MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK DALAM PENDIDIKAN ISLAM Makalah disusun sebagai Tugas Presentasi Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam Dosen Pengampu: DR. Ending Bahruddin Oleh : Ahmad Syahirul Alim, Lc. PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKKAN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN 1431 H/2010 M
24
Embed
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK (Autosaved) (Autosaved)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Makalah disusun sebagai Tugas Presentasi Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
DR. Ending Bahruddin
Oleh :
Ahmad Syahirul Alim, Lc.
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKKAN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN
1431 H/2010 M
2
MANUSIA SEBAGAI SUBYEK DAN OBYEK
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Ahmad Syahirul Alim, Lc
I. PENDAHULUAN
Pendidikan sejatinya merupakan proses yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan juga telah dimulai semenjak lahirnya manusia ke muka bumi, oleh
karena itu banyak sekali konsep dan pandangan berbagai filsafat dan ideologi tentang
bagaimana pendidikan yang ideal itu seharusnya.
Keseluruhan konsep pendidikan yang diajukan baik oleh para filusuf ataupun pakar-
pakar pendidikan, pada dasarnya bergantung pada pandangan mereka terhadap manusia
itu sendiri.
Menurut Muhammad Quthb keunggulan pendidikan islam terdapat pada model manusia
yang ingin dicapainya. Menurutnya sistem pendidikan lainnya, hanya berusaha untuk
mencetak “seorang warga negara yang baik” dengan berbagai prespektif yang sangat
historikal regional, sehingga gambaran “warga negara yang baik” ini akan berbeda-
beda. Bagi sebuah negara ia bisa digambarkan sebagai seorang tentara yang gagah
berani, bagi lainnya mungkin ia seorang politikus yang kharismatik, atau ekonom yang
cerdas atau bahkan pekerja buruh murahan. Namun dalam islam, model manusia yang
diharapkan ialah manusia bertauhid yang menjadikan dunia sebagai negrinya, tempat ia
mengabdikan diri, tidak dibatasi oleh beban sejarah atau batasan regional, ia tidak
terikat oleh ras dan kelompok.1 Singkat kata ia adalah manusia global; atau dalam
istilah Al-Qur‟an; Rahmatan Lil‟alamin. Fungsi rahmat yang dibawanya berasal dari
dua tugas besar ia, sebagai Abdan Lillah (Hamba bagi Allah) dan sebagai Khalifatullah
(Khalifah Allah).
Islam juga memandang manusia secara utuh dari berbagai dimensi, baik akal, ruh dan
jasad. Oleh karena itu pendidikan dalam islam memberikan perhatian yang seimbang
terhadap ketiga faktor tersebut sehingga tumbuhlah manusia yang menjadi “khairu
ummah”.
1 Muhammad Quthb, Manhaj at-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar Shorouk, cet-16, 2004. hlm. 13
3
Makalah ini berusaha menggali lebih dalam mengenai kedudukan, serta tugas dan peran
manusia dalam pendidikan islam, agar umat islam lebih jauh mengenal dan memahami
keunggulan pendidikan islam atas sistem-sistem pendidikan lainnya.
II. MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Allah Swt telah menjadikan manusia dengan berbagai kesempurnaan dan kemampuan.
Dan kemampuan manusia untuk belajar, memahami dan mendapatkan pengetahuan
merupakan kemampuan luar biasa yang membuatnya lebih mulia dari makhluk-
makhluk lainnya. Bahkan diawal penciptaan manusia, Allah SWT menunjukkan
keunggulan ini dihadapan para malaikat dengan mengajarkan kepada Adam AS nama-
nama yang malaikat sendiri tidak mampu untuk melakukannya. Dalam Al-Qur‟an
disebutkan:
"Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (QS.
