Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien baik sebagai alasan utama pasien berobat atau sebagai keluhan tambahan. Terapi utama dari nyeri idealnya adalah menyingkirkan penyebab nyeri. 1,2 Tetapi, seringkali hilangnya penyebab tersebut tidak menyebabkan nyeri serta merta hilang dan terkadang pada kasus-kasus tertentu, nyeri yang dirasakan sangat hebat sehingga bantuan terapi penghilang rasa nyeri menjadi penting. 1 Dari segi waktu berjalannya pernyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronik. 1 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat modalitas terapi untuk ekdua macam nyeri tersebut dibedakan. Khusus untuk bahasan kali ini akan ditekankan terutama pada nyeri kronik. Tatalaksana pada nyeri kronik sering kali menyulitkan baik bagi dokter maupun bagi pasien. 1 Penyebab nyeri seringkali sulit untuk ditemukan dan memakan banyak waktu bagi dokter dan secara emosional terasa sangat membebani. Biasanya, pendekatan medis secara biasa untuk mencari proses patologi utama tidak berhasil dan seringkali diperlukan penanganan secara multidisiplin termasuk penatalaksanaan dari aspek psikososial. 1,2 Masuknya modalitas psikososial ini karena kasus nyeri kronik memiliki gangguan dasar psikologis dan/atau gangguan psikologis tersebut 1
35
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah+TMJ

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri merupakan keluhan yang sering dikeluhkan oleh pasien baik sebagai alasan utama pasien

berobat atau sebagai keluhan tambahan. Terapi utama dari nyeri idealnya adalah menyingkirkan

penyebab nyeri.1,2 Tetapi, seringkali hilangnya penyebab tersebut tidak menyebabkan nyeri serta

merta hilang dan terkadang pada kasus-kasus tertentu, nyeri yang dirasakan sangat hebat

sehingga bantuan terapi penghilang rasa nyeri menjadi penting.1

Dari segi waktu berjalannya pernyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu nyeri akut dan

nyeri kronik.1 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga membuat modalitas

terapi untuk ekdua macam nyeri tersebut dibedakan. Khusus untuk bahasan kali ini akan

ditekankan terutama pada nyeri kronik.

Tatalaksana pada nyeri kronik sering kali menyulitkan baik bagi dokter maupun bagi pasien. 1

Penyebab nyeri seringkali sulit untuk ditemukan dan memakan banyak waktu bagi dokter dan

secara emosional terasa sangat membebani. Biasanya, pendekatan medis secara biasa untuk

mencari proses patologi utama tidak berhasil dan seringkali diperlukan penanganan secara

multidisiplin termasuk penatalaksanaan dari aspek psikososial.1,2 Masuknya modalitas

psikososial ini karena kasus nyeri kronik memiliki gangguan dasar psikologis dan/atau gangguan

psikologis tersebut muncul sekunder akibat frustasi pasien menghadapi penyakitnya dan turut

berperan dalam eksaserbasi penyakitnya.1-4

Salah satu penyebab nyeri kronik yang cukup sering adalah kelaian pada TMJ

(temporomandibular junction).1,3 Kira-kira 60-70% populasi umum mempunyai setidaknya satu

keluhan gangguan TMJ, namun hanya seperempat saja menyadari akan keluhannya itu.3 Lebih

jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan sedikitnya satu gangguan tersebut yang

mencari pertolongan pengobatan ke dokter.3 Salah satu keluhan dari gangguan TMJ ini adalah

nyeri yang sifatnya kronik.3

Gangguan TMJ ini merupakan gangguan yang kompleks dengan banyak sekali faktor yang

saling terkait yang dimodulasi oleh faktor psikologis terutama stres, ansietas, dan depresi.3

1

Page 2: Makalah+TMJ

Seperti disebutkan di atas, penanganan nyeri kronik seringkali menyulitkan baik bagi dokter

maupun pasien. Terapi yang tidak tepat akan menyebabkan gangguan yang lama dan menyita

banyak sekali waktu dan perhatian. Untuk pasien dengan TMJ, hal ini tentu sangat menganggu

dan akan memperparah keadaan penyakitnya. Oleh sebab itu, bagi seorang dokter dalam

penanganan nyeri kronik, gangguan TMJ harus masuk dalam kemungkinan diagnosis pasien

tersebut. Dengan demikian, diharapkan penanganan pada pasien tersebut dapat lebih cepat dan

dapat mengurangi beban pasien baik secara waktu, material, maupun emosional.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

a. Memahami kelainan TMJ

b. Mengetahui sifat nyeri kronik pada gangguan TMJ sehingga dapat mendiagnosis gangguan

nyeri kronik pada TMJ

c. Mengetahui terapi yang efektif untuk gangguan TMJ

d. Mengetahui tatalaksana secara terpadu dan menyeluruh dalam penanganan kasus gangguan

TMJ

e. Mengetahui peranan dokter umum dalam tatalaksana penyakit TMJ

2

Page 3: Makalah+TMJ

BAB 2

TEMPOROMANDIBULAR DISORDER

2.1. Anatomi Sendi Temporomandibular

TMJ atau sendi rahang adalah sendi yang menghubungkan temporal dan mandibula yang terdiri

dari:

1. Tulang mandibula dengan kondilusnya (ujung membulat)

2. Diskus yaitu jaringan penyambung antara kondilus dengan soketnya pada tulang temporal

3. Sistem neurovaskuler

Persendian ini di lapisi oleh lapisan tipis dari kartilago dan dipisahkan oleh diskus. Persendian

ini secara konstan terpakai saat makan, berbicara dan menelan.

Gambar 2.1: Potongan sagital sendi temporomandibuler. Ruang sendi atas dan bawah dalam

kondisi normal terkompresi. Pada gambar ini ruangan tersebut dilebarkan untuk memperlihatkan

aspek anteroposterior. Daerah posterior bilaminae mengandung fleksus vena.

