Top Banner
Memahami dan Menjelaskan Definisi Defisiensi Imun Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas atau kemoterapi). Dan penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibt hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut merupakn salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder oleh karena faktor lain. Penyakit defisiensi imun adalah defek salah satu komponen system imun yang dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif. Penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Defisiensi Imun 1.  Defisiensi Imun Non-Spesifik a. Defisiensi Komplemen Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun (SLE), komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter. i. Defisiensi Komplemen Kongenital Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan glomerulonefritis).  Defisiensi inhibitor esterase C1 (berhubungan dengan angioedema herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Menimbulkan aktifitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler)  Defisiensi C2 dan C4 (menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen)  Defisiensi C3 (menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tdak diproduksi. Kompleks antigen- antibodi C3b tidak diendapkan di membrane dan terjadi gangguan opsonisasi)  Defisiensi C5 (menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis)  Defisiensi C6, C7 dan C8 (meningkatkan kerentanan terhadap septikemi, meningokok dan gonokok) ii. Defisiensi Komplemen Fisiologik Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah. iii. Defisiensi Komplemen Didapat Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori).
27

mandiri sken 4

Oct 10, 2015

Download

Documents

kartikawk

mandiri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Memahami dan Menjelaskan Definisi Defisiensi ImunGangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas atau kemoterapi). Dan penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibt hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut merupakn salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder oleh karena faktor lain.Penyakit defisiensi imun adalah defek salah satu komponen system imun yang dapat menimbulkan penyakit berat bahkan fatal yang secara kolektif. Penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid.Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Defisiensi Imun1. Defisiensi Imun Non-Spesifik0. Defisiensi KomplemenDapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun (SLE), komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.0. Defisiensi Komplemen KongenitalMenimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan glomerulonefritis). Defisiensi inhibitor esterase C1 (berhubungan dengan angioedema herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Menimbulkan aktifitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapiler) Defisiensi C2 dan C4 (menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen) Defisiensi C3 (menimbulkan reaksi berat yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tdak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi C3b tidak diendapkan di membrane dan terjadi gangguan opsonisasi) Defisiensi C5 (menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis) Defisiensi C6, C7 dan C8 (meningkatkan kerentanan terhadap septikemi, meningokok dan gonokok)

0. Defisiensi Komplemen FisiologikDitemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah.0. Defisiensi Komplemen DidapatDisebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori). Defisiensi Clq,r,s (terjadi secara bersamaan dengan penyakit autoimun terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri) Defisiensi C4 (ditemukan pada beberapa penderita LES) Defisiensi C2 (paling sering terjadi) Defisiensi C3 (menunjukkan infeksi bakteri rekuren) Defisiensi C5-C8 (kerentanan yang meningkat terhadap infeksi neseria) Defisiensi C9 (jarang ditemukan)

0. Defisiensi Interferon dan lisozim1. Interferon kongenitalMenimbulkan infeksi mononukleosis fatal1. Interferon dan lisozim didapatPada malnutrisi protein/kalori

0. Defisiensi Sel NK2. Defisiensi KongenitalPada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat.2. Defisiensi DidapatAkibat imunosupresi atau radiasi.

0. Defisiensi Sistem fagositMenyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai sel PMN.3. Defisiensi KuantitatifTerjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin). 3. Defisiensi KualitatifMengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan membunuh mikroba intrasel.1. Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram dan +)1. Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)1. Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh benda asing)1. Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)1. Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).1. Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi terganggu)1. Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka)

