Top Banner

of 21

Menyikapi Deklarasi Khilafah Ibnu 'Awwad

Mar 03, 2016

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 1

    SIKAP THOLABATUL 'ILMI DALAM MENYIKAPI KEKHILAFAHAN IBROHIM IBNU 'AWWAD . PENDAHULUAN. Bismillaahir Rohmaanir Rohiim... Alhamdulillaahil Qowiyyil Matiin, wash-sholaatu was-salaamu 'alaa man Bu'itsa bis-saifi Rohmatan lil 'aalamiin. Amma ba'du. Merupakan sebuah kewajiban bagi seorang Muslim -terlebih dia itu adalah seorang penuntut ilmu- untuk mengetahui ilmu dan dasar pijakan dari setiap perkara dalam Diin ini. Karena Diin ini bersikap tauqifiyyah, yang berpijak pada dasar-dasar yang telah ada. Tak boleh bagi seorang Muslim untuk melakukan suatu amalan 'ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Diin ini. Dari Ummul Mu`minin 'Aisyah , bahwasanya Rasulullaah bersabda,

    "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam agama kami, maka amalan tersebut tertolak". (HR. Muslim, dan hadits yang senada yang diriwayatkan oleh beliau juga dan Al-Imam Al-Bukhori). Maka jika telah begitu, terpisahlah seorang penuntut ilmu ini dari orang-orang yang sesat jalannya dikalangan ahlul bida', shohibul ahwa`, dan golongan orang-orang yang taqlid. Karena ia menjalankan Diin ini atas dasar ilmu dan keimanan, bukan berdasarkan hawa nafsu, selera, atau taqlid buta. Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah Abul 'Abbaas Ahmad ibn 'Abdil Haalim ibn 'Abdis Salaam berkata,

    "Barangsiapa yang kehilangan dalil, maka sesatlah jalannya". Maka inilah sedikit hujjah dan bayan kami dalam membela Daulah Khilafah Islamiyyah yang terdzolimi. Berdasarkan nash-nash beserta penjelasan dari para 'ulama Salaf. Bukan taqlid, hawa nafsu, sifat iri, atau kedengkian. Inilah sedikit hujjah dan ilmu kami dalam rangka membela Daulah yang terdzolimi.

  • 2

    I. PENJELASAN 'ULAMA MENGENAI MAKNA ISTIKHLAF (PEMBERIAN KEKUASAAN) DAN TAMKIN, SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KEKHILAFAHAN IBNU 'AWWAD. Allaah berfirman, "Dan Allaah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang sholih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq". (QS. An-Nuur:55) Asy-Syaikh Al-Mujahid Abu Muhammad Al-'Adnaniy berkata, "Istikhlaf (pemberian kekuasaan), Tamkin (peneguhan kekusaan) serta rasa aman, adalah janji yang Allaah tetapkan bagi kaum muslimin, akan tetapi dengan syarat;

    Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.

    Yaitu iman kepada Allaah dan menjauhi segala pintu-pintu syirik dan ragam-ragamnya, yang disertai pemasrahan diri kepada perintah Allaah di dalam hal besar dan kecil, dan ketaatan; yaitu ketaatan yang menjadikan hawa nafsu, keinginan jiwa serta kecenderungan hati tunduk mengikuti apa yang dibawa Nabi . Dan janji itu tidak akan terealisasi kecuali dengan syarat ini; di mana dengannya diraihlah kemampuan untuk memakmurkan bumi dan melakukan perbaikan, melenyapkan kedzoliman, membentangkan keadilan, serta merealisasikan rasa aman dan nyaman, dengan itu saja terwujud Kholifah yang mana Allaah telah mengabarkannya kepada malaikat". Al-Imam Ibnu Katsir berkata,

    . :

    . "Ini adalah janji dari Allaah kepada RasulNya . Karena Dia akan menjadikan umatnya sebagai Kholifah-Kholifah di muka bumi. Yakni, sebagai imam-imam (pemimpin-pemimpin) manusia, dan pengatur urusan mereka. Yang dengan sebab merekalah sebuah negara akan menjadi baik, dan menjadikkan manusia

  • 3

    tunduk kepada mereka. Dan mengganti rasa takut mereka menjadi aman dan tenang. Dan Allaah sungguh telah melakukan hal tersebut. Puji dan syukur kepadaNya". Al-Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir Ath-Thobariy berkata,

    "Sungguh, Allaah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan 'Ajam (non Arab) kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholih. Sungguh pula, Allaah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya". Para 'ulama mufassir seperti Al-Imam Asy-Syaukani dan Al-Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa janji Allaah dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad . Dalam tafsirnya Al-Imam Al-Qurthubi berkata,

    "Janji Allaah ini tidak terbatas hanya untuk Khulafa`ur Rosyidin yang empat, sampai harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhajirin dan kaum Muslimin yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini" . "Maka pendapat yang shohih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad , tidak bersifat khusus". Al-Imam Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukani berkata,

    .

    :

    "Inilah janji dari Allaah kepada orang yang beriman kepadaNya dan melaksanakan amal sholih dengan pemberian kekuasaan (kekhilafahan) bagi mereka di muka bumi, sebagaimana Allaah pernah mengangkat orang-orang sebelum mereka berkuasa dari umat manusia. Inilah janji yang berlaku umum bagi seluruh generasi umat ini. Ada yang menyatakan bahwa janji ini hanya berlaku bagi Sahabat saja. Sesungguhnya, pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Alasannya, iman dan amal sholih tidak hanya

  • 4

    khusus ada pada Sahabat saja, namun bisa saja dipenuhi oleh setiap generasi dari umat ini". (Fathul Qodir). Asy-Syaikh Abdurrohman As-Sa'adi berkata tentang keumuman janji Allaah kepada seluruh kaum muslimin ini,

    "(Janji Allaah ini) akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum Muslimin) menegakkan iman dan amal sholih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allaah, adalah sebuah kepastian". (Tafsir As-Sa'adi) Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin ibnu Muhammad ibni Mukhtar Asy-Syinqithi berkata,

