MENGHITUNG WETNESS INDEX
Kelompok 9 :1. Desi Hermawati E141100612. Muhammad Rifaldy H.
E141200133. Ade Wibowo P. E141200214. Alif Rizki Agung S.
E141200375. Recha Hajiah S. E141200426. Annisa Budi Utami
E14120063Asisten:1. Endrawati, S.Hut2. Yunensih, S.Hut3. Bayu
Pradana, S.Hut4. Agung Kriswiyanto, S.Hut5. M. Yanuar P.
E141000436. Mawardah Nur H. E141000397. Wulandari M. E141000478.
Dimas Alfred P. E14100069
Dosen Pengajar :Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr
Laboratorium Hidrologi Hutan dan Pengelolaan DASDepartemen
Manajemen Hutan Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor2015
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangDalam sejarah kehidupan manusia, menempati
daerah yang subur dan mudah mendapatkan air adalah hal yang lumrah
dilakukan hingga saat ini. Pemukiman beserta infrastruktur
pendukungnya akhirnya secara cepat tumbuh di daerah ini. Namun
sayangnya, disadari atau tidak, daerah tersebut biasanya sangat
rawan terhadap bencana banjir. Pertumbuhan penduduk yang pesat
berpadu dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak konservatif
dapat memperburuk keadaan ini dimana banjir yang datang dirasakan
semakin sering dan dampaknya pun semakin parah. Begitu pula halnya
dengan bencana tanah longsor. Lereng yang tidak stabil, berpadu
dengan kondisi curah hujan yang intesitasnya tinggi akan
membahayakan bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Oleh
karena itu, untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan bencana ini
diperlukan sebuah sistem peringatan dini yang dapat memberikan
informasi mengenai daerah-daerah yang beresiko tinggi.Berbagai
kajian yang telah dilakukan banjir yang terjadi di daerah-daerah
rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kegiatan
manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang yang
berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah
hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan laut, badai, dan
sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan
penutup tanah pada cathment area, pendangkalan sungai akibat
sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.Untuk itu
diperlukan suatu pendugaan/estimasi rawan banjir, sehingga bencana
banjir bisa ditanggulangi sedini mungkin. Estimasi daerah rawas
banjir diperlukan dalam rangka memberikan early warning system bagi
masyarakat mengenai lokasi-lokasi yang dianggap beresiko tinggi
terhadap banjir dan lokasi-lokasi yang aman terhadap banjir.
Sehingga hasil rekomendasi yang ada berupa arahan-arahan biofisik
yang menyangkut pola pengelolaan lahan yang berbasis pada
konservasi tanah dan air. Wetness indeks (WI) adalah indeks
kebasahan yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu kawasan
yang mempunyai potensi banjir. Indeks ini diturunkan dari
peubah-peubah permukaan.
1.2 Tujuan PraktikumTujuan praktikum ini adalah untuk menghitung
Wetness Index dari sub DAS Alo.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Kondisi Danau Limboto Danau Limboto
adalah salah satu aset sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi
Gorontalo saat ini. Danau Limboto telah berperan sebagai sumber
pendapatan bagi nelayan, pencegah banjir, sumber air pengairan dan
obyek wisata. Areal danau ini berada pada dua wilayah yaitu + 30 %
wilayah Kota Gorontalo dan + 70 % di wilayah Kabupaten Gorontalo
dan menjangkau 5 kecamatan. Danau Limboto kini berada pada kondisi
yang sangat memperihatinkan karena mengalami proses penyusutan dan
pendangkalan akibat sedimentasi yang mengancam keberadaannya dimasa
yang akan datang. Semakin berkurangnya luasan perairan danau
menyebabkan semakin menurunnya fungsi danau sebagai kawasan
penampung air sehingga berpotensi terjadinya banjir dan kekeringan
di sekitar wilayah kawasan danau bahkan di luar kawasan Danau
Limboto.Danau Limboto terletak di bagian tengah Provinsi Gorontalo
dan secara astronomis, DAS Limboto terletak pada 122 42 0.24 123 03
1.17 BT dan 00 30 2.035 00 47 0.49 LU. DAS Limboto merupakan bagian
dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS)
Bone-Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS
Prioritas dari DAS Kritis di SWP-DAS Bone-Bolango. Danau Limboto,
merupakan cekungan rendah atau laguna, yang merupakan muara
sungai-sungai, diantaranya: Ritenga, Alo Pohu, Marisa, Meluopo,
Biyonga, Bulota, Talubongo dan sungai-sungai kecil dari sisi
selatan: Olilumayango, Ilopopala, Huntu, Hutakiki, Langgilo.Luas
Danau Limboto sampai tahun 2007 sebesar 2.537,152 ha, dengan
kedalaman sekitar 2-2,5 m sedangkan luas daerah tangkapan air Danau
Limboto sekitar 900 km2. Pada tahun 1932 rata-rata kedalaman Danau
Limboto 30 meter dengan luas 7.000 Ha, dan tahun 1961 rata-rata
kedalaman Danau berkurang menjadi 10 meter dan luas menjadi 4.250
Ha. Sedangkan tahun 1990 - 2008 kedalaman Danau Limboto rata-rata
tinggal 2,5 meter dengan luas 3.000 Ha.Dalam kurun waktu 52 tahun
luas Danau Limboto berkurang sekitar 4.304 Ha atau sekitar 62,60%
dari total luas danau. Sehingga dari data tersebut diatas rata-rata
luas danau berkurang sekitar 65,89 Ha per tahun, sehingga pada
tahun 2025 danau ini diperkirakan akan berubah menjadi daratan.2.2.