3

Page 4: Makalah+TMJ

2.2. Definisi dan Epidemiologi Gangguan Sendi Temporomandibular

Gangguan temporomandibular adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan yang

mengganggu sendi temporomandibular, otot pengunyah, dan struktur terkait yang

mengakibatkan gejala umum berupa nyeri dan keterbatasan membuka mulut.2 Biasanya pada

praktek umum (general practitioner) pasien dengan gangguan ini mengeluhkan gejala yang

eprsisten atau nyeri wajah yang kronik. Biasanya nyeri pada gangguan temporomandibular

disertai suara click pada sendi rahang dan keterbatasan membuka mulut.2

Sekitar 60-70% populasi umum mempunyai setidaknya satu gejala gangguan

temporomadibualr.2 Tetapi, hanya seperempatnya yang menyadari adanya gangguan tersebut.2

Lebih jauh lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan satu atau dua gejala gangguan

temporomandibular yang pergi ke dokter.2 Kelainan ini paling banyak dialami perempuan (1:4),

dan sering terjadi pada awal masa dewasa.2

2.3. Etiologi Gangguan Temporomandibular 5,6

Nyeri yang dirasakan pada persendian ini dapat dikarenakan oleh beberapa faktor seperti,

penggunaan yang berlebihan pada daerah yang bersangkutan, contohnya adalah pada individu

yang mempunyai kebiasaan buruk mengerat gigi (bruxism), sering menguap, mengunyah

cenderung pada satu sisi. Hal ini menyebabkan pemberian beban yang terus menerus pada daerah

persendian. Faktor lain yang terlibat adalah faktor maloklusi gigi terutama pertumbuhan gigi

geraham belakang yang tidak normal dapat menyebabkan desakan yang terus menerus serta

adanya kelainan anatomi rahang  dapat berakibat menimbulkan rasa nyeri pada TMJ.

Penggunaan berlebih pada diskus dan ligament-ligamen yang berhubungan dengan TMJ dapat

menyebabkan fleksibilitas pada discus dan ligament tersebut menurun, dan bila tidak

ditanggulangi dan terus berlanjut akan menyebabkan inflamasi yang berakhir pada rupture discus

dan ligament yang akan menimbulkan sensasi nyeri pada individu. Selain terjadinya inflamasi

pada discus, dapat pula terjadi inflamasi dari otot akibat hiperfungsi dari system musculoskeletal

yang akan menimbulkan nyeri juga.

Sensasi nyeri juga dapat timbul oleh karena adanya iskemi lokal yang disebabkan karena

hiperfungsi dari kontraksi otot yang mengakibatkan mikrosirkulasi tidak adekuat. Hal ini akan

4

Page 5: Makalah+TMJ

menyebabkan nutrisi pada jaringan akan berkurang sehingga menyebabkan iskemik pada

jaringan tersebut yang akan menimbulkan sensasi nyeri.

Persendian pada temperomandibular ini sama seperti persendian di daerah tubuh lainnya, dimana

dapat juga terjadi hal-hal seperti osteoarthritis, rheumatoid arthritis dan jenis-jenis inflamasi

lainnya didaerah persendian ini yang akan menimbulkan sensasi nyeri juga. Osteoartritis adalah

kondisi dimana sendi terasa nyeri akibat inflamasi yang diakibatkan gesekan ujung-ujung tulang

penyusun sendi. Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan

kerusakan kartilago sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis (RA) merupakan suatu penyakit

autoimun dengan karakteristik sinovitis erosif simetris sebagian besar pasien menunjukkan gejala

penyakit kronik hilang timbul dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan

persendian dan deformitas sendi progresif yang berakhir pada disabilitas.

2.4. Faktor Risiko Gangguan Temporomandibular7

Kelainan TMJ paling sering pada wanita dengan usia berkisar 30-50 tahun. Faktor resiko lain:

Jaw clenching

Teeth grinding (bruxism)

Rheumatoid arthritis

Fibromialgia

Trauma wajah dan rahang

Kelainan congenital pada tulang wajah

2.5. Jenis dan Gejala Gangguan Temporomandibular

Ada tiga gangguan tempotomandibular yang tesering, yaitu nyeri miofasial, internal2

dearrangement, dan osteoartrosis. 2 Nyeri miofasial adalah gangguan yang tersering ditemukan.2

Adapun gejala lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:5,6

Nyeri pada telinga

Kekakuan atau nyeri pada otot rahang

Nyeri pada daerah pipi

Bunyi pada rahang

Keterbatasan pergerakan pada rahang

Lock jaw

5

Page 6: Makalah+TMJ

Nyeri kepala yang sering

Kekakuan pada otot wajah dan leher, daerah preaurikuler

Asimetris dari wajah

Maloklusi

Kronik postural head tilting

Gambar 2.2: Terdapat kasus dimana pasien ini mengalami kelainan TMJ. Pada titik A dan C

pasien mengalami kekakuan otot. Pada point B dan D pasien mengalami kelemahan otot dan

stretched out. 7

2.6. Diagnosis TMJ

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang seperti foto roentgen atau MRI

6

Page 7: Makalah+TMJ

BAB 3

NYERI KRONIK PADA GANGGUAN TEMPOROMANDIBULAR

3.1. Nyeri Kronik

Nyeri merupakan salah satu gejala penting karena nyeri adalah gejala universal akan adanya

penyakit. Memahami gejala ini penting dalam mempertahankan fungsi tubuh dan mengurangi

penderitaan pasien. Terapi utama untuk nyeri adalah menghilangkan sumber penyakit yang

menyebabkannya. Tetapi untuk mencari penyebab ini seringkali su;it dilakukan terutama untuk

nyeri kronik. Oleh karena itu, terkadang diperlukan pendekatan lain yang sifatnya mengurangi

gejala nyeri tersebut.

Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan terhadap suatu stimulus. Ketika nyeri dirasakan,

sensasi ini akan mencapai level serebrum melalui interaksi yang kompleks dan dinamik.

Mekanisme dimana stimulus dinilai sebagai nyeri ditentukan oleh berbagai macam faktor. Pusat-

pusat saraf level tinggi dapat menghambat atau menambah pesan stimulus secara keseluruhan

melalui aktivitas prilaku, kognitif, psikologis, biologis (misalnya hormon), atau farmakologis.

Saat stimulus dinilai sebagai suatu nyeri, respon pertama kali adalah mencari asal sensasi nyeri

untuk menghindar dari stimulus tersebut. Respon dari sensasi nyeri tersebut dapat berbagai

macam. Hal ini terjadi akibat adanya modulasi stimulus pada berbagai macam tingkat aktivitas

neuron dari perifer ke pusat. Oleh karenanya, persepsi terhadap suatu stimulus dapat berbeda.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi peresepsi seseorang terhadap nyeri. Bukan hanya

faktor organik saja, faktor emosional dan lingkungan juga berpengaruh. Hal ini terkait modulasi

persepsi nyeri di tingkat serebrum. Stimulus yang muncul akan dimodulasi dan diproses melalui

berbagai tingkatan yang melibatkan berbagai level memori.

