Top Banner
Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya
139

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Nov 18, 2014

Download

Real Estate

Fitri Wardhono

Aktifitas perekonomian perkotaan mempunyai kontribusi
signifikan terhadap aktifitas perekonomian nasional. Kotribusi
tersebut dapat ditunjukkan pada pertumbuhan kontribusi melalui
perubahan kurun waktu. Pada tahun 1980-an kontribusi aktifitas
perekonomian hanya sebesar 61,1%. Sedangkan di akhir tahun
perhitungan (tahun 2008), kontribusi aktifitas perekonomian
perkotaan sudah mencapai 78,1% atau hampir mencapai 80%
dari seluruh aktifitas perekonomian nasional.
Arah kebijakan ini melihat bahwa dimensi perkotaan perlu
dimanfaatkan potensinya untuk berbagai bidang pembangunan
(misalnya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi).
Namun tidak berarti upaya pembangunan hanya fokus ke
pembangunan perkotaan, karena pembangunan perdesaan tetap
harus diperhatikan untuk menjaga hubungan desa-kota yang
seimbang.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Page 2: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-2

Daftar Isi

Bahan 1 Narasi Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional.................... 1-3

Bahan 2 Resolusi Konflik Menuju Kerjasama Antar Kota di Era Otonomi* .................................................................................. 2-42

Bahan 3 Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip............................................. 3-48

Bahan 4 Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah Metropolitan di Indonesia (Tantangan Pengembangan Wilayah Dalam Konteks Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah) ....................................... 4-64

Bahan 5 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan wilayah ................ 5-81

Bahan 6 Gerbangkertasusila ................................................................ 6-105

Bahan 7 Konsep Kerjasama Daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sebagai Upaya Penataan Ruang Wilayah Pesisir....................................................................... 7-113

Bahan 8 Pengembangan Kerjasama Regional Pengembangan di Kawasan Cekungan Bandung, Studi Kasus Program Bandung Ecotown .................................................................. 8-132

Bahan 9 Sasaran Kerjasama Dalam Penataan Ruang Wilayah ........... 9-139

Page 3: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-3

Bahan 1 Narasi Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional

Draft: 12 Februari 2010

1.1. Bab I : Pendahuluan

Sebagaimana umumnya negara-negara yang ekonominya sedang tumbuh, Indonesia mengalami proses pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan yang cukup pesat (dengan persentase sebesar 5.89% dibanding persentase pertumbuhan penduduk total sebesar 1.175%), sehingga diperkirakan mulai sekitar tahun 2009 akan lebih banyak penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perkotaan daripada yang tinggal di kawasan perdesaan. Proses pertambahan penduduk perkotaan, atau yang umum disebut urbanisasi ini, terjadi akibat tiga hal: (i) perpindahan penduduk dari kawasan perdesaan ke kawasan perkotaan, (ii) perluasan kawasan perkotaan termasuk ke kawasan-kawasan pinggiran yang sudah berpenduduk, dan (iii) pertumbuhan penduduk natural di kawasan perkotaan.

Gambar 1.1

Perbandingan Proyeksi Persentase Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia 2000-2025

Sumber: BPS 2009 (diolah)

Page 4: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-4

Meskipun dengan perubahan struktur demografi tersebut Indonesia telah memasuki era “negara urban,” namun kesiapan pemerintah maupun masyarakat pada umumnya masih terbatas dan umumnya bersifat reaktif, dan tidak antisipatif. Padahal kota dengan karakteristiknya yang berbeda dengan desa – seperti kepadatan penduduk, bangunan dan lalu-lintas yang tinggi – membutuhkan sikap, disiplin dan aturan berperilaku masyarakat yang berbeda. Demikian pula, kota memerlukan pola dan jenis perencanaan, pembangunan dan pengelolaan berbagai aspek – termasuk dalam hal sarana dan prasarana – yang tidak sama dengan yang dibutuhkan oleh kawasan bukan kota.

Terdapat tiga permasalahan utama perkotaan pada umumnya.

a. Pertama, ketidakmampuan pemerintah kota untuk memastikan terwujudnya lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi yang kondusif namun tetap memenuhi kesejahteraan rakyat dan meningkatkan daya saing hingga ke tingkat global. Untuk itu, diperlukan reformasi pemerinta mhan kota dan inovasi baru dalam manajemen kota sehingga kota mampu memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan agenda pembangunan kotanya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas finansial kota adalah melalui pemanfaatan potensi ekonomi lokal secara optimal. Secara bersamaan, tingkat kemiskinan kota juga perlu dikurangi agar terciptanya masyarakat perkotaan yang sejahtera dan produktif secara ekonomi dan turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi perkotaan.

b. Permasalahan kedua adalah sarana prasarana kota dan perumahan-permukiman yang tidak memadai bagi warga kota sehingga mengakibatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan yang relatif rendah dan juga menurunkan tingkat daya saing kota karena tidak mampu menarik arus masuk modal dan manusia.

c. Ketiga, tingkat pencemaran lingkungan perkotaan yang semakin tinggi akibat kegiatan dan jumlah penduduk perkotaan yang masif. Diperlukan upaya untuk memastikan bahwa kegiatan perkotaan masih sesuai dengan daya dukung lingkungan perkotaan. Pengabaian akan hal ini dapat mengakibatkan tingkat kerawanan bencana perkotaan yang semakin tinggi (terkait dengan land subsidence, berkurangnya daerah resapan air serta perubahan iklim), baik terhadap bencana alam ataupun man-made disaster (kebakaran, banjir, dan seterusnya).

Page 5: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-5

1.2. BAB 2 : TUJUAN, VISI, MISI DAN PRINSIP DASAR

1.2.1. Tujuan Penyusunan Kebijakan dan Strategi Nasional Perkotaan

Memberi arah yang jelas dan terukur bagi perencanaan, pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan di Indonesia agar sumber daya yang terbatas dan potensi yang ada dapat digunakan sebaik-baiknya untuk mewujudkan visi perencanaan, pembangunan dan pengelolaan perkotaan

1.2.2. Visi dan Misi Pembangunan dan Pengelolaan Perkotaan

“Terwujudnya masyarakat dan pemerintah daerah perkotaan yang mandiri dan berkelanjutan, sekaligus menciptakan kota yang memenuhi kesejahteraan rakyatnya secara berkeadilan dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, regional atau bahkan nasional pada tahun 2025”

Untuk mencapai visi tersebut, misi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengupayakan secara bertahap, terus menerus, konsisten dan terpadu agar semua kota di Indonesia pada tahun 2025 dapat memenuhi standar pelayanan perkotaan minimal yang ditetapkan melalui sebuah peraturan pemerintah

[Catatan: mungkin PP 65/2005 tentang Standard Pelayanan Minimal dan PP 34/2009 tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan dapat ditinjau kembali atau langsung dijadikan rujukan dalam menyusun apa yang disebut standard pelayanan minimal perkotaan yang harus dipenuhi pada tahun 2025].

2. Mengarahkan sebagian kota-kota sedang dan menengah secara bertahap, terus menerus, konsisten dan terpadu untuk menjadi kota-kota yang berperan sebagai pendorong bagi pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dinaunginya (wilayah pengaruhnya) dalam periode waktu 2010 hingga 2025

[Catatan: tidak setiap kota dapat otomatis berperan positif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya sebagaimana yang diharapkan ini; sebagian besar justru bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Untuk itu diperlukan kebijakan dan tindakan khusus yang mengarahkan terwujudnya interaksi yang saling menguntungkan ini. Kota-kota sedang dan menengah ini kemungkinan terdiri atas sebagian

Page 6: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-6

PKN dan seluruh PKW dalam RTRW-Nasional yang saat ini berlaku].

3. Mendorong sejumlah kecil kota secara bertahap, terus menerus, konsisten dan terpadu untuk dapat memiliki kelengkapan sarana, prasarana (termasuk transportasi umum massal) serta ‘amenities’ yang dapat bersaing di tingkat internasional dalam periode waktu 2010 hingga 2025

[Catatan:Khusus bagi sebagian yang sudah ditetapkan sebagai PKN dalam RTRW-Nasional yang sedang berlaku dan sebagian lagi kota-kota atau kawasan perkotaan yang memiliki karakteristik khusus seperti untuk pusat wisata dan lainnya. Namun, hampir dapat dipastikan bahwa tidak bisa semua 37 PKN yang ada dalam RTRWN diarahkan untuk menjadi kota berkelengkapan dan berdaya-saing internasional pada tahun 2025, mengingat keterbatasan sumberdaya nasional yang ada dan mengingat ketatnya persaingan antar-kota dalam mengundang investasi dan kegiatan global, khususnya dengan kota-kota di Asia Timur dan Asia Tenggara, yang mendapat dukungan sumberdaya signifikan dari pemerintah nasionalnya masing-masing].

1.2.3. Prinsip Dasar Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan Perkotaan

Rancangan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional ini memiliki tiga prinsip-dasar pemahaman akan pembangunan perkotaan di Indonesia, yaitu:

1. Kota harus dilihat sebagai suatu ”entitas sosio-spasial” di mana wujud fisik dan ruang adalah cermin dari kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakatnya. Oleh karena itu upaya pembangunan kota tidak bisa lepas dari upaya pengembangan masyarakatnya.

2. Kota adalah bagian dari lingkungan sekitarnya, baik lingkungan yang bersifat alami seperti hutan, sungai, daerah aliran sungai, teluk, laut, pegunugan dan lain-lain. maupun lingkungan buatan seperti kawasan perdesaan atau kota-kota lainnya. Oleh karena itu kota yang berkelanjutan tidak hanya harus baik bagi masyarakat dan lingkungan di dalam kota itu sendiri tetapi juga harus berkontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Pembangunan kota juga harus sesuai dengan (harus mempertimbangkan) kondisi geografis-historis setempat.

Page 7: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-7

3. Kota-kota Indonesia harus terbuka untuk semua orang, tidak ada diskriminasi berdasarkan kaya-miskin, asli-pendatang maupun perbedaan agama, suku, dan identitas pribadi lainnya.

Ketiga prinsip dasar ini menjadi basis bagi kebijakan perkotaan nasional yang diusulkan serta mempengaruhi tingkat keberhasilan pewujudan kebijakan perkotaan tersebut.

1.2.4. Filosofi Penyusunan KSPN

Konsep ini melihat bahwa Wealth disebarkan berdasarkan orang, bukan ruang. Secara ruang, wealth terkonsentrasi, tetapi tersebar merata bagi manusia. Kelemahan konsep ini adalah, manusia asli kota akan lebih punya advantage dari pendatang. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memfasilitasi dan menyiapkan pendatang untuk mampu hidup “berkota” (dari segi skills). kota juga harus berprinsip terbuka untuk semua.

Di dalam urban led development policy bukan hanya mengenai alokasi sumber daya terpusat di kota, tapi justru memanfaatkan added value yang dibuat kota untuk menghasikan ekonomi dan di spread ke wilayah (dengan menggunakan intervensi pemerintah yang memastikan hasil tersebut tersebar ke daerah (di tingkat pusat)). Bentuk intervensi tersebut adalah “affirmative action”, peningkatan kapasitas, dan upaya penguatan di daerah sehingga desa tetap memiliki “bargaining position” yang lebih tinggi (“levelling the playing field”).

(Kegiatann perkotaann mampu mengakomoodasi kebuttuhan untukk individu untuk teruus meningk atkan kemammpuan dirinnya (“the ideea of progreess (in qualiity of life)”)), sedangkaan kegiatan perdesaan cenderung lebih me nekankan ppada konseep “harmonnisasi” antarra pemenuhhan kebutuhaan dasar denngan alam ssekitarnya. Oleh karenaa itu, harus diakui bahwwa ada keterrbatasan sekktor perdesaaan untuk daapat meningkkatkan “welll-being” maanusia (dalamm hal pendiidikan, dan ddaya saing), sehingga teerjadi arus urrbanisasi da lam kurun wwaktu terakhhir ini).

Akan tetaapi, perlu diitekankan baahwa konsepp ini tidak mmendorong orrang untuk bermigrasi kke kota, nammun justru mmendorong ppembangunaan kota-kotaa baru yang mampu meengakomodaasi kebutuhaan masyarakaat dari desa yyang ingin mmengalami ““the idea of pprogress” terrsebut. Di dalamm konsep

Page 8: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-8

ini, paradigma kegiatan kotta yang menngkonsumsi ssumber dayaa secara masif perlu diruubah. Kota jjustru harus dilihat sebaagai jawabann dari upayaa pengentasaan kemiskinaan dan penjaagaan kualit as lingkungaan.

Cari dataa persebaran kekayaan neegara.

Gambar 1.2 Metode Peerumusan Viisi, Misi dan Sasaran KSPPN

1.3. BAB 3 PERMASALAHAN PERKOTAAN UMUM, KHUSUS DAN STRATEGIS

1.3.1. Permasalahan Umum

Upaya identifikasi masalah perkotaan, baik melalui lokakarya regional maupun dengan desk-study menghasilkan daftar masalah sebagai berikut:

1. Aspek Kependudukan-Sosial-Budaya

a. Keterbatasan kemampuan antisipasi dan fasilitasi pertambahan penduduk perkotaan (urbanisasi) beserta karakteristiknya (dengan piramida penduduk yang meningkatnya jumlah penduduk remaja dan anak-anak) serta distribusi kependudukan yang tidak merata

b. Kurangnya rasa kepemilikan warga terhadap kota dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap proses perencanaan, penyusunan anggaran dan pemantauan dalam pembangunan kota

c. Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) perkotaan yang secara umum relatif masih rendah (walau sudah lebih tinggi daripada masyarakat perdesaan)

d. Ketaatan hukum yang masih sangat rendah seiring dengan menurunnya modal sosial di masyarakat perkotaan

e. Potensi budaya dan kearifan lokal yang belum termanfaatkan secara optimal dalam pembangunan perkotaan serta memudarnya nilai-nilai budaya, moral, etos kerja dan kehidupan ‘berkota’ pada warga perkotaan

f. Potensi konflik antar warga yang cukup signifikan di kelompok masyarakat perkotaan tertentu

g. Keterbatasan aksesibilitas warga terhadap pelayanan dasar

Page 9: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-9

serta keterbatasan peluang pemanfaatan aset sosial-budayanya.

2. Aspek Ekonomi-Finansial-Kemiskinan Kota

a. Potensi ekonomi lokal yang belum termanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta daya saing kota

b. Ekonomi informal perkotaan yang belum terkendali dengan baik (serta belum adanya strategi yang jelas untuk menghadapi pertumbuhan kegiatan ekonomi informal), termasuk kurangnya perlindungan hukum bagi mereka dan kurang lancarnya proses perizinan dan pembinaan terhadap kegiatan ekonomi informal.

c. Tingginya tingkat kemiskinan dan tingkat penganguran di kawasan perkotaan

d. Keterbatasan kapasitas fiskal/finansial pemerintah daerah yang salah satu sebabnya adalah Rendahnya investasi masyarakat dan dunia usaha

e. Ketidakteraturan lokasi usaha dan pasar

f. Industri pengolahan, perdagangan dan jasa yang belum berperan

g. Sarana prasarana fisik dan non fisik yang kurang mendukung kelancaran perdagangan

h. Sulitnya sistem pengkreditan yang diberikan kepada penduduk miskin

i. Tingginya suku bunga yang diterapkan oleh lembaga keuangan swasta terhadap Usaha Masyarakat Kecil Menengah (UMKM)

3. Aspek Sarana-Prasarana-Perumahan

a. Keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan sarana-prasarana dasar perkotaan (termasuk sanitasi dan air minum serta energi/listrik), lebih khusus lagi keterbatasan akses kepada pelayanan perkotaan bagi kaum miskin.

b. Keterbatasan penyediaan rumah layak dan terjangkau, khususnya bagi kaum miskin, yang disertai dengan keterbatasan jumlah, kualitas dan keterpaduan sarana-

Page 10: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-10

prasarana dasar perkotaan sebagaimana disebutkan dalam butir di atas menyebabkan masih tumbuhnya serta belum tertanganinya secara memadai berbagai permukiman kumuh di kawasan perkotaan yang tidak hanya membahayakan kelangsungan hidup bagi penghuninya tetapi juga menghambat upaya peningkatan kesejahteraan mereka (walaupun di dalam permukiman-permukiman kumuh seperti ini sering dijumpai masyarakat yang guyub dan berjiwa kewirausahaan yang tinggi)

c. Belum adanya transportasi massal yang efisien, khususnya di kota-kota metropolitan dan besar

d. Belum meratanya infrastruktur teknologi-informasi-komunikasi (TIK) yang semakin penting di dalam pembangunan di masa datang serta masih terbatasnya karakteristik kota-kota Indonesia yang kondusif bagi pertumbuhan industri kreatif

e. Belum terpenuhinya sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang berkualitas terpadu dan partisipatif

f. Kurang adanya strategi pembangunan prasarana, sarana dan perumahan yang jelas terukur dan mndudukan fungsi prasarana sebagai pengarah dan pengenderali struktur ruang kota.

g. Kondisi geografis daerah (misalnya daerah pesisir) sebagai belum dipertimbangkan sebagai karakter utama dalam pembangunan sarana dan prasarana dalam perkotaan maupun pengembangan ekonomi lokal.

h. Sulitnya pengadaan lahan perkotaan untuk sarana dan prasarana (tidak hanya secara fisik tapi juga secara legal/administratif dan ekonomi)

i. Kurangnya jumlah ruang hijau di wilayah perkotaan (ruang terbuka hijau (RTH) dan hutan kota).

4. Aspek Tata Ruang dan Ketimpangan Regional

a. Masih besarnya ketimpangan antar-wilayah dalam hal pembangunan dan taraf hidup warga.

b. Masih tingginya migrasi desa-kota yang diakibatkan oleh ketimpangan desa-kota (perbedaan kualitas hidup dan

Page 11: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-11

perbedaan kesempatan peningkatan kesejahteraan antara perdesaan dan perkotaan).

c. Belum terwujudnya hirarki dan tata peran kota-kota yang jelas sebagaimana yang diarahkan dalam rencana tata-ruang nasional (PKN, PKW, PKSN dan lain-lain). Pun, pembagian yang ada dalam rencana tata-ruang nasional masih belum memungkinkan terwujudnya kota-kota atau kawasan perkotaan unggulan di tingkat internasional.

d. Urban sprawling (pertumbuhan kawasan perkotaan yang meluas, kepadatan relatif rendah dan boros lahan) yang sudah menggejala tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga kota sedang/menengah

e. Keterbatasan ruang publik di perkotaan serta pemanfaatan ruang publik yang ada pun seringkali tidak sesuai dengan fungsi yang ada serta tingginya harga lahan

f. Belum ada konsistensi kebijakan dan strategi pengembangan sistem perkotaan nasional dan daerah, begitu pula antara daerah dengan subsistem daerah lainnya. Antara lain, lambannya legitimasi Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau (RTRWP) sehingga belum dapat diintegrasikan secara terpadu dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) dan strategi pembangunan daerah dalam arti keseluruhan.

g. Belum terbangunnya simpul dan kerjasama ekonomi yang lebih produktif antar daerah dalam suatu sistem kewilayahan tata ruang terpadu.

5. Aspek Lingkungan dan Mitigasi Bencana

a. Kualitas lingkungan perkotaan yang cenderung menurun (polusi dan lain-lain)

b. Tapak ekologis perkotaan yang cenderung meningkat

c. Tata bangunan dan lingkungan yang belum memperhatikan daya dukung lingkungan setempat

d. Kurangnya kesiapan antisipasi dan upaya mitigasi bencana

e. Kurangnya koordinasi antar lembaga dalam menjaga kondisi lingkungan

Page 12: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-12

f. Kurangnya fungsi pengawasan terhadap kegiatan pembangunan perkotaan yang merusak kondisi lingkungan, baik dari segi pemerintah maupun masyarakat.

6. Aspek Tata Kelola dan Kelembagaan

a. Kurangnya kepemimpinan kota yang visioner dan berpihak kepada rakyat (walau telah ada segelintir contoh-contoh yang baik seperti Solo, Tarakan dan lain-lain)

b. Keterbatasan dalam penerapan tata-pemerintahan yang baik serta manajemen perkotaan yang efektif dan efisien.

c. Keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) aparat pengelola kota

d. Belum berkembangnya kerjasama antar-wilayah dan antar-pihak yang efektif dan efisien serta melindungi kepentingan publik

e. Pola partisipasi publik yang masih belum jelas dalam proses-proses pengambilan keputusan

f. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan kepala daerah

1.3.2. Permasalahan Khusus

1. Permasalahan Khusus Per-Wilayah

Terdapat pula permasalahan yang khas per-wilayah sebagai berikut:

a. Wilayah Sumatera

1) Kota-kota di wilayah Sumatera umumnya memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi serta distribusi kepadatan penduduk yang kurang merata (terutama antara kota besar dengan kota sedang dan kecil).

2) Kota-kota di wilayah Sumatera juga masih mengalami permasalahan kurangnya pelayanan dasar (terutama listrik), perumahan yang layak dan terjangkau serta air bersih. Keterbatasan pelayanan dasar ini turut berimplikasi pada kurang optimalnya kegiatan industri dan perekonomian perkotaan (khususnya sektor usaha ekonomi menengah-kecil).

3) Dari segi sosial-budaya, pembangunan fisik perkotaan

Page 13: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-13

belum optimal dalam menonjokan potensi budaya perkotaan untuk industri pariwisata. Selain itu, upaya pemerintah kota dan masyarakat untuk menjaga cagar alam, fisik dan kearifan lokal sebagai salah satu modal perkotaan juga masih rendah.

4) Dari segi perekonomian, permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota wilayah Sumatera adalah rendahnya investasi modal yang masuk sehingga tidak mampu meningkatkan kapasitas fiskal daerah secara signifikan. Hal ini pada akhirnya

5) menyulitkan pembiayaan pembangunan secara keseluruhan dan berakibat pada kurangnya mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat kota serta sulitnya upaya pengentasan kemiskinan.

6) Pembangunan kawasan perkotaan juga belum tertata dan cenderung tidak terkendali. Hal ini tercermin dari besarnya jumlah pelanggaran peruntukan yang cukup tinggi, kapasitas kelembagaan yang kurang memadai, dan kurangnya pembangunan prasarana jalan.

7) Dari segi tata kelola dan kelembagaan, kota-kota di wilayah Sumatera belum sepenuhnya memiliki pejabat di tingkat level atas yang visioner serta sistem rekruitmen yang kurang berdasarkan pada meritokrasi (cenderung lebih berat pada aspek politis). Permasalahan lain adalah adanya ‘overlapping’ tupoksi antar dinas, belum jelasnya pola kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta serta kurangnya upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas partisipasi publik di dalam kegiatan pembangunan perkotaan.

8) Dari segi lingkungan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan perkotaan, kualitas lingkungan perkotaan di kota-kota wilayah Sumatera cenderung menurun. Selain tingginya tingkat pencemaran udara, air dan tanah dan persampahan yang bertambah, salah satu masalah lingkungan yang mengemuka adalah penurunan fungsi badan air sebagai drainase alami (seperti rawa, sungai, balong).

9) Kota-kota di wilayah Sumatera juga umumnya rawan

Page 14: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-14

bencana, sehingga dibutuhkan mitigasi (pengendalian resiko) bencana yang lebih baik dan terintegrasi dengan rencana pembangunan perkotaan.

b. Wilayah Jawa-Bali

1) Permasalahan perkotaan di kota-kota wilayah Jawa-Bali didasari oleh tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di kota-kota wilayah Jawa Bali sehingga menyulitkan upaya antisipasi kebutuhan sarana prasarana dasar perkotaan dan tidak terjaminnya aksesibilitas seluruh warga terhadap pelayanan dasar perkotaan.

2) Fokus pembangunan yang cenderung fokus pada optimalisasi pertumbuhan ekonomi juga mengakibatkan kota-kota di wilayah Jawa-Bali kurang mengakomodir kebutuhan sosial budaya masyarakat perkotaannya. Hal ini mengakibatkan rendahnya modal sosial dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pemeliharaan lingkungan perkotaan yang tercermin dari rendahnya ketaatan hukum (tidak hanya kasus pidana-perdata, namun juga terhadap tata aturan berkota yang dapat terlihat dari banyaknya kasus pelanggaran peruntukan lahan, tata tertib perizinan, berlalu lintas), serta banyaknya penyakit sosial di masyarakat.

3) Dari segi perekonomian, permasalahan kota-kota di wilayah Jawa-Bali adalah kurangnya daya saing dan daya tarik bagi produk barang maupun produk wisata yang dihasilkan akibat kurangnya infrastruktur dan modal sosial yang memadai.

4) Dari segi tata ruang, permasalahan yang muncul adalah pertumbuhan kota yang tidak terkontrol (“urban sprawling”), ketidakmampuan kota-kota kecil untuk berperan dalam mengurangi ketimpangan kota-desa, serta minimnya ruang publik.

5) Dari segi aspek tata kelola dan kelembagaan, permasalah di kota-kota wilayah Jawa Bali adalah kurangnya pendidikan politik di masyarakat, birokrasi yang tidak efisien (terlalu gemuk), sistem pengembangan SDM aparat yang masih lemah, belum adanya

Page 15: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-15

mekanisme pengaduan kinerja aparat yang berfungsi efektif, dan pelaksanaan kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta yang masih kurang.

6) Untuk kota-kota di Jawa-Bali, isu utama lingkungan adalah pencemaran udara, air dan tanah dan persampahan. Isu-isu lainnya adalah kesadaran terhadap lingkungan yang masih rendah, kurangnya kepedulian terhadap energi yang terbarukan (“renewable energy”). Dalam mengelola lingkungan, kota-kota tersebut juga harus menghadapi isu pengelolaan lingkungan antara lain rendahnya pembiayaan dan teknologi yang tidak terbaru.

7) Kota-kota di wilayah Jawa-Bali juga umumnya rawan bencana, sehingga dibutuhkan mitigasi (resiko) bencana yang lebih baik dan terintegrasi dengan rencana pembangunan perkotaan.

c. Wilayah Sulawesi

1) Permasalahan perkotaan di wilayah Sulawesi adalah kurangnya kualitas sarana dan prasarana perkotaan, baik fisik maupun non fisik.

2) Kebijakan kota juga belum mencerminkan karakteristik kota wilayahnya (hal ini terkait dengan kondisi geografis dan nilai sosial budaya warga belum sepenuhnya diakomodir oleh sarana prasarana perkotaan).

3) Dari segi sosial-budaya, permasalahan utama adalah kecenderungan adanya konflik di antara masyarakat perkotaan yang terkait dengan kuatnya nilai budaya serta kesenjangan ekonomi-sosial di masyarakat dan belum ditanggapi dengan pendekatan pendekatan sosial-budaya dalam manajemen konflik yang lebih memadai.

4) Dari segi perekonomian, permasalahan yang mengemuka adalah sumber daya manusia dan alam yang belum dimanfaatkan secara optimal serta terbatasnya sumber daya modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota-kota di wilayah Sulawesi.

5) Kota-kota di wilayah ini juga masih memiliki isu

Page 16: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-16

ketimpangan antar wilayah yang cukup tinggi, baik antara kota besar dengan kota sedang-kecil (misalnya antara kota Makassar dengan kota-kota lainnya) ataupun antara desa-kota.

6) Dari segi tata kelola dan kelembagaan, kota-kota tersebut dilihat masih memiliki masalah dengan tingkat pendidikan politis dan kekritisan masyarakat dalam memilih pemimpin, serta sistem manajemen rekrutmen SDM yang belum baik (belum selalu sesuai kapasitas pejabat dengan posisi yang ditentukan dan pemanfaatan e-government yang belum maksimal untuk pelayanan publik.

7) Untuk kota-kota di Sulawesi selain isu pencemaran udara, air dan tanah dan persampahan isu-isu lain yang mengemuka adalah “current practices” pemerintah dalam hal penyususan anggaran belanja yang masih belum memperhatikan aspek lingkungan. Isu-isu lainnya adalah degradasi lingkungan di kota pesisir pantai dan kerusakan hutan di kota - kota di daerah perbukitan dan pegunungan.

d. Wilayah Indonesia Timur

1) Permasalahan perkotaan di wilayah Kawasan Indonesia Timur (KTI) adalah kurangnya kualitas sarana dan prasarana perkotaan, baik fisik maupun non fisik.

2) Dari segi sosial-budaya, permasalahan utama adalah kecenderungan adanya konflik di antara masyarakat perkotaan yang terkait dengan kuatnya nilai budaya serta kesenjangan ekonomi-sosial di masyarakat dan belum ditanggapi dengan pendekatan pendekatan sosial-budaya dalam manajemen konflik yang lebih memadai.

3) Dari segi perekonomian, permasalahan yang mengemuka adalah sumber daya manusia dan alam yang belum dimanfaatkan secara optimal serta terbatasnya sumber daya modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota-kota di wilayah KTI.

4) Kurangnya sarana prasarana pendukung untuk

Page 17: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-17

menunjang aktifitas ekonomi, seperti pelabuhan dan jalan.

5) Untuk kota-kota di KTI, isu lingkungan yang mengemuka adalah penyusunan anggaran belanja yang masih belum memperhatikan aspek lingkungan. Isu-isu lainnya adalah degradasi lingkungan di kota pesisir pantai dan kerusakan hutan di kota - kota di daerah perbukitan dan pegunungan. Hal ini terkait dengan kurang dilestarikannya kearifan lokal (seperti budaya Masosi di Maluku) yang cenderung berakibat pada eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol dan kegiatan perkotaan yang tidak ramah lingkungan

e. Wilayah Kalimantan

1) Di kota-kota wilayah Kalimantan, masyarakat perkotaan umumnya masih mengalami rendahnya kualitas hidup akibat terbatasnya kualitas dan aksesibilitas pelayanan publik. Untuk itu, sumber-sumber pendapatan dari daerah perlu diprioritaskan untuk dikembalikan ke wilayah ini dalam rangka mempercepat pembangunan di daerah (terutama untuk membangun infrastruktur untuk menarik investor)

2) Pembangunan di beberapa kota di wilayah Kalimantan belum mencerminkan karakteristik perkotaannya (dalam hal ini, aspek geografis dan aspek historis kota-kota di Kalimantan yang umumnya bersifat kota sungai ataupun kota hutan belum diakomodir ke dalam rencana pembangunan kota dengan baik).

3) Pembangunan ekonomi perkotaan di wilayah ini juga kurang membuka potensi ekonomi bagi masyarakat pesisir, yang sebagian besar termasuk masyarakat miskin, serta tingginya suku bunga pinjaman bagi pengusaha UMKM

4) Kota-kota di wilayah Kalimantan belum memiliki suatu simpul dan kerjasama ekonomi yang lebih produktif antar daerah dalam suatu sistem kewilayahan tata ruang yang terpadu.

5) Kebijakan daerah terkait perekonomian belum

Page 18: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-18

menyentuh dan menguntungkan kepentingan usaha kecil-menangah dan sektor informal.

6) Dalam memenuhi kebutuhan perkotaan, kota-kota di wilayah Kalimantan cenderung belum memiliki pola mekanisme kerjasama antar daerah dan swasta yang belum baik. Selain itu, terdapat isu keterbatasan fiskal dan SDM aparat dalam melakukan pembangunan perkotaan, khususnya karena banyaknya pemekaran daerah.

7) Untuk kota-kota di wilayah Kalimantan, permasalahan lingkungan yang dihadapi tidak hanya pencemaran lingkungan di perkotaan, namun juga kehutanan dan sungai. Hal ini ternasuk perambahan dan pembalakan liar, kebakaran hutan, berkurangnya sempadan sungai dan pencemaran sungai dari limbah rumah tangga, kapal dan industri.

8) Kota-kota di wilayah Kalimantan juga umumnya rawan kebakaran hutan, sehingga dibutuhkan mitigasi yang lebih baik dan terintegrasi dengan rencana pembangunan perkotaan.

