Top Banner
R EDENOMINASI rupiah tiba-tiba menjadi isu baru. Bank Indonesia (BI) melontarkan wacana itu untuk memperkenalkan ide penyederha- naan sebutan satuan harga atau nilai mata uang rupiah. Nominasi rupiah jika dibandingkan dengan nomi- nasi mata uang lainnya selama ini dinilai sudah terlalu besar. Pecahan terbesar mata uang dolar Amerika Serikat dan dolar beberapa negara lain misalnya hanya $100. Tetapi, pecahan terbesar rupiah su- dah mencapai Rp100.000. Hal itu dipersepsikan tidak praktis dan tidak nyaman karena mengesankan nilai rupiah yang terlalu lemah. Terkait dengan citra mata uang kita terhadap mata uang negara lain, hal itu juga sangat merendahkan. Karena itulah, Gubernur BI Darmin Nasution dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin, menyatakan bila dise- tujui pemerintah dan DPR, BI menawarkan langkah untuk menjalankan redenominasi rupiah itu. Karena prosesnya membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun, BI pun mulai mewacanakan hal itu. “Ini prosesnya akan sangat panjang. Tapi pertumbuhan ekonomi kita sudah baik, inasi masih terkendali, dan beberapa tahun ke depan, ekonomi kita mengarah ke (pertum- buhan) 7% dan inasi mengarah ke 5% plus minus 1 atau kurang,” jelas Darmin. Yang tengah digagas BI adalah menghi- langkan tiga angka nol terakhir pada no- minasi rupiah. Pecahan Rp1.000, misalnya, akan menjadi Rp1. Pecahan Rp100.000 akan menjadi Rp100. Wacana BI itu langsung ditentang pemerintah. Jajaran tim ekonomi kabinet menepis rencana itu. Menkeu Agus Martowardojo tegas menyatakan pemerintah tidak memiliki agenda redenominasi saat ini. Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan redenominasi hanyalah wacana. Wapres Boediono pun menegaskan redenomisasi baru sebatas studi oleh BI. Studi tersebut masih membutuhkan proses panjang dan harus melalui perse- tujuan pemerintah untuk dijalankan. Namun, proses studi itu akan terus dilanjutkan. “Kalau ada hasil denitif, itu akan dibahas dengan pemerintah, dan mendengar wacana publik,” tegas Wapres, kemarin. Pengamat ekonomi Drajad Wibowo menilai re- denominasi bukan sebuah urgensi. Analis pasar uang Krisna Dwi Setiawan mengatakan redenominasi tidak diperlukan. Di sisi lain, anggota Badan Anggaran DPR Bambang Soesatyo menyatakan wacana rede- nominasi rupiah sangat berbahaya karena bisa menim- bulkan kepanikan masyarakat. (Tup/*/Ant/X-9) [email protected] Bank Indonesia menggagas pemberlakuan redenominasi rupiah. Namun, pemerintah menyatakan tidak ada agenda untuk itu. ESKALASI kekerasan terhadap kebebasan beragama begitu nyata melanda negeri kita akhir-akhir ini. Sungguh sebuah ironi, kekerasan atas nama agama terjadi di negara yang meng- anut asas kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Kekerasan terhadap kebebasan beragama itu biasanya ber- wujud penyerangan tempat ibadah, pelarangan beribadah, atau pelarangan mendirikan tempat beribadah. Menurut laporan Setara Institute, kasusnya terus meningkat. Yang pa- ling mutakhir adalah serangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, pada Rabu (28/7), serta bentrokan antara massa ormas dan jemaat yang sedang beribadah di Bekasi, Minggu (1/8). Kekerasan terhadap kebebasan beragama senantiasa berkaitan dengan dua wilayah, yaitu wilayah privat, me- nyangkut hak asasi warga negara dengan keyakinannya; serta wilayah publik, yaitu tegaknya hukum di ruang publik. Dalam wilayah privat, wilayah keyakinan, kita semestinya memandang agama atau keyakinan