Top Banner

of 24

Membangun Indonesia Melalui Kepemimpinan Entrepreneur Agribisnis - PPI

Jul 13, 2015

Download

Documents

Zainuri Hanif
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Membangun Indonesia Melalui Kepemimpinan Entrepreneur AgribisnisDisampaikan pada Simposium Internasional PPI Dunia 2010 Pendidikan Kewirausahaan sebagai Upaya Peningkatan SDM Pelajar Indonesia yang Mandiri dan Inovatif Diselenggarakan oleh Overseases Indonesian Student Association Alliance. London, 23-24 Oktober 2010

Rachmat Pambud y

Membangun, intinya adalah mengembangkan peradaban. Tantangan dalam peradaban Indonesia ke depan adalah merancang dan merekayasa masyarakat yang beragam dan ber-Bhineka Tunggal Ika supaya bisa mencapai adil dan makmur secara bersamaan. Bukan kemakmuran segelintir orang apalagi kemakmuran orang atas beban penderitaan rakyat kebanyakan. Membangun adalah membuat bangsa dan negara Indonesia dapat sederajat dengan bangsa-bangsa lain melalui kompetisi antar bangsa yang adil. Tulisan ini mencoba mengajak berpikir bersama untuk ikut andil memberi sumbangan lahirnya model rancangan peradaban dalam rangka menuju suatu tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Mengutip pendapat Covey (2005), bahwa dalam konteks sejarah ada lima tahap zaman peradaban manusia: pertama, zaman berburu dan mengumpulkan pangan; kedua, zaman pertanian; ketiga, zaman industri; keempat, zaman informasipengetahuan; dan kelima zaman kebijaksanaan. Peradaban manusia mulai dari zaman berburu dengan peralatan sederhana, karena hal itulah yang baru mereka ketahui tentang peradaban pada saat itu. Peradaban mulai berubah sejak ada orang disebut petani yang membawa metode untuk menghasilkan makanan dengan bercocok tanam, mulai dari mengolah tanah, menebar benih dan akhirnya panen bahan pangan. Sebagai petani, mereka bisa menghasilkan limapuluh kali lebih banyak dari para pemburu. Begitu produktifnya petani pada waktu itu, sehingga banyak menarik minat masyarakat untuk bertani. Persis seperti itulah yang terjadi pada nenek moyang kita. Mudah dibayangkan sejak itu terjadi penurunan jumlah pemburu dan pengumpul makanan hingga 90 persen, sampai akhirnya para pemburu kehilangan pekerjaan. Beberapa generasi berlalu dan tibalah zaman industri ditandai dengan upaya yang mengarah pada spesialisasi, delegasi dan kemampuan untuk memperbesar skala usaha. Proses ini menghasilkan tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Produktivitas meningkat limapuluh kali lipat dibanding sistem pertanian keluarga. Sejalan dengan itu, 90 persen petani kehilangan pekerjaan mereka. Bahkan kini di Amerika, Jepang dan sebagian besar negara-negara di Eropa, petani yang menghasilkan sebagian besar makanan dan bahan pangan primer (on farm) hanya tinggal tiga persen saja. Bagaimanakah transformasi peradaban dari zaman pertanian, industri ke zaman pekerja informasi dan pengetahuan ? Apakah Indonesia mengalami kejadian seperti itu juga ? Melihat tahapan awal perubahan peradaban yang sedang terjadi, banyak pendapat meyakinkan bahwa memang seperti itulah adanya. Peningkatan

Kepala Bagian Bisnis dan Kewirausahaan, Dosen Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), Praktisi Agribisnis, Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI, 2004-2010), Anggota Kehormatan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Ketua Umum Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU 2005-10) dan Dewan Redaksi Tabloid SINAR TANI dan Tabloid AGRINA. 1

yang dihasilkan zaman pekerja informasi dan pengetahuan adalah limapuluh kali sampai 10 ribu kali lipat dibandingkan zaman pemburu hasil alam. Kerja pengetahuan (knowledge work) mendongkrak semua investasi lain yang sudah dilakukan individu, keluarga dan organisasi termasuk suatu pemerintahan. Pada kenyataannya, para pekerja pengetahuan adalah penghubung ke semua investasi lain yang dilakukan melalui institusinya. Mereka memberi fokus, kreativitas dan pendongkrak (leverage) manfaat semua investasi itu agar dapat lebih baik, memberi nilai tambah dan mencapai berbagai sasaran. Inilah tantangan peradaban manusia yang akan datang, termasuk bagi Indonesia. Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi tantangan ini ? Apa yang harus dipersiapkan; apa yang harus kita kerjakan? apa yang harus kita korbankan dan apa yang harus dibayar untuk menjadi pemain di zaman baru ini ? Kita ingin semuanya bisa ikut punya andil membangun kemakmuran keluarga, masyarakat dan bangsanya. Orang yang mengatas namakan peradaban namun hanya memakmurkan dirinya, keluarganya dan kelompoknya tapi merugikan pihak lain adalah ketidak beradaban. Oleh karena itu dalam rangka membangun peradaban dunia yang didambakan jangan hanya sekadar menang dalam berkompetisi jangka pendek. Jangan hanya mencapai kemenangan dengan cara saling menghancurkan pihak lain, namun bagaimana mengikuti kompetisi menuju kebaikan dan kemajuan sehingga semua mitra yang ikut dalam persaingan akan saling menghormati karena mendapat manfaat. Prinsip belajar untuk kebajikan, prinsip menang-menang dan akrab-selaras dengan lingkungan harus jadi dasar peri kehidupan mendatang. Berkelanjutan dalam keserasian harus menjadi landasan kemanusiaan yang adil dan beradab. Belajar dari Masa Lalu untuk Kebaikan Masa Depan Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, niscaya diperoleh suatu pemahaman, bahwa sebenarnya kita belum benar-benar ingin pulih dari krisis yang melanda bangsa ini, karena akar krisis yang telah kita ciptakan belum menjadi fokus perhatian. Hal ini terlihat jelas, bahwa pada setiap perubahan pemerintahan sejak Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, kemudian Suharto, Habibie, Abdurahman Wahid dan Presiden Megawati Sukarnoputri sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keunggulan komparatif manusia Indonesia belum fokus diubah menjadi keunggulan kompetitif. Tidak salah jika kepemimpinan menjadi agenda penting saat ini dan di masa yang akan datang. Sadar atau tidak yang mengalami krisis adalah rakyat tapi yang sering merasa tidak ada krisis dan bisa menciptakan krisis justru para pemimpin. Krisis sering terjadi karena tidak ada pemimpin yang mampu mengelola krisis dengan baik. Pemimpin berkharakter yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis juga kurang. Seharusnya krisis sudah berakhir lama karena ditinjau dari sumberdaya yang dimiliki tidak ada alasan Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan. Dari sisi sumber daya manusia dan alam, Indonesia memiliki kekayaan luar biasa. Penduduk Indonesia terbesar keempat di dunia dan 60 persennya tergolong usia sangat produktif (kurang dari 40 tahun). Berpenduduk hampir seperempat milyar orang, Indonesia mampu menjadi produsen sekaligus pasar yang luar biasa besar. Penduduk banyak dan produktif merupakan unsur penting dalam proses produksi, akumulasi tabungan, modal dan pertumbuhan ekonomi. Singapura, Malaysia,Taiwan, Korea, Jepang, negara-negara Arab dan Eropa kurang pekerja untuk menggerakkan ekonominya. Sebaliknya, Indonesia sangat berkelimpahan tenaga kerja.

2

Indonesia adalah negara kepulauan terbanyak dan terpanjang di dunia (lebih 17 ribu pulau, jika dibentangkan di benua eropa jaraknya mulai dari ujung Inggris Raya sampai Turki). Pantainya terpanjang setelah Kanada. Luas daratannya sepertiga (27 persen) dari seluruh wilayah tropis dunia dengan keragaman kekayaan hayati ke dua terbesar setelah Brazil. Posisi geografis-geopolitik Indonesia juga sangat unik dan strategis karena membatasi sekaligus menghubungkan benua Asia dan Australia. Posisinya yang dibelah khatulistiwa sangat menguntungkan karena berkelimpahan cahaya matahari dan curah hujan tinggi. Cincin api (ring of fire) yang mengelilingi wilayah Indonesia menyebabkan kawasan ini berlimpah sumber energi panas bumi gunung volkanik aktif. Kawasan ini juga memiliki kesuburan tanah tinggi. Kekayaan bumi Indonesia juga sangat luar biasa. Keragaman biodiversity hayati tropis menyimpan kekayaan flora, fauna dan zat hidup lainnya yang sangat berguna bagi kelangsungan peradaban manusia (sumber pangan, pakan, obat-obatan, serat alam, pekerja mikro biologis dan sumber energi terbarukan). Produksi tambang dan mineral yang ada di bumi Indonesia juga sangat mencengangkan. Timah nomor satu di dunia (1), nikel (3), tembaga (5) gas alam (8), Batubara (6), dan emas pada peringkat tujuh dunia ( The Economist, 2008-10). Hasil tambang lain seperti mangan, bauxit, perak, platina, berlian, uranium, biji/pasir besi, pasir kuarsa, bentonit, zeolit, marmer, granit tersebar di sejumlah daerah tapi belum tercatat dalam peringkat dunia. Hasil pertanian tropis juga sangat menakjubkan. Karet terbesar kedua (2), beras dan coklat terbesar ke tiga (3), kopi (4) teh (6), kelapa sawit, pala, lada, kayu manis dan cengkeh peringkat pertama dunia. Indonesia juga menjadi salah satu produsen ikan dan hasil laut tropis terbesar di dunia. Kekayaan itu seharusnya bisa membuat Indonesia masuk kelompok negara kaya dan rakyatnya masuk golongan berpendapatan sama dengan Malaysia, Thailand atau Brazil. Namun yang terjadi justru makin jauh dari harapan dan cita-cita Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur. Kesalahan pemilihan strategi-kebijakan ekonomi menyebabkan posisi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara lain. Fakta dan data menunjukkan bahwa 65 tahun setelah merdeka setengah penduduk Indonesia miskin dan pendapatannya kurang dari 2 US $/hari/orang (Basri, 2009) sementara sapi di Eropa mendapat subsidi 2 US $/hari/ekor (Stiglitz, 2002). Menurut para ekonom pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi tetapi The Economist (2010), mencatat pertumbuhan tahun 2007 hanya 5.5 persen, di bawah Iran dan Mesir (6.5 persen dan peringkatnya 54). Cadangan devisanya masuk peringkat 27 (tertinggal jauh dari Thailand, 18; Malaysia, 17; Angola, 15; Brazil, 9 ). Human Development Index (HDI) sangat rendah dan masuk peringkat 111, dibawah Vietnam. Paradox negara Indonesia kaya tapi utangnya banyak dan 100 juta rakyatnya miskin harus menjadi pertanyaan, pelajaran serta kesadaran bersama. Mengapa tahun 1970 utang Indonesia hanya sekitar 3 milyar US $ tetapi tahun 2010 membengkak menjadi 160 milyar US $ (1500 trilyun dan cicilan utang setiap tahun hampir 200 trilyun rupiah) ? . Mengapa untuk menutup APBN pemerintah memilih berutang daripada meningkatkan jumlah wajib dan pendapatan pajak ? Mengapa cadangan devisa Indonesia selalu rendah (tidak pernah lebih 100 milyar US $) padahal surplus neraca perdagangannya 14 tahun terakhir sekitar 25 milyar US/tahun?. Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lebih dari 40 tahun selalu kurang dari 10 persen ? Mengapa bank dan lembaga keuangan tidak efisien, suku bunga pinjaman lebih dari 15 persen sementara negara maju kurang dari tiga (3) persen ? 3

