1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) kematian karena TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009a). Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit TB tertinggi. Menurut Global Tuberculosis Control Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru TB. Estimasi insidensi TB 228 kasus baru per 100,000 populasi. Estimasi angka insidensi hapusan dahak baru yang positif adalah 102 kasus per 100,000 populasi pada 2007 (WHO, 2009a). Berdasarkan kalkulasi disability-adjusted life-year (DALY) WHO, TB menyumbang 6.3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan 3.2 persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID, 2008). Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada 1994 WHO meluncurkan strategi pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, disebut DOTS (Direct Observed Treatment Short-course). Lima elemen strategi DOTS sebagai berikut (WHO, 2009b): (1) Komitmen politis yang berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan mikroskopis dahak yang berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk semua kasus TB dengan manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4) Keteraturan penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; (5) Sistem pencatatan dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
penting di tingkat global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis
menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per tahun di
seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama merupakan
penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) kematian karena
TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per
tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan
komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009a).
Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang
memiliki beban penyakit TB tertinggi. Menurut Global Tuberculosis Control
Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru TB. Estimasi
insidensi TB 228 kasus baru per 100,000 populasi. Estimasi angka insidensi
hapusan dahak baru yang positif adalah 102 kasus per 100,000 populasi pada
2007 (WHO, 2009a). Berdasarkan kalkulasi disability-adjusted life-year (DALY)
WHO, TB menyumbang 6.3 persen dari total beban penyakit di Indonesia,
dibandingkan dengan 3.2 persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID,
2008).
Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama dalam
pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan. Pada 1994 WHO
meluncurkan strategi pengendalian TB untuk diimplementasikan secara
internasional, disebut DOTS (Direct Observed Treatment Short-course). Lima
elemen strategi DOTS sebagai berikut (WHO, 2009b): (1) Komitmen politis yang
berkesinambungan; (2) Akses terhadap pemeriksaan mikroskopis dahak yang
berkualitas; (3) Kemoterapi standar jangka pendek untuk semua kasus TB dengan
manajemen kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4)
Keteraturan penyediaan obat yang dijamin kualitasnya; (5) Sistem pencatatan dan
2
pelaporan yang memungkinkan penilaian hasil pada semua pasien dan penilaian
kinerja keseluruhan program.
Strategi DOTS telah berhasil membantu tercapainya dua sasaran yang
dideklarasikan World Health Assembly (WHA) pada tahun 1991, yaitu deteksi
kasus baru BTA positif sebesar 70%, dan penyembuhan sebesar 85% dari kasus
pada tahun 2000 (WHO, 2009a). Meskipun demikian kecepatan kemajuan saat ini
diperkirakan tidak cukup untuk mencapai target penurunan prevalensi dan
mortalitas TB dari Millenium Development Goals (MDG) menjadi separoh pada
tahun 2015 (Dye et al., 2005). Karena itu diperlukan kontinuitas implementasi
strategi DOTS agar program itu dapat mencapai target dan bahkan meningkatkan
target indikator- indikator keberhasilan program hingga tahun 2015.
Pada 2006 WHO menetapkan strategi baru untuk menghentikan TB.
Strategi itu bertujuan untuk mengintensifkan penanggulangan TB, menjangkau
semua pasien, dan memastikan tercapainya target Millennium Development Goal
(MDG) pada tahun 2015. Strategi baru WHO ditetapkan berdasarkan pencapaian
DOTS, serta menjawab tantangan baru bagi keberhasilan penanggulangan TB.
Enam elemen strategi WHO untuk menghentikan TB untuk 2006-2015 (WHO,
2009c): (1) Perluasan dan peningkatan DOTS berkualitas tinggi; (2) Mengatasi
TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya; (3) Penguatan sistem kesehatan; (4)
Pelibatan semua pemberi pelayanan kesehatan; (5) Pemberdayaan pasien dan
komunitas; (6) Mendorong dan meningkatkan penelitian (WHO, 2009c).
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen yang
vital untuk menilai keberhasilan pelaksanan program penanggulangan TB.