sebagai hak konstitu- sional warga. Pilihannya hanya satu, yakni menaruh hormat yang tinggi kepada tegaknya hak konstitusional warga ne- gara. Karena menyangkut hak konstitusional warga, negara mutlak hadir untuk menjaminnya. Melakukan tindak kekerasan jelaslah perbuatan mela- wan hukum. Di wilayah ini pun jelas negara harus hadir dan berperan. Negara harus melindungi warga negara pe nganut agama dari ke- kerasan. Negara juga harus menindak para pelaku ke- kerasan. Namun, kekerasan terha- dap kebebasan beragama yang cenderung masif be- lakangan ini membuktikan absennya negara. Negara seperti pura-pura tidak tahu bahwa telah terjadi kekerasan terhadap hak konstitusional warga maupun ke kerasan yang melawan hukum. Bahkan, menurut laporan Setara Institute, negara justru terlibat dalam kekerasan terhadap kebebasan beragama, baik sebagai pelaku aktif (by commission) maupun dengan mela- kukan pembiaran (by omission). Pernyataan yang pertama, bahwa negara justru merupakan pelaku aktif, adalah pernyataan yang sangat mengagetkan dan sekaligus mengerikan. Bukankah negara seharusnya berperan melindungi? Yang paling mencolok tentulah pernyataan kedua bahwa negara telah melakukan pembiaran. Hal itu terang benderang terjadi dalam banyak kasus. Negara seperti lepas tangan, bahkan menjadi penonton. Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus dibi- arkan terjadi bisa memberi legitimasi bahwa melakukannya dibenarkan negara. Ia dikhawatirkan dapat memicu keke- rasan baru yang tiada kunjung putus. Oleh karena itu, kita menuntut kehadiran negara dalam setiap gejala kekerasan yang terjadi di masyarakat untuk memutus produksi keke- rasan. Yang jelas, meningkatnya kasus kekerasan terhadap kebe- basan beragama menunjukkan semakin buruknya toleransi terhadap perbedaan. Ironisnya, itu terjadi ketika negara ini dinobatkan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Ironis, karena negara demokratis itu ternyata negara yang rapuh, yang absen dalam urusan yang menyangkut hak konstitusional warga. Anda ingin menanggapi ”Editorial” ini, silakan kunjungi: mediaindonesia.com EDITORIAL Layanan Berlangganan & Customer Service SMS: 08121128899 T: (021) 5821303 No Bebas Pulsa: 08001990990 e-mail: [email protected] Rp2.900/eks (di luar P. Jawa Rp3.100/eks) Rp67.000/bulan (di luar P.Jawa + ongkos kirim) MEDIAINDONESIA.COM JUJUR BERSUARA RABU, 4 AGUSTUS 2010 | NO.10757 | TAHUN XLI | 32 HALAMAN Safina Akhiri Kekalahan Dinara Safina tampil memukau dengan melibas Bondarenko pada laga pembuka turnamen San Diego Terbuka. Olahraga, Hlm 22 Negara yang Absen Asep Toha PAUSE Dengar Musik dan Belajar EFEKTIFKAH belajar sambil men- dengarkan musik? Sebuah pene- litian baru di Universitas Wales di Cardiff mengungkapkan ritme lagu ternyata bisa memengaruhi kemampuan seseorang mengingat sesuatu. Penelitian itu dilakukan dengan meminta partisipan mengingat delapan huruf konsonan sesuai dengan urutan yang telah diatur di lima ruangan berbeda. Pada ruang- an pertama, tidak ada musik yang dimainkan. Kedua, diperdengarkan musik kesukaan mereka. Ketiga, musik yang mereka tidak suka. Keempat, bunyi-bunyian dengan ritme yang berubah-ubah, dan terakhir ruangan bu- nyi-bunyian dengan ritme yang tetap. Ternyata kemampuan menyusun kembali huruf-huruf tersebut paling rendah ditunjukkan partisipan yang mende- ngarkan musik, baik musik itu mereka sukai atau tidak. Hasil yang sama rendahnya ditunjukkan mereka yang berada di ruangan dengan ritme berubah-ubah. Hasil