Top Banner
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 1-21 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1593 MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI MUATAN PERPPU: STUDI PERBANDINGAN PENGATURAN DAN PENGGUNAAN PERPPU DI NEGARA-NEGARA PRESIDENSIAL Fitra Arsil* *Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 5 Januari2018 Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Maret 2018 Abstract Government regulation in lieu of law or Perppuarrangement in Indonesia is more limited than other types of emergency regulations issued by the president in various countries. Such arrangement apprently is not sufficient to be considered as limiting the issuance of the emergency regulations. Some presidential state countries have made changes to provide sufficient restrictions to presidential legislative power. The limitation is not only in terms of its formation procedures but also on the material which can be regulated by the Perppu. Therefore, lessons from other jurisdictionsindeed inspires Indonesia to limit the pasage of Perppu Keyword: Perppu, emergency decree, President’s legislative power, relevance and urgency, presidential system Abstrak Pengaturan Perppu di Indonesia dapat dikategorikan cukup terbatas jika dibandingkan pengaturan terhadap peraturan darurat yang diterbitkan presiden di berbagai negara. Pengaturan yang ada belum dapat dianggap memberi batasan bagi penerbitan peraturan darurat tersebut. Beberapa negara bersistem presidensial telah melakukan perubahan terhadap konstitusinya demi mendapatkan pengaturan yang memberikan batasan yang cukup memadai terhadap penggunaan kekuasaan presiden di bidang legislatif ini (president’s legislative power). Pembatasan tersebut bukan saja dari segi prosedur pembentukannya namun juga pembatasan terhadap materi yang dapat diatur oleh perppu. Pelajaran dari beberapa negara tersebut dapat menginspirasi sebuah gagasan pembatasan perppu di Indonesia. Kata kunci: Perppu, Pembatasan Perppu, Kekuasaan Presiden di Bidang Legislatif, kegentingan yang memaksa, sistem presidensial
21

MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Apr 04, 2019

Download

Documents

dothuan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 1-21

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol.48.no.1.1593

MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI

MUATAN PERPPU: STUDI PERBANDINGAN PENGATURAN DAN

PENGGUNAAN PERPPU DI NEGARA-NEGARA PRESIDENSIAL

Fitra Arsil*

*Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 5 Januari2018

Naskah diterima untuk diterbitkan: 7 Maret 2018

Abstract

Government regulation in lieu of law or ‘Perppu’arrangement in Indonesia is

more limited than other types of emergency regulations issued by the president

in various countries. Such arrangement apprently is not sufficient to be

considered as limiting the issuance of the emergency regulations. Some

presidential state countries have made changes to provide sufficient restrictions

to presidential legislative power. The limitation is not only in terms of its

formation procedures but also on the material which can be regulated by the

Perppu. Therefore, lessons from other jurisdictionsindeed inspires Indonesia to

limit the pasage of Perppu

Keyword: Perppu, emergency decree, President’s legislative power,

relevance and urgency, presidential system

Abstrak

Pengaturan Perppu di Indonesia dapat dikategorikan cukup terbatas jika

dibandingkan pengaturan terhadap peraturan darurat yang diterbitkan presiden

di berbagai negara. Pengaturan yang ada belum dapat dianggap memberi batasan

bagi penerbitan peraturan darurat tersebut. Beberapa negara bersistem

presidensial telah melakukan perubahan terhadap konstitusinya demi

mendapatkan pengaturan yang memberikan batasan yang cukup memadai

terhadap penggunaan kekuasaan presiden di bidang legislatif ini (president’s

legislative power). Pembatasan tersebut bukan saja dari segi prosedur

pembentukannya namun juga pembatasan terhadap materi yang dapat diatur oleh

perppu. Pelajaran dari beberapa negara tersebut dapat menginspirasi sebuah

gagasan pembatasan perppu di Indonesia.

Kata kunci: Perppu, Pembatasan Perppu, Kekuasaan Presiden di Bidang Legislatif, kegentingan yang memaksa, sistem presidensial

Page 2: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 2

I. PENDAHULUAN

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sering kali

menimbulkan kontroversi ketika diterbitkan. Kontroversi sulit dihindari karena

penerbitan peraturan jenis ini menempatkan presiden dalam posisi yang proaktif

dan efektif dalam membuat suatu peraturan dan kebijakan. Sedangkan, berdasar

prinsip separation of powers, kekuasaan legislasi berada di tangan lembaga

legislatif. Ketika menerbitkan Perppu, presiden tampil layaknya kekusaan

legislatif. Presiden bukan saja sebagai pengambil inisiatif utama dalam

pembentukan kebijakan tetapi juga produk hukum tersebut langsung berlaku

efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga legislatif.

Dalam era pemerintahan Presiden Jokowi, kontroversi mengenai Perppu

yang paling hangat adalah ketika diterbitkannyaPeraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan, yang dikenal dengan sebutan Perppu Ormas. Perppu ini

memicu perdebatan hangat karena melalui Perppu ini dilakukan perubahan

terhadap UU Ormas yang belum lama diundangkan, khususnya ketentuan-

ketentuan mengenai prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan dan

perubahan tersebut dinilai tidak lebih demokratis.

Terlepas dari materi pengaturan dalam Perppu tersebut, menarik juga

dilihat adalah proses pembentukan Perppu ini dan persetujuannya di DPR untuk

menjadi undang-undang. Perppu Ormas diterbitkan untuk melakukan perubahan

terhadap undang-undang yang belum lama diterbitkan dan mekanisme

pembubaran organisasi kemasyarakatan yang terdapat dalam Undang-Undang

belum pernah dilakukan. Artinya, dapat ditangkap bahwa ada perubahan sikap

dari pemerintah dalam memahami kondisi aktual sehingga mengubah sikapnya

melakukan “persetujuan bersama” di DPR ketika membentuk undang-undang

tersebut. Bagaimanapun undang-undang di Indonesia merupakan produk hasil

persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Suatu RUU jika tidak

mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak (pemerintah atau DPR), tidak

akan diundangkan dan tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan

Perwakilan Rakyat masa itu. (Lihat Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI

Tahun 1945). Melihat mekanisme di atas dapat juga dikatakan bahwa terdapat

suatu kondisi kegentingan yang memaksa sehingga pemerintah tidak dapat

menempuh jalur legislasi biasa untuk mengusulkan pengaturan atas pemahaman

pemerintah atas kondisi aktual saat itu.

Namun demikian dalam perspektif yang pesimistik, kondisi di atas dapat

juga ditafsirkan bahwa pemerintah ingin memimpin pembentukan kebijakan di

parlemen. Kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif (president’s

legislative power) di berbagai negara presidensial memang sering digunakan

presiden untuk by pass pembahasan di parlemen dalam pembentukan kebijakan.

Sikap Presiden yang mengindikasikan pengabaian persetujuan bersama yang

telah dilakukannya kembali terlihat ketika presiden tidak menandatangani Revisi

UU MD3 (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan

Page 3: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

3 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah).1 Presiden sebelumnya juga mempertimbangkan

untuk menerbitkan Perppu untuk mengubah “persetujuan bersama” yang pernah

disampaikannya, walaupun akhirnya tidak dilakukan.2

Peristiwa penerbitan Perppu terhadap RUU yang sudah disetujui bersama

pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Perppu

tersebut diterbitkan ketika SBY mengubah sikapnya terhadap RUU Pilkada tidak

langsung yang baru saja disetujuinya dengan menerbitkan Perppu Nomor 1

Tahun 2014 yang mengembalikan Pilkada langsung.3

Opsi menerbitkan Perppu nampak memang semakin populer, bahkan

lembaga-lembaga negara juga beberapa kali mengusulkan penerbitan Perppu

kepada presiden dalam pembentukan peraturan atau kebijakan.4 Kemudahan

penerbitan Perppu tentu dapat menjadi masalah dalam relasi lembaga eksekutif

dan legislatif. Perlu diberi catatan bahwa cara presiden menghadapi lembaga

legislatif dengan penggunaan proactive power seperti emergency decree atau

Perppu tidak boleh dibudayakan karena tidak sesuai prinsip pembagian

kekuasaan. Dalam berbagai praktek penggunaan kekuasaan ini bukanlah

membuat hubungan eksekutif-legislatif menjadi semakin baik namun justru

menambah ketegangan antara dua kekuasaan ini. Jika presiden berhasil

menggunakannya, cenderung presiden menganggap cara tersebut merupakan

langkah yang tepat untuk menghadapi legislatif sehingga digunakan terus

menerus. Sementara parlemen menganggap penggunaan kekuasaan ini secara

berulang merupakan perlawanan terhadap eksistensi parlemen sebagai

pembentuk kebijakan utama dan sebagai pemegang kekuasaan pengawasan.

