MANAJEMEN PENANGKARAN DAN PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN KAKATUA TANIMBAR DI RAHARDJO BIRD FARM SOLO, JAWA TENGAH LEPI ASMALA DEWI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
MANAJEMEN PENANGKARAN DAN PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN KAKATUA TANIMBAR DI RAHARDJO BIRD FARM
SOLO, JAWA TENGAH
LEPI ASMALA DEWI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manajemen Penangkaran dan
Perilaku Perkembangbiakan Kakatua Tanimbar di Rahardjo Bird Farm Solo, Jawa
Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Lepi Asmala Dewi
NIM E34120002
ABSTRAK
LEPI ASMALA DEWI. Manajemen Penangkaran dan Perilaku Perkembangbiakan
Kakatua Tanimbar di Raharjo Bird Farm Solo, Jawa Tengah. Dibimbing oleh LIN
NURIAH GINOGA dan BURHANUDDIN MASY’UD.
Kakatua tanimbar merupakan kakatua paling kecil yang ada di Indonesia.
Burung ini merupakan burung endemik kepulauan Tanimbar, Maluku. Populasinya
terus berkurang akibat perburuan liar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan yakni
dengan konservasi ex situ melalui penangkaran. Raharjo Bird Farm merupakan
penangkaran yang berhasil menangkarkan kakatua tanimbar. Tujuan dari penelitian
ini yakni untuk mengidentifikasi manajemen penangkaran, keberhasilan reproduksi,
dan perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm Solo, Jawa
Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem manajemen kakatua tanimbar
di Raharjo Bird Farm yakni sistem intensif. Keberhasilan reproduksi dengan rata-
rata persentasi jumlah induk bertelur yakni 68%, rata-rata persentase daya tetas
telur dan kematian anak yakni 50%. Perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar
terdiri dari perilaku bercumbu dan perilaku kawin (kopulasi). Frekuensi perilaku
bercumbu yakni 87,5% dan total durasi 13 menit (0,2%) dari total waktu
pengamatan. Frekuensi perilaku kawin yakni 12,5% dengan total durasi 2,2 menit
(0,026%) dari total waktu pengamatan.
Kata kunci: kakatua tanimbar, manajemen penangkaran, perilaku
perkembangbiakan
ABSTRACT
LEPI ASMALA DEWI. Captivity Management and Breeding Behavior of Goffin
Cockatoo at Raharjo Bird Farm Solo, Central Java. Supervised by LIN NURIAH
GINOGA and BURHANUDDIN MASY’UD.
Goffin cockatoo is the smallest cockatoo that exist in Indonesia. This bird is
an endemic species at the Tanimbar island, Maluku. The Population is decreased
because of ilegal hunting. One of the solutions to save this population is though ex-
situ conservation in captive breeding. Raharjo Bird Farm has succesfully bred
goffin cockatoo. This study aims to identify the captivity management, breeding
success, and breeding behavior of goffin cockatoo at Raharjo Bird Farm Solo,
Central Java. The results of this study showed that the goffin cockatoo at Raharjo
Bird Farm managed intensively. Breeding success with persentage parental
breeding rate 68%, egg hatching rate and mortality rate are 50%. Breeding behavior
of goffin cockatoo are courtship and mating behavior (copulation). The frequency
of the courtship behavior is 87,5% and total duration is 13 minutes (0,2%) of the
total observation time. The frequency of mating behavior that is 12,5% with a total
duration is 2,2 minutes (0,026%) of the total observation time.
Keywords: breeding behavior, captivity management, goffin cockatoo
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
LEPI ASMALA DEWI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
MANAJEMEN PENANGKARAN DAN PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN KAKATUA TANIMBAR DI RAHARDJO BIRD FARM
SOLO, JAWA TENGAH
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 dan Maret
2016 ini ialah manajemen penangkaran, dengan judul Manajemen Penangkaran dan
Perilaku Perkembangbiakan Kakatua Tanimbar di Raharjo Bird Farm Solo, Jawa
Tengah.
Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena dukungan berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghargaan dan terimakasih
diberikan kepada Ir Lin Nuriah Ginoga M.Si dan Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, M.S
sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa
memberikan kritik dan saran. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada dr Suryo Wahyu Raharjo beserta keluarga yang telah mengizinkan saya
tinggal di rumah dan memberikan izin penelitian di Raharjo Bird Farm.
Terimakasih juga kepada Bapak Ratno dan Ibu Sri serta keluarga yang telah
membantu dalam pengambilan data.
Ungkapan terima kasih juga diucapkan kepada orang tua penulis yakni Bapak
Juswadi dan Ibu Indauwati serta kelima saudara kandung penulis dan keluarga besar
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan untuk kelancaran penyusunan
karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Aci, Prasetyo,
Aufar, Maulana, Iis, Kak Yohana, Irsalina, Tantian, sepupu seperantauan Dian
Novita, keluarga besar Cantigi Gunung (KSHE angkatan 49), Lorong 2 Asrama
Putri TPB IPB 2012, teman-teman kosan Arum, Anika, Hanny, KPB, Himakova,
serta seluruh pihak yang telah membantu menyukseskan penyusunan karya ilmiah
ini yang tidak mungkin dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2016
Lepi Asmala Dewi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu Penelitian 2
Alat dan Bahan 2
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Hasil 6
Pembahasan 15
SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 24
DAFTAR TABEL
1 Data yang diambil dan metode pengambilan data 2 2 Spesifikasi kandang kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm 6 3 Rata-rata pakan yang diberikan, sisa pakan, dan total konsumsi pakan 9 4 Hasil pengukuran beberapa parameter morfologis kakatua tanimbar
Raharjo Bird Farm 12 5 Tingkat keberhasilan penangkaran kakatua tanimbar di Raharjo Farm
2013 13
DAFTAR GAMBAR
1 Pengukuran morfologis yang dilakukan ; a) panjang tubuh total, b) sayap, c) panjang ekor 4
2 Kandang kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm (a) perkembangbiakan, (b) pembesaran anakan, (c) anakan 7
3 Bentuk sarang buatan kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm ; (a) dari kayu aren, (b) dari paralon 8
4 (a) Suhu, (b) kelembaban kandang kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm 9 5 Pakan yang diberikan untuk kakatua di Raharjo Bird Farm ; (a) kuaci,
(b) jagung 9
6 Alur kegiatan yang berkaitan dengan manajemen perkembangbiakan 11 7 Perbedaan bentuk paruh (a) jantan, (b) betina 11 8 Kakatua tanimbar jantan (a), kakatua tanimbar betina (b) 12 9 (a) Aktivitas saling dekat dan (b) saling menelisik 13
10 Frekuensi dan waktu perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Suhu dan Kelembaban Selama Penelitian 24
2 Pengukuran Bobot Tubuh dan Beberapa Parameter Morfologis
Kakatua Tanimbar 24
3 Total Durasi dan Persentase Durasi Perilaku Perkembangbiakan 25
4 Frekuensi dan Persentase Frekuensi Perilaku Perkembangbiakan
Kakatua Tanimbar 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kakatua tanimbar (Cacatua goffini) adalah kakatua terkecil di Indonesia yang
endemik Kepulauan Tanimbar, Maluku. Burung jenis ini merupakan burung dengan
kecerdasan yang tinggi sehingga banyak disukai oleh manusia (Auersperg et al.
2013). Hasil penelitian Rachmawati (2012) menyebutkan bahwa burung ini
termasuk jenis yang banyak dipelihara oleh masyarakat yang diperoleh dari hasil
penangkapan langsung di alam atau hasil jual beli. Masyarakat Kepulauan
Tanimbar juga kerap melakukan perburuan karena mereka menganggap burung ini
sebagai hama kebun jagung. Maraknya aksi perburuan dan tingginya permintaan
terhadap burung ini membuat populasinya semakin terancam. Oleh sebab itu,
pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa Liar telah mengkategorikan kakatua tanimbar ke dalam jenis
burung yang dilindungi. Kakatua tanimbar juga termasuk satwa Appendiks I CITES
yakni konvensi yang mengatur tentang status perdagangan internasional serta satwa
yang hampir terancam (Near Threatened) dalam daftar merah IUCN yakni lembaga
internasional yang membahas status kelangkaan satwa.
Pelestarian terhadap kakatua tanimbar sangat penting dilakukan untuk
memulihkan populasi dan mencegah kepunahan. Upaya yang dapat dilakukan yakni
dengan kegiatan konservasi. Kegiatan konservasi burung dapat dilakukan secara in-
situ seperti melakukan pembinaan habitat alami dan konservasi ek-situ seperti
kegiatan penangkaran. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2005
dijelaskan bahwa penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui
pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya. Keberhasilan usaha penangkaran dapat
dilihat dari keberhasilan pengembangbiakan atau reproduksinya. Kegiatan
reproduksi merupakan bagian dari fungsi fisiologis yang penting untuk menjamin
kelestarian satwa, sehingga pengetahuan tentang reproduksi sangat menentukan
keberhasilan pengelolaan satwa (Masy’ud 1995).
Raharjo Bird Farm merupakan salah satu penangkaran yang telah berhasil
mengembangbiakan kakatua tanimbar. Sejak tahun 2015 hingga sekarang, Raharjo
Bird Farm telah berhasil menetaskan lima ekor anakan kakatua tanimbar.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari manajemen penangkaran dan
perkembangbiakan yang dilakukan oleh pengelola. Pelaksanaan manajemen
penangkaran tentu akan lebih baik dengan pengetahuaan tentang perilaku burung
yang ditangkarkan sehingga pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan
burung. Informasi tentang manajemen penangkaran dan perilaku burung kakatua
tanimbar khususnya perilaku perkembangbiakan di Raharjo Bird Farm perlu
diketahui sehingga penelitian ini penting dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Mengidentifikasi manajemen penangkaran kakatua tanimbar di Raharjo Bird
Farm
2
2. Mengidentifikasi keberhasilan reproduksi kakatua tanimbar di di Raharjo Bird
Farm
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku perkembangbiakan kakatua
tanimbar di Raharjo Bird Farm
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan informasi mengenai manajemen penangkaran dan
perkembangbiakan kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm
2. Bahan referensi bagi masyarakat yang ingin menangkarkan kakatua tanimbar
3. Memberikan masukan bagi pihak pengelola Raharjo Bird Farm untuk perbaikan
kegiatan penangkaran
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran Raharjo Bird Farm, Solo Jawa
Tengah. Penelitian berlangsung pada bulan Desember 2015 dan Maret 2016
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini meliputi
termometer dry-wet, timbangan digital, meteran, penggaris, stopwatch, kamera
digital, sedangkan bahan yang digunakan yakni tally sheet.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lokasi penelitian.
Data primer yang diambil selama penelitian ini yakni manajemen penangkaran
(aspek perkandangan, pakan, kesehatan), suhu kandang, dan manajemen
perkembangbiakan (Tabel 1). Metode pengambilan data meliputi pengamatan
langsung, pengukuran (termasuk perhitungan), dan wawancara informal kepada
pengelola.
A. Aspek perkandangan
Data mengenai aspek perkandangan meliputi jenis, jumlah, ukuran, fungsi,
konstruksi, perlengkapan kandang, dan perawatan. Jenis dan jumlah kandang
diketahui dengan mengamati kondisi kandang dan menghitung jumlah kandang
yang ada. Ukuran kandang diketahui dengan mengukur panjang, lebar, dan tinggi
kandang dengan pita meter. Kandang satwa juga memiliki berbagai fungsi. Fungsi
kandang diketahui dengan mengamati penggunaan kandang bagi kakatua.
Konstruksi kandang berkaitan dengan bahan penyusun kandang dan diketahui dari
pengamatan. Perlengkapan kandang meliputi macam-macam benda yang ada di
dalam kandang dan diperoleh dari hasil pengamatan sedangkan perawatan kandang
diketahui dengan mengamati cara perawatan seperti pembersihan kandang.
3
Pengambilan beberapa data juga dilakukan dengan cara wawancara untuk
mengetahui data perkandangan yang tidak dimengerti dan menjadi tambahan data
selain pengamatan atau pengukuran.
Tabel 1 Data yang diambil dan metode pengumpulan data
Data yang diambil Metode
pengamatan pengukuran wawancara
A. Aspek perkandangan
1. Jenis v v
2. Jumlah v v
3. Ukuran v v
4. Fungsi v v
5. Kontruksi v v
6. Perlengkapan v v
7. Perawatan v v
B. Aspek pakan
1. Jenis v v
2. Jumlah v v v
3. Frekuensi/hari v
4. Waktu pemberian v
5. Cara pemberian v
C. Aspek kesehatan
1. Jenis v v
2. Gejala v v
3. Obat dan dosis v v
4. Cara pemberian v v
5. Perawatan kesehatan v v
D. Suhu dan kelembaban
kandang
v
E. Manajemen
perkembangbiakan
1. Pemilihan calon indukan v v
2. Penentuan jenis kelamin v v
3. Pengukuran morfologis v
4. Penjodohan v v
5. Perilaku
perkembangbiakan
v v v
6. Perawatan anakan v v
7. Keberhasilan reproduksi v v = data yang diambil.
B. Aspek pakan
Data mengenai aspek pakan meliputi jenis, jumlah, waktu pemberian, cara
pemberian, dan frekuensi. Jenis pakan diketahui dari pengamatan jenis pakan yang
diberikan sedangkan jumlah pakan yang diberikan diamati dan diukur kuantitasnya
dengan timbangan digital. Waktu dan frekuensi pemberian pakan diukur dengan
penunjuk waktu ketika pakan diberikan dan diamati bagaimana cara pemberian
pakannya.
4
C. Aspek kesehatan
Data mengenai aspek kesehatan meliputi jenis penyakit, gejala, obat, dosis
obat yang diberikan. cara pemberian, dan cara perawatan. Semua data diperoleh
dengan pengamatan dan wawancara. Data jenis penyakit juga termasuk untuk jenis-
jenis penyakit yang pernah diderita, yang sedang diderita, dan jenis penyakit yang
paling sering menyerang kakatua serta penyebabnya.
D. Suhu dan kelembaban kandang
Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan selama 12 hari dengan
menggunakan termometer dry-wet. Pengukuran dilakukan setiap pagi hari (pukul
08.00), siang hari (pukul 13.00), dan sore hari (pukul 17.00) dengan cara
meletakkan termometer di dalam kandang dengan tinggi 80 cm dari tanah.
E. Manajemen perkembangbiakan
Data meliputi pemilihan calon indukan, pengukuran morfologis, penjodohan,
perilaku perkembangbiakan, perawatan anakan, dan keberhasilan reproduksi. Data
pemilihan indukan dimaksudkan untuk mengetahui cara penentuan jenis kelamin
induk jantan dan betina. Metode yang digunakan yakni pengamatan ciri morfologis
yang tampak secara langsung dan pengukuran mofologis (anggota tubuh) yakni
panjang tubuh total, panjang sayap, panjang ekor, dan berat tubuh total (Gambar 1).
Pengukuran morfologis dilakukan dengan menggunakan penggaris. Kegiatan
penjodohan yakni cara penjodohan yang dilakukan pengelola.
a) b) c)
Gambar 1 Pengukuran morfologis yang dilakukan ; a) panjang tubuh total, b)
panjang sayap, c) panjang ekor
Pengamatan perilaku perkembangbiakan dilakukan selama 14 hari berturut-
turut pada sepasang kakatua tanimbar di dalam satu kandang. Metode yang
digunakan adalah focal animal sampling, yakni mengamati individu yang menjadi
fokus pengamatan dan mencatat secara rinci perilaku yang terjadi pada periode
waktu yang ditentukan (Martin dan Bateson 1998; Altman 1974). Pencatatan
frekuensi perilaku dilakukan dengan metode one zero sampling, yakni pemberian
nilai satu jika ada perilaku yang dilakukan dan pemberian nilai nol jika tidak ada
perilaku yang dilakukan. Pengamatan dilakukan mulai pukul 06.00-18.00 WIB
dengan total waktu pengamatan 10 jam dan pencatatan dilakukan setiap 15 menit.
Pencatatan perilaku terbagi ke dalam dua bagian yakni perilaku percumbuan (lama
waktu percumbuan, aktivitas percumbuan, dan frekuensi percumbuan) dan perilaku
kawin (lama kopulasi, aktivitas kawin, dan frekuensi kawin). Perawatan anakan
5
meliputi waktu dan cara penyapihan, pakan untuk anakan burung serta data-data
lain terkait perawatan anakan. Keberhasilan reproduksi diperoleh dari hasil
perhitungan yang berkaitan dengan jumlah induk bertelur, daya tetas telur, dan
persentase kematian anak.
Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk mendukung data-data
primer dan keabsahan hasil penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka. Data yang dikumpulkan meliputi manajemen penangkaran satwa secara
umum dan penangkaran kakatua serta perkembangbiakan kakatua tanimbar baik di
alam maupun di penangkaran.
Analisis Data
Manajemen penangkaran dan perkembangbiakan
Manajemen penangkaran dan perkembangbiakan yang ada di Raharjo Bird
Farm diuraikan secara deskriptif untuk memeberikan informasi secara umum.
Data-data tersebut dilengkapi dengan tabel dan gambar. Keberhasilan reproduksi
diperoleh dengan perhitungan persentase jumlah induk bertelur, persentase jumlah
telur yang menetas, dan persentase jumlah kematian anak yang mengacu pada Nort
dan Bell (1990) dengan rumus :
a. Persentase jumlah induk bertelur (%) = ∑ induk betina yang bertelur
∑ induk seluruhnya x 100%
b. Persentase daya tetas telur (%) = ∑ telur yang menetas
∑ telur yang ada x 100%
c. Persentase kematian anak (%) = ∑ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠
∑ anak yang hidup x 100%
Ketiga data tersebut menggunakan kriteria nilai sebagai berikut:
0% - 30% : Rendah
31% - 60% : Sedang
61% - 100% : Tinggi
Perilaku perkembangbiakan
Data mengenai perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar diolah dan
dideskripsikan secara deskriptif untuk memberikan informasi yang dilengkapi juga
dengan grafik. Data perilaku perkembangbiakan diolah dengan cara menghitung
persentase frekuensi dan durasi perilaku kawin dan bercumbu dengan rumus
(Sudjana 1992):
d. Persentase frekuensi suatu perilaku (%) = ∑ Frekuensi suatu perilaku
∑ total suatu perilaku x 100%
e. Persentase durasi suatu perilaku (%) = ∑ durasi suatu perilaku
∑ total durasi perilaku x 100%
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Rahardjo Bird Farm mulai dirintis sejak tahun 2010 oleh seorang pencinta
dan penghobi burung bernama dr Suryo Wahyu Raharjo. Tahun 2014 penangkaran
ini disahkan dan diakui oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Jendral
PHKA dengan No. SK. 267 / IV – SET / 2014 tentang Izin Usaha Penangkaran
Burung-Burung yang Dilindungi Undang-undang. Tujuan penangkaran ini yakni
untuk pelestarian jenis-jenis burung yang dilindungi dan bukan untuk tujuan
komersil. Pemilik penangkaran dibantu oleh seorang pengelola harian bernama
bapak Suratno yang secara langsung mengurus semua kebutuhan burung di
penangkaran Rahardjo Bird Farm. Jenis-jenis burung yang terdapat di Rahardjo
Bird Farm di antaranya kakatua jambul kuning (Cacatua galerita), kakatua
tanimbar (Cacatua goffin), kakatua putih (Cacatua alba), kakatua cempaka
(Cacatua sulphurea citrinocristata), merak hijau (Pavo muticus), mambruk (Goura
victoria), dan beberapa jenis nuri. Penangkaran ini terletak di Kelurahan
Mojosongo, Solo, Jawa Tengah.
Manajemen Penangkaran
Perkandangan
Jenis kandang kakatua tanimbar yang terdapat di penangkaran ini terdiri dari
kandang perkembangbiakan, kandang pembesaran anakan, dan kandang anakan
(Gambar 2). Spesifikasi kandang meliputi jenis kandang, ukuran, kapasitas,
konstruksi, dan fasilitas selengkapnya tersaji pada Tabel 2. Kandang
perkembangbiakan merupakan kandang permanen yang diletakkan di luar ruangan,
sedangkan kandang pembesaran anakan dan kandang anakan diletakkan di dalam
ruangan.
Tabel 2 Spesifikasi kandang kakatua tanimbar di Rahardjo Bird Farm
No Jenis Ukuran (m)
p x l x t
Kapasitas
(ekor)
Konstruksi Fasilitas
1. Perkembangbiakan 1,2x1,2x1,2 2 Kawat
Ram dan
baja
ringan
Tempat
makan,
tempat
minum,
tenggeran,
dan kotak
sarang
2. Pembesaran anakan 0,56x0,28 x
0,33
2 Kayu Bohlam
dan sarang
3. Anakan 0,95x0,55x0,6 1 Kaca mika Bohlam keterangan : p = panjang, l = lebar, t = tinggi
7
) ( a b ) ( ( c )
Kandang perkembangbiakan digunakan oleh kakatua tanimbar untuk
melakukan segala aktivitasnya sehari-hari, seperti makan, minum, bermain, tidur,
bercumbu, kawin, dan lain-lain. Bentuk kandang perkembangbiakan seperti kubus
dengan panjang sisi 1,2 meter yang disangga oleh baja ringan dengan tinggi 80 cm.
Konstruksi kandang kakatua tanimbar tersebut tersusun atas kawat ram.
Kandang pembesaran anakan berbentuk seperti kotak persegi panjang yang
terbuat dari tripleks dan di dalamnya terdapat bohlam 5 watt untuk menghangatkan
anakan. Ukuran kandang tersebut yakni 0,56 x 0,28 x 0,33 meter. Bagian depan
kandang seperti pintu yang dapat dibuka dan ditutup sehingga pengelola dapat
memantau kondisi anakan. Kandang pembesaran anakan digunakan untuk merawat
anakan yang berumur 1-2 hari sampai berusia 1 bulan.
Kandang anakan merupakan kandang tempat anakan yang berumur 1 bulan
hingga berumur 2-3 bulan untuk beradaptasi sebelum diletakkan di kandang
perkembangbiakan. Kandang anakan juga digunakan burung untuk belajar makan
sendiri seperti indukannya karena sebelumnya anakan hanya mengonsumsi bubur
burung dan diloloh oleh pengelola saat berada di kandang pembesaran anakan.
Kandang jenis ini berukuran 0,95 x 0,55 x 0,60 meter yang terbuat dari kaca mika
yang di dalamnya terdapat bohlam 25 watt untuk menghangatkan anakan.
Gambar 2 Kandang kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm; (a) perkembangbiakan,
(b) pembesaran anakan, (c) anakan
Kandang kakatua tanimbar di Rahardjo Bird Farm juga dilengkapi dengan
perlengkapan kandang. Pada kandang perkembangbiakan disediakan tempat
makan, tempat minum, tenggeran, dan sarang buatan. Tempat makan dan tempat
minum terbuat dari cawan alumunium yang digantung dipintu kandang. Tenggeran
terbuat dari batang kopi (Coffea arabica) dengan panjang 1,2 m yang dipasang
dengan 2 buah baut. Jumlah tenggeran dalam satu kandang yakni 2 buah dengan
diameter antara 5-7 cm yang disesuaikan dengan cengkraman kaki kakatua
tanimbar. Perlengkapan kandang yang lain yakni sarang buatan (nest box). Sarang
buatan di Rahardjo Bird Farm berbentuk silinder yang berdiameter antara 30-37 cm
8
( a ) ( b )
dan tinggi 80-85 cm yang dilengkapi dengan pintu kecil yang menghubungkan
kandang perkembangbiakan dengan sarang buatan tersebut. Pintu kecil juga
disediakan dibagian bawah kandang untuk mengambil dan memantau kondisi telur.
Pada awalnya sarang buatan yang disediakan terbuat dari batang kayu aren (Arenga
pinnata) yang didatangkan dari Ungaran, akan tetapi biaya pembuatan dan biaya
angkut sarang buatan dari kayu aren tersebut cukup mahal, sehingga pengelola
menginovasi sarang buatannya menggunakan paralon (Gambar 3). Hasil
pengukuran suhu dan kelembaban selama 3 hari di dalam sarang buatan
menunjukan hasil yang berbeda antara sarang buatan dari kayu aren dan paralon.
Suhu rata-rata harian di sarang buatan yang terbuat dari kayu aren yakni 28,55 0C
dengan kelembaban harian 87,33%, sedangkan suhu di sarang buatan yang terbuat
dari paralon yakni 29,11 0C dengan kelembaban harian 83,77%. Menurut pengelola
belum ada dampak negatif dari penggantian sarang buatan tersebut karena sebagian
burung sudah menggunakan sarang buatan dari paralon tersebut.
Gambar 3 Bentuk sarang buatan kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm ; (a) dari
kayu aren (Arenga pinnata), (b) dari paralon
Kegiatan penting dalam aspek perkandangan yakni kegiatan perawatan
kandang yang terdiri dari pembersihan kandang dari bekas makanan dan kotoran,
pembersihkan tempat minum dan penggantian dengan air bersih, serta
pembersihkan lantai kandang. Pengelola tidak mempunyai jadwal yang pasti dalam
melakukan kegiatan perawatan kandang. Kegiatan-kegiatan tersebut lebih bersifat
insidental dengan melihat kondisi kandang. Pembersihan kandang dari bekas
makanan seperti tongkol jagung dilakukan dengan cara mengambil bekas tongkol
jagung yang sudah mengering tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.
Pengelola juga melakukan pembersihan tempat minum yang kotor akibat bekas
makanan atau kotoran burung tersebut dan menggantinya dengan air bersih.
Perawatan yang lebih rutin dilakukan yakni pembersihan lantai kandang. Kegiatan
ini biasanya dilakukan dua hari sekali setelah pemberian pakan dengan cara
menyapu, menyiram, dan menyikat lantai kandang. Pengelola juga menggunakan
detergen atau sabun saat melakukan kegiatan pembersihan lantai kandang.
Hasil pengukuran suhu dan kelembabaan kandang perkembangbiakan
kakatua tanimbar di penangkaran Rahardjo Bird Farm dapat dilihat di Gambar 4.
Suhu rata-rata di kandang adalah 29,88 0C sedangkan kelembaban rata-rata harian
kandang yakni 78,88%. Pengkuran suhu dan kelembaban dilakukan di kandang
9
perkembangbiakan karena berada di luar ruangan dan terpengaruh langsung oleh
sinar matahari dan kondisi lingkungan disekitarnya.
Gambar 4 a) Suhu , b) kelembaban kandang kakatua tanimbar di Raharjo Bird
Farm
Pakan
Kakatua merupakan burung dengan paruh kuat dan membengkok. Bentuk
paruh tersebut sangat mempengaruhi jens pakan burung tersebut. Jenis pakan yang
diberikan untuk semua jenis kakatua yang ada di penangkaran Rahardjo Bird Farm
adalah kuaci dan jagung (Gambar 5), begitupun untuk kakatua tanimbar.
(a) (b)
Gambar 5 Pakan yang diberikan untuk kakatua di Raharjo Bird Farm ; (a) kuaci,
(b) jagung
Berdasarkan hasil penelitian, kuaci merupakan pakan utama yang lebih sering
diberikan pengelola dibandingkan dengan jagung. Pemberian kuaci rutin dilakukan
dua kali sehari yakni pagi hari sekitar pukul 06.10-06.40 WIB dan sore hari sekitar
pukul 15.30-16.00 WIB sedangkan pemberian jagung rata-rata 2 hari sekali pada
pagi atau sore hari. Jumlah pakan yang diberikan tidak mempunyai takaran yang
pasti melainkan dengan cara kira-kira saja. Rata-rata jumlah pakan yang diberikan
dan jumlah konsumsi pakan dapat dilihat pada Tabel 3.
27,7533,16 28,75
87,41
67,75
81,5
0
20
40
60
80
100
Pagi Siang SoreSuhu (
0C
) /
kel
emb
aban
(%
)
Waktu
Suhu Kelembaban
10
Tabel 3 Rata-rata pakan yang diberikan, sisa pakan, dan total konsumsi pakan
No Jenis Rata-rata ∑ pakan
yang diberikan
(gram/hari/kandang)
Rata-rata ∑ pakan
sisa
(gram/hari/kandang)
Jumlah
konsumsi
(gram/hari/ekor)
1. Kuaci 86 35 25,5
2. Jagung 147 0 73,5
Selain pakan, pemberian minum juga sangat penting untuk burung di
penangkaran. Berdasarkan hasil penelitian ini, banyaknya air yang diberikan
berkisar antara 100-180 mL yang diganti setiap dua hari sekali. Semua jenis pakan
dan air minum diletakkan di cawan alumunium yang berada di pintu kandang.
Kesehatan
Berdasarkan hasil wawancara kepada pengelola, burung kakatua tanimbar
yang berada di Rahardjo Bird Farm merupakan jenis burung yang jarang sakit,
begitupun dengan jenis kakatua lainnya. Pengelola mengatakan bahwa kesehatan
burung dapat dilihat dari keaktifan, bulu, kotoran, dan nafsu makannya. Burung
yang sehat terlihat dari tingkah lakunya yang aktif, bulunya mulus (tidak kusut),
makan dan minum secara wajar, dan matanya bening bersinar. Sebaliknya burung
yang sakit akan tampak lesu dan loyo, bulunya nampak kusut, tidak makan atau
minum secara wajar, dan kotorannya cair (mencret) berwarna hijau keputih-
putihan. Jenis penyakit yang teramati diderita salah satu burung kakatua tanimbar
saat penelitian ini yakni feather plucking. Penyakit ini hampir menyerang seluruh
jenis paruh bengkok yang ada di penangkaran. Penyakit ini dicirikan dengan bagian
tubuh burung yang tidak ditutupi bulu karena digigiti atau dicabuti oleh burung
tersebut. Pengelola juga menuturkan jenis-jenis penyakit lain yang sering diderita
burung di Rahardjo Bird Farm yakni mencret dan viral disease.
Perawatan kesehatan burung di Rahardjo Bird Farm biasanya dilakukan
dengan memberikan multi vitamin ecotrition yang dilarutkan dalam minuman
burung. Kandungan zat yang terdapat di dalam multi vitamin ecotrition di antaranya
vitamin A, vitamin D3, B6, thiamin, dan riboflavin. Pada burung yang sakit,
ecotrition diberikan sebanyak 2 tetes yang dilarutkan ke dalam minuman burung.
Pemberian ecotrition akan diulangi sebanyak 3 kali dalam seminggu sampai burung
sehat kembali. Selain pemberian multi vitamin, pengelola juga biasa memandikan
burung dan menjemur burung untuk menjaga kondisi burung tetap sehat dan bersih.
Pengelola tidak mempunyai jadwal atau waktu yang pasti saat memandikan dan
menjemur burung, namun biasanya dilakukan dua minggu sekali.
Manajemen perkembangbiakan
Manajemen perkembangbiakan erat kaitannya dengan kegiatan
prareproduksi, reproduksi, dan perawatan anakan (Gambar 6). Kegiatan
prareproduksi meliputi penentuan jenis kelamin, pemilihan calon indukan, dan
penjodohan. Kegiatan reproduksi terdiri dari perawatan induk bertelur dan
mengeram setelah itu dilanjutkan dengan perawatan anakan yang sudah menetas.
Sebagian besar burung yang terdapat di Rahardjo Bird Farm merupakan hasil
pembelian namun ada beberapa burung yang dititipkan oleh BKSDA Jawa Tengah.
Burung kakatua tanimbar yang berada di Rahardjo Bird Farm juga didapatkan dari
hasil pembelian kepada para penghobi burung-burung paruh bengkok. Kakatua
11
tanimbar mulai berada di penangkaran Rahardjo Bird Farm sekitar tahun 2013
sebanyak 1 pasang. Pertengahan tahun 2015 (sekitar bulan Juli), pemilik
penangkaran menambah indukannya dengan membeli 8 ekor kakatua tanimbar
yang siap dijadikan calon indukan baru karena jumlah indukan awal dinilai masih
terlalu sedikit. Pemilihan calon indukan tersebut dengan melihat kondisi fisik
burung yang sehat, tidak cacat, tidak sakit. Dampak negatif dari pembelian kepada
penghobi yakni pengelola tidak mengetahui umur burung dan silsilah burung.
Gambar 6 Alur kegiatan yang berkaitan dengan manajemen perkembangbiakan
Selain pemilihan calon indukan, pemilik penangkaran harus mengetahui cara
dalam penentuan jenis kelamin. Menurut pengelola ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menentukan jenis kelamin kakatua tanimbar yaitu dengan melihat
bentuk paruh dan ukuran tubuh. Bentuk paruh jantan lebih besar dan pipih,
sedangkan paruh betina lebih kecil dan lebar (Gambar 7).
a) b)
Gambar 7 Perbedaan bentuk paruh a) jantan, b) betina
Berdasarkan hasil wawancara kepada pengelola dan pengamatan yang
dilakukan, perbedaan bentuk paruh untuk menentukan jenis kelamin masih sulit
Menentukan jenis kelamin
Penjodohan
Manajemen perkembangbiakan
Bertelur dan mengeram
Perawatan anakan
Memilih calon indukan
12
dilakukan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman pengelola. Ciri lain yang
dapat dijadikan pembeda yakni ukuran tubuh. Berdasarkan hasil pengamatan,
terlihat bahwa ukuran jantan lebih besar dari pada ukuran betina (Gambar 8).
Perbedaan ukuran tubuh lebih mudah terlihat ketika pasangan kakatua tanimbar
sedang bertengger bersama di kayu tenggeran. Menurut pengelola perbedaan
ukuran tubuh antara jantan dan betina juga dipengaruhi umur pasangan tersebut.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa pertumbuhan ekor jantan terlihat sempurna
sedangkan ekor betina masih mengalami pertumbuhan.
Gambar 8 Kakatua tanimbar jantan (a), kakatua tanimbar betina (b)
Perbedaan ukuran tubuh juga dibuktikan dengan pengukuran beberapa
parameter morfologis (Tabel 4). Pengukuran dilakukan kepada dua pasang kakatua
tanimbar yang ada di Raharjo Bird Farm. Pasangan yang diukur terdiri dari
pasangan yang dibeli tahun 2013 dan salah satu pasangan yang dibeli pada tahun
2015.
Tabel 4 Hasil pengukuran beberapa parameter morfologis kakatua tanimbar di
Raharjo Bird Farm
Parameter Ukuran
Jantan Betina
Bobot tubuh (gram) 291 218
Panjang tubuh total (cm) 30 29
Panjang sayap (cm) 20 17
Panjang ekor (cm) 10 10
Setelah pemilihan induk dan penentuan jenis kelamin, langkah selanjutnya
yakni penjodohan. Teknik penjodohan yang dilakukan oleh pengelola penangkaran
Rahardjo Bird Farm merupakan teknik penjodohan buatan (paksaan). Teknik
penjodohan ini diterapkan pada 8 ekor kakatua tanimbar yang baru dibeli pada
pertengahan 2015 lalu, sedangkan indukan pertama dibeli dalam kondisi sudah
berpasangan secara alami. Langkah pertama yang dilakukan pengelola yakni
memasukkan sepasang kakatua tanimbar dalam satu kandang. Selanjutnya
pengelola akan mengamati tingkah laku pasangan tersebut. Ciri-ciri pasangan
burung yang diduga berjodoh dapat dilihat dari kebiasaan mereka bertengger
berdampingan, saling menelisik bulu, dan melakukan “ciuman” yakni paruh jantan
dan paruh betina akan saling bertemu kemudian saling menyuapi makanan.
13
Menurut pengelola, lamanya waktu pembentukan pasangan rata-rata yakni tiga
bulan.
Setelah terbentuk pasangan dan menghasilkan telur, telur akan dierami oleh
induk selama 21-25 hari hingga menetas. Langkah selanjutnya setelah telur menetas
yakni perawatan anakan. Menurut pengelola, perawatan anakan dilakukan karena
dapat meningkatkan produktivitas indukan. Perawatan anakan yang dilakukan
pengelola yakni pemberian pakan dan pembersihan kandang. Pakan yang diberikan
yakni bubur burung instan Nutribird A-21. Kandungan yang terdapat dalam
Nutribird A-21 ini yakni protein, mineral, dan vitamin. Cara penyajian bubur
burung untuk anakan berumur 5 hari sampai 1 bulan yakni dengan melarutkan 3-4
sendok teh Nutribird A-21 ke dalam enam sendok teh air hangat, sedangkan untuk
anakan yang berumur 1-2 bulan diberikan 4-5 sendok untuk sekali makan. Menurut
pengelola, pemberian pakan tidak memiliki jadwal yang pasti hanya dilakukan
dengan mengecek tembolokan anak burung tersebut. Satu hari anakan biasanya
diloloh sebanyak 3-4 kali. Kemudian pakan yang tertinggal akan dibersihkan untuk
menghindari semut atau hewan lainnya agar tidak menggangu anakan.
Keberhasilan Penangkaran
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, kakatua umunya mulai
bertelur pada usia 3-5 tahun. Indukan pertama yang ada di penangkaran Rahadjo
Bird Farm sejak tahun 2013 sudah bertelur sebanyak 5 kali pada tahun 2015. Telur
pertama sampai telur kelima yang menetas masing-masing pada bulan Januari,
Maret, Mei, Juli, dan September. Kakatua tanimbar di penangkaran Rahadjo Bird
Farm sebenarnya mengerami 2 telur akan tetapi hanya satu saja yang menetas
(Tabel 5). Masa pengeraman oleh induk kakatua tanimbar berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan pengelola yakni 21-25 hari.
Tabel 5 Tingkat keberhasilan penangkaran kakatua tanimbar di Rahardjo Bird
Farm tahun 2015
Bulan
% Induk Brtr % Daya tetas telur % Kematian anak
∑
indk
∑
induk
Brtr %
∑
telur
yang
ada
∑
telur
yang
mnts
%
∑
telur
yang
mnts
∑
anak
yang
hidup
%
Januari 1 1 100 2 1 50 1 1 50
Maret 1 1 100 2 1 50 1 1 50
Mei 1 1 100 2 1 50 1 1 50
Juli 5 1 20 2 1 50 1 1 50
Sep 5 1 20 2 1 50 1 1 50
Rata-
rata
68
50
50
Kriteria Tinggi Sedang Sedang keterangan : Sep = september, Indk = Induk, Brtr = bertelur, Mnts = menetas
Berdasarkan informasi yang tersaji di Tabel 5, diketahui bahwa persentase
daya tetas telur dan kematian anak sama yakni 50%. Persentase tersebut tergolong
sedang karena setengah dari jumlah telur yang ada tidak dapat menetas. Menurut
14
pengelola telur yang tidak menetas merupakan telur yang tidak terbuahi. Untuk
persentase induk bertelur yakni 68% yang tergolong tinggi.
Perilaku Perkembangbiakan
Perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar meliputi perilaku bercumbu
dan perilaku kawin (kopulasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa frekuensi
bercumbu pasangan kakatua tanimbar yang diamatai yakni 87,5% dari keseluruhan
perilaku perkembangbiakan dengan durasi total 13 menit atau 0,2% dari total waktu
pengamatan. Frekuensi perilaku kawin pasangan kakatua tanimbar yang diamatai
yakni 12,5% dari keseluruhan perilaku perkembangbiakan dengan durasi total 2,2
menit atau 0,026% dari total waktu pengamatan.
Perilaku bercumbu berkaitan dengan kegiatan penjodohan yang dilakukan
pengelola terhadap calon indukan. Pasangan yang berjodoh biasanya akan
melakukan perilaku bercumbu secara terus menerus dan berulang. Tahapan
perilaku bercumbu meliputi aktivitas jantan mendekati betina, aktivitas saling
dekat, dan aktivitas saling menelisik.
Durasi total yang digunakan untuk aktivitas jantan mendekati betina yakni 3,8
menit. Aktivitas jantan mendekati betina dicirikan dengan jantan yang berjalan di
kayu tenggeran dan mendekati betina yang sedang bertengger. Jantan mendekati
betina dengan rata-rata waktu selama 3 detik tergantung dengan jarak betinanya.
Setelah aktivitas jantan mendekati betina, tahapan selanjutnya dari perilaku
bercumbu yakni aktivitas saling dekat. Durasi total yang digunakan untuk aktivitas
saling dekat yakni 4,21 menit. Rata-rata waktu aktivitas saling dekat yakni 5 detik.
Aktivitas saling dekat ditandai dengan jantan dan betina yang bertengger
berdampingan. Aktivitas saling dekat biasanya diakhiri dengan aktivitas saling
menelisik (Gambar 9). Jantan dan betina yang telah bertengger bersama kemudian
akan saling mengalungkan kepala, menelisik bulu pasangan mulai dari kepala,
sayap, dan terkadang sampai bagian kloaka. Durasi total aktivitas saling menelisik
yakni 4,96 menit. Rata-rata waktu aktivitas saling menelisik yakni 10 detik.
a) b)
Gambar 9 a) Aktivitas saling dekat dan b) aktivitas saling menelisik
Pasangan burung yang berjodoh akan terus menerus melakukan perilaku
bercumbu sebagai proses persiapan untuk pematangan sel telur. Setelah perilaku
bercumbu, pasangan burung kemudian akan melakukan proses perkawinan
(kopulasi). Perilaku kawin kakatua tanimbar ditandai dengan perilaku burung
betina yang merendahkan tubuhnya sehingga burung jantan dapat menaikinya.
Setelah jantan berada di atas tubuh betina, jantan akan mematuk-matuk kepala
betina sambil menggoyangkan bagian ekor. Kemudian terjadi kopulasi yakni
15
masuknya sel sperma ke dalam saluran reproduksi betina yang ditandai dengan
terangkatnya bulu ekor burung betina. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan
masuknya sel sperma ke dalam saluran reproduksi betina saat proses kopulasi.
Kopulasi terjadi sangat singkat dengan durasi rata-rata 3,5 detik. Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa perilaku bercumbu lebih sering dilakukan pada siang hari
sekitar pukul 14.00-16.00, sedangkan perilaku kawin lebih sering dilakukan pada
pagi hari sekitar pukul 07.00-10.00 (Gambar 10).
Gambar 10 Frekuensi dan waktu perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar
Pembahasan
Perkandangan
Kandang merupakan habitat buatan bagi burung di penangkaran sehingga
perlu diperhatikan agar burung tetap merasa nyaman. Ukuran kandang minimal
bagi burung kakatua yakni 3x2x2,5 meter yang dapat digunakan untuk 3 pasang
kakatua (Prahara 1999). Hasil penelitian Gitta (2011) dan Febri (2014) untuk
burung kakatua kecil jambul kuning dan kakatua sumba di penangkaran Mega Bird
and Orchid Farm (MBOF) masing-masing 3x1,57x1,54 meter dan 3x1,5x3 meter
yang berisi sepasang kakatua. Setio dan Takandjandji (2007) menambahkan bahwa
kandang minimal burung di penangkaran yakni 3x3x3 meter, namun untuk jenis
burung monogami seperti kakatua kandang bisa dibuat lebih kecil.
Ukuran kandang burung sebenarnya sangat relatif dan dipengaruhi beberapa
faktor yakni jenis dan jumlah burung serta ketersediaan lahan dan ketersedian dana
(Setio dan Takandjandji 2007; Soemarjoto dan Prayitno 1999). Selain itu yang
terpenting burung dapat merasa nyaman walaupun berada di dalam kandang yang
terbatas. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa kakatua tanimbar di Rahardjo
Bird Farm melakukan aktivitasnya dengan normal di kandang seperti makan,
beristirahat, kawin, dan lain-lain sehingga kandang tersebut dinilai cukup nyaman.
Kenyamanan kakatua tanimbar di dalam kandang juga ditentukan oleh konstruksi
kandang. Kawat ram dipilih pengelola sebagai konstruksi kandang karena kuat dan
tahan karat. Hal tersebut sesuai dengan Prahara (1999) yang menyatakan bahwa
kandang kakatua harus terbuat dari kawat khusus dan tahan karat untuk
menghindari kerusakan akibat struktur paruhnya yang sangat kuat.
05
101520253035
Fre
kuen
si
Waktu
Bercumbu Kawin
16
Kandang perkembangbiakan merupakan kandang terbuka yang lebih dari
50% ruangannya dapat ditembus sinar matahari. Hal tersebut sesuai dengan Prahara
(1999) yang menyatakan bahwa minimal 70% bagian kandang harus dapat
ditembus sinar matahari. Burung membutuhkan sinar matahari untuk kesehatannya
antara lain untuk memenuhi kebutuhan vitamin D (Soemarjoto dan Prayitno 1999).
Selain kandang perkembangbiakan, penangkaran juga menyediakan kandang
untuk pembesaran anakan. Menurut Prahara (1999) sarana dan peralatan yang
diperlukan untuk anakan yakni lemari penghangat yang dilengkapi lampu pijar,
pakan, sarana pakan (spuit/syringe/alat suntik), dan sarana pendukung. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kandang pembesaran anakan yang ada di Raharjo
Bird Farm sudah memiliki sarana dan peralatan yang baik. Pengelola mengambil
anakan dari sarang buatan saat berusia 1-2 hari. Hal tersebut tidak sesuai dengan
Prahara (1999) yang menyatakan bahwa umur yang baik untuk mengambil anakan
yakni 10-14 hari. Pengambilan anakan yang lebih cepat akan menyulitkan
pengelola dalam meramu dan memberi pakan yang sesuai dengan kondisi
pencernaan yang sedang berkembang. Oleh sebab itu pengelola sebaiknya
memperhatikan kembali umur anakan yang baik sebelum dipindahkan ke kandang
pembesaran anakan. Setelah berumur satu bulan, pengelola memindahkan anakan
ke kandang pembesaran anakan untuk melatihnya makan sendiri sebelum
dimasukkan ke kandang perkembangbiakan.
Kenyamanan burung di dalam kandang merupakan faktor penting dalam
aspek perkandangan. Selain jenis dan ukuran kandang yang telah dijelaskan
sebelumnya, pengelola juga menyediakan perlengkapan kandang agar burung
merasa nyaman seperti di habitat alaminya. Perlengkapan yang ada di kandang
harus disesuaikan dengan kebutuhan burung. Menurut Gitta (2011) kakatua di
penangkaran melakukan kegiatan bertengger di sebagian besar aktivitasnya
sehingga adanya tenggeran menjadi perlengkapan yang penting. Abidin (2007)
yang menyatakan bahwa tenggeran sebaiknya terbuat dari kayu keras, tua, dan
kering karena burung paruh bengkok suka menggigit kayu tenggerannya. Kayu
yang digunakan juga tidak boleh beracun dan usahakan ada dua tenggeran di setiap
kandang. Jumlah tenggeran kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm dalam satu
kandang yakni dua buah yang terbuat dari kayu kopi. Kayu kopi dipilih karena kuat
dan tidak berbahaya bagi burung. Berdasarkan hal tersebut maka tenggeran kakatua
tanimbar di Rahardjo Bird Farm dinilai sudah cukup baik.
Selain tenggeran, pengelola juga menyediakan sarang buatan. Jenis burung
kakatua di habitat alami membangun sarang di lubang-lubang pohon (Prahara 1999;
Romagnano dan Martin 2006; Cameron 2007) sehingga pengelola menyiapkan
sarang buatan dari batang kayu. Pada sarang buatan dibuat pintu kecil untuk
mengecek telur. Hal tersebut sesuai dengan Prahara (1999) yang menyatakan bahwa
pada bagian atap atau sisi dari sarang buatan harus dibuat dapat dibuka dan ditutup
untuk memudahkan pengambilan telur atau lubang pengintip untuk mengetahui
adanya telur atau anakan. Pada awalnya pengelola hanya menyediakan sarang
buatan dari batang kayu aren yang didatangkan dari Unggaran, namun dinilai mahal
dan sulit mendapatkannya. Oleh sebab itu, pengelola mulai memodifikasi sarang
buatannya menggunakan paralon. Menurut pengelola belum ada dampak negatif
dari penggantian sarang buatan tersebut, namun perbedaan suhu dan kelembaban
yang diperoleh dari hasil penelitian ini perlu dipertimbangkan pengelola. Suhu dan
kelembaban dalam sarang sangat mempengaruhi proses perkembangan embrio.
17
Oleh sebab itu diperlukan suhu dan kelembaban yang tepat agar embrio
berkembang sempurna (Paimin 2012). Suhu inkubasi jenis-jenis unggas dalam
mesin penetas yang baik berkisar antara 32,2 0C - 38,2 0C sedangkan kelembababan
yakni 60-70%, namun setiap jenis memiliki suhu dan kelembaban untuk penetasan
telur yang berbeda-beda (Paimin 2012).
Suhu dan kelembaban kandang di penangkaran juga harus selalu
diperhatikan. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban yang didapatkan pada
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Gitta (2011) di kandang
kakatua kecil jambul kuning dan Febri (2011) di kandang kakatua sumba yang ada
di penangkaran MBOF. Suhu rata-rata harian berkisar antara 23 0C - 29,78 0C
sedangkan kelembaban rata-rata harian yakni 67,42% - 94%. Suhu dan kelembaban
yang paling baik untuk kakatua tanimbar belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa pada pagi hari dengan suhu rata-rata 27,75 0C dan
sore hari dengan suhu rata-rata 28,75 0C kakatua tanimbar jantan dan betina lebih
aktif, sedangkan pada siang dengan suhu rata-rata 33,16 0C kakatua tanimbar lebih
banyak diam, beristirahat, dan tidur. Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa
suhu kandang yang nyaman sebagai habitat kakatua tanimbar berkisar antara 27,75 0C – 28,75 0C.
Kebersihan kandang mutlak diperlukan untuk menjaga kesehatan burung.
Kotoran burung atau bekas pakan yang tertinggal di dalam kandang dapat
menimbulkan penyakit bagi burung apabila tidak dibersihkan (Soemarjoto dan
Prayitno 1999). Kegiatan perawatan kandang tidak terlepas dari limbah
penangkaran. Limbah penangkaran di Rahadjo Bird Farm ini terdiri dari limbah
padat bekas pakan seperti feses burung, tongkol jagung, kuaci, dan kulit papaya
sebagai pakan dari burung nuri. Limbah berupa feses burung, kulit kuaci, dan kulit
pepaya dimanfaatkan pengelola sebagai pupuk kandang, sedangkan tongkol jagung
diberikan sebagai pakan ternak. Berdasarkan hasil penelitian, penangkaran Raharjo
Bird Farm sudah cukup baik dalam pengelolaan limbah dan selalu menjaga
kebersihan kandang.
Pakan
Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan satwa
termasuk perkembangbiakannya (Setio dan Takandjandji 2007). Hasil penelitian
Cahyadin et al. (1994) menunjukkan bahwa kakatua tanimbar di alam umumnya
mengkonsumsi jagung dan terkadang dijumpai makan kacang dan ubi kayu. Puncak
kegiatan makan terjadi antara pukul 06.00-08.30.
Kakatua memiliki paruh yang kuat dan membengkok sehingga membutuhkan
pakan yang sesuai dengan bentuk dan sifat paruhnya. Jenis pakan di habitat alami
dari jenis paruh bengkok yakni buah-buahan hutan, biji-bijian, nektar, bunga, dan
serangga kecil (Warsito dan Bismark 2010). Khusus untuk jenis kakatua, jenis ini
sangat menggemari jagung muda berbonggol, biji matahari, kacang tanah, tebu,
kenari, sayuran, dan buah-buahan (Prahara 1999; Andhikerana et al. 1986; Widodo
2006).
Rata-rata konsumsi pakan kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm yakni 99
gram/hari/ekor. Jumlah tersebut dinilai terlalu banyak, karena menurut Welty
(1979) burung-burung dengan bobot badan 100 - 1000 gram mengonsumsi pakan
sebesar 5 - 9% dari bobot tubuhnya. Berdasarkan hasil penelitian juga sering
ditemukan kuaci sisa yang tidak dihabiskan oleh kakatua tanimbar yang
18
mengindikasikan jumlah pakan yang diberikan terlalu banyak. Selain itu, hasil
penelitian Gitta (2011) dan Febri (2014) menunjukan bahwa kakatua kecil jambul
kuning dan kakatua sumba di MBOF diberikan yakni jagung muda, kacang tanah,
pepaya, dan sayuran (wortel, toge, sawi). Berdasarkan hal tersebut maka
disimpulkan bahwa pakan yang diberikan pengelola untuk kakatua tanimbar kurang
bervariasi sehingga perlu dilakukan pengkayaan pakan.
Selain pakan, air juga menjadi faktor penting bagi kakatua tanimbar. Menurut
Prijono dan Handini (1998) air bermanfaat untuk berbagai fungsi tubuh seperti
mengangkut zat makanan, mempertahankan bentuk sel, reaksi metabolisme, dan
mengatur suhu tubuh burung. Berdasarkan hasil pengamatan air minum sebaiknya
diganti setiap hari karena air yang tersisa di tempat minum selama dua hari akan
terkontaminasi oleh bakteri dan jamur sehingga akan berdampak pada kesehatan
(Soemarjoto dan Prayitno 1999; Prahara 1999).
Kesehatan
Burung yang sehat terlihat dari perilakunya yang aktif bergerak, menelisik,
makan dan minum secara wajar, dan bulu tidak kusut (Prahara 2000). Jenis penyakit
yang teramati diderita salah satu burung kakatua tanimbar saat penelitian ini yakni
feather plucking. Lung Peng et al. (2014) menyatakan bahwa feather plucking dapat
terjadi akibat stres, bosan, dan kurang sosialisasi. Pencegahan yang dapat dilakukan
untuk mencegah penyakit ini yakni pengkayaan pakan untuk mencegah kebosanan
dan kejenuhan burung dalam kandang.
Pemberian multi vitamin seperti ecotrition cukup baik untuk menjaga
kesehatan burung. Pemberian multi vitamin juga mampu menurukan resiko terkena
penyakit defisiensi atau kekurangan vitamin/mineral. Akan tetapi menurut
Soemarjoto dan Prayitno (1999) pemberian vitamin yang dilarutkan dalam air
minum sebaiknya tidak sampai terkena sinar matahari karena dapat mengurangi
khasiat dari vitamin tersebut. Hal ini harus menjadi pertimbangan bagi pengelola
ketika memberikan ecotrition yang sebaiknya diberikan pada pagi hari.
Manajemen perkembangbiakan
Langkah awal dalam proses perkembangbiakan burung dipenangkaran yakni
pemilihan calon indukan dan penentuan jenis kelamin. Menurut Prahara (1999) ada
beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memilih indukan yakni umur
burung, kondisi fisik burung, dan silsilah burung. Hampir sebagian dari indukan
kakatua di penangkaran Raharjo Bird Farm merupakan hasil pembelian kepada
penghobi burung, sehingga silsilahnya tidak diketahui dan pengelola kesulitan
menduga umur burung. Pengelola hanya melihat dari kondisi fisik dan kondisi
kesehatan burung.
Kakatua tanimbar merupakan jenis monomorfis yakni jantan dan betina tidak
dapat dibedakan dari warna bulunya. Jenis kelamin kakatua tanimbar juga tidak
dapat dibedakan berdasarkan warna iris mata seperti kakatua pada umumnya
(Prahara 1999). Akan tetapi pada Gambar 8 dan hasil pengukuran di Tabel 4 terlihat
bahwa ukuran jantan lebih besar dari pada ukuran betinanya. Hal tersebut sesuai
dengan Setio dan Takandjandji (2007) yang menyatakan bahwa burung jantan
monomorfis memiliki ukuran lebih besar dari pada betinanya.
Setelah pemilihan induk dan penentuan jenis kelamin, langkah selanjutnya
yakni penjodohan. Tahap akhir dari kegiatan penjodohan yakni terbentuknya
19
pasangan. Prahara (1999) yang menyatakan bahwa kakatua yang berjodoh akan
saling berdekatan, saling menelisik bulu, dan melakukan kopulasi. Penjodohan
kakatua tanimbar selama ini yang dilakukan oleh pengelola Rahadjo Bird Farm
dinilai berhasil. Hal tersebut dikarenakan setiap pasangan sudah menunjukan ciri-
ciri burung berpasangan akan tetapi untuk 4 ekor betina yang dibeli tahun 2015
belum bertelur. Menurut Forshaw dan Cooper (1989) kakatua tanimbar dewasa
memiliki panjang tubuh total 32 cm sedangkan hasil pengukuran pada Tabel 4
menunjukan bahwa rata-rata panjang tubuh total kakatua tanimbar jantan dan betina
di Raharjo Bird Farm masing-masing yakni 30 cm dan 28 cm. Berdasarkan hal
tersebut dapat diduga bahwa kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm belum dewasa
atau belum masuk masa bertelur sehingga belum menghasilkan telur seperti
pasangan pertama yang sudah ada sejak 2013.
Perawatan anakan dilakukan setelah telur menetas dan dipindahkan ke
kandang pembesaran anakan. Pengambilan anakan dari sarang buatan harus
menunggu waktu yang tepat yakni 10-14 hari setelah telur menetas sehingga
memudahkan pemberian pakan (Prahara 1999). Hasil penelitian menunjukan bahwa
pengelola biasanya memindahkan anakan dari sarang buatan saat berumur 1-2 hari
yang dinilai masih terlalu rentan untuk dipindahkan.
Keberhasilan Penangkaran
Kakatua yang siap bertelur (masak kelamin) yakni kakatua yang berumur 5
tahun (Prahara 1999). Kakatua tanimbar di alam berbiak mulai bulan Desember
bertepatan dengan awal musim penghujan. Pada saat itu makanan dan air tersedia
sangat melimpah (Cahyadin et al. 1994; Alikodra 1990). Hal tersebut membuat
berbagai jenis satwa mempunyai musim berkembangbiak menjelang musim
penghujan. Kakatua betina mengerami telur selama 28 hari secara bergantian
dengan jumlah telur sekitar 1-3 buah.
Berdasarkan informasi yang tersaji di Tabel 5, diketahui bahwa persentase
daya tetas telur dan kematian anak yakni 50%. Persentase tersebut tergolong sedang
karena setengah dari jumlah telur yang ada tidak dapat menetas. Menurut pengelola
telur yang tidak menetas merupakan telur yang tidak terbuahi. Daya tetas telur yang
menurun juga dapat disebabkan oleh defisiensi nutrisi akibat pakan yang kurang
bervariasi sehingga telur tidak memperoleh nutrisi yang cukup (Wahju 1985).
Untuk persentase induk bertelur yakni 68% dan tergolong tinggi. Faktor yang
mempengaruhi menurunnya persentase induk bertelur pada penangkaran Raharjo
Bird Farm ini yakni pengelola yang menggolongkan 4 betina yang dibeli pada
tahun 2015 sebagai induk sedangkan 4 ekor betina tersebut sebenarnya belum
masak kelamin.
Perilaku Perkembangbiakan
Perilaku satwa merupakan tindakan yang dilakukan satwa untuk
menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan sekitarnya (Alikodra 1990;
Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985). Perilaku terjadi karena adanya suatu
rangsangan yang diterima oleh satwa, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh
rangsangan disebut respon (Alikodra et al. 1989). Perilaku dipengaruhi oleh
kebiasaan atau kegiatan berulang, perubahan-perubahan yang teratur dari kondisi
lingkungan, dan proses belajar.
20
Secara alami, satwa akan berusaha untuk mempertahankan jenisnya dari
kepunahan. Oleh sebab itu satwa melakukan kegiatan atau perilaku reproduksi
(perkembangbiakan). Perilaku reproduksi merupakan kegiatan hewan yang
bertujuan untuk berkembang biak (Putra et al. 2014). Kegiatan reproduksi
merupakan bagian dari fungsi fisiologis yang penting untuk menjamin kelestarian
satwa, sehingga pengetahuan tentang reproduksi sangat menentukan keberhasilan
pengelolaan satwa (Masyud 1995).
Perilaku bercumbu merupakan perilaku prakopulasi yang dilakukan setelah
terbentuknya pasangan. Hasil penelitian Oki (2012) menyebutkan bahwa kakatua
sumba akan melakukan percumbuan yang cukup lama sebelum proses perkawinan.
Perilaku ini ditandai dengan aktivitas saling menelisik bulu dan menegakkan
jambulnya.
Tahapan perilaku bercumbu meliputi aktivitas jantan mendekati betina,
aktivitas saling dekat, dan aktivitas saling menelisik. Aktivitas jantan mendekati
betina menunjukan bahwa burung jantan lebih aktif berjalan atau berpindah
dibandingkan dengan betinanya. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian
Gitta (2011) bahwa kakatua kecil jambul kuning jantan di penangkaran lebih
banyak melakukan aktivitas berjalan dibandingkan dengan betinanya. Menurut
Takandjanji dan Mite (2008) perilaku berjalan banyak dipengaruhi oleh adanya
rangsangan internal dan eksternal. Rangsangan internal berasal dari dalam tubuh
seperti lapar, haus, dan keinginan untuk kawin sehingga burung berjalan untuk
mencari yang diinginkannya. Rangsangan eksternal berasal dari luar, seperti
adannya gangguan di sekitar kandang yang membuat burung melakukan aktivitas.
Selain itu, menurut Takandjandji et al. (2010) aktivitas jantan mendekati betina
merupakan bagian dari perilaku kawin karena sebelum melakukan perkawinan,
terlebih dahulu burung jantan melakukan pendekatan dengan betina. Pasangan yang
sudah berjodoh biasanya akan selalu berdekatan atau bertengger bersama.
Aktivitas saling dekat merupakan aktivitas lanjutan setelah jantan mendekati
betina. Aktivitas saling dekat diduga dilakukan sebagai bentuk perlindungan
kepada pasangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas saling dekat
diakhiri dengan aktivitas saling menelisik (Gambar 9). Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Ameliah (2015) dan Takandjandji et al. (2010) yang menunjukan
bahwa aktivitas saling dekat biasanya diakhiri dengan aktivitas saling menelisik
pasangannya. Perilaku ini dilakukan dengan cara saling membersihkan bulu kepala
dan leher menggunakan paruh (Takandjandji et al. 2010). Aktivitas saling
menelisik merupakan perilaku yang dilakukan burung dalam merawat tubuh agar
bulu tetap sehat, segar, dan mengkilat (Takandjadji dan Mite 2008).
Hasil penelitian Putra (1999) tentang perilaku kawin Cacatua sulphurea
abbotti di Kepulauan Masalembo menunjukan bahwa perilaku kawin diawali
dengan burung jantan yang menggigit bagian pangkal jambul betina kemudian naik
ke punggung betina setelah betina merendahkan posisi tubuhnya. Jantan kemudian
memutar bagian belakang tubuhnya ke arah kiri badan, sedangkan betina dengan
arah yang berlawanan sehingga kloakanya saling berhadapan dan terbuka.
Selanjutnya jantan dapat dengan mudah menyalurkan sperma ke dalam oviduk
betina. Hasil penelitian tersebut juga menunjukan bahwa perilaku kawin kakatua
abbotti lebih sering dilakukan pada pagi hari yakni pukul 05.00-06.00.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perilaku bercumbu lebih sering
dilakukan pada siang hari sekitar pukul 14.00-16.00 WIB, sedangkan perilaku
21
kawin paling sering dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 07.30-09.30 WIB
(Gambar 10). Menurut Takandjandji et al. (2010) kuantitas suatu perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni suhu dan kondisi lingkungan di
penangkaran. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perilaku kawin kakatua.
Keributan atau kegaduhan yang ada di sekitar kandang saat proses perkawinan akan
mengakibatkan burung terganggu dan burung jantan akan menjauhi betinanya.
Frekuensi dan total durasi perilaku perkembangbiakan yang dilakukan
kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm tergolong cukup tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian Gitta (2011) dan Febri (2014) yang tidak menemukan perilaku
perkembangbiakan untuk kakatua kecil jambul kuning dan kakatua sumba. Hal
tersebut juga berdampak kepada keberhasilan reproduksinya. Penelitian Gitta
(2011) menunjukan bahwa kakatua kecil jambul kuning di penangkaran MBOF
belum bertelur karena teknik penjodohannya belum berhasil, sehingga dengan
teridentifikasinya perilaku kawin di suatu penangkaran dapat menjadi indikator
keberhasilan penjodohan yang dilakukan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Manajemen penangkaran kakatua tanimbar di Raharjo Bird Farm
dilaksanakan dengan sistem intensif, yakni seluruh kebutuhan satwa diatur oleh
pengelola. Manajemen yang dilakukan meliputi aspek perkandangan, aspek pakan,
aspek kesehatan, dan aspek perkembangbiakan.
Penangkaran Raharjo Bird Farm sudah berhasil mengembangbiakan
sepasang kakatua tanimbar dari lima pasang yang dimiliki. Persentase jumlah induk
bertelur sebesar 68% yang tergolong tinggi, sedangkan persentase daya tetas telur
dan kematian anak sebesar 50% yang tergolong sedang.
Perilaku perkembangbiakan kakatua tanimbar meliputi perilaku bercumbu
dan perilaku kawin. Frekuensi bercumbu yakni 87,5% dari keseluruhan perilaku
perkembangbiakan dengan durasi total 13 menit atau 0,2% dari total waktu
pengamatan. Perilaku bercumbu terdiri dari aktivitas jantan mendekati betina,
saling dekat, dan saling menelisik. Frekuensi perilaku kawin yakni 12,5% dari
keseluruhan perilaku perkembangbiakan dengan durasi total 2,2 menit atau 0,026%
dari total waktu pengamatan. Perilaku kawin ditandai oleh proses kopulasi dengan
durasi rata-rata yakni 3,5 detik.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran antara lain :
1. Pengelola harus memperhatikan kelengkapan data, aspek pakan, dan waktu
pengambilan anakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan
penangkaran.
2. Penelitian tentang penyebab telur yang tidak terbuahi (tidak dapat menetas) perlu
dilakukan untuk mengetahui dan mencegah penyebabnya terutama pada kakatua
tanimbar.
22
3. Penelitian tentang suhu dan kelembaban optimum di dalam sarang buatan di
penangkaran penting dilakukan untuk mengetahui suhu dan kelembaban yang
baik di dalam sarang buatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin J. 2007. Studi perilaku harian burung kasturi merah (Eos bornea) di
Penangkaran Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Alikodra et al. 1989. Dasar - Dasar Perilaku Satwa. Bogor (ID) : Pusat Antar
Universitas-Ilmu Hayat. IPB
Alikodra HS. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Bogor (ID) : IPB
Altman J. 1974. Observational study of behaviour: sampling methods. Behaviour
49(3/4):227 - 267
Ameliah SA. 2015. Perilaku perkembangbiakan burung jalak bali (Leucopsar
rotschildi Stresemann 1912) dalam penangkaran di Safari Bird Farm
Nganjuk Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Andhikerana et al. 1986. Burung Indonesia Timur. Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Auersperg, Kacelnik, Bayern. 2013. Explorative learning and functional inferences
on a five-step means-means-end problem in goffin’s cockatoos (cacatua
goffini). PlosOne 8(7):1-8.
Cameron M. 2007. Cockatoos. Australia (AU): Csiro Publishing.
Cahyadin Y, Jepson P, Manoppo BI. 1994. The status of Cacatua goffini and Eos
reticulata on the Tanimbar island. PHPA/BirdLife International, Bogor.
Laporan 1.
Forshaw JM, Cooper WT. 1989. Parrots of the World. 3rd ed. Australia(AU):
Landshow.
Febri. 2014. Manajemen penangkaran dan aktivitas harian kakatua sumba (Cacatua
Sulphuera Citrinocristata) di Penangkaran Mega Bird and Orchid Farm
Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Gitta A. 2011. Manajemen penangkaran, aktivitas harian dan perilaku makan
burung kakatua-kecil jambul kuning (cacatua sulphurea sulphurea gmelin,
1788) di penangkaran burung Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa
Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB
Lung Peng SJ, Hessey J, Tsay T, Young Fei AC. 2014. Assessment and treatment
of feather plucking in sulpur-crested cacatua galerita. Jurnal of Animal and
Veterinary Advances. 13(1):51-61.
Martin P, Bateson P. 1988. Measuring Behaviour An Introduction Guide 2nd ed.
Cambridge (UK): Cambridge Univ Pr.
Masyud B. 1995. Pengantar Biologi Reproduksi pada Satwaliar. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Nandika D, Agustina D, Mets S, Zimmermann B. 2013. Kakatua Langka Abbotti
dan Kepulauan Masalembu. Jakarta (ID): Konservasi Kakatua Indonesia North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual 4 th Edition. Avi
Book. New York (US): Nostrand Reinhol.
23
Oki H. 2012.Pengenalan satwa endemik Pulau Sumba : Kakatua sumba (Cacatua
sulphurea cirinocristata). Warta Cendana 6(1):3-6
Paimin FB. 2012. Mesin Tetas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Putra E. 1999. Aspek bioekologi kakatua kecil jambul kuning. [internet]. [diunduh
8 juni 2015] tersedia pada http//burung indonesia.com
Prahara W. 1999. Pemeliharaan, Penangkaran, dan Penjinakan Kakatua. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Prahara W. 2000. Sukses Memelihara Burung Berkicau, Berbulu Indah, Pelatah,
Unik. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Prijono SN, Handini S. 1998. Memelihara, Menangkar dan Melatih Nuri. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Rachmawati S. 2012. Inventarisasi jenis burung yang dipelihara masyarakat kota
ternate, Maluku Utara. BioEdukasi 1(1):39-50.
Romagnano A, Martin SG. 2006. Manual of Parrot Behavior. Luescher AU, editor.
USA (US): Blackwell Publishing.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung (ID): Tarsito.
Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi Ek-situ Burung Endemik Langka
Melalui Penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, hal 47-6.
Soemarjoto R, Prayitno. 1999. Agar Burung Selalu Sehat. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Takandjandji M, Mite M. 2008. Perilaku burung beo alor di penangkaran Oilsonbai,
Nusa Tenggara Timur. Buletin Plasma Nutfah 14(1): 43 – 48.
Takandjandji M, Kayat, Njurumana GND. 2010. Perilaku burung bayan sumba
(Eclectus roratus cornelia Bonaparte) di penangkaran Hambala, Sumba
Timur, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam7(4):357-369
Tanudimadja K, Kusumamihardja S. 1985. Perilaku Hewan Ternak. Bogor (ID).
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Warsito H, Bismark M. 2010. Penyebaran Dan Populasi Burung Paruh Bengkok
Pada Beberapa Tipe Habitat Di Papua (Distribution And Population Of
Parrots On Some Habitat Types In Papua). Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. 7(1):93-102.
Wahju J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Bogor (ID). Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
Widodo W. 2006. Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman
Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah. Biodiversitas 7(1):54-58
Welty JC. 1979. The Life of Bird. Third Edition. New York: Saunders College
Publishing
Lam
pir
an 1
S
uhu d
an k
elem
bab
an s
elam
a p
engam
atan
a)
Suhu
Wak
tu
H1
H2
H3
H4
H5
H6
H
7
H8
H
9
H10
H11
H12
Tota
l R
ata-
rata
08.0
0
29
28
28
27
27
28
26
29
29
28
27
27
333
27,7
5
13.0
0
26
31
32
32
35
35
35
35
32
35
35
35
398
33,1
6
17.0
0
26
29
26
27
30
30
30
31
29
27
30
30
345
28,7
5
b)
Kel
embab
an
Wak
tu
H1
H
2
H3
H
4
H5
H
6
H7
H
8
H9
H
10
H
11
H
12
T
ota
l R
ata-
rata
08
.00
83
82
82
91
91
91
90
83
83
9
1
91
9
1
10
49
87
,41
13
.00
90
68
69
69
64
64
64
64
69
6
4
64
6
4
81
3
67
,75
17
.00
90
75
90
91
75
75
75
75
83
9
1
75
8
3
97
8
81
,5
Lam
pir
an 2
P
engukura
n b
obot
tubuh d
an b
eber
apa
par
amet
er m
orf
om
etri
kak
atua
tanim
bar
Pas
angan
ke-
1 (
pas
angan
th 2
013)
Par
amet
er y
ang d
iam
ati
Bobot
tubuh
(gra
m)
Pan
jang t
ubuh t
ota
l
(cm
)
Pan
jang s
ayap
(cm
) P
anja
ng e
kor
(cm
)
Janta
n
323
33
23
11
Bet
ina
228
28
19
11
Pas
angan
ke-
2 (
sala
h s
atu p
asan
gan
th
2015)
Par
amet
er y
ang d
iam
ati
Bobot
tubuh
(gra
m)
Pan
jang t
ubuh t
ota
l
(cm
)
Pan
jang s
ayap
(cm
) P
anja
ng e
kor
(cm
)
Janta
n
259
28
18
10,5
Bet
ina
209
28
15
9,5
24
2
Lam
pir
an 3
T
ota
l dura
si d
an p
erse
nta
se d
ura
si p
eril
aku p
erkem
ban
gbia
kan
den
gan
tota
l w
aktu
pen
gam
atan
Per
ilak
u
H1
H2
H3
H
4
H5
H6
H
7
H8
H9
H
10
H11
H12
H13
H14
Tota
l
(det
ik)
Tota
l
(men
it)
%
dura
si
Ber
cum
bu (
det
ik)
71
140
130
73
23
63
32
17
36
37
44
34
46
33
779
13 m
enit
0,2
Kaw
in (
det
ik)
0
0
0
25
0
14
20
0
14
0
10
13
37
0
133
2,2
men
it
0,0
26
Lam
pir
an 4
F
rekuen
si d
an p
erse
nta
se f
rekuen
si p
eril
aku p
erk
emban
gbia
kan
kak
atua
tanim
bar
Har
i k
e-
Fre
ku
ensi
P
erse
nta
se f
rekuen
si
Ber
cum
bu
K
awin
B
ercu
mbu
K
awin
1
4
0
100
0
2
8
0
100
0
3
6
0
100
0
4
5
1
83,3
3
16,6
7
5
2
0
100
0
6
5
1
83,3
3
16,6
7
7
3
1
75
25
8
3
0
100
0
9
2
1
66,6
7
33,3
3
10
3
0
100
0
11
3
1
75
25
12
2
1
66,6
7
33,3
3
13
3
1
75
25
14
3
0
100
0
Rat
a-ra
ta
87,5
0
12,5
0
25
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sidokayo, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten
Lampung Utara pada tanggal 15 Februari 1995 dari pasangan Bapak Juswadi dan
Ibu Indauwati. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Tahun 2012
penulis lulus dari SMAN 01 Bukit Kemuning Lampung Utara dan diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan atau Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis diterima di Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) yang tergabung
dalam Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Perenjak” pada tahun 2014-2015.
Selama menjadi anggota HIMAKOVA, penulis pernah mengikuti kegiatan
Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) ke Taman Nasional Aketajawe
Lolobata, Maluku pada tahun 2014 dan ke Taman Nasional Gunung Tambora, NTB
pada tahun 2015. Pada tahun sama penulis juga berkesempatan mengikuti kegiatan
International Ornithological Congress of Southeast Asia 2015 di Khon Kaen
University, Thailand sebagai Poster Presentation. Penulis juga terpilih menjadi
Mahasiswa Berprestasi ke-2 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata tahun 2015.
Selain itu, pada tahun 2014 penulis juga pernah menjadi peserta terbaik dalam
kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Gunung
Sawal dan Cagar Alam serta Taman Wisata Alam Pangandaran. Pada tahun 2015
penulis juga mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat serta mengikuti Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) pada tahun
2016 di Taman Nasional Gunung Merbabu.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul “Manajemen Penangkaran dan Perilaku Perkembangbiakan Kakatua
Tanimbar di Raharjo Bird Farm Solo, Jawa Tengah” yang dibimbing oleh Ir. Lin
Nuriah Ginoga M.Si dan Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS.
26