Al-Baqarah : 33)
Pakar pendidikan islam Umar At-Thoumy As-Syibani menjelaskan tentang hal ini
dalam bukunya Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyyah mengatakan:
“Insan bisa mempelajari ilmu pengetahuan, kemahiran dan kecenderungan baru. Ia bisa
beriman dengan yang ghaib, membedakan antara baik dan buruk dan menahan nafsu
syahwatnya yang liar. Ia punya kudrat mencari cara untuk mencapai cita-cita ini. Ia
menembus realitas untuk membawanya mencapai cita-cita ideal ia mampu membina
hubungan sosial dengan orang lain … Ia berdaya untuk bekerja memproduksi, membina
peradaban dan menempa kemajuan. Ia bisa menyingkapkan rahasia fenomena alam dan
membentuk fenomena itu sesuai dengan idealismenya. Lebih jauh ia bisa menguasai
sumber kekuasaan alam.”2
2 Umar At-Thoumy As-Syibani , Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh: Hasan Langgulung ke Falsafah Pendidikan Islamm, Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1984. hlm. 115
4
Padangan Islam terhadap manusia ini, berbeda dengan pandangan filsafat-filsafat
pendidikan lainnya. Manusia dalam pendidikan islam ditempatkan sebagai hamba dan
khalifah sekaligus. Dr. Abdurrahman Umaira menjelaskan:
“Manusia dalam pandangan islam, berbeda dengan aliran eksperimen yang
memasukannya dalam sebuah laboratorium, meletakkannya dalam wadah eksperimen,
diteliti bagian-bagiannya secara terpisah, kemudian keluar dengan hasil: bahwa manusia
itu hanya jasad, an sich.
Mungkin hal itu bisa kita maklumi, karena peralatan yang ada tak mampu untuk
menangkap berbagai sisi (dari manusia).
Manusia dalam pandangan islam, juga bukanlah hewan seperti dalam aliran
behaviorisme. Yang menafsirkan bahwa manusia hanyalah kumpulan dari kebiasaan-
kebiasaan, beserta aksi reaktif yang ditimbulkan dari umpan balik atau kondisi yang
tercipta secara terus menerus. Karena hal itu hanya berlaku bagi hewan namun tidak
untuk manusia.”3
Manusia dalam pendidikan islam ialah makhluk Allah Swt yang unik dan istimewa,
diciptakan dengan tujuan dan amanah yang jelas. Dengan kemampuannya, manusia
mempunyai kewajiban yang lebih dalam pendidikan islam. Manusia diperintahkan
untuk mempelajari dan mengajarkan kebenaran. Manusia juga dilarang untuk
melakukan pekerjaan tanpa berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, manusia dalam islam
dituntut untuk selalu berada dalam proses pendidikan; menjadi subyek ataupun obyek
pendidikan itu sendiri.
A. Urgensi Ilmu Bagi Manusia
Imam Ar-Raghib dalam “Mufradat al-Qur‟an” nya mendefinisikan ilmu sebagai:
“Mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya.”4 Di dalam Al-Qur‟an kata-kata “‟ilm”
diulang sebanyak 70 kali, sedangkan fi‟il (kata kerja) yang terdiri dari huruf “ain-lam-
mim” terulang sebanyak 207 kali, dengan rincian kata “ta‟lamun” 56 kali,
“Jika seorang guru (dipercaya untuk) mendidik tiga anak dari umat ini, dan
tidak mendidik mereka dengan adil, yang miskin bersama yang kaya, yang
kaya bersama yang miskin, maka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat
beserta para pengkhianat.”19
4. Menjaga kasih sayang dan lemah lembut terhadap anak didiknya, karena
hanya dengan rasa kasihlah manusia menjadi mudah untuk taat dan
16 Yusuf Abdul Mu’thi, Tarbiyatul Muslim fi ‘Alam Mu’ashir, Kuwait: Shunduq Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998. hlm. 71 17 Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, Usus al-Jaudah at-Ta’limiyyah fii I’dad wa tadrib al-Mu’allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura University; tidak diterbitkan. hlm. 90-92 18
Ali Rasyid, Syakhsiyyah al-Mu’allim wa ada’uhu fii Dhaui Taujihat al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1419 H. hlm. 29 19 Ahmad Fuad Al-Ahwani, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif bimishr, 1968. hlm. 355
14
mendengar.20
Maka Ibnu Sahnun melarang seorang pendidik untuk memukul
anak didiknya lebih dari tiga pukulan, ia berkata: “ Dan tidak boleh
mengajarkan adab (dengan) melebihi tiga pukulan, kecuali jika ayahnya
mengizinkan untuk itu disaat ia menyakiti orang lain. (Seorang pendidik
hendaknya) menghukum mereka atas senda gurau dan kemalasan dan tidak
boleh menghukumnya melebihi seupuluh pukulan, sedang atas membaca al-
Qur‟an tidak boleh melebihi tiga pukulan.”21
Seorang pendidik juga harus memperhatikan hal-hal berikut jika ia ingin berhasil untuk
mendidik murid-muridnya:
1. Hendaklah ia menjaga penampilannya agar terlihat baik dan rapi dihadapan
anak-anak didiknya, karena manusia umumnya menyukai hal-hal yang
indah dan membenci sebaliknya.