    - - : :

    "Allaah menyebutkan dalam Ayat yang Mulia ini bahwa Dia berjanji kepada orang yang beriman dan beramal sholih dikalangan ummat ini, Sungguh-sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, yakni menjadikan mereka Kholifah-Kholifah di muka bumi, yang mana mereka menjadi pengatur di dalamnya, dan sebagai penyatu kalimat. Dan ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa taat kepada Allaah dengan beriman kepadanya, dan amalan sholih merupakan sebab kekuatan dan berkuasanya mereka di muka bumi dan bersatunya kalimat". (Adh-wa`ul Bayan Fii Idhohil Qur`an bil Qur`an). Itulah beberapa ucapan 'ulama yang telah kami kutip. Adapun hubungannya dengan Kekhilafahan Ibrohim Ibnu 'Awwad , maka kita telah mengetahui keimanan mereka terhadap Allaah dan RasulNya, beserta amalan-amalan sholih mereka dalam rangka menegakkan Kalimah Tauhiid Laa Ilaaha Illallaah, pelaksanaan hudud dan tahkim syar'iyyah di wilayah kekuasaan mereka. Dan tak lupa bahwa merekalah kaum yang dengan sangat berani menghancurkan kesyirikan dan para pelaku kesyirikan di kalangan anjing-anjing najis rofidhoh, 'ibadul qubaab wal qubr, thowaghit, murtaddun, beserta mereka-mereka yang melakukan syirik dustur atau syirik hukum. Maka sudah sepantasnya mereka mendapatkan janji dari Allaah berupa Kekhilafahan dan tamkin. Inilah janji Allaah, laa yulkhliful mii'aad. Dan janji berupa pemberian kekuasaan dan tamkin ini berlaku bagi seluruh

  • 5

    kaum Muslimin, baik di Timur maupun Barat. Tidak khusus bagi para Sahabat saja. Bukan pula dikhususkan bagi Al-Imam Mahdi saja. Karena ada sebagian orang yang menolak Kekhilafahan ini dikarenakan mereka berpendapat tidak ada Khilafah di akhir zaman kecuali ia dipimpin oleh Al-Mahdi. Adapun bantahannya diakhir pembahasan berupa penjabaran atas syubhat-syubhat ini. Dan terbagi menjadi beberapa point; - Bahwasanya penyebutan Kholifah itu umum bagi siapapun yang telah mendapat janji Allaah. - Sanggahan terhadap mereka-mereka yang menolak Khilafah ini atas sebab atsar dari Ibnu 'Umar, tanpa mereka fahami maksudnya barang sedikit.

    II. AL-IMAM AL-MUTAGHOLLIB; KEWAJIBAN TAAT DAN MEMBAI'AT KEPADANYA. Sebelum wafatnya, Yazid bin Mu'awiyyah mewasiatkan kepemimpinannya kepada anaknya, Mu'awiyyah bin Yazid bin Mu'awiyyah . Sementara ijtihad yang dilakukan 'Abdullah ibnu Zubair bin Awwam berupa penentangan terhadap kepemimpinan Yazid terus berlangsung. Setelah Yazid meninggal, maka Mu'awiyyah pun naik tahta sebagai pemimpin kaum Muslimin dari Kekhilafahan Bani Umayyah. Disisi lain 'Abdullah bin Zubair terus melakukan penentangan tersebut. Pengikutnya adalah 'Abdullaah bin Muthi', 'Abdullaah bin Handholah, dan sebagian besar kaum Muslimin di Madinah. Melihat keadaan ini, maka Mu'awiyyah bin Yazid turun dari tahtanya tanpa memberitahu siapa penerus kekholifahan setelahnya. Sampai pada akhir hayatnya, dan tidak diketahui rimbanya. Selepas itu, 'Abdullah bin Zubair naik tahta dan kaum Muslimin pun membai'atnya sebagai Kholifah. Sementara disisi lain, terjadi kekosongan kepemimpinan di kalangan Bani Umayyah. Maka tampillah Marwan bin Hakam dalam rangka merebut kembali tampuk Kekhilafahan di kalangan Bani Umayyah. Sementara seluruh wilayah kaum Muslimin telah dikuasai oleh Kholifah yang sah saat itu. Hanya sebagian kecil dari wilayah Syam bagian selatan saja yang dikuasai Marwan bin Hakam. Sampai pada akhir kematiannya, maka perjuangannya diteruskan oleh anaknya bernama 'Abdul Malik bin Marwan. Ia pun mulai melancarkan penentangan terhadap Kholifah 'Abdullah bin Zubair . Sampai pada akhirnya kekuasaan beliau pun hancur, dan beliau kala itu hanya fokus 'ibadah di depan Ka'bah. Sementara Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi yang merupakan

  • 6

    gubernur di kepemimpinan 'Abdul Malik bin Marwan terus menyerangnya dengan manjanik. Sampai pada akhirnya beliau pun meninggal di hadapan musuh-musuhnya. Semoga Allaah meridhoi Kholifah 'Abdullah bin Zubair. Seorang Sahabat yang ketika lahir di tahnik oleh Rasulullaah , dan merupakan keponakan dari wanita yang mulia, Ummul Mu`minin 'Aisyah . Setelah itu, tampuk kekhilafahan jatuh di tangan 'Abdul Malik bin Marwan. Dan beliau dikenal pula dikalangan 'ulama dan ahli sejarah sebagai orang yang mengembalikan kekhilafahan Bani Umayyah. Dan para 'ulama sepakat akan keabsahan kekhilafahannya tersebut. Karena salah satu syarat sahnya seorang Kholifah adalah tatkala ia menjadi Imam Mutaghollib, atau yang menaklukkan suatu kaum dengan pedangnya. Dan wajib bagi seluruh kaum Muslimin taat dan membai'at padanya. Berikut akan kami kutipkan penjelasan dari para 'ulama tentang hal tersebut. Al-Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hanbal berkata,

    :