1. Defisiensi Imun Spesifik1. Defisiensi Kongential/primerSangat jarang terjadi.0. Sel BDefisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)1. X-linked hypogamaglobulinemia (hanya terjadi pada bayi laki-laki tampak pada usia 5-6 bulan sewktu IgG asal ibu mulai menghilang. Penyakit ini jarang terjadi)1. Hipogamaglobulinemia sementara (terjadi pada bayi bila sibtesi IgG terlambat. Biasa nya usia antara 6-7 bulan. Sebabnya tidak jelas, tetapi berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th)1. Common variable hypogammaglobulinemia (penyakit berhubungan dengan insidens autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal, kemampuan memproduksi dan atau melepas Ig mengalami gangguan .kadar Ig menurun seiring dengan memberatnya penyakit.1. Disgamaglobulinemia ( adanya penurunan kadar satu atau lebih Ig, sedang kadar Ig yang lain normal atau meningkat.0. Sel TDefisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang rekuren1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital) (penderita ini sangat sedikit memilki sel T dalam darah, KGB, limpa)1. Kandidiasis mukokutan kronik (infeksi jamur yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif)0. Kombinasi sel T dan sel B2. Severe combined immunodeficiency disease (SCID, defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat)2. Sindrom nezelof (golongan penyakit dengan gambaran imun yang sama. Imunitas sel T tampak jelas menurun. Defisiensi sel B variable dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal atau meningkat)2. Sindrom wiskott-aldrich (menunjukkan trombositopenia)2. Ataksia telangiektasi (penyakit autosomal resesif mengenai saraf, endokrin, dan system vascular)2. Defisiensi adenosin deaminase (adenosine deaminase tidak di temukan di semua sel, hal ini berbahaya, karena bila ahal itu tejadi kadar bahan toksik berupa ATP dan deoksi-ATP dalam sel limfoid akan meningkat)1. Fisiologik1. KehamilanDefisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan. Hal ini karena pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen1. Usia tahun pertamaSistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang.1. Usia lanjutGolongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun.

1. Defisiensi imun didapat/sekunder2. Malnutrisi 2. Infeksi2. Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedahObat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun selular.2. PenyinaranDosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah menekan aktivitas sel Ts secara selektif2. Penyakit beratPenyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare2. Kehilangan Ig/leukositSindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml. Diare (linfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein.2. Stres2. Agammaglobulinmia dengan timomaDengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat menyertai

1. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

Memahami dan Menjelaskan Etiologi Defisiensi ImunDapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1. Defisiensi imun primer0. Kongenital/genetik Terkadang bermanifestasi, tetapi keadaan klinis terjadi pada usia lebih lanjut.1. Defisiensi imun sekunder1. Malnutrisi1. Kanker generalisata1. Pengobatan imunosupresan1. Infeksi penyakit (HIV/AIDS)1. Immatur limfosit

Selain itu dapat diakibatkan oleh :0. Defek geneticDefek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin)Defek gen tunggal khusus pada sistem imun (misal defek tirosin kinase padaX-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T). Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misalcommon variable immunodeficiency).0. Obat atau toksinImunosupresan (kortikosteroid, siklosporin), Antikonvulsan (fenitoin).0. Penyakit nutrisi dan metabolicMalnutrisi ( misal kwashiorkor), Protein losing enteropathy(misal limfangiektasia intestinal), Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II).0. Defisiensi mineral Seng pada Enteropati Akrodermatitis0. Kelainan kromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA selektif (trisomi 18).0. InfeksiImunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital).

Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Defisiensi ImunDibagi menjadi 2 tahap :1) Uji tapis2) Uji lanjutan

Limfosit BLimfosit TFagositKomplemen

Total WBC Hitung limfosit total Total WBC Titer C3 dan C4

Hitung netrofil Uji kulit tipe lambat Hitung jenis leukosit Aktivitas CH50

Hitung limfosit X foto thorax Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolic neutrofil

Hitung eosinofil Titer IgE

Pemeriksaan kadar :a) IgGb) IgMc) IgA Ab monoclonal dengan Marker (CD3, CD4, CD8) Reduksi dihidrorhodamin Opsonin assay