Bagir Manan menyebutkan bahwa Peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang harus dipandang sebagai “the necessary evil”,

sebagai sesuatu yang semestinya dijauhi, tetapi terpaksa ditempuh sebagai upaya

membentuk hukum yang tidak semestinya (abnormale rechtsvorming).5 Artinya,

tidak boleh terdapat sikap bagi pembentuknya, lembaga legislatif, lembaga

negara lainnya maupun rakyat yang terikat dengan peraturan tersebut untuk

menerima peraturan jenis ini sebagai kelaziman yang setiap saat dapat terjadi.

Negara-negara Amerika Latin yang bersistem presidensial dapat dijadikan

contoh mengenai cara menekan penggunaan peraturan darurat atau perppu.

Mereka memiliki pengalaman panjang tentang produktivitas tinggi kekuasaan

eksekutif dalam menerbitkan peraturan seperti perppu ini. Cara efektif yang

mereka tempuh adalah dengan memberikan regulasi bagi penerbitan perppu

1 http://ksp.go.id/presiden-tidak-menandatangani-uu-md3/index.html 2https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/19124111/jokowi-pertimbangkan-

keluarkan-perppu-untuk-batalkan-pasal-kontroverial-di 3https://nasional.kompas.com/read/2018/03/17/09425041/cerita-di-balik-perppu-

pilkada-langsung-dan-opsi-atas-uu-md3 4https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180112172226-32-268476/kpu-usul-

jokowi-keluarkan-perppu-verifikasi-faktual-parpol atau

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/16522831/kpk-usul-pemerintah-terbitkan-

perppu-untuk-ganti-peserta-pilkada-yang-jadi 5http://www.perubahan.co/kolom/102/pasal-22-uud-1945-dan-ajaran-konstitusi%EF%

80%AA.html

Page 4: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 4

melalui peraturan perundang-undangan, khususnya melalui konstitusi. Mereka

melakukan perubahan konstitusi dalam rangka mengatur secaa lebih rinci proses

pembentukan perppu, kesementaraannya, hingga proses pembahasan dan

persetujuannya di parlemen.

Bahkan secara rinci ditentukan materi-materi yang mungkin diatur

melalui peraturan darurat ini. Tidak semua masalah bisa diatur melalui perppu

karena terdapat materi-materi yang dianggap berpotensi disalahgunakan untuk

kepentingan politik kekuasaan eksekutif dan terdapat materi-materi yang

berpengaruh kepada nilai keadilan masyarakat akibat terbatasnya partisipasi

publik dalam pembentukan Perppu.

Tulisan ini berusaha melakukan kajian perbandingan pengaturan perppu

yang berlaku di Indonesia dengan beberapa negara bersistem presidensial di

Amerika Latin. Dibandingkan pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh

peraturan perundang-undangan baik secara formil pembentukan perppu maupun

urgensi dan argumentasi melakukan pembatasan dari materi muatan yang dapat

diatur melalui peraturan darurat yang diterbitkan presiden tersebut.

II. PEMBAHASAN

A. “Perppu” di Negara-Negara Presidensial

Kekuasaan presiden menerbitkan emergency decree terdapat di berbagai

negara di dunia. Dalam berbagai literatur jenis peraturan ini dikenal dengan

berbagai sebutan, antara lain disebut sebagai constitutional decree authority atau

beberapa penulis menyebutnya dengan executive decree authority atau

presidential decree authority. Secara khusus dapat disebutkan, Brazil menyebut

produk hukum ini dengan sebutan medidas provisorias (provisional measure)

atau dapat diterjemahkan sebagai “tindakan sementara”. Negara Argentina

dikenal dengan sebutan decreto de necesidad y urgencia (decree of necessity and

urgency). Untuk mempermudah sebutan peraturan tersebut dalam penulisan ini

digunakan istilah yang terdapat di Indonesia, yaitu perppu.

Pada negara-negara bersistem presidensial, kekuasaan jenis ini dikenal

dengan sebutan kekuasaan presiden di bidang legislatif (President’s legislative

power) yaitu kekuasaan presiden yang dijalankan di lembaga legislatif. Selain,

presidential decree atau emergency decree, kekuasaan yang dapat

dikelompokkan dalam jenis ini antara lain adalah kekuasaan presiden melakukan

veto terhadap proses legislasi di parlemen, kekuasaan mengajukan inisiatif

dalam rancangan undang-undang di bidang tertentu, kekuasaan untuk

menentukan prioritas pembahasan rancangan undang-undang, mengadakan

referendum atau plebisit, dan kekuasaan khusus dalam pembentukan anggaran

negara.6

6 J. Mark Payne, Daniel Zovatto G., dan Mercedes Mateo Díaz, Democracies in

Development: Politics and Reform in Latin America, (Washington: Inter-American

Development Bank, 2007) atau Gabriel L. Negretto, “Shifting Constitutional Designs in Latin

America: A Two-Level Explanation”, Texas Law Review, Volume 89, 1777, hlm. 1790-1791.

Payne hlm. 86

Page 5: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

5 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Constitutional decree authority (CDA) di negara-negara bersistem

presidensial secara konsep dapat disebutkan sebagai kekuasaan konstitusional

presiden untuk menerbitkan peraturan yang memiliki daya ikat dan materi

muatan setingkat undang-undang, diterbitkan dalam kondisi tertentu dan

langsung berlaku tanpa melalui proses pembahasan di legislatif. Namun,

meskipun peraturan tersebut langsung berlaku efektif tetapi berlaku sementara

karena membutuhkan persetujuan parlemen untuk diberlakukan sebagai undang-

undang atau dicabut.

Menurut pengamatan Gabriel L. Negretto terhadap fenomena pengaturan

CDA di konstitusi berbagai negara terdapat beberapa ciri umum yaitu; Pertama,

kekuasaan eksekutif dalam menerbitkan CDA ini terdapat eksplisit pada

konstitusi atau berdasarkan putusan kekuasaan kehakiman. Kedua, peraturan

tersebut diterbitkan hanya dalam kondisi mendesak yang tidak mungkin untuk

menempuh proses legislasi biasa (normal). Ketiga, peraturan tersebut langsung

berlaku efektif ketika diterbitkan tanpa melalui pembahasan di legislatif.7

Kekuasaan Presiden Brazil untuk mengeluarkan peraturan setingkat

undang-undang dalam kondisi khusus, pertama kali diatur berdasarkan Article

62 Konstitusi Brazil 1988 yang menentukan bahwa Presiden Brazil memiliki

kekuasaan untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam perundang-undangan

yaitu menerbitkan perppu (presidential legislative decree). Dengan kekuasaan

ini Presiden Brazil dapat mengeluarkan peraturan yang langsung berlaku tanpa

membutuhkan persetujuan parlemen. Namun, konstitusi membatasi kekuasaan

ini dengan memberikan syarat bahwa kekuasaan ini dapat dilakukan oleh

presiden dalam kondisi yang tepat dan mendesak (relevance and urgency).

Namun dalam waktu 30 hari setelah diterbitkan dekrit tersebut, parlemen harus

menentukan sikap untuk menerima dekrit itu yang berakibat menjadikannya

undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak berlakunya dekrit

tersebut.8

Ketentuan seperti di Brazil juga terdapat di Konstitusi Argentina

1994.Namun kekuasaan ini sebenarnya sudah digunakan oleh Presiden Raul

Alfonsin pada tahun 1983 dan ketika berkuasanya Presiden Carlos Menem pada

1990, kekuasaan membentuk emergency decree ini disahkan oleh Supreme

Court. Pada tahun 1994 kekuasaan ini resmi diatur dalam konstitusi. Di dalam

Konstitusi Argentina 1994, presiden diberikan kekuasaan untuk membuat dekrit

dalam suatu kondisi yang luar biasa (exceptional circumtances) yang dapat

7 Gabriel L. Negretto, “Government Capacities and Policy Making by Decree in Latin

America: The Cases of Brazil and Argentina”, Comparative Political Studies, Vol.37 No.5, June

2004, hlm. 535. 8 Secara lengkap Article 62 Konstitusi Brazil 1988 berbunyi:

“In relevant and urgent cases, the President of the Republic may adopt provisional measures

with the force of law and shall submit such measures to Congress immediately. If Congress is in

recess, an extraordinary session shall be called within five days.

Provisional measures lose their effectiveness as from the date of their issuance if they are not

converted into law within a period of thirty days as from their publication, and Congress

regulates the legal relations arising therefrom.”

Konstitusi Brazil http://www.servat.unibe.ch/icl/br00000_.html(diakses 6 Mei 2013,

PukuL 14.31 WIB)

Page 6: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 6

langsung berlaku. Sebagian besar bidang kebijakan dapat menjadi materi muatan

dari dekrit yang dikeluarkan presiden tersebut. Konstitusi hanya mengecualikan

masalah ketentuan pidana, perpajakan, masalah pemilihan umum dan sistem

kepartaian sebagai bidang yang tidak boleh diatur. Namun demikian 10 hari

setelah diterbitkan, dekrit tersebut harus disampaikan kepada parlemen untuk

dimulai pembahasan.9

Presiden Ekuador diberikan kekuasaan untuk menerbitkan langkah

ekonomi mendesak yang dalam 30 hari National Assembly harus menyetujui,

mengubah atau menolak rancangan tersebut. Jika National Assembly tidak juga

mengambil putusan selama waktu yang telah ditetapkan (30 hari) terhadap

“langkah ekonomi mendesak” yang dikirimkan presiden, maka presiden dapat

memberlakukan “langkah ekonomi mendesak” tersebut sebagai hukum yang

mengikat.10

B. Memahami Politik Perppu

9 Ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Article 99 ayat (3) Konstitusi Argentina 1994

yang secara lengkap berbunyi:

“Only when due to exceptional circumstances the ordinary procedures foreseen by this

Constitution for the enactment of laws are impossible to be followed, and when rules are not

referred to criminal issues, taxation, electoral matters, or the system of political parties, he shall

issue decrees on grounds of necessity and urgency, which shall be decided by a general

agreement of ministers who shall countersign them together with the Chief of the Ministerial

Cabinet.“

Within the term of ten days, the Chief of the Ministerial Cabinet shall personally submit the

decision to the consideration of the Joint Standing Committee of Congress, which shall be

composed according to the proportion of the political representation of the parties in each

House. Within the term of ten days, this committee shall submit its report to the plenary meeting

of each House for its specific consideration and it shall be immediately discussed by both

Houses. A special law enacted with the absolute majority of all the members of each House shall

regulate the procedure and scope of Congress participation.”

Konstitusi Argentina http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/ english.php

(diakses 6 Mei 2013, Pukul 11:46 WIB). 10 Ketentuan tersebut terdapat di Article 140 Konstitusi Ekuador yang secara lengkap

menyebutkan

“The President of the Republic will be able to send to the National Assembly bills qualified as

urgent on economic matters. The Assembly must adopt, amend or turn them down within thirty

(30) days at the most as of their reception.

Procedures for submittal, discussion and adoption of these bills shall be the regular ones, except

with respect to the previously established time-limits. While a bill qualified as urgent is being

discussed, the President of the Republic will not be able to send another, unless a State of

Exception has been decreed.

When the Assembly does not adopt, amend or turn down the bill qualified as urgent in economic

matters within the stipulated time-limits, the President of the Republic shall enact it as a decree-

law or shall order its publication in the Official Register. The National Assembly shall be able,

at any time, to amend or repeal it, on the basis of the regular process provided for by the

Constitution.”

Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/ english08.html

(diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB)

Page 7: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

7 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Para pengkaji relasi eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial,

khususnya yang mengamati fenomena divided government11 menemukan bukti

kuat bahwa memang terdapat hubungan erat antara kondisi divided government

dengan lahirnya banyak perppu dari tangan presiden. Pendapat tersebut antara

lain disampaikan Pereira, Powers, & Renno (2005) yang menemukan bahwa

dalamperiodedividedgovernment 1988-1998terdapat fenomena meningkatnya

penggunaan perppu di Brazil.Berdasar data yang ditampilkan oleh Negretto,

dalam periode 1988-1998 penerbitan Perppu oleh 5 Presiden Brazil, yakni Jose

Sarney, Fernando Collor de Mello, Itamar Franco dan Fernando Henrique

Cardoso I berjumlah 3415 Perppu.12

Schmidt (1998) juga menemukan fenomena yang paralel di Peru ketika

pemerintahan di bawah Presiden Fernando Belaunde dan Alberto Fujimori yang

relasi eksekutif dan legislatifnya dapat dikategorikan sebagai divided

government. Pada masa Belaunde terbit 667 Perppu dalam rentang 1980-1985

dan ketika Fujimori terbit 575 Perppu dalam 2 tahun kekuasaannya pada 1990-

1992.13

Penelitian Brian Crisp’s (1998) yang meneliti Venezuela dalam periode

1961-1994 menyampaikan indikasi bahwa Presiden Luis Herrera Campíns dan

Presiden Rafael Caldera juga bergantung kepada perppu selama periode divided

government. Pola ini juga dianggap tidak terjadi khusus di Amerika Latin namun

dapat juga ditampilkan fenomena Russia dan Perancis yang ditemukan kejadian

serupa sebagaimana ditampilkan dalam penelitian Parrish (1998) and Huber

(1998).14

Dalam kondisi divided government, relasi eksekutif dan legislatif

berlangsung secara konfrontatif. Sikap presiden terus menerus menerbitkan

perppu alih-alih menjadi jalan keluar mengatasi kondisi tersebut malahan

semakin memperburuk hubungan eksekutif dan legislatif. Salah satu yang

fenomenal untuk menggambarkan rusaknya hubungan eksekutif dan legislatif

dan penerbitan Perppu adalah pada masa Presiden ke-32 Brazil, Fernando

Affonso Collor De Mello. De Mello mengeluarkan tidak kurang dari 36 perppu

pada 15 hari pertama menjabat dan sekitar 160-an Perppu sepanjang tahun 1990.

De Mello terus mengeluarkan perppu-perppunya sepanjang tahun sampai di

11 Kondisi divided government merupakan situasi instabilitas dalam sistem presidensial

yang dapat terjadi ketika partai presiden tidak mayoritas di parlemen (minority president) dan

presiden gagal membentuk koalisi mayoritas yang kohesif. Lihat Fitra Arsil, Teori Sistem

Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di

Berbagai Negara, (Depok: Rajawali Press, 2017), hlm. 185. 12 Negretto, “Government…, Loc. Cit., hlm. 543. 13 Gregory Schmidt. “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The Evolution

of Executive Decree in Peru”dalam John M.Carey & Matthew Soberg Shugart [eds]. Executive

Decree Authority. (Cambridge, Cambridge University Press, 1998). 14 James Je Heon Kim, “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity and

Urgency in Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the Annual Meetings of the

SouthernPolitical Science Association, American Political Science Association, and the

Quantitative Methods Seminar at Columbia University.September 21, 2007.

Page 8: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 8

awal tahun kedua kekuasaannya.15 De Mello memang menginginkan

menjalankan pemerintahannya dengan menghindari dari proses di legislatif.

Perppu-perppu yang dikeluarkannya membuat Ia tidak perlu terlibat dalam

proses di legislatif dalam membuat kebijakan. Ironisnya, langkah De Mello

memutuskan memerintah dengan mengabaikan legislatif ini berakhir dengan

keputusan impeachment terhadap dirinya. De Mello adalah contoh presiden yang

merasa kekuasaan yang diberikan konstitusi cukup untuk memerintah tanpa

dukungan legislatif. De Mello menganggap membangun dukungan di legislatif

akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan.

Namun demikian ditemukan fenomena yang berbeda di Amerika Latin,

khususnya di Brazil yang memperlihatkan bukti bahwa produktivitas Perppu

juga tinggi dalam kondisi dukungan presiden mayoritas di parlemen. Dapat

disebutkan dalam periode pemerintahan Presiden Lula yang pertama dimulai

pada tahun 2002, partainya juga merupakan pemenang pemilihan legislatif

dengan perolehan kursi 91 atau 17 % dari keseluruhan kursi parlemen. Lula juga

berhasil membangun koalisi pemerintahan dengan mengendalikan 318 kursi di

parlemen atau 62 % dari keseluruhan kursi di kongres. Dalam tahun 2002 Lula

mengeluarkan 82 Perppu, 58 pada tahun 2003 dan, 73 di tahun 2004.16 Membaca

fenomena ini Arberry menyebutkan bahwa Perppu di Brazil merupakan tindakan

rutin pemerintah dalam pembentukan kebijakan yang sudah membudaya sejak

waktu yang cukup panjang. Pendapat ini didukung oleh data yang ditampilkan

oleh Helena Zani Morgado dan Hugo Anciaes yang menghitung perppu yang

pernah terbit di Brazil dari tahun 1989 hingga tahun 2010. Data yang mereka

peroleh menunjukkan Presiden Brazil memang terbiasa memerintah dengan

mengeluarkan provisional decree atau perppu meskipun terdapat penurunan

signifikan setelah adanya pembatasan melalui amandemen konstitusi pada tahun

2001.17

Pendapat Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi

berdasarkan penelitiannya terhadap fenomena sistem pemerintahan presidensial

di Brazil, dapat dikutip untuk memahami fenomena ini.18 Figuerido dan Limongi

memaparkan bahwa kondisi yang terjadi di sistem parlementer juga terjadi di

sistem presidensial. Dalam sistem parlementer pengendalian eksekutif terhadap

legislatif telah menjadi lazim terjadi, dimana eksekutif berinisiatif membuat

kebijakan dan legislatif tinggal menerima atau menolak proposal kebijakan yang

diajukan eksekutif.19 Penelitian Figuerido dan Limongi menunjukkan bahwa di

15 Octavio Armorim Neto, “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”,

dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America

(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 76. 16 Lance L. Arberry, “The Evolving Executive: Provisional Decrees and Their Impact on