    "Barangsiapa yang berkuasa atas mereka yakni al-wulaat (seorang pemimpin) dengan pedangnya sampai ia menjadi seorang Kholifah, dan ia dinamakan Amirul Mu`minin, maka tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allaah dan hari akhir untuk mabit (bermalam) tanpa menganggapnya sebagai seorang imam. Meski ia itu baik atau fajir". (Al-Ahkam As-Sulthoniyyah, Abu Ya'la, hal. 23). Al-Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafi'I berkata,

    "Setiap orang yang melakukan penaklukkan atas sebuah kekhilafahan dengan pedangnya sehingga ia dinamakan sebagai Kholifah, dan orang-orang bersepakat atasnya, maka dia adalah seorang Kholifah". (Manaqib Asy-Syafi'i). Asy-Syaikh Asy-Syinqithi berkata,

    "Jika seorang budak secara hakekat berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan

  • 7

    gejolak fitnah dan menghindari tertumpahnya darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat". (Adh-waul Bayan). Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Baththol ,

    "Para ahli fiqih telah sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat". Syaikhul Islam Muhammad ibnu 'Abdil Wahhab berkata,

    "Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa siapa yang berhasil menaklukkan satu negeri atau beberapa negeri, maka hukumnya sebagai imam dalam segala sesuatu". Asy-Syaikh 'Abdul Lathif ibnu 'Abdirrohman ibnu Hasan berkata,

    ...

    "Dan para 'ulama bersepakat untuk taat kepada siapapun yang melakukan penaklukkan atas mereka dalam hal yang ma'ruf, mereka melihat pengaruh dari hukum-hukumnya, dan kebaikan kepemimpinannya. Dan mereka tidak berselisih dari dua hal ini. Dan mereka memandang larangan dari khuruj (memberontak) kepada mereka dengan pedang dan memecah-belah umat. Meskipun pemimpin-pemimpin tersebut fasik selama tidak nampak kekufuran nyata. Dan nash-nash tentang hal tersebut ada dari imam-imam yang empat, selain mereka, yang semisal, maupun yang mengikuti mereka". (Majmu'atur Rosa`il wal Masa`ilin Najdiyyah). Adapun di point ke dua ini, kami telah menjabarkan beberapa perkataan 'ulama tentang keabsahan seseorang yang berkuasa atas sebuah kaum dengan pedang. Dan dikuatkan oleh sejarah perebutan kekuasaan -atas sebab ijtihad mereka- di zaman 'Abdullah ibnu Zubair ibni Awwam dan 'Abdul

  • 8

    Malik bin Marwan . Dan para 'ulama telah sepakat atas kepemimpinan mereka. Maka apa gerangan jika ada sebuah kaum yang dipimpin oleh seorang keturunan Quroisy dan keturunan Rasulullaah , menaklukkan negeri-negeri kaum musyrikin syi`ah dan negeri-negeri buatan penjajah salibis Eropa yang tertuang dalam perjanjian Sykes Pycot??? Lantas mereka berkuasa di dalamnya, membebaskan para tahanan kaum Muslimin Ahlus Sunnah dari penjara-penjara anjing syi`ah, mengangkat kehormatan Muslimah, memerdekakan kaum Muslimin setelah mereka mendapat kehinaan, lalu menjadikan Kalimah Allaah meninggi, menerapkan syari'at Islaam dan hudud di dalamnya, menghinakan kaum kafir, merendahkan mereka, menarik jizyah dari mereka, dan membuat takut dan gentar kaum musyrikin, yahudi, nashrani, munafiqin, dan murtaddin??? Maka mereka lebih sah lagi tentunya!!!

    III. LARANGAN MEMBERONTAK KEPADA IMAM, MESKIPUN FASIQ DAN DZOLIM, SELAMA TIDAK NAMPAK KEKUFURAN YANG NYATA. Dari Abu Huroiroh , ia berkata, Bersabda Rasulullah ,

    "Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sungguh dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang membangkang kepada penguasa maka dia telah bermaksiat kepadaku". (Muttafaq 'Alaih). Adapun pembahasan dalam masalah ini (yaitu kewajiban taat kepada penguasa meskipun fasiq dan dzolim selama tidak nampak kafir bawwah), maka silahkan lihat di artikel berikut, http://attauhiid-assunnah.blogspot.com/2011/08/apakah-wajib-taat-kepada-penguasa-yang.html Al-Imam Muslim dalam kitab Shohihnya (Kitabul Imarah) menyebutkan sebuah kisah, yaitu ketika 'Abdullaah bin Umar datang kepada 'Abdullaah bin Muthi'i ketika telah terjadi peristiwa Al-Harroh pada jaman Yazid bin Muawiyyah. 'Abdullah bin Muthi berkata, Berikan bantal kepada Abu 'Abdirrahman (yaitu Ibnu Umar ). Kemudian Ibnu Umar berkata,

  • 9

    "Bahwasannya aku tidak datang kepadamu untuk duduk. Akan tetapi aku datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah , yaitu beliau bersabda, Barangsiapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa), maka dia akan menjumpai Allaah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (alasan) untuk membela diri. Dan barangsiapa yang mati, sedangkan tidak ada (ikatan) baiat di lehernya, maka ia mati seperti mati dalam keadaan jahiliyyah` ". (HR. Muslim). Al-Imam An-Nawawi berkata,

    , "Adapun keluar dari ketaatan terhadap para pemimpin atau penguasa serta memeranginya, maka hukumnya adalah haram menurut kesepakat kaum muslimin. Walaupun pemimpin tersebut adalah dzolim lagi fasiq". (Syarah Shahih Muslim). Al-Imam Ahmad berkata,

    "Barangsiapa yang keluar dari pemimpin dari sekian pemimpin-pemimpin kaum muslimin, yang mana mereka telah bersepakat atas imam tersebut dan menetapkan baginya tampuk kekhilafahan, baik itu karena keridhoan mereka, atau atas sebab penaklukkan, maka orang yang keluar dari pemimpin ini telah mematahkan persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar Rasulullaah

