan terhadap ditaatinya norma tersebut. Untuk dapat memberikan pemahaman yang seragam tentang SMK3 bagi setiap perusahaan dalam menerapkan SMK3 maka perlu disusun modul SMK3 ini.

Dasar Hukum 1. Undang Undang No. 1 Tahun 1970 tentang

Keselamatan Kerja 2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan 3. PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Page 37: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

32

Ruang Lingkup Penerapan SMK3 1. Penetapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja

dan menjamin komitmen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3;

2. Perencanaan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja;

3. Penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja;

4. Pengukuran, Pemantauan dan Evaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan;

5. Peninjauan secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.

Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas dengan menggunakan alat-alat produksi yang semakin kompleks. Makin kompleksnya peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang mungkin terjadi dan makin besar pula kecelakaan kerja yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan penanganan dan pengendalian sebaik mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah keselamatan dan kesehatan kerja tidak lepas dari kegiatan dalam industri secara keseluruhan, maka pola-pola yang harus dikembangkan di dalam penanganan K3 dan pengendalian potensi bahaya harus mengikuti pendekatan sistem yaitu dengan menerapkan sistem manajemen K3. Sistem Manajemen K3 (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Page 38: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

33

Adapun tujuan dan sasaran SMK3 adalah: 1. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan

dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi;

2. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh; serta

3. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas.

SMK3 disusun dengan adanya beberapa hal yang

menjadi latar belakang, yaitu: 1. K3 masih belum mendapatkan perhatian yang

memadai semua pihak 2. Kecelakaan kerja yang terjadi relatif masih tinggi 3. Pelaksanaan pengawasan K3 masih dominan bersifat

parsial dan belum menyentuh aspek manajemen 4. Relatif rendahnya komitmen pimpinan perusahaan

dalam hal K3 5. Kualitas tenaga kerja berkorelasi dengan kesadaran

atas K3 6. Tuntutan global dalam perlindungan tenaga kerja yang

diterapkan oleh komunitas perlindungan hak buruh internasional

7. Desakan LSM internasional dalam hal hak tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan

8. Masalah K3 masih belum menjadi prioritas program 9. Tidak ada yang mengangkat masalah K3 menjadi isu

nasional baik secara politis maupun sosial 10. Masalah kecelakaan kerja masih dilihat dari aspek

ekonomi, dan tidak pernah dilihat dari pendekatan moral

11. Tenaga kerja masih ditempatkan sebagai faktor produksi dalam perusahaan, belum ditempatkan sebagai mitra usaha

12. Alokasi anggaran perusahaan untuk masalah K3 relatif kecil Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada pasal

Page 39: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

34

87 yaitu bahwa setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3. Pada pasal tersebut menjalaskan bahwa “setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan” dalam menerapkan SMK3 menggunakan pedoman penerapan yang telah ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012. Penerapan SMK3 dilakukan berdasarkan kebijakan nasional tentang SMK3. Kebijakan nasional tentang SMK3 tersebut tertuang dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Kebijakan nasional yang tertuang dalam PP tersebut menjadi pedoman bagi perusahaan dalam menerapkan SMK3. Penerapan SMK3 bertujuan untuk:

a. Meningkatkan efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur, dan terintegrasi;

b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, pekerja/buruh, dan/atau serikat pekerja/serikat buruh; serta

c. Menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman, dan efisien untuk mendorong produktivitas. Sebagaimana tercantum dalam PP Instansi pembina

sektor usaha dapat mengembangkan pedoman penerapan SMK3 sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 namun Kewajiban ditetapkan dalam PP No. 50 berlaku bagi perusahaan:

1. Mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 (seratus) orang; atau

2. Mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengusaha dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat memperhatikan konvensi atau standar internasional. Penerapan SMK3 dilaksanakan meliputi:

1. Penetapan Kebijakan K3; 2. Perencanaan K3;

Page 40: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

35

3. Pelaksanaan rencana K3; 4. Pemantauan dan evaluasi kinerja K3; dan 5. Peninjauan dan peningkatan kinerja SMK3.

Penjelasan secara rinci terhadap kelima tahapan

tersebut sebagaimana telah dijelaskan dalam Lampiran 1 PP No. 50 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1. Penetapan Kebijakan K3

Kebijakan K3 disusun dengan terlebih dahulu melalui proses tinjauan awal kondisi K3 dan proses konsultasi antara pengurus dan wakil pekerja/buruh. Pada tinjauan awal dilakukan untuk mengetahui seluruh kondisi K3 antara lain keberadaan personil K3, peralatan/pesawat/instalasi/mesin, prosedur, proses kerja, sifat pekerjaan sampai kondisi keuangan yang dipersiapkan untuk program K3. Tinjauan awal kondisi K3 yang meliputi:

a. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko;

b. Perbandingan penerapan K3 dengan perusahaan dan sektor lain yang lebih baik;

c. Peninjauan sebab akibat kejadian yang membahayakan;

d. Kompensasi dan gangguan serta hasil penilaian sebelumnya yang berkaitan dengan keselamatan; dan

e. Penilaian efisiensi dan efektivitas sumber daya yang disediakan.

Kebijakan K3 disusun dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan serikat pekerja dan atau serikat buruh yang terbentuk di perusahaan. Untuk itu sangatlah tepat kalau penyusunan kebijakan tersebut dibuat melalui keberadaan P2K3 sehingga prosesnya sudah mengakomodir keanggotaan P2K3 yang mengandung unsur serikat pekerja/buruh. Syarat dalam penetapan kebijakan K3 adalah sebagai berikut:

a. Disahkan oleh pucuk pimpinan perusahaan; b. Tertulis, tertanggal dan ditanda tangani; c. Secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3; d. Dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluruh

pekerja/buruh, tamu, kontraktor, pemasok, dan pelanggan;

e. Terdokumentasi dan terpelihara dengan baik;

Page 41: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

36

f. Bersifat dinamik; dan g. Ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa

kebijakan tersebut masih sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan peraturan perundang-undangan.

Untuk mewujudkan komitmen dalam rangka

melaksanakan kebijakan K3 tersebut diatas maka yang harus dilakukan oleh pengusaha dan/atau pengurus adalah:

a. Menempatkan organisasi K3 pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan;

b. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang diperlukan di bidang K3;

c. Menetapkan personil yang mempunyai tanggung jawab, wewenang dan kewajiban yang jelas dalam penanganan K3;

d. Membuat perencanaan K3 yang terkoordinasi; e. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut

pelaksanaan K3.

Pengusaha harus menyebarluaskan kebijakan K3 yang telah ditetapkan kepada seluruh pekerja/buruh, orang lain selain pekerja/buruh yang berada di perusahaan, dan pihak lain yang terkait. Kebijakan tersebut harus senantiasa dilakukan peninjauan ulang secara teratur. Dan setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap K3 sehingga SMK3 berhasil diterapkan dan dikembangkan. Setiap pekerja/buruh dan orang lain yang berada di tempat kerja harus berperan serta dalam menjaga dan mengendalikan pelaksanaan K3. 2. Perencanaan K3

Perusahaan harus merencanakan untuk memenuhi kebijakan, sasaran dan tujuan K3 yang telah ditetapkan. Dalam menyusun rencana K3 hendaknya dilakukan berdasarkan:

a. Hasil penelaahan awal Hasil penelaahan awal merupakan tinjauan awal kondisi K3 perusahaan yang telah dilakukan pada penyusunan kebijakan.

b. Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko

Page 42: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

37

Identifikasi potensi bahaya, penilaian dan penilaian risiko harus dipertimbangkan pada saat merumuskan rencana.

c. Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya Peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya harus:

1) Ditetapkan, dipelihara, diinventarisasi dan diidentifikasi oleh perusahaan; dan

2) Disosialisasikan kepada seluruh pekerja/buruh. d. Sumber daya yang dimiliki

Dalam menyusun perencanaan harus mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki meliputi tersedianya sumber daya manusia yang kompeten, sarana dan prasarana serta dana.

e. Rencana K3 yang disusun oleh perusahaan paling sedikit memuat:

1) Tujuan dan Sasaran Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan ditinjau kembali secara teratur sesuai dengan perkembangan. Tujuan dan sasaran K3 paling sedikit memenuhi kualifikasi: a) Dapat diukur; b) Satuan/indikator pengukuran; dan c) Sasaran pencapaian.

Dalam menetapkan tujuan dan sasaran K3, pengusaha harus berkonsultasi dengan: a) Wakil pekerja/buruh; b) Ahli K3; c) P2K3; dan d) Pihak-pihak lain yang terkait.

2) Skala Prioritas Skala prioritas merupakan urutan pekerjaan berdasarkan tingkat risiko, dimana pekerjaan yang mempunyai tingkat risiko yang tinggi diprioritaskan dalam perencanaan.

3) Upaya Pengendalian Bahaya Upaya pengendalian bahaya, dilakukan berdasarkan hasil penilaian risiko melalui pengendalian teknis, administratif, dan penggunaan alat pelindung diri.

Page 43: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

38

4) Penetapan Sumber Daya

Penetapan sumberdaya dilaksanakan untuk menjamin tersedianya sumber daya manusia yang kompeten, sarana dan prasarana serta dana yang memadai agar pelaksanaan K3 dapat berjalan.

5) Jangka Waktu Pelaksanaan Dalam perencanaan setiap kegiatan harus mencakup jangka waktu pelaksanaan.

6) Indikator Pencapaian Dalam menetapkan indikator pencapaian harus ditentukan dengan parameter yang dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan penerapan SMK3.

7) Sistem Pertanggung Jawaban Sistem pertanggung jawaban harus ditetapkan dalam pencapaian tujuan dan sasaran sesuai dengan fungsi dan tingkat manajemen perusahaan yang bersangkutan untuk menjamin perencanaan tersebut dapat dilaksanakan. Peningkatan K3 akan efektif apabila semua pihak dalam perusahaan didorong untuk berperan serta dalam penerapan dan pengembangan SMK3, dan memiliki budaya perusahaan yang mendukung dan memberikan kontribusi bagi SMK3. Berdasarkan hal tersebut pengusaha harus: a) menentukan, menunjuk,

mendokumentasikan dan mengkomunikasikan tanggungjawab dan tanggung gugat di bidang K3 dan wewenang untuk bertindak dan menjelaskan hubungan pelaporan untuk semua tingkatan manajemen, pekerja/buruh, kontraktor, subkontraktor, dan pengunjung;

b) mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap perubahan tanggungjawab dan tanggunggugat yang berpengaruh terhadap sistem dan program K3; dan

Page 44: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

39

c) memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya.

3. Pelaksanaan Rencana K3

Pelaksanaan rencana K3 harus dilaksanakan oleh pengusaha dan/atau pengurus perusahaan atau tempat kerja dengan melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

a. Menyediakan sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi; dan

b. Menyediakan prasarana dan sarana yang memadai. Keterangan lebih rinci adalah sebagai berikut: a. Penyediaan Sumber Daya Manusia

1) Prosedur Pengadaan Sumber Daya Manusia Dalam penyediaan sumber daya manusia, perusahaan harus membuat prosedur pengadaan secara efektif, meliputi: a) Pengadaan sumber daya manusia sesuai

kebutuhan dan memiliki kompetensi kerja serta kewenangan dibidang K3 yang dibuktikan melalui: - Sertifikat K3 yang diterbitkan oleh instansi

yang berwenang; dan - Surat izin kerja/operasi dan/atau surat

penunjukan dari instansi yang berwenang. b) Pengidentifikasian kompetensi kerja yang

diperlukan pada setiap tingkatan manajemen perusahaan dan menyelenggarakan setiap pelatihan yang dibutuhkan;

c) Pembuatan ketentuan untuk mengkomunikasikan informasi K3 secara efektif;

d) Pembuatan peraturan untuk memperoleh pendapat dan saran para ahli; dan

e) Pembuatan peraturan untuk pelaksanaan konsultasi dan keterlibatan pekerja/ buruh secara aktif.

2) Konsultasi, Motivasi dan Kesadaran Dalam menunjukkan komitmennya terhadap K3, pengusaha dan/atau pengurus harus melakukan

Page 45: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

40

konsultasi, motivasi dan kesadaran dengan melibatkan pekerja/buruh maupun pihak lain yang terkait di dalam penerapan, pengembangan dan pemeliharaan SMK3, sehingga semua pihak merasa ikut memiliki dan merasakan hasilnya. Dalam melakukan konsultasi, motivasi dan kesadaran SMK3, pengusaha dan/atau pengurus harus memberi pemahaman kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh tentang bahaya fisik, kimia, ergonomi, radiasi, biologi, dan psikologi yang mungkin dapat menciderai dan melukai pada saat bekerja, serta pemahaman sumber bahaya tersebut. Pemahaman tersebut bertujuan untuk mengenali dan mencegah tindakan yang mengarah terjadinya insiden.

3) Tanggungjawab dan Tanggunggugat Bentuk tanggungjawab dan tanggunggugat dalam pelaksanaan K3, harus dilakukan oleh perusahaan dengan cara: a) Menunjuk, mendokumentasikan dan

mengkomunikasikan tanggungjawab dan tanggunggugat di bidang K3;

b) Menunjuk sumber daya manusia yang berwenang untuk bertindak dan menjelaskan kepada semua tingkatan manajemen, pekerja/buruh, kontraktor, subkontraktor, dan pengunjung meliputi:

c) Pimpinan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab harus memastikan bahwa SMK3 telah diterapkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan oleh setiap lokasi dan jenis kegiatan dalam perusahaan;

d) Pengurus harus mengenali kemampuan tenaga kerja sebagai sumber daya yang berharga dan dapat ditunjuk untuk menerima pendelegasian wewenang dan tanggungjawab dalam menerapkan dan mengembangkan SMK3;

e) Mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap perubahan tanggung jawab dan tanggung gugat yang berpengaruh terhadap sistem dan program K3;

Page 46: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

41

f) Memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya.

4) Pelatihan dan Kompetensi Kerja Pelatihan dan kompetensi Kerja, dilakukan dengan melakukan pengidentifikasian dan pendokumentasian standar kompetensi kerja K3. Standar kompetensi kerja K3 dapat diidentifikasi dan dikembangkan sesuai kebutuhan dengan: a) Menggunakan standar kompetensi kerja yang

ada; b) Memeriksa uraian tugas dan jabatan; c) Menganalisis tugas kerja; d) Menganalisis hasil inspeksi dan audit; dan e) Meninjau ulang laporan insiden.

Hasil identifikasi kompetensi kerja digunakan sebagai dasar penentuan program pelatihan yang harus dilakukan, dan menjadi dasar pertimbangan dalam penerimaan, seleksi dan penilaian kinerja.

b. Menyediakan Prasarana Dan Sarana Yang Memadai

Prasarana dan sarana yang disediakan meliputi: 1) Organisasi/Unit yang bertanggung jawab di bidang K3

Perusahaan wajib membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat P2K3 yang bertanggung jawab di bidang K3. P2K3 adalah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan tenaga kerja atau pekerja/buruh untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusaha dan tenaga kerja atau pekerja/buruh yang susunannya terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja.

Page 47: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

42

2) Anggaran

Perusahaan harus mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan K3 secara menyeluruh antara lain untuk: a) Keberlangsungan organisasi K3; b) Pelatihan SDM dalam mewujudkan kompetensi

kerja; dan c) Pengadaan prasarana dan sarana K3 termasuk

alat evakuasi, peralatan pengendalian, peralatan pelindung diri.

3) Prosedur operasi/kerja, informasi, dan pelaporan serta pendokumentasian a) Prosedur operasi/kerja harus disediakan pada

setiap jenis pekerjaan dan dibuat melalui analisa pekerjaan berwawasan K3 (Job Safety Analysis) oleh personil yang kompeten.

b) Prosedur informasi K3 harus menjamin pemenuhan kebutuhan untuk:

- Mengkomunikasikan hasil dari sistem manajemen, temuan audit dan tinjauan ulang manajemen dikomunikasikan pada semua pihak dalam perusahaan yang bertanggungjawab dan memiliki andil dalam kinerja perusahaan;

- Melakukan identifikasi dan menerima informasi K3 dari luar perusahaan; dan

- Menjamin bahwa informasi K3 yang terkait dikomunikasikan kepada orang-orang di luar perusahaan yang membutuhkan.

Informasi yang perlu dikomunikasikan meliputi:

- Persyaratan eksternal/peraturan perundangan-undangan dan internal/indikator kinerja K3;

- Izin kerja; - Hasil identifikasi, penilaian, dan pengendalian

risiko serta sumber bahaya yang meliputi keadaan mesin-mesin, pesawat-pesawat, alat kerja, peralatan lainnya, bahan-bahan, lingkungan kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dan proses produksi;

- Kegiatan pelatihan K3; - Kegiatan inspeksi, kalibrasi dan pemeliharaan; - Pemantauan data;

Page 48: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

43

- Hasil pengkajian kecelakaan, insiden, keluhan dan tindak lanjut;

- Identifikasi produk termasuk komposisinya; - Informasi mengenai pemasok dan kontraktor; dan - Audit dan peninjauan ulang SMK3.

c) Prosedur pelaporan informasi yang terkait harus

ditetapkan untuk menjamin bahwa pelaporan yang tepat waktu dan memantau pelaksanaan SMK3 sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan. Prosedur pelaporan terdiri atas: Prosedur pelaporan internal yang harus ditetapkan untuk menangani: Pelaporan terjadinya insiden; Pelaporan ketidaksesuaian; Pelaporan kinerja keselamatan dan

kesehatan kerja; dan Pelaporan identifikasi sumber bahaya.

Prosedur pelaporan eksternal yang harus ditetapkan untuk menangani: Pelaporan yang dipersyaratkan peraturan

perundang-undangan; dan Pelaporan kepada pemegang saham atau

pihak lain yang terkait. Laporan harus disampaikan kepada pihak

manajemen dan/atau pemerintah.

d) Pendokumentasian kegiatan K3 digunakan untuk: - Menyatukan secara sistematik kebijakan,

tujuan dan sasaran K3; - Menguraikan sarana pencapaian tujuan dan

sasaran K3; - Mendokumentasikan peranan, tanggung jawab

dan prosedur; - Memberikan arahan mengenai dokumen yang

terkait dan menguraikan unsur-unsur lain dari sistem manajemen perusahaan; dan

- Menunjuk bahwa unsur-unsur SMK3 yang sesuai untuk perusahaan telah diterapkan.

Dalam pendokumentasian kegiatan K3, perusahaan harus menjamin bahwa:

Page 49: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

44

- Dokumen dapat diidentifikasi sesuai dengan

uraian tugas dan tanggung jawab di perusahaan;

- Dokumen ditinjau ulang secara berkala dan jika diperlukan dapat direvisi;

- Dokumen sebelum diterbitkan harus lebih dahulu disetujui oleh personil yang berwenang;

- Dokumen versi terbaru harus tersedia di tempat kerja yang dianggap perlu;

- Semua dokumen yang telah usang harus segera disingkirkan; dan

- Dokumen mudah ditemukan, bermanfaat dan mudah dipahami.

e) Instruksi kerja

Instruksi kerja merupakan perintah tertulis atau tidak tertulis untuk melaksanakan pekerjaan dengan tujuan untuk memastikan bahwa setiap pekerjaan dilakukan sesuai persyaratan K3 yang telah ditetapkan.

Kegiatan dalam pelaksanaan rencana K3 paling sedikit

meliputi: 1) Tindakan Pengendalian

Tindakan pengendalian harus diselenggarakan oleh setiap perusahaan terhadap kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tindakan pengendalian dilakukan dengan mendokumentasikan dan melaksanakan kebijakan: a. Standar bagi tempat kerja; b. Perancangan pabrik dan bahan; dan c. Prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan

mengendalikan kegiatan produk barang dan jasa. Pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui: a. Identifikasi potensi bahaya dengan

mempertimbangkan: - Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan

potensi bahaya; dan

Page 50: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

45

- Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi.

b. Penilaian risiko untuk menetapkan besar kecilnya suatu risiko yang telah diidentifikasi sehingga digunakan untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja.

c. Tindakan pengendalian dilakukan melalui: 1) Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi

eliminasi, subtitusi, isolasi, ventilasi, higienitas dan sanitasi;

2) Pendidikan dan pelatihan; 3) Insentif, penghargaan dan motivasi diri; 4) Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan

insiden dan etiologi; dan 5) Penegakan hukum.

2) Perancangan dan Rekayasa Tahap perancangan dan rekayasa meliputi:

a. Pengembangan; b. Verifikasi; c. Tinjauan ulang; d. Validasi; dan e. Penyesuaian.

Dalam pelaksanaan perancangan dan rekayasa harus memperhatikan unsur-unsur:

a. Identifikasi potensi bahaya; b. Prosedur penilaian dan pengendalian risiko

kecelakaan dan penyakit akibat kerja; dan c. Personil yang memiliki kompetensi kerja harus

ditentukan dan diberi wewenang dan tanggungjawab yang jelas untuk melakukan verifikasi persyaratan SMK3.

3) Prosedur dan Instruksi Kerja Prosedur dan instruksi kerja harus dilaksanakan dan ditinjau ulang secara berkala terutama jika terjadi perubahan peralatan, proses atau bahan baku yang digunakan oleh personal dengan melibatkan para pelaksana yang memiliki kompetensi kerja dalam menggunakan prosedur.

Page 51: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

46

4) Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan

Perusahaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain harus menjamin bahwa perusahaan lain tersebut memenuhi persyaratan K3. Verifikasi terhadap persyaratan K3 tersebut dilakukan oleh personal yang kompeten dan berwenang serta mempunyai tanggung jawab yang jelas.

5) Pembelian/Pengadaan Barang dan Jasa Sistem pembelian/pengadaan barang dan jasa harus: a. Terintegrasi dalam strategi penanganan pencegahan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja; b. Menjamin agar produk barang dan jasa serta mitra

kerja perusahaan memenuhi persyaratan K3; dan c. Pada saat barang dan jasa diterima di tempat kerja,

perusahaan harus menjelaskan kepada semua pihak yang akan menggunakan barang dan jasa tersebut mengenai identifikasi, penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

6) Produk Akhir Produk akhir berupa barang atau jasa harus dapat dijamin keselamatannya dalam pengemasan, penyimpanan, pendistribusian, dan penggunaan serta pemusnahannya.

7) Upaya Menghadapi Keadaan Darurat Kecelakaan dan Bencana Industri Perusahaan harus memiliki prosedur sebagai upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri, yang meliputi: a. Penyediaan personil dan fasilitas P3K dengan

jumlah yang cukup dan sesuai sampai mendapatkan pertolongan medik; dan

b. Proses perawatan lanjutan. Prosedur menghadapi keadaan darurat harus diuji secara berkala oleh personil yang memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang mempunyai bahaya besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang untuk mengetahui kehandalan pada saat kejadian yang sebenarnya.

8) Rencana dan Pemulihan Keadaan Darurat Dalam melaksanakan rencana dan pemulihan keadaan darurat setiap perusahaan harus memiliki prosedur

Page 52: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

47

rencana pemulihan keadaan darurat secara cepat untuk mengembalikan pada kondisi yang normal dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma.

4. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Pemantauan dan evaluasi kinerja K3 dilaksanakan di

perusahaan meliputi: a. Pemeriksaan, Pengujian, dan Pengukuran

Pemeriksaan, pengujian, dan pengukuran harus ditetapkan dan dipelihara prosedurnya sesuai dengan tujuan dan sasaran K3 serta frekuensinya disesuaikan dengan obyek mengacu pada peraturan dan standar yang berlaku. Prosedur pemeriksaan, pengujian, dan pengukuran secara umum meliputi: 1) Personil yang terlibat harus mempunyai pengalaman

dan keahlian yang cukup; 2) Catatan pemeriksaan, pengujian dan pengukuran yang

sedang berlangsung harus dipelihara dan tersedia bagi manajemen, tenaga kerja dan kontraktor kerja yang terkait;

3) Peralatan dan metode pengujian yang memadai harus digunakan untuk menjamin telah dipenuhinya standar K3;

4) Tindakan perbaikan harus dilakukan segera pada saat ditemukan ketidaksesuaian terhadap persyaratan K3 dari hasil pemeriksaan, pengujian dan pengukuran;

5) Penyelidikan yang memadai harus dilaksanakan untuk menemukan penyebab permasalahan dari suatu insiden; dan

6) Hasil temuan harus dianalisis dan ditinjau ulang. b. Audit Internal SMK3

Audit internal SMK3 harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui keefektifan penerapan SMK3. Audit SMK3 dilaksanakan secara sistematik dan independen oleh personil yang memiliki kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang telah ditetapkan. Pelaksanaan audit internal dapat menggunakan kriteria audit eksternal sebagaimana tercantum pada Lampiran II PP 50, dan pelaporannya dapat menggunakan format

Page 53: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

48

laporan yang tercantum pada Lampiran III peraturan tersebut. Frekuensi audit harus ditentukan berdasarkan tinjauan ulang hasil audit sebelumnya dan bukti sumber bahaya yang didapatkan di tempat kerja. Hasil audit harus digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen. Hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kinerja serta audit SMK3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk tindakan perbaikan dan pencegahan. Pemantauan dan evaluasi kinerja serta audit SMK3 dijamin pelaksanaannya secara sistematik dan efektif oleh pihak manajemen.

5. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Smk3

Untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang berkesinambungan guna pencapaian tujuan SMK3, pengusaha dan/atau pengurus perusahaan atau tempat kerja harus:

a. Melakukan tinjauan ulang terhadap penerapan SMK3 secara berkala; dan

b. Tinjauan ulang SMK3 harus dapat mengatasi implikasi K3 terhadap seluruh kegiatan, produk barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.

Tinjauan ulang penerapan SMK3, paling sedikit meliputi:

a. Evaluasi terhadap kebijakan K3; b. Tujuan, sasaran dan kinerja K3; c. Hasil temuan audit SMK3; dan d. Evaluasi efektifitas penerapan SMK3, dan kebutuhan

untuk pengembangan SMK3. Perbaikan dan peningkatan kinerja dilakukan

berdasarkan pertimbangan: a. Perubahan peraturan perundang-undangan; b. Tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar; c. Perubahan produk dan kegiatan perusahaan; d. Perubahan struktur organisasi perusahaan; e. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

termasuk epidemologi; f. Hasil kajian kecelakaan dan penyakit akibat kerja; g. Adanya pelaporan; dan/atau h. Adanya saran dari pekerja/buruh.

Page 54: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

49

1. Semua perusahaan wajib menerapkan SMK3 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sedangkan dalam PP 50 Tahun 2012 perusahaan yang wajib menerapkan SMK3 adalah perusahaan yang mempunyai pekerja/buruh paling sedikit 100 orang atau mempunyai potensi bahaya tinggi.

2. Dalam menerapkan SMK3 perusahaan berpedoman kepada kebijakan nasional yaitu PP 50 Tahun 2012 yang meliputi : Penetapan kebijakan, perencanaan K3, pelaksanaan rencana K3, pemantauan dan evaluasi kinerja, dan peninjauan & peningkatan kinerja SMK3. Langkah-langkah tersebut lebih detail dijelaskan dalam Lampiran I PP No. 50 Tahun 2012.

3. Untuk menilai tingkat penerapan dilakukan penilaian melalui Audit Ekesternal yang dilakukan oleh Badan Audit SMK3 berdasarkan permohonan perusahaan, sedangkan bagi perusahaan dengan potensi bahaya tinggi yaitu perusahaan pada sektor tambang, minyak dan gas bumi wajib melakukan penilaian melalui audit eksternal.

4. Audit SMK3 meliputi 12 elemen yaitu: a). Pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan

komitmen; b). Pembuatan dan pendokumentasian rencana K3; c). Pengendalian perancangan dan peninjauan kontrak; d). Pengendalian dokumen; e). Pembelian dan pengendalian produk; f). Keamanan bekerja berdasarkan SMK3; g). Standar pemantauan; h). Pelaporan dan perbaikan kekurangan; i). Pengelolaan material dan perpindahannya; j). Pengumpulan dan penggunaan data; k). Pemeriksaan SMK3; dan l). Pengembangan keterampilan dan kemampuan.

Page 55: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

50

5. Pengawasan SMK3 dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pada pusat, provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangannya, meliputi: a). Pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan

komitmen; b). Organisasi; c). Sumber daya manusia; d). Pelaksanaan peraturan perundang-undangan

bidang K3; e). Keamanan bekerja; f). Pemeriksaan, pengujian dan pengukuran

penerapan SMK3; g). Pengendalian keadaan darurat dan bahaya

industri; h). Pelaporan dan perbaikan kekurangan; dan i). Tindak lanjut audit.

Page 56: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

51

AUDIT dan INSPEKSI K3 Audit K3 Tujuan Audit

Guna mengetahui keefektifan penerapan SMK3 dan mengukur kinerja pelaksanaan SMK3, serta untuk membuat perbaikan-perbaikan maka diperlukan pelaksanaan audit SMK3. Selain itu melalui audit SMK3 akan diketahui program K3 apakah telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan K3 yang telah ditetapkan pada suatu perusahaan. Disadari bahwa selama berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, ukuran yang dipakai untuk mengukur dan menilai kegiatan usaha keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja selalu menggunakan tingkat kekerapan kecelakaan, tingkat keparahan kecelakaan, jumlah kerugian yang ditimbulkan dan statistik kecelakaan. Metode tersebut hingga saat ini masih dipergunakan, namun hal itu hanya untuk mengukur peristiwa kecelakaan yang terjadi dan bersifat reaktif. Berdasarkan uraian di atas audit SMK3 bertujuan untuk: a. Menilai secara kritis dan sistematis semua potensi bahaya

potensial dalam sistem kegiatan operasi perusahaan yang meliputi:

- Tenaga manusia meliputi kemampuan dan sikapnya dalam kaitannya dengan K3.

- Perangkat keras meliputi sarana/peralatan proses produksi dan operasi, sarana pemadam kebakaran, kebersihan dan tata lingkungan dan

- Perangkat lunak (manajemen) meliputi sikap manajemen, organisasi, prosedur, standar dan hal lain yang terkait dengan pengaturan manusia serta perangkat keras unit operasi.

b. Memastikan bahwa pengelolaan K3 di perusahaan telah dilaksanakan sesuai ketentuan pemerintah, standar teknis, standar K3 yang berlaku dan kebijakan yang ditentukan oleh manajemen perusahaan.

c. Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial sebelum timbul gangguan atau kerugian terhadap tenaga kerja, harta, lingkungan maupun

Page 57: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

52

gangguan operasi serta rencana respon (tanggap) terhadap keadaan gawat/darurat, sehingga mutu pelaksanaan K3 dapat meningkat.

Jenis-jenis Audit

Berdasarkan pelaksanaan audit SMK3, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis audit yaitu audit internal dan audit eksternal. a. Audit internal

Penilaian ini merupakan penilaian yang dilakukan oleh perusahaan sendiri, yang bertujuan menilai efektifitas penerapan sistem manajemen K3 di perusahaan serta memberi masukan kepada pihak manajemen dalam rangka pengembangan secara terus menerus. Pelaksanaan internal audit idealnya dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun dengan melibatkan seluruh bagian di perusahaan antara lain pada setiap unit operasi, lokasi dan departemen/bagian harus diikutsertakan dalam audit dengan metode uji silang (cross check).

Audit internal dilaksanakan oleh personil yang independen terhadap bagian yang diaudit, bukan personil yang mempunyai hubungan langsung terhadap bagian yang diaudit, bukan personil yang mempunyai hubungan terhadap bagian tersebut, sehingga hasil yang didapat merupakan hasil yang obyektif. Disini personil yang melakukan audit juga harus terlatih dan berpengalaman. Pelaksanaan audit dilakukan oleh suatu tim sendiri atas berbagai unsur disiplin dan fungsi dengan jumlah anggota tim tetap harus ganjil dan tidak melebihi dari 7 (tujuh) orang, karena semakin banyak anggota tim akan mengakibatkan kurang efektifnya kerja tim. Komposisi anggota tim tetap ditentukan sebagai berikut:

- 1 orang tim manajemen senior; - 2 orang anggota P2K3; - 2 orang ahli dalam bidang operasi/produksi dan - 2 orang ahli K3 atau ahli lain yang ditunjuk khusus.