HLA typing Phagocytosis assay Component assay

Analisa kromosom Bacterial assay Hemolysis assay

Memahami dan Mempelajari Infeksi HIV/AIDSMemahami dan Menjelaskan Definisi HIV/AIDSHIV adalah termasuk retrovirus dari family retroviridae dan genus lentivirus yang menginfeksi system imun terutama sel CD4+ sel T yang memiliki reseptor dengan afinitas yang tinggi untuk HIV.AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh; bukan pemyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV).Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi HIV/AIDS Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibati nfeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (DjauzidanDjoerban, 2007). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada periode Juli-September 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di Indonesia telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang.Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).Perkembangan epidemi HIV di Indonesia, termasuk yang tercepat di kawasan Asia, meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah. Diperkirakan pada tahun 2006 prevalensi HIV sekitar 0,16% pada orang dewasa. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor-faktor yang mempengaruhi. Epidemic HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemic terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemic meluas pada beberapa provinsi.Seperti diketahui, pasien HIV/AIDS adalah orang yang sangat rentan dengan berbagai penyakit termasuk TB. Dari data yang diketahui bahwa epidemik HIV menunjukan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemic TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus TB baru per 100.000 penduduk dengan perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB sebesar 0,8% secara nasional (WHO Report 2007). Sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang seroprevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 2006 menunjukan angka prevalensi HIV sebesar 2% diantara pasien TB. Sedangkan survey yang sama di propinsi Papua menunjukan angka sebesar 15,4% Jawa Timur sebesar 1,8% dan di Bali sebesar 3,9%. Berdasarkan Laporan Triwulan, pengidap Infeksi HIV dan Kasus AIDS sampai dengan 31 Maret 2008 (Kemkes RI), infeksi oportunistik terbanyak dilaporkan adalah TB, yaitu sebesar 6367 kasus di antara 118.868 kasus AIDS.(Depkes RI, 2010)Memahami dan Menjelaskan Etiologi HIV/AIDSVirus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik laten) dan utamanya menyebabkan tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit. Penularan:HIV menular melalui hubungan seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, pinjam meminjam alat suntik (jarum, semprit, kapas, tempat mengaduk) di antara para pengguna narkoba (IDU= Injecting Drug User), transfusi darah dan transplantasi organ yang tidak di skrining, tato, tindik, dan penularan dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan, dan menyusui. Karena itu mereka yg beresiko tinggi terinfeksi HIV adalah: Wanita dan pria yang berganti-ganti pasangan seks, para pekerja seks dan langganannya, dan mereka yang melakukan hubungan seks yang tidak wajar (melalui anus atau mulut). Para pengguna narkoba yang memakai alat suntik secara bergantian. Bayi yang dikandung, dilahirkan, dan disusui oleh ibu yang tertular HIV. Transfusi darah dan transplantasi organ tubuh yang tidak diskrining, akupunktur, penindikan, pentatoan dengan alat yang tercemar HIV. LO.2.4. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi HIV/AIDS Patofisiologi

HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA). Virion HIV (partikel virus yang lengakp dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru dimana p24 merupakan komponen strukturan yang utama. Setelah virus masuk, target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel CD4+ dengan menggunakan enzim reverse transcriptase dan virus akan melakukan pemrograman ulang materi genetic sel yang terinfeksi untuk membuat DNA. DNA ini akan dsatukan ke dalam nukleus sel sebagai provirus dan kemudian menginfeksi permanen, sehingga orang yang terinfeksi HIV akan seumur hidup terinfeksi HIV. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan, atau batu pada 3-6 minggu setelah terinfeksi. Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama kali masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler. Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T- CD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis harian (Brooks, 2005).Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinik HIV/AIDSKlasifikasi HIV pada orang dewasa menurut CDC (Center for Disease Control) berdasarkan gejala klinis dan diagnosis laboratoriumnya dibagi menjadi empat grup:

1. Infeksi akut HIVKeadaan ini disebut sebagai infeksi primer HIV atau sindrom serokonversi akut. Waktu dari paparan virus sampai timbulnya keluhan antara 2-4 minggu. Infeksi akut biasanya asimtomatis, tapi beberapa akan menunjukkan keluhan seperti demam pada influenza. Pada masa ini, diagnosa jarang dapat ditegakkan, salah satunya karena tes serologi standar untuk antibodi terhadap HIV masih memberikan hasil negatif (window periode).

2. Infeksi seropositif HIV asimtomatisPada orang dewasa terdapat periode laten infeksi HIV yang bervariasi dan lama untuk timbulnya penyakit yang terkait HIV/AIDS. Periode asimtomatisnya bisa panjang mulai dari beberapa bulan hingga 10 tahun atau lebih. Pada masa ini, biarpun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi bila diperiksa darahnya akan menunjukkan seropositif antibodi p24 dan gp41. Hal ini akan sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV pada orang lain.

3. Persisten generalised lymphadenopaty/ PGLPada masa ini ditemukan pembesaran nodus limfe yang meliputi sedikitnya dua tempat selain inguinal, dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan yang menyebabkan pembesaran nodus limfe minimal selama tiga bulan. Antibodi yaitu p24 dan g41 biasanya terdeteksi. Beberapa penderita mengalami diare kronis dengan penurunan berat badan, sering diketahui sebagai slim disease.

4. Gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDsHampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Progresivitas infeksi tergantung pada karakteristik virus dan hospes. Karakter virus meliputi HIV-1 dan HIV-2, sedangkan karakter hospes meliputi usia (40 tahun), infeksi yang menyertai-nya, dan faktor genetik.Yang utama dari grup ini adalah turunnya jumlah limfosit CD4+, biasanya dibawah 100/mm3. Stadium ini kadang dikenal sebagai full blown AIDS .Adapun kriteria gejala pada dewasa menurut WHO : Gejala mayor: Penurunan berat badan >10% berat badan Diare kronis lebih dari 1 bulan Demam lebih dari 1 bulanGejala minor: Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan Pruritus dermatitis menyeluruh Infeksi umum yang rekuren (misalnya herpes zoster) Kandidiasis orofaringeal Infeksi herpes simplek kronis progresif atau yang meluas Limfadenopati generalisata

Klasifikasi infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa, klasifikasi tersebut berdasarkan gejala dan beratnya imunosupresi yang terjadi pada anak. Klasifikasi ini sendiri penting untuk mengetahui derajat beratnya penyakit HIV anak. Adapun kriteria gejala menurut WHO untuk anak: Gejala mayor: Berat badan turun atau pertumbuhan lambat yang abnormal Diare kronis >1 bulan Demam >1 bulanGejala minor: Limfadenopati generalisata Kandidiasis orofaringeal Infeksi umum yang rekuren Batuk-batuk selama lebih dari 1 bulan Ruam kulit yang menyeluruh

Gejala-gejala Utama AIDSBerbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV.Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh.Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.Memahami dan Menjelaskan Diagnosis HIV/AIDSBanyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV.Sebagian dari mereka memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah terpapar virus.Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi pembesaran kelenjar getah bening di leher.Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu.Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak memiliki gejala.Fase ini sering berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun.Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari antibodi terhadap virus HIV.Orang yang terkena virus harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium.Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung pada waktu awal paparan.

Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:

ELISA ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.

ELISA cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah terinfeksi.Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien mungkin memiliki tingkat penularan tinggi.

Pemeriksaan Air LiurPad kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam pipi. Pad ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil dapat diperoleh dalam tiga hari.Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes darah.

Viral Load Test Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah.Umumnya, tes ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau mendeteksi dini infeksi HIV. Tiga teknologi yang digunakan untuk mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA (bDNA) and Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA). Prinsip-prinsip dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang terikat secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat bahwa hasil dapat bervariasi antara tes.

Western Blot Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif yang digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif.

Memahami dan Menjelaskan Diagnosis Banding HIV/AIDSUntuk diagnosis banding infeksi HIV yang berat yang perlu diingat di antaranya ialah severe combined immunodeficiency disease (SCID) dan hipo-gamaglobulinemia. Oleh karena secara klinis infeksi HIV yang berat sulit dibedakan dengan SCID, maka harus diperiksa adanya HIV. Walaupun sebagian kecil dari infeksi HIV disertai hipo-gamaglobulinemia, sebagian infeksi HIVpada anak disertai oleh hipergama-globulinemia.Memahami dan Menjelaskan Komplikasi HIV/AIDSKebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T. Karena sel T yang diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik. Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART), sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan resistensi.

Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi oportunistik:

a. Tuberkulosis (TB)Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum yang terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara orang yang hidup dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.

b. SalmonelosisKontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut dan, kadang-kadang, muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIV-positif.

c. Cytomegalovirus (CMV)Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh seperti air liur, darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman (tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ tubuh lainnya.

d. KandidiasisKandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut, kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di mulut atau kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.

e. Cryptococcal MeningitisMeningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada dalam tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.

f. ToxoplasmolisisInfeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penularan parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.

g. KriptosporidiosisInfeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan. Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:

h. Sarkoma KaposiSarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada orang dengan HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.

i. LimfomaKanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal dari kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Komplikasi lainnya:

j. Wasting SyndromePengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan diare, kelemahan kronis dan demam.

k. Komlikasi NeurologisWalaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum adalah demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan perilaku dan fungsi mental berkurang.Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang HIV/AIDSSkrining HIVMempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu, sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya gejala. b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif. c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala. d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita hamil, skrining secara substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan berdasarkan risiko untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan perinatal. CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.

Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding. b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual. c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV positif. d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik. g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%). h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

Uji Konfirmasi HIVPemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap kedua setelah uji saring. Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil uji saring positif atau positif palsu (hasil uji saring menyatakan positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV). Bila pada pemeriksaan ini menunjukkan hasil positif, maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.

a. Model Skrining

Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara lain:28 1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)

Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui status HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program pencegahan HIV. Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok. UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya dapat diketahui segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling pasca tes baik untuk yang HIV positif maupun HIV negatif.28

2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan gejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS, termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin.28 Pada pemeriksaan ini, pasien sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga pasien dapat memutuskan apakah setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau tidak. Untuk keadaan di mana pasien tidak dalam posisi memberikan persetujuan, seperti pasien psikiatrik atau pasien yang tidak sadar, pemeriksaan dapat dilakukan bila hasilnya bermanfaat bagi pasien. Jika ini terjadi, harus ada usaha untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pasien dan memberitahukan hasil tersebut dengan konseling.29 3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated Testing and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang: - Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS) di klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).28, 70 - Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayi.28 - Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.28 Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk mendukung sistem perujukan ke pelayanan konseling pascates HIV bagi semua pasien yang diperiksa, yang menekankan pada pencegahan dan pemberian dukungan medis serta psikososial bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada pemeriksaan jenis ini, juga dilakukan konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja tidak penuh seperti pada pemeriksaan jenis VCT di atas. Informasi minimal yang harus diketahui pasien pada saat melakukan informed consent adalah: - Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan. - Hak untuk menolak. - Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan. - Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi keharusan untuk menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko yang mungkin tidak sadar bahwa mereka terpajan dengan HIV.

Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya untuk tujuan diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga medis juga dapat menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk memberikan profilaksis antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Konseling pada situasi ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa ibu untuk mengikuti program PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi tersebut, pasien tetap memiliki hak untuk menolak.28

