Top Banner

Click here to load reader

67

Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

Dec 08, 2016

Download

Documents

VuongNgoc
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

1

Menguak Potensi Sistem Pembayaran

bagi Perekonomian

Page 2: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

2

Oleh : Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Dicetak Tahun : 2012

Page 3: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

3

PENDAHULUAN

Tak bisa dipungkiri, teknologi informasi berkembang kian pesat.

Kreatifitas berbasis teknologi tidak pernah berhenti

meluangkan hasrat untuk mempermudah kehidupan manusia.

Internet misalnya, untuk berkomunikasi dengan siapapun dapat

dengan mudah dan murah dibanding teknologi telepon di masa

lalu. Itu sekelumit dari sekian banyak perkembangan teknologi

yang telah mengubah hidup kita.

Teknologi informasi juga menjadi tulang punggung pendukung

kegiatan ekonomi. Yang paling terasa adalah dalam kegiatan

bayar membayar dimana saat ini bisa dilakukan dengan cepat

dan mudah. Dampaknya perputaran ekonomi pun menjadi

semakin efisien dan cepat. Transaksi ekonomi tidak hanya

difasilitasi dengan uang tunai tapi telah merambah dengan

menggunakan instrument non tunai buah dari perkembangan

teknologi seperti transfer, kartu kredit, kartu ATM dan terakhir

mulai muncul uang elektronik.

Page 4: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

4

Variasi lain adalah di sisi saluran atau cara melakukan

pembayaran. Peran teller bank mulai tergantikan oleh mesin

seperti Authomatic Teller Machine (ATM). Kegiatan yang biasa

dilakukan teller seperti transfer, pindah buku, melihat saldo

dan pembayaran gaji dapat dilakukan melalui ATM. Sekarang

pun dengan perkembangan teknologi ATM dapat pula berfungsi

layaknya merchant (toko) untuk melakukan pembelian tiket,

pulsa, atau layanan pembayaran untuk membayar listrik, air

dan lain-lain. Dalam perkembangannya saat ini beberapa

layanan tersebut juga sudah dapat dilakukan melalui mesin

Electronic Data Capture (EDC), yang dulu hanya digunakan

untuk alat baca kartu di merchant saja.

Selain ATM dan EDC, saluran pembayaran

yang mulai diminati karena fleksibilitasnya adalah internet dan

mobile banking. Nasabah bank atau pemegang kartu dapat

melakukan trasanksi perbankan, jual beli barang dengan

memanfaatkan jaringan internet atau mobile phone yang

mereka miliki. Nampaknya untuk masyarakat di kota besar yang

Page 5: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

5

sibuk dan sehari-hari tidak lepas dari kemacetan, saluran

pembayaran ini menjadi solusi utama bagi mereka.

PERKEMBANGAN TRANSAKSI

Teknologi pembayaran juga berdampak pada peningkatan

transaksi ekonomi. Hal ini terlihat antara lain pada transaksi

transfer dana melalui sistem kliring yang diselenggarakan Bank

Indonesia yaitu Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)

dan melalui sistem transfer dana nilai besar yang kita kenal

dengan istilah sistem Bank Indonesia Real Time Gross

Settlement (BI-RTGS), serta dalam kegiatan bayar membayar

menggunakan sistem pemroses Alat Pembayaran

Menggunakan Kartu (APMK).

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, masyarakat semakin

sering menggunakan alat pembayaran non tunai berbasis

teknologi ini. Transfer kredit di SKNBI selama 5 tahun terakhir

menunjukkan peningkatan penggunaan rata-rata 20%.

Sedangkan yang menggunakan sistem BI-RTGS khusus transfer

masyarakat meningkat 5,8%. Terakhir, APMK yang meliputi

Page 6: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

6

kartu ATM/Debet dan kredit menunjukkan tren peningkatan

16%. Belum lagi jumlah transaksi pemindahbukuan dalam satu

bank yang juga diperkirakan meningkat pesat karena pada

umumnya masyarakat yang memiliki “saling ketergantungan”

transaksi yang tinggi antar mereka akan memelihara rekening

pada bank yang sama.

Dari perputaran nilai yang ditransaksikan, pada kurun waktu

5 tahun terakhir juga mengalami peningkatan. SKNBI

menunjukkan peningkatan rata-rata 10%. Lalu yang melalui

sistem BI-RTGS 21%. Terakhir pada APMK mencapai 15%. Hal

yang sama juga mungkin terjadi pada transaksi satu bank untuk

kelompok masyarakat yang memiliki saling ketergantungan

dalam transaksi ekonominya.

Tidak seperti sistem pembayaran yang didominasi oleh

teknologi, perkembangan transaksi pembayaran non tunai yang

berbasis kertas yakni cek dan BG pada 5 tahun terakhir

perkembangannya relatif stagnan. 1,12% dan di sisi nilai 9,78%.

Apabila dilihat dari prosentasenya jauh lebih kecil dibanding

perkembangan pada instrumen non tunai berbasis teknologi.

Page 7: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

7

Hal ini ditengarai karena sudah mulai banyak masyarakat yang

beralih ke intrumen lain baik APMK maupun transfer kredit

secara pindah buku, melalui SKNBI atau Sistem BI-RTGS.

Secara jelas perkembangan transaksi disajikan dalam lampiran

buku ini.

PERAN BANK INDONESIA

Kalau dilihat dari statistik pembayaran tersebut terlihat jelas

begitu krusialnya peran sistem pembayaran saat ini. Apalagi

dengan tren kebutuhan ekonomi yang semakin mensyaratkan

kecepatan dan kemudahan dalam melakukan transaksi, sistem

pembayaran non tunai dapat saling bahu membahu bersama

intrumen tunai untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat

tersebut.

Khusus untuk instrumen non tunai terlebih yang berbasis

teknologi, layaknya terhadap uang tunai, instrumen ini perlu

dijaga agar kepercayaan masyarakat tidak hilang.

Disinilah peran Bank Indonesia sebagai regulator di bidang

sistem pembayaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Page 8: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

8

Undang Bank Indonesia harus dapat menjaga kelancaran sistem

pembayaran. Sistem pembayaran di masyarakat harus dapat

menjamin terlaksananya perpindahan uang secara efisien dan

aman sehingga masyarakat semakin nyaman dalam melakukan

kegiatan ekonomi.

Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat 4 prinsip dasar yang

harus dipenuhi baik dalam penyelenggaraan, pengembangan

dan pengawasan sistem pembayaran. Prinsip tersebut adalah

pengendalian risiko, efisiensi, kesetaraan akses dan

perlindungan konsumen.

Prinsip pertama, berkaitan dengan pengendalian risiko.

Aktifitas pemindahan dana dari satu pihak ke pihak lain

berpotensi terhadap berbagai risiko. Secara umum, BIS

membagi risiko sistem pembayaran kedalam 5 (lima) jenis

yaitu:

1. risiko kredit, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat pihak

yang tidak mampu untuk memenuhi kewajiban

keuangannya baik pada saat jatuh tempo maupun di masa

mendatang.

Page 9: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

9

2. risiko likuiditas, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat

pihak yang tidak dapat memenuhi kewajiban keuangannya

baik saat ini maupun di masa mendatang karena tidak

memiliki cukup dana.

3. risiko hukum, yaitu risiko karena lemahnya dasar hukum

atau adanya ketidakpastian hukum pada kerangka kerja

sehingga menyebabkan munculnya risiko kredit dan risiko

likuiditas.

4. risiko operasional, yaitu risiko karena tidak berfungsinya

perangkat teknis atau terjadinya kekeliruan kegiatan

operasional sehingga menimbulkan terjadinya risiko kredit

dan risiko likuiditas.

5. risiko sistemik, yaitu risiko yang disebabkan karena satu

peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya atau karena

terjadinya gangguan pada sistem, yang akan berdampak

pada munculnya ketidakmampuan seluruh

peserta/lembaga keuangan dalam sistem untuk memenuhi

kewajibannya, yang kemudian menimbulkan risiko kredit

dan likuiditas yang lebih luas dan dapat mengancam

kestabilan sistem dan pasar keuangan.

Page 10: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

10

Prinsip kedua berkaitan dengan efisiensi. Pengembangan

sistem pembayaran diupayakan pada penyempurnaan

mekanisme operasional dalam rangka pengurangan biaya

khususnya biaya transaksi dan waktu proses setelmen.

Meskipun prinsip efisiensi terkadang berseberangan dengan

prinsip kecepatan dan keamanan, namun fokus efisiensi secara

ekonomi ditekankan pada aspek economics scope and scale.