Teori gate-control, yang diperkenalkan oleh Melzak dan Wall pada tahun 1965, menyebutkan

bahwa pengalaman nyeri merupakan proses multidimensional dengan berbagai macam pengaruh.

Penjelasan yang diajukan akan adanya nyeri yang menetap setelah penyembuhan berkaitan

dengan perubahan (neuraoplastisitas) pada sistem saraf pusat. Sel saraf dikatakan mampu

mengubah struktur dan fungsi mereka terhadap respon terhadap rangsangan, yang akan berakibat

pada hubungan baru antara rangsangan dan respon. Sensitisasi ini tidak memerlukan masukan

7

Page 8: Makalah+TMJ

perifer tetapi merupakan konsekuensi akan adanya perubahan dan sensitivitas dari neuron di

sumsum tulang belakang. Perubahan-perubahan tersebut meliputi:

1. Berkurangnya batas ambang stimulus, dengan akibat bahwa neuron tidak lagi memerlukan

stimulus hebat untuk diaktifkan.

2. Adanya perubahan pada pola sementara dari respon, maka akan jika ada stimulus yang

transien akan membangkitkan aktivitas yang hebat.

3. Adanya peningkatan secara umum dari daya respon neuron motorik, akan membuat stimulus

yang hebat akan menghasilkan efek lebih besar lagi.

4. Adanya ekspansi lapang reseptor, akan berakibat pada respon akan terjadi pada area yang

lebih luas.

Manifestasi klinis akan adanya perubahan-perubahan ini meliputi hiperalgesia (peningkatan

respon pada stimulus yang secara normal menyakitkan); allodynia (nyeri terhadap stimulus yang

secara normal tidak menimbulkan nyeri); dan nyeri spontan, menjalar, dan merujuk.

Interaksi antara sistem saraf somatis dan simpatis memiliki peran dalam nyeri kronik dan diduga

menjadi penyebab dari banyak namun bukan semua kasus gejala nyeri kompleks regional.

Kaitannya mungkin berada pada coupling yang diperantarai neurotransmitter noradrenaline, yang

dilepaskan dari ujung akhir saraf bebas, sehingga mengakibatkan depolarisasi. Mekanisme ini

dipikirkan lebih ke arah sensitvitas terhadap sistem somatosensoris daripada hiperaktivitas sistem

simpatis eferen.

Pada nyeri kronik, interaksi antara faktor biologis dan lingkungan sangat perlu untuk dipahami.

Nyeri kronik sering kali menyebabkan gangguan emosi berupa depresi atau ansietas pada pasien.

Sayangnya, faktor emosi ini dapat memperparah gejala nyeri yang ditimbulkan. Akibatnya, jika

penatalaksanaan nyeri tidak adekuat, akan menambah penderitaan pasien.

8

Page 9: Makalah+TMJ

Gambar 3.1: Faktor biopsikososial yang berinteraksi dan memerantarai persepsi nyeri.

Dengan demikian, tatalaksana yang cepat dan tepat sangat penting dalam menangani nyeri

kronik. Anamnesis yang baik tetap menjadi kunci bagi penentuan diagnosis untuk mencari terapi

yang paling tepat untuk pasien.

3.2. Rasionalitas Terapi Nyeri pada Gangguan Temporomandibular

Sementara sebagian besar pasien dengan kelainan temporomandibular memberikan respon

terhadap terapi nonbedah yang diberikan, sebagian kecil pasien akan mengalami nyeri kronik

dan disabilitas.5 Akibatnya, kelompok pasien ini seringkali mengalami distres psikologis yang

besar dan gangguan berat dalam aktivitas sehari-hari.3,5 Memperkirakan apakah suatu kasus akan

berkembang menjadi kronis merupakan bagian dari tata laksana kelainan temporomandibular

yang sangat penting karena hal ini perlu diintervensi lebih lanjut.

Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan kemunculan nyeri kronik pada kasus

kelainan temporomandibular antara lain: faktor psikologis pasien, nyeri intensitas tinggi,

diagnosis nyeri miofasial, komorbiditas dengan nyeri muskuloskeletal yang luas dan trauma.8

3.3. Patofisiologi Nyer Kronik pada Gangguan Temporomandibular

Hiperaktivitas otot pengunyah yang berkembang menjadi “lingkaran setan” diajukan sebagai

penyebab nyeri miofasial. Isitalh diagnostik yang dipakai untuk menjelaskan kondisi ini adalah

9

Page 10: Makalah+TMJ

miospasme, spasme otot, dan reflex splinting. Kaitan antara hiperaktivitas otot dan kelainan nyeri

belum didemonstrasikan. Perbedaan antara aktivitas istirahat elektromiografi pada otot penutup

rahang yang nyeri dengan yang tidak nyeri belum ditemukan. Atrisi gigi yang menunjukkan

lapuknya gigi sebagai akibat bruxism tidak berkaitan dengan click pada TMJ atau nyeri atau

dengan nyeri pada otot pengunyah.

Hasil dari studi eksperimental terhadap nyeri miofasial menunjukkan konsistensi pada hipotesis

yaitu nyeri disebabkan oleh perubahan proses sistem saraf pusat, namun penemuan ini juga dapat

diinterpretasikan sebagai konsekuensi dari nyeri bukan sebagai penyebab nyeri itu sendiri.

Hipotesis psikologis menunjukkan bahwa kelainan diakibatkan stress psikologis yang biasa

muncul pada individu dengan lingkungan stres; stres psikologis berakibat pada kebiasaan buruk

yang berakibat nyeri otot. Tantangan yang dihadapi pada kelainan nyeri kronis adalah dalam

menentukan berapa banyak stres psikologis yang menjadi penyebab atau yang akan terjadi akibat

nyeri kronis. Melihat bukti yang ada, sters emosi lebih menjadi akibat dibandingkan sebab dari

nyeri.

Kurangnya bukti dari satu penyebab jelas nyeri mengarahkan bahwa etiologi nyeri adalah

multifaktorial. Faktor ini berkontribusi pada inisiasi, aggravasi, dan atau perpetuasi nyeri.

Beberapa faktor disebutkan di bawah ini:

1. Kebiasaan buruk (misalnya bruxism malam, mengencangkan gigi, bibir, atau pipi)

2. Stres emosional

3. Trauma akut dari tumbukan

4. Trauma dari hiperekstensi (misalnya prosedur dental, intubasi oral, menguap, trauma

servikal)

5. Ketidakstabilan maksilomandibular

6. Kerusakan sendi

7. Komorbid lain misalnya reumatik atau kelainan ototdan tulang

8. Kesehatan secara umum yang kurang baik dan gaya hidup yang tidak sehat

Frekuensi dan kepentingan faktor-faktor ini sebagai penyebab masih belum diketahui.

10

Page 11: Makalah+TMJ

Nyeri Myofascial

Nyeri myofascial merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan jaringan otot yang

hipersensitif dan area lokal keras yang disebut trigger point. Kondisi ini terkadang dikenal

sebagai myofascial trigger point paint. Hal ini merupakan kelainan yang belum sepenuhnya

dimengerti, tetapi biasa terjadi pada pasien dengan keluahan myalgia.

Nyeri myofascial muncul dari otot yang hipersensitif yang disebut trigger points. Jaringan otot

pada area ini, perlekatan tendon, atau keduanya seringkali dirasakan sebagai pita taut yang ketika

dipalpasi, akan menghasilkan nyeri. Asal dari trigger points tidak diketahui. Tetapi, diperkirakan

karena adanya ujung saraf di otot tersensitisasi oleh substansi algogenik yang menghasilkan zona

hipersensitif. Mungkin terjadi peningkatan suhu lokal di situs trigger point, menunjukkan adanya

peningkatan permintaan metabolic, reduksi aliran darah, atau keduanya. Trigger point

merupakan region yang terbatas di mana hanya ada sedikit motor unit yang berkontraksi. Jika

semua motor unit berkontraksi, akan terjadi pemendekan otot. Kondisi ini disebut myospasme.

Karena trigger point hanya terdapat beberapa motor unit yang berkontraksi, tidak terjadi

pemendekan otot.

Karakteristik yang unik adalah trigger point merupakan sumber nyeri yang konstan dan oleh

sebab itu dapat menghasilkan efek eksitatori sentral. Jika trigger point mengeksitasi grup

interneuron aferen, referred pain akan terjadi, biasanya terjadi pada pola yang dapat diprediksi

sesuai dengan lokasi trigger point yang terlibat. Pasien seringkali mengeluhkan nyeri kepala.

Penyebab nyeri myofasial sangat kompleks. Travell dan Simons menggambarkan faktor lokal

dan sistemik yang diperkirakan berhubungan dengan nyeri seperti trauma, hipovitamiosis,

kondisi umum yang buruk, kelelahan, infeksi viral. Faktor lain yang penting anatara lain stress

emosional dan nyeri.

Gejala klinis yang paling umum dari nyeri myosfascial adalah keberadaan jaringan otot yang

keras dan hipersensitif. Meskipun palpasi dari trigger points menghasilkan nyeri, sensitivitas otot

lokal bukan keluhan umum pasien. Keluhan yang paling umum biasanya berhubungan dengan

efek eksitasi sentral yang dihasilkan oleh trigger points.

11

Page 12: Makalah+TMJ

Pada banyak keadaan, pasien hanya menyadari referred pain dan bahkan tidak menyadari trigger

points. Contohnya adalah pasien yang mengalami nyeri myofascial trigger point pada otot

trapezius menghasilkan referred pain ke regio temple. Keluhan utamanya adalah nyeri temporal,

dengan kesadaran sedikit pada trigger point di bahu. Presentasi klinis dapat mengalihkan

perhatian dokter dari sumber masalah. Pasien akan mengarahkan perhatian dokter ke daerah

nyerinya yaitu temporal dan bukan sumbernya. Dokter harus selalu ingat bahwa pengobatan akan

efektif jika langsung diarahkan pada sumbernya. Maka, dokter harus selalu mencari sumber

nyerinya.

Karena trigger poitns dapat nenyebabkan efek eksitatori sentral, sangat penting untuk menyadari

semua kemungkinan manifestasi klinisnya. Efek eksitatori sentral dapat muncul sebagai referred

pain, hiperalgesia sekunder, protektif ko-kontraksi, atau respon anatomik. Kondisi ini harus

diperhatikan saat mengevaluasi pasien.

Gejala klinis yang penting dari trigger point adalah keadaannya dapat aktif atau laten. Pada

keadaan aktif, trigger point menghasilkan efek eksitatori sentral, sehingga seringkali dirasakan

nyeri kepala. Karena referred pain tergantung pada sumbernya, palpasi dari trigger point yang

aktif seringkali meningkatkan rasa nyeri. Meskipun tidak selalu ada, karakteristik ini sangat

membantu dalam diagnosis. Pada keadaan laten, trigger point tidak lagi sensitif terhadap

palpasi, maka tidak menghasilkan referred pain. Ketika trigger point berada dalam keadaan

laten, sumber ini tidak dapat ditemukan dengan palpasi dan pasoen tidak mengeluhkan nyeri

kepala. Pada beberapa keadaan, dokter perlu meminta pasien untuk kembali jika nyeri kepalanya

muncul sehingga konfirmasi mengenai nyeri kepalanya dapat diverifikasi dan dapat ditegakkan

diagnosis.

Diperkirakan trigger point tidak berkurang dengan pengobatan. Bahkan trigger point dapat

menjadi laten dan dorman dan keluhan referred pain dapat hilang sementara. Trigger point dapat

diaktivasi oleh beberapa faktor, misalnya penggunaan otot, strain dari otot, stress emosional, dan

infeksi saluran pernafasan. Ketika trigger point teraktivasi, nyeri kepala akan muncul kembali.

Hal ini biasa ditemukan pada pasien dengan keluhan nyeri kepala siang hari setelah hari yang

melelahkan.

12

Page 13: Makalah+TMJ

Sejalan dengan referred pain, efek eksitatori sentral dapat dirasakan oleh pasien. Ketika

hiperalgesia sekunder muncul, biasanya akan terjadi peningkatan sensitivitas ketika kulit kepala

disentuh. Beberapa pasien akan mengatakan rambutnya terasa nyeri atau terasa sakit saat

menyisir rambutnya. Ko-kontraksi merupakan kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri

myofascial. Trigger point pada bahu atau otot servikal dapat menghasilkan ko-kontraksi pada

otot mastikasi. Jika hal ini berlanjut, soreness pada otot mastikatori dapat muncul.

Penatalaksanaan pada otot mastikatori tidak akan menghilangkan keluhan karena trigger point

cervicospinal dan otot bahu. Tetapi, penatalaksanaan trigger points pada otot bahu akan

menghilangkan kelainan otot mastikatori. Penatalaksanaan akan menjadi sulit ketika soreness

otot sudah terjadi pada waktu yang lama, karena hal ini dapat menginisiasi nyeri otot cyclic.

Pada kasus ini, penatalaksanaan terhadap otot mastikasi dan trigger point cervicospinal dan otot

bahu akan menyelesaikan masalah.

Efek autonomik diproduksi oleh nyeri dalam oleh trigger point. Hal ini dapat menyebabkan

gejala klinis seperti mata kering atau perubahan vaskular. Terkadang konjungtiva dapat menjadi

merah. Bahkan mungkin terjadi perubahan mukosa yang memproduksi sekret nasal yang mirip

dengan alergi. Kunci untuk menentukan apakah efek autonomik berhubungan dengan efek

eksitatori sentral atau reaksi lokal adalah unilateral atau bilateral. Efek eksitatori sentral pada

area trigeminal jarang menyebrang midline. Maka nyeri dalamnya akan bersifat unilateral, efek

autonomik akan berada pada sisi yang sama dengan nyeri. Dengan kata lain, satu mata akan

merah dan yang lain normal, satu hidung akan mengeluarkan sekret, dan yang lainnya normal.

Sedangkan jika alergi, kedua mata dan hidung akan terlibat.

Dapat disimpulkan, gejala klinis nyeri myofascial umumnya berhubungan dengan efek eksitatori

sentral yang dihasilkan dari trigger point dan bukan hanya trigger point saja. Dokter harus

menyadari hal ini dan menemukan trigger point. Ketika teraba, trigger point merupakan area

hipersensitif, sering terasa sebagai pita taut dalam otot. Tidak ada nyeri lokal ketika otot dalam

keadaan beristirahat, tetapi nyeri dapat dirasakan saat otot digunakan. Seringkali disfungsi

struktural terluhat pada otot yang terdapat trigger point. Hal ini sering dilaporkan sebagai ”stiff

neck”.

13

Page 14: Makalah+TMJ

Nyeri Otot Kronik

Kelainan otot yang digambarkan sebelumnya seringkali ditemukan pada praktik dokter gigi dan

berdurasi singkat. Dengan sifatnya yang kronis, nyeri myogenous menjadi lebih dipengaruhi

ooleh CNS, menghasilkan kondisi nyeri yang regional atau global. Seringkali nyeri otot cyclic

menjadi hal yang penting pada kondisi ini.

Nyeri kronik merupakan nyeri yang muncul selama 6 bulan atau lebih. Durasi nyeri merupakan

faktor yang paling penting dalam menentukan kronisitasnya. Beberapa nyeri dirasakan bertahun-

tahun, tetapi tidak pernah menjadi kondisi nyeri kronik. Tetapi beberapa nyeri dapat menjadi

kronik dalam beberapa bulan. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kontinuitas dari

nyeri. Ketika nyeri dirasakan konstan dengan tidak ada periode di mana nyeri hilang, manifestasi

klinis kronik berkembang dengan cepat. Pada sisi yang lain, jika nyeri diinterupsi dengan periode

remisi, kondisi dapaat menjadi nyeri kronik. Sebagai contoh, nyeri kepala cluster merupakan

nyeri neurovaskular yang bertahan bertahun-tahun dan tidak menjadi nyeri kronik. Hal ini

dikarenakan adanya periode remisi di antara nyeri. Nyeri konstan yang berhubungan dengan

centrally mediated myalgia, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan kronisitas dalam beberapa

bulan.

Dokter harus menyadari keluhan myalgia berkembang dari akut menjadi kronik, maka efektivitas

penatalaksanaan lokal akan berkurang. Kelainan nyeri kronik harus ditangani secara

multidisiplin. Pada beberapa keadaan, dokter gigi saja tidak diperlengkapi untuk menangani

kelainan ini. Maka penting untuk mengenali gejala kelainan nyeri kronik dan merujuk pasien ke

terapis yang tepat yang mampu menangani kondisi nyerinya.

Faktor Perpetuasi

Ada beberapa keadaan yang memperpanjang nyeri oot. Faktor ini dikenal sebagai faktor

perepetuasi dan dapat dibagi menjadi sumber lokal dan sistemik.

Faktor perpetuasi lokal

Kondisi yang mempresentasikan faktor lokal yang bertanggung jawab terhadap kelanjutan

kelainan otot lokal menjadi kondisi nyeri kronik:

1. Protracted cause

Jika dokter gagal mengeliminasi penyebab kelainan otot akut, kondisi kronik akan muncul.14

Page 15: Makalah+TMJ

2. Reccurent cause

Jika pasien mengalami episode rekuren dari penyebab kelainan otot akut yang sama,

mungkin kelainan akan menjadi kondisi yang kronik.

3. Therapeutic mismanagement

Ketika pasien ditatalaksana tidak dengan optimal, gejala tidak akan berkurang. Hal ini dapat

menyebabkan kondisi yang lebih kronik

Faktor perpetuasi sistemik

1. Stress emosional yang berkepanjangan

Karena stres emosional yang meningkat dapat menyebabkan kelainan otot akut, stres

emosional dapat memperparah keadaan menjadi kelainan otot kronik.

2. Down regulation of the descending inhibitory system

Descending inhibitory system merupakan struktur brainstem yang mengarur aktivitas neural

ascending. Descending inhibitory system yang efektif meminimalisasi input nociceptive

ketika naik ke korteks. Jika system ini tidak efektif, meningkatnya nociceptive dapat

menghasilkan rasa sakit yang lebih parah. Tidak jelas apa yang menyebabkan down

regulation system ini, tetapi konsep ini menjelaskan perbedaan respon individual terhadap

kejadian yang berbeda-beda. Defisiensi nutrisi dan kebugaran fisik memainkan peran.

Meskipun penurunan fungsi pada descending inhibitory system menunjukkan permasalahan

nyeri, faktor ini belum didokumentasikan dengan baik.

3. Gangguan tidur

Gangguan tidaur secara umum berhubungan dengan kelainan nyeri myalgia kronik. Belum

diketahui apakah kelainan tidur merupakan faktor signifikan dalam inisiasi kondisi nyeri

kronik.

4. Tingkah laku yang dipelajari

Pasien dapat “belajar” menjadi sakit. Pasien seperti ini harus menerima terapi untuk

memperbaiki kelakuan kesehatan sebelum recovery optimal dapat tercapai.

5. Secondary gain

Ketika pasien belajar nyeri kronik dapat digunakan untuk mengubah kehidupan normal,

pasien dapat mengalami kesulitan melepaskan nyerinya dan kembali ke tanggung jawabnya

sehari-hari.

15

Page 16: Makalah+TMJ

6. Depresi

Depresi fisiologis merupakan hal yang biasa terjadi pada pasien dengan nyeri kronik. Depresi

dapat menghasilkan masalah fisiologis independen, maka hal ini harus ditatalaksana dengan

tuntas. Eliminasi rasa nyeri belum tentu mengeliminasi depresinya.

3.4. Terapi Nyeri Kronik pada Gangguan Temporomandibular

Nyeri yang ditimbulkan oleh kelainan temporomandibular umumnya berupa nyeri miofasial.5

Karena patogenesis dan patofisiologi nyeri miofasial masih perlu diteliti lebih lanjut, tata laksana

nyeri yang mengarah pada penyebab tunggal tidak dapat diberikan.8 Dengan demikian, terapi

multimodal merupakan modalitas terapi yang lebih efektif dalam menangani nyeri kronik yang

ditimbulkan oleh nyeri miofasial.8 Prinsip terapi multimodal nyeri kronik sampai saat ini hanya

didasarkan pada prognosis pasien secara umum dan pengertian bahwa belum ada studi yang

berhasil membandingkan kelebihan dan keamanan masing-masing modalitas terapi yang

direkomendasikan saat ini.8 Oleh karena itu, terapi yang lebih mudah diperoleh, tidak terhalang

oleh biaya, keamanan dan bersifat reversibel akan diutamakan dalam terapi nyeri kronik. Terapi

yang memiliki karakteristik seperti itu antara lain edukasi, self-care, terapi fisik, terapi intraoral,

farmakoterapi jangka pendek, terapi perilaku, dan teknik relaksasi.8

1. Edukasi dan informasi

Ansietas pada pasien turut berperan dalam progresifitas penyakit yang akan mengarah

kepada nyeri yang hebat dan kehilangan fungsi.1-5 Menjelaskan darimana rasa sakit berasal

dan karakteristik dari gejala yang dirasakan pasien akan mengurangi ansietas pada pasien.

Edukasi menjadi dasar dari aktivitas perawatan diri yang pasien dapat lakukan untuk

mengontrol gejala.5 Edukasi dan informasi ini harus dilakukan secara bertahap dan tidak

terburu-buru. Edukasi dan informasi ini juga akan membantu pasien untuk mengetahui

penggunaan rahangnya secara tepat dan benar. Pasien harus turut ikut berperan dalam

melawan stress dan penyakit yang dideritanya.

2. Self-care dan perubahan kebiasaan pasien

Pasien harus mulai menghentikan kebiasaan penggunaan rahangnya yang tidak berguna

dalam kehidupan sehari-hari (seperti menggertakkan gigi, posisi rahang, ketegangan otot

rahang, berpangku tangan pada rahang, dan lain-lain). Kebiasaan-kebiasaan tersebut akan

memberikan beban pada rahang sehingga memperberat penyakit. Perubahan pada kebiasaan

16

Page 17: Makalah+TMJ

tersebut akan mengurangi nyeri yang diderita pasien dan progresifitas penyakit. Pasien

disarankan untuk mengalihkan perhatiannya ke kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik (tidak

memberi beban pada rahang). Pasien juga dianjurkan untuk mengistirahatkan rahangnya bila

sakit, mengompres dingin rahang pasien selama 10 menit setiap 2 jam pada serangan akut.5

3. Fisioterapi

Berdasarkan penilitian, fisioterapi terbukti lebih baik daripada placebo walaupun tidak

ditemukan perbedaan dari berbagai fisioterapi yang dilakukan.5 Baik terapi pasif maupun

aktif umumnya terdapat pada fisioterapi. Terapi postur direkomendasikan untuk menghindari

posisi yang dapat mempengaruhi posisi mandibula dan otot mastikasi (seperti kepala maju ke

depan).5 Modalitas pasif seperti ultrasound, laser dan transcutaneus electrical nerve

stimulation (TENS) biasa digunakan untuk memulai fisioterapi dengan tujuan mengurangi

nyeri dan membantu penyembuhan pasien.5 TENS menggunakan tegangan listrik rendah

bifasik dalam berbagai frekuensi yang mempunyai efek counterstimulation dari saraf

sensorik untuk mengontrol nyeri.5 Terapi ultrasound dapat menghasilkan panas yang

ditransmisikan ke dalam jaringan sehingga lebih efektif daripada penghangatan dari luar.

Latihan gerak dilakukan adalah latihan gerak peningkatan jangkauan gerak rahang, penarikan

pasif untuk meningkatkan gerakan mandibula dan pelatihan isotonik dan isotmetrik. Latihan

membuka dan menutup mulut dalam satu garis lurus di depan kaca atau lidah menempel pada

palatum merupakan latihan membuka mulut yang umum dilakukan pada fisioterapi. Pilihan

dari terapi ini bersifat individual dan ilmu fisioterapi ini masih belum begitu berkembang.5

4. Penggunaan alat-alat intraoral

Penggunaan alat intraoral seperti splints, orthotics, orthopedic appliances, bite guards,

nightguards atau bruxing guards biasa digunakan dalam terapi kelainan temporomandibular.5

Alat-alat ini biasa digunakan dokter gigi untuk melakukan terapi pada pasien mereka. Alat-

alat ini memiliki banyak desain dan terbuat dari berbagai material, namun yang paling sering

digunakan adalah splint yang berbentuk flat-plane yang terbuat dari acrylic keras. Splint ini

digunakan untuk meningkatkan stabilitas sendi, melindungi gigi, meratakan tekanan,

merelaksasi otot elevator dan mengurangi bruxism.5 Splint ini juga didesain untuk

menghindari perubahan posisi rahang. Penggunaan alat-alat medis ini harus dievaluasi

seiring dengan kemungkinan terjadinya perubahan postur mandibula. Pada awal terapi, alat

17

Page 18: Makalah+TMJ

ini harus digunakan saat tidur dan saat bekerja, hal ini harus dimonitor untuk menentukan

saat-saat paling efektif dari penggunaan alat ini. Untuk menghindari perubahan oklusi, alat

ini tidak boleh digunakan terus menerus.

5. Farmakoterapi

Analgesik ringan, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), antiansietas,

antidepresan trisiklik dan pelemas otot adalah obat-obat yang biasa digunakan untuk

mengobati kelainan temporomandibular.3,5 Di dalam penelitian, penggunaan benzodiazepine

kerja panjang seperti klonazepam akan mengurangi nyeri pada kelainan temporomandibular.5

Opiod dicadangkan untuk nyeri kronik yang kompleks. Terapi medikasi pada kelainan

kelainan temporomandibular mengikuti prinsip umum terapi analgesik untuk nyeri dan

diberikan dengan metode fixed-dose.5

AINS (antiinflamasi nonsteroid) lazim digunakan untuk mengendalikan nyeri pada terapi

kelainan temporomandibular. Golongan AINS yang dapat digunakan antara lain penghambat

enzim siklooksigenase-2 seperti celecoxib dan rofecoxib (efek analgesic sama dengan

golongan penghambat COX nonspesifik, tetapi efek samping gastrointestinal berkurang);

ibuprofen (400 mg 4 kali sehari); naproxen; diklofenak dan nabumetone. Penghambat COX-2

harus diberikan selama 2 minggu dengan metode fixed-dose untuk menilai efektivitas terapi.

Selain itu, dapat juga digunakan secara topical, seperti diklofenak yang telah dikemas dalam

bentuk jel atau krim capsaicin (0.025%-0.075%) yang digunakan empat kali sehari. Namun,

capsaicin memiliki efek samping rasa terbakar sehingga membatasi kegunaannya.

Anti ansietas berguna terutama saat eksaserbasi akut nyeri otot, obat ini digunakan pada

malam hari untuk menghindari efek sedasinya dan potensi ketergantungan menghambat

penggunaan obat ini dalam jangka panjang.

Penggunaan obat pelemas otot seperti carisoprodol, methocarbamol, derivat trisiklik

cyclobenzaprine terbukti efektif mengurangi nyeri dengan cara menginhibisi interneuron dan

kerja sistem saraf pusat. Karena efek sedasinya, pelemas otot juga digunakan pada malam

hari.

Antidepresan trisiklik, terutama amitriptilin, telah terbukti efektif dalam mengatasi nyeri

orofasial kronik. Pada dosis rendah, amitriptilin memiliki efek analgesik, efek sedasi dan

merangsang tidur nyenyak; semua efek ini dapat berguna bagi pasien. Namun, efek

18

Page 19: Makalah+TMJ

antikolinergik yang dimiliki obat ini (mulut kering, peningkatan berat badan, sedasi dan

euphoria) menyebabkan obat ini tidak disukai. Dosis dapat dimulai dari 10 mg pada malam

hari dan dapat ditingkatkan sampai 75-100 mg, tergantung dari toleransi pasien.

6. Terapi perilaku dan teknik relaksasi5

Mengabungkan terapi perilaku dan teknik relaksasi telah terbukti efektif dalam mengatasi

nyeri kronik. Teknik-teknik yang telah digunakan pada pasien dengan kelainan

temporomandibular antara lain teknik relaksasi, biofeedback, hipnosis dan terapi perilaku-

kognitif.

Teknik relaksasi secara umum menurunkan aktivitas simpatis dan (mungkin) kesadaran.

Metode relaksasi dalam meliputi autogenic training, meditasi dan relaksasi otot progresif.

Teknik-teknik ini ditujukan untuk menghasilkan sensasi menyamankan tubuh, menenangkan

pikiran dan menurunakan tonus otot. Metode singkat untuk relaksasi menggunakan relaksasi

swa-kontrol, teknik pengendalian frekuensi pernafasan (paced breathing), dan pernafasan

dalam. Hipnosis menghasilkan keadaan fokus pikiran yang terseleksi atau difus sehingga

dapat memicu relaksasi. Hipnosis sangat tergantung dari pasien dan tidak berkaitan dengan

peningkatan produksi endorfin, sementara pengaruhnya terhadap produksi katekolamin

belum diketahui.

Terapi perilaku-kognitif, yang seringkali meliputi teknik relaksasi, mengubah pola pikir yang

negatif. Hipnosis dan terapi perilaku-kognitif diperkirakan bekerja dengan menghambat nyeri

untuk memasuki alam sadar dengan mengaktifkan sistem atensi limbic frontal yang

menghambat transmisi impul listrik dari thalamus ke korteks serebri. Biofeedback adalah

metode terapi yang menyediakan umpan balik secara bersinambung, umumnya dengan

memantau aktivitas listrik otot dengan elektroda permukaan atau memantau suhu perifer.

Alat pemantau ini memberikan informasi fisiologis kepada pasien, sehingga pasien dapat

mengubah fungsi fisiologis untuk menghasilkan respons yang serupa dengan terapi relaksasi.

Dengan kata lain, pasien melakukan terapi relaksasi yang ditujukan untuk menurunkan

aktivitas listrik otot atau meningkatkan suhu perifer.

Hambatan yang seringkali ditemui dalam pelaksanaan modalitas ini adalah protokol standar

pelayanan medis yang seringkali mengabaikan isu psikososial dan hal-hal yang dialami

19

Page 20: Makalah+TMJ

pasien selama sakit. Selain itu, terapi ini seringkali time-intensive dan tidak dicakup dalam

asuransi kesehatan.

7. Trigger point therapy5

Trigger point therapy menggunakan dua modalitas, yaitu mendinginkan kulit di atas otot

yang terlibat dan kemudian merentangkannya; dan suntikan anestesi lokal langsung ke dalam

otot.

Terapi semprot dan regang (spray and stretch) dilakukan dengan mendinginkan kulit dengan

fluoromethane (spray pendingin) dan dengan lembut meregangkan otot yang sakit. Tindakan

pendinginan ini dilakukan dengan tujuan memungkinkan peregangan dil;akukan tanpa rasa

sakit, yang akan memicu reaksi kontraksi atau strain. Pasien yang merespons modalitas ini

dapat menggunakan variasi lain seperti menghangatkan otot tersebut, kemudian dengan cepat

medinginkannya dan setelah itu dengan lembut meregangkan otot yang sakit.

Injeksi titik picu (trigger point) intramuskular dilakukan dengan menyuntikkan zat anestesi

lokal, cairan fisiologis, atau air steril atau dry needling tanpa memasukkan cairan atau obat.

Metode yang dianjurkan untuk injeksi titik picu intramuskular adalah prokain yang

diencerkan sampai 0.5% dengan cairan fisiologis karena toksisitas terhadap otot rendah.

Selain itu, dapat pula digunakan lidokain 2% (tanpa vasokonstriktor). Sampai saat ini belum

ada protokol yang mengatur pemberian injeksi titik picu ini, tetapi umumnya suntikan

diberikan pada sekelompok otot setiap minggu selama 3-5 minggu. Jika respons terhadap

terapi tidak adekuat, terapi ini harus segera dihentikan.

3.5. Tatalaksana pada Nyeri Kronik Lanjut

Pada pasien yang tidak merespon terapi inisial dan yang tetap mengalami nyeri dan disabilitas

yang signifikan, diperlukan terapi tambahan selain terapi yang telah disebutkan sebelumnya.

Pasien-pasien seperti ini didiagnosis memiliki gangguan nyeri kronik, bukan gangguan anatomi

yang terbatas pada sistem mastikatori. Umumnya pasien seperti ini membutuhkan penanganan

klinik nyeri multidisiplin. Penggunaan pengobatan nyeri kronik, seperti opioid dan obat-obat

yang diberikan sebagai analgesik penunjang (adjuvant) seperti antidepresan trisiklik, antikejang,

stabilisator membran dan simpatolitik) mungkin digunakan sebagai bagian dari rencana tata

laksana jangka panjang. Gangguan nyeri kronik menyebabkan perubahan psikososial yang

memerlukan tata laksana untuk mengurangi diasbilitas pasien. Penitikberatan pada terapi

20

Page 21: Makalah+TMJ

perilaku dan strategi pemecahan masalah (coping strategy) dapat menambah efektivitas terapi.

Gangguan pola tidur dapat diatasi dengan obat-obat hipnotik-sedatif. Perlu diingat bahwa depresi

seringkali menyertai nyeri kronik. Tindakan pembedahan pada nyeri otot kronik tidak memiliki

nilai terapi.

21

Page 22: Makalah+TMJ

BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Nyeri merupakan gejala yang akan ditemui dalam praktek sehari-hari dokter umum. Untuk

menanganinya, perlu dicari faktor dasar yang menyebabkannyeri tersebut. Gangguan

temporomandibular ternyata sering terjadi pada populasi umum. Gejala yang sering terjadi pada

gangguan ini adalah nyeri. Oleh sebab itu, penting sekali seorang dokter umum memasukan

gangguan temporomandibular untuk dipertimbangkan sebagai diagnosis kerja.

Agar dapat mengenali gangguan temporomandibular ini, tentu seorang dokter harus memahami

sifat dari penyakit ini. Faktor emosi ternyata penting dalam presipitasi gejala nyeri pada

gangguan temporomandibular. Karena itu, jangan sungkan-sungkan bagi dokter untuk

memberikan terapi nonmedikamentosa dalam mengani gangguan temporomandibular

Gangguan temporomandibular merupakan gangguan yang kompleks. Diperlukan tinjauan dari

berbagai multidisiplin. Dalam menangani kasus gangguan temporomandibular, diperlukan

kerjasama tim yang baik. Salah satu faktor yang penting dalam gangguan temporomandibular

adalah kelainan pada gigi. Kerjasama yang baik antara dokter dan dokter gigi dapat membantu

pasien dengan kelainan temporomandibular dalam proses penyembuhan penyakitnya

4.2. Saran

Adapun saran dari makalah ini adalah

1. Dokter umum perlu mengetahui kelainan temporomandibular

2. Medikamentosa bukan pilihan satu-satunya dalam menangani gejala nyeri khususnya nyeri

kronik sehingga disarankan agar pendekatan terapi pada nyeri kronik dilakukan dari berbagai

macam modalitas terapi

3. Terapi yang tepat bagi gangguan nyeri kronik dapat membantu pasien baik secara emosional,

waktu, maupun materi

4. Pertimbangkan gangguan teporomandibular dalam menghadapi kasus nyeri kronik

5. Perlu kerjasama yang baik antara berbagai bidang keilmuan dalam tatalaksana nyeri kronik

22

Page 23: Makalah+TMJ

DAFTAR PUSTAKA

1. Fields HL, Martin JB. Pain: pathophysiology and management. In: Kasper DL, Braunwald E,

Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s principle of internal

medicine; 16th edition. McGraw-Hill:Philladelphia;2005:71-6

2. Holdcroft A, Power I. Management of pain. BMJ 2003;326:635-9

3. Dimitroulis G. Temporomandibilar disorders: a clinical update. BMJ 1998;317:190-4

4. Dersh J, Polatin PB, Gatchel RJ. Chronic pain and psychopathology: research findings and

theoretical consideration. Psychosomatic Medicine 2002;64:773-86

5. http://www.healthscout.com/ency/1/130/

main.html#TreatmentofTemperomandibularJoint(TMJ)Disorder

6. http://www.stronghealth.com/services/surgical/ENT/tmj.cfm3. http://www.ctds.info/tmj.html

7. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/temporomandibularjointdysfunction.html

8. Blasberg B, Greenberg MS. Temporomandibular disorders. In: Greenberg MS, Glick M,

editors. Burket’s oral medicine: diagnosis and treatment. 10th ed. Ontario: BC Decker Inc.

2003.p.271-306.

23