Top Banner
10 | Art & Culture MINGGU, 19 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA MI / RAMDANI KOMPOSISI BARANG BEKAS: Karya Instalasi berjudul Koma yang di pamerkan di TIM, Jakarta, Jumat. FESTIVAL TEATER JAKARTA 2010: Penampilan Teater Lorong dalam lakon Siapa Yang Menyebabkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (17/12). FOTO-FOTO: MI/PANCA SYURKANI oleh sang maa untuk merebut putri sang ibu. Akhirnya, sang ibu nekat melukai calon besan dan menantu yang tak ia ke- hendaki itu. Dalam situasi demikian, Bon- cel menempati posisi sebagai saksi. Entah karena merasa kepepet, sang ibu pembunuh mafia tadi berkehendak ber- konspirasi untuk menghilang- kan jejak pembunuhan. Pesan Moral lewat Sampah Pameran ini menyampaikan pesan, kondisi sosial budaya politik dan lingkungan kita dalam keadaan koma. David Tobing B ENDA-BENDA yang menghadirkan imaji robot, tank, heli tem- pur tampak tertata di sekeliling pohon beringin yang berada di depan Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Bila menelisik lebih dekat, nyata- lah bahwa benda-benda yang menghadirkan imaji robot, tank, heli tempur itu meru- pakan hasil komposisi dari barang-barang bekas. Barang bekas dimaksud, antara lain tutup botol minum- an kemasan, botol minuman kemasan, jeriken, botol ke- masan oli, pemukul nyamuk elektrik, hingga penutup kipas angin. Pernik benda yang lazim kita sebut sampah mendadak mengalami perubahan men- dasar. Dari sisi bentuk, adanya kontrol komposisi menghasil- kan wajah baru bagi sampah- sampah tersebut. Dari sisi mak- na, sampah tersebut tampil se- bagai sesuatu yang membawa makna lebih selain kreativitas pengarya. “Ini adalah karya komunitas. Semua dari sampah,” tegas Baja Panggabean yang mewakili Komunitas Atap Alis, di Jakarta, kemarin. Komunitas Atap Alis turut serta dalam ajang Breakin’ The Wall yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mulai 8 hingga 18 Desember di Plaza Gedung Teater Jakarta. Pada ajang tersebut, Komunitas Atap Alis menghadirkan seni instalasi mereka yang bertajuk Koma. “Melalui seni instalasi ini, kami mau menyampaikan pesan kondisi sosial budaya politik dan lingkungan kita dalam keadaan koma,” ungkap Baja. Memang, seni instalasi Koma yang didominasi warna merah sebagai latar utama seakan-akan membawa imaji- nasi orang yang melihat karya tersebut pada imaji bencana dan perang. Peletakan beragam robot, tank, dan heli tempur yang acak seakan-akan menggambarkan dunia yang selalu berada da- lam keadaan perang. Hal itu semakin diperkuat bila kita menyadari materi karya, yaitu benda daur ulang alias sampah. “Melalui karya ini kami mau menggugah sensitivitas kita atas sekeliling kita,” imbuh Koko yang aktif dalam Komu- nitas Atap Alis. Kurator pameran Breakin’ The Wall Bambang Widjarnako mengungkapkan bahwa pam- eran Breaking’ The Wall adalah pameran yang berangkat dari pengamatan dirinya sendiri atas fenomena street art atau seni jalanan yang marak di Kota Jakarta, juga Bandung. Komunitas Atap Alis merupa- kan salah satu komunitas seni jalanan yang eksis di Jakarta. “Di satu sisi, Breakin’ The Wall mengacu pada seni jalanan yang biasanya menggunakan medium tembok. Di sisi lain, Breakin’ The Wall mengacu pada wacana peleburan atau pen- cairan batas,” tegas Bambang. Hasil karya seni jalanan garapan Eko Nugroho yang menghiasi lobi Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia, menandakan transformasi seni jalanan dari sekadar seni yang nangkring di jalanan menjadi seni yang bisa tampil di ruang elite kesenian. Seni jalanan Ajang pameran Breakin’ The Wall menghadirkan enam ko- munitas seni jalanan, antara lain Xserut dengan karya Negeri Ilusi