Top Banner
Page | 1 Mempromosikan dan Mendukung Keberlanjutan Proses Partisipasi Para Pemangku Kepentingan Agar Pemerintahan Lokal Berhasil Menanggulangi Kemiskinan Di Daerah Tertinggal Studi Kasus Nusa Tenggara Barat 1 Dr. Astia Dendi 2 Abstract Setelah dilanda krisis finansial pada tahun 1997, Indonesia mulai mengimplementasikan “kebijakan desentralisasi secara besar-besaran” yang memberikan fungsi dan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah. Beberapa kajian sebelumnya menyatakan bahwa penerapan desentralisasi memberikan dampak yang beragam terhadap pembangunan daerah. Berbeda dengan beberapa penelitian baru-baru ini yang mengkaji perspektif Pemerintah Pusat, penelitian ini menguji perspektif dan proses di daerah dalam rangka membentuk Pemerintah Daerah yang dinamis sebagai usaha mempromosikan pembangunan yang pro-masyarakat miskin dan berkelanjutan. Kami menganalisis bukti- bukti empiris dari Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menekankan pada konsep dan prospek Forum Pemangku Kepentingan sebagai instrumen pemerintahan daerah untuk mencapai kebijakan dan program pro-masyarakat miskin dan pengembangan ekonomi lokal/regional. Kami mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana konsep forum para pemangku kepentingan berkembang di daerah ini?; Bagaimana forum ini mendefinisikan prioritas untuk aksi-aksi bersama dan mengalokasikan pembagian tanggung jawab? Peran apa yang dimiliki oleh forum untuk membuat Pemerintah Daerah dan pasar bekerja dalam usaha pengentasan kemiskinan?; dan faktor-faktor penting apa yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan forum tersebut? Penelitian ini menemukan bahwa forum para pemangku kepentingan, yang dikembangkan di Nusa Tenggara Barat, adalah sebuah model yang prospektif untuk meraih tujuan pengembangan ekonomilokal/ regional yang pro-masyarakat miskin. Selain itu, kajian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat dibutuhkan serta rekomendasi untuk melanjutkan proses para pemangku kepentingan dari perspektif politik ekonomi. 1 Makalah ini diterima untuk disajikan dalam Konferensi International dengan tema Politik Ekonomi Pembangunan Daerah (Political Economy of Regional Development), yang diselenggarakan oleh Indonesian Regional Science Association (IRSA) dan IPB, Bogor, 21-23 Juli, 2009. www.irsa.or.id 2 Koresponden: Dr. Astia Dendi, GTZ Senior Advisor for Regional Development, Good Local Governance/ Decentralization Programme di Nusa Tenggara Barat. Email [email protected] . Fax: +62370626049. Internet www.gtz-decentralization.or.id . Penulis menyampaikan terimakasih kepada Team Leader GTZ Good Local Governance, Dr. Manfred Poppe, semua responden atau narasumber serta rekan kami Dr. Ahmad Zaini dari Pusat Penelitian Kependudukan dan Pembangunan Universitas Mataram (P2KP) dan H. Rifai Saleh Haryono atas semua informasi, masukan dan komentar yang diberikan kepada Penulis dalam menyiapkan makalah ini.
26

Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder untuk Penanggulangan Kemiskinan

May 28, 2015

Download

Sports

Dr. Astia Dendi

Inisiatif Lokal dan Instrumen Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Timur
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 1

Mempromosikan dan Mendukung

Keberlanjutan Proses Partisipasi Para Pemangku Kepentingan

Agar Pemerintahan Lokal Berhasil Menanggulangi Kemiskinan

Di Daerah Tertinggal

Studi Kasus Nusa Tenggara Barat1 Dr. Astia Dendi2

Abstract

Setelah dilanda krisis finansial pada tahun 1997, Indonesia mulai mengimplementasikan “kebijakan desentralisasi secara besar-besaran” yang memberikan fungsi dan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah. Beberapa kajian sebelumnya menyatakan bahwa penerapan desentralisasi memberikan dampak yang beragam terhadap pembangunan daerah. Berbeda dengan beberapa penelitian baru-baru ini yang mengkaji perspektif Pemerintah Pusat, penelitian ini menguji perspektif dan proses di daerah dalam rangka membentuk Pemerintah Daerah yang dinamis sebagai usaha mempromosikan pembangunan yang pro-masyarakat miskin dan berkelanjutan. Kami menganalisis bukti-bukti empiris dari Provinsi Nusa Tenggara Barat yang menekankan pada konsep dan prospek Forum Pemangku Kepentingan sebagai instrumen pemerintahan daerah untuk mencapai kebijakan dan program pro-masyarakat miskin dan pengembangan ekonomi lokal/regional. Kami mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana konsep forum para pemangku kepentingan berkembang di daerah ini?; Bagaimana forum ini mendefinisikan prioritas untuk aksi-aksi bersama dan mengalokasikan pembagian tanggung jawab? Peran apa yang dimiliki oleh forum untuk membuat Pemerintah Daerah dan pasar bekerja dalam usaha pengentasan kemiskinan?; dan faktor-faktor penting apa yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan forum tersebut? Penelitian ini menemukan bahwa forum para pemangku kepentingan, yang dikembangkan di Nusa Tenggara Barat, adalah sebuah model yang prospektif untuk meraih tujuan pengembangan ekonomilokal/ regional yang pro-masyarakat miskin. Selain itu, kajian ini mengidentifikasi faktor-faktor yang sangat dibutuhkan serta rekomendasi untuk melanjutkan proses para pemangku kepentingan dari perspektif politik ekonomi.

1 Makalah ini diterima untuk disajikan dalam Konferensi International dengan tema Politik Ekonomi Pembangunan Daerah (Political Economy of Regional Development), yang diselenggarakan oleh Indonesian Regional Science Association (IRSA) dan IPB, Bogor, 21-23 Juli, 2009. www.irsa.or.id 2 Koresponden: Dr. Astia Dendi, GTZ Senior Advisor for Regional Development, Good Local Governance/ Decentralization Programme di Nusa Tenggara Barat. Email [email protected]. Fax: +62370626049. Internet www.gtz-decentralization.or.id. Penulis menyampaikan terimakasih kepada Team Leader GTZ Good Local Governance, Dr. Manfred Poppe, semua responden atau narasumber serta rekan kami Dr. Ahmad Zaini dari Pusat Penelitian Kependudukan dan Pembangunan Universitas Mataram (P2KP) dan H. Rifai Saleh Haryono atas semua informasi, masukan dan komentar yang diberikan kepada Penulis dalam menyiapkan makalah ini.

Page 2: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 2

Kata kunci: Pengembangan ekonomi lokal, pemerintahan daerah, proses para

pemangku kepentingan, ekonomi politik, pembangunan daerah.

Tinjauan Issu Kontekstual dan Regional

Krisis finansial Asia tidak hanya membawa kemajuan yang pantas dicatat, namun

juga hal-hal yang tidak diinginkan. Selama lebih dari dua dekade, fokus kebijakan

pembangunan yang kuat dan tangguh untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi telah mengakibatkan kemajuan besar dalam bidang kualitas hidup seiring

dengan bertambahnya pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan, dan

pengurangan angka pengangguran. Sebaliknya, kapasitas pemerintah daerah dan

organisasi swasta maupun masyarakat hanya mendapat sedikit sekali perhatian di

masa lalu. Akibatnya, terjadilah alokasi sumber daya yang tidak efektif dan efisien,

sektor swasta yang tidak kompetitif, dan degradasi SDA. Para ahli dan politisi percaya

bahwa hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor penyebab krisis finansial yang

melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia.

Semenjak krisis finansial yang dialami pada tahun 1997, Indonesia mulai

mengembangkan “kebijakan desentralisasi secara besar-besaran” yang memberikan

fungsi dan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah. Kebijakan

desentralisasi, yang dimulai pada tahun 2001, telah menyebabkan terjadinya pengalihan

kewenangan kepada pemerintah daerah. Demikianlah, secara teoretis pemerintah

daerah ini mempunyai kesempatan dan tanggung jawab untuk mengembangkan

daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah dengan bekerjasama dengan

organisasi masyarakat sipil. Dalam bingkai desentralisasi, pemerintah Indonesia telah

mengimplementasikan berbagai usaha untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik,

pertumbuhan yang berkelanjutan, dan pengentasan kemiskinan. Pemerintah daerah yang

berada di garis depan dalam hal pelayanan publik adalah pendukung proses demokrasi

dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pemerintahan lokal. Memang,

pendekatan di berbagai tingkat (multi-level approach) dan kerjasama antar perwakilan

pemerintah, sektor swasta, dan mayarakat sipil sangat diperlukan. Namun, penerapan

desentralisasi dan kebijakan pemerintahan tidak selalu berjalan mulus karena berbagai

hambatan yang ada. Beberapa observasi sebelumnya, (KPPOD dan the Asia Foundation

2007; Kerstan dkk., 2004; Dendi dan Zaini, 2007) menemukan bahwa dampak

desentralisasi pada pemerintahan dan pembangunan daerah berbeda antara satu daerah

dengan daerah lain.