yang lebih baik muncul dari mereka yang mengingat di ruangan tenang dan di ruangan dengan bebunyian beritme tetap. “Hasil yang lebih buruk dari mereka yang ada di ruang bermusik dan bunyi-bunyian tidak tetap adalah akibat dari variasi akustik. Ini mengurangi kemampuan mengingat se- suatu,” jelas pemimpin penelitian Nick Perham. Perham menganjurkan jika mengerjakan sesuatu yang memerlukan mental, lakukanlah dalam suasana yang hening. (Healthday News/Yahoo/*/X-5) Pemerintah Menentang BI Kirimkan tanggapan Anda atas berita ini melalui mediaindonesia.com atau e-mail [email protected] PARA ilmuwan NASA (Badan Angkasa Luar dan Aeronautika Amerika Serikat) memperingatkan akan terjadi tsunami Ma- tahari yang menghantam Bumi. Tsunami Matahari itu diperkirakan akan melanda Kutub Utara dan Kutub Selatan, kemarin, berupa aurora atau cahaya berwarna-warni seperti pelangi di langit. Namun, hingga berita ini diturunkan belum diketahui dampaknya. Ilmuwan juga mengkhawatirkan tsunami Matahari itu akan merusak satelit-satelit yang berada di sekitar Planet Bumi. Jika hal itu benar-benar terjadi, sistem komunikasi di Bumi akan kacau. Menurut para ilmuwan, seperti dilansir situs www.telegraph.co.uk, tsunami Matahari itu dari ledakan besar di permukaan Ma- tahari. Ledakan yang terjadi pekan lalu itu terekam sejumlah satelit, termasuk stasiun pemantau Matahari milik NASA, Solar Dynamics Observatory. Karena begitu besarnya ledakan terse- but, hal itu tidak bisa ditahan gravitasi Matahari. Energi ledakan itu diperkirakan meluncur dan dampaknya mencapai planet kita. Gelombang energi itulah yang digambarkan seperti sebuah tsunami yang melintasi angkasa dengan jarak 93 juta mil dan bergerak menuju Bumi. “Ledakan itu menuju ke rumah kita (Bumi),” ujar Leon Golub, ilmuwan dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics (CfA). Saat menanggapi hal itu, Kepala Lembaga Pener- bangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Adi Sadewo Salatun mengatakan tsunami Matahari tidak berdam- pak langsung terhadap negara-negara di daerah-daerah tropis atau ekuator seperti Indonesia. Biasanya, jelasnya, yang terkena dampak langsung akibat ledakan Matahari itu ada- lah negara-negara di sekitar kutub seperti Kanada. Dampak itu umumnya berupa gangguan sistem komunikasi. Adi menjelaskan dampak itu bisa terjadi lantaran partikel Matahari dan gelombang elektromagnetik dari tsunami Matahari akan terlebih dahulu melewati kutub medan magnet Bumi, yakni Kutub Utara dan Selatan. “Untungnya, dari pantauan Lapan selama ini, medan magnet Bumi masih bagus. Sebab itu, masyarakat Indonesia tidak usah panik. Ini fenomena rutin se- mata,” kata Adi. Kepala Pusat Pemanfaatan Sains An- tariksa Lapan Sri Kaloka menambahkan, fenomena rutin itu terjadi 11 tahun sekali dan terakhir kali pada Mei 1998. Saat itu, terjadi gangguan komunikasi dari satelit milik Kanada dan AS karena pergeseran satelit akibat partikel Ma- tahari dan gelombang elektromagnetik di luar angkasa yang menuju kutub medan magnet Bumi. “Yang agak riskan jika partikel Matahari dan gelombang elektromagnetik itu masuk ke ionosfer sehingga dapat mengganggu gelombang elektromag- netik yang biasa dipakai untuk televisi.” (Dik/X-5) Tsunami Matahari Siklus 11 Tahunan Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus dibiarkan terjadi bisa memberi legitimasi bahwa melakukannya dibenarkan negara.” AP/NASA EBET AP Foto x-ray matahari yang diambil NASA, Minggu (1/8) dini hari waktu AS.
1

