Top Banner
Proceeding. Seminar Nasional PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta. 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559 MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN M.M. Nilam Widyarini I, Hendro PraboW02, Tety Elida l Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma JI. Margonda Raya 100 - Depok 16424 [email protected]("t.id, 2[email protected], 3[email protected] ABSTRAK Penelilian ini merupalran bagian pertama dari sebuah penelitian aksi (action research) yang beTjudul "PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN UNTUK MASYARAKAT BETAWI". Bagian ini merupakan ianglrah penjajakan (assessment) yang disusul dengan penyusunan modul-modul pendidikan lcewirausahaan untuk masyarakat Betowi. Selelah selesai bagian pertama ini. alum disusul dengan bagian lcedua. berupa /angkah uji coba modul serIO evaluasi efelctivitas pendidilcan tersebut bagi pralctek. kewirausahaan masyarakat Betowi. Sebaga; langkah penjajalran. penelilian ini berusaha memberikan deskripsi: (1) tenlang fenomena lceterpinggiran masyarakat Betowi di bidang e/conomi. sosial budaya. dan po/itik; (2) persepsi yang berlcembang di kalangan masyaralrat Betowi lentang keadaan mereka saat ini di bidang ekonomi. sosial budaya, dan po/iti/c, serla lcebutuhan apa yang dirasakan o/eh warga untuk ke/uar dari kelerpinggiran; (3) lentang nilai-ni/ai budaya Belowi untuk mengetahui faktor-faktor positif yang dapal dilcembangkan untuk meningkalkan mentalitas lcewirausahaan. Berdasarkan deskripsi terse but selanjutnya dilcembanglcan palcet modul pendidikan lcewirausahaan bagi masyarakat Betowi yang lerdiri dari: (1) paht modu/ pengembangan menlalilas lcewirausahaan; (2) paket modul pengetahuan dan ke/rampi/an pengembangan usaha ked/. Kala kunci: betowi. lceterpinggiran. kewirausahaan. modul kewirausahaan 1. PENDAHULUAN Siapa itu Betawi? Beberapa ahli yakin bahwa orang Betawi sebenamya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muneul pada tahun 1923, saat Moh Husni P20S Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah go longan, yakni golongan orang Betawi. (Siswantari, 2000) Betawi Sawangan Menurut Shahab (2000) kampung Sawangan berdasarkan kawasan tempat tinggalnya dapat dikategorikan sebagai Betawi Udik. Selengkapnya, penggolongan orang Betawi berdasarkan tempat tinggalnya terdiri dari: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Pesisir. I. Belowi Tengah, mendiami wilayah sekitar Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari. Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)
12

MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Jan 12, 2017

Download

Documents

phammien
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding. Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta. 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN ~YARAKATBETAWIDISAWANGAN

M.M. Nilam Widyarini I, Hendro PraboW02, Tety Elidal

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma JI. Margonda Raya 100 - Depok 16424

[email protected]("t.id, [email protected], [email protected]

ABSTRAK Penelilian ini merupalran bagian pertama dari sebuah penelitian aksi (action research) yang beTjudul "PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN UNTUK MASYARAKAT BETAWI". Bagian ini merupakan ianglrah penjajakan (assessment) yang disusul dengan penyusunan modul-modul pendidikan lcewirausahaan untuk masyarakat Betowi. Selelah selesai bagian pertama ini. alum disusul dengan bagian lcedua. berupa /angkah uji coba modul serIO evaluasi efelctivitas pendidilcan tersebut bagi pralctek. kewirausahaan masyarakat Betowi. Sebaga; langkah penjajalran. penelilian ini berusaha memberikan deskripsi: (1) tenlang fenomena lceterpinggiran masyarakat Betowi di bidang e/conomi. sosial budaya. dan po/itik; (2) persepsi yang berlcembang di kalangan masyaralrat Betowi lentang keadaan mereka saat ini di bidang ekonomi. sosial budaya, dan po/iti/c, serla lcebutuhan apa yang dirasakan o/eh warga untuk ke/uar dari kelerpinggiran; (3) lentang nilai-ni/ai budaya Belowi untuk mengetahui faktor-faktor positif yang dapal dilcembangkan untuk meningkalkan mentalitas lcewirausahaan. Berdasarkan deskripsi terse but selanjutnya dilcembanglcan palcet modul pendidikan lcewirausahaan bagi masyarakat Betowi yang lerdiri dari: (1) paht modu/ pengembangan menlalilas lcewirausahaan; (2) paket modul pengetahuan dan ke/rampi/an pengembangan usaha ked/. Kala kunci: betowi. lceterpinggiran. kewirausahaan. modul kewirausahaan

1. PENDAHULUAN

Siapa itu Betawi?

Beberapa ahli yakin bahwa orang Betawi sebenamya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk antara tahun 1815-1893.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muneul pada tahun 1923, saat Moh Husni

P20S

Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah go longan, yakni golongan orang Betawi. (Siswantari, 2000)

Betawi Sawangan Menurut Shahab (2000) kampung

Sawangan berdasarkan kawasan tempat tinggalnya dapat dikategorikan sebagai Betawi Udik. Selengkapnya, penggolongan orang Betawi berdasarkan tempat tinggalnya terdiri dari: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Pesisir. I. Belowi Tengah, mendiami wilayah sekitar

Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari.

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Page 2: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN : 18582559

2. Betawi Pinggir, mendiami wilayah sekitar Pasar Rebo, Pasar Minggu, Pulo Gadung, Jatinegara, Kebayoran, dan Mampang Prapatan.

3. Betawi Udik, mend iam i kawasan sekitar Cengkareng, Tangerang, Batu Ceper, Cileduk, Ciputat, Sawangan, Cimanggis, Pondok Gede, Bekasi, Kebon Jeruk, Kebayoran Lama, Cilandak, Kramat Jati, dan Cakung

4. Betawi Pesisir, mendiami wilayah sekitar Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, Kalapa, dan Kepulauan Seribu.