Dalam konteks mikro deretan pertanyaan itu dapat bertambah. Mengapa Pertamina kalah dengan Petronas dan Petrochina atau Petrobras? Mengapa Garuda kalah dengan Malaysia (MAS) dan Singapore Airlines (SQ), mengapa PTPN kalah dengan FELDA, Malaysia. Mengapa banyak bank asing di Indonesia tetapi bank BUMN Indonesia tidak banyak tersebar di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Eropa, Amerika dan Australia ? Mengapa kita masih impor garam, gula, beras, kedelai, ikan, susu, buah, sayur dan daging sapi dalam jumlah besar, sementara petani dan peternaknya banyak menganggur dan miskin ? Mengapa koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia tidak berkembang. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu harus menjadi pelajaran dan kesadaran bersama untuk membangkitkan kekuatan nasional. Bangkit dari Kelemahan dan Kesalahan Masa Lalu Kelemahan nyata dalam pembangunan masa lalu dan saat ini adalah belum berkembangnya para pemimpin daerah-nasional yang memahami nasionalisme dan berjiwa entrepreneur. Kita juga perlu lebih banyak entrepreneur yang mampu menjadi pemimpin bisnis skala nasional dan global yang baik, kuat dan banyak jumlahnya. Kurangnya pemimpin daerah-nasional yang berjiwa dan memahami entrepreneur serta kurangnya jumlah entrepreneur nasionalis bidang industri yang kuat mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pemulihan krisis ekonomi Indonesia menjadi sangat lambat-mungkin paling lambat di kawasan Asia dan Asia Tenggara. Selama 30an tahun masa pemerintahan Orde Baru, sejak tahun 1970 memang telah lahir entrepreneur baru yang kemudian dengan sangat cepat tumbuh menjadi konglomerat yang menguasai hampir semua lini-sektor perekonomian kita. Hingga akhir 1997, lebih dari 200 konglomerat besar ikut lahir, tumbuh dan berkembang bersama Orde Baru. Pada masanya memang sebagian diantaranya cukup disegani di kalangan kaum bisnis di Asia dan Dunia. Namun mereka tidak bertahan lama. Krisis yang berlangsung lebih 10 tahun ini ternyata sulit ditahan oleh para konglomerat tersebut. Meskipun ada yang bisa bangkit (melalui fronting company ?), krisis ekonomi tahun 1997/1998 telah memporak-porandakan sebagian besar di antara mereka. Timbul pertanyaan mengapa hal ini dapat dengan mudah terjadi? Entrepreneur pada masa itu umumnya adalah entrepreneur rent seeker, yang tumbuh karena fasilitas lisensi, kontrak, monopoli, oligopoli, monopsoni dan oligopsoni, ijin impor-ekspor, subsidi dan atau kredit yang hanya bisa didapatkan melalui berbagai kebijakan khusus pemerintah. Privilese kebijakan yang dikeluarkan lembaga keuangan-perbankan pemerintah dan Sekretariat Negara (1980-88/Keppres 10 dan 14A) melalui alokasi kredit, lisensi pengadaan barang dan jasa, serta kontrak jasa konstruksi telah melahirkan para entrepreneur karbitan baru. Sebagai langkah awal, strategi ini ada benarnya, namun tanpa pembinaan dan program lanjutan, upaya ini hanya mencetak entrepreneur pedagang yang kurang inovatif dan mudah jatuh jika terjadi gejolak sosial, politik dan ekonomi. Sampai tahun 2010, setelah 65 tahun merdeka dan jumlah penduduk hampir 250 juta, Indonesia tetap saja belum bisa membuat sendiri mesin pendingin, mesin penggerak, jam tangan, mesin cuci, traktor, sepeda motor, mobil, lokomotif kereta api (pesawat udara merk nasional pernah dibuat namun kesulitan menjual). Dugaan kolusi lisensi industri perakitan otomotif dan kebijakan industri yang salah telah menekan secara sistematis tumbuhnya pengusaha-entrepreneur (industrialist) sepeda motor dan mobil nasional. Strategi dan kebijakan ekonomi-keuangan nasional yang salah secara 4

sistemik dalam industrialisasi-perdagangangan telah memandulkan lahirnya para pemimpin entrepreneur bidang industri. Pada kasus lain Jakob Oetama berpendapat bahwa hal ini dapat dimengerti mengingat kolonialisme Belanda bersifat merchant capitalism. Kolonialisme Inggris bersifat industrial capitalism sehingga tidak mengherankan bila industri di India, jajahan Inggris jauh lebih maju dibanding Indonesia, jajahan Belanda (Oetama, 2009) Kontrak proyek-pengadaan dari BUMN seperti Pertamina, PLN, Krakatau Steel, BULOG, PERUMNAS, PTPN dan pemerintah (BAPPENAS-Departemen) kepada para pengusaha juga telah mendorong lahirnya pengusaha pelat merah. (lihat juga Robinson, R. dan David Goodman, 1996). Kontrak pengadaan, ijin penebangan hutan, ijin penambangan, penangkapan ikan, lisensi lahan dan air dari dan untuk perusahaan asing telah menghasilkan pengusaha nasional-patungan (jointventure) baru yang seringkali rentan pada perubahan dan selalu ikut mendukung kemapanan. Akhirnya, simbiose mutualisme latent antara para pengusaha asing dan mitra lokalnya (para comprador) sering membuat pemerintah pusat-daerah dan rakyat yang berada di pusaran lingkungan perusahaan itu menjadi kurang berdaya. Kasus pembalakan hutan, penambangan pasir, timah, besi, nikel, batubara, perak, emas, tembaga, minyak dan gas oleh perusahaan asing dengan mitra lokalnya belum bisa menumbuhkan enterpreneur baru yang dengan cepat menggantikan pihak asing. Waralaba industri makanan asing, lisensi usaha pengecer dan jasa perdagangan asing (speed-shop, super dan hyper-maket) serta lisensi jasa antaran (courrier) barang asing telah menyebabkan persaingan tidak sehat dengan pengusaha nasional sejenis. Lisensi waralaba industri jasa pengecer ini telah sampai ke pelosok kecamatan dan banyak mematikan warung-pasar tradisional. Selain itu kebijakan perdagangan yang tidak cerdas menyebabkan hampir semua barang dan jasa asing masuk ke pasar Indonesia dengan mudah. Sementara itu barang dan jasa Indonesia justru seringkali kalah bersaing di dalam dan di luar negeri. Undang undang dan peraturan yang diterbitkan untuk mendukung kebijakan pro asing yang menyuburkan praktik-praktik nekolim (neokolonialisme-neoimperialisme) di bumi Indonesia makin sulit dicegah. Secara paralel dan saling melengkapi, akibat konkrit dari kondisi demikian adalah munculnya pemerintahan yang terlibat Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam menentukan kebijakan (dalam bentuk UU, PP, Kepmen) sehingga persaingan ekonomi menjadi tidak sehat dan tidak adil lagi. Dengan demikian, yang muncul ke permukaan adalah para entrepreneur dekat kekuasan dan mudah memperoleh rentefasilitas. Bukan entrepreneur jenis ini yang sebenarnya kita harapkan tumbuh supaya bisa terus menopang, mendorong dan menghela perekonomian nasional Indonesia. Akhirnya, ketika terjadi perubahan kekuasaan dan goncangan yang lebih dahsyat, maka entrepreneur yang bergantung pada kekuasaan (crony entrepreneur) tersebut ikut collaps dan tertatih-tatih bangkit kembali. Tidak mudah menganalisis mengapa crony entrepreneur begitu cepat dan mudah tumbuh sementara entrepreneur yang sejati justru tidak dapat berkembang ? Mengapa pada masa lalu, justru konglomerat besar-berkolaborasi dengan asing dipacu tumbuh bukan pengusaha kecil-menengah atau BUMN yang dibesarkan (seperti halnya di negara Malaysia, Thailand, Singapura, Taiwan, Korea-Selatan, RRC, India, Jepang, Jerman, Brazil dan Amerika Serikat)? Seberapa jauh kebijakan nasional yang dijalankan pemegang kekuasaan berperanan? Bagaimana interaksi antara pemegang kekuasaan (eksekutif) dengan legislatif, yudikatif dan para pelaku pasar ? Apa pengaruh dunia dan lembaga internasional (World Bank, IMF, FAO, WHO, IFC, ILO, 5