MEDIAINDONESIA .COM JUJUR BERSUARA RABU, 4 … fileR EDENOMINASI rupiah tiba-tiba menjadi isu baru. Bank Indonesia (BI) melontarkan wacana itu untuk memper kenalkan ide penyederha-naan

Apr 03, 2019

Download

Documents

hacong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MEDIAINDONESIA .COM JUJUR BERSUARA RABU, 4 … fileR EDENOMINASI rupiah tiba-tiba menjadi isu baru. Bank Indonesia (BI) melontarkan wacana itu untuk memper kenalkan ide penyederha-naan

REDENOMINASI rupiah tiba-tiba menjadi isu baru. Bank Indonesia (BI) melontarkan wacana itu untuk memper kenalkan ide penyederha-

naan sebutan satuan harga atau nilai mata uang rupiah.

Nominasi rupiah jika dibandingkan dengan nomi-nasi mata uang lainnya selama ini dinilai sudah terlalu besar. Pecahan terbesar mata uang dolar Amerika Serikat dan dolar beberapa negara lain misalnya hanya $100. Tetapi, pecahan terbesar rupiah su-dah mencapai Rp100.000.

Hal itu dipersepsikan tidak praktis dan tidak nyaman karena mengesankan nilai rupiah yang terlalu lemah. Terkait dengan citra mata uang kita terhadap mata uang negara lain, hal itu juga sangat merendahkan.

Karena itulah, Gubernur BI Darmin Nasution dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin, menyatakan bila dise-tujui pemerintah dan DPR, BI menawarkan langkah untuk menjalankan redenominasi rupiah itu. Karena prosesnya membutuhkan waktu setidaknya 10 tahun, BI pun mulai mewacanakan hal itu. “Ini prosesnya akan sangat panjang. Tapi pertumbuhan ekonomi kita sudah baik, infl asi masih terkendali, dan beberapa tahun ke depan, ekonomi kita mengarah ke (pertum-buhan) 7% dan infl asi mengarah ke 5% plus minus 1 atau kurang,” jelas Darmin.

Yang tengah digagas BI adalah menghi-langkan tiga angka nol terakhir pada no-minasi rupiah. Pecahan Rp1.000, misalnya, akan menjadi Rp1. Pecahan Rp100.000 akan menjadi Rp100. Wacana BI itu lang sung ditentang pemerintah. Jajaran tim ekonomi kabinet menepis rencana itu. Menkeu Agus Martowardojo tegas menyatakan pemerintah tidak memiliki agenda redenominasi saat ini. Menko Per ekonomian Hatta Rajasa menyatakan redenominasi hanyalah wacana.

Wapres Boediono pun menegaskan re denomisasi baru sebatas studi oleh BI. Stu di tersebut masih membutuhkan proses panjang dan harus melalui perse-tujuan pemerintah untuk dijalankan. Namun, proses studi itu akan terus dilanjutkan.

“Kalau ada hasil defi nitif, itu akan dibahas dengan pemerintah, dan mendengar wacana publik,” tegas Wapres, kemarin.

Pengamat ekonomi Drajad Wibowo menilai re-denominasi bukan sebuah urgensi. Analis pasar

uang Krisna Dwi Setiawan mengatakan redenominasi tidak diperlukan. Di sisi lain, anggota Badan Anggaran DPR Bambang Soesatyo menyatakan wacana rede-nominasi rupiah sangat berbahaya karena bisa menim-bulkan kepanikan masyarakat. (Tup/*/Ant/X-9)

[email protected]

Bank Indonesia menggagas pemberlakuan redenominasi rupiah. Namun, pemerintah menyatakan tidak ada agenda untuk itu.

ESKALASI kekerasan terhadap kebebasan beragama begitu nyata melanda negeri kita akhir-akhir ini. Sungguh sebuah ironi, kekerasan atas nama agama terjadi di negara yang meng-anut asas kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.

Kekerasan terhadap kebebasan beragama itu biasanya ber-wujud penyerangan tempat ibadah, pelarangan beribadah, atau pelarangan mendirikan tempat beribadah. Menurut laporan Setara Institute, kasusnya terus meningkat. Yang pa-ling mutakhir adalah serangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, pada Rabu (28/7), serta bentrokan antara massa ormas dan jemaat yang sedang beribadah di Bekasi, Minggu (1/8).

Kekerasan terhadap kebebasan beragama senantiasa berkaitan dengan dua wilayah, yaitu wilayah privat, me-nyangkut hak asasi warga negara dengan keyakinannya; serta wilayah publik, yaitu tegaknya hukum di ruang publik.

Dalam wilayah privat, wilayah keyakinan, kita semestinya memandang agama atau keyakinan sebagai hak konstitu-sional warga. Pilihannya hanya satu, yakni menaruh hormat yang tinggi kepada tegaknya hak konstitusional warga ne-gara. Karena menyangkut hak konstitusional warga, negara mutlak hadir untuk menjaminnya.

Melakukan tindak kekerasan jelaslah perbuatan mela-wan hukum. Di wilayah ini pun jelas negara harus hadir dan berperan. Negara harus melindungi warga negara pe nganut agama dari ke-ke rasan. Negara juga harus menindak para pelaku ke-kerasan.

Namun, kekerasan terha-dap kebebasan beragama yang cenderung masif be-lakangan ini membuktikan absennya negara. Negara seperti pura-pura tidak tahu bahwa telah terjadi kekerasan terhadap hak konstitusional warga maupun ke kerasan yang melawan hukum.

Bahkan, menurut laporan Setara Institute, negara justru terlibat dalam kekerasan terhadap kebebasan beragama, baik sebagai pelaku aktif (by commission) maupun dengan mela-kukan pembiaran (by omission).

Pernyataan yang pertama, bahwa negara justru merupakan pelaku aktif, adalah pernyataan yang sangat mengagetkan dan sekaligus mengerikan. Bukankah negara seharusnya berperan melindungi?

Yang paling mencolok tentulah pernyataan kedua bahwa negara telah melakukan pembiaran. Hal itu terang benderang terjadi dalam banyak kasus. Negara seperti lepas tangan, bahkan menjadi penonton.

Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus dibi-arkan terjadi bisa memberi legitimasi bahwa melakukannya dibenarkan negara. Ia dikhawatirkan dapat memicu keke-rasan baru yang tiada kunjung putus. Oleh karena itu, kita menuntut kehadiran negara dalam setiap gejala kekerasan yang terjadi di masyarakat untuk memutus produksi keke-rasan.

Yang jelas, meningkatnya kasus kekerasan terhadap kebe-basan beragama menunjukkan semakin buruknya toleransi terhadap perbedaan. Ironisnya, itu terjadi ketika negara ini dinobatkan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.

Ironis, karena negara demokratis itu ternyata negara yang rapuh, yang absen dalam urusan yang menyangkut hak konstitusional warga.

Anda ingin menanggapi ”Editorial” ini, silakan kunjungi:mediaindonesia.com

EDITORIAL

Layanan Berlangganan & Customer Service

SMS: 08121128899T: (021) 5821303

No Bebas Pulsa: 08001990990 e-mail: [email protected]

Rp2.900/eks(di luar P. Jawa Rp3.100/eks)

Rp67.000/bulan(di luar P.Jawa + ongkos kirim)

M E D I A I N D O N E S I A . C O M JUJUR BERSUARA RABU, 4 AGUSTUS 2010 | NO.10757 | TAHUN XLI | 32 HALAMAN

Safina Akhiri Kekalahan Dinara Safina tampil memukau dengan melibas Bondarenko pada laga pembuka turnamen San Diego Terbuka. Olahraga, Hlm 22

Negara yang Absen

Asep Toha

PAUSE

Dengar Musik dan BelajarEFEKTIFKAH belajar sambil men-dengarkan musik? Sebuah pene-litian baru di Universitas Wales di Cardiff mengungkapkan ritme lagu ternyata bisa memengaruhi kemampuan seseorang mengingat sesuatu.

Penelitian itu dilakukan dengan meminta partisipan mengingat delapan huruf konsonan sesuai dengan urutan yang telah diatur di lima ruangan berbeda. Pada ruang-an pertama, tidak ada musik yang dimainkan. Kedua, diperdengarkan musik kesukaan mereka. Ketiga,

musik yang mereka tidak suka. Keempat, bunyi-bunyian dengan ritme yang berubah-ubah, dan terakhir ruangan bu-nyi-bunyian dengan ritme yang tetap.

Ternyata kemampuan menyusun kembali huruf-huruf ter sebut paling rendah ditunjukkan partisipan yang mende-ngarkan musik, baik musik itu mereka sukai atau tidak. Hasil yang sama rendahnya ditunjukkan mereka yang berada di ruangan dengan ritme berubah-ubah. Hasil yang lebih baik muncul dari mereka yang mengingat di ruangan tenang dan di ruangan dengan bebunyian beritme tetap.