1) Tim audit internal

Tim audit internal diangkat secara resmi oleh pimpinan perusahaan dan bertanggung jawab secara langsung serta harus membuat laporan hasil audit kepada perusahaan. Susunan tim terdiri atas:

Page 58: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

53

a) Ketua Tim, bertugas memimpin dan mengkoordinir

kegiatan tim secara efektif dan obyektif serta bertanggung jawab untuk menyusun rencana audit, melatih anggota tim (jika diperlukan), mengkoordinir penyusunan daftar periksa, memimpin pelaksanaan audit serta mengarahkan penyusunan laporan hasil audit. Sebaiknya Ketua Tim diambil dari bagian operasi yang paling senior, telah mengikuti pelatihan audit dan berpengalaman.

b) Sekretaris Tim, bertugas memproses surat menyurat dan bahan tulisan yang diperlukan tim, memproses penyusunan laporan, mencatat semua hasil temuan dan rekomendasi selama audit berlangsung dan memproses hasil audit secara cermat dan lengkap serta aktif dalam diskusi selama pelaksanaan audit.

c) Anggota Tetap, bertugas mengembangkan dan membahas persiapan, pelaksanaan dan pelaporan audit. Anggota tetap dapat dipilih dari bidang: Engineering (perancangan) Operasi Maintenance (pemeliharaan) Keselamatan dan kesehatan kerja

d) Anggota Tidak Tetap, bertugas membantu analisa dan memberikan informasi yang akurat dan obyektif kepada tim tetap. Anggota ini dipanggil jika ada hal-hal penting yang terkait dengan keahlian mereka masing-masing (misal pengawas dari unit yang sedang di audit) yang perlu dibahas secara bersama.

Ketua, sekretaris dan anggota tetap, secara penuh menangani persiapan, pemeriksaan dan pelaporan audit. Anggota tetap harus dipilih berdasarkan keahlian dan penguasaannya terhadap unit yang diaudit dan sedapat mungkin dipilih minimal supervisor. Tim audit sebelum melakukan audit perlu dibina dibidang metoda audit, standar penilaian audit, cara pemeriksaan dan verifikasi temuan, dan cara pelaporan audit. Selama melaksanakan audit harus dibebaskan dari tugas kerja sehari-hari, dan harus dapat berperan sebagai pihak ketiga dalam melihat keadaan unit agar dapat memberikan masukan yang obyektif kepada pimpinan unit setempat.

Page 59: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

54

2) Tugas & Tanggung Jawab Tim Audit.

Tim audit bertugas untuk: a) Menentukan sasaran, cakupan periodisasi dan metoda

audit serta menyusun rencana kerja dan daftar pelaksanaan audit. Rencana kerja harus lengkap dan mencakup daerah yang ditinjau, saat peninjauan, penyebaran laporan, rencana tindak lanjut dan rencana tanggal pelaporan.

b) Mengembangkan daftar periksa (checklist) dan daftar pertanyaan (questioner) serta standar penilaian yang akan digunakan. Untuk itu harus mempelajari tentang unit yang akan diaudit, standar yang berlaku, hasil inspeksi dan hasil audit masa lalu jika ada, dan lain-lain.

c) Melakukan pemeriksaan secara obyektif ke tempat/unit kerja, mereview pelaksanaan prosedur dan manajemen, dan mengadakan wawancara dengan pekerja untuk pembuktian (verifikasi).

d) Menyusun laporan hasil audit dan saran perbaikannya.

Seringkali tim merasa kesulitan untuk mengaudit kegiatan manajemen tetapi dengan pengembangan daftar periksa yang baik dan verifiksi yang obtektif, hasil audit akan membantu manajemen dalam mengendalikan kerugian akibat kecelakaan. Tim audit bertanggung jawab kepada pimpinan perusahaan.

3) Tahapan Pelaksanaan Audit Tahapan pelaksanaan audit secara garis besar adalah: a) Mengkaji informasi yang didapat pada unit kerja yang

akan diaudit: Laporan hasil audit terdahulu Rencana tindakan yang sedang dilaksanakan; Pengalaman kecelakaan / penyakit akibat kerja

tersebut; Pernyataan/statement tentang tujuan dan

kebijakan dari unit kerja tersebut. b) Menyiapkan lembaran kerja audit (checklis dan lain-

lain) untuk unit kerja yang akan diaudit berdasarkan Permen No. 05/MEN/1996.

c) Memahami semua informasi-informasi penting (dengan memeriksa catatan dan prosedur tertulis,

Page 60: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

55

wawancara dan inspeksi) dan mengembangkan temuan-temuan.

d) Menyiapkan rekomendasi untuk didiskusikan dengan unit kerja yang bersangkutan.

e) Menyiapkan rekomendasi akhir. f) Memberkas dan menyimpan semua lembaran kerja.

Di dalam pelaksanaannya tim audit: a) Melaksanakan identifikasi terhadap obyek yang akan

diaudit (sumber-sumber bahaya yang ada) dengan menggunakan daftar periksa.

b) Mengevaluasi kecelakaan yang mungkin terjadi dan akibat-akibat yang timbul dan atau ditimbulkan, melalui diskusi dan presentasi hasil temuan.

c) Menentukan metode yang paling efektif atau tepat untuk mencegah dan atau mengurangi terjadinya kecelakaan dalam bentuk rekomendasi.

Agar dapat melaksanakan audit dengan baik, maka setiap auditor harus mengetahui dasar-dasar pengetahuan, antara lain mengenai: a) Sifat-sifat dan bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan

oleh bahan-bahan baku dan bahan-bahan pembantu yang dipergunakan untuk proses produksi dalam kaitan dengan: Sifat-sifat kimiawinya Sifat fisiknya Bahaya kebakaran dan ledakan yang dapat

ditimbulkannya Bahaya-bahaya lain yang dapat diakibatkannya,

baik terhadap personil / pekerja maupun lingkungan/ tempat kerjanya.

b) Tata cara penyimpanan dan pengelolaan dari bahan baku, bahan penimbun, bahan bakar berupa gas, cair, atau padat dan bahan-bahan lain yang mudah terbakar atau meledak.

c) Tata cara penyimpanan dan pengelolaaan bahan-bahan berupa gas, cair atau padat yang dapat menimbulkan keracunan atau kerusakan terhadap anggota tubuh manusia.

d) Proses dan peralatan yang digunakan untuk proses produksi, termasuk cara penyimpanannya (storage

Page 61: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

56

system) selama dalam proses untuk bahan padat, cair, dan gas.

e) Sistem transportasi di dalam pabrik dan atau pekarangan.

f) Tata cara pengepakan dan penyimpanan dari hasil produksi serta tata cara transportasinya keluar perusahaan.

g) Tata cara pembuangan sampah/sisa produksi, baik dalam bentuk padat, cair maupun gas/uap.

h) Ledakan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat menimbulkan / membahayakan tenaga kerja dan peralatan antara lain faktor-faktor fisik, kimia, biologis, ergonomi dan lain-lain.

i) Hazard Control meliputi: Pencegahan dan deteksi kebocoran bahan bakar

dan bahan baku yang dapat membahayakan. Pencegahan terjadinya penyebaran uap dan debu

serta cairan yang dapat membahayakan. Mengontrol sumber-sumber penyalaan. Fire detection dan fire control. Exposure dan lain-lain.

Dengan dasar-dasar pengetahuan tersebut diatas dan digunakan dengan standar-standar atau kode-kode yang digunakan, maka akan dapat dijadikan dasar pelaksanaan audit.

4) Tahapan Audit a) Persiapan Sebelum Pemeriksaan

Sebelum dilaksanakan audit, pimpinan perusahaan membuat keputusan pelaksanaan audit lengkap dengan sasaran dan pembentukan tim audit. Setelah keluarnya keputusan, dapat dengan segera dilakukan pelatihan terhadap anggota tentang prinsip dan metoda audit. Codes of Practices dan standar teknis yang dipergunakan. Disamping itu, auditor harus mempelajari tentang organisasi dan unit/tempat kerja yang akan diaudit sehingga unit/ tempat kerja tersebut secara cukup baik dan perlu diadakan review terhadap laporan audit sebelumnya (jika sudah pernah diaudit) struktur organisasi, deskripsi sifat dari operasi, prosedur kerja yang berlaku dan penyiapan saran

Page 62: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

57

yang diperlukan untuk pelaksanaan audit. Sarana yang diperlukan antara lain:

- Daftar periksa (checklis) yang sudah disiapkan. - Daftar pertanyaan lengkap dengan standar

penilaiannya. - Buku catatan. - Kamera (jika dimungkinkan dan diizinkan). - Blanko-blanko untuk wawancara dengan tenaga

kerja dan manajemen setempat. - Prosedur kerja.

b) Pertemuan Pra-audit dengan Pimpinan Setempat Pada pertemuan ini auditor memberikan penjelasan kepada pimpinan unit kerja setempat tentang maksud dan tujuan pelaksaaan audit. Selain itu mendiskusikan dan menanyakan berbagai hal yang terkait dengan kebijaksanaan dan cara pengelolaan K3 di unit setempat, sehingga diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pelaksanaan K3 di unit tersebut.

c) Pemeriksaan Lapangan Setelah diperoleh informasi tentang aspek manajemen di unit/tempat kerja, auditor bersama petugas yang menguasai seluk beluk unit setempat mengadakan pemeriksaan ke unit/tempat kerja untuk melihat secara langsung sifat operasi, paparan resiko, iklim K3 di unit/tempat kerja tersebut, perangkat lunak yang meliputi pelaksanaan prosedur, peraturan, peraturan, organisasi dan karyawan. Pada saat yang bersamaan auditor dapat mewawancarai tenaga kerja setempat untuk mendapat masukan apakah benar program K3 benar-benar ada secara formal dan konsisten diterapkan.

d) Verifikasi Informasi Ada beberapa cara untuk memastikan bahwa program K3 benar diterapkan yaitu: memeriksa catatan, wawancara dengan karyawan dan jika perlu pemeriksaan secara sample terhadap kondisi fisik karyawan. Oleh karena itu, jika auditor merasa belum yakin dengan data yang ia peroleh dapat melakukan verifikasi sesuai metoda diatas.

Page 63: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

58

Setelah selesai melakukan pemeriksaan di suatu

unit/tempat kerja, auditor perlu mengadakan pertemuan dengan manajamen unit setempat untuk memberikan atau memaparkan hasil temuan secara umum dan menampung berbagai tanggapan. Dalam memberikan gambaran umum hasil audit, auditor harus mengemukakan hasil positif terlebih dahulu sebelum mengemukakan kelemahan yang perlu diperbaiki atau mendapat perbaikan segera. Selain itu pada kesempatan ini dapat dilakukan penelusuran terhadap kesalahan interpretasi selama audit, perbaikan sementara yang dapat diambil oleh manajemen dan lain-lain. Dengan cara ini diharapkan temuan yang masuk dalam laporan nanti adalah temuan obyektif dan penting. Disini perlu diciptakan komunikasi dua arah antara pimpinan dan pengawas unit setempat.

b. Audit Eksternal

Audit eksternal merupakan kegiatan pemeriksaan/penilaian yang dilakukan oleh Lembaga Audit independen yang telah ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi berdasarkan permohonan perusahaan, dimana bertujuan untuk menunjukkan penilaian terhadap sistem manajemen K3 di perusahaan secara obyektif dan menyeluruh sehingga diperoleh pengakuan dari pemerintah atas penerapan SMK3 di perusahaan. Audit eksternal wajib bagi perusahaan yang mempunyai potensi bahaya tinggi, dimana yang dimaksud perusahaan ini adalah perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan, minyak dan gas bumi.

Fungsi audit eksternal ini sebagai umpan balik yang mendukung dalam perkembangan pertumbuhan serta peningkatan kualitas SMK3 yang ada di perusahaan. Kegiatan audit SMK3 ini sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tapi bagaimanapun juga kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi perusahaan tersebut. Adapun tujuan audit SMK3 adalah untuk membuktikan dan mengukur besarnya keberhasilan pelaksanaan dan penerapan SMK3 di tempat kerja. Pelaksanaan audit eksternal terhadap perusahaan, secara garis besar adalah:

a) Memberitahukan kepada perusahaan yang akan diaudit; b) Pertemuan pra audit; c) Kunjungan ke lapangan untuk orientasi

Page 64: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

59

d) Wawancara pada manajemen e) Verifikasi semua informasi hasil wawancara; f) Pemeriksaan dokumen; g) Wawancara pada tenaga kerja/ karyawan. h) Verifikasi kondisi fisik di lapangan; i) Pertemuan penutup (close of meeting).

Manfaat audit eskternal antara lain:

a) Memberikan suatu evaluasi tentang pelaksanaan K3 di perusahaan

b) Memberikan tata cara penyelenggaraan sistem pengawasan mandiri yang terus menerus terhadap sumber bahaya potensial dan K3 di perusahaan.

c) Memberikan indikator bagi kinerja tenaga kerja bahwa pihak manajemen memperhatikan keadaan mereka terutama dalam hal pemenuhan syarat K3 termasuk pembinaan dan pelatihan K3 guna peningkatan keahlian dan ketrampilan.

d) Memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang hubungan kerja menuju efisiensi secara menyeluruh.

e) Membangkitkan daya saing positif pada setiap perusahaan untuk menjadi yang terbaik dalam bidang K3.

f) Menambah kemampuan untuk memprediksi dan menganalisa potensi-potensi bahaya yang biasa menimbulkan kerugian perusahaan.

g) Menurunkan kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan, penyakit akibat kerja dan kerugian-kerugian lainnya dengan menghindarkan inefisiensi manajemen secara menyeluruh.

h) Bagi perusahaan yang berhasil meraih kategori memuaskan dimungkinkan mendapatkan penghargaan berupa sertifikat dan bendera emas yang bisa dipasang di perusahaan sehingga:

- Menimbulkan rasa bangga manajemen dan tenaga kerja

- Menimbulkan rasa kagum masyarakat. - Sebagai penambah spirit kompetitif perusahaan. - Mendapatkan nama dari pemerintah

Page 65: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

60

Mekanisme Audit

Mekanisme pelaksanaan audit SMK3 yang dilaksanakan oleh lembaga audit adalah sebagai berikut:

a. Perusahaan yang telah menerapkan SMK3 dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan audit kepada Direktur Jenderal Binwasnaker melalui Kepala Dinas yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan tingkat propinsi/kabupaten/kota setempat.

b. Permohonan dari perusahaan diinvetarisasi dan dievaluasi, bagi perusahaan-perusahaan yang memenuhi kriteria untuk diaudit selanjutnya disampaikan kepada Lembaga Audit sebagai bahan rencana tahunan audit. Selain itu unit yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan tingkat propinsi/kabupaten/kota mengajukan daftar perusahaan kepada Direktur Jenderal Binwasnaker, guna penetapan perusahaan yang dinilai wajib diaudit.

c. Badan audit menyusun rencana tahunan berdasarkan bahan yang telah diterima dari Kemenakertrans atau informasi dari instansi-instansi yang dapat percaya untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Binwasnaker guna mendapatkan persetujuan. Usulan rencana tahunan audit dapat disetujui bilamana sesuai dengan kriteria penilaian, usulan rencana tahunan audit dapat ditolak bilamana tidak sesuai dengan kriteria penilaian, susulan yang ditolak dikembalikan kepada lembaga audit untuk penyusunan ulang rencana tahunan audit dan segera disampaikan kembali kepada Direktur Jenderal Binwasnaker untuk mendapatkan persetujuan.

d. Direktur Jenderal Binwasnaker mengirimkan keputusan rencana tahunan audit yang telah disetujui kepada badan audit dan salinannya disampaikan kepada Kepala unit yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang ketenagakerjaan tingkat propinsi/kabupaten/kota serta perusahaan yang akan diaudit oleh lembaga audit.

e. Lembaga audit mengkonfirmasikan rencana audit kepada setiap perusahaan yang terdaftar dalam rencana tahunan audit apabila perusahaan setuju atas rencana tersebut segera mengkonfirmasikan kembali kepada lembaga audit guna persiapan pelaksanaan audit.

Page 66: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

61

f. Lembaga audit yang akan melaksanakan audit terlebih

dahulu harus memberitahukan rencana pelaksanaan audit kepada Kepala Dinas yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Ketenagakerjaan tingkat propinsi/kabupaten/kota yang harus dipantau oleh pegawai pengawas setempat. Setelah selesai melaksanakan audit, Badan audit segera menyusun laporan audit sesuai dengan formulir laporan audit (lampiran III PP No. 50 Tahun 2012) untuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Binwasnaker dengan tembusan kepada perusahaan yang bersangkutan.

g. Direktur Jenderal Binwasnaker melakukan evaluasi dan penilaian hasil audit, berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian Direktur Jenderal Binwasnaker menerbitkan sertifikat dan memberikan penghargaan berupa bendera sesuai dengan tingkat pemenuhan terhadap kriteria audit dan disampaikan kepada perusahaan yang bersangkutan.

h. Bagi perusahaan yang berdasarkan hasil evaluasi ditemukan adanya pelanggaran atas peraturan perundangan, Dirjen Binwasnaker dapat mengambil tindakan baik berbentuk pembinaan.

Inspeksi K3 Salah satu kegiatan lain dalam pengukuran yaitu,

inspeksi dimana mengandung pengertian yaitu kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk memeriksa kelengkapan secara teknis dari suatu tempat atau plant. Sedangkan inspeksi K3 yaitu merupakan pengujian secara detail dari suatu obyek seperti tempat kerja yang khusus, departemen atau bagian, unit, mesin, instalasi ataupun proses. Hal tersebut bertujuan memastikan bahwa setiap potensi bahaya diidentifikasi secara tepat dan untuk mengetahui prioritas tindakan yang diambil.

Pada kamus besar bahasa Indonesia secara terminologi bahwa inspeksi adalah pemeriksaan dengan saksama pemeriksaan secara langsung tentang pelaksanaan peraturan, tugas. Inspeksi dimanfaatkan disegala bidang ilmu termasuk K3 untuk memastikan upaya dan program keselamatan berjalan secara berkesinambungan. Inspeksi K3 sangat berperan dalam mengidentifikasi dan mengontrol bahaya

Page 67: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

62

ditempat kerja maupun dirumah sebelum menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Ada beberapa tipe yang didasarkan atas periode pelaksanaan: Tabel 4.1 Tipe Inspeksi K3

No. Tipe Pelaku Frekuensi 1. Terus

menerus Supervisor

tingkat atas Pekerja yang

terlatih

Tidak terjadual

2. Periodik Ahli atau profesional yang terlatih

Terjadual pada saat yang tepat

3. Jarang Manajemen puncak atau menengah

Sesuai dengan kebutuhan

Berapa seringnya kegiatan inspeksi dilaksanakan

tergantung dari berbagai aspek, yaitu antara lain: a. Potensi kecelakaan; semakin besar potensi kecelakaan

terjadi semakin sering dilakukan inspeksi. b. Sejarah kecelakaan; Hal ini dapat dilihat pada riwayat

kecelakaan masa lalu mengacu pada catatan perawatan, produksi, laporan penyelidikan kecelakaan, dan laporan inspeksi.

c. Persyaratan peralatan; mengacu pada petunjuk dari peralatan manufaktur.

d. Usia peralatan; semakin lama usia dari suatu peralatan semakin sering dilakukan inspeksi.

e. Persyaratan hukum; hasil perundingan dengan departemen yang sesuai.

Setelah dijelaskan pengertian audit dan inspeksi di atas,

dimana keduanya merupakan kegiatan pengukuran dan pemeriksaan. Kegiatan tersebut berbeda, baik dalam pendekatannya maupun metode penerapanannya meskipun masing-masing kegiatan dimaksudkan untuk memperlihatkan kelemahan yang berpotensi menimbulkan bahaya, kerusakan harta ataupun kecelakaan. Untuk itu kita perlu mengetahui perbedaannya agar lebih jelas dalam pengertian maupun penafsirannya. Hal tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut ini.

Page 68: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

63

Tabel 4.2 Perbedaan Audit K3 dan Inspeksi K3

No. AUDIT SMK3 INSPEKSI K3 1. Upaya mengukur efektivitas

dari pelaksanaan suatu sistem

Upaya menemukan kesesuaian dari suatu obyek

2. Difokuskan terhadap suatu sistem

Difokuskan terhadap suatu obyek

3. Penekanan terhadap proses Penekanan terhadap hasil akhir

4. Metode pelaksanaan: tinjauan ulang, verifikasi dan observasi

Metode pelaksanaan: dengan pengujian secara teknis dan mendetil

5. Jangka panjang Jangka panjang

Audit K3 lebih ditekankan sebagai upaya untuk

mengukur efektivitas dari suatu sistem. Sedangkan inspeksi mengupayakan untuk menemukan kesesuaian dari suatu obyek berdasarkan standar tertentu. Audit difokuskan terhadap seluruh sistem K3 yang ada di perusahaan (keseluruhan area) dimana kegiatannya menekankan terhadap suatu proses. Sedangkan inspeksi terfokus pada aspek-aspek tertentu yang berupa obyek dimana tidak menekankan pada prosesnya tetapi hasil akhir sehingga hasilnya sangat detail karena mengacu pada kesesuaian terhadap standar.

Inspeksi K3 harus dilakukan lebih sering dibandingkan audit SMK3 (safety audit), karena bersifat mencari identifikasi terhadap bahaya, maka potensi bahaya dapat diketahui lebih awal sehingga tindakan dapat diambil segera. Sedangkan untuk audit membutuhkan persiapan-persiapan yang cukup lama yang meliputi keseluruhan aspek yang ada di area/ plant sehingga audit dilakukan tahunan atau paling banyak 2 kali dalam setahun dan idealnya jika dilakukan setahun sekali. Audit SMK3 baik internal maupun internal berdasarkan PP No. 50 meliputi:

Page 69: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

64

a. Pembangunan dan terjaminnya pelaksanaan komitmen; b. Pembuatan dan pendokumentasian rencana K3; c. Pengendalian perancangan dan peninjauan kontrak; d. Pengendalian dokumen; e. Pembelian dan pengendalian produk; f. Keamanan bekerja berdasarkan SMK3; g. Standar pemantauan; h. Pelaporan dan perbaikan kekurangan; i. Pengelolaan material dan perpindahannya; j. Pengumpulan dan penggunaan data; k. Pemeriksaan SMK3; dan l. Pengembangan keterampilan dan kemampuan.

Inpeksi adalah pengecekan paling populer dalam

masyarakat, salah satu contoh Sidak (jenis inspeksi mendadak/surprise inspection) yang biasanya dilakukan oleh petinggi pemerintahan untuk menemukan ketidaksesuaian dan menimbulkan efek psikososial yang efektif. Pada peraturan pemerintah inspeksi tempat kerja diatur dalam Permenaker nomor 05 Tahun 1996 tentang SMK3 pada lampiran I: Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K3. Dijelaskan bahwa perusahaan harus menetapkan dan memelihara prosedur inspeksi, pengujian dan pemantauan yang berkaitan dengan tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja, frekuensi inspeksi dan pengujian harus sesuai dengan obyeknya.

Perlu diingat bahwa inspeksi memiliki perbedaan secara konsep dengan audit. Inspeksi lebih cenderung menangkap gap/temuan bersifat lokal atau sesaat berupa kondisi tidak aman maupun perilaku tidak aman. Sedangkan audit yang berasal dari kata audi (mendengarkan) menyelesaikan temuan secara sistemik mulai dari kebijakan/policy, standar operasional hingga pada penerapan. Inspeksi adalah sistem yang baik untuk menemukan suatu masalah dan menaksir jumlah risiko sebelum terjadi accident dan kerugian lain yang dapat muncul. (Bird, Frank E. and George L. Germain, 1990). Inspeksi K3 adalah suatu proses untuk menemukan potensi bahaya yang ada ditempat kerja untuk mencegah terjadinya kerugian maupun kecelakaan di tempat kerja dalam penerapan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

Page 70: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

65

Tahapan pelaksanaan inspeksi dilakukan dengan

konsep managemen PDCA (Plan – Do – Check – Action). 1. Plan atau Perencanaan Inspeksi, dengan membuat

persiapan-persiapan inspeksi seperti menentukan jenis inspeksi, frekuensi inspeksi, lokasi/area tempat kerja, dan formulir inspeksi atau inspection checklist.

2. Do atau Pelaksanaan Inspeksi, befokuslah pada area yang telah ditentukan dan periksa bahwa seluruh isi checklist inspeksi telah diperikasa.

3. Check atau Pelaporan Inspeksi dilakukan melalui suatu alat atau sarana yang dapat digunakan sebagai bahan informasi dan komunikasi yang efektif.

4. Action atau Tindak lanjut atau Pemantauan dengan membuat skala prioritas upaya-upaya perbaikan yang harus dikerjakan dan memantau program perbaikan dan anggaran biaya hingga implementasi perbaikan selesai.

Tujuan, Jenis dan Manfaat Inspeksi Program K3 Tujuan Inspeksi Program K3 a) Sebagai upaya melakukan pengendalian dan pengawasan

terhadap sumber-sumber bahaya K3. b) Inspeksi dilakukan untuk menjamin agar setiap tempat

kerja berjalan sesuai dengan UU, standart, norma maupun petunjuk teknis yang berkaitan dengan bidang K3 yang ditetapkan baik oleh pemerintah maupun kebijakan perusahaan.

c) inspeksi secara regular dan khusus akan dapat digunakan sebagai bahan diskusi dengan TK terhadap isu-isu K3 yang sedang dihadapi. TK merupakan orang yang paling mengenal terhadap aspek kerja, peralatan, mesin-mesin dan proses operasional di tempat kerja sehingga mereka merupakan sumber informasi yang berharaga. dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang lancar antara manajemen dengan TK diharapkan dapat memperbaiki performansi atau kinerja K3 di perusahaan.

Jenis Inspeksi Program K3 Jenis inspeksi pada umumnya meliputi : 1. Inspeksi Informal 2. Inspeksi Terencana

a. Inspeksi Rutin / Umum

Page 71: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

66

Terhadap sumber-sumber bahaya (Hazard) di tempat kerja secara menyeluruh

b. Inspeksi Khusus Terhadap objek-objek atau area tertentu

mempunyai resiko tinggi terhadap kerugian dan kecelakaan kerja

Dilakukan berdasarkan adanya keluhan atau komplain dari tenaga kerja di suatu unit kerja.

Dilakukan berdasarkan adanya permintaan atau instruksi dari pengurus perusahaan.

INSPEKSI INFORMAL a) Merupakan inspeksi yang tidak terencana b) Inspeksi yang bersifat sederhana c) Dilakukan atas kesadaran orang-orang yang menemukan

atau melihat masalah K3 di dalam pekerjaanya sehari – hari

d) Jika ditemukan masalah maka langsung dapat dideteksi, dilaporkan dan segera dapat dilakukan tindakan korektif.

e) Keterbatasan : Inspeksi tidak dilakukan secara sistematik sehingga tidak bisa mencakup gambaran permasalahan secara keseluruhan.

f) Akan sangat efektif bila inspeksi informal ini dijadikan kebijakan manajemen.

g) Masalah-masalah yang ditemukan langsung dapat didokumentasikan berupa catatan singkat / foto sesuai prosedur dan di buat laporan secara sederhana.

INSPEKSI RUTIN/UMUM a) Direncanakan dengan cara WALK-THROUGH SURVEY

keseluruh area kerja dan bersifat komprehensif b) Jadwal pelaksanakan rutin ( Sudah ditentukan : 1x bulan) c) Dilakukan bersama-sama ahli K3 atau perwakilan tenaga

kerja dengan pihak manajemen. d) Bagi perusahaan yang tidak memiliki ahli K3 sendiri, dapat

menggunakan ahli K3 dari luar perusahaan yang akan membantu memberikan saran-saran tentang penanganan masalah-masalah K3 di tempat kerja.

e) Pelaksanaan Inspeksi terhadap sumber-sumber bahaya pada area khusus sebaiknya dilakukan dengan melibatkan seseorang yang mempunyai keahlian khusus.

Page 72: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

67

f) Hasil yang ditemukan segera ditindak lanjuti, dan setiap

permasalahan yang telah diidentifikasi dari hasil survey harus selalu tercatat dan dibukukan.

g) Setiap laporan inspeksi harus inspeksi harus ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan inspeksi

h) Hasil inspeksi yang telah ditulis dalam bentuk laporan harus disampaiakan kepada pihak manajemen, sehingga langkah perbaikan segera dilakukan.

INSPEKSI KHUSUS

Direncanakan hanya untuk diarahakan kepada kondisi-kondisi tertentu, seperti: Mesin-mesin, alat kerja dan tempat-tempat khusus yang meiliki resiko kerja tinggi. Langkah dalam membuat daftar inventarisasi objek inspeksi khusus adalah : a) Kategorikan dan buat daftar objek yang dianggap penting

& krusial di perusahaan b) Rencanakan atau gambarkan area yang menjadi tanggung

jawab masing-masing unit kerja c) Susun daftar inventarisasi dengan baik dan terstruktur. d) Buatlah Recordkeeping : Identifikasi setiap mesin &

peralatan, indikasi apa yang akan di inspeksi, identifikasi siapa petugas dan penanggung jawab inspeksi n berapa sering dilakukan inspeksi.

Manfaat Inspeksi Program K3 a) Sebagai sarana feedback, yaitu : komunikasi dan interaksi

pekerja dengan pihak manajemen mengenai K3 b) Sebagai sarana motivasi pekerja, yaitu : meningkatkan

kesadaran pekerja akan pentingnya K3 c) Penilaian tingkat kesadaran keselamatan kerja di

lingkungan perusahaan d) Sebagai sarana pengumpulan data e) Sebagai sarana evaluasi standar keselamatan kerja,

sehingga dapat diketahui tingkat efektivitas dan efisiensi dari standar sebelumnya.

Page 73: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

68

Langkah-langkah Pelaksanaan Inspeksi Program K3 di Tempat Kerja Tabel4.3 Tahapan Pelaksanaan Inspeksi K3

Tahapan Langkah Kerja

Tahap Persiapan

1. Mulai dengan sikap & perilaku positif 2. Rencanakan inspeksi 3. Tentukan apa yang dilihat & pahami apa yang akan

dicari 4. Buat checklist & siapkan peralatan serta bahan

inspesksi. 5. Lihat laporan inspeksi sebelumnya

Pelaksanaan Inspeksi

1. Berpedoman pada peta pabrik ( Work place mapping ) & checklist

2. Cek setiap point checklist 3. Ambil tindakan perbaikan sementara bila ada masalah

K3 4. Jelaskan hasil temuan 5. Klasifikasikan hazard & tentukan faktor penyebab.

Pengembangan Upaya Perbaikan

Perlu melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kerugian nyata. Upaya pengendalian dapat terus dikembangkan dari waktu ke waktu sampai ditemukan sistem pengendalian yang efektif.

Tindakan Korektif

1. Membuat skala prioritas upaya-upaya perbaikan yang harus dikerjakan

2. Monitoring terhadap program perbaikan dan anggaran beaya sampai implementasi perbaikan selesai

3. Verifikasi/pembuktian bahwa tindakan perbaikan dimulai sesuai jadwal yang telah direncanakan.

4. Monitoring selama pengembangan tindakan korektif 5. Lakukan uji kelayakan setelah selesai implementasi

sarana perbaikan

Laporan Inspeksi

Suatu alat atau sarana yang dapat digunakan sebagai bahan informasi dan komunikasi yang efektif .

Review 1. Lakukan tindakan review terhadap implementasi sarana perbaikan secara

2. Berkala untuk memastikan bahwa tidak ada masalah lain yang ditimbulkan.

Kualifikasi Personil Inspektor K3 a) Mempunyai pengetahuan tentang obyek yang akan

diperiksa b) Mempunyai pengetahuan tentang syarat-syarat K3 serta

peraturan yang berkaitan c) Dapat berkomunikasi secara baik d) Memiliki integritas yang tinggi e) Mengetahui prosedur inspeksi K3

Page 74: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

69

Penetapan Kriteria Audit Tiap Tingkat Pencapaian Penerapan K3 Kriteria Audit K3 1. Pembangunan Dan Pemeliharaan Komitmen 1.1 Kebijakan K3 1.1.1 Terdapat kebijakan K3 yang tertulis, bertanggal,

ditandatangani oleh pengusaha atau pengurus, secara jelas menyatakan tujuan dan sasaran K3 serta komitmen terhadap peningkatan K3.

1.1.2 Kebijakan disusun oleh pengusaha dan/atau pengurus setelah melalui proses konsultasi dengan wakil tenaga kerja.

1.1.3 Perusahaan mengkomunikasikan kebijakan K3 kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan, dan pemasok dengan tata cara yang tepat.

1.1.4 Kebijakan khusus dibuat untuk masalah K3 yang bersifat khusus.

1.1.5 Kebijakan K3 dan kebijakan khusus lainnya ditinjau ulang secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam perusahaan dan dalam peraturan perundang-undangan.

1.2 Tanggung Jawab dan Wewenang Untuk Bertindak 1.2.1 Tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil

tindakan dan melaporkan kepada semua pihak yang terkait dalam perusahaan di bidang K3 telah ditetapkan, diinformasikan dan didokumentasikan.

1.2.2 Penunjukan penanggung jawab K3 harus sesuai peraturan perundang-undangan. 1.2.3 Pimpinan unit kerja dalam suatu perusahaan

bertanggung jawab atas kinerja K3 pada unit kerjanya. 1.2.4 Pengusaha atau pengurus bertanggung jawab secara

penuh untuk menjamin pelaksanaan SMK3. 1.2.5 Petugas yang bertanggung jawab untuk penanganan

keadaan darurat telah ditetapkan dan mendapatkan pelatihan.

