MAKALAH
A. KARSINOMA NASOFARING
1. Etiologi dan patofisiologi
Penyebab karsinoma nasofaring adalah multifaktorial, yakni
infeksi virus Epstein Barr, genetik dan faktor lingkungan.
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa ada hubungan antara virus
Epstein-Barr dengan KNF, karena pada semua pasien KNF didapatkan
titer anti-virus EB yang cukup tinggi.
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker
nasofaring, sehingga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk Cina
bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura
dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika
bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di
Alaska yang diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan
yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan pengawet
nitrosamin yang bersifat karsinogenik.
Faktor lain yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia,
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau
bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu
panas.
2. Anatomi
3. Manifestasi Klinik
a. Gejala nasofaring
Gejala ini dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan nasofaring dengan cermat
karena seringkali gejala belum muncul tetapi tumor sudah timbul
ataupun tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah
mukosa.
b. Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat dengan muara tuba eustachius (fossa
Rosenmuller), dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman ditelinga
sampai rasa nyeri ditelinga (otalgia).
c. Gejala mata dan saraf
Gejala lanjut dari KNF dapat berupa gangguan beberapa saraf
otak. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak
ke III, IV, VI dan V. Jika terjadi penjalaran yang jauh, maka dapat
mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII melalui foramen
jugulare.
d. Gejala di leher atau metastasis
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapar
keluhan lain.
4. Diagnosis
Secara diagnostik, KNF dapat dideteksi dengan endoskopi.
Penggunaan MRI dan CT-Scan pun dapat menilai luas dan kedalaman
infiltrasi tumor. Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA
untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi
KNF.
Diagnosis pasti KNF dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi
dapat dilakukan dua cara, yaitu dari hidung (tanpa melihat jelas
tumornya) atau dari mulut.
Secara histopatologi, hanya ada 3 bentuk KNF, yaitu KSS
karsinoma tak berkeratin dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Untuk
penentuan stadium dipakai sistem TNM.
T = Tumor Primer
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T2b: disertai perluasan ke parafaring
T3: Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus
paranasal
T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita
atau ruang mastikator.
N = Pembesaran KGB regional
NX: Pembesaran KGB tidak dapat dinilai
N0: Tidak ada pembesaran
N1: Metastasis KGB unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2: Metastasis KGB bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3: metastasis KGB bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula
M = Metastasis jauh
MX: Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0: Tidak ada metastasis jauh
M1: Terdapat metastasis jauh
Stadium 0T1N0M0
Stadium IT1N0M0
Stadium IIAT2aN0M0
Stadium IIBT1N1M0
T2aN1M0
T2bN0,N1M0
Stadium IIIT1N2M0
T2a,T2bN2M0
T3N2M0
Stadium IVaT4N0,N1,N2M0
Stadium IVbsemua TN3M0
Stadium IVcsemua Tsemua NM1
5. Tatalaksana
Tatalaksana pada stadium I adalah dengan radioterapi, stadium II
dan III adalah dengan kemoradiasi, stadium IV dengan N6 cm adalah
dengan kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi.
6. Prognosis
KNF mempunyai risiko terjadinya rekurensi, dan follow-up jangka
panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5
tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun.
Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.
B. EPISTAKSIS DAN PERAWATAN EPISTAKSIS
1. Etiologi
Penyebab epistaksis atau mimisan dapat dibedakan menjadi
penyebab lokal dan sistemik. Penyebab lokal tersering adalah
manipulasi jari (mengupil) atau trauma, selain itu dapat juga
disebabkan oleh ruptur pembuluh darah karena hembusan hidung yang
kuat, peradangan mukosa hidung maupun adanya benda asing.
Penyebab sistemik yang tersering adalah penyakit
sirkulasi-vaskular seperti hipertensi dan arteriosklerosis,
penyakit dengan diatesis hemoragik, baik kongenital atau
didapat.
2. Anatomi
3. Sumber Perdarahan
a. Epistaksis anterior
Pada kebanyakan kasus, tempat perdarahan terdapat di pleksus
Kiesselbach, suatu pleksus pembuluh darah di bagian depan septum
hidung. Perdarahan ini bersifat ringan dan dapat berhenti
sendiri.
b. Epistaksis Posterior
Perdarahan ini dapat berasal dari arteri ethmoidalis posterior
atau arteri sfenopalatina. Perdarahan yang terjadi biasanya lebih
hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
4. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada epistaksis adalah memperbaiki
keadaan umum, mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan,
mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Pasien diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar
dari hidung sehingga bisa di monitor. Sumber perdarahan dicari
dengan memasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2 %
dimasukkan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan
megurangi rasa nyeri. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit, setelah
terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan
berasal dari anterior atau posterior hidung.
