Top Banner
Rani Dwi Ningtias 1102014220 Mandiri MPT skenario 3 LO 1. Memahami dan Menjelaskan tentang Autoimun 1.1 Definisi Autoimunitas merupakan respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Autoimun terjadi oleh karena dikenalnya self antigen yang menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun. (Baratawidjaya & Rengganis, 2014) Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu atau beredar dalam pembuluh darah (Circullating Imune Complex). Biasanya antibodi berupa IgG dan IgM, tetapi pada penyakit tertentu juga terlihat peranan IgE dan IgA. (Sudoyo, 2014) 1.2 Klasifikasi Autoimun Untuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit tertentu, diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Bukti terbaik adanya autoimunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG melalui placenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga, yang dimana dapat menjelaskan jika ada terjadinya penyakit autoimun sementara pada janin dan neonatus. Kriteria Autoimun Kriteria Catatan Autoantibodi atau sel T Kriteria ditemukan pada banyak
42

mandiri MPT sk3

Nov 09, 2015

Download

Documents

Rani Dwi N

blok MPT skenario 3
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Rani Dwi Ningtias1102014220Mandiri MPT skenario 3

LO 1. Memahami dan Menjelaskan tentang Autoimun1.1 DefinisiAutoimunitas merupakan respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Autoimun terjadi oleh karena dikenalnya self antigen yang menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun. (Baratawidjaya & Rengganis, 2014) Penyakit kompleks imun adalah sekelompok penyakit yang didasari oleh adanya endapan kompleks imun pada organ spesifik, jaringan tertentu atau beredar dalam pembuluh darah (Circullating Imune Complex). Biasanya antibodi berupa IgG dan IgM, tetapi pada penyakit tertentu juga terlihat peranan IgE dan IgA. (Sudoyo, 2014)1.2 Klasifikasi AutoimunUntuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit tertentu, diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi. Bukti terbaik adanya autoimunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG melalui placenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga, yang dimana dapat menjelaskan jika ada terjadinya penyakit autoimun sementara pada janin dan neonatus.Kriteria Autoimun KriteriaCatatan

Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifisitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakit Kriteria ditemukan pada banyak penyakit endokrin autoimun. Lebih sulit ditemukan pada antigen sasaran yang tidak diketahui seperti pada AR. Auto antibodi lebih mudah ditemukan dibandingkan sel T autoreaktif, tetapi antibodi juga dapat ditemukan pada beberapa subyek normal

Autoantibodi dan atau sel T ditemukan pada jaringan dengan cederaPada beberapa penyakit endokrin, LES dan beberapa glomerulonefritis

Ambang autoantibodi atau respons sel T menggambarkan aktivitas penyakitHanya ditemukan pada penyakit autoimun sistemik akut dengan kerusakan jaringan progresif cepat seperti pada LES, vaskulitis sistemik atau penyakit antiglomerulus membran basal

Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit Keuntungan imunosupresi terlihat pada beberapa penyakit, terbanyak imunosupresan tidak spesifik dan berupa antinflamasi

Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien Ditemukan pada model hewan. Pada manusia dengan transfer transplasental antibodi IgG autoreaktif selama kehamilan trimester terakhir dan dengan timbulnya penyakit autoimun pada resipien transplan sumsum tulang bila donor memiliki penyakit autoimun

Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan penyakit Banyak protein self menginduksi respons autoimun pada hewan bila disuntikkan dengan ajuvan yang benar. Lebih sulit dibuktikan pada manusia, tetapi imunisasi rabies dengan jaringan otak yang terinfeksi (tidak infeksius) dapat menimbulkan ensefalomielitis autoimun

Penyakit autoimun dapat di anggap sebagai segolongan penyakit yang jika di susun secara berurutan akan membentuk spektrum. Pada ujung spektrum yang satu terdapat penyakit autoimun yang spesifik organ dan pada ujung lainnya terdapat penyakit autoimun yang non-spesifik organ.a. Penyakit autoimun spesifik organPada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sel endokrin berfungsi sebaagai APC bagi protein selnya sendiri yang dikenal oleh sel T dan sel B autoreaktif yang mengakibatkan destruksi sel-sel endokrin secara enzimatik dan oksidatif. Contoh penyakitnya adalah: Tiroiditis Hashimoto, Tiritoksisitas Graves dan Sindroma myxedema primer (Tiroiditis atrofik).

b. Penyakit autoimun non-spesifik organUmumnya terjadi pada beberapa organ dan jaringan di seluruh tubuh. Penyakit autoimun non-spesifik organ mempengaruhi organ multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya). Diawali dengan pembentukan kompleks imun yang mengendap dan mengakibatkan inflamasi melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi komolemen dan rekrutmen fagosit. Contoh: Lupus eritematous sistemik dan artritis reumatoid.

PenyakitorganAntibodi terhadapTes diagnosis

Organ spesifikT. hashimototiroidtiroglobulinRIA

Grave D.TiroidTSH recepImmunofluorescen

Pernisious anemiaDel darah merahIntrinsik faktorImmunofluorescen

IDDMPankreasSel beta

Infertilitas lakispermaSpermaAglutinasi immunofluorescen

Non-organ spesifikVirtiligoKulitpersendianMelanositImmunofluorescen

Rheumatoid arthritisKulitGinjalsendiIgGIgG-latex Aglutination

SLESendiorganDNARNAnucleiproteinDNARNAlatex Aglutination

Macam-macam penyakit autoimunGangguanJaringan yang terkenaKonsekuensi

Anemia hemolitik autoimun Sel darah merahAnemia, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar, anemia hebat yang dapat berakibat fatal

Bullous pemphigoid Kulit Lepuh yang besar, dikelilingi oleh area bengkak merah, gatal. Prognosis biasanya baik dengan pengobatan.

Sindrom Goodpasture Paru-paru dan ginjal Gejala seperti pendeknya nafas, batuk darah, bengkak, dan gatal. Prognosisnya akan baik jika pengobatan dilakukan sebelum kerusakan hebat terjadi pada paru-paru atau ginjal

Penyakit Graves Kelenjar tiroid Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar hormon thyroid yang tinggi (hyperthyroidism). Gejalanya detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, kecemasan. Dengan pengobatan prognosisnya baik.

Tiroiditis Hashimoto Kelenjar tiroid Kelenjar tiroid meradang dan rusak, sehingga menghasilkan kadar hormon tiroid yang rendah (hypethyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, tidak tahan dingin, mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon tiroid perlu dan biasanya dapat mengurangi gejala.

Multiple Sclerosis Otak dan spinal cord Seluruh sel saraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel saraf tidak bisa meneruskan sinyal saraf seperti biasanya. Gejala seperti kelemahan, kegamangan, sensasi abnormal, pandangan bermasalah, kejang otot, sukar menahan BAK/BAB. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi.

Myasthenia gravis Koneksi antara saraf dan otot Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas.Obat biasanya bisa mengontrol gejala.

Pernicious anemia Sel tertentu di sepanjang abdomen Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf).Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Saraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi.Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, dan kelemahan.Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.

Rheumatoid arthritis Sendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantungBanyak gejala mungkin terjadi.termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit.Progonosis bervariasi

Systemic lupus erythematosus (SLE)sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darahGejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin terjadi.Bercak mungkin timbul. Prognosis berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.

Diabetes mellitus tipe 1Sel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin)Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang. Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks insulin yang cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.

Vaskulitis Pembuluh Darah Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang. Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup. Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.

Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal : Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan demikian disembunyikan dari sistem kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah.Misalnya, pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah.Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya, oleh virus, obat, sinar matahari, atau radiasi. Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi sistem kekebalan tubuh. Misalnya, virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh virus merangsang sistem kekebalan tubuh untuk menyerangnya. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan. Sistem kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip seperti bahan asing sebagai sasaran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi, sistem kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan (reaksi ini bagian dari deman rumatik). Sel yang mengontrol produksi antibodi misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih) mungkin rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan. Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan, daripada kekacauan itu sendiri, mungkin diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeks virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang. Faktor Hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih sering terjadi pada wanita. Faktor yang mempengaruhi penyakit autoimun Faktor genetikPenyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.

Faktor lingkunganFaktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

HormonObservasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16-hidroksil dari 16-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.

InfeksiHubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.

ObatBanyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi normal.

Agen fisik lainPajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.

1.3 Mekanisme AutoimunPatogenesis Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan pembentukan autoantibodi.Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi. Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin ,antitimosit, dan antieritrosit.Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit autoimun masih belum konsisten.Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun sistemik.Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik. Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Mekanisme rusaknya toleransiMengatasi toleransi periferKeadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan sitokin imunosupresif. Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.Kemiripan molekulKesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut .Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat Antigen mikrobialAntigen diriPenyakit yang diduga akibat molecular mimicry

Protein grup A streptokokus MAntigen di otot jantungDemam reumatik

Bacterial heat shock proteinsSelf heat shock proteins Terkait dengan penyakit autoimun berat namun belum terbukti

Protein inti Coxsackie B4Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreasDiabetes melitus dependen insulin

Glikoprotein Campylobacter jejuniGangliosida dan glikolipid terkait mielinSindrom Guillain-Barre

Heat shock protein dari Eschericia coliSubtipe rantai HLA-DR mengandung epitop bersama artritis reumatoidArtritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading. Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula. Mekanisme kerusakan jaringanKerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi (hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T. Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

LO 2. Memahami dan Menjelaskan LES2.1 DefinisiSLE (Systemic Lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. SLE merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi yang berlebih terhadap komponenkomponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Penyakit ini multisistem dengan etiologi dan patogenesis yang belum jelas. Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor yang melibatkan faktor lingkungan (terpapar oleh matahari), genetik (keturunan) dan hormonal (berkaitan dengan hormon testosteron dan LH untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan, dengan penderita lebih banyak pada wanita). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibody.2.2 EpidemiologiLupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1 karena wanita punya respon antibodi yang lebih cepat, , umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. Seelain itu, wanita yang mengonsumsi estrogen oral / hormon pengganti estrogen punya risiko 1,2-2 kali lebih tinggi untuk terkena SLEInsidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika.

2.3 EtiologiPenyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Ultraviolet B lightHormon sexrasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1 Faktor dietAlfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.Faktor InfeksiDNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteriFaktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a; Interferon-a.

Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: Infeksi Antibiotik (terutama golongan sulfa dan penisilin) Sinar ultraviolet Stres yang berlebihan Obat-obatan tertentu Hormon. Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu : 1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.Faktor Resiko terjadinya SLE1. Faktor Genetik Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut2. Faktor Resiko HormonHormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.3. Sinar UVSinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah4. ImunitasPada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T5. ObatObat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat: dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin6. InfeksiPasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi7. StresStres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memilikikecendrungan akan penyakit ini.

2.4 KlasifikasiLupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi: 1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus 2) Oral Discoid lupus Erythematosus 3) Lupus Erythematosus panniculitisb. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE) 2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE) 3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi:1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)3. Bullous form4. Neonatal form (NLE)5. Acute Cutaneous form (ACLE)6. Subacute Cutaneous form (SCLE)7. Chronic Cutaneous form (CCLE)8. Childhood onset (CSLE)9. Drug Induced (DILE)

2.5 PatofisiologiAda empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES. Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

2.6 ManifestasiGejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya. A. Gejala KonstitusionalManifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. B. Gejala MuskuloskeletalPada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati. Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala MukokutanKelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.1). Lesi Kulit AkutRuam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. 2). Lesi Kulit Sub AkutLesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular. 3). Lesi DiskoidSebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4). Livido RetikularisSuatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.5). UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah : (1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis(3) Kelas III: focal lupus nephritis(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis(5) Kelas V: membranous lupus nephritis(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritisKelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.F. Pneuminitis InterstitialMerupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.G. GastrointestinalDapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. H. Hati dan LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar ParotisPembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. J. Susunan Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. K. Susunan Saraf PusatGejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus. L. HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. M. Fenomena RaynaudDitandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis BandingSeorang pasien di klasifikasikan menderita LES apabila memenuhi 4 dari 11 kriteria di bawah:1. Artritis2. ANA di atas titer normal3. Bercak malar4. Fotosensitifitas bercak reaksi sinar matahari dari anamnesis5. Bercak diskoid6. Salah satu dari kelainan darah: Anemia hemolitik Leukosit kurang dari 4000/mm3 Limfosit kurang dari 1500/mm3 Trombosit kurang dari 100000/mm37. Kelainan ginjalProteinuria kurang dari 0,5 g per/jamSedimen seluler8. Salah satu serositis Pleuritis perikarditis9. Salah satu kelainan neurologi Konvulsi prikosis10. Ulser mulut11. Salah satu kelainan imunologi Sel LE limfosit Anti dari DNA di atas titer normal Anti sm (smith) di atas titer normal Tes serologi sifilis positif palsu

Diagnosis bandingDengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik

2.8 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada penyakit lupus adalahpemeriksaan laboratorium darah. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopeni, limfopenia, atau leukopenia; erytrocyte sedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, test Coombs mungkin positif, level IgG mungkin tinggi(Tes Coombs dibagi menjadi dua : tes Coombs langsung dan tes Coombs tidak langsung. Tes Coombs langsung digunakan untuk mendeteksi sel darah merah yang disensitisasi dengan antibodi IgG, autoantibodi IgG dan protein komplemen. Tes ini akan mendeteksi antibodi yang berikatan dengan permukaan sel darah merah secara in vivo. Sel darah merah dicuci (untuk menghilangkan plasma pasien) dan dinkubasi dengan reagen Coombs. Jika terjadi aglutinasi, tes Coombs positif. Tes Coombs tidak langsung digunakan untuk tes prenatal pada wanita hamil dan tes ini dilakukan sebelum transfusi darah. Tes ini mendeteksi antibodi melawan sel darah merah yang tidak berikatan pada serum pasien. Pada tes ini, serum diekstraksi dari darah, dan serum diinkubasi dengan sel darah merah yang tidak diketahui sifat antigennya, Jika terjadi aglutinasi, tes tidak langsung Coombs positif.) Ratio albumin-globulin terbalik, serum globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering ditemukan pada urin. Hasil pemeriksaan imunologis pada penderita lupus adalah untuk tes ANA, positif pada 95% kasus lupus eritematosus sistemik. Tes sel lupus eritematosus sebenarnya spesifik tapi tidak terlalu sensitif sehingga dihapus dari kriteria American College of Rheumatology (ACR). Bila tes ANA positif atau bila ada kecurigaan kearah lupus eritematosussistemik tetapi tes ANA negatif, dilakukan tes lain yaitu anti RNP, anti doublestranded DNA, dan antibodi anti-Smith. Tes Double-stranded DNA/ ds-DNA , anti-dsDNAsebetulnya spesifik tanpa tidak cukup sensitif, biasanya mengindikasikan adanya penyakit pada ginjal. Tes antibodi anti-Sm, sensitifitas kurang dari 10% tetapi dengan spesifitas yang tinggi. Tes antinuklear ribonucleic acid protein (anti-nRNP) menunjukkan hasil titer yang rendah pada penderita lupus eritematosus sistemik. Tes antibodi anti-La positif pada penderita lupus. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25%penderita lupus, 40% penderita Sjogren syndrome. Tes komplemen serum, bilarendah menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya disertai penyakit ginjal. Tes band lupus, merupakan tes imunofluoresen langsung pada kulit. Tes antiphopholipid termasuk antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Hasil tesini positif pada penderita lupus . Antibodi anti-Smith biasa ditemukan pada 20% penderita lupus. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi, dengan cara biopsi. Hasil biopsi memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis yang signifikan, infiltrasi limfosit yang dalam dan tidak sempurna dengan proses flame-shape rete dan membran dasar yang menebal, hiperkeratosis, follicular plugging, dan adanya infiltrasi sel inflamasi. Tes band lupus, merupakan tes imunofluoresen langsung pada kulit. Tes lupus band memperlihatkan deposit imunoglobulin padamembran dasar epitel. Deposit glanular terutama IgM ditemukan pada membran dasar dari lesi.

2.9 Tatalaksana

Untuk SLE derajat Ringan; Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan. Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine) Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata

Untuk SLE derajat berat; Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik, penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf pusat) perlu ditangani oleh ahlinya Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan organ sasaran yang terkena. Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa diberikan obat penekan sistem kekebalan Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi. Pengobatan Pada Keadaan Khusus Anemia HemolitikPrednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan Trombositopenia autoimunPrednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut-turut Perikarditis RinganObat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat diberikan prednison 20-40 mg/hari Perkarditis BeratDiberikan prednison 1 mg/kg BB/hari MiokarditisPrednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan dengan siklofosfamid Efusi PleuraPrednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase Lupus PneunomitisPrednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu

Lupus serebralMetilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turutObat-obat yang sering digunakan pada penderita LES

1. Antimalaria: Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)2. Kortiko-steroid: Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.3. Obat imuno-supresif: Siklofosfamid500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari.4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hariTolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari5. Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari 6-12 bulan : 540 mg/hari 1-10 bulan : 800 mg/hari 11-18 bulan : 1200 mg/hari Calcifediol < 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu6. Anti-hipertensiNifedipin0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari Propranolol0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari.

Penatalaksanaan non-farmako : EdukasiEdukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakanpenyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil. Dukungan sosial dan psikologis.Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peergroup atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasipasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakatmengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan financial untuk pasien yang kurang mampu dalam pengobatan. Istirahat Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi. Tabir surya Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinarmatahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam. Monitor ketatPenderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya.Risiko infeksi juga meningkat sejalan denganpemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid.Risiko kejadian penyakit kejadiankardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.2.10 KomplikasiKomplikasi lupus eritematosus sistemik1. Serangan pada Ginjala)Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)b)Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)c)Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).2. Serangan pada Jantung dan Parua)Pleuritisb)Pericarditisc)Efusi pleurad)Efusi pericarde)Radang otot jantung atau Miocarditisf)Gagal jantungg)Perdarahan paru (batuk darah).3. Serangan Sistem Sarafa)Sistem saraf pusatCognitive dysfunctionSakit kepala pada lupusSindrom anti-phospholipidSindrom otakFibromyalgia.b)Sistem saraf tepiMati rasa atau kesemutan di lengan dan kakic)Sistem saraf otonomGangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.4. Serangan pada KulitLesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoidCiri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :a)Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.b)Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuhc)Lesi non spesifik- Rambut rontok (alopecia)- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.5. Serangan pada Sendi dan Otot- Radang sendi pada lupus- Radang otot pada lupus6. Serangan pada Mata7. Serangan pada DarahAnemiaTrombositopeniaGangguan pembekuanLimfositopenia8. Serangan pada Hati2.11 PrognosisAngka harapan hidup : 5 tahun : 85-88% 10 tahun : 76-87%Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat : Infeksi penyakit Nefritis lupus Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya) Penyakit kardiovaskular Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.LO 3. Pandangan Islam Tentang Sabar dan Ridho dalam Menghadapi MusibahSecara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan). Kata shabara berarti rabatha (mengikat) atau autsaqa (menguatkan). Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu ataumeninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah.Hakikat sabar adalah ketika kita mampu mengendalikan diri untuk tidak berbuat keji dan dosa, ketika mampu menaati semua perintah Alloh, ketika mampu memegang teguh akidah islam, dan serta tidak mengeluh atas musibah dan keburukan apapun yang menimpa kita.Allah berfirman:Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146).Dan orang-orang yang bersabar dalam kesulitan, penderitaan dan dalam peperangan.Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.(Al-Baqarah: 177). Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya (Ar-Rad: 22)Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullan saw. bersabda, Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut. (HR. Bukhari & Muslim).Sabar terbagi kepada tiga macam:1.) Sabar dalam menjalankan perintah-perintah dalam agamaSebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya: [/46]Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan untuk bersabar setelah perintah untuk berbuat taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya amat butuh pada kesabaran.2.) Sabar dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang diharamkan dalam agamaUntuk hal ini Allah sebutkan dalam firman-Nya:

kamu sungguh sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh sungguh akan mendengar dari orang orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati .jika kamu bersabar dan bertakwa, maka seseungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.(Ali Imran : 186).3.) Sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian (musibah) dari AllahSeperti Allah sebutkan dalam firman-Nya: (155) (156) [/155-157]Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.(Al-Baqarah:155-157).