2. Mengajak anak didik untuk berfikir dan mengunakan akalnya dalam
berbagai kesempatan sehingga mereka terbiasa dengan cara berfikir yang
baik dalam kehidupannya. DR. Yusuf Al-A‟shar mengatakan: “Apabila
guru memberikan tanggung jawab kepada para murid akan apa yang akan
mereka pelajari, bagaimana mereka mempelajarinya dan bagaimana mereka
meraih kesuksesan padanya, sehingga akan lahir banyak kesempatan dalam
belajar. Maka para murid akan memiliki kemampuan yang tinggi dalam
memecahkan masalah, kreatifitas dan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan
kepercayaan diri. Mereka juga akan menghasilkan lebih baik daripada cara
belajar yang berdasarkan pada ujian-ujian yang sangat terbatas
kemampuannya sebagai alat evaluasi.”22
3. Ia juga dianjurkan untuk terus menambah ilmunya dan memperluas
wawasannya baik berkenaan dengan pendidikan atau lainnya. Bahkan ketika
Suyfan bin Uyainah ditanya: “Siapakah yang paling perlu untuk mencari
ilmu?”, ia menjawab: “Orang yang paling alim, karena kebodohan menjadi
aib baginya.”23
20 Khalid Said bin Ahmad Al-harby, hlm. 93-95 21
Ahmad Fuad Al-Ahwany, hlm. 356 22 Shafa Yusuf Al-A’sar, Ta’lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998. hlm. 13 23 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407
15
4. Ia harus menguasai bidang yang ia ajarkan sebaik mungkin sehingga
menguasai seluk beluknya dan dapat mengajarkannya dengan cara yang
paling mudah untuk dipahami.
5. Memperhatikan dan mengetahui perbedaan karakter tiap peserta didiknya
dan mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap mereka.24
Imam Al-
Ghazali menjelaskan: “ Dan hendaknya seorang guru membatasi muridnya
sesuai pemahamannya, maka janganlah ia memberikan apa yang tidak
terjangkau oleh akalnya atau yang membuat bingung pikirannya.”25
Setiap pendidik hendaknya menjaga dan mengembangkan karakter-karakter yang
dibutuhkan olehnya agar proses pendidikan berjalan dengan baik. Demikian itu
merupakan nilai-nilai asasi dalam pendidikan islam.
IV. MANUSIA SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN
Pada dasarnya, islam tidak mengenal manusia sebagai obyek dalam pendidikan karena
pada hakikatnya manusia sebagai pendidik ataupun peserta didik dituntut untuk aktif
mencari ilmu dan kebenaran. Dalam artian bahwa kewajiban mencari ilmu dipikul oleh
seluruh manusia, dan bukan hanya kewajiban pendidik saja untuk menyampaikannya.
Imam Ibnu Abdil Barr menjelaskan hal ini:
“Para ulama bersepakat (ijma‟) bahwa diantara ilmu itu ada yang fardhu „ain atas setiap
orang secara individu. Yaitu apa-apa yang tidak boleh tidak diketahui oleh manusia dari
sejumlah kewajiban agama atas mereka, seperti bersyahadat dengan lisan dan meyakini
dengan hati bahwa Allah itu Esa tiada sekutu baginya, dan bersaksi akan kebenaran
bahwa Muhammad ialah hamba dan rasul-Nya juga penutup para nabi. Dan bahwa
kebangkitan setelah kematian untuk pembalasan amal, keabadian di akhirat bagi mereka
yang bahagia dengan keimanan dan ketaatan di surga, dan bagi mereka yang sengsara
dengan kekafiran dan keingkaran di neraka adalah benar adanya…”26
Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan akidah dan syariat yang berkaitan dengan manusia,
haruslah diketahui oleh manusia dengan ilmu yang benar. Jika tidak, maka setiap
individu menanggung akibatnya.
Namun yang dimaksudkan dengan obyek pendidikan disini ialah manusia yang ikut
menjadi peserta dalam proses pendidikan islam. Karena dalam mencari ilmu, seorang
24
Khalid Said bin Ahmad Al-Harby, hlm. 95-97 25 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya’b. Jilid.1, hlm. 96 26 Abdurrahman an-Nahlawy, hlm. 29
16
muslim tidak hanya diwajibkan untuk membaca melainkan untuk bertanya dan
menuntut ilmu dengan orang-orang yang lebih mengetahui. Dalam Al-Qur‟an
disebutkan:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (QS. An-Nahl: 43)
Dr. Yusuf Al-Qardawi menjelaskan tentang kewajiban untuk menuntut ilmu dari orang-
orang yang berilmu, ia mengatakan:
“Dan setiap manusia mesti belajar dari siapapun yang memiliki ilmu yang bermanfaat
bagi agama dan dunianya, walaupun orang itu lebih muda darinya, atau lebih rendah
derajat (sosial) nya, atau lebih miskin dalam harta dan kehormatannya….
Dikisahkan bahwa beberapa ulama; pernah ditanya mengenai suatu masalah kemudian
berkata: “aku tidak tahu”, kemudian salah seorang muridnya berkata: aku tahu
mengenai persoalan itu. Maka sang guru pun marah dan tersinggung, tetapi murid
tersebut berkata: Engkau tidaklah lebih alim dari (Nabi) Sulaiman bin Daud walaupun
telah mencapai ketinggian ilmumu saat ini, dan aku tidak lebih bodoh dari (burung)
Hudhud. Dan sungguh Hudhud telah berkata pada Nabi Allah Sulaiman: “Aku telah
mengetahui apa tidak engkau ketahui,” namun Nabi Sulaiman tidak menghukumnya,
dan memanfaatkan ilmunya.” Mendengar itu, maka Sang Guru menjadi tenang dan
berbahagia mendengar perkataan muridnya.”27
A. Peserta Didik dalam Islam
Rasulullah Saw memerintahkan kepada umat islam terutama para pendidik untuk
memuliakan peserta didik, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Qurthubi dari
Yusuf bin Harun dan Syahr bin Khausab, mereka berkata: “Kami apabila mendatangi
Abu Said Al-Khudry maka ia akan berkata: “Selamat datang para pewasiat Rasulullah
SAW! (sungguh) Rasulullah SAW bersabda: “Akan dibukakan (dunia) kepada kalian
dan kalian akan didatangi kaum -dalam riwayat lain anak-anak muda- mereka masih
muda, (ingin) mencari ilmu dan memahami agama dan mereka menuntut ilmu dari
kalian. Maka apabila mereka mendatangi kalian, maka ajarilah mereka dan bersikap
27 Yusuf Al-Qordhawi, hlm. 225-226
17
lembutlah pada mereka, luaskan-lah majlis bagi mereka dan pahamkanlah hadits (ajaran
islam).”28
Dalam pendidikan islam, terdapat sebutan-sebutan khusus bagi para peserta didik,
diantaranya:
1. Thalibul-„ilm -atau disingkat Thalib- yang berarti seseorang yang sedang
mencari ilmu. Dalam Al-Wasith disebutkan: “Ath-Thalib yaitu penuntut ilmu,
biasanya disebutkan kepada siswa tingkat menengah dan perguruan tinggi.”29
Penamaan ini diambil dari hadits-hadits Rasul Saw mengenai kewajiban dan
keutamaan penuntut ilmu.
2. Murid yang berarti seseorang yang ingin belajar dan siap menerima
pengajaran dari guru atau syaikhnya.
3. Tilmidz yang berarti seseorang yang mencari-cari ilmu pengetahuan dengan
bertanya pada orang yang lebih alim.
4. Muta‟allim yaitu orang yang diajarkan kepadanya ilmu pengetahuan.
5. Mutarobbi yaitu seseorang yang dikembangkan dan dididik dengan nilai-nilai
yang bermanfaat.
Nama-nama tersebut terkadang digunakan dalan beberapa kondisi yang berbeda
walaupun secara keseluruhan mempunyai makna yang sama yaitu peserta didik.
B. Syarat-syarat Peserta Didik
Meskipun menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi seluruh umat islam, tetapi tidak
berarti dalam prosesnya berjalan begitu saja. Seorang penuntut ilmu haruslah memenuhi
beberapa syarat-syarat agar proses pendidikan yang ia ikuti berhasil. Imam Syafii
mengungkapkan hal tersebut dalam syairnya:
ــي ج ب ث ه ــيص ف ت أ ك ــــــيج أ س ة ــت ـس ث ل ا ى ـه انع بل ـــــ ت ــــــي ن خ ا ب
ث هـــــجت ا ص ش ح بء ك ر ج ـــ بد ح ص ة ـــغ ب ي ل انض ط ت بر س ة أ
Wahai Saudaraku, engkau tak akan meraih ilmu kecuali dengan enam perkara
Aku akan jelaskan kepadamu rinciannya dengan gamblang
28 Abdurrahman An-Nahlawy, hlm. 94 29
Ibrahim Musthafa dkk, Mu’jam Al-Wasith, Kairo: Dar ad-Da’wah. Jilid. 2, hlm. 561 30 Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Diwan al-Imam Asy-Syafii, Beirut: Dar Al-Arqam bin Abil-Arqam. hlm. 113
18
Kecerdasan, Kesungguhan, Kegigihan dan Kecukupan (harta)
Juga didikan seorang guru dan masa yang panjang
Keenam perkara yang telah disebutkan oleh Imam Syafi‟i ini merupakan syarat-syarat
yang harus dimiliki dan dijalani oleh seorang pencari ilmu atau peserta didik. Adapun
penjelasannya dalam pendidikan islam adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan. Yang dimaksudkan dengan kecerdasan dalam pendidikan islam
ialah kemampuan seseorang untuk memahami dan mempelajari berbagai
masalah. Dalam dunia pendidikan syarat ini sering disebut, kesiapan
intelektual.
2. Kesungguhan. Kesungguhan berasal dari motivasi yang kuat untuk
memperoleh pengetahuan. Kesungguhan juga sering dikaitkan dengan
dorongan luar yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu kegiatan
seperti untuk mencari kebahagiaan.
3. Kegigihan. Kegigihan atau ijtihad dalam mencari ilmu mutlak diperlukan.
Para ulama terdahulu mencontohkan kegigihan dengan melakukan perjalan
jauh demi mendapatkan satu atau dua hadits.
4. Kecukupan harta. Maksud dari kecukupan harti disini ialah kecukupan dalam
kehidupan yang digunakan untuk keseharian seperti kebutuhan pokok
sandang, papan dan pangan. Dengan demikian seorang penuntut ilmu tidak
mengemis kepada orang-orang yang akan merendahkan kedudukannya, maka
Abu Darda berkata: “Penghidupan yang layak merupakan kebaikan agama,
(sedang) kebaikan agama merupakan kebaikan akal.”31
Namun para ulama
mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan terhadap harta, Sofyan Ats-Tsaury
berkata: “Ilmu itu ibarat tabib umat ini dan harta ialah penyakitnya, dan
apabila seorang tabib memberikan penyakit pada dirinya, bagaimanakah ia
bisa mengobati lainnya??.32
5. Guru. Seorang penuntut ilmu dalam islam harus memiliki guru agar apa yang
ia pelajarinya tidak keliru. Dalam kitab Asy-Syakwa disebutkan:
“Barangsiapa yang tidak memiliki syaikh maka ia tidak memiliki agama, dan
barangsiapa yang tidak mempunyai guru maka syaithan akan menjadi imam
baginya.”33
31
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 724 32 Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid.1, hlm. 711 33 Said Isma’il Ali, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1991. hlm. 53
19
6. Waktu. Panjangnya waktu menunjukkan kegigihan dan keuletan seseorang
dalam mencari ilmu.
Keenam persyaratan ini merupakan hal-hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh
seorang pencari ilmu, walaupun pada hakikatnya seseorang dituntut untuk selalu belajar
dan tidak dibatasi oleh kecerdasan ataupun usia. Maka para ulama pun tidak membatasi
sampai kapan seseorang harus mencari ilmu, Abu Mudzir berkata: “Saya bertanya
kepada Abu Amru bin „Ala : “Sampai kapan seseorang sebaiknya mencari ilmu?”, ia
menjawab: selama hidupnya masih baik”.34
Dengan demikian maka keenam hal ini
harus terus dimiliki oleh seorang muslim apapun kedudukan dan berapapun usianya.
C. Adab-adab sebagai Peserta Didik
Berdasarkan penghargaan terhadap ilmu dan penghormatan terhadap kemuliaan
pendidik, maka peserta didik dalam islam harus memahami adab-adab dalam menuntut
ilmu. Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian yang asasi yang tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan islam, Abdullah bin Mubarak berkata: “Tidaklah seseorang
menguasai satu cabang ilmu, selagi ia tidak mengiasi ilmunya dengan adab.”35
Diantara adab-adab tersebut ada yang berkaitan dengan dirinya, gurunya dan
pelajarannya. Adapun adab-adab yang berkaitan dengan diri, yaitu:
1. Menjadikan seluruh proses pendidikan sebagai sarana untuk beribadah
kepada Allah SWT.
2. Mengikhlaskan niat dalam mencari ilmu untuk berkhidmah kepada islam dan
bukan karena kepentingan duniawi. Dalam sebuah hadits disebutkan:
بء هى ا انع ه ع ت ت ل ه انع ا ث ف بء , ن ت ج ب انس ا ث بس ل ن ت بن س , انـ ج ا ث ل ن ت حت بص ,
ان ك ف ب بس ان بس م ر ف ع ف
“Janganlah kalian mencari ilmu supaya menyombongkan diri denganya
dihadapan para ulama, dan (jangan pula) supaya mendebat dengannya pada
masyarakat bodoh, dan (jangan pula) untuk mendapatkan tempat pada majlis-
34
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 407 35 Abdul Hakim Al-Anis, Adab al-Muta’allim tijaha al-Mu’allim, Dubai: Da’irah Asy-Syu’un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008. hlm. 14
20
majilis. Maka barangsiapa yang melakukannya (baginya) neraka..neraka!!.”
(H.R Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)36
3. Menghiasi diri dengan sifat takwa.
4. Konsisten dalam menjaga kesungguhan dan kesabaran saat menghadapi
berbagai masalah dalam menuntut ilmu.
5. Membersihkan hati dari rasa dengki, iri dan akhlak yang buruk. Karena
akhlak yang buruk akan menghalagi ilmu yang hakiki. Imam Al-Ghazali
berkata: “Apabila engkau berkata: betapa banyak murid yang buruk
akhlaknya mendapatkan banyak ilmu?, Maka alangkah celakanya ia karena
telah dijauhkan dari ilmu hakiki yang bermanfaat, karena awal dari ilmu
tersebut ialah tampaknya maksiat sebagai racun yang berbahaya.”37
6. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan tidak menyia-nyiakannya.
7. Bersikap zuhud terhadap berbagai kehidupan duniawi.
8. Mengamalkan setiap ilmu yang sudah ia pelajari.
9. Mempelajari ilmu dari para ahli dibidangnya.
10. Mempersiapkan diri dengan peralatan untuk menyimak dan menulis.
Diantara adab-adab yang berkaitan dengan guru ialah:
1. Meminta bimbingan dari Allah SWT agar mendapatkan guru yang terbaik.
2. Patuh terhadap gurunya, seabagaimana orang sakit yang sedang ditangan
dokternya.
3. Menghormati guru dan tidak melupakan jasa-jasanya. Bahkan para ulama
lebih mengutamakan guru-guru mereka dibanding orang tua mereka sendiri.
Al-Asfahany meriwayatkan: Suatu kali, Iskandar ditanya: “Mengapa ia lebih
menghargai gurunya daripada kedua orang tuanya?”, ia menjawab: “Karena
ayahku adalah sebab kehidupanku di kehidupan yang fana (dunia) sedang
guruku sebab kehidupanku yang kekal (akhirat).”38
4. Bersabar atas sikap yang tidak berkenan dari guru.
5. Bersikap dengan sopan saat berada di majlisnya. Hamdan bin Al-Asfahany
mengisahkan: “Saya bersama Syarik bin Abdullah, lalu datangnya beberapa
putra (khalifah) al-Mahdi. Mereka duduk bersandar ke tembok lalu bertanya
tentang hadits, namun ia tidak menoleh kepada mereka. Mereka pun
36
Abu Umar Yusuf ibnu Abdil Barr, jilid. 1, hlm. 648 37 Abu Hamid Al-Ghazali, Jilid.1, hlm. 83 38 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 52
21
mengulang pertanyaan, tapi ia tetap tidak menoleh. Maka aku bertanya:
“Engkau seperti meremehkan putra-putra khalifah?”, ia menjawab: “Bukan,
tetapi ilmu itu lebih indah ditangan orang yang berhak daripada (mereka)
yang menyia-nyiakannya.” Mereka pun duduk bersimpuh, kemudian
bertanya. Ia lalu berkata: : “Seperti inilah seharusnya menuntut ilmu itu.”39
6. Mengajukan pertanyaan dengan sopan dan mendahuluinya dengan doa,
seperti; Ghafarallahu laka.
7. Mengagungkan guru tanpa berlebih-lebihan. Diriwayatkan bahwa para ulama
selalu menghormati gurunya dengan sebaik-baik penghormatan, sampai-
sampai Imam Asy-Syafi‟i merobek kertas dengan sangat perlahan karena
merasa segan dengan kehadiran Imam Malik.40
8. Dilarang memotong pembicaraan guru ketika ia menjelaskan sesuatu. Begitu
juga jika gurunya melakukan kesalahan dalam menjelaskan pelajaran, tidak
boleh menegurnya didepan khalayak ramai. Syaikh Thasyakbury berkata:
“Dan janganlah ia (murid) menelisiki kesalahan dan kekeliruan gurunya, dan
menakwilkan kesalahan-kesalahan gurunya kepada kemungkinan yang
terbaik.”41
9. Apabila guru menjelaskan permasalahan yang sudah ia ketahui, hendaknya
mendengarkannya seakan-akan ia belum pernah mendengarkan hal itu
sebelumnya.
10. Tidak terburu-buru untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru
atau orang lain kepadanya.
Sedangkan adab-adab yang berkaitan dengan pelajaran, ialah:
1. Mempunyai obsesi yang tinggi terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya.
2. Bertahap dalam mempelajari sesuatu. Dan hendaknya dimulai dari
mempelajari Al-Qur‟an lalu hadits dan seterusnya.
3. Tidak memulai pelajaran dari perbedaan pendapat dikalangan ulama atau
manusia secara umum.
4. Menjaga sopan santun terhadap kawan sejawatnya.
5. Rajin mengulang-ulang pelajaran yang telah ia pelajari disetiap kesempatan.
39
Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 33 40 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 71 41 Abdul Hakim Al-Anis, hlm. 48
22
6. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang yang belum
mengetahuinya.
Adab-adab ini, walaupun terlihat sangat sederhana tetapi merupakan kunci bagi seorang
penuntut ilmu untuk mendapatkan keberkahan dari ilmu yang ia pelajari. Jabir bin
Hayyan menegaskan akan pentingnya menjaga adab terhadap guru sekaligus terhadap
ilmu itu sendiri:
“Menurutnya seorang anak didik harus bersikap lemah lembut menerima perkataan
gurunya dari segara sisi. Janganlah ia menentangnya dalam suatu perkara. Alasannya
ialah karena pundi-pundi ilmu seorang guru tidak akan tampak bagi murid kecuali jika
ia merasa tenang bersamanya dan memujinya dengan pujian yang luhur. Itu karena
kedudukan seorang guru ialah kedudukan ilmu itu sendiri. Orang yang menyelisihi ilmu
akan menyelisihi kebenaran, sedang menyelisihi kebenaran akan jatuh pada kesalahan
dan kekeliruan, dan hal itu tidak diinginkan orang yang berakal. Dan jika seorang murid
belum mampu mampu mentaati gurunya sejauh itu, maka sang guru hanya akan
mengajarkan ilmu yang terbatas.”42
IV. PENUTUP
Manusia dalam pandangan islam, mempunyai keunggulan dan kelebihan daripada
makhluk Allah lainnya, oleh karena itu ia berperan sebagai hamba sekaligus khalifah
Allah di muka bumi. Untuk mengemban amanah itulah, pendidikan menjadi kunci bagi
kemuliaan manusia.
Pendidikan dalam islam bukan hanya sebatas proses transfer ilmu, melainkan sebuah
kerja besar dalam membentuk sebuah peradaban yang menerapkan nilai-nilai suci yang
luhur. Maka setiap manusia diwajibkan untuk terlibat dalam proses pendidikan, baik
sebagai subyek ataupun obyek. Dalam islam, seseorang yang diluar proses belajar
berada dalam bahaya karena ia bersama kebodohan.
Manusia sebagai subyek pendidikan adalah sebagai pendidik. Pada dasarnya, Allah
SWT memberikan tanggung jawab kepada setiap orang tua untuk memberikan
pendidikan yang terbaik untuk mengajarkan hukum-hukum Allah. Kemudian kewajiban
itu dibebankan kepada setiap orang berilmu untuk mengajarkan apa yang ia ketahui
42 Said Isma’il Ali, hlm. 332
23
kepada orang lain. Di sisi lain, setiap muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu kepada
mereka yang lebih mengetahui.
Islam telah menetapkan adab-adab kepada semua yang terlibat dalam dunia pendidikan,
baik pendidik ataupun peserta didik. Adab-adab ini menunjukkan bahwa islam
menghargai ilmu sebagai nilai-nilai yang sangat penting untuk dimiliki sekaligus
diamalkan agar bermanfaat di dunia dan akhirat. Adab-adab ini juga menunjukkan
keunggulan pendidikan islam yang lebih mengedepankan terbentuknya karakter
manusia bertakwa dengan ilmu pengetahuan daripada manusia yang pengetahuannya
tidak berdampak pada kepribadian dan perilakunya.
Keunggulan pendidikan islam juga terlihat jelas dalam peran manusia dalam pendidikan
-baik sebagi pendidik atau peserta didik- yang dinilai sebagai ibadah dan ditujukan
untuk meraih ridha Allah SWT semata. Begitupun dengan adab-adab yang dikaitkan
dalam proses pendidikan ialah agar dalam mencari ilmu manusia semakin dekat kepada
kebenaran, yaitu jalan Allah SWT. Wallahu „alam bishowab.
24
V. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu‟thi, Yusuf, Tarbiyatul Muslim fi „Alam Mu‟ashir, Kuwait: Shunduq
Waqafi Lits-Tsaqofah wal-Fikr, 1998.
Al-A‟sar, Shafa Yusuf, Ta‟lim min Ajli Tafkir, Kairo: Dar al-Quba, 1998.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, at-Tarbiyah fil-Islam, Kairo: Dar al-Ma‟arif bimishr,
1968.
Al-Anis, Abdul Hakim, Adab al-Muta‟allim tijaha al-Mu‟allim, Dubai: Da‟irah
Asy-Syu‟un Al-Islamiyyah wa Al-Amal Al-Khairi, 2008.
Ali, Said Isma‟il, Ittijahat al-Fikru at-Tarbawi al-Islamy, Kairo: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1991.
Ali, Said Ismail, Falsafat at-Tarbiyah al-Mu‟ashirah, Kuwait: Majlis Al-Wathani
li Ats-Tsaqofah, 1978.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar Asy-Sya‟b.
Al-Harby, Khalid Said bin Ahmad, Usus al-Jaudah at-Ta‟limiyyah fii I‟dad wa
tadrib al-Mu‟allim min mandzur al-Islamy, Tesis Magister pada Umm al-Qura
University; tidak diterbitkan.
Ibnu Abdil Barr, Abu Umar Yusuf, Jami‟ bayan al-Ilm wa Fadhlihi, Tahqiq: