Top Banner
Makalah Tentang Peran Hakim Ad hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan pendapat L.A Hart seorang filosuf positivis yang mendoktrinkan bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa perintah karena hakikat hukum itu adalah perintah, dan hukum tidaklah berarti tanpa adanya suatu otoritas yang karenanya hukum dipatuhi. Akan tetapi apabila kita melihat doktrin yang bersebrangan yaitu mazhab sejarah, dimana perintah dan otoritas tidaklah selalu mutlak yang karenanya hukum itu dipatuhi karena hakikat hukum itu adalah jiwa bangsa yang mencerminkan kepribadian hukum negara tersebut. Sedangkan apabila kita menoleh pendapat seorang fiosuf sekaligus sosiolog Amerika Lawrence M. Friedman dalam bukunya Elment of a Legal System yang mengatakan konsepsi pembaharuan hukum pidana sebagai suatu kebijakan untuk menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaharuan yang bersifat terhadap legal system yang meliputi baik pembaharuan substansi hukum (legal substence), struktur hukum (legal structure), maupun budaya hukum (legal culture).[1] Negara kita tidak perlu kebingungan untuk mengikuti doktrin yang mana, agar pemberantasan korupsi di negara kita cepat hilang. Karena alangkah lebih baik, kita sebagai negara
30

Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

Dec 28, 2015

Download

Documents

hukum
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

Makalah Tentang Peran Hakim Ad hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

            Sesuai dengan pendapat L.A Hart seorang filosuf positivis yang mendoktrinkan bahwa

hukum tidak akan berjalan tanpa perintah karena hakikat hukum itu adalah perintah, dan hukum

tidaklah berarti tanpa adanya suatu otoritas yang karenanya hukum dipatuhi. Akan tetapi apabila

kita melihat doktrin yang bersebrangan yaitu mazhab sejarah, dimana perintah dan otoritas

tidaklah selalu mutlak yang karenanya hukum itu dipatuhi karena hakikat hukum itu adalah jiwa

bangsa yang mencerminkan kepribadian hukum negara tersebut. Sedangkan apabila kita menoleh

pendapat seorang fiosuf sekaligus sosiolog Amerika Lawrence M. Friedman dalam bukunya

Elment of a Legal System yang mengatakan konsepsi pembaharuan hukum pidana sebagai suatu

kebijakan untuk menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaharuan

yang bersifat terhadap legal system yang meliputi baik pembaharuan substansi hukum (legal

substence), struktur hukum (legal structure), maupun budaya hukum (legal culture).[1]

            Negara kita tidak perlu kebingungan untuk mengikuti doktrin yang mana, agar

pemberantasan korupsi di negara kita cepat hilang. Karena alangkah lebih baik, kita sebagai

negara berkembang yang sedang terjangkit virus korupsi untuk menggabungkan ketiga doktrin

tersebut, karena teori dan doktrin yang baik harus diambil dan dielaborasikan dengan sistem

yang sedang berjalan di negara kita. Kita sebenarnya telah memiliki institusi yang khusus

bergerak dalam memberantas korupsi yaitu KPK dalam hal ini sebagai otoritas kewenangan dan

legal structure yang juga telah didukung dengan institusi lainnya, Mahkamah Agung,

Kepolisian, dan Kejaksaan sehingga terlaksana dan terjaminnya integritas sistem yang baik.

Sedangkan kita juga telah memiliki pengadilan khusus tipikor yang dalam hal sebagai legal

substence yang melakukan tugasnya sesuai undang-undang dengan penunjang keadilannya

seorang hakim yang dengan mandat janjinya akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.

            Legal culture yang menuntut adanya suatu budaya hukum yang hidup di tengah

masyarakat, haruslah juga hidup di tengah-tengah penegak hukum, apalagi seorang hakim yang

Page 2: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

ditangannyalah keadilan itu ditentukan. Seorang hakim khususnya tipikor (yang dalam hal ini

hakim karir dan hakim adhoc) haruslah memiliki nilai integritas dan moral yang tinggi, karena

pada hakikatnya jabatan ini sangatlah sakral yang mereka telah di sumpah untuk melakukan

tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Maka dalam tulisan ini

penulis hendak memaparkan bagaimana sebenarnya seorang hakim bersikap dalam menjalankan

tugasnya dan apa saja kewenangannya khususnya dalam hal menangani tipikor (dalam hal ini

hakim adhoc).

B.  Rumusan Masalah

A.  Terminologi dan Problematika Korupsi.

B.  Prospektifitas Pengadilan Tipikor.

C.  Kedudukan Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi.

D.  Pengakuan dan Eksistensi Hakim Adhoc Dalam Sistem Pengadilan Tipikor.

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah pendekatan kepustakaan, dengan

mempelajari buku-buku dan karya tulisan lainnya yang berkaitan dengan materi makalah.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 3: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

A.  Terminologi dan Problematika Korupsi

1.    Pengertian Korupsi

            Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur

bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang

sama. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption

itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa itulah

turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan corrupt dalam bahasa Inggris, dan korruptie

dalam bahasa Belanda. Dengan demikian, dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa

Indonesia yaitu korupsi.[2] Sedangkan Kartono memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku

individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,

merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah

urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan

negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan

hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

            Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13

buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi

dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan

secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketiga

puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

a.    Kerugian keuangan negara

b.    Suap-menyuap

c.    Penggelapan dalam jabatan

d.   Pemerasan

e.    Perbuatan curang

f.     Benturan kepentingan dalam pengadaan

g.    Gratifikasi

Page 4: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

            Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki

oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau

keluarga, sanak saudara dan teman.     Penelusuran terhadap makna korupsi dengan

mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussien Alatas dapat

membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas

mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu:[3]

a.    Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

b.    Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan

begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang

berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka.

c.    Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

d.   Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi

perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e.    Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang

tegas, dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.

f.     Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan.

g.    Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

h.    Setiap tindakan korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan

tindakan itu.

i.      Suatu tindakan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan

masyarakat.