4. Skrining HIV wajib UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan untuk transfusi atau pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan sebelum dilakukannya prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pemindahan cairan atau jaringan tubuh, seperti inseminasi buatan, graft kornea, dan transplantasi organ.28,29 UNAIDS/WHO tidak mendukung pemberlakuan skrining wajib pada tingkat pelayanan kesehatan individu atau umum. Pemeriksaan sukarela sepertinya dapat mengubah perilaku untuk menghindari penularan HIV ke orang lain. Menyadari bahwa beberapa negara membutuhkan pemeriksaan wajib HIV untuk tujuan imigrasi dan beberapa negara lainnya melakukan pemeriksaan wajib untuk perekrutan dan pemantauan kesehatan tentaranya, UNAIDS/WHO merekomendasikan agar pemeriksaan tersebut dilakukan hanya bila diiringi dengan konseling baik bagi yang hasilnya positif maupun negatif dan sistem perujukan ke pelayanan medis dan psikososial bagi mereka yang mendapat hasil positif.28,29 Menyadari pentingnya menghubungkan orang yang positif HIV ke pusat layanan pencegahan, pengobatan, dan perawatan, UNAIDS dan WHO pada bulan Mei 2007 merilis panduan operasional PITC di tempat pelayanan kesehatan. Panduan ini sejalan dengan keputusan UNAIDS/WHO mengenai pemeriksaan HIV dan merekomendasikan agar seluruh VCT dilengkapi dengan PITC di seluruh tempat pelayanan kesehatan di tingkat epidemi meluas, dan fasilitas kesehatan spesialistik (seperti klinik TB, klinik antenatal, dan klinik infeksi menular seksual) di daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi.30 Tahun 2006, CDC merekomendasikan pemeriksaan diagnostik dan skrining HIV menjadi suatu pemeriksaan rutin di seluruh sarana pelayanan kesehatan dengan tetap menjaga hak pasien untuk menolak serta menjamin hubungan tenaga kesehatan dan pasien yang kondusif. Rekomendasi ini ditujukan untuk seluruh sarana pelayanan kesehatan, termasuk ruang gawat darurat rumah sakit, ruang rawat inap, klinik infeksi menular seksual, tuberkulosis, klinik bagi penyalahgunaan zat, klinik umum, serta pelayanan kesehatan tingkat primer. Tujuan dari rekomendasi CDC ini adalah untuk meningkatkan jumlah skrining HIV pada pasien di seluruh tempat layanan kesehatan, termasuk ibu hamil; mengembangkan program deteksi dini terhadap HIV; mengidentifikasi dan melakukan konseling terhadap orang yang belum diketahui status HIV-nya serta merujuknya ke tempat pelayanan kesehatan; dan lebih jauh lagi untuk mengurangi transmisi HIV perinatal di Amerika Serikat.11

Metode, Cara, dan Target Skrining

CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala. Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.28,29 Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda-beda, yaitu daerah dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi, dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko (WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka prevalensinya tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat epidemi yang meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.33 Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV; anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.33 Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10 tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.33 Untuk daerah dengan tingkat epidemi yang rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.33 Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:34 1. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding. 2. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual. 3. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV positif. 4. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki 5. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. 6. Semua pasien dengan riwayat penggunaan narkoba suntik. 7. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi (>1%). 8. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC) pada tahun 2006 mengeluarkan panduan skrining sebagai berikut:35 1. Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV dengan konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela. Skrining harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar pelayanan antenatal, meskipun klien tetap wajib diinformasikan mengenai manfaat dan risiko pemeriksaan ini serta hak mereka untuk menolak. Mereka tidak boleh diperiksa tanpa sepengetahuannya. 2. Konseling pre-tes dan keputusan pasien mengenai pemeriksaan ini harus didokumentasikan di dalam rekam medik pasien. 3. Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap berhak mendapatkan pelayanan antenatal yang optimal.

4. Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan pertama ke pelayanan antenatal. 5. Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites ulang setiap trimester. 6. Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan tidak diketahui status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti pemeriksaan HIV ketika masuk RS untuk melahirkan. Wanita yang berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak diketahui status HIV-nya harus diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis HIV harus diberikan pada bayi baru lahir. 7. Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter yang berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif HIV. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana HIV/AIDSTatalaksana yang perlu dan harus dilakukan terhadap penderita HIV pada dasarnya ditujukan untuk mengeliminasi virus penyebab, mencegah dan menanggulangi infeksi bakteri dan infeksi oportunistik yang terjadi dan mengatur kembali system imun yang terganggu.1) Tindakan suportif2) Penanggulangan infeksi bakteri3) Penganggulangan infeksi oportunistik4) Pengobatan LIP (lymphocytic interstisial pneumonitis)5) Pengobatan retrovirusPengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral terbagi dalam :1) Regimen ARV lini pertamaa) Golongan Nucleoside RTI (NRTI) Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB