Membaca Ulang Skema Kemitraan Pemerintah - Swasta (KPS) dalam Pembangunan Infrastruktur Pihri Buhaerah Jakarta Institute for Financial Policy (JIFP) Email:[email protected]
Membaca Ulang Skema Kemitraan Pemerintah - Swasta (KPS)
dalam Pembangunan Infrastruktur
Pihri Buhaerah
Jakarta Institute for Financial Policy (JIFP)
Email:[email protected]
Membaca Ulang Skema Kemitraan Pemerintah - Swasta (KPS)
dalam Pembangunan Infrastruktur
Abstract
This paper aims to assess financing on infrastructure development in the light of social welfare.
The assessing is needed to get a full picture of the impact of infrastructure development on
Indonesian social welfare. Some critical issues such as risk transfer, public interest, and lesson
learnt from the UK’s experience are analyzed to assess the potential impact of Public Private
Partnerships (PPP) on social welfare. The method used in this study is a descriptive analysis and
rely on secondary data through the study of literature to the works previously published
research, books, journals, and official statistics from government and international agencies.
Overall, it can be concluded that the policy direction and strategies for improving the
effectiveness and efficiency on financing infrastructure through PPP having a number of serious
problems which could potentially be a time bomb in the future due to lack of balance between
risk management and the public interest, the absence of guiding principles to protect the poor,
and mainstreaming methods VfM as a reference in the budget allocation and infrastructure
decisions.
Keywords: infrastructure, Public Private Partnerships (PPP), risk transfer, public interest,
social and environmental cost
Latar Belakang
Terdapat sebuah kesepakatan umum di kalangan perumus kebijakan yang menekankan urgensi
pembangunan infrastruktur dalam memacu kemakmuran. Menurut mereka, tanpa pembangunan
infrastruktur yang memadai, kemakmuran akan sangat sulit untuk dicapai. Argumen tersebut
juga dipegang kuat oleh para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Sayangnya, sebuah laporan menarik dari International River (2012) yang bertajuk
“Infrastructure for Whom? A Critique of the Infrastructure Strategies of the Group of 20 and the
World Bank” menguraikan bagaimana dokumen resmi perencanaan pembangunan sejauh ini
gagal untuk menjelaskan secara rinci bagaimana keterkaitan antara infrastruktur, pembangunan
ekonomi, dan pengentasan kemiskinan.
Menurut laporan tersebut, dokumen pembangunan sejauh ini gagal menurunkan secara detail
desain dan mekanisme pembangunan infrastruktur seperti apa yang secara meyakinkan bisa
digunakan untuk menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan. Bahkan, dokumen Millenium
Development Goals (MDGs) yang telah disetujui 193 negara dan disokong lebih dari 20
organisasi internasional secara eksplisit tidak pernah menekankan pentingnya peran infrastruktur
dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrim dan memperbaiki tingkat kesejahteraan
masyarakat pada 2015 (International River, 2012). Menariknya lagi, Laporan Infrastruktur G20
(2011) justru menyebutkan skema Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) dalam pembangunan
infrastruktur sebanyak 184 kali, sementara kelompok miskin hanya disebutkan sebanyak 7 kali
(International River, 2012).
Di Indonesia, jika kita tengok ke belakang terutama pada masa Orde Baru, pembangunan
infrastruktur justru h mengabaikan suara masyarakat miskin dan marjinal akan kebutuhan
infrastruktur dasar yang layak. Pembangunan infrastruktur pada masa itu selain menjadi sarana
bancakan bagi pembuat kebijakan dan pengusaha, juga bertransformasi menjadi alat pemiskinan
baru. Pasca lengsernya rezim pembangunan Soeharto, mega proyek pembangunan infrastruktur
kembali diintegrasikan ke dalam suatu rencana induk yang dikenal sebagai Master Plan
Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Namun, di bawah pemerintahan Jokowi-JK, beberapa proyek dalam dokumen tersebut yang tidak
sejalan dengan semangat Nawacita dievaluasi dan direvisi. Meski demikian, sasaran dan tujuan
pembangunan infrastruktur masih tetap sama dengan pemerintahan sebelumnya yakni
menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur adalah dewa penolong untuk
menjaga altar pertumbuhan ekonomi. Terlebih ketika kinerja perekonomian nasional mengalami
pelambatan seperti sekarang ini. Maka, tidaklah mengherankan jika proyek-proyek infrastruktur
sangat diandalkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi domestik.
