Top Banner
mereka belajar di lapangan no:01 | 50.000 rp
86

Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

Jul 27, 2015

Download

Documents

ivan ara
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

merekabelajardi lapangan

no:01 | 50.000 rp

Page 2: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I4

PendiriBambang Ismawan

Pemimpin UmumBambang Ismawan

Wakil Pemimpin UmumKoeswandi

Pemimpin RedaksiOnny Untung

Redaktur PelaksanaKarjono, Utami Kartika Putri

RedaksiSyah Angkasa, Sardi Duryatmo, Evy Syariefa Firstantinovi, Dian Adijaya Susanto,

Destika Cahyana, Laksita Wijayanti, Rosy Nur Apriyanti, Lastioro Anmi Tambunan, Vina Fitriani, Imam Wiguna, Hermansyah, Kiki Rizkika

Sekretaris RedaksiMimin Suyatmin

ArtistikAntonius Riyadi, Edi Amd, Satrio Wibowo, Bahrudin, Hernawan Nugroho,

Andri Sitepu, Kukuh Hariyanto

Konsultan GrafisTonny Parhansyah

DokumentasiIndira Kelana Devi, Agus Untung Suropati

PenerbitPT Trubus Swadaya

DirekturOnny Untung

PemasaranPT Trubus Media Swadaya

DirekturTinus Lingga

IklanKinanti Roospitasari (Koordinator), Supri Handoyono, Mahar Prabowo,

Hawari Hamiddudin

DistribusiKosim (Kepala), Eddy Sunarto, Hudi Utomo

Alamat Redaksi dan PerpustakaanWisma Hijau, Jl. Raya Bogor Km 30 Mekarsari, Cimanggis, Depok - 16952 Telp : (021) 8729060, 87701748 Faks : (021) 8729059 E-mail: [email protected]; Homepage: www.trubus-online.com; Alamat Distribusi dan Iklan : Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat 10610 Telp. : (021) 4262318 (direct), 4204402, 4255354 (hunting), Fax. (021) 4269263; Bank: BRI Veteran No. RC. 314603099; Bank BCA Cabang Samanhudi a.n. Majalah Trubus (YSTM) No. Rek. 4770040111 Giro Pos : Rekening Giro dan Cek Pos No. A. 12.676; Alamat Surat : Kotak Pos 1456, Jakarta 10014; Harga per Eksemplar : Rp50.000,-.

CARA BERLANGGANAN Kalau di kota Anda tidak ada agen toko buku yang menjual TRUBUS, Anda bisa berlangganan langsung dengan mengirimkan uang melalui pos wesel atau transfer ke Bank BCA Cab. Samanhudi a.n. PT Trubus Media Swadaya No. 4770091000. Kirimkan bukti transfer atau resi wesel ke Bagian Sirkulasi Majalah Trubus, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta 10014 Tromol Pos 1456. Majalah akan dikirim dengan pos biasa ke alamat. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim. (Ongkos kirim Jawa/Madura Rp41.000,-; Sumatera Rp48.500,-; Kalimantan/Bali Rp50.000,-; Lombok/NTT/NTB Rp55.500,-; Sulawesi Rp52.500,-; Maluku/Irian(Papua) Rp64.000,-.

TOKO-TOKO TRUBUS1. Toko Trubus Gunung Sahari, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta Pusat, 021-4204402; 2. Kebun Pembibitan Trubus Cimanggis, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Depok, 021-8721201-04; 3. Toko Trubus Makro, Jl. Lingkar Luar Selatan Kav. 5-6 Pasar Rebo - Jakarta Timur, 021-9239845; 4. Toko Trubus Bintaro Jaya Sektor IX, samping Bank Universal, 021-7450761; 5. Toko Trubus Cikarang, Jl. Raya Industri, samping Hompimpa, Lippo Cikarang, 021-89909872; 6. Toko Trubus Daan Mogot, Jl Ruko Daan Mogot Baru samping Rs. Hermina, 021- 9188493; 7. Toko Trubus Ungaran, Jl. Merapi No. 17 Ungaran, 024- 6922976; 8. Toko Trubus Yogyakarta, Jl. Raya Godean Km. 5 Ps. Tlogorejo, 0274- 7104303; 9. Toko Trubus Semarang, Jl. Pamularsih No. 101 Semarang, 024-7071860110. Toko Trubus Purwokerto, Jl. Menteri Sumpeno No. 10 (Depo Pelita) Sokaraja, 0281-6844218.

PENCETAK PT DIAN RAKYAT. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Topik6 Mereka Tidak Takut Lelah dan Rugi8 Mubin Usman Di Antara Buah dan Bensin14 Legawa Hamijaya Dokter Polisi di Kebun Duren20 Imron Khudori Juragan Adenium yang Besar di Jalan 24 Eddy Sutioso Metamorfosis Pride of Sumatera28 Li Shih Hua Pelopor Ekspor Bulan Taiwan32 Pramote Rojruangsang Kisah Laki-laki Variegata36 Bangun Dioro Sersan di Kandang Kambing40 Daun Penjemput Maut42 Budiyanto Tasma Gudang Reptil Dunia46 Vichai Pinyawat Kegilaan Bersama Burung52 Kh Fuad Affandi Agribisnis dan Agama56 Priatmana Muhendi Kesetiaan pada Tomat60 Darren Chandra Setelah Timah Terbitlah Rempah64 Jap Khiat Bun Bersandar pada Ikan Hias68 Djuju Antony Tetap Diskus, Bukan yang Lain 72 JB Hariantono Ketika Bangkir Terpikat sang Ratu76 Jesda Attavichit Kolonel Tertawan Cupang80 Suluh Eko Prabowo Makmur Karena Lobster84 Bukan karena Lampu Aladin

Cover: Mereka Belajar di Lapangan Foto: Onny Untung Koleksi: Yui Po Chen Lokasi: Tian-Wei, Chung-Hua, Taiwan Desain: Edi Amd

Page 3: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I6

di lapangan

mereka

belajar

Duka lara itu tidak ia biarkan membenamkan dirinya. Semangat bertahan di

tengah kesulitan segera dibangkitkan. Ia pun rajin berselancar di dunia maya. Di malam-malam yang hening berkali-kali matanya menyinggahi situs berisi aneka warna bunga dan daun. “Saya senang tanaman,” ungkap sarjana Ekonomi itu. Hobi yang terpupuk sejak dahulu itulah yang mendorongnya untuk berkecimpungan di dunia tanaman hias, saat bisnis ritelnya terpuruk. Adenium dan aglaonema pilihan pertama.

Sembilan tahun berlalu. Handry kini menjelma sebagai pekebun andal. Ia kerap diundang untuk

berbicara di berbagai pelatihan aglaonema. Adenium, yang juga menjadi pilihannya sejak pertama kali terjun ke pertanian, memenuhi nurserinya di Tangerang. Bisnis ritelnya pun bangkit kembali. Tiga dari empat toko yang dulu terbakar berhasil dibangun kembali. “Anggap saja kebun itu ganti toko yang kelima,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak saat dihubungi via telepon.

Jauh sebelum Handry terjun ke bisnis tanaman, di Lembang Rizal Djaafarer sudah mengibarkan benderanya. Selama 28 tahun komunitas tanaman mengenal pria santun itu sebagai pakar kaktus

Jakarta membara. Asap mengepul dari gedung-gedung yang terbakar. Barang dagangan dijarah. Kerusuhan Mei 1998 itulah yang mengubah kehidupan Handry Chuhairy. “Dari 5 toko, cuma 1 yang tersisa,” ujar

manajer operasional pasar swalayan Sabar Subur itu. Stres dan putus asa membuncah di benak alumnus Universitas Tarumanagara itu.

LelahMereka Tidak

RugiTakut

&

Page 4: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 7

dan phalaenopsis. Bisnis kaktusnya bermula setelah ia berhasil menyilangkan aneka kaktus. Kepiawaian itu membuat Rizal bingung lantaran jumlah koleksinya membeludak. Iseng-iseng para kaktus itu dijual di pameran. Hasilnya luar biasa. Jadi, Rizal muda memutuskan, kaktuslah kehidupannya. Ia hengkang dari bangku terakhir di Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan Jurusan Arsitektur, IKIP Bandung.

Rizal Djaafarel dan Handry Chuhairy bagian dari orang nonpertanian yang berkebun dan terbilang sukses di mata orang banyak. Sekadar menyebut nama, ada Jaka Dhama Limbang, jebolan Fakultas Teknik Universitas Trisakti yang memperdalam ilmu pascapanen dan mampu memproduksi aneka mesin pertanian. Jauh melintasi lautan, di Kaohsiung, Taiwan Li Shih Hua setiap hari menyibukkan diri memonitor pertumbuhan phalaenopsisnya. Alumnus Business Adminstration, Taichung University itu kini berubah menjadi eksportir kelas dunia.

Lantas, apakah yang berlatar belakang pertanian tidak ada yang sukses? Tidak juga. Sebut saja Wildan Mustofa, jebolan Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Tanah IPB yang berkebun kentang di Pangalengan. Nama lain ialah Gregori Garnadi Hambali, lulusan Biologi University of Birmingham, Inggris, breeder kawakan yang diacungi jempol oleh pemain tanaman dunia.

***Bagaimana duduk perkaranya

sehingga para pemain tanaman yang semula tidak mengerti seluk-beluk pertanian bisa eksis? Eka Budianta, penyair yang senang menulis menjawabannya, “Karena mereka tidak tahu apa-apa, tapi suka.” Lantaran tidak tahu apa-apa, setiap saat tanaman itu diperhatikan sehingga tumbuh baik.

Terjemahan di lapangan dari ucapan Eka Budianta itu ialah disiplin. Ambil contoh Bangun Dioro. Jika pada malam hari telinganya terusik lengkingan kambing, maka esok paginya ia akan menjadi penghulu, mengawinkan kambing. Kambing melengking pertanda birahi. Jika masa kawin ditunda, Bangun Dioro harus menunggu 21 hari lagi. Itu artinya ia kehilangan waktu 5 bulan untuk bisa memerah susu kambing.

Bertanyalah tentang tanaman pada Greg. Bertanyalah tentang kambing pada Bangun Dioro. Bertanyalah tentang ikan hias pada Jap Khiat Bun. Ketiga orang itu pasti tahu jawabannya. Namun,

jangan menanyakan waktu yang tepat untuk memerah kambing pada Greg, menanyakan pH air untuk koi pada Bangun Dioro, menanyakan kaktus pada Jap Khiat Bun. Mereka tidak akan bisa menjawab. Itu karena ketiganya fokus di bidang masing-masing.

Kerja keras, fokus, dan konsistensi itu ternyata tidak cukup. Dinding terjal lain yang masih harus dilalui –dan setiap saat siap menghadang lagi—ialah rugi. Sekitar Rp100-juta uang Handry Chuhairy amblas sejak main aglaonema. Sedangkan Imron Khudori sempat terimpit hutang Rp150-juta. Bisnis pelepah pisangnya terpuruk sehingga ia terpaksa menjadi pedagang keliling

tanaman hias, sebelum nasibnya berubah menjadi bandar besar adenium.

Masuknya para pemain berlatar belakang nonpertanian itu memberikan fenomena menarik seperti yang terlihat di kebun durian Bernard Sadhani. Pekebun durian jebolan Teknik Sipil ITB itu memperlakukan durian seperti tiang listrik atau jalan raya. Kontraktor sipil itu memakai theodolit saat menanam durian. Sejauh mata memandang, jejeran pohon durian di Cikalong Kulon, Cianjur, itu terlihat lurus dengan tinggi seragam.

Nun di Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Priatmana Muhendi pernah gagal memenuhi permintaan besar untuk tomat. Soalnya, tomat yang ia kumpulkan dari petani di sekitarnya beragam bentuk, ukuran, dan warna. Sarjana Manajemen itu pun kemudian menularkan ilmu manajemennya pada petani. Ia menganjurkan ada kerjasama pengaturan masa tanam dan jenis. Kini, di desa itu dapat diperoleh tomat dalam jumlah besar dengan

keseragaman tinggi, tidak campur aduk bulat, lonjong, merah atau kuning.

Ketekunan yang digabung dengan tekad dan kesabaran memang modal besar yang diperlukan untuk terjun di agribisnis. Dua puluh satu tahun lalu Jap Khiat Bun mencari cacing di sungai Jakarta yang kotor dan berbau “Semua sungai dan selokan sudah saya datangi untuk diambil cacingnya,” katanya. Eksportir ikan hias terbesar di Indonesia itu tekun, belajar pada para ahli. Dia menjalankan prinsip Sin Yung: kepercayaan dan kejujuran. Tanpa itu semua tak ada yang langgeng. Itulah yang dilaksanakan secara konsisten oleh mereka yang sukses belajar di lapangan. (Onny Untung)

Bagaimana duduk

perkaranya sehingga para

pemain tanaman yang semula tidak mengerti seluk-beluk

pertanian bisa eksis? Eka

Budianta, sang penyair yang

senang menulis mempunyai jawabannya,

“Karena mereka tidak tahu apa-apa, tapi suka.”

Page 5: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I8

mubin usman:

di lapangan

merekabelajar

Dari atas rel kereta api, Mubin Usman mulai membangun mimpi: hidup lebih baik ketimbang sekadar menjadi petani padi sawah seperti sang ayah. Pilihan jatuh pada bisnis buah yang dalam hitungannya lebih mendatangkan rupiah. Sebuah

keputusan tepat.

Page 6: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)
Page 7: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I10

mereka

belajar

di lapangan

Deru kereta api melintas di atas rel di dekat kawasan

kampus Universitas Indonesia, Depok, selalu membangkitkan memori Mubin Usman. Hampir setengah abad lalu, di atas angkutan umum massal itu kelahiran Depok 59 tahun silam itu menggantungkan harapan.

Di sebuah stasiun sederhana—sekarang Stasiun Pondokcina—saat jarum jam baru bergulir ke angka 3 dari tengah malam Mubin menunggu kereta. Sepur itu akan mengantarkan ke tempat tujuan: Pasar Manggarai, Jakarta Selatan. Terlambat sedikit saja, kereta pertama yang berhenti di stasiun pada pukul 04.30 pergi meninggalkan.

Di stasiun itu, Mubin muda yang baru lulus Sekolah Rakyat tidak bertangan hampa. Di dalam 2 pikulan yang ditanggung sendiri sembari menyusuri jalan tanah dari rumah di kawasan Kober—berjarak

kira-kira 1 km—menumpuk pepaya jinggo—mirip jenis bangkok sekarang—hasil panen di kebun. Begitu kereta tiba, tanggungan diikat menggantung di jendela. Setelah siap, dengan sigap anak ke-3 dari 12 bersaudara itu melompat masuk.

Jago silatItulah awal hari Mubin. Di

Manggara i , pepaya—kadang-kadang dilengkapi pisang, jeruk, atau rambutan—sudah ditunggu para tengkulak. Tawar-menawar harga terjadi sampai tercapai kesepakatan: isi pikulan berpindah pada tengkulak yang paling berani memberi harga mahal.

Namun, tak se la lu rup iah didapat. Kerap terjadi, baru saja ia turun dari kereta, beberapa orang mengerubungi. Bukan untuk membeli, tapi meminta paksa

Di bengkel yang kini serbamodern

Medali dari Presiden Megawati

Foto

-fot

o: E

vy S

yarie

fa

Page 8: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 11

buah yang dibawa. Kalau sudah begitu, mau tak mau Mubin mesti mengeluarkan “ i lmu ngo to t ” . “Ba rang yang mereka ambil, saya rebut lagi. Kalau mereka masih memaksa ya terpaksa mesti berantem dulu,” kata laki-laki yang besar di kebun bersama sang ayah—Haji Usman—itu. Untung sebagai anak lelaki Betawi, Mubin dibekali ilmu beladiri. Kalau sudah begitu, niat berjualan urung dilaksanakan.

Sukses menjual isi tanggungan bukan berarti aman-aman saja. Buah yang jadi rupiah “menggoda” preman pasar buat meminta “uang jago”. Lagi-lagi Mubin mesti beradu nyali dengan para pemalak. “Kondisi di pasar memang begitu. Nyawa jadi taruhan,” tuturnya. Toh, pria gemar bercelana komprang, baju pangsi, dan sarung dibelit di pinggang bila ke pasar itu pantang mundur.

Bibit buanganHasilnya, berbekal uang hasil penjualan,

Mubin pulang ke Depok. Namun, sesuai pesan Haji Usman pikulan tak boleh kosong. “Jadi saya bawa sampah pasar—waktu itu tanpa plastik dan barang lain yang sulit urai, red—buat dijadikan pupuk,” ujar ayah 3 anak itu. Tiba di rumah, Mubin memilah-milah sampah, memasukkan ke dalam lubang, menimbun dengan tanah supaya jadi kompos. Kompos—berbarengan dengan kotoran sapi dan kambing yang diternak di dekat rumah—dipakai sebagai pupuk ribuan pepaya di lahan 3.000 m2 yang jadi komoditas andalan. Pepaya dipilih karena cepat panen.

Dari sisa sampah pasar, muncul bibit buah-buahan. “Di situ kan ada biji durian, mangga, rambutan. Semua tumbuh,” tutur Mubin. Bibit-bibit yang jumlahnya makin banyak itu dikumpulkan. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu kecil—sekarang polibag—sebelum diletakkan berkelompok di antara barisan pepaya. Durian dengan durian, mangga dengan mangga, rambutan dengan rambutan, jeruk dengan jeruk.

Bibit lantas disambung dengan entres jenis unggul—ilmu yang didapat dari ayah. Entres didapat dari pohon-pohon milik tetangga di dekat-dekat rumah. Maklum Depok dulu memang dikenal sebagai sentra buah-buahan. Hasil sambungan ditanam di lahan kebun orangtua yang masih kosong. Lagi-lagi penanaman massal. “Supaya kalau nanti panen hasilnya banyak. Jadi bisa membanjiri pasar,” kata pria yang tak lulus Sekolah Menengah Pertama itu.

Strateginya memang jitu. Mubin jadi bisa memasok massal ke pasar buah. “Kadang-kadang ada orang y a n g b e l i b u a h

menanyakan, saya punya bibitnya tidak. Nah,

besok saya tinggal bawa bibit yang ada di kebun,” tutur

pria yang beribadah haji pada 1996 itu. Dari sanalah cikal-bakal usaha

pembibitan buah-buahan unggul yang hingga kini bertahan.

Presiden Soeharto

Rintisan sejak puluhan tahun silam itu Trubus masih bisa saksikan di nurseri Wijaya Tani—nama kebun bibit milik

Mubin sekarang—di kawasan Margonda, Depok. Di dekat saung,

Mubin menunjuk tabulampot mangga dalam drum besar berumur lebih dari 30 tahun. Diameter batang bawah mencapai 30 cm, tajuk pendek karena rutin dipangkas. “Ini sudah saya sambung berulang-ulang dengan jenis berbeda. Awalnya indramayu, lalu okyong, sekarang nangklangwan,”

papar kakek 3 cucu itu fasih menyebut 2 varietas mangga introduksi asal Thailand.

Mubin memang inovatif. Sejak punya lahan sendiri—pada 1972 menempati tanah seluas kira-kira 100 m2 di pinggir Jalan Margonda berpisah dengan orangtua—ia rajin mengumpulkan jenis-jenis buah unggul. Dalam sebuah foto jepretan 1980-an, Mubin mejeng dengan jambu biji bangkok. Waktu itu ia satu-satunya pemilik jambu bongsor itu.

Waktu menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Barat

Lengkeng, cerita manis bibit buah

Dari lahan seluas 100m2

di pinggir jalan, bisnis

Mubin Usman

menggurita jadi

4 kebun bibit dan bengkel modern,

serta toko ban ternama.

Page 9: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I12

mereka

belajar

di lapangan

Bibit didapat dari sebuah pameran di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada 1982 berbarengan dengan lengkeng diamond river, mangga khioe sawoi dan okyong, serta durian monthong. Pada pameran yang diikuti oleh peserta mancanegara itu, Presiden Soeharto—yang membuka acara—berpidato, “Bangsa Indonesia harus berdikari.”

Buat Mubin, itu berarti punya kebun buah dan pembibitan sendiri. Barang introduksi boleh masuk, tapi hanya dalam bentuk tanaman induk. Di tanahair, bibit diperbanyak, lalu ditanam supaya hasilnya bisa dipanen dan dikirim ke pasar. Apalagi waktu itu, Mubin melihat buah impor mulai berdatangan.

UnggulN i a t i t u

diwujudkan dengan m e n g u m p u l k a n bibit buah unggul dari kampung ke kampung. Pun hasil introduksi, meski

sesaat. Bisnis bibit jeruk runtuh lantaran penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD)

mewabah. “Orang takut tanam jeruk,” keluh pria yang pada awal membuka kios otomotif sering menyewa ojek untuk belanja onderdil ke Kota itu.

Bangkrut, laki-laki yang menikah pada 1971 itu mulai lagi dari awal dengan memperbanyak mangga,

rambutan, dan belimbing. S e b a g i a n d i t a n a m sendiri untuk dipanen buahnya. Itu pun bukan tanpa r isiko. Waktu awal menanam pepaya

dan jeruk di kebun orangtua, r ibuan

tanaman siap panen dimusnahkan karena peraturan

pemerintah. Bencana alam pun jadi hambatan. Banjir besar setinggi 1 m pernah meluluh-lantakan

tanaman pepaya. Toh, Mubin berani menerima tantangan

itu. Pilihannya ternyata tepat. Dari kebun belimbing dewa dan jambu

biji daging merah, pria yang kios bensinnya berkembang jadi toko

oli, bisnis cuci motor, dan toko ban itu memasok tengkulak di Pasarminggu, Jakarta Selatan—Mubin pindah ke sini pada 1972 karena pasar Manggarai dibubarkan—dan

Citayam, Bogor. B e l a k a n g a n b a n y a k

pekebun yang mengikuti jejak sehingga belimbing dewa dan

jambu biji merah jadi komoditas andalan Depok. Mubin pun berbangga hati. Dua komoditas itu dilepas sebagai varietas unggul nasional oleh menteri pertanian atas namanya—ditambah kecapi

Waktu wisata belanja ke Thailand

Di depan kios bensin sekaligus kebun bibit

Belimbing dewa, salah satu andalan

harganya waktu itu, “Ngga cukup kalau ngga jual 1 ekor kambing,” selorohnya.

Di kebun kecilnya, bibit-bibit itu dikumpulkan, diperbanyak, dan dijual. Terkadang Mubin memikul bibit hingga ke kampung-kampung memenuhi pesanan pelanggan. Bibit laris-manis karena waktu itu masih jarang hasil perbanyakan dengan cara vegetatif—umumnya bibit asal biji.

Lantaran banyak pembeli menanyakan bibit jeruk, Mubin berkonsentrasi memperbanyak bibit anggota famili Rutaceae itu. “Ternyata memang laku banyak,” kata pria yang sembari merawat bibit juga membuka kios bensin di lokasi sama. Sayang bulan madu perniagaan bibit jeruk hanya bertahan

Page 10: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 13

ratu jaya. Malah belimbing dewa menjuarai Lomba Buah Unggul Nasional Trubus untuk kategori buah bintang pada 2003—2005.

Gara-gara itu pula, pria yang kios bensinnya menjelma jadi bengkel besar itu semakin terkenal sebagai penyedia bibit dan buah unggul. Sebuah penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Megawati diberikan pada acara Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) di Manado pada 2004. Kehormatan lain, penghargaan sebagai perintis lingkungan hidup dari Gubernur Jawa Barat atas jasa mengubah daerah aliran sungai Ciliwung menjadi sentra belimbing.

Pingpong manisManisnya bisnis bibit pun

dirasakan kembali. Saat tren lengkeng dataran rendah menyeruak di tanahair, laki-laki yang tinggal di kawasan elit Depok itu panen order. Tabulampot lengkeng diamond river dan pingpong yang dimiliki sejak lama laris-manis dengan harga fantastis. Padahal, dulu tidak ada yang melirik.

Toh, Mubin belajar dari pengalaman. Keuntungan penjualan bibit diinvestasikan. “Jual bibit itu harus bisa nyimpen duit, karena bisa jadi hari ini laku, besok-besok sampai sebulan ngga ada yang beli,” selorohnya.

Kini jejak kesuksesan pria yang berkeliling Eropa atas undangan sebuah perusahaan ban itu masih terekam jelas di nurserinya. Di Wijaya Tani, Trubus melihat deretan tabulampot buah naga; polibag-polibag bibit lengkeng diamond river, pingpong, dan itoh; mangga okyong, nam dok mai, khioe sawoi, erwin, dan lancetila; kelapa pandanwangi; kecapi bangkok; dan durian monthong—sekadar menyebut contoh jenis introduksi.

Sebagian besar dibawa dalam bentuk biji waktu perjalanan ke luar negeri. Terakhir, pada perjalanan ke Thailand untuk ke-7 kali, pemilik toko ban terbaik se-Indonesia pada 1994 itu memboyong bibit nangka berdaging merah dan mayongchid—gandaria manis.

Mereka bersanding dengan rambutan rapiah, belimbing dewa, jambu biji daging merah, jeruk siem, kedondong, dan sawo kecik lokal. Hasil perbanyakan itu untuk memasok pedagang di seputaran Jabotabek hingga kota-kota di luar Jawa.

Belakangan, Mubin aktif mengikuti ekshibisi. Di sana rupiah dari bibit buah mengalir lebih deras—sama seperti ketika musim tanam buah-buahan datang pada penghujan. Mobil bak terbuka dari kebunnya pun masih rutin memasok Pasarminggu dan Citayam. Dari bisnis di pinggir rel, kebun bibit Mubin menyebar di 4 tempat. Dari kios bensin tepi jalan, menggurita jadi bengkel ternama. Buat Mubin, hidup di antara buah dan bensin. (Evy Syariefa)

Kecapi ratujaya, varietas unggul nasional

Dulu satu-satunya pemilik jambu biji bangkok

Page 11: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I14

DKlegawa hamijaya:

“Mohon maaf! Praktek libur, besok buka kembali.” Tulisan itu terpampang di pintu gerbang. Libur bukan karena hari besar, tapi sang

dokter gigi akan mengontrol kebun durian yang tiba masa panen.

Dokter Polisi

ebun

uren

di

Page 12: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

di lapangan

merekabelajar

Siawi yang bikin penasaran

Page 13: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I16

mereka

belajar

di lapangan

Dengan pernyataan itu artinya Rp6- juta penghasilan yang biasa

didapat setiap kali praktek hilang. Namun, AKP drg Legawa Hamijaya seperti tak acuh. Ia malah memilih pergi ke kebun durian. “Kalau itu rezeki saya, tidak akan lari ke mana. Mereka (para pasien, red) sangat fanatik, besok sore pasti akan kembali,” jawabnya ringan. Legowo—begitu pria bertubuh gempal itu disapa—memang punya profesi ganda. Selain bertugas sebagai dokter di Kepolisian, ia menggeluti agribisnis.

Dunia pertanian bagi Legowo bukan barang baru. Ayahnya di Yogyakarta yang mengelola beberapa hotel mempunyai puluhan hektar tanaman salak. Jadi, meski kuliahnya di kedokteran gigi, perkembangan pertanian tak luput dari perhatian. Apalagi setiap bulan ia rutin membaca majalah Trubus yang diakui banyak menampilkan kisah sukses petani-petani di dalam dan luar negeri.. “Komoditas-komoditas yang potensial dikembangkan pun diperkenalkan di majalah,” ujarnya.

Selepas lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada pada 1999 dengan mendapat predikat lulusan 5 tercepat—ditempuh

selama 5 tahun—Legowo masuk pendidikan PPSS (Perwira Polisi Sumber Sarjana) di Semarang. Pada 2000 pemerintah langsung menempatkannya sebagai dokter polisi di Provinsi Lampung. Hari-hari Legowo di Bumi Ruwa Jurai itu tentu dilalui dengan kesibukan melayani sesama anggota polisi dan masyarakat umum. “Pulang malem terus, malah kadang sampai pagi karena harus memvisum mayat,” tutur kelahiran Yogyakarta 7 Januari 1975 itu.

Namun, naluri bisnis bungsu dari 8 bersaudara itu tidak bisa disembunyikan. Ketika melihat pasokan sayuran di pasar-pasar seputaran

Dukungan istri penting

Karena durian, berani tinggalkan pasien

Sikepel

Foto

-fot

o: K

arjo

no, E

di A

md,

Kol

eksi

Leg

awa

Page 14: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 17

Bandarlampung kurang, di benaknya langsung terbersit niat untuk menjadi petani. Dengan lahan sewaan ia sempat beberapa kali menanam caisim, pakcoy, dan cabai, sebelum akhirnya diputuskan untuk ditinggalkan. “Tanaman sayuran harus ditangani intensif, sementara saya tidak punya banyak waktu. Lagi pula harga fluktuatif,” imbuhnya.

Beli kebun Tak berhasil mengatasi keterbatasan waktu,

pemuda yang piawai memainkan berbagai alat musik tradisional Jawa dan modern itu mengubah strategi. Legowo menganalisis, “Sayuran potensial diusahakan, tapi yang cocok bagi saya mungkin tanaman tahunan, seperti buah-buahan.” Minat ke arah itu sebetulnya sudah muncul sejak kedatangan di Lampung. Mata bisnis pehobi

kebun, Legowo mulai mengeksploitasinya. Ia menempatkan 2 karyawan yang bertugas merawat kebun dengan sistem bagi hasil. “Lumayan, tidak sekadar menutup biaya, tapi ada kelebihan,” ucapnya. Bagaimana tidak, setiap tahunnya dari kakao diperoleh pemasukkan bersih Rp12-juta—Rp15-juta, durian Rp18-juta, dan cengkih Rp14-juta. Itu belum termasuk penjualan dari petai, alpukat, dan kelapa.

Fokus ke durian Yang menggembirakan, mania-

mania durian di Lampung kian mengenal kualitas durian dari kebunnya. Oleh karena itulah dengan bermodal 160 pohon durian jenis lokal berumur 20—30 tahun, Legowo membangun kios di depan rumah dan sekaligus membuka kebunnya untuk dikunjungi para penikmat raja buah itu. Embel-embel durian jatuhan dan dijual dengan harga kiloan, Rp5.000/ kg, Lembah Durian—nama farm-nya—ramai dikunjungi saat musim buah tiba.

“Banyak sekali yang datang, sampai-sampai ada yang tidak kebagian,” kata ayah 2 putra itu. Harap mafhum durian yang jatuh tidak bisa diatur. Jika sudah begitu mereka rela menginap, menunggu sampai buah berduri tajam itu jatuh. Pernah kejadian seorang konsumen fanatik dengan membawa tenda dari rumah, menginap sehari semalam di bawah pohon demi sebutir siawi. Siawi salah satu jenis durian yang diunggulkan memang sangat istimewa. Daging kuning, kering, berasa manis legit, dan daging lembut. Padahal, menurut Legowo minimal ada 6 jenis lain yang tidak kalah enak. Sebut saja sikoneng, siorens, dan silodong.

Atas dasar itulah pria yang kerap mengikuti pelatihan budidaya durian dan 3 kali studi banding ke Thailand itu akan lebih serius menangani durian. Kalau selama ini pemupukan dan pengendalian hama penyakit dilakukan apa adanya, ke depan ditingkatkan. Dengan begitu tingkat kerontokan buah bisa ditekan, sehingga akan lebih banyak lagi buah-buah beraroma tajam itu yang bisa dijual. Legowo menghitung ketika buah baru seukuran telur jumlahnya tidak kurang dari 6.000 butir, tapi yang bertahan hingga matang cuma 2.000 butir.

Perluasan areal penanaman pun tengah direncanakan. Tanah-tanah di sekeliling kebun

Keberhasilan AKP drg Legawa Hamijaya beragribisnis tak lepas

dari ilmu polisi yang diterapkan. Kebunnya aman dari penjarahan karena teman-teman

sekantor sering diajak nongkrong sambil menikmati

lezatnya durian. Siapa yang tidak gentar

berhadapan dengan sekompi polisi? Ilmu

polisi pula yang bisa meningkatkan

produktivitas pekerja.

renang itu mengincar lahan di perbukitan yang berjarak sekitar 10 km dari rumah, tepatnya di daerah Sukadanaham.

Di lokasi itu tumbuh beragam tanaman buah-buahan, termasuk durian yang menjadi buah unggulan Lampung. Bahkan dari sanalah durian-durian enak berasal. Motivasi Legowo untuk menguasai lahan kian besar. Kebetulan, rezeki dari buka praktek di rumah cukup untuk menutup 10 hektar lahan yang ditawarkan pemiliknya, Rp17-juta/ha. Kebun yang dibeli awal 2001 itu berisi tanaman kakao mencapai luasan 6 ha (4 hektar sudah berproduksi), durian 2 hektar, dan sisanya 2 hektar, campur aduk: ada alpukat, kelapa, petai, cengkih, singkong, dan tanaman semusim seperti padi dan ubijalar.

Kala musim panen, “Saya senang bisa mengundang teman-teman kantor dan karib kerabat untuk makan buah-buahan sepuasnya di kebun,” tutur Legowo. Dokter yang minikahi Retno Anmi pada 2002 itu belum berniat menjual hasil kebun dengan alasan perlu promosi dulu. Toh menurutnya untuk makan bisa mengandalkan gaji sang istri yang berprofesi dokter umum di sebuah rumasakit di Lampung.

Barulah sejak 2003, seiring dengan aliran biaya yang dikeluarkan untuk membenahi

Ciptakan kebanggaan pada diri pekerja

Sikoneng

Page 15: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I18

mereka

belajar

di lapangan

sedikit demi sedikit dibebaskan serta bibit-bibit durian unggul lokal dari berbagai daerah dikumpulkan. “Saya pilih durian lokal sesuai permintaan pasar. Monthong di Lampung kurang laku. Dulu hanya saya bagi-bagikan ke teman,” katanya. Menurutnya pangsa pasar durian sangat besar sehingga ia tidak takut kesulitan pasar, “Asal berkualitas dan dipanen jatohan, konsumen datang sendiri ke kebun.”

Ilmu polisiKeberhasilan Legowo beragribisnis tidak

lepas dari ilmu polisi yang diterapkan. Kebunnya aman dari penjarahan dan para pekerja tetap loyal meski kegiatan sehari-hari tak ditangani langsung. Kuncinya? Ia mengutarakan, membawa-bawa teman sekantor ke kebun bukan tanpa maksud. “Di sini masih banyak preman. Tapi kalau sekompi orang-orang berpakaian cokelat (polisi, red) sering mondar-mandir di kebun, apa mereka tidak takut?” tuturnya. Ia juga tak segan-segan menyebar intel jika ada 1—2 butir durian dicuri, supaya si pelaku jera.

Menurut Legowo, intel itu juga disebar untuk mengawasi pekerja. Banyak kasus penyelewengan penggunaan pupuk di kebun-kebun tetangga oleh pekerjanya. Seyogyanya 2 kuintal pupuk diaplikasikan pada tanaman, tapi karena merasa tidak ada yang mengawasi hanya dipakai separuhnya. Separuhnya lagi masuk kantong alias dijual. Akibatnya fatal, tanaman tidak bisa berbuah optimal, pemasukan sedikit, lama-lama

kebun ditutup. Padahal, “Biaya yang dikeluarkan untuk intel tidak seujung kuku dibanding kerugian yang ditimbulkan,” kata polisi yang punya keahlian berkuda itu.

Para pekerja di Lembah Durian bisa loyal dan produktif, “Itu juga ilmu polisi,” lanjut Legowo. Mantan penari di Keraton Yogyakarta itu membuat loyal para pekerja dengan menepati apa-apa yang sudah disepakati bersama—misal soal bagi hasil—membantu saat keluarganya ditimpa musibah, dan ditanamkan kebanggaan pada diri masing-masing pekerja. Makanya, embel-embel dokter selalu melekat ketika menyebut kebun yang sering dipakai berkemah anak-anak Sekolah Dasar itu: “Kebun durian dr Legowo”. Merawat durian di seorang yang berprofesi dokter bagi pekerja punya nilai prestisius tersendiri.

Nah, untuk memacu produktivitas, perwira menengah dari batalion Wira Dharmasthi itu selalu menghindari hubungan terlalu akrab antarsesama pekerja. Ia ciptakan persaingan dengan cara “mengadu domba”, tapi terkendali. Misalnya sesekali mengajak salah satu pekerja makan di tempat mewah. Saat itu pula dikorek informasi dengan mengumpan “bola” asutan yang seolah-olah dilontarkan pekerja yang tidak diajak makan. Dengan cara itu potret keseharian aktivitas di kebun terlihat dan masing-masing pekerja akan giat bekerja karena khawatir dilaporkan.

Pantaslah banyak pelaku agribisnis yang meraih sukses justru tidak berlatar belakang ilmu pertanian, seperti AKP drg Legowo. Di kantornya ia lebih dikenal sebagai pekebun duren, tapi di kebun duren juga disegani karena bisa mengangkat senjata. Yang penting tidak diumpat pasien yang tak tahan menahan sakit giginya karena harus menunggu sampai besok. (Karjono)

Yang berbakat seni pun bisa jadi polisi

Populer sebagai pekebun duren ketimbang polisi

Tidak hanya pandai menari Legowo kecil dekat dengan pertanian

Page 16: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)
Page 17: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I20

mereka

belajar

di lapangan

imron khudori:

Juragan Adenium yang Besar di Jalan

Tujuh tahun silam Imron Khudori hanya pengumpul pelepah pisang. Tak lama berselang

menjadi bos pelepah beromzet Rp160-juta/minggu. Sayang, pada 2003

perniagaan itu berakhir dengan 1 kata: bangkrut!

Dengan modal Rp200-ribu ia bangkit membuka usaha baru. Kini

Imron terkenal sebagai juragan adenium Gresik beromzet Rp35-juta/minggu. Inilah suasana ruang pamer adenium seluas 2000 m2 milik Imron di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, setiap akhir pekan. Jalan selebar 4 m yang membelah kebun disesaki kendaraan roda 4 seperti Honda Odyssey dan Toyota Innova. Di luar kebun 2 Panther keluaran terbaru diparkir di seberang. “Itu pelanggan yang datang untuk berburu kamboja jepang,” kata Imron. Pelanggan biasanya kolektor adenium dari berbagai kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Situbondo, dan Ponorogo.

Di sisi kiri-kanan jalan kebun berjajar pilar-pilar berjarak 1 m. Di atasnya bertengger 18 Adenium obesum berdiameter bonggol di atas 60 cm dan

Page 18: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 21

Page 19: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I22

mereka

belajar

di lapangan

bertabur bunga. Mereka seolah menyambut kedatangan pelanggan yang bersedia meminang. Di balik tanaman berukuran besar terhampar ribuan obesum semaian biji maupun grafting berukuran 15—25 cm. “Perputaran tanaman sangat cepat. Saya tak tahu persis jumlah tanaman saat ini. Nurseri ini seperti kebun transit saja,” kata pemilik Vivin Indah Nurseri itu.

Dari nurseri yang dibangun pada Maret 2006 itu seminggu 2 kali dikirim 800—3.000 adenium berbagai ukuran ke Bali. Total penjualan setiap pengiriman berkisar Rp15-juta—Rp30-juta. Maklum, selain melayani pembelian eceran ke kalangan kolektor, Imron melayani pembelian partai. “Sebetulnya pangsa terbesar saya pemesan dalam partai besar,” ujar ayah 2 anak itu. Pengiriman partai dengan pick up dan truk pun

Foto

-fot

o: D

estik

a C

ahya

na

kerap dilakukan ke Yogyakarta, Pati, Purwodadi, Wonogiri, Banyuwangi, dan Jember. Dalam sebulan omzet berputar di kisaran Rp140- juta.

Baru kenalSejatinya, pria lulusan

Sekolah Menengah Atas itu tak pernah bermimpi menjadi juragan adenium. Empat tahun lalu ia tak mengenal

sama sekali kamboja jepang. Perkenalannya bermula saat

Imron meminjam uang Rp400-ribu pada seorang kerabat untuk berburu

pelepah pisang ke Malang dan Blitar. “Saya ingin mencoba memulai lagi bisnis

pelepah pisang yang ambruk di awal 2003,” katanya. Sayang, selama

berputar-putar di 2 kota itu dengan Honda Supra X keluaran 2002 yang digebernya dari Gresik, ia tak menemukan pelepah pisang

yang dicari.Uang dikantong pun menipis

dipakai berkeliling. “Yang tersisa hanya Rp200-ribu,” ujar ayah 2 anak itu. Lantaran

Kebun transit hanya 2.000 m2

Bonggol buruan kolektor

Page 20: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 23

takut diomeli istri karena uang tak menjadi barang, maka sisa uangnya dibelikan 3 Adenium obesum berdiameter 20 cm seharga Rp150-ribu. Maklum, kala itu di Blitar dan sekitarnya—seperti Kediri—banyak pekebun menanam adenium. Sesampainya di rumah, Nurhidayah, sang istri hanya bisa menggelengkan kepala kesal melihat Imron membelanjakan uang yang tersisa hanya untuk 3 bonggol adenium.

Hanya sehari di rumah Imron bermain ke seorang teman di desanya. Tak dinyana sahabatnya itu menyukai adenium bawaan Imron dan berani membeli 3 tanaman itu seharga Rp1,2- juta. “Gila laku dijual hampir 10 kali lipat. Bisnis apa pun tak ada yang untungnya sebesar ini,” ujar Imron mengenang perkenalannya dengan adenium. Mulai saat itulah Imron berburu adenium kecil-kecilan selama 6 bulan. Hampir setiap hari ia mencari adenium ke Mojosari dan Krian, Jawa Timur, senilai Rp200-ribu. Lalu melepasnya ke orang yang sama dengan nilai Rp600-ribu.

Setengah tahun berjalan Imron memberanikan diri berburu ke Banyuwangi dan Probolinggo dengan menyewa pick up. Setiap pekan ia belanja Rp2-juta dan melepasnya dengan harga Rp6-juta. Pasar dicari dengan cara door to door ke nurseri-nurseri di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Sebut saja Yogyakarta, Grobogan, dan Pati. “Ia benar-benar hidup dan besar di jalanan. Beli di Jawa Timur, jual ke Jawa Tengah. Beli-jual begitu seterusnya,” kata Tjandra Ronywidjaja, pemain adenium di Ponorogo. Baru setelah malang-melintang di jalanan selama 2 tahun Imron membuka nurseri sebagai kebun transit.

Pelepah pisangSukses Imron di bisnis adenium itu seolah

mengulang keberhasilannya membangun

bisnis pelepah pisang sebelum dihadang pailit. “Semangat berubah pada diri Imron sangat kuat,” ujar Tjandra. Tengok saja perjalanan usahanya yang bermula dari pengambil dan penjemur pelepah pisang, berubah menjadi pengepul, hingga menjadi bos pelepah pisang Gresik, yang mengirim bahan baku furniture itu ke Cirebon.

Sebagai bos besar, Imron mengirim 20—40 ton pelepah pisang kering dengan menggunakan 3 truk gandeng. Dengan harga jual Rp4.200 per kg, Imron mengambil laba Rp500 per kg. Ketika itu setiap minggu mengantongi laba Rp10- juta— Rp20- juta. Tak ada yang menyangka, dari perniagaan pelepah kering yang dianggap tak berharga itu ternyata bernilai puluhan juta rupiah.

Sayang, bulan madu dengan pelepah pisang terhenti karena pabrik di Cirebon meminta standar yang lebih tinggi. Pelepah mesti kering dan

putih. Imron mengalami kesulitan karena pelepah yang dibeli

dari petani kerap kurang kering. Penyusutan

mencapai 50%. Warna pun kusam. Kontrak 300 ton pelepah pisang kering per 4 bulan pun diputus. “Karena tak diterima pabrik, pelepah pisang dalam 1 truk gandeng dibakar,”

ujar Imron. Hutang Rp150-juta pun

menghantui kehidupan Imron di awal 2003.

Selama setengah tahun kehidupan Imron kembali

seperti sepuluh tahun silam, kala ia masih menjadi penghubung antara

pembeli dan penjual kendaraan roda dua. “Pokoknya sulit. Kalau tak ingat keluarga ingin berhenti hidup,” katanya. Layaknya calo ia ke sana ke mari mencari pembeli dan “nongkrong” di warung kopi mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarga. Beruntung kehidupan tak menentu itu berbuah setelah dirinya bertemu dengan adenium pada pertengahan 2003 di Blitar.

Kini saat Trubus berkunjung ke nurserinya akhir Februari 2007, Imron bukanlah raja jalanan yang mengais kehidupan ke sana ke mari. Setiap hari ia duduk di nurserinya sambil menghisap Sampoerna Mild dan menyeruput kopi hitam. Sesekali ia menerima telepon dan short message service (SMS) dari pelanggan adenium di berbagai kota. Kesibukannya baru bertambah saat akhir pekan untuk melayani hobiis yang datang. (Destika Cahyana)

Sang istri tak lagi kecewa dengan adenium

Metamorfosis pelepah pisang ke adenium

Adenium itulah yang

menjadi napas kehidupan Imron Khudori. Ia

tak sengaja berbisnis tanaman hias itu. Uang tersisa Rp200.000 dibelanjakan untuk membeli 3 pot adenium. Tiba di rumah tanaman

itu diminati temannya dan laku Rp1,2-juta. Sejak itulah

ia menekuni bisnis adenium.

Page 21: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I24

mereka

belajar

di lapangan

eddy sutioso:

MetamorfosisPride of Sumatera

Berawal dari kematian 6 pot aglaonema pride of sumatera dan lady valentine, Eddy Sutioso jadi tertantang menggeluti dunia tanaman hias. Dua tahun

berselang pengusaha restoran jepang itu bermetamorfosis menjadi pemilik pasar swalayan tanaman hias.

Bukan tanpa alasan kematian sri rejeki itu disebut tragedi. Dua tahun lalu kota

Surabaya diselimuti tren aglaonema. Eddy pun kepincut mengoleksi sepot pride of sumatera dan lady valentine masing-masing seharga Rp200-ribu. Dua jenis itu dipilih lantaran disebut orang sebagai hibrida terbandel. Namun, apa lacur. Sri rejeki itu hanya bertahan 1 bulan karena daun terbakar. “Saya kalang kabut, istri saya pasti marah. Uang Rp400-ribu terbuang percuma,” katanya.