bergenre 3D-illusion paint- BONCEL pemulung mencari emak. Ia berkeliling kota, tetapi tak bertemu. Dalam pencarian itu, Boncel yang berkarakter lugu nan naif bertemu dengan seorang ibu yang berupaya melindungi anak perempuan- nya dari lamaran seorang putra maa. Cerita bergulir, sang ibu me- nolak pinangan sang maa. Pe- nolakan ini berbuah pemaksaan Ternyata keluguan Boncel memandunya untuk emoh menerima ajakan itu. Dan ke- jujuran sebagaimana penge- tahuan yang diberikan oleh emaknya menjadi pijakan Bon- cel menetapkan sikap. Pada titik klimaks, cerita men- dadak memunculkan tegangan yang asing. Sang mafia dan anaknya ternyata bangkit kem- bali. Uniknya, pada momen ‘kehidupan kedua’ itu, situasi konflik di antara para tokoh masih saja tetap. Boncel masih tetap mencari emak, sang maa dan anaknya masih tetap merasa diri sebagai orang yang berkuasa, sang ibu dan putrinya masih saja dalam kelompok yang kalah. Pementasan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (17/12), itu me- rupakan penampilan salah satu peserta Festival Teater Jakarta (FTJ) ke-38 yang digelar Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok Teater Lorong tampil malam itu membawakan lakon berta- Membaca Aku, Membaca Laku ing, Amel n Friend dengan karya Bam Bam Go bergenre ballon sculpture, juga Popo dan Kampung Segart dengan karya Fun bergenre grati. Ketua Harian DKJ Firman Ichsan menyatakan bahwa pa- meran Breakin’ The Wall meru- pakan bagian dari program DKJ yang bertajuk Mencairkan Ba- tas, Mengelola Keberagaman. “Mencairnya batas-batas dalam seni merupakan persoalan klasik. Mengelola keberagaman inilah yang penting. Karena melalui pengelolaan keber- agaman muncul apresiasi atas keberagaman. Apresiasi atas keberagaman berarti melihat keberagaman itu bukan sebagai suatu ancaman. Inilah tantan- gannya,” tegas Firman. Tampaknya, gagasan subtil yang diusung DKJ bergema nyata dalam kegiatan Breakin’ The Wall. Pameran yang diikuti enam komunitas seni jalanan ini menghadirkan semangat ekspresi yang berbeda, juga tema yang berbeda, tapi mereka dapat berbagi tempat di ruang publik yang sama, yaitu Plaza Gedung Teater Jakarta. (M-5) miweekend@ mediaindonesia.com juk Siapa Yang Menyebabkan? karya Djaelani Manock yang juga menjadi sutradara pe- mentasan. Naskah dan pementasan Siapa Yang Menyebabkan ber- upaya memanggungkan rea- litas kehidupan sehari-hari. Tampaknya naskah memang didedikasikan bagi pertunjuk- kan teater bergenre realis yang lebih mengutamakan arus kri- tik dan reeksi pada kesadaran penonton. Namun, pada tingkat ekse- kusi panggung, kesan surealis- lah yang menonjol. Belantara kota berubah menjadi puluhan kain putih yang menjuntai dari atas panggung teater menuju lantai. Penataan yang acak me- nimbulkan kesan bahwa idiom belantara kota yang biasanya ditampilkan lewat siluet ba- ngunan kota juga deru-deru kendaraan bermotor tidak tampak. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Madin Tyasa mengungkapkan bahwa FTJ merupakan wahana un- tuk meningkatkan kualitas kelompok teater. “Upaya pe- ningkatan ini dilakukan de- ngan cara memberi wahana bagi kemunculan idiom-idiom baru, pengoptimalan kemam- puan mengaktualisasikan teks yang diselaraskan dengan tan- tangan zaman.” Pada aras yang lebih funda- mental, FTJ hendak menguji visi dari kelompok teater yang ada di Jakarta. Visi dimaksud adalah cara pandang terhadap teater bukan sebagai klangenan, melainkan sebagai hidup. “Di satu sisi teater serius mempersiapkan elemen ar- tistik, di sisi lain teater juga tidak menafikan kehidupan sosial di sekeliling,” terang Madin. Gagasan itulah yang dituang menjadi tema FTJ 2010, Membaca aku, membaca laku. (Dvd/M-1)
1