Page 3: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 3

Untuk mengatasi hambatan-hambatan di atas, jangkauan dan kualitas pelayanan

publik tertentu, terutama bidang kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi

daerah, harus ditingkatkan. Hal ini membutuhkan pengembangan institusi dan kapasitas

di semua level namun yang lebih mendesak adalah di tingkat lokal dan regional.

Kepulauan Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan titik pertemuan flora dan fauna

wilayah Indonesia barat dan timur. Dua pulau terbesar di provinsi ini, Lombok dan

Sumbawa, memberikan ciri khas daerah utara yang bergunung-gunung dan dinaungi oleh

pepohonan. Sebaliknya wilayah selatan dan timur adalah kawasan yang tandus dan

tertutup padang rumput.

Provinsi NTB adalah tempat tinggal bagi 4,2 juta warganya. Mayoritas penduduk

beragama Islam dan berasal dari suku Sasak yang sebahagian besarnya tinggal di Pulau

Lombok. Suku Bima dan Sumbawa adalah kelompok etnis terbesar di pulau Sumbawa.

Kemajemukan sosial budaya terlihat jelas dalam hal bahasa. Sasak, Mbojo, Samawa,

Bali, Bugis dan Jawa adalah bahasa-bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-

hari. Masyarakat yang majemuk dianggap sebagai aset yang tak ternilai sekaligus

tantangan bagi pembangunan daerah.

Kinerja sektor ekonomi Nusa Tenggara Barat terbilang lemah jika dibandingkan

dengan provinsi-provinsi lain yang berdekatan. Meskipun iklim wilayahnya tergolong

kering, pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama yang menjadi tulang

punggung pembangunan ekonomi daerah. Sektor ini menyumbang hampir 1/3 produk

domestik regional bruto (PDRB). Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi NTB terus naik

secara perlahan dengan kisaran pertumbuhan 5% (BPS, 2007).

Namun persentase populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan masih tinggi, yaitu

sekitar 27,17% pada tahun 2006. Laporan resmi terbaru (BPS dan BAPPEDA, 2008)

menemukan kecenderungan penurunan angka kemiskinan yang cukup tinggi menjadi

24,99 % pada tahun 2007 dan 23,81 pada tahun 2008. Selain itu angka pengangguran

masih cukup tinggi meskipun agak mengalami penurunan. Selanjutnya, meskipun indeks

pembangunan manusia (IPM) NTB telah menunjukkan sedikit kenaikan dalam beberapa

tahun terakhir, angkanya tetap termasuk kategori yang terendah di Indonesia. Tingginya

tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan sosial bertepatan dengan

tingginya jumlah anak-anak putus sekolah dan buta huruf (16% pria dan 29% wanita).

Angka-angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di tingkat nasional.

Page 4: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 4

Lebih dari 2/3 masyarakat buta huruf tinggal di pedesaan. Seiring dengan tingkat

kemiskinan, malnutrisi dan tingkat kematian bayi bertambah.

Desentralisasi secara teoretis menawarkan banyak pilihan untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan tersebut. Namun, dalam rangka menstimulasi

pembangunan lokal dan regional serta pengentasan kemiskinan, strategi yang terpadu

dan operasional bagi pemerintah daerah dan sektor swasta masih tetap diperlukan. Untuk

meraih tujuan-tujuan tersebut, proyek Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Good Local

Governance) yang didukung oleh GTZ (German Technical Cooperation) dan mitranya di

tingkat nasional maupun regional mengembangkan banyak instrumen-instrumen

pemerintahan, misalnya Forum Tata Kelola Pengembangan Ekonomi Lokal (LEG- Local

Economic Governance Forum). Tujuan dan batasan masalah yang lebih spesifik akan

dipaparkan di bagian selanjutnya.

Tujuan dan Batasan Masalah

Penelitian ini mengekplorasi pengalaman-pengalaman empiris yang menggambarkan

inisiatif pemangku kepentingan dari provinsi NTB dalam mendesain dan menerapkan

pendekatan pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED).

Kajian ini bertujuan memahami konsep dan prospek forum pemangku kepentingan

sebagai sebuah instrumen pemerintahan lokal untuk menerapkan strategi pro-masyarakat

miskin (LRED) dan pelayanan pemerintahan. Dengan fokus yang demikian, penelitian ini

berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Bagaimana konsep forum para

pemangku kepentingan berkembang di daerah ini?; Bagaimana forum tersebut

mendefinisikan prioritas untuk aksi-aksi bersama dan mengalokasikan pembagian

tanggung jawab? Peran apa yang dimiliki oleh forum tersebut untuk membuat pemerintah

daerah dan pasar bekerja dalam usaha pengentasan kemiskinan?; dan Faktor-faktor

penting apa yang dibutuhkan untuk memelihara Forum PEL? Atau berdasarkan sudut

pandang yang lebih luas, pelajaran apa yang bisa diambil untuk mempromosikan

pendekatan yang sama ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai karakter serupa?

Page 5: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 5

Perkembangan Perspektif dalam Bidang Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Dalam kerangka desentralisasi, konsep Good Governance terus-menerus

diperdebatkan. Namun, para ahli dan pembuat kebijakan semakin sadar bahwa Good

Governance merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan-tujuan

desentralisasi. Banyak pencetus pendekatan pengembangan ekonomi lokal/regional pro-

masyarakat miskin yang juga menganut pendapat tersebut. Akan tetapi baru-baru ini

terdapat semakin banyak literatur yang mengadopsi atau mempromosikan ide-ide

pemerintahan dan kriteria-kriteria Good Governance menurut United Nations

Development Programme (UNDP). UNDP (1997) menggambarkan pemerintahan

sebagai penggunaan kekuasaan ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengatur

persoalan-persoalan negara di semua tingkat. Pemerintahan terdiri dari mekanisme,

proses dan institusi yang digunakan oleh masyarakat dan kelompok-kelompok untuk

menyuarakan keinginan, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban, dan mengatasi

perbedaan. Dengan demikian, pemerintahan mempunyai tiga kaki (UNDP, 1997) yaitu

ekonomi, politik, dan administrasi. Pemerintahan di bidang ekonomi mencakup proses-proses pembuatan kebijakan yang berdampak pada aktivitas-aktivitas ekonomi negara dan hubungannya dengan ekonomi negara-negara lain. Pemerintahan di bidang ekonomi secara luas akan berpengaruh pada kesetaraan,

kemiskinan, dan kualitas hidup. Pemerintahan di bidang politik terdapat pada proses-

proses pengambilan keputusan untuk membuat kebijakan. Pemerintahan administratif

merupakan implementasi kebijakan yang ada. Lebih lanjut UNDP menyatakan bahwa

pemerintahan tidak hanya mengurusi negara tetapi juga sektor-sektor swasta dan

organisasi masyarakat.3

Dalam bingkai konsep governance (pemerintahan), UNDP (1997) menekankan

bahwa prinsip utama good governance adalah partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Selain itu good governance harus bersifat efektif, adil, dan mempromosikan penegakan

hukum. Good governance juga harus menjamin prioritas aktivitas politik, sosial, dan

ekonomi berdasarkan konsensus di masyarakat dan mendengarkan aspirasi masyarakat

3 UNDP (1997) mendefinisikan bahwa negara mencakup institusi-institusi politis dan publik. Lebih lanjut, menurut UNDP definisi ini bersifat konsisten dengan tujuan utamanya yaitu seberapa efektif negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Selanjutnya UNDP juga menjelaskan bahwa sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta (manufakturing, perdagangan, koperasi, dan sebagainya) serta sektor informal di pasar-pasar. Masyarakat terdiri dari individu-individu dan golongan-golongan (terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi yang berpatokan pada peraturan formal, informasi, dan hukum.

Page 6: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 6

yang paling miskin dan rentan sekalipun dalam pengambilan keputusan sehubungan

dengan alokasi sumber daya pembangunan.

Kerangka Teori dan Konsep untuk Memahami Forum Tata Kelola Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Governance)

Pengembangan Ekonomi Lokal (LED) dan Sudut Pandang Pemerintahan

LED seharusnya tidak dinilai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sebagai

bagian pembangunan regional. Berikut adalah arah dan kriteria Pengembangan Ekonomi

Lokal (LED) menurut GTZ (Rücker and Trah, 2006):

- Merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan pasar kerja baru,

- Menggunakan sumber daya lokal yang tersedia sebaik mungkin,

- Menciptakan lapangan dan kesempatan untuk menyeimbangkan penawaran dan

permintaan, dan

- Mengembangkan kesempatan bisnis baru.