1.2.6 Perusahaan mendapatkan saran-saran dari para ahli di bidang K3 yang berasal dari dalam dan/atau luar perusahaan.

Page 75: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

70

1.2.7 Kinerja K3 termuat dalam laporan tahunan perusahaan

atau laporan lain yang setingkat. 1.3 Tinjauan dan Evaluasi 1.3.1 Tinjauan terhadap penerapan SMK3 meliputi

kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi telah dilakukan, dicatat dan didokumentasikan.

1.3.2 Hasil tinjauan dimasukkan dalam perencanaan tindakan manajemen.

1.3.3 Pengurus harus meninjau ulang pelaksanaan SMK3 secara berkala untuk menilai kesesuaian dan efektivitas SMK3.

1.4 Keterlibatan dan Konsultasi dengan Tenaga Kerja 1.4.1 Keterlibatan dan penjadwalan konsultasi tenaga kerja

dengan wakil perusahaan didokumentasikan dan disebarluaskan ke seluruh tenaga kerja.

1.4.2 Terdapat prosedur yang memudahkan konsultasi mengenai perubahan-perubahan yang mempunyai implikasi terhadap K3.

1.4.3 Perusahaan telah membentuk P2K3 Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

1.4.4 Ketua P2K3 adalah pimpinan puncak atau pengurus. 1.4.5 Sekretaris P2K3 adalah ahli K3 sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. 1.4.6 P2K3 menitikberatkan kegiatan pada pengembangan

kebijakan dan prosedur mengendalikan risiko. 1.4.7 Susunan pengurus P2K3 didokumentasikan dan

diinformasikan kepada tenaga kerja. 1.4.8 P2K3 mengadakan pertemuan secara teratur dan

hasilnya disebarluaskan di tempat kerja. 1.4.9 P2K3 melaporkan kegiatannya secara teratur sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. 1.4.10 Dibentuk kelompok-kelompok kerja dan dipilih dari

wakil-wakil tenaga kerja yang ditunjuk sebagai penanggung jawab K3 di tempat kerjanya dan kepadanya diberikan pelatihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 76: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

71

1.4.11 Susunan kelompok-kelompok kerja yang telah

terbentuk didokumentasikan dan diinformasikan kepada tenaga kerja.

2. Pembuatan dan Pendokumentasian Rencana K3 2.1 Rencana strategi K3 2.1.1 Terdapat prosedur terdokumentasi untuk identifikasi

potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko K3. 2.1.2 Identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan

pengendalian risiko K3 sebagai rencana strategi K3 dilakukan oleh petugas yang berkompeten.

2.1.3 Rencana strategi K3 sekurang-kurangya berdasarkan tinjauan awal, identifikasi potensi bahaya, penilaian, pengendalian risiko, dan peraturan perundang-undangan serta informasi K3 lain baik dari dalam maupun luar perusahaan.

2.1.4 Rencana strategi K3 yang telah ditetapkan digunakan untuk mengendalikan risiko K3 dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang dapat diukur dan menjadi prioritas serta menyediakan sumber daya.

2.1.5 Rencana kerja dan rencana khusus yang berkaitan dengan produk, proses, proyek atau tempat kerja tertentu telah dibuat dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang dapat diukur, menetapkan waktu pencapaian dan menyediakan sumber daya.

2.1.6 Rencana K3 diselaraskan dengan rencana sistem manajemen perusahaan.

2.2 Manual SMK3 2.2.1 Manual SMK3 meliputi kebijakan, tujuan, rencana,

prosedur K3, instruksi kerja, formulir, catatan dan tanggung jawab serta wewenang tanggung jawab K3 untuk semua tingkatan dalam perusahaan.

2.2.2 Terdapat manual khusus yang berkaitan dengan produk, proses, atau tempat kerja tertentu.

2.2.3 Manual SMK3 mudah didapat oleh semua personil dalam perusahaan sesuai kebutuhan.

2.3 Peraturan perundangan dan persyaratan lain di bidang

K3

Page 77: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

72

2.3.1 Terdapat prosedur yang terdokumentasi untuk

mengidentifikasi, memperoleh, memelihara dan memahami peraturan perundang-undangan, standar, pedoman teknis, dan persyaratan lain yang relevan di bidang K3 untuk seluruh tenaga kerja di perusahaan.

2.3.2 Penanggung jawab untuk memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru mengenai peraturan perundangan, standar, pedoman teknis, dan persyaratan lain telah ditetapkan.

2.3.3 Persyaratan pada peraturan perundang-undangan, standar, pedoman teknis, dan persyaratan lain yang relevan di bidang K3 dimasukkan pada prosedur-prosedur dan petunjuk-petunjuk kerja.

2.3.4 Perubahan pada peraturan perundang-undangan, standar, pedoman teknis, dan persyaratan lain yang relevan di bidang K3 digunakan untuk peninjauan prosedur-prosedur dan petunjuk-petunjuk kerja.

2.4 Informasi K3 2.4.1 Informasi yang dibutuhkan mengenai kegiatan K3

disebarluaskan secara sistematis kepada seluruh tenaga kerja, tamu, kontraktor, pelanggan, dan pemasok.

3. Pengendalian Perancangan dan Peninjauan Kontrak 3.1 Pengendalian Perancangan 3.1.1 Prosedur yang terdokumentasi mempertimbangkan

identifikasi potensi bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko yang dilakukan pada tahap perancangan dan modifikasi.

3.1.2 Prosedur, instruksi kerja dalam penggunaan produk, pengoperasian mesin dan peralatan, instalasi, pesawat atau proses serta informasi lainnya yang berkaitan dengan K3 telah dikembangkan selama perancangan dan/atau modifikasi.

3.1.3 Petugas yang berkompeten melakukan verifikasi bahwa perancangan dan/atau modifikasi memenuhi persyaratan K3 yang ditetapkan sebelum penggunaan hasil rancangan.

3.1.4 Semua perubahan dan modifikasi perancangan yang mempunyai implikasi terhadap K3 diidentifikasikan,

Page 78: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

73

didokumentasikan, ditinjau ulang dan disetujui oleh petugas yang berwenang sebelum pelaksanaan.

3.2 Peninjauan Kontrak 3.2.1 Prosedur yang terdokumentasi harus mampu

mengidentifikasi bahaya dan menilai risiko K3 bagi tenaga kerja, lingkungan, dan masyarakat, di mana prosedur tersebut digunakan pada saat memasok barang dan jasa dalam suatu kontrak.

3.2.2 Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dilakukan pada tinjauan kontrak oleh petugas yang berkompeten.

3.2.3 Kontrak ditinjau ulang untuk menjamin bahwa pemasok dapat memenuhi persyaratan K3 bagi pelanggan.

3.2.4 Catatan tinjauan kontrak dipelihara dan didokumentasikan.

4. Pengendalian Dokumen 4.1 Persetujuan, Pengeluaran dan Pengendalian Dokumen 4.1.1 Dokumen K3 mempunyai identifikasi status,

wewenang, tanggal pengeluaran dan tanggal modifikasi.

4.1.2 Penerima distribusi dokumen tercantum dalam dokumen tersebut.

4.1.3 Dokumen K3 edisi terbaru disimpan secara sistematis pada tempat yang ditentukan.

4.1.4 Dokumen usang segera disingkirkan dari penggunaannya sedangkan dokumen usang yang disimpan untuk keperluan tertentu diberi tanda khusus.

4.2 Perubahan dan Modifikasi Dokumen 4.2.1 Terdapat sistem untuk membuat, menyetujui

perubahan terhadap dokumen K3. 4.2.2 Dalam hal terjadi perubahan diberikan alasan

terjadinya perubahan dan tertera dalam dokumen atau lampirannya dan menginformasikan kepada pihak terkait.

4.2.3 Terdapat prosedur pengendalian dokumen atau daftar seluruh dokumen yang mencantumkan status dari

Page 79: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

74

setiap dokumen tersebut, dalam upaya mencegah penggunaan dokumen yang usang.

5. Pembelian dan Pengendalian Produk 5.1 Spesifikasi Pembelian Barang dan Jasa 5.1.1 Terdapat prosedur yang terdokumentasi yang dapat

menjamin bahwa spesifikasi teknik dan informasi lain yang relevan dengan K3 telah diperiksa sebelum keputusan untuk membeli.

5.1.2 Spesifikasi pembelian untuk setiap sarana produksi, zat kimia atau jasa harus dilengkapi spesifikasi yang sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan dan standar K3.

5.1.3 Konsultasi dengan tenaga kerja yang kompeten pada saat keputusan pembelian, dilakukan untuk menetapkan persyaratan K3 yang dicantumkan dalam spesifikasi pembelian dan diinformasikan kepada tenaga kerja yang menggunakannya.

5.1.4 Kebutuhan pelatihan, pasokan alat pelindung diri dan perubahan terhadap prosedur kerja harus dipertimbangkan sebelum pembelian dan penggunaannya.

5.1.5 Persyaratan K3 dievaluasi dan menjadi pertimbangan dalam seleksi pembelian.

5.2 Sistem Verifikasi Barang dan Jasa Yang Telah Dibeli 5.2.1 Barang dan jasa yang dibeli diperiksa kesesuaiannya

dengan spesifikasi pembelian. 5.3 Pengendalian Barang dan Jasa Yang Dipasok Pelanggan 5.3.1 Barang dan jasa yang dipasok pelanggan, sebelum

digunakan terlebih dahulu diidentifikasi potensi bahaya dan dinilai risikonya dan catatan tersebut dipelihara untuk memeriksa prosedur.

5.4 Kemampuan Telusur Produk 5.4.1 Semua produk yang digunakan dalam proses produksi

dapat diidentifikasi di seluruh tahapan produksi dan instalasi, jika terdapat potensi masalah K3.

Page 80: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

75

5.4.2 Terdapat prosedur yang terdokumentasi untuk

penelusuran produk yang telah terjual, jika terdapat potensi masalah K3 di dalam penggunaannya.

6. Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3 6.1 Sistem Kerja 6.1.1 Petugas yang kompeten telah mengidentifikasi bahaya,

menilai dan mengendalikan risiko yang timbul dari suatu proses kerja.

6.1.2 Apabila upaya pengendalian risiko diperlukan, maka upaya tersebut ditetapkan melalui tingkat pengendalian.

6.1.3 Terdapat prosedur atau petunjuk kerja yang terdokumentasi untuk mengendalikan risiko yang teridentifikasi dan dibuat atas dasar masukan dari personil yang kompeten serta tenaga kerja yang terkait dan disahkan oleh orang yang berwenang di perusahaan.

6.1.4 Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, standar serta pedoman teknis yang relevan diperhatikan pada saat mengembangkan atau melakukan modifikasi atau petunjuk kerja.

6.1.5 Terdapat sistem izin kerja untuk tugas berisiko tinggi. 6.1.6 Alat pelindung diri disediakan sesuai kebutuhan dan

digunakan secara benar serta selalu dipelihara dalam kondisi layak pakai.

6.1.7 Alat pelindung diri yang digunakan dipastikan telah dinyatakan layak pakai sesuai dengan standar dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.1.8 Upaya pengendalian risiko dievaluasi secara berkala apabila terjadi ketidaksesuaian atau perubahan pada proses kerja.

6.2 Pengawasan 6.2.1 Dilakukan pengawasan untuk menjamin bahwa setiap

pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditentukan.

6.2.2 Setiap orang diawasi sesuai dengan tingkat kemampuan dan tingkat risiko tugas.

6.2.3 Pengawas/penyelia ikut serta dalam identifikasi bahaya dan membuat upaya pengendalian.

Page 81: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

76

6.2.4 Pengawas/penyelia diikutsertakan dalam melakukan

penyelidikan dan pembuatan laporan terhadap terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta wajib menyerahkan laporan dan saran-saran kepada pengusaha atau pengurus.

6.2.5 Pengawas/penyelia ikut serta dalam proses konsultasi. 6.3 Seleksi dan Penempatan Personil 6.3.1 Persyaratan tugas tertentu termasuk persyaratan

kesehatan diidentifikasi dan dipakai untuk menyeleksi dan menempatkan tenaga kerja.

6.3.2 Penugasan pekerjaan harus berdasarkan kemampuan dan keterampilan serta kewenangan yang dimiliki.

6.4 Area Terbatas 6.4.1 Pengusaha atau pengurus melakukan penilaian risiko

lingkungan kerja untuk mengetahui daerah-daerah yang memerlukan pembatasan izin masuk.

6.4.2 Terdapat pengendalian atas daerah/tempat dengan pembatasan izin masuk.

6.4.3 Tersedianya fasilitas dan layanan di tempat kerja sesuai dengan standar dan pedoman teknis.

6.4.4 Rambu-rambu K3 harus dipasang sesuai dengan standar dan pedoman teknis.

6.5 Pemeliharaan, Perbaikan, dan Perubahan Sarana

Produksi 6.5.1 Penjadualan pemeriksaan dan pemeliharaan sarana

produksi serta peralatan mencakup verifikasi alat-alat pengaman serta persyaratan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis yang relevan.

6.5.2 Semua catatan yang memuat data secara rinci dari kegiatan pemeriksaan, pemeliharaan, perbaikan dan perubahan yang dilakukan atas sarana dan peralatan produksi harus disimpan dan dipelihara.

6.5.3 Sarana dan peralatan produksi memiliki sertifikat yang masih berlaku sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan dan standar.

Page 82: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

77

6.5.4 Pemeriksaan, pemeliharaan, perawatan, perbaikan dan

setiap perubahan harus dilakukan petugas yang kompeten dan berwenang.

6.5.5 Terdapat prosedur untuk menjamin bahwa Jika terjadi perubahan terhadap sarana dan peralatan produksi, perubahan tersebut harus sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis yang relevan.

6.5.6 Terdapat prosedur permintaan pemeliharaan sarana dan peralatan produksi dengan kondisi K3 yang tidak memenuhi persyaratan dan perlu segera diperbaiki.

6.5.7 Terdapat sistem untuk penandaan bagi peralatan yang sudah tidak aman lagi untuk digunakan atau sudah tidak digunakan.

6.5.8 Apabila diperlukan dilakukan penerapan sistem penguncian pengoperasian (lock out system) untuk mencegah agar sarana produksi tidak dihidupkan sebelum saatnya.

6.5.9 Terdapat prosedur yang dapat menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja atau orang lain yang berada didekat sarana dan peralatan produksi pada saat proses pemeriksaan, pemeliharaan, perbaikan dan perubahan.

6.5.10 Terdapat penanggung jawab untuk menyetujui bahwa sarana dan peralatan produksi telah aman digunakan setelah proses pemeliharaan, perawatan, perbaikan atau perubahan.

6.6 Pelayanan 6.6.1 Apabila perusahaan dikontrak untuk menyediakan

pelayanan yang tunduk pada standar dan peraturan perundang-undangan mengenai K3, maka perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pelayanan memenuhi persyaratan.

6.6.2 Apabila perusahaan diberi pelayanan melalui kontrak, dan pelayanan tunduk pada standar dan peraturan perundang-undangan K3, maka perlu disusun prosedur untuk menjamin bahwa pelayanan memenuhi persyaratan.

6.7 Kesiapan Untuk Menangani Keadaan Darurat

Page 83: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

78

6.7.1 Keadaan darurat yang potensial di dalam dan/atau di

luar tempat kerja telah diidentifikasi dan prosedur keadaan darurat telah didokumentasikan dan diinformasikan agar diketahui oleh seluruh orang yang ada di tempat kerja.

6.7.2 Penyediaan alat/sarana dan prosedur keadaan darurat berdasarkan hasil identifikasi dan diuji serta ditinjau secara rutin oleh petugas yang berkompeten dan berwenang.

6.7.3 Tenaga kerja mendapat instruksi dan pelatihan mengenai prosedur keadaan darurat yang sesuai dengan tingkat risiko.

6.7.4 Petugas penanganan keadaan darurat ditetapkan dan diberikan pelatihan khusus serta diinformasikan kepada seluruh orang yang ada di tempat kerja.

6.7.5 Instruksi/prosedur keadaan darurat dan hubungan keadaan darurat diperlihatkan secara jelas dan menyolok serta diketahui oleh seluruh tenaga kerja di perusahaan.

6.7.6 Peralatan, dan sistem tanda bahaya keadaan darurat disediakan, diperiksa, diuji dan dipelihara secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis yang relevan.

6.7.7 Jenis, jumlah, penempatan dan kemudahan untuk mendapatkan alat keadaan darurat telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau standar dan dinilai oleh petugas yang berkompeten dan berwenang.

6.8 Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan 6.8.1 Perusahaan telah mengevaluasi alat P3K dan menjamin

bahwa sistem P3K yang ada memenuhi peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis.

6.8.2 Petugas P3K telah dilatih dan ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

6.9 Rencana dan Pemulihan Keadaan Darurat 6.9.1 Prosedur untuk pemulihan kondisi tenaga kerja

maupun sarana dan peralatan produksi yang mengalami kerusakan telah ditetapkan dan dapat diterapkan sesegera mungkin setelah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Page 84: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

79

7. Standar Pemantauan 7.1 Pemeriksaan Bahaya 7.1.1 Pemeriksaan/inspeksi terhadap tempat kerja dan cara

kerja dilaksanakan secara teratur. 7.1.2 Pemeriksaan/inspeksi dilaksanakan oleh petugas yang

berkompeten dan berwenang yang telah memperoleh pelatihan mengenai identifikasi bahaya.

7.1.3 Pemeriksaan/inspeksi mencari masukan dari tenaga kerja yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.

7.1.4 Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disusun untuk digunakan pada saat pemeriksaan/inspeksi.

7.1.5 Laporan pemeriksaan/inspeksi berisi rekomendasi untuk tindakan perbaikan dan diajukan kepada pengurus dan P2K3 sesuai dengan kebutuhan.

7.1.6 Pengusaha atau pengurus telah menetapkan penanggung jawab untuk pelaksanaan tindakan perbaikan dari hasil laporan pemeriksaan/inspeksi.

7.1.7 Tindakan perbaikan dari hasil laporan pemeriksaan/inspeksi dipantau untuk menentukan efektifitasnya.

7.2 Pemantauan/Pengukuran Lingkungan Kerja 7.2.1 Pemantauan/pengukuran lingkungan kerja

dilaksanakan secara teratur dan hasilnya didokumentasikan, dipelihara dan digunakan untuk penilaian dan pengendalian risiko.

7.2.2 Pemantauan/pengukuran lingkungan kerja meliputi faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikologi.

7.2.3 Pemantauan/pengukuran lingkungan kerja dilakukan oleh petugas atau pihak yang berkompeten dan berwenang dari dalam dan/atau luar perusahaan.

7.3 Peralatan Pemeriksaan/Inspeksi, Pengukuran dan

Pengujian 7.3.1 Terdapat prosedur yang terdokumentasi mengenai

identifikasi, kalibrasi, pemeliharaan dan penyimpanan untuk alat pemeriksaan, ukur dan uji mengenai K3.

7.3.2 Alat dipelihara dan dikalibrasi oleh petugas atau pihak yang berkompeten dan berwenang dari dalam dan/atau luar perusahaan.

Page 85: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

80

7.4 Pemantauan Kesehatan Tenaga Kerja 7.4.1 Dilakukan pemantauan kesehatan tenaga kerja yang

bekerja pada tempat kerja yang mengandung potensi bahaya tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7.4.2 Pengusaha atau pengurus telah melaksanakan identifikasi keadaan di mana pemeriksaan kesehatan tenaga kerja perlu dilakukan dan telah melaksanakan sistem untuk membantu pemeriksaan ini.

7.4.3 Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dilakukan oleh dokter pemeriksa yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan.

7.4.4 Perusahaan menyediakan pelayanan kesehatan kerja sesuai peraturan perundang-undangan.

7.4.5 Catatan mengenai pemantauan kesehatan tenaga kerja dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8. Pelaporan dan Perbaikan Kekurangan 8.1 Pelaporan Bahaya 8.1.1 Terdapat prosedur pelaporan bahaya yang

berhubungan dengan K3 dan prosedur ini diketahui oleh tenaga kerja.

8.2 Pelaporan Kecelakaan 8.2.1 Terdapat prosedur terdokumentasi yang menjamin

bahwa semua kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran atau peledakan serta kejadian berbahaya lainnya di tempat kerja dicatat dan dilaporkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8.3 Pemeriksaan dan pengkajian Kecelakaan 8.3.1 Tempat kerja/perusahaan mempunyai prosedur

pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

8.3.2 Pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan kerja dilakukan oleh petugas atau Ahli K3 yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan atau pihak lain yang berkompeten dan berwenang.

8.3.3 Laporan pemeriksaan dan pengkajian berisi tentang sebab dan akibat serta rekomendasi/saran dan jadwal waktu pelaksanaan usaha perbaikan.

Page 86: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

81

8.3.4 Penanggung jawab untuk melaksanakan tindakan

perbaikan atas laporan pemeriksaan dan pengkajian telah ditetapkan.

8.3.5 Tindakan perbaikan diinformasikan kepada tenaga kerja yang bekerja di tempat terjadinya kecelakaan.

8.3.6 Pelaksanaan tindakan perbaikan dipantau, didokumentasikan dan diinformasikan ke seluruh tenaga kerja.

8.4 Penanganan Masalah 8.4.1 Terdapat prosedur untuk menangani masalah

keselamatan dan kesehatan yang timbul dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Pengelolaan Material dan Perpindahannya 9.1 Penanganan Secara Manual dan Mekanis 9.1.1 Terdapat prosedur untuk mengidentifikasi potensi

bahaya dan menilai risiko yang berhubungan dengan penanganan secara manual dan mekanis.

9.1.2 Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dilaksanakan oleh petugas yang berkompeten dan berwenang.

9.1.3 Pengusaha atau pengurus menerapkan dan meninjau cara pengendalian risiko yang berhubungan dengan penanganan secara manual atau mekanis.

9.1.4 Terdapat prosedur untuk penanganan bahan meliputi metode pencegahan terhadap kerusakan, tumpahan dan/atau kebocoran.

9.2 Sistem Pengangkutan, Penyimpanan dan Pembuangan 9.2.1 Terdapat prosedur yang menjamin bahwa bahan

disimpan dan dipindahkan dengan cara yang aman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

9.2.2 Terdapat prosedur yang menjelaskan persyaratan pengendalian bahan yang dapat rusak atau kadaluarsa.

9.2.3 Terdapat prosedur yang menjamin bahwa bahan dibuang dengan cara yang aman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

9.3 Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya (BKB) 9.3.1 Perusahaan telah mendokumentasikan dan

menerapkan prosedur mengenai penyimpanan,

Page 87: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

82

penanganan dan pemindahan BKB sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis yang relevan.

9.3.2 Terdapat Lembar Data Keselamatan BKB (Material Safety Data Sheets) meliputi keterangan mengenai keselamatan bahan sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan dan dengan mudah dapat diperoleh.

9.3.3 Terdapat sistem untuk mengidentifikasi dan pemberian label secara jelas pada bahan kimia berbahaya.

9.3.4 Rambu peringatan bahaya terpasang sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan dan/atau standar yang relevan.

9.3.5 Penanganan BKB dilakukan oleh petugas yang berkompeten dan berwenang.

10. Pengumpulan Dan Penggunaan Data 10.1 Catatan K3 10.1.1 Pengusaha atau pengurus telah mendokumentasikan

dan menerapkan prosedur pelaksanaan identifikasi, pengumpulan, pengarsipan, pemeliharaan, penyimpanan dan penggantian catatan K3.

10.1.2 Peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman teknis K3 yang relevan dipelihara pada tempat yang mudah didapat.

10.1.3 Terdapat prosedur yang menentukan persyaratan untuk menjaga kerahasiaan catatan.

10.1.4 Catatan kompensasi kecelakaan dan rehabilitasi kesehatan tenaga kerja dipelihara.

10.2 Data dan Laporan K3 10.2.1 Data K3 yang terbaru dikumpulkan dan dianalisa. 10.2.2 Laporan rutin kinerja K3 dibuat dan disebarluaskan di

dalam tempat kerja.

11. Pemeriksaan SMK3 11.1 Audit Internal SMK3 11.1.1 Audit internal SMK3 yang terjadwal dilaksanakan

untuk memeriksa kesesuaian kegiatan perencanaan dan untuk menentukan efektifitas kegiatan tersebut.

Page 88: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

83

11.1.2 Audit internal SMK3 dilakukan oleh petugas yang

independen, berkompeten dan berwenang. 11.1.3 Laporan audit didistribusikan kepada pengusaha atau

pengurus dan petugas lain yang berkepentingan dan dipantau untuk menjamin dilakukannya tindakan perbaikan.

12. Pengembangan Keterampilan dan Kemampuan 12.1 Strategi Pelatihan 12.1.1 Analisis kebutuhan pelatihan K3 sesuai persyaratan

peraturan perundang-undangan telah dilakukan. 12.1.2 Rencana pelatihan K3 bagi semua tingkatan telah

disusun. 12.1.3 Jenis pelatihan K3 yang dilakukan harus disesuaikan

dengan kebutuhan untuk pengendalian potensi bahaya. 12.1.4 Pelatihan dilakukan oleh orang atau badan yang

berkompeten dan berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.

12.1.5 Terdapat fasilitas dan sumber daya memadai untuk pelaksanaan pelatihan yang efektif.

12.1.6 Pengusaha atau pengurus mendokumentasikan dan menyimpan catatan seluruh pelatihan.

12.1.7 Program pelatihan ditinjau secara teratur untuk menjamin agar tetap relevan dan efektif.

12.2 Pelatihan Bagi Manajemen dan Penyelia 12.2.1 Anggota manajemen eksekutif dan pengurus berperan

serta dalam pelatihan yang mencakup penjelasan tentang kewajiban hukum dan prinsip-prinsip serta pelaksanaan K3.

12.2.2 Manajer dan pengawas/penyelia menerima pelatihan yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka.

12.3 Pelatihan Bagi Tenaga Kerja 12.3.1 Pelatihan diberikan kepada semua tenaga kerja

termasuk tenaga kerja baru dan yang dipindahkan agar mereka dapat melaksanakan tugasnya secara aman.

12.3.2 Pelatihan diberikan kepada tenaga kerja apabila di tempat kerjanya terjadi perubahan sarana produksi atau proses.

Page 89: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

84

12.3.3 Pengusaha atau pengurus memberikan pelatihan

penyegaran kepada semua tenaga kerja. 12.4 Pelatihan Pengenalan dan Pelatihan Untuk Pengunjung

dan Kontraktor 12.4.1 Terdapat prosedur yang menetapkan persyaratan

untuk memberikan taklimat (briefing) kepada pengunjung dan mitra kerja guna menjamin K3.

12.5 Pelatihan Keahlian Khusus 12.5.1 Perusahaan mempunyai sistem yang menjamin

kepatuhan terhadap persyaratan lisensi atau kualifikasi sesuai dengan peraturan perundangan untuk melaksanakan tugas khusus, melaksanakan pekerjaan atau mengoperasikan peralatan.

Tabel 4.4 Kriteria Pada Tingkat Penerapan SMK3

NO ELEMEN TINGKAT

AWAL

TINGKAT TRANSISI (Seluruh

tingkat awal dan transisi)

TINGKAT LANJUTAN (Seluruh

tingkat awal, transisi dan

lanjutan) 1 2 3 4 5

1 Pembangunan dan pemeliharaan komitmen

1.1.1, 1.1.3, 1.2.2, 1.2.4, 1.2.5, 1.2.6, 1.3.3, 1.4.1, 1.4.3, 1.4.4, 1.4.5, 1.4.6, 1.4.7, 1.4.8, 1.4.9

1.1.2, 1.2.1, 1.2.3, 1.3.1, 1.4.2

1.1.4, 1.1.5, 1.2.7, 1.3.2, 1.4.10, 1.4.11

2 Strategi pendokumentasian

2.1.1, 2.4.1 2.1.2, 2.1.3, 2.1.4, 2.2.1, 2.3.1, 2.3.2, 2.3.4

2.1.5, 2.1.6, 2.2.2, 2.2.3, 2.3.3

3 Peninjauan ulang desain dan kontrak

3.1.1, 3.2.2 3.1.2, 3.1.3, 3.1.4, 3.2.1

3.2.3, 3.2.4

4 Pengendalian dokumen

4.1.1 4.1.2, 4.2.1 4.1.3, 4.1.4, 4.2.2, 4.2.3

5 Pembelian 5.1.1, 5.1.2, 5..2.1

5.1.3 5.1.4, 5.1.5, 5.3.1, 5.4.1, 5.4.2

6 Keamanan bekerja berdasarkan SMK3

6.1.1, 6.1.5, 6.1.6, 6.1.7, 6.2.1, 6.3.1, 6.3.2, 6.4.1, 6.4.2, 6.4.3, 6.4.4, 6.5.2, 6.5.3, 6.5.4, 6.5.7, 6.5.8,

6.1.2, 6.1.3, 6.1.4, 6.2.2, 6.2.3, 6.2.4, 6.2.5, 6.5.1, 6.5.5, 6.5.6, 6.5.10, 6.7.1, 6.7.2, 6.7.3, 6.7.5, 6.7.7

6.1.8, 6.6.1, 6.6.2, 6.9.1

Page 90: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

85

NO ELEMEN TINGKAT

AWAL

TINGKAT TRANSISI (Seluruh

tingkat awal dan transisi)

TINGKAT LANJUTAN (Seluruh

tingkat awal, transisi dan

lanjutan) 6.5.9, 6.7.4, 6.7.6, 6.8.1, 6.8.2

7 Standar pemantauan

7.1.1, 7.2.1, 7.2.2, 7.2.3, 7.4.1, 7.4.3, 7.4.4, 7.4.5

7.1.2, 7.1.3, 7.1.4, 7.1.5, 7.1.6, 7.1.7, 7.4.2

7.3.1, 7.3.2

8 Pelaporan dan perbaikan

8.3.1 8.1.1, 8.2.1, 8.3.2 8.3.3, 8.3.4, 8.3.5, 8.3.6, 8.4.1

9 Pengelolaan material dan perpindahannya

9.1.1, 9.1.2, 9.2.1, 9.2.3, 9.3.1, 9.3.3, 9.3.4

9.1.3, 9.1.4, 9.3.5 9.2.2, 9.3.2

10 Pengumpulan dan penggunaan jasa

10.1.1, 10.1.2, 10.2.1, 10.2.2

10.1.3, 10.1.4

11 Audit SMK3 11.1.1, 11.1.2, 11.1.3

12 Pengembangan keterampilan dan kemampuan

12.2.1, 12.2.2, 12.3.1, 12.5.1

12.1.2, 12.1.4, 12.1.5, 12.1.6, 12.3.2, 12.4.1

12.1.1, 12.1.3, 12.1.7, 12.3.3

Ketentuan Penilaian Hasil Audit K3 Penilaian hasil Audit SMK3 terdiri dari 3 kategori yaitu:

a. Kategori Tingkat awal Perusahaan yang memenuhi 64 (enam puluh empat) kriteria, kriteria tersebut sebagaimana tercantum dalam kolom 3 pada Tabel 3.3.

b. Kategori Tingkat Transisi Perusahaan yang memenuhi 122 (seratus dua puluh dua) kriteria, kriteria tersebut sebagaimana tercantum dalam kolom 3 dan kolom 4 pada Tabel 3.3.

c. Kategori Tingkat Lanjutan Perusahaan yang memenuhi 166 (seratus enam puluh enam) kriteria, kriteria tersebut sebagaimana tercantum dalam kolom 3, kolom 4, dan kolom 5 pada Tabel 3.3.

Tingkat penilaian penerapan SMK3 ditetapkan sebagai berikut:

1. Untuk tingkat pencapaian penerapan 0-59% termasuk tingkat penilaian penerapan kurang.

2. Untuk tingkat pencapaian penerapan 60-84% termasuk tingkat penilaian penerapan baik.

Page 91: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

86

3. Untuk tingkat pencapaian penerapan 85-100% termasuk tingkat penilaian penerapan memuaskan.

Tingkat penilaian penerapan SMK3 dapat dilihat pada Tabel 4.5 Tabel 4.5 Penilaian Tingkat Penerapan SMK3

No. Kategori

Perusahaan

Tingkat Pencapaian Penerapan

0-59% 60-84% 85-100%

1. Kategori tingkat awal (64 kriteria)

Tingkat Penilaian Penerapan Kurang

Tingkat Penilaian Penerapan Baik

Tingkat Penilaian Penerapan Memuaskan

2. Kategori tingkat transisi (122 kriteria)

Tingkat Penilaian Penerapan Kurang

Tingkat Penilaian Penerapan Baik

Tingkat Penilaian Penerapan Memuaskan

3. Kategori tingkat lanjutan (166 kriteria)

Tingkat Penilaian Penerapan Kurang

Tingkat Penilaian Penerapan Baik

Tingkat Penilaian Penerapan Memuaskan

Selain penilaian terhadap tingkat pencapaian

penerapan SMK3, juga dilakukan penilaian terhadap perusahaan berdasarkan kriteria yang menurut sifatnya dibagi atas 3 (tiga) kategori, yaitu:

1. Kategori Kritikal Temuan yang mengakibatkan fatality/kematian.

2. Kategori Mayor a) Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-

undangan; b) Tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3; dan c) Terdapat temuan minor untuk satu kriteria audit

di beberapa lokasi. 3. Kategori Minor

Ketidakkonsistenan dalam pemenuhan persyaratan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan acuan lainnya.