Profil dan Nilai-nilai Kehidupan Komunitas Betawi

Sebuah buku (hasil penelitian) yang ditulis oleh tim Depdikbud (1993) dengan judul "Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi", menguraikan tentang profil dan nilai-nilai kehidupan komunitas Betawi sebagai berikut:

Masyarakat Betawi pada umumnya bekerja sebagai pedagang seperti: pedagang besi tua, atau pedagang kecil (buah, sayuran dsb), petani dan karyawan swasta (buruh pabrik), sebagian kecil saja yang bekerja sebagai pegawai negeri sispil dan ABRI. Bahkan akhir-akhir ini tidak banyak lagi yang bekerja sebagai petani lantaran tanah mereka sudah dijual. Sebagai tambahan penghasilan mereka juga betemak ikan tawar seperti ikan Gurami, ikan mas, ikan mujair dan juga betemak kambing.

Dalam komunitas Betawi, nilai-nilai religius dijunjung tinggi, mereka mayoritas adalab penganut Islam yang fanatik.

Nuansa Islam sangat dominan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi. Hal itu terlihat pada sistem keyakinan yang terwujud dari rangkaian upacara daur hidup seperti tujuh bulan kandungan. hakekah. sunatan, mauludan. qurban, lahlilan (duka cita). Semua upacara adat itu bemuasa Islami.

Hidup sesuai dengan ajaran Nabi Muhamad SA W adalah norma subjektif kelompok yang sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu pendidikan yang diutamakan dalam keluarga masyarakat Betawi adalah pendidikan

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

agama. Bahkan mereka sanggup berhemat­hemat untuk bisa menabungdemi menunaikan ibadah Haji. Untuk kepentingan yang satu ini mereka bahkan rela menjual harta kekayaan berupa tanah. Oleh karena mereka tidak terlalu menganggap penting pendidikan umum dan ketrampilan akibatnya banyak diantara anak­anak mereka yang sulit mencari pekerjaan.

Meskipun secara uyata ada peningkatan terhadap arti penting pendidikan. namun perubahan ini belum dapat mengimbangi tantangan yang terdapat dalam pendidikan. Kebiasaan ini kian diperberat lagi dengan adanya kebiasaan kawin dalam usia muda dan itu masih dianggap penting, bahkan lebih penting dari pendidikan, khususnya untuk anak perempuan.

Disamping pendidikan formal, lapangan pekerjaan tertentu dan kekayaan materi juga kurang mendapat perhatian. Keengganan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan disekitamya menjadikan mereka semakin tertinggal dengan perubaban di sekelilingnya. Mereka terbelenggu untuk mencukupi kebutuhan hari ini dan untuk hari berikutnya atau masa datang sepenuhnya diserahkan kepada Sang Pencipta.

Dimensi Sosial-Budaya Masyarakat Betawi Masyarakat Betawi memiliki hubungan

!-:ekerabatan dan gotong royong yang sangat kental. Hal ini mudah diamati dalam berbagai kegiatan masyarakat sehari-hari, utamanya saat mereka punya hajat. Umumnya mereka melakukan apa yang disebut istilah "nyambut" atau "sambatan ". Satu sarna lain tidak menuntut imbalan apapun saat itu, meskipun mreka sadar bahwa suatu saat jika mereka mengalami kerepotan toh nanti para tetangga tak akan membiarkannya sendiri.

Orang betawi yang tinggal di tengah­tengah perkembangan kota Jakarta yang pesat ini, juga dikenal sebagai etnis yang sangat konsisten memegang teguh nilai-nilai budaya­nya. Kebudayaan yang merupakan blue prinl berisi berbagai norma nilai-nilai yang mereka yakini dan oleh karena itu dapat dijadikan pedoman atau acuan perilaku masyarakatnya sehari-hari. Sejak kecil individu-individu dala

P209

Page 3: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN : 18582559

komunitas ini telah diresapi dengan nilai-nilai dan norma itu telah sedemikian dalam mengakar dan mendarah daging dalam kepribadiannya. Oleh karenanya mengubah pandangan dan perilaku mereka tidaklah mudah. (Depdikbud, 1993).

Keterpinggiran Masyarakat Betawi Setelah ditetapkan sebagai ibukota

negara pasca kemerdekaan R1, maka migrasi penduduk dari wilayah lain tidak dapat dipungkiri. Hal ini membuat etnis Betawi menjadi semakin terdesak dan jumlahnya juga mengalami penurunan.

Secara makro, dapat dikatakan bahwa marginalisasi masyarakat Betawi lebih disebabkan karena faktor ekstemal. yaitu migrasi dan laju pembangunan. Beberapa ahli yang sependapat dengan argumen ini antara lain adalah berasal dari pemerhati dan tokoh­tokoh Betawi sendiri seperti: Shahab, M. Hoed, dan Finnan Muntaco (Siswantari, 2000).

Hasil-hasil penelitian lain yang dilakukan secara mikro di beberapa kampung orang Betawi juga menemukan adanya faktor internal dari budaya orang Betawi itu sendiri yang juga menjadi penyebab adanya marginalisasi. Hasil-hasil penelitian tersebut umumnya dilakukan di kampung Condet, yang merupakan kantung orang Betawi yang oleh pemerintah pernah dijadikan kawasan budaya yang dilindungi.

Menurut Prabowo (1998) faktor internal yang banyak berpengaruh adalah hal-hal yang menyangkut aspek kognitif (berupa pengetabuan serta keyakinan/kepercayaan orang Betawi sendiri) dan aspek pendidikan.