Tabel 1. Daya Saing Infrastruktur
Kawasan 2008-2009 2014-2015 Keterangan
ASEAN Skor Ranking Skor Ranking Skor Ranking
Filipina 2.9 94 3.7 95 Naik Turun
Indonesia 2.8 96 4.2 72 Naik Naik
Malaysia 5.6 19 5.6 20 Tetap Turun
Thailand 4.8 35 4.1 76 Turun Turun
Singapura 6.7 2 6.3 5 Turun Turun
Vietnam 2.7 97 3.3 112 Naik Turun
BRIICS
Brasil 2.7 98 3.1 120 Naik Turun
Rusia 3.3 78 4.1 74 Naik Naik
India 2.9 90 3.7 90 Naik Tetap
Indonesia 2.8 96 4.2 72 Naik Naik
Cina 3.9 58 4.4 64 Naik Turun
Afrika Selatan 4.5 46 4.5 59 Tetap Turun
Sumber: World Economic Forum (WEF), 2015
Karenanya, tidaklah mengherankan jika komitmen pemerintah Indonesia untuk memperbaiki
daya saing infrastruktur Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu. Seperti ditunjukkan
pada Tabel 1, Indonesia merupakan negara dengan tingkat peningkatan daya saing infrastruktur
yang signifikan di kawasan ASEAN. Nilai daya saing infrastruktur melonjak dari 2,8 pada
periode 2008-2009 menjadi 4,2 pada periode 2014-2015. Alhasil, peringkat daya saing
infrastruktur Indonesia melonjak ke peringkat 72 (periode 2014-2015) dari peringkat 96 (periode
2008-2009). Kendati demikian, peringkat daya saing Indonesia berada di ranking ketiga
dibelakang Singapura dan Malaysia diantara negara-negara ASEAN.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara-negara BRIICS, tren daya saing infrastruktur
Indonesia memiliki kecenderungan yang sama dengan Rusia. Tren daya saing infrastruktur kedua
negara sama-sama menunjukkan peningkatan. Menariknya, peringkat daya saing infrastruktur
Indonesia sedikit lebih baik ketimbang Rusia. Nilai daya saing infrastruktur Indonesia sebesar
4,2 (periode 2014-2015) sementara Rusia sedikit lebih rendah dibawah Indonesia yakni sebesar
4,1. Secara umum, Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Cina dan Afrika Selatan.
diantara negara-negara BRIICS lainnya. Hal ini tidaklah mengherankan karena rasio investasi
infrastrukur Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) jauh lebih rendah dibanding
Cina. Jika Cina memiliki rasio investasi infrastruktur dari PDB yang sudah melampaui 10 persen
sejak tahun 2005, Indonesia hingga saat ini masih tetap berada dibawah 10 persen dari PDB
(Bank Dunia, 2014).
Menurut data dari Kementerian Keuangan, total belanja pemerintah untuk pembangunan
infrastruktur meningkat sebesar sekitar 149 persen, yakni dari Rp 76.3 triliun pada 2009 menjadi
Rp 189,7 triliun pada 2015. Artinya, jika dibandingkan pada 2009, anggaran untuk pembangunan
infrastruktur pada 2015 telah mengalami peningkatan yang sangat tajam. Sementara itu, data dari
Bappenas menunjukkan bahwa total anggaran infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019
mengalami kenaikan sebesar 74,8 persen dibandingkan dengan RPJMN 2010-2014 dimana
Kementerian PU dan Perhubungan mendapatkan peningkatan alokasi anggaran yang sangat
signifikan masing-masing sebesar 64,9 persen dan162,7 persen (lihat tabel 2). Kendati anggaran
infrastruktur telah meningkat secara tajam, masih terdapat kekurangan pembiayaan
pembangunan infrastruktur untuk mencapai target dan sasaran pembangunan infrastruktur dalam
RPJMN 2015-2019.