Pemantauan yang dilakukan secara berkala dan kontinu berguna untuk mendeteksi
masalah secara dini dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, agar
dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Selain itu evaluasi berguna untuk
menilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya telah
tercapai pada akhir suatu periode waktu. Evaluasi dilakukan setelah suatu periode
waktu tertentu, biasanya setiap 6 bulan hingga 1 tahun. Dalam mengukur
keberhasilan tersebut diperlukan indikator dan standar. Hasil evaluasi berguna
3
untuk kepentingan perencanaan program dan perbaikan kebijakan program
penanggulangan TB.
Berdasarkan data laporan L2BP Puskesmas Dumai Kota bulan Januari –
Desember 2013, didapatkan data bahwa cakupan CDR (Case Detection Rate)
belum mencapai target yang ditetapkan (70%) yakni hanya sebesar (54,88%)
(Laporan L2BP Puskesmas Dumai Kota,2013)
B. RUMUSAN MASALAH
Dengan latar belakang tersebut sebuah studi evauasi telah dilakukan untuk
menjawab masalah penelitian sebagai berikut:
1. Sejauh mana tujuan dan target penemuan kasus tuberkulosis (TB) yang
telah ditetapkan melalui strategi DOTS telah tercapai di Puskesmas
Dumai Kota?;
2. Apakah faktor-faktor yang menghambat dan faktor yang mendukung
program peneuman kasus TB dengan sistem DOTS di Puskesmas
Dumai Kota?
3. Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan untuk memechkan masalah
rendahnya cakupan CDR (Case Detection Rate) di wilayah Puskesmas
Dumai Kota?
C. TUJUAN KEGIATAN
1. Tujuan Umum
Mengevaluasi pencapaian tujuan dan target program penemuan kasus
TB berdasarkan sistem dot’s di Puskesmas Dumai Kota.
4
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi faktor yang menghambat dan faktor yang
mendukung program penemuan kasus TB berdasarkan sistem dot’s
di Puskesmas Dumai Kota.
b. Memberikan saran/ rekomendasi untuk perbaikan implementasi
strategi DOTS dan penelitian lanjutan
c. Mampu menyusun rencana kegiatan/ plan of action pemecahan
suatu masalah.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Penulis
Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis
lebih mendalam tentang program penanganan TB berdasarkan sistem
DOTS, mampu menganalisis hambatan-hambatan yang timbul serta
alternatif pemecahan masalah pelaksanaan penemuan kasus
tuberkulosis berdasarkan sistem dots di wilayah kerja Puskemas Dumai
Kota.
2. Bagi Puskesmas
Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi perumusan kebijakan program kesehatan di
Puskemas Dumai Kota.
3. Bagi Masyarakat
Mensosialisasikan kepada masyarakat tentang penyakit
tuberkulosis dan pentingnya mendapatkan pengobatan sampai tuntas,
meningkatkan peran serta masyrakat dalam pencapaian masyarakat
bebas tuberkulosis.
5
E. METODOLOGI
Dalam pelaksanaan mini project ini dilakukan bebrapa langkah atau
tahapan. Langkah awal dilakukan dengan menentukan suatu topik masalah dari
upaya kesehatan di Puskesmas yang masih perlu ditingkatkan atau diperbaiki.
Dari suatu topik masalah ini kemudian dianalisis dengan mengumpulkan data
yang diperlukan. Data yang diambil merupakan data primer maupun data skunder
Puskemas Dumai Kota. Data primer diproleh dari penenggung jawab program dan
petugas pelaksana P2PL Puskemas Dumai Kota. Data skunder diperoleh dari data
laporan evaluasi P2PL Puskemas Dumai Kota Januari – Desember 2013. Data
yang diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif dengan metode pendekatan
sistem dengan melihat fungsi manajemen yang bertujuan mengetahui
permasalahan secara menyeluruh. Identifikasi masalah dilakukan dengan
pembuatan fish bone yang kemudian dikonfirmasi dengan pelaksanaan penemuan
kasus TB berdasarkan sistem DOTS untuk menentukan penyebab masalah yang
paling mungkin. Pemecahan masalah dilakukan dengan metode kriteria Matriks
untuk kemudian ditentukan alternatif pemecahan masalahnya yang selanjutnya
dijabarkan dalam PoA (Pleaning of Action).
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya2. Patogenesis tuberkulosis
paru ada 2, yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. Pada
tuberkulosis primer, penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan
atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel
infeksius ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau
paru-paru. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang
biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru
akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut afek primer.
Dari afek primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis regional
disebut kompleks primer. Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan
muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa (tuberkulosis post-primer). 6
B. Penularan
Sumber penularan adalah penderita dengan TB BTA positif, yang dapat
menularkan TB kepada orang disekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu
7
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
nuclei (percikan dahak). Sekali batuk dapat dikeluarkan 3000 droplet. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab. 2,7
Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Orang
dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan.
Setelah itu kuman TB dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui
sistem peredaran darah dan sistem limfe. Daya penularan seorang pasien
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Karena
proses terjadinya infeksi oleh kuman TB biasanya secara inhalasi, maka TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan organ lainnya. 2,7
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan
lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap
tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
8
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 2
Adapun resiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB
akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000
penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang)
akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. 2
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman diwilayah
perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan
sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan
sosial ekonomi yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat
ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama
1950 – 1960. 6,8
9
C. Penemuan dan Gejala Klinis Pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan
penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan secara
pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit
pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
pasien TB.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung. 2
10
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS) 2:
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB khususnya
untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT
yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman
serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi 2:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
11
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu
melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar
internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam
pengobatan MDR dapat di cegah. 2
D. Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. 2
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru
tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur
prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
12
Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru 2
Diagnosis TB ekstra paru.
13
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus)
pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan
sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang
kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi,
serologi, foto toraks dan lain-lain 2
E. Pengobatan
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2
komponen, yaitu komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada
komponen diagnosis meliputi deteksi penderita di poliklinik dan penegakkan
diagnosis secara laboratorium, sedangkan komponen pengobatan meliputi
pengobatan yang cukup dan tepat serta pengawasan menelan obat setiap hari
terutama pada fase awal. 9
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang
dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek
yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase
14
awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun perincian OAT program adalah
sebagai berikut 2,9
Tabel 2.1 Regimen Terapi OAT 2,4,9,10,11
No. Kategori OAT Keterangan
1. I 2HRZE/4H3R3 - Penderita baru BTA (+)
- Penderita baru BTA (-)/Ro (+) yang
sakit berat
- Pendeerita ekstra paru berat
2. II 2HRZES/HRZE/
5H3R3E3
- Kambuh (relaps) BTA (+)
- Gagal (failure) BTA (+)
3. III 2HRZ/4H3R3 - Penderita baru BTA (-)/Ro (+)
- Penderita ekstra paru ringan
4. IV - H seumur hidup
- Obat yang masih
sensitif + Quinolon
- Penderita dengan TB kronis
- Penderita dengan MDR - TB
5. Sisipan HRZE - Bila penderita oleh K I dan K II pada
akhir fase awal/intensif masih BTA (+)
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan
OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan
pasien menelan obat agar dicapai kesembuhan dan mencegah resistensi serta
15
mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 2
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT
13,14 :
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3
Dosis Kategori 1
BB
Penderita
(Kg)
TAHAP INTENSIF
SELAMA 2 BULAN
TAHAP LANJUTAN
SELAMA 4 BULAN
TIAP HARI
TABLET 4 FDC
R150+H75+Z400+E275
TIAP HARI
TABLET 2 FDC
R150+H75
3 X SEMINGGU
TABLET 2 FDC
R150+H150
30 -37
38 -54
55 -70
>71
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
16
Dosis Kategori 2 ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
BERAT
BADAN
TAHAP INTENSIF
SELAMA 3 BULAN
TAHAP LANJUTAN 3
X SEMINGGU
SELAMA 5 BULAN TIAP HARI
2 BULAN
TIAP HARI
1 BULAN
30 -37
38 -54
55 -70
>71
2 tab 4 FDC
+ 2 ml Strepto
3 tab 4 FDC
+ 3 ml Strepto
4 tab 4 FDC
+ 4 ml Strepto
5 tab 4 FDC
+ 5 ml Strepto
2 Tab 4 FDC
3 Tab 4 FDC
4 Tab 4 FDC
5 Tab 4 FDC
2 Tab 4 FDC
+ 2 Tab Etambutol
3 Tab 4 FDC
+ 3 Tab Etambutol
4 Tab 4 FDC
+ 4 Tab Etambutol
5 Tab 4 FDC
+ 5 Tab Etambutol
Tabel 2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis 10,12