lembaga bantuan/donor asing dan perusahaan multinasonal) pada perlambatan pembentukan entrepreneur kita? Sekali lagi, tampaknya tidak mudah membuat jawaban tentatif atas berbagai pertanyaan-hipotesa di atas. Namun karena begitu kuatnya pemerintah pada masa lalu dan begitu lamanya pemerintah Orde Baru berkuasa, jika masalah itu disederhanakan ada beberapa pemikiran sebagai bahan diskusi lebih lanjut. Sekurang-kurangnya ada tiga hal pokok mengapa crony entrepreneur berkembang (dikembangkan?) sangat cepat pada masa lalu, sementara itu entrepreneur yang sesungguhnya kita harapkan tidak atau kesulitan tumbuh. Pertama, Sejak Orde Baru (1970) pemerintahan saat itu sangat sentralistis, makin lama makin kuat dan dalam banya hal makin otoriter sampai kejatuhannya tahun 1997. Pada masa itu demokrasi yang tumbuh adalah demokrasi semu. Rule of Law yang diharapkan tumbuh bersama dengan tumbuhnya demokrasi tidak terjadi, sebaliknya sentralisasai kekuasaan pada penguasa dijadikan pusat kendali utama. Sehingga penguasa juga sering dijadikan pintu masuk utama bagi orang-orang untuk mulai berusaha dan berbisnis terutama bisnis yang berkaitan dengan pemerintah (saat itu usaha/bisnis yang baik dan menguntungkan adalah bisnis yang dekat kekuasaan). Lisensi berbisnis menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha, kekuasaan dan pemegang kekuasaan. Selanjutnya bisnis berbekal lisensi pemerintah itu sering jadi modal utama untuk bisa mengembangkan perusahaan. Makin besar dan luas jangkauan bisnisnya makin besar pula jenis kekuasaan yang dibutuhkan untuk mendirikan, memelihara, menopang dan mengembangkan bisnis tersebut. Tidak peduli apakah bisnisnya ada di Jakarta atau di Irian Jaya. Makin besar lingkup bisnisnya (dalam ukuran modal, tenaga kerja, biaya investasi dan perputaran uangnya), maka campur tangan pemegang kekuasaan di pemerintahan menjadi makin penting. Secara berkelakar ekonom negara tetangga meyebutkan sebagai sistem franchise kekuasaan-bisnis yang diberikan presiden, kepada para menteri, gubernur hingga bupati dan camat serta jajaran birokrasi pemerintah yang terkait di seluruh Indonesia. Ungkapan lama warisan kolonial Belanda ieder regent heeft zijn Chinees, tiap bupati punya cukongnya sendiri, (chinees = cukong bukan etnis tertentu tapi bandar atau pengusaha) masih sulit dihilangkan dalam praktik sehari hari pemerintahan khususnya pada akhir pemerintahan Orde Lama dan akhir masa pemerintahan Orde Baru. Mungkin juga saat ini masih terjadi. Kondisi seperti ini tidak bisa lain yang tumbuh cepat adalah enterpreneur pelat merah atau crony entrepreneur (entrepreneurperkoncoan). Konco-konco (pertemanan) dekat dengan kekuasaanlah yang bisa tumbuh menjadi entrepreneur jadi-jadian. Kedua, proses penyeragaman yang mematikan kreativitas (kreativitas akan muncul dari keragaman). Program penyeragaman secara nasional di masa lalu sangat marak, misalnya program kuningisasi oleh salah satu partai politik, yang merambah kemana-mana. Penyeragaman tidak hanya sebatas aktivitas kepartaian, tetapi sampai ke aktivitas ekonomi, sosial dan kemasyarakata lainnya. Penyeragaman pencetakan sawah, pemberantasan hama sampai penggunaan benih tanaman (lamtoro gung). Penyeragaman juga melanda di sektor pendidikan kita. Tidak hanya buku, seragam sekolah dan jenis sepatu yang ditentukan dari pusat, Jakarta. Kurikulum nasional (KURNAS) masa lalu yang dibuat di Jakarta sering mengabaikan pengetahuan lokal yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh murid-murid di daerah. Sadar atau tidak penyeragaman juga merambah pada pola makan penduduk daerah tertentu. Orang Papua yang biasa makan ubi jadi pemakan nasi. Penduduk Madura dan Indonesia Timur yang biasa makan jagung dan sagu jadi pemakan nasi 6

juga. Penduduk, pegawai, mahasiswa, anak-anak sekolah yang mau berbuat baik juga diseragamkan melalui penataran yang diselenggarakan secara nasional. Program Penataran P4 Departemen Penerangan, Pendidikan, Agama dan Departemen Sosial seringkali menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam upaya menyeragamkan perilaku penduduk Indonesia. Upaya ini dalam banyak hal ada manfatnya namun propaganda berlebihan telah menghasilkan masyarakat yang apatis dan kreativitasnya rendah. Sentralisasi kekuasaan telah melahirkan pemerintah yang makin otoriter, serba mengatur dan mengendalikan rakyatnya dalam berbagai hal. Pemerintah menutup jalan bagi perbedaan pendapat. Dalam suasana seperti ini yang muncul adalah generasi bebek yang penurut, penakut dan ABS (asal bapak senang) bukan generasi elang sang pelopor. Generasi ini akan ikut kemana saja si gembala membawanya. Praktek penyeragaman yang kurang tepat telah memangkas kreativitas padahal kreativitas adalah unsur penting untuk menumbuhkan inovasi. Inovasi adalah modal utama entrepreneur. Kreativitas dan keberanian adalah jiwa entrepreneur sejati. Tanpa kreativitas tidak akan tumbuh entreprenur seperti yang kita harapkan. Dalam kondisi tekanan penyeragaman seperti itu hanya orang orang super hebat yang bisa muncul sebagai entrepreneur dan jumlahnya sangat terbatas. Para pemikir sosial, ekonomi, manajemen dan bisnis seperti Dahrendorf, Barro, Galbraith, Friedman, dan Drucker mengajukan argumen yang kuat tentang hubungan antara kemerdekaan dan pembangunan. Suatu studi belum lama berselang dari United Nations Development Programme (UNDP) memperlihatkan korelasi tinggi antara kebebasan manusia dan keberhasilan pembangunan di negara negara berperingkat tinggi. Kebebasan yang bertanggung jawab berpotensi melepaskan tenaga kreatif dari belenggu supaya menghasilkan tingkat pendapatan serta kemajuan yang lebih tinggi. Pada masa lalu, orde baru dan reformasi memang muncul para entreprenur yang kreatif. Nama nama seperti: Ny. Meneer, Jaya Suprana, Irwan Hidayat pelopor industri jamu, Wonowidjojo, Hartono dan Sampurna sebagai pelopor industri rokok telah menjadi legenda entrepreneur sukses. Selanjutnya ada sederetan nama lain seperti William Katuari pelopor industri sabun, deterjen dan pangan, Alim Markus industri peralatan rumah tangga, Sosrodjojo pelopor teh botol dan Tirto Utomo bisnis AMDK (air minum dalam kemasan) dan pendiri Aqua, Ibu Mooryati Sudibyo, Ibu Martha Tilaar dan Ibu Is Tranggono perintis industri kosmetika, BM Diah, Mochtar Lubis dan Jakob Oetama pelopor industri media, Raam Punjabi tokoh bisnis filmsinetron dan Sukyatno (Es Teler 77) perintis industri franchise asli di Indonesia. Demikian pula seperti TD Pardede, Ie Seng Hwa dan Marimutu Sinivasan pelopor industri dan mesin tekstil, Soedarpo pelopor industri pelayaran, M. Gobel pelopor industri elektronika, Julius Tahija dan Mohtar Riyadi perintis perbankan modern dan industri keuangan, Hasyim Ning pelopor industri otomotif. Entrepreneur nasional Sudono Salim, Ahmad Bakri, William Surjadjaya, Eka Tjipta Wijaya dan Keluarga Haji Kalla sebagai pelopor bisnis komoditas pertanian. Indonesia juga masih punya`Siswono Yudho Husodo pelopor industri konstruksi (jalan tol), Ir.Ciputra dan Endang Widjaya pelopor bisnis perumahan dan properti, Hashim Djojohadikusumo pelopor bisnis imbal beli dan perdagangan internasional. Nama nama lain yang bisa disebut, Bob Sadino (Kem Chik), Dick Gelael (Gelael) dan Mohamad Saleh Kurnia (Hero/Giant) perintis pasar swalayan, Sahid Sukamdani dan Pontjo Sutowo perintis industri perhotelan, Arifin Panigoro pelopor industri migas, Prajogo Pangestu dan Mohammad (Bob) Hasan pelopor industri kehutanan, Sukanto Tanoto perintis industri pulp dan kertas. Chairul Tanjung dan 7

Sandiaga Uno generasi muda (dengan caranya sendiri) jadi pelopor bisnis investasi. Sederetan nama itu dan masih banyak yang lain ada bukan karena sistem yang dirancang untuk melahirkan mereka tapi karena kehebatan pribadi dan lingkungan terdekatnya. Seharusnya by design mereka ditumbuhkan melalui strategi dan kebijakan ekonomi nasional seperti yang dibuat negara lain. Pemerintah harus bisa merancang dan merekayasa agar lebih banyak lahir entrepreneur nasionalis melalui sistem pembangunan ekonominya. Ketiga, pada masa lalu peran pemerintah sangat kuat dan dominan sehingga sering mengambil pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan oleh masyarakat. Hal ini tak terhindarkan karena masa itu pemerintah merasa kaya sehingga pemerintah sering mengambil peran bisnis masyarakat. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan masyarakat ternyata juga dilakukan pemerintah. Mengelola hotel-wisata, pasar swalayan, menebang kayu, menangkap ikan, memelihara sapi, membuat kertas, dan kain, menanam, menggiling padi dan berdagang beras juga pernah dilakukan oleh pemerintah, sehingga tidak banyak tersisa untuk dikerjakan masyarakatnya sendiri. Dominasi kuat pemerintah langsung maupun tak langsung ikut memicu lambatnya pertumbuhan entrepreneur di Indonesia. Masyarakat menjadi kurang berdaya, tergantung pada pemerintah dan entrepreneur jadi sulit lahir. Ketiga hal itu menyebabkan pertumbuhan dan pengembangan entrepreneur menjadi lambat dan cenderung stagnant karena sulit keluar dari kungkungan sentralisasi kekuasaan, penyeragaman pemikiran dan dominasi pemerintah yang kurang tepat. Pada masa lalu tidak mudah menemukan entrepreneur yang berani keluar dari mekanisme itu, karena kompetisi yang berbasis pada mekanisme pasar justru membuat tidak berkembang atau bahkan mematikan entrepreneur itu sendiri. Ibarat David (calon entrepreneur sering harus berjuang sendiri) melawan Goliath (pengusaha dukungan pemerintah). Sementara itu entrepreneur yang muncul tanpa bantuan pemerintah sering dicurigai bahkan ada semacam kecurigaan tentang adanya keinginan penguasa masa lalu (oknum pemerintah) ikut mematikan entrepreneur yang membangkang, yang notabene adalah calon entrepreneur generasi baru. Itulah antara lain yang menyebabkan tumbuh suburnya entrepreneur palsu yang dekat dan berbaik dengan kekuasaan pemerintah. Di negara negara maju enterpreneur jenis ini juga ada namun jumlahnya terbatas, tidak mendominasi dan tidak mengganggu pertumbuhan alamiah enterpreneur baru. Selain ketiga hal di atas masalah ketidakpastian hukum dan aturan yang ada, keamanan berusaha, hambatan berusaha (mulai masalah perijinan hingga masalah kredit usaha kecil-menengah) dan tidak adanya program yang jelas, menjadi kesulitan lain tumbuhnya entrepreneur tangguh, kuat, baik dan banyak di Indonesia selama ini. Dengan demikian, kondisi pada masa lalu, memang tidak kondusif bagi tumbuhnya entrepreneur sejati. Pada masa datang perlu pengkajian ulang terhadap entrepreneur yang ada dan baik untuk bersama-sama menumbuhkan entrepreneur baru agar dapat jadi pelaku dalam pemulihan krisis sekaligus memakmurkan bangsa. Oleh karena itu jika ingin mengembangkan entrepreneur generasi baru harus ada perubahan kebijakan. Perubahan itu terutama untuk menjawab tantangan sebagai akibat arus globalisasi yang telah deras menerpa segi-segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan itu harus mampu melahirkan lebih banyak pemimpin enterpreneur swasta (pemimpin perseroan terbatas dan koperasi) dan pemerintah (entrepreneur pemimpin BUMN, Persero dan PERUM) yang antara lain: 8

(1)

Mampu berperan dalam membawa Indonesia baru yang sedang memperkuat fondasinya melalui peran pemimpin entrepreneur yang lebih interdependen dan profesional agar bisa bersaing dan menang dalam kompetisi global. Mampu memanfaatkan kekayaan nasional dan meningkatkan nilai tambahnya melalui proses rekayasa. Melalui pemanfaatan kekayaan air, tanah, modal manusia, sosial dan uang agar para entrepreneur itu dapat ikut memecahkan masalah makro dan mikro ekonomi Indonesia. Mampu menjadi pemrakarsa berbagai proses efisiensi dan efektivitas melalui kegiatan bisnis sesuai aturan-etika bisnis terutama pada seluruh stakeholdermitra strategisnya. Mampu menciptakan lapangan kerja yang bisa memberi upah dan imbalan layak (bukan UMR) agar para pekerja bisa jadi asset perusahaan dan asset nasional yang berpengetahuan serta berketrampilan tinggi. Mampu menciptakan perusahaan kelas dunia yang bisa membawa nama besar Indonesia dan di manapun perusahaan berada (di dalam atau di luar Indonesia) tetap bisa membayarkan cukai, pajak dan royalty-nya untuk kepentingan peningkatan pendapatan dan GNP Indonesia.

(2)

(3)

(4)

(5)

Kelima perubahan peran dan upaya penciptaan entrepreneur generasi baru merupakan perombakan kreatif (creative destruction) dan prasyarat membangun ekonomi nasional karena peran pemerintah makin lama makin berkurang khususnya peran bisnisnya. Peran pemerintah dalam berbisnis kelak dilakukan melalui BUMN: perseroan, PERUM dan koperasi. Peran untuk beberapa unit bisnis yang sangat strategis seperti bisnis lahan dan air (land and water authority), keuangan dan perbankan, pertambangan, pangan nasional, pelabuhan, telekomunikasi, energi, militer dan pertahanan serta transportasi massal, jalan dan pasar distribusi barang strategis. Pemerintah menjadi pelaksana public services institution (melaksanakan pelayanan, pengaturan dan pengawasan publik) kepada pelaku ekonomi, sehingga pemerintah dapat berlaku adil karena ada pemisahan yang tegas antar pelaku ekonomi dengan pengawas serta pengaturnya. Dengan demikian pimpinan pemerintahan harus makin memahami, makin menjiwai dan menghargai entrepreneurship supaya dapat mengembangkan entrepreneur nasional. Demikian pula setiap aparat pemerintah dari eselon terendah hingga tertinggi harus memahami aspirasi serta perilaku entrepreneur Indonesia, memahami pengetahuan mereka, sikap mereka dan keterampilan mereka dalam berbisnis. Pemimpin Entrepreneur Membangun Perekonomian Secara harfiah, entrepreneur merupakan individu yang memiliki pengendalian tertentu terhadap alat produksi dan menghasilkan lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsinya atau dijual atau ditukarkan agar memperoleh pendapatan. Istilah entrepreneur diungkapkan pertama kali oleh seorang ekonom Irlandia, keturunan Perancis (R. Cantillon, 1697-1734). Menurut rumusan awal Cantillon tersebut, entrepreneur adalah ahlinya mengambil risiko dalam menghasilkan kombinasi baru berbagai produk atau proses atau dalam mengantisipasi pasar atau mengkreasikan tipe organisasi baru. 9

Oleh karena itu, seorang entrepreneur adalah pemimpin suatu industri baru yang bisa menghasilkan perubahan struktural, pertumbuhan ekonomi dan siklus bisnis dengan cara mengkombinasikan ide-ide ekonomi dan psikologi. Bahkan lebih jauh, terkait dengan pembangunan ekonomi, para entrepreneur mampu mengendalikan revolusi dan mentransformasi serta memperbaharui perekonomian dunia. Hal ini karena entrepreneurship merupakan esensi usaha bebas dari kelahiran bisnis baru yang memberikan vitalitas bagi ekonomi global. Istilah entrepreneur bukanlah suatu yang baru dalam pembangunan ekonomi. Istilah entrepreneurship telah digunakan setidaknya 150 tahun yang lalu dan konsepnya telah ada 200 tahun (Bygrave, 1998). Pengusaha-industrialis bisa disebut sebagai entrepreneur yang dalam bahasa Prancis berarti melaksanakan tugas. Sejak tahun 1979, penelitian tentang penciptaan pekerjaan telah membuat para entrepreneur menjadi pahlawan. Entrepreneur disebut sebagai pencipta kekayaan melalui inovasi. Entrepreneur sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta memberikan mekanisme pembagian kekayaan yang bergantung pada inovasi, kerja keras, kejujuran, keuletan, kesabaran, kepintaran, kecermatan, ketelitan, ketabahan dan pengambilan resiko untuk menghasilkan barang dan jasa. Jadi, dengan kata lain, entrepreneur itu memberikan alternatif bagi tumbuhnya ekonomi sekaligus redistribusi kekayaan yang wajar dan adil. Proses ini hanya dapat terlaksana pada pemerintahan yang bervisi, baik dan bersih (visionary, good and clean governance). Melalui pemerintahan yang baik, bersih dan bervisi untuk mengembangkan entrepreneur nasional maka akan tercipta mekanisme pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Para pembuat kebijakan tidak bisa lagi bekerja dengan cara tradisional. Mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi melalui strategi-kebijakan yang hanya menghasilkan jasa dan barang tanpa memikirkan akibat samping yang buruk (peningkatan utang, kesenjangan sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kemerosotan kapasitas nasional) akan menimbulkan malapetaka di kemudian hari. Pembuat/perancang kebijakan harus bisa berpikir out of the box dan berani bertindak di luar kebiasaan (unusual) tapi tidak melanggar hukum dan aturan universal. Pembuat dan perancang strategi ekonomi pemerintah harus bisa membuat semacam terobosan untuk selalu mencari jalan berkembangnya para enterpreneur nasionalnya. Usaha para pembuat kebijakan ekonomi secara tradisional adalah menambah jumlah barang dan jasa yang dihasilkan bangsa-bangsa mereka. Namun, pemikiran ini dapat berarti bahwa banyak para pembuat kebijakan mengabaikan faktor-faktor kritis bagi kesehatan jangka panjang perekonomian nasional mereka. Tidak selamanya penambahan produksi barang dan jasa secara otomastis akan meningkatkan tambahan kekayaan bagi bangsa dan rakyatnya. Ada empat faktor yang dinilai sebagai kekayaan bangsa (diadopsi dari Kotler, Jatusripitak dan Maesincee, 1997): Modal alami - nilai dari letak geografis, tanah, air, flora, fauna, keragaman hayati, bahan-bahan mineral dan sumberdaya alam lainnya. 2. Modal fisik - nilai dari mesin-mesin, jalan, jembatan, waduk, pabrik, bangunanbangunan, dan pekerjaan-pekerjaan umum. 3. Modal manusia - nilai produktif warga negara, tenaga kerja dan masyarakat. 4. Modal sosial - nilai keluarga, komunitas, masyarakat dan organisasi.1.

Perekonomian yang baik, sasaran utamanya adalah meningkatkan jumlah GNP (bukan hanya GDP) dengan menstimulasi pertumbuhan ekonomi sehingga 10

orang miskin dikurangi dan standar hidup secara materi dan nirmateri diperbaiki. Strategi pertumbuhan ekonomi dengan land asan luas dan kokoh hendaknya memusatkan diri pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan kelompok miskin "sasaran", segmen mayoritas penduduk. Bersamaan dengan mengejar pertumbuhan tinggi dan berkualitas, pemerintah harus memperbaiki daya saing internasionalnya. Bagi negara berpenduduk miskin (pendapatan kurang 2 US$/hari/orang) maka perhatian pada lapangan kerja, kecukupan pangan, pela yanan kesehatan, pendidikan dasar, menengah, kejuruan dan kualitas pendidikan tinggi menjadi sangat esensial. Hal ini menyangkut perkuatan akses mereka ke dan dari pasar global, aliran modal serta pengalihan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) seefektif dan seefisien mungkin. Terlepas dari jumlah dan cara mencapai pertumbuhan, tujuan mengejar GNP tinggi sering menjadi suatu keprihatinan karena akibat sampingannya berupa kesenjangan, kerusakan lingkungan dan bertambahnya utang pemerintah. Ada dua tujuan pertumbuhan yang berkualitas: (1) bagi perorangan, tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup, pendapatan, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, lebih banyak kesempatan kerja, dan lebih banyak perhatian pada nilainilai kebudayaan; (2) untuk masyarakat keseluruhan, tujuannya adalah kepaduan sosial, keadilan, lingkungan yang baik, keamanan dan kedamaian (diadopsi dari Kotler, Jatusripitak dan Maesincee, 1997). Nikels, Mchugh dan Mchugh (2005) menyatakan peran lima faktor produksi dalam meningkatkan kesejahteraan yaitu: Pertama, tanah untuk pertanian, rumah, dan bangunan; sumberdaya alam besi, baja, emas, batu bara, minyak, nikel, timah untuk produk manufaktur. Kedua, pekerja, penting untuk menghasilkan barang dan jasa, meskipun sekarang banyak tergantikan teknologi. Ketiga, modal uang, mesin,alat, bangunan dan lainnya. Keempat, entrepreneurship. Semua sumber daya di dunia ini belum bernilai tambah tinggi jika tidak ada entrepreneur yang mau mengambil risiko bisnis untuk memanfaatkan sumberdaya itu. Kelima, pengetahuan, informasi dan teknologi yang telah mengubah bisnis sehingga keputusan lebih cepat, tepat serta respon terhadap permintaan juga bisa lebih tinggi dan lebih bernilai tambah. Kelima faktor produksi itu akan muncul dalam bentuk jasa dan barang yang bernilai tambah tinggi jika dirancang dengan baik. Proses produksi itu bisa jadi barang dan jasa yang bernilai tambah tinggi jika dan hanya jika pemerintah mampu menciptakan iklim yang baik supaya tumbuh entrepreneur nya. Membangun Entrepreneur Global Entrepreneurship Monitor (GEM) -Program penelitian kewirausahaanyang meneliti entrepreneurship di sejumlah negara, melaporkan tentang total aktivitas entrepreneurship (Total Entrepreneuria Activity/TEA) beberapa negara. Pendekatan GEM adalah hipotesis hubungan antara aktivitas entrepreneurship dan jumlah entrepreneur dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa 11

permintaan digambarkan oleh kesempatan entrepreneur, sedangkan penawaran digambarkan oleh kapasitas entrepreneur. Semuanya dipengaruhi faktor demografi, pendidikan, infrastruktur ekonomi dan kebudayaan. Pada akhirnya, kuantitas dan kualitas entrepreneur akan berpengaruh pada tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi suatu negara.PERTUMBUHAN EKONOMI

TINGKAT AKTIVITAS ENTREPRENEURIAL

KESEMPATAN ENTREPRENEURIAL

KAPASITAS ENTREPRENEURIAL

DEMOGRAFI

PENDIDIKAN

INFRASTRUKTUR EKONOMI

KEBUDYAAAN

Gambar: Pendekatan GEM untuk mengukur aktivitas Entrepreneurship Sumber : Diadaptasi dari Global Entrepreneurship Monitor (2001) Executive Report, GEM Project, Babson College/London Businness School, Boston, USA dalam Burns (2007).

Makin banyak jumlah entrepreneurnya maka sumbangan pada nilai tambah sumberdaya (alam-manusia) dan pertumbuhan ekonominya juga makin besar. Jika entrepreneur itu berkualitas (turn over, revenue atau sales nya tinggi, labanya besar dan pajak yang dibayarkan makin banyak), maka peran mereka terhadap pertumbuhan ekonomi juga besar. Jika entrepreneur itu memiliki karyawan yang banyak dapat dipastikan bahwa karyawan dan anggota keluarganya juga mendapat manfaat atas keberadaan perusahaan tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana peran Ray Croc, entrepreneur Amerika Serikat pengembang McDonald, perusahaan hamburger yang memiliki outlet di seluruh dunia dan sales nya setiap tahun lebih dari 20 milyar US $ (seperlima APBN Indonesia). Di Amerika Serikat masih ada Sam Walton (Wall Mart, menurut Fortune, 2010, pendapatannya 408 milyar US $), Henry Ford (Ford Motor, pendapatannya,118 milyar US $) Rockefeller, Bill Gates, Steve Jobb dan masih banyak lagi. Jepang memiliki Akio Morita (SONY) dan Honda, Taiwan punya Stanshih (ACER), India memiliki Mittal, Tata, dan ribuan enterpreneur kelas dunia demikian pula RRC, Malaysia, Singapura dan semua negara maju dan kaya selalu memiliki enterpreneur kelas dunia . Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan enterpreneur terbanyak masih terus mendidik warganya. Penelitian di AS menunjukkan bahwa 23 persen kegagalan bisnis baru akibat pelakunya kurang pengetahuan entrepreneur-nya. Manajemen buruk, kurang pengalaman, sistem keuangan jelek juga sering menjadi kegagalan umum entrepreneur

mengembangkan bisnisnya. Namun, entrepreneur yang memiliki komitmen dan bertanggung jawab, kreatif, berenergi tinggi, memiliki motivasi yang kuat serta mau belajar dari kegagalan dan tidak mudah menyerah merupakan ciri dari entrepreneur masa depan yang berhasil. Kalau dalam sebuah kelompok, masyarakat dan negara ada banyak entrepreneur yang memiliki ciri demikian pasti negara itu akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas. Pemerintah sebenarnya telah menyadari nilai dari mencipta dan mendorong entrepreneurship agar tumbuh usaha skala kecil-menengah (UKM) yang bisa jadi basis industri infant dan pendukung kelompok industri besar nasional. Entrepreneur mucul karena lingkungan-budaya dan kebijakan pemerintah. Lingkungan-budaya tertentu yang menyumbang lahirnya dan keberhasilan entrepreneur sering bersifat alamiah (keluarga pengusaha memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mulai 12

usaha sendiri daripada mereka yang berasal dari keluarga pegawai berpenghasilan tetap). Kebijakan pemerintah dapat memainkan peran vital karena dua alasan. Pertama, aspek di luar genetic dari entrepreneurship seperti pengetahuan dan keterampilan manajemen bisa dipelajari atau diperbaiki; Kedua, entrepreneurship supaya bisa dikuasai entrepreneur bergantung pada sumber daya pelengkap lainnya dalam perekonomian mulai dukungan modal sampai infrastruktur, semua itu menjadi domain pemerintah [diadopsi dari Tyson, Petrin, dan Rogers (1992) dalam Kotler, Jatusripitak dan Maesincee (1997)]. Dengan demikian, pengembangan entrepreneur dan entrepreneurship tidak dapat dilepaskan dalam peran politik dan keinginan suatu pemerintah dalam memilih strategi perekonomian nasionalnya. Bahkan, sangat erat dengan strategi perekonomian internasional dan global. Perkembangan dan perubahan yang terjadi baik dalam skala nasional, internasional maupun global menyebabkan entrepreneur juga harus selalu cepat menanggapinya. Sehingga, ke depan perlu mengembangkan proses baru dalam entrepreneurship. Proses baru itu mencakup antara lain, hal-hal kongkrit yang mampu membangkitkan banyak ide bisnis, mencari berbagai alternatif pembiayaan awal, mengembangkan jaringan antar bisnis serta selalu mengulang untuk memperbarui bisnis agar selalu inovatif dan unggul di antara para pesaingnya. Orang yang ingin mengembangkan bisnisnya selain perlu memahami aspek entrepreneurship juga harus mampu mengadopsi segala hal yang diperlukan untuk menjadi entrepreneur yang tangguh. Kesalahan entrepreneur Asia pada umumnya hanya mampu memenangkan transaksi sesaat, tanpa diikuti kemampuan mencipta halhal inovatif yang menyebabkan usahanya langgeng. Selain itu pola kapitalisme perkoncoan (crony-capitalism) juga sangat menghambat pertumbuhan entrepreneur yang tangguh. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kapitalisme perkoncoan sangat menggangu pembangunan ekonomi nasional. Pemerintahan yang memiliki visi dan misi yang baik akan menciptakan kemajuan ekonomi nasionalnya melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi. Salah satu cara paling efektif dan efisien adalah membangun ekonomi rakyat melalui penciptaan entrepreneur yang banyak, kuat dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Enterpreneur pada sektor apa yang paling cocok saat ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ? menopang beban jumlah penduduk yang besar dan mampu memakmurkan rakyat Indonesia segera ?.

Modal Manusia Indonesia: Entrepreneur Agribisnis Salah satu kelemahan pembangunan adalah tidak dikembangkannya para entrepreneur yang baik (pencipta pekerjaan dan pembayar pajak yang taat), kuat dan banyak jumlahnya. Hernando de Soto (2001) dalam Mistery of Capital menyebutkan berulangkali pentingnya pengembangan dan peran entrepreneur domestik di dunia ketiga dalam proses pembentukan dan akumulasi modal nasional. Pemerintah berperan besar dalam proses ini karena pembinaan, pelayanan administrasi, beban biaya dan jangka waktu ijin pembentukan usaha baru ternyata sangat mempengaruhi kelahiran entrepreneur. Beberapa indikator jumlah biaya-beban administratif dalam kegiatan usaha beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut.

13

Tabel: Beban biaya dan administrasi kegiatan usaha di beberapa negaraNegara Jumlah Prosedur Waktu (hari) Fleksibilitas (Semakin kecil index, semakin baik) Pengupahan Pemutusan Kerja 33 5 33 1 33 13 33 20 58 1 39 9 33 25 33 15 17 4 33 32 17 57 33 40 78 30 81 32 65 33 33 32 43 48 58 50 33 45 76 43 33 49 Biaya (% Pendptan perkapita) 0.6 1.2 2 0.2 2.3 10.5 12 27.1 26.4 17.9 14.3 18.3 7.3 6.1 46.8 75.5 29.9 24.4 49.8 14.5 553.8 Total

US Singapura Australia New Zealand Hong Kong Jepang Mongolia Malaysia Papua Nugini Korea China Sri Lanka Thailand Taiwan Pakistan Bangladesh Vietnam Philipina India Indonesia Kamboja

5 7 2 3 5 11 8 8 7 12 12 8 9 8 10 7 11 11 10 11 11

4 8 2 3 11 31 31 31 69 33 46 58 42 48 22 30 63 59 88 168 94

47.6 50.2 52 59.2 77.3 100.5 109 114.1 123.4 127.9 146.3 157.3 166.3 175.1 176.8 177.5 194.9 202.4 225.8 312.5 740.8

Sumber : Doing Business in 2004 (World Bank, the International Finance Corporation, and Oxford University Press), Oktober 2003.

Penggalian potensi aktual modal dalam negeri ini belum bermakna apa-apa, sebelum ada realitasnya. Secara optimis ada strategi untuk mencapai ke arah tersebut yaitu dengan menyadari kelemahan mendasar. Termasuk bagaimana mengembangkan entrepreneur yang efektif dan efisien agar mampu memanfaatkan sumberdaya alam dan sosial untuk membangun Indonesia. Bagaimana mengembangkan strategi yang sekaligus mempertimbangkan kombinasi sumber daya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya sosialnya melalui entrepreneur agribisnis yang sengaja dirancang untuk mempercepat pembangunan. Sehingga ketiganya bisa bersinergi satu dengan yang lainnya sebagai modal pembangunan yang kokoh dan saling menguatkan bukan saling bertentangan dan melemahkan. Karena itu pula Malaysia, dalam rencana pembangunan ekonomi pemerintah menitik beratkan pada pengembangan entrepreneurship dengan pembentukan institusi publik untuk mengembangkan entrepreneur bagi bangsa melayu dan Bumiputera. Malaysia juga menyediakan bantuan bagi non-melayu dan non-Bumiputera. Upaya ini juga termasuk pembentukan Kementrian Pengembangan Entrepreneurship pada tahun 1995 (Omar, 2006). Hal sama dilakukan pemerintah Singapura, Taiwan, Thailand dan negara di dunia ketiga lainnya. Tidak heran ekonomi negara negara itu maju pesat dan berhasil mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi. Negara negara itu juga mampu berdemokrasi dengan baik karena kemajuan ekonomi telah mendorong percepatan pendapatat individu, kecukupan pangan dan gizi, pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan nasional lebih baik sehingga masyarakatnya lebih sejahtera. 14

Entrepreneur agribisnis adalah pencipta kekayaan melalui inovasi berbasis pertanian, perkebunan, peternakan, perhutanan, perikanan, hortikultura dan tanaman pangan (jagung, padi, kedelai, umbi umbian dan kacang kacangan lainnya) serta bisnis yang terkait ke hulu, hilir dan penunjangnya. Mereka adalah pusat pertumbuhan lapangan kerja dan ekonomi. Mereka menghasilkan sistem dan mekanisme pembagian kekayaan yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan pengambilan resiko berbasis kekayaan alam tropis dan sosial Indonesia. Entrepreneur agribisnis menghasilkan barang dan jasa seperti pangan, pakan, energi, serat, obat obatan, agro otomotif dan industri kimia, jasa keuangan, informasi, pergudangan, transportasi, telekomunikasi pendidikan dan konstruksi infrastruktur (jembatan, jalan, dam, irigasi) dalam sistem dan usaha agribisnis. Entrepreneur agribisnis yang kuat perlu dikembangkan dalam jumlah banyak karena beberapa alasan mendasar. Pertama, agribisnis tropis dalam proses produksi, kandungan lokalnya banyak bersumber dari kekayaan domestik. Kedua, tenaga kerja yang dibutuhkan juga banyak dan cocok sesuai dengan berbagai strata jenis usaha. Ketiga, pasar produk barang dan jasa agribisnis akan mudah dipasarkan karena jumlah penduduk Indonesia hampir 250 juta orang. Selain itu penduduk Indonesia banyak menganggur (lebih 10 juta menganggur penuh, 10 juta setengah menggangur dan setiap tahun ada 2,5 juta perlu pekerjaan). Orang miskin dan penganggur selalu perlu pangan dan pekerjaan. Utang pemerintah dan swasta 1600 trilyun. Kerusakan lingkungan (hutan rusak, banjir, pencemaran air dan lahan) terjadi di banyak tempat. Pengembangan entrepreneur agribisnis dalam sistem dan usaha agribisnis yang terarah dan terkendali dapat menghasilkan sandang-pangan-papan, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kerusakan lingkungan dan tidak menimbulkan utang baru yang kurang produktif. Jadi pengembangan entrepreneur agribisnis dalam kuantitas dan kualitas yang memadai bisa menghasilkan distribusi kekayaan yang lebih wajar, lebih adil dan berkesinambungan. Hal ini dapat dilakukan karena peran entrepreneur agribisnis adalah mengawinkan ide-ide kreatif dengan tindakan yang bertujuan dan berstruktur dari dan untuk tujuan bisnis berdasarkan kekayaan lokal nasional. Entrepreneur agibrisnis yang berhasil dapat diukur dari kemampuannya dalam proses kreativ untuk menghasilkan inovasi berupa barang dan jasa bernilai tambah yang dapat dijual dan menerobos pasar (lokal, regional dan internasional) dengan keuntungan yang memadai. Melalui pengembangan koperasi, pembinaan organisasi petani dan integrasi dalam sistem dan usaha agribisnis yang dipimpin para enterpreneur serta diatur oleh pemerintah yang cerdas akan terjadi mekanisme pengembangan usaha yang luar biasa. Indonesia sebenarnya memiliki benih-benih entrepreneur pertanian yang tangguh. Sukarno (1964) sudah lama (sejak 1920-an) mengidentifikasi kemampuan dan kemandirian petani dan nelayan kecil Indonesia. Dalam suatu kesempatan, saat membolos kuliah, Sukarno (1964), bertemu dengan petani kecil mandiri yang hanya memiliki bajak, cangkul, sekop dan 0,3 ha sawah sebagai alat produksi dan pondok kecil sebagai rumah tinggal (tempat bernaung) dan ketika ditanya namanya, tanpa ragu dia sebutkan namanya Marhaen. Pada kesempatan lain Sukarno (1964: 85) menyatakan lebih rinci :Mereka tidak terikat pada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak-kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan yang bekerja sendiri dengan alat-alat: seperti tongkat-kail. Tongkat-kail dan perahukepunyaan sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya

15

dan pemakai tunggal dari hasilnya. Orang-orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat khas tersendiri. Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnya?

Orang-orang itulah sesungguhnya benih entrepreneur dalam sistem dan usaha agribisnis. Entrepreneur, terutama bidang pertanian kecil dan menengah, peranannya besar sekali dalam pembentukan dan akumulasi modal pembangunan Indonesia. Petani gurem, nelayan kecil, peternak desa, pedagang pasar, pedagang kaki lima, pemilik warung kecil atau penggilingan gabah tingkat desa sebenarnya berpotensi menghasilkan tambahan modal bagi pemerintah daerah dan pusat (negara) apabila aparat birokrasi (pimpinannya) jeli serta pintar memanfaatkannya. Sementara bagi aparat pemerintah yang kurang inovatif, tidak kreatif dan malas berpikir, mereka itu sumber masalah. Pedagang kaki lima lebih sering digusur atau dijadikan sumber tambahan pendapatan pribadi. Hernando de Soto (2001) menyebut mereka bukan masalah pembangunan. Para entrepreneur itu solusi pembangunan. Dalam jangka menengah dan panjang mereka akan membentuk critical mass, kelas menengah yang bisa menjadi dan dijadikan pilar demokrasi sosial-politik-ekonomi nasional. Kemakmuran rakyat dalam satu negara berkorelasi erat dengan jumlah dan kualitas entrepreneur-nya. Makin banyak dan makin kuat entrepreneur-nya (mampu menghasilkan barang dan jasa yang dapat menerobos pasar di luar negerinya) yang dimiliki oleh negara itu maka makin makmur rakyatnya. Dalam konteks itu salah satu tugas penting pemerintah adalah menumbuhkan, membina dan mengembangkan entrepreneur, bagaimana membuat iklim yang baik dan kondusif bagi entrepreneur agar bertambah banyak dan kuat ? Agar mereka dapat menyumbang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta meningkatkan tabungan nasional lebih banyak, lebih merata dan berkesinambungan. Pertanyaan selanjutnya di sektor apa entrepreneur itu dapat tumbuh, berkembang dan relatif mudah serta lebih cepat? Berdasarkan kekuatan dan kelemahan pembangunan di masa lalu, perubahanperubahan lingkungan global serta menyadari tantangan ke depan, visi pembangunan ekonomi melalui enterpreneur nasional adalah (Pambudy, 2001):Terwujudnya perekonomian nasional yang kuat dan sehat, yang mampu berdaya saing, berorientasi kerakyatan, berkelanjutan secara ekonomi-lingkungan-sosial dan lebih terdesentralistis sesuai dengan semangat kebhinekaan dan UU otonomi daerah . Hal itu lebih mudah terwujud jika pemerintah aktif mengembangkan entrepreneur nasionalist yang berkembang dalam sistem dan usaha agribisnis berbasis produk tropika sebagai basis kekuatan ekonomi nasional Indonesia khususnya di pinggir kota dan di pedesaan

Agribisnis mencakup kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan, peternakan, pariwisata (agro dan eco-tourism) yang seluas-luasnya (hulu-on farm-hilir dan jasa-jasa penunjangnya). Dengan demikian pengembangan entrepreneur dalam sistem dan usaha agribisnis dapat diarahkan paling tidak pada lima kelompok besar (subsystem) pengembangan yaitu: 1. Mengembangkan entrepreneur dan perusahaan keluarga/kecil/menengah dan besar dalam lingkup subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni industri yang menghasilkan barang modal bagi pertanian (arti luas) yakni industri perbenihan/pembibitan (genome-DNA) tumbuhan dan hewan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak, ikan, manusia) dan industri agro-otomatif (mesin dan peralatan pertanian) serta industri pendukung lainnya.

16

2. Mengembangkan entrepreneur dan perusahaan keluarga/kecil/menengah dan besar dalam sub-sistem usahatani (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan barang modal dan sumberdaya alam untuk mengasilkan komoditas pertanian primer tanaman pangan, pakan, serat, hortikultura, rempah, herbal, obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan.Sub-Sistem Agribusnis Hulu Industri benih, bibit gen ternak tanaman, ikan Industri kimia, agrochemical Industri agro otomotif,alat dan machinery Bio fertilizer, herbi- pestisida

Sub-Sistem Usahatani Tanaman obat, pangan-rempah dan hortikultur Tanaman serat, perkebunan kehutanan Peternakanperikanan Fungi (jamur) Jasad renik

Sub-Sistem PengolahanIndustri makanan Industri minuman Industri rokok Industri serat alam: tekstil-biokomposit Industri biofarma Industri wisata, estetika-kosmetika Industri vaksin, serum

Sub-Sistem PemasaranDistribusi Promosi Informasi pasar Intelijen pasar Perdagangan Struktur pasar Areal pasar Lelang Pasar berjangka Pasar modal

Sub Sistem Jasa dan Penunjang Keuangan: perkreditan, pembiayaan, permodalan dan asuransi Informasi, komputerisasi dan otomatisasi Penelitian, pengembangan, pendaftaran paten dan merk Pendidikan, pelatihan, extension and community development. Pelabuhan, jalan,transportasi, pengiriman dan pergudangan Konsultasi hukum: keuangan: bisnis, akuisisi, merger, take over, perdagangan, akutansi dan investasi