“Hasil yang lebih buruk dari mereka yang ada di ruang ber musik dan bunyi-bunyian tidak tetap adalah akibat dari variasi akustik. Ini mengurangi kemampuan mengingat se-suatu,” jelas pemimpin penelitian Nick Perham.

Perham menganjurkan jika mengerjakan sesuatu yang memerlukan mental, lakukanlah dalam suasana yang hening. (Healthday News/Yahoo/*/X-5)

Pemerintah Menentang BI

Kirimkan tanggapan Anda atas berita ini melalui mediaindonesia.com

atau e-mail [email protected]

PARA ilmuwan NASA (Badan Angkasa Luar dan Aeronautika Amerika Serikat) memperingatkan akan terjadi tsunami Ma-tahari yang menghantam Bumi. Tsunami Matahari itu diperkirakan akan melanda Kutub Utara dan Kutub Selatan, kemarin, berupa aurora atau cahaya berwarna-warni seperti pelangi di langit. Namun, hingga berita ini diturunkan belum diketahui dampaknya.

Ilmuwan juga mengkhawatirkan tsunami Matahari itu akan merusak satelit-satelit yang berada di sekitar Planet Bumi. Jika hal itu benar-benar terjadi, sistem komunikasi di Bumi akan kacau.

Menurut para ilmuwan, seperti dilansir situs www.telegraph.co.uk, tsunami Matahari itu dari ledakan besar di permukaan Ma-tahari. Ledakan yang terjadi pekan lalu itu terekam sejumlah satelit, termasuk stasiun pemantau Matahari milik NASA, Solar Dynamics Observatory.

Karena begitu besarnya ledakan terse-but, hal itu tidak bisa ditahan gravitasi Matahari. Energi ledakan itu diperkirakan meluncur dan dampaknya mencapai planet kita. Gelombang energi itulah yang digambarkan seperti sebuah tsunami yang melintasi angkasa dengan jarak 93 juta mil dan bergerak menuju Bumi.

“Ledakan itu menuju ke rumah kita (Bu mi),” ujar Leon Golub, ilmuwan dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophy sics (CfA).

Saat menanggapi hal itu, Kepala Lembaga Pener-bangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Adi Sadewo Salatun mengatakan tsunami Matahari tidak berdam-

pak langsung terhadap negara-negara di daerah-daerah tropis atau ekuator seperti Indonesia.

Biasanya, jelasnya, yang terkena dampak langsung akibat ledakan Matahari itu ada-lah negara-negara di sekitar kutub seperti Kanada. Dampak itu umumnya berupa gangguan sistem komunikasi.

Adi menjelaskan dampak itu bisa terjadi lantaran partikel Matahari dan gelombang elektromagnetik dari tsunami Matahari akan terlebih dahulu melewati kutub medan magnet Bumi, yakni Kutub Utara dan Selatan.

“Untungnya, dari pantauan Lapan selama ini, medan magnet Bumi masih bagus. Sebab itu, masyarakat Indonesia tidak usah panik. Ini fenomena rutin se-mata,” kata Adi.

Kepala Pusat Pemanfaatan Sains An-tariksa Lapan Sri Kaloka menambahkan, fenomena rutin itu terjadi 11 tahun sekali dan terakhir kali pada Mei 1998.

Saat itu, terjadi gangguan komunikasi dari satelit milik Kanada dan AS karena pergeseran satelit akibat partikel Ma-tahari dan gelombang elektromagnetik di luar angkasa yang menuju kutub medan magnet Bumi.

“Yang agak riskan jika partikel Matahari dan gelombang elektromagnetik itu masuk ke ionosfer sehingga dapat mengganggu gelombang elektromag-netik yang biasa dipakai untuk televisi.” (Dik/X-5)

Tsunami Matahari Siklus 11 Tahunan

Kekerasan terhadap kebebasan beragama yang terus dibiarkan terjadi bisa memberi legitimasi bahwa melakukannya dibenarkan negara.”

AP/NASA

EBET

AP

Foto x-ray matahari yang diambil NASA, Minggu (1/8) dini hari waktu AS.