Kewirausabaan Bagi Masyarakat Betawi Kewirausahaan (enterpreneurship)

adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat, dan proses dalam menghadapi tantangan hidup (Suryana 200 1). Definisi lain diberikan oleh Anugerah Pekerti (dalam Harefa 2002), yaitu tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta

P210

membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif.

Kemampuan semacam ini sungguh sangat diperlukan oleh siapa saja yang menginginkan masa depan yang lebih cerah, dan sering kali justru timbul dari kondisi krisis. Setiono (2002) menyatakan bahwa masyarakat kita justru terpacu ketika dihadapkan pada krisis yang berkepanjangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Stacey (Setiono 2002) yang menyatakan bahwa kreativitas cenderung meningkat pada saat situasi semakin parah (kepepet).

Kewirausahaan menjanjikan masa depan yang lebih cerah, namun tidak mudah untuk menjadi wirausahawan. Poppy King (Harefa 2002), seorang wirausaha muda dari Australia menegaskan bahwa wirausahawan di bidang apapun selalu menghadapai tiga hal: pertama, obstacle (hambatan); kedua, hardship (kesulitan); ketiga, very rewarding life (imbalan/hasil yang memukau bagi kehidupan). Meskipun tidak mudah, seperti telah disebutkan di atas, namun kewira-usahaan dapat dicapai oleh siapa saja (Harefa, 2002).

Dengan gambaran di atas, mungkin kewirausahaan dapat menjadi solusi agar masyarakat Betawi yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial, dan kultural, dapat bangkit untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Mentalitas Kewirausahaan Mengenai hal ini beberapa tokoh telah

mencoba mengidentifikasi (Alma 2000, Harefa 2002, Novak et af 1995, Longenecker et al 200 1, Setiono 2002, Suryana 2001), dan apabila digabungkan seluruhnya akan merupakan daftar karakteristik mentalitas kewirausahaan yang sangat panjang. Dari berbagai karakteristik mental kewirausahaan tersebut terdapat beberapa karakteristik yang penting, yaitu: 1. Percaya diri yang tinggi (Alma 2000,

Novak et af 1995, Setiono 2002, Suryana 2001).

2. Kebutuhan untuk sukses atau need for achievement (Alma 2000, Novak et af 1995, Longenecker et af 2001, Suryana

'2001).

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Page 4: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadarma)akarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

3. Kreatif dan Inovatif (Alma 2000, Harefa 2002, Setiono 2002).

4. Viet, selalu bangkit dari kegagalan (Harefa 2002, Novak et a11995)

5. Berani mengambil resiko (Alma 2000, Longenecker et al 200 I, Setiono 2002, Suryana 200 I).

6. Sikap terhadap uang; mampu menahan nafsu untuk cepat menjadi kaya (Setiono 2002, Novak et aI1995).

7. Berorientasi ke masa depan (Alma 2000, Harefa 2002, Suryana 2001).

Nilai-nilai Kehidupan dan Kewirausahaan Oi samping karakteristik mental, nilai­

nilai kehidupan merupakan hal yang penting, karena berdasarkan nilai-nilai yang dikukuhi individu ataupun kelompokoya dapat diketahui faktor-faktor positif apakah dari dalam diri individu atau kelompok yang dapat mendukung pengembangan perilaku kewira-usahaan. Oi samping itu nilai-nilai kehidupan yang dikenali akan dapat menjadi pijakan dalam menentukan pendekatan dalam mem-bantu pengembangan perilaku kewira-usahaan.

Nilai, menurut Kluckhohn (dalam Oanandjaya 1986; dalam Berry dkk 1999) merupakan suatu konsep yang dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang sebenamya diinginildiharapkan yang mempengaruhi pemilihan sarana dan tujuan tindakan. Oalam definisi yang lebih sederhana , oleh Hofstede (dalam Oanandjaya 1986; dalam Berry dkk 1999) nilai diartikan sebagai kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding keadaan yang lain).

Nilai tampak sebagai ciri individu dan masyarakat yang relatif stabil dan karena itu berkaitan dengan sifat kepribadian dan pencirian budaya (Berry 1999). Nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai budaya merupakan hal yang sangat mendasari perilaku seseorang (Oanandjaya, 1986).

Beberapa penulis dan peneliti telah mengembangkan konsep nilai secara berbeda­beda. Misalnya, konsep Spranger yang dikembangkan pengukurannya oleh Allport

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

dkk (Mc Connell 1980; Nickels & Stewart 2003), Kluckhohn dan Strodbeck (Oanandjaya 1986; Berry dkk 1999; Hills 2003), Rokeach (Oanandjaya 1986; Berry dkk 1999), Hofstede (Oanandjaya 1986; Berry dkk 1999), dan England (Danandjaya 1986). Berikut ini diuraikan dua konsep yang nampak relevan dalam usaha mengembang-kan perilaku kewirausahaan, yaitu konsep dari Spranger dan dari Kluckhohn dan Strodbeck.·'

Konsep nilai dari Spranger dicetuskan pada tahun 1928, dan pada tahun 1931 mulai dikembangkan pengukurannya oleh Allport dkk. Konsep ini berusaha menggambarkan bahwa terdapat beberapa tipe manusia ditinjau dari nilai-nilai yang menjadi orientasi dalam hidupnya. Terdapat enam tipe (Nickels & Stewart 2003), yaitu: 1. Teoritis (theoretical). Yaitu orang yang

terutama benninat untuk menemukan kebenaran objektif, yaitu berpikir dan mengetahui. Tipe yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi rasional, logis, kritis, dan intelektual.

2. Ekonomis (economic). Tipe ini terutama berminat terhadap apa yang bennanfaat, khususnya survival dan efisiensi. Tipe yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi bersifat praktis, tekun, bersifat dagang, dan berorientasi kekayaan.

3. Estetika (aesthetic). Tipe' ini terutama benninat dalam hal bentuk dan hannoni, khususnya keindahan dan kemolekan. Orang-orang yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi sensitive, ekspresif, artistic, dan menghargai penampilan yang menarik.

4. Sosial (social). Tipe ini terutama benninat dalam hal cinta sesame, khususnya simpati dan pelayanan. Orang-orang yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi sabar, baik hati, suka menolong, dan tidak egois.

5. Politik (political). Tipe ini terutama benninat dalam hal kekuasaan. Orang­orang yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi kuat, berpengaruh, otoritatif, dan terkenal.

6. Relijius (religious). Tipe ini terutama ber­minat dalam hal kesatuan pandangan

P211

Page 5: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

dunia, khususnya keyakinan dan pemahaman hal-hal mendasar. Orang­orang yang paling tinggi dalam nilai ini menjadi mistis dan memahami kehidupan secara utuh, sebagai tujuan akhir, dan memiliki makna mendalam.

Mereka menyodorkan serangkaian cerita pendek dengan beberapa altematif jawaban kepada responden. Dengan mengumpulkan respon dari responden selanjutnya dibuat suatu pemyataan umum tentang orientasi nilai yang lebih dikukuhi oleh suatu kelompok budaya tertentu. (Berry dkk 1999) Konsep nilai dari Kluckhohn dan

Strodbeck, dikembangkan pada tabun 1961, merupakan salah satu .. _ konsep yang paling terkenal. Terdapat lima klasifikasi niliai menurut Kluckhohn dan Strodbeck. Dalam penelitiannya Kluckhohn dan Strodbeck menarik sample dari lima kelompok budaya.

Kelima klasifikasi nilai dari Kluckhohn dan Strodbeck, beserta orientasi responden dalam tiap-tiap klasifikasi nilai beserta diskripsi tiap-tiap orientasinya dapat dilihat dalam tabel I.

(time)

Hubungan manusia terhadap alam (humanity and natural environment)

Hubungan dengan orang lain (relating to other people)

Motif untuk berperilaku (motive for behaving)

P212

TabelI. Lima klasifikas; dan or;enlas; nilai yang d;refleks;kan dar; jawaban-jawaban responden

Sekarang

Masa mendatang

Harmoni

Tunduk

Menekankan Hirarki

Kesetaraan

lndividualistik

Karya untuk karya (being)

Karya untuk meningkatkan karya (being in

Kf>lrrnl~W;: pada masa lampau, melayani ajaran dan kepercayaan-kepereayaan tradisional

Berfokus pada masa sekarang, mengakomodasi perubahan­perubahan dalam kepereayaan-kepereayaan dan tradisi

Berfokus pada masa depan, melakukan pereneanaan, meneari cara-cara baru untuk eara-cara lama Mampu mengendalikan seeara total terhadap daya-daya alam maupun supranatural.

Mampu mengendalikan sebagian, dan memilih hidup seimbang dengan daya-daya alam.

Tidak mampu mengendalikan daya-daya alam, serta tu~duk alam lebih

MeneIcankan pada prinsip hirarki dan tunduk terhadap otoritas yang lebih tinggi atau otoritas dalam kelompok.

Menekankan pada konsensus di dalam kelompok luas yang setara.

Menekankan pada individu atau keluarga individu di dalam kelompok yang dalam mengambil keputusan tidak tergantung pada orang lain.

Motivasinya bersifat internal, menekankan pada aktivitas yang berharga bagi diri sendiri, tidak harus berharga bagi orang lain dalam kelompok.

Motivasinya adalah untuk tumbuh dan mengembangkan kemampuan yang berharga bagi dirinya, tidak harus berharga bagi orang lain.

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Page 6: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

Sifat alamiah manusia (nature of human nature)

Karya uotuk mencapai kedudukan

Jachievement) Buruk Gahat), dapat berubah

Buruk Gahat), tidak dapat berubah

Campuran baik­buruk, dapat berubah

Campuran baik­buruk, tidak dapat berubah

Netral, dapat berubah

Netral, tidak dapat berubah

Baik, dapat berubah

Baik, tidak dapat berubah

Motivasinya ekstemal, menekankan aktivitas yang berharga baik bagi diri sendiri dan juga yang menimbulkan penghargaan dari orang lain dalam kelompok.

Manusia lahir jahat, tapi dapat belajar untuk menjadi baik. Bagaimanapun bahaya regresi dapat muncul (kembali jabat).

Manusia lahir jabat dan tidak dapat berubah. Membutuhkan penyelamatan oleh kekuatan dari luar.

Manusia memiliki ciri-ciri baik dan buruk, tetapi dapat belajar menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Manusia memiliki ciri-ciri baik dan buruk, dan profilnya tidak dapat dirubah.

Manusia lahir tidak baik ataupun buruk, tetapi dapat mempelajari cirri-ciri yang baik maupun buruk.

Manusia lahir tidak baik ataupun buruk, dan profilnya tidak dapat dirubah.

Pada dasarnya manusia baik, tapi tunduk pada perubahan.

Pada dasamya manusia baik, dan akan tetap baik selamanya.

Sumber: HIlls (2003)

Menurut peneliti, beberapa klasifikasi nilai yang dijabarkan oleh Kluckhohn dan

mengutamakan konsensus, hubungan yang setara).

_ Strodb .. :k terse but di atas sangat relevan untuk melihat kesesuaiannya dengan beberapa karakteristik mental yang dibutuhkan untuk menjadi wirausaha yang sukses. Misalnya, orientasi waktu (masa lampau, masa sekarang, masa yang akan datang) secara langsung dapat mendeteksi ada atau tidak adanya karakteristik mental yang berorientasi ke masa depan. Orientasi dalam hubungan dengan alam dapat mendeteksi ada atau tidak adanya karakteristik mental yang berani mengambil resiko dalam taraf sedang. Orientasi dalam hubungan dengan orang lain dapat mendeteksi ada a~u tidak adanya karakteristik mental yang mampu bekerja dalam tim (orientasi hubungan yang

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Pengembangan Ketrampilan dan Pengetahnan Kewirausahaan

Pengembangan karakteristik mental, tanpa disertai dengan pengembangan ketrampilan dan pengetahuan tentang kewirausahaan tentu saja belum cukup. Terdapat empat kemampuan utama yang diperlukan untuk mencapai pengalaman yang seimbang agar kewirausahaan berhasil (Kuriloff dkk dalam Suryana 200 I), yaitu: I. Technical competence. Yaitu memiliki

kompetensi dalam bidang teknis (know how) sesuai dengan bentuk usaha yang dipilih. Misalnya, betul-betul mengetahui

P213

Page 7: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN : 18582559

•• bagaimana barang dan jasa itu dihasilkan dan disajikan.

2. Marketing competence. Vaitu memiliki kompetensi dalam menemukan pasar yang cocok, mengidentifikasi pelanggan dan menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Harus mengetahui bagai-mana menemukan peluang pasar yang spesifik, misalnya pelanggan dan .. _harga khusus yang belum peroah digarap pesaing.

3. Financial competence. Vaitu memiliki kompetensi dalam bidang keuangan, mengatur pembelian, penjualan, pem­bukuan, dan penghitungan labaJrugi. la harus mengetahui bagaimana mendapat­kan dana dan cara menggunakannya.

4. Human relation competence. Vaitu kompetensi dalam mengembangkan hubungan personal, seperti kemampuan berelasi dan menjalin kemitraan antar perusahaan. Harus mengetahui hubungan interpersonal yang sehat.

Hansen (1996), dalam kaj iannya mengenai model-model pengemban gan kewirausahaan, dalam penjelasan mengenaJ model yang sesuai untuk masyarakat desa miskin, yaitu Group Enterpreneurship Projects (GEP), menyebutkan bahwa pelatihan kewirausahaan dalam model ini mencakup komponen-komponen: 1. Motivational and need achieve~ent

training Pelatihan ini terdiri dari: a. Penyadaran, yaitu membantu

menyadarkan kelompok mengenai problem yang mereka hadapi, peluang­peluang yang tersedia, sumber daya yang tersedia, dan apa yang dapat dicapai melalui kerja sarna

b. Motivasi, yaitu meningkatkan kebutuhan kelompok untuk bekerja sarna dan membangun kepercayaan

c. Memperkuat dan menstabilkan kebutuhan untuk berprestasi.

2. Technical and skill training Pelatihan ini dapat dilaksanakan melalui program magang terhadap orang yang telah trampil, mengirimkan anggota ke lembaga

P214

pelatihan yang ada, ataupun dengan cara mengembangkan pelatihan yang melayani anggota GEP di pedesaan.

3. Training in managerial skills and general information Sekelompok ketrampilan manajerial dikembangkan melalui pelatihan pem­bukuan (accounting), pemasaran, dan manajemen. Anggota yang menunjuk-kan kemampuan istimewa atau pening-katan dalam manajemen, bisnis, dan kepemimpinan dapat dikirim untuk mengikuti kursus singkat atau kesem-patan pelatihan lainnya.

Menurut Bogaert dan Das (dalam Hansen 1996), perkembangan ideal yang dicapai dengan pendekatan GEP 101 adalah kepercayaan diri (self reliance), yaitu perkembangan kemampuan dan kekuatan orang dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikannya, dan juga memper­kuat daya tawar dalam relasi dengan pasar, sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh penghasilan yang baik dari produk yang mereka jual.

Dua gambaran mengenai jenis-jenis kemampuan yang harus dipelajari untuk mengembangkan pengetahuan dan ketram­pilan wirausaha tersebut kiranya dapat saling melengkapi sebagai pijakan dalam me: ngembangkan pendidikan kewirausahaan bagt masyarakat Betawi yang menjadi sasaran penelitian ini.

Pendidikan Kewirausahaan Harus Menyentuh Aspek Kognitif, Afektif, maupun Konatif

Usaha mengembangkan perilaku kewirausahaan merupakan bentuk belajar. Seperti halnya proses bela jar di bangku kursus atau bangku sekolah ataupun proses belajar yang lainnya, sasaran belajar tersebut adalah pembentukan perilaku/kemampuan yang diharapkan. Agar efektif, proses pem-belaJaran haruslah menyentuh seluruh fungsi psikis manusia, yaitu kognitif, afektif, dan konatif (behavioral). Fungsi-fungsi psikis ini masing­masing menentukan adanya beberapa

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Page 8: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna., Jakarta. 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

bentukltipe belajar, yaitu bentuk belajar konatif, afektif, dan kognitif. (Winkel, 1991) Pertanyaan Penelitian

Sebagai langkah penjajakan, penelitian IOl berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: ( I) Sejauh­mana fenomena keterpinggiran rnasyarakat Betawi Udik di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik; (2) Bagaimana ~rsepsi yang berkembang di kalangan masyarakat Betawi tentang keadaan mereka saat ini di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik, serta kebutuhan apa yang dirasakan oleh warga untuk keluar dari keterpinggiran; (3) Nilai-nilai budaya seperti apakah yang dianut oleh masyarakat Betawi Udik (untuk mengetahui faktor-faktor positif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan men-tal itas kewirausahaan); (4) Modul pendidikan kewirausahaan yang seperti apakah yang diperlukan untuk mengembangkan kewirausahaan bagi masyarakat Betawi? Tujuan

Penelitian 1m dimaksudkan untuk menjAwab pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut di atas. Oi samping itu, -juga menghasilkan modul pendidikan kewira­usahaan yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat. Manfaat

Berdasarkan hasil yang diperoleh, penelitian ini memberikan manfaat sbb: 1. Secara akademik, penelitian tnt

memberikan ~:un~ahan pengetahuan tentang masyarakat Betawi, khususnya Betawi Sawangan.

2. Secara praktis, penelitian ini memberikan bekal pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan pengembangan kewirausahaan pada masyarakat Betawi yang terpinggirkan seeara ekonomi, dan menyediakan modul pelatihan kewirausahaan.

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

2. METODE

Subjek Subjek penelitian ini adalah warga RT 2

RWOI Kalurahan Rangkepan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok. Warga RT tersebut secara keseluruhan terdiri dari 43 keluarga, dengan kepala keluarga yang berusia 20 sampai dengan 55 tahun. RT ini dipilih sebagai subjek karena eiri khas warganya, yaitu sebagian besar merupakan penduduk asli Betawi yang sudah berpuluh-puluh tabun berdomisili di wilayah tersebut.

Masyarakat di wilayah ini umumnya disebut sebagai masyarakat Betawi Sawangan meskipun sebenamya mereka tidak tinggal di wilayah Sawangan, melainkan di sekitar Jalan Raya Sawangan.

Pendekatan dan Prosedur Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

penelitian tersebut di atas, maka pendekatan yang tepat untuk penelitian ini adalah riset lapangan (field research), atau disebut juga ethnography atau participant-observation research. Oalam pcnelitian semacam ini peneliti seeara langsung mengamati dan berpartisipasi dalam seting-seting sosial berskala kecil (Neuman 2000).

Prosedur-prosedur yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: I. Memasuki lapangan: melakukan pen­

dekatan kepada ketua RT dan ketua RW setempat. Kesempaan ini juga digunakan untuk memperoleh data awal seperti jumlah kepala keluarga, profil warga; pendidikan; mata pencaharian; aktivitas­aktivitas budaya, dll) dan forum pertemuan warga.

2. Membangun rapport dan membina hubungan: peneliti melibatkan diri (hadir) dalam pertemuan-pertemuan warga, yaitu pemilihan pengurus RT yang bam, pengajian bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, dan pertemuan karang taruna. Kesempatan ini digunakan untuk mensosialisasikan tujuan penelitian dan pengembangan masyarakat yang akan dilakukan sekaligus ntuk menghayati kehidupan sosial subjek.

P215

Page 9: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005-Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

3. Pengumpulan data: a. Data-data lingkungan fisik dan

lingkungan sosial-budaya dikum-pulkan dengan metode observasi

b. Untuk mengumpulkan data-data demografi per KK, digunakan metode angket

c. Untuk mengetahui nilai-nilai yang . _ dikukuhi oleh subjek serta persepsi

subjek tentang keter-pinggirannya dalam masyarakat, digunakan metode Focus Group Interview (FGI).

Daftar pertanyaan untuk FGI: a. Dikembangkan berdasarkan kasus­

kasus kehidupan yang sesuai dengan kehidupan sosial subjek. Pertanyaan­pertanyaan tersebut dikembangkan untuk mengungkap nilai-nilai subjek berdasarkan dimensi nilai-nilai yang dikembangkan oleh Spranger-Allport, dan Kluckhohn & Strodtbeck.

b. Untuk mengungkap keter-pinggiran subjek dan persepsi mengenai keterpinggiran ter-sebut, dikembangkan daftar pertanyaan yang mencakup keterpinggiran dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan politik.

3. BASIL

Secara umum wilayah RT 02 adalah wilayah pertanil'''l y~ng subur. Kondisi seperti ini disebabkau air permukaan yang melimpah saat musim hujan di:l.ll menjadi surut saat musim kemarau. Karenanya, penduduk setempat menggunakan sistem ladang tadah hujan atau menggunakan sumur untuk mengairi ladang saat musim kemarau.

Beragam tanaman tumbuh di wilayah ini dan dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni tanaman musiman dan tanaman keras. Tanaman musiman adalah tanaman yang ditanam di ladang dan membutuhkan air secara kontinyu. Sayur-sayuran dan tanaman lain yang ditanam di ladang antara lain adalah: timun suri, cabe, kacang panj8lig, bayam, kangkung, ubi, dan jagung. Tanaman keras

P216

terdiri dari ram butan , nangka, jeruk, kecapi, jambu, dan sebagainya.

Dengan kesuburan tanah tersebut, maka beberapa temak juga dapat hidup di wilayah ini. Temak tersebut selain dapat dijual pada saat Idul Kurban, kotorannya juga dapat dijadikan pupuk bagi tanaman keras.

Berdasarkan hasil pengumpulan data demografi, observasi dan ditambah dengan hasil FGI mengenai keterpinggiran, nampak bahwa warga betawi udik yang menjadi subjek penelitian 101 memang mengalami keterpinggiran secara ekonomi, sosial budaya, maupun politik.

Dalam bidang ekonomi, keter-pinggiran ini nampak dari penghasilan per keluarga yang rendah (75 % berpenghasilan kurang dari Rp 800.000,- bahkan beberapa di antaranya kurang dari Rp 300.000,-) dengan jumlah anak pada umumnya 1 - 4 anak. Penghasilan yang rendah tersebut ber­hubungan dengan tingkat pendidikan yang rendah. sehingga pada umumnya mereka hanya bekerja sebagai buruh (tani. bangunan. tukang ojek, sopir. pembantu rumah tangga, dsb). Keterpinggiran dalam bidang ekonomi lebih nyata dari kondisi kepemilikan rumah dan lahan yang Makin lama Makin menyempit karena dijual untuk biaya pemikahan dsb. Status sebagai "pemilik lahan" Makin lama semakin langka, karena akhimya mayoritas sekedar .menjadi "penggarap tanah".

Dalam bidang sosial-budaya, nampak bahwa tradisi kekerabatan dan gotong royong seperti yang ditemukan pada komunitas Betawi lainnya (Depdikbud 1993) juga sangat kental mewamai kehidupan sosial warga Betawi dalam penelitian 101. Pengajian yang dilaksanakan seminggu sekali, baik kelompok bapak-bapak, ibu-ibu, maupun pemuda, ditambah dengan tradisi menghadiri kondangan di seluruh wilayah RW. sangat berperan mempererat kekerabatan antar warga dan mengentalkan penghayatan nilai-nilai agama yang mereka warisi dari leluhur. Pada satu sisi, relasi sosial antar warga di lingkungan RW sangat erat, namun di sisi lain ruang lingkup kehidupan sosial mereka sangat terbatas karena

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

Page 10: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proce:ding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta. 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

fokus jaringan sosiaI hanya di lingkup kerabat dan warga satu RW. Keterpinggiran secara sosial (dalam lingkup luas) juga nampak dari perasaan terasing mereka dari unsur-unsur pemerintahan, bahkan dari tingkat kalurahan yang biasanya sangat familier di wilayah pedesaan.

Dalam bidang politik, keterlibatan warga dalam pengerahan masa dari partai-partai politik yang ada belumlah mencerminkan peranan yang signifikan. Mereka berpartisipasi dalam batas sebagai "penggembira". Peran yang signifikan terbatas hanya dalam lingkup RT dan RW, karena mereka benar-benar menjadi bagian dari pengambilan keputusan.

Ditinjau dari sebab keterpinggirannya, apakah disebabkan oleh faktor internal atau ekstemal, dapat disimpulkan bahwa pen­duduk asli mengalami keterpinggiran karena faktor internal (pendidikan yang rendah dan keterikatan pada tradisi gotong royong), sedangkan para pendatang, khususnya yang tergusur dari Jakarta mengalami keter­pinggiran disamping kemungkinan faktor internal juga karena faktor ekstemal, yakni kurban pembangunan kota Jakarta.

Bagaimana persepsi warga mengenai keterpinggirannya dari masyarakat luas? Tampak bahwa dalam beberapa hal warga menyadari keterpinggiran tersebut. Misalnya, dalam melamar pekerjaan sebagai pegawai negri, mereka merasa tidak diperhatikan. Beberapa warga yang pernah menjadi kurban penggusuran di Jakarta, memiliki penilaian yang sangat negatif terhadap -"-parat pemerintah. Keterbatasan dalam sumber daya tampaknya juga disadari namun belum cukup kuat mendorong mereka untuk mencari jalan keluar, misalnya dengan bekerja merantau. Hal ini kemungkinan disebabkan karena rasa aman yang sangat kuat bila berada di dalam lingkungannya sendiri yang penuh rasa kekerabatan. Tradisi kekerabatan yang di­genggam erat ini mengakibatkan jaringan sosial mereka terbatas, wawasan terbatas, tetap tradisional, dan selanjutnya peluang untuk keluar dari persoalan keterpinggiran dalam beberapa hal menjadi terbatas.

Menggali Potensi Kewirausahaan " .. (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo. Tety Elida)

Dari sisi nilai-nilai kehidupan, berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sosial, nampaknya tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat Betawi lainnya. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, artinya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai relijius, yang direfleksikan dalam kegiatan-kegiatan warga seperti yang telah digambarkan di 3tas. Namun demikian, hasil pengungkapan nilai-nilai berdasarkan konsep Spranger menunjuk-kan bahwa bagaimanapun juga, dalam praksis kehidupan apabila menyangkut kebutuhan pokok seperti mata pencaharian, dalam kondisi krisis mereka tetap memprioritaskan aspek ekonomi. Hal ini belum berarti bahwa mereka dapat digolongkan sebagai manusia ekonomi yang bersifat dagang dan berorientasi pada kekayaan, namun lebih mencerminkan sisi praktis dalam menghadapi tantangan praktis dalam kehidupan.

Dari hasil pengungkapan nilai-nilai kehidupan berdasarkan klasifikasi nilai dari Kluckhohn dan Strodbeck, dalam kaitannya dengan karakteristik kewirausahaan dapat dipetik hal-hal sebagai berikut: (a) Dalam hai orientasi waktu, ada harapan dari kelompok bapak-bapak dan kaum muda karena mereka lebih berorientasi ke masa depan. Dalam hal ini ibu-ibu lebih berorientasi pada masa sekarang, (b) Ada harapan lain dari ibu-ibu, yaitu bahwa dalam menjalin relasi dengan orang "lain mereka lebih berorientasi pada hubungan yang bersifat kesetaraan (collateral) yang menekankan konsensus. Hal ini menunjang kemungkinan bekerja sama yang lebih baik dalam team work. (c) Dalam menyikapi kehidupan manusia dalam hu-bungannya dengan Iingkungan alam, seluruh subjek berorientasi pada keseimbangan Hal 1m kemungkinan berhubungan dengan karakteristik mental yang berani mengambil resiko dalam taraf sedang.

Dalam menentukan bentuk wirausaha yang sesuai bagi warga, dengan mem­pertimbangkan kondisi sumber daya yang lemah dan nilai-nilai kekerabatan yang mereka pegang, kiranya pendekatan Group Enterpreneurship Project (GEP) yang

P217

Page 11: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta. 23-24 Agustus 2005 ISSN: 18582559

ditawarkan oleh Hansen (1996) dapat menjadi piJihan.

Kewirausahaan dikembangkan dengan model GEP mencakup komponen-komponen motivational and need achievement training. technical and slcill training, /raining in managerial slci/ls and general information (pembukuan, pemasaran. dan manajemen). Komponen-komponen tersebut dapat diadopsi, namon perlu juga mempertimbang-kan empat kemampuan utama yang diperlukan agar kewirausahaan berhasil yang diusulkan oleh Kuriloff dkk. (dalam Suryana 2001): technical competence. marketing competence. financial competenc, human relation competence.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, rancangan modul-modul pendidikan wirausaha yang dikembangkan secara garis besar terdiri dari: I. Paket modul pengembangan mentalitas

kewirausahaan: terdiri dari modu) Percaya diri, Kebutuhan untuk berprestasi, Kreatif dan inovatif, Uletan, Orientasi ke masadepan.

2. Paket modul pengetahuan dan ketrampilan pengembangan usaha keeil: terdiri dari modul Pemasaran, Keuangan, dan Komunikasi interpersonal.

Mengingat bahwa potensi yang dimiliki adalah di bidang pertanian dan peternakan, maka kewirausahaan yang dikembangkan adalah sesuai dengan bidang terse but. Pengembangan ketrampian teknik untuk itu dilakukan bekerja sarna dengan Pemda Depok.

4. SIMPULAN

Kesimpulan yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Masyarakat Betawi Udik yang menjadi

subjek penelitian 101 mengalami keterpinggiran baik dalam bidang ekonomi, social, maupun politik.

2. Mereka menyadari keterpinggirannya dalam beberapa hal, namun hal tersebut belum cukup mendorong mereka untuk mencari terobosan . Hal ini kemungkinan disebabkan karena rasa aman yang sangat

P218

kuat bila berada di dalam Iingkungannya sendiri yang penuh rasa kekerabatan. Tradisi kekerabatan yang digenggam erat ini mengakibatkan jaringan social terbatas, wawasan terbatas, tetap tradisional, dan selanjutnya peluang untuk keluar dari persoalan keter-pinggiran dalam beberapa hal menjadi terbatas.

3. Nilai-nilai yang dikukuhi subjek secara umum tidak berbeda dengan nilai-nilai masyarakat Betawi yang pemah dikaji oleh peneliti-peneliti lain, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional keislaman dan kekerabatan.

4. Untuk mengembangkan kewirausahaan masyarakat Betawi, modul pendidikan kewirausahaan perlu dipersiapkan dengan isi yang sesuai dengan jenis ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan, namun dengan pendekatan yang sesuai dengan kondisi pendidikan subjek yang pada umumnya rendah, serta disesuaikan dengan nilai-nilai tersebut di atas.

S. DAFT AR PUSTAKA

[I] B. Alma, Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta, 2000.

[2] J.W Berry, Y.H.Poortinga, H.S. P.R.

[3]

[4]

[5]

Segall, & Dasen, Psikologi Linlas Budaya: Risel dan Aplikasl (terjemahan: Edi Suhardono), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

A.A. Danandjaja, Sistem Nitai Manajer Indonesia. Jakarta: Pustaka Binaman Press indo, )986.

Depdikbud, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Belowi. Jakarta: Dirjen Sejarah dan Pengkajian Nilai Tradisional, 1993.

G. Hansen, "Using Enterpreneurship to Create Enterprises Systematically",

Group New

Small

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo. Tety Elida)

Page 12: MENGGALI POTENSI KEWIRAUSAHAAN

Proceeding, Seminar Nasional PESA T 2005 Auditorium Universitas Gunadarma, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN : 18582559

Inter prise Development. An International Journal, Vol 7 No I, 1996.

[6] Harefa, "Inovasi Kewirausahaan: Kewirausahaan, Untuk Semua Orang?", 21 November 2002, http://www.pembelajar.com.

[7] M.D. H.i.lls, "Kluckhohn and Strodbeck's Values Orientation Theory", On Line Reading in Psychology and Culture (unit 6, Chapter 3), Washington: Center for Cross-Cultural Research Western Washington University. 2002.

[8] J.G. Longenecker, C.W. Moore, & J.W. Petty, Kewirausahaan (edisi terjemahan). Jakarta: Salemba Empat, 200 I.

[9] J.V. McConnell, Understanding Human Behavior, New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1980.

[to} W.L. Neuman, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Singapore: Allyn and Bacon, 2000.

[II] J.B. Nickels, & M.E. Stewart, "The Relationship between Life-Meaning and Commitment to and Consistency in Live­Values". 1 April 2003, http://www.meaning.ca/conference/2000 proceedings.htm.

Menggali Potensi Kewirausahaan ... (M.M. Nilam Widyarini, Hendro Prabowo, Tety Elida)

[12] Novak, M. Aust, E. Mate, D. O'Brien, B. Carver, (Ed's). The Enterpreneur's Fast Tracll Handbook. Denver: Premiere Enterpreneur Programs, Inc, 1995.

[13] H. Prabowo, "Perubahan Nilai-nilai Sosial Budaya Masyarakat Condet Balekambang Sebagai Akibat Dari Pengembangan Cagar Budaya di Kawasan Condet". JurnaJ Omiah Penelitian Psikologi. No. I Jilid 3, 18-27, 1998.

[14] L.H. Setiono, "Mentalitas Wirausahawan", 2 November 2002, http://www.e-psikologi.comlwirausaha/

[IS) Y. Shahab, "Aristocratic Betawi: A Challenge to outsiders' Perception", Dalam Jakarta-Batavia.; Socio-Cultural Essays, Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, Leiden: KITLV Press, 2000.

[16] Siswantari, "Kedudukan dan Peran Belakang Betawi dalam Pemerintahan serta Masyarakat Jakarta", Tesis, Depok: Program Studi IImu Sejarah Bidang I1mu Budaya Program Pasca Sarjana UI, 2000.

[17] Suryana, Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat, 2001.

[18] W.S. Winkel, Psik%gi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1999

P219