Diagram 1. Anggaran Infrastruktur 2009-2015 (Triliun Rp)
Sumber: Kementerian Keuangan, 2015
Tabel 2. Perbandingan Anggaran Infrastruktur dalam RPJMN
No Kementerian/ Lembaga RPJMN
2005 -2009
RPJMN
2010 -2014
RPJMN
2015 -2019
(Indikatif)
Kenaikan
2010 - 2019
1 Pekerjaan Umum 123.006,0 398.784,61 657.733,80 64,9%
2 Perhubungan *) 57.123,0 188.046,94 494.045,00 162,7%
3 Perumahan Rakyat 2.585,0 22.622,92 0,00 -100,0%
4 ESDM 27.990,0 83.991,35 97.306,10 15,9%
5 Kominfo 9.529,0 21.795,20 23.696,40 8,7%
6 BPLS 2.294,0 8.054,20 4.523,80 -43,8%
7 Basarnas - 9.116,51 10.339,10 13,4%
8 BPWS - 1568,8 1437,8 -8,4%
9 LPP RRI - 2872,7 1511,7 -47,4%
10 LPP TVRI - 2806,3 2350,6 -16,2%
Total Infrastruktur 221.929,0 739.659,53 1.292.944,30 74,8%
Sumber: Bappenas, 2015
Terkait hal itu, data Bappenas (2015) menunjukkan bahwa besarnya kebutuhan pendanaan
infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 mencapai Rp 5519,4 trilun. Kemampuan Pemerintah
Pusat dan Daerah dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019
kurang lebih hanya 50 persen. Sementara itu, porsi peran BUMN dalam pembiyaan infrastruktur
hanya menyumbang sekitar 19 persen. Artinya, pemerintah belum mampu untuk membiayai
kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional sepenuhnya. Masih terdapat kebutuhan
pendanaan yang cukup besar sekitar Rp 1.692 triliun atau 31 persen dari total kebutuhan
pendanaan infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 (lihat Tabel 2). Karenanya, terdapat peluang
bagi pihak swasta untuk mengisi celah pembiayaan tersebut melalui skema Kemitraan
Pemerintah-Swasta (KPS).
Tabel 3. Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur RPJMN 2015-2019
(dalam Rp triliun)
Sumber: Bappenas, 2015
Skema PPP sejatinya telah dioperasikan di banyak negara baik negara-negara maju maupun
negara-negara berkembang. Bahkan, skema tersebut sangat dianjurkan oleh lembaga
pembangunan internasional seperti IMF, Bank Dunia, Bank Investasi Eropa, dan Bank
Pembangunan Asia ditengah keterbatasan fiskal yang menghimpit negara-negara berkembang
dalam membiayai pembangunan infrastrukturnya. Karena itu, pembangunan infrastruktur dalam
skema Public Private Partneship (PPP/KPS) penting untuk dikaji dan dikritisi dengan
mengaitkannya beban sosial ekonomi yang akan ditanggung masyarakat terutama mereka yang
berpenghasilan rendah.
Sektor APBN APBD BUMN Swasta Total
Jalan 340 200 65 200 805
Kereta Api 150 0 11 122 283
Perhubungan Laut 498 0 238.2 163.8 900
Perhubungan Udara 85 5 50 25 165
Darat (termasuk ASDP) 50 0 10 0 60
Transportasi Perkotaan 90 15 5 5 115
Ketenagalistrikan 100 0 445 435 980
Energi (Migas) 3.6 0 151.5 351.5 506.6
Teknologi Komunikasi & Informatika 12.5 15.3 27 223 277.8
Sumber Daya Air 275.5 68 7 50 400.5
Air Minum dan Limbah 227 198 44 30 499
Perumahan 384 44 12.5 87 527.5
TOTAL INFRASTRUKTUR 2215.6 545.3 1066.2 1692.3 5519.4
PERSENTASE (%) 40.1 9.9 19.3 30.7 100.0
Definisi dan Konsep KPS
Secara umum, KPS bisa didefinisikan sebagai sebuah skema kerjasama yang saling
menguntungkan antara Pemerintah dan Swasta dalam penyediaan infrastruktur dan layanan
publik dengan durasi kontrak berbentuk jangka panjang. Durasi kontrak rata-rata berada pada
kisaran 15-25 tahun. Bentuk kerjasama dalam skema KPS biasanya mencakup pembagian
investasi, risiko, tanggung jawab dan imbal hasil antara pihak pemerintah dan swasta. Skema
tersebut didasari atas pemikiran bahwa sektor pemerintah dan swasta masing-masing memiliki
kelebihan yang bersifat saling melengkapi dalam pelayanan publik.