2. Permasalahan Khusus Per-Tipologi Kota

a. Kota-kota Metropolitan

1) Terdapat delapan kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar dan Denpasar yang merupakan kota inti dan bersama-sama dengan kota-kota dan kawasan perkotaan di sekitarnya masing-masing membentuk sebuah kawasan metropolitan. Kawasan metropolitan tersebut umumnya berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Dengan total penduduk lebih kurang 24 juta jiwa atau lebih kurang 20% dari total jumlah penduduk perkotaan di Indonesia dengan rata-rata pertumbuhan 1,66%, jauh melebihi jumlah penduduk kawasan metropolitan yang lain, kawasan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur) bahkan membentuk sebuah agglomerasi perkotaan yang sering disebut mega (lo)politan. Permasalahan umum yang ada, antara lain:

Page 19: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-19

2) Kota-kota metropolitan umumnya memiliki penduduk dengan latar belaang pendidikan, asal-usul, suku, agama, tingkat ekonomi yang sangat beragam. Keragaman ini jika tidak tertangani dengan baik, di tengah-tengah kepadatan yang sangat tinggi dan modal sosial yang pada umumnya rendah, mudah menimbulkan ketegangan atau bahkan konflik horizontal (antar anggota masyarakat).

3) Kota-kota metropolitan umumnya memiliki sumberdaya manusia yang lebih baik daripada kota-kota besar, sedang atau kecil, khususnya terkait dengan latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki wargaya. Hal ini juga brarti mereka umumnya lebih kritis terhadap berbagai kekurangan yang ada. Namun demikian, mereka juga umumnya terlalu sibuk dengan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sehingga partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan publik (seperti gotong royong) lebih sedikit.

4) Karena skala pasar yang besar, kota-kota metropolitan umumnya memiliki daya-tarik ekonomi yang sangat tinggi. Di tengah-tengah kondisi Indonesia yang masih diwarnai oleh kesenjangan tingkat kesejahteraan yang lebar, kota-kota metropolitan akan selalu mengundang pendatang untuk mengadu keuntungan. Sektor-sektor yang umumnya dipilih adalah yang bersifat informal karena tidak ada entry barrier. Kegiatan sektor informal perkotaan (di bidang perdagangan retail, transportasi, perumahan, industri dan jasa) ini sangat membantu kaum miskin dan kelas menengah untuk tinggal dan berusaha di kota (bahkan terkadang menjadi satu-satunya tumpuan keberadaan mereka di kota metropolitan terkait). Lebih jauh, sektor informal bahkan dapat menjadi jenjang untuk pengentasan kemiskinan. Sayangnya, sebagian besar kota-kota metropolitan di Indonesia belum memiliki strategi yang jelas dan tepat untuk menangani pertumbuhan sektor informal ini. Padahal jika tidak ditangani dengan baik, sektor informal ini bisa sangat merugikan kepentingan publik pada umumnya serta membahayakan otoritas pemerintah

Page 20: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-20

sebagai pembuat aturan dan pelindung kepentingan publik.

5) Walaupun secara absolut memiliki/mengelola jumlah uang yang lebih besar, namun kota-kota metropolitan di Indonesia pada umumnya (kecuali Jakarta) justru memiliki kapasitas fiskal yang lebih rendah dibanding kota-kota besar atau sedang. Hal ini disebabkan oleh besarnya permasalahan yang harus dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh kota-kota tersebut.

6) Kota-kota metropolitan di Indonesia menghadapi kesenjangan sarana-prasarana dan perumahan layak huni yang jauh lebih besar daripada kota-kota besar, sedang maupun kecil. Hal ini juga terkait dengan sedikitnya serta mahalnya lahan yang tersedia untuk sarana, prasarana dan perumahan, khususnya untuk anggota masyarakat berpenghasilan rendah. Akibatnya perkampungan kumuh pun lebih umumnya lebih merebak dibanding di kota-kota lainnya.

7) Kota-kota metropolitan umumnya juga menimbulkan polusi-polusi yang paling besar, baik yang dirasakan di dalam kawasan metropolitan terkait maupun di wilayah sekitarnya. Bahkan, dampak lingkungan dari kegiatan kota-ktoa metropolitan dapat dirasakan di wilayah (oleh masyarakat) yang jauh dari lokasi kota metropolitan terkait (jejak ekologisnya besar).

8) Kota-kota metropolitan yang umumnya berada di muara sungai besar/tepi pantai menghadapi ancaman dampak perubahan iklim.

9) Kapasitas kelembagaan kota-kota metropolitan umumnya lebih baik. Namun, lagi-lagi, dibandingkan dengan kompleksitas permasalahan yang ada seringkali masih belum sebanding (bisa dilihat dari berbagai permasalahan yang tidak terpecahkan, bahkan terus berkembang seperti kemacetan lalu-lintas, banjir, perkampungan kumuh, dan lain-lain).

10) Kerjasama antara kota inti dan kota-kota atau kawasan perkotaan di sekitar menjadi sangat penting, namun umumnya belum berjalan dengan baik/efektif (masih

Page 21: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-21

ditandai oleh egoisme wilayah dan pertimbangan untung-rugi masing-masing kota secara sempit).

b. Kota-kota Besar

1) Kota-kota besar adalah kota berpendudukan antara 500 ribu jiwa hingga 1 juta jiwa. Sebagian dari mereka adalah ibukota propinsi. Permasalahan umum yang dihadapi kota-kota besar di Indonesia adalah:

2) Keragaman dan kepadatan penduduk sudah mulai tinggi, namun umumnya belum setinggi di kawasan metropolitan. Permasalahan yang terkait dengan penduduk pun sudah mulai mengarah seperti yang dihadapi oleh kota-kota metropolitan, walau dengan skala yang lebih kecil. Umumnya memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi (rata-rata 2.86% dibanding pertumbuhan kota pada umumnya yang sekitar 1.82%).

3) Kapasitas finansial kota-kota besar umumnya lebih baik daripada kota-kota sedang dan kecil. Bahkan, karena tingkat permasalahannya tidak sebesar dan se-kompleks di kota-kota metropolitan, kapasias fiskal kota-kota besar umumnya juga lebih baik (gambaran kuantitatif).

4) Masalah-masalah lain pun cenderung mirip atau mengarah ke permasalahan di kota-kota metropolitan tetapi dengan skala yang lebih kecil. Namun terkadang dengan kemampuan menangani masalah yang tidak jauh berbeda, sehingga kota-kota besar memiliki kesempatan untuk memecahkan masalahnya lebih baik daripada kota-kota metropolitan.

5) Secara umum, inovasi justru sering muncul dari kota-kota besar seperti di Solo (penanganan permukiman kumuh dan sektor informal), Yogya (kerjasama dengan Sleman dan Bantul, walau inisiatif utama justru dipegang oleh Sleman) dan Balikpapan (dalam hal kebijakan kependudukan).

c. Kota-kota Sedang

Kota-kota sedang adalah kota-kota yang berpenduduk antara 100 ribu jiwa hingga 500 ribujiwa. Sebagian dari

Page 22: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-22

mereka adalah ibukota propinsi. Permasalahan umum yang dihadapi kota-kota sedang di Indonesia adalah: Sebagian kota dengan ukuran penduduk sedang sudah berhasil mengembangkan pendekatan inovatif dalam mengatasi masalah perkotaan, seperti Pekalongan (dalam hal perumahan/permukiman, pendekatan pembangunan perkotaan yang manusiawi, dan lain-lain). Namun belum setiap kota memiliki agenda pembangunan kota yang terencana dan terkendali

d. Kota-kota Kecil

Kota-kota kecil adalah kota-kota yang berpenduduk antara hingga 100 ribu jiwa. Sebagiandari mereka adalah ibukota propinsi. Permasalahan umum yang dihadapi kota-kota kecil diIndonesia adalah: Permasalahan umum yang dihadapi oleh kota kecil di Indonesia adalah antara lain mengatasi kemiskinan kota dan aksesibilitas terhadap lapangan kerja yang mengakomodasi jumlah tenaga kerja.

Jumlah 1980 2000 2010 2015 Penduduk Juta

Jiwa

% Juta Jiwa

%

Juta Jiwa %

Juta Jiwa %

< 500 ribu 19,191 57.9 60,194 68.5 86,483 68.3 98,607 68.3 500 rb - 1 juta 3,255

9.8 6,171

7 6,051 4.8 5,810 4

1 juta - 5 juta 4,742 14.3 10,431 11.9 18,830 14.9 17,839 12.4

5 juta - 10 juta 5,984

18 0

0 0 0 5,338 3.7

> 10 juta 0 0 11,065 12.6 15,206 12 16,822 11.6

TOTAL 33,172 100 87,861 100 126,570 100 144,416 100

Tabel 1. Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia per Tiap Jenis Kota Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa) – Sumber: UN Population Division, 2007

Page 23: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-23

3. Permasalahan Prioritas Nasional

Walaupun permasalahan yang dijabarkan di atas bersifat penting namun mengingat sumber daya yang terbatas harus ditetapkan prioritas atau permasalahan yang dianggap paling mendesak untuk diatasi segera. Dalam hal ini diusulkan 14 butir permasalahan prioritas sebagai berikut:

a. Secara makro-sektoral, belum termanfaatkannya potensi kota sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat serta penghapusan kemiskinan. Hal ini juga disebabkan oleh ketidak-terpaduan antara kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan ekonomi perkotaan serta belum dijadikannya pembangunan kota yang kondusif bagi upaya-upaya penumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghapusan kemiskinan. (permasalahan dasar bagi K-1)

b. Secara makro-spasial, belum adanya atau belum jelasnya respon yang tepat terhadap ketimpangan pembangunan antar-wilayah; masih kuatnya konsentrasi pertumbuhan perkotaan – yang sekaligus cermin dari konsentrasi manfaat pembangunan – di Jakarta dan sekitarnya pada khususnya dan pulau Jawa, sebagian Sumatera dan sebagian Sulawesi pada umumnya. Di sisi lain, sumberdaya untuk pembangunan yang ada pada saat ini masih sangat terbatas dan jika disebarkan secara ”sangat merata” ke seluruh wilayah geografis yang ada di Nusantara justru malah tidak akan memberikan manfaat yang maksimal, terutama mengingat banyaknya daerah-daerah yang memiliki kepadatan rendah. Oleh karena itu yang perlu didesentralisasikan adalah konsentrasi-konsentrasi sarana, prasarana dan kegiatan perkotaan sehingga terbentuk lebih banyak konsentrasi-konsentrasi yang cukup kuat di berbagai wilayah di Tanah Air. Hubungan desa-kota juga perlu diperbaiki dan mencegah hubungan kota-desa yang cenderung parasitik (permasalahan dasar bagi K-2)

c. Tingkat pembangunan/pengembangan manusia yang masih rendah, baik yang terkait dengan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan (IPM, walau sudah jauh lebih baik daripada penduduk perdesaan) pada umumnya maupun yang terkait dengan ”tata-cara” tinggal di kawasan perkotaan. Terkait

Page 24: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-24

dengan hal ini, perlu adanya dimensi urbanisasi dalam upaya pengembangan manusia Indonesia agar pada saat hidup berkota, mampu bersaing dan meningkatkan taraf hidupnya. (permasalahan dasar bagi K-3)

d. Masih, bahkan semakin rendahnya modal sosial masyarakat perkotaan yang turut menyebabkan peningkatan kerawanan sosial (kriminalitas, kenakalan remaja, narkoba maupun lainnya) dan kurang berkembangnya/terpeliharanya budaya lokal, serta kurangnya fasilitas bagi remaja/anak-anak untuk menyalurkan/mengembangkan bakatnya di bidang olah-raga, budaya, lainnya (seperti adanya gelanggang remaja); Untuk itu penting sekali untuk meningkatkan kualitas administrasi kependudukan, karena data tersebut merupakan hal yang akurat untuk perumusan kebijakan yang tepat guna dengan komposisi masyarakat

(permasalahan dasar bagi K-3)

[catatan: dua permasalahan di atas sekaligus merupakan representasi dari kurangnya perhatian pembangunan sosial-budaya-manusia kota atau pembangunan yang terlalu berorientasi kepada fisik]

e. Masih rendahnya kapasitas fiskal dan manajemen ekonomi perkotaan pada umumnya seiring dengan belum termanfaatkannya secara optimal potensi lokal untuk pengembangan ekonomi kota, peningkatan daya saing kota serta kesejahteraan masyarakat pada umumnya (termasuk dalam hal ini adalah maraknya praktek retribusi daerah yang ditujukan untuk meningkatkan PAD namun dikuatirkan dalam jangka panjang justru dapat mengecilkan skala ekonomi kota – karena kota tersebut menjadi tidak menarik untuk investasi); (permasalahan dasar bagi K-4)

f. Kegiatan ekonomi informal perkotaan yang belum terwadahi dengan baik (atau belum diresponnya secara tepat pertumbuhan ekonomi perkotaan informal) serta belum teratasinya secara tuntas dan terpadu kemiskinan di perkotaan; (permasalahan dasar bagi K-4)

g. Belum terpenuhinya sarana dan prasarana dasar perkotaan serta kebutuhan enerji yang dapat memungkinkan warga kota hidup dengan layak/nyaman serta memungkinkan ekonomi kota untuk tumbuh dan bersaing (termasuk dalam

Page 25: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-25

hal ini sarana dan prasarana – termasuk transportasi – yang khas dibutuhkan kawasan-kawasan permukiman tertentu seperti permukiman di pulau-pulau kecil, pinggir pantai, pinggir sungai, pinggir hutan, kawasan pegunungan, perbatasan negara dan lain-lain) serta belum diterapkannya keterpaduan antara tata-ruang dan pengembangan sarana-prasarana, khususnya transportasi umum (misalnya diterapkannya prinsip Transit-Oriented Development); (permasalahan dasar bagi K-5)

h. Belum terpenuhinya kebutuhan rumah dan lingkungan permukiman yang layak dan terjangkau bagi semua warga kawasan perkotaan yang terkait dengan aksesibilitas terhadap sumber penghidupan yang tidak menyeluruh bagi masyarakat perkotaan. (permasalahan dasar bagi K-5)

i. Belum diterapkannya penataan ruang perkotaan yang berbasis pemeliharaan lingkungan jangka panjang (termasuk pengendalian ”urban sprawl” dan efisiensi pemanfaatan lahan kota) serta belum ditegakkannya aturan tata ruang yang sudah ada; (permasalahan dasar bagi K-6)

j. Rendahnya kualitas administrasi pertanahan dan jaminan kepemilikan lahan (“secure tenure”) di Indonesia yang merupakan isu strategis di setiap wilayah di Indonesia, dengan penekanan pada aspek yang berbeda-di tiap wilayah. ((permasalahan dasar bagi K-6)

k. Menurunnya kualitas lingkungan perkotaan dan permukiman pada umumnya seiring dengan tidak tertanganinya pencemaran udara, air dan tanah serta tidak memadainya sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan kota (termasuk RTH);

(permasalahan dasar bagi K-7)

l. Belum terintegrasinya upaya-upaya pencegahan, mitigasi dan penanganan pasca-bencana – baik yang alami seperti perubahan iklim, gempa, tsunami, angin topan dan lainnya maupun yang buatan manusia seperti kebakaran, banjir dan lainnya – ke dalam sistem perencanaan, pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan pada umumnya;

(permasalahan dasar bagi K-7)

Page 26: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-26

m. Masih relatif kurangnya kepemimpinan (walikota atau kepala daerah) yang visioner dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas serta lemahnya kapasitas manajemen/birokrasi/aparat untuk menerjemahkan visi tersebut ke dalam tindakan nyata (menyangkut kapasitas aparat, tupoksi yang tumpang-tindih, kemampuan kerjasama/koordinasi yang terbatas, peraturan yang tidak berorientasi kepada kepentingan umum, peraturan yang tidak diterapkan, sistem rekrutmen yang tidak baik dan lain-lain); (permasalahan dasar bagi K-8)

n. Masih terbatasnya penerapan prinsip-prinsip tata-pemerintahan yang baik (”good governance”) termasuk dalam hal transparansi, akuntabilitas dan partisipasi serta efisiensi dan efektifitas yang juga terkait dengan masih terbatasnya upaya pencegahan dan penindakan terhadap praktek-praktek korupsi (termasuk dalam hal ini adalah peran-serta masyarakat yang lebih besar dalam proses perencanaan, pembangunan serta pengelolaan dan monitoring).

(permasalahan dasar bagi K-8)

1.3.3. Kondisi Lingkungan Strategis yang Menentukan

1. Konteks Perkembangan Global

Globalisasi ekonomi yang diiringi dengan persaingan antar kota-kota di dunia sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi regional/negara masing-masing. Persaingan global ini akan semakin menuntut kota-kota berlomba menjadi tempat tinggal dan beraktifitas yang tidak hanya memiliki sarana dan prasarana memadai dan kompetitif (termasuk hotel dan sarana konvensi yang bertaraf internasional), tetapi juga secara umum harus: (i) atraktif bagi investasi – termasuk dalam hal kemudahan birokrasi, (ii) menarik untuk dikunjungi, termasuk memiliki amenities dan keindahan visual, (iii) aman dan nyaman untuk dikunjungi maupun dihuni (antara lain tingkat kriminalitas yang rendah), maupun (iv) memiliki lingkungan yang kondusif bagi meningkatnya produktifitas dan kreativitas. Tanpa karakteristik ini, sulit bagi kota-kota kita untuk berperan secara optimal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah dan meningkatkan kesejahteraan warga.

Page 27: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-27

2. Konteks Perkembangan Nasional

Desentralisasi dan demokratisasi tata pemerintahan mempengaruhi efektifitas kebijakan nasional, khususnya yang terkait dengan pembangunan skala lokal. Di samping itu kapasitas daerah untuk menjalankan kewajibannya di bidang pembangunan perkotaan masih perlu ditingkatkan, apalagi pada kota-kota yang diarahkan untuk menjadi pusat-pusat pertumbuhanwilayah (yang bersifat positif, bukan eksploitatif). Kerjasama antar kota maupun antara kota dengan daerah di sekitarnya penting untuk terus didorong dan diperkuat. Sementara itu peranpropinsi perlu lebih diperjelas.

3. Konteks Perkembangan Lokal/Daerah

Meningkatnya kepadatan penduduk serta perebutan ruang antara penggunaan tanah yang subur untuk pertanian dengan perkotaan (ancaman terjadinya ‘pulau kota’).

1.4. BAB 4 : KEBIJAKAN DAN STRATEGI PERKOTAAN NASIONAL

1.4.1. Kebijakan Perkotaan

Usulan kkebijakan daan strategi pperkotaan nasional di ddalam naras i ini memp ertimbangkaan permasallahan priorittas perkotaann yang sudaah diidentifikkasi di bab 33 dan sesuaii dengan vissi, misi dann prinsip KKSPN yang sudah dijellaskan di b ab 3. Penjeelasan secarra lebih dettil mengenaai latar belakkang pemiliihan kebijakkan dan straategi untuk mengatasi ppermasalahaan prioritas terdapat di

ddalam Technnical Workinng Papers1 yaang menjadii lampiran

naarasi ini.

Gambar 1.3 Metode Penyusunan Kebijakan ddan Strategi Perkotaan Nasional

Sesuai deengan visi KKSPN, maka seluruh usuulan kebijakaan dan strateegi di sini beertujuan untuuk mewujuddkan masyyarakat dann pemerinttah daerah perkotaann yang mmandiri daan berkelannjutan” sekkaligus mencciptakan koota yang meemenuhi keesejahteraa n rakyatnyya secara bberkeadilan dan mampuu mendoronng pertumbuhan ekonoomi lokal, rregional ataau bahkan nnasional serrta berdayaa saing di tinngkat global pada tahuun 2025

11 TWP 01: RReview Kebijakan Perkotaan di Indoonesia; TWP 2 Revview Praktik Terbaaik

Page 28: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-28

Pengelolaan KKota Nasional dan IInternasional; TWP 03a Sarrana Prasana Perkootaan; TWP 03b P erumahan; TWP 003c Transportasi; TTWP 03d ICT; TWWP 04a Tantangan Pembangunan Ekonomi Perkkotaan; TWP 04b Kapasitas Fiskal ; TWP 04c Kemiskkinan Kota; TWP 05 Sosial BudayaKependudukan; TTWP06a Sistem Taata Kota Nasionaal; TWP 06b Sistemm Pertanahan dan Pengendalian Tat a Ruang; TWP 07 Lingkungan, Mitiigasi Bencana dann Perubahan Iklim; TWP 08 Tataa Kelola Kelembaggaan; TWP 09 AHHP

Untuk mencapai hal tersebut, berikut adalah kebijakan perkotaan nasional yang diusulkan:

1. Meningkatkan Peran Kota-Kota Sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Lokal, Regional dan Nasional (Urban-LED Development Policy)

Aktifitas perekonomian perkotaan mempunyai kontribusi signifikan terhadap aktifitas perekonomian nasional. Kotribusi tersebut dapat ditunjukkan pada pertumbuhan kontribusi melalui perubahan kurun waktu. Pada tahun 1980-an kontribusi aktifitas perekonomian hanya sebesar 61,1%. Sedangkan di akhir tahun perhitungan (tahun 2008), kontribusi aktifitas perekonomian perkotaan sudah mencapai 78,1% atau hampir mencapai 80% dari seluruh aktifitas perekonomian nasional.

Arah kebijakan ini melihat bahwa dimensi perkotaan perlu dimanfaatkan potensinya untuk berbagai bidang pembangunan (misalnya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi). Namun tidak berarti upaya pembangunan hanya fokus ke pembangunan perkotaan, karena pembangunan perdesaan tetap harus diperhatikan untuk menjaga hubungan desa-kota yang seimbang.

Korelasi antara misi dan arah kebijakan ini (“urban-led development”) baru bisa berhasil jika ada kota-kota yang mampu mengambil sumber daya global untuk pembangunan nasional. Namun untuk menghindari urban primasi (dari kota berdaya saing global ini), perlu ada kota untuk menjembatani pertumbuhan ekonomi nasional tersebut, dan fokus pada pembangunan wilayahnya sehingga mampu mensejahterakan daerah hinterland. Secara bertahap, pendekatan ini memungkinkan seluruh kota mampu memenuhi Standar Pelayanan Perkotaannya.

90.0%

76.1%76.7%77.4%78.1%

Page 29: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-29

74.1%73.6%

70.0%60.0%50.0%40.0%30.0%20.0%10.0%0.0%

80.0%

Gambar 4. Kontribusi PDB Perkotaan terhadap PDB Nasional (berserta Linear Forecast Trendline)

Kebijakan ini memerlukan sinergi antar-sektor maupun antar-wilayah untuk mendorong pembangunan kota, terutama penyediaan pelayanan dasar perkotaan dan sarana prasarana yang selanjutnya akan dapat memfasilitasi berbagai kegiatan sektor ekonomi perkotaan dengan baik (termasuk menyediakan ‘urban amenities’ perkotaan sehingga kota menjadi lebih nyaman untuk dihuni bagi para profesional dan mampu menarik investor asing). Selain fasilitas, diperlukan juga tata ruang kota yang memastikan adanya kelancaran arus transportasi yang turut berdampak pada laju alur distribusi perekonomian.

2. Menyebarkan Konsentrasi Pertumbuhan Perkotaan Untuk Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Antar-Wilayah (Decentralized Concentration)

Decentralized concentration merupakan persebaran pusat-pusat urbanisasi dan investasi infrastruktur diarahkan kepada sejumlah tertentu konsentrasi pertumbuhan (“city-cluster development”) yang terdesentralisasi. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengurangi primasi jakarta (Jabodetabekpunjur) melalui persebaran konsentrasi pertumbuhan perkotaan ke beberapa wilayah. Jumlah kota yang akan ditetapkan sebagai pusat konsentrasi pertumbuhan lain diperkirakan sekitar 5 < x < 10 , tapi tidak semua PKN di RTRWN, dan sejumlah tertentu

Page 30: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-30

kota-kota yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi regional (sisa PKN, plus beberapa PKW dan PSKN). Agar azas keadilan dapat dipenuhi, kebijakan ini juga mensyaratkan agar Standar Pelayanan Perkotaan Minimum dapat dipenuhi oleh semua kota/kawasan perkotaan selambat-lambatnya tahun 2025.

Pendekatan ini melihat bahwa distribusi sumber daya harus dilakukan secara strategis, dan dapat efektif dalam meningkatkan daya saing maupun membangun ekonomi regional. Sumber daya tersebut harus dipusatkan pada titik-titik yang tersebar (dan bukannya distribusi yang dipaksakan merata, namun terbatas).Arah kebijakan ini membantu memastikan adanya distribusi sumber daya ke pusat pertumbuhan yang memang ditetapkan sebagai kota berdaya saing global (namun untuk menghilangkan ketimpangan regional, harus dipastikan adanya titik pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia dan kawasan tertinggal lainnya).

3. Mengedepankan Pembangunan Sosial-Budaya Dan Manusia Di Dalam Pembangunan Perkotaan

Konsep ini memastikan bahwa kota tidak hanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi nasional, namun juga mampu mensejahterakan warganya.

Untuk itu, diperlukan sinergi antar sektor untuk memastikan setiap kegiatan perkotaan berorientasi kepada kesejahteraan warganya secara inklusif (mampu memenuhi kebutuhan isik, ekonomi, sosial dan budaya) dan mampu mencerminkan nilai sosial-budaya masyarakatnya, serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh di kegiatan pembangunan perkotaan sehingga menumbuhkan modal sosial dan rasa kepemilikan. Untuk mencapai hal tersebut, kebijakan administrasi kependudukan perlu dikedepankan karena mampu memberikan basis data bagi pemerintah kota untuk merumuskan kebijakan yang tepat guna bagi masyarakat perkotaan.

4. Memastikan Kota Mampu Memanfaatkan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Warga Dan Kapasitas Fiskal Kota-Kota

Umumnya kota-kota di Indonesia belum memanfaatkan potensi ekonomi lokalnya dengan baik (kalaupun ada, seringkali potensi

Page 31: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-31

ekonomi lokalnya termanfaatkan dengan baik, namun untuk daerah lain, dan tidak kembali ke kotanya). Kurang termanfaatkannya potensi ekonomi terlihat dari cenderung tidak adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi kota dengan peningkatan kesejahteraan warganya. Sebagai contoh di kota Batam, pertumbuhan ekonominya tinggi namun masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi juga.

Arahan kebijakan untuk pemanfaatan potensi ekonomi lokal ini memungkinkan peningkatan kapasitas fiskal kota sehingga mampu mendorong pembangunan kotanya sehingga mampu memenuhi standar pelayanan perkotaan, dan bagi kota yang ditetapkan sebagai pendorong ekonomi regional dan berdaya saing global, mampu menyediakan sumber daya finansial untuk pembangunan “urban amenities” yang dibutuhkan.

5. Memacu Pemenuhan Kebutuhan Sarana Prasarana dan Perumahan Bagi Masyarakat Kota Sesuai Dengan Fungsi Yang Ditetapkan dan Karakteristik Setempat, serta Berorientasi Pada Pola Pembangunan Kota Yang Berbasis Angkutan Umum Massal (Transit-Oriented Development)

Secara umum, kondisi sarana prasarana kota-kota di Indonesia tertinggal, baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk itu, harus dipastikan bahwa: 1) setiap kota mampu memenuhi standar pelayanan minimal sarana prasarana perkotaan, 2) sebagian kota memiliki sarana prasarana yang mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat wilayah, serta 3) ada sejumlah kecil kota yang ditetapkan untuk bersaing di tingkat global/internasional dapat memiliki sarana prasarana, termasuk TIK, yang kompetitif dan juga memastikan, kebutuhan warga untuk perumahan yang layak dan terjangkau terpenuhi dan bahwa permukiman kumuh dapat diperbaiki/dihapuskan.

Prinsip di dalam kebijakan ini adalah sarana prasarana harus sesuai dengan kondisi spesifik daerah (geografis, sosio, dan ekonomi). Sebagai contoh, memastikan kota-kota sungai di pulau Kalimantan memiliki rencana penyediaan sarana prasarana yang sesuai dengan kondisi geografisnya, yaitu mengedepankan pembangunan transportasi air, dan bukan darat. Penyediaan sarana prasarana kota juga diorientasikan pada pendekatan transit-oriented development, yaitu

Page 32: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-32

pembangunan kawasan perkotaan yang berbasis ada sistem angkutan umum dan terintegrasi dengan tata guna lahan dan desain kota sehingga menghasilkan mobilisasi penduduk perkotaan yang efisien.

6. Mengendalikan Pertumbuhan Kawasan Perkotaan Yang Cenderung Melebar dan Boros Lahan (“Urban Sprawl”) Disertai Dengan Upaya Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Lahan Perkotaan

Umumnya pembangunan kota seringkali terhambat karena pertumbuhan perkotaan yang melebar (urban sprawling) dan manajemen pertanahan yang masih rendah kualitasnya. Untuk itu pengendalian urban sprawling, diperlukan penerapan instrumen seperti “urban growth boundaries” secara terencana dan konsisten dan penataan kota yang kompak dan efisien, dengan menggunakan mekanisme insentif disinsentif (misalnya insentif untuk pembangunan sawah lestari, serta disinsentif untuk konversi lahan. Untuk mengatasi isu manajemen pertanahan, diperlukan reformasi manajemen pertanahan sehingga mampu mempermudah kegiatan pembangunan kota.

Tata ruang juga harus memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat, misalnya memastikan perumahan terjangkau di tengah kota (yang juga turut mendukung produktivitas ekonomi perkotaan dan mencegah urban sprawl) serta kurangnya ruang publik (yang juga dapat sekaligus menjadi ruang terbuka hijau) di dalam kota yang dapat digunakan sebagai sarana pertemuan seluruh masyarakat kota (seperti alun-alun, city square dan lain lain - pertokoan Mall tidak bisa dianggap sebagai ruang publik karena dimiliki swasta dan tidak bisa berfungsi sebagai ruang yang benar-benar menjadi milik publik). Prinsip ini juga sekaligus mendorong terwujudnya RTH 30% sebagaimana diamanatkan oleh UU 26/2007 untuk mengatasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan dan permukiman.

Dengan arah kebijakan ini, sistem tata ruang mampu mendorong perwujudan kota-kota yang memenuhi standar pelayanan perkotaan serta berdaya saing global secara lebih cepat

Page 33: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-33

7. Mendorong Kota-Kota Meningkatkan Kualitas Kesehatan Lingkungan Permukiman Sekaligus Mempersiapkan Kota-Kota Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Dan Kemungkinan Bencana

Umumnya kota-kota di Indonesia mengalami penurunan kondisi lingkungan akibat kegiatan perkotaan yang masif dan tidak ramah lingkungan, serta tidak siap terhadap perubahan iklim (padahal banyak kota-kota di Indonesia rawan terhadap bencana karena merupakan negara kepulauan). Arah kebijakan ini memastikan bahwa, terlepas dari fungsi kota sebagai mesin pertumbuhan ekonomi ataupun tempat tinggal, namun kegiatan pembangunan perkotaan senantiasa berorientasi untuk mampu mengatasi dampak perubahan iklim (melalui upaya adaptasi) serta potensi bencana, dan tetap menjaga kualitas lingkungan

8. Memfasilitasi Munculnya Kepemimpinan Yang Visioner Dan Meningkatkan Kapasitas Aparatur Dan Kelembagaan Kota Serta Mendorong Diterapkannya Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan Yang Baik

Arah kebijakan ini melihat pentingnya kepemimpinan yang visioner, kapasitas apratur dan kelembagaan kota yang baik serta penerapan prinsip pemerintahan yang baik, sebagai faktor-faktor yang signifikan untuk memacu muncul inovasi-invoasi pengelolaan kota. Inovasi tersebut berkontribusi terhadap perwujudan misi dan sasaran KSPN secara lebih cepat (baik untuk memastikan setiap kota memenuhi standar pelayanan perkotaan, mampu mendorong ekonomi regional ataupun mampu berdaya saing global).