Prinsip ketiga adalah kesetaraan akses. Dalam hal ini bank

sentral harus memperhatikan agar semua penyelenggaraan

sistem pembayaran menerapkan asas kesetaraan. Berarti,

memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antar seluruh

pelaku sistem pembayaran baik penyedia jasa pembayaran

maupun pengguna jasa pembayaran, termasuk kesempatan

untuk memperoleh layanan yang sama antar berbagai wilayah

baik itu di dalam maupun luar negeri. Prinsip ini penting agar

layanan jasa pembayaran ritel juga dapat dinikmati oleh

pengguna jasa pembayaran, termasuk yang berada di wilayah

terpencil (remote area).

Page 11: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

11

Dalam konteks kesetaraan ini termasuk diantaranya asas

resiprositas antar negara. Maksudnya adalah kesamaan

kesempatan yang diberikan bagi penyelenggara sistem

pembayaran untuk beroperasi di suatu negara. Sehingga peran

bank sentral disini harus dapat memastikan hak-hak yang sama

bagi pelaku industri sistem pembayaran untuk beroperasi di

antara negara yang saling bekerjasama.

Prinsip keempat, bank sentral perlu memperhatikan aspek

perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan sistem

pembayaran. Artinya, setiap penyelenggaraan wajib

menerapkan asas perlindungan konsumen secara wajar dalam

kegiatan operasionalnya. Prinsip ini sebenarnya memberikan

keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia dan

penyelenggara dengan pengguna layanan jasa pembayaran.

KEBIJAKAN YANG DIJALANKAN

Prinsip di atas menjadi dasar pijak dalam setiap kebijakan yang

dikeluarkan Bank Indonesia. Sepanjang 2011, beberapa

Page 12: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

12

kebijakan yang telah diambil terkait peran Bank Indonesia

sebagai pengatur, pengembang, dan pemantau/pengawas

sistem pembayaran mengacu pada 4 prinsip tadi.

Kebijakan Penyelenggaraan Operasional

Di sisi penyelenggara, Bank Indonesia telah menetapkan

kebijakan standar pelayanan yang diberikan kepada peserta

sistem pembayaran. Standar tersebut diterjemahkan dalam

tingkat penyediaan sistem minimal 99,9% dari seluruh waktu

operasional yang dipakai. Sepanjang tahun angka tersebut

dapat dipenuhi yakni mencapai 100%.

Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menjaga

ketersediaan sistem tersebut. Manajemen kelangsungan bisnis

(business continuity management) yang dituangkan dalam

prosedur baku penyelenggaraan sistem menjadi mutlak sesuatu

yang harus ditaati. Untuk memitigasi risiko kegagalan sistem

utama, secara rutin dilakukan uji coba penggunaan transaksi

dengan infrastuktur back up. Uji coba ini sekaligus melihat

kesiapan seluruh perangkat operasional termasuk seluruh

peserta guna mengantisipasi gangguan yang terjadi pada sistem

Page 13: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

13

utama. Sepanjang tahun ini telah dilakukan 3 kali uji coba

dalam kerangka tersebut.

Selain dari sistem utama, Bank Indonesia juga menyediakan

fasilitas guest bank sebagai back up bagi peserta sistem

pembayaran yang sistem internalnya mengalami gangguan.

Tujuannya tidak lain adalah tetap memberikan standar

pelayanan yang sama bagi masyarakat nasabah perbankan.

Dalam kerangka menjaga kepatuhan peserta sistem

pembayaran, Bank Indonesia secara aktif juga melakukan

pengawasan peserta termasuk dalam kerangka member

certification. Hal ini dimaksudkan agar peserta sistem

senantiasa menjaga standar pelayanan kepada para pengguna

jasa.

Kebijakan lain di sisi penyelenggaraan adalah memperpanjang

layanan waktu operasional terkait kebutuhan peserta pada

waktu tertentu untuk melayani nasabah mereka. Kebijakan ini

biasanya terjadi pada saat libur menjelang hari besar

keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, dan tahun baru.

Page 14: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

14

Pada masa-masa tersebut secara musiman terjadi peningkatan

transaksi yang sangat tinggi sehingga memerlukan tambahan

waktu operasional untuk menyelesaikan seluruh transaksi

masyarakat di perbankan. Selain di hari-hari khusus tersebut,

kebijakan perpanjangan waktu juga digunakan untuk

mengakomodir peningkatan transaksi beberapa peserta sistem

pembayaran yang memiliki pola peningkatan pada hari-hari

tertentu misalnya pada saat pembayaran gaji.

Kebijakan Pengembangan Sistem Bank Indonesia

Di sisi pengembangan, fokus yang dilakukan pada 2011 adalah

dalam rangka peningkatan efisiensi dan kehandalan dalam

mitigasi risiko. Pada sistem yang diselenggarakan oleh Bank

Indonesia, peningkatan kehandalan dititikberatkan pada

pengembangan lanjutan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II.

Sistem ini akan mengganti sistem lama yang telah berusia 11

tahun dan dipandang akan mulai lambat dalam

mengakomodasi peningkatan transaksi. Pada sistem baru akan

dilengkapi fitur-fitur penghemat likuiditas sehingga mampu

Page 15: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

15

memitigasi risiko likuiditas bagi peserta pada saat

kebutuhannya meningkat. Juga, sistem baru ini akan didesain

untuk menggunakan standar platform yang digunakan secara

internasional, yang tentunya akan meningkatkan efisiensi bagi

peserta yang memiliki exposure transaksi secara cross border.

Sementara itu pada SKNBI sepanjang 2011 tidak ada

pengembangan yang berdampak pengubahan sistem secara

struktural. Fokus di tahun ini adalah melakukan edukasi

terhadap efisiensi penyelesaian transaksi di SKNBI melalui

penambahan siklus setelmen yang semula hanya 2 kali menjadi

4 kali sepanjang waktu operasional.

Penambahan siklus tersebut memungkinkan terjadinya

percepatan hasil transfer sehingga dapat efektif pada rekening

nasabah penerima di hari yang sama dengan waktu lebih cepat.

Namun demikian, pengefektifan hasil kliring di level bank masih

banyak yang dilakukan pada esok hari sehingga walaupun

sudah ada fasilitas ini, mindset masyarakat masih menganggap

transfer lewat kliring lebih lama dari BI-RTGS.

Page 16: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

16

Untuk peningkatan efisiensi nasional, SKNBI terus diupayakan

untuk menjadi salah satu sistem pembayaran yang diharapkan

mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Concern untuk

memperluas layanan pembayaran ditujukan pula bagi segmen

masyarakat yang belum tersentuh layanan bank umum

(unbanked people). Guna menjembatani ini access policy pada

SKNBI diperluas yakni dengan memungkinkan BPR dapat

menjadi peserta kliring walaupun secara tidak langsung dengan

bank umum sebagai jangkar.

Mengapa BPR? Hal ini didasarkan pada kondisi dimana industri

BPR sangat dekat dengan lembaga keuangan mikro dan

golongan masyarakat yang enggan dengan formalitas apabila

berhadapan dengan industri bank umum. Kedekatan tersebut

dijembatani oleh perbankan untuk menjadi jangkar atau

penghubung bagi layanan jasa pembayaran khususnya kliring

antarbank. Untuk merealisasikan hal tersebut, salah satu bank

peserta SKNBI di Jawa Timur telah menjadi bank jangkar atau

sering dikenal dengan Apex bank bagi BPR yang berada di

wilayah Jawa Timur. Inisiasi ini diharapkan dapat diikuti pula

Page 17: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

17

oleh bank umum lainnya untuk menjangkau transfer dana

melalui SKNBI antar BPR di wilayah lain. Sehingga ke depan

upaya meningkatkan inklusivitas bagi lembaga keuangan mikro

maupun unbanked people dalam memanfaatkan layanan

pembayaran semakin meningkat.

Kebijakan Pengembangan oleh Industri

Kebijakan pengembangan lain adalah terkait dengan penataan

infrastruktur pembayaran retail yang dilakukan oleh industri.

Hal ini juga dilakukan dalam rangka mendorong terciptanya

efisiensi infrastruktur secara nasional. Saat ini pengembangan

di sektor ritel pun masih bersifat parsial. Perbankan sebagai

motor penggerak industri ini masih melihat dari aspek bisnis

secara mikro. Oleh karenanya hanya beberapa bank atau

kelompok bank saja yang mampu mengembangkan berbagai

infrastruktur pembayaran. Ujung-ujungnya karena hanya

melihat secara mikro, masing-masing pengembangan dilakukan

sendiri-sendiri.

Page 18: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

18

Kondisi ini terjadi sudah sejak lama bahkan sebelum Bank

Indonesia melihat ini sebagai titik berat regulasi yang

digulirkan. Kartu kredit misalnya, instrumen ini telah muncul

sejak lama, dan mulai marak di Indonesia sekitar tahun 80-an.