Brazil's Executive-Legislative Relationship”, theses University of Nevada, Las Vegas, 2013. 17 Helena Zani Morgado and Hugo Anciaes, “Provisional Measure: an urgent and relevant

subject” Revistada Faculdade de Direito da UERJ, V.2, n. 22, jul/dez.2012 18 Argelina Cheibub Figuerido dan Fernando Limongi, “ Presidential Power, Legislative

Organization, and Party Behavior in Brazil”, dalam Comparative Politics, Vol. 32, No.2 (Januari

2000), hlm. 168. 19 Diantara perbedaan penting antara sistem parlementer dan presidensial dapat dilihat

dari pihak mana yang memegang agenda. Dalam sistem parlementer eksekutif (pemerintah)

Page 9: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

9 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

sistem presidensial dapat terjadi hal yang sama. Kekuasaan presiden di bidang

legislatif telah membuat presiden menjadi pihak pembuat inisiatif kebijakan

bahkan pengendali agenda di lembaga legislatif. Dengan memiliki kekuasaan di

bidang legislatif tersebut membuat presiden dapat menarik para anggota

parlemen untuk bekerja sama menjadi pendukungnya.20 Figuerido dan Limongi

juga menambahkan bahwa kekuasaan presiden di bidang legislatif seperti

penerbitanperppu tidak hanya digunakan dalam kondisi darurat seperti pendapat

yang disampaikan para ahli lainnya.21 Presiden Brazil, dengan bekal kekuasaan

yang didapatnya dari ketentuan konstitusi, mengontrol agenda legislatif.

Parlemen dalam banyak kesempatan hanya berposisi memilih menerima atau

menolak.

Pereira, Power dan Renno mengajukan dua hipotesis teori untuk

berusaha menjelaskan hubungan produktivitas perppu dengan situasi relasi

eksekutif dan legislatif. Menurut mereka penerbitan Perppu di negara-negara

Amerika Latin dapat dianalisis berdasar (1) Teori Unilateralisme dan (2) Teori

Delegasi.22 Dalam perspektif unilaterisme, tindakanseorang presiden

menerbitkan perppu dilakukan dengan tujuan membuat kebijakan namun

menghindar dari proses pembahasan di parlemen (by pass). Langkah ini

dilakukan presiden ketika hanya mendapat dukungan minoritas di parlemen

(minority president) dan menolak bekerjasama dengan presiden atau dapat

dikatakan penerbitan perppu terjadi dalam kondisi divided government.

Implikasi meninjau dari perspektif ini adalah bahwa jumlah perppu pasti akan

meningkat ketika tingkat dukungan parlemen atas presiden menurun.

Dalam perspektif teori delegasi, penerbitan perppu bukan langkah yang

melemahkan parlemen atau berhadapan dengan parlemen. Tindakan presiden

tersebut justru disetujui oleh parlemen. Parlemen seperti mendelegasikan

fungsinya membentuk kebijakan atau membuat peraturan kepada presiden.

Dalam teori ini jika tingkat dukungan parlemen terhadap presiden tinggi

berimplikasi kepada meningkatnya penerbitan perppu.

Dengan demikian dapat dibaca bahwa memang ada fenomena yang

menonjol bahwa presiden dengan dukungan politik yang lemah di parlemen akan

cenderung mengeluarkan perppu agar kebijakannya lolos dengan mengabaikan

parlemen. Namun hal tersebut bukan satu-satunya motif dikeluarkannya perppu

jika dilihat dari relasi eksekutif dan legislatif. Melalui perppu yang merupakan

proactive power yang dimiliki presiden, presiden ingin memimpin bahkan

mengontrol agenda di parlemen. Situasi yang kedua ini tentu lebih mudah

mengatur agenda dan lembaga legislatif menerima atau menolak apa yang diusulkan lembaga

legislatif. Sedangkan dalam sistem presidensial, legislatif yang menentukan agenda dan

eksekutif (presiden) menentukan apakah akan menerima atau mengajukan veto terhadap usulan

legislatif tersebut. George Tsebelis, “Decision Making in Political System: Veto Players in

Presidentialism, Parliamentarism, Multicameralism, Multipartism,” British Journal of Political

Science, Vol. 25, no. 3 (Juli., 1995), hlm. 325 20 Figuerido dan Limongi Loc. Cit. 21 Ibid. 22 Carlos Pereira, Timothy J. Power and Lucio Renno, “Under What Condition Do

Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the Brazilian Case”,dalam The

Journal of Politics, Vol.67, No.1. February 2005, hlm. 194

Page 10: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 10

dilakukan presiden dalam kondisi dukungan politik tinggi di parlemen. Presiden

yang memiliki kekuasaan di bidang legislatif yang besar, khususnya proactive

power cenderung memiliki posisi tawar yang besar di parlemen. Presiden dapat

menampilkan kekuasaannya ini untuk mendapatkan dukungan politik yang lebih

luas.23

Berdasar analisis di atas, situasi politik, khususnya relasi eksekutif dan

legislatif ketika penerbitan perppu, dapat dikatakan tidak memastikan tingkat

produktivitas penerbitan perppu oleh presiden. Meskipun secara menonjol

ditemukan fakta bahwa dalam situasi minority president yang berakibat

terjadinya divided government merupakan situasi paling kondusif bagi

meningkatnya produktivitas Perppu. Dalam perspektif pembatasan penerbitan

perppu dapat disimpulkan bahwa kongruensi komposisi politik eksekutif dan

legislatif tidak menjamin menekan penerbitan perppu, walaupun dalam kondisi

yang kongruen tingkat produktivitas penerbitan Perppu lebih menurun

kemungkinannya.

C. Pembatasan Perppu

Budaya presiden-presiden di negara-negara Amerika Latin menerbitkan

emergency decree dalam pembentukan kebijakan telah mendorong maraknya isu

pembatasan penggunaannya. Secara sporadis, misalnya, terdapat gerakan

pembatasan yang dilakukan oleh anggota parlemen dalam merespon penggunaan

perppu di Brazil. Langkah-langkah De Mello di Brazil yang terus menerus

mengeluarkan perppu, sebagaimana disebutkan di atas, ketika itu memicu

terjadinya banyak ketidakpuasan terutama di kalangan anggota parlemen.

Akibat ketidakpuasan yang besar, pada tahun 1991, parlemen menggagas sebuah

RUU yang mengatur mengenai pembatasan penerbitan perppu oleh Presiden

Brazil yang dikenal dengan Nelson Jobim Bill karena inisiator lahirnya RUU

ini adalah seorang politisi bernama Nelson Jobim.24 RUU ini hampir saja

berhasil disetujui oleh parlemen, namun akhirnya gagal karena kesulitan Jobim

dan kawan-kawannya meredefinisi ketentuan Article 62 dalam Konstitusi Brazil

yang menjadi landasan hukum yang memberi kekuasaan menerbitkan dekrit

kepada presiden.25

Namun demikian, menurut Timothy J. Power, meskipun Jobim dan

kawan-kawannya gagal, usaha mereka nampak berpengaruh bagi De Mello dan

para penasehatnya. Ketika Jobim Bill sedang dibahas oleh parlemen pada bulan

Februari, Maret dan April, De Mello tidak mengeluarkan sebuah perppu pun.

Jika melihat pengalaman di tahun pertamanya dimana dia sangat sering

23 Octavio Amorim Neto, “The Presidential Calculus Executive Policy Making and

Cabinet Formation in the Americas.” Comparative Political Studies, Volume 39 Number 4 May

2006 (Sage Publications, 2006) 24 Octavio Armorim Neto, “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in Brazil”,

dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative Politics in Latin America, (New

York: Cambridge University Press, 2002), hlm. 76 25 Timothy J. Power, “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree Power

in Brazil.” dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed., Executive Decree Authority, (New

York: Cambridge University Press, 1998), hlm. 211

Page 11: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

11 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

mengeluarkan perppu, hal ini sangat mengejutkan. Dari fakta ini, orang sulit

untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa “kelakuan baik” Presiden De Mello

tersebut telah menyelamatkannya dari lahirnya UU yang membatasinya untuk

mengeluarkan perppu.26

Pembahasan Jobim Bill nampaknya menjadi titik balik bagi

kepemimpinan De Mello. Pasca proses Jobim Bill, De Mello merubah sikapnya

dalam proses pengambilan kebijakan. Di tahun 1991, Ia hanya mengeluarkan 8

decree saja. Ini sangat jauh dibandingkan tahun sebelumnya, saat De Mello

mengeluarkan 163 decree sepanjang tahun 1990. Sebagai perbandingan, Power

membuat hitungan rerata decree yang dikeluarkan De Mello per bulannya. Sejak

pelantikannya sebagai presiden pada bulan Maret 1990 hingga Januari 1991, De

Mello rata-rata menerbitkan 14 decree tiap bulannya. Sejak Februari 1991,

ketika dimulainya pembahasan Jobim Bill, sampai akhir masa jabatannya De

Mello hanya menerbitkan 0,6 decree tiap bulannya.27 Kasus Jobim Bill

mengindikasikan bahwa pembatasan perppu yang dilakukan melalui peraturan

perundang-undangan kelihatan efektif.

Dalam masa berikutnya keinginan untuk membatasi penerbitan melalui

peraturan perundang-undangan di Brazil benar-benar terjadi melalui

Amandemen ke-32 Konstitusi Brazil Tahun 2001. Amandemen ini memang

terjadi karena timbulnya kesadaran bahwa article 62 Konstitusi Brazil 1988 telah

melemahkan posisi Kongres dalam pembentukan hukum dan pengawasan.

Melalui Amandemen Konstitusi ke 32 Tahun 2001 diatur berbagai pembatasan

baik dari segi formil proses pembentukan perppu maupun pembatasan secara

materiil mengenai kemungkinan materi yang dapat diatur melalui penerbitan

perppu. Article 62 Konstitusi Brazil yang sebelumnya hanya terdiri dari 2 (dua)

ayat, seperti disebutkan di atas, setelah amandemen diubah menjadi 12 (dua

belas) ayat. Penambahan pengaturan-pengaturan mengenai perppu ini

menunjukkan bahwa konstitusi memang menginginkan banyak pembatasan

dalam penerbitan produk hukum luar biasa ini.

1. Pembatasan Melalui Frasa “relevance and urgency”, “necessity and

urgency” atau Frasa “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa”

Sebagai peraturan yang lahir bukan dalam kondisi normal, perppu di

berbagai negara memang mensyaratkan situasi khusus sehingga presiden dapat

melakukan pembentukan kebijakan secara mandiri dan proaktif. Di Brazil

terdapat frasa “relevance and urgency” dan di Argentina terdapat frasa

“exceptional circumtances” atau “necessity and urgency” sebagai syarat

kondisi presiden dapat menerbitkan Perppu. Frasa tersebut kira-kira dapat

disejajarkan dengan frasa “hal ihwal kegentingan memaksa” di Indonesia.

Dalam prakteknya penggunaan frasa tersebut sebagai penafsiran kondisi oleh

presiden agar dapat diterbitkannya emergency decree relatif sama

permasalahannya di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tidak menyebut

secara tegas syarat-syarat yang dikehendaki dari frasa tersebut. Dalam

26 Ibid., 27 Ibid.,

Page 12: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 12

Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 naskah asli disebutkan "Pasal ini mengenai

noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan

agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan

yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat..."

Presiden menafsirkan kondisi lazimnya dikaitkan dengan kebutuhan

melakukan pengaturan di satu sisi dan di sisi lain adalah terbatasnya waktu untuk

melakukan proses legislasi biasa. Menariknya, kondisi ini sama dengan makna

kata relevance di Brazil ataupun necessity di Argentina yang dapat dimaknai

terdapatnya kebutuhan karena adanya kondisi yang butuh pengaturan dan di sisi

lain terdapat urgency yang dikaitkan dengan terbatasnya waktu.

Dengan frasa tersebut di Amerika Latin, khususnya Brazil dan

Argentina, presiden menerbitkan perppu dalam jumlahnya yang besar dan

nampak seperti tindakan rutin presiden dalam pembentukan kebijakan. Artinya

frasa tersebut bukanlah pembatasan yang memadai dalam penggunaan perppu.

Konstitusi Brazil 1988 yang awalnya relatif membatasi penggunaan perppu

menyandarkan dengan frasa tersebut, pada gilirannya merasa frasa tersebut perlu

ditambah dengan pembatasan-pembatasan lain dalam konstitusi.

Di Indonesia frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang

merupakan syarat situasi dapat diterbitkannya perppu nampak merupakan

pembatasan yang diandalkan dalam penerbitan perppu. Frasa tersebut relatif

tanpa penjelasan makna dalam seluruh peraturan perundang-undangan yang

mengatur soal perppu. Namun beruntung terdapat putusan Mahkamah Konstitusi

yang memberi panduan bagi penggunaan frasa kegentingan yang memaksa.

Berdasarkan Pertimbangan Mahkamah (ratio decidendi) dalam Putusan MK

No. 138/PUU-VII/2009, ada tiga syarat sebagai parameter adanya "kegentingan

yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan perppu, yaitu: (i) Adanya

keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara

cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan

tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-

Undang tetapi tidak memadai; (iii) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat

diatasi dengan cara membuat Undang Undang secara prosedur biasa karena akan

memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak

tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dalam putusan yang lain juga disebutkan, yaitu putusan MK No.

003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK berpendapat bahwa hal ihwal

kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan

bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang.

Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal "kegentingan yang memaksa" menjadi

hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi

obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.

Walaupun terdapat panduan dalam putusan Mahkamah Konstitusi

norma-norma tersebut jika diperdebatkan di parlemen memiliki potensi besar

perbedaan pendapat. Potensi perdebatan tersebut antara lain; Pertama, mengenai

kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum. Presiden harus

dapat menjelaskan masalah yang dihadapi ketika lahirnya Perppu adalah

mendesak dan dibutuhkan peraturan setingkat undang-undang segera. Dalam

Page 13: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

13 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

hal, perppu yang diterbitkan mengubah atau menggantikan undang-undang yang

belum lama disetujui bersama antara presiden dan DPR, seperti ketika terbitnya

Perppu Ormas, maka presiden harus menjelaskan bahwa terdapat situasi berbeda

ketika diterbitkannya perppu dengan situasi ketika disetujuinya sebuah undang-

undang.

Kedua, diperlukan penilaian yang cukup mengenai makna kekosongan

hukum. Apa makna tidak ada undang-undang yang mengatur masalah tersebut

atau undang-undang yang ada dianggap tidak memadai. Jika perppu digunakan

untuk mengganti atau mengubah undang-undang yang masih berlaku asumsi

kekosongan hukum sulit untuk digunakan, apalagi jika undang-undang tersebut

belum lama diterbitkan. Tentang undang-undang tidak memadai dapat diajukan

pertanyaan tentang bagaimana menilai suatu undang-undang tidak memadai.

Padahal, misalnya, undang-undang tersebut belum pernah digunakan untuk

menghadapi masalah hukum yang ingin dihadapi oleh Perppu. UU No. 12 Tahun

2013 tentang Ormas, misalnya, belum pernah dijadikan dasar dalam pembubaran

organisasi kemasyarakatan atau ketika Presiden SBY menerbitkan Perppu

Pilkada Langsung untuk menggantikan UU Pilkada Tidak Langsung yang baru

aja disetujui bersama.28Ketiga, proses legislasi biasa dianggap tidak bisa

dilakukan karena alasan waktu juga memiliki potensi pertanyaan yang butuh

penjelasan presiden dengan meyakinkan. Dalam Perppu Ormas, misalnya,

nyatanya hanya ditambahkan beberapa pasal saja khususnya mengenai

pencabutan status badan hukum ormas. Jika urgensinya dipahami bersama oleh

presiden dan DPR tentu tidak akan panjang pembahasannya di DPR. DPR

bahkan punya sejarah dalam periode ini, membahas sebuah Revisi RUU lebih

kurang hanya 5 jam saja.29 Namun jika dimaksudkan Presiden ingin memimpin

pembentukan kebijakan di parlemen dan menunjukkan kemampuannya

mengontrol agenda parlemen, memang perppu menjadi pilihan.

Syarat “kegentingan yang memaksa” dalam prakteknya nampak

menjadi satu-satunya indikator pengujian terhadap suatu perppu oleh DPR

karena DPR tidak dapat melakukan perubahan terhadap materi perppu.