    . Jika orang ini mati, maki dia mati jahiliyyah". Ibnu Qudamah Al-Hanbali juga berkata,

    ] ]

    "Barangsiapa yang memegang tampuk kekhilafahan dan manusia bersepakat atasnya, atau atas sebab penaklukkan dengan pedang sampai ia menjadi seorang Kholifah atau disebut Amirul Mu`minin, maka wajib untuk

  • 10

    mentaatinya dan harom menyelisihinya. Dan keluar dari ketaatan kepadanya, maka ia telah mematahkan persatuan kaum Muslimin". Itulah penjelasan para 'ulama mengenai wajibnya taat kepada pemimpin -meskipun dzolim dan fasiq- selama tidak nampak kekufuran nyata. Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa harom bagi sebuah kaum melepaskan bai'at kepada pemimpinnya. Terlebih jika kemudian mereka malah memerangi pemimpin yang sah tersebut, lalu kemudian lebih memilih untuk berbai'at kepada sebuah tandzim. Hal ini jelas merupakan sebuah kebid'ahan dan perkaru baru yang tak ada dasarnya. Ditambah ia malah bergabung dengan faksi-faksi murtad dukungan kafir barat dalam rangka memerangi Kekhilfahan yang sah. Atau mungkin bisa jadi alasan para pengkhianat tersebut mencabut bai'at, karena sudah menganggap Amirul Mu`minin kafir atau murtad. Lantas, siapakah yang khowarij sebenarnya???

    IV. CIRI KHOWARIJ, BERUPA PENOLAKAN MEREKA TERHADAP SYARAT KEPEMIMPINAN DARI QUROISY. DAN TENTANG NASAB KHOLIFATUL MU `MININ. Bahkan Asy-Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berkata,

    "Sesungguhnya dengan hal tersebut, mereka mengikuti manhajnya khowarij dan mu'tazilah yang meniadakan syarat i'tibar tentang keimamahan bagi orang-orang keturunan Quroisy". Beliau mengatakan hal tersebut tatkala menjelaskan tentang realita orang-orang dan menyesatkan dikalangan 'ulama pemerintah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai masyaikh dan bergelar salafi (baca; salafi maz'um). Dimana mereka menjuluki para thoghut di zaman ini dengan gelar Amirul Mu`minin atau Imamul Muslimin. Tak peduli thoghut itu keturunan Quroisy atau bukan. Bagi mereka, jika hajat mereka telah terpenuhi, jika mereka telah mendapatkan gaji dan fasilitas-fasilitas lainnya, dan sang thoghut tidak mengancam jiwa, harta, dan keluarganya, maka thoghut tersebut diangkat sebagai Ulil Amri. Merekalah corong thoghut, merekalah yang gemar menjuluki kaum muwahhidin sebagai khowarij. Padahal realitanya, merekalah yang khowarij karena meniadakan syarat i'tibar tentang wajibnya imam dari Quroisy. Dan ini masuk dalam masalah yang telah disepakati oleh para 'ulama. Bahkan para

  • 11

    'ulama ada yang menyebutkan tentang salah satu ciri khowarij atau mu'tazilah, yakni menolak syarat imamah Quroisy. Itulah sebabnya Asy-Syaikh 'Aashim (bukan Ma'shum/terjaga dari dosa dan kesalahan) menyebut mereka-mereka yang meniadakan syarat ini sebagai khowarij atau mu'tazilah. Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullaah ,

    "Sesungguhnya urusan (agama) ini ada di tangan orang Quroisy. Tidak ada yang memusuhi mereka seorangpun, melainkan Allaah akan menyungkurkan wajah mereka ke dalam neraka. Selama mereka (pemimpin Quroisy) menegakkan Agama". Berkata Al-Qodhi 'Iyadh rohimahulloh,

    .:

    "Seluruh 'ulama telah memberi syarat bahwa untuk menjadi imam haruslah Quroisy (keturunan Quroisy), dan mereka memasukkan hal ini ke dalam masaa`ilul ijma'. Dan tidak ada seorang salaf-pun yang menyelisihi hal tersebut dan begitupun setelah mereka di seluruh tempat". Beliau juga berkata, "Dan tidaklah dianggap pendapat khowarij dan orang-orang yang sepakat dengannya di kalangan mu'tazilah". (Al-Fath). Bahkan Al-Imam An-Nawawi pun dalam Syarah terhadap hadits-hadits tentang keimamahan Quroisy, menyebutkan bahwa kekhilafahan itu khusus untuk Quroisy (keturunan Quroisy), dan bukan untuk selain mereka. Dan hal tersebut menjadi ijma' dikalangan Sahabat, tabi'in, dan 'ulama-'ulama setelah mereka. (Lihat Syaroh Shohih Muslim jilid 12 halaman 200). Siapakah Amirul Mukminin Asy-Syaikh Abu Bakr Al-Baghdadi? Beliau juga dipanggil Abud Dua. Nama beliau Ibrohim bin 'Awad bin Ibrohim Al-Badri Ar-Ridhawi Al-Musawi Al-Husaini Al-Hasyimi Al-Qurasy An-Nizary Al-'Adnany. Beliau dari keuturunan Urmush bin Ali bin 'Ied bin Badri bin Badruddin bin Kholil bin Husain bin 'Abdulloh bin Ibrohim Al-Awwah bin Asy-Syarif Yahya Izzuddin bin Asy-Syarif Basyir bin Majid bin Athiyyah bin Yala bin Duwaid bin Majid bin 'Abdurrohman bin Qasim bin Asy-Syarif Idris bin Jafar Az-Zakiy bin 'Ali Al-Hadi bin Muhammad Al-Jawwad bin 'Ali Ar-Ridho bin Musa Al-Kazhim bin Jafar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin 'Ali Zainal 'Abidin bin Husein bin 'Ali bin Abi Tholib.