1.4.2. Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional

Untuk perwujudan kebijakan yang diusulkan di atas, terdapat tujuh strategi umum yang diidentifikasi, yaitu:

1. Peningkatan kapasitas pemerintah kota untuk dapat melakukan reformasi dan inovasi dalam kegiatan pembangunan perkotaan

2. Penerapan kombinasi peraturan-pengendalian (pendekatan command and control) sistem pasar (kompetisi, insentif-disinsentif)

3. Kerjasama antar pihak (antar daerah, antara pusat-daerah dan antar-pihak (pemerintah, swasta dan masyarakat) untuk

Page 34: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-34

pemenuhan kebutuhan perkotaan

4. Penetapan sasaran terukur dan bertahap (misalnya untuk tahun 2015, 2020, 2025) untuk setiap komponen kebijakan

5. Penguatan identitas kota

6. Meningkatkan pemahaman masyarakat melalui edukasi publik

7. Penggunaan citizen report card untuk kegiatan monitoring dan evaluasi berkala

Sementara itu, strategi pembangunan perkotaan di tingkat nasional yang diusulkan adalah sebagai berikut: Strategi Pembangunan dan Pengelolaan Perkotaan:

1. Strategi Untuk Mewujudkan Urban-LED Development Policy Di Tingkat Nasional

Strategi untuk mewujudkan urban-LED development policy di tingkat nasional adalah:

a. Promosi pentingnya peran kota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional kepada pemerintah

b. Penyediaan prasarana kota yang sesuai dengan rencana pembangunan kota sebelum kegiatan pengembangan kota (infrastructure-led development)

c. Penyediaan pelayanan publik sesuai dengan Standar Pelayanan Perkotaan

d. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta secara aktif dalam pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dan perumahan perkotaan

2. Strategi Untuk Mendorong Berkembangnya Pusat-Pusat Pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia pada khususnya dan Kawasan Perkotaan Lain di Luar Pulau Jawa Terkait Dengan Ketimpangan Pembangunan Antar-Wilayah

Strategi untuk mendorong berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia pada khususnya dan kawasan perkotaan lain di luar pulau Jawa terkait dengan ketimpangan pembangunan antar-wilayah melalui penerapan konsep ‘decentralized concentration’ adalah:

a. Penetapan dan fasilitasi kota-kota terpilih untuk menjadi pusat kegiatan ekonomi berdaya saing internasional

Page 35: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-35

b. Peningkatan keterkaitan antara kota dengan hinterland-nya yang saling menguntungkan

c. Pengalihan industri di Jawa-Bali menjadi padat jasa

d. Percepatan pembangunan prasarana dan sarana produksi yang berkualitas terutama pada kawasan ekonomi khusus

e. Percepatan pembangunan perkotaan yang secara geografis terletak di koridor strategis transportasi laut dalam

f. Penerapan mekanisme insentif disinsentif khusus Kawasan Timur Indonesia yang mampu bersaing dengan kondisi pasar

3. Strategi Untuk Pembangunan Sosial-Budaya Masyarakat Perkotaan

Strategi untuk pembangunan sosial-budaya masyarakat perkotaan adalah sebagai berikut:

a. Penerapan prinsip berkeadilan dan inklusif dalam penyediaan sarana-prasarana yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat perkotaan

b. Sinergi program sektoral dalam pembangunan perkotaan yang mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan

c. Penyediaan fasilitas untuk interaksi sosial antar warga

d. Penggunaan pendekatan community-based development dalam kegiatan pembangunan perkotaan

e. Pemeliharaan dan pengembangan aset fisik dan aktivitas perkotaan yang merupakan warisan sejarah dan bernilai budaya

4. Strategi Pemanfaatan Potensi Ekonomi Lokal Untuk Meningkatkan Daya Saing, Kesejahteraan Warga Dan Kapasitas Fiskal Daerah

Strategi pemanfaatan potensi ekonomi lokal untuk meningkatkan daya saing, kesejahteraan warga dan kapasitas fiskal daerah adalah:

a. Penggunaan konsep “One area, one priority product” untuk kegiatan industri kreatif serta memperpanjang lama singgah bagi kegiatan industri pariwisata

Page 36: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-36

b. Peningkatan keterpaduan antara kegiatan ekonomi perkotaan dan rencana tata ruang, baik di tingkat nasional, regional dan lokalMenyusun rencana pembangunan ekonomi perkotaan di tingkat nasional yang melengkapi rencana tata ruang nasional

c. Penataan kegiatan ekonomi informal perkotaan dan mempersiapkan pelaku ekonomi informal untuk menjadi bagian dari ekonomi formal secara bertahap

d. Penyediaan sumber daya (energi, finansial, SDM, teknologi) yang dibutuhkan untuk kegiatan ekonomi setempat

5. Strategi Untuk Memastikan Bahwa Setiap Kota Dapat Memenuhi Kebutuhan Sarana dan Prasarana Warganya (Sesuai Dengan Karakteristik Setempat) Serta Memastikan Bahwa Kota-Kota Yang “Ditugasi” Untuk Bersaing di Tingkat Global/Internasional Dapat Memiliki Prasarana

Strategi untuk memastikan bahwa setiap kota dapat memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana warganya (sesuai dengan karakteristik setempat) serta memastikan bahwa kota-kota yang “ditugasi” untuk bersaing di tingkat global/internasional dapat memiliki prasarana, termasuk TIK, yang kompetitif adalah:

a. Peningkatan kapasitas kota dalam menyusun RPIJM yang jelas, terukur dan mendudukkan fungsi prasarana sebagai pengarah dan pengendali struktur ruang kota

b. Pengembangan mobilisasi sumber pendanaan sarana prasarana selain dana pemerintah melalui kemitraan swasta-pemerintah dan dana dari masyarakat sendiri (swadaya)

c. Pengembangan kampanye dan edukasi publik di dalam pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur publik secara berkelanjutan. Mobilisasi sumber pendanaan sarana dan prasarana selain dana pemerintah melalui kemitraan swasta-pemerintah dan dana dari masyarakat sendiri (swadaya)

d. Pengintegrasian perencanaan transportasi dengan perencanaan tata ruang, perancangan kota (urban design) dan infrastruktur

e. Penyediaan fasilitas sarana prasarana dan perumahan yang aman, layak, terjangkau dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Peningkatan kapasitas pengelolaan transportasi

Page 37: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-37

publik (baik bagi pemerintah daerah maupun swasta)

6. Strategi untuk mendorong penerapan tata-pemerintahan kota yang baik

Strategi untuk pengendalian tata ruang adalah:

a. Penyesuaian implementasi rencana tata ruang perkotaan dengan Rencana Kerja Pemerintah (maupun yang jangka menengah dan jangka panjang)

b. Pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dengan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif (termasuk sanksi) baik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maupun terhadap pihak swasta dan masyarakat

c. Peningkatan kapasitas pelaku dalam pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pembangunan daerah dan penataan ruang

7. Strategi Untuk Memastikan Kesiapan Kota-Kota Terhadap Risiko Perubahan Iklim

Strategi untuk memastikan kesiapan kota-kota terhadap risiko perubahan iklim adalah:

a. Pengembangan upaya peningkatan teknologi ramah-lingkungan dan mitigasi bencana baik secara finansial, maupun dalam bentuk penyediaan fasilitas dan pelatihan peningkatan kapasitas

b. Penerapan mekanisme pengendalian yang kuat terhadap kegiatan pembangunan kota agar tidak merusak lingkungan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan penerapan mekanisme insentif dan disinsentif (termasuk sanksi)

c. Penguatan koordinasi yang efektif dan efisien antara pemerintah kota, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan pemerintah pusat (khususnya di daerah-daerah rawan bencana).

d. Penerapan konsep carbon-neutral cities

8. Strategi Untuk Mendorong Penerapan Tata-Pemerintahan Kota Yang Baik

Strategi untuk mendorong penerapan tata-pemerintahan kota

Page 38: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-38

yang baik adalah:

a. Penerapan sistem rekrutmen calon aparatur pemerintah kota/daerah berdasarkan fair play, kompetensi dan kebutuhan

b. Penerapan prinsip good governance dalam menyusun kebijakan perkotaan, perencanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan pembangunan perkotaan dan pelayanan publik dengan kinerja terukur

c. Penguatan kelembagaan dan kerjasama antar-kota, kota dengan daerah lain, termasuk dengan daerah di sekitarnya untuk meningkatan kapasitas pemerintah kota, efisiensi dan efektifitas pelayanan publik

d. Pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pembangunan kota melalui forum perkotaan

1.4.3. Rencana Tindak

1. Sasaran Umum Nasional

Sasaran Umum Nasional dari KSPN adalah terpenuhinya pelayanan dasar perkotaan, sesuai dengan Standar Pelayanan Perkotaan, di semua kota-kota di Indonesia, dan terwujudnya beberapa pusat perkotaan secara tersebar yang berfungsi sebagai pendorong ekonomi regional, serta terbangunnya segelintir pusat perkotaan yang memiliki daya saing internasional dalam menarik investasi global.

Untuk sasaran nasional ini, perlu ditekankan bahwa angka-angka 30%, 60% yang digunakan di dalam Sasaran Umum Nasional hanyalah sekedar perhitungan rasional dan linear jika ingin mewujudkan visi di tahun 2025. Apabila dirasa terlalu ambisius (setelah mempertimbangkan kondisi dan sumber daya yang ada sebagai tolak ukur) dapat saja diubah atau dibuat progresif, di mana pada tahap awal pertambahannya sedikit tetapi kemudian meningkat secara lebih drastis. Metode ini adalah kombinasi antara perhitungan rasional dari sumber daya dan kapasitas yang ada dan keputusan politis (misalnya kebijakan “sejuta rumah” atau “seribu tower”) namun lebih dapat terukur dan (relatif) lebih membumi. Perlu kajian lebih lanjut dengan bappenas dan depkeu serta departemen pekerjaan umum untuk menyusun sasaran nasional secara tepat sesuai dengan

Page 39: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-39

kapasitas yang ada.

2. Indikator sasaran nasional

Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan indikator sasaran nasional untuk setiap komponen kebijakan di dalam KSPN sehingga kebijakan disertai dengan sasaran pencapaian yang terukur dan terikat waktu serta dicapai secara bertahap.

a. Untuk komponen kebijakan sarana prasarana perkotaan

Diusulkan untuk antara lain menggunakan standar pelayanan perkotaan

Ditargetkan dalam periode 2010-2014 (RPJMN II), sudah mampu mencapai: 1) 30% dari seluruh kota di Indonesia sudah menerapkan standar pelayanan perkotaan, 2) 10% dari kota-kota tersebut sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk berdaya saing global, serta 3) 20% dari kota tersebut, sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk menjadi pusat regional

Untuk periode 2015-2019 (RPJMN III), ditargetkan: 1) 60% dari seluruh kota di Indonesia sudah menerapkan standar pelayanan perkotaan, 2) 15% dari kota-kota tersebut sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk berdaya saing global, serta 3) 30% dari kota tersebut, sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk menjadi pusat regional

Sehingga dalam periode akhir 2020-2024 (RPJMN IV), ditargetkan: 1) Seluruh kota di Indonesia sudah menerapkan standar pelayanan perkotaan, 2) 20% dari kota-kota tersebut sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk berdaya saing global, serta 3) 45% dari kota tersebut, sudah mampu didesignasikan sebagai kota yang memiliki sarana prasarana memadai untuk menjadi pusat regional

b. Untuk komponen kebijakan untuk peningkatkan kualitas lingkungan perkotaan

Diusulkan untuk antara lain menggunakan indikator sasaran nasional berupa pemenuhan 30% ruang

Page 40: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-40

terbuka hijau (RTH):

Ditargetkan dalam periode 2010-2014 (RPJMN II), terdapat 30% dari seluruh kota di Indonesia yang sudah memiliki RTH seluas 30% dari total luas kota. Untuk periode 2015-2019 (RPJMN III), terdapat 60% dari seluruh kota di Indonesia yang sudah memiliki RTH seluas 30% dari total luas kota. Sehingga dalam periode akhir 2020-2024 (RPJMN IV), seluruh kota di Indonesia sudah memenuhi ketentuan RTH seluas 30% dari total luas kota.

Setiap komponen kebijakan harus memiliki indeks pencapaian sasaran, baik dengan cara menggunakan indeks pencapaian sasaran terkait yang sudah ada, ataupun melalui kegiatan penyusunan indeks pencapaian sasaran yang terkait bagi komponen kebijakan yang belum memiliki indeks pencapaian sasaran ataupun bersifat kualitatif, (seperti misalnya kebijakan untuk pembangunan sosial-budaya masyarakat perkotaan dan penerapan tata pemerintahan yang baik).

c. Matriks Kebijakan, Strategi, Rencana Tindak dan Indikator Sasaran Nasional

1.5. BAB 5 : CAKUPAN DAN INSTITUSIONALISASI KSPN

KSPN akkan diikuti oleh penyuusunan KSPPD Wilayah (Kebijakann dan Strateegi Perkotaaan Daerah uuntuk Wilayyah) serta KKSPD tingkkat kota. KSSPN berperran sebagai payung baggi penyusunnan KSPD pper wilayah ddan KSPD yaang akan dissusun oleh seetiap pemeriintah kota.

Tujuan ppenyusunan KSPD Willayah adalahh sebagai beentuk pengeejawatahan dari buku IIII RPJMN 2010-2014 (Perpres 5 tahun 20100) yang menngakomodasii aspirasi daan kebutuhaan pembanggunan per wwilayah (Summatera, Jawwa-Bali, Kaliimantan, Suulawesi, dann NTB, NTTT, Kep. Malluku dan Pappua (Kawasaan Timur Inddonesia) dann menjadi paanduan bagi implementaasi program lintas sektorr di tingkat wwilayah.

Sedangkaan KSPD tinngkat kota aadalah dokummen daerah yang meng integrasikann perencanaaan spasial ddan non-spaasial dalam ppembangunaan kota dan n implementaasi menjadi panduan bagi program lintas sektorr di tingkat ddaerah.

Page 41: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 1-41

1.6. BAB 6 : PENUTUP

Institusionalisasi KSPN ini membutuhkan koordinasi tidak hanya antara Badan Perencanaan Pembangunan NAsional, Departemen PU dan Departemen Dalam, namun juga perlu melibatkan secara aktif Departemen Keuangan (untuk mekanisme perimbangan dana) dan departemen terkait lainnya (diusulkan pelibatan Departemen Perhubungan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, serta Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan). Perlu pula dilakukan kajian untuk memastikan tipe produk hukum yang dibutuhkan untuk memastikan penerapan dokumen ini sebagai acuan oleh pemerintah kota. Selain itu, dokumen ini, beserta dengan lampirannya (yang berlaku sebagai naskah akademis) harus dinformasikan kepada publik (sesuai dengan UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik) dan harus memastikan adanya metode partisipasi masyarakat yang efektif di dalam penyempurnaan KSPN ini sebelum menjadi produk hukum.

Sebagai catatan, usulan kebijakan dan strategi di dalam narasi KSPN ini masih berupa draft yang masih akan disempurnakan setelah uji coba di tiga kota (lokasi uji coba akan ditentukan kemudian).

Page 42: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-42

Bahan 2 Resolusi Konflik Menuju Kerjasama Antar Kota

di Era Otonomi*

Oleh : Hardi Warsono

1. Identifikasi Institusi Pengelola Prasarana Kota Saat ini Pada era otonomi, institusi yang menangani tugas yang sama memiliki nama yang berbeda antar kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Berikut hasil identifikasi nama institusi pengelola prasarana kota di 4 daerah yang termasuk kawasan metropolitan Semarang.

Page 43: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-43

2. Identifikasi Kerjasama Yang Telah Ada Dari identifikasi awal, beberapa

kerjasama yang telah terjalin sampai saat ini meliputi :

☻ Sekretariat Bersama Kedungsepur yang mulai berlaku tahun 1998 akan berakhir tahun 2003. Sampai saat ini sedang persiapan Memorandum tahap 2. Cakupan wilayah lebih luas dibandingkan dengan kawasan metropolitan Semarang, yaitui meliputi cakupan metro Semarang (kota Semarang, kabupaten Kendal, Kab. Semarang dan kab. Demak) ditambah Kabupaten Grobogan;

☻ Kajian tentang Semarang Greater, merupakan kajian tentang rintisan kerjasama bidang air bersih;

☻ Memorandum (pemanfaatan air bersih) antara Pemerintah Kabupaten Kendal dan Pemerintah Kota Semarang;

☻ Rintisan Kerjasama Air Bersih antara Pemerintah Kota Semarang dengan Pemerintah Kabupaten Semarang.

3. Potensi Kerjasama Antar Daerah di Kawasan Metropolitan

Kegiatan FGI awalnya menemukan sikap skeptis terhadap kegiatan fasilitasi ini. Hal ini terutama dihinggapi oleh kota hinterland. Mereka memandang dalam kerjasama yang akan dibangun hanya kota induk yang diuntungkan, karena umumnya memandang bahwa kerjasama hanya akan dilakukan dalam kerangka mengatasi masalah kota induk (kota Semarang). Sementara kota terdekat hanya dirugikan karena harus ikut menanggung masalah kota Semarang. Sebenarnya kerjasama dapat dibangun dengan tujuan saling menguntungkan : bagi kota

Page 44: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-44

Semarang, masalah dapat teratasi dengan bantuan kota hinterland, sedangkan kota hinterland dapat memanfaatkan kerjasama dengan tujuan mengoptimalkan pertumbuhan daerah pinggiran yang terimbas keramaian kota induk dan memanfaatkan luberan kegiatan produktif kota induk yang tak lagi tertampung oleh luasan kota induk yang terbatas. Dengan demikian, tujuan kerjasama hendaknya diarahkan pada :

☻ mengatatasi masalah kota induk

☻ memberdayakan kota hinterland

Secara diagramatis, potensi kerjasama yang dihasilkan dari resolusi konflik ini dapat diviasualisasikan sebagai berikut :

Page 45: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-45

Konsep pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) merupakan sumber dan inspirasi bagi munculnya strategi pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan merupakan salah satu strategi pembangunan yang diimplementasikan dan dikembangkan dalam kegiatan pembangunan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Paradigma pemberdayaan ini mempunyasi asumsi bahwa “pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat diberi hak untuk mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan

Page 46: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-46

menggunakannya untuk pembangunan masyarakat”. Sementara untuk efektivitas program kerjasama antar kota perlu disiapkan kelembagaan dengan pilihan sebagai berikut :

☻ Kerjasama antar daerah tanpa kelembagaan permanen di tingkat metro (sebatas forum koordinasi)

☻ Kerjasama antar daerah, di tingkat metro ada kelembagaan permanen (Badan Metropolitan)

☻ Kerjasama antar daerah dengan kelembagaan propinsi tanpa kelembagaan permanen

4. Simpulan

☻ Perundangan tentang otonomi daerah meski memberikan harapan dan kebebasan pada kabupaten/kota untuk membangun diri, membawa konsekuensi ego daerah yang semakin mengental. Kurangnya “kekuatan propinsi” untuk mengatur hubungan antar kota juga berimplikasi makin menyulitkan koordinasi antar kota yang kemudian makin menumpuknya potensi konflik khususnya pada wilayah perbatasan.

☻ Potensi konflik yang terjadi baik karena kedekatan lokasi maupun efek negatif suatu kegiatan kota, dapat diresolusi menjadi potensi kerjasama bila dikelola dengan baik.

☻ Pengelolaan wilayah terutama pada kota yang cenderung makin berkembang menjadi kota metropolitan perlu kajian kelembagaan yang cermat dan hatihati.

5. Rekomendasi

a. Diperlukan komitmen yang kuat dari masing-masing kabupaten/ kota yang telah berhasil mengidentifikasi potensi kerjasamanya untuk meneruskan langkah sampai pelakasanaan dan pengelolaan

b. Diperlukan kajian dan kesepatan pemilihan bentuk kelembagaan yang mengelola kerjasama dengan 3 alternatif lembaga kota metropolitan yaitu:

☻ Kerjasama antar daerah tanpa kelembagaan permanen di tingkat metro (sebatas forum koordinasi) antar daerah, di tingkat metro ada kelembagaan permanen (Badan Metropolitan) dengan payung kelembagaan Kedungsepur

Page 47: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 2-47

☻ Kerjasama antar daerah dengan kelembagaan provinsi tanpa kelembagaan permanent

Page 48: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-48

Bahan 3 Kerjasama Antar Pemerintah Daerah Dalam Era

Otonomi: Isu Strategis, Bentuk Dan Prinsip

Oleh Yeremias T. Keban1

3.1. Abstrak

Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Untuk mensukseskan kerjasama ini diperlukan identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Mengingat peran strategis yang dimainkan propinsi dalam sistem negara kesatuan ini, maka peningkatan peran dan kemampuan propinsi dalam mekanisme kerjasama ini, termasuk penyesuaian struktur dan fungsi kelembagaannya, harus menjadi agenda penting pemerintah di masa mendatang.

3.2. Latar Belakang

Kenyataan menunjukan bahwa setelah diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, otonomi daerah ternyata telah dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap “ego daerah” yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya

Page 49: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-49

sendiri, dan menutup diri terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah.

Munculnya gejala-gejala negatif tersebut diatas patut mendapatkan perhatian serius karena cepat atau lambat akan mempengaruhi disintegrasi bangsa. Melihat letak dan kondisi geografis Indonesia serta perbedaan kondisi sosial budaya, ekonomi, dan politik seperti sekarang ini maka hubungan antara pemerintahan daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain patut mendapatkan perhatian serius. Bagaimanapun hubungan antara mereka merupakan perekat sosial yang menentukan ketahanan nasional. Hubungan antara satu kabupaten dengan kabupaten lain, antara kabupaten dengan kota, antara kota yang satu dengan kota yang lain, atau juga antara kabupaten/kota dengan propinsi harus selalu dimonitor dan dievaluasi. Dengan kata lain, tingkat kohesi antara mereka harus selalu diperhatikan. 1 Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, dosen

pada MAP, MPKD dan MEP UGM di Yogyakarta, dan konsultan capacity building for local government, human resource management, dan poverty alleviation pada beberapa Program Pemerintah sejak 1999.

Mandat untuk membina hubungan ini telah diungkapkan dalam Nomor 22 Tahun 1999 sejak 1 Januari 2000 yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah RI memang telah menyadari arti pentingnya kerjasama ini. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini kebijakan tersebut belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis. Dan sebagai akibatnya berbagai kebijakan lama di Departemen Dalam Negeri yang mengatur tentang kerjasama antar daerah masih digunakan seperti:

a. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.

b. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah.

c. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah.

d. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar

Page 50: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-50

Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri.

Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan yang telah berumur lebih dari satu dekade ini kurang mengakomodasikan situasi dan kondisi saat ini, sehingga di masa mendatang harus segera diformulasikan kebijakan-kebijakan baru yang lebih sesuai. Karena begitu pentingnya kerjasama tersebut, maka setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 ini, berbagai peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya harus segera dibentuk.

Tulisan ini ingin mengartikulasikan kembali akan pentingnya kerjasama antar pemerintah daerah atau intergovernmental cooperation, dan memberikan nuansa akademik yang menyangkut isu-isu strategis, prinsip-prinsip dan agenda pelaksanaan cooperative arrangements antara pemerintah daerah, yang dapat digunakan sebagai input bagi penyusunan peraturan pelaksanaan kerjasama tersebut di masa mendatang.

3.3. Mengapa Diperlukan Kerjasama

Dalam kenyataan, kita mengenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas administratif). Setiap daerah memiliki batas wilayah administratif yang ditentukan secara formal melalui peraturan perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut. Dalam konteks ini, alasan utama diperlukan kerjasama antara pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Konsekuensinya adalah harus dilakukan pembenahan microorganizationnal abilities of governments di tingkat daerah – suatu bentuk reformasi manajemen publik yang harus diperhatikan pemerintah saat ini, dan tidak semata membenahi macroorganizational capacities di tingkat pusat (lihat Pollit & Bouckaert, 2000: 10). Dengan kata lain, pembenahan kemampuan institusi pemerintahanan di bawah pusat sangat diperlukan.

Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

a. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang

Page 51: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-51

lebih besar. Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

b. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi. Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian, ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.

c. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama, masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan lebih diperhatikan.

d. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik. Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat atau belajar dari konflik tersebut.

e. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.

f. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara berkelanjutan.

g. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut, kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari,

Page 52: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-52

dan visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh.

Di masa mendatang, karena kerjasama antar pemerintah daerah harus dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan maka harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk memperkenalkan, mendorong dan menginstitusionalisasikan kerjasama antara daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya.

3.4. Beberapa Isu-isu Strategis

Dalam kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu strategis yang harus diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dan dibenahi, yaitu (1) membenahi peran dan kemampuan Propinsi dalam menyelenggarakan fungsi kerjasama antar daerah atau “local government cooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang dapat atau patut dikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama yang sesuai dengan hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini dianggap strategis karena posisinya sangat menentukan keberhasilan kerjasama antar pemerintah daerah di masa mendatang.

3.4.1. Peran dan Kemampuan Propinsi

Secara formal Propinsi diberi peran yang cukup berarti dalam menyelenggarakan kerjasama tersebut. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yang mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan ini meliputi bidang pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, permukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan administrasi publik, pengembangan otonomi daerah, perimbangan keuangan, dan bidang hukum dan perundang-undangan (lihat Pasal 3). Di dalam menjalankan kewenangan ini, Propinsi tidak hanya memainkan peran sebagai pelaksana dan pengatur bidang tersebut secara langsung dan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal, industri dan perdagangan, pertanian,

Page 53: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-53

dan sebagainya. Dengan demikian secara formal, kerjasama antar Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasi oleh Propinsi.

Di dalam Peraturan Pemerintah yang sama juga dikatakan bahwa Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerjasama antar Kabupaten/Kota, kerjasama antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi. Dan pelaksanaan kewenangan melalui kerjasama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (lihat PP Nomor 25 Tahun 2000, Pasal 4, butir a dan b).

Akan tetapi, ketentuan tentang peran Propinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 seringkali dikritik karena penyerahan kewenangan kepada Propinsi ini tidak mempertimbangkan tingkat kemampuan Propinsi, yang menurut kenyataannya bervariasi baik antara Jawa dan luar Jawa maupun antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan masalah serius karena, secara teoritis suatu penyerahan kewenangan kepada suatu pihak yang tidak mempertimbangkan kemampuan dari pihak yang bersangkutan, maka penyerahan tersebut akan menjadi sumber masalah di kemudian hari (lihat Keban, 2004: 115). Didalam kenyataan, tingkat kemampuan Propinsi untuk menyediakan dukungan kerjasama di bidang pertanian, industri dan perdagangan, penanaman modal, pengembangan prasarana dan sarana wilayah, pengaturan kesepakatan tentang penataan tata ruang, dan penyelesaian perselisihan antar Kabupaten/Kota, juga belum diketahui. Karena itu, efektivitas implementasi dari Peraturan Pemerintah ini dapat dikatakan masih diragukan.

3.4.2. Bidang-bidang yang dikerjasamakan

Identifikasi dan perencanaan mengenai bidang-bidang yang dikerjasamakan jarang dilakukan, kecuali ada masalah gawat yang menuntut penanganan segera. Harus diakui selama ini bahwa kerjasama antar daerah (kabupaten-kota, kota-kota, kabupaten-kabupaten, kabupaten/kota- propinsi) belum dirasakan sebagai suatu kebutuhan sehingga tidak diperhitungkan dalam proses perencanaan. Padahal berbagai permasalahan atau keputusan

Page 54: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-54

internal suatu Kota/Kabupaten atau Propinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Demikian juga, ada banyak permasalahan pada suatu lokasi atau daerah yang muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah yang lain, seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Suatu kebijakan publik yang dibuat oleh suatu Kota atau Kabupaten sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kota atau Kabupaten lain.

Kerjasama antar Pemda merupakan salah satu dari pilihan-pilihan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Tidak semua masalah dan pelayanan di daerah harus diselesaikan melalui Kerjasama antar Pemda. Hanya masalah dan pelayanan tertentu yang dipecahkan atau diselesaikan melalui kerjasama tersebut. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Cara yang efektif untuk menentukan kebutuhan tersebut adalah dengan mempelajari hakekat permasalahan yang dihadapi atau kebutuhan yang dirasakan dengan menggunakan prinsip “demand driven”, yaitu (1) apakah suatu masalah tersebut timbul dari luar wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah yang bersangkutan, atau (2) apakah suatu masalah timbul dari dalam suatu wilayah administratif Pemerintah Daerah dan telah memberikan dampak yang serius keluar wilayah administratif Pemerintah Daerah yang lain. Cara untuk mengetahui dampak tersebut adalah dengan melakukan survey, kunjungan lapangan secara langsung, mendengar berbagai keluhan warga yang terkena dampak, melakukan focus group discussion dan penilaian terhadap keseriusan dampak tersebut.

Untuk meningkatkan sensitivitas dalam melihat berbagai permasalahan tersebut, diperlukan dua perspektif penting yang melihat suatu Pemerintah Daerah baik dalam konteks administratif maupun fungsional. Mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah administratif adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan didalam wilayah Pemerintah Daerah yang mungkin membawa dampak keluar batas wilayah Pemerintah Daerah. Sementara itu, mengamati permasalahan yang dihadapi dalam batas wilayah fungsional adalah mengidentifikasi berbagai permasalahan lintas wilayah administratif. Permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi tersebut harus diaggregasikan dan diartikulasikan untuk

Page 55: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-55

mendapatkan perhatian publik, DPRD, dan eksekutif.

3.4.3. Model Kerjasama

Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara luas. Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai kerjasama antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh. Pembahasan tentang model-model kerjasama nampaknya cukup luas karena menyangkut banyak bentuk kerjasama sehingga disajikan secara tersendiri dalam sub bahasan berikut.

3.5. Bentuk-Bentuk Kerjasama

Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama dikenal dan dikonsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (lihat Rosen, 1993). Kerjasama telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead (overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis dan administrator. Kerjasama juga dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Kerjasama antar Pemerintah Daerah adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang yang disepakati untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik.

Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah menjadi isu penting di negara maju (lihat Henry, 1995) dimulai dari bidang yang sangat terbatas seperti kepolisian dan pemadam

Page 56: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-56

kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya.

Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus “cooperative agreements” yang dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1) kegiatan tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak bersifat permanen, (4) sebagai “stand-by provision” yang baru dilaksanakan bila kondisi tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan / diijinkan oleh badan legislatif.

Bentuk dan metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) intergovernmental service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental service transfer (lihat Henry, 1995).

Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua diatas biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung jawab dari satu dearah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan publik.

Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (lihat Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) yang dibedakan atas:

a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis

b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.

Page 57: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-57

Bentuk “handshake agreements” merupakan bentuk yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama, atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik.

Pengaturan Kerjasama (Forms of Cooperation Arrangements) terdiri atas beberapa bentuk (lihat Rosen, 1993: 218 - 222) yaitu:

a. Consortia: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing sumberdaya, karena lebih mahal bila ditanggung sendiri-sendiri; misalnya pendirian perpustakaan dimana sumberdaya seperti buku-buku, dan pelayanan lainnya, dapat digunakan bersama-sama oleh mahasiswa, pelajar dan masyarakat publik, dari pada masing-masing pihak mendirikan sendiri karena lebih mahal.

b. Joint Purchasing: yaitu pengaturan kerjasama dalam melakukan pembelian barang agar dapat menekan biaya karena skala pembelian lebih besar.

c. Equipment Sharing: yaitu pengaturan kerjasama dalam sharing peralatan yang mahal, atau yang tidak setiap hari digunakan.

d. Cooperative Construction: yaitu pengaturan kerjasama dalam mendirikan bangunan, seperti pusat rekreasi, gedung perpustakaan, lokasi parkir, gedung pertunjukan, dsb.

e. Joint Services: yaitu pengaturan kerjasama dalam memberikan pelayanan publik, seperti pusat pelayanan satu atap yang dimiliki bersama, dimana setiap pihak mengirim aparatnya untuk bekerja dalam pusat pelayanan tersebut.

f. Contract Services: yaitu pengaturan kerjasama dimana pihak yang satu mengontrak pihak yang lain untuk memberikan pelayanan tertentu, misalnya pelayanan air minum, persampahan, dsb. Jenis pengaturan ini lebih mudah dibuat dan dihentikan, atau ditransfer ke pihak yang lain

g. Pengaturan lainnya: pengaturan kerjasama lain dapat dilakukan selama dapat menekan biaya, misalnya membuat pusat pendidikan dan pelatihan (DIKLAT), fasilitas pergudangan, dsb.

Page 58: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-58

Meskipun demikian, pengalaman menunjukan bahwa bentuk dan metode kejasama diatas seringkali mengalami masalah dalam pelaksanaannya (Rosen, 1993: 223). Karena berkaitan dengan keterlibatan masing-masing daerah yang memiliki jurisdiksi yang berbeda, maka terjadi kesulitan dalam pengaturan jadwal penggunaan sumberdaya yang disepakati dan pembebanan biaya untuk kerjasama, yang pada gilirannya sering memunculkan friksi atau konflik. Hal tersebut sering terjadi karena ada daerah merasa adanya pembebanan lebih (overcharge) terhadap dirinya, sementara yang lainnya merasa kurang mendapat pelayanan yang seharusnya ia terima. Masyarakat juga merasa terbebani bila lokasi pelayanan tersentralistis (gabungan) karena harus mengeluarkan biaya transport yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ketika memiliki pelayanan sendiri. Disamping kesulitan transport sering diungkapkan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, juga masyarakat merasa terasing bila dilayani oleh pihak-pihak baru.

Pembelian secara terpusat melalui suatu kerjasama (joint purchasing) juga tidak luput dari kritikan. Standardisasi barang yang dibeli sering menjadi masalah, karena ada daerah yang merasa barang yang dibeli telah sesuai dengan standard keinginannya, sementara yang lain belum. Seringkali, terdapat kesulitan dalam memenuhi harapan dari pihak-pihak yang bekerjasama (Rosen, 1993).

Di negara sedang berkembang, kerjasama antar Pemerintah Daerah sering nampak dalam kegiatan perencanaan pembangunan, seperti “Integrated Area Planning” (IAP). Bentuk ini merupakan terobosan untuk mengisi kekosongan atau kompleksitas dari masalah-masalah yang dihadapi karena tidak dapat ditangani dengan perencanaan pembangunan berdasarkan batas-batas wilayah administratif. Memang harus diakui bahwa selama ini kerjasama antar daerah belum nampak sebagai suatu kebutuhan. Padahal, berbagai permasalahan atau keputusan internal suatu Kabupaten atau Kota ataupun juga Propinsi sering berkaitan dengan permasalahan atau keputusan di luar batas wilayahnya. Pengalaman menunjukan bahwa banyak permasalahan pada suatu Kabupaten atau Kota atau juga Propinsi justru muncul ke permukaan karena adanya kebijakan yang berasal dari daerah lain seperti sampah, kriminalitas, kependudukan, pendidikan, kesehatan, dsb. Pendek kata, suatu perencanaan atau kebijakan yang dibuat oleh suatu Kabupaten atau Kota, atau juga Propinsi, sering kurang memperhitungkan dampaknya bagi Kabupaten

Page 59: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-59

atau Kota, ataupun Propinsi lain. Dalam kondisi seperti ini, fungsi perencanaan yang bersifat integratif dan koordinasi horisontal merupakan kunci utama.

Munculnya model “integrated area planning” ini diharapkan dapat mengurangi berbagai konflik antar wilayah administratif, yaitu dengan mengefektifkan pembangunan sektor-sektor tertentu dan institusi yang berhubungan dengan sektor tersebut dalam suatu area (dengan mengesampingkan batas-batas wilayah administratifnya). Model ini muncul sebagai reaksi terhadap kekurangan-kekurangan perencanaan sektoral khususnya koordinasi antar sektor, dan juga terhadap pemenuhan kebutuhan bagi area geografis khusus (yang mungkin tidak sesuai dengan batas-batas wilayah administratif yang ada) seperti daerah aliran sungai (DAS) dan pembangunan perdesaan yang kemudian dikenal dengan “integrated rural development”.

Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut masalah struktur (organisasi) yang menangani “intergrated area development”. Struktur yang ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit politik dan administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis masing-masing Kabupaten / Kota atau Propinsi. Struktur formal ini tidak dirancang untuk menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat dukungan otoritas formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil.

Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di area yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan swasta yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari luar area, untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi struktur organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada untuk mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat hubungan horisontal antar sektor serta memperemah hubungan vertikal.

3.6. Prinsip-Prinsip Kerjasama

Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (lihat Edralin, 1997). Beberapa prinsip diantara prinsip good

Page 60: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-60

governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu:

1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.

2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.

3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.

4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.

5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh.

6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut.

7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.

Selain enam prinsip umum di atas, beberapa prinsip khusus yang

Page 61: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-61

dapat digunakan sebagai acuan dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah yaitu:

1. Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas

2. Keterikatan yang dijalin dalam kerjasama tersebut harus didasarkan atas saling membutuhkan

3. Keberadaan kerjasama tersebut harus saling memperkuat pihak-pihak yang terlibat

4. Harus ada keterikatan masing-masing pihak terhadap perjanjian yang telah disepakati

5. Harus tertib dalam pelaksanaan kerjasama sebagaimana telah diputuskan

6. Kerjasama tidak boleh bersifat politis dan bernuansa KKN

7. Kerjasama harus dibangun diatas rasa saling percaya, saling menghargai, saling memahami dan manfaat yang dapat diambil kedua belah pihak.

Apabila dalam kerjasama tersebut terjadi konflik atau friksi antar Pemerintah Daerah, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interactionist, dan bukan pendekatan tradisional (Robbins, 1990). Pendekatan tradisional selalu mengasumsikan bahwa konflik adalah buruk, dan memberikan dampak yang negatif. Karena itu, menurut pendekatan tersebut, konflik harus dihindari karena dapat mengarah kepada kejahatan, tindakan destruktif dan irasional. Akan tetapi dalam pendekatan interactionist, konflik dilihat sebagai suatu stimulus untuk melakukan perubahan. Konflik harus dilihat akarnya, dan dari akar tersebut dapat dilakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan. Konflik harus dilihat sebagai indikator untuk menginisiasi perubahan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam konflik tersebut, diperlukan kemampuan yang memadai untuk bertindak sebagai negosiator, fasilitator, mediator dan komunikator (lihat Mayer, 2000), di pihak pemerintah daerah khususnya pemerintah propinsi.

3.7. Penutup: Agenda Kegiatan

Hal terakhir yang perlu diperhatikan untuk menopang efektivitas dan keberlanjutan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota adalah membentuk basis kerjasama yang kuat. Hal ini sesuai dengan

Page 62: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-62

paradigma membangun hubungan antar organisasi dalam bentuk network and strategic alliances (lihat Limerick & Cunnington, 1993). Memang sudah saatnya, sesuai paradigma tersebut, setiap organisasi atau institusi pemerintah mengembangkan hubungan luar yang kuat dengan organisasi lain agar mampu memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Dalam konteks memperkuat basis kerjasama antar pemerintah daerah ini, ada beberapa agenda praktis yang dapat dilakukan pemerintah di masa mendatang.

a. Pertama, mengidentifikasi kebutuhan akan bidang-bidang kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam propinsi. Untuk itu perlu dilakukan beberapa kegiatan utama sebagai berikut:

1) Mencari data dan informasi yang berkaitan dengan masalah-masalah kerjasama atau kemitraan antar daerah.

2) Membahas secara mendalam masalah-masalah tersebut dalam suatu dialog terbuka untuk memperoleh gambaran tentang untung-ruginya memecahkan masalah tersebut melalui kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota.

3) Menetapkan atau memutuskan masalah yang harus ditangani melalui kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota.

b. Kedua, mengukur tingkat kemampuan Propinsi dalam menangani kerjasama atau kemitraan antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya. Untuk mendapatkan gambaran yang obyektif tentang kemampuan suatu Propinsi dalam memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota maka dibutuhkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1) Mencari data dan informasi tentang kemampuan dan pengalaman Propinsi dalam pengembangan kerjasama atau kemitraan tersebut.

2) Menilai kemampuan dan pengalaman mereka dalam menangani kerjasama atau kemitraan tersebut.

3) Merekomendasikan apakah mereka memerlukan suatu pelatihan dan fasilitasi khusus.

c. Ketiga, menyusun suatu bentuk desain training khusus dalam membantu Propinsi untuk memfasilitasi kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam wilayahnya. Training tersebut secara khusus diarahkan pada peningkatan kemampuan teknis fasilitasi

Page 63: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 3-63

kerjasama atau kemitraan dengan basis yang kuat, di samping kemampuan-kemampuan praktis lainnya.

d. Dan keempat, struktur, fungsi dan kemampuan unit-unit institusi Propinsi itu sendiri harus disesuaikan dengan peran kerjasama tersebut. Dinas-dinas Propinsi seharusnya didesain dengan memperhitungkan peran tersebut.

Dengan peningkatan peran dan kemampuan tersebut, diharapkan hubungan kohesif antar pemerintah daerah (kota dan kabupaten) di setiap propinsi di tanah air menjadi semakin tinggi. Ketahanan nasional, persatuan dan kesatuan tentu akan lebih terjamin apabila setiap propinsi memainkan peran tersebut secara efektif.

Page 64: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-64

Bahan 4 Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di

Wilayah Metropolitan di Indonesia (Tantangan Pengembangan Wilayah Dalam Konteks

Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah)

Tommy Firman

4.1. Pendahuluan

Reformasi di Indonesia yang digulirkan pada akhir tahun 1990an pada dasarnya bertujuan untuk mendorong proses demokratisasi dan meningkatan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi penduduk yang masih berpendapatan rendah; menjadikan pemerintahan semakin dekat dengan masyarakat; menguatkan peran pemerintah daerah, dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), dan masyarakat lokal; serta menjadikan penggunaan dana publik menjadi lebih transparan dan efektif serta efisien dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik.

Satu dasawarsa pelaksanaan reformasi telah membawa perubahan yang luar biasa dalam berbagai kehidupan sosial-ekonomi dan politik di Indonesia, termasuk terbitnya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999) dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU 25/1999) yang kemudian diamandemen menjadi masing-masing UU 32/2004 (selanjutnya diamandemen lagi menjadi UU 12/2008) dan UU 33/2004. Kedua Undang-Undang ini merupakan pilar bagi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, serta penataan kembali Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dipandang lebih adil dan aspiratif. Desentralisasi di Indonesia seringkali dipandang sebagai suatu desentralisasi yang sangat ambisius, dan dilaksanakan dengan serentak (big-bang), yang pada saat ini melibatkan lebih dari 500 pemerintah kota, kabupaten dan provinsi, lebih dari 235 juta penduduk dengan berbagai ragam kultur serta etnis dan kondisi sosial-ekonomi yang sangat berbeda, serta dalam lingkungan geografis yang beragam pula.

Page 65: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-65

Kebijakan Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan yang telah berjalan selama lebih dari satu dasawarsa (1999-2011) juga telah berpengaruh besar pada berbagai aspek pemerintahan dan pembangunan, tidak terkecuali dalam bidang pembangunan wilayah dan kota (urban and regional development). Ini tentu saja sesuatu yang dapat dipandang positif untuk suatu proses pembangunan yang aspiratif, namun hal tersebut dalam perjalanannya sangat berliku-liku dan memunculkan tantangan-tantangan baru, yang semula tidak terantisipasi.

Menurut Hidayat (2010) terdapat dua perspektif dalam pemahaman desentralisasi. Pertama, perspektif politik, yang melihat desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sedangkan yang kedua, yaitu perspektif administrasi, yang memaknai desentralisasi sebagai pendelegasian wewenang dan pengambilan keputusan (decision making) dalam perencanaan dan pengaturan fungsi publik dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi ke pemerintah yang tingkatnya lebih rendah, semisal dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (hal. 7). Sesungguhnya kedua hal tersebut saling terkait, seperti dua tepi dari mata uang logam yang sama, dimana satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Secara normatif desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah lokal (kota, kabupaten dan provinsi) untuk dapat lebih tanggap (responsif) kepada kebutuhan publik, samasekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan peran pemerintah pusat. Desentralisasi juga dimaksudkan untuk mengurangi secara signifikan ketergantungan pemerintah lokal kepada pemerintah pusat; meningkatkan akuntabilitas; mendorong perubahan institusional; serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Grindle, 2007). Sementara itu menurut Hidayat (2010) kepentingan pemerintah pusat dalam hal desentralisasi adalah sebagai ajang pelatihan kepemimpinan politik dan upaya penciptaan stabilitas politik, sementara bagi pemerintah daerah desentralisasi bermakna untuk ‘kesetaraan’ politik, akuntabilitas lokal, dan tanggap lokal (local responsiveness, hal. 8-9).

Desentralisasi akan melibatkan transfer kewenangan dan tanggung jawab dalam pembelanjaan publik (public expenditure) dan penerimaan (revenues) dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan transfer ini diharapkan pemerintah

Page 66: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-66

kabupaten/kota maupun provinsi dapat lebih mengambil prakarsa untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal, karena mereka kini memiliki kewenangan (diskresi) yang lebih luas, bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Itu suatu harapan, tapi dalam kenyataannya proses ini tidaklah berjalan selancar seperti yang diinginkan.

Pada tahun 1950 dan 1960 banyak negara sedang berkembang yang baru merdeka mengadopsi perencanaan pembangunan terpusat (sentralistik) dengan tujuan untuk efisiensi penggunaan sumber daya yang sangat terbatas, serta lebih penting lagi untuk mempertahankan kesatuan nasional. Hal ini sangat disarankan oleh teori modernisasi yang sangat dominan pada waktu itu, yang sangat yakin akan terjadinya ‘spread effects’ (lihat Cheema dan Rondinelli, 1983). Namun demikian dalam kenyataannya teori tersebut tidak berjalan seperti yang dijanjikan, bahkan telah menjadikan disparitas antar wilayah dan disparitas masyarakat kaya dengan miskin semakin melebar. Semenjak tahun 1970an mulai dirasakan semakin sulitnya mengelola program pembangunan dengan efektif dan efisien melalui perencanaan sentralistik pada suatu negara yang secara sosial-ekonomi, kultur, geografis dan politik yang sangat heterogen. Untuk itulah kini banyak negara berkembang yang telah merubah orientasi politik pembangunannya dari sentralistik menjadi desentralistik, yang akhir-akhir ini lebih didorong lagi oleh tren demokratisasi dan juga urbanisasi secara global (Freire dan Stren, 2001; Freire, 2007). Diyakini bahwa desentralisasi dan otonomi daerah akan dapat mendorong pembangunan lokal, walaupun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa keputusan-keputusan yang terkait dengan desentralisasi dibuat dengan pertimbangan jangka pendek, alih-alih berdasarkan tujuan-tujuan jangka panjang (Shah dan Thompson, 2004).

Patut juga digarisbawahi bahwa desentralisasi bukanlah obat mujarab (panacea) bagi semua permasalahan pembangunan daerah dan nasional, bahkan sesungguhnya berisiko dapat menciptakan instablitas ekonomi dan kesatuan nasional, bila tidak dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Menurut Azis (2003) risiko terbesar dalam pelaksanaan desentralisasi adalah kerentanan pemerintahan lokal untuk dimanfatkan oleh elit lokal untuk tujuan politis mereka sendiri (local capture, lihat juga Hadiz, 2004 dan 2010). Demikian juga dalam implementasinya seperti dikemukakan oleh Seymour dan

Page 67: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-67

Turner (2002) bahwa desentralisasi di negara berkembang pada dewasa ini tidak selalu mendorong kemajuan (development) ataupun demokratisasi. Namun demikian, diyakini bahwa desentralisasi mempunyai potensi untuk meningkatkan kemampuan kelembagan pemerintahan pada skala lokal terkait dengan koordinasi, penegakan hukum dan resolusi konflik bila direncanakan dan dilaksanakan dengan baik (Shah dan Hutter, 1998; Grindle, 2007).

Orasi ilmiah ini akan membahas tantangan-tantangan utama dalam pengembangan wilayah (regional development) dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah yang dikemukakan diatas. Disadari bahwa pembahasannya sangat luas, namun demikian penulis hanya akan membatasi pada masalah (issues) yang mendasar saja, khususnya mengenai dimensi kerjasama antar daerah, yang juga lebih difokuskan pada wilayah metropolitan, yakni suatu wilayah perkotaan yang relatif luas dan terjadi interaksi yang sangat intensif antara kota induknya dengan kota-kota disekitarnya. Tujuannya adalah untuk mencari kemungkinan bentuk-bentuk kerjasama yang paling tepat untuk Metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dan Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan merupakan suatu issue yang sangat relevan dengan pengembangan wilayah dan kota pada era desentraliasasi dan otonomi daerah dewasa ini.

Difahami bahwa suatu orasi ilmiah sangat berbeda dengan laporan hasil riset yang dipublikasikan, yang tentunya sarat dengan analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif. Suatu orasi ilmiah pada dasarnya lebih bersifat kontemplatif dan reflektif, hasil perenungan dari berbagai kegiatan Tridharma dalam bidang keilmuan yang ditekuni oleh pelakunya.

Setelah bagian pendahuluan, naskah orasi ini akan dibagi menjadi tiga bagian utama: Bagian pertama yang akan membahas orientasi serta masalah (issue) pembangunan daerah (kota/kabupaten dan provinsi). Selanjutnya bagian kedua akan difokuskan pada makna kerjasama pembangunan antar pemerintah daerah di wilayah metropolitan; dan Bagian ketiga yang merupakan kesimpulan.

4.2. Kondisi dan Orientasi Kabupaten dan Kota Dalam Konteks Desentralisasi

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah

Page 68: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-68

pada dewasa ini sebenarnya secara teoritis memberikan peluang yang sangat besar bagi daerah, khususnya kota dan kabupaten, untuk berkembang dengan lebih cepat dan untuk meningkatkan pelayanan kepada publik, karena kini daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan arah dan merencanakan pembangunannya sesuai dengan aspirasi dan masalahnya secara lebih spesifik. Hal ini sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pada masa orde baru dimana hampir seluruh kebijakan pembangunan daerah bersifat top-down (sentralistik), sementara peran pemerintah daerah hanya merupakan pelaksana kebijakan-kebijakan pemerintah pusat semata.

Demikian juga anggaran rutin dan pembangunan mengalami perubahan yang mendasar. Kini pemerintah kota/kabupaten dan provinsi berhak memperoleh DAU (Dana Alokasi Umum), DBH (Dana Bagi Hasil), serta DAK (Dana Alokasi Khusus), serta tentu saja PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besarnya sangat bervariasi. Memang betul bahwa desentralisasi fiskal yang dianut di Indonesia pada saat ini adalah desentralisasi dalam expenditure (pembelanjaan), bukan desentralisasi dalam revenue (pendapatan), karena dengan berbagai pertimbangan revenue masih menjadi domain pemerintah pusat. Kendatipun demikian, pola yang sekarang secara teoritis memungkinkan pembiayaan dapat dalokasikan sesuai dengan program yang direncanakan dan kebutuhan lokal. Banyak keluhan dari berbagai pemerintah kota/kabupaten bahwa DAU itu sebenarnya hanya cukup, bahkan kurang, untuk kebutuhan rutin saja, yang kini bebannya semakin menjadi tanggungan pemerintah kota/kabupaten. Tidak mengherankan pula bahwa sebagian besar pemerintah daerah berupaya meningkatkan PADnya dengan berbagai pajak daerah dan retribusi daerah yang sebenarnya berpotensi menjadi kontraproduktif dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi, karena hal ini pada gilirannya berpotensi menciptakan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) (lihat Lewis, 2003; Brodjonegoro, 2006; Hill, 2008 dan Eckardt, 2008).

Kabupaten/Kota yang memiliki potensi sumberdaya alam yang luas, seperti minyak bumi, pertambangan, hutan, perikanan dan lainnya serta potensi sektor properti yang umumnya dimiliki oleh kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, tentu saja seperti mendapat durian runtuh, karena mereka mendapat bagian yang signifikan dari hasil sumberdaya tersebut. Selama satu dasawarsa ini telah terjadi kecenderungan pergeseran dalam ketimpangan wilayah (regional

Page 69: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-69

disparities) dari Jawa dengan Luar jawa; Kota dengan Desa; Jakarta dengan Daerah lainnya semasa orde baru, menjadi antara daerah yang kaya sumberdaya alam dengan daerah defisit sumberdaya (lihat Firman, 2003; Silver, 2003; Brodjonegoro, 2006).

Akankah kebijakan perimbangan keuangan pusat-daerah ini akan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di kabupaten/kota, terutama mereka dengan DBH yang besar? Teoritis ya, tapi dalam kenyataannya belum tentu, dan ini tidak merupakan jaminan. Banyak daerah yang mampu mendorong peningkatan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat miskin, yang sesungguhnya ternyata tidak selalu bergantung pada dana yang besar, sementara sebagian lagi belum dapat melakukan hal tersebut bahkan tidak banyak beranjak dari kondisi pra-desentralisasi. Sesungguhnya yang sangat menonjol pada ‘keberhasilan’ beberapa kabupaten/kota tersebut adalah peran kepeloporan dan kepemimpinan (leadership), serta pola pikir (mindset) maupun pola tindak para Bupati dan Walikotanya.

Fenomena lain yang terjadi dengan berbagai kabupaten/kota dan juga provinsi adalah ‘egosentrism daerah’. Dengan kewenangan yang lebih luas yang dimiliki daerah, banyak kabupaten/kota cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri, sebagai suatu otoritas penuh seperti sebuah ‘Kerajaan Kecil’, dan mengabaikan kepentingan kabupaten/kota tetangganya, padahal sebenarnya mereka saling bergantung antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain ada kecenderungan banyak berbagai kabupaten/kota menjadi sangat ‘inward looking’, bahkan lebih jauh lagi banyak terjadi ‘perselisihan’ atau konflik diantara mereka yang biasanya terkait dengan sumberdaya dan batas-batas wilayah administratif (lihat juga Keban, n.d.). Tentu saja pada gilirannya, ‘perselisihan’ ini potensial berdampak pada kerugian-kerugian bagi mereka sendiri, karena tidak dapat bersinergi untuk menanggulangi masalah bersama. Contoh yang paling umum pada wilayah metropolitan adalah dalam masalah lokasi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah di kota-kota besar, seperti yang pernah terjadi di Jakarta, Bandung, dan akhir-akhir ini di Kota Tangerang Selatan. Kota-kota tersebut jelas tidak memiliki TPA didalam kota karena membutuhkan area yang cukup luas, sehingga lokasinya harus berada di Kabupaten tetangganya. Bila terjadi ‘perselisihan’ antara keduanya, maka hal tersebut akan menjadi masalah terutama bagi kota, karena sampah tidak dapat diangkut.

Page 70: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-70

Masalah lain yang pernah mencuat adalah masalah sumber bahan baku air bagi PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) bagi kota, sementara lokasi sumber tersebut berada di kabupaten yang menjadi daerah tetangganya.

Era Desentraliasi dewasa ini juga diwarnai dengan kebijakan Pemekaran Daerah, dimana suatu kota atau kabupaten dapat dibagi menjadi dua atau lebih daerah otonom, seperti yang diatur dalam PP 129/2000 yang kemudian disempurnakan dalam PP 78/2007. Tujuan dasarnya adalah untuk membangun pemerintah daerah yang efektif dan mendekatkan politisi kepada konstituennya, serta meningkatkan pelayanan kepada publik. Sebenarnya pemekaran daerah secara potensial dapat membawa dampak positif bagi pengembangan wilayah, antara lain mempercepat perkembangan ekonomi kabupaten/kota yang baru dibentuk, meningkatkan kontrol dan pengawasan (surveilance) daerah yang jauh (remote), mengindari konflik horizontal, dan mengefektifkan rentang kendali (span of control) pemerintah kabupaten/kota (lihat Pratikno, 2008, hal. 4-8). Kebijakan pemekaran daerah sebenarnya sudah dimulai pada masa orde baru bahkan sebelum itu, akan tetapi yang terjadi saat ini pemekaran daerah berjalan dengan sangat cepat, cenderung tidak terkontrol dan merupakan inisiatif lokal (lihat Catatan 1). Selama periode 1999-2008 sejumlah 191 daerah otonomi telah dibentuk, terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota. Secara keseluruhan jumlah daerah otonom (kabupaten/kota dan provinsi) meningkat dari 324 pada tahun 1999 menjadi 477 pada tahun 2008, dan telah mencapai lebih dari 500 pada tahun 2009 (Firman, 2009).

Tujuan pemekaran daerah pada hakekatnya sejalan dengan maksud pengembangan wilayah, namun dalam kenyataannya pemekaran daerah cenderung digunakan untuk tujuan politis dan keuntungan finansial oleh berbagai pihak atas nama ‘aspirasi lokal’. Kebijakan pemekaran daerah telah semakin mendorong fragmentasi dan egosentrism kedaerahan, yang tentu saja pada gilirannya sangat berpotensi menjadi kontra produktif dengan tujuan pengembangan wilayah itu sendiri. Banyak sekali bukti-bukti anekdotal mengenai perselisihan antara kabupaten induk dengan kabupaten/kota hasil pemekaran, terutama yang terjadi di luar Jawa, terkait dengan sumber daya alam, batas wilayah, dan fasilitas publik (lihat Catatan 2).

Pemekaran daerah telah berimplikasi pada kebutuhan kelembagaan pada kabupaten/kota hasil pemekaran, termasuk bupati/walikota,

Page 71: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-71

DPRD, dinas-dinas dan kelembagaan lainnya, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang harus disediakan dalam APBN. Menurut Mardiasmo (2008 dan 2009) biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan kelembagaan kabupaten/kota hasil pemekaran mencapai rata-rata Rp. 7 milyar rupiah per daerah. Disamping itu tiap daerah otonom baru berhak untuk mendapat DAU (Dana Alokasi Umum) dan sumber-sumber lain seperti yang diatur dalam UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebagai ilustrasi dapat dicatat bahwa pemerintah pusat pada tahun 2003 telah mengalokasikan dana Rp. 1,3 trilyun untuk DAU untuk 22 kabupaten/kota otonomi baru hasil pemekaran, sementara jumlah ini meningkat menjadi Rp. 2,6 trilyun untuk DAU 40 kabupaten/kota baru pada tahun 2004 (LPEM – Universitas Indonesia dalam Firman, 2009). Dapat dicatat pula bahwa jumlah rata-rata DAU yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota seluruh Indonesia meningkat dengan tajam dari Rp. 161,6 milyar pada tahun 2001 menjadi Rp. 358, 2 milyar pada tahun 2008 (Departemen Keuangan, dalam Mardiasmo, 2008).

Peraturan Pemerintah (PP) no. 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah mengatur transfer aset dari kabupaten/kota induk ke kabupaten/kota hasil pemekaran, serta mengenai batas yurisdiksi (Pasal 33-35), namun dalam kenyataannya praktek pemekaran daerah sangat diwarnai oleh perselisihan dan konflik antara kabupaten/kota induk dengan kabupaten/kota hasil pemekaran, khususnya mengenai sumberdaya, aset dan tapal batas antara keduanya. Yang menarik perhatian adalah bahwa PP ini sebenarnya mengatur bukan saja pemekaran, namun juga penggabungan (merger) beberapa daerah otonom, akan tetapi hal ini tidak pernah terjadi, kemungkinan besar karena tidak adanya pendorong (insentif) bagi penggabungan (merger) daerah.

Kondisi pemekaran daerah di Indonesia pada dewasa ini memiliki kemiripan dengan pemekaran daerah yang terjadi di Nigeria pada dasawarsa 1980 dan 1990, walaupun konteksnya berbeda. Pada saat ini jumlah pemerintah daerah di Nigeria meningkat hampir dua kali, dari 301 menjadi 589 (Fitriani, dkk, hal. 58). Pembentukan pemerintah daerah baru di negara tersebut mendorong konflik fisik antar etnis dan kelompok-kelompok masyarakat, karena prosesnya tidak transparan, sementara penguasa militer melakukan campur tangan dalam proses ini (Nwanko, 1984; Uwiko, 2006). Sementara itu pemekaran daerah

Page 72: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-72

(territorial reform) di Albania telah menimbulkan fragmentasi pemerintah daerah, yang pada gilirannya telah memperlemah kapasitas pemerintah daerah dan justru semakin memperburuk akses masyarakat kepada pelayanan untuk publik (Ferazzi, 2007).

Sejauh mana kabupaten/kota dapat memanfaatkan peluang-peluang dari desentralisasi dan otonomi daerah bagi pengembangan wilayah sangat bergantung pada kepeloporan serta kepemimpinan (leadership) dan kapasitas inovasi maupun komitmen para bupati/walikota kabupaten/kota tersebut. Kepemimpinan disini terutama dimaksudkan adanya visi pimpinan daerah akan pengembangan kabupaten/kota tersebut dalam perspektif jangka panjang, bukan sesaat saja pada waktu mereka dalam kekuasaan, serta kemampuan menjabarkan visi tersebut kedalam program-program pembangunan (misi) secara lebih rinci (lihat Matsui, 2005; Rondinelli dan Heffron, 2009). Sesuatu yang sangat penting juga adalah kemampuannya dalam membawa dan mendorong bawahannya untuk berkomitmen melaksanakan program-program tersebut untuk tercapainya maksud peningkatan kualitas pelayanan kepada publik dan peningkatan kesejahteraan publik, khususnya penanggulangan kemiskinan. Bupati/Walikota dengan kepemimpinan yang visioner juga sebenarnya akan melihat bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sangat membuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota tetangganya, karena sangat jelas bahwa mereka tidak mungkin membangun kabupaten/kotanya secara efektif dan efisien tanpa melihat konteks wilayah yang lebih luas dan tanpa kerjasama dengan daerah sekitarnya untuk membangun sinergi (lihat juga Stubbs dan Clarke, 1996; Von Luebke, 2008).

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya memberikan peluang bagi pemerintah kabupaten/kota untuk berkembang dengan lebih cepat dalam penyediaan pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat, karena mereka dewasa ini telah memiliki otonomi serta diskresi untuk menentukan arah pembangunan sesuai dengan aspirasi daerah. Namun demikian hingga saat ini tujuan tersebut belum tercapai secara merata, ada yang telah mulai menampakan hasil-hasil nyata namun ada juga yang masih belum, bahkan mungkin kondisinya tidak lebih baik dari masa pra-reformasi. Yang jelas dewasa ini terjadi kecenderungan ‘Sub-nation Fragmentation’, dimana banyak

Page 73: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-73

kabupaten/kota yang memandang dirinya sebagai ‘Kerajaan Kecil’ dalam eforia reformasi. Sementara itu kebijakan dan praktek pemekaran daerah (regional proliferation) semakin memperkokoh situasi tersebut. Dari perspektif pengembangan wilayah (regional development) hal ini telah menjadikan suatu kondisi Fragmentasi Keruangan (Spatial Fragmentation) yang pada gilirannya akan berpotensi menghambat implementasi rencana pengembangan wilayah, karena suatu wilayah pada dasarnya secara sosial-ekonomi dan geografis merupakan suatu kesatuan. Masalah pembangunan di Jabodetabek (Metropolitan Jakarta) tidak dapat dipecahkan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah yang ada di wilayah tersebut, yang terdiri dari tiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) serta tujuh pemerintah Kabupaten/Kota (Kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi; Kota Tangerang, Bekasi, Bogor dan Depok).

4.3. Membangun Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah di Wilayah Metropolitan

Dalam kondisi fragmentasi spasial seperti yang dikemukakan diatas, maka tantangan yang dihadapi untuk tujuan-tujuan pengembangan wilayah adalah bagaimana mengintegrasikan dan merekatkan kembali kabupaten/kota yang ‘terserak’ tersebut, namun tetap dalam konteks reformasi kepemerintahan daerah seperti yang telah digariskan dalam UU 32 dan 33/2004. Disinilah letak pentingnya upaya menumbuhkan dan memperkuat kerjasama antar daerah (selanjutnya lihat Catatan 3). Masalah ini dirasakan lebih menekan, khususnya pada wilayah-willayah metropolitan, seperti Jabodetabek, Gerbangkeratusila, Mebidang (Medan Raya) dan Bandung Raya.