Broadbent dan Laughlin (2003, dikutip dalam Sawyer 2009) menguraikan bahwa intisari dari
skema KPS terdiri atas tiga elemen. Pertama, secara teknis bangunan tidak dimiliki oleh sektor
publik meskipun aset tetap ditangan Pemerintah. Kedua, desain bangunan dan layanan yang
menyertainya menjadi tanggung jawab penuh pihak swasta. Ketiga, sektor publik dikunci dalam
skema kerjasama yang bersifat jangka panjang melalui kontrak hukum/legal. Pada titik inilah
kepentingan publik rawan dibelokkan oleh sektor swasta karena nilai-nilai dan kepentingannya
yang berbeda dengan Pemerintah dimana kepentingan investor lebih berorientasi pada profit dan
kepentingan para pemegang saham.
Meski demikian, skema KPS tetap menjadi tren dalam mengatasi kendala fiskal terutama dalam
pembangunan infrastruktur skala besar. Pendukung skema ini meyakini bahwa skema KPS dapat
menjadi alternatif sumber pendanaan dan pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur. Karena
Pemerintah dan swasta memiliki karakteristik dan kelebihan yang bersifat saling melengkapi,
maka dengan skema KPS perencanaan dan pemilihan proyek yang tidak baik selama ini bisa
dihindari. Selain itu, manajemn pengelolaan dan pemeliharaan akan lebih efisien dan optimal
karena pihak swasta memiliki kelebihan pada sisi ini sehingga infrastruktur publik yang
dibangun dengan menggunakan skema KPS bisa digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama
(lihat Tabel 3).
Tabel 4. Nilai Manfaat Skema KPS
Sumber : SMI, 2014
Selain itu, identifikasi risiko merupakan tahap yang fundamental yang bisa menentukan berhasil
tidaknya pembangunan infrastruktur melalui skema KPS ini. Terkait hal ini, PT. Sarana Multi
Infrastruktur/SMI (2014) telah mengelompokkan beberapa hal prinsipil dalam pembagian risiko
antara pihak-pihak yang terkait dalam proyek infrastruktur. Menurut PT. SMI, matriks alokasi
risiko dalam skema KPS secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
a) Pemilik modal - menanggung risiko yang terkait dengan keuangan dan kebijakan
b) Penyedia pinjaman - menanggung risiko yang terkait dengan penyediaan pinjaman
c) Pemerintah - menanggung risiko yang terkait dengan kebijakan
d) Kontraktor - menanggung risiko yang terkait dengan kegiatan konstruksi
Tabel 5. Matriks Alokasi Risiko dalam KPS
Sumber: SMI, 2014
Bom Waktu dalam Skema KPS
Arestis dan Sawyer (2012) menyatakan bahwa keistimewaan pembiayaan infrastruktur melalui
skema KPS adalah neraca keuangan pemerintah menjadi tidak terbebani karena biaya tersebut
hanya akan tercatat dalam neraca keuangan perusahaan. Implikasinya, porsi utang sektor publik
terhadap PDB dalam neraca keuangan negara akan terlihat selalu rendah. Disamping itu, pasar
keuangan dan lembaga pemeringkat kredit juga menggunakan porsi utang sektor publik atas
PDB sebagai indikator yang penting dalam pengambilan keputusan. Karena rasio utang sektor
publik atas PDB yang terlihat selalu rendah, maka skema KPS ini lebih disukai, Namun kondisi
tersebut hanya berlaku jika pasar keuangan tidak mengenakan biaya sewa tambahan atau biaya-
biaya lainnya di masa yang akan datang.
Salah satu bentuk KPS yang diadopsi di Inggris dikenal sebagai UK Private Finace Initiative
(UK PFI). Laporan Guardian (2012) menyebutkan bahawa 717 kontrak di Inggris yang
menggunakan skema PFI untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur rumah sakit, sekolah
dan fasilitas publik lainnya secara keseluruhan bernilai £ 54,7 trilliun. Laporan tersebut juga
menyebutksn bahwa biaya total yang harus dibayarkan oleh pemerintah sampai kontrak-kotrak
tersebut selesai sebesar £ 301 triliun. Artinya, biaya yang ditanggung oleh publik kian
membengkak secara signifikan dari waktu ke waktu. Memang biaya sebesar itu tidak akan
tercatat sebagai utang dalam neraca keuangan pemerintah sehingga neraca keuangan pemerintah
tetap terjaga dari kemungkinan defisit. Namun, biaya yang ditanggung oleh publik dalam skema
PFI menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan jika menggunakan skema pembiayaan konvensional.