Gambar: Lingkup Pengembangan Enterpreneur dalam Sistem Agribisnis

3. Mengembangkan entrepreneur dan perusahaan keluarga/kecil/menengah dan besar yang bergerak dalam sub-sistem pengolahan (down-stream agribusiness) yakni industri yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk olahan antara (intermediate product) dan akhir (finish product). Termasuk di dalamnya industri makanan, minuman, pakan, industri dasar bahan serat (karet, plywood, pulp, kertas, kayu, rayon, komposit, benang kapas/sutera, barang kulit), indutri biofarma, agrowisata, estetika dan kosmetika. 4. Mengembangkan entrepreneur dan perusahaan keluarga/kecil/menengah dan besar dalam subsistem jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir. Dalam subsistem ini adalah jasa keuangan, hukum, perkreditan, asuransi, transportasi (darat, laut, udara), pergudangan, pendidikan, penelitian, pelatihan, periklanan dan sistem informasi-komputerasi. 5. Mengembangkan entrepreneur dan perusahaan keluarga/kecil/menengah dan besar dalam sistem yang terintegrasi mulai dari hulu-hilir sampai pemasaran hasil komoditas pertanian, perikanan dan kehutanan (segar maupun olahan). Termasuk didalamnya adalah kegiatan distribusi, perdagangan, promosi, informasi pasar, serta intelijen pasar (market intelligence) agar bisa bertahan di pasar domestik dan bersaing di pasar global. Pengembangan entrepreneur dan bisnis dalam sistem dan usaha agribisnis tropika diharapkan dapat menghasilkan pembentukan modal yang lebih realistis dan 17

berkesinambungan dan masih terjangkau rakyat Indonesia kebanyakan. Ditinjau dari berbagai sisi, kemampuan sumberdaya manusia Indonesia relatif memadai. Tingkat pendidikan dan ketrampilan mereka serta tempat tinggal mereka relative fit dengan kegiatan bisnis di desa (hampir dua juta warga-negara Indonesia menjadi tulangpunggung agribisnis Malaysia). Infrastruktur jalan, jembatan, jaringan listrik dan telekomunikasi relatif memadai. Lahan tropis vulkanik memiliki keunggulan komparatif (lebih subur) dan lebih luas (dari Aceh paling barat hingga Papua paling timur dan dari Pulau Miangas paling utara hingga Pulau Rote paling selatan) dibanding untuk pengembangan bisnis lainnya. Wilayah Indonesia yang berada dalam ring of fire memiliki potensi luarbiasa sumber energi alam panas bumi yang dalam waktu singkat dapat dikonversi menjadi energi pemanas dan listrik hijau (bersih-tak berpolusi). Selain itu pengembangan entrepreneur di sektor agribisnis membuat keterlibatan masyarakat luas sebagai basis pembangunan juga makin nyata karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih banyak di wilayah pinggir kota dan desa. Dalam konteks seperti ini pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya dapat sekaligus terjadi di perkotaan dan di perdesaan.

Strategi Pengembangan Entrepreneur Agribisnis Pembentukan Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Komite Inovasi Nasional (KIN) oleh Presiden Yudhoyono memberi harapan pemulihan dari krisis ekonomi berkepanjangan. KEN yang dipimpin entrepreneur tangguh-kuat, Chairul Tanjung (Kompas,21/06/10) harus bisa merumuskan strategi dan kebijakan ekonomi agar bisa mendorong percepatan lahirnya entrepreneur tangguh, kuat dan banyak dalam waktu singkat. Sementara KIN yang dipimpin technopreneur Zuhal harus bisa merumuskan strategi dan kebijakan yang bisa mendifusikan inovasi agar cepat diadopsi para entrepreneur. KIN dan KEN dalam waktu singkat harus bisa merumuskan strategi dan kebijakan percepatan lahirnya entrepreneur baru berbasis pengetahuan-inovasi. Tujuannya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya nasional Indonesia yang sangat berlimpah tetapi tidak dalam penguasaan entrepreneur nasionalnya. Prasyarat pengembangan entrepreneur adalah tersedianya manusia yang cukup dan cakap sebagai calon entrepreneur. Memperhatikan pengarus utamaan gender maka perlu ada affirmative action untuk mendorong lebih banyak perempuan entrepreneur. Ada tiga prasayarat mengembangkan calon enterpreneur agribisnis. Pertama tercukupinya infrastrukstur sosial (institusi penelitian dan pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang mendorong lahirnya inovasi dan tumbuh berkembangnya entrepreneur). Kedua ada infrastruktur ekonomi (lembaga untuk menangani calon entrepreneur khususnya, keuangan bank dan non bank, koperasi yang sengaja dibuat untuk membina, membiayai, memberi kredit atau penyertaan modal awal-modal/ ventura berbunga rendah, mudah dan terjangkau). Ketiga ada infrastruktur fisik (lahan, jalan, jembatan, pelabuhan, pasar, sarana, ketersediaan energi, telekomunikasi, transportasi, irigasi yang efektif, efisien dan murah supaya bisa memudahkan arus produksi barang-jasa entrepreneur agribisnis). Syarat lain: adanya kepemimpinan melayani dan kuat agar bisa menjalankan pemerintahan dan sistem birokrasi yang, efektif, efisien, bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ketiga prasyarat pengembangan ini dapat dijadikan acuan dasar untuk mempercepat berkembangnya entrepreneur agribisnis. 18

Pengembangan institusi pendidikan untuk mempercepat pengembangan calon entrepreneur agribisnis ini mutlak diperlukan mengingat bahwa nilai tambah hasil agribisnis sangat dipengaruhi oleh ketrampilan mereka. Ketrampilan entrepreneur diperlukan untuk memperoleh dan memilih bahan dasarnya, mengolah, mengemas, dan memasarkan hasil akhirnya. Makin tinggi ketrampilannya (kemampuan fisik, pengetahuan, sikap dan kreatifitas) maka tinggi nilai tambah yang diperoleh. Institusi pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan fisik, pengetahuan, sikap dan mengembangkan kreatifitas sumberdaya manusia pekerja (karyawan, manager, direksi perusahaan) dan sekaligus para calon entrepreneur nya (pemilik usaha). Pendidikan ini dirancang bisa meningkatkan sumberdaya manusia yang belum terampil, menjadi semi terampil dan sangat terampil. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dari berbagai wilayah supaya bisa memanfaatkan sumber alam dan barang modalnya serta pengetahuan dan teknologi mutakhir. Melalui proses pendidikan seperti ini keunggulan komparatif Indonesia bisa menjadi keunggulan kompetetif di dunia (lihat gambar di bawah ini).

Gambar : Tahap penggunaan sumber daya berdasarkan kemampuan manusianya

Sumber daya manusia negara maju sebagian besar berpendidikan menengah dan tinggi karena itu kegiatan ekonominya telah sampai pada tahap pembangunan ekonomi yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (people based atau innovation driven). Di negara maju, barang dan jasa yang dihasilkan entrepreneur nya sebagian besar juga berbasis teknologi tinggi (bioteknologi, neuro sciences, genetic engineering, DNA and genome maping, robotik, mikroelektonik, mikrobiologi, nano teknologi). Pada saat yang bersamaan Indonesia saat ini berada pada tiga tahap perkembangan sekaligus. Piramida demografinya menunjukkan: sebagian besar berketrampilan, berpendidikan dan berpenghasilan rendah (70-75 persen), sebagian tinggi (15-20 persen) dan sebagian kecil sangat tinggi (5-10 persen). Indonesia memiliki: (1) sumber daya alam (natural resources), seperti sumber daya keragaman hayati (biodiversity), lahan dan air, agroklimat, dan yang terkait dengannya; belum terolah dengan baik, (2) sumber daya manusia (human resources), sebagian besar belum berpendidikan menengah dan tinggi, (3) sumber daya/modal sosial (socio capital) seperti kelembagaan lokal, nilai-nilai sosial, etno-technologies/ indegeneous technologies, kearifan lokal (local wisdom). (4) sumberdaya yang dihasilkan dari interaksi ketiga sumberdaya tersebut (man-made resources) seperti barang-barang modal, inovasi-teknologi, manajemen, dan organisasi, sebagian besar masih dalam kelompok rendah-sedang. Harus diakui, bahwa pembangunan ekonomi 19

Indonesia sebagian besar masih mengandalkan kelimpahan sumber daya alam dan SDM belum terampil (natural resources and unskill labor based) atau factor-driven. Pada tahap ini antara lain ditandai oleh peningkatan output agribisnis yang diperoleh dengan memperluas areal usahatani dan mendiversifikasi usaha tani sesuai dengan potensi wilayah. Hasil akhir didominasi oleh komoditas pertanian primer (bahan mentah), sehingga kemampuan penetrasi pasar mahal-rendah, segmen pasar yang dimasuki terbatas dan nilai tambah (pendapatan) yang dinikmati sebagian rakyat masih juga relatif rendah. Pada tahap ini maka nilai tambah secara ekonomis diambil oleh pihak lain (pedagang perantara/eksportir, industrialist dan negara lain yang bisa memanfaatkan barang mentah atau setengah jadi menjadi barang jadi, end product). Jika entrepreneurship diimplementasikan maka terjadi percepatan penguasaan untuk membuat produk bernilai tambah sehingga pembentukan modal dapat makin tinggi. Tahapan kedua digerakkan oleh penggunaan barang-barang modal dan SDM lebih (semi) terampil (capital and semi-skill labor based) atau capital-driven pada setiap subsistem agribisnis. Pada tahap ini antara lain ditandai oleh peningkatan produktivitas dan nilai tambah sebagai sumber pertumbuhan total output agribisnis. Pertumbuhan total output terjadi akibat peningkatan penggunaan barang modal (mesin, peralatan dan bahan pendukung) dan peningkatan mutu sumber daya manusia. Sedangkan dari segi hasil akhir agribisnis, tahap ini dicirikan oleh dominasi produk agribisnis olahan (diversivikasi produk) yang sesuai dengan permintaan pasar. Pada tahap ini penetrasi pasar meningkat, segmen pasar yang dimasuki meluas (pangsa pasar meningkat) dan nilai tambah (pendapatan) yang dinikmati masyarakat meningkat. Pada tahap ini, jika jumlahnya cukup banyak entrepreneur sudah mampu memberikan sumbangan besar dalam pengembangan ekonomi nasional. Dalam tahapan ini pula pikiran Hernando de Soto menjadi sangat aplikatif dan dapat menjadi solusi dalam memecahkan berbagai persoalan ekonomi. Sebagian kecil rakyat Indonesia juga seperti halnya sebagian besar penduduk negara maju, berada pada tahap ketiga yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan SDM terampil (knowledge and skill labor based) atau innovation driven. Pada tahap ini ditandai dengan peningkatan produktivitas dan nilai tambah yang makin besar akibat inovasi-teknologi dan SDM terampil pada seluruh subsiste agribisnis. Sedangkan pada produk akhir agribisnis ditandai oleh peningkatan pangsa produk yang bernilai tambah tinggi (high value), diversifikasi produk sesuai dengan segmen-segmen pasar yang berkembang, sehingga pendapatan yang diterima juga akan semakin meningkat. Tahap innovation-driven ini hampir tidak memiliki batas. Sepanjang inovasiteknologi terus terjadi maka produk-produk baru dan bernilai tambah tinggi akan selalu dihasilkan. Entrepreneur negara maju seringkali mendapatkan manfaat dalam kondisi seperti ini. Sumberdaya manusia yang pada dasarnya sudah terampil, berpengetahuan tinggi dan memiliki jiwa dan semangat entrepreneurship yang tinggi akan mendapat manfaat yang luas dalam situasi seperti ini (tahap innovation driven). Republik Rakyat Cina, Malaysia, Australia, India, Israel, Taiwan, Jepang, Brazil, dan Amerika Serikat adalah beberapa contoh negara-negara yang memiliki SDM seperti ini sehingga pengembangan sistem dan usaha agribisnisnya hampir tak terbatas. Rekayasa keuangan, sosial, ekonomi, hukum, teknologi dan sistem informasi menjadi dasar tahap innovation driven. Melalui rekayasa keuangan dan sistem informasi canggih para entrepreneur negara maju mampu memobilisasi uang dari manapun dan menciptakan pasar global 20

dalam jumlah besar serta waktu yang bersamaan. Melalui rekayasa hukum para entrepreneur negara negara maju sering dengan mudah menguasai kepemilikan asset yang tangible (lahan, bangunan, uang, barang) dan yang intangible (paten, lisensi, hak penguasaan, penjaminan, penjualan, penyewaan, pemakaian dan hak hak lain yang bisa menimbulkan keuntungan luar biasa). Melalui pengembangan teknologi, bioteknologi yang paling canggih para entrepreneur tersebut bisa memanfaatkan teknologi pemetaan gen dan teknologi nano dari sumberdaya di luar batas negaranya. Melalui rekayasa hukum, keuangan, sistem informasi dan teknologi yang juga telah dilakukan negara maju itu seharusnya pemerintah Indonesia mampu melakukan hal yang sama untuk para entrepreneur nasionalnya. Penutup Mempertimbangkan keunggulan komparatif sumberdaya manusia, biodiversity tropis dan sumberdaya sosial saat ini, melalui entrepreneur agribisnis, keunggulan kompetetif lebih mudah dibangun dan lebih berkelanjutan. Pada akhirnya untuk membangun peradaban perlu lebih banyak pemimpin bervisi entrepreneur dan adil (visionary and fair). Pemimpin itu adalah sosok yang lebih mementingkan rakyatnya dari pada dirinya, lingkungan terdekatnya dan atau keluarganya. Pemimpin itu harus jujur, berkharakter kuat, cerdas dan bersih agar menghasilkan pemerintahan yang kuat, cerdas, bersih dan baik pula (strong, smart, clean and good governance). Para pemimpin seperti itu perlu disiapkan sejak dini agar lebih cepat tercipta pemerintahan yang kuat, efektif dan efisien. Kelak pemimpin seperti itu akan bisa menjalankan pemerintahannya dengan baik karena dipercaya dan mendapat legitimasi kuat dari masyarakatnya. Para pemimpin inilah yang kelak bisa menang bersaing dengan pemimpin negara dan bangsa bangsa lain di dunia. Persaingan pada era global adalah persaingan pada semua lini, semua sektor, semua tingkat dan juga semua komoditas. Inti dari persaingan era global adalah persaingan total. Keunggulan komparatif yang berupa sumberdaya alam saja tidak akan pernah bisa memenangkan persaingan yang ketat ini. Dalam persaingan global yang makin ketat yang bersaing adalah sumber daya manusianya, penduduknya, orang orangnya, para entrepreneur nya, para pegawainya dan para pemimpin usahanya. Karena itu pula supaya bisa menang dalam persaingan global maka semua unsur pendukungnya juga harus bekerja efektif dan efisien terutama para aparat birokrasi pemerintahan dan para pemimpin pemerintahannya supaya bisa menghasilkan entrepreneur agribisnis yang banyak dan berkualitas.

Referensi---------. 1998. International Agricultural Development 3rd Ed. (Edited by C.K. Eicher and J.M. Staatz). The Johns Hopkins University Press. London. ---------. 2000. Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis (Edited by C. Manning and P. Van Diermen. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. ---------. 2001. The Role of the World Trade Organization in Global Governance (Edited by G.P. Sampson) United Nations University Press. Tokyo. New York. Paris. 21

---------. 2001. The Entrepreneurship Dynamic: Origins of Entrepreneurship and Evolution of Industries (Edited by: C.B. Schoonhoven and E. Romanelli). Stanford Unversity Press. Stanford. California. ---------. 2001. Indonesia 2001: Kehilangan Pamor. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. ---------. 2004. The Portable MBA in Entrepreneurship (William D. Bygrave Andrew Zacharakis, Editor). John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. ---------. 2006. Trade, Doha, and Development: A Window into the Issues (Edited by R. Newfarmer). The World Bank. Washington D.C. ---------. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban (Editor: Yusuf Sutanto). Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Abdulgani-Knapp, R. 2007. Soeharto: The Life and Legacy of Indonesias Second President. Mashall Cavendish. Singapore. Arkebauer, J. 1995. Golden Entrepreneuring: The Mature Persons Guide to Starting a Successful Business. McGraw-Hill, Inc. NY. Bhalerao, P. et al., 2001. The Entrepreneurial Connection: East Meets West in the Silicon Valley. Tata McGraw-Hill Co. Ltd. New Delhi. Bolton, B and J. Thompson. 2004. Entrepreneurs: Talent, Temperament, Technique. Elsevier Butterworth-Heinemann. Burlington. Boulton, C. And P. Turner. 2005. Mastering Business in Asia : entrepreneurship. John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd. Singapore. Burns, P. 2007. Entrepreneurship and Small Business (2 nd Ed.). Palgrave MacMillan. Hampshire. Casson, M. 2003. The Entrepreneur: An Economic Theory (2 nd Ed.) Edward Elgar. Northampton. Dayao, D.L. 2001. Asian Business Wisdomm: From Deals to Dot.Coms. John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd. Singapore. Dobbins, R., and B.O. Pettman. 1999. The Ultimate Entrepreneurs Book: A StraightTalking Guide to Business Success and Personal Riches. Capstone Publishing Ltd. Oxford. Drucker, P.F. 1985. Innovations and Entrepreneurship: Practice and Principles. Harper & Row Publishers. New York. Drucker, P.F. 2001. The Essential Drucker. HarperCollins Publisher Inc. NY. Harper, D.G. 2002. Investing in Biotech: How to Profit from The Biopharmaceutical Revolution. Raincoast Books. Vancouver. Huntington, S.P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order. Simon & Schuster Paperbacks. NY. Kotler, P., S. Jatusripitak, and S. Maesincee. 1997. The Marketing of the Nations. The Free Press. NY. Kunio, Y. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Lydall, H. 1992. The Entrepreneural factor in Economic Growth. MacMillan Academic and Professional Ltd. London. 22

Madeley, J. 2002. Food for All: The Need for a New Agriculture. Zed Books. London & New York. Meyer, A.d., et all. 2005. Global Future: The Next Challenge for Asian Business. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. Singapore. Mohamad, M. A New Deal for Asia: Peran Baru Asia di Dunia. Handal Niaga Pustaka. Jakarta Mohamad, M. 2007. The Malay Dilemma. Marshall Cavendish. London. Moss, G. 1999. Managing for Tomorrow : A Mentor for New Team Leaders. Times Media Private Ltd. Singapore. Naisbitt. 1996. Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia (Terjemahan dari judul asli: Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends that are Changing the World). Gramedia. Jakarta. Nickels, W.G., J.M. Mchugh, and S.M. McHugh. 2005. Understanding Business (Edition 7). McGraw-Hill Irwin. New York. Norton, G.W., et al., 2006. The Economics of Agricultural Development : World Food Systems and Resource Use. Routledge. New York and London. Oetama, J. 2009. Bersyukur dan Menggugat Diri. Kompas. Jakarta. Ohmae, K. 2005. The Next Global Stage: Challenge and Opportunities in Our Boderless world. Pearson Education, Inc and Wharton School Publishing. New Jersey. Omar, S. 2006. Malay Business: Revivalism Through Entrepreneurship. Pelanduk Publications. Selangor. Oster, M., and M. Hamel. 2003. The Entrepreneurs Creed. Armour Publishing Pte.Ltd. Singapore. Pambudy, R. 2001. Membangun Ekonomi Indonesia Melalui Wirausahawan Generasi Baru dalam Indonesia 2001: Kehilangan Pamor. Kompas. Jakarta Richter, F.J., and Pamela. 2002. Recreating Asia: Visions for A New Century. John wiley & Sons (asia) Pte Ltd. Singapore. Richter, F.J., and Pamela. 2004. Asias New Crisis: Renewal Through Total Ethical Management. John wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. Singapore. Rifkin, J. 1998. The Biotech Century: Harnessing the Gene and Remaking the World. Penguin Putnam Inc. New York. Sachs, J. 2005. The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime. Penguin Books. London. Sen, A. 1999. Beyond The Crisis: Development Strategies in Asia. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. Shahi, G.S. 2004. Biobusiness in Asia : Hoe Asia can Capitalize on The Lifescience Revolution. Pearson Prantice Hall. Singapore. Shefsky, L.E. 1994. Entrepreneurs are Made Not Born: Secret From 200 Successful entrepreneurs. McGraw-Hill Inc. New York.

23

Sim, H.C.M. 2006. Entrepreneurship in Practice: A Practical Guide. Prentice Hall. Singapore. Stiglitz, J.E. 2002. Globalization and Its Discontents. W.W. Norton & Co. New York & London. Stiglitz, J.E. 2003. The Roaring Nineties: A New History of the World,s Prosperous Decade. Norton and Company Inc. NY. Stiglitz, J.E. 2006. Making Globalization Work. W.W. Norton & Co. New York & London. Syet, M., and J. Lammiman. 2002. Creativity. Capstone Publishing. Oxford. The Economist : Pocket World in Figures 2008-10 Edition. Profile Books Ltd. London. Todaro, M.P. and Smith, S.C. 2002. Economic Development in the Third World (8th Ed.). White Plains NY: Longmans.

24