Top Banner
MENGHITUNG WETNESS INDEX Kelompok 9 : 1. Desi Hermawati E14110061 2. Muhammad Rifaldy H. E14120013 3. Ade Wibowo P. E14120021 4. Alif Rizki Agung S. E14120037 5. Recha Hajiah S. E14120042 6. Annisa Budi Utami E14120063 Asisten: 1. Endrawati, S.Hut 2. Yunensih, S.Hut 3. Bayu Pradana, S.Hut 4. Agung Kriswiyanto, S.Hut 5. M. Yanuar P. E14100043 6. Mawardah Nur H. E14100039 7. Wulandari M. E14100047 8. Dimas Alfred P. E14100069 Dosen Pengajar : Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr Laboratorium Hidrologi Hutan dan Pengelolaan DAS Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2015
34

Menghitung Wetness Index

Sep 17, 2015

Download

Documents

adewibowo47

efsegdg
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

MENGHITUNG WETNESS INDEX

Kelompok 9 :1. Desi Hermawati E141100612. Muhammad Rifaldy H. E141200133. Ade Wibowo P. E141200214. Alif Rizki Agung S. E141200375. Recha Hajiah S. E141200426. Annisa Budi Utami E14120063Asisten:1. Endrawati, S.Hut2. Yunensih, S.Hut3. Bayu Pradana, S.Hut4. Agung Kriswiyanto, S.Hut5. M. Yanuar P. E141000436. Mawardah Nur H. E141000397. Wulandari M. E141000478. Dimas Alfred P. E14100069

Dosen Pengajar :Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr

Laboratorium Hidrologi Hutan dan Pengelolaan DASDepartemen Manajemen Hutan Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDalam sejarah kehidupan manusia, menempati daerah yang subur dan mudah mendapatkan air adalah hal yang lumrah dilakukan hingga saat ini. Pemukiman beserta infrastruktur pendukungnya akhirnya secara cepat tumbuh di daerah ini. Namun sayangnya, disadari atau tidak, daerah tersebut biasanya sangat rawan terhadap bencana banjir. Pertumbuhan penduduk yang pesat berpadu dengan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak konservatif dapat memperburuk keadaan ini dimana banjir yang datang dirasakan semakin sering dan dampaknya pun semakin parah. Begitu pula halnya dengan bencana tanah longsor. Lereng yang tidak stabil, berpadu dengan kondisi curah hujan yang intesitasnya tinggi akan membahayakan bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan bencana ini diperlukan sebuah sistem peringatan dini yang dapat memberikan informasi mengenai daerah-daerah yang beresiko tinggi.Berbagai kajian yang telah dilakukan banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang yang berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada cathment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.Untuk itu diperlukan suatu pendugaan/estimasi rawan banjir, sehingga bencana banjir bisa ditanggulangi sedini mungkin. Estimasi daerah rawas banjir diperlukan dalam rangka memberikan early warning system bagi masyarakat mengenai lokasi-lokasi yang dianggap beresiko tinggi terhadap banjir dan lokasi-lokasi yang aman terhadap banjir. Sehingga hasil rekomendasi yang ada berupa arahan-arahan biofisik yang menyangkut pola pengelolaan lahan yang berbasis pada konservasi tanah dan air. Wetness indeks (WI) adalah indeks kebasahan yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu kawasan yang mempunyai potensi banjir. Indeks ini diturunkan dari peubah-peubah permukaan.

1.2 Tujuan PraktikumTujuan praktikum ini adalah untuk menghitung Wetness Index dari sub DAS Alo.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Kondisi Danau Limboto Danau Limboto adalah salah satu aset sumberdaya alam yang dimiliki Provinsi Gorontalo saat ini. Danau Limboto telah berperan sebagai sumber pendapatan bagi nelayan, pencegah banjir, sumber air pengairan dan obyek wisata. Areal danau ini berada pada dua wilayah yaitu + 30 % wilayah Kota Gorontalo dan + 70 % di wilayah Kabupaten Gorontalo dan menjangkau 5 kecamatan. Danau Limboto kini berada pada kondisi yang sangat memperihatinkan karena mengalami proses penyusutan dan pendangkalan akibat sedimentasi yang mengancam keberadaannya dimasa yang akan datang. Semakin berkurangnya luasan perairan danau menyebabkan semakin menurunnya fungsi danau sebagai kawasan penampung air sehingga berpotensi terjadinya banjir dan kekeringan di sekitar wilayah kawasan danau bahkan di luar kawasan Danau Limboto.Danau Limboto terletak di bagian tengah Provinsi Gorontalo dan secara astronomis, DAS Limboto terletak pada 122 42 0.24 123 03 1.17 BT dan 00 30 2.035 00 47 0.49 LU. DAS Limboto merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP-DAS) Bone-Bolango yang luasnya 91.004 ha dan termasuk salah satu DAS Prioritas dari DAS Kritis di SWP-DAS Bone-Bolango. Danau Limboto, merupakan cekungan rendah atau laguna, yang merupakan muara sungai-sungai, diantaranya: Ritenga, Alo Pohu, Marisa, Meluopo, Biyonga, Bulota, Talubongo dan sungai-sungai kecil dari sisi selatan: Olilumayango, Ilopopala, Huntu, Hutakiki, Langgilo.Luas Danau Limboto sampai tahun 2007 sebesar 2.537,152 ha, dengan kedalaman sekitar 2-2,5 m sedangkan luas daerah tangkapan air Danau Limboto sekitar 900 km2. Pada tahun 1932 rata-rata kedalaman Danau Limboto 30 meter dengan luas 7.000 Ha, dan tahun 1961 rata-rata kedalaman Danau berkurang menjadi 10 meter dan luas menjadi 4.250 Ha. Sedangkan tahun 1990 - 2008 kedalaman Danau Limboto rata-rata tinggal 2,5 meter dengan luas 3.000 Ha.Dalam kurun waktu 52 tahun luas Danau Limboto berkurang sekitar 4.304 Ha atau sekitar 62,60% dari total luas danau. Sehingga dari data tersebut diatas rata-rata luas danau berkurang sekitar 65,89 Ha per tahun, sehingga pada tahun 2025 danau ini diperkirakan akan berubah menjadi daratan.2.2. Kondisi Iklim LimbotoKawasan Danau Limboto terletak pada daerah bayang-bayang hujan selama 44 tahun terakhir (1961-2005) sebesar 1.426 mm per tahun. Curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (bulan kering) terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Agustus, September dan Oktober. Sedangkan curah hujan di atas 100 mm ( bulan basah) terjadi selama 9 bulan, yaitu bulan Januari-Juli dan bulan November - Desember.2.3. Curah Hujan LimbotoCurah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (bulan kering) terjadi selama 3 bulan yaitu pada bulan Agustus, September dan Oktober. Sedangkan curah hujan di atas 100 mm ( bulan basah) terjadi selama 9 bulan, yaitu bulan Januari-Juli dan bulan November - Desember. Jumlah hari hujan dalam setahun berkisar antara 172 - 216 hari, dengan rata - rata hari hujan sebanyak 194 hari per tahun dan rata hari hujan per bulan selama setahun 16,2 hari. Jumlah hari hujan di atas, rata - rata hari hujan per bulan selama 9 bulan, pada bulan Januari - Juli dan November Juni. Nilai Evapotranspirasi rata - rata bulanan di kawasan Danau Limboto dan sekitarnya, berkisar antara 127 - 145 mm. Sedangkan jumlah rata - rata setahunnya sebesar 1652,8 mm.Data mengenai karakteristik (luas, dalam kapasitas) Danau Limboto yang tersedia adalah tahun 1993, 1994, 1996 dan 2001. Kurva hubungan antara elevasi muka air dengan luas perairan dan volume tampungan untuk berbagai tahun. Hubungan tersebut menunjukkan penurunan luas perairan dan kapasitas tampung dari tahun ke tahun. Untuk elevasi + 4 m, MSL, luas perairan turun dari 37 km2 , 1996, ke 28 km2, 2001 atau turun rata-rata 2,0 km2 per tahun. Sementara untuk volume air atau kapasitas turun dari 55.106 m3 , 1996 ke 48,31.106 m3 , 2001 atau turun rata-rata 1,54.106 m3 per tahun.2.4. Karakteristik DASKarakteristik DAS sangat dipengaruhi pula oleh letaknya di dalam DAS itu sendiri. Untuk daerah hulu dengan alur sungai yang relatif curam dan bukit-bukit terjal, maka banjir dengan waktu datang sangat singkat sering terjadi. Namun di daerah ini banjir akan datang dengan waktu yang singkat, demikian pula dengan waktu berakhirnya, karena elevasi daerah yang relatif lebih tinggi sehingga air banjir dengan mudah mencari alur keluar. Untuk daerah tengah banjir yang terjadi datangnya tidak secepat pada daerah hulu, demikian pula air banjir biasanya masih mudah untuk diatuskan keluar daerah dengan gaya beratnya sendiri. Pada derah hilir, kemiringan dasar sungai maupun kemiringan tanah di kawasan ini biasanya sangat kecil dan relatif datar. Biasanya waktu datang banjir cukup lama, namun pengatusan air genangan juga mengalami kesulitan. Hal ini biasanya disebabkan oleh energi air yang sudah kecil, sehingga air genangan tidak mungkin diatuskan dengan gaya berat. Jika kondisi ini dibarengi dengan pasang surut air laut pada kondisi tinggi, maka pengatusan air tanpa bantuan pompa, hampir tidak mungkin. Pada daerah ini, penanganan banjir harus mengintegrasikan pengaruh aliran banjir di sungai dengan hidrodinamika gerakan pasang surut di laut (Luknanto, 2002).

2.5. Topografi Wetness Indeks(TWI) Menurut Grabs et al (2009), topografi berperan penting dalam mnentukan pola spasial terhadap areal-areal jenuh air, yang mana sebagai kunci untukg memahami keberagaman tanah dan proses-proses hidrologi yang dialami dalam sebuah DAS. Topografi Wetness Indeks(TWI) atau Compound Topographic Indeks merupakan turunan data turunan yang dihasilkan dari data DEM dalam kondisi yang tetap steady state menggunaan fungsi akumulasi aliran dan kelerengan. Penggunaan indeks ini telah terbukti berkorelasi positif dengan atribut tanah seperti kedalaman horizon, kandungan liat, dan bahan organik (oore et al, 1993 dalam Yang et al, 2005).Selanjutnya menurut Grabs et al (2009), TWI telah banyak digunakan dalam menentukan kondisi kebahsahan DAS dengan mengasumsikan bahwa tinggi muka air tanah mengikuti grradien permukaannya. Dalam berbagai aplikasi hidrologi, TWI telah banyak dimodifikasi agar dapat menggambarkan kondisi kebasahan secara dinamis dengan memberikan input berupa data curaah hujan. Dalam penelitian yang diakukan oleh Kim dan Jung (2003) pada salah satu DAS di Korea Selatan, penggunaan TWI secara dinamis dapat menggambarkan kondisi kebasahan/kemungkinan genangan dengan mensimulasikan data curah hujan selama 20000 jam darri tahun 1999 hingga 2001.Wetness Indeks adalah indeks kebasahan yang digunakan sebagai indikator dari suatu kawasan yang mempunyai potensi banjir. Indeks ini diturunkan dari peubah-peubah permukaan sehinggan untuk mengetahui jumlah impasan air yang tersedia ataupun tinggi suatu genangan air dalam tiap area diperlukan informs dari perhitungan limpasan permukaan. Topographic Wetness index (index kebasahan) yang telah dibuat diklasifikasi menjadi tingkat kerawanan banjir. Klasifikasi yang dilakukan menjadi 5 kelas dengan, yaitu kelas sangat rawan, rawan, agak rawan, potensial rawan dan tidak rawan.

BAB IIIMETODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Pengelolaan Ekosistem Hutan dan DAS dengan materi Menghitung Wetness Index dilakukan di RK X 3.01 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada hari Kamis, 19 Maret 2015 pukul 09.00-12.00 WIB.3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu laptop, perangkat lunak GIS (ArcGIS 10.1). Bahan yang digunakan yaitu data fiilalo_utm atau alo_utm, data facc_alo dan data slope_ fill3.3 Langkah Kerja1. Add data fiilalo_utm atau alo_utm, facc_alo dan slope_fill pada tampilan Arc GIS Arc Map

Jika data slope_fill belum berbentuk UTM maka file diubah ke dalam bentuk UTM

2. Klik data management tool Project and transformations Raster Project Raster

3. Pilih file facc_alo pada input raster

4. Isi output dengan nama facc_UTM

5. Klik Output Coordinate System , Buka Projected Coordinate Systems

6. Klik UTM,

7. Kemudian pilih Northern Hemisphere

8. Pilih WGS 1984 UTM Zone 51N

9. Setelah kolom dalam window Project Raster terisi seperti gambar di bawah ini kemudian klik OK

10. Kemudian pilih Spatial Analysis Tool pilih Surface Slope

11. Kemudian masukan input raster dengan file alo_utm, isi output raster dengan nama slope_alode lalu OK

12. Maka akan muncul hasil seperti gambar berikut

13. Klik Spatial Analyst Tools pilih Map Algebra lalu pilih Raster Calculator

14. Isi kolom seperti gambar dibawah ini dan isi Ouput Raster dengan nama upslope lalu OK

15. Buka kembali Raster Calculator isi kolom dengan double klik Ln ,upslope, klik tanda pembagi (/) lalu double klik tan dan slope_alode kemudian isi output raster dengan wi_alo lalu OK

16. Kemudian Klik Spatial Analyst Reclass Reclassify (untuk kembali mengkelaskan Index Kebasahan (Wetness Index) yang telah dibuat sebelumnya)

17. Pilih file wi_alo pada kolom input raster lalu klik Classify

18. Kemudian pilih natural breaks (jenks) pada kolom method agar angka pada kolom Classes dapat diubah lalu pilih angka 4 pada kolom Classes, Lalu ubah angka pada kolom Break Values seperti gambar di bawah ini

19. Ubah class_wii kedalam bentuk UTM dengan klik Conversion Tool From Raster Raster to Polygon

20. Pilih file class_Wi pada kolom Input Raster dan simpan file pada kolom output Polygon Features dengan nama wi_classpoly lalu OK

21. Klik Data Management Tools pilih Generalization Dissolve

22. Pilih file wi_classpoly pada kolom Input Feature lalu simpan file tersebut pada kolom output feature Class dengan nama wi_dislv kemudian pada kolom Dissolve_Field(s) (optional) checklist GRIDCODE lalu OK

23. Pada Layer wi_dislv klik kanan lalu pilih Open Attribute Table

24. Pada tools Option pilih Add Field untuk menambahkan kolom

25. Kemudian pada Add Field isi Name dengan keterangan, pilih Text pada kolom Type serta isi Length dengan angka 15 pada kolom Field Properties lalu OK

26. Pilih baris dengan cara klik pada kolom sebelum FID lalu klik kanan pada kolom keterangan pilih Field Calculator

27. Pada kolom keterangan Add rentang 0-13,57 lalu OK kemudian ulangi pada baris berikutnya dengan rentang 13,57-15,63 lalu 15,63-17,27 dan >17,27 lalu OK

28. Maka hasil akan muncul seperti tampilan berikut

Pada tools Option pilih Add Field untuk menambahkan kolom29. Kemudian pada Add Field isi Name dengan Luas , pilih Double pada kolom Type serta isi Precision dengan angka 7 dan Scale dengan angka 2 pada kolom Field Properties lalu OK

30. Kemudian pilih kolom Luas lalu klik kanan Calculate Geometry

31. Lalu pilih Area pada kolom Property kemudian pilih Hectares [ha] pada kolom units lalu OK

Maka akan muncul tampilan seperti berikut

Berikut hasil wi_dislv yang di tampilkan pada Ms. Excel

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Tabel 1. FIDSHAPEGRIDCODEKETLUAS

0polygon10-13,572556,39

1polygon213,57-15,6326,54

2polygon315,63-17,274,51

3polygon4> 17,270,88

Penjelasan : 0-13,57= Tidak Berpotensi Banjir13,57-15,63= Potensi Banjir Rendah15,63-17,27= Potensi Banjir Sedang> 17,27= Potensi Banjir Tinggi 4.2 PembahasanModel data dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) yang dengan interpolasi data digital kontur berdasarkan data raster atau grid yang dapat menggambarkan ketinggian diatas permukaan laut. Sehingga data ini mempunyai beberapa macam data seperti kelerengan (slope), flow direction (arah aliran), flow accuumulation (akumulasi aliran air), steam power index (index kekuatan aliran), dan wetness index (indeks kebasahan).Wetness index adalah indeks kebasahan atau kejenuhan yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu kawasana atau areal yang mempunyai potensi banjir. Wetnees index ini dapat dihitung melalui dua peubah yang ada yaitu luas area yang memiliki akumulasi ketersediaan air untuk limpasan (Flow Accumulation) dan kemiringan lahan (topografi) tersebut dengan satuan derajat dengan menggunakan peubah-peubah permukaan yang digunakan untuk mengetahui jumlah air limpasan yang tersedia ataupun tinggi pada suatu genangan air dalam tiap sel/area maka diperlukan informasi dari perhitungan limpasan permukaan.Metode ini menggunakan pendekatan bentuk lereng (kelerengan) seperti kecekungan, kecembungan, data kelerengan dan sudut kelerengan. Data dari wetness index ini banyak digunakan dalam menentukan kondisi kebasahan dalam DAS dengan mengsumsikan bahwa tinggi muka aitr tanah mengikuti gradien permukaaannya. Dalam beberapa aplikasi dalam bidang hidrologi, metode ini telah di modifikasi untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi kebasahan secara dinamis dengan memberikan input berupa data curah hujan, atau dapat pula data debit sungai, data penampang sungai, serta dengan penggabungan dengan menggunakan software hidrologi seperti HEC GeoRAS akan dapat meramal atau memprediksi banjir. Penggunaan data Flow Accumulation pada wetness index karena merupakan representasi dari akumulasi aliran yang dihasilkan dari tempat tertinggi menuju ketinggian yang paling rendah, sehingga dapat mengetahui arah air akan mengalir. Dengan mengikuti arah aliran maka dapat digambarkan banyaknya aliran yang ada sehingga flow accumulation dapat disebut juga sebagai contributing area.Estimasi banjir dengan menggunakan wetness index ini tidak memiliki standar pengkelasan tertentu, karena sifatnya yang dinamis tergantung dari nilai indeks yang dihasilkan terutama penerapannya pada DAS yang berbeda, oleh karena itu pengkelasan dapt juga menggunakan klasifikasi lain seperti klasifikasi quantile yang dapat menghasilkan data akumulatif. Kelemahan dari wetness index ini adalah ketidakmampuannya dalam memprediksi banjir yang akan terjadi dan peluang terjadinya pada tahun kedepan. Selain itu, tidak mempunyai standar pengkelasan untuk daerah yang sangat beresiko terjadinya banjir. Untuk dapat memprediksi banjir sangat penting adanya analisa hidrologi yang melibatkan data curah hujan harian dan debit sungai dari DAS sekitarnya secara tepat waktu serta data detail lainnya yang mendukung agar dapat memprediksi potensi banjir secara teliti dan detail. Penggunaan wetness index ini sangat membantu untuk mengetahui potensi bencana alam terutama banjir pada suatu daerah yang mempunyai batas alami berupa Daerah Aliran Sungai di daerah hilir.Berdasarkan hasil wetness index, pada sub DAS Alo yang memiliki potensi banjir yang tinggi terdapat di polygon 4 yang memiliki luas kawasan sekitar 0,88 ha dengan nilai wetness index diatas 17,27 , sedangkan pada polygon 3 yang memiliki luas kawasan sebesar 4,51 mempunyai potensi banjir yang sedang ada selang nilai wetness index 15,63-17,27. Pada polygon 2 yang memiliki luas kawasan sebesar 26,54 memiliki tingkat potensi banjir yang rendah dengan nilai wetness indexnya berada pada 13.57-15,63. Dan polygon 1 yang memiliki luas kawasan terbesar yakni 2556,39 ha tidak berpotensi banjir atau wilayah tersebut kering juga memiliki rentang nilai wetness index pada rentang 0 -13,57. Apabila dikaitkan dengan potensi kerawanan banjir maka wilayah DAS tersebut tidak berpotensi mengalami kejadian banjir.

BAB VKESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKAGrabs, T. et all. 2009. Modelling spatial patterns of saturated area : A comparison of the topographic wetness index and a dynamic distibuted model. Journal of Hydrology 373 pp 15-23. Elsevier. America (USA) : American ComprehensifHandika Putra, E. 2006. Estimasi Daerah Rawan Bencana Banjir Menggunakan Metode Pendekatan Wetness Index. Manado (ID) : GramediaKim, S and Jung, S. 2003. Digital Terrain Analysis of the Dynamic Wetness Pattern on the sulmachun Watershed. Didduse Pollution Conference 2003. Dulbin (IE) : Book Of DulbinPaimin, Sukreso, dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degrades sub DAS. Pusat Penelitian dan Pembangunan Hutan da Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor (ID) : Kementrian KehutananSadisun. A, Imam. 2007. Peta Rawan Bencana : Suatu Informasi Fundamental Dalam Program Pengurangan Resiko Bencana. Bandung (ID) : Institut Teknologi Bandung.Yang, X et.al. 2005. Using Compound Topograpgiv Index to Deliniate Soi Landscape Facets from Digital Elevation Models for Comprehensif Coasal Assessment. The Modeling and Siulation Society. America (USA) : American Comprehensif