Berangkat dari pengalaman KPS di Inggris, skema KPS jelas menyimpan sejumlah persoalan
yang bisa menjadi bom waktu ke depannya. Arestis dan Sawyer (2012) mencatat dua titik kritis
dalam skema KPS Pertama, ongkos pembiayaan infrastruktut yang dibiayai oleh pihak swasta
cenderung lebih mahal ketimbang pemerintah lantaran pemerintah bisa meminjam dengan
tingkat bunga yang lebih rendah ketimbang pihak swasta. Alhasil, biaya sewa yang ditanggung
pihak swasta cenderung menjadi lebih tinggi. Kedua, adanya kekakuan jika pembiayaan
infrastruktur dibebankan kepada pihak swasta. Hal ini terkait dengan mahalnya biaya yang akan
ditanggung oleh perusahaan ketika melakukan perubahan setelah fase konstruksi karena
pertimbangan perubahan sosial, demografis, geografis, kemajuan teknologi dan lain-lain.
Hal senada juga dinyatakan dalam makalah Malcolm Sawyer yang bertajuk “Public Private
Partnerships, the Levels of Public Investment and the New Member States”. Sawyer (2009)
mencoba menelaah perbandingan biaya antara skema PPP dengan skema investasi publik
konvensional. Hasil penelitian Sawyer (2009) tersebut menyimpulkan bahwa skema PPP
sejatinya sebuah skema yang relatif mahal dalam melakukan investasi publik ketimbang
investasi publik konvensional karena skema PPP cenderung menciptakan investasi publik
tambahan. Dengan demikian, berangkat dari kedua analisis diatas, skema KPS ini bisa dikatakan
cenderung menyebabkan penetapan harga yang ketinggian, kaku, dan biaya yang akan
ditanggung public kian membubung dari waktu ke waktu.
Prasyarat Bekerjanya Skema KPS
Persoalan utama dalam investasi infrastruktur melalui skema KPS adalah bagaimana mekanisme
distribusi risiko dan tingkat keuntungan (distribution of risk and profitability) antara pemerintah
dengan investor swasta. Karena motivasi investor swasta adalah mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya, maka mekanisme dalam kontrak PPP cenderung menjadi alat untuk
memindahkan risiko dan biaya secara signifikan kepada pemerintah dan konsumen sebagai
pembayar pajak. Dengan demikian, distribusi pembagian antara risiko dan biaya menjadi tidak
seimbang. Karenanya, mekanisme manajemen risiko dan pertimbangan kepentingan publik perlu
diperhatikan secara mendalam dan hati-hati.
Selanjutnya, skema KPS pada tingkat perencanaan dan pelaksanaan seringkali mengabaikan
adanya kebutuhan tata kelola yang demokratis. Hingga saat ini, sebagian besar skema PPP masih
belum dijalankan secara transparan. Akibatnya, pemerintah harus menanggung biaya yang
berlebih sementara investor swasta menikmati laba super (super profit) karena pembagian risiko
yang tidak proporsional antara negara dengan pihak swasta. Studi kelayakan mega proyek
infrastruktur juga seringkali didorong pertimbangan dari aspek keuangan semata dan cenderung
mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan dan kebutuhan
masyarakat lokal.
Abednego dan Ogunlana (2006, dikutip dalam Liitle 2010) mencatat bahwa ketidakmampuan
untuk mengontrol semua aspek risiko dengan tepat merupakan faktor utama penyebab buruknya
kinerja sebuah manajemen proyek. Mereka juga menggarisbawahi bahwa alokasi risiko yang
tepat dapat dicapai hanya jika pengambil keputusan mempertimbangkan jenis risiko (apa) yang
akan dialokasikan, pihak mana yang harus menerima risiko (siapa), kapan harus mengalokasikan
risiko, serta penerapan strategi yang tepat untuk mencegah atau meminimalkan dampaknya
(bagaimana).