Kemarahan istri tercinta dihindari dengan membeli tanaman serupa setiap kali koleksinya mati. Tercatat 6 kali berturut-turut ayah Samanta Sicilillya dan Timothy Edison itu mengganti 2 sri rejeki itu. “Habis setiap bulan pasti mati. Saya mesti cepat-cepat membeli,” ujar pengusaha pasar swalayan makanan jepang di Surabaya itu. Pengalaman selama setengah tahun itu membuatnya tersadar. Aglaonema tak boleh terkena sinar matahari langsung. Ternyata benar.

Page 22: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 25

Foto

-fot

o: K

arjo

no &

Des

tika

Page 23: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I26

mereka

belajar

di lapangan

Setelah sang ratu daun ditaruh di tempat teduh dan dirawat intensif,

hasilnya aglaonema tumbuh subur. Sejak itulah Eddy berburu jenis lain yang lebih mahal.

Berbarengan dengan itu pula sarjana Akuntansi Universitas

Jayabaya itu kepincut adenium. Pilihan pada mawar gurun itu berlangsung mulus karena sukulen itu tahan banting meski terjemur sinar matahari dan tak disiram 3—4 hari. Pada bulan pertama,

koleksinya berlipat dari 10 menjadi 20—30 tanaman. “Karena tak mudah

mati, saya ketagihan berburu,” tuturnya. Nurseri dari ujung barat hingga timur Jawa sudah disambangi.

TerlengkapKini cerita aglaonema dan adenium itu

berbuah manis. Eddy bukan lagi hobiis kelas teri. Saat wartawan Trubus, Karjono dan Destika Cahyana berkunjung ke nurseri pada Desember 2006 dan Januari 2007, hobi itu telah jadi bisnis yang melesat. “Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias dari Thailand datang. Itu karena permintaan kian besar,” katanya.

Komoditas yang dipasarkan tak hanya aglaonema dan adenium, tapi juga plumeria, caladium, palem janggut, dan pachypodium. Bahkan, untuk caladium Eddy disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengadopsi teknik sungkup massal ala Thailand. Penelusuran Trubus, kini teknik itu menginspirasi pekebun noncaladium. Misalnya, pekebun sansevieria di Solo.

Konsep pasar swalayan yang serbaada pun diterapkan di ruang pamer nurseri. Di atas lahan seluas 250 m2—bekas restoran—ia memajang alat pertanian dan satwa. Sementara halaman samping dan belakang seluas 8.000 m2 dibagi 2: nurseri tanaman hias dan kandang satwa. Makanya berkunjung ke sana ibarat memasuki kebun binatang dan kebun raya sekaligus. Selain menikmati keindahan anthurium dan aglaonema,

“Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias datang dari Thailand. Itu karena permintaan yang

memang besar,” ujarnya.

Tersedia lengkap: flora dan fauna

Page 24: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 27

pengunjung disuguhi merdunya kicauan lovebird dan kenari. Desisan ular sanca yang tengah beristirahat pun terdengar. Pasar swalayan serupa di Bandung dan Jakarta hanya memilih 1 dari 2 segmen: tanaman atau satwa.

Sukses Eddy memadukan tanaman hias dan satwa itu bukan kebetulan belaka. Sejatinya 11 tahun silam ia pernah membangun farm perkutut ternama di Surabaya, Santa Bird Farm. Ia terkenal karena getol mengoleksi indukan asal Thailand: ada 80 pasang. Banyak anakan dari farm-nya merebut juara di arena kontes. Sayang, bisnis itu terhenti pada 2002 karena menurunnya tren kerabat merpati itu. Selepas bermain perkutut, Eddy tergila-gila pada ayam serama, lovebird, makaw, dan parot.

Menurut Eddy, pasar di dunia tanaman hias dan satwa masih terbentang luas. Dengan sistem promosi sederhana—memasang iklan di majalah dan tabloid, serta memasang spanduk besar—ia meraup pasar lokal hingga nasional. Pelanggan luar Jawa pun berhasil digaetnya. Pengelolaan kebun dan kandang dilakukan profesional. Ia mempekerjakan 6 dokter hewan dan 5 insinyur pertanian dari 28 pegawai.

Penghias restoran

Showroom berbendera Santa Pet Store & Nursery itu sebetulnya tak sengaja didirikan. Ketika itu, 1,5 tahun silam koleksi aglaonema dan adenium terlalu banyak di halaman rumah. Ia pun memindahkan koleksi ke 4 restoran—ala Jepang, Amerika, Meksiko, dan Indonesia—miliknya yang tersebar di Surabaya sebagai penghias.

Tak disangka banyak pelanggan yang melirik tanaman. Lantaran tak berniat menjual, Eddy kerap menyebut angka semaunya agar mereka tak membeli. Anehnya, angka jutaan rupiah yang disebutkan tak membuat pelanggan urung membeli. “Kalau dihitung-hitung, keuntungan dari tanaman jauh lebih besar ketimbang dari makanan,” katanya.

Naluri bisnis Eddy pun terusik. Ia menghubungi 2 nurseri besar di Jakarta menawarkan diri berbisnis ala franchise. Sayang, niatnya ditolak mentah-mentah karena Eddy dianggap awam di bidang tanaman. Gagal membuka franchise, pada Juni 2006 suami Kristin Setiawan itu nekat menyulap restoran di bilangan

HR Muhammad, Surabaya, menjadi showroom tanaman hias dan satwa. “Kalau tak nekat begini

tak jadi-jadi. Padahal, bisnis restoran kian turun karena banyak saingan,” ujar Eddy.

Sebagai permulaan tanaman dipasok dari sahabatnya di Jakarta. Sebanyak 200—300 aglaonema tanpa nama dipamerkan di

restoran. Ternyata dalam hitungan hari 20—30% sri rejeki itu ludes

terjual. “Anehnya, meski baru terjual 1/3, modal sudah tertutup. Teman saya

sampai bingung karena pembayaran dilunasi tak sampai seminggu,” tutur Eddy.

Di saat itu pula kolega lain menitipkan 1.000 Adenium obesum. Dalam waktu sebulan habis tak tersisa. Sebanyak 500 Adenium arabicum setinggi 40 cm pun turut menambah semangat Eddy. Pasalnya, sepotarabicum bisa terjual hingga Rp18-juta. Penjualan di bulan pertama itu membuat Eddy meningkatkanperburuannya.I a m e n g a m b i l t a n a m a n langsung dari Thailand sebagai pusat produksi adenium dan

aglaonema.Kini sejak setahun terakhir

kesibukan Eddy sedikit berubah. Bila sebelumnya sepulang dari kantor

berkutat dengan tanaman sebagai hobiis. Sekarang ia berkutat dengan

tanaman sebagai mesin pencetak rupiah yang andal. Matinya pride of sumatera dan

lady valentine menjadi guru terbaik untuk memahami tanaman. (Destika Cahyana)

“Pasar di dunia tanaman hias

masih terbentang luas. Asalkan kita mau berpromosi,”

katanya.

Restoran dan distributor makanan jepang bisnis utama Eddy

Palem janggut 2 m didatangkan dari Thailand

Page 25: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapangan

Bersete lan ba ju o lah raga b e r g a r i s b i r u

dongker, abu-abu, dan putih, Li Shih Hua memeriksa bibit phalaenopsis dalam botol yang terletak di kiri pintu masuk greenhouse. Sesekali tangan kanannya mengangkat botol tersebut sembari mengecek kondisi akar. Lalu langkahnya dilanjutkan ke deretan anggrek yang tengah memamerkan bunga di atas rak besi setinggi 75 cm beralaskan asbes.

Puas meninjau kebun seluas 1 ha di Madao, Tainan, Taiwan, alumnus Business Administration, Taichung University, itu menyambangi ruangan yang berada tepat di samping kantornya. Di sana sekitar 3 pegawai sedang mengeluarkan bibit anggrek dari pot. Lalu membersihkannya dari media sphagnum moss. Phalaenopsis itu siap dikirim ke pelanggan di Jepang, Korea, Amerika, Singapura, dan Indonesia. Pada 2006, Li berhasil menangguk omzet sekitar US$60-juta.

Dua puluh tujuh tahun silam, jangan harap melihat Li di nurseri. Waktu itu ia sedang sibuk-sibuknya jadi agen promosi alat-alat pertanian di perusahaan tempat bekerja. Sebuah profesi yang dilakoni selama 10 tahun. Pekerjaan itu

Tiga puluh tahun silam, Li Shih Hua hanya karyawan yang tugasnya menawarkan alat-alat pertanian kepada klien dari berbagai negara.

Selang 5 tahun, ia mulai mengekspor anggrek bulan dari kebun sendiri.

li shih hua:

Taiwan

PeloporEksporBulan

Li Shih Hua, pelopor ekspor phalaenopsis Taiwan

Page 26: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: O

nny Untun

g da

n Sardi Duryatm

o

Sarjana Administrasi Bisnis ini semula tak tahu dunia anggrek bulan. Namun, ia belajar tanpa henti, seperti pasar swalayan 7 Eleven yang buka 24 jam tujuh hari sepekan. Hasilnya ia menjadi penganggrek papan atas. Setidaknya 140 hibrida hasil silangannya terdaftar di Royal Horticulture Society, Inggris.

Page 27: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapangan

pula yang membuka mata Li untuk mencari usaha sendiri. “Waktu itu, klien saya dari Jepang mengatakan kalau sebenarnya Taiwan berpotensi mengembangkan phalaenopsis. Iklimnya cocok dan biaya produksinya lebih murah dibandingkan Jepang,” kisah ayah 3 anak itu.

Di Formosa, anggrek bulan memang bukan tanaman baru. Waktu itu sudah banyak hobiis dan penyilang. “Namun, belum ada yang berpikir untuk menjadikannya sebagai bisnis ekspor,” ujar general manager Shih Hua Orchids. Ketika itu,

merawat phalaenopsis hanya sebagai hobi. Naluri bisnisnya mendorong Li menerjuni dunia anggrek. Li memilih phalaenopsis lantaran Taiwan memiliki jenis anggrek bulan lebih banyak daripada negara lain. Pantas, Sekitar 17—18 tahun lalu Taiwan disebut sebagai kingdom of phalaenopsis.

Guru dari JepangBermodalkan tabungan dan pinjaman dari

bank senilai NT3-juta, dengan kurs sekarang setara Rp840-juta, Li membangun laboratorium, greenhouse, dan kebun seluas 1.000 m2. Li tak perlu susah payah mendapatkan modal dari bank, karena perusahaan tempat ia bekerja menjamin semuanya. Selama 6 bulan Li bekerja di 2 tempat. Tiga hari di kantor dan sisanya, 4 hari dihabiskan di kebun. Sepulang kantor, koordinator operasi

di Taiwan Orchid Grower Association itu telaten mempelajari anggrek.

Berpuluh buku tentang anggrek ia lahap setiap hari. “Saya belajar seperti 7 eleven 11,” katanya. Perusahaan ritel itu buka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tak ada waktu luang untuk bersantai. “Mungkin kalau waktu itu belum menikah, tak akan ada yang mau sama saya karena lebih memilih belajar anggrek,” ujarnya sambil tersenyum. Bukti keseriusan Li, ia sampai memanggil guru dari Jepang untuk mengajari merawat anggrek selama

2 tahun. Pada hari Li bekerja, kebun anggrek dirawat ayah dan saudaranya.

Li pun menjalin kontrak kerja dengan rekan dari Jepang. Selama 4 tahun, Li hanya bisa menjual anggrek ke negeri Sakura. Itulah ekspor pertama phalaenopsis Taiwan. Yang diekspor, seedling dan tanaman remaja belum berbunga.

Supaya lebih dikenal di dunia internasional, Li menyertakan label nurseri pada setiap anggrek yang dikirim ke Jepang. Keuntungannya, siapa pun pembelinya jadi tahu anggrek itu hasil budidaya di Taiwan. Usaha itu pun berbuah hasil. Kurang dari 4 tahun, Li kebanjiran order dari negara lain.

Setahun merawat phalenopsis, Li mulai menyilangkan. Buah tak jadi dan corak jenis baru jelek, kegagalan yang lazim. Namun, ia pantang menyerah. Kerja kerasnya pun berbuah manis. Li “melahirkan” phalaenopsis putih dengan splash

Hasilkan lebih dari 140 hibrida baru

Omzet mencapai US$60-juta pada 2006

Page 28: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

ungu di pinggir kelopak bunga. Hingga kini minimal 140 hibrida hasil silangan Li terdaftar di Royal Horticultural Society di Inggris.

OmzetLima tahun ekspor berjalan, Li berhasil

melunasi utang. Kesuksesan Li menginspirasi banyak orang untuk membuka kebun phalaenopsis untuk pasar ekspor. Selama 20 tahun berjalan, mantan staf promosi perusahaan alat pertanian

itu berhasil mengekspor lebih dari 60-juta seedling dan tanaman remaja. Awalnya, pangsa terbesar ke Jepang sebesar 90% dari total ekspor. Kini Jepang tinggal 20%, Korea (60%), Amerika (10%), dan sisanya ke negara lain. Total penjualan per tahun 40-juta tanaman.

Hingga 7 tahun lalu Li memegang 15% dari seluruh volume ekspor phalaenopsis Taiwan, sekarang hanya 3%. “Meski menurun dari segi pangsa pasar total, tapi untuk volume penjualan terus meningkat,” katanya.

Terbukti ayah 3 anak itu melebarkan sayap ke Cina sejak 6 tahun lalu. Di negeri Tirai Bambu, Li membangun kebun seluas 18 ha secara bertahap. Dari sana, ia memproduksi 10-juta seedling/tahun lewat kultur jaringan. Jumlah itu untuk memenuhi pasar Eropa.

Pantas bila Li dianugerahi banyak penghargaan sebagai pelopor ekspor phalaenopsis. Dua di antaranya menorehkan kebanggaan. Yaitu penghargaan Moufan dari menteri pertanian Taiwan pada 1996 karena kecakapan bisnisnya. Kedua, Shen Nung Juang (Juang =penghargaan, red) yang didapat pada 4 Februari 1997 dan diberikan presiden Taiwan. Setiap tahun hanya 10 orang dari sekitar 2-juta pekebun di Taiwan yang menerima penghargaan itu. Buat Li, sukses pun mengalir dari phalaenopsis. (Rosy Nur Apriyanti)

Rutin mengecek kesehatan anggrek bulan

Sekitar 40-juta anggrek bulan. Itulah jumlah anggrek bulan yang diekspor Li per tahun. Anggrek bulan hasil kultur jaringan itu mengisi pasar Asia Timur, Asia Tenggara, dan Eropa. Untuk memperluas pasar, ia juga membuka kebun seluas 18 ha di Cina. Penganggrek papan atas itu juga mendaftarkan 140 hibrida hasil silangannya.

Page 29: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I32

mereka

belajar

di lapangan

pramote rojruangsang:

Jumat, 1 Desember 2006. Senyum cerah tersungging di bibir Pramote

Rojruangsang. Aglaonema variegata silangan kelahiran Bangkok 10 Maret 1955 itu didapuk jadi yang terbaik di kelas hibrid baru pada kontes di Suan Luang, Bangkok. Itu kali pertama sri rejeki nonmerah menyabet juara di kelas bergengsi itu. Pada kontes memperingati ulang tahun ke-80 Raja Bhumibhol Adulyadej, hibrida variegata bernama suvarnabhumi—artinya tanah emas—memutus tradisi dominasi aglaonema merah.

“Ini barang istimewa,” ujar Dr Surawit Wannakrairoj, ketua juri. Selama ini belum ada sri rejeki variegata hasil kerja manusia. Suvarnabhumi berwarna dasar hijau dengan pulasan perak di bagian tengah dan kuning di tepi. Hibrida itu lahir dari penyilangan induk betina Aglaonema cochinchinensis variegata dengan jantan normal bernama golden bay. “Saya beruntung,” kata Tjiew—begitu Pramote biasa disapa. Dari puluhan ribu tanaman, hanya suvarnabhumi yang stabil.

Tukang kontruksiKemenangan ratu daun belang itu kian

mengukuhkan pamor Tjiew sebagai penyilang

Laki-lakiKisah

VariegataDi tanahair, namanya populer sebagai penyilang aglaonema kawakan. Di negeri asal—Thailand—Pramote Rojruangsang justru lebih dikenal

sebagai pencinta variegata. Lebih dari 20 tahun alumnus Dusit Building Contraction, Bangkok, itu mengoleksi tanaman belang. Kini ia tengah

kepincut sansevieria mutasi.

Agave variegata

Page 30: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 33

aglaonema kawakan. Di tanahair, nama anak ke-3 dari 10 bersaudara itu identik dengan dud unyamanee. Yang disebut terakhir, salah satu siamese rainbow merah pertama yang hadir di Indonesia. Daunnya cantik dengan paduan warna hijau bersaput bintik-bintik merah pekat.

Aglaonema yang lahir pada awal 2000-an itu sempat merajai kontes di Suan Luang. Prestasi itu dilanjutkan waktu berkompetisi di lomba tanaman hias di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada 2004. Meski harus puas di posisi ke-2 di bawah tiara karena kurang rimbun, dud unyamanee menjadi perintis masuknya aglaonema negeri Siam. Di tanahair kebanggaan Tjiew itu jadi incaran para hobiis.

Karya fenomenal lain, aglaonema berwarna kuning solid. Daunnya membentuk hati sempurna. Sosok kompak dan rimbun. Ia dikenal dengan sebutan aglaonema sultan brunei. Musababnya, Sultan Hasanal Bolkiah, penguasa negeri kaya minyak itu, yang mengoleksi dengan bandrol ratusan juta rupiah. Tjiew juga melahirkan emerald dragon—punya garis seperti lipstik di tepi, maneerattana—paduan warna hijau, merah muda,

Kalau menilik latar belakang pendidikannya, Tjiew mestinya bukanlah penghulu aglaonema. Pendidikan formal ditempuh di Dusit Building Contraction, Bangkok—mendalami ilmu kontruksi. Empat tahun berkutat dengan teori bangun-membangun gedung, jalan, dan jembatan ternyata tak membuat pria murah senyum itu jadi kontraktor. Di tengah masa pendidikan, Tjiew malah masuk ke bisnis tanaman hias.

Koleksi variegata sejak 20 tahun silam

Page 31: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I34

mereka

belajar

di lapangan

jingga, dan perak, serta maneerungrueang—merah polos dengan lis hijau di tepi daun—sekadar untuk menyebut contoh.

Kalau menilik latar belakang pendidikannya, Tjiew mestinya bukanlah penghulu aglaonema. Pendidikan formal ditempuh di Dusit Building Contraction, Bangkok—mendalami ilmu kontruksi. Empat tahun berkutat dengan teori bangun-membangun gedung, jalan, dan jembatan ternyata tak membuat pria murah senyum itu jadi kontraktor. Di tengah masa pendidikan, Tjiew malah masuk ke bisnis tanaman hias.

Sambang darah belangUniknya teman-teman Tjiew lebih

mengenal pria bersahaja itu sebagai pencinta tanaman variegata. S e b u t a n variegata man alias laki-laki variegata pun disematkan. K e b u n s e l u a s 90 rai—

tapi hanya 10 rai, setara 1,5 ha, yang terisi tanaman hias—di Klongluang, Pathumtani, menegaskan itu. Di kiri-kanan jalan masuk ke kebun yang berbatu selebar 4 m berjejer pandan bali variegata, pohon pisang berdaun belang hijau kuning, dan sejenis walisongo variegata.

Masuk ke kebun pemandangan tanaman belang terhampar. Di dekat pintu belakang rumah ada nolina belang, plumeria berdaun hijau berbercak putih dan kuning, dendrobium berdaun dan berbunga variegata, palem belang, dan paku-pakuan variegata. Bahkan rumput dan semak di dekat parit pun berkelir hijau-putih. Dari kebun Tjiew-lah sambang darah variegata yang banyak dipakai sebagai ornamen taman di Indonesia

berasal. Gara-gara tanaman belang,

Tjiew jadi kerap b e r k e l i l i n g

negara. Dari situ, ia kenal d e n g a n k o l e k t o r -

k o l e k t o r tanahair. P i s a n g b e r d a u n

Kiri-kanan (atas) Sansevieria pinguicula mutasi, pachypodium kristata, aglaonema suvarnabhumi, Sansevieria hallii variegata

Dud unyamanee

Foto

-fot

o: O

nny

Unt

ung

& E

vy S

yarie

fa

Page 32: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 35

Perkenalan dengan Usa

Wongsomboon—pasangan

hidup—membawa Tjiew terjun ke aglaonema—tanaman yang sudah dikenal ketika masih sering keluar-masuk hutan.

merah dari Indonesia jadi koleksi istimewa. Sebetulnya tak melulu tanaman belang yang digilai. “Saya suka tanaman aneh-aneh,” kata pria yang kerap mengendarai skuter kecil untuk berkeliling kebun itu.

Kutu loncatPantas bila pemilik Unyamanee Garden itu

kepincut tanaman hias. Tjiew remaja sering ikut ayahnya keluar-masuk hutan mencari tanaman koleksi. Makanya agave, philodendron, anthurium, sansevieria, dan beragam jenis anggrek jadi kawan karib sedari kecil. Tertular dari sang ayah, Tjiew mulai mengoleksi sendiri.

Pilihan jatuh pada bonsai. Beragam jenis dikumpulkan dari berbagai pelosok negeri. Berkali-kali lomba diikuti dan jadi juara. Lama-kelamaan justru Tjiew yang diminta menjadi juri—aktivitas yang masih dilakoni hingga 2 tahun silam. Bosan bermain bonsai, anggrek kantong semar paphiopedilum dilirik.

“Tapi kalau mau menjual harus mengurus izin CITES (Convention on International Trade in Endangered Species, red). Repot, jadi saya stop,” kata pria yang melancong ke berbagai negara ditemani Piya Subhaya-achin—alias Pic, adik ipar—yang fasih berbahasa Inggris. Gara-gara kerap mengurus CITES, Tjiew kenal dengan

Dr Surawit Wannakrairoj—sekarang presiden Ornamental Plants Variety Developer Club.

Ibarat kutu loncat, ia kembali berpindah. Tanaman variegata jadi pilihan berikut. Mulailah perburuan lintas negara dilakukan. Perkenalan dengan Usa Wongsomboon—pasangan hidup—membawa Tjiew terjun ke aglaonema—tanaman yang sudah dikenal ketika masih sering keluar-masuk hutan. Berkat kerabat caladium itu nama Tjiew berkibar hingga ke Indonesia.

Sukses mencetak aglaonema-aglaonema juara, pemilik toko di pasar tanaman hias Chatuchak, Bangkok, itu kehilangan tantangan. “Tak ada lagi yang menarik di aglaonema. Menghasilkan yang merah itu gampang,” kata Tjiew. Akhirnya sansevieria belang-lah yang memikat Tjiew. Kini hari-hari kontraktor tak kesampaian itu diisi dengan melongok satu per satu pot lidah mertua. “Pic, yang ini anaknya muncul!” begitu teriakan Tjiew pada sang adik ipar suatu pagi. (Evy Syariefa)

Page 33: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I36

mereka

belajar

di lapangan

bangun dioro:

Dari Bandung, kuli bangunan itu menumpang truk ke Karawang, Jawa Barat. Di kota

Lumbung Padi, ia menjadi kernet. Setelah 2 bulan bekerja, ia minta gaji untuk membeli baju. “Saya hanya punya 2 baju. Kalau yang satu dipakai, satunya lagi dijemur,” katanya. Namun, sang majikan menolak memberi hak lelaki muda itu. Oleh karena itu ia beralih “profesi” menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan utamanya mengepel, memandikan anjing, dan belanja kebutuhan pokok di pasar.

Siapa duga 17 tahun kemudian Bangun Dioro—si lelaki muda yang dulu kuli bangunan itu—sukses beternak kambing di Cijeruk, Kabupaten Bogor. Luas lahannya 9 ha, 4 ha di antaranya sebagai padang rumput untuk memasok pakan.

di Kandang Kambing

Sersan

Lelaki muda itu meninggalkan bedeng meski tengah sakit. Kemarin maut merenggut nyawa Tismo, rekannya sesama kuli bangunan, setelah demam tinggi. Ia berjalan kaki

sekitar 30 km dari Pasteur ke Ciroyom. Di sana ia menjual 2 celana dan 2 kaos—semua bekas—kepada pedagang loak Rp8.000. Uang itu untuk makan siang.

Page 34: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

Tanda telinga untuk mencegah kawin sedarah

Page 35: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I38

mereka

belajar

di lapangan

sanen. Hasilnya menggembirakan: produksi susu rata-rata 2,5 liter selama laktasi dan rasanya gurih, manis, dan kental. Hasil silangan Bangun kini diminati banyak peternak. Namun, ia masih menahan dan terus memperbanyaknya. Jumlah silangan hasil tangan dingin Bangun itu mencapai puluhan ekor.

Sersan kambingSukses Bangun Dioro tak diraih begitu saja.

Ia mengawali beternak kambing sejak tinggal di barak tentara di daerah Ciluer, Kotamadya Bogor. Di sana ia mengelola 16 kambing. Pada 27 September 1997 ia pindah ke Cijeruk merawat 8 PE terdiri atas 7 betina dan 1 jantan. Saat itu susu kambing mulai diterima masyarakat. Soal kepindahannya itu, rekannya berujar, “Untuk apa pindah dari mes. Di mes makan apa saja ada.” Setahun kemudian ia kembali membeli 20 indukan PE hingga jumlah kambingnya beranak-pinak.

Pria kelahiran 4 Desember 1971 itu juga membina kelompok peternak di kampung halamannya, Desa Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan, pemberdayaan masyarakat meluas hingga sekecamatan. Pantas bila Gumelar kini dikenal sebagai sentra kambing berkualitas. Dari para plasma itulah ia menjual rata-rata 400 kambing per pekan. Menjelang Idul Adha seperti awal Desember 2006, volume penjualan

Meski punya 6 mobil, Bangun Dioro lebih senang berangkat kerja naik keretaapi. Jika terpaksa naik mobil, ia tak pernah memarkir mobil di kantor, tapi

di stasiun terdekat dari tempat kerja. Itu cermin betapa rendah hatinya dia.

Ia mengelola lebih dari 300 kambing terdiri atas 150 peranakan ettawa (PE) dan masing-masing 50 ekor sanen, silangan boer, dan jawa randu. PE dan sanen kambing perah; boer dan jawa randu, pedaging. Dari jumlah itu ia memerah rata-rata 50 liter susu setiap hari.

Menurut peternak terbaik se-Jawa Barat itu susu PE lebih kental, gurih, dan manis. Sementara susu sanen, “Ibarat sayuran kurang garam,” katanya. Itulah sebabnya, konsumen lebih tertarik susu PE. Meski demikian ia menjual susu PE dan sanen dengan harga sama Rp15.000 per liter. Artinya, omzet Bangun dari penjualan susu kambing mencapai Rp750.000 sehari atau Rp22,5- juta per bulan. Dari sisi produksi, PE relatif rendah hanya 1,5 liter; sanen, 3 liter selama masa laktasi atau 4 bulan.

Oleh karena itu sejak 2002 Bangun mengawinsilangkan, pejantan PE dan betina

Sersan Satu Bangun Dioro, peternak kambing sukses di Bogor

Page 36: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 39

melonjak hingga 700 ekor. Belum lagi penjualan sapi yang mencapai 25 ekor mempergemuk rekening pria ramah itu.

Harga jual seekor kambing boer minimal Rp1-juta. Bila ia mengutip 20% sebagai laba, setidaknya pendapatannya mencapai Rp80- juta dari pemasaran 400 kambing per pekan. Ia memasarkan beragam kambing ke berbagai daerah di Indonesia seperti Lampung yang hingga kini menyerap 8.000 ekor dan Tangerang 2.000 ekor. Sukses beternak kambing menyebabkan rekan-rekannya di kantor Markas Besar Angkatan Darat menjuluki Bangun sebagai Serka. Sersan Kepala? Bukan! Namun, Sersan Kambing. Pangkatnya kini baru Sersan Satu. Bila tak ada aral, Serka yang sebenarnya—Sersan Kepala—akan diraihnya pada 2008.

Kuli panggulTentara yang menjadi kebanggaan Bangun

itu sejatinya bukan cita-citanya. Setelah menjadi kernet dan pembantu rumahtangga di Karawang, ia pindah ke Pondoklabu, Jakarta Selatan, sebagai pedagang ketoprak. Penganan khas Jakarta itu habis terjual pada pukul 10.00. Untuk mencari kegiatan lain, ia mendatangi preman di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Ia memang kerap ke pasar induk seluas 14 ha itu untuk belanja ketupat, taoge, dan bahan ketoprak lain. Di sana ia mengutarakan keinginannya menjadi kuli panggul dan diluluskan. Berbagai komoditas pertanian yang bobotnya hingga sekuintal dipanggulnya.

Pekerjaan ganda—tukang ketoprak sekaligus kuli panggul—dijalani selama 2 tahun. Suatu ketika ia melihat para tentara yang berlatih merayap di Resimen Induk Daerah Militer Jaya Raya (Rindam Jaya) di Condet, Jakarta Timur. Hatinya berdesir. Dengan takut, ia mendatangi pos jaga dan bertanya bagaimana prosedur menjadi tentara. Maka pada 1993 mulailah alumnus SMA Diponegoro Ajibarang, Banyumas, itu mengenakan pakaian loreng. Di lembaga itulah ia ditempa untuk tak gampang menyerah.

“Saya banyak belajar dari ilmu tentara. Tentara itu disiplin segala sesuatunya diatur,” ujar anak ke-7 dari 8 bersaudara itu. Ilmu tentara yang menonjol antara lain disiplin. Oleh karena itu ketika malam ia mendengar lengkingan tinggi—tanda betina berahi—keesokan paginya ia mengecek: di mana kambing itu? Hari itu juga ia harus mengawinkan mereka.

“Jika tidak, artinya saya harus menunggu 21 hari lagi. Sebab, masa subur kambing

betina setiap 21 hari. Bila itu terjadi, saya menunggu 5 bulan lagi untuk memerah susu,” kata pria yang masih kuat mengangkat barbel 25 kg seratus kali. Kambing bunting selama 4 bulan. Ia juga menerapkan disiplin ketika cempe—anak kambing—itu lahir. Begitu muncul, ia segera memisahkan cempe sebelum induk menjilati bulu anaknya. Dengan begitu antara induk dan cempe belum ada “ikatan batin” sehingga keduanya tidak stres.

Kedisiplinan itu juga diterapkan kepada para kambingnya. Lihatlah setiap pukul 07.00 dan 16.00 begitu pintu kandang dibuka, satwa yang menjadi simbol kota Guangzhou, Cina, itu antre. Mereka berbaris rapi di sebuah lorong yang didesain khusus oleh Bangun. Lorong itu sepanjang 25 m. Lebarnya hanya memuat seekor. Ketika kambing paling depan diperah, lainnya menunggu giliran.

Susu sapi untuk anak kambing

Ceplin (3 tahun) hasil silangan PE dan sanen diminati

peternak

Page 37: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I40

mereka

belajar

di lapangan

Diam. Selesai perah, kambing kembali ke kandang dan baris di belakangnya maju. Begitu seterusnya. Sangat tertib laiknya tentara.

Pantas kandang kambingnya bersih karena secara teratur dibersihkan. Tak ada bau apak atau prengus khas kambing sama sekali. Suami Lia Yuliawati itu tak canggung-canggung membersihkan kotoran, memerah susu, atau merawat cempe. Jika sewaktu-waktu diperlukan, tentulah ia berujar tegas, “Siap! Laksanakan! (Sardi Duryatmo)

Bedug magrib baru terdengar. Bangun Dioro, peternak di Cijeruk, Bogor, menyuapkan sesendok kolak untuk berbuka puasa. Lalu, tiba-tiba ia mendengar kambing-kambingnya merintih. Ia meletakkan mangkuk dan berlari ke kandang. Benar saja, ratusan kambing menungging karena keracunan daun singkong. Ia mengambil suntikan dan dengan gerak cepat mendatangi setiap kandang untuk menyuntikkan zat antiracun dari Jerman.

Petang itu 30 kambing tak terselamatkan karena sianida dalam daun singkong. Seorang karyawan yang baru bekerja 2 hari memberikan daun segar. Padahal, semestinya daun dilayukan sebelum diberikan. Pada 2004, nyawa 16 kambingnya juga melayang akibat pergantian musim. Peranakan Ettawa (PE) memang rentan pada setiap pergantian musim. Pneumonia dan skabies beberapa ancaman pada musim itu. (Sardi Duryatmo)

Daun Penjemput Maut

Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Hery Cahyana pernah menghubungi Bangun

Dioro lewat telepon dengan memanggil, “Ngun.”

Bangun sangsi dan berujar, “Wakasad apa, jam segini

kok kelayapan.” Dalam tradisi militer, pemanggilan nama hanya berlaku untuk teman seangkatan. Setelah

telepon dimatikan dan ajudan jenderal menelepon Bangun, jadilah peternak

kambing yang tentara itu ketakutan. Ia segera

minta maaf. Hery Cahyana bertelepon hanya ingin bertanya soal ternak

kambing.

Foto

-fot

o: S

ardi

Dur

yatm

o

Silangan sanen dan ettawa

Page 38: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapangan

Duapu luh lima tahun silam perlakuan ayahnya

dianggap terlalu kejam. Bukan hanya makian yang diterima setiap hari. Namun, juga perintahnya kadang membahayakan. Keruan bocah yang baru lulus SMA itu memvonis: orangtua tak sayang kepadanya. Kini setelah menjadi eksportir reptil nomor 1 di tanahair, Budiyanto Tasma, nama bocah itu, berbalik sangat hormat dan menyanjung sang ayah. “Ayah dulu mendidik sangat keras, tapi sekarang saya bisa merasakan hasilnya,” ucap pria bertubuh besar itu.

Budiyanto Tasma ingat betul, pada suatu pagi ia diperintahkan ayahnya, Harun Tasma, memindahkan burung kakatua dari kandang ke dalam sangkar untuk dijemur. Sebanyak 10 kakatua harus rampung dipindah dalam waktu 20 menit. Artinya setiap ekor hanya diberi jatah 2 menit hingga pindah tempat. Apa yang terjadi? “Jangankan 10 ekor, memindahkan 1 ekor saja sulitnya minta ampun. Tangan saya berdarah-darah dipatuk,” kenang Budiyanto Tasma.

Ular-ular hasil tangkaran Budiyanto Tasma menjadi andalan pusat penjualan reptil terbesar dunia, Bushmaster Reptile, Amerika Serikat. Karyanya yang spektakuler,

Morelia viridis kuning keemasan bertabur mutiara menggegerkan dunia reptil.

budiyanto tasma:

Budiyanto Tasma, penangkaran ular prosfektif

Dunia

Gudang

Reptil

Page 39: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

Melihat tangan anaknya dipenuhi luka dan mengucurkan darah, Harun Tasma malah marah, “Kalau kamu mau menerjuni sesuatu, harus tahu dulu ilmunya!” Pria yang berprofesi sebagai eksportir burung, ikan, dan reptil pada 1970-an itu lalu mencontohkan cara menangkap burung berparuh bengkok. Betul, hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit, semua burung sudah pindah ke sangkar dan tidak satu patukan pun mendarat di tangan Harun Tasma.

Tak hanya itu, Budiyanto Tasma kecil dididik sangat keras. Tiada hari tanpa kerja, begitu prinsip sang ayah. Setiap hari pria kelahiran Jakarta 27 Mei 1963 itu harus bangun pukul 03.00 dan baru beristirahat pukul 19.00. Kegiatan membersihkan kandang, memandikan burung, memberi pakan, hingga mempersiapkan dan mengantar satwa-satwa ke bandara untuk diekspor ia jalani. Pantaslah dengan rutinitas yang ditekuni 8 tahun, Budiyanto Tasma sangat paham seluk-beluk memperdagangkan ikan, burung, dan reptil klangenan.

Tangkar pythonPada 1990, ayah 3 putra itu berniat membuka

usaha sendiri. Komoditas yang dipilih tidak jauh dari kegiatan yang dilakukan ayahnya: reptil. “Kebetulan waktu itu ekspor reptil mulai ramai. Toh soal mengurus surat perizinan saya bisa tangani sendiri,” katanya. Akhirnya dengan hanya bermodal sebidang tanah seluas 3.000 m2 di Bogor, ia mulai menangkarkan python.

Menurutnya, python salah satu ular kebanggaan Indonesia yang bisa menjadi komoditas ekspor potensial. Dengan 9 jenis yang tersebar di Papua dan Sumatera, Indonesia gudang python terlengkap di dunia. Python banyak diminta hobiis reptil mancanegara karena corak tubuhnya sangat cantik dan beragam. Sejak itulah induk-induk python dikumpulkan dari berbagai pulau dan dipasang-pasangkan dalam kandang penangkaran.

Harapan tinggal harapan. Ternyata menangkarkan ular bertemperamen kalem itu

Morelia viridis, tak ada duanya di dunia

Page 40: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapangan

tidak mudah. Musababnya setiap tahap dibayangi kendala. Contoh, untuk mengadaptasikan ular dari kehidupan liar ke kandang saja tidak mudah. Ular kerap tidak mau makan dan akibatnya mati. Belum lagi proses mengawinkan, penetasan, dan pembesaran yang membutuhkan ilmu khusus. Setelah 10 tahun jatuh-bangun menguji coba, Budiyanto Tasma sampai pada kesimpulan, “Penangkaran tak mungkin berhasil.”

Ketukan palu tanda penutupan penangkaran hampir dijatuhkan. Puluhan kandang nyaris disingkirkan. Namun, di tengah keputusasaan itu Budiyanto bertemu dengan seseorang yang mengusai ilmu penangkaran ular. Kerja sama pun dijalin. Masalah-masalah dalam penangkaran mulai teratasi. Tingkat keberhasilan penetasan yang semula 15% (dari 20 butir yang menetas hanya 3 butir, red), kini mendekati 100%. Dan anak- anak ular yang dibesarkan tumbuh sehat hingga mencapai ukuran siap ekspor.

Gagal lagiSedikit demi sedikit ekspor yang semula

mengandalkan tangkapan alam tergantikan hasil tangkaran. “Kalau bergantung pada tangkapan alam, lama-lama habis,” ungkap lelaki setinggi

185 cm dan bobot 140 kg itu. Lagi pula ekspor hasil buruan dibatasi kuota. CV Terraria Indonesia—nama perusahaan yang dipimpin Budiyanto—hanya kebagian jatah 20% dari total ekspor reptil Indonesia, meski kemampuannya mencapai 35—45%. Berbeda dengan hasil tangkaran, tidak ada pembatasan jumlah.

Kurun waktu 2002—2004 tercatat 12.000—13.000 ular hasil tangkaran perusahaan berpusat di Desa Curug, Kecamatan Gunungsindur, Kabupaten Bogor, itu berhasil diekspor ke mancanegara. Sayang, bulan madu ekspor ular itu hanya sekejap. “Pada 2005 produksi turun drastis. Ular-ular yang baru menetas anusnya keluar. Dari 900 ekor, rusak 300,” tutur suami dari Cerylia itu. Ular-ular yang rusak itu otomatis tidak bisa diekspor. Apalagi peraturan perdagangan internasional melarang penjualan ular-ular yang kurang sehat.

Makanya bersama teman bisnisnya, dokter hewan dari Rusia, Budiyanto pontang-panting mencari cara untuk menekan angka kerusakan bayi-bayi ular. Sukses? Terjadi penurunan yang signifikan, pada 2006 hanya 150-an yang rusak dan baru belasan ekor hingga pertengahan 2007. Diduga tikus yang diumpankan kekurangan vitamin. “Nutrisi yang diberikan pada tikus ternyata penting karena akan berdampak pada ular-ular,” ucap Budiyanto.

Beralasan jika sekarang 3.500 indukan tikus yang dipelihara sebagai sumber pakan turut dimanjakan. Binatang pengerat yang beranak setiap 2 minggu itu diberi pelet yang diformulasi khusus, beragam vitamin, dan dipantau kesehatannya. Menurut Budiyanto setiap bulan tikus-tikus putih—dua jenis: besar dan kecil—yang dipeliharanya itu menghabiskan 2 ton pelet senilai Rp10-juta. Itu belum termasuk vitamin dan obat-obatan. Sebagai pakan utama, tikus memang

tidak bisa dipisahkan dari penangkaran ular.

Berserah diriBudiyanto menghadapi

musibah itu dengan tulus. “Ini bisnis nyawa. Nyawa-nyawa

ular pemberian Yang di Atas. Jadi saya serahkan sepenuhnya kepada-Nya,” ungkap ketua Asosiasi Reptil Indonesia sejak 2000 hingga sekarang itu. Itulah sebabnya ia tak terlalu ngotot

untuk memenuhi permintaan pasokan dari Bushmaster Reptil, pusat penjualan reptil

terbesar di dunia yang bermarkas di Amerika Serikat. “Busmaster akan mengambil berapa pun

stok yang ada, tapi tidak boleh menjualnya ke orang lain,” kata pehobi jalan-jalan itu meniru ucapan pemimpin tertinggi Busmaster ketika

bertandang ke tempat penangkaran.

Kura-kura, masih tangkapan alam

"Penangkaran = bisnis nyawa.

Nyawa pemberian Yang di Atas. Maka saya tak ngotot penuhi permintaan

pasokan reptil yang demikian banyak," ujar Budiyanto.

Page 41: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

Toh hingga kini bisnisnya masih bergulir. Ekspor reptil dilakukan Budiyanto 2 minggu sekali. Tidak hanya ular tapi juga reptil-reptil lain seperti cecak, cecak terbang, tokek, soa payung, kura-kura, dan kadal. Reptil-reptil itu semua asal tangkapan alam, kecuali ular. Volumenya fluktuatif, tergantung stok. Ular berkisar 25—150 ekor, sedangkan cecak dan tokek masing-masing 500 dan 200 ekor per pengiriman. Cecak dimanfaatkan untuk pakan bayi-bayi ular. Reptil lainnya hanya sebagai pelengkap.

Perkembangbiakan ular musiman. Wajar jika volume ekspornya fluktuatif. Di penangkaran, ular yang memasuki masa dewasa, berumur 2,5—3 tahun, bertelur pada Mei. Setiap induk bertelur sekali setahun dengan jumlah telur 20—30 butir. Telur-telur itu akan menetas 60— 100 hari kemudian. Bayi-bayi ular butuh perawatan selama 1—1,5 bulan, atau sudah 5—6 kali makan dan sekali ganti kulit, sebelum siap diekspor. Ular-ular dewasa jarang diminta

pasar, apalagi yang sudah tidak produktif, umur di atas 5 tahun.

Berdasarkan penuturan Budiyanto harga ekspor ular berkisar US$50—US$200/ekor, tergantung jenis. Lembaran dolar bakal mengalir lebih deras bila yang diekspor jenis-jenis langka. “Karena tidak ada standar harganya,” ujar Budiyanto. Contoh yang paling gres hasil silangan sendiri yang diidam-idamkan sejak 7 tahun lalu: Morelia viridis kuning bertabur mutiara. “Harganya suka-suka karena tidak dipunyai penangkar-penangkar lain di dunia,” kata warga Bumi Serpong Damai, Tangerang itu. Boleh jadi itu adalah imbalan bagi Budiyanto yang memegang teguh prinsip tiada hari tanpa kerja keras dari sang ayah dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. (Karjono)

Tikus-tikus turut dimanjakan

Makian dan perlakuan kejam sang ayah berbuah manis di kemudian hari. Dolar terus mengalir seiring telur-telur yang menetas menjadi

bayi-bayi ular mungil. “Saya menaruh hormat kepada ayah yang telah mendidik dengan keras, hingga bisa menjadi

eksportir reptil seperti sekarang ini,” ungkap Budiyanto Tasma.

Foto-foto: K

arjono

dan

CV

Terraria Ind

onesia

Dipasok ke Bushmaster Reptile di Amerika Serikat

Page 42: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I46

mereka

belajar

di lapangan

vichai pinyawat:

Kegilaan Bersama

Burung

Ia manut saat sang kakek mendapuk menjadi manajer produksi minyak kelapa. Sejak itu selama 40 tahun tiada waktu tanpa urusan kelapa. Saat kejenuhan melanda, ia lari ke burung. Kini ia melewatkan waktu di ruang kerja berisi pesawat TV 24 inci,

menikmati penampilan macaw-macawnya lewat CCTV.

Ramphastos toco alias toco toucan (kiri)

Blue-and-yellow macau (Ara ararauna), salah satu koleksi Vichai (kanan)

Page 43: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 47

Page 44: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I48

mereka

belajar

di lapangan

Selama 15 tahun Vichai merasa hidupnya bagai terpenjara. Pagi hari ia

sudah disibukkan membaca setumpuk laporan. Diselingi kunjungan ke pabrik, siang hari dihabiskan memimpin rapat-rapat manajemen. Usai menjamu para rekanan bisnis, larut malam ia baru menjumpai anak dan istri yang sudah lelap tidur. Begitu terus berulang hingga nyaris tidak ada waktu untuk melepas penat.

Bagi keluarga, Vichai ditakdirkan menjadi pria pilihan. Sejak lama ayah dan kakeknya memberi perhatian lebih. Sedari kecil naluri bisnis Vichai sudah mencuat ketimbang saudara sekandung. Vichai kecil tampak sering menjajakan penganan kue basah di sekolahnya. “Untuk menabung supaya bisa membeli burung-burung kecil,” katanya. Gelatik adalah burung incarannya.

MiliaranSiapa sangka 30 tahun

berlalu hobi mengoleksi burung kian mencorong.

“Saya memilih pensiun untuk

menikmati hobi ini,” katanya. Vichai pun tak segan menghamburkan Rp20-miliar untuk koleksi-koleksi burungnya. Hari-hari Vichai kini sudah benar-benar habis mengurusi burung. Salah satu rutinitasnya menerawang layar televisi 24 inci di ruang kerja. Di layar itu terpampang aktivitas blue and gold makaw Ara araruna dalam 2 kandang berbeda. “Mary sudah mau bercumbu belum?” katanya

Blue and gold makaw bernama Mary itu memang kesayangan Vichai. Betina makaw berumur 4 tahun itu selalu dinanti-nanti agar segera bertelur. Sayang, sang jantan seringkali ogah-ogahan mencumbunya. Yang tampak si jantan sering mematuk kepala Mary. Balasannya Mary memilih menyingkir ke dalam sarang. “Sudah setahun dipasangkan belum terlihat kecocokan,” katanya. Tampaknya Vichai perlu bersabar lebih lama.

Makaw besar itu hanya satu dari puluhan jenis koleksi Vichai. Boleh jadi salah satu terlengkap di dunia. Jenisnya beragam. Mulai dari makaw besar, mini, hingga hibrida ada di sana. Sebut saja jenis makaw besar seperti blue throated macaw Ara gloucogularis, buffon macaw A. ambigua, dan scarlet macaw A. macaw. Atau jenis mini seperti hahn’s macaw A. nobilis nobilis dan severe macaw A. severa. Tak kalah cantik jenis-jenis hibrida seperti maui sunset makaw yang bulunya kuning keemasan layaknya warna matahari tenggelam.

Memang tak semua makaw itu diunduh untuk kawin. Maklum tak semua jenis itu memiliki pasangan. “Yang jumlahnya banyak hanya blue

Nama Vichai membumbung tinggi lewat perkutut

Warna bulu yang eksotis membuat Vichai jatuh hati

Page 45: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 49

Demi sepasang

loriket langka, Vichai

Pinyawat pergi ke

Antananarivo, Madagaskar. Klangenan

berjambul bak cenderawasih

itu ditebus Rp300-juta.

Predikat kolektor

burung dunia pun melekat

padanya.

makaw sekitar 6 pasang,” katanya. Dengan jumlah itu Vichai dapat menggonta-ganti pasangan bila salah satu di antara mereka tidak cocok. “Untuk Mary, jantannya yang ditukar-tukar sampai ada yang cocok,” kata penggemar bonsai itu.

Kolektor sejatiHampir sepanjang waktu pemilik VP House

Farm di kawasan Meenburi, Bangkok, itu bergelut dengan koleksi burungnya. Rumahnya seluas 2.500 m2 itu disulap menjadi taman burung mini. Ratusan kandang berukuran 2 m x 1 m x 2 m menempel kokoh di tembok yang mengitari rumah. Ada pula kandang-kandang besar yang luasnya mencapai 30 m2. Di sana Vichai menyimpan aneka jenis burung rangkong. Ayah 2 putra itu juga membuat kolam seluas 100 m2 dan dihuni macam-macam angsa. “Saya juga memiliki ratusan perkutut unggul,” ungkapnya.

Koleksi burung-burung itu tidak sekaligus terkumpul. Tiga puluh lima tahun lalu ia memulai dengan mengoleksi ayam bantam. Ayam kecil berbobot 500 g itu dipelihara karenaBangkok saat itu dilanda demam adu ayam. “Saya sering menang kalau lomba. Yang berkesan menjadi juara di King’s Cup 1972,” tutur Vichai bangga menunjukkan koleksi-koleksi piala kejuaraan di sebuah lemari jati besar.

Di tengah kesukaan menyabung ayam itu, perkutut mulai dilirik. Suatu ketika Vichai benar-benar dibuat terkesima begitu mendengar alunan suara kung di rumah koleganya. “Burung apa ini? Bagus sekali suaranya,” katanya. Sepuluh pasang nuklaw jawa—sebutan perkutut di Thailand—dibeli. Sejak itu pelan-pelan koleksi 200 ayam bantamnya mulai disingkirkan. Sebagian dijual, sisanya diberikan kepada teman.

Nama Vichai akhirnya membumbung tinggi karena perkutut juga. Setelah sukses menangkarkan, koleksinya pun berulang-ulang menjuarai lomba bergengsi King’s Cup. Sebut saja Pharao V yang darahnya menitis pada Susi Susanti, perkutut legendaris di tanahair pada 2000. Ring VP seolah jaminan menang kontes. Hobiis Indonesia

pun mengincar tangkaran Vichai. Sejarah pernah mencatat nama Jonny Gunawan sebagai kolektor lokal pertama yang menebus kung Vichai, perkutut permata hijau dengan emas 3 kg. “Dialah (Jonny, red) yang membuat bisnis perkutut di sini ramai,” kata godfather perkutut Bangkok itu.

Ditangkarkan Di sela-sela kesibukannya mencetak perkutut

superunggul, sejak 1995 Vichai mengumpulkan anggota keluarga Psitacidae seperti loriket,

parkit, dan makaw. “Burung-burung itu benar-benar eksotis. Warna-bulunya sangat cantik,” katanya.

Salah satu penyedia hewan langka terbesar di Bangkok, Classica co.

inc didatangi. Tak jarang Vichai terbang ke berbagai negara

seperti Belanda, Jerman, Austria, Filipina, bahkan Madagaskar, semata-

mata untuk melengkapi koleksinya. Belakangan keluarga Cacatuidiae seperti kakatua raja Probosciger atterimus, kakatua raja Cacatua goffini turut di koleksi. “Saya juga punya cenderawasih asal Papua,” ujarnya m e n u n j u k

s e p a s a n g Paradisea apoda itu. Favoritnya karena mahal dan langka a d a l a h l e a d b e a t h e r c o c k a t o o C a c a t u a leadbeateri asal Austria yang ditebus Rp250-juta/ekor.

Koleksinya yang nyaris lengkap dan beragam burung yang hampir punah, membuat hunian Vichai kerap didatangi peneliti burung mancanegara dan pejabat CITES. “Mereka datang untuk mendokumentasi dan memonitor perkembangan burung-burung yang saya

Loriket langka asal Madagaskar yang mencapai harga ratusan juta rupiah

Page 46: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I50

mereka

belajar

di lapangan

beli,” kata penggemar musik klasik karya Beethoven dan Covosky itu.

Lantaran kolega-kolega dari Asia dan Eropa yang datang dan tertarik ingin memiliki koleksinya, naluri bisnis Vichai bangkit. “Tunggu hasil anakannya,” katanya setiap kali para kolega itu memaksa beli. Kakatua menjadi sasaran pertama ditangkarkan lantaran Vichai beranggapan semua orang suka. Hasilnya sejauh ini lumayan. Setelah berkali-kali gagal, beberapa jenis kakatua seperti kakatua raja mau juga bertelur. “Tidak ada teknik khusus, hanya memanipulasi kandang mirip habitat aslinya,” ujarnya.

Vichai benar-benar total mengejar semua informasi setelah mutung menangkarkan makaw. “Burung ini sungguh sulit, padahal yang berminat mulai banyak,” ujarnya. Bersama anaknya, Chai Pinyawat, ia tak segan mendatangi penangkar-penangkar makaw sukses di Spanyol dan Filipina. “Ternyata ada yang salah dengan pemeliharaan di kandang selama ini,” tuturnya. Kandang yang baik itu perlu terpapar matahari sehingga makaw doyan kawin.

Tugas merawat burung-burung itu dilakukan 2 pekerjanya. Vichai sendiri lebih fokus pada penangkaran sekaligus pengecekan kandang. “Saya baru tidur sekitar pukul 22.00 setelah berkeliling ke semua kandang,” kata penggemar Mercedes Benz itu. Saat matahari mulai naik, sekali lagi Vichai berkeliling lalu melihat polah Mary dari layar televisinya. Tak ada tanda-tanda kejenuhan di sana. (Dian Adijaya S Peliput: Lastioro Anmi Tambunan)

Sepasang anggota keluarga Psittacidae tengah ditangkarkan

Peluang bisnis burung hiias cukup bagus sehingga Vichai menangkarkan-nya

Page 47: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I52

kh fuad affandi:

Agribisnis

Dari pintu ke pintu di sepanjang Jambi hingga Medan, KH Fuad Affandi menjual sepatu bikinan perajin Cibaduyut. Ia meninggalkan tanah kelahiran di Ciwidey,

Bandung. “Saya melakukan itu untuk bertani,” kata lulusan Sekolah Dasar itu. Sesekali kecil, tapi lebih kerap besar. Dari lahan 6 ha dan pekebun plasma, ia memasok

3,5 ton sayuran per hari ke pasar swalayan di Bandung dan Jakarta.

Agama

Pekerjaan sebagai penjual sepatu tidak pernah terbesit di

benak Fuad sebelumnya. Kakeknya KH Mansyur pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ittifaq di Rancabali, Kabupaten Bandung. Sementara ayahnya, KH Rivai mandor perkebunan dan pemimpin pondok pesantren. Mereka orang terpandang di Ciwidey. Tanah pun belasan hektar. “Tapi jangan pernah berharap dapat memakai tanah abah,” kata Fuad meniru ucapan sang ayah.

Saat itu ia baru mudik setelah bertahun-tahun nyantri di Ponpes Al Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Sang ayah sakit-sakitan dan saudara sekandung sepakat menunjuknya sebagai pemimpin baru pesantren.

Hasrat berkebun yang sudah lama terpendam langsung bergejolak ketika ia menerima jabatan itu. “Saat itu banyak penduduk menanam sayuran hanya untuk keperluan sendiri. Seandainya bisa dijual lebih baik lagi,” ujar penerima Satya Lencana Wirakarya dari Presiden Republik Indonesia pada 2003 itu. Oleh karena itu, suami Hj Sa’dah itu mengajak pemuda dan petani berdiskusi soal agribisnis. Namun, hasilnya “Mereka tetap yakin dengan yang sudah berjalan saat itu,” katanya.

Page 48: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

di lapangan

merekabelajar

Page 49: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I54

mereka

belajar

di lapangan

Memberi bukti contoh paling pas. Namun, belum-belum kesulitan menghadang. Selain tidak punya uang dan lahan, meminjam tanah dari orangtua pun sulit. “Harus punya tanah sendiri,” ujar peraih Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada 2005 itu. Karena itu, pada 1990 Fuad mendelegasikan tampuk kepemimpinan pondok kepada saudara sepupu, KH Saefuddin. Ayah 5 putri itu kemudian berdagang sepatu ke Sumatera. Selama 3 tahun ia menapaki jalur Jambi—Medan, menawarkan sepatu ke setiap toko yang dijumpainya.

Diancam golokKerja keras berdagang itu berbuah 6 hektar

tanah. “Saat itu harga tanah di desa murah. Satu tombak (14 m2, red) seharga satu bungkus rokok, Rp800,” katanya. Lahan itu kemudian ditanami tomat dan kubis secara bertahap. Setiap kali panen, Fuad menjual hasilnya ke pasar Ciwidey. “Sejak itu mudah menganjurkan pekebun menanam karena ada bukti untungnya,” ujar kelahiran 20 Juni 1948 itu. Sayang, malang tak dapat ditolak. Saat pekebun mulai panen, harga kedua komoditas itu justru anjlok.

Harga jual tomat cuma Rp500; kubis, Rp300 per kg. Padahal, biaya produksi masing-masing Rp1.500 dan Rp700 per kg. “Petani marah sampai-sampai saya sempat diancam dengan golok,” katanya. Meski tertekan, Fuad tetap merintis usaha pemasaran sayuran itu. “Siapa lagi yang bisa menyejahterakan kami, kalau bukan diri kami sendiri,” ungkapnya.

Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman, Fuad rajin mengunjungi balai penelitian dan perguruan tinggi di Bandung dan Bogor. “Mereka sampai hafal wajah dan suara saya,” kata Fuad. Pasar mulai terbuka saat Fuad diutus sebagai wakil pekebun asal Jawa Barat dalam pertemuan agribisnis di Departemen Pertanian Jakarta, pada awal 1990. Dua petinggi pasar swalayan Hero di Jakarta menemui Fuad di sebuah ruang pertemuan.

Nasib baik memang berpihak pada Fuad. Ia akhirnya memasok beragam sayuran ke Hero. Namun, manajer Hero Suryadarma Ali—kini menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah—sempat marah lantaran barang dikirim dalam karung. “Masak kamu kirim seperti ini,” ujar Fuad menirukan ucapan Suryadarma.

Foto

-fot

o: D

ian

Adi

jaya

Sus

anto

KH Fuad Affandi ustadz sekaligus pengusaha agribisnis

Saya melihat sebuah

kenyataan. Tak ada

tanah yang sesubur

Indonesia, tapi tak ada orang yang

semalas bangsa ini.

Page 50: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 55

Saat itu Fuad memang belum menguasai teknik sortir dan pengemasan. “Mereka lantas mengirim sarjana untuk mengajari kami,” katanya.

Setelah berjalan beriringan selama beberapa tahun, Fuad melebarkan sayap dengan memasok pasar swalayan lain seperti Makro, Matahari, Giant, Yogya, dan Superindo. Pasar-pasar swalayan itu menyerap 27 sayuran produksinya seperti kol, buncis, dan babycorn. Total jenderal volume pasokan 3,5 ton sehari. Sekitar 1 ton hasil produksi sendiri; 2,5 ton hasil panen 400 pekebun plasma di sekitar Ponpes. Dari volume itu jenis sayuran yang paling banyak diminta adalah wortel sekitar 20% dan buncis 35%.

Didik santri Fuad memang berhasil mengubah paradigma,

Ponpes bukan sekadar tempat memperdalam ilmu agama. “Bertani itu ilmu. Apa yang membuat bahagia dunia dan akhirat? Ilmu,” katanya. Lulusan Sekolah Dasar itu mencontohkan saat dirinya mau menerima tawaran pemerintah untuk mengenyam ilmu bercocok tanam pada 1987 di Universitas Wageningen, Belanda. “Saya mensyukuri ilmu bertambah. Namun, saya melihat sebuah kenyataan. Tak ada tanah yang sesubur Indonesia, tapi tak ada orang yang semalas bangsa ini,” ujarnya berapi-api.

Kajian itu mendorongnya memanfaatkan segala sesuatu yang bernilai guna. Limbah hasil sortasi sayur dan dapur, misalnya, diolah menjadi pupuk dan pakan ternak. Pria 59 tahun itu juga memberdayakan para santri. “Semua santri juga harus memiliki keahlian,” kata Fuad. Lihat saja santri setingkat Sekolah Dasar dididik mengurus budidaya tanaman, kambing, ternak sapi, dan kolam ikan.

Sejalan waktu, Ponpes Al Ittifaq (secara harfiah berarti kerja sama) mendapat banyak dukungan seperti dari Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perdagangan, dan Kementrian Negara Urusan Koperasi dan UKM. Bahkan perguruan tinggi seperti Universitas Padjadjaran dan Insitut Pertanian Bogor sering mengadakan kerja sama di bidang teknologi dan

penelitian. Tak jarang para mahasiswa menyusun tesis dan skripsi setelah meriset di lembaga pendidikan itu.

Selain itu Al Ittifaq juga menyelenggarakan pelatihan pertanian bagi pekebun, pegawai, dan kelompok masyarakat lain. “Untuk pelatihan agribisnis, pemerintah menetapkan pusatnya di sini,” ujar Fuad. Tiga tahun terakhir, Al Ittifaq meluluskan 1.000 peserta. Amanat besar itu membuat pesantren yang berdiri pada 1 Februari 1934 itu membangun lahan praktek seluas 1.000 m2 dan asrama berkapasitas 150 peserta. Materi pelatihan yang ditawarkan beragam: usaha pertanian terpadu, kewirausahaan, manajemen agribisnis, dan hama penyakit tanaman.

Menurut Fuad setiap kegiatan pelatihan yang berlangsung 3 hari—3 bulan itu selalu melibatkan 3 pekebun sebagai fasilitator dan satu penyuluh. “Diharapkan materi yang kami berikan bisa maksimal,” kata Fuad yang juga mendirikan klinik konsultasi agribisnis itu. Menurut mantan gubernur Jawa Barat, HR Nuriana, Al Ittifaq sebagai Ponpes terpadu karena menggabungkan agama dan agribisnis. “Saat beragribisnis saya tidak akan bertanya kamu agamanya apa,” ujarnya.

Itu ditunjukkan Fuad dengan mengangkat asisten bidang teknologi yang beragama non-Islam. Asisten itu mengajarkan santri bercocok tanam seperti di Taiwan dan membuat pupuk seperti di Belanda. Para asisten itu juga menentukan suksesnya Fuad yang mencicipi pahit getir menjajakan sepatu demi bercocok tanam. Kini sebuah kakinya masing-masing berpijak di atas agribisnis dan agama. (Dian Adijaya Susanto)

Lahan 6 ha yang kini digunakan untuk budidaya

sayuran diperoleh dari berdagang sepatu selama 3 tahun. Ustadz

yang berbisnis itu memasok 3,5 ton sayuran sehari.

Omzetnya mencapai Rp175-juta

sebulan. Pasokan rutin itu terpenuhi

karena manajemen budidaya yang

bagus.

Kubis dari plasma siap disortir dan dikirim ke pasar swalayan

Limbah sayur dimanfaatkan sebagai pakan ternak

Page 51: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I56

mereka

belajar

di lapangan

Kisah tragis itu bermula di Bandung. Begitu mengantongi gelar sarjana—ia

mengenyam pendidikan manajemen—Priatmana menjadi kontraktor: membangun perkantoran, jalan raya, hingga saluran irigasi di berbagai kota. Lima tahun lamanya ia bergelut dengan semen, pasir, dan aspal. Hasilnya, utang Rp400-juta melilitnya.

Pada 1995 Priatmana Muhendi meninggalkan Bandung. Ia kembali ke Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Di desa berhawa sejuk pada ketinggian 1.200 m dpl itu ia menggantungkan harapan pada kentang.

Ia mengebunkan kentang granola di lahan 1,5 ha. Sulung 5 bersaudara itu memilih komoditas Solanum tuberosum lantaran harganya relatif stabil, saat itu Rp1.500 per kg. Betul, memang ketika panen ia memperoleh harga bagus, Rp1.800 per kg. Sayang, produktivitas jeblok. Priatmana hanya menuai total 12 ton umbi sehingga omzetnya Rp21,6-juta. Padahal, produktivitas rata-rata kentang granola sekitar 22 ton per ha.

Mestinya, Priatmana mampu memanen 30 ton dari lahan 1,5 ha. Harap mafhum, itulah

”Saya terlalu berani dan kurang perhitungan.” Kalimat penuh sesal itu diucapkan Priatmana Muhendi yang dililit utang Rp400-juta. Usianya

masih muda, 27 tahun, tapi utangnya menggunung.

priatmana muhendi:

Priatmana Muhendi spesialis pekebun tomat

TomatKesetiaan

pada

Page 52: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 57

pengalaman pertama berkebun sayuran. Penyebab rendahnya produksi lantaran, ”Serangan Lyriomiza huidobrensis,” katanya. Musim tanam berikutnya, alumnus Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) Bandung itu membudidayakan kerabat kentang, tomat, di lahan 4 ha. Dewi Fortuna belum juga menghampiri Priatmana. Harga sayuran buah anggota famili Solanaceae itu cuma Rp200 per kg.

KubisIa akhirnya tahu, penyebab kegagalannya

tak cuma harga yang terjun bebas, tapi cara budidaya yang keliru. ”Penanganan tomat dan kentang berbeda. Tomat butuh tenaga kerja lebih banyak untuk mengikat batang, merompes (menghilangkan tunas air, red),” ujarnya. Dari Rp100-juta modal yang ia cemplungkan, hanya kembali Rp5-juta. Kegagalan beruntun itu hampir saja mendorong Priatmana ke jurang putus asa. ”Saya tak tahu harus berbuat apa? Apa yang harus saya kerjakan?” katanya.

Untunglah keluarga menguatkannya. Pria kelahiran Cianjur 8 Februari 1968 itu pergi ke Lembang, Pangalengan, dan Garut—semua sentra sayuran di Jawa Barat. Di sentra-sentra

Meski harga fluktuatif: tomat selalu diusahakan Priatmana

(Foto-foto: Sardi Duryatmo, Imam Wiguna, & Destika Cahyana)

Dua belas tahun membudidayakan tomat sehingga ia hafal betul seluk-beluk penanganan sayuran buah itu. Kualitas tomat yang dihasilkan pun prima dan ditunjang sortasi ketat menjadikan harga yang diterima Priatmana lebih tinggi ketimbang harga tomat pekebun lain.

Page 53: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I58

mereka

belajar

di lapangan

(Dari kiri ke kanan):Hamparan tanaman kentang, kubis, dan tomat: komoditas yang diusahakan Priatmana

sayuran itulah Priatmana melihat komoditas yang disemaikan. Pada umumnya cabai. Ia juga mengecek benih yang banyak terjual di berbagai toko. Dari pelacakan itu ia memutuskan untuk menanam kubis di lahan 2 ha. Di sekitar Sukabumi, kubis lazim ditanam pada September-Oktober.

Namun, Priatmana menanamnya pada Juli ketika persediaan air untuk penyiraman menipis. Itulah sebabnya ia menyiram dengan gembor hingga pukul 21.00. Pekebun tak perlu menyiram kubis bila menanam pada Oktober saat musim hujan. Kerja kerasnya tak sia-sia. Produtivitas tanaman anggota famili Cruciferaceae itu

mencapai 2 kg per krop. Artinya, dari total populasi 25.000 tanaman per ha ia menuai 50 ton. Kebetulan juga saat itu harga kerabat sawi itu melambung hingga Rp1.800 per kg.

Priatmana menangguk omzet Rp180-juta. Padahal, biaya produksi tak sampai Rp1.000/kg. Laba berkebun kubis itu sebagian digunakan untuk menyicil utang yang Rp400-juta. Laba demi laba berkebun sayuran itu juga digunakan untuk memperluas lahan hingga kini menjadi 12 ha. Di sana pria 39 tahun itu menanam tomat, sawi putih, kubis, buncis, dan labu siam yang bukan berasal dari Thailand, tapi Brazil. Selain tomat, komoditas-komoditas itu hanya sebagai selingan. Maksudnya, sebagai tanaman rotasi untuk memutus siklus hama dan penyakit tanaman tomat.

Spesialis tomatTomat komoditas andalan Priatmana untuk

meraup laba. Menurut Priatmana apel cinta—julukan untuk tomat—mempunyai keistimewaan komparatif. ”Tomat yang ditanam di Sukabumi lebih baik ketimbang yang ditanam di daerah lain: Pangalengan, Lembang, atau Malang. Bentuk, warna, rasa, kekerasan, daya tahan lebih baik. Daya tahan, misalnya, di suhu ruang paling cepat 2 minggu. Itu karena pengaruh agroklimat dan jenis tanah,” katanya. Alasan kedua, pasar juga menginginkan tomat.

Rata-rata luasan penanaman tomat 3 ha per bulan. Total populasi 16.000 per ha dan produktivitas 2 kg per tanaman. Ia menerapkan sortasi amat ketat. Untuk kelas A: tomat tanpa cacat, maksimal 10 buah per kg, dan tingkat kematangan 75%. Sementara kelas B terdiri atas 10—14 buah; C, 15—18 buah/kg. Kualitas A untuk memasok berbagai pasar swalayan di Jakarta; kelas B dan C ke pasar induk.

”Saya mempunyai standar prosedur untuk sortasi yang sulit diterapkan di tempat lain karena kebiasaan orang menyimpan tomat apkir di bagian tengah. Saya ingin memberikan yang terbaik kepada konsumen, membangun citra yang baik dengan sortasi ketat,” ujar pehobi bulutangkis itu. Wajar jika Priatmana dan kelompok taninya selalu mendapatkan

Page 54: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 59

Tanpa pengalaman,

Priatmana menekuni bisnis

kontraktor. Hasilnya belitan utang Rp400-juta. Dengan

mengebunkan tomat utang segunung itu lunas hanya

dalam beberapa tahun.

harga lebih baik dibanding tomat-tomat lain. Selisihnya Rp200—Rp500 per kg. ”Dengan grading seperti itu ternyata pasar bicaralain,” katanya.

Artinya, dengan sortir ketat demi kualitas, tomat apkir mungkin lebih banyak. Namun, hilangnya tomat itu tergantikan dengan harga yang lebih tinggi. Itu memang tidak serta-merta diperoleh. Ia mesti membangun komitmen dalam waktu panjang, bertahun-tahun. Kini citra tomat sukabumi berkualitas bagus tertanam kuat di pasar. Obsesinya, pola market driven berubah menjadi product driven atau kualitas harus

menentukan harga. Dengan demikian posisi tawar pekebun menjadi lebih kuat.

Memberi contohKerabat cabai itulah yang tetap dikembangkan

Priatmana sepanjang tahun. Entah musim kemarau, maupun musim hujan. Harga tinggi atau anjlok, tomat selalu ditanam. Ia rutin memasok pasar swalayan 20—30 ton per bulan dan 10 ton ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, per hari. Pasokan itu baru memenuhi 70% permintaan. Tak semua permintaan dipenuhi lantaran ia lebih mengejar kualitas. Menurut pemilik Primatani itu biaya produksi budidaya tomat intensif hanya Rp2.000 per tanaman. Itu berarti untuk menghasilkan sekilo tomat ia mengucurkan biaya Rp1.000.

Pada 24 April 2007 harga jual di tingkat pekebun Rp3.500 per kg. Dengan volume penjualan 10 ton, ia yang mempekerjakan 84 karyawan itu memperoleh omzet Rp35-juta sehari. Belum lagi penjualan ke pasar swalayan yang harganya lebih tinggi. Jika harganya Rp3.500 per kg, tambahan omzetnya Rp105-juta sebulan.

Memang tak selamanya harga tomat bagus. Di pasaran harga komoditas itu amat fluktuatif. Beberapa kali ayah satu anak itu menjual tomat dengan harga Rp200. Oktober 2006, misalnya, ia cuma mendapat harga Rp400 per kg. Meski demikian ia tetap mengusahakan tomat pada periode tanam berikutnya. ”Saya ingin menjadi spesialis tomat,” ujarnya. Pantas bila ayah dari Pridia Septa Azizah (5 tahun) itu hafal betul seluk-beluk tomat. Untuk kawasan Goalpara, Sukabumi, misalnya, pekebun mesti mengurangi pupuk nitrogen dan menambah unsur fosfor agar kualitas buah bagus.

Hasil pengamatan itu tak hanya dinikmati sendiri, tapi ia juga membagikan kepada 45 anggota Kelompok Tani Goalpara yang ia pimpin. Begitu terpilih menjadi ketua, ia mengatur pola tanam dan keseragaman varietas. Itulah sumbangan Ilmu Manajemen untuk dunia agribisnis yang ia geluti.

Pengaturan pola tanam agar pasokan tidak berlebih. Sementara keseragaman varietas supaya bila ada peningkatan permintaan, kelompok itu dapat memenuhinya dengan standar tinggi. Ia pernah gagal memasok tomat ketika produksi anggota dikumpulkan ternyata ada yang bulat, lonjong, ada yang merah, dan kuning.

Itulah sebabnya ia harus memberi contoh seperti pada kasus sortir. Pekebun lazim menyelipkan tomat apkir di bagian tengah keranjang. Dengan contoh, perilaku itu dapat diubah. Harap mafhum, “Pekebun itu harus kadeuleu, karampa, dan karasa. Pertama harus melihat dulu, lalu meraba-raba, dan merasakan hasilnya. Dengan cara itu baru bisa berubah. Contoh paling nyata dalam soal pestisida. Petani serta-merta akan ikutan menggunakan merek tertentu jika ada petani lain yang sukses,” katanya.

Begitu pula sukses Priatmana berkebun tomat, memberikan inspirasi kepada pekebun-pekebun lain. Menjadi pekebun tomat memang, ”Sudah jadi pilihan hidup saya. Saya harus mampu bertahan dan menghidupi keluarga,” ujarnya. Termasuk melunasi utang Rp400-juta pada 2000 dari hasil penjualan tomat. (Sardi Duryatmo)

Foto

-fot

o: S

ardi

Dur

yatm

o, Im

am W

igun

a, &

Des

tika

Cah

yana

Page 55: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I60

mereka

belajar

di lapangan

Satu-satunya h i b u r a n bagi Darren

Chandra adalah atraksi monyet yang berloncatan di cabang-cabang pepohonan. Jafar Chan, ayah Darren, mengelola PT Karimun Timah yang menggeluti bisnis dan eksplorasi bahan solder itu. Lokasi penambangan di Tanjungbalai Karimun. Kelima kakak Darren sudah mengelola perusahaan masing-masing. Jadilah Jafar mengirim Darren ke Tanjungbalai Karimun. Untunglah kesedihan bungsu 6 bersaudara itu tak berlarut-larut. Di sana selama 5 tahun, Darren muda belajar pertambangan dari para karyawan senior.

Ketika ayahnya menjual PT Karimun Timah pada 1982, Darren membangun perusahaan pertambangan baru: PT Sumber Alam Peleng. Darren mengeksplorasi mika, mineral mirip kaca antara lain untuk isolasi listrik dan batu cermin. Lokasi penambangan di Peleng, pulau terbesar di gugus Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Ia kemudian juga menambang emas.

Ke mana pun bereksplorasi, Darren senantiasa mewajibkan karyawannya untuk membuat laporan vegetasi di sekitar lokasi. Perusahaan itu mencari sumber tambang baru ke berbagai pelosok di

TimahTerbitlah

Setelah

Rempah

darren chandra:

Bertahun-tahun Darren Chandra tinggal di Sydney, Australia, untuk belajar Manajemen di University of New South Wales. Begitu pulang, ayahnya menempatkan Darren di Tanjungbalai Karimun, Kepulauan

Riau, yang senyap. “Setiap hari saya ingin menangis,” katanya.

17 provinsi. Pantas, bila Darren menyimpan banyak informasi soal komoditas hasil bumi. Contoh di Nusa Tenggara Timur, hasil bumi yang menonjol adalah jambu mete dan cendana. Sementara Aceh menyimpan pinang.

Semula laporan itu cuma tersimpan di rak arsip. Namun, pada 1991 ketika dunia pertambangan melesu diikuti kasus emas Busang, Kalimantan Timur, Darren teringat laporan itu. Ia membuka-buka kembali arsip lawas. Saat itulah terbersit di benaknya untuk membuat diversifikasi usaha. Maka sejak 1992 pria 55 tahun itu merintis perniagaan rempah-rempah dan hasil bumi lain.

9 komoditasPasar ekspor terkuak setelah ia berkali-kali

mendatangi kedutaan besar India di Jakarta. Negeri Anak Benua itu meminta pinang. Buah Areca catechu itu berkhasiat antidepresi, meningkatkan kekebalan tubuh, dan penurun panas. Darren memang tak mengebunkan anggota famili Palmae itu. Pasokan pinang diperoleh dari Aceh dan Sumatera Barat. Volume ekspor perdana 20 ton pinang dikapalkan ke

Kesinambungan ekspor lada berkat kemitraan dengan pekebun

Page 56: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 61

negeri di wilayah Asia Selatan itu. Setelah itu pasar melebar ke Korea Selatan.

Negeri Ginseng itu meminta beragam komoditas seperti pinang, cengkih, daun nilam kering, lada hitam, dan kayumanis yang dikirim dalam sebuah kontainer. Jenis permintaan biasanya berubah setiap bulan. Misalnya, pada bulan ini sang importir meminta kayumanis, cengkih, dan pinang; bulan berikutnya, lada hitam dan daun nilam.

Darren senantiasa mengirimkan komoditas itu dalam kontainer 40 feet berkapasitas 22—25 ton. Alasannya, biaya pengiriman lebih murah. Biaya pelayaran Jakarta—Pelabuhan Busan, Korea Selatan, yang ditempuh 7 hari sekitar Rp8-juta per kontainer. Bandingkan dengan biaya kontainer 20 feet yang mencapai Rp5-juta. Lagi pula bila masih ada tempat kosong di kontainer itu, biasanya importir Korea minta komoditas lain hingga kontainer itu penuh.

Saat ini Darren mengekspor 9 komoditas untuk melayani permintaan 3 importir di Korea. Mereka pada umumnya perusahaan farmasi yang memproduksi beragam obat berbahan herba. Lima komoditas unggulan adalah pinang,

Dokumentasi yang baik tentang jenis-jenis tanaman perkebunan dan rempah menjadi inspirasi Darren Chandra untuk berbisnis. Ketika dunia pertambangan yang digeluti melesu, jadilah ia mengekspor beragam komoditas seperti pinang, kayumanis, dan kapulaga.

Foto

-fot

o: S

ardi

Dur

yatm

o &

Des

tika

Cah

yana Darren Chandra

eksportir rempah-rempah ke Korea Selatan

Page 57: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I62

mereka

belajar

di lapangan

Dari kiri ke kanan: cengkih, kapulaga, kayumanis, dan biji pinang

cengkih, nilam, kapulaga, dan kayumanis. Volume ekspor pinang rata-rata 10 ton per importir atau total 40 ton untuk 3 importir per bulan. Sementara volume ekspor cengkih rata-rata 5 ton per importir per bulan, daun nilam (10 ton), kapulaga (10 ton), dan kayumanis (20 ton). Di luar itu masih ada gaharu, lada hitam, dan secang. Sembilan komoditas itu dikapalkan 2 kali per bulan.

Menurut Darren harga jual pinang ke mancanegara sekitar US$1,5 setara Rp13.000/kg. Dengan volume 40 ton sebulan, omzet Darren dari perniagaan pinang mencapai setengah miliar rupiah. Belum lagi dari perdagangan komoditas lain yang mencapai puluhan ton. Tentu saja rekeningnya kian gemuk.

StrategiRahasia sukses ayah 2 anak

itu berbisnis rempah antara lain tepat waktu mengirim barang dan menjaga kualitas. Itulah sebabnya, importir di sana merekomendasikan nama Darren ke importir lain. Semula Darren hanya memasok 1 importir, kemudian menjadi 3 importir. Imbas lain, mereka membayar lebih dulu sebelum barang yang dikirim Darren tiba di Pelabuhan Busan, Korea Selatan.

Kiat sukses lain, ia konsisten bekerja sama dengan para pengepul di berbagai daerah. Di

satu provinsi, Darren hanya menjalin kerja sama dengan seorang pengepul untuk mencegah persaingan dan konflik antarpengepul. Harap mafhum, Darren memang tak mengelola kebun sendiri sehingga kesinambungan pasokan praktis mengandalkan mereka. Oleh karena itu bila ada orang lain menawarkan harga lebih rendah daripada harga yang disodorkan pengepul, ia menolak.

Belum lama ini, misalnya, ada yang menawarkan

kapulaga seharga Rp75.000/ kg; dari pengepul langganannya,

Rp80.000. Darren tetap memilih kapulaga dari pengepul, meski lebih mahal. “Kenapa harus ambil risiko? Saya untung sedikit ngga apa apa, yang penting tak ada komplain (dari Korea),”

katanya. Bahkan, ayah 2 anak itu memberikan uang

muka kepada para pengepul untuk pengadaan rempah-rempah. Selain itu ia juga konsisten menjaga mutu. Jika tak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan, Darren tak segan untuk menolak pasokan.

Tak terlayaniMenggeluti bisnis rempah-rempah bukan

sepi kendala. Pada mulanya sekitar 50% pasokan pengepul ditolak akibat tak sesuai dengan standar mutu. Untuk mengatasinya, Darren mengirim orang khusus ke berbagai

Pala, salah satu komoditas ekspor andalan

Page 58: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 63

sentra rempah-rempah. Selama sebulan, orang itu mendidik pengepul untuk menyortir sesuai standar mutu yang ditetapkan. Contoh, standar mutu pinang adalah good cut mencapai 90:10. Artinya dari 2 kg contoh biji buah pinang yang dipotong, 90% lolos sortir dan hanya maksimal 10% rusak.

Hingga 2 tahun pertama, ia pontang-panting mendidik pengepul. Hasilnya, kini sekitar 90% pasokan pengepul sesuai standar mutu. Hambatan lain, kesulitan mencari komoditas tertentu. Pria kelahiran Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, 11 Agustus 1952 itu kesulitan mencari pasokan. Bayangkan, importir membutuhkan rutin biji teratai Nymphaea sp hingga 20 ton per bulan. “Kita mau cari di mana? Dua ton saja susah, meski harganya amat bagus,” katanya.

Ada lagi permintaan ajek berupa rumput teki Cyperus rotundus juga 20 ton per bulan. “Satu ton saja setengah mati, kan? Saya hubungi teman-teman di berbagai daerah, tapi tak sanggup.” Belum lagi permintaan puluhan ton masing-masing daun bambu dan akar alang-alang. Untuk daun bambu, misalnya, ia menyebarkan informasi kepada beberapa pengepul di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk mencarinya. Syaratnya tanaman berbatang hijau dan daun tanpa bulu. Sayang, upaya itu juga gagal. Peluang di depan mata itu akhirnya sirna.

Masalah lain, meski Darren tepat waktu mengirim barang dan menjaga kualitas, tetapi satu per satu 4 importir Korea membangun perwakilan di Jakarta. Itu kejadian pada 2004. Mereka memutus rantai tataniaga dengan mencari sendiri komoditas ekspor di Indonesia. Wajar bila 3 tahun lalu volume ekspor Darren 2—3 kali lipat ketimbang volume saat ini. Dari 7 importir, kini

tersisa 3 importir yang rutin dipasok Darren. Mereka produsen obat terbesar di

Korea.Toh, Darren tak ciut nyali. Ia

tengah membangun strategi merebut pasar. Tahun depan selama 6 bulan, ia berencana memasarkan beragam komoditas ekspor jauh lebih murah ketimbang harga yang ditawarkan 4 mantan

importir yang pernah dipasoknya itu. Ia tak

mengambil untung serupiah pun. Itu memungkinkan

lantaran ada subsidi silang dari penjualan batubara yang juga

digeluti Darren. Dengan begitu ia berharap, importir-importir

di Korea beralih kepadanya. Ratusan produsen herba di sana sudah ia kantongi. Perusahaan-perusahaan itu terkonsentrasi di Jekidong, sejam jalan darat dari Seoul. Ia bergairah merebut pasar lantaran prospek perniagaan rempah-rempah di pasar dunia tetap mencorong. (Sardi Duryatmo)

Permintaan rutin 20 ton biji teratai/bulan belum terlayani

Page 59: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I64

mereka

belajar

di lapangan

Bersandar Pada Ikan Hias

Saat setengah tubuhnya terendam, tangan lelaki itu cepat mengayunkan ayakan

untuk mendongkel lumpur dengan harapan: mendapat cacing darah dan kutu air. Lelaki itu memang sudah menjadikan sungai yang terletak di belakang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat, itu sebagai sumber nafkah. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia menekuni profesi sebagai tukang parkir, penjual petasan, hingga kepala bagian mesin pemintal di satu pabrik tekstil di Kota Hujan, Bogor.

Di antara penuh sesak penumpang buskota, cacing dan kutu air yang disimpan dalam kaleng-kaleng susu itu dijaga agar tidak tercecer. Satwa-satwa kecil itu sebagian dijual untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Sisanya dipakai di rumah untuk menggemukkan puluhan kongo, cupang, dan oskar.

Dua puluh satu tahun silam ia selalu datang ke tubir sungai itu. Setiap datang setiap kali pula matanya sesaat menyapu lingkungan sungai itu. Lalu, ia menceburkan diri ke dalam sungai yang berlumpur hitam dan bau busuk menyengat dari buangan limbah

rumah tangga.

jap khiat bun:

Angel fish

Botia (atas)

Page 60: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 65

"Bisnis ikan

hias itu tidak ada matinya."

Page 61: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I66

mereka

belajar

di lapangan

Siapa duga kini lelaki itu—Jap Khiat Bun—menjadi salah satu eksportir ikan hias terbesar di tanahair. Ribuan kotak kaca berukuran 90 cm x 60 cm x 60 cm dan belasan kolam semen seluas 8—10 m2 mengisi farmnya di Cibinong, Bogor. Dari sana sekitar 200 jenis ikan hias dikirim ke berbagai negara tujuan di Asia, Eropa, dan Amerika. “Pengiriman dapat mencapai 1.600 boks per bulan,” katanya.

banyak orang asing datang untuk bertransaksi ikan hias. “Saya jadi tanya-tanya tentang prospek ikan hias,” kata ayah 2 putra itu. Salah satu kenalan, Mr Fan Choo Lon, kini presiden ekspor-impor ikan hias Singapura, ikut mendorongnya mengekspor ikan. “Dia bilang bisnis ikan hias itu tidak ada matinya,” tutur Jap.

Saat rasa yakin itu tumbuh, Jap malah kebingungan memilih jenis ikan yang diusahakan.

Enam puluh persen ikan-ikan yang diekspor itu asli dari perairan Indonesia. Salah satu yang diminati pembeli mancanegara adalah Botia macracantha dari sungai-sungai di Sumatera dan Kalimantan. Menurut Jap ikan itu disukai karena coraknya cantik. Kuning belang-belang hitam. “Ikan ini pasti menjadi unggulan setiap eksportir di tanahair,” kata peraih Entrepreneur Agribusiness Award 2004 itu.

AquaramaNasib baik itu tidak bisa lepas

dari profesi terakhir Jap sebagai kepala bagian mesin pemintal di pabrik tekstil. Setelah bekerja selama 3 tahun, Jap menjadi andalan pabrik itu. “Saya menjadi orang lokal paling ahli mengoperasikan mesin pemintal,” katanya. Prestasi itu diganjar dengan ser ing dikir imnya Jap b e r t u g a s k e Cina, Hongkong, dan Singapura. “ P e r u s a h a a n ingin ilmu mesin saya bertambah,” k a t a n y a . Hal itu seiring dengan pemulangan bertahap para teknisi mesin asing di pabrik itu.

Suatu ketika Jap yang sedang bertugas di Singapura menyinggahi pameran ikan hias internasional, Aquarama’79. Ia takjub menyaksikan

Fan Choo Lon pula kemudian menyarankan menernakkan kongo tetra Phenacogrammus interuptus dan rumynose Petitella georgiae. “Ikan itu katanya sedang populer. Saat pulang saya beli masing-masing 10 induk,” katanya. Lima bulan dipelihara, Jap pun dapat memperbanyak ikan-ikan itu. “Saat ikan besar saya kontak teman Singapura itu, apakah mau beli? Ternyata mereka mau,” ujar penggemar golf itu.

Usaha Jap Khiat Bun mulai meningkat. Jumlah akuariumnya terus bertambah mencapai ratusan buah. Ia pun memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk dapat memburu cacing lebih

banyak. Punggung kakinya sampai menghitam diserang eksim berat karena sering

berendam di lumpur. “Semua sungai dan selokan di Jakarta sudah pernah saya datangi untuk diambil cacingnya,” ujar ayah 2 putra itu yang hingga k in i berupaya

mencar i kesembuhan penyakit itu sampai ke

Singapura dan Cina.

BerkualitasBerguru pada

orang yang lebih t a h u m e n j a d i pelajaran berharga. Jap menyada r i ungkapan itu karena ia tidak memiliki

p e n g a l a m a n d i bidang perikanan.

Ahli-ahli budidaya dan penyak i t i kan ser ing didatanginya. Termasuk

Arapaima komoditas harapan ekspor

Jap tak pelit berbagi ilmu

Page 62: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 67

membeli majalah ikan luar negeri. “Segala sesuatu perlu totalitas. Untuk ikan saya harus tahu dari A sampai Z-nya,” katanya. Jap pun tak segan pergi berminggu-minggu untuk mencari jenis ikan hias baru hingga ke pedalaman Papua. “Potensi ikan hias kita sungguh luar biasa,” tambahnya.

Terbukti keragaman dan kualitas ikan hasil tangkaran dan mitra Jap sangat bagus. “Sampai saat ini saya hampir belum pernah merugi karena ikan sakit,” katanya. Bagi pembeli luar negeri, ikan asal farmnya, CV Maju Aquarium, menjadi jaminan mutu. “Mereka bilang ikan dari saya meski murah tapi kualitasnya baik,” katanya. Wajar permintaan deras kini mengalir dari negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Belgia, hingga Amerika Serikat.

Sebagai eksportir besar Jap tak pelit berbagi ilmu. “Saya belajar cara menghasilkan cacing yang baik di Cina,” ujarnya. Ilmu itu kemudian secara getok tular menyebar ke peternak bloodworm di Bandung. “Saya juga punya kepentingan karena bila panen mereka bagus dapat diambil untuk diekspor,” tuturnya.

Kesibukan Jap Khiat Bun belakangan meningkat setelah memelihara arwana superred dan golden crossback asal Malaysia. “Ikan-ikan ini memiliki pasar sangat bagus,” ujar pemilik izin ekspor arwana itu. Miliaran rupiah sudah dirogohnya hampir 3 tahun terakhir ini untuk dapat menangkarkan kedua jenis ikan kahyangan itu di Cikaret, Bogor. Hasilnya cukup memuaskan.

Beberapa induk superred di kolam seluas 100 m2 sudah ada yang menggendong telur.

Menurut Jap Khiat Bun jalan sukses yang diraihnya karena ia benar-benar menjalankan prinsip Sin Yung, kepercayaan dan kejujuran. “Tanpa itu semua tak ada usaha yang bisa langgeng,” katanya. Seperti lelaki yang dua puluh tahun silam menceburkan diri ke sungai berbau, kepercayaan pada sang cacing kemudian menggiringnya menjadi eksportir besar. (Dian Adijaya S)

Foto

-fot

o: D

ian

Adi

jaya

S

Ribuan akuarium berisi ikan siap ekspor

Bagi Jap Aquarama ajang intip ikan-ikan bakal tren

Page 63: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I68

mereka

belajar

di lapangan

djudju antony:

Bocah laki-laki 6 tahun itu selalu menantikan datangnya musim

kemarau. Ketika itu sungai kecil di kebun orangtuanya menyusut, hampir kering. Setiap pulang sekolah, masih mengenakan seragam, ia ke sana untuk menangkap ikan gabus. Teriknya sengatan matahari tidak ia hiraukan.

Kegemaran Djudju Antony menangkap ikan mengantarkannya menuju gerbang kesuksesan. Empat puluh tujuh tahun kemudian, bocah itu menjelma menjadi peternak diskus sukses. Diskus hasil tangkarannya berkualitas tinggi. Wajar jika segudang gelar bergengsi diraih di berbagai kontes diskus.

Kesuksesan itu memang tidak muncul tiba-tiba. Sebelum beternak diskus, selama puluhan tahun ia bekerja sebagai produser di salah satu perusahaan rekaman tanahair. Sejak 1976, ia memproduseri lagu-lagu barat. Namun, pada 1981 Amerika Serikat menetapkan peraturan: semua lagu barat tidak boleh sembarangan

DiskusTetap

Dihantam demam lou han, Djudju Antony sempat limbung. Keteguhan hatinya untuk tetap bermain diskus berbuah manis: popularitas dan

uang tentunya.

BukanYang Lain

Page 64: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 69

direkam, harus ada izin dari pemegang hak cipta. Sejak itu, ia pun memutuskan beralih memproduseri lagu-lagu india.

Selama 17 tahun, perusahaan rekamannya berkembang pesat. Lagu-lagu india yang ia produseri banyak digemari. Karena peraturan pemerintah mensyaratkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) tidak boleh lagi dilanggar, ia pun pergi ke India untuk membeli hak cipta lagu. Sayang, India enggan menjual hak ciptanya.

Dampak krisis moneter pada 1997, nilai rupiah jadi kecil. Ditambah penolakan India menjual hak cipta lagu, Djudju mengundurkan diri dari

Berawal dari hobi, ia jadi peternak diskus sukses. Padahal, bekal di tangan hanya ijazah Sekolah Teknik Menengah dan pengalaman sebagai produser kaset lagu-lagu india.

Gaya berenang diskus anggun, Djudju jatuh cinta

dunia rekaman. ”Pusing! Saya juga sudah tua, lebih baik pensiun saja,” katanya. Masa pensiun ia habiskan menggeluti hobinya memelihara burung. Puluhan muraibatu dan cucakrawa ia pelihara.

Selama setahun kegiatan alumnus Sekolah Teknik Menengah di Bandung itu hanya bercengkerama dengan burung-burung kesayangan. Kejenuhan pun mulai melanda. ”Saya kan biasa banyak kegiatan, tiba-tiba harus terhenti, rasanya bosan,” tuturnya. Atas saran adiknya, Toto, Djudju akhirnya memutuskan untuk membuka peternakan ikan hias. ”Kebetulan dari kecil saya memang hobi ikan,” kata pria kelahiran 1955 itu.

Memilih jenis ikan hias yang akan diternakan bukan perkara mudah. Beragam ikan hias sudah pernah ia pelihara. Sebut saja platy, cupang, black molly, dan manfish. Pikirannya lalu tertuju pada sosok ikan hias yang termasuk sulit dibudidayakan: diskus. ”Berhasil bertelur 3—5 butir saja, saya sudah bangga,” ujar Djudju. Ia pun menjatuhkan pilihan pada ikan yang menurutnya memiliki gaya berenang paling anggun itu.

Page 65: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I70

mereka

belajar

di lapangan

Berburu indukanTepat pada 1998, Djudju mengubah haluan

dari seorang produser kaset menjadi peternak diskus. Dibantu adiknya ia mulai mengumpulkan indukan-indukan diskus berkualitas. Untuk tujuan itu ia tidak sungkan-sungkan mengobok-obok peternakan diskus di Jakarta dan Bandung. Bahkan ia pun rela pergi ke Malaysia, karena berdasarkan informasi dari teman pusat diskus ada di sana. Tak tanggung-tanggung, ratusan juta rupiah ia gelontorkan untuk membeli indukan.

Jenis yang ia beli di Malaysia pun dipilih yang eksklusif: leopard dan leopard snake. ”Harganya sangat mahal. Ukuran 2 inci saja dijual Rp2-juta,” ujarnya. Memperolehnya pun tidak mudah, karena jarang ada yang rela melepas jenis itu. Wajar saja karena persediaan memang terbatas. Di Malaysia pula ia berkenalan dengan para peternak diskus. Dari mereka, Djudju banyak belajar mengenai diskus, malah sempat menjalin kerja sama, sampai bisa membeli diskus di Vietnam.

Selain indukan, Djudju juga membeli diskus-diskus kecil berukuran 1,5—2 cm untuk dijual ke peternak-peternak di tanahair. ”Setelah besar, saya beli kembali, lalu dijual lagi ke luar negeri,” paparnya. Saat ini ia mengelola 80 indukan terdiri atas 40 betina dan 40 jantan. Dari jumlah itu ia menuai 200 burayak per bulan. Setelah dibesarkan selama 3—6 bulan, diskus-diskus itu siap dijual.

Menurut Djudju, persentase untuk menghasilkan diskus berkualitas bisa mencapai 70%. Ikan berciri warna cerah dan bentuk tubuh bulat itu mengisi pasar ekspor. Sementara 30%, sisanya, kualitas B yang dicirikan warna kurang tajam. Setiap pekan ia mengekspor 200—300 ekor ke Malaysia dan Singapura. Untuk melebarkan sayap, ayah 3 putri itu rajin menyambangi pameran-pameran ikan hias. Setidaknya ekshibisi di Singapura, Malaysia, Jerman, Hongkong, dan Cina rutin ia ikuti.

Hasilnya, pemain-pemain diskus top dunia berhasil ia kenali. Salah satunya Bing Seto,

(Kiri)Dari wadah plastik anakan berkualitas dibesarkan

(Kanan)Budidaya sendiri, jamin ketersediaan pakan

Foto

-fot

o: L

ani M

arlia

ni

Sebanyak 70% hasil ternakan berkualitas baik untuk ekspor

Page 66: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 71

peternak andal di San Fransisco, Amerika Serikat. Merasa tidak memiliki latar belakang pendidikan perikanan, Djudju tidak segan-segan belajar mengenai seluk-beluk diskus kepadanya. Bahkan berkat Bing Seto, yang juga dikenal sebagai juri diskus internasional, Djudju berhasil memasarkan diskusnya hingga ke Amerika.

Kegigihannya untuk terus belajar membuahkan hasil. Diskus hasil tangkarannya semakin diakui oleh peternak dalam dan luar negeri. Buktinya, ikan-ikan tangkarannya berhasil menjuarai berbagai kontes baik tingkat nasional maupun internasional. Contoh, leopard snake hasil tangkaran Marina Diskus, nama farm-nya, meraih grand champion di Indofish 2004. Kepiawaian Djudju berefek diundang menjadi juri di berbagai kontes diskus. Terakhir ia menjadi juri di kontes diskus Singapura dan Jepang pada 2003—2004.

Dihantam lou hanMalang tak dapat ditolak, untung tak dapat

diraih. Ketika usahanya tengah meningkat pesat, pada 2002 demam lou han melanda hobiis ikan hias di Indonesia. ”Saya sampai lemes sekali,” kata pria pehobi balap motor itu. Saat itu permintaan anjlok. Bahkan permintaan dari Singapura dan Malaysia sampai tidak ada sama sekali.

Namun, kondisi itu tidak lantas membuat Djudju patah arang. Ia tetap menekuni diskus, walaupun kondisi penjualannya terpuruk. ”Saya sudah menghabiskan banyak uang untuk diskus, jadi saya pun berharap dapat uang dari sini,” ujarnya. Oleh karena itu, akuarium di rumahnya tidak pernah kosong. Selalu ada diskus di

sana, meski tidak sebanyak waktu masih berjaya dulu.

Kesabaran Djudju berbuah manis. Masa kejayaan lou han hanya bertahan 2 tahun. Kini hobiis kembali menggemari diskus. Wujudnya, baru-baru ini Singapura minta rutin dikirim 1.000 ekor per bulan. Jenisnya antara lain angel diamond, leopard snake, dan snake skin. Belum lagi permintaan dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta yang mencapai 100—200 ekor/minggu. ”Untuk lokal masih bisa dipenuhi, tapi untuk luar negeri masih belum sanggup,” ujar pria yang kini mengembangkan usahanya dengan menjadi peternak ulat jerman.

Di farm-nya di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, Djudju tengah menyiapkan lebih dari 100 akuarium untuk pemijahan dan pembesaran diskus. Ikan-ikan berkualitas pun didatangkan. ”Semoga Juni nanti, sudah bisa ada kiriman ke luar,” ujarnya. Kesetiaannya pada diskus pun membuahkan hasil manis. (Lani Marliani)

Leopard snake diminati hobiis

Page 67: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I72

mereka

belajar

di lapangan

yb hariantono:

sang RatuTerpikat

Ketika Bankir

Tidak percuma YB Hariantono rajin mengunjungi farm-farm besar di luar dan dalam negeri. Ilmu yang diperolehnya melambungkan pria 41 tahun itu sebagai pencetak

maskoki terbaik.

Ketat seleksi calon indukan

Page 68: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 73

Sore i t u s e l e p a s p u l a n g b e k e r j a . YB Hariantono duduk bersimpuh di

sisi kolam berukuran 1 m x 1 m sambil membuka sepatu. Suara aerator yang memancarkan air ke kolam terdengar bergemericik. Kedua tangan Senior Vice President Head, Information Technology, Permata Bank itu sesekali membelai-belai maskoki. Perlahan Carrasius auratus itu diangkat, lalu diceburkan kembali. “Kalau sudah berada di kolam, semua kepenatan hilang,” tutur kelahiran Malang itu.

Kecintaan pada maskoki membuat Hari—panggilan akrab YB Hariantono—menyulap lahan seluas 500 m2 itu untuk kolam. Sebanyak 50 kolam beragam ukuran, 1 m x 1 m, 2 m x 3 m, dan 6 m x 6 m di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan, itu menghampar mendominasi pandangan. Di beberapa kolam terlihat maskoki lionhead, mutiara, ranchu, oranda, dan tossa berenang mengibaskan siripnya. Mereka menantikan butiran pelet dan belaian sayang Hari.

Total ada 200—300 induk dan 20.000 bibit yang dipelihara. Setiap kolam dihuni 50 maskoki, 20—30 di antaranya lionhead. Hari lebih menyukai lionhead lantaran sosoknya molek. “Jambulnya juga bagus dan terkesan unik,” tambah ayah 1 putri itu.

Tugas kantor Alumnus Teknik Elektro, Institut Teknologi

Sepuluh November Surabaya itu mulai tertarik pada maskoki sejak 1998. Ketika itu, Hari ditugaskan ke Singapura dari perusahaan tempat bekerja. Untuk memanfaatkan waktu senggang ia berjalan-jalan ke sebuah toko ikan hias terkenal di negeri Singa itu. Di sana, pria yang hobi fotografi itu melihat maskoki beragam bentuk dan warna dipajang dalam akuarium. “Semuanya tampil molek,” ungkapnya.

Setiap hari selama di Singapura, Hari selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat ikan gembul itu. Dari toko ke toko ikan hias ia masuki. Hari

Ryukin, tampil prima di tangan Hari

Page 69: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I74

mereka

belajar

di lapangan

rela berjam-jam berdiri di depan akuarium hanya untuk memperhatikan gerak-gerik ikan. “Sampai lupa waktu,” katanya. Apalagi jika maskoki yang diperhatikan menunjukkan sikap bersahabat, ia merasa berat untuk meninggalkannya.

Setelah tiba di tanahair, kecintaan terhadap maskoki kian memuncak. Perburuan ke farm-farm di dalam dan luar negeri dilakoni. Bahkan, ia rela mengambil cuti hanya karena ingin datang ke tempat penangkaran maskoki di Bandung dan Tulungagung. “Saya juga pernah datang ke NK Farm di Thailand, Fermilion Goldfish Club di Singapura, dan Patrick Tan Kee Beng di Malaysia (farm-farm besar maskoki, red),” ucap pria berkulit putih itu. Tak heran

kemampuan Hari untuk melihat maskoki bagus semakin terasah. Ia mampu membedakan maskoki kualitas kontes dan kualitas pasar dalam sekejap.

Diserbu hobiis Di tengah kesibukannya sebagai bankir, ayah

dari Fredrica Cynthia Dewi itu semakin getol merawat maskoki. Sehabis pulang kerja tidak jarang Hari nyemplung ke kolam. Menyipon, memberi pakan, dan mengecek kesehatan adalah pekerjaan rutin sehari-hari. “Pokoknya minimal sejam saya luangkan waktu untuk merawat maskoki,” tuturnya.

50 kolam maskoki milik Hari di Ciputat, Tangerang

Maskoki-maskoki ini memberikan ketenangan pada Hari

Foto

-fot

o: D

ok. T

rubu

s

Page 70: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 75

Aktivitas itu makin intensif menjelang penyelenggaraan kontes. “Sebulan sebelum kontes, saya sudah mempersiapkan ikan,” papar Hari. Ia punya trik khusus untuk membuat warna maskoki lebih cemerlang. Air kolam dikondisikan ditumbuhi lumut sehingga terlihat menghijau. Menurut Hari, lumut bermanfaat untuk mencerahkan warna ikan.

Tidak hanya itu, ikan yang akan dikonteskan pakannya harus diperhatikan. Hari memberikan cacing sutera yang telah direndam selama 1 hari dalam bak agar betul-betul bersih dari kotoran pembawa penyakit. Sebagai pelengkap, pelet berprotein tinggi diberikan 2—3 kali sehari. Pemberian pakan distop 1—2 hari sebelum kontes. Tujuannya agar maskoki bergerak at rakt i f dan t idak mudah stres.

Dengan perawatan seperti itu maskoki-maskoki selalu tampil prima. Tubuh bongsor d e n g a n b e n t u k proporsional. Warna ngejreng. Sirip ekor dan dayung seimbang sehingga gaya renangnya juga stabil. Selanjutnya bisa ditebak maskoki hasil polesan ahli teknologi informasi perbankan itu kerap meraih gelar terhormat di arena kontes. Lionhead baret misalnya, berhasil meraih predikat juara ke-1 sekaligus menyabet gelar grand champion pada kontes Ikan Hias Nasional di Taman Akuarium Air Tawar, TMII, pertengahan 2000.

Sayang, sejak 2002, suami Maya Dewi itu jarang ikut lomba lantaran waktunya tersita pada pekerjaan. Namun, nama Hari sebagai peternak maskoki berkualitas semakin mencuat. Tak heran

banyak hobiis yang mencari maskoki datang ke farm-nya. “Saya sampai kelimpungan memenuhi permintaan mereka,” tuturnya. Hari menyebut setiap bulannya hanya bisa melempar 100—200 maskoki karena sebagian besar untuk dipelihara sendiri. Meski begitu dari perniagaan ikan yang dijual seharga Rp2.000—Rp30.000/ekor, paling tidak ia bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp6-juta/bulan.

Juri kontesKepiawaian Hari mencetak maskoki

kontes berujung pada seringnya mendapat undangan untuk menjadi juri

lomba. Sebut saja pada Mei 2007, Hari jadi juri kontes

m a s k o k i d i A q u a r a m a S i n g a p u r a .

Di dalam negeri tidak terhitung berapa

kali ia didaulat sebagai pengadil ratu ikan hias air

tawar itu. Misalnya pada akhir 2006, Hari dipercaya menjadi koordinator juri

kontes maskoki Jack Aqua Zoo 2006 di ITC Permata Hijau,

Jakarta Selatan.

Keahlian Hari mencetak dan menilai maskoki kontes sepintas datang begitu saja. Padahal, puluhan hingga ratusan juta rupiah mungkin sudah nyemplung untuk maskoki. Di awal memelihara, banyak maskoki mati. Nyawa maskoki termahal, ranchu berukuran 15—25 cm yang dibeli dari Thailand pada 2000 senilai Rp5-juta melayang gara-gara terserang parasit cerodakvirus.

Musibah lain terjadi pada awal 2001. Saat itu 50 maskoki jenis baru berharga Rp300.000—Rp400.000/ekor dari Cina meregang nyawa. Lalu terakhir pada 2003, ia kembali ketiban sial. Sebanyak 40 maskoki berukuran 15—25 cm senilai Rp12-juta tak terselamatkan karena peralihan musim.

Toh buat Hari, itu sebanding dengan pamor sebagai peternak maskoki ternama di tanahair. Kepuasannya hanya satu. “Ketenangan saat berada di tepi kolam,” imbuhnya. (Hermansyah)

Disiplin ilmu yang tidak sesuai bukan halangan bagi Hari. Dengan belajar

dan belajar di lapangan, jadilah ia yang terdepan untuk urusan maskoki

Page 71: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I76

mereka

belajar

di lapangan

jesda attavichit:

Rumah berdinding putih di kawasan elit Sukhumvit, Bangkok, Thailand, itu penuh akuarium. Seekor halfmoon merah solid

mengembangkan ekor 180o. Plakat steel blue berenang hilir-mudik. Itu baru sebagian kecil cupang koleksi Kolonel Jesda Attavichit—

presiden Thailand Betta Club.

Pemandangan di ruang dalam seperti

menegaskan itu hunian seorang penggila cupang. Rak 4 tingkat setinggi 2 m dipenuhi 120 akuarium berisi plakat hijau, halfmoon biru, dan serit merah. Setumpuk poster berisi ragam cupang ternakan Thailand berserakan di atas meja makan selebar 1,5 m dan panjang 2,5 m. Lima belas akuarium kosong menggantikan posisi toples-toples berisi camilan.

Akuarium sepertinya jadi “perabot” utama rumah itu. Di dapur —t e m p a t a k t i v i t a s memasak—ada 6 akuarium dijejerkan di dekat tempat piring. Isinya halfmoon longtail berwarna merah-putih dan solid merah yang jadi juara National Betta Competition di Singapura. Kotak kaca berisi serit juga mendiami

kamar tidur alumnus sekolah angkatan darat. Itu lantaran Jesda sangat mengagumi keindahan dari kibasan serit.

Cetak juara Kesibukan ayah 2 anak itu makin menggila menjelang kontes di luar negeri. Dua munggu sebelum lomba Jesda rajin memberikan vitaman guna menambah

stamina dan memperkuat sirip. Pemberiannya dibarengi

pakan pelet seminggu sekali. Agar sisa pakan

tak mengendap dan jadi biang penyakit,

setiap hari 100% air rutin diganti. “Serit membutuhkan air soft dengan kadar kapur rendah,” ujar Jesda. Berbeda

dengan plakat yang menyukai air berkapur tinggi. Perbedaan itu

membuat Jesda rajin mengecek kesadahan air menggunakan hardnessmeter.

Jesda juga dinobatkan sebagai presiden tissue culture anggrek Thailand

Halfmoon merah jadi andalan

Kolonel

CupangTertawan

Page 72: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 77

Ia rela berbagi kabin Ford XLT hitam metalik dengan kantong-kantong plastik dalam dus. Itu supaya cupang seharga ratusan ribu rupiah tiba di negara tujuan dengan selamat.

Selalu antar cupang ke kontes

Sebelum berangkat ke bandara, ia mengemas satu per satu cupang yang akan berlaga. Cupang dimasukkan dalam kantong plastik berukuran 20 cm x 40 cm, lalu diberi oksigen. Setelah itu kantong diikat rapat, dan dimasukkan dalam tas yang cukup tebal. Jesda pun rela berbagi tempat di mobil kesayangan dengan cupang-cupang yang akan berlaga. Tujuannya supaya anggota famili Osphronemidae itu merasa nyaman.

Toh susah-payah itu terbayar tunai. Cupang-cupang sang kolonel kerap menyabet kampiun di arena lomba. Sebut saja plakat hijau, serit dasar merah gelap, dan serit merah terang. Plakat hijaunya berhasil merajai kelas green/terquoise pada 6th National Betta Competition di Singapura. Tak hanya di Singapura, ia pun berhasil menyabet 5 piala dari 7 cupang yang ikut lomba di Aquafair Malaysia 2006.

Spesies langkaNamun, bukan berarti Jesda terhindar dari

petaka. Suatu waktu serit crowntail kesayangannya patah lantaran salah memasukkan air. “Air yang

Page 73: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I78

mereka

belajar

di lapangan

Plakat steel blue

dimasukkan berkapur tinggi menyebabkan serit patah atau tidak mengembang,” kata Jesda. Ia pun bergegas terbang ke Indonesia untuk mendapatkan penggantinya.

Demi kesempurnaan serit cupang, Jesda rela membawa sampel air yang dipakai para peternak cupang di Slipi, Jakarta Barat, ke negerinya 2 tahun silam. Air asal ledeng itu diuji di salah satu laboratorium di Bangkok. Setelah hasil uji keluar, Jesda memutuskan mengganti air ledengnya dengan air lebih soft. Kini ekor serit yang b e r k e r u t - m e r u t menjadi tegak dan lurus.

Selain itu, demi mendapatkan seekor cupang spesies, pemilik usaha kecantikan itu rela naik bus selama 10 jam dari Bangkok ke Chiang Mai. Musababnya penerbangan saat itu penuh. Tiba di Chiang Mai, ia harus menumpang ojek menembus dinginnya malam menuju sungai, habitat cupang itu. Cupang

spesies ini langka. Saya memburunya bukan untuk lomba, tapi sekadar koleksi,” katanya. Keesokan hari Jesda kembali ke Bangkok dengan cupang yang terbungkus dalam kardus berlapis kantong plastik.

Supaya tidak punah, cupang hasil tangkapan itu dikawinkan setelah seminggu disehatkan dalam larutan garam. Cupang itu kemudian

bergabung dengan cupang-cupang lain menempati bak di depan

rumah. “Perkawinan yang baik saat musim

panas tiba, yakni Januari sampai Oktober,” ujar

Jesda. Untuk menghasilkan cupang

juara, perlu betina yang berkualitas. “Warna cerah, ekor mengembang, dan berumur 4 bulan,” kata pria kelahiran Bangkok itu. Syarat lain, harus seukuran dengan jantan. Perkawinan dilakukan pukul

08.00—10.00. Sekali pijah, betina menghasilkan 1.000 anakan. Dua hari kemudian, jantan dan burayak dipindah ke bak semen. Burayak diberi daphnia sehari sekali.

Beragam piala kejuaraan internasional

Page 74: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 79

“Sudah waktunya untuk

menyalurkan hobi,” ujarnya. Pada 2003, sang kolonel pun memilih pensiun dari profesi yang

digeluti selama 30 tahun dan berkonsentrasi pada cupang.

Pergantian air dilakukan 2 pekan berikutnya. Saat burayak berukuran 0,5 cm, induk jantan dipindah ke dalam akuarium. Setelah berumur 5 minggu, burayak hidup mandiri dalam akuarium. Sampai berumur lebih dari 3 bulan cupang-cupang itu diberi pelet berprotein tinggi agar staminanya kuat.

Pilih cupangKepiawaian Jesda merawat kerabat

gurami itu patut diacungi jempol. Maklum ayah 2 anak itu sejatinya jebolan Ilmu Administrasi Bisnis dari Shenandoah College and Conservatory of Music, Virginia, Amerika Serikat. Jesda kenal cupang dari sang ayah. Namun, dahulu hanya cupang aduan. Lincahnya gaya renang cupang adu itu membuat Jesda kepincut. Sayang, saat melenjutkan kuliah di negeri Paman Sam ia harus meninggalkan cupang.

Sekembali ke Thailand, pengagum pantai-pantai di Bali itu malah masuk ke kedinasan angkatan darat yang jadi tradisi keluarga. Cupang pun semakin ditinggalkan. “Latihannya berat.

Tak ada waktu mengurus cupang,” kenangnya. Kerapkali, pria yang hobi merawat anggrek itu harus menginap di markas jika ada tamu penting kenegaraan.

Dari profesi perwira di angkatan darat selama 30 tahun itu, harta dan jabatan memang dekat dengan anak bungsu dari 2 bersaudara itu. Namun, kerinduan pada cupang terus mengentak-entak. Pada 2003, Jesda memutuskan pensiun. “Sudah waktunya untuk menyalurkan hobi,” kata pemilik rumah mewah yang disewakan seharga Rp32-juta per bulan itu.

Jesda pun berburu indukan-indukan berkualitas langsung ke habitat asal. Thailand sumber plakat dan halfmoon, Indonesia gudangnya serit.

PresidenPilihan itu rupanya tak salah.

Prestasi demi prestasi mengantarkan Jesda ke kursi presiden pertama Thailand Betta Club (TBC). Itu jabatan ke-2 selain presiden di klub anggrek yang juga ia rintis. Jabatan presiden TBC dipegang selama 2 tahun. Tak puas bermain di lokal, bersama-sama peternak kawakan lain di Thailand, ia memperjuangkan TBC menjadi anggota International Betta Congress (IBC). Keanggotaan itu membuat cupang-cupang Thailand lebih dikenal oleh dunia sekaligus dapat mengikuti kontes berskala internasional.

Hasilnya TBC masuk dalam area 6 meliputi Asia Pasifik dan bergabung bersama Australia, Indonesia, Filipina,

Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Jam terbang Jesda sebagai juri internasional pun melesat. Ia kerap diundang menjadi penilai dalam kontes-kontes di Australia, Indonesia, dan Singapura.

Sembari itu, Jesda mengintip ilmu di

masing-masing negara. Tak lupa ia memboyong induk-induk

berkualitas untuk mencetak cupang juara. Pantas di masa

pensiun, prestasi sang kolonel justru kian mencorong. (Lastioro Anmi Tambunan)

Halfmoon merah putih

Deretan akuarium di teras rumah

Foto

-fot

o: L

astio

ro A

nmi T

ambu

nan

Page 75: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I80

mereka

belajar

di lapangan

Di kolam yang rata-rata berukuran 2 m x 1 m itu, Eko menyortir lobster hasil budidaya.

Ia mencemplungkan diri ke kolam untuk mengangkat bibit berumur 2 bulan. Bibit yang dipanen mesti sehat, warna cerah, dan ukuran proporsional. Dari sebuah kolam, rata-rata ia mendapatkan 33 ekor. Artinya, dari 90 kolam ia memanen sekitar 2.970 ekor per hari. Si capit merah lolos sortir dimasukkan ke kotak plastik berlapis koran. Kapasitasnya 5—10 ekor. Kemudian ia memasukkan kotak plastik itu ke dalam boks styrofoam.

Agar dapat menuai 3.000 lobster per bulan, alumnus Teknik Industri, Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta itu menerapkan manajemen budidaya. Eko menebar 10—15 induk di setiap kolam. Sekali penebaran rata-rata 30 kolam. Interval penebaran sekitar 2 bulan. Untuk menghindari inses alias kawin sedarah, Eko mencari induk dari berbagai tempat.

Makmurkarena

Empat tahun lalu, jadwalnya ajek: mendorong pintu besi toko telepon seluler setiap pukul 09.00. Kini, Suluh Eko Prabowo mengelola 50 kolam lobster yang memberikan omzet

Rp10-juta/bulan.

Lobster

suluh eko prabowo:

Page 76: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 81

Seekor induk betina menghasilkan 500 telur. Dua bulan berselang anakan lobster siap jual. Dengan demikian, ia menuai rata-rata 100 ekor per hari atau 3.000 ekor per bulan. Itulah Eko, mantan penjual telepon seluler di Yogyakarta. Saat masih bekerja, penghasilannya paling Rp1,5-juta/bulan. “Saat pertama kali main lobster hanya dapat Rp500.000—600.000/bulan,” ucap Eko. Itu diperoleh dari penjualan 250—300 bibit per bulan berukuran 3—5 cm seharga Rp2.000/ekor.

Eko tidak putus asa. “Saya harus berani mengambil risiko,” katanya. Sebab itu, ia terus mencari peluang pasar lewat buku, majalah, dan internet. Di samping itu, Eko sering bertanya dan meminta saran peternak lain yang tergabung dalam Asosiasi Peternak Lobster Air Tawar Indonesia (Aplati) Yogyakarta.

Di kamarMenurut Eko, ketertertarikan pada lobster

muncul saat Trubus mengupas lobster pada 2002.

“Jualan telepon seluler yang dirintis 4 tahun silam ditinggalkan. Kini, ia membesarkan lobster air tawar karena keuntungannya lebih tinggi.”

Page 77: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I82

mereka

belajar

di lapangan

“Berbisnis losbter lebih prospektif. Sebagai ikan konsumsi yang tidak ada habisnya,” tuturnya.

Awalnya Eko mendapatkan lobster dari kerabatnya di Yogyakarta yang lebih awal menekuni. Tiga set induk dibeli seharga Rp6-juta—Rp7-juta. Selanjutnya, induk redclaw itu ditangkarkan dalam 3 akuarium berukuran 1 m x 0,5 m x 0,3 m yang ditaruh di depan kamar rumah seluas 24 m2.

Dua bulan dipelihara Cherax quadricarinatus itu mulai tampak ada yang menggendong telur. Dari satu akuarium setidaknya Eko mendapat

300—500 telur. Setelah dibesarkan menjadi bibit berukuran 5 cm, ia baru berani menjual. Mulanya, Eko mendapat permintaan dari seorang kenalan di Yogyakarta. Sebanyak 100—300 bibit senilai Rp500.000—Rp700.000 habis terjual.

Sejak itu pangsa pasar Eko semakin meluas hingga Jepara, Magelang, Bojonegoro, Purworejo, Purwokerto, dan Probolinggo. Dari penjualan itu, Eko meraup keuntungan bersih rata-rata Rp1-juta/bulan. Laba itu dipakai lagi untuk menambah akuarium serta membangun kolam baru di Klaten dan Yogyakarta seluas 350 m2.

Setiap bulan Eko memanen 3.000 bibit ukuran 3—5 cm yang dipelihara selama 2 bulan. Menurut Eko, biaya produksi kecil, hanya Rp500/ekor. Dari penjualan rutin itu pendapatan Eko mencapai Rp4,5-juta/bulan. Jumlah itu di luar penjualan induk siap pijah berumur 6 bulan. Satu set induk—3 jantan dan 5 betina—dilepas seharga Rp300.000.

Pria 28 tahun itu mampu menjual 20 set induk/bulan ke beberapa plasma. “Biaya produksi untuk menghasilkan induk hanya Rp20.000/ekor,” katanya. Wajar kantongnya kian tebal dengan pemasukan tambahan sebesar Rp5,6-juta/bulan. “Terbukti saya bisa hidup makmur dari lobster,” ungkapnya.

Kiri-kanan (atas) Bibit lobster berukuran 5 cm. Ada 90 kolam lobster milik Eko di Kalasan Yogyakarta dan Farm lobster milik Eko seluas 350 m2

Induk siap pijah

Page 78: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 83

Banyak kendalaKesuksesan itu bukan tanpa duri. Pada

Desember 2003, Eko merugi Rp2-juta—Rp3-juta setelah 3 set induk dan 100 bibit mati. Penyebabnya sisa pakan cacing sutra membusuk hingga air kolam tercemar. Seperti ikan konsumsi lain, kualitas air merupakan kunci sukses budidaya. Idealnya pH air 6,5—7 dan suhu berkisar 24—260C. Ketersediaan oksigen terlarut sekitar 4 ppm. “Kekurangan oksigen terlarut menghambat pertumbuhan redclaw,” papar Eko. Amonia juga harus rendah bahkan jika perlu tidak ada.

Awal 2004 adalah tahun kelabu bagi Eko. Itu karena 300—450 bibit yang ditebar meregang nyawa. “Akibat sibuk melayani pelanggan, kolam lupa dikuras sehingga kotoran menumpuk dan menimbulkan cendawan di sekujur tubuh redclaw,” ucap pehobi bulutangkis itu. Uang sebesar Rp3-juta—Rp4-juta pun amblas.

Itu bukan kerugian terakhir. Pertengahan 2005, Eko mengalami musibah lebih besar setelah kehilangan 250 induk. Total kerugian mencapai Rp15-juta. Musababnya, fogging atau pengasapan lantaran Yogyakarta saat itu terjangkit wabah penyakit demam berdarah. Eko yang terlambat pulang usai mengantarkan

pesanan ke pelanggan mendapati sisa-sisa fogging meracuni 30 akuarium yang masuk melalui saluran filter air. “Bak disambar petir, cobaan itu datang secara tiba-tiba,” kata pria kelahiran 22 Maret 1979 itu.

Meski demikian, Eko tetap yakin lobster menjadi jalan hidupnya. Makanya ia berani memutuskan diri keluar dari pekerjaan sebagai pengawas penjualan telepon seluler. (Hermansyah)

Bibit dan calon induk berkualitas siap jual

Foto

-fot

o: H

erm

ansy

ah

Page 79: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I84

di lapangan

merekabelajar

LampuBukan

Aladin

karena

Mereka berenam belas mempunyai kesamaan: sukses di bidang agribisnis dan tak pernah belajar ilmu pertanian secara formal.

Mereka juga tak mempunyai lampu aladin. Sukses mereka antara lain lantaran berguru di lapangan: di kebun sayuran, kolam gurami,

kebun anggrek, atau lahan pertanian lain.

Page 80: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)
Page 81: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I86

mereka

belajar

di lapangan

Memang banyak jalan menuju dunia per tan ian. Ada yang

merencanakan untuk menggeluti agribisnis seperti Tatang Hadinata. Alumnus Teknik Institut Teknologi Bandung itu semula berbisnis bidang periklanan dan jasa konstruksi. “Suatu saat saya tak mampu lagi bersaing di properti,” kata Tatang visioner. Pada 1983 ia meninggalkan dunia konstruksi dan beralih ke agribisnis.

Selain itu ada pula yang tak sengaja menggeluti agribisnis seperti Rizal Djaafarer. Namanya identik dengan kaktus dan anggrek bulan. Awal ketertarikan sulung 8 bersaudara itu terhadap agribisnis saat melihat foto-foto kaktus di lembaran majalah. Ketertarikannya itu mendorong Rizal membeli, merawat, dan memperbanyak kaktus. Ketika populasi tanaman gurun kian banyak itulah ia tergelitik untuk menjualnya. Saat itu Rizal yang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung) merambah jagat agribisnis.

Jatuh-bangun Keruan saja orangtua Rizal keberatan

karena lebih menginginkan anaknya menyelesaikan kuliah hingga meraih gelar sarjana. Harapan lain orangtuanya, Rizal kembali ke kampung halaman di

Rengat, Provinsi Riau, menjadi pegawai negeri sipil, seperti

ayahnya. Namun, kelahiran 14 Desember 1953 itu bergeming. Ia telanjur jatuh cinta pada dunia agribisnis.

U n t u k m e n g g e l u t i agribisnis tak selalu mulus.

Apalagi jika sebelumnya, orang itu menduduki jabatan penting dengan gaji memadai. Lihatlah Aris Budiman ketika menyampaikan rencana berhenti bekerja pada ibunya.

Sang bunda berujar sengit, “Bocah edan!” Begitu juga 4 kakak Aris Budiman, menolak rencana itu. Pada 1993 Adeng—sapaan

pria 37 tahun itu—menempati pos penting, kepala cabang Yogyakarta dan Jawa Tengah sebuah perusahaan elektronik terkemuka.

Page 82: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 87

Gajinya yang 8 digit sejatinya lebih dari cukup untuk hidup di Yogyakarta yang biaya hidupnya relatif rendah.

Toh, tanpa restu ibu, Aris Budiman menerjuni bisnis adenium. Restu akhirnya turun juga ketika ia meraih sukses berbisnis mawar gurun. Pendapatannya minimal 10 kali lipat lebih besar ketimbang gaji yang dulu diterima. “Ibu sekarang senang. Sebulan sekali ia datang ke Watu Putih,” ujar Adeng. Watu Putih nama nurseri milik Adeng di Kaliurang, Yogyakarta. Ibu mana yang tak bahagia berjalan di antara elok bunga adenium bermekaran? Apalagi jika bunga itu juga mendatangkan rezeki bagi anaknya.

Sukses mereka tak datang seketika. Berbagai hambatan menghadang saat mereka menjemput sukses. “Tapi apakah tidak sebaiknya kita mencari jalan keluar, bukannya kabur?” ujar JK Soetanto yang sohor sebagai pekebun melon dan semangka bermutu. Mantan pebisnis jasa konstruksi itu beberapa kali mengalami kegagalan saat mengebunkan bawang putih seluas 10 ha. Dari Rp50-juta modal yang ditanam, cuma kembali Rp2,5-juta.

Kegagalan yang acap disebut sukses tertunda itu wajar saja. “Masuk dunia pertanian itu harus diterjuni sendiri. Kapital tak kalah penting karena pasti gagal dulu,” kata Soetanto. Mengapa kegagalan itu terjadi? Antara lain karena minimnya pengetahuan pertanian akibat mereka tak pernah

belajar ilmu pertanian secara formal. “Pupuk NPK saja waktu itu saya tak tahu,” kata Soetanto jujur. Pernah melon produksinya ditolak pedagang pasar tradisional. “Ini mah bukan melon, tapi cucunya melon,” kata pedagang seperti diulangi Soetanto itu. Ukuran melon itu memang mungil akibat salah memilih lokasi tanam.

Tatang Hadinata yang kini sohor sebagai pekebun sayuran hidroponik itu sempat pula emosi pada awal beragribisnis. Musababnya puluhan kilogram wortel hanya dihargai Rp10.000. “Kalau cuma segitu ya dimakan saja, enggak usah dijual,” kata Tatang kecewa. Ia pun meninggalkan pasar Ramayana, Bogor, dan pulang membawa umbi Daucus carrota. Jika akhirnya sukses, itu lantaran mereka tak larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Dari kegagalan itu mereka justru berguru. Lalu menemukan jawaban: mengapa gagal? Bagaimana mencegahnya? Ada yang bilang itulah SPP yang harus dibayarkan ketika mereka “kuliah” di lapangan.

Berikut 16 pelaku agribisnis di berbagai sektor pertanian yang mendulang sukses setelah jatuh-bangun. Di luar sana masih banyak kisah sukses lain yang belum Trubus tampilkan. Urutan berikut bukan bentuk pemeringkatan, tapi hanya berdasarkan alfabetis.

Foto

-fot

o: D

estik

a C

ahya

na, D

ian

Adi

jaya

Sus

anto

, Evy

Sya

riefa

, & D

ok T

rubu

s

Citra asal Indonesia dikembangkan di Thailand

Page 83: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I88

mereka

belajar

di lapangan

Aris BudimanBonsai Lalu Adenium

Menyebut Aris Budiaman identik dengan adenium. Kamboja jepang memang andalan bisnis nurseri Watu Putih, milik Adeng—sapaan pria kelahiran Pekalongan 27 Desember 1970 itu. Alumnus Jurusan Akuntansi STIE YKPN Yogyakarta itu menangguk omzet ratusan juta rupiah per bulan dari penjualan adenium yang digeluti sejak 1998. Sukses Adeng antara lain lantaran kerja keras: siang-malam men-training mawar gurun.

Bernard SadhaniKontraktor Berbisnis Durian

Lima belas tahun silam, kontraktor itu mengebunkan durian monthong di Desa Murnisari, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Dari luasan 14 ha, ia rata-rata menuai 50 ton per tahun. Selain itu alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu juga mengelola 15 ha kebun durian, lokasinya 3 km dari kebun pertama. “Enam tahun pertama saya gagal. SPP sekolah saya lebih dari Rp500-juta,” katanya. I tu untuk mengatasi serangan Phytophthora palmivora dan mengganti bibit.

Boedi MranataTergiur Liur Walet

Saat hendak “beternak” walet, keluarga besar Boedi menentangnya. Alasannya karena mitos, mengembangkan walet butuh tumbal: salah satu anggota keluarganya bakal mati. Namun, kini 21 tahun kemudian puluhan rumah walet kelahiran Banyuwangi 56 tahun lalu itu tersebar di berbagai lokasi seperti Bali, Jepara, dan Banten. Liur-liur walet itulah yang mendatangkan dolar ke rekening doktor Biologi alumnus Universiteit Hamburg, Jerman.

Budi DharmawanDi Cengkih Kita Jaya

Purnawirawan perwira Angkatan Laut itu pemilik PT Zanzibar Cengkeh. Itulah salah satu perkebunan cengkih terluas di Indonesia, 2.300 ha tersebar di berbagai lokasi. Alumnus Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung itu juga membidaniPT Hortimart Utama yang memproduksi bibit tanaman buah. Ia juga membudidayakan lengkeng itoh, rambutan, pepaya, dan buah naga yang diminati pasar Semarang. Kiprah agribisnisnya dimulai pada 1970.

Page 84: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 89

Chandra Gunawan HendartoMenjual Kemolekan Bunga

“Adenium marak karena jasa Chandra. Ia pendobrak pasar adenium di tanahair,” ujar Handry Chuhairy, pebisnis adenium di Tangerang. Di bawah bendera nurseri Godongijo, alumnus University of San Fransisco itu memperkenalkan (kembali) mawar gurun. Kini banyak hobiis yang tergila-gila kemolekan bunga dan bonggol adenium yang diperkenalkan Chandra pada 1992. Sebelumnya ia lebih dikenal sebagai pebisnis reptil.

Gregori Garnadi HambaliKebanggaan Selembar Daun

Mengubah warna menjadi bisnis menggiurkan. Itulah Gregori Garnadi Hambali yang sukses menyilangkan Aglaonema rotundum dan A. commutatum tricolor dan menghasilkan pride of sumatera berdaun merah pada 1982. Semula daun-daun aglaonema spesies senantiasa berwarna hijau. Sejak kelahiran pride of sumatera, hibrida baru bermunculan dari tangan dingin alumnus Biologi University of Birmingham itu. Greg pekerja keras: sehari ia menyilangkan 1.000 tanaman.

JK SoetantoJambu Citra dan Melon Eksklusif

Pria kelahiran Semarang itu berlatar belakang pendidikan Teknik Sipil alumnus Institut Teknologi Bandung. Soetanto (59) mengelola mangga arumanis, khioe sawoi, serta jambu air pink rose apple dan citra seluas 60 ha. Ayah 2 anak itu juga memproduksi melon bermutu. Semua unit usahanya di bawah naungan PT Bogatani. Salah satu kiat bisnisnya, menghasilkan produk bermutu dan mampu membaca keinginan pasar karena intens beragribisnis sejak 1982.

Mikhael Wuryaning SetyawatiMerias Bisnis Mahkota Dewa

Buah mahkota dewa seukuran bola pingpong andalan Ning Harmanto—begitu perempuan 50 tahun itu disapa—meraup laba. Omzet puluhan juta rupiah per bulan berkat perniagaan anggota famili Thymelaeceae itu yang sohor sebagai panasea. Profesi lulusan Akademi Bahasa Asing itu semula merias pengantin. Namun, dari Semper, Jakarta Utara, ia mengendalikan bisnis mahkota dewa yang dirintis sejak 1999.

Page 85: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I90

mereka

belajar

di lapangan

Muhammad SuwedJalan Hidup Persia

Cikal-bakal bisnis Muhammad Suwed dari rumah kontrakan di Yogyakarta pada 1988. Saat itu ia masih mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran, tak pernah belajar formal cara membiakkan kucing. Sekarang ia mengelola cattery Ganswed bersama istri Jalilah Ganis di Ciawi, Kabupaten Bogor. Di atas lahan 1.300 m2 itu mereka menghasilkan persia-persia berkualitas yang acap menjuarai kontes.

Pami HernadiSetia pada Kaktus

Bagi Pami komoditas andalan untuk meraup laba adalah kaktus dan sukulen. Sejak 1975 alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan itu menggeluti kaktus. Di Lembang, Bandung, pemilik nurseri Venita itu menyediakan 1.500 jenis kaktus, 65 spesies echevaria,100 spesies haworthia, 150 spesies agave, dan 100 spesies aloe.

Prakoso HeryonoBibit Buah Unggul

“Ayah kecewa, saya menjadi petani,” ujar Prakoso Heryono. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Namun, setelah melihat kemajuan pertanian Thailand, ia seperti terpanggil untuk menggeluti agribisnis. Sekarang Nonot—sapaan kelahiran Yogyakarta 4 November 1958 itu—sohor sebagai penyedia puluhan jenis bibit tanaman buah bermutu sejak 15 tahun lalu. Sayang, ayahnya yang polisi itu tak sempat melihat kejayaan Nonot beragribisnis.

Rizal DjaafarerBulan Bercahaya di Langensari

“Saya sedih ketika membeli anggrek Phalaenopsis violacea di Taiwan, ternyata berasal dari Kalimantan,” ujar pemilik Rizal Orchids di Langensari, Lembang. Keprihatinannya diwujudkan dengan menyilang-nyilangkan anggrek bulan. Ketika orang lain terbuai mimpi, Rizal malah terjaga untuk menyilangkan anggrek. Hingga kini sarjana muda Pendidikan Teknik Arsitektur alumnus Universitas Pendidikan Indonesia itu menghasilkan 1.300 hibrida. Hasil silangannya diminati penganggrek berbagai negara seperti Jerman, Belanda,dan Jepang.

Page 86: Mereka Belajar Dari Pengalaman (Kisah Sukses Pengusaha bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

TRUBUS GOLD EDITION - I 91

SujadiDari Guru ke Gurami

Jika terus mengabdi sebagai guru mungkin Sujadi bagai Umar Bakri seperti dalam lagu Iwan Fals. Ia tak perlu pakai sepeda butut, tetapi ke mana pun pergi tersedia mobil di rumahnya. Profesi guru agama di SD Karangkemiri, Cilacap, memang ditinggalkannya dan beralih menjadi peternak gurami pada 1990. Pria 52 tahun itu mengelola 45 kolam masing-masing seluas 400—500 m2.

Suwarso PawakaDurian Unggul Jatuhan

Tujuh tahun pascapensiun, perwira menengah TNI Angkatan Darat itu membuka kebun durian di Cihideung, Kabupaten Bogor. Sebagian varietas yang ditanam di kebun Warso farm itu adalah monthong dan sitokong. Di kebun itulah belum lama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers.

Tatang HadinataSayuran Ekslusif dan Bunga Potong

Sayuran paprika, tomat, shisito alias cabai jepang, dan kyuri, serta bunga krisan dan mawar potong sebagian tambang rupiah Tatang Hadinata. Ia mengadopsi teknologi hidroponik untuk membudidayakan sayuran eksklusif. PT Saung Mirwan yang ia dirikan sejak 1983 mengelola lahan 10 ha dan menjalin kemitraan dengan puluhan pekebun.

Vincent Edi YasinLiukan Bisnis Naga

Sarjana Teknik itu mengelola 5 ha kebun buah naga di Pacet, Mojokerto. Buah kerabat kaktus itu kini mengisi pasar Surabaya dan sekitarnya. Selain itu pengusaha sukucadang kendaraan bermotor itu juga mengebunkan durian dan beragam sayuran. Vincent membuka kebun pada 2002.

Dunia agribisnis ibarat magnet yang terus menarik mereka. Pada mulanya kegagalan membudidayakan beragam komoditas memang sulit ditepis. Namun, di ujung getir itu mereka mencecap manisnya beragribisnis. Sukses mereka bukan dengan menggosok lampu aladin, tapi berkat cucuran keringat. (Sardi Duryatmo)