Dalam hal penilaian perusahaan termasuk kategori

kritikal atau mayor, maka dinilai belum berhasil menerapkan SMK3 dan penilaian tingkat penerapan SMK3 tidak mengacu pada Tabel 3

Page 92: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

87

Hasil Audit Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, maka perlu

dibuat laporan hasil audit. Bagi audit internal, draft laporan hendaknya dipresentasikan kepada manajemen. Pada kesempatan ini dapat diseleksi dan disusun kembali prioritas rencana perbaikan yang diusulkan berdasarkan hasil diskusi bersama. Isi pokok laporan suatu audit antara lain:

1) Hasil temuan ketidaksesuaian 2) Kelemahan unsur sistem yang perlu perbaikan apakah

itu perangkat keras, perangkat lunak atau manusia. 3) Saran perbaikan.

Susunan laporan terdiri dari:

a. Kesimpulan, menyatakan secara ringkas hasil audit menyeluruh. Isinya singkat, jelas, obyektif dan dapat menarik minat manajemen untuk membacanya. Orientasi pada kepentingan manajemen dan perusahaan serta segi positif diletakkan di depan sebelum mengemukakan kelemahan sistem. Perlu diingatkan bahwa tujuan audit adalah membantu pimpinan perusahaan untuk mengenali bahaya potensial dalam tempat kerja sebelum mengenali bahaya potensial dalam tempat kerja sebelum timbul gangguan operasi, kecelakaan, kebakaran, pencemaran, penghentian pabrik secara darurat dan bentuk insiden yang merugikan lainnya dan bukannya ditujukan untuk mencari kesalahan.

b. Pelaksanaan Audit, menjelaskan secara singkat tetapi cukup lengkap tentang pelaksanaan audit seperti misalnya lingkup audit dan daerah yang perlu perhatian khusus.

c. Temuan, menyajikan data tentang hasil audit secara lengkap yang berisi kekuatan dan kelemahan penerapan sistem manajemen K3.

d. Saran, berupa usulan untuk memperbaiki sistem, saran ini harus mempertimbangkan segi kepraktisan, perekonomian, kepentingan operasi dan keselamatan unit. Sedapat mungkin ditentukan juga prioritas saran untuk merumuskan rencana perbaikan yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang.

Page 93: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

88

e. Formulir laporan sesuai dengan lampiran III Peraturan

Pemerintah No. 50 Tahun 2012. Laporan audit eksternal didistribusikan oleh lembaga audit kepada:

a. Perusahaan yang dilakukan audit; b. Kemnakertrans c.q. Dirjen Binwasnaker; c. Lembaga audit; d. Gubernur/Bupati/Kadisnakertrans prov/kab/kota

Menyadari akan pentingnya penerapan Keselamatan

dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan atau suatu institusi, maka harus didukung oleh manajemen dan karyawan. Pengawasan dan kontrol terhadap sistem keselamatan dan kesehatan kerja harus dilakukan secara berkala sehingga penerapan sistem efektif dan efesien. Pengawasan dan inspeksi harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan memahami bagaimana alur pekerjaannya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan faktor penting dalam pelaksanaan proses produksi dalam suatu perusahaan. Manajemen dan seluruh karyawan bertanggungjawab atas K3 dilingkungan kerjanya. Untuk mencapai maksud diatas, maka salah satu kegiatannya adalah Inspeksi Keselamatan Kerja. Inspeksi Keselamatan dan Kesehatan Kerja mempunyai peranan penting di dalam program pencegahan kecelakaan.

Standar Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dimaksudkan untuk melindungi pekerja dari kemungkinan sakit akibat pekerjaan dan dari risiko kecelakaan kerja. Agar penerapannya berjalan efektif, audit (baik internal maupun eksternal) dan tinjauan manajemen harus dilakukan secara periodik.Agar penerapan SMK3 berjalan efektif, maka secara periodik perlu dilakukan efektivitasnya melalui audit internal dan tinjauan manajemen. Dari hasil audit SMK3 tersebut akan dapat diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap tentang status mutu pelaksanaan SMK3 yang selanjutnya dapat digunakan untuk perbaikan yang berkelanjutan.

Page 94: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

89

PENYAKIT AKIBAT KERJA dan SISTEM PELAPORAN

Industri dan produknya mempunyai dampak positif dan negatif kepada manusia. Pada satu sisi memberikan keuntungan berupa terciptanmya lapangan kerja, mempermudah komunikasi dan trasportasi serta akhirnya terjadi peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dipihak lain timbul dampak negatif karena pejanan bahan-bahan yang terjadi pada proses industri atau oleh karena produk-produk hasil industri tersebut. Pejanan bahan-bahan tersebut mempengaruhi kesehatan lingkungan antara lain berupa pencemaran air karena pembuangan limbah dari pabrik-pabrik, pencemaran udara dari bahan-bahan yang diolah atau karena asap pabrik yang paparannya terhadap manusia dapat menimbulkan penyakit.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) disebabkan oleh karena pejanan bahan kimia, dan biologis serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan penyakit utama penyebab cacat lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya dinegara-negara yang giat mengembangkan industri. Berbagai kelainan dan penyakit dapat timbul dan mengenai berbagai organ tubuh, seperti kelainan kulit, kelainan gastrointestinal kelainan mata serta penyakit, dan kelainan saluran nafas. Kelainan yang terjadi bervariasi, mulai dari yang ringan sampai kerusakan berat sehingga menimbulkan kecacatan pada penderitanya.

Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang

Keselamatan Kerja 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 tahun

1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Per.01/Men/1981 Tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja

Page 95: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

90 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia

No.333/Men/1989 Tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.

5. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.79/Men/2003 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja.

Ruang Lingkup 1. Pengertian Penyakit Akibat Kerja (PAK) 2. Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja (PAK) 3. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK) 4. Jenis Penyakit Akibat Kerja (PAK) 5. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja (PAK) 6. Pencegahan Dan Penatalaksanaan Penyakit Akibat

Kerja (PAK) 7. Pelaporan Penyakit Akibat Kerja (PAK)

Pengertian Pada berbagai kepustakaan ataupun peraturan

perundangan terdapat istilah Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, yang sebenarnya mempunyai pengertian yang sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Istilah Penyakit Akibat Kerja (PAK) dipakai di peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yaitu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per 01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEPTS.333/MEN/1989 tentang Diagnosis Dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja. Sedangkan istilah Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah istilah yang digunakan erat kaitannya dengan kompensasi (ganti rugi) kecelakaan kerja seperti halnya digunakan pada Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Baik Penyakit Akibat Kerja maupun Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja mempunyai pengertian yang sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Page 96: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

91

Istilah lain dari gangguan kesehatan tenaga kerja

adalah Penyakit Yang Bertalian Dengan Pekerjaan yang merupakan terjemahan dari work-related desease diartikan sebagai penyakit yang penyebabnya multifaktor atau jamak, sedangkan pekerjaan atau lingkungan adalah salah satu dari penyebab penyakit tersebut, jadi tidak termasuk penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Dalam uraian selanjutnya agar tidak mengulang-ulang penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja, maka cukup digunakan salah satu dari 2 istilah tersebut. Apabila ditulis Penyakit Akibat Kerja maka yang dimaksud juga adalah Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Tabel 5.1 Perbedaan Penyakit Akibat Kerja dengan Penyakit

Yang Bertalian Dengan Pekerjaan

Penyakit Akibat Kerja Penyakit Yang Bertalian

Dengan Pekerjaan Terjadi hanya diantara populasi Terjadi pula pada populasi

penduduk Sebabnya spesifik Sebabnya multifaktor Dapat kompensasi Tidak dapat kompensasi

Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja Di perusahaan atau tempat kerja umumnya terdapat

faktor-faktor yang dapat menyebabkan Penyakit Akibat Kerja antara lain:

1. Faktor Fisik seperti ; a) Suara bising mengakibatkan ketulian b) Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif,

menyebabkan antar lain penyakit susunan darah dan kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah dapat mengakibatkan katarak pada lensa mata, sedangkan sinar ultra violet menyebabkan konjungtivitis fotoelektrika.

c) Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), heat cramps (kejang panas) atau hiperpireksia, sedangkan suhu terlalu rendah antara lain menimbulkan frostbite.

d) Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit Caison Deseases

Page 97: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

92

e) Pencahayaan yang buruk dapat menyebabkan kelainan kepada indera pengelihatan atau kesilauan.

2. Faktor kimiawi, yaitu antara lain : a) Debu dapat menyebabkan pneumoconiosis

diantaranya; silikosis, asbestosis, dan lainnya b) Uap dapat menyebabkan demam uap logam (metal

fume fever), dermatosis (penyakit kulit), akibat kerja, atau keracunan oleh zat toksik uap formaldehida

c) Gas dapat menyebabkan keracunan misalnya oleh sebab CO, H2S, dan lainnya

d) Larutan zat kimia misalnya menyebabkan iritasi kepada kulit

e) Awan atau kabut 3. Faktor biologis misalnya bibit penyakit antraks atau

brusella yang menyebabkan penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit

4. Faktor fisiologis/ergonomis yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap badan yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang kesemuanya menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat terjadi perubahan fisik.

5. Faktor mental-psikologis misalnya pada hubungan kerja atau hubungan industrial yang tidak baik yang menyebabkan depresi atau penyakit psikosomatis

Diagnosa Penyakit Akibat Kerja Penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja sesuai

Permenakertrans No.Per.02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dilakukan oleh dokter melalui serangkaian pemeriksaan klinis dan pemeriksaan paparan faktor pekerjaan serta lingkungan untuk membuktikan hubungan sebab akibat antara penyakit dan pekerjaannya. Anamnesis, pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratoris yang digunakan untuk diagnosis penyakit umum belum cukup menetapkan Penyakit Akibat Kerja, melainkan harus pula dilakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan atau lingkungan kerja dan terbukti bahwa faktor pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab Penyakit Akibat Kerja yang bersangkutan. Penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dapat dilakukan melalui 5 tahap yaitu:

Page 98: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

93

1. Anamnesis.

Anamnesis memerlukan banyak latihan dan sangat bergantung pada kesan pasien terhadap dokter. Yang penting adalah segera membuat pasien akrab karena dengan hubungan yang dekat anamnesis akan menjadi lebih mudah. Dalam Anamnesis antara lain ditanyakan mengenai Keluhan Utama (KU), Riwayat Penyakit Sekarang (RPS), Riwayat Penyakit Terdahulu (RPD), Riwayat Sosial (RS) yang terdiri riwayat pekerjaan, Riwayat Keluarga (RK), dan diakhiri dengan anamnesis tinjauan sistem organ tubuh. Pada anamnesis mengenai keluhan utama, tidak jarang seseorang pasien mempunyai beberapa keluhan, untuk itu dibutuhkan usaha dokter perusahaan menentukan keluhan mana yang membawa pasien mencari pengobatan. Keluhan utama yang ditetapkan kemudian ditelusuri riwayatnya seperti lama timbulnya (durasi); lokasi penjalarannya (terutama untuk nyeri); sifat keluhan (karakter); berat ringannya; mula timbulnya (onset); faktor yang memperingan atau yang memperberat gejala; dan gejala-gejala yang menyertainya. Pasien disuruh menjelaskan keluhan-keluhan dari gejala awal sampai sekarang. Selanjutnya anamnesis diarahkan kepada penyakit, keluhan, ataupun tindakan medis yang pernah diterima pasien. Tindakan medis tersebut juga digali akan adanya efek samping dan alergi. Anamnesis selanjutnya adalah menanyakan riwayat sosial dimana salah satunya mengarah pada pekerjaan dan lingkungan kerja. Sewaktu ditanya tentang pekerjaan, biasanya pasien tidak terlalu jelas memberi tahu jenis pekerjaan atau lingkungan kerja mereka, untuk itu dokter perusahaan perlu mengenal pekerjaan dan lingkungan tempat kerja pasien, terutama potensi bahaya yang ada. Secara umum komponen yang ditanyakan pada pemeriksaan pekerjaan dan lingkungan kerja antara lain:

Deskripsi pekerjaan atau sifat pekerjaan Jumlah jam kerja atau jam giliran kerja Tipe bahaya Pekerjaan sebelumnya Pekerjaan lain Pejanan dalam rumah tangga Hobi

Page 99: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

94

Apakah pekerja lain menderita penyakit yang sama ? Kebiasaan merokok Hubungan waktu antara pekerjaan dan timbulnya

gejala Derajat pejanan Alat Pelindung Diri

Selain pekerjaan dan lingkungan kerja anamnesis riwayat sosial menanyakan juga status perkawinan atau kondisi kehidupan yang sekaligus memberi gambaran dukungan sosial mengahadapi penyakitnya. Anamnesis diakhiri pada pertanyaan yang mengarah adanya keluhan sistem tubuh seperti kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, hepar dan traktus bilier, hematologis, genitourinarius, musculoskeletal, neurologis, dan endokrin.

2. Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis dimaksudkan untuk menemukan tanda yang sesuai untuk suatu sindrom, yang khas untuk suatu penyakit akibat kerja. Misalnya, keracunan kronis timah hitam (Pb;timbal) terdapat gejala dan tanda penyakit seperti garis timah hitam di gusi, anemia, kolik usus, wrist drop (kelumpuhan syaraf lengan nervus ulnaris dan atau nervus radialis), dllnya. Atau gejala dan tanda cepat terganggunya emosi, hipersalivasi dan tremor yang khas pada keracunan oleh merkuri (air raksa atau Hg). Pemeriksaan klinis dilakukan dari mulai ujung atas kepala sampai telapak kaki, dan menggunakan peralatan periksa medis seperti tensi meter, stetoskop, otoskop, thermometer, sentrer, hammer, audiometric, spirometri dan sebagainya.

3. Pemeriksaan laboratoris Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mencocokkan benar tidaknya penyebab penyakit akibat kerja yang bersangkutan ada dalam tubuh tenaga kerja. Guna menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, biasanya tidak cukup sekedar pembuktian secatra kualitatif yaitu tentang adanya faktor penyebab penyakit, melainkan harus ditunjukkan juga banyaknya atau pembuktian secara kuantitatif. Sebagai ilustrasi, adanya timah hitam dalam darah tenaga kerja tidak cukup menunjukkan yang bersangkutan keracunan timah hitam; namun kadar timah hitam darah yang tinggi misalnya 0,8 mg per 100 cc darah lengkap merupakan indikasi sangat kuat bahwa tenaga kerja

Page 100: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

95

dimaksud menderita keracunan timah hitam. Selain kadarnya dalam darah, kadar faktor kimiawi dalam urin atau bahan lainnya dapat membantu dalam upaya menegakkan suatu diagnosis penyakit akibat kerja.

4. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis sederhana seperti foto rontgen sering sangat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, terutama untuk penyakit yang disebabkan penimbunan debu dalam paru dan reaksi jaringan paru terhadapnya yaitu yang dikenal dengan nama pneumoconiosis. Hasil pemeriksaan rontgen baru ada maknanya jika dinilai hubungan riwayat penyakit dengan pekerjaan serta hasil pemeriksaan lainnya dan juga data lingkungan kerja.

5. Pemeriksaan kondisi pekerjaan serta lingkungan kerja Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memastikan adanya faktor penyebab penyakit ditempat atau ruang kerja. Hasil pengukuran kuantitatif di tempat atau ruang kerja sangat perlu untuk melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan, apakah kadar zat sebagai penyebab penyakit akibat kerja cukup dosisnya atau tidak untuk menyebabkan sakit. Misalnya, kandungan udara 0,005 mg timah hitam per meter kubik udara ruang kerja tidaklah menyebabkan keracunan Pb, kecuali jika terdapat absorbsi timah hitam dari sumber lain atau jam kerja per hari dan minggunya sangat jauh melebihi batas waktu 8 jam sehari dan 40 jam seminggu.

Apabila dalam pemeriksaan kesehatan ditemukan

Penyakit Akibat Kerja (PAK), maka pengurus perusahaan wajib untuk melakukan:

1. Dokter pemeriksa membuat laporan medik diagnosis PAK (lampiran 2, Kepmenakertrans Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS 333/MEN/1989 tentang Diagnosa Dan Pelaporan PAK)

2. Membuat dan melaporkan tertulis kepada Dinas Tenaga Kerja Setempat dalam waktu paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya (lampiran 1, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS 333/MEN/1989 tentang Diagnosa Dan Pelaporan PAK)

Page 101: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

96

3. Membuat dan melaporkan tertulis kepada pihak Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) dalam waktu paling lama 2 x 24 jam setelah penyakit tersebut dibuat diagnosanya

4. Melakukan tindakan preventif agar Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang sama tidak terulang kembali

5. Menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri untuk pencegahan PAK

Diagnosis penyakit, termasuk Penyakit Akibat Kerja

adalah kewenangan dan kompetensi profesi medis yaitu para dokter. Bagaimana dokter membuat suatu diagnosis diatur dalam ketentuan normative berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS 333/MEN/1989 mengenai Diagnosis Dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja yang menekankan bahwasanya Penyakit Akibat Kerja dapat didiagnosis sewaktu melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja; dalam pemeriksaan penyakit akibat kerja harus ditentukan apakah penyakit yang diderita tenaga kerja merupakan penyakit akibat kerja atau bukan (Pasal 2, ayat 1 dan 2); diagnosis Penyakit Akibat Kerja ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan klinis kepada tenaga kerjadan pemeriksaan kondisi pekerjaan serta lingkungannnya untuk membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara penyakit dan pekerjaan atau lingkungan kerjanya. Apabila terdapat keragu-raguan dalam menegakkkan diagnosis penyakit akibat kerja oleh dokter pemeriksa kesehatan, dapat dikonsultasikan kepada dokter penasehat tenaga kerja dan apabila diperlukan dapat pula dikonsultasikan kepada dokter ahli yang bersangkutan (Pasal 3 ayat 1 dan 2).

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/MEN/1993 mengatur bahwa dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai penetapan kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja, pengusaha atau tenaga kerja/keluarga atau Badan Penyelenggara Jamsostek (sekarang BPJS Ketenagakerjaan) dapat meminta penetapan kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan. Pegawai pengawas dan petugas Badan Penyelanggara Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) dapat mengadakan penelitian dan pemeriksaan atas PAK dimaksud yang hasilnya dapat dijadikan dasar menetapkan PAK atau bukan PAK.

Page 102: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

97

Apabila pegawai pengawas ketenagakerjaan kebetulan

seorang dokter, kewenangan untuk menetapkan PAK tersebut tidak menimbulkan masalah atau kesulitan mengingat pegawai pengawas yang dokter memiliki landasan profesi yang dipersyaratkan untuk menetapkan diagnosis medis. Keadaan akan berbeda jika pegawai pengawas ketenagakerjaan bukan seorang dokter. Dengan dikeluarkannya peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1998 yang dimaksudkan untuk mewujudkan kesamaan langkah dan persepsi dalam menangani kasus kecelakaan kerja yang berkaitan dengan masalah medis, dokter penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada pegawai pengawas ketenagakerjaan dan atau Badan Penyelenggara Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) dalam penetapan jaminan kecelakaan kerja atau Penyakit Akibat Kerja (PAK). Selain itu dokter penasehat juga dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja (PAK) bila terjadi perbedaan pendapat antara Badan Penyelenggara Jamsostek dengan pengusaha dan atau tenaga kerja/ahli warisnya, atau dalam hal belum diaturnya Penyakit Akibat Kerja dalam peraturan-perundangan. Dalam hal terjadi ketidaksepakatan penetapan PAK banding sehingga sampai tingkat tertinggi yaitu pada penetapan menteri, dokter penasehat dapat memberikan pertimbangan medis kepada Menteri Tenaga Kerja untuk menetapkan PAK. Dokter penasehat dibenarkan untuk melakukan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja.

Baik dalam membuat diagnosis penyakit akibat kerja dan juga penilaian cacat karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, dokter wajib memegang teguh Kode Etik Dokter pada umumnya dan Kode Etik Kedokteran Kerja (Kode Etik Hiperkes Medis) yang antara lain menyatakan bahwa dokter melaksanakan tugas sebagai suatu amal ilmiah yang obyektifitas dan terpadu dan hanya membuat sesuatu pernyataan dan atau persetujuan atas dasar hasil pengamatan dan pandangan yang jujur.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor KEP 79/MEN/2003 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja atau disingkat KepMen No. 79/MEN/2003, terdapat informasi klinis/medis tentang diagnosis dan juga

Page 103: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

98 penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja menurut spesialisasi kedokteran. Informasi klinis demikian harus digunakan dalam rangka pola metodologi diagnosis penyakit akibat kerja dan cacat karena kecelakaan kerja atau cacat karena penyakit akibat kerja.

Jenis Penyakit Akibat Kerja Dalam kaitannya dengan kompensasi jaminan sosial

tenaga kerja, Pasal 11 UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek menegaskan bahwa jenis Penyakit Akibat Kerja serta perubahannya ditetapkan dengan keputusan Presiden atau Kepres No. 22 tahun 1993. Dalam Kepres tersebut telah ditetapkan 31 jenis penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, dua puluh sembilan diantaranya bersifat Internasional mengikuti standar Organisasi Perburuhan Internasional. Dua jenis penyakit lainnya yaitu penyakit yang disebabkan suhu tinggi dan penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat bukan Penyakit Akibat Kerja menurut standar internasional melainkan atas dasar pertimbangan dan kebijakan kita sendiri.

Suatu jenis penyakit dalam Kepres 22 tahun 1993 bukan identitas suatu penyakit tunggal melainkan sejumlah atau banyak penyakit akibat kerja. Sebagai misal, jenis penyakit yang disebabkan oleh benzene dan homolog-homolognya masing-masing menimbulkan kelainan yang berbeda kepada berbagai organ tubuh. Contoh lain, Penyakit yang disebabkan oleh Kadmium yang beracun menunjukan efek berbeda seandainya terhirup debunya kedalam paru-paru atau tertelan masuk kedalam saluran pencernaan. Atau misal lainnya adalah penyakit yang disebabkan radiasi elektromagnetis dan radiasi yang mengion; dua jenis radiasi demikian menyebabkan penyakit-penyakit yang berbeda. Dengan jenis penyakit akibat kerja nomor 31 yaitu penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk obat maka semua bahan kimia lain yang jumlahnya demikian banyak mungkin saja menyebabkan penyakit akibat kerja; yang penting adalah pembuktian bahwa penyakit yang bersangkutan disebabkan oleh salah satu atau sejumlah bahan kimia lain tersebut.

Page 104: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

99

Penyakit Akibat Kerja sebanyak 31 jenis sebagaimana

terdapat dalam Lampiran Kepres No.22 Tahun 1993 adalah sebagai berikut:

1. Pneumokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis,asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab cacat dan kematian;

2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras;

3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, Vlas, henep, dan sisal (bisinosis);

4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitasi dan zat perangsang yang dikenalyang berada dalam proses pekerjaan;

5. Alveolitis Allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan debu organis;

6. Penyakit yang disebabkan oleh Berilliumatau persenyawaannya yang beracun;

7. Penyakit yang disebabkan oleh Kadmium atau persenyawaannya yang beracun;

8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaanya yang beracun;

9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun ;

10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun;

11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun;

12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang beracun;

13. Penyakit yang disebabkan oleh timbale (Pb,timah hitam) atau persenyawaanya yang beracun

14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun;

15. Penyakit yang disebabkan oleh Karbon disulfide; 16. Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari

persenyawaan hidrokarbon alifatis atau aromatis yang beracun;

Page 105: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

100

17. Penyakit yang disebabkan oleh Benzen atau homolognya yang beracun;

18. Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari Benzen dan homolognya yang beracun;

19. Penyakit yang disebabkan oleh Nitrogliserin atau Ester asam nitrat lainnya;

20. Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol atau Keton;

21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hydrogen sianida, Hidrogen sulfida atau derifat yang beracun, amoniak, seng, braso dan nikel;

22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan;

23. Penyakit kulit yang disebabkan oleh getaran mekanis (kelainan-kelainan otot, urat, tulang, persendian, pembuluh darah tepi, atau saraf tepi);

24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih;

25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetis dan radiasi yang mengion;

26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab sisis, kimiawi atau biologis;

27. Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasen atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut;

28. Kanker paru atau mesitelioma yang disebabkan oleh asbes;

29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus;

30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau kelembaban udara tinggi;

31. Penyakit yang disebabkan oleh kimia lainnya termasuk bahan obat.

Bila diperhatikan dengan seksama, 31 jenis penyakit

akibat kerja menurut Kepres 22 tahun 1993 dapat pula dikelompokkan atas dasar 3 (tiga) kategori utama yaitu ; 1. Penyakit akibat kerja yang tegas dinyatakan penyebabnya,

yang dalam hal ini factor-faktor kimiawi, fisis, dan biologis

Page 106: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

101

2. Penyakit Akibat Kerja yang mengenai system organ

sasaran, yaitu system pernafasa, kulit, dan musculoskeletal (otot rangka)

3. Kanker akibat kerja Contoh kategori utama atas dasar penyebabnya adalah keracunan oleh air raksa atau persenyawaan yang beracun (contoh faktor kimiawi) atau penyakit akibat kerja oleh radiasi yang mengion (contoh faktor fisis) dan penyakit antraks akibat kerja (contoh faktor biologis). Contoh kategori utama atas dasar system organ sasaran adalah asbestosis (contoh sistem alat pernafasan), vitiligo akibat kerja (contoh kulit sebagai organ sasaran dan kelainan otot rangka akibat kerja yang disebabkan vibrasi mekanis (contoh sistem otot rangka). Contoh kategori utama kanker akibat kerja adalah kanker oleh karena Vinil Klorida atau debu kayu keras dari pekerjaan ditempat kerja. Pengelompokan Penyakit Akibat Kerja atas ketiga kategori utama ini merupakan suatu kecenderungan baru dalam menangani masalah penyakit akibat kerja.

Sistem Pelaporan Penyakit Akibat Kerja (PAK) Peraturan Jaminan Sosial untuk Tenaga Kerja,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEPTS 333 tahun 1989 telah memberi penagasan hukum untuk wajib melaporkan dan mengikuti sistem pelaporan. Pada tahap awal atau pertama, pengusaha wajib melaporkan PAK tersebut 2 x 24 jam sejak menerima diagnosa dari dokter pemeriksa, dengan menggunakan Formulir Jamsostek 3. Sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEPTS 333/MEN/1989 tentang diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja, pelaporan dokter pemeriksa harus meliputi:

1. Identitas, yang meliputi; nama penderita; nomor induk pokok; umur; jenis kelamin; jabatan; unit/ bagian kerja; lama kerja; nama perusahaan; jenis perusahaan dan alamat perusahaan.

2. Anamnesis yang meliputi; riwayat pekerjaan; keluhan yang diderita; dan riwayat penyakit.

3. Hasil pemeriksaan mental dan fisik (status present), yang meliputi pemeriksaan mental (kesadaran, sikap dan

Page 107: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

102

tingkah laku; kontak psikis, dan perhatian, dan lain-lain) ; pemeriksaan fisik (tinggi badan dalam sentimeter ; berat badan dalam kilogram; tensi sistolik dan diastolik dalam mmHg; denyut nadi permenit dan kualitasnya lemah/sedang/cukup/kuat serta regular atau irregular; suhu aksiler; kepala; dan muka; rambut; mata; strabismus, reflek pupil, kornea dan konjungtivita; hidung; mukosa, penciuman, epistaksis; tenggorokan; tonsil, suara; rongga mulut; mukosa lidah, gigi; leher; kelenjar gondok; toraks; bentuk, pergerakan, paru, jantung,; abdomen; hati, limpa; genitalia; tulang punggung; ekstremitas; refleks; fisiologis/patologis; koordinasi otot; tromor, tonus, paresis, paralisis; dan lain-lain); pemeriksaan rontgen (paru,jantung,dan lain-lain); elektrokardiogram (EKG atau ECG); pemeriksaan laboratoris; darah, urine, tinja; pemeriksaan tambahan/monitoring biologis; pengukuran kadar bahan kimia penyebab sakit didalam tubuh tenaga kerjamisalnya kadar dalam urine, darah, dan sebagainya dan hasil uji/pemeriksaan fungsi organ tubuh tertentu akibat pengaruh bahan kimia tersebut misalnya uji fungsi paru, dan sebagainya; pemeriksaan patologis anatomis; serta kesimpulannya.

4. Hasil pemeriksaan lingkungan kerja dan cara kerja yang meliputi faktor lingkungan kerja yang dapat berpengaruh terhadap sakit penderita (faktor fisik, kimiawi, biologis, psikososial); faktor cara kerja yang berpengaruh terhadap sakit penderita (peralatan kerja, proses produksi, ergonomik); waktu paparan nyata (per hari, per minggu) dan alat pelindung diri.

5. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, yang meliputi pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan khusus, (dilakukan/tidak dilakukan; kelainan yang ditemukan)

6. Resume, yang meliputi faktor-faktor yang mendukung diagnosis, penyakit akibat kerja, dari anamnesis; pemeriksaan medis (mental, fisik, laboratories, monitoring biologis, rontgen, patologis anatomis); pemeriksaan lingkungan kerja dan cara kerja tenaga kerja; dan waktu paparan nyata.

Page 108: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

103

7. Kesimpulan, yaitu: penderita/tenaga kerja yang

bersangkutan menderita atau tidak menderita penyakit akibat kerja; diagnosis; diagnosis menurut jenis penyakit akibat kerja atas dasar Kepres No. 22 Th 1993 dan atau menurut klasifikasi Internasional Penyakit (International Classification of Disease atau disingkat ICD)

Tahap kedua, pengusaha wajib melaporkan PAK dalam

waktu 2 x 24 jam, menggunakan formulir Jamsostek 3a sejak menerima surat keterangan dari dokter melalui formulir 3c yang menerangkan; a) Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) b) Keadaan cacat sebagian untuk selama-lamanya c) Keadaan cacat total untuk selama-lamanya d) Meninggal dunia

Tahap pertama maupun tahap kedua, hasil pemelaporan tersebut disampaikan kepada dinas tenaga kerja setempat dan kantor Jamsostek. Pada Undang-undang mengenai Jamsostek disebutkan adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak melaporkan PAK, yaitu hukuman sekurang-kurangnya selama 6 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

Page 109: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

104

Page 110: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

105

HIRAC & JSA

Bahaya dan risiko ada dimana-mana di sekeliling kita. Jenis bahaya dan tingkat risiko tergantung dari kondisi lingkungan yang dihadapi termasuk di lingkungan kerja. Jenis bahaya dan tingkat risiko dari setiap tahapan proses dalam suatu proses industri adalah spesifik. Tidak semua pekerja mampu mengenali bahaya dan risiko dari pekerjaan yang mereka lakukan. Mengetahui jenis bahaya dan tingkat risiko di lingkungan kerja adalah kunci pokok untuk dapat mengendalikan bahaya dan risiko tersebut agar tidak menjadi malapetaka atau kecelakaan yang tidak diinginkan. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengidentifikasi bahaya dan kajian risiko sehingga dapat dikembangkan sistem atau program pengendalian bahaya dan risiko ditempat kerja. HIRAC dan JSA adalah metode yang banyak digunakan dalam melakukan identifikasi bahaya ditempat kerja.

HIRAC (Hazard Identification Risk Assessment & Control)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada intinya ialah suatu program yang bertujuan melindungi kestabilan jalannya usaha. Selain itu, dengan adanya keselamatan dan kesehatan kerja, biaya untuk membiayai karyawan yang sakit akan mengalami penurunan karena keselamatan dan kesehatan kerja sudah terbangun serta produktivitas perusahan pun semakin bertambah. Rencana basic tentang keselamatan dan kesehatan kerja menyangkut dua hal yakni: tingkah laku pekerja yang tidak aman dan keadaan lingkungan yang tidak aman. Berdasarkan pada data dari Biro Kursus Tenaga Kerja, penyebabnya kecelakaan yang pernah terjadi hingga saat ini yaitu disebabkan oleh tingkah laku yang tidak aman seperti berikut:

1. Sembrono dan tidak hati-hati 2. Tidak mematuhi ketentuan 3. Tidak mengikuti standard prosedur kerja. 4. Tidak memakai alat pelindung diri 5. Keadaan tubuh yang lemah

Page 111: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

106

Persentase penyebabnya kecelakaan kerja yakni 3% karena sebab yang tidak dapat dihindarkan (seperti bencana alam), diluar itu 24% karena lingkungan atau perlengkapan yang tidak penuhi prasyarat, dan 73% karena tingkah laku yang tidak aman. Cara efisien untuk menghindar terjadinya kecelakaan kerja yaitu dengan menghindari terjadinya lima tingkah laku tidak aman yang sudah dijelaskan diatas. Dengan tahu beberapa hal ini, maka kita dapat melakukan identifikasi bahaya, menilainya kemungkinan dan mengatur risiko atau hazard atau umum dimaksud sistem Hazard Identification, Risk Assessment and Control (HIRAC).