Pengembangannya pun dilakukan oleh pemain industri asing.

Perbankan domestik hanya sebagai penerbit dari 4 prinsipal

asing kala itu.

Jika dalam industri kartu kredit, pengelola jaringan atau

prinsipalnya didominasi asing, lain dengan kartu ATM dan

Debet. Awalnya dimulai oleh bank-bank berkapitalisasi besar

yang ingin memperluas jaringan dengan menggunakan

perangkat elektronik. Pertama dengan mengembangkan

jaringan ATM kemudian diikuti dengan jaringan Debet yang

ditopang oleh alat Point of Sales (POS) atau EDC.

Untuk meningkatkan skala ekonominya bank-bank besar tadi

mulai mengoptimalisasikan infrastruktur yang dimilikinya dan

bergerak ke bisnis penyedia jaringan (prinsipal) layaknya

prinsipal kartu kredit kala itu. Model bisnis lain adalah dengan

membentuk konsorsium dari beberapa bank membentuk satu

Page 19: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

19

penyedia jaringan. Terakhir, perusahaan yang memang

memfokuskan untuk menjalankan bisnis sebagai prinsipal mulai

memanfaatkan kebutuhan bank yang skala ekonominya masih

kecil namun ingin memiliki pendapatan lain selain dari

intermediasi. Kadang-kadang pengembangan ini dilakukan

dalam rangka menarik dana pihak ketiga untuk mendukung

peningkatan dana murah.

Instrumen lain yang baru berkembang awal 2007 adalah uang

elektronik. Alat pembayaran ini pun awal pengembangannya

sampai saat ini masih dikembangkan sendiri oleh masing-

masing penerbit. Tiap penerbit mengembangkan

infrastrukturnya didasarkan pada kebutuhan dan analisis

individualnya. Konvergensi minimal pada alat baca instrumen

juga belum terjawab di sisi industri.

Self Regulatory Organization

Terhadap kondisi pengembangan sistem pembayaran oleh

industri yang masih bersifat parsial tersebut, Bank Indonesia

melalui fungsi fasilitator menjembatani dengan membentuk

Page 20: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

20

mekanisme koordinasi melalui pembentukan Self Regulatory

Organization (SRO). Cikal bakal yang sebelumnya diwadahi

dalam Forum Komunikasi Sistem Pembayaran (FKSPN) ini mulai

memiliki payung hukum yakni Surat Edaran Bank Indonesia

No.13/7/DASP yang diterbitkan tanggal 25 Februari 2011.

Payung hukum tersebut diharapkan dapat mengatur hubungan

koordinasi antara Bank Indonesia dengan industri pembayaran.

Peran industri sebagai mitra menjadi sangat penting dalam

mewujudkan kebijakan yang diharapkan dapat mendukung

pengembangan industri secara optimal tanpa mengurangi

aspek perlindungan konsumen.

Model koordinasi yang telah sukses diadopsi beberapa negara

seperti Korea Selatan ini diharapkan dapat meminimalisir

distorsi kebijakan yang dapat menghambat pengembangan

sistem pembayaran di suatu negara. Bank Indonesia nantinya

cukup mengatur kebijakan umum dan bersifat makro.

Sementara aturan main dapat dibuat oleh industri tentunya

melalui koordinasi dengan Bank Indonesia. Harapannya selain

dari sisi efisiensi pengembangan, efisiensi birokrasi pun dapat

Page 21: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

21

tercapai agar pengembangan sistem pembayaran dapat

mengikuti kecepatan kebutuhan konsumen dan perkembangan

teknologi.

Selanjutnya, setelah terbentuknya SRO, Bank Indonesia dan

industri secara aktif mulai membahas dan menggagas upaya-

upaya perbaikan industri pembayaran nasional. Di sisi

pengembangan sistem untuk transaksi nilai besar khususnya BI-

RTGS dan BI-SSSS, peran perbankan yang menjadi komite

sangat aktif dalam memberikan masukan dan menjembatani

kebutuhan industri untuk dapat diakomodasi dalam sistem

generasi II mendatang. Demikian pula sebaliknya, kepentingan

Bank Indonesia sebagai regulator terutama terkait kepentingan

makroprudensial disampaikan dalam forum ini agar industri

dapat memahami hal tersebut sejak awal.

Di sisi pengembangan retail khususnya yang dilakukan industri,

pembahasan dititikberatkan pada efisiensi nasional dan mitigasi

risiko untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat

bayar yang dikembangkan industri.

Page 22: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

22

Efisiensi nasional ditekankan pada pengembangan National

Payment Gateway (NPG) yang ujung-ujungnya untuk saling

menghubungkan sistem pembayaran APMK di seluruh

Indonesia. Upaya efisiensi nasional lain adalah mendorong

industri uang elektronik agar saling terhubung satu sama lain

(interoperable).

Di sisi penjagaan kepercayaan terhadap alat bayar, khususnya

APMK, Bank Indonesia telah mewajibkan industri untuk

menerapkan chip dan PIN paling kurang 6 digit bagi industri

kartu ATM dan Debet. Penerapan chip bertujuan untuk

mengurangi risiko fraud pencuriaan data yang terdapat pada

kartu ATM dan Debet berbasis magnetic stripe seperti halnya

kebijakan migrasi chip pada kartu kredit di 2010 lalu. Berbagai

kasus fraud yang pernah terjadi seperti pencurian data kartu

ATM dan Debet di Bali beberapa waktu lalu merupakan contoh

mudahnya pencurian data pada teknologi magnetic yang

memang datanya tidak terlindungi (enkripsi) seperti pada

teknologi chip.

Page 23: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

23

Di sisi lain, untuk lebih memperkuat keamanan instumen ini

dilakukan pengetatan pada otentikasi, yakni penerapan PIN

paling kurang 6 digit. Penerapan ini akan lebih mempersulit

bagi pelaku kejahatan dalam menemukan kombinasi yang tepat

nomor PIN yang benar. Penggunaan PIN kurang dari 6 digit

dinilai masih relatif lebih mudah bagi pelaku kejahatan setelah

ditemukannya kunci pemecah PIN rahasia melalui trial and

error secara algoritma menggunakan teknologi komputer.

Dengan 6 digit paling tidak jumlah kombinasinya menjadi jauh

lebih banyak dan mempersulit bagi pelaku kejahatan.

Kebijakan di sisi oversight (pemantauan) dilakukan melalui

serangkaian monitoring, assessment dan inducing change

terhadap kepatuhan penyelenggara akan ketentuan dan aturan

main yang telah digariskan. Secara garis besar adalah untuk

menilai praktek yang dilakukan oleh penyelenggara sistem

pembayaran baik secara makro prudential maupun mikro

prudensial dalam bentuk pengawasan individual

penyelenggara.

Page 24: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

24

Area yang menjadi cakupan pengawasan adalah sistem yang

diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan penyelenggara di luar

Bank Indonesia. Di Bank Indonesia pemantauan dilakukan

terhadap sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI. Sementara untuk

industri pembayaran di luar Bank Indonesia dilakukan terhadap

penyelenggara APMK, Uang Elektronik (E-Money) dan Kegiatan

Usaha Pengiriman Uang (KUPU).

Secara umum penyelenggaraan sistem di 2011 telah dilakukan

sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Kasus yang menjadi

pemantauan khusus adalah terkait dengan penggunaan jasa

collecting agent atau debt collector dalam penagihan kartu

kredit.

Sebagai tindak lanjut permasalahan yang terjadi di Citibank

terkait dengan kartu kredit, Bank Indonesia telah melakukan

pemeriksaan khusus terhadap Citibank. Dari hasil pemeriksaan

tersebut Bank Indonesia telah melarang Citibank untuk

melakukan penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru

selama 2 tahun dan melarang penggunaan jasa penagihan kartu

Page 25: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

25

kredit oleh pihak ketiga selama 2 tahun. Sanksi tersebut di atas

berlaku sejak tanggal 6 Mei 2011.

Selain pengenaan sanksi dalam upaya untuk mendorong

perubahan (inducing change), Bank Indonesia telah

menginstruksikan manajemen Citibank untuk meningkatkan

implementasi manajemen risiko dan pengendalian intern.

Selanjutnya, meminta kantor pusat Citibank New York

melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi pengendalian

intern Citibank Jakarta.

Selain pemeriksaan kepada Citibank, Bank Indonesia juga

melakukan hal yang sama kepada seluruh penerbit kartu kredit.

Harapannya, langkah yang ditempuh ini dapat melindungi

kepentingan nasabah dan kredibilitas industri pembayaran

dapat tetap terjaga.

APA KAITAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI PEREKONOMIAN?