Kondisi Iklim LimbotoKawasan Danau Limboto terletak pada daerah
bayang-bayang hujan selama 44 tahun terakhir (1961-2005) sebesar
1.426 mm per tahun. Curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm
(bulan kering) terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Agustus,
September dan Oktober. Sedangkan curah hujan di atas 100 mm ( bulan
basah) terjadi selama 9 bulan, yaitu bulan Januari-Juli dan bulan
November - Desember.2.3. Curah Hujan LimbotoCurah hujan bulanan
lebih kecil dari 100 mm (bulan kering) terjadi selama 3 bulan yaitu
pada bulan Agustus, September dan Oktober. Sedangkan curah hujan di
atas 100 mm ( bulan basah) terjadi selama 9 bulan, yaitu bulan
Januari-Juli dan bulan November - Desember. Jumlah hari hujan dalam
setahun berkisar antara 172 - 216 hari, dengan rata - rata hari
hujan sebanyak 194 hari per tahun dan rata hari hujan per bulan
selama setahun 16,2 hari. Jumlah hari hujan di atas, rata - rata
hari hujan per bulan selama 9 bulan, pada bulan Januari - Juli dan
November Juni. Nilai Evapotranspirasi rata - rata bulanan di
kawasan Danau Limboto dan sekitarnya, berkisar antara 127 - 145 mm.
Sedangkan jumlah rata - rata setahunnya sebesar 1652,8 mm.Data
mengenai karakteristik (luas, dalam kapasitas) Danau Limboto yang
tersedia adalah tahun 1993, 1994, 1996 dan 2001. Kurva hubungan
antara elevasi muka air dengan luas perairan dan volume tampungan
untuk berbagai tahun. Hubungan tersebut menunjukkan penurunan luas
perairan dan kapasitas tampung dari tahun ke tahun. Untuk elevasi +
4 m, MSL, luas perairan turun dari 37 km2 , 1996, ke 28 km2, 2001
atau turun rata-rata 2,0 km2 per tahun. Sementara untuk volume air
atau kapasitas turun dari 55.106 m3 , 1996 ke 48,31.106 m3 , 2001
atau turun rata-rata 1,54.106 m3 per tahun.2.4. Karakteristik
DASKarakteristik DAS sangat dipengaruhi pula oleh letaknya di dalam
DAS itu sendiri. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang relatif
curam dan bukit-bukit terjal, maka banjir dengan waktu datang
sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan
datang dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan waktu
berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi
sehingga air banjir dengan mudah mencari alur keluar. Untuk daerah
tengah banjir yang terjadi datangnya tidak secepat pada daerah
hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan
keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada derah hilir,
kemiringan dasar sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini
biasanya sangat kecil dan relatif datar. Biasanya waktu datang
banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan juga mengalami
kesulitan. Hal ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah
kecil, sehingga air genangan tidak mungkin diatuskan dengan gaya
berat. Jika kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada
kondisi tinggi, maka pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir
tidak mungkin. Pada daerah ini, penanganan banjir harus
mengintegrasikan pengaruh aliran banjir di sungai dengan
hidrodinamika gerakan pasang surut di laut (Luknanto, 2002).
2.5. Topografi Wetness Indeks(TWI) Menurut Grabs et al (2009),
topografi berperan penting dalam mnentukan pola spasial terhadap
areal-areal jenuh air, yang mana sebagai kunci untukg memahami
keberagaman tanah dan proses-proses hidrologi yang dialami dalam
sebuah DAS. Topografi Wetness Indeks(TWI) atau Compound Topographic
Indeks merupakan turunan data turunan yang dihasilkan dari data DEM
dalam kondisi yang tetap steady state menggunaan fungsi akumulasi
aliran dan kelerengan. Penggunaan indeks ini telah terbukti
berkorelasi positif dengan atribut tanah seperti kedalaman horizon,
kandungan liat, dan bahan organik (oore et al, 1993 dalam Yang et
al, 2005).Selanjutnya menurut Grabs et al (2009), TWI telah banyak
digunakan dalam menentukan kondisi kebahsahan DAS dengan
mengasumsikan bahwa tinggi muka air tanah mengikuti grradien
permukaannya. Dalam berbagai aplikasi hidrologi, TWI telah banyak
dimodifikasi agar dapat menggambarkan kondisi kebasahan secara
dinamis dengan memberikan input berupa data curaah hujan. Dalam
penelitian yang diakukan oleh Kim dan Jung (2003) pada salah satu
DAS di Korea Selatan, penggunaan TWI secara dinamis dapat
menggambarkan kondisi kebasahan/kemungkinan genangan dengan
mensimulasikan data curah hujan selama 20000 jam darri tahun 1999
hingga 2001.Wetness Indeks adalah indeks kebasahan yang digunakan
sebagai indikator dari suatu kawasan yang mempunyai potensi banjir.
Indeks ini diturunkan dari peubah-peubah permukaan sehinggan untuk
mengetahui jumlah impasan air yang tersedia ataupun tinggi suatu
genangan air dalam tiap area diperlukan informs dari perhitungan
limpasan permukaan. Topographic Wetness index (index kebasahan)
yang telah dibuat diklasifikasi menjadi tingkat kerawanan banjir.
Klasifikasi yang dilakukan menjadi 5 kelas dengan, yaitu kelas
sangat rawan, rawan, agak rawan, potensial rawan dan tidak
rawan.
BAB IIIMETODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Pengelolaan Ekosistem Hutan dan
DAS dengan materi Menghitung Wetness Index dilakukan di RK X 3.01
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada hari Kamis, 19
Maret 2015 pukul 09.00-12.00 WIB.3.2 Alat dan Bahan Alat yang
digunakan yaitu laptop, perangkat lunak GIS (ArcGIS 10.1). Bahan
yang digunakan yaitu data fiilalo_utm atau alo_utm, data facc_alo
dan data slope_ fill3.3 Langkah Kerja1. Add data fiilalo_utm atau
alo_utm, facc_alo dan slope_fill pada tampilan Arc GIS Arc Map
Jika data slope_fill belum berbentuk UTM maka file diubah ke
dalam bentuk UTM
2. Klik data management tool Project and transformations Raster
Project Raster
3. Pilih file facc_alo pada input raster
4. Isi output dengan nama facc_UTM
5. Klik Output Coordinate System , Buka Projected Coordinate
Systems
6. Klik UTM,
7. Kemudian pilih Northern Hemisphere
8. Pilih WGS 1984 UTM Zone 51N
9. Setelah kolom dalam window Project Raster terisi seperti
gambar di bawah ini kemudian klik OK
10. Kemudian pilih Spatial Analysis Tool pilih Surface Slope
11. Kemudian masukan input raster dengan file alo_utm, isi
output raster dengan nama slope_alode lalu OK
12. Maka akan muncul hasil seperti gambar berikut
13. Klik Spatial Analyst Tools pilih Map Algebra lalu pilih
Raster Calculator
14. Isi kolom seperti gambar dibawah ini dan isi Ouput Raster
dengan nama upslope lalu OK
15. Buka kembali Raster Calculator isi kolom dengan double klik
Ln ,upslope, klik tanda pembagi (/) lalu double klik tan dan
slope_alode kemudian isi output raster dengan wi_alo lalu OK
16. Kemudian Klik Spatial Analyst Reclass Reclassify (untuk
kembali mengkelaskan Index Kebasahan (Wetness Index) yang telah
dibuat sebelumnya)
17. Pilih file wi_alo pada kolom input raster lalu klik
Classify
18. Kemudian pilih natural breaks (jenks) pada kolom method agar
angka pada kolom Classes dapat diubah lalu pilih angka 4 pada kolom
Classes, Lalu ubah angka pada kolom Break Values seperti gambar di
bawah ini
19. Ubah class_wii kedalam bentuk UTM dengan klik Conversion
Tool From Raster Raster to Polygon
20. Pilih file class_Wi pada kolom Input Raster dan simpan file
pada kolom output Polygon Features dengan nama wi_classpoly lalu
OK
21. Klik Data Management Tools pilih Generalization Dissolve
22. Pilih file wi_classpoly pada kolom Input Feature lalu simpan
file tersebut pada kolom output feature Class dengan nama wi_dislv
kemudian pada kolom Dissolve_Field(s) (optional) checklist GRIDCODE
lalu OK
23. Pada Layer wi_dislv klik kanan lalu pilih Open Attribute
Table
24. Pada tools Option pilih Add Field untuk menambahkan
kolom
25. Kemudian pada Add Field isi Name dengan keterangan, pilih
Text pada kolom Type serta isi Length dengan angka 15 pada kolom
Field Properties lalu OK
26. Pilih baris dengan cara klik pada kolom sebelum FID lalu
klik kanan pada kolom keterangan pilih Field Calculator
27. Pada kolom keterangan Add rentang 0-13,57 lalu OK kemudian
ulangi pada baris berikutnya dengan rentang 13,57-15,63 lalu
15,63-17,27 dan >17,27 lalu OK
28. Maka hasil akan muncul seperti tampilan berikut
Pada tools Option pilih Add Field untuk menambahkan kolom29.
Kemudian pada Add Field isi Name dengan Luas , pilih Double pada
kolom Type serta isi Precision dengan angka 7 dan Scale dengan
angka 2 pada kolom Field Properties lalu OK
30. Kemudian pilih kolom Luas lalu klik kanan Calculate
Geometry
31. Lalu pilih Area pada kolom Property kemudian pilih Hectares
[ha] pada kolom units lalu OK
Maka akan muncul tampilan seperti berikut
Berikut hasil wi_dislv yang di tampilkan pada Ms. Excel
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Tabel 1. FIDSHAPEGRIDCODEKETLUAS
0polygon10-13,572556,39
1polygon213,57-15,6326,54
2polygon315,63-17,274,51
3polygon4> 17,270,88
Penjelasan : 0-13,57= Tidak Berpotensi Banjir13,57-15,63=
Potensi Banjir Rendah15,63-17,27= Potensi Banjir Sedang> 17,27=
Potensi Banjir Tinggi 4.2 PembahasanModel data dengan menggunakan
Digital Elevation Model (DEM) yang dengan interpolasi data digital
kontur berdasarkan data raster atau grid yang dapat menggambarkan
ketinggian diatas permukaan laut. Sehingga data ini mempunyai
beberapa macam data seperti kelerengan (slope), flow direction
(arah aliran), flow accuumulation (akumulasi aliran air), steam
power index (index kekuatan aliran), dan wetness index (indeks
kebasahan).Wetness index adalah indeks kebasahan atau kejenuhan
yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu kawasana atau
areal yang mempunyai potensi banjir. Wetnees index ini dapat
dihitung melalui dua peubah yang ada yaitu luas area yang memiliki
akumulasi ketersediaan air untuk limpasan (Flow Accumulation) dan
kemiringan lahan (topografi) tersebut dengan satuan derajat dengan
menggunakan peubah-peubah permukaan yang digunakan untuk mengetahui
jumlah air limpasan yang tersedia ataupun tinggi pada suatu
genangan air dalam tiap sel/area maka diperlukan informasi dari
perhitungan limpasan permukaan.Metode ini menggunakan pendekatan
bentuk lereng (kelerengan) seperti kecekungan, kecembungan, data
kelerengan dan sudut kelerengan. Data dari wetness index ini banyak
digunakan dalam menentukan kondisi kebasahan dalam DAS dengan
mengsumsikan bahwa tinggi muka aitr tanah mengikuti gradien
permukaaannya. Dalam beberapa aplikasi dalam bidang hidrologi,
metode ini telah di modifikasi untuk mendapatkan gambaran mengenai
