Top Banner
MAKALAH MANAGEMENT OF ACUTE CORONARY SYNDROME RINGKASAN Infark Miokard Akut (IMA) sangat berpotensi menjadi fatal karena adanya silent infark dan cardiac Arrest yang terjadi diluar hospital (RS) namun sebetulnya dapat dicegah asal pengetahuan masyarakat akan keluhan Chest Pain dan diagnose lebih dini bisa ditegakkan. Infark Miokard Akut adalah nekrosis dari miokard yang terjadi akibat insufisiensi aliran darah lewat koroner yang mendadak sehingga aliran darah koroner tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen. Infark Miokard Akut memberikan gambaran klinis yang khas berupa nyeri dada, kelainan EKG yang khas dan kenaikan serum enzim. Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30% terjadi pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary Care Unit (CCU) mulai tahun 1960 angka kematian turun menjadi 20% dan selanjutnya dengan penggunaan terapi Trombolitik pada tahun 1980 angka kematian menurun menjadi 10% dan kematian mendadak dapat merupakan manifestasi pertama dari IMA. Pengenalan dini dari IMA serta pengobatan dalam fase Pra hospital mempunyai peranan penting yaitu pengetahuan masyarakat akan keluhan nyeri dada, usaha meminta pertolongan pada petugas ambulan atau petugas pelayanan medik emergensi dengan peralatan defibrilator, trombolitik dan monitoring EKG berlanjut berperan bahwa 50% dari 1
56

Management of Acute Coronary Syndrome

Dec 27, 2015

Download

Documents

Pembelajaran
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Management of Acute Coronary Syndrome

MAKALAH

MANAGEMENT OF ACUTE CORONARY SYNDROME

RINGKASAN

Infark Miokard Akut (IMA) sangat berpotensi menjadi fatal karena adanya silent

infark dan cardiac Arrest yang terjadi diluar hospital (RS) namun sebetulnya dapat

dicegah asal pengetahuan masyarakat akan keluhan Chest Pain dan diagnose lebih dini

bisa ditegakkan.

Infark Miokard Akut adalah nekrosis dari miokard yang terjadi akibat

insufisiensi aliran darah lewat koroner yang mendadak sehingga aliran darah koroner

tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen.

Infark Miokard Akut memberikan gambaran klinis yang khas berupa nyeri dada,

kelainan EKG yang khas dan kenaikan serum enzim.

Angka kematian di negara maju/industri masih cukup tinggi yaitu 30% terjadi

pada 2 jam pertama perawatan, namun setelah ada pelayanan Coronary Care Unit

(CCU) mulai tahun 1960 angka kematian turun menjadi 20% dan selanjutnya dengan

penggunaan terapi Trombolitik pada tahun 1980 angka kematian menurun menjadi 10%

dan kematian mendadak dapat merupakan manifestasi pertama dari IMA.

Pengenalan dini dari IMA serta pengobatan dalam fase Pra hospital mempunyai

peranan penting yaitu pengetahuan masyarakat akan keluhan nyeri dada, usaha meminta

pertolongan pada petugas ambulan atau petugas pelayanan medik emergensi dengan

peralatan defibrilator, trombolitik dan monitoring EKG berlanjut berperan bahwa 50%

dari kematian terjadi pada jam pertama, sembilan puluh persen dari kematian

disebabkan oleh Ventrikel Fibrilasi.

Pengobatan Pra Hospital dapat berupa pemasangan infus, pemberian oksigen,

monitoring EKG, opioid, trombolitik dan penderita segera diangkut ke hospital.

Selanjutnya perawatan di Hospital dilakukan tindakan-tindakan untuk

mengkonfirmasikan diagnosa dengan pemeriksaan EKG, serum enzim, bila mungkin

dengan Radio Nuclide Imaging, prosedur non invasif dan invasif seperti Swan Ganz

Kateter dan Balloon Flotation Kateter, dan mengobati komplikasi-komplikasi berupa:

gagal jantung, aritmia, syok, tromboemboli.

Terdapat 3 fase perawatan di CCU yaitu: perawatan emergensi; menghilangkan

nyeri dada dan mencegah dan mengobati aritmia, perawatan awal berupa; terapi

reperfusi dan penanganan komplikasi, serta perawatan lanjut; untuk mencegah

komplikasi dan kematian.

1

Page 2: Management of Acute Coronary Syndrome

Perawatan Pasca Hospital berupa penilaian terhadap risiko, program rehabilitasi

dan prevensi sekunder. Penilaian risiko digolongkan menjadi risiko tinggi, risiko

menengah dan rendah, program rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan keadaan

fisik, psikologik dan sosio ekonomi seperti sebelum sakit serta prevensi sekunder

berupa penanganan faktor risiko, program diet, olah raga dan obat-obat: antiplatelet

agregasi, -blocker, Calcium antagonist, Nitrat, ACE inhibitor serta obat penurun lipid.

I. Pendahuluan

Perjalanan alami dari Infark Miokard Akut (IMA) sukar ditentukan dengan

beberapa alasan: kejadian infark tanpa keluhan yang umum terjadi, angka kematian

karena penyakit koroner akut diluar rumah sakit, dan bervariasinya metode yang

digunakan dalam mendiagnosis penyakit ini. Penelitian pada beberapa kelompok

masyarakat menunjukkan secara konsisten bahwa fatalitas dari serangan jantung

akut pada bulan pertama sebesar kira-kira 50% dan setengah dari kematian yang ada

terjadi kira-kira pada 2 jam pertama. Mortalitas yang tinggi ini tampaknya sedikit

berubah selama 30 tahun terakhir. Kebalikan dengan angka mortalitas di

masyarakat, terdapat penurunan yang nyata pada angka kematian penderita yang

dirawat di rumah sakit. Seiring pengenalan adanya unit rawat jantung di tahun 1960,

mortalitas di rumah sakit berkisar antara 25-30%. Penelitian lanjutan tentang

mortalitas pada era pre-trombolitik pertengahan tahun 1980 menunjukkan kematian

rata-rata 18%. Angka mortalitas pada bulan pertama telah dapat diturunkan, akan

tetapi tetap tinggi meskipun obat trombolitik dan aspirin digunakan secara luas.

Maka, pada penelitian MONICA (monitoring trends and determinants in

cardiovascular disease) akhir-akhir ini di 5 kota, kematian pada hari ke-28 adalah

13-27%. Penelitian lain melaporkan angka kematian dalam 1 bulan sebesar 10-20%

(Monica, 1994).

Beberapa tahun sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang diperkirakan

menyebabkan kematian pada pasien yang masuk rumah sakit dengan infark

miokard. Faktor utama tersebut adalah usia, riwayat penyakit terdahulu (diabetes,

infark sebelumnya) ukuran infark yang luas, termasuk lokasi infark (anterior vs

inferior), tekanan darah yang rendah, adanya kongestif pulmonal dan perluasan

iskemia sebagaimana diekspresikan dengan elevasi dan atau depresi segmen ST

pada elektrokardiogram. Faktor-faktor tersebut masih tetap berperanan sampai saat

ini (Maynard, 1993).

2

Page 3: Management of Acute Coronary Syndrome

II. Penatalaksanaan Infark Miokard Akut

Sementara perhatian utama dari dokter adalah untuk mencegah kematian,

perawatan terhadap pasien infark miokard ditujukan untuk meminimalkan keluhan

dan stres serta untuk membatasi perluasan kerusakan miokard. Perawatan tersebut

dapat dibagi menjadi 3 fase (Hopper, 1989):

1. Penanganan darurat dengan pertimbangan utama untuk menghilangkan nyeri dan

mencegah atau menangani henti jantung.

2. Penanganan dini dengan pertimbangan utama untuk reperfusi dan mencegah

perluasan infark, serta untuk menangani komplikasi akut seperti kegagalan

pompa jantung, syok dan aritmia yang mengancam jiwa.

3. Penanganan lanjut yang ditujukan untuk menangani komplikasi yang terjadi di

CCU (coronary care unit), dan post CCU.

II.1. Perawatan Pra-Rumah Sakit (Pre Hospital)

A. Keterlambatan Pasien

Waktu yang paling kritis pada suatu serangan jantung akut adalah fase awal,

saat pasien berada dalam keadaan nyeri hebat dan dalam bahaya henti jantung.

Lebih jauh lagi, semakin awal beberapa penanganan, terutama trobolisis, semakin

besar efek yang menguntungkan. Tetapi, seringkali terjadi satu jam atau lebih dari

onset sebelum bantuan diminta. Kadang-kadang terdapat bukti bahwa gejala-gejala

tidak berat atau tipikal, atau onset tiba-tiba, namun seringkali tindakan darurat tidak

dilakukan saat kejadian tersebut. Seharusnya menjadi pedoman umum dari

perawatan pasien dengan penyakit jantung iskemik untuk memberitahu mereka dan

keluarganya mengenai gejala dari serangan jantung dan bagaimana merespons

terhadap hal tersebut. Agak kurang dipahami peran edukasi dari masyarakat umum.

Tentunya, masyarakat harus sadar tentang bagaimana cara memanggil layanan

kedaruratan, meskipun mereka telah mencapai beberapa kemajuan, masih

dipertanyakan apakah peran edukasi publik memiliki peran yang bermakna

(Maynard, 1993).

B. Edukasi Publik dalam RKP

Teknik pertolongan hidup dasar (basic life support) harus menjadi bagian

dari kurikulum sekolah. Mereka yang mungkin menjumpai henti jantung saat kerja,

seperti halnya polisi dan petugas pemadam kebakaran, harus terampil dalam RKP.

3

Page 4: Management of Acute Coronary Syndrome

C. Pelayanan Ambulans

Pelayanan ini memegang peran penting dalam penanganan IMA dan henti

jantung. Kualitas dari perawatan yang diberikan tergantung kepada ketrampilan dari

staf. Pada tahap awal, personel ambulans harus dilatih untuk mengenali gejala infark

miokard, memberikan oksigen, obat penghilang nyeri dan melakukan basic life

support. Semua ambulans darurat harus diperlengkapi dengan defibrilator dan

minimum salah satu personelnya terlatih untuk melakukan advanced life support.

Dokter yang berada di ambulans, seperti terdapat di beberapa negara, punya

kemampuan diagnostik yang lebih maju dan ketrampilan terapi yang memadai

termasuk hak untuk memberikan opioid dan obat trombolitik. Di beberapa negara,

perawat yang dilatih khusus dapat menggantikan posisi dokter ini. Sangat

diharapkan dari staf ambulans agar mencatat ECG untuk tujuan diagnostik dan

menginterpretasi atau mentransfernya sehingga dapat dibaca oleh staf yang

berpengalaman pada unit perawatan jantung ditempat lain. Pencatatan ECG terutama

untuk perawatan berperan besar dalam penanganan di rumah sakit.