  • 12

    Para ahli nasab di Iraq mengetahui bahwa nasab Al-Badri adalah nasab yang bersambung sampai Sayyiduna Husain bin 'Ali rodhiyallahu anhuma. Dan orang-orang Irak mengenal kabilah Al-Badri dengan nama Albo Badri. Kabilah ini mayoritas tersebar di Diyala, Samarro` dan Baghdad. Dan orang terkenal pada abad ini dari kabilah Albo Badri adalah Asy-Syaikh Abu 'Abdirrohman Al-Badri. Beliau seorang ahli hadits. Al-'Allamah Al-Muhaddits Al-Musnid Asy-Syaikh Shubhi bin Jasim bin Humaid bin Hamd bin Sholih bin Musthofa bin Hasan bin 'Utsman bin Daulah bin Muhammad bin Badri Al-Badri Al-Husaini 1355 H1434 H.

    V. TENTANG AHLUL HALLI WAL 'AQDI, SIAPAKAH MEREKA? Para 'ulama telah menjelaskan tentang syarat-syarat sahnya sebuah jabatan kekhilafahan. Jika kita lihat pada sejarah awal mula generasi Islam, maka kita akan simpalkan sebagai berikut; - Melalui dalil-dalil tentang keutaman seorang sahabat dan intensitas kebersamaannya dengan Rasulullaah . - Ditunjuk Kholifah sebelumnya, sebagaimana Abu Bakar menunjuk 'Umar sebagai penggantinya, . - Proses At-Taghollub. Atau berkuasanya seseorang dengan pemaksaan dan pedangnya pada sebuah kaum. - Lalu yang keempat, adanya persetujuan Ahlul Halli wal 'Aqdi di kalangan Ahlusy Syaukah (orang yang punya kekuatan, keutamaan, dan pengaruh). Dan ini yang akan kita bahas selanjutnya, bi-idznillaah. Adapun jika kita melihat pada syarat-syarat di atas, maka beberapa syarat di atas telah terpenuhi di Kekhilafahan Ibrohim ibnu 'Awwad . Dalil-dalil menunjukkan tentang syarat mu'tabar di kalangan 'ulama Ahlus Sunnah tentang kepemimpinan harus dipegang orang Quroisy (keturunan Quroisy, -ed). Dan mereka menjadikan hal ini sebagai ijma' dan tak ada perselisihan di dalamnya. Bahkan mereka tatkala menyebutkan ciri khowarij, adalah yang menolak syarat mu'tabar ini. Semoga kita dijauhkan dari manhaj khowarij ini. Dan di atas sudah kami jelaskan tentang perkataan Asy-Syaikh Al-Maqdisi. Adapun sebagian 'ulama lain, ada yang menjadikan hal ini sebagai afdholiyyah

  • 13

    saja. Artinya boleh jika selain Quroisy memangku jabatan Kholifah. Terlebih jika tidak ada keturunan Quroisy yang berkompeten dalam masalah kepemimpinan. Akan tetapi kami tekankan kembali, bahwa agama ini bersikap tauqifiyyah. Harus bersandar pada dalil. Dan dalil-dalil yang telah kami sebutkan di atas menguatkan pendapat ini (yakni tentang kewajiban memilih pemimpin dari Quroisy). Lalu bukti keabsahan berikutnya, bahwasanya beliau menaklukkan suatu negeri dengan "pedangnya", alias dengan kekuatan dan paksaan. Dan negeri-negeri yang beliau taklukkan pun adalah negeri-negeri kafir dan terbatas pada batas-batas perjanjian Sykes Pycot, dan dipimpin oleh kaum murtad dan musyrik di kalangan syi`ah, lalu juga didalamnya banyak sekali syi`ar-syi`ar kekafiran, dan hukum Allaah tidak ditegakkan di dalamnya. Maka ini lebih sah lagi. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah mengatakan,

    .

    :

    "Bahkan menurut mereka ('ulama Ahlus Sunnah), bahwa kepemimpinan itu ditetapkan atas kesepakatan Ahlusy Syaukah atasnya. Seseorang tidak menjadi pemimpin kecuali jika ia disepakati oleh kalangan Ahlus Syaukah. Yang dengan ketaatan mereka akan terwujud sebuah maksud kepemimpinan. Sebab maksud dari sebuah kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai'at dan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin. Oleh karenanya para imam salaf mengatakan, Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allaah perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allaah ". (Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah). Lalu yang perlu kami tekankan disini adalah mengenai sikap sebagian orang-orang yang katanya ta'dzimul 'ulama (menghormati dan menghargai 'ulama), padahal yang tepat adalah taqdisul 'ulama (mensucikan 'ulama). Mereka beranggapan bahwa Syaikh fulan dan 'allan itu senior, lebih banyak pengalaman, lebih tinggi ilmu dan derajatnya. Maka setiap perkara yang tidak disetujui para 'ulama tersebut adalah bathil dan mardud (tertolak). Termasuk

  • 14

    jika 'ulama-'ulama tersebut memvonis Daulah Khilafah Islamiyyah sebagai khowarij tanpa pijakan ilmu, maka mereka menganggap itu sebagai wahyu. Sebagai contoh, ada seorang 'ulama yang menyebut Daulah Khilafah ini sebagai keturunan Ibnu Muljam jika ada di Suriah. Akan tetapi jika mereka kembali ke Irak dan perjuangan mereka hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh kafir bernama Sykes Pycot, maka mereka adalah anak-cucu Husain . Ini jelas fatwa yang berlandaskan hawa nafsu dan kedzoliman. Istidlal "nyeleneh" yang tak boleh diambil oleh para penuntut ilmu. Dan yang perlu diketahui, bahwasanya kesepakatan semua Ahlul Halli wal 'Aqdi bukan syarat mutlak dalam menentukan sah atau tidaknya sebuah kekhilafahan. Karena tatkala Abu Bakar menetapkan 'Umar sebagai Kholifah setelahnya, ada sebagian orang yang tidak setuju. Sebagai contoh adalah Sa'd ibnu 'Ubadah. Dalam hal ini Al-Mawardi menjelaskan tentang syarat "keridho-an atau kesepakatan kaum Muslimin" terhadap Kekholifahan 'Umar,