Karenanya, kunci utama kesuksesan pembangunan infrastruktur dalam skema KPS adalah
bagaimana menyeimbangkan antara manajemen risiko dengan kepentingan publik. Jika risiko
proyek bisa diidentifikasi secara tepat dengan memasukkan faktor-faktor sosial dan lingkungan
dan direncanakan serta dilaksanakan secara transparan dan demokratis, maka proyek tersebut
kemungkinan besar akan berhasil. Sebaliknya, proyek tersebut akan menemui kegagalan jika
investor hanya sekadar memindahkan risiko ke pemerintah.
Terkait hal itu, Richard G.Little (2010) - Direktur Kinston Institute for Public Finance and
Infrastructure Policy Universitas Southern California - telah menggarisbawahi sejumlah isu
penting yang perlu dipertimbangkan secara serius supaya skema PPP bekerja dengan baik. Isu-
isu penting yang dimaksud Liitle (2010) antara lain:
a) Bagaimana penentuan biaya pemakaian? Siapa yang menentukan biayanya? Bagaimana
peningkatan biaya ditetapkan?
b) Apakah tersedia mekanisme pengembangan kapasitas masyarakat lokal untuk
membangun, melayani, dan memelihara struktur penggunaan dan jaringan distribusi?
c) Apakah ada penunjukan tanggung jawab yang jelas untuk perawatan dan pemeliharan
infrastruktur yang telah dibangun?
d) Apakah proyeksi permintaan untuk layanan infrastruktur sudah akurat?
Karena itu, guna mencegah dan meminimalkan risiko sosial dan lingkungan, dibutuhkan sebuah
prinsip-prinsip panduan (guiding principles) dalam skema PPP. Menurut Little (2010), beberapa
prinsip yang perlu dikembangkan, diadopsi, dan diimplementasikan dalam prinsip-prinsip
panduan untuk PPP adalah sebagai berikut.
a) Partisipasi, oleh semua pihak yang terlibat, perlu diinformasikan dan terorganisir.
b) "Rule of Law" harus ditempatkan secara tepat sehingga kerangka hukum yang adil dan
merata dilaksanakan secara imparsial.
c) Semua keputusan dan pelaksanaannya harus transparan kepada publik dan mematuhi
aturan dan peraturan yang ditetapkan.
d) Informasi harus tersedia secara bebas dan langsung dapat diakses oleh mereka yang akan
terpengaruh oleh keputusan tersebut.
e) Proses harus berorientasi konsensus, responsif terhadap kebutuhan semua pemangku
kepentingan dan adil.
f) Proyek harus efektif dan efisien, menghasilkan output yang memenuhi kebutuhan
masyarakat setempat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
g) Semua peserta proyek harus bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang akan terkena
dampak dari keputusan atau tindakan mereka.
Celakanya, sejumlah proyek-proyek infrastruktur di Indonesia baik melalui skema KPS maupun
non KPS pada umumnya tidak memiliki prinsip-prinsip panduan seperti diatas. Bahkan,
dokumen RPJMN 2015-2019 secara gamblang menempatkan prinsip-prinsip Value for Money
(VfM) sebagai metode analisis dalam keputusan pembiyaan infrastruktur. Dokumen RPJMN
2015-2019 secara jelas menyebutkan bahwa hasil analisis VfM akan digunakan sebagai acuan
alokasi anggaran pembangunan infrastruktur beserta mekanisme pelaksanaan yang mampu
memberikan nilai terbaik dalam keseluruhan siklus hidup proyek (whole project life cycle costs).
Padahal, analisis VfM memiliki sejumlah keterbatasan terutama dalam mengukur risiko sosial
dan lingkungan. Secara umum, metode VfM belum memasukkan tujuan-tujuan sosial dan tujuan
non ekonomis lainnya meski tujuan non ekonomis tersebut merupakan persoalan-persoalan yang
mesti dipecahkan oleh pemerintah. Sebagai gambaran, jika pengurangan biaya (dan skor VfM
yang tinggi) dicapai melalui pengurangan manfaat yang dibayarkan kepada pekerja, pengurangan
subsidi untuk konsumen berpenghasilan rendah, atau penolakan untuk menjangkau komunitas
yang tinggal didaerah terpencil, maka metode ini akan menghasilkan keputusan yang sangat
tidak diinginkan dari perspektif kesejahteraan sosial (Liitle, 2010) .
Dengan demikian, memastikan adanya pelibatan masyarakat secara sunggung-sungguh
(meaningful participation) dalam iklim pembangunan infrastrukutur yang demokratis dengan
disertai prinsip-prinsip panduan yang memberikan jaminan perlindungan untuk masyarakat
marjinal merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa itu, pembangunan infrastruktur tidak akan
menemukan titik keseimbangan antara manajemen risiko dan kepentingan publik. Hal ini penting
mengingat kebijakan pembangunan infrastruktur merupakan keputusan politik. Karena
keputusan politik, maka kepentingan dan kebutuhan masyarakat rentan seringkali tidak
terakomodasi baik dalam proses proses perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan
infrastruktur. Bahkan, beberapa diantaranya terancam tidak bisa diteruskan karena diprotes dan
diboikot oleh warga setempat sehingga risiko kegagalan proyek infrastruktur justu menjadi besar.
Simpulan
Dari keseluruhan uraian di muka, dapat ditarik kesimpulan bahwa arah kebijakan dan strategi
peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pembiayaan infrastruktur menyimpan sejumlah
persoalan serius yang berpotensi menjadi bom waktu di masa yang akan datang dengan melihat
pada sejumlah prasyarat keberhasilan skema KPS. Pertama, tidak adanya keseimbangan antara
manajemen risiko dan kepentingan publik. Akibatnya, skema KPS pada tingkat perencanaan dan
pelaksanaan cenderung mengabaikan adanya kebutuhan tata kelola yang demokratis dan prinsip-
prinsip pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal. Kedua,
tidak adanya prinsip-prinsip panduan yang mengikat yang efektif mengangkat kesejahteraan
masyarakat yang kena dampak dari proyek infrastruktur. Ketiga, pengarusutamaan metode VfM
sebagai acuan dalam pengalokasian anggaran dan keputusan infrastruktur berpotensi
menurunkan kualitas pembangun yang digadang-gadang dalam RPJMN 2015-2019 karena
metode VfM tidak memasukkan tujuan-tujuan sosial dan non ekonomis lainnya ketika
menganalisis pendanaan pembangunan infrastruktur.
Referensi
Arestis, P & Sawyer, M 2012, „The Time Bomb of Public Private Partnerships‟, Triple Crisis,
diakses pada 1 Agustus 2015, http://triplecrisis.com/the-time-bomb-of-public-private-
partnerships/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019, diakses pada 1 Agustus 2015, http://www.
jdih.ristek.go.id/?q=system/files/rencana-kebijakan/127884053403.pdf
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana 2015, Prioritas Pembangunan Infrastruktur 2016, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, diakses pada 1 Agustus 2015,
http://www.pu.go.id/konreg2015/BAHAN%20KONREG%202015/Paparan%20Deputi%20Sarpras%20B
appenas%20-%20Konreg%20PU%202015.pdf
International Rivers 2012, Infrastructure for Whom? A Critique of the Infrastructure Strategies of
the Group of 20 and the World Bank, International River, diakses pada 1 Agustus 2015,
http://www.internationalrivers.org/files/attached-files/infrastructure_for_whom_report.pdf
Kementerian Keuangan 2015, Anggaran Infrastruktur 2010-2015, Kementerian Keuangan,
diakses pada 1 Agustus 2015, http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/apbn/INFRASTRUKTUR1.pdf
Little, RG 2010, „Beyond Privatization‟, dalam Ascher, W & Krupp, C (Ed), Physical
Infrastructure Development: Balancing the Growth, Equity, and Environmental Imperatives,
New York: Palcrave Macmillan.