kondisi kebasahan secara dinamis dengan memberikan input berupa
data curah hujan, atau dapat pula data debit sungai, data penampang
sungai, serta dengan penggabungan dengan menggunakan software
hidrologi seperti HEC GeoRAS akan dapat meramal atau memprediksi
banjir. Penggunaan data Flow Accumulation pada wetness index karena
merupakan representasi dari akumulasi aliran yang dihasilkan dari
tempat tertinggi menuju ketinggian yang paling rendah, sehingga
dapat mengetahui arah air akan mengalir. Dengan mengikuti arah
aliran maka dapat digambarkan banyaknya aliran yang ada sehingga
flow accumulation dapat disebut juga sebagai contributing
area.Estimasi banjir dengan menggunakan wetness index ini tidak
memiliki standar pengkelasan tertentu, karena sifatnya yang dinamis
tergantung dari nilai indeks yang dihasilkan terutama penerapannya
pada DAS yang berbeda, oleh karena itu pengkelasan dapt juga
menggunakan klasifikasi lain seperti klasifikasi quantile yang
dapat menghasilkan data akumulatif. Kelemahan dari wetness index
ini adalah ketidakmampuannya dalam memprediksi banjir yang akan
terjadi dan peluang terjadinya pada tahun kedepan. Selain itu,
tidak mempunyai standar pengkelasan untuk daerah yang sangat
beresiko terjadinya banjir. Untuk dapat memprediksi banjir sangat
penting adanya analisa hidrologi yang melibatkan data curah hujan
harian dan debit sungai dari DAS sekitarnya secara tepat waktu
serta data detail lainnya yang mendukung agar dapat memprediksi
potensi banjir secara teliti dan detail. Penggunaan wetness index
ini sangat membantu untuk mengetahui potensi bencana alam terutama
banjir pada suatu daerah yang mempunyai batas alami berupa Daerah
Aliran Sungai di daerah hilir.Berdasarkan hasil wetness index, pada
sub DAS Alo yang memiliki potensi banjir yang tinggi terdapat di
polygon 4 yang memiliki luas kawasan sekitar 0,88 ha dengan nilai
wetness index diatas 17,27 , sedangkan pada polygon 3 yang memiliki
luas kawasan sebesar 4,51 mempunyai potensi banjir yang sedang ada
selang nilai wetness index 15,63-17,27. Pada polygon 2 yang
memiliki luas kawasan sebesar 26,54 memiliki tingkat potensi banjir
yang rendah dengan nilai wetness indexnya berada pada 13.57-15,63.
Dan polygon 1 yang memiliki luas kawasan terbesar yakni 2556,39 ha
tidak berpotensi banjir atau wilayah tersebut kering juga memiliki
rentang nilai wetness index pada rentang 0 -13,57. Apabila
dikaitkan dengan potensi kerawanan banjir maka wilayah DAS tersebut
tidak berpotensi mengalami kejadian banjir.
BAB VKESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKAGrabs, T. et all. 2009. Modelling spatial patterns
of saturated area : A comparison of the topographic wetness index
and a dynamic distibuted model. Journal of Hydrology 373 pp 15-23.
Elsevier. America (USA) : American ComprehensifHandika Putra, E.
2006. Estimasi Daerah Rawan Bencana Banjir Menggunakan Metode
Pendekatan Wetness Index. Manado (ID) : GramediaKim, S and Jung, S.
2003. Digital Terrain Analysis of the Dynamic Wetness Pattern on
the sulmachun Watershed. Didduse Pollution Conference 2003. Dulbin
(IE) : Book Of DulbinPaimin, Sukreso, dan Purwanto. 2006. Sidik
cepat degrades sub DAS. Pusat Penelitian dan Pembangunan Hutan da
Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor
(ID) : Kementrian KehutananSadisun. A, Imam. 2007. Peta Rawan
Bencana : Suatu Informasi Fundamental Dalam Program Pengurangan
Resiko Bencana. Bandung (ID) : Institut Teknologi Bandung.Yang, X
et.al. 2005. Using Compound Topograpgiv Index to Deliniate Soi
Landscape Facets from Digital Elevation Models for Comprehensif
Coasal Assessment. The Modeling and Siulation Society. America
(USA) : American Comprehensif