Top Banner

of 18

Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

Jul 07, 2018

Download

Documents

ru3ashov
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    1/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  1 

    Mati sia-sia: Kegagalan Sistem Kesehatan di Papua1 

    Ditulis oleh Bobby Anderson / diterjemahkan oleh Dr. Ita Perwira

    Pintu masuk Puskesmas di Bokondini Tolikara yang tutup. Obat-obatan yang seharusnyadimanfaatkan di Puskemas ini dijual kembali di Wamena. Penduduk kampung bergantung padaketersediaan obat-obatan di sekolah Ob Anggen yang dikelola swasta. (Foto: Bobby Anderson,2013)

    Dibawah pelaksanaan kebijakan hukum otonomi khusus (Otsus), mayoritas pengelolaan

    sumber daya alam Papua dikembalikan ke pemerintah tingkat provinsi. Kebijakan hukum

    yang disahkan pada tahun 2001 ini dimaksudkan untuk mengatasi penyebab timbulnya

    kerusuhan politik di Papua serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua sehari-hari.

    Kebijakan ini juga ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat Papua terhadap lapangan

    pekerjaan di pemerintahan, membuka kesempatan ekonomi, serta akses ke pelayanan

    kesehatan dan pendidikan. Namun setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun dan uang

    miliaran rupiah yang telah di keluarkan, sebagian besar masyarakat Papua masih hidup

    dalam penderitaan. Papua masih menjadi salah satu wilayah dengan tingkat malnutrisi, TB

    (Tuberkulosis) dan HIV yang tertinggi di Indonesia; selain itu dengan tingkat pendapatan

    terendah dan angka kematian tertinggi.

    Hal ini seolah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi khusus telah gagal. Namun

    kegagalan ini hanya sedikit kaitannya dengan aspek pelaksanaan otonomi khusus yang

    dilaksanakan oleh Jakarta. Kegagalan terbesar, untuk masyarakat pada umumnya, adalah

    1 Originally Pubished as Dying for Nothing , Inside Indonesia 115, Jan-Mar 2014

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    2/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  2 

    terkait dengan aspek otonomi khusus yang dialihkan ke pemerintah provinsi dan kabupaten:

    untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan.

    Di artikel sebelumnya, yang berjudul ‘Kegagalan pendidikan di wilayah pegunungan tengah,

    Papua’, saya menggambarkan bagaimana aparat pemerintah dan kelompok elit di daerah

    sudah tidak lagi memandang otonomi khusus sebagai cara untuk meningkatkan

    pembangunan. Sebaliknya, mereka memandangnya sebagai cara untuk mendapatkan akses

    subsidi nasional yang lebih besar, yang dapat mereka ambil keuntungannya secara pribadi

    atau dibagikan kepada lingkar jejaring mereka; baik dalam bentuk pemberian pekerjaan atau

    keuntungan lainnya. Saya juga memberikan gambaran bagaimana kegagalan otonomi

    khusus makin diperkuat dengan banyaknya pembentukan kabupaten, kecamatan dan

    kampung baru yang tidak terkontrol sebagai bagian dari proses yang disebut ‘pemekaran’,

    lebih sebagai peningkatan akses bagi kelompok elit di daerah, sementara penduduk lokal

    Papua semakin tersingkirkan dari pelayanan yang seharusnya mereka dapat untuk

    membantu kehidupan mereka.

    Kebijakan politik yang saling mempengaruhi tersebut telah merusak sistem pendidikan di

    wilayah pegunungan2.

    Dalam artikel ini, saya akan mendiskusikan lebih lanjut tentang bagaimana dan mengapa

    proses yang sama ini juga memberikan dampak terhadap kerusakan sistem pelayanan

    kesehatan.

    Akhir dari sistem yang tengah berjuang

    Di wilayah pegunungan Papua, perkawinan antara dana otonomi khusus dengan elit politik

    dan sistem klan yang ada menjadi kombinasi yang ampuh dalam menghancurkan sistem

    pelayanan kesehatan.

    Seperti yang terjadi pada pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan di wilayah

    pegunungan awalnya disediakan oleh pihak gereja lokal dan para misionaris. Pemerintah

    Belanda – dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia – mengenali hasil kerja

    gereja-gereja tersebut dan menjaga keberadaan mereka sebagai penyedia layanan yang

    bekerja mewakili pemerintah. Dalam bentuk ini, pusat pelayanan kesehatan memiliki petugas

    dan dapat berjalan dengan baik, termasuk memberikan pelayanan kebidanan, program

    imunisasi serta pelayanan kesehatan ibu dan anak juga dapat di akses oleh masyarakat

    sekitar. Dinas kesehatan kabupaten memberikan gaji kepada petugas kesehatan di lokasi

    tempat mereka bertugas, dan untuk beberapa wilayah seperti Jayapura, terdapat sistem

    asuransi kesehatan.

    Dalam kondisi terbaik mereka, pelayanan kesehatan ini mampu memberikan pelayanan

    kepada kaum minoritas di wilayah pegunungan yang masuk dalam jangkauan mereka atau

    2 The Failure of Education in Papua’s Highlands, Inside Indonesia 113, Jul-Sep 2013.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    3/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  3 

    masih mudah untuk diakses. Sedangkan sebagian besar penduduk hidup di pegunungan

    tinggal di daerah yang sangat terpencil, di mana tidak ada pelayanan kesehatan yang

    tersedia sama sekali. Rusaknya sistem ini, seperti yang telah saya gambarkan secara detil

    dalam artikel saya yang berjudul ‘Hidup tanpa negara3’, ‘Kegagalan sistem pendidikan

    4’ dan

    artikel lainnya, mulai muncul saat pemerintah mengambil alih pelayanan masyarakat tersebut

    di akhir era pemerintahan diktator Suharto.

    Setelah pengambilalihan tersebut, sistem pelayanan masyarakat tersebut tidak dikelola

    secara lokal lagi, melainkan dikelola oleh adminstrator pemerintah baru yang berbasis di

    ibukota kabupaten, untuk mengelola sistem tersebut dari kota. Bahkan banyak dari mereka

    belum pernah mengunjungi wilayah-wilayah terpencil yang menjdai tangung jawab mereka,

    serta mengkoordinir pegawai yang sama sekali belum pernah mereka temui. Sistem ini

    semakin goyah setelah terjadinya kerusuhan tahun 2011 di Wamena, di mana lusinan

    pekerja migran yang datang dari wilayah lain di Indonesia dibunuh oleh penduduk asli Papua.

    Peristiwa ini menyebabkan banyak pendatang pergi – banyak di antara mereka adalahpetugas kesehatan – meninggalkan Wamena. Tenaga pengganti yang di pekerjakan sebagai

    tenaga kesehatan banyak yang tidak memenuhi kriteria atau memiliki keahlian yang

    diperlukan, melainkan lebih berdasarkan suku atau marga, dan pada umumnya, mereka tidak

    pernah masuk kerja.

    Pembentukan struktur administratif baru yang tidak terkontrol, telah menghancurkan sistem

    pelayanan kesehatan yang sejak awal lemah, ke dalam unit administratif baru, yang sampai

    sekarang sistem pelayanan kesehatan itu belum terbangun kembali. Dengan pengecualian

    wilayah Wamena dan beberapa wilayah terbatas lainnya, pelayanan kesehatan di wilayah

    pegunungan tengah Papua pada dasarnya menghilang. Hampir segala sesuatu terkait

    pelayanan kesehatan susah ditemui: mulai dari pelayanan kesehatan untuk ibu hamil,

    imunisasi untuk bayi dan anak, ketersediaan obat untuk TB dan malaria. Akhir dari sistem ini

    di banyak wilayah terpencil juga bertepatan dengan mulai munculnya HIV/AIDS.

    Kondisi layanan kesehatan di wilayah pegunungan saat ini

    Beberapa kelompok masyarakat mampu mengambil keuntungan dari pelayanan yang

    dikelola oleh lembaga swasta, LSM, atau gereja. Ada juga beberapa Puskesmas yang

    dikelola pemerintah yang berjalan di beberapa ibukota kecamatan, serta Pustu dan Posyandu

    di beberapa kampung. Namun akses ke layanan tersebut umumnya hanya ada di kota atau

    wilayah yang dekat dengan kota. Ibukota kabupaten memiliki layanan kesehatan yang

    berfungsi namun tidak pasti. Di wilayah administratif kabupaten baru, layanan seperti ini baru

    saja mulai dibangun di ibukota, meskipun kebijakan otonomi khusus telah dimulai sejak 2001.

    Di sebagian besar wilayah perkampungan di wilayah pegunungan pada umumnya tidak ada

    layanan yang tersedia. Beberapa aktor atau lembaga non-pemerintah yang menyediakan

    layanan di wilayah mereka, misalnya LSM lokal - Yasumat - menyediakan layanan kesehatan

    3 Living without a State, Inside Indonesia 110, Oct-Dec 2012.

    4 The Failure of Education in Papua’s Highlands, Inside Indonesia 113, Jul-Sep 2013.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    4/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  4 

    secara paralel di hampir setengah wilayah kabupaten Yahukimo. Di wilayah pegunungan

    yang dapat diakses melalui jalan darat dari Wamena, layanan dari pemerintah yang tidak

    menentu (tergantung keberadaan tenaga kesehatan) dapat diakses dengan menggunakan

    sarana transportasi umum (juga tidak menentu) untuk mencapai wilayah yang memiliki

    Puskesmas atau Pustu.

    Keadaan topografi yang sulit selalu dijadikan alasan tidak adanya layanan kesehatan di

    wilayah terpencil. Padahal sebelumnya, beberapa kelompok gereja memiliki sistem

    pengelolaan yang dapat memberikan layanan kesehatan di wilayah terpencil dengan kondisi

    infrastruktur dan sumber dana yang jauh lebih terbatas, namun rupanya hal ini telah banyak

    dilupakan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan topografi yang sulit

    memang menjadi hambatan yang nyata: menurut program analisis kemiskinan di Indonesia

    tahun 2006 oleh Bank Dunia, rata-rata keluarga atau rumah tangga Papua tinggal di lokasi

    yang berjarak 32 kilometer dari layanan kesehatan terdekat, sementara di Jawa, jarak rata-

    rata hanya 4 kilometer. Jarak ini semakin meningkat bila keluarga tersebut tinggal menjauhdari pesisir. Di wilayah pegunungan hal ini berarti berjalan selama berhari-hari di medan yang

    cukup curam untuk mencapai tempat layanan kesehatan.

    Pusat pelayanan kesehatan yang di kelola oleh relawan di Bonohaik, kecamatan Lolat,Kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)

    Meskipun demikian, penyebab mendalam dari kegagalan implementasi layanan kesehatan

    bukanlah terletak pada masalah geologi atau lempeng tektonik. Penyebab utamanya adalah

    pada kelompok politik (yang lebih mengutamakan marga atau suku) dan kecacatan padamanajemen sumber daya manusia: desentralisasi lebih terpusat pada kekuasaan dalam

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    5/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  5 

    pengambilan keputusan atas penyediaan layanan di tingkat kabupaten, dimana Bupati

    seringkali bertindak feodal dalam memberikan keuntungan ataupun kesempatan kerja

    terhadap pihak-pihak tertentu Dan pembentukan kabupaten baru memberikan peluang yang

    semakin besar kepada para elit politik lokal untuk menciptakan kerajaan mereka sendiri dan

     juga akses yang semakin besar terhadap aliran dana. Karena itu muncul gerakan untuk

    menutupi motivasi ini, salah satunya adalah dengan mengedepankan bahwa pembentukan

    administratif kabupaten baru adalah ditujukan untuk membawa layanan lebih dekat kepada

    masyarakat yang membutuhkan. Hal ini adalah kebohongan belaka. Di sistem yang baru,

    pelayanan kesehatan tidak berjalan.

    Di artikel yang berjudul ‘Tanah Hantu’5, saya menjelaskan alasan yang diberikan oleh para

    birokrat dari dinas kesehatan, yang menjelaskan mengapa mereka tidak bisa menjalankan

    tugas mereka dengan baik, dan yang menyebabkan pasien menolak perawatan. Petugas

    Puskesmas yang berada di kecamatan akan menyarankan pasien yang berasal dari

    kecamatan baru untuk berobat ke Puskesmas yang berada di wilayah kecamatan mereka,meskipun kadang Puskesmas atau layanan kesehatan itu belum ada.

    Hal yang sama terjadi di tingkat kecamatan, di mana pemekaran terjadi sangat cepat ( viral ).

    Banyak kecamatan yang telah dibentuk selama satu dekade terakhir, namun belum memiliki

    pusat layanan kesehatan yang berfungsi dengan baik, yang seharusnya dimiliki oleh setiap

    kecamatan. Di hampir semua lokasi ini, gedung pusat administrasi telah dibangun, tetapi

    konstruksi bangunan hanyalah sebuah awal. Banyak kantor atau pusat layanan yang tutup,

    contohnya karena tidak ada kepala kantor atau penanggung jawab yang ditunjuk. Atau

    penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak ada akomodasi yang dibangun untuk

    memberikan dukungan. Atau akomodasi telah dibangun tetapi masih di bawah standar. Atau

    kantor dan pusat layanan telah dibangun dan penanggung jawab telah ditunjuk tetapi tidak

    ada peralatan penunjang. Atau tidak ada staff yang muncul di lokasi. Atau mereka menolak

    relokasi karena tidak ada sekolah di wilayah itu untuk anak-anak mereka. Atau mungkin, staff

    telah diangkat dan mereka telah datang ke lokasi, tetapi karena gaji mereka dibayarkan di

    ibukota kabupaten, maka mereka harus sering pergi ke kota sehingga mereka jarang ada di

    tempat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat saat dibutuhkan.

    Untuk saat ini, satu-satunya layanan yang tersedia adalah Puskesmas yang ada di

    kecamatan yang sejak awal ada sebelum proses pemekaran, di mana dana tahunan dihitung

    berdasarkan perkiraan dari jumlah populasi di tingkat kecamatan, dalam hal ini dana telah

    dikurangi saat kecamatan baru dibentuk. Sehingga hasil dari desentralisasi adalah sistem

    administratif yang sama melayani jumlah orang yang sama dengan jumlah dana yang

    menurun secara drastis. Banyak pusat layanan kesehatan yang menolak melayani

    masyarakat yang bukan penduduk wilayah mereka (masuk dalam kecamatan baru) karena

    5 Land of Ghosts: Papua’s Rural Lowlands and the Global Economy , Inside Indonesia 112, Apr-Jun

    2013.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    6/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  6 

    menurunnya dana pelayanan yang mereka peroleh. Dan, hal ini terjadi tanpa penjelasan;

    dana banyak yang hilang karena relokasi ke kecamatan baru.

    Penempatan pegawai merupakan kunci

    Orang mungkin menganggap bahwa Puskesmas di wilayah yang belum mengalami

    pemekaran berfungsi dengan baik. Pemikiran ini juga salah. Semua alasan yang digunakan

    untuk menjelaskan mengapa guru dan pegawai negeri lainnya tidak hadir di tempat kerja

    mereka yang ada di wilayah terpencil, juga menjadi alasan yang sama untuk petugas

    kesehatan. Alasan-alasan ini telah digunakan berulang-ulang selama bertahun-tahun dan

    tidak pernah diselesaikan dengan baik oleh para pemegang kekuasaan dan penanggung

     jawab keuangan di tingkat kabupaten. Alasan mengapa masalah penempatan pegawai ini

    tidak pernah terselesaikan dengan baik adalah karena seringkali orang-orang yang

    dipekerjakan di posisi tersebut memiliki suku atau marga atau hubungan politik dengan

    pemegang kekuasaan, namun mereka tidak memiliki keahlian yang sesuai (mereka

    kemungkinan merupakan hasil dari sistem pendidikan di wilayah pegunungan yang gagal),dan mereka juga tidak diharapkan untuk hadir dan bekerja di tempat mereka bertugas. Bupati

    sering mendikte proses penerimaan pegawai dan memberikan jabatan kepada keluarga atau

    marga mereka, atau kelompok yang memberikan dukungan kepadanya saat kampanye

    pemilihan Bupati. Jabatan dalam hal ini hanyalah menjadi aset yang dibagi-bagikan di antara

    kelompok atau marga pemegang kekuasaan, atau sebagai imbalan bagi para pendukung

    politik. Hal itulah yang menjadi masalah utama: pemekaran dari unit administratif baru dan

    pembentukan kantor pemerintahan baru seringkali tidak berhubungan dengan penyedia jasa,

    terlepas dari semua pembicaraan terkait dengan akibat yang ditimbulkan.

    Sebagian kecil dari pengambil kebijakan dan petugas kesehatan dalam sistem ini sebenarnya

    telah berusaha sebaik-baiknya untuk menjalankan tugas mereka, tetapi kinerja mereka

    tertutupi oleh kondisi mayoritas yang ada. Untuk pegawai di tingkat bawah, di beberapa

    kabupaten, banyak gaji mereka yang dipotong sebelum mereka menerimanya, sehingga

    mereka menerima gaji kurang dari seharusnya untuk menghidupi keluarga mereka. Kepala

    Dinas Kesehatan kabupaten Tolikara mengeluh pada tahun 2011, bahwa tingginya tingkat

    pergantian pegawai yang bertanggung jawab di bidang pelayanan kesehatan (administrator)

    di wilayahnya menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi tidak memadai. Namun,

    administrator terakhir di keluarkan olehnya, karena dia mencoba untuk membayarkan gaji

    petugas kesehatan secara langsung, bukan melalui jalurnya, sehingga dia dapat mengambil

    potongan 50 persen di setiap gaji yang bayarkan.

    Dan seperti pada sistem pendidikan, masalah pelayanan kesehatan diasumsikan sebagai

    masalah infrastruktur, sehingga kabupaten, kecamatan dan kampung baru membangun

    gedung yang digunakan sebagai pusat layanan kesehatan dengan menggunakan dana

    otonomi khusus. Hal ini seolah-olah wilayah tersebut memiliki banyak tenaga kerja yang

    berkualitas dan bersemangat, serta masalah yang mereka hadapi hanyalah kekurangan atapdan peralatan untuk melayani masyarakat. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Di ibukota

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    7/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  7 

    kecamatan, biasanya mereka memiliki gedung layanan kesehatan (Puskesmas) yang

    dilengkapi dengan tempat tidur, rak atau lemari, timbangan bayi dan anak, serta

    perlengkapan lainnya. Di beberapa kampung, bahkan mereka memiliki gedung Pustu.

    Gedung-dedung tersebut berdiri di sana, tetapi umumnya mereka terkunci: petugas

    kesehatan tidak pernah ada di tempat. Saya sempat merawat seorang bapak dengan luka

    kecil dan saya harus menggunakan perlengkapan P3K saya sendiri, meskipun saya berada

    selemparan batu dari gedung Pustu yang terkunci. Beberapa Pustu atau Puskemas yang

    beroperasi menjadi kewalahan melayani pasien, karena banyak pasien yang datang, dan

    kadang mereka datang dengan berjalan kaki selama berhari-hari untuk mendapatkan akses

    pelayanan kesehatan tersebut.

    Salah satu relawan melakukan inventaris dengan dua staf YASUMAT di tempat penyimpananobat di sudut gereja di luar wilayah Lolat, kabupaten Yahukimo. (Foto: Bobby Anderson)

    Sistem layanan kesehatan ini sedang dalam kesulitan dan berjuang agar dapat berjalandengan baik, dan hal ini ditunjukkan dari paket poster baru terkait tentang kesadaran dan

    pengetahuan tentang HIV, atau pengiriman obat-obatan yang tidak terjadwal ke Puskesmas.

    Obat-obatan yang dikirimkan ke Puskesmas atau Pustu tidak dilengkapi dengan instruksi

    yang mudah dan jelas, serta seringkali sudah kadaluwarsa. Tahun ini saya melakukan

    inventaris stok obat-obatan di salah satu Puskesmas di wilayah Yahukimo, Tolikara dan

    Mamberamo Tengah, dan saya menemukan obat-obatan yang telah kadaluwarsa sejak tahun

    2007. Obat-obatan itu dikirimkan tahun 2011. Obat-obatan yang belum kadaluwarsa

    seringkali juga harus dihancurkan karena rusak akibat penyimpanan yang tidak sesuai – saat

    Puskesmas atau Pustu terkunci, obat-obatan biasanya berakhir dalam kardus dan disimpan

    di pojok gereja. Dengan tidak adanya petugas kesehatan, masyarakat yang sakit akan

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    8/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  8 

    mencari obat-obatan dari stok yang ada tersebut dan mencoba melakukan pengobatan

    sendiri, mengambil pil sendiri dari botol obat yang label dan keterangannya sulit terbaca

    karena rusak dan basah terkena air.

    Kesehatan masyarakat Papua

    Tidak tersedianya layanan kesehatan ini terjadi di provinsi yang memiliki tingkat harapan

    hidup terendah di Indonesia. Tingkat harapan hidup penduduk asli Papua menunjukkan

    angka yang signifikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan populasi migran atau

    pendatang yang mendekati angka nasional. Para penduduk migran atau pendatang

    umumnya terkonsentrasi di wilayah perkotaan, di mana sistem layanan kesehatan masih

    berfungsi. Sebaliknya penduduk asli Papua umumnya berada di wilayah perkampungan yang

    terpencil di mana sistem layanan kesehatan tidak berjalan.

    Permasalahan kesehatan yang paling signifikan yang dihadapi oleh penduduk asli Papua

    bukanlah seperti yang menjadi perhatian utama di media nasional maupun internasional.HIV/AIDS adalah masalah yang cukup penting, tetapi itu bukanlah ancaman utama

    kesehatan masyarakat. Data statistik yang diperoleh di Papua seharusnya dijadikan referensi

    dan dimanfaatkan secara bijak dan berhati-hati, dan angka untuk wilayah pegunungan

    seharusnya berlipat ganda dari yang tercatat. Bagaimanapun juga, angka yang keluar dari

    beberapa penelitian menunjukkan bahwa Papua menduduki ranking terendah di hampir

    semua indikator pembangunan sumber daya manusia.

    Mari kita mulai dengan kondisi kaum muda: penduduk asli Papua memiliki angka kematian

    bayi, anak dan ibu tertinggi di Indonesia. Laporan awal dari Survei Kesehatan dan Demografi

    tahun 2012 yang dilakukan oleh Kemenkes (Kementrian Kesehatan), BKKBN dan instansi

    lain menunjukkan bahwa: di Papua 40 persen bayi dilahirkan oleh tenaga kesehatan yang

    terlatih, di Jakarta angakanya adalah 99 persen; Di Papua 27 persen bayi dilahirkan di

    fasilitas kesehatan, sedangkan di Jakarta angkanya adalah 96 persen.

    Laporan ini secara jelas menunjukkan gambaran negatif, angka kematian anak baik di

    provinsi Papua maupun Papua Barat, khususnya bila dibandingkan dengan Jakarta. Di

    Jakarta, 22 dari 1000 bayi meninggal, tetapi di Papua, angka ini meningkat menjadi 54, dan

    di Papua Barat angka ini meningkat menjadi 74. Di Jakarta, hanya 31 dari 1000 anak

    dibawah lima tahun yang meninggal, tetapi di Papua Barat angka ini naik menjadi 109 dan di

    Papua menjadi115.

    Survei kesehatan melaporkan adanya indikasi tingginya angka kematian neonatal (1-30 hari),

    post-neonatal (30 hari – 1 tahun), dan bayi (diatas 1 tahun) di provinsi Papua Barat

    dibandingkan Papua, yang mana cukup mengherankan karena permasalahan pelayanan

    kesehatan di sana tidak sesulit di wilayah Papua. Saya yakin bahwa laporan di wilayah

    Papua itu tidak realistik. Saya dan juga orang-orang yang telah menghabiskan banyakwaktunya di wilayah terpencil di Papua dan Papua Barat beranggapan bahwa provinsi yang

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    9/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  9 

    disebutkan terakhir menunjukkan hasil yang keliru bahwa angka kematian neonatal, post-

    natal dan bayi lebih tinggi karena peneliti memiliki akses yang lebih baik untuk melakukan

    penghitungan angka kematian tersebut. Bukan berarti bahwa Papua memiliki angka kematian

    yang lebih rendah di kategori tersebut. Namun lebih karena Papua Barat lebih baik dalam

    melakukan penghitungan kematian.

     Angka tersebut juga dibelokkan karena mereka memasukkan kota dengan penduduk paling

    besar dan perkampungan yang paling terpencil. Bayi yang lahir di Jayapura dan bayi yang

    lahir di Sinokla tidak memiliki kemungkinan yang sama untuk bertahan hidup samapi umur

    lima tahun: perbedaannya sangat besar seperti mereka lahir di benua yang berbeda.

     Angka kematian semakin buruk di wilayah terpencil di mana angka statistik tersedia. LSM

    dari Perancis, Medecins du Monde yang bekerja di Puncak Jaya sampai saat ini, salah satu

    wilayah yang sangat terpencil di pegunungan, dan satu-satunya wilayah dengan kehadiran

    OPM yang cukup aktif. Di tahun 2008 mereka memperkirakan angka kematian bayi antara85-150 per 1000 kelahiran hidup di kabupaten. Dan bagaimana bayi dan anak-anak tersebut

    meninggal; penyebab utama adalah karena infeksi saluran nafas akut (khususnya

    pneumonia), yang diikuti oleh diare dan malaria. Penyebab kematian ini sangat umum di

    masyarakat kampung sehingga dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

    Penyebab utama kematian lainnya adalah malnutrisi: di wilayah pegunungan dan dataran

    rendah yang terpencil, hal ini terlihat sangat jelas di setiap kelompok anak-anak, dari perut

    mereka yang buncit dan kaki yang kurus. Ibu yang biasanya meninggal saat melahirkan,

    umumnya disebabkan karena perdarahan atau infeksi neonatal (neonatal sepsis), dan

    malnutrisi yang secara tidak langsung berkontribusi dalam penyebab kematian ini juga,

    khususnya karena adanya anemia dan lemahnya sistem imun.

    Prevalensi malnutrisi di provinsi Papua (yang diukur berdasarkan berat badan dan umur)

    adalah 21.2 persen lebih tinggi dibandingkan angka nasional yaitu 18.4 persen. Di wilayah

    pegunungan, angka ini kemungkinan bisa mencapai 40 persen. Malnutrisi bukanlah semata-

    mata keadaan kelaparan. Untuk anak-anak, keadaan ini dapat menyebabkan lemahnya

    sistem imun, menghambat proses pertumbuhan (stunting /pendek) dan juga menghambat

    perkembangan mental dan kognitif.

    Parasit merupakan salah satu penyebab utama malnutrisi: anak-anak harus bersaing untuk

    sejumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan cacing yang ada dalam tubuh mereka.

    Semua kondisi ini diperburuk dengan keterbatasan akses ke air bersih, rendahnya

    kebersihan dan sanitasi yang tidak memadai. Dasar dari kondisi dan praktik yang buruk ini

    adalah karena kurangnya pengetahuan, yang merupakan hasil dari disintegrasi antara

    infrastruktur pendidikan dan kesehatan selama bertahun-tahun.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    10/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  10 

    Beberapa kondisi malnutrisi di wilayah pegunungan bukanlah disebabkan karena kurangnya

    bahan pangan: namun lebih karena jenis makanan yang disiapkan untuk anak-anak. Proses

    menyusui seringkali berakhir terlalu dini ketika bayi dan makanan tambahan diberikan terlalu

    dini. Ibu-ibu mulai memberikan makanan seperti sagu saat bayi baru berumur beberapa

    minggu, dan hal ini sangat berbahaya untuk bayi. Poltekes Gizi Jayapura melakukan

    penelitian terkait dengan praktik pemberian makanan terhadap bayi dan anak di kabupaten

    Jayapura pada tahun 2012. Penelitian itu menunjukkan bahwa beberapa bayi dan anak dari

    keluarga yang paling miskin justru paling sehat, hal ini terjadi karena keluarga tidak mampu

    membeli makanan tambahan dan harus bergantung pada ibu menyusui. Hal ini merupakan

    pengaruh baik terhadap program menyusui, namun setelah usia 6 bulan, makanan tambahan

    tetap diperlukan.

    Sampah medis di Bonohaik, kecamatan Lolat, kabupaten Yahukimo. Bila dalam keadaan kering,sampah itu dibakar. Kondisi dalam gambar jauh lebih baik dibandingkan di wilayah lain, dimana

    sampah medis dibuang dan ditumpuk begitu saja, dan seringkali dimakan oleh babi. (Foto:Bobby Anderson)

    Perawatan untuk calon ibu, memonitor kehamilan dan juga berat badan dan kesehatan bayi,

    imunisasi serta proses belajar dan mengajar, biasanya dilakukan melalui kegiatan Posyandu

    yang dulu sempat dilaksanakan di kampung-kampung di wilayah Papua. Ketika imunisasi dan

    pelayanan kesehatan lainnya berhenti, penyakit campak mulai muncul kembali. Vaksinasi

    polio juga terhenti dan saat ini hanya kurang dari setengan atau 50 persen anak yang

    mendapatkan vaksinasi. Di wilayah pegunungan, umumnya anak-anak tidak mendapatkan

    imunisasi. Di banyak kabupaten baru, belum pernah ada pelaksanaan imunisasi sejakkabupaten tersebut berdiri. Imunisasi berakhir di kabupaten baru Yahukimo sejak tahun 2002,

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    11/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  11 

    sebulan setelah kabupaten tersebut resmi berdiri, saat mekanisme rantai imunisasi (cold

    chain) terputus atau rusak. Vaksin rusak dalam suhu ruangan. Diduga beberapa kasus polio

    mulai muncul di wilayah tersebut, di Sumo dan beberapa daerah lainnya.

    Epidemi tuberculosis (TB)

    Tuberkulosis (TB) adalah ancaman kesehatan masyarakat yang lebih berat dibandingkan

    HIV/AIDS: karena penyakit ini menyebar melalui aerosol ludah (percikan ludah yang

    melayang di udara), dan sangat mudah ditularkan, tidak hanya dengan batuk atau bersin

    tetapi juga pada saat berbicara. Mereka yang tinggal atau bekerja di lingkungan sekitar orang

    yang terinfeksi TB memiliki 22 persen peluang untuk tertular. Namun program TB termasuk

    program yang dananya kurang dibandingkan dengan program sepert HIV/AIDS. Papua

    memiliki tingkat penularan tertinggi di Indonesia. Yayasan yang bergerak di bidang kesehatan

    di Wamena memperkirakan sekitar 10 persen angka penularan di kota Wamena. Di area

    pegunungan sekitarnya, kemungkinan angkanya lebih tinggi.

    Kalvari, salah satu klinik swasta di Wamena, telah dikenal secara luas sebagai pusat

    pemerikasaan dan pengobatan TB di wilayah pegunungan tengah: hampir semua pelayanan

    kesehatan di kabupaten merujuk pasien kesana, dan pasien datang dari Lanny Jaya, Tolikara,

    Mamberamo Tengah, Yahukimo, Nduga dan Yalimo menempuh perjalanan yang cukup jauh

    selama berhari-hari untuk mencapainya.

    Kalvari mulai melakukan tes terhadap pasien TB di klinik mereka dan mereka menemukan

    bahwa 50 persen dari pasien TB juga positif HIV: ko-infeksi merupakan hal yang umum

    terjadi pada pasien HIV karena sistem imun mereka melemah sehingga mudah terkena

    infeksi. Kurangnya pelayanan kesehatan di wilayah pegunungan telah memberikan kontribusi

    yang cukup besar terhadap terjadinya epidemik ini. TB didiagnosa melalui pemeriksaan

    mikroskopik dahak, dalam hal ini hanya Kalvari dan beberapa pelyanan kesehatan yang

    mampu melakukan tes tersebut di wilayah pegunungan , hal ini membuat proses diagnosa

    TB menjadi sangat terbatas. Selain itu kualitas dan akurasi deteksi TB juga sangat

    tergantung pada tingkat kesalahan, yang mana juga dipengaruhi oleh kualitas peralatan yang

    digunakan untuk tes seperti mikroskop dan reagen yang digunakan. Kadang petugas yang

    sudah sangat terlatih pun memiliki tingkat kesalahan 25 persen. Perawatan untuk TB

    membutuhkan waktu cukup lama dan membutuhkan pengawasan: obat-obatan harus

    disediakan paling tidak untuk jangka waktu setahun.

    Protokol terapi yang diterapkan Kalvari untuk pasien TB menunjukkan bahwa tidak mungkin

    menyediakan pelayanan ini tanpa adanya dukungan dari dinas kesehatan di tingkat

    kabupaten. Pasien TB yang datang ke Kalvari diminta untuk tinggal di Wamena selama 2

    bulan pertama untuk terapi yang berkelanjutan, dan mereka juga membantu mencarikan

    hostel untuk pasien yang tidak memiliki keluarga di Wamena. Setelah dua bulan, dan

    pemeriksaan dahak kedua, pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya masih positif harustinggal selama satu bulan lagi di Wamena. Setelah itu tes lanjutan akan dilakukan, dan bila

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    12/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  12 

    setelah satu bulan mereka masih juga positif, maka mereka akan mendapatkan perawatan

    yang lebih intensif lagi. Kalvari bekerja dalam skala kecil sehingga menjadi hambatan untuk

    merawat lebih banyak lagi pasien yang menderita TB dengan dengan pelayanan seperti yang

    dijelaskan di atas.

    Pasien yang menunjukkan hasil negatif setelah pengobatan awal selama 2 bulan akan

    melanjutkan ke fase berikutnya: mereka akan pulang kerumah dengan persediaan obat-

    obatan untuk satu bulan berikutnya. Untuk pasien yang tinggal diluar kabupaten Jayawijaya,

    Kalvari akan merujuk pengobatan dan pengecekan dahak mereka ke Puskesmas yang

    berfungsi di wilayah kabupaten mereka yang lokasinya paling dekat dengan tempat tinggal

    pasien. Namun, meskipun dengan 2 bulan pengobatan awal dan edukasi yang cukup

    komprehensif oleh petugas kesehatan dari Kalvari mengenai pentingnya untuk

    menyelesaikan pengobatan TB, tingkat putus obat masih cukup tinggi yaitu berkisar 15

    sampai 45 persen. Alasan untuk tidak melanjutkan pengobatan cukup beragam. Pada banyak

    kasus, setelah menerima pengobatan selama beberapa bulan, pasien umumnya merasasehat, dan tanpa adanya sistem pengawasan maka mereka putus obat. Efek samping obat

     juga menjadi salah satu alasan mengapa pasien memutuskan berhenti: nyeri tulang dan

    kencing yang berwarna merah merupakan keluhan yang umum terjadi. Namun penyebab

    terbesar putus obat adalah terkait ketersediaan obat: seringkali Puskesmas tidak memiliki

    obat-obatan yang dibutuhkan, atau kadang mereka hanya punya persediaan obat untuk

    beberapa hari saja.

    Beberapa LSM telah mencoba membantu dengan program pengawasan masyarakat, namun

    aspek yang utama – suplai obat – terlalu kacau untuk menunjukkan bahwa pelaksaan

    program seperti ini dapat membantu meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan. Selain

    itu, adalagi hal yang lebih buruk terkait dengan kurangnya ketersediaan obat di beberapa

    wilayah: adalah merupakan mandat bahwa obat-obatan TB ini disediakan secara gratis.

    Obat-obatan ini oleh beberapa orang seperti petugas kesehatan yang mencoba mengambil

    keuntungan dengan cara menjual obat-obatan tersebut ke apotik swasta yang kemudian

    menjual kepada pasien.

    Kasus TB resisten obat (MDR/Multi Drug Resistant ) menjadi meningkat dengan semakin

    banyaknya putus obat. Indonesia secara nasioal cukup kesulitan dalam menangani kasus

    MDR : Indonesia baru mulai menangani masalah ini sekitar tahun 2009 dan sejak saat itu

    telah dibuka 10 pusat layanan TB MDR . Di Jayapura, 20 kasus telah terdeteksi dan 11 di

    antaranya telah meninggal. Bahaya terbesar adalah ketika pasien TB MDR   gagal untuk

    menyelesaikan pengobatan yang akan menyebabkan terjadinya total resiten terhadap obat

    (Extensive Drug Resistance) atau TB  XDR . Proses pengobatan untuk saat ini, yang telah

    banyak membunuh pasien adalah pengobatan selama 2 tahun. Dan satu-satunya

    pengobatan untuk yang terakhir adalah isolasi sampai meninggal. Kemungkinan munculnya

    TB XDR  di wilayah pegunungan sangatlah dekat.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    13/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  13 

    HIV/AIDS

    Penduduk Papua memiliki angka HIV/AIDS yang paling tinggi di Indonesia, dan Papua

    merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan infeksi HIV yang paling cepat di Asia.

    Menurut UNDP, 2.4 persen masyarakat Papua terinfeksi HIV, di mana angka nasional adalah

    0.2 persen. Penduduk pendatang yang menderita HIV memiliki angka kesakitan mendekati

    angka nasional. Persentase terbesar infeksi adalah pada masyarakat asli Papua.

    Buku pasien dan daftar obat-obatan yang dibagikan di Bonohaik, kecamatan Lolat. Inimerupakan salah satu klinik kesehatan terbaik yang di kelola oleh relawan di wilayahpegunungan. (Foto: Bobby Anderson)

    Pada tahun 2007, Badan pengembangan milik Australia ( Australian development

    agency/AusAID), telah memperkirakan bahwa pada tahun 2025, angka HIV di Papua akan

    meningkat menjadi 7 persen, dibandingkan angka nasional yaitu 1.8 persen. Namun, petugas

    kesehatan di Wamena telah memperkirakan prevalensi penyakit HIV akan mencapai angka

    antara 8 ke 10 persen di wilayah mereka. Tingkat HIV di area sangat terpencil di wilayah

    pegunungan tidak diketahui, namun jumlah laki-laki muda, perempuan dan anak-anak yang

    meninggal karena penyebab yang tidak diketahui secara jelas yang di luar proporsi yang

    seharusnya dari sebuah provinsi: hal ini diduga karena HIV.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    14/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  14 

    Para lelaki bekerja di wilayah perkotaan di bidang konstruksi bagian dari pembangunan yang

    marak karena proses pemekaran kabupaten-kabupaten baru dan juga dana yang berasal dari

    dana otonomi khusus yang mengalir cukup besar dan banyak digunakan untuk

    pembangunan, menyebabkan banyaknya penularan HIV melalui pelacuran. Wamena, Timika

    dan kota-kota lainnya berperan sebagai area penularan untuk penyakit ini dan juga penyakit

    menular seksual lainnya. Data surveilans dari Kemenkes yang dikumpulkan tahun 2011

    (IBBS) menunjukkan bahwa 25 persen dari pekerja seksual di Wamena positif HIV, dan 35.4

    persen terinfeksi gonore, 31.4 persen menderita sifilis dan 44.8 persen menderita klamidia.

    Secara umum transaksi seksual melibatkan pekerja seksual yang tidak aman, dengan

    beberapa pengecualian usaha (kepercayaan lokal) untuk mengurangi risiko: seperti para laki-

    laki melukai dirinya untuk mengeluarkan darah kotor setelah mengunjungi pekerja seksual.

    Penyediaan wanita penghibur atau pekerja seksual sebagai hadiah di jaringan yang

    dilindungi pegawai pemerintahan saat ini menjadi hal yang biasa atau standar, dan hal ini

    mungkin bisa membantu menjelaskan adanya bukti anekdot yang menunjukkan bahwa laki-laki Papua yang paling cepat tertular HIV adalah para pegawai negeri: seperti kepala

    kampung, anggota komisi pemilihan umum, dan seterusnya. Di kecamatan Ninia yang

    merupakan bagian dari kabupaten Yahukimo, kampung halaman Bupati yaitu Balingama/Yabi

    memiliki angka HIV yang tertinggi saat diidentifikasi oleh LSM lokal yang bekerja di wilayah

    tersebut.

    Faktor lain yang ikut mendukung tingginya tingkat penularan adalah budaya dan kepercayaan

    lokal yang masih menerima pemerkosaan sebagai hak prerogatif laki-laki untuk dianggap

    kuat: di survey terbaru yang dilakukan oleh lembaga berbasis gereja di Tolikara, mayoritas

    perempuan muda mengaku bahwa hubungan seksual pertama mereka adalah karena

    pemaksaan.

    Banyak lelaki yang bekerja diluar kampung mereka kembali pulang dengan membawa

    penyakit. Dan karena tidak adanya sistem pelayanan kesehatan di lokasi ini, akibat terburuk

    yang dapat ditimbulkan sangat terasa. Contohnya, prevalensi penyakit menular seksual

    mungkin dapat membantu menjelaskan beberapa kasus infertilitas di wilayah pegunungan

    baik pada pria maupun wanita, yang dicatat oleh beberapa LSM yang bergerak di bidang

    kesehatan sebagai hal mulai banyak terjadi dan patut dipertimbangkan.

    Untuk mereka yang benar-benar mencari pertolongan untuk mengobati HIV melalui terapi

     ARV (Obat anti viral), ketersediaan obat cukup sulit, bahkan kadang di Jakarta. Di Papua,

    sangat sulit untuk menjaga ketersediaan obat ARV kecuali mereka sangat kaya. Sementara

    di belahan dunia lain HIV termasuk penyakit yang dapat di kelola, di Papua – dan khususnya

    di wilyah pegunungan – kondisi ini merupakan hukuman mati untuk beberapa orang. Untuk

    lebih jelasnya dapat dibaca di tulisan dan foto karya Carole Reckinger dan Antoine Lemaire

    mengenai HIV di Papua.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    15/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  15 

    Bukti anekdot mengindikasikan bahwa hampir semua orang papua yang meninggal karena

    penyakit yang berhubungan dengan AIDS tidak menyadari bahwa mereka mengidap HIV.

    Begitupula dengan keluarga mereka. Di perkampungan di wilayah pegunungan saya

    mendengar kasus demi kasus tentang suami istri yang masih cukup muda meninggal karena

    penyakit yang tidak diketahui, dan diikuti juga oleh kematian anak-anak mereka.

    Untuk penduduk Papua yang telah didiagnosa, gagasan tentang kerahasiaan pasien tidak

    ada: kondisi mereka yang positif HIV mungkin akan tersebar di masyarakat dan

    lingkungannya. Dan mereka sangat ketakutan akan stigma, dimana masyarakat dan keluarga

    akan segera menjauhi orang-orang yang terkena HIV. Gereja lokal mengkhutbahkan bahwa

    HIV merupakan hukuman Tuhan bagi yang berbuat dosa. Media spiritual yang digambarkan

    bedasarkan kepercayaan sebelum Kristen, mengajarkan bahwa HIV/AIDS merupakan hasil,

    bukan karena tidakan atau perilaku, melainkan akibat kutukan yang dapat disembuhkan

    melalui cara-cara spritual yang dapat menggagalkan kutukan tersebut.

    Memperbaiki sistem

    Langkah-langkah yang perlu digunakan untuk memperbaiki layanan kesehatan yang telah

    rusak ini secara umum adalah sama dengan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk

    memperbaiki sistem pendidikan di wilayah pegunungan. Pertama, pihak-pihak terkait harus

    menyadari alasan mengapa sistem yang ada tidak bekerja. Apa yang dibutuhkan oleh para

    petugas kesehatan supaya mereka hadir di tempat kerja mereka, termasuk petugas yang

    mengelola bidang kesehatan di tingkat kabupaten yang bertanggung jawab untuk mengelola

    pelayanan kesehatan di wilayah tersebut. Obat-obatan harus tersedia untuk pengobatan

    yang memerlukan jangka waktu lama. Hal ini berarti mampu mengelola keberlangsungan

    rantai pengadaan obat, penyimpanan yang baik dan benar, dan menjaga agar suhu

    penyimpanan yang sesuai (secara umum disebut sebagai rantai dingin atau ‘cold chain’ ),

    dengan keberadaan petugas yang terlatih mengiringi setiap langkah ini.

    Menjaga suhu merupakan hal yang sangat penting: tanpa hal ini, obat-obatan tidak berguna.

    Pada kenyataannya, dapat lebih buruk daripada tidak berguna: contohnya adalah mencoba

    melakukan pengobatan TB dengan regimen yang tidak dapat dipenuhi karena adanya

    kesalahan dalam rantai penyediaan obat atau penyimpanan dengan suhu yang tidak baik

    (merusak obat) akan mengakibatkan kegagalan pengobatan dan mendorong kea rah TB

    MDR dan XDR yang akan lebih sulit, atau tidak mungkin di obati.

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    16/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  16 

    Pasien menunggu pemeriksaan di Bonohaik. Bapak ini berjalan selama beberapa hari untukmengobati tangannya yang terluka. Dia bias terkena sepsis bila lukanya terinfeksi dan tidaksegera diobati. (Foto: Bobby Anderson)

    Petugas yang tidak masuk kerja atau tidak memiliki kualifikasi yang sesuai harus diganti. Di

    struktur feodal yang kami sebut ‘desentralisasi’, Bupati memiliki kekuasaan yang sangat

    besar. Tetapi mereka perlu dibebaskan dari hak yang dapat mempengaruhi proses pemilihan

    sumber daya manusia untuk layanan kesehatan di kabupaten. Satu hal untuk menghargai

    petugas yang tidak hadir di birokrasi sipil, dimana gaji yang mereka terima diambil dari dana

    kesehatan yang ada, namun akibat dari hal ini adalah kematian yang seharusnya tidak terjadi.

    Posisi yang penting seperti ini seharusnya menjadi pertimbangan dan harus dilindungi.

    Petugas kesehatan seharusnya digaji di tempat dan juga didukung dengan fasilitas yang

    mereka butuhkan. Dukungan fasilitas ini seharusnya diberikan hanya kepada petugas

    kesehatan baru atau mereka yang memiliki catatan yang baik dalam bekerja. Memberikan

    tambahan dukungan fasilitas kepada mereka yang tidak hadir dalam melaksanakan tugas

    dengan harapan mereka akan bekerja adalah sama dengan memberikan penghargaan

    kepada orang yang lalai.

    Dalam periode sementara perbaikan sistem pemerintahan, salah satu pilihan untuk

    pemerintah kabupaten dan provinsi adalah dengan secara formal mengenali institusi paralel

    yang telah di bentuk untuk mengisi kekurangan dalam layanan kesehatan. Pemberi layanankesehatan berbasis kelompok masyarakat – seperti Yasumat, Kalvari, dll – telah dikenali

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    17/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014  17 

    sebagai bagian yang sangat penting dalam sistem. Para pekerjanya seharusnya dapat

    dimasukkan dalam sistem pemberian gaji oleh pemerintah, tetapi dibayarkan melalui gereja

    atau lembaga lainnya yang mengelola sistem tersebut.

    Bahkan usaha melakukan perubahan ini hanya akan memperbaiki bagian luarnya saja

    (kosmetik). Hal yang busuk masih tetap disana, karena kondisi ini terjadi tidak hanya pada

    posisi pendidikan dan kesehatan saja, dimana pegawai tidak hadir dan melakukan

    pekerjaannya. Tidak ada satupun elemen dalam birokrasi Papua yang tidak terpengaruh

    dengan penyakit malas ini. Otonomi khusus tidak berjalan. Tetapi kegagalannya secara

    mudah ditutupi oleh hal sederhana yang dikaitkan dengan hak masyarakat Papua yang mana

    tidak memperbaiki apa yang rusak dalam sistem. Kebijakan hak terhadap minoritas telah

    disalah artikan sebagai kembalinya kekayaan Papua menjadi milik individual. Yang

    mengambil keuntungan adalah para elite lokal dan mereka yang memiliki koneksi dengan

    para elit tersebut baik melalui marga, suku atau ikatan lainnya. Masyarakat umum telah

    dicurangi haknya untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan karena hal ini.

    Digilas roda modernitas?

    Saya teringat akan gambaran tentang anak muda Papua dengan badan kurus yang

    berjongkok di kardus yang telah diratakan, dekat tumpukan sampah yang telah dibuang oleh

    pemilik toko yang merupakan seorang pendatang atau migran. Saya berjalan kearahnya

    pada suatu malam di Jayapura, pada bulan September 2011, saya berhenti dan bicara

    kepadanya. Dia barusaja datang di Jayapura dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang

    terbatas. Dia berjalan dari kampung di Keerom, yang berjarak satu hari. Dia memeluk

    lututnya, tasnya ditumpuk di belakangnya. Semua keahliannya yang berasal dari kampung

    telah usang dan tidak lagi sesuai dengan dunia yang beraspal dan papan sirkuit yang jauh

    berbeda dari dunianya.

    Hal ini sudah lumrah terjadi dari satu budaya ke budaya lainnya yang tidak berhenti berdarah

    karena masuknya modernitas keseluruh pelosok dunia. Penetrasi ekonomi modern dan

    perubahan budaya yang datang bersama mereka tidak dapat dibendung. Namun efek ini

    dapat diredam dengan memberikan pengetahuan dan alat bagi masyarakat yang budayanya

    mulai tenggelam. Hanya dengan persiapan dan perlengkapan yang baik mereka akan

    mampu bertahan dalam dunia baru ini, dan mereka mampu untuk mengambil keputusan

    untuk diri mereka sendiri tentang bagaimana cara mereka dapat beradaptasi, tidak perduli

    seberapa berat keputusan yang telah mereka ambil. Pendidikan dan kesehatan sangat

    penting untuk mempertahankan diri.

    Saat mereka sangat membutuhkan pendidikan dan kesehatan, mereka dicekoki dengan

    fantasi yang berlebihan tentang kemerdekaan yang harus terjadi dan dijanjikan bahwa hal ini

    akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tetapi bila daerah perkampungan Papua

    tidak memiliki akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan yang berfungsi, merekaakan hancur dalam beberapa generasi mendatang. Keberlanjutan akan sistem yang rusak

  • 8/18/2019 Mati Sia Sia- Kegagalan Sistem Kesehatan Di Papua

    18/18

    Mati Sia-Sia Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014 18

    dan tidak berfungsi akan menghasilkan kampung yang angka buta huruf dan tingkat

    pertumbuhan penduduknya negatif, mereka hanya akan berdagang seadanya sampai

    mereka mati sebelum waktunya. Setiap orang yang mengambil gaji tanpa datang bekerja

    baik di bidang pendidikan atau kesehatan di wilayah pegunungan, ikut terlibat di dalam

    proses yang membuktikan adanya autogenocide (genosida yang terjadi dengan sendirinya).

    Ikut menjadi pengamat dalam melanjutkan tragedi ini dan juga untuk ikut bersekongkol di

    dalamnya.

    Ini adalah masalah yang mendesak.

    Bobby Anderson ([email protected]) bekerja di bidang kesehatan, pendidikan dan pemerintahan

    di Indonesia Timur, dan dia sering mengunjungi provinsi Papua. Artikel ini dan juga artikel lainnya dapat

    ditemukan di http://independent.academia.edu/BobbyAnderson/