Menilik ilustrasi di atas mengenai perkembangan sistem

pembayaran, pengaruh teknologi informasi, sampai pada

Page 26: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

26

bagaimana Bank Indonesia selaku regulator meresponnya serta

melakukan oversight, perlu dicari benang merah kaitannya

dengan perekonomian.

Mengapa demikian? Ini karena tugas utama Bank Indonesia

yang diamanatkan Undang-Undang adalah untuk mencapai

kestabilan nilai rupiah yang ujung-ujungnya adalah

pembangunan ekonomi yang berkualitas. Pertanyaan

selanjutnya adalah bagaimana kaitannya dengan kestabilan

nilai rupiah? Apakah efisiensi dan kehandalan sistem

pembayaran berkorelasi langsung dengan hal tersebut?.

Meskipun sedikit rumit untuk membuktikan secara empiris,

namun secara umum keterkaitan langsung antara sistem

pembayaran dan pengendalian kebijaksanaan moneter adalah

karena pelaksanaan sistem pembayaran dapat berpengaruh

terhadap penggunaan uang di masyarakat. Transaksi

pembayaran diantara pelaku ekonomi modern seringkali

menggunakan dana di rekening bank. Hasil dari proses kliring

dan settlement yaitu rekening satu pihak bertambah atas

beban rekening pihak lain.

Page 27: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

27

Dengan demikian sistem pembayaran sebagai penghubung

aktivitas ekonomi dan uang. Efisiensi penggunaan uang sangat

tergantung dari efisiensi sistem pembayaran. Sebagai contoh,

time lag yang terjadi antara waktu dilakukannya instruksi

dengan penyelesaian pembayaran sangat bervariasi, dan hal ini

berpengaruh terhadap saldo rekening di bank serta

kemampuan pelaku untuk melakukan transaksi lainnya.

Pengaruh saldo rekening akibat dari time lag dikenal sebagai

float, yang merupakan faktor penting dalam keseimbangan

money supply dan demand. Dalam disain sistem pembayaran

yang modern dimana instruksi pembayaran banyak dilakukan

secara elektronik, yang dapat memberikan manfaat yang besar

baik bagi pelaku maupun bank-bank.

Dalam disain pembayaran elektronik maupun cek (paper-

based) diperlukan settlement pada hari yang sama (same day

settlement). Artinya begitu instruksi pembayaran dikirim,

settlement dilakukan pada waktu yang sama, yang

mempengaruhi saldo rekening bank-bank di bank sentral.

Page 28: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

28

Disain same day settlement dikenal dengan istilah real time

gross settlement, yang merupakan penjabaran dari prinsip

pendebitan dan pengkreditan rekening bank penerima dan

pengirim (proses settlement) dalam waktu yang sama, sehingga

mempengaruhi saldo rekening bank penerima dan pengirim di

bank sentral.

Berkaitan dengan fungsi bank sentral dalam mengendalikan

kebijakan moneter, perhatian utama bank sentral adalah

pelaksanaan settlement di bank sentral mengingat settlement

merupakan muara seluruh transaksi keuangan. Melalui same

day settlement bank-bank dapat memperkirakan kebutuhan

likuiditasnya dengan cepat, demikian pula dengan bank sentral

dapat mengetahui money supply dan demand yang sebenarnya.

Pengoperasian transfer uang antar bank secara otomasi,

khususnya yang berjumlah besar (automated large value

interbank funds transfer) merupakan komponen infrastruktur

penting dalam pasar keuangan yang modern. Fungsi utamanya

adalah mempercepat komunikasi, pemrosesan dan

pelaksanaan sistem settlement pembayaran. Dari sudut

Page 29: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

29

pandang makro ekonomi, automated large value interbank

funds transfer dapat menjembatani kebutuhan pasar uang dan

secara keseluruhan mempengaruhi kondisi moneter suatu

negara.

Karena melalui otomasi transfer dana antar bank dalam jumlah

besar (automated large value interbank transfer system),

informasi mengenai kondisi moneter negara dapat diketahui

secara akurat.

Dari sudut pandang mikro ekonomi penerapan automated

large value interbank transfer system akan meningkatkan

kemampuan likuiditas bagi bank-bank maupun individu

lainnya. Pasar yang likuid dapat mengurangi ketergantungan

bank-bank terhadap bank sentral, dan meningkatkan

penerapan reserve requirement yang berorientasi pada pasar.

Selain itu pasar uang antar bank yang likuid dapat

meningkatkan fleksibilitas penerapan kebijaksaan moneter

bank sentral. Kondisi pasar uang yang likuid memungkinkan

bank sentral dapat menerapkan kebijaksanaan moneter secara

Page 30: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

30

langsung dan akurat, selain itu memungkinkan bank-bank

dengan cepat menyesuaikan posisi reserve requirement-nya.

Disamping itu, perlu disadari bahwa sistem pembayaran

mengandung pula risiko instabilitas yang apabila tidak ditangani

secara tepat akan mengakibatkan instabilitas yang lain. Risiko-

risiko yang terkandung dalam setiap sistem pembayaran,

terutama sistem yang menghandle pembayaran antar bank

yang bernilai besar cukup beragam yaitu mulai dari risiko

likuiditas dan risiko kredit sampai risiko hukum dan risiko

reputasi.

Yang paling ditakuti adalah resiko sistemik (systemic risk). Kalau

yang terakhir ini terjadi maka ia bisa menumbangkan atau

paling tidak menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap

para players-nya, dan bahkan bisa mengakibatkan kerugian

besar bagi penyelenggara sistem itu sendiri. Oleh karenanya,

suatu sistem dalam transaksi pembayaran harus di disain

secara tepat dan hati-hati.

Bicara disain sistem pembayaran adalah bicara totalitas, mulai

dari policy aspects sampai kepada penterjemahan kebijakan-

Page 31: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

31

kebijakan itu dalam detil teknisnya. Ini adalah suatu hal yang

tidak terelakkan. Hanya apabila sistem pembayaran dipahami

secara comprehensive mulai dari policy aspects sampai detil

teknisnya, maka risiko bisa dimitigasi dengan baik. Ini tentunya

prinsip yang berlaku umum, tidak hanya untuk sistem

pembayaran saja.

KAITAN DENGAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Selain perspektif makro ekonomi, di sisi stabilitas sistem

keuangan pun tak kalah pentingnya. Ini karena sistem

keuangan dan sistem pembayaran merupakan satu kesatuan

utuh. Bahkan bagi sebagian orang mungkin agak samar

membedakan sistem keuangan dengan sistem pembayaran.

Kalau diibaratkan uang koin kedua aspek ini merupakan kedua

sisi mata uang yang saling menyatu dan tidak terpisahkan.

Gangguan pada sistem pembayaran dapat menimbulkan

keterlambatan atau kegagalan kewajiban pembayaran.

Page 32: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

32

Kegagalan kewajiban pembayaran dalam jumlah signifikan

dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap

likuiditas perekonomian dan stabilitas sistem keuangan

maupun perbankan.

Demikian pula sebaliknya. Gangguan pada sistem keuangan

seperti terjadinya krisis keuangan yang berdampak pada satu

atau lebih bank peserta sistem pembayaran, tak pelak akan

berdampak pada likuiditas sistem pembayaran. Hal yang paling

ditakutkan dampak krisis tersebut terjadi pada bank-bank

berskala besar dan punya peran sistemik. Ini akan

mempengaruhi kemampuan pembayaran kewajiban mereka

terhadap bank peserta lainnya, dan pada gilirannya akan

merembet pada kemampuan bayar kepada bank peserta pada

layer berikutnya sehingga menimbulkan kemacetan

penyelesaian transaksi atau dalam istilah sistem pembayaran

dikenal dengan istilah gridlock.

Ilustrasi di atas cocok untuk menggambarkan transaksi

keuangan bernilai besar. Lantas apakah untuk yang bernilai

kecil juga dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas sistem

Page 33: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

33

keuangan? Sudah sering kita dengar kasus fraud yang

sistematis terhadap alat-alat pembayaran retail, ternyata dapat

berpengaruh pada kepercayaan terhadap sistem keuangan

secara umum. Misalnya kasus kegagalan bayar dalam jumlah

besar pada industri kartu kredit di Korea Selatan beberapa

waktu lampau.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup kala itu telah membuat

penerbit kartu kredit jor joran memberikan fasilitas outstanding

kredit cukup besar. Bahkan ketika itu orang bisa memiliki

beberapa kartu kredit. Petaka datang pada saat terjadi krisis

ekonomi yang melanda hampir seluruh negara Asia dan ketika

itu Korea menjadi salah satu yang terparah. Kita ingat banyak

perusahaan kolaps, pengangguran sangat tinggi, daya beli turun

sampai pada titik terendah, akhirnya banyak dari pemegang

kartu tidak mampu melunasi kewajibannya. Karena nilai

outstanding kewajiban kartu secara industri yang sangat tinggi,

pada gilirannya turut menyumbang kegagalan pada sistem

keuangan di Korea Selatan.

