Memahami dan Menjelaskan Definisi Defisiensi ImunGangguan
defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh
kerusakan herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau
dapat terjadi akibat efek sekunder dan penyakit lain (misalnya
infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas atau
kemoterapi). Dan penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon
imun akibt hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid.
Defisiensi imun tersebut merupakn salah satu jenis defisiensi
jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari
berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul
sekunder oleh karena faktor lain.Penyakit defisiensi imun adalah
defek salah satu komponen system imun yang dapat menimbulkan
penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif. Penyakit
imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas
atau penurunan jumlah sel limfoid.Memahami dan Menjelaskan
Klasifikasi Defisiensi Imun1. Defisiensi Imun Non-Spesifik0.
Defisiensi KomplemenDapat berakibat meningkatnya insiden infeksi
dan penyakit autoimun (SLE), komponen komplemen diperlukan untuk
membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit
autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan
defisiensi komplemen adalah herediter.0. Defisiensi Komplemen
KongenitalMenimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE
dan glomerulonefritis). Defisiensi inhibitor esterase C1
(berhubungan dengan angioedema herediter, penyakit yang ditandai
dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Menimbulkan
aktifitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler) Defisiensi C2 dan C4
(menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan
eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen) Defisiensi C3
(menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang berhubungan
dengan infeksi mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti fragmen
kemotaktik C5 tdak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi C3b tidak
diendapkan di membrane dan terjadi gangguan opsonisasi) Defisiensi
C5 (menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang
berhubungan dengan gangguan kemotaksis) Defisiensi C6, C7 dan C8
(meningkatkan kerentanan terhadap septikemi, meningokok dan
gonokok)
0. Defisiensi Komplemen FisiologikDitemukan pada neonatus
disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah.0.
Defisiensi Komplemen DidapatDisebabkan oleh depresi sintesis
(sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori). Defisiensi Clq,r,s
(terjadi secara bersamaan dengan penyakit autoimun terutama pada
penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi
bakteri) Defisiensi C4 (ditemukan pada beberapa penderita LES)
Defisiensi C2 (paling sering terjadi) Defisiensi C3 (menunjukkan
infeksi bakteri rekuren) Defisiensi C5-C8 (kerentanan yang
meningkat terhadap infeksi neseria) Defisiensi C9 (jarang
ditemukan)
0. Defisiensi Interferon dan lisozim1. Interferon
kongenitalMenimbulkan infeksi mononukleosis fatal1. Interferon dan
lisozim didapatPada malnutrisi protein/kalori
0. Defisiensi Sel NK2. Defisiensi KongenitalPada penderita
osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA, dan
kekerapan autoantibodi meningkat.2. Defisiensi DidapatAkibat
imunosupresi atau radiasi.
0. Defisiensi Sistem fagositMenyebabkan infeksi berulang,
kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan
jumlah neutrofil yang menurun, resiko meningkat apabila jumlah
fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai sel PMN.3.
Defisiensi KuantitatifTerjadi neutropenia/granulositopenia yang
disebabkan oleh menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi.
Penurunan produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada
kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel
hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun
akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin). 3. Defisiensi
KualitatifMengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis,
dan membunuh mikroba intrasel.1. Chronic Granulomatous Disease
(infeksi rekuren mikroba gram dan +)1. Defisiensi G6PD (menyebabkan
anemia hemolitik)1. Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu
kemampuan membunuh benda asing)1. Chediak-Higashi Syndrome
(abnormalitas lisosom sehingga tidak mampu melepas isinya,
penderita meninggal pada usai anak)1. Job Syndrome (pilek berulang,
abses staphylococcus, eksim kronis, dan otitis media. Kadar IgE
serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).1. Lazy Leucocyte
Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba berat. Jumlah
neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi terganggu)1.
Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis
buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu.
Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan
luka)
1. Defisiensi Imun Spesifik1. Defisiensi Kongential/primerSangat
jarang terjadi.0. Sel BDefisiensi sel B ditandai dengan penyakit
rekuren (bakteri)1. X-linked hypogamaglobulinemia (hanya terjadi
pada bayi laki-laki tampak pada usia 5-6 bulan sewktu IgG asal ibu
mulai menghilang. Penyakit ini jarang terjadi)1.
Hipogamaglobulinemia sementara (terjadi pada bayi bila sibtesi IgG
terlambat. Biasa nya usia antara 6-7 bulan. Sebabnya tidak jelas,
tetapi berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th)1.
Common variable hypogammaglobulinemia (penyakit berhubungan dengan
insidens autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal,
kemampuan memproduksi dan atau melepas Ig mengalami gangguan .kadar
Ig menurun seiring dengan memberatnya penyakit.1.
Disgamaglobulinemia ( adanya penurunan kadar satu atau lebih Ig,
sedang kadar Ig yang lain normal atau meningkat.0. Sel TDefisensi
sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang
rekuren1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital) (penderita ini
sangat sedikit memilki sel T dalam darah, KGB, limpa)1. Kandidiasis
mukokutan kronik (infeksi jamur yang disertai dengan gangguan
fungsi sel T yang selektif)0. Kombinasi sel T dan sel B2. Severe
combined immunodeficiency disease (SCID, defisiensi kombinasi sel B
dan sel T yang berat)2. Sindrom nezelof (golongan penyakit dengan
gambaran imun yang sama. Imunitas sel T tampak jelas menurun.
Defisiensi sel B variable dan kadar Ig spesifik dapat rendah,
normal atau meningkat)2. Sindrom wiskott-aldrich (menunjukkan
trombositopenia)2. Ataksia telangiektasi (penyakit autosomal
resesif mengenai saraf, endokrin, dan system vascular)2. Defisiensi
adenosin deaminase (adenosine deaminase tidak di temukan di semua
sel, hal ini berbahaya, karena bila ahal itu tejadi kadar bahan
toksik berupa ATP dan deoksi-ATP dalam sel limfoid akan
meningkat)1. Fisiologik1. KehamilanDefisiensi imun seluler dapat
diteemukan pada kehamilan. Hal ini karena pningkatan aktivitas sel
Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast.
Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen1.
Usia tahun pertamaSistem imun pada anak usia satu tahun pertama
sampai usia 5 tahun masih belum matang.1. Usia lanjutGolongan usia
lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus dengan
fungsi yang menurun.
1. Defisiensi imun didapat/sekunder2. Malnutrisi 2. Infeksi2.
Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedahObat sitotoksik,
gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis
neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi
sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun
selular.2. PenyinaranDosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid,
dosis rendah menekan aktivitas sel Ts secara selektif2. Penyakit
beratPenyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin,
mieloma multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan
sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan
diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum
jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada
diare2. Kehilangan Ig/leukositSindrom nefrotik penurunan IgG dan
IgA, IgM norml. Diare (linfangiektasi intestinal, protein losing
enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein.2. Stres2.
Agammaglobulinmia dengan timomaDengan timoma disertai dengan
menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia
sel darah merah juga dapat menyertai
1. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Memahami dan Menjelaskan Etiologi Defisiensi ImunDapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :1. Defisiensi imun primer0. Kongenital/genetik
Terkadang bermanifestasi, tetapi keadaan klinis terjadi pada usia
lebih lanjut.1. Defisiensi imun sekunder1. Malnutrisi1. Kanker
generalisata1. Pengobatan imunosupresan1. Infeksi penyakit
(HIV/AIDS)1. Immatur limfosit
Selain itu dapat diakibatkan oleh :0. Defek geneticDefek
gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal
ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin)Defek gen
tunggal khusus pada sistem imun (misal defek tirosin kinase
padaX-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada
reseptor sel T). Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik
(misalcommon variable immunodeficiency).0. Obat atau
toksinImunosupresan (kortikosteroid, siklosporin), Antikonvulsan
(fenitoin).0. Penyakit nutrisi dan metabolicMalnutrisi ( misal
kwashiorkor), Protein losing enteropathy(misal limfangiektasia
intestinal), Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin
II).0. Defisiensi mineral Seng pada Enteropati Akrodermatitis0.