HIRAC merupakan serangkaian proses mengidentifikasi bahaya yang dapat terjadi dalam aktifitas rutin ataupun non rutin di perusahaan, kemudian melakukan penilaian risiko dari bahaya tersebut lalu membuat program pengendalian bahaya tersebut agar dapat di minimalisir tingkat risikonya ke tingkat yang lebih rendah dengan tujuan mencegah terjadi kecelakaan kerja. Jadi terdapat tiga bagian utama dalam HIRAC, yaitu: (1) upaya melakukan identifikasi terhadap bahaya dan karakternya, (2) melakukan penilaian risiko terhadap bahaya yang ada, (3) merekomendasikan upaya.

HIRAC sendiri harus dibuat dan dipersiapkan sebelum pekerjaan dimulai. HIRAC bisa dibuat berdasarkan imajinasi terhadap sebuah pekerjaan yang akan dilaksanakan. Semakin berpengalaman seseorang dalam sebuah pekerjaan, bisa dipastikan semakin akurat imajinasinya dalam mengidentifikasi bahaya. HIRAC harus ditinjau secara berkala untuk memastikan tetap sesuai dengan kondisi pekerjaan terkini. Apa bila diketahui bahwa banyak hazard yang tidak teridentifikasi pada HIRAC yang ada, maka lakukan revisi HIRAC. Pihak yang terlibat dalam pembuatan HIRAC adalah Engineering Department (persiapan dan pembuatan), HSE Department (saran dan pengawasan), Lapangan (pelaksanaan dan revisi), Management (Legitimasi). Ketika HIRAC telah selesai, sesegera mungkin dikomunikasikan dan diinformasikan kepada semua pihak secara proporsional. Komunikasi bisa melalui toolbox meeting, papan pengumuman, training, dan lain-lain. HIRAC merupakan dokumen yang penting karena itu pastikan identitasnya (penomoran) jelas dan diarsipkan dengan rapih baik dalam bentuk hardcopy ataupun softcopy.

Page 112: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

107 Tujuan HIRAC

HIRAC merupakan suatu pedoman dalam mengidentifikasi bahaya, menilai risiko dan mengendalikan risiko memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi semua faktor yang dapat menyebabkan kerugian kepada karyawan dan lain-lain yang bahaya;

2. Mempertimbangkan kemungkinan besar risiko yang membahayakan siapa pun di lingkungan kerja;

3. Merencanakan, memperkenalkan dan memantau tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa risiko tersebut cukup dikendalikan setiap saat.

Dalam melakukan perencanaan kegiatan HIRARC kegiatan harus memperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Melihat kondisi mana bahaya yang tampaknya menjadi ancaman yang signifikan

2. Memastikan apakah pengendalian yang ada sudah mencukupi dan memadai

3. Melakukan tindakan perbaikan atau pencegahan sebelum kegiatan industry berjalan.

Untuk melakukan sistem HIRAC diperlukan 4 (empat)

langkah simpel, yaitu: 1. Mengklasifikasikan aktivitas kerja; 2. Mengidentifikasi bahaya; 3. Melakukan penilaian kemungkinan (analisis dan

memprediksi kemungkinan dari setiap bahaya), mengkalkulasi atau menaksir peluang terjadinya, dan keparahan bahaya;

4. Mengambil keputusan apakah risiko ditolerir dan mengaplikasikan beberapa langkah kontrol (bila perlu).

Beragam arah keselamatan dan kesehatan kerja yakni: 1. Menghadapi kehadiran aspek penyebabnya bahaya dan

melakukan pencegahan sebelumnya. 2. Mengerti beberapa jenis bahaya yang ada ditempat kerja 3. Mengevaluasi tingkat bahaya ditempat kerja 4. Mengatur terjadinya bahaya atau komplikasi.

Ruang Lingkup Pengertian dan Jangkauan HIRAC

Identifikasi bahaya dan penilaian kemungkinan dan pengontrolannya harus dilakukan di semua kegiatan usaha, termasuk kegiatan teratur dan non teratur, baik pekerjaan itu

Page 113: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

108 dilakukan oleh karyawan tetap ataupun karyawan kontrak, suplier dan kontraktor, dan kegiatan sarana atau personal yang masuk kedalam tempat kerja. Identifikasi bahaya dan penilaian kemungkinan harus dilakukan oleh karyawan yang memiliki kompetensi sesuai dengan standard kompetensi yang diputuskan oleh pengusaha.

Hazard (Bahaya) Hazard (bahaya) berdasarkan OHSAS 18001:2007

didefinisikan sebagai semua sumber, situasi ataupun aktivitas yang berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan atau penyakit akibat kerja (PAK). Secara garis besar, bahaya dapat dikategorikan menjadi: (1) bahaya keselamatan (safety hazard) dan (2) bahaya kesehatan. (1) Bahaya Keselamatan (Safety Hazard)

Bahaya keselamatan (safety hazard) fokus pada keselamatan manusia yang ikut serta dalam proses, perlengkapan, serta teknologi. Dampak safety hazard bersifat akut, risiko tinggi, serta probabilitas untuk terjadi rendah. Bahaya keselamatan (safety hazard) bisa menimbulkan risiko cidera, kebakaran, serta segala kondisi yang bisa mengakibatkan kecelakaan pada tempat kerja. Beberapa jenis safety hazard, diantaranya:

1. Mechanical Hazard, bahaya yang ada pada benda atau proses yang bergerak yang bisa mengakibatkan efek, seperti tertusuk, terpotong, terjepit, tergores, terbentur, dan sebagainya.

2. Hazard Electrical, adalah bahaya yang berasal dari arus listrik.

3. Chemical Hazard, bahaya bahan kimia baik berbentuk gas, cair, serta padat yang memiliki sifat gampang terbakar, gampang meledak, serta korosif.

(2) Bahaya Kesehatan Bahaya kesehatan fokus pada kesehatan manusia. Risiko bahaya kesehatan bersifat akut, konsekuensi rendah, berbentuk tiada henti, serta probabilitas untuk berlangsung tinggi. Beberapa jenis bahaya kesehatan, diantaranya :

Page 114: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

109

1. Physical Hazard, berupa energi seperti kegaduhan, radiasi, pencahayaan, temperature ekstrim, getaran, dan sebagainya.

2. Chemical Hazard, berwujud bahan kimia baik berbentuk gas, cair, serta padat yang memiliki karakter toksik, beracun, iritan, serta patologik.

3. Biological Hazard, bahaya dari mikroorganisme, terutama yang pathogen yang bisa mengakibatkan gangguan kesehatan.

4. Ergonomi, adalah bahaya yang bisa mengakibatkan masalah kesehatan sebagai akibat ketidaksesuaian bentuk kerja dengan pekerja. Urutan kerja yang salah serta dipaksakan bisa mengakibatkan mudah capek hingga bekerja menjadi kurang efektif serta dalam periode panjang bisa menyebabkan masalah fisik serta psikologis (stres) dengan keluhan yang seringkali ialah nyeri pinggang pada saat bekerja.

Secara umum terdapat 5 (lima) faktor bahaya K3 di

tempat kerja, yaitu: faktor bahaya biologi(s), faktor bahaya kimia, faktor bahaya fisik/mekanik, faktor bahaya biomekanik serta faktor bahaya sosial-psikologis. Berikut bahaya yang dapat terjadi:

1. Faktor

Bahaya Biologi

1) Jamur. 2) Virus. 3) Bakteri. 4) Tanaman. 5) Binatang.

2. Faktor Bahaya Kimia

1) Bahan/material/cairan/gas/debu/uap berbahaya

2) Beracun. 3) Reaktif. 4) Radioaktif. 5) Mudah meledak. 6) Mudah terbakar/menyala. 7) Iritan. 8) Korosif.

3. Faktor Bahaya

1) Ketinggian. 2) Konstruksi (infrastruktur).

Page 115: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

110

Fisik/ Mekanik

3) Mesin/alat/kendaraan/alat berat. 4) Ruangan terbatas (terkurung). 5) Tekanan. 6) Kebisingan. 7) Suhu. 8) Cahaya. 9) Listrik. 10) Getaran. 11) Radiasi.

4. Faktor Bahaya Biomekanik

1) Gerakan berulang. 2) Postur/Posisi kerja. 3) Pengangkutan manual. 4) Desain tempat kerja/alat/mesin.

5. Faktor Bahaya Sosial-Psikologis

1) Stress. 2) Kekerasan. 3) Pelecehan. 4) Pengucilan. 5) Intimidasi. 6) Emosi negatif.

Sumber-Sumber Bahaya di Lingkungan Kerja Pada semua tempat kerja tetap ada sumber bahaya

yang bisa meneror keselamatan atau kesehatan tenaga kerja. Menurut Syukri Sahab (1997), Sumber bahaya itu bisa datang dari:

1. Manusia Termasuk juga pekerja serta manajemen. Kesalahan penting kebanyakan kecelakaan, kerugian, serta kerusakan terdapat pada karyawan yang kurang bergairah, kurang trampil, kurang pas, terganggu emosinya yang biasanya mengakibatkan kecelakaan serta kerugian. Disamping itu apa yang diterima atau gagal diterima lewat pendidikan, motivasi, dan pemakaian perlengkapan kerja berhubungan langsung dengan sikap pimpinan dalam tempat kerja.

2. Bangunan, instalasi, serta perlengkapan Proses bahaya yang berasal dari bangunan, instalasi, serta perlengkapan yang diperlukan dapat berbentuk konstruksi bangunan yang kurang kuat serta tidak memenuhi syarat-syarat yang ada. Diluar itu design

Page 116: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

111

ruangan serta tempat kerja dan ventilasi yang baik adalah beberapa hal yang perlu dilihat.

3. Bahan baku Bahan baku yang dipakai pada proses produksi bisa mempunyai bahaya serta dampak yang sesuai karakter bahan baku, diantaranya: Gampang terbakar serta meledak Mengakibatkan alergi Bahan iritan Karsinogen Berbentuk racun Radioaktif Proses Kerja

4. Bahaya dari proses Bahaya dari proses beragam, bergantung dari teknologi yang dipakai. Proses yang ada di industri ada yang simpel, tapi ada pula yang prosedurnya sulit. Ada proses yang berisiko serta ada pula proses yang kurang berisiko. Dalam proses kebanyakan dipakai suhu serta tekanan tinggi yang jadi besar dampak bahayanya. Proses dari ini kadang muncul asap, debu, panas, gaduh, serta bahaya mekanis seperti terjepit, terpotong, atau tertimpa bahan. Ini bisa menyebabkan kecelakaan serta penyakit karena kerja.

5. Langkah Kerja Bahaya dari langkah kerja yang dikerjakan oleh pekerja yang bisa membahayakan pekerja tersebut atau orang lain di sekelilingnya, yaitu: a. Langkah mengangkut serta mengangkat, jika

dikerjakan secara salah, itu bisa mengakibatkan cidera yang seringkali ialah cidera pada tulang punggung.

b. Langkah kerja yang menyebabkan hamburan debu serta serbuk logam, percikan api, dan tumpahan bahan berisiko.

c. Menggunakan alat pelindung diri yang tidak seharusnya/tidak cocok keperluan serta langkah menggunakan yang salah.

6. Lingkungan Bahaya yang datang dari lingkungan kerja bisa dikelompokkan atas beberapa tipe bahaya yang bisa

Page 117: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

112

menyebabkan beberapa masalah keselamatan serta kesehatan kerja, dan penurunan produktivitas kerja serta efisiensi kerja.

Cara Pengendalian Ancaman Bahaya Kesehatan Kerja 1. Pengendalian tehnik: ganti prosedur kerja, tutup

mengisolasi bahan berisiko, memakai otomatisasi pekerjaan, memakai cara kerja basah dan ventilasi perubahan hawa.

2. Pengendalian administrasi: kurangi waktu pajanan, membuat ketentuan keselamatan dan kesehatan, memakai alat pelindung contohnya sepatu safety terbaru, menempatkan sinyal tanda peringatan, bikin daftar data beberapa bahan yang aman, melakukan kursus system penangganan darurat.

3. Pemantauan kesehatan: melakukan kontrol kesehatan.

Risk (Risiko) Risk (risiko) merupakan hasil dari kemungkinan

sebuah bahaya menjadi kecelakaan dikombinasikan dengan tingkat keparahan cidera/sakit pada sebuah kecelakaan yang terjadi. Risiko tidak bisa dihilangkan, tetapi bisa ditekan menjadi seminimal mungkin. Secara umum risiko dikategorikan menjadi tiga, yaitu: (1) risiko rendah, (2) risiko sedang, dan (3) risiko tinggi. Pekerjaan bisa dilakukan bila mempunyai risiko rendah. Bila dari hasil penilaian diketahui bahwa risiko sebuah pekerjaan adalah “sedang” atau “tinggi”, maka pekerjaan tidak boleh dilaksanakan. Harus diambil tindakan pengendalaian agar risiko sedang atau tinggi tersebut turun menjadi risiko rendah, barulah pekerjaan bisa dilaksanakan. Untuk dapat menghitung nilai risiko, perlu mengetahui dua komponen utama yaitu Likelihood (kemungkinan) dan Severity (tingkat keparahan) yang masing-masing mempunyai nilai cakupan poin satu sampai lima. Risiko K3 (risk) ialah potensi kerugian yang bisa diakibatkan apabila berkontak dengan suatu bahaya ataupun terhadap kegagalan suatu fungsi. Penilaian risiko merupakan hasil kali antara nilai frekuensi dengan nilai keparahan suatu risiko.

Page 118: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

113

Untuk menentukan kategori suatu risiko apakah itu rendah, sedang, tinggi ataupun ekstrim dapat menggunakan metode matriks risiko seperti pada tabel matriks risiko berikut ini:

Tabel 6.1 Matriks Risiko

Tabel 6.2 Contoh Parameter Keseringan Dari Tabel Matriks Risiko

Kategori Keseringan

Contoh Parameter I Contoh Parameter II

Sangat Jarang Terjadi 1X dalam masa lebih dari 1 tahun

Probabilitas 1 dari 1.000.000 jam kerja orang lebih

Jarang Bisa terjadi 1X dalam setahun

Probabilitas 1 dari 1.000.000 jam kerja orang

Sedang Bisa terjadi 1X dalam sebulan

Probabilitas 1 dari 100.000 jam kerja orang

Sering Bisa terjadi 1X dalam seminggu

Probabilitas 1 dari 1000 jam kerja orang

Sangat Sering Terjadi hampir setiap hari

Probabilitas 1 dari 100 jam kerja orang

Page 119: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

114 Tabel 6.3 Contoh Parameter Keparahan Berdasarkan

Matriks Risiko Kategori

Keparahan Contoh Parameter I Contoh Parameter II

Sangat Ringan

Tidak terdapat cedera/penyakit, tenaga kerja dapat langsung bekerja kembali

Total kerugian kecelakaan kerja kurang dari Rp.1.000.000,-

Ringan Cedera ringan, tenaga kerja dapat langsung bekerja kembali

Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.1.000.000,- –s/d Rp.1.500.000,-

Sedang

Mendapat P3K atau tindakan medis, tidak ada hilang jam kerja lebih dari 1X24 jam

Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.1.500.000,- s/d Rp.5.000.000,-

Parah

Memerlukan tindakan medis lanjut/rujukan, cacat sementara, terdapat jam kerja hilang 1X24 jam

Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.5.000.000,- s/d Rp.10.000.000,-

Sangat Parah

Cacat permanen, kematian, terdapat jam kerja hilang lebih dari 1X24 jam

Total kerugian kecelakaan kerja lebih dari Rp.10.000.000,-

Tabel 6.4 Representasi Kategori Risiko Yang Dihasilkan

Dari Penilaian Matriks risiko Kategori Risiko Tindakan

Rendah Perlu aturan/prosedur/rambu Sedang Perlu tindakan langsung Tinggi Perlu perencanaan pengendalian Ekstrim Perlu perhatian manajemen atas

Berdasarkan pada representasi di atas, maka dapat

kita tentukan langkah pengendalian risiko yang paling tepat berdasarkan 5 (lima) hierarki pengendalian risiko/bahaya K3. Secara umum hierarki pengendalian risiko tergambar sebagai berikut:

Page 120: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

115

Gambar 6.1

Hierarki Pengendalian Risiko/Bahaya K3

Risiko/bahaya yang sudah diidentifikasi dan dilakukan penilaian memerlukan langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat risiko/bahaya-nya menuju ke titik yang aman. Pengendalian risiko/bahaya dengan cara eliminasi memiliki tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi tertinggi di antara pengendalian lainnya. Pada urutan hierarki setelahnya, tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi menurun. Pengendalian risiko merupakan suatu hierarki (dilakukan berurutan sampai dengan tingkat risiko/bahaya berkurang menuju titik yang aman). Hierarki pengendalian tersebut antara lain ialah eliminasi, substitusi, perancangan, administrasi dan alat pelindung diri (APD) yang terdapat pada tabel di bawah:

Tabel 6.5 Hierarki Pengendalian Risiko K3 Hierarki Pengendalian Risiko K3

Eliminasi Eliminasi sumber bahaya Tempat kerja/pekerjaan aman

Mengurangi bahaya

Substitusi Substitusi alat/mesin/bahan

Perancangan Modifikasi/perancangan alat/mesin/tempat kerja yang lebih aman

Administrasi Prosedur, aturan, pelatihan, durasi kerja, tanda bahaya, rambu,

Tenaga kerja aman

Page 121: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

116

Hierarki Pengendalian Risiko K3 poster, label Mengurangi

paparan APD Alat Perlindungan Diri tenaga kerja

Control (Pengendalian) Control (pengendalian) adalah upaya pengendalian

untuk menekan risiko menjadi serendah mungkin. Pengendalian dilakukan secara sistematis mengikuti hirarki pengendalian yaitu: eliminasi, substitusi, rekayasa engineering, administrasi, dan APD. Setelah seluruh bahaya K3 di tempat kerja telah diidentifikasi dan dipahami, Perusahaan atau institusi menerapkan pengendalian operasi yang diperlukan untuk mengelola risiko-risiko terkait bahaya-bahaya K3 di tempat kerja serta untuk memenuhi peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya terkait dengan penerapan K3 di tempat kerja.

Keseluruhan pengendalian operasi bertujuan untuk mengelola risiko-risiko K3 untuk memenuhi kebijakan K3 Perusahaan. Prioritas pengendalian operasi ditujukan pada pilihan pengendalian yang memiliki tingkat kehandalan tinggi selaras dengan hierarki pengendalian risiko/bahaya K3 di tempat kerja. Pengendalian operasi akan diterapkan dan dievaluasi secara bersamaan untuk mengetahui tingkat keefektivan dari pengendalian operasi serta terintegrasi (tergabung) dengan keseluruhan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) perusahaan. Beberapa pengendalian operasi K3 perusahaan mencakup antara lain:

1. Umum: o Perawatan dan perbaikan fasilitas/mesin/alat

reguler. o Kebersihan dan perawatan tempat kerja. o Pengaturan lalu lintas manusia/barang, dan

sebagainya. o Pemasokan dan perawatan fasilitas

kerja/fasilitas umum. o Perawatan suhu lingkungan kerja. o Perawatan sistem ventilasi dan sistem instalasi

listrik.

Page 122: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

117

o Perawatan sarana tanggap darurat. o Kebijakan terkait dinas luar, intimidasi,

pelecehan, penggunaan obat-obatan dan alkohol.

o Program-program kesehatan dan pengobatan umum.

o Program pelatihan dan pengembangan pengetahuan.

o Pengendalian akses tempat kerja. 2. Pekerjaan Bahaya Tinggi:

o Penggunaan prosedur, instruksi kerja dan cara kerja aman.

o Penggunaan peralatan/mesin yang tepat. o Sertifikasi pelatihan tenaga kerja keahlian

khusus. o Penggunaan izin kerja. o Prosedur pengendalian akses keluar masuk

tenaga kerja di tempat kerja bahaya tinggi. o Pengendalian untuk pencegahan penyakit

akibat kerja. 3. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3):

o Pembatasan area-area penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di tempat kerja.

o Pengamanan pemasokan dan pengendalian akses keluar masuk penyimpanan bahan berbahaya dan beracun (B3).

o Barikade sumber radiasi. o Isolasi pencemaran biologis. o Pengetahuan penggunaan dan ketersediaan

perlengkapan darurat. 4. Pembelian Barang, Peralatan dan Jasa:

o Menyusun persyaratan pembelian barang, peralatan dan jasa.

o Komunikasi persyaratan pembelian barang kepada pemasok.

o Persyaratan transportasi/pengiriman bahan berbahaya dan beracun (B3).

o Seleksi dan penilaian pemasok. o Pemeriksaan penerimaan

barang/peralatan/jasa.

Page 123: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

118

5. Kontraktor: o Kriteria pemilihan kontraktor. o Komunikasi persyaratan kepada kontraktor. o Evaluasi dan penilaian kinerja K3 berkala.

6. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar: o Pengendalian akses masuk. o Pengetahuan dan kemampuan mengenai izin

penggunaan peralatan/perlengkapan/mesin/material di tempat kerja.

o Penyediaan pelatihan/induksi yang diperlukan. o Pengendalian administratif rambu dan tanda

bahaya di tempat kerja. o Cara pemantauan perilaku dan pengawasan

aktivitas di tempat kerja. Penetapan kriteria operasi K3 Perusahaan mencakup

beberapa hal sebagai berikut: 1. Pekerjaan Bahaya Tinggi:

o Penggunaan peralatan/perlengkapan yang telah ditentukan beserta prosedur/instuksi kerja penggunaannya.

o Persyaratan kompetensi keahlian. o Petunjuk individu mengenai penilaian risiko

terhadap kejadian yang muncul tiba-tiba dalam pekerjaan.

2. Penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) : o Daftar bahan berbahaya dan beracun (B3) yang

disetujui. o Penentuan Nilai Ambang Batas (NAB). o Penentuan Nilai Ambang Kuantitas (NAK). o Penentuan lokasi dan kondisi penyimpanan.

3. Area Kerja Bahaya Tinggi: o Penentuan APD (Alat Pelindung Diri). o Penentuan persyaratan masuk. o Penentuan persyaratan kondisi

kesehatan/kebugaran. 4. Kontraktor:

o Persyaratan kriteria kinerja K3.

Page 124: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

119

o Persyaratan pelatihan maupun kompetensi keahlian terhadap personel di bawah kendali kontraktor.

o Persyaratan pemeriksaan peralatan/perlengkapan/bahan/material kontraktor.

5. Tamu, Pengunjung dan Pihak Luar: o Pengendalian dan pembatasan akses masuk dan

akses keluar tempat kerja. o Persyaratan APD (Alat Pelindung Diri). o Induksi K3. o Persyaratan tanggap darurat.

Job Safety Analysis (JSA) Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau

Occupational Safety and Health Administration (OSHA) mendefinisikan JSA sebagai sarana untuk para pekerja agar berhati-hati dalam mempelajari dan merekam setiap langkah dari pekerjaan, mengidentifikasi bahaya pekerjaan yang ada atau yang berpotensi (baik keselamatan dan kesehatan), dan menentukan cara terbaik untuk mengurangi atau menghilangkan bahaya. Job Safety Analysis (JSA) atau dikenal juga dengan Job Hazard Analysis merupakan upaya untuk mempelajari/menganalisa dan serta pencatatan tiap-tiap urutan langkah kerja suatu pekerjaan, dilanjutkan dengan identifikasi potensi-potensi bahaya di dalamnya kemudian diselesaikan dengan menentukan upaya terbaik untuk mengurangi ataupun menghilangkan/mengendalikan bahaya-bahaya pada pekerjaan yang dianalisa tersebut. JSA adalah serangkaian proses untuk mengidentifikasi bahaya dari setiap tahapan-tahapan suatu pekerjaan, lalu dinilai bahayanya dan dibuatkan program pengendaliannya dengan tujuan untuk mencegah kecelakaan dalam melakukan pekerjaan tersebut.

JSA merupakan alat yang digunakan untuk meningkatkan keselamatan kerja dengan cara mengidentifikasi bahaya atau potensi bahaya yang berhubungan dengan setiap langkah dari pekerjaan dan Menemukan langkah-langkah pengendalian yang efektif untuk mencegah atau menghilangkan paparan yang berpotensi menimbulkan bahaya.

Page 125: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

120 Tahapan Job Safety Analysis (JSA)

Terdapat lima tahapan utama dalam pelaksanaan job safety analysis (JSA), yaitu (CCOHS, 2001): 1. Pemilihan pekerjaan yang akan di analisis.

Secara ideal, JSA harus dilakukan pada semua kegiatan kerja, namun terdapat kendala pelaksanaan terkait ketersediaan waktu dan sumber daya. Selain itu JSA juga membutuhkan revisi pada setiap perubahan yang terjadi baik terkait peralatan, bahan baku, proses, atau lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan upaya penentuan prioritas terhadap pemilihan pekerjaan yang perlu dilakukan JSA. Adapun faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan prioritas antara lain:

a. Angka kecelakaan dan cedera yang diakibatkan oleh pekerjaan.

b. Absensi: yaitu pemilihan pekerjaan di mana karyawan mengambil hari sakit lebih sering atau bentuk absen lainnya.

c. Tanda dan gejala terhadap pajanan bahaya, hal ini melihat bagaimana sifat pekerjaan dapat menimbulkan paparan bahaya atau tidak.

d. Potensi terjadinya cedera parah atau penyakit: hal ini dilakukan dengan melihat keparahan konsekuensi atau akibat yang dapat ditimbulkan kecelakaan, kondisi berbahaya, atau pajanan zat berbahaya dengan potensi yang tinggi.

e. Perubahan/modifikasi pekerjaan: bahaya baru mungkin berhubungan dengan perubahan dalam prosedur kerja/proses.

f. Pekerjaan Jarang dilakukan: karyawan mungkin menghadapi risiko lebih besar ketika melakukan pekerjaan non-rutin.

g. Pekerjaan dengan gangguan kerja yeng terjadi sering karena kesulitan teknis.

h. Pekerjaan yang mengakibatkan kerugian limbah dan produksi yang berlebihan.

i. Pekerjaan di mana karyawan dituntut untuk bekerja sendirian di tempat kerja terisolasi.

j. Pekerjaan dengan potensi kekerasan di tempat kerja

Page 126: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

121 2. Pembagian kerja berdasarkan proses yang berurutan.

Penyelesaian setiap tugas operasional dalam urutan yang tepat akan mengarah ke penyelesaian pekerjaan. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga tugas dalam urutan yang benar. Tugas yang terdapat diluar urutan pekerjaan dapat menimbulkan peluang adanya bahaya yang tidak teridentifikasi. Ketika melakukan JSA, setiap tugas dicatat dalam urutan yang tepat. Catatan harus dibuat dari apa yang harus dilakukan, bukan bagaimana hal itu dilakukan.

Membagi sebuah pekerjaan menjadi beberapa tugas membutuhkan pengetahuan yang benar mengenai pekerjaan tersebut. Jika tugas dibuat secara terlalu umum, operasi spesifik dan bahaya terkait dapat terlewatkan. Di lain hal, terlalu banyak tugas juga dapat membuat JSA tidak terlaksana dengan praktis. Aturan yang baik biasanya menyebutkan bahwa pada umumnya sebuah pekerjaan dapat di deskripsikan dalam kurang dari sepuluh tugas. Jika terdapat langkah kerja tambahan yang dibutuhkan, maka sebaiknya pekerjaan tersebut dipecah menjadi dua segmen yang memiliki JSA masing-masing secara terpisah.

a. Rangkuman yang mendeskripsikan pekerjaan dan tujuan dari pekerjaan.

b. Pendahuluan dari tinjauan ulang pekerjaan (didapatkan melalui observasi lapangan yang dilakukan oleh pemimpin tim)

c. Membuat daftar dari pelatihan yang diperlukan untuk berada dilokasi kerja, mengoperasikan alat atau mesin, untuk bekerja di ketinggian, dan lain-lain.

d. Membuat daftar dari rekomendasi APD yang diperlukan untuk menghadapi risiko bahaya ketika melakukan pekerjaan di lokasi tertentu.

e. Selain itu, sebelum analisis dilakukan, kumpulkan informasi yang penting melalui: 1) Wawancara pekerja 2) Prosedur tertulis

a) Panduan kerja b) Pengamatan dan pelaksanaan tahap-tahap

kerja c) Tinjauan ulang laporan kecelakaan yang

pernah terjadi. d) Mengidentifikasi potensi bahaya.

Page 127: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

122

e) Ketika melakukan identifikasi bahaya, tim JSA harus mencari tahu informasi mengenai bahaya dengan menjawab pertanyaanpertanyaan berikut:

f) Apa kesalahan yang dapat terjadi? g) Apa akibat yang muncul akibat kesalahan

tersebut? h) Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? i) Apakah terdapat kemungkinan adanya factor

kontribusia lainnya? j) Seberapa sering peluang bahaya tersebut akan

muncul? k) Apakah upaya keselamatan yang dibutuhkan?

Apakah sudah ada bentuk upaya keselamatan di lokasi kerja tersebut?

3. Menentukan tindakan perbaikan. Langkah berikutnya dalam JSA adalah menentukan cara

untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya yang telah diidentifikasi.

a. Strategi pengendalian bahaya b. Eliminasi: Jika memungkinkan, hilangkan bahaya yang

ada c. Subtitusi: ganti bahan, proses, maupun alat menjadi

yang kurang berbahaya. d. Minimalisasi risiko yang terjadi akibat bahaya melaui

design tempat kerja (engineering control) atau peraturan kerja (administrative control).

e. Buat rencana kejadian darurat di tempat kerja. f. Lakukan pengukuran untuk mengurangi kerusakan

akibat kecelakaan atau kejadian darurat. g. Pendekatan energy-barrier. h. Pada sumbernya. i. Pada jalur pajanan. j. Pada pekerja.

Tujuan pendekatan ini sama yaitu pencegahan cedera, penyakit, dan kerugian lainnya. Langkah-langkah pencegahan tergantung pada temuan JSA. 4. Mengkomunikasikan informasi pada yang lain.

Setelah langkah-langkah pencegahan yang dipilih, selanjutnya hasil harus dikomunikasikan kepada semua karyawan yang sedang atau akan melakukan pekerjaan itu.

Page 128: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

123 Format yang digunakan dalam lembaran JSA bukan format yang ideal untuk tujuan intruktional. Akan tetapi akan lebih baik apabila hasil dari JSA digunakan untuk mengambangkan prosedur kerja secara naratif. JSA yang lengkap berfungsi sdebagai sebuah alat untuk memastikan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja. Secara khusus, JSA berfungsi untuk:

a. Kesesuaian dengan peraturan K3 perusahaan Pengusaha perlu menginformasikan kepada pekerja mengenai potensi bahaya di tempat kerja dan praktek kerja yang aman untuk mencegah bahaya tersebut. JSA berfungsi sebagai sumber informasi yang sangat baik.

b. Pelatihan pekerja Pengawas (supervisor) bisa menggunakan JSA untuk memberikan pelatihan kerja yang spesifik. Hal ini akan memastikan bahwa pekerja mempelajari cara yang selamat untuk mengerjakan setiap tugas dan potensi bahaya yang terdapat didalamnya tidak akan mengikuti prosedur yang benar. Pekerja harus menampilkan sebuah duplikat dari JSA didekat tempat kerja mereka sebagai referensi cepat. Untuk pekerjaan yang tidak rutin, JSA harus dilihat sebagai pengingat cepat dari potensi bahaya, praktek kerja yang selamat dan alat pelindung diri yang dibutuhkan.

c. Inspeksi di tempat kerja JSA bisa digunakan bersamaan dengan checklist inspeksi untuk memastikan bahwa praktek kerja yang direkomendasikan diikuti.

d. Pengamatan keselamatan Pekerja bisa menggunakan JSA sebagai alat untuk mengamati praktek kerja sesama dan memberikan umpan balik positif untuk meningkatkan praktek kerja yang aman, yang akhirnya akan membangun sebuah budaya keselamatan.

e. Investigasi Kecelakaan JSA membantu investigasi kecelakaan melalui tiga cara; Memberikan wawasan mengenai bagaimana kecelakaan mungkin terjadi; Mengidentifikasi bahaya baru yang terabaikan pada JSA sebelumnya; Update JSA dan meningkatkan praktek kerja selamat.

Page 129: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

124 5. Follow-up dan review job safety analysis

Penting untuk membangun tidak lanjut dan proses review untuk pemantauan efektifitas tindakan pencegahan dan pengendalian yang diimplementasikan oleh JSA. Hal ini dilakukan untuk:

a. Memastikan bahaya baru tidak terbentuk b. Mencari umpan balik dari pekerja yang melaksanakan

pekerjaan c. Memastikan pekerja mengikuti prosedur dan praktek

yang dibutuhkan dari JSA d. Menilai kebutuhan untuk pengulangan JSA e. Mengimplementasikan perubahan berkelanjutan.