Pada dasarnya bentuk kerjasama antar daerah menurut Feiock (2004, 2004a; lihat juga Oakerson, 2004 dan Post, 2004) dapat meliputi persetujuan antar dua atau lebih pemerintah daerah; koalisi antar pemerintah daerah dalam upaya untuk memperoleh bantuan atau hibah dari pemerintah pusat; kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership); dan otoritas metropolitan (metropolitan authority). Dalam kaitan dengan wilayah metropolitan, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan daya saing (competitiveness) secara nasional dan global. Peningkatan daya saing ini juga terkait dengan tuntutan menjadikan wilayah dan kota tersebut ‘layak mukim’ (liveable), dan keharusan adanya suatu kelembagaan (institusi) dan tata kelola (governance) yang dapat mengoptimalkan potensi yang

Page 74: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-74

dimilikinya untuk tujuan-tujuan pembangunan wilayah dan kota secara berkelanjutan (Friedmann, 1999; Bird dan Slack, 2007; Freire, 2007).

Terdapat beberapa kemungkian bentuk kerjasama antar daerah dalam suatu metropolitan, seperti yang dikemukan oleh Laquian (2005, 2005a dan 2008):

a. Unified metropolitan governance, yang merupakan suatu bentuk lembaga metropolitan dengan kewenangan yang luas, dan merupakan suatu konsolidasi kota dan kabupaten (districts) di suatu wilayah metropolitan, seperti Tokyo Metropolitan Authority (lihat juga Vogel, 2005), dan Seoul Metopolitan Authority.

b. Multitier confederated metropolitan governance, yang didalamnya terdapat dua atau lebih pembagian otoritas, yaitu otoritas metropolitan yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan otoritas kota-kota dan kabupaten (districts), seperti di Greater Vancouver. Dalam hal ini Gubernur Metropolitan bekerja sama dengan Dewan Legislatif dengan keanggotannya berasal dari anggota legislatif kota dan distrik yang ada didalamanya. Contoh yang lain adalah Metro Manila Development Authority (MMDA), Dhaka Capital Development Authority, dan Bangkok Metropolitan Administration (lihat juga Talukder, 2006);

c. Mixed or voluntary system of metropolitan governance, yaitu model campuran dimana pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah lokal secara bersama memainkan perannya secara spesifik sesuai dengan kewenangannya; keempat, special or single-purpose districts, yang terbatas pada kerjasama antar daerah untuk satu atau hanya beberapa bidang saja (selanjutnya lihat catatan 4).

Dalam proses pembentukannya, ada tiga jenis kerjasama antar daerah dalam suatu metropolitan, yaitu: (1) Hierarchical partnership, dimana mobilisasinya digerakan oleh tingkat pemerintah diatasnya; (2) Spontaneous partnership, yang mobilisasinya dilakukan dengan inisiatif pemerintah lokal; (3) Hybrid, yang merupakan kombinasi antara keduanya (Luo dan Shen, 2009). Untuk yang pertama mekansime kerjanya adalah melalui undang-undang dan peraturan pemerintah, sedangkan untuk yang ‘hybrid’ dengan kombinasi antara peraturan dengan kesepakatan antar pemerintah lokal untuk kepentingan bersama (mutual interest). Mekanisme kerjasama untuk spontaneous partnership adalah seluruhnya melalui kesepakatan

Page 75: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-75

bersama antar pemerintah lokal yang merasa mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama dalam satu atau berbagai aspek terkait dengan pengembangan wilayah.

Bentuk-bentuk kerjasama diatas sebenarnya hanya untuk suatu perbandingan, sebab bentuk kerjasama metropolitan di Indonesia harus dirumuskan secara spesifik, sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi, politik , geografis, perundang-undangan yang berlaku. Seperti juga ditegaskan oleh Clark dkk (2009) bahwa ‘a key challenge to government leaders and planners in Asia [including in Indonesia] is creating new, more appropriate model of urban development outside of the traditional, largely Western model’ (p.vi; lihat juga McGee, 2005). Tidak ada bentuk kerjasama antar daerah yang bersifat ‘one size fits all’. Berdasarkan landasan konsepsional yang dibahas diatas, selanjutnya orasi ini akan difokuskan pada telaah kritis kerjasama antar daerah di Metropolitan Jabodetabek dan Kartamantul, yang relatif telah lebih berkembang (advanced) bila dibandingkan dengan di metropolitan lainnya di Indonesia, dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah dan hambatan serta faktor kunci keberhasilan implementasi dan operasi institusi kerjasama antar daerah ini.

4.3.1. Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi)

Pada saat ini untuk Jabodetabek telah ada BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) Jabotabek (sekarang Jabodetabek, Gambar 1) yang dibentuk oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat pada tahun 1976, yang kemudian diperbaharui lagi dalam peraturan bersama Gubernur DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten serta para Bupati/Walikota se Jabodetabek dan Cianjur pada tahun 2006 sebagai upaya merevitalisasi BKSP (Ruyani, 2011), guna mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan di wilayah tersebut secara lebih baik. Lembaga ini beranggotakan semua pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang berada di Jabodetabek, dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa dan kontribusi sekitar 25 persen kepada PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (lihat misalnya Rustiadi, 2007), dipimpin secara bersama oleh Gubernus DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, sedangkan pelaksana harian dijabat oleh seorang sekertaris eksekutif yang diangkat oleh pimpinan lembaga ini untuk periode lima tahun secara bergilir. BKSP sebenarnya diharapkan dapat berfungsi sebagai

Page 76: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-76

forum komunikasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Jabodetabek, namun demikian lembaga ini sebenarnya tidak memiliki otoritas yang cukup untuk pelaksanaan pembangunan di Jabodetabek, karena kewenangan masih berada pada masing-masing pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Begitu pula BKSP tidak memiliki sumberdaya finansial maupun staf secara independen, karena semuanya masih sangat bergantung pada sumberdaya yang dialokasikan oleh Pemerintah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Tidak mengherankan jika peran yang diharapkan dari BKSP Jabodetabek sebenarnya kurang efektif.

UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota NKRI mengamanatkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI, Jawa Barat dan Banten bersama dengan pemerintah kabupaten/kota yang berada di Jabodetabek dapat melakukan kerjasama atas dasar kesepakatan bersama (Ps. 27). Kerjasama terutama harus difokuskan pada perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian terkait.

Mengingat sangat luasnya cakupan permasalahan pembangunan di Jabodetabek, maka suatu lembaga metropolitan untuk Jabodetabek harus fokus pada hal-hal yang bersifat lintas yurisdiksi baik antar kabupaten/kota maupun antar provinsi, khususnya dalam sistem transpotasi, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengembangan tata ruang wilayah, serta pengelolaan limbah. Demikian pula karena luasnya cakupan tugas ini dan kebutuhan sumber daya finansial yang akan sangat besar untuk pembangunan infrastrukturnya maka peran pemerintah pusat sangat dibutuhkan, bahkan sebenarnya menuntut pula kerjasama dengan sektor swasta (Public-Private Partnership) secara lebih luas. Seperti juga dikatakan oleh Einsiedel (1999) bahwa ‘national capital territory management will need a voice at the highest level of government (hal. 135-136; lihat juga Stubbs dan Clarke, 1996, hal. 93; dan Talukder, 2006, hal. 104). Dalam hal ini institusi Metropolitan Jabodetabek harus mempertimbangkan keberadaan BKSP yang secara politis telah diterima oleh seluruh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Jabodetabek. Dengan demikian yang harus dilakukan adalah ‘Reformasi’ dan ‘Pemberdayaan’ (Empowerment) BKSP, sedangkan bentuk yang paling mendekati dan cocok

Page 77: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-77

tampaknya adalah bentuk ‘Campuran’ (mixed) seperti yang dikemukakan diatas. Untuk itu dibutuhkan pula landasan hukum bagi pembaharuan BKSP. ‘Reformasi’ dan ‘Pemberdayaan’ ini seharusnya menjadikan ‘BKSP Baru’ dapat memiliki otoritas perencanaan dan pengembangan jaringan infrastruktur yang bersifat multi yurisdiksi untuk Jabodetabek secara keseluruhan. Sementara, masing-masing pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tetap memegang otoritas mereka masing-masing pada tata kelola pemerintahan daerah.

4.3.2. Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul)

Pemerintah Kota Yogyakarta beserta Kabupaten Sleman dan Bantul (Kartamantul, Gamber 2) mengambil inisiatif untuk secara bersama membentuk suatu sekertariat bersama untuk pembangunan infrastruktur di wilayah ini pada tahun 2001, dengan tujuan untuk mengkoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan pembangunan infrastruktur bagi wilayah ini secara keseluruhan, yang bersifat multi yurisdiksi. Ketiga pemerintah kota/kabupaten, dengan jumlah penduduk mendekati 2 juta jiwa, ini menyadari bahwa kerjasama sangat penting agar pembangunan serta pengelolaan infrastruktur dapat berjalan secara optimum, dan harus dilakukan sebagai suatu sistem yang bersifat multi yurisdiksi. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga sangat mendukung kerjasama ini.

Seketrariat Bersama Kartamantul ini memiliki tiga jenjang pengelolaan. Pertama, Bupati dan Walikota ketiga pemerintah daerah ini pada tingkat tertinggi; Pada tingkat kedua, pengelolaan dilaksanakan bersama oleh pejabat teras kota/kabupaten tersebut, termasuk Sekertaris Daerah, Kepala Bappeda, dan beberapa kepala dinas; Ketiga, pada tingkat yang paling rendah pelaksanaan dilakukan oleh para pejabat teknis. Pada dasarnya ada enam kerjasama yang dikelola oleh sekertariat ini, meliputi pengelolaan limbah padat, limbah cair, air bersih, transportasi umum, jalan, dan sistem drainase, yang tentu saja tidak untuk dilaksanakan sekaligus namun secara bertahap. Hingga saat ini kerjasama tersebut berfokus pada pengelolaan limbah padat dan limbah cair. Bentuk sekertariat bersama ini pada dasarnya merupakan salah satu cara pengelolaan wilayah metropolitan, walaupun terbatas hanya pada beberapa aspek yang dikerjasamakan.

Sekertariat Kerjasama Kartamantul dipandang berhasil dalam

Page 78: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-78

melakukan pengelolaan ini, bahkan mendapat penghargaan dari Departmen Dalam Negeri dan Bank Dunia pada awal tahun 2000an sebagai salah satu inovasi pembangunan kota di Indonesia. Kunci keberhasilan Sekertariat Bersama kerjasama Metropolitan Kartamantul adalah: pertama, pengambilan keputusan kolektif yang baik; kedua, transparansi dalam proses negosiasi diantara pemerintah kabupaten/kota terkait, walaupun kemungkinan terdapat perbedaan kepentingan; ketiga, kepemimpinan dan visi serta komitmen bersama dari walikota/bupati di wilayah tersebut mengenai perlunya pengembangan infrastruktur dilakukan dalam suatu sistem yang terpadu; keempat, dukungan dari pemerintah Provinsi DIY. Studi Kasus Sekertariat Kartamantul menunjukan bahwa tata kelola (governance) metropolitan tidak harus selalu diinisiasi oleh pemerintah pusat (top-down), namun dapat merupakan inisiasi dari pemerintah kabupaten/kota (bottom-up), yang ternyata dapat berjalan dengan efektif karena tidak terlampau birokratis. Model kerjasama ‘voluntary’ inilah sebenarnya yang menjadi keunikan Sekertariat kerjasama Kartamantul.

Apakah sekertariat bersama ini akan berlanjut (sustained) dimasa yang akan datang? Inilah tantangan utamanya. Ada tiga pilihan yang telah dipikirkan untuk pengembangannnya pada masa yang akan datang dimana tuntutan kebutuhan pengembangan wilayahpun akan semakin meningkat, yaitu: (1) sebagai sebuah forum koordinasi dengan fokus pada membantu proses pengambilan keputusan; (2) sebagai institusi pelaksana, dengan kewenangan implementasi, pemantauan dan evaluasi; (3) sebagai asosiasi shareholders. Kombinasi dari ketiga pilihan tersebut juga sangat memungkinkan (lihat juga Sutrisno, 2004).

4.4. Kesimpulan

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dicanangkan sejak tahun 1999 sebenarnya membuka peluang bagi kabupaten/kota di Indonesia untuk berkembang dengan lebih cepat sesuai dengan kondisi-kondisi lokal maupun aspirasi di daerah, karena kabupaten/kota kini memiliki diskresi untuk melakukan hal tersebut. Beberapa kabupaten/kota memang telah dapat memanfaatkan kebijakan untuk menjadikan daerah mampu memberikan pelayanan kepada publik dengan lebih baik dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya. Namun demikian, dalam perjalannya kebijakan ini telah mendorong terjadinya fragmentasi spasial (spatial

Page 79: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-79

fragmentation), termasuk pada wilayah metropolitan.

Masalah Fragmentasi Wilayah dapat dijawab dengan membangun kerjasama antar daerah, khususnya pada wilayah metropolitan. Sesungguhnya telah ada berbagai kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan di Indonesia, yang tentu saja tingkat kemajuannya berbeda-beda, ada yang baru sampai pada tahap wacana hingga yang telah mencapai tahap implementasi, sesuai juga dengan lamanya kerjasama ini digulirkan. Dalam bentuknya kerjasama antar daerah di wilayah metropolitan ini ada yang dilakukan secara top-down, diinisiasi oleh pemerintah pusat, seperti pembentukan BKSP Jabodetabek sejak 1976 hingga saat ini, namun sebaliknya ada juga yang sepenuhnya merupakan inisiatif lokal (bottom-up) pemerintah kabupaten/kota terkait secara kolektif secara sukarela (voluntary), seperti pembentukan Sekertariat Bersama Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Tujuan pembentukan lembaga kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas koordinasi pembangunan yang lintas yurisdiksi, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membentuk tingkatan (level) pemerintahan yang baru.

BKSP Jabodetabek pada awalnya diharapkan dapat menjadi suatu forum komunikasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah tersebut, namun dalam perjalanannya hingga kini dirasakan bahwa institusi ini kurang efektif, karena tidak memiliki otoritas yang jelas untuk melaksanakan tugasnya. Untuk itu dibutuhkan suatu reformasi pada institusi ini, dengan fokus pada masalah pembangunan yang bersifat lintas yurisdiksi. Mengingat fungsi dan peran Jabodetabek yang sangat instrumental secara nasional, dan juga kebutuhan sumberdaya yang sangat besar untuk pembangunannya, maka kebutuhan akan keterlibatan pemerintah pusat dalam tata kelola (governance) Jabodetabek menjadi sangat penting. Keberadaan BKSP yang secara politis sudah diterima oleh seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di wilayah tersebut harus tetap dipertahankan.

Bila ada wacana di masyarakat mengenai pengembangan wilayah ‘Greater Jakarta’ (Jakarta Raya), yang lebih luas dari Jabodetabek, meliputi juga Kabupaten Purwakarta, Karawang dan Sukabumi serta Kota Sukabumi adalah sesuatu yang beralasan, karena interkasi harian kabupaten/kota tersebut dengan Kota Jakarta semakin meningkat, bahkan sesungguhnya lebih jauh lagi telah mencapai Kabupaten Serang dan Kota Cilegon di arah barat, karena sangat

Page 80: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 4-80

difasilitasi oleh jalan bebas hambatan (toll road). Wilayah tersebut secara keseluruhan sedang tumbuh menjadi suatu ‘Urban Region’ dengan beberapa koridor perkotaan didalamnya. Namun demikian, sesungguhnya yang sangat penting adalah bagaimana membangun tata kelola (governance) untuk ‘Urban Region’ ini. Pengembangan fisik dapat dilakukan melalui suatu rencana tata ruang secara terpadu, namun tanpa suatu institusi yang memadai, bagaimanapun baiknya rencana tata ruang akan sangat sukar untuk diimplementasikan. Perlu pula dicatat bahwa pengertian ‘The Greater Jakarta’ itu sendiri samasekali tidak identik dengan aneksasi atau perluasan wilayah yurisdiksi DKI Jakarta.

Sekertariat Bersama Kartamantul dalam perjalanannya selama satu dasawarsa telah menunjukan efektifitas dalam pengelolaan limbah padat dan limbah cair di wilayah Metropolitan Yogyakarta (Yogyakarta-Sleman-Bantul). Pengalaman ini menunjukan bahwa kerjasama yang diinisiasi dari tingkat lokal ternyata lebih efektif.

Sebenarnya tata cara pelaksanaan kerjasama antar daerah telah diatur dalam PP 50/2007. Hal ini sangat penting sebagai pedoman dasar, akan tetapi yang sesungguhnya sangat dibutuhkan adalah insentif (dan disinsentif) bagi kerjasama antar daerah, baik yang berupa finansial maupun non finansial. Insentif ini harus mendorong inisiatif lokal untuk melakukan kerjasama antar daerah, seperti Kartamantul. Hal inilah yang perlu dipikirkan lebih lanjut untuk perbaikan (amandemen) Peraturan Pemerintah tersebut. Membangun kerjasama antar daerah pada hakekatnya merupakan upaya menumbuhkan kapasitas lokal, yang menjadi salah satu tujuan desentralisasi dan otonomi daerah.

Page 81: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-81

Bahan 5 Pengurangan Ketimpangan Pembangunan wilayah

Adanya perbedaan dan keragaman potensi sumber daya alam, letak geografis, dan kualitas sumber daya manusia di berbagai wilayah Indonesia yang diikuti dengan perbedaan kinerja setiap daerah telah menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antarwilayah. Ketimpangan tersebut terjadi terutama antara kawasan pulau di Jawa-Bali dan kawasan pulau di luar Jawa-Bali, antara metropolitan, kota besar, menengah, dan kecil; antara perkotaan dan perdesaan; serta ketertinggalan juga dialami pada daerah terisolasi, perbatasan, dan pulau-pulau kecil terluar.

Indikasi ketimpangan pembangunan antarwilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antarwilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa gambaran kemiskinan antarpulau terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yaitu sebanyak 20,71 juta jiwa dan berikutnya di Pulau Sumatera sebanyak 7,88 juta jiwa. Namun, secara persentase, angka kemiskinan di DKI Jakarta menunjukkan angka yang paling kecil yaitu hanya sekitar 3,2 persen, sedangkan di Papua mencapai persentase terbesar yaitu sekitar 38,7 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih juga terjadi antarwilayah, yaitu pada tahun 2005 penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 10,6 tahun (tertinggi), sedangkan penduduk di Sulawesi Barat rata-rata hanya bersekolah selama 6 tahun (terendah). Hanya 3 provinsi saja, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali yang desanya tidak ada kesulitan menjangkau prasarana kesehatan seperti puskesmas pembantu, tetapi di Irian Jaya Barat masih terdapat 35,3 persen desa yang mengalami kesulitan dalam menjangkau prasarana kesehatan.

Data BPS tahun 2006 mengenai penguasaan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) seluruh provinsi dan laju pertumbuhan PDRB antar provinsi menunjukkan bahwa propinsi di Jawa dan Bali menguasai sekitar 65,49 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 19,82 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 6,35 persen, Sulawesi menguasai 4,51 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya 3,81 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2006 sebesar 5,75 persen, provinsi di Sumatera

Page 82: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-82

sebesar 5,33 persen, provinsi di Kalimantan 3,75 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 6,95 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar -4,22 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antarwilayah.

Pada bab ini akan diuraikan upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah, baik yang sudah dilaksanakan (sampai dengan pertengahan tahun 2007) maupun upaya tindak lanjut yang diperlukan, yang mencakup hasil pelaksanaan pembangunan pada wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh, tertinggal dan terisolasi, perbatasan, dan pulau-pulau kecil terluar. Selain itu, diuraikan pula upaya mengurangi kesenjangan pembangunan antarkota, dan kesenjangan pembangunan antarwilayah perkotaan dan wilayah perdesaan, termasuk masalah yang terkait dengan penataan ruang dan pertanahan.

5.1. Permasalahan yang Dihadapi

Dari upaya pembangunan yang telah dilakukan, masih terdapat kesenjangan yang relatif tinggi antara wilayah yang satu dan wilayah lainnya, terutama antara wilayah pusat pertumbuhan dan wilayah yang relatif tertinggal, baik dalam ketersediaan infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Wilayah strategis yang dibangun melalui kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (free trade zone/FTZ) seperti Sabang belum berkembang optimal sebagai wilayah strategis nasional disebabkan lambatnya pembangunan infrastruktur serta kurangnya sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan pengelola kawasan. Sedangkan wilayah strategis kawasan berikat seperti Batam yang juga akan dikembangkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) bersama dengan kawasan lain di sekitarnya menghadapi masalah belum siapnya manajemen pengelolaan, terutama sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah daerah dan pengelola kawasan serta peran yang belum jelas antara pusat dan daerah. Wilayah strategis yang dikembangkan melalui KAPET menghadapi masalah masih lemahnya mekanisme perizinan investasi di KAPET yang memerlukan penguatan kapasitas badan pengelola KAPET dalam mendorong investasi di kawasan.

Di lain pihak pengembangan wilayah cepat tumbuh masih menghadapi masalah, antara lain (1) masih rendahnya minat investor dalam pengembangan usaha di wilayah ini, (2) masih lemahnya

Page 83: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-83

fasilitasi dan pembinaan sumber daya manusia pemerintah daerah dalam pengembangan dan pengelolaan produk unggulan serta, (3) masih belum optimalnya upaya sinkronisasi dan koordinasi antarsektor dan antar-wilayah dalam pengembangan kawasan andalan yang berbasis sektor unggulan. Dalam pengembangan wilayah cepat tumbuh melalui kawasan transmigrasi, rendahnya minat investor khususnya disebabkan masih banyaknya kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan dengan sarana prasarana yang belum memadai dan rusak juga belum jelasnya status kawasan transmigrasi yang dapat diserahterimakan kepada pemerintah daerah dan belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan transmigrasi lebih lanjut.

Di samping perlunya pelaksanaan pembangunan di wilayah yang potensial, strategis, dan cepat tumbuh yang terus didorong pertumbuhannya untuk dapat mendorong pertumbuhan di wilayah sekitarnya, pemerintah juga berupaya memberikan keberpihakan yang besar terhadap pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan. Saat ini terdapat 199 kabupaten di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai daerah tertinggal dengan proporsi 123 kabupaten (62 persen) berada di kawasan bagian timur indonesia (KTI), 28 kabupaten (29 persen) berada di kawasan Sumatera, dan 18 kabupaten (9 persen) berada di kawasan Jawa-Bali. Di antara 199 kabupaten tertinggal, 20 di antaranya berada di kawasan perbatasan negara. Upaya mengatasi masalah kesenjangan wilayah itu telah dilaksanakan oleh pemerintah sejak pemerintahan orde baru, tetapi hingga kini upaya tersebut belum memberikan manfaat pada percepatan pertumbuhan wilayah yang berarti.

Perlu diakui bahwa pembangunan di daerah tertinggal dan perbatasan belum memberikan hasil yang memuaskan, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Terdapat beberapa permasalahan dalam pembangunan daerah tertinggal yang masih dihadapi hingga saat ini, antara lain, (1) masih rendahnya ketersediaan infrastruktur, terutama akses transportasi dan komunikasi; (2) masih rendahnya tingkat pelayanan sosial dasar; (3) belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya dan pengembangan potensi ekonomi lokal; (4) masih lemahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dalam mengelola potensi sumberdaya lokal; (5) masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat setempat; (6) masih lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang, kapasitas

Page 84: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-84

kelembagaan penataan ruang, dan pemahaman aparat terhadap penataan ruang di wilayah tertinggal dan perbatasan.

Khusus untuk daerah tertinggal di perbatasan, hingga saat ini masih terdapat beberapa permasalahan spesifik, antara lain, (1) belum disepakatinya beberapa segmen garis batas negara di darat dan di laut; (2) belum optimalnya pelayanan lintas batas; (3) masih menonjolnya permasalahan keamanan dan lemahnya penegakan hukum, terutama terkait pelintas batas dan kegiatan ilegal; (4) terdapatnya pulau-pulau kecil terluar pada kawasan perbatasan negara yang memerlukan perhatian khusus untuk menjaga kedaulatan NKRI. Di sisi lain kendala yang masih dihadapi dalam penanganan permasalahan di daerah tertinggal dan perbatasan meliputi (1) belum memadainya sumber pendanaan yang diarahkan untuk membangun dan melayani daerah tertinggal dan perbatasan; (2) masih lemahnya sinergitas antarsektor dan antartingkat pemerintah, serta dengan masyarakat dan dunia usaha dalam pengembangan daerah tertinggal dan perbatasan; dan (3) belum berkembangnya wilayah strategis dan cepat tumbuh yang diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah tertinggal dan perbatasan di sekitarnya.

Pada tahun 2007 pembangunan perkotaan masih menghadapi permasalahan, terutama kesenjangan dan pertumbuhan yang tidak seimbang antara kota besar/metro dan kota menengah-kecil. Hal itu diikuti pula oleh belum optimalnya hubungan desa-kota ke arah hubungan yang konstruktif disebabkan masih rendahnya daya saing kota menengah dan kecil sehingga pertumbuhan yang terjadi belum dapat mengimbangi secara proporsional terhadap kota besar dan metropolitan. Pertumbuhan yang hanya terpusat pada beberapa kota saja, terutama di Jawa dan Bali, disinyalir juga merupakan persoalan yang masih sulit untuk dipecahkan. Permasalahan lain yang muncul selama tahun 2007 adalah (1) belum maksimalnya peran kota kecil dan menengah dalam menstimulasi pertumbuhan wilayah akibat rendahnya daya saing kota kecil-menengah; (2) belum terbangunnya keterkaitan spasial dan mata rantai produksi antara pertanian dan suplai inputnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan; (3) belum efektifnya peran kota kecil dan menengah sebagai kota perantara dari proses produksi di perdesaan dan proses produksi di kota besar dan metropolitan; (4) menurunnya daya dukung kota besar dan metropolitan akibat pembangunan yang tidak terkendali dan

Page 85: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-85

menurunnya pelayanan perkotaan; (5) masih lambatnya peningkatan kapasitas pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelayanan publik, pengelolaan lingkungan perkotaan, pengembangan kemitraan dengan swasta dan peningkatan kapasitas ekonomi perkotaan; (6) belum optimalnya kerja sama antar pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan; (7) masih berbedanya kualitas pelayanan publik wilayah perkotaan antara Jawa dan luar Jawa; (8) kurang berfungsinya sistem kota nasional dalam pengembangan wilayah; (9) adanya kecenderungan memburuknya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan dan perdesaan; (10) menurunnya kualitas hidup (sosial) masyarakat di perkotaan dan perdesaan karena permasalahan sosial-ekonomi serta karena penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan dan perdesaan.

Dalam penyelenggaraan penataan ruang daerah telah banyak hasil yang dapat dilakukan, tetapi masih ditemukan berbagai masalah yang menjadi tantangan ke depan, diantaranya adalah (1) semakin menurunnya kualitas permukiman yang di antaranya ditunjukkan oleh kemacetan untuk aspek transportasi, kawasan kumuh, pencemaran lingkungan (air, udara, suara, sampah), dan hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH) untuk artikulasi sosial dan kesehatan masyarakat, terutama di perkotaan; (2) kejadian bencana alam gempa, banjir dan longsor yang frekuensinya meningkat dan dampaknya semakin meluas, terutama pada kawasan yang berfungsi lindung; (3) meningkatnya urbanisasi dan aglomerasi perkotaan berimplikasi pada terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan permukiman/perkotaan secara signifikan; (4) Penurunan luas kawasan hutan tropis dan kawasan resapan air, serta meningkatnya DAS kritis; dan (5) rencana tata ruang wilayah (RTRW) belum sepenuhnya menjadi acuan dalam pemanfaatan ruang dan fokus hanya pada perencanaan sehingga terjadi inkonsistensi pelaksanaan pembangunan terhadap rencana tata ruang (RTR) serta lemahnya pengendalian dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan ruang.

Dalam pengelolaan pertanahan, masih dihadapi 3 masalah utama, yaitu belum mantapnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah serta maraknya konflik dan sengketa tanah, struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang masih timpang dan belum tertata, serta belum memadainya pengelolaan data dan informasi pertanahan. Secara lebih terperinci permasalahan yang dihadapi dalam

Page 86: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-86

pengelolaan pertanahan, meliputi (1) belum mantapnya jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, antara lain, ditunjukkan oleh a) masih belum lengkapnya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); b) terdapatnya persepsi yang beragam mengenai status kepemilikan tanah tertentu di kalangan masyarakat maupun pemerintah; dan c) pendaftaran hak atas tanah masih memerlukan waktu yang lama; (2) ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) yang ditunjukkan oleh antara lain, a) belum adanya basis data objek landreform yang komprehensif serta belum adanya kesamaan persepsi tentang pentingnya landreform; b) belum mantapnya pengaturan keserasian antara ketersediaan dan kebutuhan atas tanah; c) penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah masih belum sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan kurang berpihak kepada kalangan kurang mampu; (3) belum memadainya pengelolaan data dan informasi pertanahan, baik tekstual maupun spasial. Data penguasaan/pemilikan tanah, baik perorangan, badan hukum, maupun pemerintah, yang kerap digunakan sebagai sarana perumusan kebijakan dan perencanaan masih belum lengkap. Sampai saat ini baru 33.665.125 bidang (sekitar 30%) dari seluruh bidang tanah di Indonesia yang telah terdaftar, serta baru 70% dari luas wilayah Indonesia yang sudah tersedia data serta informasi penggunaan dan kemampuan tanahnya. Di samping itu, ketersediaan infrastruktur pendaftaran tanah dan pengembangan sistem informasi geografi maupun sistem informasi pertanahan belum dapat memenuhi kebutuhan nasional.

Masalah yang ditemukan dalam pemetaan adalah belum tersedianya secara lengkap peta dasar (darat, laut, batas wilayah) nasional pada skala yang memadai. Penyediaan peta dasar rupa bumi Indonesia secara sistematis yang mencakup seluruh wilayah nasional sangat diperlukan untuk kerangka visualisasi informasi spasial, dan masukan utama dalam analisis spasial yang sebagian besar tema kewilayahan dan sumber daya alam umumnya hanya disediakan oleh peta dasar. Oleh karena itu peta dasar harus memenuhi syarat homogenitas dan ketelitian geometris tertentu. Kekurangan data, kesalahan kualitas data, serta kesalahan lokasi data yang dipakai dalam analisis spasial sangat berpengaruh pada kualitas hasil analisis tersebut, yang pada gilirannya sangat mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan.

Page 87: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-87

Dalam kaitannya dengan pemetaan dan pengkajian batas wilayah, penanganan batas wilayah negara dan batas wilayah administratif di dalam NKRI masih perlu ditingkatkan. Tujuan penetapan dan pemetaan batas wilayah adalah tegasnya batas wilayah nasional dan batas antara daerah provinsi dan kabupaten/kota agar terwujud tertib administrasi tata batas wilayah dan kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan undang-undang tentang pemerintahan daerah serta dalam rangka mendukung komitmen pemerintah dalam implementasi UNCLOS’82. Penyediaan data dan informasi geo-spasial terhadap pulau-pulau kecil terluar sebagaimana tercantum di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2005 menjadi sangat penting dan mendapatkan perhatian khusus, terutama untuk keperluan penegasan batas teritorial, pengelolaan pulau kecil terluar, dan menghindari konflik batas wilayah dengan negara tetangga pada masa yang akan datang.

5.2. Langkah Kebijakan dan Hasil yang Dicapai

Dalam kurun waktu setahun ini langkah kebijakan dalam upaya percepatan pembangunan melalui pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh, di antaranya adalah (1) menyusun kajian, kebijakan, dan regulasi yang mendorong percepatan pengembangan kawasan strategis, seperti kawasan Batam maupun kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta kawasan ekonomi khusus; (2) menyusun kajian serta membangun infrastruktur kawasan strategis Sabang dan Batam; (3) menyusun perencanaan, serta menyediakan infrastruktur, sarana prasarana permukiman, serta sarana dan prasarana sosial dasar dan ekonomi, memfasilitasi promosi kawasan, serta memberdayakan masyarakat untuk mendukung terciptanya dan berkembangnya pusat pertumbuhan melalui kawasan transmigrasi dan kota terpadu mandiri (KTM); (4) memfasilitasi dan meningkatkan kualitas SDM pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan kawasan andalan serta kawasan berbasis sektor unggulan, termasuk memfasilitasi pengembangan sistem informasi dan database kawasan dan produk unggulan; (5) memfasilitasi pembinaan manajemen pengelolaan KAPET dan koordinasi pengembangan kerja sama ekonomi subregional (KESR) BIMP-EAGA, IMT-GT, dan AIDA.

Hasil yang telah dicapai dalam upaya pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh di antaranya adalah (1) penyusunan peraturan pendukung percepatan pengembangan wilayah strategis,

Page 88: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-88

seperti RPP tentang Hubungan Kerja antara Pemerintahan Kota Batam dan Badan Otorita Batam sebagai tindak lanjut dari UU No 21 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Otonom Batam yang diharapkan akan menjadi model bagi upaya pengembangan hubungan kerja yang harmonis antara pemerintah daerah dan pengelola berbagai kawasan, serta PP Pengganti No 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 36 Tahun 2000 yang mempermudah pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; (2) pelaksanaan evaluasi dan kajian berbagai aspek hukum, kelembagaan, insentif dan tata ruang untuk pengembangan kawasan ekonomi khusus sebagai tujuan investasi; (3) penyusunan perencanaan teknis, dikembangkannya database dan sistem informasi, promosi kawasan, serta pembangunan infrastruktur terkait operasional kepelabuhanan dan sarana jalan kolektor dan jembatan kawasan strategis Sabang; kemudian penyusunan evaluasi kebijakan strategis dan bisnis plan kawasan, perencanaan teknis tata ruang, jalan dan dam, pengembangan sistem informasi, serta pembangunan terminal dan fasilitas keselamatan penerbangan dan Bandara Hang Nadim, operasional pelabuhan Batu Ampar, stasiun meteorolgi, rumah sakit, serta peningkatan jalan arteri, dan drainase di kawasan strategis Batam.; (4) pengembangan kawasan transmigrasi di kawasan cepat tumbuh melalui pembangunan infrastruktur, sarana prasarana permukiman, sarana prasarana sosial dasar dan perekonomian, pemberdayaan masyarakat, serta promosi kawasan. Usaha ini telah berhasil membuka isolasi daerah dan mendorong terciptanya pusat pertumbuhan ekonomi baru di 29 unit permukiman transmigrasi (UPT), melalui pembangunan dan rehabilitasi jalan dan jembatan (jalan poros 326,19 km, jalan desa 401,60 km, jembatan kayu 2.080,19 m, jembatan semi permanen 484 m, jembatan beton semi standar 90 m), puskesmas pembantu (62 unit), rumah ibadah (87 unit), balai desa (60 unit), dan gedung SD (13 unit); (5) penyusunan kajian dan perencanaan pembangunan kota terpadu mandiri (KTM) di 4 kawasan melalui penyusunan rencana induk (masterplan) KTM yang terdiri dari strategi pengembangan pusat kota, pengembangan agribisnis, peningkatan pemberdayaan masyarakat, pengembangan infrastruktur kawasan, serta pengembangan manajemen organisasi pengelolaan kawasan. Pembangunan KTM dimaksudkan untuk mendorong percepatan pengembangan wilayah strategis cepat tumbuh, sekaligus menciptakan keterkaitannya dengan wilayah tertinggal di sekitarnya; (6) penyelenggaraan manajemen pengelolaan

Page 89: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-89

kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) di 13 provinsi; (7) pembuatan pedoman penyusunan rencana pengembangan kawasan andalan berbasis sektor unggulan serta fasilitasi pembentukan sistem kelembagaan bagi pengembangan kawasan andalan dan kawasan tertentu; serta (8) fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan kerja sama internasional/kerja sama ekonomi subregional (KESR).

Arah kebijakan umum pembangunan daerah tertinggal adalah meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan daerah-daerah tertinggal dan terpencil dengan mengoptimalkan pengembangan potensi sumber daya lokal sehingga wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar kemajuan pembangunan sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Adapun arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan negara adalah mengembangkan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam menjadi berorientasi ke luar.

Pada kurun waktu tahun 2006 hingga saat ini pemerintah telah melakukan berbagai langkah kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah tertinggal, antara lain, (1) menyusun Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal (stranas PDT) yang saat ini telah disempurnakan menjadi strategi nasional percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (stranas PPDT); (2) menyusun Rencana Aksi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN PPDT) Tahun 2008; (3) memfasilitasi penyusunan dokumen strategi daerah percepatan pembangunan daerah tertinggal (strada PPDT) provinsi/kabupaten; (4) menfasilitasi penyusunan rencana aksi daerah percepatan pembangunan daerah tertinggal (RAD PPDT) tingkat provinsi/kabupaten Tahun 2008; (5) mengidentifikasi 32.379 desa tertinggal di seluruh Indonesia sebagai instrumen untuk mengalokasikan program dan kegiatan di daerah tertinggal secara tepat sasaran hingga ke tingkat desa; (6) melaksanakan rapat koordinasi nasional percepatan pembangunan daerah tertinggal (rakornas PPDT) sebagai masukan bagi rapat koordinasi pusat (rakorpus) dan musyawarah perencanaan pembangunan nasional (musrenbangnas); (7) menyiapkan Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Inpres PPDT); (8) menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua. Pembangunan 26 daerah tertinggal di Papua

Page 90: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-90

dan Papua Barat merupakan tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua serta sebagai upaya mempercepat pembangunan daerah tertinggal di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; (9) melaksanakan pembinaan kawasan transmigrasi di daerah tertinggal dan perbatasan;

Hasil yang telah dicapai dalam pembangunan sosial ekonomi daerah tertinggal dalam kurun waktu setahun terakhir ini, antara lain, (1) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam pelaksanaan pembangunan dan pengoperasian infrastruktur telekomunikasi melalui program universal service obligation (USO) di 7.216 desa yang ada di kabupaten tertinggal; (2) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam pelaksanaan program pembangunan infrastruktur perdesaan di empat provinsi sebanyak 1.840 desa (Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur); (3) terjalinnya kerja sama lintas sektor dalam penyediaan infrastruktur listrik perdesaan, serta infrastruktur sosial dan ekonomi yang meliputi pengadaan PLTS sejumlah 20.138 unit tersebar di kabupaten tertinggal/perbatasan di 24 provinsi; pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro dengan daya terpasang 2325 Kw sejumlah 31 unit tersebar di 7 kabupaten. Pembangunan gardu 46.238 KVA dan pemasangan jaringan JTM dan JTR sepanjang 3.155,46 KMS, serta penyediaan air bersih di 7 kabupaten tertinggal/perbatasan; (4) terjalinnya kerja sama 6 menteri dalam rangka percepatan pembangunan ekonomi masyarakat perdesaan berbasis agribisnis melalui koperasi dan UMKM di daerah tertinggal/perbatasan; (5) terlaksananya bantuan langsung bagi daerah tertinggal/perbatasan melalui pelaksanaan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT), Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP), Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), serta Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT) sebagai stimulan untuk menggerakkan seluruh sektor terkait dalam mengatasi ketertinggalan wilayah secara terpadu; (6) tersusunnya profil daerah tertinggal di 15 kabupaten; (7) tersusunnya 6 (enam) raperpres tentang rencana tata ruang kawasan perbatasan negara, antara lain, di Kalimantan, Provinsi Riau/Kepulauan Riau, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Maluku, dan Provinsi Papua. Raperpres

Page 91: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-91

tentang rencana tata ruang kawasan perbatasan negara di Kalimantan (KASABA) dalam proses penetapan menjadi Perpres di Sekretariat Kabinet, Sedangkan lainnya masih dalam pembahasan Rapat Tim Teknis BKTRN; (8) telah tersusun rancangan rencana tata ruang kawasan pulau-pulau terluar perbatasan (NAD-Sumut, Maluku Utara-Papua, NTT/Pulau Alor), materi RTRW kawasan perbatasan RI-Palau (Maluku Utara) dan Kabupaten Rote Ndau (NTT), serta operasionalisasi dan sinkronisasi penataan ruang kawasan perbatasan; (9) telah terlaksananya pemutakhiran data dan informasi pulau terluar dan kawasan perbatasan; (10) terselenggaranya bantuan teknis penyusunan RTRW kawasan pengembangan ekonomi (KPE) di Jagoibabang Kabupaten Bengkayang, KPE jasa Kabupaten Sintang, KPE Long Midang Kabupaten Nunukan; serta RTRW daerah tertinggal di Kabupaten Halmahera Timur, Kepulauan Aru, Manokwari, Bintuni, Kolaka Utara dan Bombana; (11) tersusunnya RTR kawasan perbatasan di beberapa lokasi; (12) terbangunnya prasarana sumber daya air di pulau-pulau kecil di Maluku dan Sulawesi Utara; (13) terbangunnya prasarana jalan dan jembatan di pulau-pulau terpencil di Provinsi Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Utara, Papua; (14) terbangunnya prasarana dan sarana permukiman di pulau terpencil dan terisolasi; dan (15) telah tercipta pusat pertumbuhan ekonomi baru di 54 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) di kawasan tertinggal dan 10 UPT di kawasan perbatasan. Dalam rangka menunjang kebijakan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan serta mewujudkan ketahanan pangan dan pemenuhan papan nasional, penempatan transmigrasi di wilayah tertinggal dan perbatasan telah dilaksanakan simultan sejak 2005 hingga Juni 2007, mencapai 22.601 kepala keluarga (KK), dengan memfasilitasi perolehan aset produksi berupa tempat tinggal, tempat bekerja, dan peluang berusaha bagi 14.398 KK penganggur dan penduduk miskin, peningkatan pemberdayaan, kemampuan dan produktivitas transmigrasi serta kemandirian masyarakat sekitar 91.219 KK di 419 unit permukiman transmigrasi, dan pembukaan areal produksi baru di bidang pertanian tanaman pangan seluas 18.018, 25 ha siap olah dan 291,50 ha siap tanam.

Beberapa langkah kebijakan dalam rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan transportasi adalah (1) memprioritaskan penanganan sistem jaringan jalan yang masih belum terhubungkan dalam rangka membuka akses ke daerah terisolasi dan belum berkembang, serta mendukung pengembangan wilayah dan kawasan strategis seperti

Page 92: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-92

kawasan cepat tumbuh, kawasan andalan, kawasan perbatasan, dan kawasan tertinggal; (2) meningkatkan aksesibilitas pelayanan lalu lintas angkutan jalan melalui pelayanan angkutan perintis untuk wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan, dan aksesibilitas pelayanan angkutan sungai terutama di Kalimantan, Sumatera dan Papua; (3) pemberian subsidi operasional transportasi perintis baik darat, laut maupun udara serta pemberian public service obligation (PSO) untuk angkutan kelas ekonomi perkerataapian dan angkutan laut dalam negeri sehinga kebutuhan pelayanan trasportasi dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat miskin dan penduduk yang tinggal di wilayah terpencil dan perbatasan dapat dipenuhi.

Hasil yang dicapai dalam upaya meningkatkan aksesibilitas pelayan trasportasi dalam kurun waktu tahun 2005 hingga juni 2007, antara lain, (1) pembangunan jalan baru sepanjang 625 km di kawasan perbatasan dan daerah terisolasi; (2) pengadaan bus perintis sebanyak 399 unit yang melayani 290 trayek perintis; (3) rehabilitasi kapal penyeberangan perintis 13 unit dan pembangunan kapal penyeberangan perintis baru/lanjutan sebanyak 35 unit, serta pengoperasian lintas perintis sebanyak 209 lintas; (4) pengoperasian angkutan laut perintis untuk 52 rute; dan (5) pemberian subsidi operasi perintis penerbangan untuk 93 rute yang melayani 104 kota dan 85 provinsi.

Berbagai langkah kebijakan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah perbatasan, antara lain, (1) mengevaluasi perkembangan kemajuan pembangunan di daerah tertinggal dan perbatasan; (2) melaksanakan tugas pembantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan umum di wilayah perbatasan; (3) menindaklanjuti pelaksanaan Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pemerintah secara konsisten melanjutkan upaya percepatan pembangunan di pulau-pulau terluar di bidang sosial ekonomi serta politik, hukum, dan keamanan, melalui pelaksanaan koordinasi lintas sektoral dalam tim kerja perpres 78/2005, menyiapkan kebijakan, strategi, dan rencana tata ruang kawasan perbatasan negara, kawasan tertinggal strategis nasional, dan pulau-pulau kecil terluar/terpencil.

Hasil yang telah dicapai dalam penanganan aspek penegasan administrasi batas negara dan aspek pertahanan dan keamanan terhadap daerah tertinggal yang berada di wilayah perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar,antara lain, (1) terlaksananya

Page 93: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-93

delineasi batas darat RI-RDTL dan koordinasi penegasan garis batas antara RI-Malaysia; (2) terlaksananya upaya penanganan permasalahan perbatasan antarnegara di 6 kabupaten/kota; (3) terlaksananya pembangunan, pengadaan sarana dan prasarana pos lintas batas (PLB)/pemeriksaan pos lintas batas (PPLB), check point batas antarnegara, gapura batas antarnegara serta sarana mobilitas pelayanan pemerintahan umum di 10 kabupaten/kota; (4) terlaksananya penanganan pulau-pulau kecil terluar di 10 kabupaten/ kota; serta (5) terselenggaranya lokakarya nasional dalam rangka pembinaan ketahanan masyarakat pulau terluar.

Dalam usaha untuk mendorong pembangunan perkotaan, tanpa melupakan keterkaitannya dengan wilayah perdesaan, pemerintah berupaya untuk menginternalisasi arah kebijakan pembangunan perkotaan ke dalam tiga buah program, yaitu Program Pengembangan Kota-Kota Kecil dan Menengah; Program Pengembangan Keterkaitan Pembangunan Antarkota; dan Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan. Ketiga program itu secara bersama-sama diharapkan dapat mendorong sinergitas wilayah perkotaan dan perdesaan.

Arah kebijakan untuk bidang perkotaan pada tahun 2007 adalah (1) menyusun dan menyiapkan struktur perkotaan Indonesia dalam usaha memantapkan peran serta fungsi kota untuk mendukung pengembangan kota secara hierarkis dan memiliki keterkaitan kegiatan ekonomi antarkota yang sinergis dan saling mendukung; (2) meningkatkan kapasitas SDM, pembiayaan, serta kelembagaan pusat dan daerah dalam mengelola pembangunan perkotaan.

Usaha yang dilakukan pada tahun 2007 untuk mengembangkan keterkaitan pembangunan antarkota, antara lain, pengkajian dan sosialisasi konsep manajemen dan koordinasi pelayanan lintas kota, pembinaan penataan kota, fasilitasi kerja sama antarpemerintah kota, penyusunan profil kota dalam peran dan fungsi hirarki kota, pengembangan aset manajemen perkotaan, dan pelaksanaan proyek reformasi pembangunan sektor perkotaan/urban sector development reform project (USDRP).

Untuk mengembangkan kota kecil menengah, kegiatan yang akan dilakukan pada tahun 2007 adalah fasilitasi pengembangan perkotaan, peningkatan fungsi kawasan perkotaan dan perdesaan, penyusunan petunjuk teknis peningkatan kualitas permukiman perkotaan, penyusunan petunjuk penyusunan rencana induk sistem pengembangan perkotaan, serta advisory/pendampingan penyusunan

Page 94: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-94

PJM infrastruktur kota. Untuk pengendalian kota besar dan metro pada tahun 2007, upaya yang akan dilakukan adalah peningkatan kapasitas aparat daerah dalam pengelolaan wilayah metropolitan, pembinaan pengembangan kinerja perkotaan, penyusunan konsep pengembalian fungsi kawasan permukiman di metropolitan; pengembalian fungsi kawasan permukiman metropolitan melalui peremajaan di 16 kota, serta penyusunan rencana pengembangan kawasan permukiman di kota besar.

Berbagai usaha yang dicapai pada tahun 2006 untuk mengembangkan keterkaitan pembangunan antarkota, antara lain, (1) pengembangan kebijakan dan program pembangunan antarkota; (2) fasilitasi kerja sama antar daerah dalam pengelolaan pelayanan umum di perkotaan; (3) pembentukan forum kerja sama antarpemerintah kota untuk merumuskan kerja sama pembangunan; (4) sosialisasi konsep kebijakan kerja sama dan konsep koordinasi pengelolaan pembangunan perkotaan; (5) fasilitasi kerja sama antardaerah dalam pengembangan manajemen perkotaan.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengembangkan kota kecil dan menengah pada tahun 2006, antara lain, (1) pemberdayaan profesionalisme aparatur dalam pengelolaan dan peningkatan produktivitas kota; (2) pemberdayaan kemampuan pemerintah kota dalam memobilisasi dana pembangunan dan mengembangkan ekonomi perkotaan; dan (3) fasilitasi pengembangan perkotaan untuk kota kecil dan menengah; (4) penyelenggaraan bimbingan teknis pengelolaan pembangunan perkotaan.

Dalam usahanya untuk mengendalikan pembangunan kota-kota besar dan metropolitan, hasil yang dicapai pada tahun 2006, antara lain, (1) perencanaan dan penanganan kawasan permukiman perkotaan; (2) penguatan kelembagaan di kawasan metropolitan dalam kerangka tatapemerintahan yang baik (good urban governance) dan peningkatan kemitraan dengan pihak swasta dan masyarakat; (3) peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh di kota besar dan metropolitan untuk menciptakan kawasan perkotaan yang layak huni; (4) pengembalian fungsi kawasan perkotaan yang mengalami penurunan fungsi; (5) fasilitasi pengendalian dan penataan kawasan kumuh.

Langkah kebijakan yang ditempuh dalam penataan ruang adalah (1) memantapkan penyelenggaraan penataan ruang nasional melalui pelaksanaan pengembangan strategis penataan ruang sebagai

Page 95: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-95

kerangka orientasi pengembangan struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam tatanan global; (2) menyiapkan, mengembangkan dan menyosialisasikan norma, standar, prosedur dan manual (NSPM) bidang penataan ruang untuk penataan ruang daerah; (3) mengoperasionalisasikan RTRW nasional, RTR pulau, RTRW provinsi dan RTRW kabupaten/kota ke dalam bentuk rencana yang lebih terperinci serta dilengkapi indikasi program strategis; (4) meningkatkan upaya pengendalian dan penegakan hukum dalam pemanfaatan ruang baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, maupun kawasan melalui penerapan sanksi dan SPM implementasi yang dituangkan dalam peraturan perundangan dan perkuatan sistem informasi; dan (5) memantapkan kelembagaan penataan ruang di tingkat nasional, daerah, dan masyarakat dalam operasionalisasi penataan ruang wilayah nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan kawasan.

Pada kurun waktu tahun 2006 hingga Juni 2007 langkah kebijakan tersebut telah menghasilkan berbagai hal, di antaranya, (1) lahirnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (2) pendayagunaan rencana tata ruang (RTR) pulau/kepulauan, rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota; (3) tersusunnya revisi PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN; (4) tersusunnya Raperpres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur; (5) tersusunnya Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai penjabaran dari operasionalisasi RTRW Kabupaten/Kota; (6) terselenggaranya raker regional BKTRN untuk wilayah Sumatera, Jawa, Bali, dan untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua; (7) terselenggaranya Raker BKPRD; (8) pemantapan kelembagaan dan kualitas pemerintah Daerah di bidang penataan ruang; (9) peningkatan peran serta masyarakat dalam penataan ruang; (10) peningkatan penegakan hukum dalam penerapan rencana tata ruang; (11) penetapan kebijakan perizinan pembangunan yang beradaptasi dengan ketentuan rencana tata ruang; dan (12) peningkatan upaya mendorong pertimbangan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata ruang.

Dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi di bidang pertanahan, langkah kebijakan yang dilakukan, antara lain, (1) mengkaji ulang peraturan perundang-undangan yang berkaitan

Page 96: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-96

dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor; (2) melanjutkan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; (3) memperbaiki inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; (4) melaksanakan penguatan kelembagaan dalam rangka pelaksanaan pembaruan agraria dan penyelesaian konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria; serta (5) melaksanakan program pembaruan agraria nasional (reforma agraria) dengan sasaran objek dan subjek yang jelas.

Hasil yang telah dicapai tahun 2006 di bidang pertanahan, antara lain, adalah sebagai berikut.

1) Dalam upaya meningkatkan pelayanan penetapan hak atas tanah dan pendaftaran tanah secara menyeluruh di Indonesia, dilakukan kegiatan pendaftaran pada 581.384 bidang tanah, yang terdiri dari Prona (71.528 bidang tanah), P3HT (8.543 bidang tanah), transmigrasi (41.013 bidang tanah), redistribusi (4.700 bidang tanah), registrasi (24.650 bidang tanah) dan ajudikasi (430.950 bidang tanah). Di samping itu, melalui dana swadaya masyarakat melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) telah didaftarkan 1.017.222 bidang tanah.

2) Dalam rangka pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001, pada awalnya akan dilakukan penyempurnaan /revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam perkembangannya, setelah dilakukan kajian secara mendalam, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dipandang tidak perlu diubah karena telah menjadi dasar hukum dari banyak undang-undang yang mengatur mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya, akan disiapkan RUU tentang Pertanahan dan sekaligus menarik RUU tentang Hak Atas Tanah. Naskah Akademis RUU tentang Pertanahan telah diselesaikan dan saat ini tengah dalam penyusunan Draf RUU. RUU tentang Pendaftaran Tanah, RUU tentang Hak Guna Ruang Atas Tanah/Hak Guna Ruang Bawah Tanah, dan RUU tentang Kadastral Kelautan, materinya direncanakan menjadi bagian dari materi/substansi RUU tentang Pertanahan.

3) Melalui pemanfaatan teknologi informasi di seluruh Indonesia, telah dilakukan perbaikan kualitas dan kuantitas pengelolaan pertanahan.

Page 97: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-97

Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional (simtanas) yang telah dilakukan pada tahun 2005-2006 meliputi (a) basis data digital surat ukur sebanyak 470.546 bidang di 4 kantor pertanahan kabupaten/kota; (b) digitalisasi dan integrasi peta pendaftaran tanah sebanyak 4.984 lembar peta di 17 kantor pertanahan kabupaten/kota; serta (c) pembangunan dan pengembangan sistem informasi geografi untuk pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah di 20 kantor pertanahan kabupaten/kota.

4) Dalam rangka pelaksanaan Inpres Nomor 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Maluku dan Maluku Utara Pascakonflik telah dilaksanakan inventarisasi, pemetaan dan penyelesaian masalah tanah di wilayah bekas konflik di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Di samping itu, telah dibangun gedung Kantor Wilayah BPN Provinsi Maluku dan Kantor Pertanahan Kota Ambon serta gedung kantor Wilayah BPN Provinsi Maluku Utara.

5) Sejalan dengan program pemerintah menuju public good governance, telah dan sedang dilakukan upaya (a) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pertanahan, antara lain, melalui pelibatan langsung masyarakat dalam kegiatan pertanahan seperti kelompok masyarakat sadar tertib pertanahan (pokmasdartibnah), kepanitiaan ajudikasi dan sebagainya (b) penataan kelembagaan BPN melalui restrukturisasi organisasi, pengembangan SDM melalui pola karier yang terarah dan terukur serta pengembangan fasilitas dan infrastruktur pertanahan.

6) Pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan melalui pelaksanaan diklat untuk 808 orang staf. Di samping itu, pada tahun 2006 BPN RI mendapatkan tambahan pegawai sebanyak 561 orang dari pendaftar umum dan pegawai honorer dengan kualifikasi pendidikan sebagian besar adalah strata 1 dan diploma 1.

7) Telah dilaksanakan rehabilitasi 11 unit kantor dan pembangunan 17 unit kantor baru.

Langkah kebijakan dalam pemetaan dilakukan dalam rangka memperkuat posisi strategis percepatan pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan dalam mengembangkan perekonomian lokal, memberdayakan masyarakat, meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat, mengurangi keterisolasian daerah, serta mengembangkan daerah perbatasan

Page 98: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-98

sebagai beranda depan NKRI. Langkah yang akan dilakukan dalam mengantisipasi hal tersebut adalah pengadaan data utama, terutama peta dasar, sebagai prioritas utama yang harus diselesaikan secara nasional serta diikuti dengan pembaharuan secara periodik, khususnya untuk kawasan bagian timur Indonesia (KTI) dengan lebih mengintensifkan pemanfaatan data citra satelit, dan teknologi baru yang telah teruji manfaat dan efektivitasnya.

Hasil yang diperoleh dalam kegiatan pemetaan tahun 2006 adalah sebagai berikut: (a) peta rupa bumi skala 1:50.000 sebanyak 152 nomor lembar peta (NLP); (b) peta rupa bumi skala 1:250.000 sebanyak 49 NLP; (c) basis data rupa bumi skala 1:10.000 s.d 1:50.000 sebanyak 1.850 NLP; (d) peta toponimi dan gesetir sebanyak 500 NLP; (e) NPPSS sebanyak 4 dokumen, yaitu spesifikasi pemetaan rupa bumi metode interferometric synthetic aperture radar, revisi PP 10/2000 tentang ketelitian peta, panduan penyusunan basis data rupa bumi dan tata ruang, serta spesifikasi pemetaan rupa bumi skala 1:1.000, 1:2.500, dan 1:5.000; (f) world aeronautical chart skala 1:1.000.000 sebanyak 6 NLP; (g) peta lingkungan bandara Indonesia skala 1:25.000 sebanyak 4 NLP; (h) peta lingkungan laut nasional skala 1:500.000 sebanyak 9 NLP; (i) peta LPI 1:50.000 dan 1:250.000 sebanyak 27 NLP; (j) basis data peta kelautan dan kedirgantaraan skala 1:50.000 sebanyak 24 NLP; (k) laporan kajian survei kelayakan batas maritim LKI barat Aceh; l) penegasan batas RI-RDTL: pilar batas wilayah sebanyak 20 pilar, peta batas wilayah skala 1:2.500 sebanyak 32 NLP, dan peta garis batas wilayah sepanjang 50 km di 12 lokasi, pemasangan border sign post (BSP) sebanyak 95 lokasi; (m) penegasan batas RI-Malaysia: koordinat common border reference frame (CBRF), kajian outstanding border problem, basis data peta batas wilayah 303 NLP; (n) penegasan batas RI-PNG: Koordinat CBRF sebanyak 14 pilar, Koordinat titik GPS perbatasan sebanyak 6 stasiun; (o) pilar batas wilayah administrasi sebanyak 20 pilar; (p) foto udara pulau-pulau kecil terluar skala 1:10.000 sebanyak 25 pulau; (q) basis data peta batas daerah 1:1.000.000 sebanyak 53 NLP; (r) peta prognosis dan kajian zona tambahan sebanyak 64 NLP; (s) laporan survei kelayakan batas maritim LKI sebelah selatan Sumba.

5.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan

Dalam rangka mendorong percepatan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta pengembangan keterkaitan antara

Page 99: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-99

wilayah strategis, cepat tumbuh dan wilayah sekitarnya, masih diperlukan tindak lanjut sebagai berikut: (1) melanjutkan perumusan konsep dan strategi pengembangan wilayah strategis kawasan ekonomi khusus (KEK) dengan fokus pada ketentuan khusus insentif fiskal (di bidang kepabeanan dan perpajakan), insentif nonfiskal (hak guna lahan, perizinan, keimigrasian, dan ketenagakerjaan), melaksanakan upaya percepatan penyediaan infrastruktur, pemantapan sinkronisasi dan koordinasi, dalam penyusunan strategi dan pengembangan peran dalam pengelolaan kawasan, termasuk penguatan kapasitas pemerintah daerah dan badan pengelola dalam pengelolaan pengembangan wilayah strategis termasuk Sabang dan Batam; (2) memantapkan kebijakan insentif dan perijinan di wilayah strategis, seperti pembentukan lembaga satu atap dalam pemberian perizinan pengembangan KAPET, penguatan kapasitas badan pengelola (BP) KAPET dalam pengelolaan dan pengembangan bisnis di wilayah KAPET; (3) menciptakan insentif untuk pengembangan usaha di wilayah cepat tumbuh kawasan transmigrasi, peningkatan koordinasi lintas sektor terkait, pemerintah daerah, dan investor untuk pengembangan kawasan, serta pelaksanaan Instruksi Presiden No 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, serta pemantapan perencanaan dan penyiapan pembangunan kota terpadu mandiri (KTM) yang berbasis pengembangan keterkaitan antara pusat pertumbuhan dan wilayah sekitarnya; (4) melaksanakan penguatan sekretariat KESR dalam mendorong koordinasi dan sinkronisasi KESR antarsektor dan antarnegara.

Berdasarkan perkembangan kebijakan dan hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam penanganan daerah tertinggal dan perbatasan, antara lain, (1) mengarusutamakan pengurangan kesenjangan antarwilayah dan mempercepat pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan dengan mendorong keberpihakan seluruh sektor kepada pembangunan di daerah tertinggal dan perbatasan dalam bentuk proporsi alokasi dana yang lebih besar dan diarahkan pada pengembangan potensi strategis di daerah tertinggal; (2) memantapkan koordinasi, baik antarsektor di pusat, antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupatan, serta dengan dunia usaha dalam pelaksanaan Stranas PPDT, Strada PPDT Provinsi, Strada PPDT Kabupaten, RAN PPDT, RAD PPDT Provinsi, dan RAD PPDT Kabupaten; (3) melanjutkan penyiapan perumusan Inpres PPDT untuk lebih mengakselerasi pengentasan 199 daerah tertinggal termasuk

Page 100: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-100

daerah perbatasan dari ketertinggalannya; (4) melanjutkan upaya penyusunan RTR kawasan perbatasan; (5) meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan ekonomi wilayah dan pemerintahan umum di daerah tertinggal; (6) melanjutkan berbagai upaya peningkatan infrastruktur sosial dasar terutama di perdesaan serta (7) melanjutkan upaya meningkatkan penyediaan sarana perhubungan dan telekomunikasi untuk mengatasi keterisolasian wilayah.

Dalam upaya mendukung ketahanan pangan di daerah tertinggal termasuk pulau-pulau kecil dan perbatasan, serta dalam upaya menangani kemiskinan dan pengangguran, tindak lanjut yang akan dilakukan adalah penempatan transmigran sebanyak 11.150 KK di lokasi tranmigrasi disertai penyediaan tempat tinggal (rumah sederhana sehat), sarana prasarana permukiman, serta pembukaan areal produksi pertanian. Akan dilakukan pula penguatan kelembagaan penataan ruang di daerah tertinggal dan perbatasan melalui bantuan teknis dan bimbingan teknis penataan ruang, mendorong upaya penyebaran NSPM penataan ruang kepada daerah tertinggal dan perbatasan, serta memperkuat sistem informasi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah tertinggal dan perbatasan melalui pendayagunaan BKPRD.

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti dalam aspek penegasan administrasi batas negara dan peningkatan pertahanan dan keamanan terhadap daerah tertinggal yang berada di wilayah perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar, antara lain, (1) melanjutkan upaya penegasan batas darat dan laut melalui upaya kerja sama dengan negara tetangga dan penyediaan tanda fisik/tugu batas; (2) melanjutkan berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan lintas batas; (3) meningkatkan upaya keamanan untuk mengurangi kegiatan ilegal di perbatasan; (4) meningkatkan kerja sama lintas batas yang saling menguntungkan dengan negara tetangga; (5) melanjutkan pelaksanaan Perpres 78/2005 melalui pelaksanaan rencana induk dan rencana aksi penanganan pulau-pulau kecil terluar khususnya di 12 pulau prioritas; (6) melanjutkan upaya peningkatan wawasan kebangsaan di daerah perbatasan; serta (7) menindaklanjuti hasil sidang forum kerja sama antarnegara (JBC RI-RDTL, Joint Indonesia-Malaysia On Survey and Demarcation).

Tindak lanjut yang diperlukan untuk peningkatan aksesibilitas pelayanan transportasi, antara lain, (1) terus mengupayakan

Page 101: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-101

pembangunan sarana dan prasarana transportasi di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan serta pulau terluar untuk mengurangi kesenjangan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan sektor riil, serta untuk mengurangi disparitas antarkawasan; (2) terus mengupayakan penyediaan dan peningkatan pelayanan transportasi perintis baik darat, laut maupun udara.

Untuk mengembangkan kota kecil menengah, kegiatan yang akan dilakukan, adalah fasilitasi pengembangan perkotaan, peningkatan fungsi kawasan perkotaan dan perdesaan, penyusunan petunjuk teknis peningkatan kualitas permukiman perkotaan, penyusunan petunjuk penyusunan rencana induk sistem pengembangan perkotaan, serta advisory/pendampingan penyusunan PJM infrastruktur kota. Untuk pengendalian kota besar dan metro, upaya yang akan dilakukan adalah peningkatan kapasitas aparat daerah dalam pengelolaan wilayah metropolitan, pembinaan pengembangan kinerja perkotaan, penyusunan konsep pengembalian fungsi kawasan permukiman di metropolitan; pengembalian fungsi kawasan permukiman metropolitan melalui peremajaan di 16 kota, serta penyusunan rencana pengembangan kawasan permukiman di kota besar.

Tindak lanjut yang diperlukan untuk mendukung pemerintah daerah dalam pembangunan perkotaan secara umum adalah mengoptimalkan peran kota kecil menengah dalam mendorong pembangunan perdesaan. Hal itu akan dicapai melalui pembangunan sarana dan prasarana dasar perkotaan, revitalisasi kelembagaan ekonomi, dan penguatan kapasitas pemerintahan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dengan hal tersebut diharapkan kota kecil-menengah menjadi pusat penggerak dan pertumbuhan wilayah perdesaan, serta sekaligus memperkuat hubungan desa-kota. Selain itu, perlu pula diupayakan peningkatan pelayanan perkotaan dalam usaha untuk meningkatkan daya saing dan menggerakkan fungsi ekonomi kota tanpa melupakan aspek keberlanjutan dan kelayakhunian kota.

Untuk rencana tahun 2008, kebijakan pengembangan perkotaan tetap diarahkan pada tiga bagian, yaitu pengembangan keterkaitan pembangunan antarkota, pengembangan kota kecil dan menengah, serta pengendalian pembangunan kota-kota besar dan metropolitan. Untuk mengembangkan keterkaitan pembangunan antarkota diarahkan untuk mencapai sasaran, yaitu (1) teridentifikasi simpul-

Page 102: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-102

simpul pengembangan wilayah dan tersusunnya strategi penyediaan sarana-prasana untuk memperlancar koleksi dan distribusi barang dan jasa; (2) terciptanya model kerja sama antarkota yang efektif serta meningkatnya jumlah kerja sama antarkota dalam pengelolaan perkotaan; (3) tersusunnya analisis kajian, strategi, termasuk jakstra, permodelan dan rencana tindak pengembangan keterkaitan pembangunan antarkota.

Pengembangan kota kecil dan menengah diarahkan untuk mencapai sasaran (1) tersusunnya rencana induk sistem pengembangan kota kecil dan menengah; (2) pembangunan sarana dan prasarana pendukung perkotaan di kota kecil dan menengah; (3) penguatan dan revitalisasi sistem kelembagaan ekonomi perkotaan; dan (4) tersusunnya NSPM pengelolaan pembangunan kota kecil menengah, terutama di bidang aparatur.

Dalam mengendalikan pembangunan kota besar dan metropolitan, sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2008 adalah (1) meningkatnya daya guna rencana tata ruang sebagai instrumen pengendalian pembangunan di kota besar dan metropolitan; (2) tersusunnya rencana tindak pengembangan kota besar dan metropolitan; (3) meningkatnya kualitas lingkungan perkotaan dengan pengembalian fungsi kawasan permukiman metropolitan melalui peremajaan (urban renewal) di 15 kota; (4) tersusunnya NSPM pengelolaan dengan fokus kepada penciptaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan; (5) meningkatnya kapasitas kelembagaan dan aparatur untuk pengelolaan kawasan kota besar dan metro; (6) tersusunnya kerangka kerja sama kota di wilayah metropolitan, termasuk kerangka regulasi dan kelembagaannya.

Untuk penataan ruang, kegiatan prioritas yang akan dilakukan pada tahun 2008 meliputi, (1) penyusunan norma standar prosedur manual (NSPM) pengendalian pemanfaatan ruang; (2) penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota berbasis bencana yang didukung oleh data spasial; (3) penguatan dukungan sistem informasi dan pemantauan penataan ruang dalam rangka mendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang; (4) penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan daerah untuk mendukung pengendalian pemanfaatan ruang; dan (5) peningkatan kualitas pemanfaatan dan pengendalian ruang wilayah yang berbasis mitigasi bencana, daya dukung wilayah, dan pengembangan kawasan.

Page 103: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-103

Pada tahun 2007 ini kegiatan pengelolaan pertanahan melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan terus dilanjutkan dengan prioritas pada peningkatan kepastian hukum hak atas tanah, terutama bagi kelompok kurang mampu, melalui prona yang akan melaksanakan pendaftaran tanah sejumlah 350.000 bidang serta melalui LMPDP (land management and policy development project) sejumlah 630.000 bidang tanah. Di samping itu, dalam upaya mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan serta turut mendukung revitalisasi pertanian dan ketahanan pangan, akan diselesaikan redistribusi tanah sejumlah 63.400 bidang. Lebih lanjut, akan diselesaikan berbagai persiapan untuk efektivitas pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di tahun 2008, antara lain, melalui persiapan peraturan dan kelembagaan serta uji coba (pilot project) pelaksanaan PPAN

Dalam rangka mendukung penyediaan data dan informasi spasial, antara lain, dalam rangka penataan ruang wilayah melalui penyediaan peta rupa bumi sebagai dasar pembuatan peta wilayah bagi tersusunnya penataan ruang wilayah. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan hingga akhir 2007 adalah pengembangan basis data rupa bumi dan tata ruang berbagai skala; pemetaan rupa bumi skala 1:250.000 Maluku dan NTT dan skala 1:50.000 Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; pemetaan rupa bumi skala 1:50.000 dan 1:10.000 sebagian Sumatera; penyusunan basis data toponimi dan gasetir, pemutakhiran basis data rupa bumi dan tata ruang di berbagai skala, serta peningkatan kemampuan pemetaan digital. Kegiatan yang akan dilaksanakan untuk tahun 2008 adalah penyediaan data dasar perpetaan dan pemetaan rupa bumi skala 1:50.000 wilayah Kalimantan, Sumatera, Papua dan Maluku; pembuatan peta rupa bumi 1:10.000 Sumatera Barat dan Bengkulu; penyusunan basis data toponimi dan gasetir, serta penyelarasan dan penyusunan basis data rupa bumi.

Melalui program Pengembangan Wilayah Perbatasan, tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah kegiatan yang terkait dengan delimitasi, delineasi dan demarkasi batas wilayah baik antarnegara maupun antarwilayah administrasi dalam rangka mendukung keutuhan wilayah NKRI dan wilayah yurisdiksi nasional melalui penetapan hak kedaulatan yang dilindungi hukum. Kegiatan yang akan dilaksanakan hingga akhir 2007 dan tahun 2008, antara lain, survei batas RI dengan negara tetangga, antara lain, PNG, Malaysia,

Page 104: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 5-104

RDTL; penyiapan peta dan kajian contigous zone, delimitasi dan kajian teknis batas maritim NKRI, pemotretan pulau-pulau kecil, penyelenggaraan survei dan pemetaan batas wilayah administrasi, pengembangan basis data dan sistem informasi batas wilayah.

Page 105: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-105

Bahan 6 Gerbangkertasusila

6.1. Latar Belakang

Globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi memberikan dampak yang signifikan pada perkembangan kota-kota di Indonesia sejak awal tahun 1970-an (Dharmapatni, 1997). Ditambah lagi dengan pertumbuhan penduduk pada kawasan perkotaan cenderung meningkat secara cepat setelah era 1980-an (UNHCS, 1996). Perubahan dan dinamika spasial, ekonomi dan sosial tidak hanya melibatkan kawasan kota metropolitan tetapi juga kawasan yang berada di sekitarnya. Proses urbanisasi yang terjadi di kawasan pinggiran kota jauh lebih pesat dari pada kawasan kota itu sendiri terutama pada kawasan yang sedang mengalami proses industrialisasi (Dharmapatni, 1997). Batas fisik perkembangan kota juga tidak sesuai dengan batas administratif yang ada. Biasanya pembangunan fisik kota, berkembang hingga mengokupasi kawasan pedesaan (rural fringe), dalam kota tersebut menjadi kawasan yang menyerupai pusat kota. Kawasan tersebut dapat disebut dengan area diffusi antara kota dan desa (Akter, 2000). Konsep ini mendasari terjadinya EMR (Extended Metropolitan Region) atau MUR (Mega Urban Region). Munculnya MUR di negara-negara Asia pada dekade terakhir ini merupakan salah satu produk global melalui keterkaitan ekonomi diantara negara-negara tersebut (Mc.Gee dan Douglass, 1992 dalam Dharmapatni, 1997). Bahkan menurut Bugliarello (1999) dikatakan bahwa mega-urbanisasi merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada negara berkembang. Kemudian hal tersebut tidak hanya mengakibatkan perubahan pada pola pembangunan daerah tetapi juga mengakibatkan restrukturisasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Konsep MUR atau desa-kota telah berkembang menyerupai amuba secara spasial dengan model region based urbanization (Mc.Gee dalam Nas, 2003). Menurut Mc.Gee, urban region tersebut memiliki beberapa komponen seperti city core, metropolitan area dan extended metropolitan area dan yang terakhir adalah kawasan yang

Page 106: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-106

memiliki kegiatan campuran antara kegiatan agrikultural dan non-agrikultural. Di Indonesia, pembangunan terpusat pada kota-kota besar sepanjang Sumatera Timur dan Jawa bagian Utara (Dharmapatni, 1997). Studi yang dilakukan oleh Firman (1992) menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir kota-kota sepanjang koridor Jakarta-Cirebon-Semarang, Jakarta-Bandung, Semarang-Jogjakarta, dan Surabaya-Malang telah mengalami perkembangan perkotaan yang sangat pesat. Dari beberapa contoh tersebut, Surabaya merupakan salah satu kasus mega-urbanisasi dengan model extended metropolitan region (Nas, 2003). Region–based mega urbanization memerlukan pemahaman yang berbeda pada konteks global dan Asia khususnya pada divisi supply tenaga kerja, global dan regional kompetisi, jaringan internasional dan perkembangan koridornya. Pertimbangan tersebut didasarkan pada spillover insentif dari mega-urbanisasi satu kawasan ke yang lain.

Perkembangan yang didukung oleh urbanisasi tersebut menggambarkan adanya eksklusifitas pada kondisinya eksisitingnya dengan permasalahan yang hampir tak memiliki solusi (Nas, 2003). Seperti, kepadatan penduduk, penurunan kualitas infrastruktur, kemacetan lalu lintas, perumahan kumuh, dan kondisi masyarakat yang memprihatinkan. Kondisi tersebut menurut JM. Nas merupakan penyimpangan perluasan image, ketidakberlanjutan, parasitisme, kemiskinan yang tinggi, dan kualitas kehidupan yang buruk tidak dapat mendorong adanya persektif hidup yang realistik dan terpenuhi segala kebutuhan. Tanpa mengurangi semua dampak buruk tersebut kemudian akan tercipta kesempatan yang kecil dalam pengembangan kualitas hidup. Di Kota Surabaya sebagai salah satu kota yang mengalami mega-urbanization di Asia (Nas, 2003) perkembangan yang terjadi pada kawasan peri-urban (urban fringe) sangat pesat dan tidak terkontrol seperti permukiman. Maka, dalam kasus seperti ini diperlukan adanya regulasi dalam usaha mengendalikan perkembangan yang terjadi.

Salah satu contoh kawasan MUR skala besar lain di Indonesia adalah pada kawasan sekitar DKI Jakarta. Perkembangan yang terjadi pada ibukota negara tersebut sudah sangat pesat bahkan terjadi penyatuan secara fisik dengan kawasan sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok atau yang sering disebut JABODETABEK (Silas, 2002). Menurut tujuan Rencana Induk Jakarta (1965-1985) pengembangan JABODETABEK salah satunya adalah mendorong

Page 107: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-107

pembukaan wilayah untuk menjadi pusat pertumbuhan, baik di tengah Kota Jakarta maupun di koridor penghubung antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Namun pembukaan wilayah terbangun tersebut tidak segera diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana kota yang memadai dan tepat waktu, sementara pembangunan di sekitar perbatasan Jakarta dengan Bodetabek terus terjadi sehingga terjadinya konurbasi yang memperluas cakupan wilayah yang harus dikelola Jakarta.

Dari Mamas et al (2001), Jones (2002 dalam Adair, 2004) diketahui bahwa inefisiensi yang terjadi akibat pembukaan wilayah terbangun dan dimotori oleh swasta seperti Kota Baru diantaranya adalah sulitnya pengendalian persebaran penduduk yang merata secara geografis, sulitnya pengendalian pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi di ibukota, jaringan jalan dan angkutan umum belum berpola. Perkembangan JABODETABEK menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perkotaan seiring dengan perkembangan ekonomi dan urbanisasinya. Jumlah penduduk yang datang ke JABODETABEK semakin tidak terprediksi pada dekade terakhir ini dan tidak didukung oleh infrastruktur perkotaan yang memadai (adequate urban infrastructure) sehingga meningkatnya tingkat polusi dan kemacetan lalu lintas serta bencana lingkungan lain seperti banjir sangat potensial terjadi di JABODETABEK (Soegijoko dan Kusbiantoro 2001 dalam Yulinawati, 2005). Permasalahan di JABODETABEK, tidak hanya pada penggunaan sumber daya untuk pembangunan gedung perkotaan, bisnis dan kehidupan sehari-hari ditambah dengan polusi industri yang melebihi kapasitas, tetapi juga menanggulangi peningkatan stress dan degradasi lingkungan (Douglass and Ooi 2000 dalam Yulinawati, 2005).

Dari contoh diatas, tingginya kecenderungan perluasan kota merupakan isu menarik apalagi jika dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan ruang hunian (living space) dan kelengkapan penduduk kota di desa-desa pinggiran kota dan kepentingan konservasi lahan-lahan produktif di desa-desa pinggiran kota (urban fringe) tersebut (Subroto, 2002). Hal ini karena pertumbuhan aktifitas perkotaan yang sangat pesat dan tidak diimbangi oleh suplai lahan yang memadai sudah menjadi kendala umum yang dihadapi dalam pembangunan kota (Ariastita, 2005). Pada kondisi tersebut, daerah pinggiran kota (urban fringe) dan kota sekitar kota inti berpotensi menjadi daerah yang rentan terhadap perubahan baik secara fisik keruangan maupun

Page 108: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-108

psikis sosial masyarakat akibat terjadinya penetrasi lahan perkotaan ke lahan kawasan pinggiran kota (urban fringe) dan kawasan sekitarnya (Subroto, 2002).

Untuk Kota Surabaya/Surabaya mega-urbanization merupakan bentuk interaksi antara Kota Surabaya dengan kabupaten/kota disekitarnya yang lebih dikenal dengan GERBANGKERTASUSILA (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Menurut Silas (1992), pertumbuhan yang terjadi di kawasan GERBANGKERTASUSILA adalah dengan adanya investasi pada sumber daya lokal dan sedikit peran dari pemerintah. Penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan Jawa Timur masih menunjukkan cenderung terkonsentrasi di wilayah GERBANGKERTASUSILA khususnya di wilayah Surabaya Metropolitan Area (RTRW Jawa Timur 2020). Kondisi perkembangan perkotaan tersebut menunjukkan bahwa wilayah GERBANGKERTASUSILA akan cenderung membesar dan terlihat adanya disparitas ukuran sebuah perkotaan. Ketidakmerataan dan ketidakseimbangan perkembangan wilayah di Jawa Timur bersinergi dengan fenomena perbedaan intensitas pemanfaatan ruang sehingga membentuk struktur ruang yang berbeda dengan rencana. Dampak perkembangan Surabaya, menimbulkan akibat-akibat negatif, seperti adanya fenomena hyper-urbanisasi dan konsentrasi pembangunan modern di Surabaya. Kemudian hal ini akhirnya diikuti oleh kota-kota disekitarnya seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Lamongan, kemudian beraglomerasi secara fisik.

Secara fisik, mega-urbanisasi di JABODETABEK merupakan aglomerasi luas yang berpusat di Jakarta. Tidak ada batas fisik yang jelas antara satu administratif terhadap lainnya yang menyebabkan sistem pergerakan orang, barang dan jasa yang lebih rumit sehingga terjadi degradasi dan lingkungan hidup yang buruk. Sedangkan pada mega-urbanisasi GERBANGKERTASUSILA, jaringan perkotaan terbangun dengan sistem batas administratif masih terlihat jelas serta penggunaan lahan masih tersegregasi. Pada kawasan GERBANGKERTASUSILA, permasalahan akan kemacetan lalu lintas, banjir dan polusi belum terjadi. Akan tetapi, hal tersebut perlu dilakukan antisipasi agar kasus yang terjadi di JABODETABEK tidak terjadi pula pada kawasan GERBANGKERTASUSILA. Hal tersebut karena menurut Silas (1992) bentuk MUR yang terjadi teridentifikasi di sekitar Surabaya adalah :

Page 109: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-109

a. Kearah selatan hingga sekitar bandara Juanda dalam bentuk self contained urbanization, yang merupakan bentuk ex-urbanisasi dengan tergantung pada sumber daya lokal.

b. Kedua adalah bentuk strong link and depend to main city (Surabaya), yang merupakan bentuk utama MUR Kota Surabaya.

c. Terakhir adalah centered mega urbanization, merupakan model yang terbangun pada kota disekitar kota pusat (Surabaya) yang memiliki hubungan kuat dengan kota tersebut. Melihat kondisi tersebut, maka diperlukan manajemen perkotaan yang dapat menguntungkan semua pihak dalam kawasan mega-urbanisasi tersebut, terintegrasi dalam inevstasi dan pengembangan kawasannya serta kawasan perkotaan memiliki ikatan erat dengan hinterlandnya sehingga adanya ecological footprint pada kawasan yang mengalami mega-urbanisasi dapat terkendali.

Maka, penataan ruang kawasan yang mengalami mega-urbanisasi hendaknya mampu mendorong pemanfaatan ruang yang optimal dan tidak kaku, tetapi tegas dalam pembentukan struktur kawasan serta dinamika kegiatan pembangunan yang bersifat global yang berwawasan lingkungan baik dilaksanakan oleh pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat (Suprapto dan Pasaribu, 2005). Lebih jauh diungkapkan bahwa penataan ruang hendaknya dilakukan secara menyeluruh sehingga dicapai kualitas ruang kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang, layak, berkeadilan serta melestarikan nilai-nilai sosial budaya. Contohnya MUR Surabaya, penyediaan lahan di kawasan kota telah mengalami kejenuhan dan mengalami perubahan untuk kawasan terbangun terutama untuk permukiman, perdagangan dan industri. Oleh karenanya, struktur pertumbuhan kota mulai bergerak menjauh dari pusat kota menyebar dan menggeser wilayah pinggiran (fringe areas) dan kota/kabupaten sekitarnya (Nas, 2003).

Secara umum perkembangan Surabaya dan wilayah sekitarnya yakni GERBANGKERTASUSILA saat ini ternyata menunjukkan perkembangan yang lebih besar dari konsep SWP yang ditentukan dalam RTRW Jawa Timur. Pola perkembangan ini terjadi terutama pada koridor antar kota dan pada beberapa bagian berfungsi sebagai suatu pusat (nodal). Pada dasarnya antara Surabaya – Sidoarjo bukan lagi menunjukkan pola koridor akan tetapi sudah merupakan penyatuan dua kawasan dalam skala besar. Sedangkan ke arah selatan Kota Surabaya memiliki perkembangan yang pesat, terutama berkembang kegiatan jasa-perdagangan, industri, dan sebagian

Page 110: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-110

perumahan. Mengingat koridor ini sudah sangat padat, maka perkembangan sepanjang jalan utama kota harus dibatasi, membentuk kawasan industri di luar jalan utama kota. Perkembangan kawasan industri di Gresik implikasi pada perkembangan sekitar, berpengaruh terhadap wilayah utara. Adapun prospek perkembangan kawasan industri di Lamongan adalah shorebase, pelabuhan, pariwisata, kawasan berikat yang merupakan kawasan industri membentuk satu sentra atau nodal yang besar (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Dari bentuk kebutuhan dan pola perkembangan tersebut, menunjukkan belum terdapatnya keterpaduan dan kerjasama lintas sektor serta lintas administratif pada kawasan GERBANGKERTASUSILA.

Pada RTRW propinsi Jawa Timur 2020 disebutkan bahwa dalam pengembangan kawasan Kota Surabaya dilakukan dengan membentuk satuan wilayah pembangunan (SWP) GERBANGKERTASUSILA. Tujuannya sebagai upaya membuat regionalisasi dengan menekankan kemandirian terhadap wilayah kabupaten/kota. Perwilayahan tersebut yang merupakan kawasan EMR yang meliputi Kabupaten Gresik, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dengan pusat pelayanan wilayah di Kota Surabaya (RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Berdasarkan kompilasi data RTRW Propinsi Jawa Timur 2020 disebutkan bahwa perkembangan GERBANGKERTASUSILA lebih besar dan luas dari sebelumnya. Antaranya penguatan aktifitas perekonomian di koridor Pandaan-Wonorejo-Purwosari (Pasuruan), Surabaya-Gresik-Lamogan-Tuban, Surabaya-Krian-Mojokerto-Peterongan (Jombang), Babat (Lamongan)-Bojonegoro (data kompilasi RTRW Propinsi Jawa Timur 2020). Oleh karena itu dibentuk pengembangan kawasan baru yang disebut GERBANGKERTASUSILA plus dengan tergabungnya Kabupaten Pasuruan, Kota Pasuruan, dan Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Jombang dalam perwilayahannya. Pola perkembangan ini terjadi terutama dalam pola koridor antar kota dan pada beberapa bagian sebagai suatu pusat (nodal).

Pesatnya perkembangan tersebut menunjukkan perlu adanya sinergi yang holistik dalam pengelolaan dan pengendalian perkembangan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus sebagai salah satu kawasan yang berkembang menjadi kawasan yang mengalami mega-urbanisasi di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Tjahjati (1997) bahwa dalam

Page 111: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-111

pengelolaan regional secara terpadu agar perencanaan regional lebih sensitif terhadap kebutuhan daerah dan pelaksanaannya perlu diterjemahkan ke dalam rencana sektoral tetapi tetap memperhatikan keterpaduan wilayah yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi antar masing-masing sektor dan pemerintah. Kurangnya konsep pengendalian kawasan mega-urbanisasi memberikan dorongan diperlukannya sebuah konsep yang dapat mengendalikan perkembangan yang terjadi di kawasan mega-urbanisasi tersebut. Perkembangan kawasan tidak terlepas dari faktor spasial dan aspasial yang terdapat pada kawasan urban fringe Kota utama (Kota Surabaya). Pertimbangan terhadap potensi ekonomi dan lingkungan hidup diperlukan sebagai bahan pertimbangan analisa pola perkembangan yang terjadi di kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. Untuk itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai kondisi potensi dan permasalahan dalam pemanfaatan ruang yang secara tidak langsung berdampak pada kondisi lingkungan hidup kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus. Kemudian dari identifikasi tersebut dan berdasarkan pada kriteria pengendalian perkembangan, maka dapat dirumuskan pola pengendalian kawasan mega-urbanisasi yang aplikatif dan dinamis.

6.2. Permasalahan

Pemasalahan yang diangkat dari uraian di atas bagi penelitian ini adalah dengan adanya perkembangan yang pesat terjadi di kawasan GERBANG-KERTASUSILA Plus khususnya dalam pola pemanfaatan ruangnya, memberikan beberapa implikasi terhadap pembangunan wilayah. Salah satu akibatnya adalah perkembangan yang tidak terkoordinasi dalam pembangunan, sehingga pertanyaan pertama adalah apa kelemahan/tantangan dan kekuatan/peluang wilayah GERBANGKERTASUSILA plus sehingga tidak terdapat optimasi dalam pembangunannya. Dengan konsekuensi lebih jauh, kawasan yang disatukan secara kebijakan dan ekonomi (regionalisasi kawasan) akan berdampak pada ancaman permasalahan komplek seperti JABODETABEK atau dengan kata lain terjadi salah pengertian seperti pada kasus JABODETABEK. Banyak pengalaman menunjukkan adanya fenomena regionalisasi atau mega-urbanisasi seperti GERBANGKERTASUSILA Plus tersebut akan memberikan dampak yang negatif pada lingkungan perkotaan, maka pertanyaan kedua adalah pola seperti apa yang dapat mengendalikan perkembangan

Page 112: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 6-112

yang terjadi di kawasan mega-urbanisasi sehingga kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus akan lebih dinamis dan sustainable.

6.3. Hipotesis

Fenomena mega-urbanisasi yang terjadi di kawasan GERBANG-KERTASUSILA Plus belum dilengkapi dengan adanya development control yang dapat mereduksi adanya disinergisasi dan egoisme kabupaten/kota. Hal tersebut tentunya tidak berlaku lagi dalam konteks jejaring atau network antara kabupaten/kota dalam satu satuan wilayah pembangunan. Hal tersebut akan menimbulkan adanya ketidak-optimalan dalam pembangunan kawasan GERBANGKERTASUSILA Plus.

Page 113: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-113

Bahan 7 Konsep Kerjasama Daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sebagai Upaya Penataan Ruang

Wilayah Pesisir

7.1. Kondisi Kerjasama antar Daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal

Tahun 1998 antara Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Salatiga Pemerintah Daerah Tingkat II Kendal, Demak dan Grobogan mengadakan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Naskah Kesepakatan Bersama. Naskah Kesepakatan Kerjasama antar Pemerintah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II tersebut lebih dikenal dengan Wilayah Pembangunan Sub Regional KEDUNGSEPUR.

Sesuai dengan Kesepakatan Bersama yang telah ditadangani Kepala Daerah Tingkat II diajukan ke DPRD Tingkat II masing-masing guna mendapatkan persetujuan DPRD. Kesepakatan Bersama telah mendapat persetujuan DPRD masing-masing daerah. Kesepakatan Bersama ditandatangani tanggal 21 Desember 1998 oleh Kepala Daerah antara Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Salatiga Pemerintah Daerah Tingkat II Kendal, Demak dan Grobogan Nomor : 130/07272 - Nomor : 16/Perj-XII/1998 - Nomor : 261/1998 - Nomor : 762A/1998 - Nomor : 1694/1998 - Nomor : 180/1998 tentang Kerjasama di bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan antar Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Salatiga Pemerintah Daerah Tingkat II Kendal, Demak dan Grobogan dengan Gubernur Jawa Tengah. Ruang lingkup kesepakatan bersama meliputi bidang:

a. Pembangunan Perkotaan dan Pengembangan Teknologi.

b. Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

c. Industri dan Perdagangan

d. Perumahan dan Permukiman

e. Transportasi

Page 114: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-114

f. Pertaninan dan Pengairan

g. Pariwisata

h. Pendidikan dan Kebudayaan.

Dirasa bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, Kesepakatan Bersama ditingkatkan lagi. Pada tahun 2005 dibuatlah Keputusan Bersama Pemerintah Kabupaten Demak, Pemerintah Kabupaten Semarang, Pemerintah Kota Salatiga, Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Kabupaten Grobogan. Keputusan Bersama ditandatangani tanggal 15 Juni 2005 oleh Kepala Daerah Pemerintah Kabupaten Demak, Pemerintah Kabupaten Semarang, Pemerintah Kota Salatiga, Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Kabupaten Grobogan dan Gubernur Jawa Tengah dengan Nomor : 30 Tahun 2005 – Nomor : 130.1/0975.A - Nomor : 130/02646 - Nomor : 63 Tahun 2005 - Nomor : 130.1/A.00016 - Nomor : 130.1/4382 tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur.

Tujuan Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur untuk menyatukan dan mengintegrasikan program-program pembangunan di wilayah Kedungsepur secara serasi dan selaras sehingga mampu memberikan manfaat dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di wilayah Kedungsepur. Program pembangunan Kerjasama di wilayah Kedungsepur meliputi bidang:

a. Tata ruang, pelestarian dan pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

b. Industri dan Perdagangan

c. Pembangunan Sarana dan Prasarana

d. Perhubungan dan Pariwisata

e. Pertaninan dan Pengairan

f. Pendidikan dan Kebudayaan

g. Kependudukan, Ketenagakerjaan dan Masalah Sosial

h. Keamanan dan Ketertiban

i. Bidang lain-lain yang dianggap perlu. Kegiatan Program pembangunan Kerjasama di wilayah Kedungsepurdipusatkan di Pemerintah Kota Semarang sebagai tempat Sekretariat Bersama (Sekber).

Program pembangunan Kerjasama di wilayah Kedungsepur

Page 115: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-115

merupakan suatu bentuk pengelolaan kerjasama antar daerah (regional management/RM). Regional Management memiliki dua pengertian. Pengertian Regional Management dalam arti luas diartikan sebagai suatu kesatuan sistem pengelolaan pembangunan regional yang terdiri dari berbagai komponen antar daerah.

131

Pelaksanaan Regional Management yaitu pemanfaatan networking, partisipasi para aktor terkait dan pengambilan keputusan secara konsensus dalam rangka mencapai sinergitas, pengingkatan efektifitas dan efisiensi pembangunan kewilayahan. Pengertian Regional Management sebagai sebuah lembaga kerjasama antar daerah dapat diartikan sebagai lembaga professional yang didirikan untuk memobilisasi dan merealisasikan inisasi kesepakatan pembangunan regional tersebut. Dibentuknya Regional Management tidak lepas dari pemberlakuan otonomi daerah. Daerah memiliki peluang untuk merubah pola kerjasama yang sebelumnya mengutamakan aspek koordinasi dari pusat dan menggantikannya dengan aspek komukikasi partisipatif antar daerah.

Hal ini sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.

Dilihat dari kerjasama program pembangunan di wilayah Kedungsepur, maka secara langsung antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sudah terikat dalam kerjasama khususnya di bidang penataan ruang. Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur pada hakikatnya hanya perjanjian pendahuluan atau lebih dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU) . Menurut I. Nyoman Sudana, dkk., mengartikan memorandum of understanding sebagai suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti diikuti perjanjian lainnya. Ke dua daerah perlu membuat perjanjian lainnya yang berupa implementasi dari MoU tersebut.

7.1.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal

Meskipun penegasan batas wilayah pesisir antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal memakai pendekatan administratif, namun perlu juga mempertimbangkan pendekatan lain dalam

Page 116: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-116

menegaskan batas wilayah pesisir. Dilihat dari pendekatan ekologis, batas wilayah pesisir tidak dibatasi oleh administrasi pemerintahan. Pendekatan ekologis wilayah pesisir lebih melihat wilayah pesisir dengan fungsinya sebagai satu kesatuan ekosistem. Pendekatan ekologi wilayah pesisir sangat memperhatikan ekosistem antara wilayah darat dengan wilayah laut sebagai satu kesatuan ekosistem. Pendekatan secara ekologis pada hakikatnya akan memperlihatkan kawasan pesisir, karena kawasan merupakan istilah ekologis. Dengan peta batas wilayah di darat maupun di laut antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat dibuat peta sebagai sarana/acuan bagi penyajian informasi geografis dengan tema-tema tertentu lainnya (peta tematik). Peta tematik dapat menyajikan informasi wilayah pesisir dengan fungsi-fungsinya.

Dengan peta tersebut nantinya akan mempermudah pemerintah daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dalam merencanakan wilayah pesisirnya. Berdasarkan pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan yaitu wilayah pesisir yang akan dikelola secara bertanggung jawab. Dari peta penegasan batas wilayah pesisir secara administratif maupun peta tematik yang menyajikan informasi wilayah pesisir, dapat dijadikan alat (tool) untuk merencanakan wilayah pesisir Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal khsusunya di daerah perbatasan.

Dalam merencanakan tata ruang wilayah pesisir perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal perlu kerja sama antara ke dua daerah. Hal ini sesuai wewenang ke dua pemerintah daerah. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, dijelaskan wewenang pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang antara lain kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir dapat memadukan berbagai jenis perencanaan yaitu:

1. Top-down and bottom-up planning

2. Vertical and horizontal planning

3. Perencanaan yang melibatkan masyarakat secara langsung dan yang tidak melibatkan masyarakat secara langsung

Dengan kerjasama perencanaan wilayah pesisir perbatasan antara pemerintah daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat menunjukkan manfaatnya, antara lain dapat dikemukakan sebagai

Page 117: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-117

berikut :

1. Perencanan wilayah pesisir mampu menggambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di wilayah persisir tersebut di masa yang akan datang.

2. Dapat membantu atau memandu para stakeholder (para pihak yang berkepentingan) untuk memilih kegiatan apa yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang dan di mana lokasi kegiatan masih diijinkan.

3. Sebagai bahan acuan bagi pemerintah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal untuk mengendalikan dan mengawasi penggunaan lahan.

Dilihat dari kerjasama program pembangunan di wilayah Kedungsepur, maka secara langsung antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sudah terikat dalam kerjasama khususnya di bidang penataan ruang. Sehingga Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur dapat dijadikan sebagai dasar kerjasama penataan ruang antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal khsususnya di wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah.

7.1.2. Koordinasi Perencanaan Tata Ruang Wilayah Pesisir Perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal

Perbenturan atau persilangan wewenang di dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan perselisihan bagi para pemegang wewenang itu. Itulah kiranya yang menimbulkan pemikiran, apakah perlu dibentuk suatu badan koordinasi dalam penanganan permasalahan penataan rencana tata ruang pada daerah perbatasan? Praktik-praktik untuk memecahkan perselisihan tersebut, adakalanya hanya diadakan secara isidentil atau kasuistis melalui rapat koordinasi antara pemerintah daerah yang bersangkutan atau dengan kata lain. Maka kiranya perlu dibentuk suatu badan koordinasi untuk penyelesaian masalah-masalah penataan rencana tata ruang di daerah perbatasan, sehingga dimungkinkan nantinya, badan tersebut berfungsi sebagai badan pengendali dan pengkoordinasi antara pemerintah yang memiliki kepentingan.

Selain masalah kewenangan memang sudah diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi tidaklah salah apabila badan

Page 118: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-118

koordinasi untuk perencanaan tata ruang tetap diadakan, mengingat undang-undang tersebut pengaturannya hanya bersifat umum. Keberadaan lembaga penataan ruang daerah belum berjalan secara terpadu dan dalam satu kesatuan sistem. Kebijakan yang ditetapkan masing-masingdinas atau instansi lebih banyak diwarnai oleh tugas dan fungsi yang diembannya, sehingga seringkali bertentangan atau tidak seiring dengan kebijakan yang perlu dikeluarkan oleh dinas atau instansi lain.

Kepmendagri No. 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Penataan Ruang Daerah. Keputusan tersebut merupakan suatu tindak lanjut suatu kesepakatan para gubernur dalam Rapat Kerja Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (Rakernas BKTRN) tahun 2003, keputusan tersebut menghasilkan suatu Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), yang terbagi ke dalam dua wilayah, yaitu BKPRD Provinsi dan BKPRD Kabupaten/Kota. Dengan adanya badan koordinasi tersebut nantinya diharapkan dapat menjembatani kepentingan-kepentingan antar daerah, sehingga akan tercapai suatu pengendalian dan pengkoordinasian yang baik, dan terhindar dari suatu permasalahan antar daerah serta terhindar dari disintegrasi nasional. Walaupun dengan adanya badan koordinasi akan tetapi selesainya suatu permasalahan akan tergantung pada perhatian para pihak yang bersengketa, sehingga pada dasarnya koordinasi dapat diciptakan secara baik melalui pertimbangan yang bijaksana dari pendekatanpendekatan tersebut.

Pemerintah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal sampai saat ini belum memiliki lembaga yang mengkoordinasikan penataan ruang. Penataan ruang antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal masih sebatas dalam tahap perjanjian pendahuluan yang tertuang dalam Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur.

7.1.3. Konsep Kerjasama Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal

1. Landasan Yuridis Kerjasama

Beberapa hal yang dikemukakan dalam dasar kerjasama penataan ruang wilayah pesisir Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sebagai berikut :

Page 119: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-119

a. Penataan ruang wilayah pesisir perbatasan antara daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal perlu diselesaikan bersamasama.

b. Wilayah pesisir secara ekologis tidak mengenal batas administrasi.

c. Penataan ruang wilayah pesisir antara daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal harus jelas batas wilayah administrasi ke dua daerah.

d. Persoalan mengenai penataan tata ruang wilayah pesisir memerlukan koordinasi di antara pemerintah, baik itu pemerintah pusat, daerah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diperlukan oleh karena kondisi ruang antara suatu wilayah dengan wilayah yang lainya memiliki keterkaitan satu sama lain.

Dari dasar tersebut, daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat melakukan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan antara ke dua pemerintah daerah. Sebagai landasan yuridis, selanjutnya pemerintah daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dalam melaksanakan kerjasama tersebut haruslah melakukan suatu langkah yang kongkret yang disesuaikan dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan yang melekat pada pemerintah kabupaten/kota dalam administrasi negara disebut dengan sikap dan tindak administrasi negara. Sikap dan tindak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat diwujudkan dalam suatu bentuk kebijakan. Bila dilihat dari sudut hukum administrasi negara, kebijakan pemerintah daerah terdiri dari dua bentuk, yaitu: a. ketetapan atau keputusan (beschiking)

b. peraturan daerah (beleid)

Ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang dalam hal ini sering disebut sebagai keputusan bupati/walikota, biasanya sering dilihat dalam bentuk izin. Sementara peraturan daerah merupakan suatu produk hukum yang merupakan hasil penetapan dari DPRD. Peraturan daerah dibuat sebagai instrumen untuk melaksanakan pengaturan atau pengurusan rumah tangga daerah.

Page 120: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-120

Sehubungan dengan penataan ruang, maka perencanaan tata ruang yang dibuat oleh daerah, baik itu Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal, harus sesuai peraturan daerah yang telah dibuat sebelumnya, bahkan untuk lebih memberikan kekuatan hukum, perencanaan tata ruang wilayah yang akan dibuat harus disahkan melalui peraturan daerah.

Ketetapan atau keputusan maupun Perda yang dibuat oleh masing-masing daerah dapat menimbulkan konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir perbatasan. Hal tersebut dapat terjadi karena pemanfaatan lahan di wilayah pesisir yang berbeda-beda dan tidak sinkron antar ke dua daerah. Untuk itu dibutuhkan koordinasi antara ke dua pemerintah daerah yang memiliki Ketetapan atau keputusan dan Perda sendiri-sendiri.

Peraturan mengenai tata ruang Kota Semarang adalah sebagai berikut:

a. Perda Kota Semarang Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000 – 2010.

b. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kota Semarang Tahun 2000 – 2010.

c. Sampai saat ini Pemerintah Kota Semarang belum memiliki

pengaturan tata ruang wilayah pesisir. RDTRK BWK X meliputi: Kecamatan Ngaliyan: 3.260,584 ha dan Kecamatan Tugu: 3.133,359 ha. Kecamatan Tugu merupakan kecamatan Bagian Wilayah Kota X merupakan Kecamatan Tugu merupakan kecamatan termasuk wilayah pesisir yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal.

Peraturan mengenai tata ruang Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut:

a. Perda Kabupaten Kendal Nomor 23 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kendal Tahun 2007 – 2026.

b. Perda Nomor 24 Tahun 2007 tentang Rencana Detail Tata Ruang Industri Kaliwungu Kabupaten Kendal Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2026

Page 121: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-121

c. Sampai saat ini Kabupaten Kendal memiliki rancangan Perda mengenai Rencana Tata Ruang Pesisir dan Laut Kabupaten Kendal. Secara administratif wilayah SWP Kabupaten Kendal yang berbatasan dengan Kota Semarang adalah SWP II. Kecamatan Kaliwungu merupakan SWP II yang berbatasan dengan Kota Semarang.

Dari peraturan mengenai penataan tata ruang ke dua daerah, kerjasama penataan ruang wilayah pesisir ke dua daerah yang dimaksud adalah:

a. Kecamatan Tugu, secara administrasi masuk Kota Semarang dan

b. Kecamatan Kaliwungu, secara administrasi masuk Kabupaten Kendal.

Belum ditetapkannya Perda mengenai Rencana Tata Ruang Pesisir dan Laut bagi Kabupaten Kendal dan belum dimilikinya Perda Tata Ruang Pesisir bagi Kota Semarang, dapat dijadikan langkah awal ke dua daerah untuk merencanakan wilayah pesisir ke dua daerah. Wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah tersebut yaitu Kecamatan Tugu dan Kecamatan Kaliwungu. Langkah awal perencanaan wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah perlu segera adanya kerjasama ke dua pemerintah daerah.

Implementasi dari kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah diperlukan koordinasi. Koordinasi dalam pelaksanaan suatu rencana pada dasarnya merupakan salah satu aspek dari pengendalian yang sangat penting. Koordinasi di sini adalah suatu proses rangkaian kegiatan yang menghubungkan, bertujuan untuk menyerasikan setiap langkah dan kegiatan dalam berorganisasi agar tercapai gerak yang cepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Selain sebagai suatu proses, koordinasi dapat juga diartikan sebagai suatu pengaturan yang tertib dari kumpulan atau gabungan usaha untuk menciptakan kesatuan tindakan.

133

Koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah merupakan pengaturan yang aktif, bukan pengaturan dalam arti pasif berupa membuat aturan mengenai segala gerak dan kegiatan dan hubungan kerja antara beberapa pejabat pemerintah. Dengan pengendalian dan

Page 122: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-122

koordinasi yang baik, maka dalam penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah akan tercapai suatu keadaan dapat dicegah terjadinya kesimpangsiuran dan duplikasi kegiatan.

Oleh karena itu koordinasi bukan hanya bekerjasama, melainkan juga integrasi dan sinkronisasi yang mengandung keharusan penyelarasan unsur-unsur jumlah dan penentuan waktu kegiatan di samping penyesuaian perencanaan, dan keharusan adanya komunikasi yang teratur diantara sesama daerah yang bersangkutan dengan memahami dan mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku sebagai peraturan pelaksananya. Ketentuan hukum yang dijadikan dasar dalam koordinasi penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah yaitu Perda-Perda mengenai tata ruang ke dua daerah, khususnya Perda tata ruang pesisir. Untuk itu ke dua daerah perlu segera membuat dan menetapkan Perda tata ruang pesisir.

Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur dapat dijadikan landasan yuridis dalam melakukan kerjasama antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal. Keputusan Bersama ini pada hakikatnya merupakan perjanjian pendahuluan. Untuk perjanjian berikutnya sebagai implementasi Keputusan Bersama, pemerintah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat melaksanakan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah. Perjanjian sebagai implementasi Keputusan Bersama dibuat dan disepakati bersama oleh masing-masing Kepala Daerah, dimintakan persetujuan DPRD masing-masing dan dan diketahui oleh Gubernur Jawa Tengah. Perjanjian tersebut memuat teknis pelaksanaan penataan ruang wilayah pesisir antara ke dua daerah. Langkah konkrit melaksanakan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah dapat diwujudkan dengan pembentukan lembaga.

2. Pembentukan Bentuk Kerjasama dan Lembaga

Salah satu bentuk implementasi yang yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, baik itu Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal, adalah melalui penerapan regional management. Regional Management sebagai sebuah lembaga kerjasama antar daerah dapat diartikan sebagai lembaga professional yang didirikan untuk memobilisasi dan

Page 123: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-123

merealisasikan inisasi kesepakatan pembangunan regional tersebut. Regional management merupakan merupakan salah satu bentuk instrumen pembangunan yang bersifat formal non-keruangan atau dengan kata lain yang berkaitan dengan kebijakan. Bentuk kerja sama tersebut dapat tertuang dalam isi kebijakan yang dibuat oleh masing-masing daerah yang saling berkaitan, sehingga akan mungkin teciptanya suatu koordinasi diantara daerah satu dengan yang lainnya.

Keberhasilan kerjasama sangat dipengaruhi oleh peran aktif dan komitmen pemerintah yang bekerjasama. Salah satu kunci keberhasilan utama adalah terletak pada kesungguhan dan keseriusan pihak yang berkepentingan yaitu para Pemimpin Daerah yang bekerjasama dan seluruh jajaran instansi dinas terkait. Untuk menjembatani kerja para Pemimpin Daerah yang bekerjasama dan seluruh jajaran instansi dinas terkait dalam penataan ruang wilayah pesisir Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dibutuhkan lembaga. Lembaga yang menangani berbagai permasalahan terkait dengan hal-hal yang tercakup dalam kerjasama tersebut.

Lembaga tersebut memiliki tugas serta fungsi yang tepat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir ke dua daerah perbatasan. Untuk Lembaga yang dibentuk untuk menerima mandat ini perlu dikukuhkan melalui Keputusan Bersama Daerah, terdapat diskripsi tugas dan tanggungjawab yang jelas, rinci dari para pihak yang berkepentingan (Pemimpin Daerah dan seluruh jajaran instansi maupun dinas terkait).

Jajaran instansi maupun dinas terkait yang diharapkan dengan penataan ruang wilayah pesisir di Pemerintah Kota Semarang tediri dari Badan Perencana Daerah Kota Semarang, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Semarang, Dinas Tata Ruang Kota Semarang, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Bagian Pemerintahan Umum, dan Kecamatan Tugu maupun dinas yang terkait lainnya. Jajaran instansi maupun dinas terkait yang diharapkan dengan penataan ruang wilayah pesisir di Pemerintah Kabupaten Kendal terdiri dari Badan Perencana Daerah Kabupaten Kendal, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Kendal, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kendal, Dinas

Page 124: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-124

Perikanan Kabupaten Kendal, Bagian Tata Pemerintahan Umum Kabupaten Kendal dan Kecamatan Kaliwungu maupun dinas yang terkait lainnya. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah, jajaran instansi maupun dinas terkait yang diharapkan sebagai fasilitator penataan ruang wilayah pesisir adalah Badan Perencana Daerah Provinsi Jawa Tengah, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Jawa Tengah, Biro Kerja Sama dan Otonomi Daerah Provinsi Jawa Tengah, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, dan Dinas Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah maupun maupun dinas terkait lainnya.

Keterlibatan pemerintah Provinsi karena masih memiliki kewenangan untuk mengadakan pengawasan dan koordinasi antara kabupaten kota. Hal ini sesuai Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2007, bahwa pemerintah Provinsi memiliki wewenang untuk memfasilitasi kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota. Untuk mendukung jalannya lembaga kerjasama perlu dukungan dalam bentuk politik, teknis, finansial (misalnya berbagai anggaran untuk biaya operasional untuk bantuan operasional kantor sekretariat kerjasama, maupun SDM dari masing-masing ke dua daerah.

Lembaga penataan ruang wilayah pesisir perbatasan Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur. Berikut skema pembentukan lembaga kerja sama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal :

Page 125: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-125

7.1.4. Penyelesaian Perselisihan

Apabila pelaksanaan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat menimbulkan perselisihan, antara pemerintah ke dua daerah dapat membuat kesepakatan penyelesaian perselisihan. Kesepakatan penyelesaian perselisihan dapat dilaksakan dan ditarik oleh pemerintah Provinsi. Penyelesaian perselisihan oleh tingkat Provinsi untuk menghindari masing-masing daerah lebih mengutamakan kepentingan sektoral.

Penyelesaian perselisihan harus sejalan dengan tingkatan kewenangan yang diberikan kepada pembuat keputusan yaitu berdasar Keputusan Bersama. tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur yang dijadikan landasan

Page 126: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-126

yuridis dalam melakukan kerjasama. Perselisihan dapat terjadi karena penetapan sasaran batas-batas zona pemanfaatan ruang wilayah pesisir. Zona pemanfaatan ruang wilayah pesisir terdiri dari rencana kawasan pemanfaatan umum, rencana kawasan konservasi, rencana kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana alur. Perselisihan tersebut dapat diatasi sedini mungkin pada proses perencanaan.

Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur memberikan cara penyelesaian perselisihan. Perselisihan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan Keputusan Bersama diselesaikan sebagai berikut:

1. Secara musyawarah oleh Sekretariat Bersama Kerjasama antar Daerah Kedungsepur.

2. Apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan maka penyelesaiannya difasilitasi Gubernur Jawa Tengah.

3. Apabila dalam penyelesaian salah satu pihak tidak menerima keputusan tersebut, dapat mengajukan penyelesaiannya kepada Menteri Dalam Negeri.

4. Kemudian, apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan di Mendagri, akan diselesaikan melalui Badan Peradilan.

Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan mengadakan pengawasan dan koordinasi antara kabupaten kota. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi dapat menjadi fasilitator jika terjadi perselisihan penataan ruang wilayah pesisir antara pemerintah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal. Hal ini sesuai dengan Pasal 198 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa:

1. Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.

2. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.

3. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Dalam Pasal 198 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007

Page 127: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-127

4. tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah juga dijelaskan penyelesaian perselisihan kerjasama antar daerah yaitu:

a. Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.

b. Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.

c. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.

Cara penyelesaian perselisihan menurut Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur memberi peluang untuk menyelesaikan perselisihan melalui Badan Peradilan. Secara teori menyelesaikan perselisihan melalui Badan Peradilan dapat dilakukan, namun sampai saat ini Badan Peradilan yang menangani perselisihan kerjasama antar daerah belum ada. Hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Pada prinsipnya Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur merupakan implementasi Pasal 195 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dijelaskan dalam Pasal 195 ayat (2) bahwa kerja sama antar daerah dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Padahal ke dua peraturan jelas tidak membuka peluang untuk menyelesaikan perselisihan melalui Badan Peradilan. Ke dua peraturan dijelaskan bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri bersifat final dalam menyelesaikan perselisihan kerjasama antar dua pemerintah daerah.

7.2. Penutup

7.2.1. Simpulan

Dari uraian Bab I sampai dengan Bab III dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, penegasan batas daerah di wilayah laut antara daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal belum dilaksanakan. Pelaksanaan penegasan batas wilayah laut ini belum

Page 128: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-128

dilakukan karena penegasan batas daerah di wilayah laut merupakan perpanjangan setelah penegasan batas darat. Kedua daerah perlu membentuk Tim Penegasan Batas Daerah yang mencerminakan pelaksanaan tugas penegasan batas wilayah di laut. Pelaksana survey di lapangan lapangan pelaksanaan penegasan batas wilayah laut antar derah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat mengkontrakkan pekerjaan survey ini kepada dunia usaha, instansi pemerintah atau perguruan tinggi. Setelah penentuan batas secara kartometri wilayah laut, Daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat menegaskan luas kewenangan wilayah laut ke dua daerah masing-masing 4 mil laut yang meliputi:

1. Tahap Rekonesen (penjajakan di lapangan)

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

3. Penggambaran Peta Batas

Dari hasil penegasan batas wilayah di laut antara daerah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal kemudian membuat peta batas wilayah laut antara daerah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal.

Setelah diadakan penegasan batas wilayah laut perlu diatur dalam perjanjian batas wilayah antar daerah. Perjanjian batas wilayah antar daerah tidak perlu dibuat semacam ratifikasi oleh masing-masing daerah. Misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Keputusan Kepala Pemerintah Daerah masing-masing daerah, namun cukup dibuat Peraturan Bersama yang dibuat oleh kedua daerah kemudian dimintakan persetujuan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri.

Diketahuinya batas wilayah laut maka akan diketahui batas wilayah pesisir ke dua daerah. Dilihat dari hasil penegasan batas wilayah di darat antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal bahwa untuk wilayah pesisir kecamatan di Kota Semarang yaitu Kecamatan Tugu. Sedangkan wilayah pesisir kecamatan di Kabupaten Kendal yaitu Kecamatan Kaliwungu.

Kedua, konsep pemecahan masalah batas wilayah laut antara ke dua daerah yang sifatnya futuristik artinya memecahkan masalah yang mungkin timbul pada saat mendatang. Konsep pemecahan masalah tidak bisa dilepaskan dari dua hal yakni teknis penegasan dan bentuk pengaturan batas wilayah laut. Pemecahan masalah batas wilayah laut dari segi teknis penegasan yang dapat

Page 129: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-129

diselesaikan oleh kedua Tim Teknis Penegasan Batas Daerah dengan fasilitas Tim Teknis Penegasan Batas Daerah Provinsi.

Pemecahan masalah batas wilayah laut dari segi bentuk pengaturan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu;

1. Pemecahan masalah sebelum pengaturan batas wilayah laut ditegaskan yang dapat diselesaikan dengan membuat MoU (Memoradum of Understanding) oleh ke dua daerah.

2. Pemecahan masalah ketika pengaturan batas wilayah laut ditegaskan yang mengacu pada Permendagri Nomor 1 Tahun 2006.

3. Pemecahan masalah setelah pengaturan batas wilayah laut ditegaskan, dengan melakukan penegasan kembali batas wilayah laut ke dua daerah.

Ketiga, secara langsung antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal sudah terikat dalam kerjasama termasuk di bidang penataan ruang. Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur pada hakikatnya hanya perjanjian pendahuluan atau lebih dikenal dengan nama Memorandum of Understanding (MoU). Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur dapat dijadikan landasan yuridis dalam melakukan kerjasama antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal. Keputusan Bersama ini pada hakikatnya merupakan perjanjian pendahuluan. Untuk perjanjian berikutnya sebagai implementasi Keputusan Bersama, pemerintah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat melaksanakan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan ke dua daerah. Perjanjian sebagai implementasi Keputusan Bersama dibuat dan disepakati bersama oleh masing-masing Kepala Daerah, dimintakan persetujuan DPRD masing-masing dan dan diketahui oleh Gubernur Jawa Tengah. Perjanjian tersebut memuat teknis pelaksanaan penataan ruang wilayah pesisir antara ke dua daerah.

Salah satu bentuk implementasi yang yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, baik itu Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal, adalah melalui penerapan regional management. Regional management merupakan merupakan salah satu bentuk instrumen pembangunan yang bersifat formal non-keruangan atau dengan kata lain yang berkaitan dengan kebijakan. Bentuk kerja sama tersebut dapat tertuang dalam isi kebijakan yang dibuat oleh masing-masing

Page 130: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-130

daerah yang saling berkaitan, sehingga akan mungkin teciptanya suatu koordinasi diantara daerah satu dengan yang lainnya.

Untuk menjembatani kerja para Pemimpin Daerah yang bekerjasama dan seluruh jajaran instansi dinas terkait dalam penataan ruang wilayah pesisir Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dibutuhkan lembaga. Lembaga tersebut memiliki tugas serta fungsi yang tepat dalam perencanaan dan pelaksanaan. Lembaga yang dibentuk untuk menerima mandat ini perlu dikukuhkan melalui Keputusan Bersama Daerah, terdapat diskripsi tugas dan tanggungjawab yang jelas, rinci dari para pihak yang berkepentingan (Pemimpin Daerah dan seluruh jajaran instansi maupun dinas terkait).

Untuk menyelesaian perselisihan pelaksanaan kerjasama penataan ruang wilayah pesisir perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal, ke dua daerah dapat membuat kesepakatan penyelesaian perselisihan. Kesepakatan penyelesaian perselisihan dapat dilaksakan dan ditarik oleh pemerintah Provinsi. Keputusan Bersama tentang Kerjasama Program Pembangunan di Wilayah Kedungsepur memberikan cara penyelesaian perselisihan. Perselisihan yang timbul diselesaikan sebagai berikut:

1. Secara musyawarah oleh Sekretariat Bersama Kerjasama antar Daerah Kedungsepur.

2. Apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan maka penyelesaiannya difasilitasi Gubernur Jawa Tengah.

3. Apabila dalam penyelesaian salah satu pihak tidak menerima keputusan tersebut, dapat mengajukan penyelesaiannya kepada Menteri Dalam Negeri.

7.2.2. Saran

1. Tim Penegasan Batas Daerah Kota Semarang maupun Kabupaten Kendal yang ada, bahwa tim tersebut hanya dibuat untuk melaksanakan penegasan batas wilayah darat antara daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal. Kedua surat keputusan dari kedua Kepala Daerah tentang Pembentukan Tim Penegasan Batas Daerah belum mencerminkan pelaksanaan tugas penegasan batas wilayah di laut. Oleh karena itu dalam penegasan batas wilayah di laut perlunya merevisi Keputusan kedua Kepala Daerah baik Daerah Kota Semarang maupun

Page 131: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 7-131

Kabupaten Kendal tentang Pembentukan Tim Penegasan Batas Daerah.

2. Penegasan Batas wilayah di laut antara daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal merupakan hal yang cukup penting. Karena dengan diketahuinya batas wilayah di laut, maka akan jelas pula batas wilayah pesisir ke dua daerah. Untuk itu daerah Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal dapat menegaskan batas wilayah laut dengan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

3. Diketahuinya batas wilayah pesisir antar ke dua daerah, dijadikan acuan bagi ke dua pemerintah untuk merencanakan penataan ruang wilayah pesisir yang berbatasan. Bentuk implementasi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, baik itu Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal, adalah melalui penerapan kerja sama antar daerah (regional management) yang meliputi landasan yuridis, pembentukan lembaga dan penyelesaian perselisihan.

Page 132: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-132

Bahan 8 Pengembangan Kerjasama Regional Pengembangan

di Kawasan Cekungan Bandung, Studi Kasus Program Bandung Ecotown

Edi Siswadi

8.1. Pendahuluan

� Model pembangunan daerah pasca UU No.22/1999

dan UU No.32/2004 ttg Pemerintahan Daerah,

dipersepsikan dgn semangat otonomi yang sempit dan

variatif;

� Potensi daerah yg sangat beragam (SDM, SDA,

teknologi, sosial-budaya, resources) menuntut

sinergitas antar daerah, terutama yang berbatasan

untuk meningkatkan kerjasama regional dalam

berbagai sektor pembangunan;

� Mengingat arti pentingnya kerjasama regional, maka

perlu dilakukan kajian terhadap pengembangan

kerjasama regional & format kelembagaan yg paling

tepat (mis. format kelembagaaan program Bandung

Ecotown utk Kawasan Metropolitan Bandung);

8.2. Isu dan Permasalahan dlm Pengembangan Kerjasama Regional

a. Peningkatan Pelayanan Publik;

b. Kawasan Perbatasan;

c. Tata Ruang;

d. Penanggulangan Bencana dan Penanganan Potensi Konflik;

Page 133: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-133

e. Kemiskinan dan Pengurangan Disparitas Wilayah;

f. Peningkatan peran Provinsi;

g. Pemekaran Daerah

8.3. Kerangka Konseptual Kerjasama Antar Daerah/Regional

� Kerjasama antar daerah/regional dibutuhkan dalam rangka menghadapi era globalisiasi dan perdagangan bebas, yg mengharuskan daerah merancang localbussines plan-nya agar bisa bersaing dengan kota/produk lain di dunia;

� Eskalasi persoalan daerah yang semakin rumit dan kompleks, cenderung menjadi persoalan yang lintas wilayah, sehingga dirasakan perlunya kerja sama antar pemerintah daerah atau intergovermental cooperation.

8.4. Kerangka Pikir Kerjasama Antar Daerah

Page 134: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-134

8.5. Bentuk dan Pola Kerjasama Antar Daerah/Regional

a. Handshake Agreement

b. Fee for service contracts (service agreements)

c. Joint Agreements (pengusahaan bersama)

d. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama).

e. Regional Bodies

8.6. Implementasi Kerjasama Antar Daerah di Indonesia

� Kerjasama regional level provinsi, contoh: Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) JABODETABEKJUR yang telah dirintis semenjak tahun 1975;

� Kerjasama antar kab/kota, contoh: Sekretariat Bersama KARTAMANTUL (Kab Sleman, Kota Yogyakarta dan Kab Bantul);

� Dalam skala yang lebih besar, dikenal Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)

8.7. Faktor-faktor yg Mempengaruhi Keberhasilan

1. Komitmen pimpinan daerah;

2. Identifikasi kebutuhan;

3. Pengintegrasian dan harmonisasi kedalam sistem perencanaan daerah yang telah ada atau yang akan dibuat (RPJP, RPJMD, atau RKPD);

4. Partisipatif, yaitu melibatkan multi stakeholder;

5. Analisa kelembagaan atau model kelembagaan

yang efektif terhadap kondisi wilayah kerjasama

serta kapasitas dari daerah yang bekerjasama;

6. Adanya Champion, satu aktor yang berfungsi

sebagai penggerak.

8.8. Gambaran Umum Kawasan Metropolitan Bandung

� Kawasan Perkotaan Bandung Raya merupakan salah satu

Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang berfungsi sebagai

pusat kegiatan nasional dan pintu gerbang menuju kawasan

internasional;

Page 135: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-135

� Fokus pengembangan kawasannya adalah sbb:

a. Kota Bandung ditetapkan sebagai kota inti, kegiatan utama:

perdagangan dan jasa, indusri kreatif dan teknologi tinggi, pariwisata dan transportasi;

b. Kota Cimahi sebagai kota inti, kegiatan utama : perdagangan

dan jasa, industri kreatif dan teknologi tinggi;

c. Kabupaten Bandung, kegiatan utama : industri non polutif,

wisata alam, pertanian dan perkebunan;

d. Kabupaten Bandung Barat, kegiatan utama : industri non

polutif, pertanian, industri kreatif dan teknologi tinggi;

e. Kabupaten Sumedang, diarahkan sebagai PKL, dilengkapi

prasarana dan sarana pendukung minimal, kegiatan utama :

pendidikan (Jatinangor), agrobisnis dan industri;

8.9. Format Kelembagaan Bandung Metropolitan Authorit9. Authority

Page 136: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-136

8.10. Program Bandung Ecotown dari Prespektif

Kerjasama Regional

� pengalaman Kota Kawasaki dalam pelaksanaan

Program Ecotown, selain Kota Kawasaki, juga

dikembangkan kerjasama regional di Kawasan

Kawasaki dan Metropolitan Tokyo, khususnya dalam

aktivitas perdagangan/tukar menukar material limbah;

� Kota Bandung sebagai kota percontohan utk pengembangan Ecotown juga mengembangkan

Kerjasama Regional antara Pemerintah Kota Bandung

dan pemerintah daerah disekitarnya dengan

melibatkan peran serta Pemerintah Provinsi Jawa

Barat.

Page 137: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-137

8.11. Model Kelembagaan Program Bandung Model Ecotown

8.12. Kesimpulan

a. Peranan kerjasama regional dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumberdaya, termasuk tataran kebijakan yang terkait dgn investasi, pemasaran maupun promosi daerah.

b. Kerjasama tersebut dapat meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah untuk bersaing di tingkat nasional maupun global;

c. Hakikat kerjasama pembangunan antar daerah atau kerjasama regional adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi metode yang efektif untuk mengatasi keterbatasan sektor publik, sekaligus memberdayakan potensi sektor privat/masyarakat.

8.13. Saran

Perlu adanya pembagian peran dan fungsi sebagai berikut:

Page 138: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 8-138

a. Peran pemerintah daerah adalah keberpihakan/ komitmen kepala daerah (eksekutif dan legislatif) terhadap isu kerjasama regional.

b. Peran pemeritah provinsi adalah memberikan insentif program pembangunan bagi kerjasama regional, penguatan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan program;

c. Peran pemerintah nasional adalah mempersiapkan peraturan-peraturan terkait yang secara spesifik mengatur kerjasama regional;

d. Peran masyarakat dan lembaga non pemerintah adalah memastikan bahwa isu-isu yang dipilih untuk dikerjasamakan adalah benar-benar menjadi kebutuhan;

e. Peran lembaga donor, adalah melakukan asistensi terhadap daerah didalam membangun kelembagaan yang sesuai dengan kapasitas daerah

Page 139: Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

Materi Tentang Kerjasama Antar Kota Metropolitan Dengan Kota Pendukungnya

PT Jakarta Konsultindo 9-139

Bahan 9 Sasaran Kerjasama Dalam Penataan Ruang Wilayah

RTRW PROVINSI

RTRW NASIONAL

RTRW KAB/KOTA

RTRW PROVINSI

YANG BERBATASAN

SINKRON

HARMONISASI

SINERGI

PADUSERASI

SASARAN KERJASAMA DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH

RTRW PROVINSI

YANG BERBATASAN

RTRW KAB/KOTA

YANG BERBATASAN

HARMONISASI PADUSERASIRTRW

KAB/KOTA YANG

BERBATASAN

Hierarki RTRW (administratif)

Kerjasama

Kerjasama

Sumber: Dit. Pembinaan Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, 2007