Pemikiran yang lebih baru oleh sekelompok ahli yang bekerja untuk GTZ (Grossmann,

dan Ellwein dkk., 2006:1) mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal/regional sebagai:

“…proses memobilisasi para pemangku kepentingan dari sektor publik dan

swasta serta masyarakat sipil untuk menjadi mitra dalam usaha bersama

demi meningkatkan ekonomi wilayah tertentu dalam suatu negara

sehingga dapat meningkatkan daya saingnya”.

Pemikiran GTZ mengenai Pengembangan Ekonomi Lokal/Regional (LRED) jelas

sekali berbeda dengan intervensi secara konvensional terhadap pembangunan sektor

swasta yang berdiri sendiri. Sebaliknya, mereka memilih proses yang melibatkan para

pemangku kepentingan. Artinya, ahli-ahli tersebut berpendapat bahwa cara kita

melakukan sesuatu lah yang membuat LRED berbeda dengan intervensi konvensional

dan terencana.

Page 7: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 7

Sementara itu, UN-Habitat (2005:8) mendefinisikan pengembangan ekonomi lokal (LED)

sebagai,

“…proses partisipasi masyarakat lokal dari berbagai sektor yang bekerja bersama untuk meningkatkan aktivitas komersial untuk meraih ekonomi yang tangguh dan berkelanjutan. Hal ini adalah cara menciptakan pekerjaan yang layak dan meningkatkan kualitas hidup manusia termasuk masyarakat miskin dan termarginalkan.”

Terdapat benang merah antara pemikiran UN-Habitat mengenai pengembangan

ekonomi lokal (LED) dengan perspektif pro-masyarakat miskin yang diperkenalkan oleh

GTZ di wilayah Nusa Tenggara (Kerstan, dan Dendi dkk., 2004). Ahli-ahli tersebut

menegaskan bahwa pengembangan ekonomi lokal (LED) seharusnya memfokuskan diri

untuk meraih tiga tujuan yang saling berhubungan: (i) penciptaan pertumbuhan ekonomi

dan lapangan kerja; (ii) pengurangan angka kemiskinan, dan selanjutnya (iii) pencapaian

kehidupan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, upaya

pengembangan ekonomi lokal disarankan untuk mencurahkan perhatian atau fokus pada

tiga pilar strategic, yakni pengembangan daya tarik, daya tahan dan daya saing

perekonomian daerh. Tiga pilar strategik ini tidak berdiri sendiri tetapi membentuk rantai

yang saling berhubungan. Jadi, semua faktor yang membuat perekonomian menarik dan

berdaya tahan merupakan jalan menuju penciptaan daya saing yang tinggi.

Pemikiran-pemikiran baru dan kerangka strategis mengenai pengembangan ekonomi

lokal/regional yang telah dipaparkan, mengantarkan kita pada tiga elemen pokok LRED,

yaitu: (i) proses partisipasi; (ii) peningkatan kapasitas di semua level; dan (iii) penggunaan

potensi lokal (sumber daya) yang berkelanjutan. Selain itu, pendekatan pengembangan

ekonomi lokal/regional (LRED) menekankan pada kontrol dan kepemilikan lokal. Jadi,

kemitraan dalam pengembangan ekonomi lokal/regional menyatukan usaha memacu

pelaku, organisasi, dan sumber daya sambil mengembangkan institusi-institusi baru

melalui dialog dan aktivitas-aktivitas strategis.

Pengembangan Ekonomi Lokal dan Good Governance

Dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal, United Nations Human Settlements

Programme (UN-Habitat, 2005: 19) menjelaskan pemerintahan sebagai:

“…kumpulan berbagai cara individu dan institusi, publik dan swasta, dalam merencanakan dan mengatur permasalahan mendasar di suatu kota atau daerah. Pemerintahan merupakan proses berkelanjutan yang mengakomodasi konflik atau perbedaan kepentingan dan mengambil

Page 8: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 8

langkah-langkah yang kooperatif untuk menyelesaikannya. Pemerintahan meliputi institusi-institusi formal dan kelompok-kelompok informal serta modal sosial masyarakat (sosial capital of citizens)”.

Konsep UN-Habitat mengenai pemerintahan bertumpu pada proses. Artinya, ia

memfokuskan diri pada bagaimana pelaku-pelaku dengan prioritas yang berbeda dan

dalam hubungan yang kompleks mengambil keputusan. Pemahaman yang baik mengenai

proses pengambilan keputusan secara formal maupun informal di tingkat lokal/regional

sangat penting untuk mendorong inisiatif para pemangku kepentingan demi meraih

tujuan-tujuan pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin. UN-

Habitat (2005) berargumentasi bahwa hubungan penting antara konsep good governance

dan pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan dalam rangka menciptakan lingkungan

yang ramah terhadap dunia usaha.

Selanjutnya, UN-Habitat berpendapat bahwa sistem demokrasi diperlukan tetapi tidak

selalu menjamin kesuksesan pengembangan ekonomi lokal. Landasan sebuah

kesuksesan adalah institusi yang handal di tingkat lokal. Masih dalam argumentasi yang

sama, UN-Habitat (2005: halaman 20-21) menyarankan agar institusi yang kuat dan tepat

dibentuk dengan disertai dukungan untuk institusi tersebut dan strategi-strategi yang

menggabungkan pemerintahan dan budaya. Disamping itu, untuk meraih keberhasilan

pengembangan ekonomi lokal dibutuhkan peraturan dan prosedur yang jelas seperti

peraturan bisnis yang efektif, zona penggunaan lahan yang menerapkan rencana

berkelanjutan, dan tidak berdasarkan keputusan yang bersifat jangka pendek dan politis

tanpa memperhatikan baik atau buruknya. Lebih lanjut, UN-Habitat (2005) menyarankan

bahwa lingkungan politik haruslah aman. Kebijakan ekonomi yang miskin dan korup, serta

sistem pemerintahan yang lemah dapat berdampak buruk bagi pengembangan ekonomi

lokal karena menaikkan resiko dan meningkatkan biaya produksi. Tanpa lingkungan

investasi yang aman, modal manusia (human capital) dan modal finansial di daerah akan

berpindah. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi daerah tersebut untuk menarik

investor dari luar. Lebih lanjut, suasana yang kondusif ditandai dengan adanya

kemudahan bagi masuknya bisnis dan penegakan peraturan secara efisien (UN-Habitat,

2005).

Page 9: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 9

Pilihan Publik dan Ekonomi Institusional Baru

Sejak era ekonomi politik klasik, para ekonom telah tertarik dengan tema pilihan

individu pelaku-pelaku kegiatan tertentu (individual choice of actors) dalam lingkungan

institusional tertentu yaitu keputusan dalam pengalokasian sumber-sumber daya di pasar

(Kirchner, 2007). Tema-tema lingkungan institusional telah disentuh, namun belum

pernah dianalisis secara mendalam sebelumnya (Kirchner, 2007). Dapat dimengerti

bahwa hak milik pribadi, kebebasan mengadakan kontrak, dan mata uang yang stabil

merupakan prasyarat bagi berfungsinya pasar (Kirchner, 2007). Jadi aliran ekonomi ini

berfokus pada pengambilan keputusan oleh pelaku pasar sebagai topik utama ilmu

ekonomi. Oleh karena itu, ilmu ekonomi dapat diartikan sebagai sebuah cabang teori

umum mengenai pilihan individu (General Theory of Individual Choice) (Kirchner, 2007).

Selanjutnya tema individualisme didukung oleh dua asumsi mendasar yakni kelangkaan

sumber daya dan perilaku rasional untuk kepentingan pribadi (self-interested rational

behavior) (Kirchner, 2007). Individualisme dengan metode tertentu yang dipadukan

dengan asumsi di atas membentuk paradigma ilmu ekonomi.

Konsep pilihan publik (public choice) memperluas aplikasi paradigma ekonomi di

institusi-institusi non-pasar, misalnya negara dengan mekanisme pengambilan suara

terbanyak dan sistem birokrasinya (Kirchner, 2007). Dengan demikian, pendekatan public

choice dalam analisis politik dan negara menganggap pemilih, pembuat keputusan politis,

birokrat, dan wakil rakyat sebagai pembuat keputusan rasional berdasar kepentingan

pribadi (self-interested rational decision makers).

Gambar 1 menampilkan kerangka konseptual untuk mengeksplorasi dan memahami

interaksi antar pemangku kepentingan dalam rangka promosi pengembangan ekonomi

lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED) dan yang dipandu oleh tiga prinsip

dasar good governance, yakni partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kerangka

tersebut mempunyai hipotesis bahwa self-interested rational actors secara sukarela

melibatkan diri mereka dalam platform para pemangku kepentingan untuk belajar,

mengambil keputusan bersama, dan membagi tanggung jawab demi meraih tujuan

bersama yaitu tujuan-tujuan pengembangan ekonomi local/ regional yang pro-

masyarakat miskin. Belum ada kesepakatan ahli tentang pengertian strategi yang pro-

masyarakat miskin. Tetapi dalam laporan ini, konsep pro-masyarakat miskin berpedoman

pada beberapa prinsip pokok (Kerstan, dan Dendi dkk., 2004): (i) investasi dalam

peningkatan modal manusia dan modal sosial masyarakat miskin; (ii) kebijakan dan

pelayanan yang menghasilkan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat secara luas

Page 10: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 10

dan berkelanjutan (akses terhadap makanan, air bersih, permukiman, kesehatan dan

pendidikan); (iii) kebijakan dan pelayanan yang mengurangi biaya transaksi sehingga

memberikan lebih banyak kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan

pekerjaan dan/atau nilai tambah dari bidang-bidang usaha mereka; (iv) meningkatkan

akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber ekonomi (modal, peralatan produksi,

info pasar dsb.); dan (v) pembangunan ramah lingkungan yang melestarikan atau

meningkatkan fungsi ekologi dan kapasitas SDA untuk berproduksi atau menghasilkan.

Istilah “platform” yang saya gunakan dalam konteks ini mewakili dan menggabungkan

dua konsep dasar, yaitu institusi dan organisasi. Menurut North (1990:3) institusi adalah

aturan main (rules of the game) dalam masyarakat, atau secara formal, institusi adalah

batasan-batasan yang dirancang oleh manusia yang membentuk interaksi manusia. North

(1990) berargumentasi bahwa institusi menciptakan insentif interaksi manusia baik

secara politik, sosial maupun ekonomi. Perubahan institusi membentuk cara manusia

berkembang seiring dengan waktu, karena itu menjadi kunci dalam memahami

perubahan sejarah. Institusi meliputi berbagai bentuk batasan (constraints) yang

dirancang manusia untuk membentuk interaksi-interaksi manusia. Batasan-batasan

tersebut dapat bersifat formal misalnya peraturan, sedangkan batasan-batasan informal

misalnya konvensi dan tata krama (North, 1990). Di sisi lain, organisasi meliputi badan

yang bersifat ekonomi (firma, serikat dagang, firma keluarga, koperasi), politik (parpol,

senat, DPRD, badan-badan yang sifatnya mengatur), sosial (gereja, klub, persatuan

atletik), dan pendidikan (sekolah, universitas, lembaga pelatihan). Dengan mengacu pada

pendapat di atas, Forum Tata Kelola Ekonomi Lokal dapat dipahami bukan hanya sebagai

sebuah proses (pertemuan yang diisi dengan dialog antar pemangku kepentingan seperti

yang diketahui banyak orang) tetapi merupakan organisasi sistematis untuk meraih

tujuan-tujuan pengembangan ekonomi lokal/regional tertentu melalui dialog dan aksi

bersama di tingkat lokal dan regional.

Page 11: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 11

Gambar 1: Kerangka konseptual menggambarkan elemen penting perspektif tatakelola ekonomi lokal yang baik

Dimensi daya tarik dan daya saing suatu daerah (perekonomian) dibentuk oleh

banyak faktor, misal struktur ekonomi dan lingkungan ekonomi yang kondusif

sebagaimana dibahas di bagian sebelumnya yang sejalan dengan pendapat UN-Habitat

(2005). Sementara itu konsep ketahanan (resilience) diadopsi dari sebuah teori yang

yang dipelopori oleh ahli ekologi yang menilai perekonomian sebagai sebuah ekosistem

(istilah ekologi) yang berjuang untuk memaksimalkan nilai sumber daya lingkungan yang

terbatas dengan mengembangkan sistem-sistem biologis yang saling ketergantungan

(Kerstan dkk, 2004). Dengan kata lain, keanekaragaman dan ketergantungan makhluk

hidup dengan lingkungannya merupakan faktor kunci dalam membangun produktivitas

dan ketahanan sistem jangka panjang. Ketahanan adalah konsep yang dinamis. Sebut

saja, ketahanan ekonomi sebagai kemampuan perekonomian untuk beradaptasi,

memulihkan diri dan bangkit dari tekanan ekonomi dan non-ekonomi. Dalam lingkungan

yang terus berubah, kesempatan dan resiko dapat hadir setiap saat. Jadi, tiap unit

ekonomi baik rumah tangga, perusahaan, maupun daerah harus siap. Untuk memperkuat

ketahanan ekonomi, dibutuhkan peningkatan kesalingtergantungan yang kompak

(cohesive interdependency) dan aksi bersama pemangku kepentingan, pengembangan

kapasitas para pemangku kepentingan di semua tingkat, promosi manajemen dan

Page 12: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 12

pemanfaatan SDA yang bijaksana, pengembangan keanekaragaman baik produk

maupun pasar dan pembuatan kebijakan yang mendorong terciptanya pemerataan

(equity).

Forum Tata Kelola Ekonomi Lokal: Perkembangan konsep dan beberapa bukti di

NTB

Institusi masyarakat yang bersifat tradisional banyak ditemukan di daerah. Namun,

pembentukan perkumpulan institusi di tingkat masyarakat, lokal, dan regional untuk

mengejar cita-cita bersama dalam meningkatkan tata kelola dan penyediaan pelayanan

publik yang terkait dengan pengembangan ekonomi terbilang penemuan yang inovatif

di Indonesia Timur. Implementasi kebijakan di masa lalu tidak hanya berakibat pada

peningkatan yang signifikan dalam bidang matapencaharian masyarakat tapi juga

beberapa masalah serius seperti ketidaksetaraan sosial dan kerusakan lingkungan.

Juga kelompok masyarakat lemah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan yang

gagal memperoleh akses penuh dalam bidang pelayanan publik, yang tidak mendapat

keuntungan di masa lalu, dan aktivitas pembangunan yang sedang berjalan. Meskipun

desentralisasi mempunyai peluang untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut,

strategi yang terpadu dan dapat diterapkan kembali untuk pemerintah lokal dan

organisasi pembangunan perlu dibentuk. Oleh karena itu, instrumen dan wadah untuk

mendorong dialog para pemangku kepentingan, pembelajaran bersama, dan penyusunan

kebijakan dan program yang tepat yang dapat mengurangi ketidakberdayaan dan

kemiskinan sangat dibutuhkan. Hal-hal inilah yang mendorong beberapa organisasi

pembangunan internasional, khususnya the German Agency for Technical Cooperation

(GTZ GmbH), serta ahli-ahli lokal dan tokoh-tokoh masyarakat sipil untuk

mempromosikan forum pemangku kepentingan sebagai sarana untuk mengatasi

masalah.

Sejalan dengan pendapat tentang peran forum para pemangku kepentingan yang

digambarkan di bagian awal laporan ini, pemangku kepentingan lokal di beberapa

daaerah mendirikan Forum PEL di tingkat kabupaten. Forum ini terdiri dari individu

dengan kemauan yang kuat dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal yang pro-

masyarakat miskin, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), staf Pemda, anggota

asosiasi produsen, dan organisasi bisnis lokal.

Page 13: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 13

Gambar 2: Keanggotaan Forum Tata Kelola Pengembangan Ekonomi Lokal

(Forum PEL)

Secara teoretis, Forum PEL merupakan alat yang digunakan pemerintah lokal,

pengusaha mikro dan kecil-menengah, dan organisasi masyarakat sipil untuk

memperbaiki struktur dan proses pelayanan publik. Iklim bisnis yang lebih baik

merupakan hasil yang paling cepat dilihat berkat usaha yang dipersiapkan dengan baik ini

yang dalam gilirannya akan mengentaskan kemiskinan. Organisasi penghubung yang

berkualitas dan konsultan pembangunan ekonomi yang memenuhi syarat dilibatkan untuk

memberikan saran kepada pemerintah sub-nasional, wakil rakyat, dan pemangku

kepentingan lainnya. Dapat diprediksi bahwa hal inilah yang akan berakibat pada

terbentuknya forum pemangku kepentingan PEL yang lebih baik serta dialog dan jaringan

pengembangan ekononomi lokal/ regional yang lebih berkualitas.

Dalam prakteknya, Forum PEL didirikan melalui proses partisipasi. Hal itu diawali

dengan pendekatan para perintis (pionir) dalam membuka wawasan dan visi para

pemangku kepentingan lokal tentang perlunya Forum PEL dan keuntungan yang

mungkin dicapai. Para pionir tersebut menggunakan pendekatan pembelajaran

bersama (peer-to-peer learning) dan pendekatan komunikasi informal. Hal ini

merupakan fase tergenting dalam pendirian forum dimaksud. Namun, begitu

KelompokPengusaha

M ikro &  Kecil Menengah

(UMKM)

Lembaga  Penelitian

(Universitas)

Lembaga  Perantara  (Swasta  &   

Masyarakat Sipil)

AnggotaLegislatif(DPRD)

Pemerintah  Daerah  

(BAPPEDA/   SKPD  terkait)  

Forum  PEL

Page 14: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 14

masyarakat lokal atau anggota masyarakat mempunyai visi yang sama, langkah

berikutnya akan mudah diterapkan. Pendirian Forum PEL bukanlah proses linier

ataupun pendekatan baku terencana (blue-print). Proses tersebut membutuhkan proses

partisipasi semua pemangku kepentingan dalam analisis situasi untuk memahami

tantangan dan kesempatan, mendefinisikan tema-tema umum untuk dibahas (misi dan

tujuan), serta menyetujui rencana kerja bersama yang realistis untuk diimplementasikan

demi meraih tujuan dan dampak yang diharapkan. Diagram 3 mengilustrasikan proses

pendirian Forum PEL yang unik yang terjadi di kabupaten Bima dan Dompu (Dendi dkk.,

2007).

Gambar 3: Proses pendirian dan pengembangan Forum PEL untuk dialog dan

aksi bersama

Saya membatasi diri untuk tidak menjelaskan lebih rinci tentang proses-proses Forum

PEL, dan akan memulai dengan deskripsi pengalaman empiris di Forum PEL di wilayah

NTB.

Di kabupaten Dompu (Provinsi NTB), pemangku kepentingan lokal mendirikan

Forum PEL pada tahun 2003 dengan dukungan masyarakat. Gerakan ini disponsori

oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammernabeit (GTZ) GmbH-

Organisasi Kerjasama Teknik Jerman. GTZ berperan sebagai pengembang konsep

Forum PEL, memfasilitasi proses para pemangku kepentingan dalam mendirikan

Forum PEL, dan pengembangan kapasitas manajemen dan teknis anggota forum.

Page 15: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 15

Sejak saat itu, Forum PEL aktif bergerak dalam proses-proses pengembangan

ekonomi lokal di kabupaten Dompu. Tugas Forum diantaranya melaksanakan analisis

situasi, membangun kesadaran pemegang kepentingan lokal, menyelenggarakan

dialog atau debat kebijakan pemangku kepentingan, dan aktif dalam perencanaan PEL

di tingkat kabupaten. Disamping sikap Forum yang konsisten terhadap pembangunan

pro-masyarakat miskin, saya juga mendapatkan bukti-bukti peran dan kontribusi forum

PEL yang begitu signifikan di kabupaten Dompu dalam menggerakkan sumber daya

lokal dan meningkatkan akses unit usaha mikro dan kecil kepada pelayanan Forum dan

pasar regional yang menjanjikan. Salah satu hasil kerja Forum PEL di Dompu yang

sukses adalah membantu pendirian unit koperasi yang diberi nama Koperasi Permata

Bahari. Koperasi ini didirikan bagi petani rumput laut yang tidak mampu yang tinggal

pulau terpencil, yakni pulau Bajo, yang secara administaratif termasuk desa Kwangko di

kabupaten Dompu. Forum membantu menghubungkan koperasi dengan perusahaan

(eksportir rumput laut) di provinsi tetangga (khususnya provinsi Bali). Akses ke pasar

regional seperti ini memungkinkan produsen rumput laut dan pedagang kecil lokal

menikmati nilai tambah yang lebih tinggi dan menjadi lebih mandiri. Interview penulis

baru-baru ini dengan Ketua Pengurus Koperasi Permata Bahari yang bernama

Syarifudin4, menemukan bahwa semua anggota koperasi dan pedagang dapat meraup

keuntungan dengan menjual produknya langsung ke Bali dan dapat menikmati nilai

tambah akibat kenaikan harga di pasar international. Pada awal tahun 2006, koperasi

Permata Bahari hanya dapat menyediakan 10 ton rumput laut dari 300 ton yang diminta

eksportir di Bali (PT Indonuda Algaemas Prima) dengan kisaran harga antara Rp.

5000,00 hingga Rp. 6000,00 per kilogram tergantung pada kualitas dan harga di pasar

internasional. Baru-baru ini, harga rumput laut normal di Bali bervariasi antara Rp.

7.500,00 hingga Rp. 9.000,00 per kilogram. koperasi Permata Bahari menginformasikan

kepada Penulis bahwa selama semester ke-2 tahun 2008, koperasi menikmati harga di

luar kebiasaan yakni antara Rp. 15.000,00 hingga Rp. 19.000,00 per kilogram, dimana

kemaikan harga tersebut dipicu oleh defisit persediaan di pasar internasional akibat

gagal panen di beberapa negara eksportir lain seperti Kamboja dan Filipina.

Dua tahun sejak didirikan, kapasitas koperasi untuk mensuplai kebutuhan

perusahaan pembeli di Bali sudah meningkat dua kali lipat yaitu sekitar 25 ton per bulan.

4 Interview dengan Syarifudin dilaksanakan di Hotel Grand Legi, Mataram pada tanggal 25 April 2007. Data yang lebih baru tentang kisah sukses diperoleh dari hasil korespondensi dengan Syarifudin (6 November 2008) dan observasi serta interview dengan beberapa tokoh kunci di Forum PEL di Dompu dan beberapa pegawai di kabupaten Dompu.

Page 16: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 16

Bahkan pada tahun 2008, Permata Bahari mampu meningkatkan suplainya hingga 30

ton, yang mana 60-70%nya dihasilkan oleh anggota koperasi. Selain itu jumlah rumah

tangga produsen rumput laut yang bergabung dengan koperasi Permata Bahari

meningkat tajam dari 20 rumahtangga di tahun 2004 menjadi 45 rumahtangga pada

tahun 2008 dari total 200 rumah tangga produsen rumput laut di wilayah pulau Bajo

tersebut. Hampir semua produsen tersebut telah menjadi nasabah koperasi Permata

Bahari. Dalam beberapa tahun mendatang, kemampuan koperasi dalam memenuhi

permintaan perusahaan di Bali diperkirakan akan meningkat secara signifikan karena

meningkatnya ketertarikan pedagang di kabupaten Dompu dan luar Dompu, misalnya

kabupaten Bima dan kotamadya Bima untuk menjual rumput lautnya ke koperasi

Permata Bahari.

Memang benar bahwa budidaya rumput laut di pulau Bajo, yang secara administratif

masuk wilayah desa Kwangko, kabupaten Dompu, yang dimulai sejak pertengahan 1990

dirintis oleh beberapa nelayan yang menemukan rumput laut dan menanamnya di desa

mereka. Sekitar 50% penduduk desa Kwangko tinggal di pulau Bajo. Dua tahun setelah

penanaman rumput laut pertama di pulau Bajo, hampir 200 rumah tangga yang tinggal di

pulau kecil ini melibatkan diri dalam usaha budidaya rumput laut. Sejak saat itulah,

rumput laut menjadi sumber penghasilan utama rumah tangga tersebut. Namun

kurangnya pengetahuan dan modal serta lemahnya organisasi masyarakat dan sulitnya

akses menuju wilayah ini membatasi mereka untuk menciptakan produksi rumput laut

yang sukses dan menguntungkan secara ekonomis. Beberapa pedagang memelopori

pendirian rantai penjualan ke daerah lain terutama provinsi Bali. Tetapi mereka gagal

mempertahankan kualitas dan suplai rumput laut yang cukup untuk pembeli di Bali.

Di akhir tahun 1990an, sebelum konsep Forum PEL dikembangkan, GTZ

mengidentifikasi Kwangko sebagai desa miskin dan memasukkannya ke dalam area

percontohan bagi usaha pengentasan kemiskinan dengan mengadopsi pendekatan

ekonomi lokal. Akhir tahun 1990an menandai fase intervensi pertama GTZ di Kwangko.

GTZ merekrut seorang sarjana dan menugaskannya untuk bekerja sebagai motivator

desa atau fasilitator perubahan. Tahap berikutnya, GTZ dan pemerintah kabupaten

Dompu bersama-sama memperkuat usaha komersial masyarakat dengan mendorong

aksi bersama untuk membangun kelompok yang berguna bagi anggotanya. Selanjutnya

GTZ dan pemerintah kabupaten Dompu menyediakan pelatihan teknis yang relevan

serta pelatihan manajerial untuk warga desa Kwangko. Gambar 4 menerangkan secara

ringkas peran pelaku-pelaku kunci dan Forum PEL yang berjuang meraih tujuan-tujaun

PEL yang pro-masyarakat miskin sejak tahun 1990an.

Page 17: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 17

Gambar 4: Contoh pembagian peran dalam proses pencapaian tujuan PEL

yang pro-masyarakat miskin.

Kisah sukses di desa Kwangko adalah salah satu yang mendorong Forum PEL dan

pembuat kebijakan lokal mengembangkan dan meluncurkan program produksi rumput

laut masal dan pelayanan pemerintahan yang diberi nama Gerakan Darul Muttakin.

Program ini diluncurkan tahun 2007. Dalam fase I (2007-2008), pemerintah lokal

bersama dengan DPRD menyetujui anggaran yang cukup besar (± Rp1,5 M) untuk

pelatihan budidaya rumput laut dan penyediaan input misal bibit unggul, infrastruktur

pasca panen (antara lain lantai jemur dan gudang), dukungan untuk promosi ke pasar

dsb. Gerakan Darul Muttakin menargetkan 1000 rumah tangga untuk ikut serta

menghasilkan rumput laut di akhir 2009. Menjelang akhir tahun 2009, total peningkatan

produksi melalui gerakan Darul Muttakin ditargetkan mencapai setidaknya 24.000 ton

dengan berasumsi pada rata-rata produksi sebesar 32 ton per hektar per tahun. Untuk

Page 18: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 18

meraih tujuan-tujuan ini, kabupaten Dompu menargetkan untuk memperluas budidaya

rumput laut menjadi 250 dan 500 hektar masing-masing untuk tahun 2008 dan 2009.

Sementara itu, Forum PEL di kabupaten Bima (provinsi NTB) yang didirikan tahun

2003 telah menunjukkan peran-peran dan kontribusi yang menjanjikan untuk mengejar

tujuan-tujuan PEL yang pro-masyarakat miskin melalui perencanaan strategis. Dengan

menggunakan teori Jefris dan Mahman (2006) berikut hasil interview dengan tokoh-tokoh

kunci, kami menemukan pola peran Forum PEL di Bima sebagaimana yang bisa dilihat

pada Gambar 5.

Gambar 5: Pembentukan dan siklus peran Forum PEL di kabupaten Bima

Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mengidentifikasi bahwa para pemangku

kepentingan PEL di kabupaten Bima mengembangkan forum tematik untuk usaha

kerajinan kecil dan pengusaha-pengusaha industri rumah tangga, yang diberi nama

FORMAT─Forum Bima Kreatif. Forum ini merupakan pendukung Forum PEL yang

jangkauannya luas. Organisasi-organisasi penghubung lokal yaitu CeDES (Center for

Development Studies) dan Dewan Kerajinan Daerah berperan aktif dalam pembentukan

forum dimaksud. FORMAT membantu produsen-produsen lokal untuk mengeksplorasi

dan memperoleh akses ke pasar-pasar baru, terutama kerajinan ibu rumah tangga dan

budidaya rumput laut. Contoh dukungan konseptual dan peran fasilitatif Forum PEL

Page 19: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 19

(FORMAT) adalah pada saat pelaksanaan INACRAFT ke-11 di Jakarta tanggal 22-26

April 2009. Forum ini mempromosikan produk-produk industri kecil ibu-ibu rumah tangga

misal tenun, perhiasan, dan madu alami. Acara ini lebih sukses dibandingkan event

serupa tahun lalu dengan jumlah pendapatan lebih dari Rp1M yang diperoleh dari

transaksi langsung selama pameran. Selain itu, kelompok-kelompok produsen yang

berpartisipasi dalam pameran INACRAFT juga membantu membangun jaringan

pemasaran dan bahkan kontrak transaksi awal antara produsen-produsen dengan

beberapa perusahaan5. Forum-Forum PEL termasuk FORMAT telah berperan aktif dan

memberikan kontribusi yang besar dalam membangun rencana pembangunan jangka

menengah serta rencana kerja tahunan dalam rangka mengembangkan perekonomian

lokal dan mengentaskan kemiskinan. Disamping itu, Forum Bima Kreatif bersama dengan

CeDES di Bima mengkonsep dan menyelenggarakan dialog para pemangku kepentingan

dalam usaha membangun kerjasama kabupaten/kotamadya yaitu antara Kotamadya

Bima, serta kabupaten Bima dan Dompu. Sebagaimana yang diprediksi oleh Forum dan

CeDES, kerjasama di atas pertama-tama harus difokuskan pada usaha menciptakan iklim

bisnis lokal/regional yang kondusif. Oleh karena itu, dialog pemangku kepentingan yang

pertama dan kedua meletakkan prioritas pada pengembangan pemahaman yang sama

mengenai kerangka peraturan yang ada dan dampaknya terhadap daya saing lokal dan

regional. Dialog-dialog berikutnya dimaksudkan untuk melaksanakan workshop regional

guna mempresentasikan hasil diskusi sebelumnya dan mengeksplorasi solusi yang tepat

untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan mewujudkan hasil PEL yang pro-

masyarakat miskin. Sementara itu, pemerintah daerah Mataram telah menyetujui

pendirian Forum PEL di tingkat kota (bernama Tim PEL) dengan dukungan konsep dari

GTZ (melalui program Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah yang Baik) dan Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Forum ini berperan aktif dalam

menyelenggarakan dialog-dialog untuk meningkatkan pembelajaran bersama dan alokasi

sumber daya untuk aksi bersama demi mendukung inisiatif pengembangan ekonomi lokal

yang pro-masyarakat miskin. Terinspirasi dari Forum PEL, Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Mataram bersama sebuah yayasan pembangunan

daerah (STIGMA) dan Dewan Kerajinan Daerah (DEKRANASDA) mendukung gerakan

bersama dalam mendirikan sebuah Forum Pengusaha Wanita (Forum Putri

5 Hasil interview penulis dengan Arief Rachman (Executive Director the Centre of Development Studies-Bima) dan H. Nurdin (Ketua Forum Industri Kecil, Forum Bima Kreatif) pada tanggal 27 April di Mataram dalam perjalanan pulang ke Bima setelah berpartisipasi dalam INACRAFT ke-11 di Jakarta. Lihat juga www.kabarindonesia.com dengan artikel yang diunduh di website-nya tanggal 30 April 2009 yang berjudul ‘Produk Kerajinan Bima Diminati”.

Page 20: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 20

Sangkareang). Selanjutnya, Forum Putri Sangkareang berhasil mendirikan sebuah

organisasi anggota koperasi wanita yang melibatkan seluruh anggota forum sebagai

Dewan Pendiri Koperasi. Penulis menemukan bahwa selama tahun 2008 dan awal 2009

inisiatif ini telah berhasil memperkuat visibilitas dan partisipasi kelompok-kelompok yang

termarginalkan dalam dialog mengenai kebijakan dan akses terhadap pelayanan

pemerintah daerah yang berkaitan dengan bidang ekonomi termasuk kursus manajemen

dan teknis, informasi mengenai pasar dan penguasaan peralatan teknis, serta modal awal

untuk pengusaha kecil dan menengah yang memenuhi syarat6. Pada awal tahun 2009,

setidaknya terdapat 115 orang wanita yang menjalankan industri mikro dan kecil yang

telah menyelesaikan kursus perencanaan bisnis dan manajemen koperasi selama tiga

hari. Setengah dari total peserta berasal dari kota Mataram. Visibilitas dan partisipasi

kelompok-kelompok ini dalam dialog tentang perencanaan pembangunan dan kebijakan

nantinya berpotensi memperluas kesempatan masyarakat miskin untuk meraih

keuntungan (nilai tambah) dari partisipasinya dalam gerakan PEL.

Lebih lanjut, beberapa dialog para pemangku kepentingan yang diselenggarakan oleh

Forum PEL dan organisasi-organisasi perantara misalnya P2KP (Pusat Penelitian

Kependudukan dan Pembangunan dari Universitas Mataram) dan yayasan STIGMA telah

mendorong terbentuknya Klinik Desain (Design Clinic). Klinik Disain ini dibentuk sebagai

sebuah institusi untuk pengembangan kapasitas dan promosi rantai nilai industri berbasis

mutiara (industtri mutiara, emas dan perak). Klinik Disain menyatukan pelaku-pelaku dari

berbagai latar belakang (guru-guru yang kompeten dari sekolah kejuruan terkait,

pengusaha lokal, desainer, peneliti, organisasi penghubung, dan organisasi pemerintah).

Sebagai penyedia layanan non-profit, Klinik Disain digabungkan dengan sekolah kejuruan

negeri (SMKN 5) di kota Mataram. Hal ini dilakukan diantaranya dengan memerhatikan

kompetensi (SDM, fasilitas pelatihan, dll.) dan komitmen. Kelembagaan yang demikian

merupakan pola yang unik yang akan memudahkan organisasi pemerintah dan non-

pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya dan membagi tanggung jawab untuk

memperkuat pengembangan SDM dan membangun rantai nilai yang pro-masyarakat

miskin dalam industri berbasis mutiara (produk-produk yang mengkombinasikan mutiara,

emas, dan perak).

6 Komunikasi personal dengan Drs. H. M. Ainul Asikin, Msi. (Kepala BAPPEDA, Drs. Jana Hamdi (Kepala Komite Eksekutif Forum pengembangan ekonomi lokal Kota Mataram) dan Dr. Zainuri (Direktur Yayasan Stigma) selama diskusi di SMKN 5 Mataram tanggal 10 Februari 2009.

Page 21: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 21

Inisiatif di Tingkat Regional

Inisiatif pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin (LRED)

berkembang tidak hanya di tingkat lokal tapi juga regional. Pengalaman empiris yang

melibatkan para pemangku kepentingan di kabupaten Dompu dan Bima memberikan

inspirasi bagi pendirian forum regional, yang diberi nama FORMULA-Forum Tata Kelola

Rumput Laut Pulau Sumbawa, untuk menciptakan rantai nilai rumput laut yang lebih

produktif, skala ekonomi yang lebih besar, lebih kompetitif, dan berkeadilan. Forum

tersebut memiliki prospek baik untuk memperbaiki tatakelola (governance) rantai nilai

rumput laut dan meningkatkan perolehan nilai tambah bagi produsen lokal, pelaku bisnis

dalam rantai nilai, dan daerah. Dialog yang baru-baru ini diselenggarakan di kabupaten

Dompu mendorong terbentuknya Komite Eksekutif FORMULA yang mendapatkan

persetujuan Gubernur Nusa Tenggara Barat. Dialog di Dompu menghasilkan Agenda

Prioritas 2009-2013. Gerakan ini mendorong Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi

Terpadu regional Bima (KAPET Bima) untuk mendirikan sekretariat gabungan yang

melibatkan FORMULA dalam rangka meningkatkan rantai nilai rumput laut yang pro-

masyarakat miskin (mulai dari produksi hingga pemasaran). Sekretariat tersebut ternyata

didirikan pada awal Maret 20097. Selanjutnya sesuai dengan agenda prioritas 2009-2013,

Komite Eksekutif FORMULA mengeksplorasi kemitraan dengan beberapa perusahaan

swasta serta BUMN dalam bingkai Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan) yang berada di Nusa Tenggara Barat. Proses dinamis untuk

membangun kemitraan antara FORMULA dan perusahaan tambang Amerika yang

beroperasi di daerah ini (PT Newmont Nusa Tenggara Ltd.) sedang berjalan.

Tantangan, Pelajaran yang Dapat Diambil, dan Beberapa Rencana ke Depan

Meskipun usaha pembangunan di Indonesia sebelum krisis finansial Asia tahun 1997

telah menghasilkan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial yang signifikan, ia juga

mengakibatkan kesenjangan antar daerah, serta dampak lingkungan dan sosial yang

tidak diinginkan. Saat ini, 10 tahun setelah krisis finansial tersebut, kemiskinan dan

ketidakberdayaan masih menjadi tema pelik di Indonesia, terutama di daerah-daerah

timur negara ini. Masalah-masalah yang kompleks juga ditemui di bidang ekonomi,

pengetahuan, budaya, dan pemerintahan. Meskipun permasalahan-permasalahan

tersebut membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, penelitian ini menitikberatkan pada

7 Interview penulis dengan Dr. Syahruddin (Direktur Eksekutif Seaweed Forum) tanggal 25 Maret 2009 di Mataram.

Page 22: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 22

peran Forum PEL sebagai wadah bagi para pemangku kepentingan dan instrumen untuk

meningkatkan transparansi, pembelajaran, dan dialog dinamis serta berbagi tanggung

jawab dalam usaha mengurangi ketakberdayaan dan mengentaskan kemiskinan di

tingkat lokal maupun regional.

Konsep Forum PEL sejalan dengan kerangka tujuan desentralisasi dan konsep good

governance; dimana Forum melibatkan berbagai pihak─ yakni orangorang yang rasional

dan memiliki kepentingan─ dalam wadah bersama pengembangan ekonomi local/

regional. Pengalaman empiris di beberapa kabupaten di NTB, telah menunjukkan

kontribusi Forum PEL dalam mempercepat proses dan memperluas jangkauan pelayanan

bagi masyarakat miskin dan rentan. Keterlibatan Forum PEL di kabupaten Dompu dan

Bima bahkan telah mendorong terbentuknya rantai nilai rumput laut yang tidak hanya

semakin pendek tapi juga lebih aman, dan lebih menguntungkan. Hal ini memungkinkan

kelompok lemah UMKM untuk menikmati nilai tambah yang jauh dari jangkauan mereka

di masa lalu. Kemudian, banyak pemerintah lokal di Nusa Tenggara Barat yang

menunjukkan ketertarikan untuk mengadopsi dan mengalokasikan sumber daya dalam

rangka mendukung proses para pemangku kepentingan seperti ini demi meningkatkan

inisiatif pengembangan ekonomi lokal/regional yang pro-masyarakat miskin. Forum PEL,

dengan demikian, mempunyai prospek baik untuk ditumbuhkembangkan atau

disebarluaskan ke daerah lain.

Namun, peralihan dari pardigma pemerintah ke paradigma pemerintahan

menghadirkan tantangan tidak hanya bagi pemerintah lokal tapi juga seluruh pemangku

kepentingan di tingkat regional dan lokal yaitu dalam hal menyesuaikan dan mempelajari

lingkungan institusional dan pedoman yang baru. Beberapa pembuat kebijakan dan

pelaku bisnis bersikap abai terhadap usaha pendirian Forum PEL atau enggan

mengalokasikan sumber daya untuk mendukung Forum dimaksud diantaranya karena

pengalaman buruk mereka dengan LSM yang tidak bekerja dengan baik pada masa lalu.

Selain itu, tuntutan politik yang kuat terhadap badan-badan pelaksana di tingkat regional

dan lokal untuk menyelesaikan programnya atau menunjukkan perubahan (hasil) dengan

cepat, sering menjadi ancaman bagi tujuan yang lebih luas dalam membangun ekonomi

lokal yang tangguh dan berkelanjutan. Kasus baru-baru ini di desa Kwangko, Kabupaten

Dompu, misalnya, menunjukkan sikap terburu-buru dalam mengentaskan kemiskinan

melalui pembagian bantuan (modal finansial) kepada masyarakat miskin atau kelompok

ekonomi lemah di pedesaan mengancam aktivitas-aktivitas penguatan keswadayaan dan

kesinambungan siklus dana bergulir yang sedang dikelola koperasi Permata Bahari.

Berbeda dengan konsep dana bergulir sudah biasa bagi masyarakat pedesaan, para

Page 23: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 23

penerima bantuan program penanggulangan kemiskinan baru-baru ini justru tidak perlu

mengembalikan uang untuk dikumpulkan sebagai dana bersama di tingkat kelompok atau

desa. Hal ini dinilai sebagai “perlakuan diskriminatif” oleh sebahagian besar masyarakat

desa, sehingga mereka menunda “pembayaran hutang” (pengembalian dana bergulir)

yang yang masih tersisa kepada koperasi Permata Bahari. Sikap tersebut

membahayakan kelangsungan siklus perguliran dana dan akan bersifat kontra produktif

terhadap aktivitas pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di pedesaan.

Kasus seperti di kabupaten Dompu ini bukan satu-satunya, karena cukup banyak kasus

serupa terjadi di daerah-daerah lain termasuk di perkotaan yang tidak terungkap melalui

penelitian.

Penelitian ini memaparkan beberapa bukti bahwa dalam konteks regional yang relatif

tertinggal, kelompok masyarakat sipil tertentu (forum pemangku kepentingan) dapat

menjadi alat efektif yang membantu menciptakan ‘energi sosial’ dalam bentuk proses

belajar dan aksi bersama untuk mengejar cita-cita pengembangan ekonomi lokal dan

regional yang pro-masyarakat miskin. Berdasar kisah sukses dan hambatan yang

dihadapi Forum PEL, berikut adalah beberapa faktor mendasar dalam membentuk dan

memelihara kesinambungan Forum PEL:

• Pengalaman di Nusa Tenggara Barat menggambarkan bahwa program PEL yang

pro-masyarakat miskin yang fokus pada strategi pemanfaatan peluag (opportunity-

based solutions) dapat mencapai keluaran (output) atau pun hasil-hasil (outcomes)

yang pro-masyarakat miskin. Pandangan demikian tidak berarti bahwa strategi yang

fokus pada pemecahan masalah (problema-based solution) tidak menjadi penting;

dalam hal ini para perencana dan pengambil kebijakan perlu memilih paket strategi

yang akan memberikan manfaat luas melalui pemanfaatan secara optimum potensi

dari dalam (strengths) dan peluang dari luar (Opportunities);

• Pelopor atau perintis lokal, misalnya tokoh masyarakat yang berkomitmen tinggi dari

organisasi perantara atau pemerintah daerah, sangat diperlukan untuk mendorong

pendirian Forum PEL;

• Visi dan kepentingan bersama yang pro-masyarakat miskin merupakan dorongan yang

sangat penting bagi forum pemangku kepentingan demi mewujudkan pengembangan

ekonomi lokal dan regional;

• Proses belajar yang berkualitas diantara anggota forum merupakan dorongan yang

baik bagi usaha penyelenggaraan dialog dan aksi bersama; Kegiatan ini

membutuhkan pendekatan belajar secara interaktif. Pengalaman di Nusa Tenggara

Page 24: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 24

membuktikan bahwa seorang dosen, yang ahli dalam pendekatan partisipatif di

bidang pembangunan dan memahami nilai budaya lokal atau staf organisasi

perantara yang kompeten, sangat dibutuhkan untuk meraih tujuan ini;

• Integrasi kearifan lokal (nilai-nilai budaya) dan prinsip good governance

memperkuat dinamika pengambilan keputusan dan alokasi tanggung jawab antar

pemangku kepentingan pembangunan ekonomi daerah;

• Di daerah yang relatif tertinggal, diperlukan komitmen yang terus-menerus dalam

bentuk dukungan anggaran dari pemerintah lokal atau organisasi yang memenuhi

syarat lainnya untuk memperkuat strategi pemerintah dalam menjangkau

masyarakat miskin dan kelompok-kelompok yang termarginalkan dari kalangan

usaha mikro dan kecil (dalam perekonomian informal).

Di masa yang akan datang, pemerintah provinsi perlu lebih berperan aktif dan

diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk memperkokoh proses para pemangku

kepentingan dalam pengembangan ekonomi local/ regional. Dibutuhkan komitmen

politik untuk mendirikan dan mempromosikan kebijakan anggaran yang pro-masyarakat

miskin. Selanjutnya, pemerintah provinsi harus mengambil peran yang lebih besar dalam

membentuk jaringan horizontal dan vertikal untuk gerakan pengembangan ekonomi

local/ regional (LRED), misalnya dalam rangka mempromosikan kerjasama antar daerah.

Pemerintah lokal dan provinsi Nusa Tenggara Barat harus membantu Forum PEL

mengeksplorasi dan memfasilitasi pendirian kemitraan PEL yang pro-masyarakat miskin

yaitu antara Forum PEL, BUMN, dan perusahaan asing yang beroperasi di daerah

melalui mekanisme tangung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

Kesimpulannya, Forum PEL seperti yang diterapkan di Nusa Tenggara Barat, telah

menggambarkan hasil yang pantas dicatat yang memberikan manfaat bagi masyarakat

miskin dan kelompok-kelompok lemah. Terdapat cukup banyak bukti untuk mengatakan

bahwa Forum PEL telah membantu mengurangi kemiskinan dan ketakberdayaan serta

meningkatkan ketahanan masyarakat miskin dan pengusaha skala mikro dan kecil dalam

rantai nilai atau pasar. Beberapa kelompok produsen dan pedagang kecil telah menikmati

nilai tambah yang besar yang tercipta dari akses yang lebih luas ke pasar. Namun, forum-

forum ini akan membutuhkan periode yang lebih panjang untuk menunjukkan kontribusi

mereka terhadap skala ekonomi yang lebih besar dan tujuan pembangunan yang lebih

tinggi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kehidupan yang lebih baik, dan

kesetaraan. Dengan kata lain, saat ini masih terlalu awal dan terlalu ambisius untuk

Page 25: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 25

mengukur dampak yang dicapai Forum PEL terhadap pertumbuhan ekonomi lokal/

regional dan tingkat kesejahteraan sosial.

Referensi

Ahmed, A.K. (2006),’ Concepts and Practices of Resilience: A Compilation from Various Secondary Resources’, The International Resource Group-Tetra Tech Joint Venture’s working paper prepared for Coastal Community Resilience Program (CCR), Prepared for U.S. Agency for International Development. Bangkok, Thailand. 36 pp.

Alston, L.J. (1996), Empirical Studies in Institutional Change, Cambridge University Press. 360 pp.

Baake, P., R. Borck (Eds) (2007). Public Economics and Public Choice: Contributions in Honor of Charles B. Blankart, Springer, Berlin. 280 pp.

BPS, and BAPPEDA (2008), Buku Saku Indikator Pembangunan NTB Tahun 2008, Badan Pusat Statistik Provini NTB dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTB. 52 pp.

Dendi, A., A. Zaini ( 2007) ‘Role of Multi-stakeholder Forum in Reducing Vulnerability and Poverty: Perspective and Lessons from Nusa Tenggara, Indonesia’, Asian Rural Sociology Vol. III, August 2007: 631-641.

Dendi, A., R.S. Haryono, Mahman, A. Zaini, A. Rachman (2007) Forum Pengembangan Ekonomi Lokal: Konsep, Strategi dan Metode, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and the Ministry of Home Affairs of Republic of Indonesia. Mataram. 104 pp. 117 pp.

Dendi, A., I Dewa Agung Gede Lidartawan, A. Zaini, R.S. Haryono (2007) Analisis Rantai Nilai: Instrumen Mengkaji, Menggagas, dan Menggerakkan Pengembangan Ekonomi Lokal untuk Pengurangan Kemiskinan, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and the Ministry of Home Affairs of Republic of Indonesia. Mataram.

Groosmann, H., and H. Ellwein et al. (eds) (2006) Local and regional economic development (LRED): Experiences from Asia, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. 21 pp.

Jefris, and Mahman (2006), ‘Peluang dan Tantangan Peningkatan Dinamisme dan Efektifitas Partisipasi Stakeholders dalam Proses Pengembangan Ekonomi Lokal: Pengalaman Kabupaten Bima’, dalam Realita, Tantangan dan Inovasi Daerah Mengurangi Kemiskinan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, eds. A. Dendi and Markum, Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH and the Ministry of Home Affairs of Republic of Indonesia. Mataram. pp 81-90.

Kammeier, H.D., H. Demaine (eds) (2000) ‘Decentralization, local governance and rural development’, International Workshop on Decentralized Planning and Financing of Rural Development in Asia, January 2009. Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand. 406 pp.

Kerstan, B., A. Dendi, H.J. Heile, Mahman, R. Hilaliyah, R.S. Haryono (2004) Alleviating Poverty through Local Economic Development: Perspective and Lessons from Nusa Tenggara, Deutsche Gesellschaft für Technische

Page 26: Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemiskinan

Page | 26

Zusammenarbeit (GTZ) GmbH (PROMIS-NT) and the Ministry of Home Affair of Republic of Indonesia. Jakarta. 42 pp.

KPPOD, and the Asia Foundation (2007) Local Economic Governance in Indonesia: A Survey of Business in 243 Regencies/ Cities in Indonesia, Regional Autonomy Watch (KPPOD), the Asia Foundation, and USAID. Jakarta. 114 pp.

Zaini, A. 2006. Pengembangan forum good local governance: Kajian pengalaman Nusa Tenggara Barat, Laporan konsultan kepada GTZ-Good Local Governance. 38 pp.

Lin, J. Yifu (1989) An Economic Theory of Institutional Change: Induced and Imposed Change. Cato Journal Vol. 9 No.1: pp 1-33 Cato Institute. Washington. http://www.cato.org/pubs/journal/cj9n1/cj9n1-1.pdf

North, D.C. (1990) Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press. 26th Printing, 2008. 152 pp.

Olson, M. (1965) The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups. Harvard Economic Studies Volume CXXIV. Harvard University Press, Cambridge. 186 pp.

Rücker, A., G. Trah (2006) Local and Regional Economic Development (LRED): Towards a Common Framework for GTZ’s LRED Interventions in South Africa. Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH. Eschborn. 80 pp.

Sharma, S.D. (2007) ‘Democracy, Good Governance, and Economic Development’, Taiwan Journal of Democracy, Vol. 3 No. 1: pp 29-62.

UNDP. 1997. Good Governance and Sustainable Human Development. <http://mirror.undp.org./magnet/policy/>

UN-Habitat (2005) Promoting Local Economic Development through Strategic Planning, Volume 2: Manual. United Nations Human Settlements Programme, Nairobi, Kenya and EcoPlan International Inc., Vancouver, Canada. 205 pp.

Zaini, A. (2006) Pengembangan Forum Good Local Governance: Kajian Pengalaman Nusa Tenggara Barat, Laporan Konsultan kepada GTZ-Good Local Governance. 38 pp. Unpublished.