Menghentikan perdarahan
a. Perdarahan anterior
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, dapat dicoba dengan
menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan
dapat terlihat, tempat asal perdarahan dapat dikaustik dengan
larutan Nitrat Argenti (AgNO3) 25-30%, setelah itu area tersebut
diberi krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus
berlanjut, maka peru dilakukan pemasangan tampon anterior yang
dibuat dari kapas atau kassa yang diberi pelumas vaselin atau salap
antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan
teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon
dipertahankan selama 2x24 jam, bila perdarahan belum berhenti,
dipasang tampon baru.
b. Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian ini lebih sulit diatasi dan perdarahannya
hebat. Untuk mengatasi hal ini, dipasang tampon posterior yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kassa padat dibentuk
kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3
utas benang, 2 buah di satu sisi, dan sebuah di sisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior di satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini
di ikatkan 2 ujung tampon bellocq tadi, kemudian kateter ditarik
kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik.
Tampon perlu didorong dengan bantuan telunjuk untuk dapat
melewati palatum molle masuk ke nasofaring. Bila masih ada
perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum
nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kassa di depan nares anterior, supaya tampon yang
terletak di nasofaring tetap pada tempatnya. Benang lain yang
keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien.
Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah
2-3 hari.
5. Komplikasi
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke
dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan
gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri sampai kematian.
Pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,
septikemia. Oleh karena itu harus selalu diberikan antibiotik pada
setiap pemasangan tampon hidung dan setelah 2-3 hari, tampon di
cabut.
6. Mencegah perdarahan berulang
Setelah perdarahan sementara dapat diatasi dengan pemasangan
tampon, perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal,
gula darah, hemostasis.
C. HEARING LOSS
1. Definisi
Hearing loss atau gangguan pendengaran atau tuli merupakan
masalah yang sering terjadi terutama pada orang tua, biasanya pada
usia lebih dari 65 tahun. Tuli dibedakan menjadi tuli konduktif dan
tuli perseptif (tuli sensorineural). Jika hantaran suara mengalami
gangguan dan hantaran tulang menjadi lebih peka (tuli konduktif),
hal yang dicari adalah perubahan patologis didaerah telinga luar
dan tengah. Sedangkan tuli perseptif ditimbulkan oleh gangguan pada
koklea, saraf pendengaran atau gangguan struktur sentral.
2. Etiologi
Berbagai faktor dapat menyebakan terjadinya gangguan
pendengaran, dapat berupa kelainan kongenital, tumor, infeksi
saluran telinga, pajanan terhadap suara keras secara berulang,
kerusakan alat pendengaran akibat trauma dan penyebab tersering
adalah proses penuaan.
3. Anatomi
4. Manifestasi Klinik
Gejala utama yang dirasakan adalah tidak dapat mendengar atau
suara terdengar tidak jelas. Pada kasus infeksi, tampak cairan
keluar dari kanalis auditori eksternal. Gejala lain yang mungkin
dirasakan adalah rasa berputar, nyeri pada telinga maupun adanya
bunyi berdenging pada telinga.
5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang rinci. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
inspeksi atau menggunakan alat seperti otoskop. Pemeriksaan tes
pendengaran juga dapat dilakukan untuk membedakan gangguan
pendengaran. CT-Scan dan MRI telinga dan otak dapat memberikan
manfaat pada kelainan yang disebabkan oleh tumor atau fraktur.
6. Tatalaksana
Tatalaksana dari gangguan pendengaran tergantung dari penyebab
kelainannya. Jika gangguan pendengaran disebabkan oleh adanya
infeksi, terapi antibiotik dapat diberikan. Jika penyebabnya adalah
adanya serumen atau kotoran yang menumpuk di liang telinga, maka
dapat dibuang dan dibersihkan. Jika penyebabnya karena kerusakan
pada membran timpani maupun tulang pendengaran, perbaikan dapat
dilakukan dengan tindakan pembedahan.
Daftar Pustaka
1. Adams, George L. Boeis, Lawrence R. Highler, Peter H. Buku
Ajar Penyakit THT Edisi 6. 2012. Jakarta: EGC. p.337.
2. Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaiti. Bashiruddin, Jenny;
Restuti, Ratna D. Dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. 2010. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. p. 224-7.
3. Nagel, Patrick. Gurkov, Robert. Dasar-dasar Ilmu THT Edisi 2.
2012. Jakarta: EGC. p. 67.
Siti Zhahara-H1A010006-THT-FKIK/RSMY-2014