Page 34: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

34

APA MANFAAT PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI

PEREKONOMIAN?

Pertanyaan di atas mencoba menghubungkan apa yang telah

dilakukan Bank Indonesia tentunya bersama dengan industri

sistem pembayaran dengan uraian singkat keterkaitan sistem

pembayaran bagi perekonomian. Sebelum menjawab

pertanyaan ini mari kita urai apa saja yang telah, sedang dan

akan dilakukan.

Pada 2011, Bank Indonesia memfokuskan 4 pengembangan

sistem pembayaran. Pertama melanjutkan tahapan

pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Kedua,

melanjutkan inisiasi pengembangan National Payment

Gateway (NPG). Ketiga, mendorong interoperabilitas industri

uang elektronik. Keempat, penerapan chip dan PIN paling

kurang 6 digit untuk kartu ATM/Debet.

Page 35: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

35

Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II: Efisiensi Likuiditas bagi

Perekonomian

Pengembangan sistem yang merupakan kegiatan lanjutan sejak

inisiatif ini digulirkan pada tahun 2008, telah mulai pada

tahapan pengembangan sistem dan penyiapan perangkat

peraturan. Dalam pengembangan sistem, Bank Indonesia selalu

melibatkan anggota kelompok kerja dari industri untuk

menyelaraskan dengan kebutuhan perbankan. Sedangkan dari

sisi ketentuan, saat ini sedang dilakukan pemetaan ketentuan

yang perlu dihormonisasikan dengan sistem yang baru dan

sistem terkait lainnya.

Pengembangan sistem ini diharapkan mampu mendukung

kebutuhan perekonomian dan sistem keuangan, terutama

karena dalam sistem baru nantinya terdapat mekanisme hybrid

dan tidak murni gross basis seperti saat ini. Dengan mekanisme

ini dimungkinkan dilakukan offsetting pada sistem generasi II.

Dengan mekanisme tersebut, kedepan peserta sistem dapat

melakukan optimalisasi penggunaan likuiditas. Hal ini ditujukan

untuk antisipasi kebutuhan perkembangan perekonomian yang

Page 36: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

36

membutuhkan likuiditas tinggi seperti adanya pendalaman

pasar keuangan.

Penghematan Social Cost Melalui NPG

Penyelenggaraan sistem pembayaran terus berkembang dan

berevolusi. Berbagai jenis instrumen pembayaran serta delivery

channel disediakan oleh penyelenggara untuk memberi

kemudahan kepada nasabah dalam melakukan berbagai

transaksi pembayaran dengan lebih cepat dan efisien.

Namun demikian dalam perkembangannya terdapat faktor

kompetisi antar penyelenggara dalam penyediaan infrastruktur

sistem pembayaran. Ini menyebabkan adanya duplikasi yang

mengarah pada in-efisiensi. Ujung-ujungnya adalah

meningkatnya social cost yang harus dihadapi oleh masyarakat.

Konsep NPG mengedepankan efisiensi infrastruktur

pembayaran retail sehingga dapat digunakan oleh industri

secara bersama. Kalau diibaratkan, infrastruktur ini adalah jalan

menuju komplek industri yang dapat digunakan oleh seluruh

individual perusahaan sehingga mereka tidak perlu melakukan

Page 37: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

37

investasi sendiri untuk membuat jalan yang hasilnya belum

tentu bagus dan mungkin lebih ruwet. Dengan NPG, cukup satu

jalan atau dalam terminologi sistem pembayaran berarti

jaringan yang dibuat lebih besar kapasitasnya sehingga bisa

lebih cepat dan dapat digunakan bersama.

Konsep seperti ini pernah dianut oleh beberapa negara di

kawasan Eropa dan Asia. Meskipun secara terminologi tidak

selalu disebut sebagai NPG, namun karakteristik dari model

bisnis yang dijalankan dapat dijadikan sebagai referensi dalam

pengembangan NPG di Indonesia. Dalam prakteknya, cakupan

model bisnis NPG untuk layanan transaksi antar bank yang

dijalankan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Ada yang sudah memiliki cakupan layanan yang cukup luas

yang mencakup berbagai jenis layanan switching dan delivery

channel (Korea, Taiwan), namun ada juga yang terbatas pada

layanan untuk transaksi antar bank via ATM (Thailand,

Singapore).

Harapannya dengan sharing infrastruktur, biaya investasi

masing-masing penyelenggara switching bisa ditekan. Bagi bank

Page 38: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

38

atau peserta switching pun tidak perlu menjadi anggota di

setiap penyelenggara switching yang ujung-ujungnya dapat

meningkatkan social cost bagi nasabah mereka. Pada gilirannya

apabila hal ini bisa diwujudkan maka efisiensi dan skala

ekonomi bisa dicapai dan perekonomian pun bisa lebih efisien.

Ke depan dengan adanya NPG, diharapkan persaingan bukan

lagi dalam koridor efisiensi biaya infrastruktur tetapi lebih

kepada layanan bagi masyarakat.

Interoperabilitas Uang Elektronik

Mirip dengan industri APMK, industri uang elektronik pun

dihadapkan pada kondisi yang sama dimana masing-masing

penerbit membangun infrastruktur sendiri-sendiri. Dengan

memanfaatkan kondisi industri uang elektronik yang belum

berkembang besar, masih sangat memungkinkan untuk

dibangun infrastruktur yang standar sehingga memungkinkan

setiap penerbit dapat saling terhubung satu dengan lainnya.

Sejak muncul di 2009, sampai saat ini sudah ada 11 penerbit

uang elektronik. Penerbit tersebut mengembangkan sistem dan

Page 39: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

39

infrastrukturnya masing-masing. Hal ini menyebabkan

ketidakefisienan secara nasional. Sampai sekarang belum ada

inisiatif masing-masing penerbit untuk menginterkoneksikan

sistemnya. Spesifikasi instrumen dan alat baca (reader)

bervariasi tipenya. Melihat kecenderungan tersebut, Bank

Indonesia mewacanakan untuk menerapkan kebijakan

standarisasi uang elektronik.

Dengan adanya standar kembali lagi diharapkan investasi dapat

dilakukan lebih optimal. Industri dapat sharing investasi

infrastruktur sehingga lebih efisien. Anggaran justru bisa

difokuskan untuk penetrasi ke wilayah yang masih relatif

terbelakang dari sisi infrastruktur. Selain itu, industri juga akan

diuntungkan dari efisiensi cash handling dan berkurangnya

potensi kebocoran pendapatan.

Jika dilihat dari perspektif masyarakat, mereka juga ikut

diuntungkan. Mereka cukup memiliki satu kartu yang dapat

digunakan dimanapun. Dari aspek penetrasi pun lebih luas,

sehingga jangkauan merchant lebih banyak yang dapat

menerima uang elektronik. Selain itu lagi-lagi dampak social

Page 40: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

40

cost-nya dapat dihemat agar ada insentif lebih bagi masyarakat

untuk menggunakan uang elektronik. Bagi Bank Indonesia,

adanya standar tentunya akan meningkatkan efisiensi

pembayaran secara nasional. Ujung-ujungnya, penggunaan

uang elektronik secara masif dapat mengurangi beban

pengelolaan uang tunai.

Terkait dengan rencana standarisasi tersebut, Bank Indonesia

akan melakukan pentahapan dalam pelaksanaannya. Fokus

pertama adalah pada jenis uang elektronik berbasis chip. Chip

based lebih diprioritaskan pada sektor transportasi mengingat

sektor ini yang akan memiliki dampak signifikan pada

peningkatan penggunaan uang elektronik, meskipun apabila

dilihat dari penggunaannya relative terfokus pada transaksi

kecil dan mikro.

Pengalaman yang sama terjadi di beberapa negara yang sukses

mengembangkan industri uang elektroniknya seperti Hong

Kong, Malaysia dan Singapura. Pada tahap pengembangan

awal, sebagai killer application adalah sektor transportasi

publik. Baru setelah tingkat awareness masyarakat meningkat,

Page 41: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

41

mereka merambah ke sektor lain seperti convenient store,

perparkiran sampai rumah makan.

Untuk mendukung langkah tersebut, pada Oktober 2011

Gubernur Bank Indonesia bersama Kementerian Perhubungan

dan Kementerian Komunikasi dan Informasi telah

menandatangani MoU untuk penerapan uang elektronik di

sektor transportasi. Untuk itu telah disepakati adanya

penyesuaian model bisnis yang telah berjalan. Selain itu

diperlukan penyiapan lembaga yang akan bertindak sebagai

prinsipal selaku pengelola standar baik dari aspek bisnis

maupun teknisnya.