    "Yang shohih adalah bai'atnya tetap terlaksana. Dan kerelaan para sahabat tentang keabsahan hal tersebut tidak mu'tabar. Karena bai'at 'Umar tidak berlandas pada keridho-an para sahabat. Karena imam dalam hal ini (penunjukkan imam selanjutnya) lebih berhak terhadap pilihannya, karena ia lebih tajam atau tepat". Maka yang dapat disimpulkan, bahwa keridho-an atau kesepakatan para 'ulama-'ulama secara menyeluruh bukan syarat mutlak akan keabsahan sebuah kepemimpinan. Jika seorang Kholifah hanya diba'at oleh sebagian kalangan Ahlul Halli wal 'Aqdi dan Ahlusy Syuro, maka ia tetap sah. Sebagaimana 'Umar menunjuk enam orang sahabat dalam menentukan siapa diantara mereka yang sah menjadi Kholifah berikutnya. Sementara sahabat yang lain tidak masuk dalam Syuro tersebut. Dan ini menjadi bukti akan keabsahan Kekhilafahan Ibrohim ibnu 'Awwad. Tak mesti 'ulama-'ulama Al-Qaeda setuju, tak mesti Taliban setuju, terlebih jika harus meminta persetujuan orang-orang sesat dan para thoghut beserta kaki-tangan mereka.

  • 15

    VI. TERAKHIR, SYUBHAT-SYUBHAT. Syubhat Pertama. Ada sebagian orang yang menolak Kekhilafahan ini dan berkata, "Tidak ada kekhilafahan 'alaa minhajin Nubuwwah sebelum Al-Imam Mahdi, yang ada hanyalah kerjaan-kerajaan", dan perkataan lain yang semakna. Mereka berdalil dengan hadits yang datang dari Sahabat Hudzaifah ibnul Yaman , dan diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Yang menceritakan tentang lima tahapan periode yang dilalui oleh umat Muhammad , mulai dari periode Nubuwwah, Khilafah 'Alaa Minhajin Nubuwwah, Mulkan 'Adhon, Mulkan Jabriyyan, dan terakhir kembalinya masa Khilafah 'Alaa Minhajin Nubuwwah. Setelah menyebutkan hal ini, maka Rasulullaah diam. Mereka membuat kesimpulan secara sempit bermodalkan satu hadits di atas, tanpa melihat dalil-dalil lain yang menafsirkan makna hadits tadi. Maka yang perlu kita kaji adalah; - Rincian tentang definisi khilafah dan definisi kerajaan. - Lalu di era siapakah kerajaan itu muncul? - Definisi Khilafah dan kerajaan.

    - - - - -

    [ " 3/303[ "Ibnu Sa'd telah meriwayatkan dari 'Umar ibnul Khottob , bahwasanya dia bertanya pada Salman tentang perbedaan antara Kholifah dan raja. Maka Salman berkata, Sesungguhnya tatkala kamu mengumpulkan perak dari bumi kaum Muslimin baik itu lebih dikit atau lebih banyak, lalu kamu menyimpannya tanpa ada hak, maka kamu adalah Raja. Adapun Kholifah, maka dia adalah yang bersikap adil dalam menyikapi rakyatnya. Membaginya dengan baik, dan memperhatikan rakyatnya seperti halnya seorang laki-laki kepada ahlul baitnya, atau seorang bapak kepada anaknya, dan menjalankan hukum kepada rakyatnya dengan Al-Qur`aan". Lihat selengkapnya, http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=302373

  • 16

    Dalam riwayat lain,

    : : : !

    : . ( ) .

    . "Dari Sufyan ibnu Abil 'Aujaa, ia berkata, bahwa 'Umar berkata, Demi Allaah aku tidak tahu apakah diriku seorang Kholifah atau Raja. Kalau kamu raja, maka ini adalah perkara yang besar. Sementara orang berkata kepadamu, Wahai pemimpun kaum beriman. Sesungguhnya diantara kedua hal tersebut ada perbedaan. 'Umar bertanya, Apa itu?. Lalu dijawab, Sesungguhnya Kholifah itu tidak mengambil sesuatu kecuali yang benar. Dan tidak menyimpannya kecuali di jalan yang benar. Dan kamu -segala puji bagi Allaah- sebagaimana hal tersebut (yaitu sebagai Kholifah). Adapun raja ia mendzolimi manusia, mengambil dari hal ini dan memberinya kepada hal ini (kepada yang bukan haknya). Lalu 'Umar pun diam. Disebutkan oleh Ibnu Sa'd dalam Thobaqohnya". http://www.al-waie.org/issues/special/article.php?id=1047_0_81_0_C Pada intinya penyebutan Kholifah atau raja hanya sekedar istilah. Yang memang disimpulkan dari praktek penerapan hukum dan kebijaksanaan di dalamnya. Dan selama tidak nampak kekafiran nyata pada diri mereka, maka kewajiban kita terhadap mereka adalah As-Sam'u wath Tho'ah dan tetap membai'atnya. Dan terkadang boleh bagi seorang raja disebut sebagai Kholifah. Atau Kholifah (Qs. Shod:26) disebut sebagai Sulthon (hadits dari 'Iyadh bin Ghonam riwayat Ahmad 2/403), Imam (hadits dari 'Abdullah bin 'Amr), Ulil Amri (Qs. An-Nisaa`:59), dan sebagainya. Karena gelar-gelar ini ada landasan syari'atnya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ,

    "Dibolehkan menamai pemimpin-pemimpin setelah Khulafa`ur Rosyidin dengan sebutan Kholifah-Kholifah, meskipun mereka itu adalah raja-raja". http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=22&ID=6074 Dan jikalau kita mau melihat ayat tentang janji Allaah kepada orang-orang beriman dan beramal sholih di surat An-Nuur:55, maka disitu jelas sekali

  • 17

    bahwa gelar Kholifah bisa diraih oleh siapa saja dikalangan umat ini dengan syarat, ia beriman, beramal sholih, beribadah kepada Allaah semata, dan tidak melakukan kesyirikan dengan sesuatu apapun. Silahkan rujuk kembali point pertama dalam artikel ini. - Lalu pertanyaan berikutnya, di era siapakah muncul masa kerajaan? Dari Safinah maula Rasulullaah,

    "Bahwasannya raja pertama dari sekian raja-raja (Islam) adalah Mu'awiyyah ". (HR. Ath-Thoyalisi, no. 1203). Akan tetapi para 'ulama sepakat bahwa Mu'awiyyah sebaik-baik raja di dalamnya, karena ia merupakan Sahabat Rasulullaah . Bahkan kebaikan dan keutamaannya jauh melebihi Kholifah 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz , yang mana beliau menurut sebagian kalangan dimasukkan dalam kategori masa Khilafah 'Alaa Minhajin Nubuwwah. Wallaahu a'lam. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits yang datang dari Jabir ibnu Samuroh, bahwa ia berkata, "Saya dan bapak saya menemui Nabi , dan saya mendengar beliau bersabda,

    Sesungguhnya urusan ini tidak akan berakhir sampai datangnya dua belas Kholifah. Lalu beliau berkata kecil sekali kepadaku. Maka aku bertanya kepada bapakku, Apa yang beliau katakan? Bapakku berkata (bahwa beliau bersabda),

    Semuanya berasal dari Quroisy ". (HR. Al-Bukhori 7222 dan Muslim 182). An-Nawawi berkata ,

    "Disimpulkan bahwa yang dimaksud dalam hadits adalah Kholifah yang adil. Dan telah berlalu diantara mereka sebagaimana diketahui. Dan mesti kelak

  • 18

    sebelum kiamat akan ada penyempurna dari jumlah tersebut". (Syarah Shohih Muslim, 12/202). Al-Qurthubi berkata,

    "Mereka adalah Kholifah-Kholifah yang adil. Sebagaimana Kholifah yang empat, lalu juga 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz. Dan mesti kedatangan mereka untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sampai semua jumlah ini sempurna. Dan itu adalah perkataan yang pertama menurutku". (Al-Mufham, 4/8). Adapun Ibnu Katsir, beliau menyebut selain empat Kholifah dan 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz , beliau juga menyebutkan sebagian Kholifah Bani 'Abbas,

    :

    "Dan diantara mereka adalah para Kholifah yang empat, yaitu Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, dan 'Ali . Dan diantara mereka juga ada 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz -tanpa ragu- menurut para 'ulama. Dan sebagian pemimpin dari Bani 'Abbas". Bisa dimaklumi jika beliau memasukkan sebagian pemimpin Bani 'Abbas ke dalam maksud hadits ini, dikarenakan beliau hidup di zaman Dinasti 'Abbasiyyah. Pun begitu 'ulama-'ulama yang hidup di zaman Dinasti Umawiyyah, mereka akan menyebutkan bahwa sebagian pemimpin Bani Umayyah masuk dalam kategori dua belas Kholifah dalam hadits tersebut. Hal ini tak mengapa, dan boleh saja. Akan tetapi yang kami maksudkan dari penjelasan ini, bahwa hadits tentang dua belas Kholifah adalah sebagai bantahan bagi mereka-mereka yang menolak kekhilafahan Ibrohim ibnu 'Awwad dengan bermodalkan satu hadits yang tak mereka fahami maksudnya. Jika benar prasangka mereka, bahwa tidak ada kekhilafahan sebelum Al-Mahdi, dan yang ada hanyalah zaman Mulkan Jabriyyan, maka dengan prasangka mereka tersebut Kholifah 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz tidak termasuk dari dua belas Kholifah sebagaimana hadits di atas. Karena beliau berada jauh setelah zaman Mu'awiyyah yang disebutkan sebagai Raja pertama dalam Islam.

  • 19

    Dan tak lupa, bahwasanya Al-Imam Mahdi termasuk dalam kategori dua belas Kholifah yang dimaksudkan oleh hadits tersebut. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kemunculan para Kholifah tersebut tak mesti berurutan dalam satu waktu atau satu zaman. Berkata kembali Ibnu Katsir ,

    "Dan diantara mereka itu adalah Al-Mahdi yang dikabarkan sebagaimana hadits yang disebutkan". Syubhat Kedua. Mereka berdalil dengan perkataan 'Abdulloh ibnu 'Umar yang mengkhithobi Husein ibnu 'Ali agar tidak pergi ke Irak. Berikut atsar dari Sahabat Ibnu 'Umar yang saya kutip dari situs muqawamah, tanpa ada sumber valid yang diberikan oleh penulis di situs tersebut, "Ibnu Umar berkata : Janganlah engkau pergi ke sana karena sesungguhnya aku takut engkau akan terbunuh, dan sesungguhnya kakekmu (Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam) telah diminta oleh Allah untuk memilih dunia atau akhirat, dan beliau memilih akhirat dibandingkan dunia. Sedangkan engkau adalah bagian dari beliau dan sesungguhnya demi Allah, engkau tidak akan mendapatkannya (kekhalifahan), engkau maupun salah satu di antara orang setelahmu, juga Ahlul Bait mu. Lalu lihat pula ucapan Ibnu Katsir , yang sengaja di tebalkan oleh mereka, "TIDAK AKAN ADA KHALIFAH DARI AHLUL BAIT KECUALI MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL MAHDI (IMAM MAHDI) YANG AKAN DIANGKAT DI AKHIR ZAMAN BERSAMA DENGAN TURUNNYA NABI ISA IBNU MARYAM. HAL INI KARENA DEMI MENJAGA AGAR AHLUL BAIT TIDAK TERPEDAYA DENGAN DUNIA DAN AGAR TIDAK MENGOTORI KEMULIAAN MEREKA". Maka hal pertama yang perlu kita sikapi adalah sebagai berikut, - Bahwa hukum asal perkataan manusia adalah dicarikan dalil atasnya, bukan dijadikan dalil. Dasarnya ada di surat An-Nisaa` ayat ke 59,

  • 20

    "Maka jika kalian berselisih pendapat dalam suatu hal, maka kembalilah kepada Allaah (Al-Qur`an) dan RasulNya (As-Sunnah). Jika kalian beriman kepada Allaah dan hari akhir". Maka kami persilahkan penulis artikel tersebut agar mau menyertakan dalil yang mendukung perkataan Ibnu Katsir -yang mana mereka tak memahami maksudnya- tersebut. Dan kalau pembaca mau menyimak dengan seksama dan teliti ucapan Ibnu Katsir tersebut, maka ada hal menarik dari ucapannya, yang tentu saja penulis artikel di muqawamah tersebut -mungkin- luput perhatiannya. Lantas mereka merasa kegirangan dengan ucapan tersebut, lalu mulailah mereka menjadikan ucapan beliau sebagai amunisi dalam menjatuhkan Daulah Khilafah Islamiyyah beserta pemimpinnya. Lihat baik-baik, HAL INI KARENA DEMI MENJAGA AGAR AHLUL BAIT TIDAK TERPEDAYA DENGAN DUNIA DAN AGAR TIDAK MENGOTORI KEMULIAAN MEREKA". Lihat baik-baik, itulah alasan Ibnu Katsir mengatakan hal tersebut. Yakni agar Ahlul Bait tidak terperdaya oleh dunia. Mafhum Mukholafahnya (faham kebalikannya), kalau ada seorang dari Ahlul Bait yang menjadi Kholifah, maka dikhawatirkan ia terperdaya oleh dunia. Dan orang yang terperdaya dengan dunia bukan berarti dia orang yang keluar dari keislaman alias murtad, sehingga dengan mudahnya kita cela mereka dan kita jatuhkan harga diri mereka sebagaimana yang dilakukan oleh saudara-saudara muslim kita yang dzolim ini. Terlebih dia adalah Ahlul Bait. Dan terkadang ada pula seseorang yang ketika memangku sebuah jabatan kekholifahan, ia justru semakin bertambah kesholihannya dan ketaatannya kepada Allaah setelah sebelumnya terperdaya oleh dunia. Sebagaimana Kholifah 'Umar ibnu 'Abdil 'Aziz . Maka hal ini dikembalikan kepada individu Kholifah tersebut. Adapun tugas kita adalah As-Sam'u wath Tho'ah kepada pemimpin yang sah, bukan malah mencari-cari kesalahannya, mencelanya, dan merendahkan harga dirinya. Wal 'iyyadzubillah. Berikutnya saya kutipkan perkataan Ibnu 'Abbas kepada seseorang yang menjadikan ucapan dua sahabat mulia dalam rangka membantah hadits Rasulullaah . 'Abdullooh ibn 'Abbaas berkata,

    "Hampir saja kalian mendapat hujan batu dari langit, saya mengatakan

  • 21

    'Rasulullaah bersabda', namun kalian mengatakan 'Abu Bakr dan 'Umar berkata' ". (Fat-hul Majiid, 387-388). Kalau seluruh kaum Muslimin ditanya tentang siapa orang yang paling mulia setelah Rasulullaah , maka saya yakin mereka akan menjawab bahwa Abu Bakar dan 'Umar adalah dua orang yang mulia setelah Rasulullaah . Saya sependapat dengan perkatan guru-guru saya bahwasanya perkataan Sahabat itu adalah dalil, dengan syarat tak menyelisihi hadits Rasulullaah . Karena jelas, Al-Qur`an dan Al-Hadits lebih tinggi kedudukannya dibanding ucapan-ucapan mereka. Dan terkadang ucapan para Sahabat merupakan penjelas atau tafsir dari Al-Qur`an dan Al-Hadits. Terkadang pula, ijtihad mereka tidak sejalan dengan sabda Rasulullaah . Sebagaimana ijtihad 'Utsman ibnu 'Affan berkaitan dengan adzan sholat Jumu'ah sebanyak dua kali. Hal ini merupakan ijtihad beliau, dan jika beliau salahpun mendapatkan pahala satu sebagaimana dalam hadits. Dan beliau diampuni oleh Allaah dari kesalahan ijtihadnya. Adapun tugas kita adalah mendo'akan beliau, dan tetap menjadikan sabda Rasulullaah lebih tinggi ketimbang ucapan manusia. Adapun hubungannya dengan atsar Ibnu 'Umar -yang ditulis oleh seseorang di situs muqawamah tanpa ia tahu maksudnya-, sikap kita adalah merujuk pada dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan dalil-dalil menunjukkan bahwasanya jabatan Kholifah itu tidak dikhususkan oleh orang tertentu, melainkan ia umum bagi setiap kaum Muslimin yang telah memenuhi syarat, yaitu beriman, beramal sholih, beribadah kepada Allaah semata, dan menjauhi peribadahan kepada selain Allaah. Dan sangat jelas maksud ucapan Ibnu 'Umar dan Ibnu Katsir adalah agar Ahlul Bait tidak terperdaya oleh dunia, dan anjuran agar lebih memilih dan mementingkan akhirat. Dan kita sebagai manusia tidak tahu kehidupan akhir seseorang. Misalnya, dahulu Kholifah Ibrohim ibnu 'Awwad adalah seorang 'ulama dan khotib di Irak, mungkin saja Allaah menakdirkan kelak beliau justru lebih zuhud hidupnya dan lebih taat kepadaNya. Sekali lagi, tugas kita adalah mengikuti dalil-dalil dan ijma' para Sahabat. Bukan menjadikan hawa nafsu dan kedengkian dalam menjalankan agama. Wallaahul Muwaafiq. Sumber : http://risaalatuttauhiid.blogspot.com/2015/03/sikap-tholabatul-ilmi-dalam-menyikapi.html Rabu, 13 Jumadil Ula/4 Maret 2015