Kelainan kromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA
selektif (trisomi 18).0. InfeksiImunodefisiensi transien (pada
campak dan varicella )Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV,
infeksi rubella kongenital).
Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Defisiensi
ImunDibagi menjadi 2 tahap :1) Uji tapis2) Uji lanjutan
Limfosit BLimfosit TFagositKomplemen
Total WBC Hitung limfosit total Total WBC Titer C3 dan C4
Hitung netrofil Uji kulit tipe lambat Hitung jenis leukosit
Aktivitas CH50
Hitung limfosit X foto thorax Uji NBT (Nitro blue tetrazolium),
kemiluminesensi : fungsi metabolic neutrofil
Hitung eosinofil Titer IgE
Pemeriksaan kadar :a) IgGb) IgMc) IgA Ab monoclonal dengan
Marker (CD3, CD4, CD8) Reduksi dihidrorhodamin Opsonin assay
HLA typing Phagocytosis assay Component assay
Analisa kromosom Bacterial assay Hemolysis assay
Memahami dan Mempelajari Infeksi HIV/AIDSMemahami dan
Menjelaskan Definisi HIV/AIDSHIV adalah termasuk retrovirus dari
family retroviridae dan genus lentivirus yang menginfeksi system
imun terutama sel CD4+ sel T yang memiliki reseptor dengan afinitas
yang tinggi untuk HIV.AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit
kerusakan system kekebalan tubuh; bukan pemyakit bawaan tetapi
didapat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh human
immunodeficiency virus (HIV).Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi
HIV/AIDS Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada
bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan
Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibati nfeksi sekunder pada
paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).Sejak pertengahan
tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan
narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna
narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang
merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat
6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (DjauzidanDjoerban, 2007).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada periode
Juli-September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif
di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang.Sampai
akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS
dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang
tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS
tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran
tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).Perkembangan
epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia,
meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah.
Diperkirakan pada tahun 2006 prevalensi HIV sekitar 0,16% pada
orang dewasa. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di
Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal jumlah kasus
maupun faktor-faktor yang mempengaruhi. Epidemic HIV di Indonesia
berada pada kondisi epidemic terkonsentrasi dengan kecenderungan
menjadi epidemic meluas pada beberapa provinsi.Seperti diketahui,
pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan berbagai
penyakit termasuk TB. Dari data yang diketahui bahwa epidemik HIV
menunjukan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemic TB di seluruh
dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat.
Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan
banyak bukti menunjukan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil
dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB
merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama
kematian pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).Tiap tahun diperkirakan
terjadi 239 kasus TB baru per 100.000 penduduk dengan perkiraan
prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO
Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang
menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang
seroprevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2006
menunjukan angka prevalensi HIV sebesar 2% diantara pasien TB.
Sedangkan survey yang sama di propinsi Papua menunjukan angka
sebesar 15,4% Jawa Timur sebesar 1,8% dan di Bali sebesar 3,9%.
Berdasarkan Laporan Triwulan, pengidap Infeksi HIV dan Kasus AIDS
sampai dengan 31 Maret 2008 (Kemkes RI), infeksi oportunistik
terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara
118.868 kasus AIDS.(Depkes RI, 2010)Memahami dan Menjelaskan
Etiologi HIV/AIDSVirus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam
famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan
RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali
selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain,
HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik
laten) dan utamanya menyebabkan tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya.
Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit
untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit. Penularan:HIV menular melalui
hubungan seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis,
pinjam meminjam alat suntik (jarum, semprit, kapas, tempat
mengaduk) di antara para pengguna narkoba (IDU= Injecting Drug
User), transfusi darah dan transplantasi organ yang tidak di
skrining, tato, tindik, dan penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan, persalinan, dan menyusui. Karena itu mereka yg beresiko
tinggi terinfeksi HIV adalah: Wanita dan pria yang berganti-ganti
pasangan seks, para pekerja seks dan langganannya, dan mereka yang
melakukan hubungan seks yang tidak wajar (melalui anus atau mulut).
Para pengguna narkoba yang memakai alat suntik secara bergantian.
Bayi yang dikandung, dilahirkan, dan disusui oleh ibu yang tertular
HIV. Transfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tidak
diskrining, akupunktur, penindikan, pentatoan dengan alat yang
tercemar HIV. LO.2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi
HIV/AIDS Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi
genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus
yang lengakp dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA
dalam inti berbentuk peluru dimana p24 merupakan komponen
strukturan yang utama. Setelah virus masuk, target utamanya adalah
limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Virus HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA
yang identik ke dalam sel CD4+ dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase dan virus akan melakukan pemrograman ulang materi
genetic sel yang terinfeksi untuk membuat DNA. DNA ini akan
dsatukan ke dalam nukleus sel sebagai provirus dan kemudian
menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV akan
seumur hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala
tidak khas seperti demam, nyeri menelan, atau batu pada 3-6 minggu
setelah terinfeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi
primer.Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV
pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi
(imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan
aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler. Setelah infeksi primer,
terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan
yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun
terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi,
viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun
tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten
klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan
terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10
milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya.
Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus
hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus
ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin
bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).Akhirnya pasien akan
menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang
lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi
yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang
ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).Memahami dan Menjelaskan
Manifestasi Klinik HIV/AIDSKlasifikasi HIV pada orang dewasa
menurut CDC (Center for Disease Control) berdasarkan gejala klinis
dan diagnosis laboratoriumnya dibagi menjadi empat grup:
1. Infeksi akut HIVKeadaan ini disebut sebagai infeksi primer
HIV atau sindrom serokonversi akut. Waktu dari paparan virus sampai
timbulnya keluhan antara 2-4 minggu. Infeksi akut biasanya
asimtomatis, tapi beberapa akan menunjukkan keluhan seperti demam
pada influenza. Pada masa ini, diagnosa jarang dapat ditegakkan,
salah satunya karena tes serologi standar untuk antibodi terhadap
HIV masih memberikan hasil negatif (window periode).
2. Infeksi seropositif HIV asimtomatisPada orang dewasa terdapat
periode laten infeksi HIV yang bervariasi dan lama untuk timbulnya
penyakit yang terkait HIV/AIDS. Periode asimtomatisnya bisa panjang
mulai dari beberapa bulan hingga 10 tahun atau lebih. Pada masa
ini, biarpun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi bila
diperiksa darahnya akan menunjukkan seropositif antibodi p24 dan
gp41. Hal ini akan sangat berbahaya dan berpotensi tinggi
menularkan infeksi HIV pada orang lain.
3. Persisten generalised lymphadenopaty/ PGLPada masa ini
ditemukan pembesaran nodus limfe yang meliputi sedikitnya dua
tempat selain inguinal, dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan
yang menyebabkan pembesaran nodus limfe minimal selama tiga bulan.
Antibodi yaitu p24 dan g41 biasanya terdeteksi. Beberapa penderita
mengalami diare kronis dengan penurunan berat badan, sering
diketahui sebagai slim disease.
4. Gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDsHampir semua orang yang
terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan
gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Progresivitas infeksi
tergantung pada karakteristik virus dan hospes. Karakter virus
meliputi HIV-1 dan HIV-2, sedangkan karakter hospes meliputi usia
(40 tahun), infeksi yang menyertai-nya, dan faktor genetik.Yang
utama dari grup ini adalah turunnya jumlah limfosit CD4+, biasanya
dibawah 100/mm3. Stadium ini kadang dikenal sebagai full blown AIDS
.Adapun kriteria gejala pada dewasa menurut WHO : Gejala mayor:
Penurunan berat badan >10% berat badan Diare kronis lebih dari 1
bulan Demam lebih dari 1 bulanGejala minor: Batuk-batuk selama
lebih dari 1 bulan Pruritus dermatitis menyeluruh Infeksi umum yang
rekuren (misalnya herpes zoster) Kandidiasis orofaringeal Infeksi
herpes simplek kronis progresif atau yang meluas Limfadenopati
generalisata
Klasifikasi infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa,
klasifikasi tersebut berdasarkan gejala dan beratnya imunosupresi
yang terjadi pada anak. Klasifikasi ini sendiri penting untuk
mengetahui derajat beratnya penyakit HIV anak. Adapun kriteria
gejala menurut WHO untuk anak: Gejala mayor: Berat badan turun atau
pertumbuhan lambat yang abnormal Diare kronis >1 bulan Demam
>1 bulanGejala minor: Limfadenopati generalisata Kandidiasis
orofaringeal Infeksi umum yang rekuren Batuk-batuk selama lebih
dari 1 bulan Ruam kulit yang menyeluruh
Gejala-gejala Utama AIDSBerbagai gejala AIDS umumnya tidak akan
terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang
baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.Infeksi
oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.HIV mempengaruhi
hampir semua organ tubuh.Penderita AIDS juga berisiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan
kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.Biasanya penderita
AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan,
merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik
tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat
kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat
hidup pasien.Memahami dan Menjelaskan Diagnosis HIV/AIDSBanyak
orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi
karena mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali
terinfeksi HIV.Sebagian dari mereka memiliki gejala mirip flu dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah terpapar virus.Mereka
mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi pembesaran
kelenjar getah bening di leher.Gejala-gejala ini biasanya hilang
dengan sendirinya dalam beberapa minggu.Setelah itu, orang tersebut
merasa normal dan tidak memiliki gejala.Fase ini sering berlangsung
tanpa gejala selama bertahun-tahun.Pemeriksaan darah adalah cara
paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari
antibodi terhadap virus HIV.Orang yang terkena virus harus segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium.Tindak lanjut tes mungkin
diperlukan, tergantung pada waktu awal paparan.
Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:
ELISA ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk
mendeteksi infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot
biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes
ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien tersebut memiliki HIV,
pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.
ELISA cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena
antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, hasil tes mungkin
negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah
terinfeksi.Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini,
pasien mungkin memiliki tingkat penularan tinggi.
Pemeriksaan Air LiurPad kapas digunakan untuk memperoleh air
liur dari bagian dalam pipi. Pad ditempatkan dalam botol dan
diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil dapat diperoleh
dalam tiga hari.Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes
darah.
Viral Load Test Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus
HIV dalam darah.Umumnya, tes ini digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan atau mendeteksi dini infeksi HIV. Tiga teknologi yang
digunakan untuk mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA
(bDNA) and Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA).
Prinsip-prinsip dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan
urutan DNA yang terikat secara khusus pada virus. Penting untuk
dicatat bahwa hasil dapat bervariasi antara tes.
Western Blot Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif
yang digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif.
Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding HIV/AIDSUntuk
diagnosis banding infeksi HIV yang berat yang perlu diingat di
antaranya ialah severe combined immunodeficiency disease (SCID) dan
hipo-gamaglobulinemia. Oleh karena secara klinis infeksi HIV yang
berat sulit dibedakan dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV.
Walaupun sebagian kecil dari infeksi HIV disertai
hipo-gamaglobulinemia, sebagian infeksi HIVpada anak disertai oleh
hipergama-globulinemia.Memahami dan Menjelaskan Komplikasi
HIV/AIDSKebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel
T. Karena sel T yang diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat
terjadi infeksi oportunistik. Komplikasi-komplikasi pada pasien
yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat anti-retroviral, yang
dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART),
sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV.
Obat-obat ini membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan
sistem kekebalan pasien hingga mendekati aktivitas normal dan
mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga
atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan
resistensi.
Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi
oportunistik:
a. Tuberkulosis (TB)Di negara-negara miskin, TB merupakan
infeksi oportunistik yang paling umum yang terkait dengan HIV dan
menjadi penyebab utama kematian di antara orang yang hidup dengan
AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan banyak ahli
menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.
b. SalmonelosisKontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari
makanan atau air yang telah terkontaminasi. Gejalanya termasuk
diare berat, demam, menggigil, sakit perut dan, kadang-kadang,
muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat menjadi
sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang
HIV-positif.
c. Cytomegalovirus (CMV)Virus ini adalah virus herpes yang umum
ditularkan melalui cairan tubuh seperti air liur, darah, urine,
semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman
(tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah,
virus menjadi aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada
mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.
d. KandidiasisKandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV.
Hal ini menyebabkan peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal
pada selaput lendir, lidah, mulut, kerongkongan atau vagina.
Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di mulut atau
kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.
e. Cryptococcal MeningitisMeningitis adalah peradangan pada
selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang
belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf
pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada
dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau
kelelawar.
f. ToxoplasmolisisInfeksi yang berpotensi mematikan ini
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penularan parasit ini disebabkan
terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja kucing yang
terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.
g. KriptosporidiosisInfeksi ini disebabkan oleh parasit usus
yang umum ditemukan pada hewan. Penularan kriptosporidiosis terjadi
ketika menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit tumbuh
dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan diare kronis pada
orang dengan AIDS.
Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:
h. Sarkoma KaposiSarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding
pembuluh darah. Meskipun jarang terjadi pada orang yang tidak
terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada orang dengan
HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah
muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit
lebih gelap, lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma
Kaposi juga dapat mempengaruhi organ-organ internal, termasuk
saluran pencernaan dan paru-paru.
i. LimfomaKanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih.
Limfoma biasanya berasal dari kelenjar getah bening. Tanda awal
yang paling umum adalah rasa sakit dan pembengkakan kelenjar getah
bening ketiak, leher atau selangkangan.
Komplikasi lainnya:
j. Wasting SyndromePengobatan agresif telah mengurangi jumlah
kasus wasting syndrome, namun masih tetap mempengaruhi banyak orang
dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan paling sedikit
10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan diare,
kelemahan kronis dan demam.
k. Komlikasi NeurologisWalaupun AIDS tidak muncul untuk
menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa menyebabkan gejala
neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan
kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling
umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan
perilaku dan fungsi mental berkurang.Memahami dan Menjelaskan
Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDSSkrining HIVMempunyai makna melakukan
pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu, sementara uji
diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang
dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC
menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk
dilakukan skrining, karena:a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius
yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya gejala. b. HIV dapat
dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif. c.
Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup
bila pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat
yang akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi.
Di antara wanita hamil, skrining secara substansial telah terbukti
lebih efektif dibandingkan pemeriksaan berdasarkan risiko untuk
mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan perinatal. CDC
merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk
setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan
kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga
merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan
rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib
HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ.
Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan
tentara atau tenaga kerja imigran.Panduan WHO mengenai PITC tahun
2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat diterapkan pada wilayah
dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu daerah
dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV
yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas.
Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya
ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS,
pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan
laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada subpopulasi
tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi
tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini
menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi;
angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai
1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang
meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum,
dengan prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.Pada semua tingkat
epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang dewasa,
remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan
infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu
yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau
malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak
membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan
untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.Pada
daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk
diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk
pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post
partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan
untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia
dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan
pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga
berencana.Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau
terkonsentrasi, PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada
tempat pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk
populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan
pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV
merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang
berikut:a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan
di mana HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu
diagnosis banding. b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi
menular seksual. c. Semua partner seksual dari laki-laki atau
wanita yang diketahui HIV positif. d. Semua laki-laki dengan
riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki e. Semua wanita
partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki. f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik. g.
Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari
negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%). h. Semua
laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam
Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah
dengan prevalensi HIV yang tinggi.
Uji Konfirmasi HIVPemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan
pemeriksaan tahap kedua setelah uji saring. Pemeriksaan ini
diperlukan ketika hasil uji saring positif atau positif palsu
(hasil uji saring menyatakan positif, namun sebenarnya tidak
terinfeksi HIV). Bila pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil
positif, maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu
terinfeksi HIV.
a. Model Skrining
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV,
antara lain:28 1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary
counselling and testing)
Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk
mengetahui status HIV-nya ini masih dianggap penting bagi
keberhasilan program pencegahan HIV. Konseling pra tes dapat
dilakukan secara individu maupun berkelompok. UNAIDS/WHO mendukung
penggunaan uji cepat sehingga hasilnya dapat diketahui segera dan
dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling pasca tes baik
untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.28
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan
tanda dan gejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait
HIV atau AIDS, termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai
pemeriksaan rutin.28 Pada pemeriksaan ini, pasien sebaiknya
diberikan informasi yang cukup sehingga pasien dapat memutuskan
apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau tidak. Untuk
keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan,
seperti pasien psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan
dapat dilakukan bila hasilnya bermanfaat bagi pasien. Jika ini
terjadi, harus ada usaha untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan
kepada pasien dan memberitahukan hasil tersebut dengan konseling.29
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan
(Provider-Initiated Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada
pasien yang: - Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit
menular seksual (PMS) di klinik umum atau khusus infeksi menular
seksual (IMS).28, 70 - Sedang hamil, untuk mengatur pemberian
antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayi.28 -
Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens
HIV yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak
memiliki gejala.28 Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan
yang jelas untuk mendukung sistem perujukan ke pelayanan konseling
pascates HIV bagi semua pasien yang diperiksa, yang menekankan pada
pencegahan dan pemberian dukungan medis serta psikososial bagi
pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada pemeriksaan jenis ini,
juga dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja tidak
penuh seperti pada pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal
yang harus diketahui pasien pada saat melakukan informed consent
adalah: - Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk
pencegahan. - Hak untuk menolak. - Pelayanan tindak lanjut yang
ditawarkan. - Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk
mengantisipasi keharusan untuk menginformasikan kepada siapa saja
yang berisiko yang mungkin tidak sadar bahwa mereka terpajan dengan
HIV.
Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis,
misalnya untuk tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status
HIV-nya. Selain itu tenaga medis juga dapat menawarkan pemeriksaan
HIV kepada wanita hamil untuk memberikan profilaksis antiretroviral
untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Konseling pada
situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa ibu untuk
mengikuti program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi
tersebut, pasien tetap memiliki hak untuk menolak.28
4. Skrining HIV wajib UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya
skrining wajib bagi HIV dan penyakit yang dapat ditransmisikan
lewat darah bagi semua darah yang ditujukan untuk transfusi atau
pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan sebelum
dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan
cairan atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft
kornea, dan transplantasi organ.28,29 UNAIDS/WHO tidak mendukung
pemberlakuan skrining wajib pada tingkat pelayanan kesehatan
individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya dapat mengubah
perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain. Menyadari
bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk
tujuan imigrasi dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan
wajib untuk perekrutan dan pemantauan kesehatan tentaranya,
UNAIDS/WHO merekomendasikan agar pemeriksaan tersebut dilakukan
hanya bila diiringi dengan konseling baik bagi yang hasilnya
positif maupun negatif dan sistem perujukan ke pelayanan medis dan
psikososial bagi mereka yang mendapat hasil positif.28,29 Menyadari
pentingnya menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat layanan
pencegahan, pengobatan, dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada bulan
Mei 2007 merilis panduan operasional PITC di tempat pelayanan
kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan UNAIDS/WHO mengenai
pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh VCT dilengkapi
dengan PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat
epidemi meluas, dan fasilitas kesehatan spesialistik (seperti
klinik TB, klinik antenatal, dan klinik infeksi menular seksual) di
daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi.30 Tahun
2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan skrining HIV
menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan
kesehatan dengan tetap menjaga hak pasien untuk menolak serta
menjamin hubungan tenaga kesehatan dan pasien yang kondusif.
Rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan kesehatan,
termasuk ruang gawat darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik
infeksi menular seksual, tuberkulosis, klinik bagi penyalahgunaan
zat, klinik umum, serta pelayanan kesehatan tingkat primer. Tujuan
dari rekomendasi CDC ini adalah untuk meningkatkan jumlah skrining
HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan, termasuk ibu
hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV;
mengidentifikasi dan melakukan konseling terhadap orang yang belum
diketahui status HIV-nya serta merujuknya ke tempat pelayanan
kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk mengurangi transmisi HIV
perinatal di Amerika Serikat.11
Metode, Cara, dan Target Skrining
CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara
rutin untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana
pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga
merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan
rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib
HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ.
Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan
tentara atau tenaga kerja imigran.28,29 Panduan WHO mengenai PITC
tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat diterapkan pada
wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda-beda, yaitu
daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat
epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi
yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah
infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku
berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks
dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada
subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat
epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di
subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal
ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi;
angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai
1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang
meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum,
dengan prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.33 Pada semua
tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang
dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang
sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang
lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal
atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak
membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan
untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.33 Pada
daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk
diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk
pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post
partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan
untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia
dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan
pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga
berencana.33 Untuk daerah dengan tingkat epidemi yang rendah atau
terkonsentrasi, PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada
tempat pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk
populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan
pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.33 Panduan nasional
Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan
pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:34 1. Semua
pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV,
termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.
2. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual. 3.
Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV
positif. 4. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual
dengan laki-laki 5. Semua wanita partner seksual dari laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki. 6. Semua pasien dengan
riwayat penggunaan narkoba suntik. 7. Semua laki-laki dan wanita
yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi (>1%). 8. Semua laki-laki dan wanita yang
berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris dengan pasangan
yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi.
Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of
Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006
mengeluarkan panduan skrining sebagai berikut:35 1. Semua wanita
hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV dengan
konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela.
Skrining harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari
standar pelayanan antenatal, meskipun klien tetap wajib
diinformasikan mengenai manfaat dan risiko pemeriksaan ini serta
hak mereka untuk menolak. Mereka tidak boleh diperiksa tanpa
sepengetahuannya. 2. Konseling pre-tes dan keputusan pasien
mengenai pemeriksaan ini harus didokumentasikan di dalam rekam
medik pasien. 3. Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap
berhak mendapatkan pelayanan antenatal yang optimal.
4. Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan
pertama ke pelayanan antenatal. 5. Pasien yang hasil tesnya negatif
dan berperilaku risiko tinggi harus dites ulang setiap trimester.
6. Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan
tidak diketahui status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti
pemeriksaan HIV ketika masuk RS untuk melahirkan. Wanita yang
berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak diketahui status HIV-nya
harus diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis HIV harus
diberikan pada bayi baru lahir. 7. Wanita hamil yang hasil tesnya
positif selanjutnya ditangani oleh dokter yang berpengalaman dalam
menatalaksana wanita hamil yang positif HIV. Memahami dan
Menjelaskan Tatalaksana HIV/AIDSTatalaksana yang perlu dan harus
dilakukan terhadap penderita HIV pada dasarnya ditujukan untuk
mengeliminasi virus penyebab, mencegah dan menanggulangi infeksi
bakteri dan infeksi oportunistik yang terjadi dan mengatur kembali
system imun yang terganggu.1) Tindakan suportif2) Penanggulangan
infeksi bakteri3) Penganggulangan infeksi oportunistik4) Pengobatan
LIP (lymphocytic interstisial pneumonitis)5) Pengobatan
retrovirusPengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral terbagi
dalam :1) Regimen ARV lini pertamaa) Golongan Nucleoside RTI (NRTI)
Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari Didanosine (ddl) 250 mg sekali
sehari (BB