Penandatanganan Kesepakatan Bersama ini merupakan

langkah awal dimana nantinya akan segera disusun program

kerja bersama antar otoritas untuk dapat saling mendukung

dan bersinergi, sehingga dalam waktu dekat akan segera

tercapai bentuk sinkronisasi penyusunan standar uang

elektronik. Pada akhirnya masyarakat tidak perlu memiliki

banyak uang elektronik untuk bertransaksi.

Page 42: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

42

Penerapan Chip dan PIN paling kurang 6 Digit pada Kartu

ATM/Debet

Guna memitigasi risiko fraud berupa skimming terhadap data

pada kartu magnetic stripe, Bank Indonesia dan industri

berinisiatif untuk menerapkan kartu ATM dan Debet berbasis

chip. Inisiatif ini diawali dengan uji coba penerapan di 3 bank

piloting. Hasilnya setelah dirasa siap dan dapat

diimplementasikan, pada 18 Oktober 2011 Bank Indonesia

mengeluarkan Surat Edaran untuk implementasi chip dan PIN 6

digit pada kartu ATM/Debet bagi industri perbankan.

Tidak seperti penerapan chip pada industri kartu kredit tahun

lalu, waktu yang diperlukan untuk migrasi dari teknologi

magnetic stripe ke teknologi chip pada industri ATM dan Debet

lebih lama. Hal ini antara lain dikarenakan standar yang dipakai

di industri ATM dan Debet merupakan standar nasional yang

tentunya perlu disiapkan sendiri oleh industri mulai dari

pembentukan lembaga yang berwenang mengeluarkan

standar, penyusunan standar sampai dengan sertifikasi

terhadap pihak-pihak yang akan menggunakan standar

Page 43: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

43

tersebut. Selain itu, jumlah kartu ATM dan kartu Debet yang

jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kartu kredit saat

itu. Jumlah kartu ATM dan Debet saat ini 5 kali lipat dari jumlah

kartu kredit saat itu yang hanya mencapai 12,3 juta kartu.

Berdasarkan kondisi itu, Bank Indonesia menetapkan waktu

implementasi standar chip dan PIN 6 digit pada Kartu ATM dan

Debet paling lama 31 Desember 2015. Dengan demikian, sejak

1 Januari 2016 setiap Kartu ATM dan Debet yang diterbitkan

dan digunakan untuk transaksi di Indonesia harus diproses

dengan menggunakan standar teknologi chip dan PIN yang

baru. Rentang waktu yang cukup panjang ini sekaligus untuk

mengakomodir kebutuhan industri dalam menghitung ulang

investasi yang akan dikeluarkan dan tahapan migrasi yang

dilakukan.

Dalam proses migrasi tersebut sudah pasti terdapat

konsekuensi biaya yang cukup besar yang ditanggung oleh

industri ATM dan Debet. Mahal memang, namun dapat

dipastikan bahwa biaya tersebut merupakan biaya sementara

yang ke depan akan ter-cover dengan manfaat peningkatan

Page 44: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

44

efisiensi industri dan tingkat keamanan yang lebih tinggi

dibanding infrastruktur yang digunakan saat ini.

Selain meningkatkan keamanan, penggunaan teknologi chip

dan PIN 6 digit pada instrumen ATM dan Debet juga berpotensi

dalam pengembangan layanan fitur-fitur baru. Oleh karenanya

perlu disadari oleh semua pihak bahwa implementasi standar

ini akan berdampak pada bisnis penerbitan dan aqcuiring kartu

pembayaran yang saat ini telah berjalan.

Dari pengalaman migrasi chip kartu kredit tahun lalu, terlihat

manfaat yang sangat besar terutama dari sisi tingkat fraud.

Setelah terjadinya migrasi chip pada kartu kredit, terdapat

penurunan tingkat fraud yang signifikan pada kartu kredit yang

disebabkan karena modus skimming. Data di bawah

menunjukkan tren penurunan tersebut.

Page 45: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

45

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

20

08

/Jan

20

08

/Mar

20

08

/May

20

08

/Ju

l

20

08

/Se

p

20

08

/No

v

20

09

/Jan

20

09

/Mar

20

09

/May

20

09

/Ju

l

20

09

/Se

p

20

09

/No

v

20

10

/Jan

20

10

/Mar

20

10

/May

20

10

/Ju

l

20

10

/Se

p

20

10

/No

v

20

11

/Jan

20

11

/Mar

20

11

/May

20

11

/Ju

l

JUMLAH KASUS

KERUGIAN

Grafik semua jenis Fraud pada kartu kredit

DUKUNGAN SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP KEUANGAN

INKLUSIF

Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang

bertujuan untuk meniadakan hambatan terhadap akses

masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan.

Terkait dengan hal tersebut, untuk keberhasilan program

tersebut perlu dukungan berbagai infrastruktur dimana salah

satunya adalah sistem pembayaran.

Isu yang muncul selanjutnya adalah bagaimana menjembatani

segmen masyarakat tertentu yang juga membutuhkan layanan

Page 46: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

46

jasa pembayaran tapi belum bersentuhan dengan dunia

perbankan (unbanked people). Golongan ini belum tersentuh

oleh dunia perbankan karena beberapa faktor diantaranya

lokasi geografis yang jauh dari perbankan sehingga memang

tidak terjangkau secara ekonomis bagi bank, atau karena

topologi masyarakat tersebut yang enggan untuk masuk ke

bank, baik karena sungkan maupun enggan dengan formalitas

industri perbankan.

Masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori ini sangat

besar. Survey World Bank tahun 2010 menunjukkan sekitar

62% masyarakat Indonesia masuk dalam golongan tersebut.

Artinya dengan perkiraan penduduk saat ini yang berjumlah

kurang lebih 250 juta, 150 juta belum tersentuh perbankan,

apalagi menggunakan produk bank.

Potensi yang sedemikian besar tersebut menjadi pekerjaan

rumah baik bagi industri perbankan, sistem pembayaran dan

Bank Indonesia. Saat ini pembagian peran yang cukup efektif

telah dilakukan oleh kalangan perbankan dengan lembaga

Page 47: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

47

selain bank yang memiliki basis jaringan distribusi luas sampai

ke pelosok seperti Kantor Pos Indonesia.

Pola kolaborasi ini bisa dikembangkan lagi dengan perusahaan

yang memiliki basis infrastruktur teknologi informasi, seperti

penyedia jaringan selular misalnya. Sebagaimana diketahui

bersama, penggunaan media telepon selular telah merambah

sampai ke pelosok. Apabila kita cermati, pola pola tersebut

telah dimanfaatkan oleh penyelenggara sistem pembayaran

khususnya non-bank yang memang memiliki jalur distribusi

ataupun jaringan infrastruktur telekomunikasi. Selain Kantor

Pos, sekarang pengadaian, perusahaan jasa titipan, dan toko

waralaba telah bekerjasama dengan perbankan atau menjadi

penyelenggara KUPU untuk memberikan jasa pembayaran di

daerah-daerah yang memang belum terdapat bank.

Harapannya dengan pola seperti ini, walaupun masih

digunakan oleh unbanked people, perlahan-lahan tingkat

awareness mereka akan meningkat baik terhadap produk

perbankan maupun jasa pembayaran.

Page 48: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

48

AKTIVITAS SISTEM PEMBAYARAN

Aktivitas setelmen RTGS melalui sistem Bank Indonesia –Real Time

Gross Settlement

Perkembangan transaksi setelmen RTGS baik rupiah maupun

valas selama 2011 mencatat transaksi sebanyak 16 juta dan

dengan nilai sebesar Rp65 ribu triliun. Bisa dikatakan rata-rata

dalam sehari transaksi yang di settle melalui sistem BI-RTGS

adalah mencapai 64 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp264

triliun.

Sungguh nilai yang tidak sedikit. Melihat perkembangan tahun

sebelumnya, rata-rata dalam sehari hanya mencapai transaksi

sebesar 46,5 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp174 triliun.

Ini artinya, dalam kurun waktu setahun transaksi yang di-settle

melalui sistem BI-RTGS mengalami kenaikan masing-masing

sebesar 36% untuk volume dan 48% untuk nilai.

Page 49: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

49

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

Juta TransaksiRp Miliar

Nilai (Rp Miliar) Volume

Perkembangan Transaksi RTGS

8.4%

19.9%

5.4%

3.2%

4.6%

45.2%

10.4%

3.0%Nilai

PUAB

Nasabah

Valas

Pasar Modal

Pemerintah

Pengelolaan Moneter

Kliring

Lainnya

Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan Nilai

0.61%

86.32%

0.72%

0.41%4.65%

0.49% 1.95% 4.85% Volume

PUAB

Nasabah

Valas

Pasar Modal

Pemerintah

Pengelolaan Moneter

Kliring

Lainnya

Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan volume

Page 50: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

50

Grafik perkembangan transaksi RTGS menunjukkan kenaikan

transaksi yang signifikan dibanding dengan tahun sebelumnya.

Berdasarkan jenis transaksi yang di-settle melalui sistem BI-

RTGS, selama tahun 2011 tercatat komposisi paling besar di sisi

nilai adalah transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,2%.

Sedangkan di sisi volume komposisi terbesar transaksi

dilakukan oleh nasabah sebesar 86,3%.

Berdasarkan data di Bank Indonesia, tercatat peningkatan

transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,6% di sisi nilai

transaksi dan peningkatan sebesar 26,8% di sisi volume

dibandingkan tahun sebelumnya.

2010 2011 Naik/Turun (%)

PUAB 4,368 5,205 19.2%

Nasabah 9,344 12,354 32.2%

Valas 3,029 3,324 9.7%

Pasar Modal 2,182 2,010 -7.9%

Pemerintah 2,070 2,858 38.1%

Pengelolaan Moneter 19,279 28,065 45.6%

Kliring 5,499 6,448 17.3%

Lainnya 1,422 1,848 29.9%

Sumber : EDW BI-SP

Jenis Transaksi Nilai (Rp triliun)

S u m b e r : E D W B I - S P

Page 51: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

51

Jika dilihat dari komposisi kelompok transaksi per peserta,

maka transaksi RTGS paling banyak dilakukan oleh kelompok

bank swasta nasional yaitu menempati proporsi sebanyak

41,51%. Namun jika dilihat dari nilai transaksi, komposisi

terbanyak transaksi dilakukan oleh bank swasta nasional

dengan prosentase 38%.

7.44%

5.20%

33.17%

7.72%

41.51%

4.70%

0.26% 0.26% VolumeBANK ASING

BANK CAMPURAN

BANK PEMERINTAH

BANK PEMERINTAH DAERAH

BANK SWASTA NASIONAL

BANK SYARIAH DAN UUS

Komposisi Transaksi BI-RTGS (Volume)

Page 52: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

52

20.56%

6.98%

24.76%

7.79%

38.00%

1.16%

0.74%Nilai Transaksi

BANK ASING

BANK CAMPURAN

BANK PEMERINTAH

BANK PEMERINTAH DAERAH

BANK SWASTA NASIONAL

BANK SYARIAH DAN UUS

Komposisi Transaksi BI-RTGS (Nilai)

Aktivitas kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

(SKNBI)

Aktivitas kliring melalui SKNBI relative stabil dan tidak

mengindikasikan lonjakan transaksi secara signifikan. Selama

2011, transaksi yang dikliringkan melalui SKNBI berjumlah 95

juta dengan nilai transaksi mencapai Rp1,9 ribu triliun.

Page 53: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

53

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

-

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

10,000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Rp

Tri

lyu

n

Rib

u T

ran

saks

i

Volume Nilai Transaksi

Transaksi kliring melalui sistem SKNBI

Sebagian besar transaksi pada SKNBI merupakan transfer dana

elektronik antar nasabah bank dengan jumlah nilai yang

dibatasi yaitu kurang dari Rp100 juta. Dengan jumlah transaksi

yang diperkirakan rata-rata sehari mencapai 395 ribu transaksi

(naik 6,9% bila dibandingkan tahun lalu), bisa dibilang

merupakan jumlah yang sangat banyak. Hampir sebagian besar

aktivitas pembayaran dilakukan melalui kliring. Misalnya,

transaksi pembayaran melalui mesin ATM, internet banking,

mobile banking, maupun sms banking hampir sebagian besar

dilakukan melalui kliring. Apalagi sejak diimplementasikannya

mekanime close to real time dalam proses pembayaran melalui

kliring. Dengan biaya yang lebih murah dibanding transfer

dengan RTGS, saat ini transfer dana melalui kliring bisa

Page 54: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

54

dilakukan dengan cepat, satu hari pun sudah bisa sampai di

penerima.

Dengan semakin efisien, murah dan cepat, bukannya tidak

mungkin dalam kurun waktu setahun semakin banyak transaksi

yang melalui sistem ini. Jika dilihat dari aspek bisnis,

merupakan peluang yang sangat menguntungkan bagi industri

yang menjalankannya. Terutama dilihat dari sisi penyelenggara

kliring yang saat ini dilakukan oleh baik institusi lokal maupun

manca negara yaitu Artajasa, Rintis, Alto, Visa. dan Mastercard.

Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit

Potensi penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Indonesia

masih cukup besar dikarenakan pangsa pasar di Indonesia yang

masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Berdasarkan

data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini terdapat kurang lebih

111 juta penduduk yang potensial untuk menjadi pemegang

kartu (sumber: data BPS, tenaga kerja usia 15 tahun ke atas).

Dari total Sementara itu, jumlah kartu kredit akhir tahun 2011

Page 55: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

55

mencapai 14,6 juta kartu. Asumsi, 1 orang memiliki 2 kartu

kredit, maka saat ini jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia

dibandingkan dengan potensi pasar yang ada (jumlah

penduduk usia produktif) baru mencapai 4,5%.

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

20,000

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Rp

Mily

ar

Rib

u t

ran

saks

i

Volume Nilai Transaksi Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Kartu Kredit

Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada tren

peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya yang

mencapai rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 15%.

Naiknya tren jumlah kartu tersebut selama kurun waktu 5

tahun turut pula mendorong peningkatan penggunaannya. Di

sisi volume pertumbuhan per tahun rata-rata mencapai 12%,

sementara itu di sisi nilai mencapai 23%.

Page 56: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

56

-

2

4

6

8

10

12

14

16

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Juta Kartu

Jumlah Pemegang Kartu Kredit

PerkembanganPemegang Kartu Kredit

Volume (juta)

Tahun Tunai Belanja Total

2005 5,26 91,31 96,57 2006 5,69 108,58 114,27 2007 4,80 124,49 129,29 2008 5,39 161,35 166,74 2009 4,81 177,82 182,62 2010 4,33 192,09 196,41 2011 3,74 186,89 190,63

Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU

Nilai Transaksi (Rp triliun)

Tahun Tunai Belanja Total

2005 2,75 42,94 45,69

2006 3,51 54,85 58,36

2007 3,30 69,30 72,60

2008 3,80 103,47 107,27

2009 4,04 132,65 136,69

2010 4,51 156,88 161,38

2011 4,08 161,52 165,60 Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU

PerkembanganTransaksi Kartu Kredit

Page 57: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

57

Saat ini telah terdapat 20 penerbit kartu kredit dan 5 penyedia

jaringan yang disebut prinsipal. Kelima penyedia jaringan

seluruhnya merupakan institusi asing. Salah satu diantara

kelima prinsipal tersebut adalah PT. China Unionpay yang baru

memasuki industri kartu kredit di Indonesia tahun 2010. Saat

ini jaringan CUP tersebut beranggotakan PT. Bank ICBC

Indonesia dan PT. Bank of China.

Total transaksi kartu kredit yang melalui kelima jaringan

mencapai 190,6 juta transaksi dengan nilai sebesar Rp165,6

triliun. Coba kita sama-sama berhitung, jika principal A

menerapkan fee berupa Merchant Diskon Rate (MDR) 2,5% dari

setiap transaksi di toko. Si A melakukan transaksi sebesar

Rp2.400.000, maka didapat MDR sebesar Rp60.000. dari fee

Rp60.000 tadi dibagi-bagi kepada si toko, acquirer dan

prinsipal. Fee bersih principal A sebesar Rp20.000. Jika dalam

sehari terdapat transaksi sebanyak 250 ribu transaksi di satu

negara, maka keuntungan yang didapat selama setahun untuk

91 juta transaksi adalah sebesar Rp1,8 triliun.

Page 58: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

58

Aktivitas Pembayaran Menggunakan Account Based Card (Kartu

ATM dan Kartu Debet)

Kartu ATM/Debet, merupakan salah satu alat bayar yang

penggunaannya melesat dari tahun ke tahun. Mungkin karena

penetrasi kepada masyarakat yang dinilai sukses. Sehingga

dalam kurun waktu 5 tahun, rata-rata pertumbuhan jumlah

kartu per tahun mencapai 16%, sedangkan di sisi nilai tumbuh

lebih tinggi lagi yaitu 19% dan di sisi volume mencapai 16%.

Jumlah tersebut masih dimungkinkan untuk tumbuh lebih pesat

lagi mengingat prosentase kartu per penduduk potensial untuk

menjadi pemegang kartu masih 48,7%. Kartu ATM/Debet

otomatis diberikan kepada nasabah ketika si nasabah membuka

rekening di bank. Dengan fungsi untuk memberikan

kemudahan si nasabah dalam menarik tunai dananya di

rekening tanpa harus melalui teller, dan iming-iming bisa

dipakai untuk berbelanja di toko-toko yang menyediakan

fasilitas tersebut, maka siapa yang menolak?

Mengambil manfaat dari kondisi tersebut, selama tahun 2011

mulai marak bermunculan pemain-pemain yang selama ini

Page 59: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

59

berkecimpung di segment mikro dan kecil seperti Bank

Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai dengan akhir tahun 2011

telah terdapat 8 BPR yang menyelenggarakan kartu ATM.

Pada tahun 2011, total account based card yang beredar

mencapai 61 juta kartu. Jumlah tersebut apabila dibandingkan

dengan tahun sebelumnya meningkat 19% (dari 51,6 juta

kartu). Dari jumlah tersebut 94% merupakan kartu ATM yang

sekaligus dapat digunakan sebagai kartu debet (kartu

ATM/Debet), yang diterbitkan oleh 46 bank. Sisanya 6%,

berupa kartu ATM murni atau hanya dapat digunakan untuk

tarik tunai, yang diterbitkan oleh 55 bank dan 8 Bank

Perkreditan Rakyat (BPR).

-

10

20

30

40

50

60

70

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Juta Kartu

Jumlah Kartu

Perkembangan Jumlah Account Based Card (juta kartu)

Page 60: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

60

Peningkatan jumlah kartu tersebut turut pula mendorong

peningkatan aktivitas transaksi. Pada tahun 2011, nilai yang

ditransaksikan mencapai Rp2.238 triliun. Sementara itu, di sisi

volume mencapai 2.043 juta transaksi. Rata-rata setiap

bulannya transaksi menggunakan account based card

meningkat masing-masing sebesar 1,7% di sisi volume dan 1,4%

di sisi nilai.

Pola peningkatan penggunaan account based card juga dapat

menunjukkan perkembangan tingkat awareness masyarakat

akan instrumen pembayaran non tunai, atau dengan kata lain

dapat menunjukkan perkembangan less cash di masyarakat.

-

20

40

60

80

100

120

140

160

180

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Juta TransaksiRp Trilliun

Nilai (Rp Triliun) Volume (dalam Juta)

Perkembangan Volume dan Nilai Account Based Card

Page 61: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

61

Meskipun porsi penarikan tunai masih jauh lebih besar dari

aktifitas transaksi lainnya, namun dalam kurun waktu 5 tahun

terakhir cenderung menurun. Apabila tahun 2005 porsi

penarikan tunai masih sebesar 78,3%, pada tahun 2011 porsi

tersebut menurun menjadi sebesar 71,5%. Apabila dilihat dari

transaksi transfer, terjadi peningkatan pada porsi transaksi

transfer (baik antarbank maupun interbank) menggunakan

kartu ATM/debet. Tahun 2005 porsinya masih sebsar 17%,

selama tahun 2011 meningkat porsinya menjadi sebesar 22,4%.

Kita lihat lagi trend teknologi saat ini, dimana jejaring sosial di

dunia maya mulai marak membuka “toko” online. Saat ini

kurang lebih 48 juta penduduk atau 43,2% dari total penduduk

Indonesia mulai “melek” internet (sumber: data Depkominfo

per Des 2011). Mereka mulai melihat adanya kemudahan dan

kenyamanan dalam bertransaksi melalui internet karena tidak

perlu datang langsung ke toko tersebut. Memang saat ini tidak

selalu secara online pembayarannya, namun cukup dengan

administrasi pembelian di internet kemudian pembayaran

cukup dilakukan melalui transfer di mesin ATM maupun secara

Page 62: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

62

mobile banking. Selanjutnya si pembeli mengkonfirmasikan

pembayarannya dan barang pun dikirim. Faktor inilah yang

diindikasikan meningkatnya jumlah kegiatan transaksi transfer

melalui kartu ATM/debet. Hal ini juga mengindikasikan upaya

Bank Indonesia dalam mendorong less cash society mulai

menunjukkan hasilnya.

78.34%

77.86%

76.39%

74.80%

72.67%

71.92%

71.50%

4.61%

5.01%

5.48%

5.88%

6.29%

6.17%

6.10%

17.05%

16.71%

17.39%

18.06%

18.47%

18.57%

18.43%

0.00%

0.42%

0.73%

1.27%

2.57%

3.34%

3.98%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Tunai

Belanja

Transfer Interbank

Transfer Antarbank

Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Volume)

Page 63: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

63

39.03%

44.93%

33.29%

33.88%

43.72%

46.26%

46.72%

1.86%

2.13%

1.75%

2.08%

3.10%

3.26%

3.39%

58.55%

52.94%

64.03%

62.39%

49.28%

45.00%

43.42%

0.56%

0.00%

0.92%

1.66%

3.91%

5.48%

6.47%

0% 20% 40% 60% 80% 100%

2006

2005

2007

2008

2009

2010

2011

Tunai

Belanja

Transfer Interbank

Transfer Antarbank

Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Nilai)

Dengan semakin menggiurkannya industri kartu ATM/debet ini,

selama tahun 2011, industri kartu ATM/debet di Indonesia

mulai diramaikan dengan masuknya pendatang baru dari

Negara China yaitu Bank of China sebagai penerbit dan China

Unionpay sebagai prinsipal. Sehingga sampai dengan akhir

2011, jumlah penerbit dan prinsipal kartu ATM/debet di

Indonesia masing-masing berjumlah 55 dan 5 penyelenggara.

Page 64: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

64

UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)

Meskipun baru 4 tahun yang lalu jenis pembayaran ini

diluncurkan, namun jika kita tengok jumlah uang elektronik

telah mencapai sekitar 12,8 juta kartu pada 2011. Penggunaan

uang elektronik pada tahun 2011 mencatatkan transaksi

sebesar 36,4 juta transaksi atau meningkat 37% dari tahun

sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp856,7 miliar atau

meningkat 24% dari tahun sebelumnya.

-

2,500

5,000

7,500

10,000

12,500

15,000

4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10

2007 2008 2009 2010 2011

Ribu Kartu

Jumlah Kartu Beredar

Pertumbuhan Uang Elektronik

Page 65: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

65

Industri uang elektronik menarik banyak sektor industri. Selain

perbankan, sektor telekomunikasi dan transportasi pun ikut

berkecimpung dalam bisnis yang terbilang baru ini. Sampai

dengan tahun 2011 telah ada 11 pemain yang menerbitkan

uang elektronik baik dalam bentuk kartu berbasis chip maupun

media berbasis server. Industri perbankan lebih memilih

menerbitkan uang elektronik dalam bentuk kartu yang relatif

lebih mudah pengembangannya. Karena sebelumnya mereka

pun rata-rata menerbitkan kartu kredit dengan menggunakan

chip. Sedangkan industri telekomunikasi yang memang

jawaranya aplikasi berbasis mobile yang tak lain juga adalah

-

500.00

1,000.00

1,500.00

2,000.00

2,500.00

3,000.00

3,500.00

4,000.00

4,500.00

5,000.00

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

70,000

80,000

90,000

100,000

110,000

120,000

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

2007 2008 2009 2010 2011

Ribu TransaksiRp Juta

Nilai Volume

Perkembangan Transaksi Uang Elektronik

Page 66: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

66

“bermain” server, maka mereka lebih memilih menerbitkan

produknya dalam bentuk media handphone (server based). Jika

dilihat dari perkembangan transaksi, dapat terlihat bahwa

proses penetrasi pasar terbilang cukup berhasil pada sektor

perbankan dan transportasi. Sedangkan di sisi lain, sektor

telekomunikasi relatif stagnan perkembangannya. Hal ini

diindikasikan bahwa walaupun terdapat 185 juta pengguna

handphone di Indonesia (sumber: data Kemenkominfo), namun

penetrasi uang elektronik hanya sebesar 3,9%.

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

30,000,000

35,000,000

40,000,000

2007 2008 2009 2010 2011

Perbankan dan Transportasi Vol Telekomunikasi Vol

Perkembangan Volume Transaksi Uang Elektronik per sektor

Page 67: Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian

67

-00-

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

900,000

2007 2008 2009 2010 2011

Perbankan dan Transportasi Nilai

Telekomunikasi Nilai

Perkembangan Nilai Transaksi Uang Elektronik per sektor