MEDIA INDONESIA Pesan Moral lewat Sampah - ftp.unpad.ac.id · ibu nekat melukai calon besan dan menantu yang tak ia ke-hendaki itu. Dalam situasi demikian, Bon-cel menempati posisi

May 15, 2019

Download

Documents

vantuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MEDIA INDONESIA Pesan Moral lewat Sampah - ftp.unpad.ac.id · ibu nekat melukai calon besan dan menantu yang tak ia ke-hendaki itu. Dalam situasi demikian, Bon-cel menempati posisi

10 | Art & Culture MINGGU, 19 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

MI / RAMDANIKOMPOSISI BARANG BEKAS: Karya Instalasi berjudul Koma yang di pamerkan di TIM, Jakarta, Jumat.

FESTIVAL TEATER JAKARTA 2010: Penampilan Teater Lorong dalam lakon Siapa Yang Menyebabkan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat (17/12).

FOTO-FOTO: MI/PANCA SYURKANI

oleh sang mafi a untuk merebut putri sang ibu. Akhirnya, sang ibu nekat melukai calon besan dan menantu yang tak ia ke-hendaki itu.

Dalam situasi demikian, Bon-cel menempati posisi sebagai saksi. Entah karena merasa kepepet, sang ibu pembunuh mafia tadi berkehendak ber-konspirasi untuk menghilang-kan jejak pembunuhan.

Pesan Moral lewat SampahPameran ini menyampaikan pesan, kondisi sosial budaya politik dan lingkungan kita dalam keadaan koma.

David Tobing

BENDA-BENDA yang menghadirkan imaji robot, tank, heli tem-pur tampak tertata

di sekeliling pohon beringin yang berada di depan Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Bila menelisik lebih dekat, nyata-lah bahwa benda-benda yang menghadir kan imaji robot, tank, heli tempur itu meru-pakan hasil komposisi dari barang-barang bekas.

Barang bekas dimaksud, antara lain tutup botol minum-an kemasan, botol minuman kemasan, jeriken, botol ke-masan oli, pemukul nyamuk elektrik, hingga penutup kipas angin.

Pernik benda yang lazim kita sebut sampah mendadak mengalami perubahan men-dasar. Dari sisi bentuk, adanya kontrol komposisi menghasil-kan wajah baru bagi sampah-sampah tersebut. Dari sisi mak-na, sampah tersebut tampil se-bagai sesuatu yang membawa makna lebih selain kreativitas pengarya.

“Ini adalah karya komunitas. Semua dari sampah,” tegas Baja Panggabean yang mewakili Komunitas Atap Alis, di Jakarta, kemarin. Komunitas Atap Alis turut serta dalam ajang Breakin’ The Wall yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)

mulai 8 hingga 18 Desember di Plaza Gedung Teater Jakarta. Pada ajang tersebut, Komunitas Atap Alis menghadirkan seni instalasi mereka yang bertajuk Koma.

“Melalui seni instalasi ini, kami mau menyampaikan pesan kondisi sosial budaya politik dan lingkungan kita dalam keadaan koma,” ungkap Baja. Memang, seni instalasi Koma yang didominasi warna merah sebagai latar utama seakan-akan membawa imaji-nasi orang yang melihat karya tersebut pada imaji bencana dan perang.

Peletakan beragam robot, tank, dan heli tempur yang acak seakan-akan menggambarkan dunia yang selalu berada da-lam keadaan perang. Hal itu semakin diperkuat bila kita menyadari materi karya, yaitu benda daur ulang alias sampah. “Melalui karya ini kami mau menggugah sensitivitas kita atas sekeliling kita,” imbuh Koko yang aktif dalam Komu-nitas Atap Alis.

Kurator pameran Breakin’ The Wall Bambang Widjarnako mengungkapkan bahwa pam-eran Breaking’ The Wall adalah pameran yang berangkat dari pengamatan dirinya sendiri atas fenomena street art atau seni jalanan yang marak di Kota Jakarta, juga Bandung. Komunitas Atap Alis merupa-kan salah satu komunitas seni jalanan yang eksis di Jakarta.

“Di satu sisi, Breakin’ The Wall mengacu pada seni jalanan yang biasanya menggunakan medium tembok. Di sisi lain, Breakin’ The Wall mengacu pada wacana peleburan atau pen-cairan batas,” tegas Bambang.

Hasil karya seni jalanan garapan Eko Nugroho yang menghiasi lobi Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia,

menandakan transformasi seni jalanan dari sekadar seni yang nangkring di jalanan menjadi seni yang bisa tampil di ruang elite kesenian.

Seni jalananAjang pameran Breakin’ The

Wall menghadirkan enam ko-munitas seni jalanan, antara lain Xserut dengan karya Negeri Ilusi bergenre 3D-illusion paint-

BONCEL pemulung mencari emak. Ia berkeliling kota, tetapi tak bertemu. Dalam pencarian itu, Boncel yang berkarakter lugu nan naif bertemu dengan seorang ibu yang berupaya melindungi anak perempuan-nya dari lamaran seorang putra mafi a.

Cerita bergulir, sang ibu me-nolak pinangan sang mafi a. Pe-nolakan ini berbuah pemaksaan

Ternyata keluguan Boncel memandunya untuk emoh menerima ajakan itu. Dan ke-jujuran sebagaimana penge-tahuan yang diberikan oleh emaknya menjadi pijakan Bon-cel menetapkan sikap.

Pada titik klimaks, cerita men-dadak memunculkan tegangan yang asing. Sang mafia dan anaknya ternyata bangkit kem-bali. Uniknya, pada momen ‘kehidupan kedua’ itu, situasi konflik di antara para tokoh masih saja tetap.

Boncel masih tetap mencari emak, sang mafi a dan anaknya masih tetap merasa diri sebagai orang yang berkuasa, sang ibu dan putrinya masih saja dalam kelompok yang kalah.

Pementasan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (17/12), itu me-rupakan penampilan salah satu peserta Festival Teater Jakarta (FTJ) ke-38 yang digelar Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok Teater Lorong tampil malam itu membawakan lakon berta-

Membaca Aku, Membaca Laku

ing, Amel n Friend dengan karya Bam Bam Go bergenre ballon sculpture, juga Popo dan Kampung Segart dengan karya Fun bergenre grafi ti.

Ketua Harian DKJ Firman Ichsan menyatakan bahwa pa-meran Breakin’ The Wall meru-pakan bagian dari program DKJ yang bertajuk Mencairkan Ba-tas, Mengelola Keberagaman. “Mencairnya batas-batas dalam

seni merupakan persoalan klasik. Mengelola keberagaman inilah yang penting. Karena melalui pengelolaan keber-agaman muncul apresiasi atas keberagaman. Apresiasi atas keberagaman berarti melihat keberagaman itu bukan sebagai suatu ancaman. Inilah tantan-gannya,” tegas Firman.

Tampaknya, gagasan subtil yang diusung DKJ bergema

nyata dalam kegiatan Breakin’ The Wall. Pameran yang diikuti enam komunitas seni jalanan ini menghadirkan semangat ekspresi yang berbeda, juga tema yang berbeda, tapi mereka dapat berbagi tempat di ruang publik yang sama, yaitu Plaza Gedung Teater Jakarta. (M-5)

[email protected]

juk Siapa Yang Menyebabkan? karya Djaelani Manock yang juga menjadi sutradara pe-mentasan.

Naskah dan pementasan Siapa Yang Menyebabkan ber-upaya memanggungkan rea-litas kehidupan sehari-hari. Tampaknya naskah memang didedikasikan bagi pertunjuk-kan teater bergenre realis yang lebih mengutamakan arus kri-tik dan refl eksi pada kesadaran penonton.

Namun, pada tingkat ekse-kusi panggung, kesan surealis-lah yang menonjol. Belantara kota berubah menjadi puluhan kain putih yang menjuntai dari atas panggung teater menuju lantai.

Penataan yang acak me-nimbulkan kesan bahwa idiom belantara kota yang biasanya di tampilkan lewat siluet ba-ngunan kota juga deru-deru kendaraan bermotor tidak tampak.

Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Madin

Tyasa mengungkapkan bahwa FTJ merupakan wahana un-tuk meningkatkan kualitas kelompok teater. “Upaya pe-ningkatan ini dilakukan de-ngan cara memberi wahana bagi kemun culan idiom-idiom baru, pengoptimalan kemam-puan mengaktualisasikan teks

yang diselaraskan dengan tan-tangan zaman.”

Pada aras yang lebih funda-mental, FTJ hendak menguji visi dari kelompok teater yang ada di Jakarta. Visi dimaksud adalah cara pandang terhadap teater bukan sebagai klangenan, melainkan sebagai hidup.

“Di satu sisi teater serius mempersiapkan elemen ar-tistik, di sisi lain teater juga tidak menafikan kehidupan sosial di sekeliling,” terang Madin. Gagasan itulah yang dituang menjadi tema FTJ 2010, Membaca aku, membaca laku.(Dvd/M-1)