PT. Sarana Multi Infrastruktur 2014, Panduan Penyelenggaraan Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS) dalam Penyediaan Infrastruktur, PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI), diakses pada 1
Agustus 2015, http://www.ptsmi.co.id/media/files/pdf/Panduan_KPS_PJPK.pdf
Sawyer, M 2009, Public Private Partnerships, the Levels of Public Investment and the New
Member States, Working Paper No. 2009-32, Milan European Economy Workshops June 11th
-
12th
November 2009, diakses pada 1 Agustus 2015,
http://wp.demm.unimi.it/tl_files/wp/2009/DEMM-2009_032wp.pdf
The Guardian 2012, „PFI will ultimately cost £300bn‟, Thursday 5 July 2012, diakses pada 1
Agustus 2015, http://www.theguardian.com/politics/2012/jul/05/pfi-cost-
300bn?INTCMP=SRCH
World Economic Forum 2009, Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic
Forum, diakses pada 1 Agustus 2015, http://www.weforum.org/reports
World Economic Forum 2015, Global Competitiveness Report 2014-2015, World Economic
Forum, diakses pada 1 Agustus 2015, http://www.weforum.org/reports
Lampiran
Daftar Proyek Infrastruktur dengan Skema KPS
Jenis KPS Nama Proyek
KPS Siap Ditawarkan 1. Kereta Api Barang dan Penumpang Bandara Internasional Soekarno Halta-Halim
2. Light Rail Transit (LRT) Bandung, Jawa Barat
3. Kereta Api Barang dan Penumpang Tanjung Enim-Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan
4. Air Minum Kota Semarang Barat
5. Air Minum Pondok Gede, Bekasi
6. Air Minum Kota Pekanbaru, Riau
KPS Prospektif 1. Terminal Terpadu (Kereta Api) Gedebage, Bandung
2- Pembangunan Monorel Sumatera Selatan
3. Jalan Tol Manado - Bitung
4. JalanTol Akses Tanjung Priok
5. Jalan Tol Balikpapan - Samarinda
6. Jalan Tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan
7. Jalan Tol Pandaan - Malang
KPS Potensial 1. Pembangunan Pelabuhan Internasional Maloy, Kalimantan Timur
2. Pengembangan Pelabuhan Kabil (Terminal Tanjung Sauh), Batam, Kepulauan Riau
3. Pembangunan Pelabuhan Hub Internasional Kuala Tanjung, Sumatera Utara
4. Pembangunan Pelabuhan Hub Internasional Bitung, Sulawesi Utara
5. Pembangunan Pelabuhan Makasar New Port, Sulawesi Selatan
6. Pembangunan Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
7. Pembangunan Pelabuhan Garongkong, Sulawesi Selatan
8. Pembangunan Bandar Udara Bali Baru
9. Pembangunan Bandar Udara Internasional Kulon Progo, DI Yogyakarta
10. Pengembangan Bandar Udara Mutiara, Sulawesi Tengah
11. Pengembangan Bandar Udara Komodo, Nusa Tenggara Timur
12. Pengembang an Bandar Udara Radin Inten Il, Lampung
13. Pengembang an Bandar Udara Juwata, Kalimantan Utara
14. Pengembangan Bandar Udara Sentam, Papua
15. Pengembangan Bandar Udara Tjilik Riwut, Kalimantan Tengah
16. Pengembang an Bandar Udara Fatmawati Soekarno, Bengkulu
17. Pengembangan Bandar Udara H.AS. Hananjoeddin, Bangka Belitung
18. Pengembangan Bandar Udara Matahora, Sulawesi Tenggara
19. Pengembangan Bandar Udara Sultan Babullah, Maluku Utara
20. Pembangunan Kereta Api Barang dan Penumpang Batam, Kepulauan Riau
21. Pembangunan Kereta Api Barang dan Penumpang Pulau Baai-Muara Enim, Bengkulu-Sumsel
22. Jalan Tol Batu Ampar-Muka Kuning-Hang Nadim
23. Pengelolaan Air Limbah DKI Jakarta
24. PLTU Tebo 2x200 MW, Jambi
Sumber: Bappenas, 2015
Biodata Singkat
Pihri Buhaerah lahir di Watampone Provinsi Sulawesi Selatan. Pada 1998, Pihri lolos seleksi dan
diterima di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) - Jakarta dan Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran (Unpad) - Bandung. Menyelesaikan studi S1 dalam bidang Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) di Unpad pada 2003. Tahun 2011, Pihri melanjutkan
studi master (S-2) Program Studi International and Development Economics di Australian
National University (ANU) dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship (ADS).
Dalam waktu dua tahun (2011-2012), gelar Diploma dan Master of International and
Development Economics diraihnya. Bekerja sebagai staf peneliti di Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia sejak 2004. Selain menjadi Research Associate di the Indonesian Institute (TII), Pihri
juga aktif menjadi staf pengajar di Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Unpad dan Fakultas
Ekonomi Universitas Persada Indonesia – Yayasan Administrasi Indonesia (UPI YAI).