Review berkala sangat berguna untuk memastikan komponen JSA tetap saat ini dan fungsional, sehingga karyawan mengikuti prosedur dan praktek seperti yang direkomendasikan oleh JSA. Pengulangan pembuatan JSA dibutuhkan ketika:

a. Pekerjaan baru terbentuk b. Pekerjaan yang sudah ada berubah c. Peralatan dan proses kerja berubah. d. Keuntungan ekonomi dari pelaksanaan JSA termasuk

diantaranya e. Mengurangi biaya langsung maupun tidak langsung

yang diakibatkan oleh kecelakaan f. Meningkatkan kualitas dan produktivitas g. Perbaikan dari moral dan kebanggan pekerja.

Waktu dan usaha yang terlibat dalam JSA merupakan investasi untuk mengontrol cedera, kerusakan dan kerugian produksi.

Page 130: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

125 Tabel 6.6 Contoh JSA Worksheet.

Page 131: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

126

Beberapa tips untuk memudahkan terlaksananya program JSA:

1. Menjelaskan (explain); Jelaskan tujuan JSA untuk memastikan penuh kerjasama dan partisipasi para pekerja.

2. Yakinkan (assure) para pekerja bahwa tujuan yang JSA adalah untuk membuat pekerjaan lebih aman dengan mengidentifikasi bahaya dan menghilangkan atau mengurangi bahaya kecelakaan, cedera, dan penyakit akibat kerja.

3. Klarifikasi (clarify) bahwa JSA bukanlah upaya untuk mengungkap tindakan tidak aman yang dilakukan para pekerja.

4. Menjamin (ensure) pekerja agar memahami bahwa JSA adalah program evaluasi pekerjaan, bukan untuk menilai tugas individu.

5. Memberikan perhatian (respect) kepada karyawan yang berpengalaman dan menjadikannya sebagai masukan penting dalam membuat perbaikan.

6. Melakukan pengamatan (observasi) pekerjaan sesuai dengan waktu dan situasi dilaksanakannya pekerjaan. Misalnya, jika sebuah pekerjaan secara rutin dilakukan di malam hari, JSA juga dilakukan di malam hari.

7. Membahas (discuss) dengan karyawan: hal yang perlu didiskusikan diantaranya:

Tugas dari proses reguler Setiap kejadian yang terjadi Komunikasikan setiap masalah Kesulitan dalam melaksanakan tugas Pelatihan disediakan dalam penggunaan

peralatan Prosedur keselamatan dan perlu dilakukan

perbaikan. 8. Membahas (discuss) rincian tugas dengan semua peserta

(termasuk karyawan). 9. Menjamin (ensure) bahwa semua tugas-tugas dasar

telah dicatat dan dalam urutan yang benar. JSA hanya efektif jika ditelaah secara periodik atau

setelah kecelakaan terjadi. Merevisi JSA dapat menemukan bahaya keamanan yang terlewatkan selama analisa

Page 132: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

127 sebelumnya. JSA harus ditinjau ulang segera setelah kecelakaan untuk menentukan apakah prosedur pekerjaan baru atau tindakan pengamanan yang diperlukan. Proses JSA membutuhkan waktu untuk mengembangkan dan melaksanakan. Untuk beberapa tugas, proses JSA mungkin memerlukan waktu lebih dari satu hari. Sebuah JSA harus direncanakan terlebih dahulu dan dilakukan selama periode kerja normal. Prinsip analisa keselamatan dan kesehatan kerja adalah mencari penyebab dari seluruh tingkat lapisan, dari lapisan umum sampai dengan pokok penyebabnya dicari secara tuntas, hingga dapat diketahui penyebab utamanya dan melakukan perbaikan.

Ada banyak keuntungan menggunakan JSA. Salah satu kelebihan yang paling penting adalah pelatihan karyawan baru pada rekomendasi prosedur kerja yang aman dan bagaimana untuk menerapkan prosedur untuk bekerja mereka. Keselamatan pelatihan diberikan sebelum karyawan baru melakukan tugas. Keuntungan lain dari melaksanakan JSA adalah:

a) Memberikan pelatihan individu dalam hal keselamatan dan prosedur kerja efisien.

b) Membuat kontak keselamatan pekerja. c) Mempersiapkan observasi keselamatan yang

terencana. d) Mempercayakan pekerjaan ke pekerja baru. e) Memberikan instruksi pre-job untuk pekerjaan luar

biasa. f) Meninjau prosedur kerja setelah kecelakaan terjadi. g) Mempelajari pekerjaan untuk peningkatan yang

memungkinkan dalam metode kerja. h) Mengidentifikasi usaha perlindungan ynag dibutuhkan

di tempat kerja. i) Supervisor dapat belajar mengenai pekerjaan yang

mereka pimpin. j) Partisipasi pekerja dalam hal keselamatan di tempat

kerja. k) Mengurangi absen. l) Biaya kompensasi pekerja menjadi lebih rendah. m) Meningkatkan produktivitas. n) Adanya sikap positif terhadap keselamatan.

Page 133: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

128

Job Safety Observation (JSO) Pengusaha bertanggung jawab untuk memastikan

kesehatan dan keselamatan pekerja mereka, ini termasuk memberitahu pekerja bahaya yang mungkin terjadi di tempat kerja, menyediakan peralatan yang diperlukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan, menerapkan prosedur keselamatan dan menyediakan fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, pengusaha memiliki kewajiban untuk menilai resiko keselamatan dan kesehatan kerja serta untuk mengembangkan prosedur keselamatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi potensi bahaya dalam melaksanakan pekerjaan.

Job Safety Observation (JSO) merupakan suatu metode atau alat untuk mempelajari lebih mendalam sikap kebiasaan dan tata cara bekerja dari tiap-tiap pekerja. Tujuan utama dari JSO adalah untuk mencegah pekerja dari bahaya kecelakaan akibat kerja. JSO dapat dijadikan sebagai proses umpan balik (feed back) yang dirancang untuk mempromosikan tindakan 'perilaku aman' melalui pembinaan untuk mengidentifikasi perilaku yang berisiko dan berkontribusi terhadap terjadinya insiden yang membahayakan pekerja. Pengamatan dilakukan oleh tim observasi dan hasil pengamatan diterapkan untuk mencegah cedera atau kerusakan sebelum terjadi. Langkah-Langkah Pelaksanaan JSO

1) Memilih pekerjaan 2) Melaksanakan 3) Mencatat hasil-hasil pengamatan 4) Membahas hasil-hasil pengamatan bersama pekerja

yang diamati 5) Memberikan tindak lanjut bagi sikap bekerja yang

aman 1. Pemilihan pekerjaan yang diamati

Untuk menentukan pekerjaan mana yang harus diprioritaskan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal berikut ini:

a) Adanya pekerja baru ataupun pekerjaan yang baru b) Pekerja yang lulus ataupun yang selesai mengikuti

kegiatan pelatihan c) Pekerja yang bekerja di bawah rata-rata d) Pekerja yang sering mendapat kecelakaan e) Pekerja yang bekerja berhadapan dengan resiko

Page 134: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

129

f) Pekerja yang mempunyai persoalan-persoalan khusus 2. Melakukan pengamatan

a) Katakan kepada pekerja yang bersangkutan bahwa kegiatan pengamatan anda kepadanya adalah dalam rangka JSO dan perlu dikatakan juga bahwa pekerja yang bersangkutan supaya melakukan pekerjaan seperti biasa.

b) Amatilah pekerja tersebut secara diam-diam dan sederhana ketika sedang bekerja

c) Buatlah catatan pada work sheet mengenai pelaksanaan kerja praktis dan prosedur-prosedur kerja normal bagi pekerja tersebut.

d) Hati-hatilah melakukan pengamatan jangan sampai mengganggu apa yang dilakukannya.

e) Isilah JSO sheet sesudah anda melakukan review dengan pekerja tersebut. Simpanlah sebagai arsip sehingga dapat dipergunakan sewaktu-waktu.

3. Pembahasan a) Setelah anda selesai melakukan JSO, duduklah bersama

pekerja tersebut dan terangkanlah kepadanya kesimpulan dari hasil JSO.

b) Tunjukkanlah penghargaan anda kepadanya dan nyatakanlah bahwa anda menginginkan kerja sama.

c) Katakanlah terus terang tentang sikap bawahan anda dan cara melaksanakan pekerjaannya selama ini, jangan sampai menggurui, namun pancinglah dia dalam dialog santai yang dapat membawa ke arah kerja yang selamat.

d) Setelah mengetahui hasil JSO, mungkin pekerja akan menjadi cemas dan takut, oleh karena itu penting menjaga suasana pembicaraan tetap terkontrol, informal, dan bersahabat.

e) Jangan sampai pembicaraan menjadi komunikasi satu arah

f) Doronglah dan semangatilah bawahan anda agar mau berbicara dan memberikan pandangannya sehingga suatu cara kerja yang selamat terbuka baginya serta mau melaksanakannya.

g) Hal ini dapat dicapai apabila pekerja tersebut mengerti hambatan-hambatan, tindakan dan kebiasaannya dalam bekerja yang bisa mendatangkan celaka.

Page 135: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

130 4. Tindak Lanjut

Tindak lanjut JSO disesuaikan dengan keperluan pekerjaan, yang pada umumnya tergantung dari pekerjaan dan manusia itu sendiri. Tindak lanjut JSO sangat bermanfaat ketika baru saja ada penggantian dan pengubahan pekerjaan. Prosedur JSO

Prosedur JSO dapat digunakan untuk: 1. Bahan perbaikan atau koreksi yang harus segera

dilakukan 2. Menyempurnakan pelaksanaan pekerjaan 3. Usaha meningkatkan tingkah laku dan kebiasaan bekerja

yang aman Melalui pendapat atas hasil JSO, maka dapat diberikan

dorongan ke arah sikap yang selalu peduli terhadap keselamatan kerja. Manfaat JSO

1. JSO dapat digunakan sebagai feed back 2. Merupakan informasi yang jitu untuk mencapai

efektivitas dalam peranan melatih para pekerja. 3. Berbagai substandard kerja praktis yang ada dapat

diidentifikasikan secara dini, sehingga kecelakaan yang tidak perlu dapat dicegah.

4. Memberi kesempatan pada atasan atau pemilik perusahan untuk dapat berbincang-bincang secara informil untuk membicarakan sikap yang kurang tepat dari para pekerjanya dalam bekerja.

5. Berkesempatan mengoreksi kerja para pekerja yang kurang baik

6. Anda bisa menjadi lebih dekat dengan para pekerja anda, sehingga bisa mengetahui lebih dalam dan lebih baik setiap para pekerja anda.

7. Anda akan lebih mudah dan cepat menangkap problema fisik dan psikis dari para pekerja anda.

Page 136: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

131

HIGIENE INDUSTRI Undang-undang yang terkait dengan Higiene Industri:

1. Undang-Undang Nomor11 tahun 1962 tentang hygiene untuk usaha umum dan usaha pemerintah dalam pendidikan, bimbingan, pengawasan da, pemeriksaan hygiene lingkungan, hasil produksi dan penggunaan alat yang dapat membahayakan kesehatan.

2. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1966 tentang usaha pemerintah dalam UNDANG-UNDANG 11 tahun 1962

3. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 tentang pembinaan perlindungan kerja melalui norma kesehatan dan hygiene perusahaan

4. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja dengan hygiene sebagai salah satu persyaratannya

5. Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang hak pekerja untuk perlindungan atas K3 dan kewajiban perusahaan menerapkan SMK3

6. Undang-Undang 36 tahun 2009 tentang upaya pengelolaan kesehatan kerja dan lingkungan

Definisi Higiene industri merupakan ilmu dan seni yang

ditujukan kepada antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian faktor-faktor lingkungan atau stress yang timbul dari tempat kerja dan dapat menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan atau ketidaknyamanan signifikan di antara pekerja atau komunitas masyarakat. Higiene industri memberikan perhatian kepada pengendalian tekanan dari lingkungan atau bahaya kesehatan kerja yang muncul sebagai dampak atau selama masa pekerjaan. Program higiene industri yang efektif haruslah melibatkan antisipasi dan rekognisi dari bahaya kesehatan yang muncul dari operasi pekerjaan dan proses, evaluasi dan pengukuran besaran bahaya berdasarkan studi atau pengalaman masa lalu serta pengendalian bahaya.

Page 137: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

132

Sejarah Higiene Industri

Pada mulanya, higiene industri berkembang dari kesadaran bahwa bekerja dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja yang memerlukan upaya pencegahan. Pada jaman prasejarah, orang Mesir telah mengenal manfaat cadar bagi perlindungan respirasi saat menambang cinabar (red mercury oxide) dan di Arabia ada catatan tentang efek sinar matahari pada pekerja di tambang raja Solomon.

Pada abad pertengahan sebelum abad ke-19, Georgius Agricola (1494-1555) dari Bohemia menemukan pekerja tambang dengan gejala silikosis. Untuk mencegah penyakit tersebut, Georgius menganjurkan tentang pentingnya kebersihan udara di lingkungan kerja, dan menulis buku Of Things Metallic. Theophrastus Bombastus van Hohenheim Paracelsus (1493-1541) dari Austria, menyadari hubungan dosis-respons antara kejadian penyakit pada pekerja pengecoran logam dan beratnya penyakit. Hal tersebut telah menjadi dasar perkembangan disiplin ilmu toksikologi.

Bapak kesehatan kerja, Bernardino Ramazini (1633-1714), seorang professor di Modena, menulis buku yang berjudul A Diatribe on Diseases of Workers yang membahas penyakit yang terdapat di kalangan pekerja. Kepada para dokter, Ramazini menekankan agar selalu bertanya kepada pasien tentang pekerjaan mereka. Ramazini dikenal sebagai ‘Bapak Kesehatan Kerja’ karena prestasi dan jasanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan kesehatan kerja.

Pada jaman revolusi industri, Percivall Pott (1766) menyatakan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu kanker skrotum yang banyak ditemukan pada pembersih cerobong asap batubara. Sekarang diketahui bahwa penyebabnya adalah senyawa PAHs/polinuklear aromatik hidrokarbon yang terdapat dalam jelaga cerobong. Pada tahun 1914, US Public Health Service didirikan oleh Kantor Higiene Industri dan Sanitasi. Organisasi ini kelak akan mengganti namanya di tahun 1971 menjadi National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Pada tahun 1950, International Labor Organization dan World Health Organization menetapkan definisi tentang kesehatan kerja. Pada tahun 1970, Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Amerika Serikat terbentuk yang menjadi landasan bagi

Page 138: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

133

terbentuknya Occupational Safety and Health Administration (OSHA) yang regulasinya banyak diambil sebagai contoh oleh negara-negara lain.

Sejarah hygiene industry di Indonesia sendiri sudah ada sejak masa kolonial Belanda yaitu pada tahun 1930 dengan dikeluarkannya mijn politie reglement dan selanjutnya setelah masa penjajahan, dibentuklah Hiperkes (Higiene pekerja dan kesehatan) pada tahun 1968 yang disusul dengan dikeluarkannya UNDANG-UNDANG No. 1 tahun 1970. Konsep dalam higiene industri adalah bagaimana membatasi paparan hazard (bahaya) yang diterima pekerja di tempat kerja. Pembatasan dilakukan melalui proses antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian paparan hazard yang ada di tempat kerja. Pendekatannya melalui usaha preventif untuk melindungi kesehatan pekerja dan mencegah timbulnya efek yang ditimbulkan oleh bahaya (hazard). Proses dalam higiene industri meliputi antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian yang merupakan prinsip dasar dalam melakukan higiene industri. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian: 1. Antisipasi

Antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan, memprediksi dan mengestimasi bahaya (hazard) yang mungkin terdapat pada tempat kerja yang merupakan konseksuensi dari aktivitas kerja. Tujuan dalam tahap antisipasi adalah mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul menjadi bahaya dan risiko yang nyata, mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki, meminimalisasi kemungkinan risiko yang terjadi pada saat suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki. Kunci dalam tahapan antisipasi adalah informasi. Contoh informasi yang diperlukan antara lain adalah karakteristik bangunan tempat kerja, mesin yang digunakan, proses kerja, bahan baku, alat yang dipakai, cara kerja yang dilakukan, atau jumlah dan karakteristik pekerja. Fokus dari semua informasi ini adalah diketahuinya potensi bahaya serta risiko baik untuk kesehatan ataupun keselamatan kerja.

Page 139: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

134

Tahapan melakukan antisipasi terdiri dari 3 (tiga) langkah. (1) Pengumpulan informasi melalui studi literatur, penelitian terkait, dokumen perusahaan, survey lapangan, legislasi yang berlaku, ataupun pengalaman-pengalaman pda masa lalu. (2) Analisis dan diskusi dengan pihak yang terkait yang berkompeten. (3) Pembuatan hasil dari antisipasi. Hasil dari tahap antisipasi merupakan daftar potensi bahaya dan risiko. Daftar tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan lokasi atau unit, kelompok pekerja, jenis potensi bahaya ataupun tahapan proses produksi.

2. Rekognisi

Rekognisi merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih detil dan lebih komprehensif dengan menggunakan suatu metode yang sistematis sehingga dihasilkan suatu hasil yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Pada tahap rekognisi, kita biasanya melakukan pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi, dosis, ukuran (partikel), jenis, kandungan atau struktur serta sifat. Tujuan tahapan rekognisi adalah: (1) Mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil

(sifat, kandungan, efek, severity, pola pajanan, besaran, dan lain-lain),

(2) Mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko, (3) Mengetahui proses kerja yang berisiko, dan

mengetahui pekerja yang berisiko. Apabila pada tahapan antisipasi hanya memprediksi bahaya, maka di tahap rekognisi ini sudah harus mengetahui detail terkait dengan bahaya serta risiko yang ada. Mengenal bahaya (hazard) lingkungan yang berhubungan dengan pekerjaan dan pemahaman dari efek atau akibatnya terhadap para pekerja maupun masyarakat disekitarnya. Bahaya-bahaya (hazard) yang terkait isu higiene industri diantaranya : a. Bahaya fisik

Bahaya timbul dari excess-nya tingkat kebisingan, radiasi non-pengion/pengion, suhu ekstrim dan pressure (tekanan)

Page 140: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

135

b. Bahaya Kimia

Bahaya kimia timbul dari timbul dari excess-nya konsentrasi mists, uap, gas atau padatan dalam bentuk fume atau debu di udara. Selain itu, bahaya kimia terkait higiene industri termasuk juga bahan yang bersifat iritan atau beracun ketika terabsorpsi kulit

c. Bahaya biologi Bahaya biologi disebabkan oleh organisme hidup atau sifat organisme tersebut yang dapat memberikan efek/dampak kesehatan yang terhadap manusia (agen yang menginfeksi)

d. Bahaya Ergonomi Bahaya ini sering diabaikan. Bahaya yang termasuk bahaya ergonomi termasuk adalah design peralatan kerja, area kerja, prosedur kerja yang tidak memadai/sesuai. Selain itu, bahaya ergonomi yang berpotensi menyebabkan kecelakaan atau pekerja sakit diantaranya pengangkatan dan proses ketika menjangkau/meraih yang tidak memadai, kondisi visual yang buruk, gerakan monoton dalam postur janggal.

Metode yang dapat dilaksanakan dalam tahapan rekognisi adalah: a. Menyelidiki laporan kecelakaan b. Melakukan pemeriksaan fisik tentang kondisi

kesehatan pekerja c. Memberikan kesempatan kepada pekerja untuk

memberi tahu manajemen ketika ada bahaya d. Inspeksi baik inspeksi rutin alat, inspeksi harian di

tempat kerja, inspeksi manajemen, inspeksi P2K3, dan inspeksi yang lain

e. Studi literatur dan diskusi dengan profesional yang lain

f. Pengukuran dengan alat dan laboratorium g. Preliminary hazard analysis untuk sistem oprasi baru h. Job Safety Analysis

Page 141: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

136

3. Evaluasi

Evaluasi merupakan proses pengambilan keputusan yang melibatkan penilaian bahaya kepada pekerja dari pajanan terhadap zat kimia, bahaya fisik dan agen biologis. Tindakan yang diambil untuk melindungi pekerja berdasarkan kombinasi dari observasi, interview dan pengukuran dari energi atau kontaminan udara yang muncul dari proses atau operasi kerja serta efektifitas dari tindakan pengendalian yang dipakai. Proses pengambilan keputusan yang hasilnya adalah tingkat bahaya (hazard) dalam operasi industri. Proses eveluasi digunakan sebagai pendekatan dasar dalam menentukan tindakan pengendalian yang akan diambil. Pada tahap evaluasi ini dilakukan justifikasi terhadap tingkat bahaya yang ada dengan membandingkannya dengan standar, misalnya: NAB (NIlai Ambang Batas) Kebutuhan untuk mengevaluasi bahaya didorong dari pengetahuan bahwa zat kimia, agen biologis, dan elemen fisika dapat menyebabkan luka, penyakit serta kematian dini pada kalangan pekerja yang terpajan. Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan 6.2 juta luka terkait dengan pekerjaan dan penyakit pada industri swasta tahun 1997. Jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar karena banyak penyakit akibat kerja tidak dapat dikenali, banyak luka dan penyakit tidak dilaporkan dan kejadian di tempat publik tidak termasuk dalam perhitungan. Evaluasi dari bahaya, asal bahaya dan pencegahan dari penyakit dan kematian didasari oleh beberapa faktor:

1) Toksisitas yaitu kapasitas inheren dari sebuah zat yang dapat mengakibatkan rasa sakit, asal dari rasa sakit, dan mempengaruhi target organ.

2) Level pajanan atau dosis yaitu jumlah yang diserap oleh pekerja melalui semua rute pajanan selama pekerjaan

3) Analisis proses atau operasi yaitu perhatian terhadap operasi termasuk perubahan dari bahan mentah menjadi energi yang mungkin menghasilkan pelepasan zat kimia atau energi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja.

4) Kecelakaan, tumpahan dan aktivitas pemeliharaan : pengetahuan tentang kecelakaan akut, kejadian yang

Page 142: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

137

jarang, kebocoran atau kejadian lain yang mungkin terlewat dalam evaluasi rutin

5) Epidemiologi dan penilaiuan risiko: review literatur dari riset berdasarkan populasi serta kasus yang dapat menyediakan informasi terkait dengan efek kesehatan buruk yang tidak diperhatikan dalam kelompok yang lebih kecil

6) Wawancara: informasi yang disediakan oleh pekerja terkait dengan gejala kesehatan, tugas dan perubahan dalam kondisi yang dapat menyediakan detail penting terkait analisa proses, dampak kesehatan dan stressor lain seperti zat kimia, fisik, ergonomik atau biologis.

7) Distribusi risiko yang tidak sama: perhatian terkait dengan beberapa populasi dari pekerja yang mungkin memiliki risiko lebih tinggi daripada yang lain. Misalnya pekerja yang lebih tua atau remaja memiliki risiko yang lebih tinggi daripada yang lain.

8) Variabilitas dari respons: hal ini terkait dengan bagaimana seorang individu berbeda dalam kerentanan karena memiliki faktor yang berbeda seperti umur, ukuran, rasio pernafasan dan status kesehatan umum.

4. Pengendalian

Pengendalian bahaya, dalam higiene industri, memiliki tujuan untuk memastikan bahwa pekerja yang terpapar stress dari zat kimia berbahaya dan agen fisika tidak menjadi ppekerja dengan penyakit akibat kerja. Jumlah yang perlu diukur adalah konsentrasi atau intensitas dari bahaya umum serta durasi dari pajanan. Prinsip pengendalian bahaya antara lain: 1) Semua bahaya dapat dikendalikan 2) Biasanya terdapat banyak pilihan metode untuk

mengendalikan bahaya 3) Beberapa metode lebih baik dari yang lain 4) Beberapa situasi membutuhkan lebih dari 1 metode

pengendalian untuk menjamin hasil yang optimum. Tindakan pengendalian terhadap bahaya merupakan proses untuk menurunkan tingkat risiko yang mungkin diterima oleh pekerja. Pengendalian untuk bahaya (hazard) yang dapat mempengaruhi kesehatan dibagi

Page 143: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

138

menjadi 3 (tiga) kategori yang mengambil prinsip dalam hierarki pengendalian bahaya: 1) Engineering control (rekayasa teknik)

Meliputi cara pengendalian bahaya baik berdasarkan spesifikasi saat menentukan desain awal maupun dengan menerapkan metode eliminasi, substitusi, isolasi, memagari atau sistem ventilasi. Engineering control berdasarkan hierarkinya merupakan pengendalian yang pertama. a. Eliminasi berarti menghilangkan bahaya. Contoh

tindakan eliminasi adalah berhenti menggunakan zat kimia beracun, menerapkan pendekatan ergonomic ketika merencanakan tempat kerja baru, mengeliminasi pekerjaan yang monoton yang bisa menghilangkan stress negatif, dan menghilangkan aktifitas forklift dari sebuah area.

b. Substitusi berarti mengganti sesuatu yang berbahaya dengan sesuatu yang memiliki bahaya lebih sedikit. Contoh tindakan substitusi adalah mengganti aduan konsumendari telpon ke online, mengganti cat berbasis solven ke berbasis air, mengganti lantai yang berbahan licin ke yang tidak licin dan menurunkan voltase dari sebuah peralatan.

c. Isolasi berarti menjauhkan bahan berbahaya dari pekerja. Isolasi bisa dilakukan dengan memberikan pembatasan, misalkan memberikan batas/pagar atau menggunakan alat bantu untuk mencapai bahan yang berbahaya tersebut.

2) Administrative control (kontrol administrasi) Pengendalian administrasi merupakan pengendalian risiko dan bahaya dengan peraturan-peraturan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang dibuat. Pengendalian melalui penjadwalan, yaitu mengurangi waktu bekerja para pekerja di area kerja yang mengandung bahaya. Selain itu termasuk juga di dalam administrative control adalah training yang memberikan pekerja kemampuan untuk mengenali bahaya dan bekerja dengan aman melalui prosedur. Contoh pengendalian administrasi adalah melaksanakan inspeksi keselamatan terhadap

Page 144: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

139

peralatan secara periodik, melaksanakan pelatihan, mengatur keselamatan dan kesehatan kerja pada aktivitas kontraktor, melaksanakan safety induction, memastikan operator forklift sudah mendapatkan lisensi yang diwajibkan, menyediakan instruksi kerja untuk melaporkan kecalakaan, mengganti shift kerja, menempatkan pekerja sesuai dengan kemampuan dan risiko pekerjaan (misalkan: terkait dengan pendengaran, gangguan pernafasan, gangguan kulit), serta memberikan instruksi terkait dengan akses kontrol pada sebuah area kerja.

3) APD (Alat Pelindung Diri) Pengendalian ini merupakan pegendalian terakhir pada hirarki pengendalian bahaya. APD digunakan oleh pekerja untuk melindungi pekerja dari bahaya (hazard) yang terdapat di lingkungan kerjanya. Alat pelindung diri menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 8 Tahun 2010 adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Contoh Alat Pelindung Diri adalah baju, sepatu keselamatan, kacamata keselamatan, perlindungan pendengaran dan sarung tangan.

Tujuan hirarki pengendalian risiko adalah untuk menyediakan pendekatan sistematik guna peningkatan keselamatan dan kesehatan, mengeliminasi bahaya dan mengurangi atau mengendalikan risiko keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hirarki pengendalian bahaya, pengendalian yang lebih atas disepakati lebih efektif daripada pengendalian yang lebih bawah. Kita bisa mengkombinasikan beberapa pengendalian risiko dengan tujuan agar berhasil dalam mengurangi risiko terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja kepada level yang serendah mungkin yang dapat dikerjakan dengan pertimbangan (as low as reasonably practicable). Tahapan rekayasa teknik dan reorganisasi dari pekerjaan merupakan tahapan untuk memberikan perlindungan pekerja secara kolektif. Contoh perlindungan dalam rekayasa teknik dan reorganisasi pekerjaan adalah pemberian pelindung mesin, system ventilasi, mengurangi

Page 145: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

140

bising, perlindungan melawan ketinggian, mengorganisasi pekerjaan untuk melindungi pekerja dari bahaya bekerja sendiri, jam kerja dan beban kerja yang tidak sehat Pemilihan metode pengendalian secara efektif dan efisien akan mengurangi atau menghilangkan dampak bahaya yang mungkin diterima pekerja. sehingga pada akhirnya di tempat kerja tersebut akan terbentuk sistem kerja yang sehat dan aman.

Page 146: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

141

ERGONOMI

Istilah "ergonomi" berasal dari dua kata bahasa Yunani: "ergon", yang berarti kerja, dan "nomoi," yang berarti hukum-hukum alam. Ergonomis studi kemampuan manusia dalam hubungannya dengan tuntutan pekerjaan. Secara harfiah ergonomi diartikan sebagai ilmu aturan kerja. (Sweeny, 2000). Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk pencapaian penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaan yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja. (Suma’mur, 1996)

Sedangkan pada buku Ergonomi Untuk Produktivitas mengatakan bahwa ergonomi adalah komponen kegiatan dalam ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja yang antara lain meliputi penyerasian pekerjaan terhadap tenaga kerja secara timbal balik untuk efesiensi dan kenyamanan kerja (Suma’mur, 1989). Menurut A.M Sugeng dkk (2003) Ergonomi adalah ilmu beserta penerapannya yang berusaha menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan efesiensi kerja yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan manusia seoptimal mungkin.

Ergonomi merupakan studi ilmiah mengenai hubungan antara orang dengan lingkungan kerjanya. Yang dimaksud dengan lingkungan kerjanya adalah keseluruhan alat, perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar tempat kerja, metode yang digunakan dalam bekerja serta pengaturannya kerja baik perorangan maupun kelompok.

Didalam ergonomi terkandung makna penyerasian jenis pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap tenaga kerja atau sebaliknya. Hal ini terkait dengan penggunaan teknologi yang tepat, sesuai dengan jenis pekerjaan serta didukung oleh lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan sehat. Dalam kondisi ini diperlukan pemahaman tentang bagaimana caranya memanfaatkan manusia sebagai tenaga kerja seoptimal mungkin sehingga diharapkan tecapai efesiensi, efektivitas dan produktivitas yang optimal.

Page 147: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

142

Ergonomi merupakan pertemuan dari berbagai

lapangan ilmu seperti antropologi, biometrika, faal kerja, hygine perusahaan dan kesehatan kerja, perencanaan kerja, riset terpakai, dan cybernetika. Namun kekhususan utamanya adalah perencanaan dari cara kerja yang lebih baik meliputi penentuan problematik, percobaan untuk pemecahan, penerapan hasil percobaan dan pembuktian efektivitas namun dalam prakteknya sering menggunakan pendekatan trail and error (Suma’mur, 1996)

Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik pada sektor modern, maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada sektor modern, penerapan ergonomi dalam bentuk pengaturan sikap, tata kerja dan perencanaan kerja yang tepat adalah syarat penting bagi efesiensi dan produktivitas kerja yang tinggi.

Sejarah Ergonomi Ergonomi mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan

tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya telah bermunculan puluhan tahun sebelumnya. Beberapa kejadian penting diilustrasikan sebagai berikut: 1. C.T. Thackrah, England, 1831

Trackrah adalah seorang dokter dari Inggris yang meneruskan pekerjaan dari seorang Italia bernama Ramazzini, dalam serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja yang tidak nyaman yang dirasakan oleh para operator di tempat kerjanya. Ia mengamati postur tubuh pada saat bekerja sebagai bagian dari masalah kesehatan. Pada saat itu Trackrah mengamati seorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan dimensi kursi-meja yang kurang sesuai secara anthropometri, serta pencahayaan yang tidak ergonomis sehingga mengakibatkan badannya membungkuk dan iritasi indera penglihatan. 2. Frederick W. Taylor, U.S.A., 1989

Frederick W. Taylor adalah seorang insinyur Amerika yang menerapkan metoda ilmiah untuk menentukan cara yang terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan. 3. F.B. Gilbreth, U.S.A., 1911

Gilbreth juga mengamati dan mengoptimasi metoda kerja, dalam hal ini lebih mendetail dalam analisa gerakan

Page 148: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

143

dibandingkan dengan Taylor. Dalam bukunya Motion Study yang diterbitkan pada tahun 1911, menunjukkan bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan mendesain suatu sistem meja yang dapat diatur turun-naik (adjustable).

Badan Penelitian untuk Kelelahan Industri (Industrial Fatigue Research Board), England, 1918. Badan ini didirikan sebagai penyelesaian masalah yang terjadi di pabrik amunisi pada Perang Dunia Pertama. Mereka menunjukkan bagaimana output setiap harinya meningkat dengan jam kerja per hari-nya yang menurun. 4. Elton Mayo dan teman-temannya, U.S.A., 1933

Elton Mayo seorang warga negara Australia, memulai beberapa studi disuatu perusahaan listrik. Tujuan studinya adalah untuk mengkuantifikasi pengaruh dari variabel fisik seperti pencahayaan dan lamanya waktu istirahat terhadap faktor efisiensi dari para operator kerja pada unit perakitan. 5. Perang Dunia Kedua, England dan U.S.A

Masalah operasional yang terjadi pada peralatan militer yang berkembang secara cepat (seperti misalnya pesawat terbang). Masalah yang ada pada saat itu adalah penempatan dan identifikasi utnuk pengendali pesawat terbang, efektivitas alat peraga (display), handel pembuka, ketidaknyamanan karena terlalu panas atau terlalu dingin, desain pakaian untuk suasana kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin dan pengaruhnya pada kinerja operator. 6. Pembentukan kelompok ergonomi

Pembentukan masyarakat peneliti ergonomi (The Ergonomics Research Society) di England pada tahun 1949 melibatkan beberapa profesional yang telah banyak berkecimpung dalam bidang ini. Hal ini menghasilkan jurnal (majalah ilmiah) pertama dalam bidang Ergonomi pada Nopember 1957. Perkumpulan Ergonomi Internasional (The International Ergonomics Association) terbentuk pada 1957, dan The Human Factors Society di Amerika pada tahun yang sama. Diketahui pula bahwa Konferensi Ergonomi Australia yang pertama diselenggarakan pada tahun 1964, dan hal ini mencetuskan terbentuknya Masyarakat Ergonomi Australia dan New Zealand (The Ergonomics Society of Australian and New Zealand) (Diaz, 2009)

Page 149: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

144

Tujuan Ergonomi Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner,

mengintegrasikan berbagai elemen keilmuan, seperti misalnya fisiologi, anatomi, kesehatan, teknologi, desain dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Tujuan ergonomi adalah (Manuaba, 1998) (a) meningkatkan kesejahtetaan fisik dan mental; (b) meningkatkan kesejahteraan sosial; (c) keseimbangan rasional antara sistem manusia atau manusia-mesin dengan aspek teknis, ekonomi, antropologi, budaya.

Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh satu aspek saja, ketiga hal tersebut harus diintegrasikan secara menyeluruh. Untuk mengimplementasikan tujuan yang ingin dicapai perlu berpijak kepada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia. Dengan tujuan yang ideal adalah mengatur pekerjaan tersebut berada dalam batas-batas dimana manusia bisa mentolerirnya, tanpa menimbulkan kelainan (Manuaba, 1998). Di sisi lain perlu pula diperhatikan aspek task, organisasi dan lingkungan, serta pengaruh yang ditimbulkan terhadap tubuh.

Akibat pengaruh dari ketiga aspek tersebut, dari masing-masing aspek atau secara bersamaan dapat menimbulkan beban tambahan di luar beban dari pekerjaan yang sesungguhnya. The Joy Institute (1998) mengungkapkan tujuan akhir dari ergonomi adalah meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan kualitas hidup. Chavalitsakulchai dan Shahnavaz (1993) mengemukakan bahwa, ergonomi dapat menurunkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Manuaba (1998), lebih terperinci mengatakan manfaat penerapan ergonomi antara lain pekerjaan lebih cepat selesai; risiko penyakit akibat kerja kecil; kelelahan berkurang; dan rasa sakit berkurang atau tidak ada. Ergonomi juga diperlukan karena adanya berbagai dampak pembangunan seperti adanya kecelakaan; adanya penyakit akibat kerja; adanya polusi; adanya ketidak puasan kerja, dan banjir dan bencana lainnya.

Ergonomi dikatakan sebagai management itu sendiri, karena keberhasilan ergonomi, jika dimanfaatkan sejak perencanaan dan memperhatikan bagaimana memilih dan mengalihkan teknologi, menyusun organisasi kerja yang tepat sehingga pada akhirnya akan terjadi hubungan dan kepuasan kerja yang baik. Lebih jauh Manuaba (2001) mengungkapkan

Page 150: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

145

dari aspek definisi, ergonomi dan Total Quality Management (TQM) punya tujuan yang sama yaitu berorientasi kepada dipenuhinya keinginan atau kebutuhan para pelanggan.

Dalam rangka kompetisi globalisasi, setiap produk yang dihasilkan hendaknya benar-benar harus kompetitif, dengan kata lain harus memiliki nilai tambah. Serta produk yang sudah diproses melalui pendekatan ergonomi akan memiliki berbagai kelebihan, misalnya lebih aman dioperasikan, lebih nyaman digunakan, lebih sehat karena tidak memiliki sumber penyakit, lebih produktif, karena tidak cepat menimbulkan kelelahan.

Walaupun tujuannya sudah jelas terkadang ergonomi masih diragukan dalam operasionalnya, yang disebabkan oleh karena tidak adanya pencatatan yang baik serta tidak proaktifnya mempresentasikan keberhasilan yang telah dicapai (Hendrick, 1997). Grob dan Dong (2006) melaporkan sebagian besar penelitian yang mengungkapkan ekonomi di dalam ergonomi hanya mengungkapkan intervensi ergonomi hanya menguntungkan dalam meningkatkan keselamatan dan produktivitas atau keduannya, dan tidak melaksanakan pencatatan lain dari intervensi ergonomi yang dilaksanakan.

Ada delapan aspek yang perlu diperhatikan dalam memecahkan masalah dalam ergonomi yaitu nutrisi, pemanfaatan tenaga otot, sikap kerja, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi sosial, kondisi informasi, dan interaksi manusia-mesin. (Artayasa, 2010). Poin-poin berikut merupakan salah satu tujuan umum ergonomi dan membantu pengusaha dan organisasi dan industri dalam:

1. Pengurangan kecelakaan kerja dan penyakit. 2. Mengurangi biaya cacat bagi para pekerja. 3. Meningkatkan produktivitas. 4. Meningkatkan kualitas pekerjaan. 5. Menurunkan ketidakhadiran. 6. Menerapkan peraturan yang ada. 7. Penurunan kehilangan bahan baku. (Soni, 2006)

Page 151: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

146

Fungsi Ergonomi Ergonomi memberikan kemudahan kepada manusia

dalam berbagai hal di dalam lingkungan kerja sehingga manusia memiliki kemudahan, kenyaman, serta efisiensi dalam melakukan pekerjaannya. Menurut Sutalaksana (1979), ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman (Anggraini, 2010).

Ergonomi memiliki fungsi dimana dapat memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan begitu kendala keterbatasan yang dimiliki oleh manusia dapat diatasi. Fungsi lainnya, ergonomi mampu mengurangi penggunaan energi lebih pada saat seseorang melakukan pekerjaan. Selin itu, ergonomi dapat mebuat seseorang menjadi lebih baik dalam melakukan suatu pekerjaan juga pruktivitas menjadi lebih baik. (Anggraini, 2010).

Sasaran dari ilmu ergonomi adalah meningkatkan prestasi kerja yang tinggi dalam kondisi aman, sehat, nyaman dan tenteram. Aplikasi ilmu ergonomi digunakan untuk perancangan produk, meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja serta meningkatkan produktivitas kerja. Dengan mempelajari tentang ergonomi, maka kita dapat mengurangi risiko penyakit, meminimalkan biaya kesehatan, nyaman saat bekerja dan meningkatkan produktivitas dan kinerja serta memperoleh banyak keuntungan. Penilaian ergonomi di tempat kerja dapat diperoleh 3 keuntungan yaitu:

1. Mengurangi potensi timbulnya kecelakaan kerja 2. Mengurangi potensi gangguan kesehatan pada pekerja 3. Meningkatkan produktivitas dan penampilan kerja

Peran ergonomi sangat besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat (Hakim, 2010). Ergonomi bisa dikatakan sebagai satu ilmu terapan dalam mencapai kesehatan dan keselamatan kerja. Ilmu ini digunakan untuk membuat pekerja merasa nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya.

Page 152: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

147

Prinsip Ergonomi Ergonomi memiliki bebarapa prinsip-prinsip yang

digunakan sebagai pegangan dalam pembuatan alat-alat kerja atau fasilitas kerja, prinsip-prinsip ergonomi sebagai berikut:

1) Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan alat-alat petunjuk, cara harus melayani mesin.

2) Ukuran-ukuran anthropometri terpenting sebagai dasar ukuran-ukuran dan penempatan alat-alat industri: Pekerjaan duduk ukurannya:

a. Tinggi duduk b. Panjang lengan atas c. Panjang lengan bawah dan tangan d. Jarak lekuk lutut dan garis punggung

3) Tempat duduk yang baik memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tinggi dataran duduk yang dapat diukur dengan papan kaki yang sesuai dengan tinggi lutut sedangkan paha dalam keadaan datar

b. Papan tolak punggung yang tingginya data diukur dan menekan pada punggung

c. Lebar papan duduk tidak kurang dari 35 cm d. Tinggi meja

4) Pekerjaan berdiri sedapat mungkin dirubah menjadi pekerjaan duduk. Dalam hal tidak mungkin, kepada pekerja diberi tempat duduk dan kesempatan untuk duduk.

5) Arah penglihatan untuk pekerjaan berdiri adalah 23-27º ke bawah, sedangkan untuk pekerjaan duduk 32-34º ke bawah, arah penglihatan ini sesuai dengan sikap kepala yang istirahat.

6) Ruang gerak lengan ditentukan oleh punggung lengan seluruhnya dan lengan bawah. Pegangan-pegangan harus diletakkan didaerah tersebut, terlebih bila sikap tubuh tidak berubah.

7) Kemampuan seseorang bekerja sehari adalah 8-10 jam lebih dari itu efesiensi dan kualitas kerja menurun.

8) Waktu istirahat didasarkan pada keperluan atas dasar ergonomi. Harus dihindari istirahat-istirahat

Page 153: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

148

sekehendak tenaga kerja, istirahat oleh karena turunnya kapasitas tubuh dan istirahat curian.

Ruang Lingkup Ergonomi Ergonomi bisa dibagi menjadi beberapa bagian untuk lebih memudahkan pemahamannya. Ruang lingkup ergonomi adalah:

1. Ergonomi fisik: Berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, anthropometri, karakteristik fisiologi dan biomekanika yang berhubungan dengan aktifitas fisik.

2. Ergonomi koknitif: Berkaitan dengan proses mental manusia, termasuk didalamnya; persepsi ingatan dan reaksi sebagai akibat dari interaksi manusia terhadap pemakaian elemen sistem.

3. Ergonomi organisasi: Berkaitan dengan optimatisasi sistem sosioteknik, termasuk struktur organisasi, kebijakan dan proses.

4. Ergonomi lingkungan: Berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan dan getaran.

Ergonomi Fisik Ergonomi fisik membahas mengenai anthropometri,

lingkungan fisik ditempat kerja, dan biomekanik. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi fisik antara lain: posisi tubuh (duduk, berdiri), posisi tubuh pada saat mengangkat, menjijing beban. Ergonomi ini meliputi: 1) Anthropometri dan aplikasinya dalam ergonomi

Menurut Stevenson (1981) dan Nurminto (1991) anthropometri adalah suatu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia ukuran bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Anthropometri merupakan suatu pengukuran sistematis terhadap tubuh manusia terutama seluk beluk dimensional ukuran dan bentuk tubuh manusia anthropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu bentuk rancangan bangun yang disebut sebagai suatu rancang bangun yang ergonomis.

Page 154: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

149

Anthropometri berkaitan dengan ukuran tubuh yang sangat bervariasi. Data-data mengenai ukuran tubuh manusia penting untuk desain ruang dan alat kerja. Ukuran tubuh manusia tergantung pada usia, jenis kelamin, keturunan, status gizi, dan kesehatan. Biomekanika berkaitan dengan hukum mekanika dalam tubuh manusia. Tubuh manusia merupakan suatu struktur dimana gaya kopel atau momen bekerja seperti halnya pada struktur. Dengan memperhatikan kerja kekuatan mekanik pada tubuh manusia dapat dihindari cidera, sakit, atau kelelahan. Biomeknika juga memperhitungkan pembebanan yang diberikan pada tubuh pada waktu bekerja. Pada lingkungan pabrik yang serba otomatispun manusia masih harus membuat mesin dan produk yang dihasilkan lewat jalur perakitan yang dirancang bagi manusia sebagai penggunaannya. Ukuran alat kerja menentukan sikap, gerak dan posisi kerja dari tenaga kerja, dengan demikian penerapan anthropometri mutlak diperlukan untuk menjamin adanya sistem yang baik. Anthropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data anthropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal:

1. Perancangan areal kerja (work stations, interior mobil, dan lain-lain)

2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, berkakas dan sebagainya.

3. Perancangan produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja komputer, dan lain-lain.

4. Perancangan lingkungan fisik. Anthropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia. Data anthropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas dalam hal: a. Perancangan areal kerja, perancangan peralatan kerja,

perancangan produk konsumtif, perancangan lingkungan kerja fisik. Data ini akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk

Page 155: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

150

yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut. Anthropometri merupakan bagian dari ilmu ergonomi yang berhubungan dengan dimensi tubuh manusia yang meliputi bentuk, ukuran dan kekuatan serta penerapanya untuk kebutuhan perancangan fasilitas aktifitas manusia. Data anthropometri sangat diperlukan untuk perancangan peralatan dan lingkungan kerja. Kenyamanan menggunakan alat bergantung pada kesesuaian ukuran alat dengan ukuran manusia. Jika tidak sesuai, maka dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan stress tubuh antara lain dapat berupa lelah, nyeri dan pusing.

b. Pertimbangan desain anthropometri dan faktor manusia Setiap manusia mempunyai bentuk yang berbeda-beda, seperti: tinggi-pendek, kurus-gemuk, tua-muda, normal-cacat. Manusia mempunyai keterbatasan fisik, contoh: letak tombol operasional atau kontrol panel yang tidak sesuai dengan bentuk tubuh menyebabkan terjadinya sikap paksa atau salah operasional. Cara penggunaan anthropometri dalam ergonomi fisik adalah dapat digunakan untuk memperkirakan posisi tubuh yang baik dalam bekerja. Pengukuran dalam dimensi struktur tubuh (pengukuran dalam berbagai posisi standart dan tidak bergerak seperti berat, tinggi saat duduk atau berdiri, ukuran kepala, tinggi, panjang lutut saat berdiri atau duduk, panjang lengan). Hal ini dapat dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya kelelahan pada pekerja pada saat melakukan pekerjaannya.

c. Pedoman yang mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk perlu pertimbangan antara lain:

i. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama. ii. Jika memungkinkan menyediakan meja yang

dapat diatur naik dan turun. iii. Ketinggian landasan dan tidak memerlukan fleksi

tulang belakang yang berlebihan. iv. Landasan kerja harus memungkinkan lengan

menggantung pada posisis rileks dari bahu,

Page 156: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

151

dengan lengan bawah mendekati posisi horisontal atau sedikit turun.

d. Pedoman kerja posisi berdiri Kerja posisi berdiri lebih melelahkan daripada posisi duduk dan energi yang dikeluarkan lebih banyak 10%-15% dibandingkan posisi duduk. Ketinggian landasan kerja posisi berdiri sebagai berikut: i. Pekerjaan dengan ketelitian, tinggi landasan

adalah 5-10cm diatas tinggi siku berdiri. ii. Pekerjaan ringan, tinggi landasan adalah 10-

15cm dibawah tinggi siku berdiri. iii. Pekerjaan dengan penekanan, tinggi landasan

adalah 15-40cm dibawah tinggi siku berdiri. e. Posisi duduk-berdiri mempunyai keuntungan secara

biomekanis dimana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisis duduk maupun berdiri terus menerus. i. Kerja suatu saat duduk dan suatu saat berdiri

ii. Kerja perlu menjangkau sesuatu >40cm kedepan atau 15cm diatas landasan.

f. Tinjauan umum tentang mengangkat beban Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan kepala, bahu, tangan, punggung, dan sebagainya. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang punggung.

Workstation Workstation adalah tempat saat seorang pekerja

melakukan aktifitas pekerjaan. workstation ini dapat ditempati sepanjang waktu atau mungkin salah satu dari beberapa tempat dimana pekerjaan dilakukan. Workstation yang dirancang dengan baik adalah penting untuk mencegah penyakit yang berkaitan dengan kondisi kerja yang buruk, serta untuk memastikan pekerjaan yang produktif. Setiap workstation harus dirancang dengan baik pekerja dan tugas dalam pikiran sehingga pekerjaan yang dapat dilakukan dengan nyaman, lancar dan efisien. Jika workstation dirancang dengan benar, pekerja harus mampu mempertahankan postur tubuh yang nyaman dan benar. Hal ini penting karena

Page 157: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

152

merupakan sikap kerja tidak nyaman dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti:

i. Back injury; ii. Gangguan peredaran darah di kaki.

Penyebab utama dari kedua masalah ini adalah: a. Tempat duduk dirancang buruk; b. Berdiri untuk waktu yang lama; c. Menjangkau terlalu jauh; d. Pencahayaan yang tidak memadai

Pengenalan permasalahan ergonomi di tempat kerja

perlu mempertimbangkan beberapa aspek (bidang kajian ergonomi), yaitu: 1. Anatomi dan gerak

Terdapat 2 (dua) hal penting yang berhubungan, yaitu: a. Anthropometris

Dimensi anthropometris dipengaruhi oleh: i. Jenis kelamin

ii. Perbedaan bangsa iii. Sifat yang diturunkan iv. Kebiasaan yang berbeda

b. Biomekanik kerja Misalnya dalam hal penerapan ilmu gaya antara lain sikap duduk atau berdiri yang tidak atau kurang melelahkan karena posisi yang benar dan ukuran peralatan yang telah diperhitungkan.

2. Fisiologi Dibagi menjadi: a. Fisiologi lingkungan kerja

i. Berhubungan dengan kenyamanan ii. Pengamanan terhadap potential hazards, ruang

gerak yang memadai b. Fisiologi kerja

3. Psikologi 4. Rasa aman, nyaman dan sejahtera dalam bekerja yang

didapatkan oleh tenaga kerja. Hal ini dapat terjadi karena lingkungan kerja (cahaya, ventilasi, posisi kerja dan lain-lain) tidak menimbulkan stress pada pekerja. Rekayasa dan teknologi antara lain:

Page 158: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

153

a. Merupakan kiat-kiat untuk mendisain peralatan yang

sesuai dengan ukuran tubuh dan batasan-batasan pergerakan manusia

b. Memindahkan seseorang dalam melakukan pekerjaannya sehingga lebih efisien dan lebih produktif, untuk itu diperlukan disain mesin yang sesuai dengan operatornya.

c. Memberi rasa aman terhadap pekerjaannya. 5. Penginderaan

Kemampuan kelima indera manusia menangkap isyarat-isyarat yang datang dari luar.

Aplikasi Ergonomi Dalam Kesehatan Lebih dari dua puluh subkelompok teknis dalam

Ergonomi Faktor Manusia dan Masyarakat (EFMM) menunjukkan berbagai aplikasi untuk ergonomi. Faktor manusia rekayasa terus berhasil diterapkan antara lain di bidang dirgantara, penuaan, perawatan kesehatan, IT, desain produk, transportasi, pelatihan, dan lingkungan virtual nuklir. Ergonomi fisik memiliki arti penting dalam bidang medis, khususnya dalam menegakkan diagnosis penyakit fisik seperti gangguan arthritis (baik kronis dan temporer) atau sindrom carpal tunnel. Untuk melaksanakan program ergonomic atau intervensi ergonomic di perusahaan atau organisasi, maka diperlukan 3 (tiga) langkah awal untuk menuju kesuksesan yang meliputi: 1. Membangun komitmen dari manajemen 2. Membentuk tim ergonomic atau EHS (Ergonomic, Health

and Safety) 3. Mengadakan pelatihan ergonomi untuk mendorong

adanya partisispasi dari seluruh karyawan Pelaksanaan intervensi ergonomi disarankan

melibatkan karyawan dari level paling bawah hingga manajemen level paling atas sejak perancangan yang dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan reaktif, perancangan program dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kerja yang sudah ada agar lebih ergonomis, sehat dan aman dan pendekatan pro aktif, perancangan program dilakukan untuk membuat kondisi lingkungan kerja yang baru agar lebih ergonomis, sehat dan aman hingga implementasi

Page 159: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

154

(partisipatori ergonomi). Pada akhirnya pelaksanaan intervensi ergonomi yang tepat akan membantu pekerja menjalankan aktivitas pekerjaannya menjadi lebih baik dan terhindar dari masalah kesehatan.

Page 160: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

155

KESEHATAN KERJA

Masalah kesehatan masyarakat dan perorangan saat ini dan masa mendatang akan sangat berbeda dengan masa sekitar 20-30 tahun yang lalu, dimana dahulu masalah kesehatan didominasi oleh masalah penyakit infeksi dan kurang gizi seperti TBC, Kusta, Malaria, Pes dan Busung lapar. Sedangkan pada saat ini terjadi pergeseran masalah kesehatan menuju pada penyakit yang disebabkan oleh masalah yang susah ditemukan penyebabnya (degenerative diseases) yang pada akhirnya juga lebih susah dicarikan pemecahannya. Banyak pula ditemukan penyakit yang berhubungan dengan alergi kulit, asma paru serta penyakit kejiwaan.

Pergeseran perilaku sosial budaya perlu disiasati secara cermat karena masalah ini sangat erat hubungannya dengan berbagai penyakit “modern”. Merubah perilaku agar tidak sakit akan menelan biaya lebih murah dibandingkan dengan mengobati pada saat sakit, namun merubah perilaku ini tidaklah mudah. Disisi lain pengaruh faktor lingkungan hidup yang semakin tidak sehat semakin memperberat kondisi kesehatan seseorang.

Mengkaji masalah kesehatan kerja tidak bisa dilepaskan dari kesehatan keluarga dan komunitas sehingga sebagai seorang dokter keluarga harus memahami berbagai faktor risiko akan timbulnya suatu masalah kesehatan pada komunitas dan keluarga penderita. Memahami masalah kesehatan keluarga dan kesehatan kerja tidak bisa dilepaskan dari berbagai ciri dan dinamika sosial, psikologi, budaya, ekonomi dan kegiatan fisik serta kondisi lingkungannya termasuk lingkungan pekerjaan penderita. Upaya pendekatan kesehatan kerja selalu harus memperhatikan upaya dengan pendekatan kesehatan keluarga, dimana para dokter harus memiliki pengertian yang sama terhadap prinsip dasar timbulnya masalah kesehatan dari suatu komunitas keluarga atau komunitas kerja serta berbagai strategi upaya penanggulangannya.

Pada konsep penanggulangan masalah kesehatan kerja tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor timbulnya masalah

Page 161: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

156

kesehatan. Faktor tersebut dapat digambarkan dalam skema timbulnya masalah kesehatan yang dikemukakan oleh L.Blum.

Gambar 9.1

Determinan Faktor Kesehatan Pada Individu, Keluarga Dan Komunitas Pekerjaan

Faktor Keturunan

Berbagai penyakit yang terjadi pada anggota masyarakat sering tidak dapat dihindari karena terjadi dan terbawa sejak dalam kandungan. Hal ini disebabkan karena terjadi kelainan pembawa sifat (kromosom) dalam sel kelamin sehingga menghasilkan keturunan yang mewarisi kelainan antara lain berupa cacat bawaan, tendensi alergi, tendensi reaksi kejiwaan, penyakit kelainan darah dan penyakit keturunan lainnya.

Namun demikian perlu dibedakan penyakit cacat bawaan yang didapat karena kelainan pembawa sifat dan kelainan sejak lahir yang disebabkan karena penyakit atau keracunan sewaktu dalam kandungan sehingga berbagai upaya pencegahan akan dapat dilakukan agar kelainan yang didapat sewaktu dalam kandungan dapat dicegah. Beberapa penyakit

Psikobiologi / Genetik

Lingkungan: Fisik Kimia Biologi Sosial Psikologi Ekonomi Budaya Ergonomi

Pelayanan Kesehatan: Fasilitas Tenaga Sistem

Kesehatan: Individu Komunitas

Perilaku: Sikap Pengetahuan Falsafah

Hidup

Page 162: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

157

bawaan dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan akibat kekurangan mineral (zat gizi), pernikahan dengan saudara kandung dan infeksi. Faktor Lingkungan

Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi derajat kesehatan pada individu atau kelompok masyarakat antara lain:

1. Lingkungan fisik Kejadian yang mempengaruhi lingkungan fisik dapat menyebabkan beberapa masalah kesehatan antara lain: a. Panas, dingin, getaran akan memicu masalah

kesehatan pada musculoskeletal b. Udara dingin dan lembab akan memicu asma,

sinusitis, infeksi saluran nafas dan lain-lain c. Sinar X, sinar ultraviolet akan dapat memicu kanker d. Debu akan memicu terjadinya silikosis, iritasi

saluran nafas e. Perubahan tekanan udara akan dapat

menyebebkan nyeri pada persendian dan gangguan pendengaran

2. Lingkungan kimia Bebagai bahan kimia yang digunakan sehari-hari dapat mengakibatkan masalah kesehatan apabila tidak dikelola dengan baik. Dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh bahan kimia ini dapat terjadi sekitar 20 sampai 50 tahun setelah terpapar sehingga hal ini cukup menyulitkan melacak bahan kimia yang menyebabkan masalah kesehatannya. Beberapa bahan kimia yang perlu diwaspadai adalah: a. Pestisida b. Zat pewarna c. Bahan pengawet d. Minyak pelumas e. Cat kayu f. Fiberglass g. Debu arang batubara h. Kosmetik

Page 163: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

158

3. Lingkungan biologi Berbagai makhluk hidup dan jasad renik dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Tumbuhnya beberapa jenis jamur (Actinomycetes thermophilic) pada alat pendingan ruangan akan mempermudah dan mempercepat penyebaran spora. Gangguan kesehatan akibat jamur dapat memperikan manifestasi berupa gejala serupa influenza, pusing, mual, sulit tidur, kadang disertai sesak nafas pada extrinsic allergic alveolitis. Apabila gejala tersebut ditemukan pada karyawan perkantoran dengan ruang tertutup ber-AC dan meggunakan komputer, maka penderita mengalami Sindroma Gedung Cebol (Tight Building Syndroma)

4. Lingkungan ekonomi Strata ekonomi sangat erat kaitannya dengan berbagai macam risiko timbulnya gangguan kesehatan. Pada strata ekonomi menengah dan tinggi, masalah kesehatan yang timbul seringkali diakibatkan kelebihan gizi, kolesterol tinggi, stress psikologis karena pergeseran pola kehidupan modern yang dapat memicu penyakit kencing manis, hipertensi, gangguan ginjal dan sebagainya.

5. Lingkungan sosial budaya Pada era pergeseran pola hidup dan transisi lingkungan perlu dicermati oleh para dokter. Pergeseran ini dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan antara lain: penyakit menular sexual, penyalahgunaan obat dan “kecelakaan” pada remaja. Untuk mengatasi keadaan ini dapat dikembangkan norma atau kebisaaan hidup sehat dengan berbagai bentuk dan manifestasinya pada individu, keluarga dan komunitas sehingga dapat mendorong terjadinya sosialisasi perilaku hidup sehat.

Faktor Perilaku

Perilaku hidup sehat dapat dimulai dengan mendapatkan sebanyak mungkin pengetahuan tentang cara hidup sehat dan timbulnya berbagai macam penyakit, sehingga pengetahuan ini akan menimbulkan sikap yang positif terhadap pola hidup sehat.

Page 164: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

159

Beberapa contoh kebisaaan hidup sehat adalah: 1. Spiritual, falsafah hidup beragama yang baik dan benar 2. Makan dan minum yang baik secara kuantitatif dan

kualitatif 3. Olahraga teratur 4. Kebisaaan tidur teratur 5. Upaya melindungi diri dari berbagai ancaman

kesehatan, misalnya: imunisasi 6. Pemeriksaan kesehatan berkala

Faktor Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan kesehatan ditentukan oleh sarana, tenaga dan sistem/metode pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang memandang penderita secara seutuhnya merupakan tuntutan pelayanan kesehatan yang paripurna. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, selain memperhatikan pelayanan medis juga perlu dipertimbangkan keadaan ekonomi, social, budaya dan psikologi dari penderita tersebut.

Penderita dan dokter seharusnya berunding secara detail mengenai cara penanggulangan masalah kesehatannya sehingga penderita terdidik dan terlatih untuk dapat menghindari sakit yang lebih parah. Masyarakat sangat perlu diberikan informasi kesehatan secara lengkap dan jelas sehingga masyarakat tidak merasa takut dan menghindari pelayanan kesehatan. Strategi Pelayanan Kesehatan Kerja

Untuk menangani masalah kesehatan kerja, secara umum dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah 1

Pada langkah pertama, penanganan kesehatan kerja dilakukan dengan segala upaya yang ditujukan pada proses produksi yang tercakup dalam seluruh lingkup, yaitu:

a. Pada lingkup keluarga Mengetahui segala kegiatan fisik dan psikologis anggota keluarga sehingga dapat diperkirakan berbagai faktor yang berhubungan dengan setiap masalah kesehatan yang dialami.

Page 165: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

160

b. Pada lingkup pekerjaan Mengetahui segala kegiatan produksi sejak awal hingga akhir meliputi: bahan baku, cara produksi, bahan samping, ergonomi kerja sehingga dapat dilakukan pengendalian terhadap faktor-faktor yang dapat mengganggu kesehatan karyawan.

Langkah 2

Pada langkah kedua penanganan kesehatan kerja dilakukan dengan memperhatikan faktor lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan kerja, yaitu dengan cara:

a. Mengidentifikasi lingkungan fisik perumahan agar dapat menilai dan memberikan advis sehubungan dengan kesehatan.

b. Melakukan pengukuran terhadap kandungan bahan berbahaya pada kesehatan serta memberikan advis perbaikannya secara berkala

c. Melakukan pemantauan terhadap sarana kebersihan lingkungan dan keselamatan kerja.

Langkah 3

Pada langkah ini penanganan kesehatan kerja dilakukan melalui upaya pelayanan kesehatan terhadap karyawan dengan memperhatikan tingkatan pencegahan, yaitu:

a. Pencegahan primer yang meliputi Health Promotion dan Spesific Protection dapat dilakukan dengan kegiatan: 1. Pembinaan kehidupan spiritual sehingga mampu

menjalani kehidupan lebih baik dan bahagia, mensyukuri segala kenikmatan yang telah dicapainya.

2. Makan dan minum yang berkualitas serta cukup kuantitas.

3. Menghindari merokok, minum beralkohol dan menghindari penyalahgunaan obat terlarang serta bila mengkonsumsi jamu atau pengobatan alternatif sesuai dengan petunjuk ahlinya.

4. Kontrol kesehatan 5. Proteksi kesehatan

Page 166: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

161

6. Pemeriksaan kesehatan berkala khususnya pada karyawan dengan risiko terpajan bahan berbahaya seperti: arsen, cadmium, timah hitam, merkuri, mangaan, benzene, silica bebas, asbestos, vinyl chloride, organophosphate dan ruangan bertekanan tinggi.

7. Penyuluhan kesehatan secara tepat dan berkala. b. Pencegahan sekunder dengan melakukan diagnosa

sedini mungkin (early diagnosis) terhadap masalah kesehatan yang timbul dan memberikan pengobatan dengan tepat (promt treatment). Diagnosis dini dan pengobatan dengan tepat harus dilakukan secara holistik dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan tersebut. Hal ini harus dilakukan dengan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya kecacatan. Pengobatan dilakukan terhadap:

1. Status kesehatan (morbiditas, mortalitas, kecacatan) dengan melakukan pengobatan medikamentosa, misalnya dengan memberikan antidotum atau terapi spesifik.

2. Upaya kesehatan dengan melakukan evaluasi dan koreksi terhadap berbagai upaya pengobatan yang telah dan sedang dilakukan serta merencanakan upaya yang lebih tepat dan sesuai.

3. Lingkungan yang meliputi lingkungan kerja dan lingkungan keluarga yang disesuaikan dengan realita yang dialami oleh penderita.

c. Pencegahan tersier dilakukan apabila sudah terjadi kecacatan sehingga harus dilakukan upaya rehabilitasi secara dini dan tepat agar kualitas hidup penderita dapat dipertahankan minimal dapat menjalankan kehidupan dasar (makan, minum, mandi). Selain itu diupayakan untuk mengembalikan fungsi fisik psikologis dan sosial dalam proses penyembuhan suatu penyakit.

Page 167: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

162

Langkah 4 Pada langkah ini penanganan kesehatan kerja

dilakukan dengan memperhatikan segala bentuk kebijakan pimpinan perusahaan yang dapat mendukung langkah I, II dan III dengan mempertimbangkan pendekatan “reward and punishment” sehingga tercipta ethos kerja yang tinggi di kalangan karyawan. Selanjutnya diharapkan dapat tercipta paradigma hidup sehat.

Penanganan masalah kesehatan kerja dengan pendekatan manajemen dapat dilakukan:

a. Terhadap proses kerja yang meliputi: i. Kebijakan design pabrik, perbaikan alat alat

proses ii. Kebijakan substitusi

iii. Kebijakan jadwal produksi b. Terhadap lingkungan kerja:

Kebijakan terhadap jadual kerja, biaya, standard lingkungan yang diperkenankan.

c. Terhadap karyawan: i. Menunjang program pelayan program yang

holistik, profesional dan berkualitas. ii. Mengembangkan sistem reward and punishment

Langkah 5

Pada langkah ini penanganan masalah kesehatan kerja dilakukan melalui upaya pelaksanaan dengan berdasarkan pada segala macam perundangan dan peraturan yang bertujuan melindungi karyawan agar sehat dan sejahtera. Peraturan dan perundangan meliputi hukum nasional maupun internasional. Beberapa aturan dan perundang-undangn yang dapat dijadikan acuan antara lain:

1. UU no 14 tahun 1969, tentang Ketentuan Pokok Tenaga Kerja

2. UU no 1 tahun 1972, tentang Keselamatan Kerja 3. UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan 4. UU no. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja 5. UU no. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan 6. UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Page 168: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

163

7. Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor KEP-02/MENKLH/1/1988 tanggal 19 Januari 1988 tentang Batasan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Mutu Udara Emisi.

8. UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 9. Keputusan Presiden No.22 tahun 1993 tentang

Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. 10. Konvensi No. 155/1981, ILO menetapkan kewajiban

setiap negara untuk merumuskan melaksanankan dan mengevaluasi kebijaksanaan nasionalnya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungannya.

Penanganan masalah kesehatan kerja apabila hanya

melihat dari faktor penderita saja, maka tidak akan dapat menyelesaikan masalah kesehatan secara holistik dan terintegratif. Keadaan ini dapat memunculkan masalah baru baik yang berkaitan dengan kesehatan secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Page 169: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

164

Page 170: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

165

PERTOLONGAN PERTAMA (THE FIRST AID)

Semakin tingginya angka kecelakaan kerja dari tahun ke tahun mengisyaratkan bahwa pemahaman penerapan K3 di lingkungan kerja sangat rendah, penerapan K3 adalah hak dasar perlindungan bagi tenaga kerja. Setiap pekerja wajib mendapat perlindungan dari resiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi. Untuk penerapan K3 perlu adanya latihan tentang pentingnya keselamatan dalam bekerja agar tidak terjadi kecelakaan yang merugikan semua pihak dan sebagai bentuk apresiasi terhadap pelaksanan zero accident (meminimalisir kecelakaan kerja).

Pengertian First Aid adalah: pemberian pertolongan segera kepada korban sakit atau cedera/kecelakaan yang memerlukan penanganan medis dasar. Adapun pengertian medis dasar adalah tindakan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran yang dapat dimiliki oleh awam atau awan yang terlatih secara khusus. Batasannya adalah sesuai dengan sertifikat yang dimiliki oleh pelaku pertolongan pertama. Siapakah pelaku pertolongan pertama? Pelaku pertolongan pertama adalah penolong yang pertama kali tiba di tempat kejadian yang memiliki kemampuan dan terlatih dalam penanganan medis dasar (seperti paramedik, para pelaku pertolongan pertama Palang Merah Indonesia dan lain-lain).

Pelatihan pertolongan pertama adalah suatu pelatihan yang diberikan kepada tenaga kerja pada suatu perusahaan atau instansi dan perorangan sebagai bentuk antisipasi terhadap terjadinya kecelakaan diri atau kejadian di tempat kerja, sehingga terampil memberikan pertolongan pertama dan mampu menyelamatkan jiwa. Pelatihan pertolongan pertama dilaksanakan sesuai dengan: a) UU RI No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. b) Permenkes RI No.23/Birhub/1972 tentang Tugas PMI di

Bidang Kesehatan. c) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. d) Permenaker RI No. Per-15/Men/VIII/2008 tentang

Pertolongan Pertama pada kecelakaan di tempat kerja.

Page 171: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

166

Tujuan Tentang Pengetahuan First Aid 1. Untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman

mengenai penanganan kegawatdaruratan dasar baik bagi paramedis maupun pekerja di perusahaan mulai dari penanganan tahap awal hingga tahap evakuasi korban.

2. Membekali ketrampilan dasar khususnya tentang konsep dasar kegawatdaruratan dan tatacara penanggulangannya, sehingga peserta dapat mengenali dan mendeteksi dini suatu kejadian gawat darurat di lapangan dan mampu untuk memberikan pertolongan awal kepada korban kecelakaan dengan cepat, tepat dan aman.

3. Agar memahami teknik penanggulangan penderita gawat darurat terpadu.

4. Agar mampu mengenali keadaan yang mengancam nyawa pada penderita gawat darurat kardiovaskuler dan trauma.

Kualifikasi Pelaku Pertolongan Pertama : 1. Jujur dan bertanggungjawab. 2. Memiliki sikap profesional. 3. Kematangan emosi. 4. Kemampuan bersosialisasi. 5. Selalu dalam keadaan siap,khususnya secara fisik. 6. Mempunyai rasa bangga.

Kewajiban Pelaku Pertolongan Pertama:

1. Menjaga keselamatan diri, anggota tim, penderita dan orang sekitarnya.

2. Dapat menjangkau penderita. 3. Dapat mengenali dan mengatasi masalah yang

mengancam nyawa. 4. Meminta bantuan/rujukan. 5. Memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat

berdasarkan keadaan korban. 6. Membantu pelaku pertolongan pertama lainnya. 7. Ikut menjaga kerahasiaan dengan petugas lain yang

terlibat. 8. Mempersiapkan untuk ditransportasikan.

Page 172: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

167

Komponen Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu:

1. Akses dan Komunikasi. 2. Pelayanan Pra Rumah Sakit. 3. Tansportasi.

Tindakan First Aid di Lokasi Terjadinya Kecelakaan: 1. Memastikan keselamatan penolong, penderita, dan

orang-orang di sekitar lokasi kejadian. 2. Penolong harus memperkenalkan diri. 3. Menentukan keadaan umum kejadian (mekanisme

cedera) dan mulai melakukan penilaian dini dari penderita.

4. Mengenali dan mengatasi gangguan/cedera yang mengancam nyawa.

5. Stabilkan penderita dan teruskan pemantauan. Tindakan Yang Tidak Boleh dilakukan Pada Saat Melakukan Pertolongan Pertama :

1. Tindakan yang akan membahayakan hidup. 2. Tindakan yang memperburuk korban. 3. Tindakan yang dapat menimbulkan cacat di kemudian

hari. Rencana Pertolongan Pertama Yang Harus Dilakukan

1. Mempertahankan hidup korban. 2. Mengurangi penderitaan. 3. Mencegah pengotoran luka dan penderitaan lebih lanjut. 4. Secepat mungkin mengirim korban ke petugas kesehatan

setempat.

Alat Pelindung Diri Sebagai pelaku pertolongan pertama seseorang akan

dengan mudah terpapar dengan jasad renik maupun cairan tubuh seseorang yang memungkinkan penolong dapat tertular oleh penyakit. Prinsip utama dalam menghadapi darah dan cairan tubuh dari penderita adalah darah dan semua cairan tubuh sebagai media penularan penyakit. Beberapa penyakit yang dapat menular diantaranya adalah Hepatitis, TBC,

Page 173: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

168 HIV/AIDS. Disamping itu, APD juga berfungsi untuk mencegah penolong mengalami luka dalam melakukan tugasnya. Beberapa alat pelindung diri yang diperlukan oleh pelaku pertolongan pertama: 1. Sarung tangan lateks

Jangan menggunakan sarung tangan kain saja karena cairan dapat merembes. Bila akan melakukan tindakan lainnya yang memerlukan sarung tangan kerja, maka sebaiknya sarung tangan lateks dipakai terlebih dahulu.

2. Kacamata pelindung Berguna untuk melindungi mata dari percikan darah, maupun mencegah terjadinya cedera akibat benturan atau kelilipan pada mata saat melakukan pertolongan.

3. Baju pelindung Penggunanya kurang popular di Indonesia, gunanya adalh untuk mencegah merembesnya cairan tubuh penderita melalui baju penolong.

4. Masker penolong Sangat berguna untuk mencegah penularan penyakit melalui udara.

5. Masker resusitasi Diperlukan bila akan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

6. Helm Dipakai bila akan bekerja ditempat yang rawan akan jatuhnya benda dari atas. Misalnya dalam bangunan runtuh dan sebagainya.

Bantuan Hidup Dasar (BHD) Bantuan hidup dasar (BHD) merupakan beberapa cara

sederhana yang dapat mempertahankan hidup seseorang untuk sementara. Cara-cara ini adalah bagaimana menguasai dan membebaskan jalan nafas, bagaimana memberikan bantuan pernafasan, dan bagaimana membantu mengalirkan darah ketempat yang penting dalam tubu, sehingga pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah matinya sek otak. Langkah-langkah penilaian dalam BHD:

1. Penilaian keadaan 2. Penilaian dini

Page 174: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

169 1. Penilaian keadaan

a. Bagaimana Kondisi saat itu? b. Kemungkinan apa saja yang akan terjadi? c. Bagaimana mengatasinya? d. Ingat! Amankan diri sendiri terlebih dahulu!!

2. Penilaian dini a. Kesan umum (kasus trauma atau kasus medis).

Tentukan terlebih dahulu penderita adalah kasus trauma atau medis. Kasus trauma adalah kasus yang baisanya disebabkan noleh suatu ruda paksa yang mempunyai tanda-tanda yang jelas terlihat dan atau teraba, misalnya: pendarahan, patah tulang, penurunan kesadaran. Kasus medis adalah kasus yang diderita seseorang tanpa ada riwayat ruda paksa, misalnya: nyeri dada, sesak nafas.

b. Memeriksa Respon (menentukan berat ringannya gangguan yang terjadi dalam otak). Awas: Penderita sadar dan mengenali

keberadaan, lingkungan serta waktu Suara: Penderita hanya menjawab/bereaksi bila

dipanggil atau mendengar suara. Nyeri: Penderita hanya bereaksi terhadap

rangsangan nyeri yang diberikan penolong Tidak respon: Penderita tidak bereraksi

terhadap rangsangan apapun. c. Memastikan jalan nafas terbuka dengan baik.

Penderita dengan respon baik, perhatikan pada saat penderita menjawab pertanyaan penolong. Adakah gangguan bersuara atau gangguan berbicara? Pasien yang tidak respon. Akan diterangkan lebih rinci pada materi praktik BHD.

d. Menilai pernafasan. Setelah jalan nafas dipastikan terbuka dengan baik dan bersih, maka penolong harus menentukan pernafasannya dengan cara teknik LDR (Lihat, Dengar dan Rasakan). Bila korban tidak bernafas, maka lakukan BHD dan RJP.

e. Memulai sirkulasi dan menghentikan pedarahan berat. Penolong harus menilai apakah jantung melakukan tugasnya untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Pastikan denyutan cukup baik dan tidak ada perdarahan yang membahayakan nyawa.

Page 175: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

170

f. Hubungi bantuan. Apabila dirasakan perlu segeralah minta bantuan rujukan. Mintalah kepada orang lain untuk melakukannya atau lakukan sendiri.

Beberapa Contoh Kecelakaan : 1. Pingsan

Yaitu korban tidak sadarkan diri tetapi masih dapat bernafas. Beberapa penyebab pingsan adalah: a. Pingsan karena sengatan matahari

Gejalanya: penghentian keringat yang tiba-tiba, korban lemah, sakit kepala, tidak dapat berjalan tegak,suhu tubuh 40-41C, pernapasan cepat dan tidak teratur. Pertolongan: baringkan ditempat teduh dan banyak angin, komperes seluruh tubuh dengan air dingin, usahakan agar tidak mengigil dengan memijat kaki dan tangan, bila keadaan tidak membaik segera rujuk ke rumah sakit.

b. Pingsan karena kelelahan/kelaparan Gejalanya: kedinginan dan berkeringat, lemah, pandangan berkunang-kunang, kesadaran menurun. Pertolongan: baringkan di tempat datar, letakkan kepala lebih rendah dari kaki, buka baju bagian atas, dan kendurkan pakaian yang menekan. Apabila muntah miringkan kepala, berikan bau-bauan yang merangsang, setelah sadar beri minuman air gula.

2. Shock

Yaitu: peredaran darah terganggu karena kekurangan cairan sehingga mengakibatkan terganggunya alat tubuh. Gejalanya: kesadaran menurun, denyut nadi cepat >140x/menit dan semakin lama melambat bahkan hilang, penderita mual, badan dingin, lembab & pucat, napas tidak teratur, pandangan kosong, tidak bercahaya, pupil melebar. Pertolongan: Baringkan kepala lebih rendah dari kaki kecuali gegar otak, tarik lidah penderita keluar,bersihkan hidung dan mulut dari sumbatan, selimuti, hentikan pendarahan bila ada patah tulang pasang bidai, bawa ke RS.

Page 176: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

171 3. Keseleo

Yaitu keadaan dimana persendian keluar dari sendinya, lalu kembali lagi. Pertolongannya: Istirahatkan korban dengan letak keseleo ditinggikan. Boleh dikomperes air hangat dan urut hati-hati. Bila lutut dipasang kness dekker, lakukan pembalutan

agar keras pada bagian lain. Bawa ke RS untuk memastikan apakah ada retak atau

patah tulang. 4. Patah tulang a. Patah tulang tertutup

Ujung tulang tak berada di luar/tidak menembus kulit. Tanda-tanda: gerakan tak normal, tambahan adanya bengkak, sakit bila digerakan. Pertolongan: usahakan tulang yang patah tidak bergerak dengan memasang bidai dan bawa ke RS.

b. Patah tulang terbuka Ujung tulang berada di luar. Tanda-tanda: tulang mencuat keluar, menjadi kotor, pendarahan sulit dihentikan. Pertolongan: mencuci luka dengan air bersih, tutup dengan kassa steril, gunakan anti septic, pasang perban elastic dan setelah selesai pasang bidai dan langsung transportasi ke RS

Page 177: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

172

Page 178: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

173

Page 179: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

174

Page 180: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

175

Page 181: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

176

Page 182: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

177

TANGGAP DARURAT KEBAKARAN Tanggap Darurat

Persiapan keadaan darurat merupakan tanggungjawab semua tenaga kerja. Perencanaan dan persiapan keadaan darurat, tidak bisa terlepas dari peran manajemen puncak dalam perencanaan dan penetapan kebijakan dan komitmen tinggi dalam mencegah dan menanggulangi keadaan darurat. Dengan membuat perencanaan tanggap darurat, maka secara tidak langsung perusahaan telah terlibat aktif dan peduli pada terciptanya stabilitas keamanan dan keselamatan kerja perusahaan. Keadaan darurat adalah kejadian atau insiden tidak terduga atau tidak direncanakan yang berakibat membahayakan manusia; mengganggu kelancaran operasi; atau mengakibatkan kerusakan fisik atau lingkungan, yang harus dicegah dan ditanggulangi secara cepat dan tepat agar akibat yang ditimbulkannya dapat ditekan sekecil mungkin.

Perencanaan atau rencana tanggap darurat merupakan suatu kegiatan yang dilakukan tim manajemen dan pekerja yang bertujuan untuk mengantisipasi datangnya keadaan darurat sehingga semua orang di tempat kerja mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan untuk selamat. Tujuan perencanaan tanggap darurat ini adalah untuk membimbing setiap individu yang berada pada situasi kecelakaan atau keadaan darurat guna mencegah atau meminimalkan cedera, kerusakan aset serta kerugian material. Dapat juga mencegah atau meminimalkan dampak lingkungan akibat kecelakaan atau keadaan darurat tersebut.

Pengembangan perencanaan tanggap darurat di perusahaan, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi potensi bahaya yang kemungkinan terjadi di tempat kerja, yang dapat menimbulkan keadaan darurat. Jika suatu institusi memiliki lebih dari satu area kerja dengan kegiatan berbeda-beda, maka setiap lokasi harus memiliki rencana tanggap darurat. Menurut OSHA, perencanaan tanggap darurat minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Prosedur pelaporan kecelakaan, kebakaran, atau keadaan darurat lainnya

Page 183: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

178

2. Kebijakan dan prosedur evakuasi, mencakup jalur

evakuasi, tim evakuasi (floor warden) di setiap lantai, denah evakuasi atau sarana evakuasi lainnya.

3. Skema atau daftar nomor telepon penting yang harus dihubungi saat keadaan darurat

4. Prosedur tindakan darurat mulai dari pra kejadian, saat terjadi keadaan darurat, dan pasca kejadian. Prosedur juga mencakup pembahasan tentang peralatan darurat, peralatan pemadam kebakaran, alarm, peralatan P3K, hingga prosedur emergency shutdown. Sistem emergency shutdown adalah suatu sistem yang digunakan dalam industri perminyakan sebagai sistem pelindung (safety) dari bahaya-bahaya seperti kebakaran, dan tekanan berlebih yang dapat menyebabkan ledakan. Biasanya sistem ini beroperasi apabila keadaan darurat dengan mematikan sistem proses.

5. Susunan tim tanggap darurat mencakup koordinator, tim evakuasi, petugas P3k, dan petugas lain yang diperlukan.

Penentuan lokasi tempat berkumpul (assembly point)

dan prosedur pelaporan yang menyatakan bahwa semua pekerja sudah dievakuasi juga perlu dipertimbangkan. Perencanaan tanggap darurat yang dibuat harus mencakup cara memperingatkan atau memberitahu seluruh pekerja, tamu dan pihak yang berada di dalam gedung tentang terjadinya keadaan darurat. Langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan antara lain:

1. Memasang alarm sebagai tanda terjadinya keadaan darurat dan pastikan seluruh pekerja mengetahui sinyal alarm keadaan darurat

2. Merancang sistem komunikasi darurat untuk menyampaikan informasi keadaan darurat dan menghindari kesimpangsiuran informasi

3. Memastikan bahwa alarm dapat didengar dan kotak alarm dalam keadaan baik dan lokasinya bebas hambatan. Pastikan pekerja yang menemukan keadaan darurat harus membunyikan alarm.

Page 184: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

179

Menyiapkan perencanaan tanggap darurat harus disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan yang ada di tempat kerja. Secara umum, langkah-langkah menyiapkan rencana tanggap darurat terbagi menjadi lima, diantaranya:

1. Identifikasi bahaya yang berpotensi menimbulkan keadaan darurat Harus dilakukan identifikasi secara spesifik akan potensi bahaya berdasarkan tipe kegiatannya. Sebagai contoh, jika bekerja di perkantoran, maka kebakaran merupakan potensi risiko yang bisa terjadi.

2. Langkah-langkah pencegahan Tindakan pencegahan harus dirancang secara detail dan jelas untuk setiap jenis potensi bahaya. Misalnya membuat langkah pencegahan kebakaran, ledakan, atau tumpahan bahan kimia.

3. Perencanaan tanggap darurat Perusahaan harus menentukan satu atau lebih perencanaan darurat yang didasarkan pada kompleksitas serta kebutuhan. Pastikan semua pekerja mengetahui perencanaan tanggap darurat ini. Penting bagi mereka untuk mengetahui tindakan pencegahan dan apa yang harus dilakukan saat keadaan darurat terjadi.

4. Pelatihan dan uji coba Perusahaan harus melatih para pekerjanya tentang langkah-langkah pencegahan dan perencanaan tanggap darurat. Pelatihan secara berkala harus dilakukan untuk memastikan pekerja melakukan tindakan sesuai dengan perencanaan darurat yang ditetapkan.

5. Evaluasi dan perbaikan Harus diperhitungkan kesenjangan antara perencanaan tanggap darurat dan hasil uji coba yang telah dilakukan. Bila dalam perencanaan tanggap darurat masih terdapat kekurangan atau tidak sesuai yang diharapkan, maka perbaikan dalam perencanaan tanggap darurat perlu dilakukan.

Sebuah prosedur evakuasi yang tidak jelas dapat

menimbulkan kebingungan, cedera, dan kerusakan aset perusahaan. Itulah sebabnya ketika mengembangkan

Page 185: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

180

perencanaan tanggap darurat, penting bagi Anda untuk menentukan hal-hal sebagai berikut:

1. Menentukan kondisi apa saja yang memerlukan evakuasi.

2. Menentukan tim evakuasi/floor warden (kapten lantai) untuk membantu proses evakuasi berjalan lancar dan aman.

3. Prosedur evakuasi yang jelas dan rinci, termasuk penentuan jalur dan jalan keluar menuju tempat berkumpul. Jalur evakuasi harus mudah dipahami, tidak rumit, dan mudah diakses. Jalur evakuasi yang digunakan harus memuat tanda petunjuk arah keluar dan dilengkapi sarana pendukung lainnya.

4. Prosedur evakuasi harus membantu penyandang disabilitas.

5. Mempertimbangkan kebutuhan transportasi untuk evakuasi banyak pekerja. Ketika menyusun perencanaan tanggap darurat, dipilih

individu yang bertanggungjawab untuk memimpin dan mengkoordinasikan rencana tanggap darurat dan evakuasi. Sangat penting bagi pekerja untuk mengetahui siapa yang menjadi koordinator dan memahami bahwa petugas tersebut memiliki wewenang untuk membuat keputusan selama keadaan darurat. Koodinator rencana tanggap darurat bertanggungjawab untuk:

1. Menilai situasi untuk menentukan apakah keadaan darurat membutuhkan aktivasi prosedur darurat.

2. Mengawasi semua upaya penanggulangan keadaan darurat di seluruh area, termasuk kegiatan evakuasi.

3. Mengkoordinasikan layanan darurat dengan pihak luar, seperti bantuan medis dan departemen pemadam kebakaran setempat dan memastikan bahwa mereka tersedia dan diberitahu bila diperlukan.

4. Mengarahkan penutupan operasional pabrik apabila diperlukan. Selain koordinator rencana tanggap darurat, juga perlu

menentukan tim evakuasi atau floor warden untuk membantu evakuasi para pekerja, tamu dan pihak lain yang ada di lingkungan perusahaan ke tempat yang lebih aman (assembly

Page 186: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

181 point). Umumnya, setiap satu floor warden (kapten lantai) disediakan untuk mengevakuasi 20 orang dan mereka harus selalu siap setiap saat selama jam kerja. Pastikan kapten lantai memahami tugas dan tanggungjawabnya dalam proses evakuasi.

Tanggap Darurat Kebakaran Kebakaran dan bencana alam yang dapatterjadi setiap

saat dapat menimbulkan terganggunya kelancaran produktivitas, kerusakan peralatan, lingkungan tempat kerja serta dampat negatif lainnya yang mungkin di derita oleh karyawan berupa cidera, cacat bahkan meninggal dunia. Semua ini baik secara langsung maupun tidak mengakibatkan kerugian baik kantor, karyawan beserta keluarganya. Perkantoran merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat karyawan/pekerja melakukan kegiatan perkantoran baik di sebuah gedung bertingkat maupun tidak bertingkat.

Setiap pekerja yang melakukan aktivitas kerjanya wajib mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, salah satunya adalah karyawan/pekerja di perkantoran, termasuk juga pengunjung yang mendapatkan pelayanan dari setiap jenis perkantoran. beberapa alasan, mengapa K3 Perkantoran menjadi salah satu yang urgent untuk diterapkan: (1) Kantor adalah tempat kerja yang mempunyai potensi bahaya dan risiko; (2) Rata-rata lama terpapar per hari pekerja kantor adalah selama 8 jam; (3) Prevalensi cedera karena kelalaian karyawan cukup besar, yaitu 94,6%. Hazard potensial yang memapar karyawan/pekerja kantor salah satunya adalah hazard keselamatan yang dapat menimbulkan risiko berupa kecelakaan kerja (terpeleset, terbentur, terjatuh, elektrik shock) serta risiko kebakaran. Risiko yang menyebabkan kerugian paling besar baik dari sisi internal kantor (karyawan, bangunan, sarana prasarana, peralatan kerja, dan lain lain) maupun dari sisi eksternal (pengunjung/konsumen yang menerima pelayanan publik) adalah risiko kebakaran, apalagi jika kejadian tersebut terjadi di gedung bertingkat.

Permenkes RI Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar K3 Perkantoran, pasal 12 menyebutkan bahwa salah satu standar keselamatan kerja adalah “kewaspadaan bencana perkantoran” yang diperjelas melalui pasal 14, bahwa

Page 187: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

182

kewaspadaan bencana perkantoran meliputi: (1) Manajemen tanggap darurat gedung; (2) Manajemen keselamatan dan kebakaran gedung; (3) Persyaratan dan tata cara evakuasi; (4) Penggunaan mekanik dan elektrik; dan (5) P3K. Setiap perkantoran, terutama perkantoran dengan tipe gedung bertingkat harus memiliki program manajemen pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain upaya tersebut, manajemen aksesibilitas evakuasi juga menjadi hal penting untuk mempercepat proses evakuasi sehingga dapat meminimalisir jumlah korban.

Terdapat 3 (tiga) persyaratan dasar kebakaran bisa terjadi dan akan semakin membesar, yaitu: (1) Adanya bahan bakar atau bahan yang mudah terbakar; (2) Adanya sumber pemantik api; dan (3) Adanya oksigen di udara yang berfungsi mendukung pembakaran. Kemampuan dalam mengelola dan mengurangi risiko terkait 3 hal tersebut di atas, akan menjadi langkah efektif dalam mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran yang lebih parah. Salah satu kemampuan tersebut adalah kemampuan mendeteksi adanya kebakaran dengan cepat dan kemampuan dalam mengendalikan kebakaran serta memadamkannya. Banyaknya korban yang meninggal dalam kejadian kebakaran, sebagian besar disebabkan oleh karena menghirup asap dan gas beracun, daripada akibat panasnya api. Penyebab utama kebakaran dapat berkembang menjadi bencana besar bagi manusia adalah karena ketidakmampuan orang-orang yang terjebak di dalam bangunan untuk keluar dari bangunan secara cepat dan aman.

International Labour Organization menyebutkan bahwa ketidakmampuan tersebut dipengaruhi oleh:

1. Rancangan bangunan yang kurang baik Minimnya penyedian jalur atau rute penyelamatan diri dari kebakaran dalam rancangan bangunan. Jalur atau rute penyelamatan menjadi item yang penting dalam hal ini. Kebanyakan jalur penyelamatan hanya ada di lantai dasar, apabila kebakaran terjadi di lantai dasar, maka karyawan/pekerja dan juga pengunjung akan terjebak oleh api yang menyala. Banyaknya jalur penyelamatan yang tidak seimbang dengan jumlah karyawan/pekerja serta pengunjung juga menjadi penyebab tidak maksimalnya upaya penyelamatan diri.

Page 188: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

183

2. Tidak adanya sistem peringatan dini jika terjadi kebakaran Penggunaan detektor asap, detektor panas, atau detektor api yang terhubung dengan sistem alarm evakuasi independen yang bersuara cukup keras, sehingga semua pekerja/karyawan dan pengunjung dapat mendengar signal jika terjadi keadaan darurat.

3. Tidak adanya prosedur darurat Ketidakberadaan prosedur darurat, tidak adanya pelatihan tentang prosedur darurat tersebut serta tidak adanya praktik rutin terhadap prosedur penanggulangan, dapat menjadi penyebab keterlambatan dalam evakuasi sebuah bangunan.

Penting kiranya awareness pimpinan di setiap tempat

kerja untuk lebih fokus terhadap upaya-upaya penanggulangan kebakaran dengan senantiasa mendukung penerapan ”fire safety” di tempat kerja yang dipimpinnya. Pada konsep kewaspadaan bencana kebakaran di perkantoran dikenal istilah Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung (MKKG), yaitu bagian dari manajemen gedung yang bertujuan mewujudkan keselamatan penghuni bangunan dari kebakaran dengan mengupayakan kesiapan instalasi proteksi kebakaran agar kinerjanya selalu baik dan siap pakai.

Peralatan sistem perlindungan/pengamanan bangunan gedung dari kebakaran antara lain: (1) Alat Pemadam Api Ringan (APAR), alat yang ringan dan dapat dengan mudah digunakan oleh satu orang dalam upaya memadamkan api pada awal terjadinya kebakaran; (2) Alat Pemadam Api Berat (APAB) yang menggunakan roda; (3) Sistem alarm kebakaran, merupakan alat untuk memberitahukan kebakaran tingkat awal yang mencakup alarm kebakaran manual dan/atau alarm kebakaran otomatis; (4) Hydrant halaman, yaitu hydrant yang berada di luar bangunan gedung; (5) Sistem sprinkler otomatis, yaitu instalasi pemadam kebakaran yang dipasang secara permanen untuk melindungi bangunan dari bahaya kebakaran yang akan bekerja secara otomatis memancarkan air, apabila alat tersebut terkena panas pada temperature tertentu; (6) Sistem pengendali asap, yaitu system alami atau mekanis yang berfungsi untuk mengeluarkan asap dari bangunan gedung sampai batas aman pada saat terjadi kebakaran.

Page 189: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

184

Tangga darurat dan pintu darurat sangat diperlukan

dalam kondisi kebakaran. Terdapat beberapa ketentuan tentang tangga darurat, yaitu:

1. Setiap bangunan gedung yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 45 meter (apabila dalam gedung terdapat sprinkler, maka jarak maksimal bisa 67,5 meter).

2. Tangga darurat harus dilengkapi dengan pintu tahan api dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis. Pintu dilengkapi dengan lampu dan tanda penunjuk KELUAR atau EXIT yang menyala saat listrik/PLN mati.

3. Tangga darurat/penyelamatan yg berada di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, mudah diakses.

4. Lebar tangga darurat/penyelamatan minimal 1,20 meter, tidak boleh menyempit di bagian bawah, tidak berbentuk melingkar dan dilengkapi dengan pegangan (hand rail) yang kuat. Lebar injakan anak tangga minimal 28 cm dan tinggi maksimal anak tangga 20 cm.

5. Peletakan pintu keluar (exit) pada lantai dasar langsung kearah luar halaman.

6. Pintu darurat juga diperuntukkan bagi bangunan atau gedung bertingkat. Setiap bangunan bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah. Lebar pintu darurat minimal 100 cm, membuka kearah tangga penyelamatan.

7. Jarak maksimal pintu darurat dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung adalah 25 meter.

8. Pintu harus tahan api minimal selama 2 jam, dicat warna merah.

Terkait dengan evakuasi, perlu diperhatikan beberapa

persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Permenkes No. 48 Tahun 2016: (1) Rute evakuasi harus bebas dari barang barang yang dapat mengganggu kelancaran evakuasi dan mudah dicapai; (2) Koridor, terowongan, tangga harus merupakan daerah yang aman sementara dari bahaya api, asap dan gas; (3) Koridor dan jalan keluar tidak boleh licin, bebas

Page 190: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id

185 hambatan dan mempunyai lebar koridor minimum 1,2 meter dan untuk jalan keluar 2 meter; (4) Rute evakuasi harus diberi penerangan yang cukup dan tidak tergantung dari sumber utama; (5) Arah menuju pintu keluar (EXIT) harus dipasang petunjuk yang jelas; (6) Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisanyang cukup lebar sekitar 70 cm.

Pada prinsipnya rute penyelamatan/evakuasi dari kebakaran harus membawa ke arah keluar dari bangunan dan menuju ke tempat yang aman atau biasa disebut dengan titik berkumpul. Jarak minimum titik berkumpul dari banguan gedung adalah 20 meter untuk melindungi pengguna dan pangunjung bangunan gedung dari keruntuhan atau bahaya lainnya. Titik berkumpul dapat berupa jalan atau ruang terbuka dan tidak menghalangi akses mobil pemadam kebakaran dan kendaraan tim medis.

Semua pekerja harus diberi instruksi dan pelatihan tentang prosedur penyelamatan diri dari kebakaran, karena prosedur ini harus menjadi unsur utama K3 dalam induction training pekerja. Dan secara rutin pekerja harus mengikuti pelatihan penyelamatan diri dari kebakaran. Hal ini akan berjalan sinergis jika manajemen tempat kerja, dalam hal ini manajemen di perkantoran juga aware terhadap pentingnya pencegahan dan penanggulangan kebakaran di perkantoran. Sasaran edukasi tentang prosedur penyelamatan ini juga termasuk tamu/pengunjung/konsumen yang datang ke gedung kantor tersebut. Mereka wajib diberikan instruksi dan informasi yang jelas terkait sistem peringatan alarm kebakaran, rute evakuasi dan titik berkumpul saat kebakaran terjadi.

Informasi ini sebaiknya diberikan di atas kartu untuk tamu/pengunjung/konsumen dan bisa juga dipaparkan melalui pemutaran video di ruang tunggu serta pemasangan rute penyelamatan dalam bentuk poster dan lain-lain. Sekecil apapun risiko kebakaran di gedung-gedung tempat kita bekerja maupun yang kita singgahi di Kota ini, tidak ada salahnya kita harus tetap aware terhadap sekecil apapun risiko tersebut. Semakin kita memahami prosedur penyelamatan diri dan tentunya didukung dengan fasilitas keselamatan terhadap kebakaran, maka kesempatan untuk selamat akan menjadi lebih besar.

Page 191: MODUL PELATIHAN - eprints.umm.ac.id