D. Dokter Umum

Di beberapa negara, dokter umum memegang peranan penting dalam

perawatan awal dari infark miokard. Di negara-negara ini, mereka adalah yang

pertama dipanggil oleh pasien. Jika mereka bereaksi dengan cepat dan terlatih

dengan baik maka sangat efektif karena mereka mengenali pasien secara individual,

mencatat dan menginterpretasikan ECG, dapat memberikan opioid dan obat

trombolitik, dan melakukan defibrilasi. Pada kebanyakan negara, dokter umum tidak

terlatih dengan baik. Pada keadaan ini walau diharapkan mereka dapat menangani

pasien tanpa tertunda mereka sebaiknya cepat memanggil ambulans.

E. Prosedur Masuknya Pasien

Proses yang dilalui oleh pasien setiba mereka di rumah sakit haruslah cepat,

khususnya menyangkut diagnosis dan pemberian trombolitik jika ada indikasinya.

Di beberapa rumah sakit, pengiriman langsung pasien ke unit rawat jantung adalah

cara yang terbaik, tetapi sering pasien pertama akan dikirim ke unit gawat darurat.

Penundaan perawatan pada saat ini sangatlah berpengaruh, tersedianya staf yang

berkualitas merupakan hal yang yang sangat penting untuk memeriksa dan

menangani pasien yang dicurigai menderita infark miokard. Pasien dengan

gambaran clear-cut infark miokard, yang ECGnya menunjukkan adanya elevasi ST

atau block bundle branch, harus melewati sistem pelayanan yang cepat, dimana

trombolitik diberikan di unit gawat darurat sehingga waktu door-to-needle tidak

4

Page 5: Management of Acute Coronary Syndrome

lebih dari 20 menit. Pada kasus ini diperlukan pemeriksaan yang lebih teliti yang

mungkin lebih baik di unit rawat jantung (CVCU).

II.2. Perawatan Rumah Sakit (Hospital)

A. Perawatan di Ruangan Koroner/Emergensi

Semua pasien dengan kecurigaan adanya infark miokard sebaiknya segera

diperiksa dan dirawat di unit yang didesain khusus untuk itu, dimana selalu tersedia

tenaga yang terlatih dan peralatan yang memadai. Bila unit ini ada, maka triage,

berperan penting untuk menentukan pengaturan alih ke ruangan lain bagi mereka

yang tidak membutuhkan fasilitas yang canggih (Amstrong, 1972).

1. Monitoring non invasif

Monitoring ECG untuk terjadinya aritmia harus segera dimulai pada semua

pasien yang dicurigai mempunyai infark miokard akut. Hal ini harus dilanjutkan

sampai 24 jam atau sampai diagnosis lain dibuat. Pengamatan ECG lebih lanjut

tergantung pada faktor resiko dari pasien tersebut dan alat yang tersedia. Ketika

pasien meninggalkan CCU, pengamatan irama jantung dapat dilanjutkan bila perlu

dengan telemetri. Pengamatan lebih lama diperlukan pada pasien dengan gagal

jantung yang menetap, syok atau aritmia yang serius pada fase akut karena resiko

aritmia sangat tinggi.

2. Monitoring invasif

Semua CCU harus mempunyai tenaga terlatih dan alat untuk melakukan

monitoring invasif dari tekanan arteri pulmonal. Monitoring tekanan arteri harus

dilakukan pada pasien dengan syok kardiogenik. Kateter balon, seperti kateter

Swan-Gaz, berguna untuk pemeriksaan dan perawatan pasien dengan output jantung

yang rendah. Kateter ini diindikasikan pada keberadaan syok kardiogenik, gagal

jantung yang progresif, dan kecurigaan adanya defek septum ventrikuler atau

disfungsi otot papilaris.

Pertama, diagnosis kerja infark miokard harus ditegakkan. Biasanya

berdasarkan riwayat adanya nyeri dada yang parah yang berlangsung selama 15

menit atau lebih, dan tidak berespon dengan nitrogliserin. Tetapi nyeri mungkin

tidak parah, khususnya pada orang tua, gejala lain seperti dispnoe, pingsan atau

sinkope umumnya terjadi. Petunjuk penting adalah riwayat penyakit koroner

terdahulu, dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Tidak ada

keseragaman gejala individual dari infark miokard, tetapi kebanyakan pasien

mengalami aktivasi saraf otonom (pucat, berkeringat) serta hipotensi atau tekanan

5

Page 6: Management of Acute Coronary Syndrome

nadi yang menurun. Gambarannya bisa termasuk nadi yang irreguler, bradikardi atau

takikardi, bunyi jantung III dan ronchi pada basal. Elektrokardiogram harus

dilaksanakan secepat mungkin. Bahkan pada tahap awal, ECG sering normal. Akan

tetapi ECG sering bervariasi pada jam-jam awal dan bahkan pada infark akut sering

menunjukkan tidak adanya gambaran khas elevasi ST dan gelombang Q baru.

Ulangan ECG harus dilakukan dan jika mungkin, ECG yang terakhir harus

dibandingkan dengan ECG sebelumnya. Monitoring ECG sebaiknya dilakukan

secepat mungkin pada pasien yang mempunyai aritmia yang membahayakan. Ketika

diagnosis masih meragukan, uji marker serum sangatlah berarti. Pada kasus yang

sulit, echokardiografi dan angiografi mungkin dapat membantu. Pengobatan

terhadap nyeri merupakan hal yang sangat penting, tidak hanya oleh karena alasan

kemanusiaan, tetapi karena nyeri dapat dihubungkan dengan aktivasi simpatetik

yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan kerja jantung. Opioid

intravena (morfin) atau jika ada, diamorfin adalah analgesik yang umumnya

digunakan pada kasus ini, injeksi intramuskular harus dihindari. Ulangan dosis

mungkin diperlukan. Efek sampingnya meliputi mual dan muntah, hipotensi dan

bradikardi, dan depresi napas. Obat antiemetik dapat digunakan secara bersamaan

dengan opioid. Hipotensi dan bradikardi yang terjadi biasanya bereaksi dengan

atropin dan depresi napas bereaksi dengan naloxon, yang sebaiknya selalu tersedia.

Jika opioid gagal untuk menghilangkan nyeri setelah pemberian ulangan, --blocker

atau nitrat intravena sering efektif. Tenaga medis mempunyai pilihan yang terbatas

pada obat opioid yang non adiktif dan disesuaikan dengan ketersediaan yang

berbeda-beda pada tiap senter. Oksigen sebaiknya diberikan pada pasien yang sesak

napas atau mempunyai gejala gagal jantung atau syok.

Kecemasan merupakan respon alami terhadap nyeri dan terhadap serangan

jantung. Keyakinan pasien dan keluarga yang terlibat merupakan hal yang sangat

penting. Jika pasien merasa sangat terganggu, dapat diberikan obat penenang, tetapi

opioid adalah obat yang cukup memadai (E.R.C, 1992).

3. Basic Life Support

Bagi yang tidak terlatih atau tidak diperlengkapi untuk melakukan advanced

life support sebaiknya memulai dengan basic life support seperti yang

direkomendasikan oleh European Resucitation Council.

4. Advanced Life Support

Paramedis terlatih dan tenaga kesehatan lainnya harus mengerjakan

advanced life support, seperti yang digambarkan dalam buku petunjuk European

Resucitation Council.

6

Page 7: Management of Acute Coronary Syndrome

B. Perawatan Awal

1. Pengobatan trombolitik

Lebih dari 1000 pasien secara random diikutkan dalam penelitian

trombolisis vs kontrol, memakai satu macam trombolitik dibandingkan dengan

yang lainnya. Pada pasien yang mempunyai onset gejala infark dalam 12 jam,

terbukti bahwa keuntungan terapi dengan trombolitik sangat menakjubkan

(Stevenson, 1993).

Pada pasien yang menunjukkan gejala dalam 6 jam, dan elevasi ST atau

bundle branch block, sekitar 30 kematian dapat dicegah tiap 1000 orang yang

diobati. Pada yang menunjukkan gejala antara 7-12 jam, 20 kematian dapat

dicegah tiap 1000 orang yang mendapat pengobatan. Bila lebih dari 12 jam tidak

ada bukti yang meyakinkan tentang keuntungannya.

Penelitian ISIS-2 menunjukkan keuntungan pemberian aspirin, sehingga

ada penurunan kira-kira sebesar 50 kematian tiap 1000 orang diterapi. Secara

keseluruhan, keuntungan terbesar terlihat pada pasien dengan resiko tinggi,

walau proporsional keuntungannya hampir sama. Maka, lebih banyak nyawa

terselamatkan tiap 1000 nyawa yang diobati Thrombolitik, sebagai contoh

diantaranya mereka yang berusia 65 tahun keatas, yang mempunyai tekanan

sistolik <160mmHg, yang mempunyai infark anterior atau yang mempunyai

bukti iskemia yang lebih berat (Adams, 1993).

a. Jangka waktu pengobatan

Keuntungan terbanyak terlihat pada mereka yang mendapat

pengobatan segera setelah onset gejala muncul. Sebuah analisa penelitian

dimana pasien diacak untuk trombolisis pre dan dalam rumah sakit

menunjukkan bahwa menyelamatkan satu jam mengurangi kematian secara

signifikan, tetapi pada penelitian yang relatif kecil gagal menunjukkan

besarnya angka keuntungan yang pasti. Pada pengamatan terhadap

fibrinolitik didapat penurunan yang progresif sekitar 1-6 kematian tiap jam

penundaan per 1000 pasien yang diobati.

b. Bahaya trombolisis

Terapi trombolitik dihubungkan dengan timbulnya efek samping

cukup signifikan, yaitu 3-9 ekstra stroke per 1000 pasien yang diobati, dan

semua bahaya tersebut timbul pada hari pertama setelah pengobatan. Stroke

awal dianggap berasal dari perdarahan serebral; stroke selanjutnya lebih

sering karena trombosis atau emboli. Resiko stroke bervariasi tergantung

pada umur. Terdapat peningkatan resiko untuk orang dengan usia diatas 75

tahun dan juga bagi mereka yang mempunyai hipertensi sistolik. Pemberian

7

Page 8: Management of Acute Coronary Syndrome

streptokinase dan anistreplase mungkin dihubungkan dengan hipotensi,

tetapi reaksi alergi berat jarang terjadi. Pemberian hidrokortison secara rutin

bukan merupakan indikasi. Jika terjadi hipotensi, berilah infus, letakkan

pasien berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi. Terkadang atropin dan

plasma ekspander juga dibutuhkan (T.T.T, 1994).

c. Perbandingan obat-obat trombolitik

Tidak ada perbedaan mortalitas antara pemberian streptokinase dan t-

PA (tissue plasminogen activator) atau anistreplase. Pemberian heparin

subkutan tidak akan menurunkan mortalitas dibanding mereka yang tidak

diberi. Resiko stroke pada pemberian t-PA atau anistreplase lebih tinggi

dibanding dengan streptokinase. Pilihan strategi reperfusi tergantung kepada

risiko masing-masing individu juga faktor-faktor seperti ketersediaan dan

efektivitas biaya.

d. Implikasi klinis

Berdasarkan pada beberapa kejadian yang diamati, terdapat

keuntungan ganda dalam morbiditas dan mortalitas untuk terapi yang tepat

pada IMA dengan trombolisis dan aspirin, bahwa kedua obat tersebut juga

berefek aditif. Jika fasilitas yang memadai tersedia, dengan tenaga medis dan

paramedis yang terlatih, trombolisis pre-rumah sakit mungkin dapat

dilakukan jika penderita menunjukkan gambaran klinis infark miokard dan

ECG menunjukkan elevasi ST dan bundle branch block.

Kecuali jika jelas ada kontra indikasi, pasien dengan infark, yang

didiagnosis dengan gejala klinis, elevasi segmen ST atau bundle branch

block, harus mendapat terapi aspirin dan obat trombolitik dengan penundaan

seminim mungkin. Jika EKG pertama tidak menunjukkan perubahan

diagnostik, rekaman EKG serial dan kontinyu sebaiknya dilakukan. Analisa

enzim yang cepat, ECG, dan kadang-kadang angiografi dapat berguna.

Tujuan yang realistik adalah untuk pemberian trombolisis dalam waktu 90

menit pada pasien yang butuh terapi segera. Pada pasien yang mengalami

perubahan secara perlahan atau yang infark miokardnya tidak jelas, EKG

serial dan pemeriksaan klinis sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi infark

yang bekembang secara lambat (dengan analisa enzym yang cepat jika

tersedia).

Terapi trombolitik tidak boleh diberikan pada keadaan:

Mereka dengan kemungkinan keberhasilan kecil, misal jika EKG

tetap normal, atau menunjukkan hanya ada perubahan gelombang T. Pada

8

Page 9: Management of Acute Coronary Syndrome

percobaan klinis tidak menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan

depresi ST, walau resiko pasien ini tinggi (ISIS-3, 1992).

e. Kontra indikasi terapi trombolitik

Stroke

Ada riwayat trauma mayor/bedah/luka kepala dalam 3 minggu

Perdarahan Gastro Intestinal dalam 1 bulan terakhir

Kelainan darah

Dissecting aneurisma

f. Kontra indikatif relatif

Serangan iskemia transient dalam 6 bulan terakhir

Terapi coumadin/walfarin

Kehamilan

Puncture atau kebocoran yang tidak bisa ditekan saja

Resusitasi trauma

Hipertensi refrakter (sistolik>180mmHg)

Riwayat terapi laser retina.

g. Pemberian kembali obat trombolitik

Jika ada bukti reoklusi atau reinfark dengan rekuren elevasi ST atau

bundle branch block. Streptokinase dan terapi trombolitik tetap dilanjutkan,

atau dipertimbangkan angioplasti. Streptokinase dan anistreplase tidak

diberikan kembali dalam jangka waktu 5 hari dan minimal 2 tahun setelah

terapi awal dengan salah satu obat ini (Gusto, 1993).

h. Terapi antitrombolitik dan antiplatelet tambahan

Keuntungan tambahan aspirin telah dijelaskan diatas. Masih tidak

jelas apakah aspirin bekerja dengan cara meningkatkan trombolisis,

mencegah reoklusi atau dengan membatasi pengaruh mikrovaskular dari

aktivasi platelet. Dosis pertama yaitu 150-160mg harus dikunyah dan dosis

yang sama diberikan per oral setiap harinya. Heparin tidak memperbaiki lisis

bekuan secara cepat tetapi patensi koroner yang dievaluasi dalam beberapa

jam atau hari setelah pemberian trombolisis terlihat lebih baik dengan

intravena heparin. Tidak ada perbedaan yang terlihat apakah heparin dan

streptokinase diberikan secara subkutan atau intravena. Pemberian heparin

yang diperpanjang tidak terlihat dapat mencegah reoklusi setelah terbukti

secara angiografi terjadi trombolisis koroner, atau sebelum pemberian

coumadin. Infus heparin setelah terapi t-PA dapat dihentikan setelah 24-28

jam. Obsevasi ketat dari terapi heparin adalah evaluasi PTT dihubungkan

dengan resiko terjadinya perdarahan serebral. Pada percobaan ISIS-2,

9

Page 10: Management of Acute Coronary Syndrome

pemberian heparin subkutan (12.500U) tidak mempengaruhi mortalitas

walau dikombinasi dengan aspirin, streptokinase, alteplase, atau anistreplase

(Gissi, 1986).

Tabel 1. Pemberian Trombolitik pada IMA

No. TOMBOLITIK PENGOBATAN AWAL PENGGUNAAN

HEPARIN

1. Streptokinase (K) 1,5 juta unit dalam 100 cc Dextrose

5% atau N.S. 0,9% 30-60 menit

12.500 unit cara S.C.

2 kali sehari

2. Anistreplase 30 unit diberikan I.V. dalam 3-5

menit

-

3. Alteplase (tPA) Total dosis <100 mg

0,7 mg/kg 30 menit

Diberikan I.V. dalam

48 jam

4. Urokinase 2 juta unit I.V.

Bolus + 1,5 juta unit 1 jam

Diberikan I.V. dalam

48 jam

(Eur. Heart. J. 1996)

2. Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)

Peranan PTCA pada jam-jam awal dari infark miokard dibagi menjadi

angioplasti primer, angioplasti yang dikombinasi dengan trombolisis dan

angioplasti penyelamatan (Gibbons, 1993).

a. Angioplasti primer

Digolongkan sebagai PTCA tanpa diikuti pengobatan trombolitik dan

merupakan terapi pilihan hanya bila akses cepat (<1 jam) ke laboratorium

kateterisasi yang memungkinkan. Hal ini membutuhkan tim khusus, yang

melibatkan tidak hanya ahli kardiologi, tetapi juga staf yang terlatih dengan

baik. Hal ini hanya di rumah sakit yang mempunyai ahli kardiologi dan alat

yang dapat melakukannya. Sedang pasien yang dirawat di rumah sakit tanpa

fasilitas ini, harus mempertimbangkan keterlambatan terapi dan juga resiko

transportasi menuju laboratorium keteterisasi.

Angioplasti primer efektif dalam menjaga patensi arteri koroner dan

menghindari resiko terjadinya perdarahan otak karena obat trombolitik. Bila

dibandingkan dengan terapi trombolitik ada keuntungan antara lain

perbaikan patensi yang lebih baik, fungsi ventrikel yang lebih baik, dan

kecenderungan untuk hasil klinis yang lebih baik pula. Pasien dengan

kontraindikasi terhadap trombolitik mempunyai morbiditas dan mortalitas

yang lebih tinggi daripada yang diterapi dengan ini. PTCA primer dapat

dilakukan dengan sukses pada sebagian besar pasien, tetapi pengalaman

10

Page 11: Management of Acute Coronary Syndrome

masih terbatas, disamping itu keefektifan dan keselamatan diluar pusat

pelayanan masih kurang baik hasilnya.

b. Angioplasti yang dikombinasi dengan trombolitik

PTCA yang dilakukan setelah pemberian trombolitik yang

dimaksudkan untuk meningkatkan reperfusi atau menurunkan resiko reoklusi

telah menunjukkan bukti rendah keberhasilannya dan membuktikan

kecenderungan meningkatkan komplikasi dan kematian. Oleh karena itu

tidak dianjurkan.

c. Rescue angioplasti (Angioplasti Penyelamatan)

Merupakan PTCA yang dilakukan pada arteri koroner yang tetap

mengalami oklusi setelah pemberian trombolitik. Pengalaman terbatas yang

didapat dari dua penelitian acak menunjukkan kecenderungan adanya hasil

yang lebih baik jika pembuluh darah yang mengalami sumbatan di

rekanalisasi saat angioplasti. Walaupun angka keberhasilan angioplasti

cukup tinggi, masalah yang belum terpecahkan adalah kurang bisa

diterimanya metode invasif untuk menimbulkan patensi pembuluh darah.

3. Coronary Artery Bypass Surgery (CABG)

Pembedahan ini jarang sekali dilakukan untuk menangani infark miokard

akut tetapi diindikasikan bila PTCA gagal pada saat kateterisasi atau bila

dihubungkan dengan pembedahan untuk defek septum intraventrikel atau

regurgitasi mitral karena disfungsi dan ruptur otot papiler.

4. Terapi Profilaksis Pada Fase Akut

a. Aspirin

Efektifitas aspirin ditunjukkan dari studi ISIS-2 yang menunjukkan

bahwa keuntungan aspirin dan streptokinase saling melengkapi. Pada

percobaan yang melibatkan lebih dari 17.000 pasien ini, 160 mg tablet

pertama dikunyah, selanjutnya 160 mg tablet ditelan setiap hari. Mortalitas

pada mereka yang mendapatkan aspirin pada studi ini adalah 9,4%

dibandingkan mereka yang menerima plasebo yaitu 11,8%. Hal ini efektif

baik bagi mereka yang menerima trombolisis atau yang tidak. Pada

pengamatan secara keseluruhan dari studi aspirin didapatkan 29%

pengurangan angka kematian, dengan mortalitas vaskuler 24 nyawa

terselamatkan dari 1000 pasien. Bahkan didapatkan angka yang lebih kecil

untuk terjadinya stroke non fatal dan reinfark miokard yang non fatal pada

kelompok yang mendapat pengobatan.

Sedikit kontraindikasi penggunaan aspirin, aspirin tidak boleh

diberikan pada orang yang alergi, perdarahan tukak peptik, kelainan darah,

11

Page 12: Management of Acute Coronary Syndrome

atau penyakit hepar yang parah. Aspirin mungkin dapat memicu spasme

bronkus pada asma. Tidak seperti pada trombolisis, tidak ada bukti yang

jelas hubungan antara keefektifan dan waktu dari terjadinya keluhan dan

gejala. Aspirin sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada semua pasien

dengan sindrom koroner akut setelah diagnosis ditegakkan (ISIS-3, 1993).

b. Obat anti-aritmia

Walaupun lignocaine dapat menurunkan insiden fibrilasi ventrikular

pada fase akut miokard infark, obat ini dapat meningkatkan resiko asistole.

Analisa dari 14 studi menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada

kelompok yang mendapat terapi lignocaine dibanding kontrol. Penggunaan

obat ini untuk profilaksis tidak dibenarkan.

c. Beta blocker

Banyak percobaan tentang pemberian beta blocker secara intravena

pada fase akut miokard infark karena kemampuannya untuk membatasi

infark dan mengurangi insiden aritmia yang fatal dan untuk mengurangi

nyeri. Penelitian pada 16.000 pasien mengungkapkan pengurangan

mortalitas selama 7 hari. Pada penelitian dibeberapa negara, penggunaan

beta blocker sangatlah jarang. Terdapat indikasi penggunaan beta blocker

ketika ada takikardi (bila tidak ada gagal jantung), hipertensi relatif, atau

nyeri yang tidak berespon terhadap opioid. Sangat berguna untuk menguji

respon pasien terhadap obat ini dengan menggunakan preparat kerja cepat

(BBPP, 1988).

d. Nitrat

Suatu analisa dari 10 studi yang menggunakan terapi nitrat intravena

secara dini pada 2.041 pasien, menunjukkan penurunan mortalitas sampai

sepertiga. Masing-masing studi itu dalam skala kecil, hanya dengan 329

kematian secara keseluruhan. Percobaan GISSI-3 juga menggunakan terapi

nitrat intravena (yang diikuti dengan nitrat transdermal) pada 19.394 pasien,

tidak didapatkan penurunan mortalitas yang bermakna. Berdasarkan

beberapa analisa penelitian, penggunaan nitrat secara rutin pada fase awal

infark miokard tidak menunjukkan kegunaan secara meyakinkan.

e. Antagonis kalsium

Suatu meta-analisa dari penggunaan antagonis kalsium pada fase

awal infark miokard akut menunjukkan hasil yang tidak bermakna. Tidak

ada indikasi penggunaan obat golongan ini sebagai profilaksis pada fase akut

infark miokard.

f. Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor

12

Page 13: Management of Acute Coronary Syndrome

Sekarang ditetapkan bahwa pemberian ACE inhibitor dimulai waktu

di rumah sakit pada pasien yang mempunyai fraksi ejeksi yang rendah dan

yang pernah mengalami gagal jantung pada fase awal. Akhir-akhir ini

penelitian GISSI-3, ISIS-4 dan di Cina menunjukkan bahwa ACE inhibitor

yang diberikan pada hari pertama dapat menurunkan mortalitas pada 4-6

minggu berikutnya dalam jumlah yang kecil tetapi bermakna. Percobaan

CONSENSUS II akan tetapi gagal menunjukkan keuntungan. Pengamatan

secara sistematis dari percobaan terhadap ACE inhibitor pada fase akut

miokard infark menunjukkan bahwa terapi ini akan menghasilkan 4-6

kematian yang lebih sedikit per 1000 pasien yang diobati. Walau disadari

ada bahaya pada analisa sub grup, tampak kemungkinan bahwa terapi ini

berharga khususnya pada kelompok dengan faktor resiko tertentu, seperti

mereka yang mempunyai gagal jantung atau dengan infark sebelumnya.

Keuntungan obat ini pada infark miokard tergantung pada kelasnya.

Sebagaimana didiskusikan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat apakah

pemberian terapi ACE inhibitor pada semua pasien (yang tidak ada

kontraindikasi) pada hari pertama atau dimulai pada kelompok yang

diseleksi segera setelahnya. Dari pandangan “Task Force” terdapat

argumentasi yang valid untuk keduanya. Seharusnya ada ambang batas dan

fraksi ejeksi yang rendah untuk menggunakan obat pada tahap awal jika

gagal jantung tidak berespon dengan cepat dengan parameter konvensional

(Lindsay, 1995).

g. Magnesium

Analisa dengan terapi magnesium pada fase akut miokard infark

menunjukkan keuntungan yang signifikan, tetapi penelitian ISIS-4 dosis

yang digunakan tidak mendukung hal ini. Walaupun ada sanggahan bahwa

pada penelitian ISIS-4 dosis yang digunakan tidak optimal, tetapi belum ada

bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin obat ini

(Woods, 1992).

13

Page 14: Management of Acute Coronary Syndrome

5. Perawatan Lanjut di Rumah Sakit

a. Penatalaksanaan Umum

Kebanyakan pasien harus beristirahat di tempat tidur selama 12-24

jam pertama, selama waktu tersebut akan tampak apakah infark tersebut akan

mengalami komplikasi. Pada kasus yang tidak mengalami komplikasi, pasien

dapat duduk di tempat tidur pada akhir hari pertama, diizinkan menggunakan

suatu meja kecil, merawat diri sendiri dan makan sendiri. Mobilisasi dapat

dimulai hari berikutnya dan pasien tersebut dapat berjalan hingga 200 m

pada permukaan yang datar, dan naik tangga dalam beberapa hari. Mereka

yang pernah mengalami gagal jantung, syok, atau aritmia yang serius harus

tetap berada di tempat tidur lebih lama, dan aktivitas fisiknya meningkat

secara perlahan, tergantung pada gejala dan derajat kerusakan miokard

(I.S.G., 1990).

b. Trombus Vena Dalam dan Emboli Paru

Komplikasi-komplikasi ini sekarang relatif jarang setelah infark,

kecuali pada pasien yang tetap di tempat tidur oleh karena gagal jantung.

Pada pasien semacam itu, komplikasi-komplikasi tersebut dapat dicegah oleh

heparin. Jika hal-hal tersebut terjadi, harus diterapi dengan heparin, diikuti

pemberian antikoagulan oral selama 3-6 bulan.

c. Trombus Intraventrikular dan Emboli Sistemik

Echokardiografi akan mampu menunjukkan trombi intraventrikular

pada banyak kasus, terutama infark anterior yang luas. Apabila trombi yang

bergerak dan menonjol, keadaan tersebut harus ditangani, mula-mula dengan

heparin dan selanjutnya dengan antikoagulan oral selama 3-6 bulan.

d. Perikarditis

Perikarditis akut dapat sebagai penyulit infark miokard,

meningkatkan nyeri dada yang dapat disalahartikan sebagai infark rekuren

atau angina. Nyeri tersebut, dibedakan menurut sifatnya yang tajam, dan

hubungannya dengan postur dan respirasi. Diagnosisnya dapat ditegakkan

dengan suatu pericardial rub. Bila nyeri mengganggu, dapat ditangani

dengan pemberian aspirin oral dosis tinggi atau intravena, NSAID, atau

steroid. Suatu efusi haemorhagik dengan tamponade jarang terjadi, dan

khususnya dihubungkan dengan penanganan antikoagulan. Hal tersebut

dapat diketahui melalui ekhokardiografi. Penanganannya ialah dengan

pericardiocentesis bila gangguan hemodinamik terjadi.

14

Page 15: Management of Acute Coronary Syndrome

e. Aritmia Ventrikel

Tarikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel terjadi pada hari pertama

menyebabkan hanya sedikit prognosis buruk, namun aritmia-aritmia yang

terjadi lebih lanjut, dalam perjalanannya aritmia-aritmia tersebut cenderung

berulang dan dihubungkan dengan resiko kematian yang tinggi. Hal ini

terjadi karena hubungan dengan kerusakan miokard yang berat; penilaian

terhadap anatomi koroner dan fungsi ventrikel harus dilakukan. Apabila

aritmia diinduksi oleh iskemia, revaskularisasi dengan jalan angioplasti atau

pembedahan harus dipertimbangkan. Apabila ini tidak mungkin, beragam

cara pendekatan terapetik tersedia, namun sementara ini, belum diteliti

secara adekuat. Hal-hal tersebut meliputi penggunaan -blocker, amiodaron,

dan terapi anti-aritmia yang dipandu secara elektrofisiologik. Pada beberapa

kasus, penggunaan suatu conventer defibrilator diindikasikan.

f. Angina dan Iskemia Pasca Infark

Angina ringan yang terjadi pada mereka berespons memuaskan

terhadap penanganan medis biasa, namun angina baru khususnya saat

istirahat, pada awal fase pascainfark membutuhkan perhatian lebih dalam.

Penggunaan rutin PTCA secara efektif menguji peran terapi

trombolitik dibandingkan dengan percobaan konservatif pada beberapa uji

random. Dapat disimpulkan bahwa PTCA rutin tanpa keberadaan iskemia

spontan atau yang dapat diprovokasi tidak memperbaiki fungsi ventrikel kiri

atau survival. Dalam menangani angina atau iskemia rekuren, apakah

disebabkan oleh oklusi atau stenosis residual, PTCA memiliki suatu peran

yang pasti. PTCA juga memiliki nilai dalam penatalaksanaan aritmia yang

dihubungkan dengan iskemia persisten. Sekalipun analisa dari beberapa uji

telah mengidentifikasi patensi pembuluh-pembuluh darah sebagai suatu

petanda bagi hasil jangka panjang yang baik, belum jelas peran PTCA lanjut

untuk sasaran utama mengembalikan kepatenan oleh kejadian yang lain.

Pembedahan pintas arteri koroner dapat diindikasikan bila gejala

tidak terkontrol dengan cara-cara yang ada atau angiografi koroner

menunjukkan lesi, stenosis pembuluh koroner utama kiri atau penyakit tiga

pembuluh darah dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, dimana

pembedahan dapat memperbaiki prognosis (Hopper, 1989; Maynard, 1993).

15

Page 16: Management of Acute Coronary Syndrome

Penilaian Resiko, Program Rehabilitasi, dan Preventif Sekunder

a. Penilaian resiko

Penilaian resiko sebelum memulangkan penderita memiliki tujuan

memperkirakan prognosis, dengan cara pengamatan lebih lanjut apa yang

dibutuhkan, dan membantu dalam mengatur strategi terapetik individu mana

yang terbaik bagi pasien yang telah melampaui masa akut tersebut. Penilaian

ini tergantung pada data klinis, termasuk usia, faktor resiko yang ada

sebelumnya, infark sebelumnya, diabetes, keadaan hemodinamik, aritmia

selama fase akut, dan pengamatan dan penginderaan status (imaging)

fungsional (Monica, 1994).

Penggolongan resiko klinis dapat digunakan untuk membagi pasien

ke dalam kategori resiko tinggi, sedang, dan rendah, penggolongan resiko

klinis ini penting.

Pasien-pasien beresiko tinggi adalah mereka dengan gagal jantung

persisten, fungsi ventrikel kiri yang rusak berat, atau penampakan awal dari

angina saat istirahat atau aritmia rekuren, dan mereka yang tidak mampu

melakukan uji exercise sebelum keluar RS. Pasien-pasien semacam itu

cenderung berusia lebih tua, memiliki faktor resiko banyak, dan telah

mengalami infark sebelumnya. Fungsi ventrikel kiri harus dievaluasi dengan

echokardiografi dan/atau scintigrafi. Angiografi koroner memberikan

informasi prognostik yang independen dan bermakna sebagai petunjuk untuk

penanganan lebih lanjut seperti halnya revaskularisasi.

Pasien yang secara klinis berisiko sedang mungkin berusia lebih dari

55 tahun, pernah mengalami gagal jantung sementara, pernah mengalami

infark sebelumnya atau memiliki faktor resiko seperti halnya hipertensi atau

diabetes. Pasien-pasien ini harus dinilai disfungsi ventrikel kiri dan iskemia

residualnya. Iskemia residual dapat dinilai dengan ECG exercise, scanning

perfursi miokard atau stress echokardiografi, tergantung pada ketersediaan

peralatan. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang rusak dan/atau iskemia

yang dapat diinduksi harus dipertimbangkan untuk angiografi. Pendekatan

untuk penggolongan ini ditunjukkan sebagai diagram alur pada Bagan 1.

16

Page 17: Management of Acute Coronary Syndrome

Bagan 1. Strategi Penilaian Terhadap Resiko

- ISKEMI PERSISTEN - IMA - UMUR

MUDA

- GAGAL JANTUNG - GAGAL JANTUNG -INFARK

KECIL

- L.V. RENDAH - FAKTOR RISIKO BANYAK - KOMPENSASI

INTERVENSI ATAU EKG LATIHAN EKG LATIHAN

PILIHAN LAIN PERIKSA FUNGSI L.V.

YA MULAI LATIHAN JELEK NILAI RENDAH NILAI BAIK

L.V. MENURUN

ANGIOGRAFI KORONER LATIHAN BAIK TANGANI

L.V. FUNGSI NORMAL FAKTOR RISIKO

(EUR. HEART. J. 1996)

17

PENILAIAN RISIKO KLINIS

RISIKO MENENGAH

RISIKO TINGGI

RISIKO RENDAH

IMA

Page 18: Management of Acute Coronary Syndrome

Pasien resiko rendah berusia lebih muda (kurang dari 55 tahun), tidak

memiliki infark sebelumnya dan memiliki perjalanan klinis yang bebas

keluhan. ECG exercise merupakan pemeriksaan pertama yang paling

berguna pada kelompok ini. Ini dapat berupa tes submaksimal sebelum

pemulangan atau tes yang dibatasi gejala pada treadmill atau cycle

ergometer pada 3-8 minggu pascainfark atau keduanya. Keragaman yang

mencerminkan iskemia miokard residual yang diinduksi olahraga tampaknya

tidak berhubungan erat dengan kematian.

Pasien yang gagal mencapai beban kerja pada pengujian olahraga,

atau mengalami angina atau menunjukkan tanda iskemik pada EKG, atau

mengalami sesak nafas berat harus dipertimbangkan untuk pemeriksaan

lebih lanjut. Secara jelas, keakuratan prediktif negatif bagi pasien yang dapat

menyelesaikan tahap III dari protokol standar Bruce atau ekuivalennya tanpa

nyeri dada atau perubahan iskemia pada ECG adalah tinggi. Sebagai

tambahan, efek dari semangat pasien adalah positif, dan informasi tersebut

membantu dalam merencanakan rehabilitasi. Tidak terdapat keharusan untuk

menghentikan pengobatan sebelum pengujian olahraga.

b. Penilaian Iskemia

Pasien-pasien yang gagal mencapai beban kerja yang diharapkan

pada pengujian olahraga, atau mengalami angina atau menunjukkan tanda

iskemik pada ECG saat beban kerja sedang harus dipertimbangkan untuk

evaluasi lebih lanjut untuk mengkuantifikasi jumlah miokard yang rusak,

demikian pula dengan derajat miokard yang berpotensi baik. Pilihan antara

echokardiografi stress dan scanning perfusi radio-isotop tergantung pada

pengalaman dari tiap sentra dan sumberdaya yang tersedia. Bagi dokter yang

berkompeten, kedua teknik-teknik ini lebih sensitif dan spesifik

dibandingkan ECG exercise.

c. Evaluasi dari Fungsi Pompa

Evaluasi dari kerusakan miokard melalui ekhokardiografi atau

ventrikulografi radionuklida berguna untuk menilai pasien tanpa bukti gagal

jantung, khususnya jika dikerjakan pada kondisi stress, meskipun fungsi

ventrikel kiri mungkin cukup baik pada kasus-kasus resiko rendah.

d. Evaluasi Resiko Aritmia

Monitoring Holter dan kajian elektrofisiologis dalam menilai pasien

yang dianggap bersiko tinggi mendapat aritmia. Variabilitas denyut jantung,

dispersi QT, sensitivitas barorefleks, semua memiliki nilai prognostik setelah

18

Page 19: Management of Acute Coronary Syndrome

infark miokard, namun pengalaman klinis dibutuhkan untuk menentukan

apakah perlu tambahan tes-tes prognostik yang lebih konvensional.

Juga penting untuk mengukur petanda-petanda resiko metabolik

seperti halnya total kolesterol, LDL dan HDL, trigliserida dan glukosa darah

puasa pada semua pasien.

e. Indikasi untuk Angiografi Koroner

Angiografi koroner sebaiknya dilakukan pada awal periode post

infark (Maynard, 1993) jika ada:

Angina yang tidak berkurang terhadap pengobatan farmakologis

Angina atau bukti adanya iskemia pada saat istirahat

Angina yang diinduksi oleh latihan atau iskemia miokard pada saat kerja

ringan, atau pada monitoring Holter ketika tidak ada peningkatan denyut

jantung.

Angiografi harus dipertimbangkan bila ada:

Angina atau bukti yang obyektif iskemia miokard yang dapat dirangsang

(dengan tanda-tanda yang digambarkan diatas)

Angina post infark yang berkurang terhadap terapi farmakologi

Disfungsi ventrikel kiri yang berat

Aritmia ventrikel yang kompleks lebih dari 48 jam setelah gejala.

Pada kasus yang dipilih, khususnya pada individu yang muda,

angiografi koroner dapat dipertimbangkan untuk pasien tanpa komplikasi

untuk mengevaluasi keberhasilan reperfusi, untuk mengidentifikasi mereka

dengan penyakit arteri koroner yang luas, dan untuk memudahkan mereka

yang pulang dari rumah sakit untuk cepat dan kembali bekerja.

f. Rehabilitasi

Rehabilitasi ditujukan untuk mengembalikan pasien ke kehidupan

seperti semula, dan harus dipertimbangkan faktor fisik, psikologis, dan

sosioekonominya. Prosesnya harus dimulai sesegera mungkin setelah

penatalaksanaan di rumah sakit, dan diteruskan pada minggu dan bulan-

bulan berikutnya. Rehabilitasi secara detail tidak dibahas di sini, karena

pertimbangan panjang lebar dan metodenya terdapat dalam laporan Working

Group on Rehabilitation of the European Society of Cardiology.

g. Aspek Psikologis dan Sosioekonomi

Kecemasan selalu muncul, baik pada pasien dan rekan kerjanya,

sehingga keyakinan diri dan penjelasan mengenai penyakit adalah sangat

penting dan harus ditangani secara hati-hati. Juga harus dikonfirmasikan

mengenai sering terjadinya depresi dan iritasi setelah pulang. Juga disadari

19

Page 20: Management of Acute Coronary Syndrome

bahwa penolakan sering terjadi: hal ini merupakan perlindungan pada fase

akut, dan diagnosis selanjutnya menjadi lebih sulit. Diskusi tentang bisa

kembali kerja dan aktivitas lainnya harus dilakukan setelah kepulangan dari

rumah sakit.

h. Nasehat tentang gaya hidup

Penyebab yang mungkin dari penyakit jantung koroner harus

didiskusikan dengan pasien dan rekannya selama perawatan di rumah sakit,

dan nasehat secara individu mengenai diet yang sehat, pengontrolan berat

badan, merokok dan olahraga harus diberikan.

i. Aktivitas Fisik

Semua pasien harus diberi nasehat, dengan mengamati aktivitas fisik

berdasarkan hasil pemulihan mereka dari serangan jantung, umurnya, kadar

aktivitas mereka sebelum serangan, dan keterbatasan fisik mereka. Penilaian

tersebut sangat dibantu dengan tes sebelum kepulangan, yang tidak hanya

merupakan informasi klinis yang sangat berharga tetapi juga dapat

meyakinkan kembali pasien yang terlalu cemas (Amstrong, 1972).

6. Preventif Sekunder

a. Merokok

Walau belum ada penelitian secara acak yang dilakukan, bukti

meyakinkan bahwa bagi mereka yang menghentikan kebiasaan merokok

mempunyai mortalitas separuh lebih sedikit dibanding dengan mereka yang

tidak berhenti. Hal ini merupakan pencegahan sekunder yang potensial:

usaha keras harus dilakukan untuk penghentian merokok. Kebanyakan

pasien tidak merokok selama serangan akut dan periode laten ini merupakan

kesempatan bagi tenaga kesehatan profesional untuk membantu pasien

menghentikan kebiasaan tersebut. Merokok biasanya dilakukan kembali

setelah pulang ke rumah sehingga dukungan dan nasehat selama rehabilitasi

diperlukan. Studi secara acak menunjukkan keefektifan dari program yang

diarahkan untuk perawat: protokol untuk penghentian merokok harus

diadopsi oleh setiap rumah sakit (Monica, 1994).

b. Suplemen Makanan dan Diet

Terdapat bukti yang kecil mengenai keefektifan terapi diet pada

pasien post infark, tetapi pengurangan berat badan harus dianjurkan bagi

mereka yang berat badannya berlebihan. Semua pasien harus dianjurkan

untuk diet makanan yang mengandung lemak dengan saturasi rendah dan

banyak makan buah dan sayuran. Satu penelitian menyebutkan bahwa

mengkonsumsi lemak ikan 2 kali seminggu menurunkan resiko reinfark dan

20

Page 21: Management of Acute Coronary Syndrome

kematian. Peranan antioksidan dalam pencegahan penyakit koroner belum

dibakukan.

c. Terapi Antiplatelet dan Antikoagulan

Dari analisa yang dilakukan The Trialists Colaboration dilaporkan

sekitar 25% penurunan reinfark dan kematian pada pasien post infark. Pada

penelitian tersebut aspirin yang diberikan bervariasi antara 75-325 mg per

hari dan terdapat bukti bahwa penggunaan dosis yang lebih kecil akan efektif

dan efek sampingnya kecil.

Percobaan yang dilakukan secara luas menggunakan aspirin

menunjukkan bahwa antikoagulan oral efektif dalam mencegah reinfark dan

kematian pada infark miokard. Pasien dalam percobaan ini diacak paling

tidak selama 2 minggu setelah infark. Peranan antikoagulan oral setelah

infark miokard akut kurang jelas dan hanya dievaluasi setelah pemberian

trombolitik. Pada pasien tersebut belum ada bukti yang jelas mengenai

keuntungan antikoagulan. Kemungkinannya, pada beberapa pasien, yang

mempunyai aneurisma ventrikel kiri, yang mempunyai fibrilasi atrial, atau

secara ECG terbukti ada trombus pada ventrikel kiri, akan menguntungkan

bila diberikan antikoagulan oral awal, tetapi penelitian tentang ini sangat

sedikit. Kombinasi antara antikoagulan dan antiplatelet setelah infark

miokard akut memberikan hasil sementara ini cukup memuaskan (GISSI,

1986).

d. Beta Blocker

Beberapa uji dan meta-analisis menunjukkan bahwa obat-obat

penghambat -adrenoseptor mengurangi kematian dan reinfark 20-25% pada

mereka yang sembuh dari infark miokard akut. Uji positif telah dilakukan

dengan propranolol, metaprolol, timolol, dan acebutolol, namun kajian

dengan -blocker lainnya, meskipun tidak bermakna, mempunyai efek yang

sama baiknya. Sekitar 25% penderita memiliki kontraindikasi terhadap -

blocker karena gagal jantung yang tak terkontrol, penyakit pernafasan, atau

kondisi-kondisi lain. Dari sisanya, mungkin separuh dapat didefinisikan

sebagai resiko rendah dimana penghambat hanya memberi suatu

keuntungan marginal, dengan berpikir efek samping minor namun terkadang

menyulitkan. Masih terdapat opini yang berbeda, apakah -blocker harus

diberikan kepada semua orang yang indikasi, atau apakah -blocker

seharusnya hanya diberikan kepada mereka dengan resiko sedang yang

memiliki banyak keuntungan (BBPP, 1988).

e. Kalsium Antagonis

21

Page 22: Management of Acute Coronary Syndrome

Uji dengan verapamil dan diltiazem telah memberi kesan bahwa

keduanya dapat mencegah reinfark dan kematian, namun harus hati-hati,

perlu dipikirkan keberadaan fungsi ventrikel yang menurun. Kalsium

antagonis mungkin tepat bila -blocker merupakan kontra indikasi (terutama

pada penyakit obstruksi jalan nafas).

Uji dengan dihidropiridin gagal menunjukkan keuntungan untuk

memperbaiki prognosis setelah reinfark miokard; oleh karenanya, hanya

diberikan bagi indikasi-indikasi klinis yang jelas, dengan berpikir efek

samping yang dapat terjadi pada mereka dengan fungsi ventrikel kiri yang

rendah (Gibbons, 1993).

f. Nitrat

Tidak ada bukti bahwa nitrat oral atau transdermal memperbaiki

prognosis setelah infark miokard, Uji ISIS-4 dan GISSI-3 gagal

menunjukkan suatu keuntungan pada 4-6 minggu setelah kejadian. Nitrat,

tentu saja, tetap menjadi terapi pertama hanya bagi angina pectoris.

g. ACE inhibitor

Beberapa uji telah membuktikan bahwa ACE inhibitor mengurangi

kematian setelah infark miokard. Dalam uji SAVE pasien dilibatkan 11 hari

setelah masa akut memiliki fraksi ejeksi kurang dari 40% pada pencitraan

nuklir, dan jika mereka bebas dari iskemia yang manifes pada sebuah tes

olahraga. Tidak didapatkan keuntungan dalam hal penurunan mortalitas pada

tahun pertama, namun terdapat pengurangan 19% pada 3-5 tahun berikutnya

dari follow-up (dari 24,6%). Reinfark dan gagal jantung lebih sedikit, terlihat

bahkan dalam tahun pertama.

Pada uji AIRE pasien diacak untuk ramipil dengan rata-rata 5 hari

setelah onset infark miokard ditunjukkan oleh gambaran klinis dan radiologis

dari gagal jantung. Pada rata-rata 15 bulan kemudian, kematian berkurang

dari 22,6% hingga 16,9%. Pada kajian TRACE, pasien diacak untuk

tradolapril atau placebo suatu median 4 hari setelah infark, mereka memiliki

disfungsi ventrikel kiri yang diperlihatkan oleh indeks wall motion 1,2 atau

kurang. Rata-rata follow-up 108 minggu, angka kematian 34,7% pada

kelompok perlakuan dan 42,3% pada kelompok pacebo. Mengambil ketiga

kajian tersebut bersama-sama, diindikasikan pemberian ACE inhibitor

kepada pasien yang mengalami gagal jantung pada keadaan IMA, memiliki

fraksi ejeksi kurang dari 40% atau indeks wall motion 1,2 atau kurang, dan

tidak ada kontraindikasi (Lindsay, 1995).

22

Page 23: Management of Acute Coronary Syndrome

Sebagaimana diskusi diatas, dapat diberikan ACE inhibitor kepada

semua pasien dengan infark akut sejak masuk RS, dengan syarat tidak

terdapat kontra indikasi. Berlawanan terhadap kebijakan tersebut, terdapat

kenaikan insiden dari hipotensi dan gagal ginjal pada mereka yang menerima

ACE inhibitor pada tahap akut, dan sedikit keuntungan pada mereka dengan

resiko relatif rendah, seperti halnya pasien dengan infark inferior yang kecil.

h. Lipid-Lowering Agents

Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S) melaporkan

keuntungan akan penurunan lemak pada suatu populasi 4.444 pasien angina

dan/atau pascainfark dengan kolesterol serum 5,5-6,0 mmol/l (212-308

mg/dl) setelah pelaksanaan diet dilakukan. Pasien tidak dimasukkan ke

dalam uji sampai 6 bulan setelah infark akut, dan kelompok resiko relatif

rendah diikutkan. Angka kematian keseluruhan pada suatu median 5-4

tahun turun 30% (dari 12-8%). Diperoleh 33 yang diselamatkan per 1.000

pasien yang diberi perlakuan selama periode ini. Terdapat penurunan angka

kematian akibat penyakit koroner, dibanding pembedahan pintas koroner.

Pasien di atas usia 60 tahun tampak hasilnya sama dengan pasien yang lebih

muda. Wanita diuntungkan dalam hal kejadian koroner mayor, namun

pengurangan kematian yang bermakna secara statistik belum jelas; hal ini

mungkin karena jumlah yang relatif kecil dari wanita yang direkrut.

Lipid-lowering Agents seharusnya diberikan kepada pasien dengan

dislipidemia, namun masih terdapat kontroversi tentang seberapa cepat

penanganan harus dimulai setelah kejadian, dan apakah kriteria untuk

penanganan dapat diperluas kepada mereka dengan kadar lipid yang lebih

rendah (Monica, 1994).

III.Komplikasi Dan Penatalaksanaan

1. Gagal jantung

Kegagalan ventrikel kiri selama fase akut dari infark miokard

dihubungkan dengan prognosis yang buruk jangka pendek dan panjang.

Gambaran klinis berupa sesak nafas, suara jantung ketiga (S3)dan ronchi paru

yang mulanya pada daerah basal namun dapat meluas ke seluruh lapangan dari

kedua paru. Namun demikian, kongesti paru yang nyata dapat terjadi tanpa

tanda-tanda yang jelas. Auskultasi diulang pada daerah jantung dan paru dan

dilakukan pada semua pasien selama periode awal infark miokard, bersama-

sama dengan pengamatan tanda-tanda vital lainnya (Amstrong, 1972).

Pengawasan umum termasuk pemantauan aritmia, pemeriksaan kelainan

23

Page 24: Management of Acute Coronary Syndrome

elektrolit, dan penegakan diagnosa dari keadaan yang terjadi bersamaan seperti

disfungsi katub atau kelainan paru. Kongesti pulmonal dapat dinilai dengan

menggunakan alat foto X-ray thorax yang mudah dibawa. Echokardiografi

berguna dalam menilai fungsi ventrikel, dan menentukan kelainan, seperti

regurgitasi mitral dan defek septum ventrikel, yang menyebabkan fungsi jantung

menurun. Pada beberapa kasus, angiografi koroner mampu memberikan

penilaian tambahan program terapetik.

Dearajat kegagalan jantung dapat dikategorikan menurut klasifikasi

killip; kelas 1: tidak ada ronchi atau S3; kelas 2: ronchi pada kurang dari 50%

lapangan paru atau adanya S3; kelas 3: ronchi lebih dari 50% dari lapangan paru;

kelas 4: shock.

a. Gagal Jantung Ringan dan Sedang

Oksigen harus diberikan awal melalui masker atau intranasal, namun

perlu juga diperhatikan adanya penyakit paru menahun.

Derajat ringan gagal jantung seringkali berespons secara cepat

terhadap diuretik, seperti halnya furosemid 10-40 mg yang diberikan

perlahan iv, diulang dengan jarak setiap 1-4 jam, bila diperlukan. Bila tidak

terdapat respons yang memuaskan, nitrogliserin iv atau nitrat oral

dianjurkan. Dosisnya harus dititrasi sambil memantau tekanan darah untuk

menghindari hipotensi. Pemakaian terapi ACE perlu dipertimbangkan dalam

24-48 jam berikutnya tanpa bukti hipotensi atau gagal ginjal.

b. Gagal Jantung Berat

Oksigen harus diberikan segera dan diuretik loop diberikan seperti di

atas. Kecuali jika pasien mengalami hipotensi, nitrogliserin iv sebaiknya

diberikan, dimulai dengan 0,25 ug.kg-1 per menit, dan ditingkatkan setiap 5

menit sampai terjadi penurunan tekanan darah sampai 15mmHg atau sampai

tekanan diastolik turun menjadi 90mmHg. Harus dipertimbangkan untuk

mengukur tekanan aorta, dan output jantung dengan kateter serta cardiac

index per menit.

Obat inotropik mungkin berguna jika ada hipotensi. Jika ada tanda-

tanda hipoperfusi pada ginjal, dopamin dianjurkan untuk memberikan

dengan dosis 2,6-5 ug.kg-1 per menit secara intra vena. Jika kongesti

pulmoner dominan, dobutamin lebih dianjurkan dengan dosis awal 2,5 ug.kg -

1 per menit dan ditingkatkan secara bertahap setiap 5-10 menit sampai 10

ug.kg-1 per menit atau sampai diperoleh perbaikan hemodinamik. Terapi

ACE inhibitor dan phosphodiesterase mungkin dapat dipertimbangkan.

24

Page 25: Management of Acute Coronary Syndrome

Analisa gas darah juga harus dilakukan. Pemberian tekanan udara

yang positif dapat diindikasikan bila tekanan oksigen tidak dapat

dipertahankan sampai >60mmHg per 8-10 menit.

Tabel 2. Keadaan Hemodinamik pada IMA.

No. STATUS DATA HEMODINAMIK

1. Normal TD normal HR dan RR normal, sirkulasi perifer

baik

2. Hiperdinamik Takhikardi, BJ keras, sirkulasi perifer baik

3. Bradikardi hipotensi Bradikardi, venodilatasi, JVP normal, perfusi

jaringan meningkat

4. Hipovolumi Venokonstriksi, JVP rendah, perfusi jaringan

menurun

5. Infark ventrikel kanan JVP meningkat, syok, perfusi jaringan turun,

hipotensi, bradikardi

6. Gagal pompa Takhipnu, takhikardi perfusi jaringan jelek, udema

paru

7. Kardiogenik syok Oliguri, hipotensi, takhikardi, udema paru, perfusi

jaringan jelek

(Eur. Heart. J. 1996)

2. Syok Kardiogenik

Didefinisikan sebagai tekanan sistolik <90mmHg dan ada gejala

penurunan sirkulasi perifer yang ditandai dengan vasokonstriksi perifer, output

urine yang rendah (<20ml per jam) dan penurunan kesadaran.

Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan bila kemungkinan terjadinya

hipotensi dapat disingkirkan seperti hipovolemi, reaksi vasovagal, gangguan

elektrolit, efek samping farmakologis, atau aritmia. Umumnya dihubungkan

dengan kerusakan pada ventrikel kiri tetapi dapat juga terjadi pada infark

ventrikel kanan. Kelainan ventrikel harus diperiksa dengan EKG dan

hemodinamiknya diukur dengan kateter balon. Pasien dengan syok kardiogenik

dapat menyebabkan asidosis. Koreksi asidosis merupakan hal yang penting

mengingat ketekolamin mempunyai efek pada medium asam.

25

Page 26: Management of Acute Coronary Syndrome

3. Ruptur Jantung dan Regurgitasi Mitral

a. Ruptur dinding jantung

Ditemui pada 1-3% dari pasien IMA yang dirawat di rumah sakit.

Pada 30-50% terjadi dalam 24 jam dan 80-90% terjadi pada 2 minggu

pertama.

Ditandai dengan kolaps dengan perubahan elektromekanikal seperti

aktivitas elektrik yang terus menerus dengan menurunnya cardiac output dan

nadi. Biasanya fatal dalam beberapa menit dan sangat jarang untuk sempat

dilakukan pembedahan.

b. Ruptur dinding jantung sub akut

Pada 25% kasus, darah dalam jumlah kecil memasuki ruang

perikardial dan menyebabkan perubahan hemodinamik yang cepat.

Gambaran klinisnya dapat berupa reinfark karena nyeri yang berulang dan

elevasi segmen ST tetapi lebih sering berupa perburukan hemodinamik yang

mendadak dengan hipotensi yang transient dan terus menerus. Gejala klasik

tamponade jantung tampak dan dapat diketahui dengan EKG. Pembedahan

dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan klinis penderita

mengingat kebanyakan pada kasus ini diikuti oleh episode akut. Pembedahan

dilakukan dengan teknik tanpa jahitan yang digambarkan oleh Pedro dkk.

Yang tidak membutuhkan pintas kardiopulmoner.

c. Defek Septum Ventrikel

VSD muncul segera setelah miokard infark pada 1-2% dari semua

kasus infark. Tanpa pembedahan, 54% mengalami kematian dalam minggu

pertama, dan 92% dalam tahun pertama. Diagnosis pertama kali diduga

karena terdapatnya bising sistolik yang keras disertai dengan perburukan

klinis yang cepat. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan EKG dan/atau

mendeteksi bertambahnya oksigen pada ventrikel kanan. Bising yang terjadi

dapat juga pelan dan bahkan tidak muncul. Terapi farmakologis dengan

vasodilator nitrogliserin intravena dapat memperbaiki jika tidak ada syok

kardiogenik, tetapi terapi dengan balon intraaortik merupakan metode paling

efektif. Operasi merupakan satu-satunya harapan pada VSD pasca infark

yang besar dengan syok kardiogenik.

Tujuan utama pembedahan awal adalah penutupan defek yang

memungkinkan menggunakan teknik argumentasi patch. Angiografi pre

operasi seharusnya dilakukan. Grafts bypass dilakukan sesuai kebutuhan.

Prognosa post operasi yang jelek ditandai dengan syok kardiogenik, lokasi

26

Page 27: Management of Acute Coronary Syndrome

posterior, disfungsi ventrikel kanan, umur, waktu yang lama antara ruptur

dan pembedahan.

d. Regugirtasi Mitral

Biasanya regugirtasi mitral pada kasus ini ringan dan refluknya

sementara. Bila terjadi regurgitasi akut diperlukan terapi agresif yaitu

pembedahan. Kematian akibat mitral regurgitasi diakibatkan penyempitan

arteri sirkumfleksa kiri dan kanan dengan keterlibatan otot papilary

posteromedial.

Syok kardiogenik dan oedem paru dengan regurgitasi mitral yang

berat membutuhkan operasi darurat. Angiografi koroner dilakukan bila

kondisi pasien memungkinkan. Pada gagal jantung kongestif, kateterisasi

primer dan reperfusi dengan trombolisis atau PTCA dapat dilakukan.

Penggantian katup merupakan pilihan prosedur pada ruptur dan disfungsi

otot papilary walaupun harus diseleksi. Revaskularisasi dilakukan pada

obstruksi pembuluh darah besar.

4. Aritmia dan Gangguan Konduksi

Aritmia dan gangguan konduksi sering terjadi pada jam-jam awal infark

miokard. Pada beberapa kasus, takikardi ventrikuler dan fibrilasi ventrikel sangat

membahayakan dan memerlukan penanganan segera. Seringkali aritmia tidak

membahayakan secara langsung tetapi merupakan akibat dari beberapa keadaan

yang mendasarinya seperti iskemia, aktivitas yang berlebihan dari vagal, atau

gangguan elektrolit.

a. Aritmia Ventrikuler

Ritme ventrikuler yang ektopik sering terjadi pada hari pertama, dari

aritmia kompleks (kompleks multiform, waktu yang cepat, atau fenomena R

on T). Kelainan tersebut sebagai prediksi kejadian fibrilasi ventrikuler masih

dipertanyakan.

b. Takikardi ventrikuler

Durasi yang cepat dari takikardi ventrikuler dapat ditoleransi dan

tidak membutuhkan penanganan, tetapi dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan hipotensi dan gagal jantung. Lignocaine adalah obat pilihan,

tetapi beberapa obat lain juga cukup efektif. Dosis awal 1mg per kg

diberikan secara intravena, dan separuhnya diulang tiap 8-10 menit sampai

maksimumnya 4mg. Hal ini dapat diteruskan dengan pemberian infus

intravena untuk mencegah rekurensi. Countershock dibutuhkan bila ada

takikardia ventrikuler yang menetap. Penting untuk membedakan takikardi

ventrikuler yang sementara dan yang menetap. Penting untuk membedakan

27

Page 28: Management of Acute Coronary Syndrome

takikardi ventrikuler dengan irama idioventrikuler yang dipercepat, biasanya

tidak berbahaya dari proses reperfusi dimana rate ventrikuler kurang dari 120

per menit.

c. Fibrilasi ventrikuler

Jika alat defibrilator tersedia, defibrilasi yang cepat sebaiknya

dilakukan. Jika tidak ada, pukulan prekordial bermanfaat untuk dilakukan.

Rekomendasi dari European Resuscitation Council harus diikuti.

d. Aritmia Supraventrikuler

Merupakan komplikasi dari 15-20% kasus infark miokard dan sering

dihubungkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung.

Biasanya bersifat self limited. Biasanya berlangsung beberapa menit sampai

beberapa jam dan berulang. Pada beberapa kasus tidak memerlukan

penanganan jika berlangsung dengan singkat. Digoksin merupakan obat yang

efektif dalam memperlambat, tetapi amiodarone lebih manjur dalam

menghentikan aritmia. Countershock mungkin diperlukan tetapi hanya jika

terjadi rekurensi yang tinggi. Takikardi supraventrikuler yang lain sangat

jarang terjadi dan biasanya self limited. Pada umumnya berespon terdapap

tekanan sinus karotikus, -blocker, lebih efektif jika tidak ada kontra

indikasi, verapamil tidak dianjurkan. Countershock juga mungkin digunakan

jika aritmia tidak dapat ditoleransi.

e. Sinus Bradikardia dan Blok Jantung

Merupakan hal yang umum terjadi pada jam-jam pertama khususnya

pada infark inferior. Dapat disertai dengan hipotensi yang memerlukan

atropin intra vena, dimulai dengan dosis 03-0,5 mg. Diulang sampai 1,5-2

mg. Jika gagal dengan atropin maka pacu jantung sementara dianjurkan.

Bok jantung derajat pertama tidak membutuhkan penanganan. Blok

AV (atrioventrikular) tipe I derajat dua (Wenkebach) biasanya dihubungkan

dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek yang buruk pada

hemodinamik. Bila itu terjadi, atropin harus diberikan pertama kali: jika ini

gagal, pacu jantung harus dipasang.

Blok AV tipe II derajat dua (Mobitz) dan komplit blok merupakan

indikasi bagi pemasangan suatu elektrode pacu jantung. Pacu jantung harus

dikerjakan bila suatu denyut jantung yang lambat tampak menjadi sebab dari

hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik sangat parah,

pemberian pacu jantung sekuensial AV harus dipertimbangkan.

Asistole mungkin mengikuti blok AV, blok bi- atau trifasikular atau

countershock elektrik. Apabila suatu elektrode pacu jantung diperlukan, pacu

28

Page 29: Management of Acute Coronary Syndrome

jantung harus dicoba. Jika tidak, kompresi dada dan ventilasi harus segera

diawali, dan pacu jantung eksternal dimulai.

Suatu elektrode pacu jantung transvena harus dimasukkan seperti

yang didiskusikan di atas pada keadaan blok atrioventrikular lanjut, dan

dipertimbangkan bila blok bifasikular atau blok trifasikular terjadi. Banyak

ahli jantung lebih memilih jalur subklavia namun ini seharusnya dihindari

pada keberadaan trombolisis atau antikoagulan. Tempat alternatif harus

dipilih dalam situasi ini.

IV. Penutup

Suatu rekomendasi untuk:

1. Pasien

Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus mendapatkan

diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya, resusitasi dan terapi reperfusi jika

diperlukan. Pasien dengan kecurigaan atau telah didiagnosis infark miokard

harus dirawat oleh staf yang terlatih dan berpengalaman di unit jantung yang

modern. Mereka sebaiknya mempunyai akses untuk mendapat metode diagnosis

yang modern dan perawatan, baik itu di tempat perawatan awal atau di tempat

yang lebih khusus. Mereka harus mendapat informasi yang cukup setelah

pulang, rehabilitasi, dan pencegahan sekunder. Dia dan rekannya yang terkait

harus tahu, mengenali dan bereaksi bila ada serangan jantung lagi.

2. Dokter Ahli Kardiologi

Ahli kardiologi, yang berhubungan dengan dokter-dokter unit gawat

darurat dan pihak yang berwenang, harus yakin bahwa ada sistem yang optimal

untuk rawat jantung di daerah mereka. Hal ini termasuk pelatihan yang memadai

dari personel ambulans dan dokter lini pertama, pengaturan yang efisien

mengenai diagnosis dan perawatan infark miokard di unit gawat darurat, dan

pengaturan untuk pemberian trombolitik.

Ahli jantung beserta ahli anestesi dan spesialis yang lainnya, harus

mengatur bahwa staf medis dan paramedis kompeten dalam teknik resusitasi.

Pencatatan harus dibuat secara baik, sejak awal perawatan dan pemberian

trombolisis (cato-needle time), dan sejak dari masuknya ke rumah sakit sampai

trombolisis diberikan (door-to-needle time). Yang pertama sebaiknya tidak lebih

dari 90 menit, dan pasien jalur cepat dengan indikasi untuk trombolisis tidak

boleh melebihi 20 menit.

PTCA dapat dilakukan sebagai alternatif yang efektif dan baik terhadap

terapi trombolitik apabila tenaga dan alat yang dibutuhkan tersedia. Hasilnya

dicatat dalam catatan perencanaan. Program rehabilitasi harus dibuat untuk

29

Page 30: Management of Acute Coronary Syndrome

semua pasien, yang diarahkan untuk kebutuhan pribadi mereka. Harus ada

kemauan untuk penghentian merokok. Hal ini terdiri dari program yang terus

menerus yang dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional yang tidak hanya

mempengaruhi pasien untuk berhenti merokok tetapi juga mendorong pasien

untuk menjaga hal tersebut.

Catatan harus dibuat untuk terapi pencegahan sekunder bagi mereka yang

selamat dari infark miokard definitif. Bagi mereka yang mengalami kenaikan

lipid harus mendapat nasehat diet makanan yang tepat. Untuk memenuhi tujuan

ini dapat digunakan obat penurunan lipid.

3. Dokter Umum

Mengingat dokter umum merupakan titik pertama dalam kontak terhadap

penderita yang dicurigai mengalami infark miokard, mereka harus bisa bertindak

dengan cepat atau membuat persiapan untuk melakukan defibrilasi dan

trombolisis secara efektif. Mereka sebaiknya terlibat dalam program lokal

penanganan kedaruratan jantung. Mereka harus melihat segera setelah pasien

pulang dari rumah sakit, untuk meyakinkan bahwa rehabilitasi diatur dengan

baik dan mengamati pelaksanaan pencegahan sekunder yang baik.

4. Pemegang kebijaksanaan

Mereka harus mendorong pelatihan masyarakat untuk RKP dasar dan

personel ambulans dalam BLS dan ALS. Mereka harus mengatur suatu sistem

yang optimal untuk perawatan pasien yang mengalami henti jantung dan infark

miokard, dengan mengkoordinasikan aktivitas pelayanan ambulans, dokter

umum, dan pelayanan rumah sakit. Mereka juga sebaiknya memastikan bahwa

unit gawat darurat mempunyai protokol yang baik untuk penanganan pasien

yang dicurigai mengalami infark miokard serta tenaga terlatih yang tersedia

setiap saat. Dan sebaiknya disediakan tempat tidur yang sesuai untuk perawatan

infark miokard. Dokter yang terlatih mengenai kardiologi harus selalu ada. Dan

harus diselenggarakan rehabilitasi pasien sepulang dari rumah sakit setelah

infark miokard. Harus dipastikan bahwa tersedia fasilitas di rumah sakit mereka

atau daerah untuk managemen lebih lanjut dan penanganan komplikasi infark

miokard, atau bila tidak ada, harus diatur hubungan dengan pusat kesehatan yang

lain.

30

Page 31: Management of Acute Coronary Syndrome

DAFTAR PUSTAKA

1. Amstrong A. Duncan B. Oliver MF et al. Natural history of acute heart attacks: a

community study. Br. Heart J 1972; 34: 67-80

2. WHO MONICA Project. Myocardial infarction and coronary deaths in the World

Health Organization MONICA project. Circulation 1994; 90: 583-612

3. Stevenson R. Ranjadayalan K. Wilkinson P. Robets R. Timmis AD. Short and long-

term prognosis of acute myocardial infarction since the introduction of

trombolysis. BMJ 1993; 307: 349-53

4. Hopper J. Pathik B. Hunt D. Chan W. Improved prognosis since 1969 of myocardial

infarction treated in a coronary care unit: lack of relation with changes in severity.

BMJ 1989; 299: 892-6

5. Maynard C. Weaver WD. Litwin PE et al. Hospital mortality in acute myocardial

infarction in the era of reperfusion therapy. Am J. Cardiol 1993; 72: 877-92

6. Adams J. Trent R. Rawies J. On behalf of the GREAT Group. Earliest

electrocardiographic evidence of myocardial infarction: implications for

thrombolytic therapy. BMJ 1993; 307: 409-13

7. Basic Life Support Group of the European Resuscitation Council. Guidelines for

basic life support. BMJ 1993; 306: 1587-9

8. Advanced Life Support Working party of the European Rescucitation Council.

Guidelines for advanced life support. Resuscitation 1992; 24: 111-24

9. Fibrinolytic Therapy Trialists (FTT) Collaborative Group. Indications for

fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction: collaborative

overview of early mortality and major morbidity results from all randomised trials

of more than 1000 patients. Lancet 1994; 343: 311-322

10. ISIS-3 (Third International Study of Interfact Survival) Collaborative Group.

ISIS-3: A randomised comparison of streptokinase vs tissue plasminogen activator

vs anistreplase and of aspirin plus heparin vs aspirin alone among 41.299 cases of

suspected acute myocardial infarction. Lancet 1992; 339: 753-70

11. Gruppo Italiano per lo Studyo della Streptochinasi nell infarto Miocardico (GISSI).

Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial

infarction. Lancet 1986; 1: 397-402

12. The International Study Group. In-hospital mortality and clinical course of 20.891

patients with suspected acute myocardial infarction randomised between alteplase

and streptokinase with or without heparin. Lancet 1990; 336: 71-5

31

Page 32: Management of Acute Coronary Syndrome

13. The GUSTO Investigators. An Intenational Randomized Trial Comparising four

thrombolyticstrategies for acute myoicardial infarction. N. Engl J Med 1993; 329:

673-82

14. The European Myocardial Infarction Project Group. Prehospital thrombolytic

therapy in patients with suspected acute myocardial infarction. N. Engl. J Med

1993; 329: 383-9

15. Topol EJ, George BS. Kereiakes DJ et al. And the TAMI Study Group. A

randomized controlled trial of intravenous tissue plasminogen activator and early

intravenous heparin in acute myocardial infarction. Circulation 1989; 79: 281-6

16. Gibbons RJ, Holmes DR, Reeder GS, Bayley KR, Hopfenspirger MR, Gersh BJ.

Immediate angioplasty compared with the administration of a thrombolytic agent

followed by conservative treatment for myocardial infarction. N Engl J Med 1993;

328: 685-91

17. Zijlstra F. de Boer MJ. Hoorntje JCA. Reiffers S. Reiber JHC. Suryapranata H. A

comparison of immediate coronary angioplasty with intravenous streptokinase in

acute myocardial infarction. N Engl J Med 1993; 328: 680-4

18. TIMI Research Group. Immediatevs delayed catheterization and angioplasty

following thrombolytic therapy. Am J Med 1987; 317: 581-8

19. Lindsay HSJ, Zaman AG, Cowan JC. ACE inhibitor after myocardial infarction:

patient selection or treatment for all? Br Heart J 1995; 73: 397-400

20. Walsh JT, Gray D, Keating NA, Cowley AJ hampton JR. ACE for whom?

Implications for clinical practice of post infarct trials. Br Heart J 1995; 73: 470-4

21. Woods KL, Flectcher S, Roffe C, Haider Y. Intravenous magnesium sulphate in

suspected acute myocardial infarction: the second Leicester intravenous

magnesium Intervention Trial (LIMIT-2). Lancet 1992; 339: 1553-58

22. TIMI IIIB investigators. Effects of tissue plasminogen activator and comparison of

early invasive and conservative strategies in unstable angina and non-Q wave

myocardial infarction. Results of the TIMI IIIB Trial. Circulation 1994; 89: 1545

23. The Beta-Blocker Pooling Research Group. The Beta-Blocker Pooling Project

(BBPP); subgroup findings from randomized trials in post infarction patients. Eur

Heart J 1988; 9: 8-16

24. The TIMI Study Group. Comparison of invasive and conservative strategies after

treatment with aintavenous tissue plasminogen activator in acute myocardial

infarction: results of the Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) Phase II

trial. N Engl J Med 1989; 320: 618-27.

32