Ketentuan dalam Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa “DPR hanya memberikan

persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang”. Pengaturan ini jika dilihat dari konteks relasi

eksekutif dan legislatif seperti dianalisis di atas memang membuat posisi

presiden sebagai pengendali agenda legislasi di parlemen. Posisi parlemen

bahkan bukan saja pasif namun juga relatif hanya sebagai pemberi legitimasi

kehendak pemerintahan dalam membentuk kebijakan.

Dalam materi kebijakan yang terkandung di dalam Perppu, ketentuan

ini tentu problematik bagi DPR. DPR tidak dapat membuat opsi menerima

dengan perubahan terhadap Perppu yang telah diterbitkan pemerintah. Jadi DPR

hanya menguji syarat “kegentingan memaksa” suatu perppu, bukan materinya.

DPR tidak mungkin memiliki sikap menerima terjadinya “kegentingan

28 bagian pendahuluan tulisan ini. 29 https://news.detik.com/berita/2769496/jadi-alat-deal-kih-kmp-md3-jadi-uu-tercepat-

direvisi-dalam-sejarah

Page 14: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 14

memaksa” namun tidak menyetujui pengaturan yang dilakukan presiden dalam

menanganinya.30

Berdasar pengalaman fleksibilitas penggunaan frasa relevance and

urgency banyak yang menginginkan penilaian terhadap frasa ini digantungkan

ke kekuasaan kehakiman agar beban politik dari penilaian ini menjadi lebih

ringan. Relevance and Urgency disajikan sebagai konsep hukum namun

maknanya sangat luas oleh karena itu kontrol terhadap frasa ini seharusnya

dilakukan secara yuridis bukan politik. Konflik penafsiran di parlemen dapat

diatasi dengan terlibatnya kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi

Indonesia, dalam hal ini, dapat sekali lagi berperan dalam memberi tafsir

terhadap alasan “kegentingan memaksa” dalam pembentukan Perppu dengan

kaidah yang telah mereka buat sendiri.

Realitas penggunaan syarat “relevance and urgency” atau “necessity

and urgency” ataupun “kegentingan yang memaksa” tidak menunjukkan bahwa

syarat tersebut menjadi pembatasan yang efektif bagi penerbitan perppu oleh

kekuasaan eksekutif. Subyektivitas penafsiran syarat tersebut sangat tinggi dan

digantungkan kepada presiden yang melakukan penafsiran atas kondisi.

Pengujiannya di parlemen juga tidak akan terlepas dari negoisasi politik. Oleh

karena itu diperlukan tambahan pembatasan lain selain syarat kondisi

“kegentingan memaksa” tersebut dan beberapa negara di Amerika Latin telah

melakukannya akibat pengalaman mereka terhadap produktivitas penggunaan

perppu oleh presiden.

2. Pembatasan Masa Keberlakuan Perppu

Pada Pasal 22 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesita Tahun 1945

disebutkan bahwa perppu setelah diterbitkan harus mendapatkan persetujuan

DPR agar dapat menjadi undang-undang. Disebutkan bahwa “Peraturan

pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat dalam

persidangan yang berikut”. Ketentuan ini bukan saja mengatur mengenai syarat

persetujuan DPR, namun juga menunjukkan bahwa perppu merupakan peraturan

yang bersifat sementara, memiliki masa keberlakuan tertentu.

30 Dalam prakteknya pengaturan ini melahirkan sikap yang menarik dari fraksi-fraksi di

DPR yang membuktikan perlu pemahaman terhadap pengaturan ini ataupun perubahan

pengaturan. Dalam proses persetujuan Perppu Ormas di Sidang Paripurna DPR sesungguhnya

yang menerima pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang hanya terdapat 4 (empat)

fraksi, yaitu PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura. Tiga fraksi tidak setuju DPR mengesahkan draf

yang mengalihkan Perppu Ormas ke bentuk undang-undang, yaitu Fraksi Partai Keadilan

Sejahtera (PKS), Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara, tiga fraksi lainnya,

Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan, menyetujui

pengesahan Perppu Ormas dengan syarat. Mereka meminta pemerintah dan DPR langsung

merevisi setelah ketok palu. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41731696

Sikap yang terakhir ini sebenarnya tidak jelas posisinya mengingat pengaturan tentang

sikap DPR tentang persetujuan perppu. Jika dianggap setuju sesungguhnya mereka mengajukan

syarat untuk sikap persetujuannya tersebut, sementara catatan harus segera direvisi sebenarnya

tidak mengikat untuk dilaksanakan. Apakah berarti mereka menarik persetujuannya jika ternyata

presiden tidak mengajukan revisi? Sejauh ini sejak Perppu Ormas disetujui DPR pada tanggal

24 Oktober 2017 hingga Maret 2018 belum ada pembahasan revisi seperti yang diinginkan.

Page 15: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

15 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Masa keberlakuan perppu menurut aturan konstitusi tersebut adalah sejak

ditetapkan Presiden hingga pernyataan persetujuan DPR yang dilakukan pada

“persidangan berikut”. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan

bahwa Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang

pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

ditetapkan.

Kasus Penerbitan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

dapat dijadikan contoh untuk menghitung masa keberlakuan suatu perppu.

Perppu ini ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 10 Juli 2017 menjelang

DPR menghadapi reses. Setelah masuk masa sidang, DPR mulai melakukan

pembahasan dan menyampaikan persetujuannya pada tanggal 24 Oktober 2017

di akhir masa sidangnya. Persetujuan DPR terhadap perppu yang mengakibatkan

perppu tersebut diterima menjadi undang-undang kemudian diundangkan pada

tanggal 22 November 2017. Dengan demikian, sejak pertama kali Perppu

tersebut ditetapkan dan diundangkan hingga diputuskan menjadi undang-undang

dan kemudian undang-undang tersebut diundangkan terdapat waktu selama 5

bulan 12 hari. Artinya masa keberlakuan perppu di Indonesia dapat diperkirakan

sekitar masa waktu tersebut.

Peraturan perundang-undang yang mengatur perppu di Indonesia tidak

secara definitif mengatur masa keberlakuan Perppu. Pengaturan seperti ini

berbeda dengan yang terdapat di negara-negara Amerika Latin. Konstitusi Brazil

1988 menyebutkan bahwa dalam waktu 30 hari setelah diterbitkanperppu,

parlemen harus menentukan sikap untuk menerimaPerppu itu yang berakibat

menjadikannya undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak

berlakunya Perppu tersebut. Ketentuan yang terdapat pada Article 62 Konstitusi

Brazil tersebut berbunyi: “(1) Provisional measures lose their effectiveness as

from the date of their issuance if they are not converted into law within a period

of thirty days as from their publication, and Congress regulates the legal

relations arising therefrom.”

Pengaturan yang tegas tentang batas waktu keberlakuan perppu yang

terdapat di Brazil ini masih dianggap belum cukup karena dalam prakteknya

Presiden Brazil sering kali melakukan reissue suatu perppu untuk

memperpanjang masa keberlakuan Perppu. Realitas yang seperti ini membuat

dilakukannya pengaturan yang lebih rinci lagi mengenai masa keberlakukan

perppu. Melalui Amandemen ke-32 pada tahun 2001 Konstitusi Brazil, perppu

atau Provisional decree memang mengalami penambahan waktu dalam

pemberlakuannya yaitu 60 hari sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang sekali

lagi, namun peraturan ini tidak boleh diperpanjang lagi atau diterbitkan lagi oleh

presiden jika sudah kehabisan waktu atau karena ditolak oleh parlemen.

Pengaturan pelarangan reissue sebuah perppu terbilang merupakan aturan yang

penting dan membatasi praktek yang ada sebelumnya dimana presiden sering

mengulangi penerbitan decree yang ditolak parlemen meskipun sudah ditolak

berkali-kali.

Page 16: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 16

Keberadaan aturan batas waktu pemberlakuan dan larangan untuk

mengeluarkan kembali decree yang kehabisan waktu mengandung pesan dalam

prakteknya bahwa jika dalam 60 (enam puluh) hari dan perpanjangan satu kali

tidak juga dikeluarkan putusan penerimaan atau penolakan dari kongres berarti

perppu tersebut dianggap kehilangan keberlakuannya. Meskipun demikian

terdapat pula aturan agar kongres memprioritaskan pembahasan perppu atau

provisional decree tersebut di parlemen dengan menyebutkan bahwa jika dalam

45 (empat puluh lima) hari tidak ada putusan mengenai provisional decree yang

baru dikeluarkan presiden maka semua agenda pembahasan di parlemen ditunda.

Selain itu, jika sebuah provisional decree kehilangan keberlakuannya maka

kongres wajib mengeluarkan undang-undang yang mengatur mengenai

hubungan hukum yang sudah terjadi akibat diterbitkannya provisional decree

tersebut. Jika kongres belum mengeluarkan undang-undang tersebut maka

klausul-klausul dalam provisional decree mengenai hal tersebut tetap dianggap

berlaku.

Di Argentina terdapat juga aturan-aturan waktu yang tegas mengatur

prosedur persetujuan suatu perppu di parlemen. 10 (sepuluh) hari setelah

diterbitkan, dekrit tersebut harus disampaikan kepada panitia di parlemen untuk

dimulai pembahasan dan dilakukan pembahasan juga dalam waktu 10 (sepuluh)

hari.31 Di Ekuador, Presiden diberikan kekuasaan untuk menerbitkan “langkah

ekonomi mendesak” yang dalam 30 hari National Assembly harus menyetujui,

mengubah atau menolak rancangan tersebut. Jika National Assembly tidak juga

mengambil putusan selama waktu yang telah ditetapkan (30 hari) terhadap

“langkah ekonomi mendesak” yang dikirimkan presiden, maka presiden dapat

memberlakukan “langkah ekonomi mendesak” tersebut sebagai hukum yang

mengikat.32

31 “Within the term of ten days, the Chief of the Ministerial Cabinet shall personally

submit the decision to the consideration of the Joint Standing Committee of Congress, which

shall be composed according to the proportion of the political representation of the parties in

each House. Within the term of ten days, this committee shall submit its report to the plenary

meeting of each House for its specific consideration and it shall be immediately discussed by

both Houses. A special law enacted with the absolute majority of all the members of each House

shall regulate the procedure and scope of Congress participation”. Konstitusi Argentina

http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/english.php (diakses 6 Mei 2013, Pukul

11:46 WIB). 32 Ketentuan tersebut terdapat di Article 140 Konstitusi Ekuador yang secara lengkap

menyebutkan

“The President of the Republic will be able to send to the National Assembly bills qualified as

urgent on economic matters. The Assembly must adopt, amend or turn them down within thirty

(30) days at the most as of their reception.

Procedures for submittal, discussion and adoption of these bills shall be the regular ones, except

with respect to the previously established time-limits. While a bill qualified as urgent is being

discussed, the President of the Republic will not be able to send another, unless a State of

Exception has been decreed.

When the Assembly does not adopt, amend or turn down the bill qualified as urgent in economic

matters within the stipulated time-limits, the President of the Republic shall enact it as a decree-

law or shall order its publication in the Official Register. The National Assembly shall be able,

at any time, to amend or repeal it, on the basis of the regular process provided for by the

Constitution.”

Page 17: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

17 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Urgensi mengatur masa berlaku Perppu dengan waktu yang tegas adalah

untuk memberikan batasan terhadap ihwal kegentingan yang memaksa sebagai

syarat perppu. Semakin panjang atau semakin tidak tegas masa berlaku perppu

berarti semakin panjang masa kegentingan dan kegentingan tersebut diatur oleh

sebuah aturan sementara yang mengandung ketidakpastian. Selain itu,

pembatasan ini juga untuk memberi ruang yang terbatas bagi kekuasaan

eksekutif dalam membentuk aturan dari segi waktu. Bagaimanapun membentuk

undang-undang adalah kekuasaan legislatif, ketika kekuasaan tersebut dilakukan

oleh lembaga lain dengan alasan situasi yang tidak normal maka harus

mengandung berbagai pembatasan termasuk soal masa berlakunya.

3. Pembatasan Materi Muatan Perppu

Pengaturan mengenai Perppu di Indonesia sama sekali tidak memuat

pembatasan mengenai materi muatan yang dapat diatur. Artinya, semua materi

muatan undang-undang juga dapat menjadi materi muatan Perppu. Berbeda

dengan Indonesia, beberapa negara di Amerika Latin secara tegas melakukan

pembatasan materi yang dapat diatur dalam perppu-nya. Mereka menganggap

meskipun perppu setingkat dengan undang-undang, namun karena tidak

dibentuk melalui proses legislasi biasa maka tidak semua urusan dapat diatur

melalui perppu.

Brazil setelah memiliki pengalaman panjang dengan produktivitas tinggi

perppu yang diterbitkan Presiden, seperti disampaikan di atas, mengubah

pengaturan perppu bukan saja dalam hal prosedur pembentukannya tetapi juga

dari materi muatannya. Amandemen ke 32 tahun 2001 Konstitusi Brazil tidak

lagi membebaskan presiden untuk memuat semua materi undang-undang di

dalam perppu yang dibentuknya. Disebutkan bahwa pengaturan yang terdapat

dalam perppu di Brazil tidak boleh menyangkut kewarganegaraan, hak-hak

politik, partai politik, hukum pemilu, hukum pidana, hukum acara pidana,

hukum acara perdata, lembaga kekuasaan kehakiman, lembaga kejaksaan,

anggaran, bertujuan untuk penahanan, penyitaan, tabungan rakyat atau materi-

materi yang telah diatur dalam rancangan undang-undang yang sudah disetujui

Kongres namun masih menunggu pengundangan atau veto dari presiden.33 Di

Argentina juga terdapat pembatasan materi perppu dalam ruang lingkup yang

lebih kecil. Konstitusi Argentina 1994 mengecualikan masalah ketentuan

pidana, perpajakan, masalah pemilihan umum dan sistem kepartaian sebagai

bidang yang tidak boleh diatur.

Materi-materi di atas dianggap semuanya membutuhkan proses legislasi

biasa untuk diputuskan mengikat warga negara, rentan penyalahgunaan

kekuasaan jika diputuskan oleh kekuasaan eksekutif sendirian. Materi-materi

terkait politik dapat digunakan presiden untuk kepentingan kekuasaannya

terutama terkait menjalankan relasi eksekutif. Apalagi jika pola relasi yang

Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/ english08.html

(diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB) 33Article 62 Paragraph 1 Amandemen Ke-32 Tahun 2001 Konstitusi Brazil

Page 18: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 18

sedang terjadi adalah konfrontatif dimana dukungan politik presiden lemah di

parlemen.

Materi pidana dianggap sangat penting persetujuan wakil rakyat dalam

pengambilan putusannya. Ketika pembentuk peraturan memasukkan ketentuan

pidana dalam peraturannya maka pada saat itu mereka sedang melakukan

legalisasi terhadap penghilangan kemerdekaan atau pembebanan hak seseorang

yang langsung terkait dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu setiap

penempatan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan harus

dilakukan dengan cermat dan memiliki legitimasi kuat. Pencantuman sanksi

pidana sangat terkait dengan asas legalitas yang salah satu maknanya adalah

mengharuskan pencantuman ketentuan pidana dalam peraturan perundang-

undangan melalui proses legitimasi yang demokratis ke dalam undang-undang

dalam arti formal.

Hukum pidana baik hukum materilnya maupun hukum acaranya (hukum

formil) ke dalam perppu atau emergency decree harus sangat dibatasi karena

jenis peraturan ini minim kontrol publik dalam proses pembentukkannya.

Apalagi syarat kegentingan memaksa seperti disampaikan dalam putusan MK

No. 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, tidak harus disamakan dengan

adanya keadaan bahaya sehingga situasi yang dapat dipersepsi sebagai

kegentingan memaksa oleh presiden bisa sangat luas maknanya.

Selain itu, jenis peraturan ini memiliki sifat kesementaraan karena

walaupun langsung efektif berlaku namun masih memerlukan persetujuan DPR

dalam “persidangan berikutnya”. Kesementaraan ini tentu memiliki masalah jika

ditinjau dari asas kepastian hukum. Dalam kondisi yang ekstrim bisa saja terjadi

perppu memproduksi suatu jenis tindak pidana tertentu dengan sekaligus

memuat hukum acaranya yang menyimpangi KUHAP sehingga walaupun masih

memiliki sifat kesementaraan namun sudah dapat menghukum seseorang dengan

suatu sanksi pidana dan langsung memiliki kekuatan hukum mengikat (inkracht

van gewijsde) karena disederhanakan upaya hukum yang dimungkinkan.

Padahal dalam persidangan berikutnya perppu tersebut tidak disetujui DPR yang

artinya tindak pidana tersebut dinyatakan dihapus.

Brazil dan Argentina mengecualikan hukum pidana sebagai bagian yang

dapat dimuat dalam perppu atau emergency decree, bahkan Konstitusi Brazil

lebih luas lagi menyebut juga larangan memuat ketentuan mengenai penahanan

dan jenis perampasan hak warga negara yang lainnya. Prinsip pembebanan

terhadap rakyat mengharuskan melibatkan proses representasi (no tax without

representation) nampak menjadi pertimbangan dalam hal ini. Dalam konstitusi

kedua negara tersebut masalah pajak juga yang dikecualikan dari ketentuan yang

dapat dimuat dalam emergency decree.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ketika diminta untuk

melakukan perumusan dari perbuatan yang dapat dipidana melalui perluasan

makna di KUHP, melalui Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 MK menghindar

untuk memasuki wilayah kebijakan pidana (criminal policy). Menurut MK

“sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal

itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-

Page 19: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

19 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

undang”.34 MK menganggap hukum pidana berbeda dengan bidang hukum

lainnya karena hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat

mencakup perampasankemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka

legitimasi negara dibutuhkan untuk mengkonstruksi perbuatan yang dapat

dipidana. Bentuk dari legitimasi tersebut datang dari persetujuan rakyat melalui

presiden dan DPR. MK juga mengutip Pasal 15 dan Lampiran II, C.3. angka 117

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menegaskan bahwa materi muatan mengenai pidana hanya

dapat dimuat dalam produk perundang-undangan yang harus mendapatkan

persetujuan wakil rakyat di lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti

Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Mengamati perbandingan pengaturan di beberapa negara dan

pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan MK nampak hukum pidana

memang memiliki kekhususan. Pembentukan delik pidana membutuhkan proses

legitimasi yang kuat sehingga seharusnya tidak menempatkannya dalam produk

hukum yang memiliki sifat kesementaraan dan proses legislasi yang tidak

normal.

III. PENUTUP

Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) diterbitkan

dalam kondisi khusus dan dimaksudkan sementara karena menunggu

persetujuan DPR untuk dilanjutkan menjadi undang-undang atau harus dicabut.

Peraturan dengan karakter tersebut lazim terdapat di berbagai negara khususnya

negara-negara bersistem presidensial. Praktek penggunaan perppu ini di

berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa presiden memiliki potensi besar

mengambil alih proses pembentukan kebijakan atau peraturan dari tangan

legislatif atau minimal tampil sebagai pengambil inisiatif utama dan melakukkan

kontrol terhadap agenda di parlemen. Tindakan tersebut pada gilirannya dapat

mengganggu bukan saja relasi eksekutif dan legislatif tetapi juga

penyalahgunaan kekuasaan dan kualitas putusan yang merugikan rakyat. Oleh

karena itu berdasar perbandingan beberapa negara, terjadi inisiatif untuk

melakukan pembatasan-pembatasan terhadap jenis kekuasaan presiden di bidang

legislatif ini (president’s legislative power).

Pembatasan-pembatasan yang efektif dilakukan dengan membentuk

kerangka hukum melalui peraturan perundang-undangan yang mengikat semua

pihak. Pembatasan-pembatasan tersebut berisikan prosedur pembentukan yang

harus ditempuh dengan tidak mudah dan memberikan berbagai materi muatan

yang tidak boleh diatur oleh peraturan darurat tersebut.

Pengaturan mengenai perppu di Indonesia dapat dikatakan sangat

terbatas ruang lingkupnya. Prosedur pembentukan perppu relatif hanya

bergantung kepada penafsiran terhadap frasa “kegentingan memaksa.”

Perdebatan penerimaan dan penolakan perppu hanya mengenai frasa tersebut

karena memang mengenai materi perppu merupakan bagian yang tidak dijadikan

34 Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, hlm. 442

Page 20: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

Menggagas Pembatasan Pembentukan dan Materi Muatan Perppu, Fitra Arsil 20

dasar persetujuan DPR. Sikap DPR terhadap perppu menurut peraturan

perundang-undangan adalah menerima seluruhnya atau menolak seluruhnya.

Realitas pengaturan yang ada ini tidak dapat dianggap sebagai bentuk

pembatasan perppu dan diperlukan aturan-aturan lain, bahkan diperlukan juga

batasan mengenai materi yang mungkin diatur dalam perppu. Sejauh ini tidak

ada materi muatan tertentu yang dilarang diatur dalam perppu. Pelajaran yang

terdapat dalam pengalaman-pengalaman negara-negara lain termasuk akibat

pengaturan yang telah dilakukan dapat dijadikan gagasan menarik untuk

diangkat sebagai wacana publik yang pada gilirannya dapat meregulasi perppu

dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Jurnal dan Karya Tulis Lain

Arberry, Lance L. “The Evolving Executive: Provisional Decrees and Their

Impact on Brazil's Executive-Legislative Relationship”, theses

University of Nevada, Las Vegas, 2013.

Arsil, Fitra. Teori Sistem Pemerintahan: Pergeseran Konsep dan Saling

Kontribusi Antar Sistem Pemerintahan di Berbagai Negara, (Depok:

Rajawali Press, 2017).

Figuerido, Argelina Cheibub dan Fernando Limongi, “Presidential Power,

Legislative Organization, and Party Behavior in Brazil”, dalam

Comparative Politics, Vol. 32, No.2 (Januari 2000).

Kim, James Je Heon. “Case for Constrained Unilateralism: Decree of Necessity

and Urgency in Argentina, 1916-2004”, paper was presented at the

Annual Meetings of the Southern Political Science Association,

American Political Science Association, and the Quantitative Methods

Seminar at Columbia University. September 21, 2007.

Morgado, Helena Zani and Hugo Anciaes, “Provisional Measure: anUrgent and

Relevant Subject” Revistada Faculdade de Direito da UERJ, V.2, n. 22,

jul/dez.2012.

Gabriel L. Negretto, “Shifting Constitutional Designs in Latin America: A Two-

Level Explanation”, Texas Law Review, Volume 89, 1777, June2011.

------------------------, “Government Capacities and Policy Making by Decree in

Latin America: The Cases of Brazil and Argentina”, Comparative

Political Studies, Vol.37 No.5, June 2004.

Neto, Octavio Armorim. “Cabinets, Electoral Cycles, Coalition Discipline in

Brazil”, dalam Scott Morgenstern dan Benito Nacif, ed., Legislative

Politics in Latin America, (New York: Cambridge University Press,

2002).

------------------------. “The Presidential Calculus Executive Policy Making and

Cabinet Formation in the Americas.” Comparative Political Studies,

Volume 39 Number 4 May 2006 (Sage Publications, 2006).

Page 21: MENGGAGAS PEMBATASAN PEMBENTUKAN DAN MATERI …staff.ui.ac.id/system/files/users/fitra.arsil/publication/1593... · efektif tanpa melalui proses lain termasuk pembahasan di lembaga

21 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.1 Januari-Maret 2018

Payne, J. Mark., Daniel Zovatto G., dan Mercedes Mateo Díaz, Democracies in

Development: Politics and Reform in Latin America, (Washington: Inter-

American Development Bank, 2007).

Pereira, Carlos. Timothy J. Power and Lucio Renno, “Under What Condition

Do Presidents Resort to Decree Power? Theory and Evidence from the

Brazilian Case”, dalam The Journal of Politics, Vol.67, No.1. February

2005.

Power, Timothy J. “The Pen is Mightier Than the Congress: Presidential Decree

Power in Brazil.” dalam John M. Carey dan Matthew S. Shugart, ed.,

Executive Decree Authority, (New York: Cambridge University Press,

1998).

Schmidt, Gregory. “Presidential Usurpation of Congressional Preference. The

Evolution of Executive Decree in Peru” dalam John M. Carey &

Matthew Soberg Shugart [eds]. Executive Decree Authority. (Cambridge,

Cambridge University Press, 1998).

Tsebelis, George. “Decision Making in Political System: Veto Players in

Presidentialism, Parliamentarism, Multicameralism, Multipartism,”

British Journal of Political Science, Vol. 25, no. 3 (Juli., 1995).

B. Peraturan dan Putusan

Konstitusi Argentina http://www.senado.gov.ar/web/interes/constitucion/

english.php (diakses 6 Mei 2013, Pukul 11:46 WIB).

Konstitusi Brazil http://www.servat.unibe.ch/icl/br00000_.html (diakses 6 Mei

2013, Pukul 14.31 WIB).

Konstitusi Ekuador http://pdba.georgetown.edu/Constitutions/Ecuador/

english08.html (diakses 6 Mei 2013, Pukul 14:07 WIB).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016.

C. Internet

http://www.perubahan.co/kolom/102/pasal-22-uud-1945-dan-ajaran-

konstitusi%EF%80%AA.html

http://ksp.go.id/presiden-tidak-menandatangani-uu-md3/index.html

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/06/19124111/jokowi-

pertimbangkan-keluarkan-perppu-untuk-batalkan-pasal-kontroverial-di

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/17/09425041/cerita-di-balik-

perppu-pilkada-langsung-dan-opsi-atas-uu-md3

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180112172226-32-268476/kpu-

usul-jokowi-keluarkan-perppu-verifikasi-faktual-parpolatau

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/13/16522831/kpk-usul-

pemerintah-terbitkan-perppu-untuk-ganti-peserta-pilkada-yang-jadi