2.    Sebab-sebab Terjadinya Korupsi

            Para pakar telah banyak dan merumuskan penyebab-penyebab maraknya tindak pidana

korupsi, diantaranya: Erry R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri

ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:

a.    Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,

b.    Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,

c.    Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,

d.   Rendahnya integritas dan profesionalisme,

Page 5: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

e.    Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum

mapan,

f.     Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan

g.    Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.

            Sedangkan menurut Goenawan Wanaradja, Salah satu penyebab yang paling utama dan

sangat mendasar terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut masalah

keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri. Sementara itu Merican

menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :

a.    Peninggalan pemerintahan kolonial.

b.    Kemiskinan dan ketidaksamaan.

c.    Gaji yang rendah.

d.   Persepsi yang populer.

e.    Pengaturan yang bertele-tele.

f.     Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

           

3.    Akibat-akibat Korupsi

            Berdasarkan pendapat para ahli, maka kami dapat menyimpulkan  akibat-akibat korupsi

adalah sebagai berikut :

1.    Tata ekonomi distruktif seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,

gangguan penanaman modal.

2.    Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.

3.    Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya

kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.

4.    Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, Hilangnya keahlian,

hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan

tindakan-tindakan represif.

            Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi

kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional bersama seperti yang tercantum

dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

4. Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi

Page 6: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

            Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai

tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur

dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan

menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi

secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang

ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.

            Penulis memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk

keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih

disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi

dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah

harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan

pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat

yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus

ditindak pula. Karni Ilyas pernah mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi

malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi, atau kerja paksa

di area umum, atau di arak dengan dandanan yang memalukan, karena menurutnya masuk

penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.

            Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya

pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan

perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems),

juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono menyarankan

penanggulangan korupsi sebagai berikut :

a.    Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi     

politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

b.    Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.

c.    Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

d.   Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.

e.    Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah

departemen, beserta jabatan dibawahnya.

f.     Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan

sistem “ascription”.

Page 7: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

g.    Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.

h.    Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.

i.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,

dibarengi sistem kontrol yang efisien.

j.      Re-registrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan

pengenaan pajak yang tinggi.

            Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya

penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a.    Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun

swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau

milik negara.

b.    Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan

kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa

dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh

wewenangnya.

c.    Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan

pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan

tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.

d.   Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan

pandangan, penilaian dan kebijakan.

e.    Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan

peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.

f.     Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belonging ness”

dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik

sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

B.  Prospektifitas Pengadilan Tipikor

            Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu,

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-

menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung dengan berbagai sumber daya, baik sumber

Page 8: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta

peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang

antikorupsi. Salah satu sumber daya lainnya yang sangat esensial keberadaannya demi efektifnya

upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengadilan tindak pidana

korupsi (Pengadilan Tipikor).

            Pada tahun 2002, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK) yang mana ketentuan Pasal 53 UU No.

30 Tahun 2002 tersebut mangamanatkan pembentukan Pengadilan Tipikor guna mendukung

kinerja KPK. Sejak saat itu, setiap perkara tipikor yang ditangani oleh KPK dilimpahkan proses

peradilaannya ke pengadilan tipikor tersebut. Namun belum empat tahun berkerja, eksistensi

pengadilan tipikor tersebut dibekukan oleh Mahkamah Kostitusi (MK) pada akhir 2006.

Berdasarkan Putusan Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006, tanggal 19 Desember 2006, MK

menyatakan keberadaan pengadilan tipikor – yang dasar pembentukannya ditentukan dalam

pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 – dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sehinggga perlu diatur kembali Pengadilan Tipikor dengan

Undang-Undang yang baru.

            MK membubarkan pengadilan tipikor dengan membatalkan pasal 53 UU No. 30 Tahun

2002 tentang KPK. Pasal itu sendiri mengatur tentang pembentukan pengadilan tipikor yang

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan

oleh KPK. Alasannya, “kekhususan” pengadilan tipikor menyebabkan dualisme pengadilan

dalam satu lingkup peradilan, sehingga memberi legitimasi standar ganda dalam pemberantasan

korupsi. Mahkamah Konstitusi memberikan tenggang waktu 3 tahun untuk merubah pengadilan

tipikor yang berstandar ganda tersebut.[4] Putusan MK tersebut pada prinsipnya sejalan dengan

ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat

dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan Undang-Undang

tersendiri.

            Pascaputusan MK tersebut, keberadaan undang-undang khusu tentang pengadilan tipikor

menjadi sebuah keniscayaan. Untungnya, putusan MK itu tidak berlaku serta merta. MK

memberi tenggang waktu 3 tahun kepada pemerintah RI dan DPR RI untuk membuat sebuah

undang-undang yang mengatur tentang pengadilan tindak pidana korupsi tersebut. Jika sampai

Page 9: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

2009 pengadilan tipikor tidak terbentuk, konsekuensinya perkara-perkara tipikor akan kembali

diperiksa dipengadilan negeri. Rupanya batas waktu tiga tahun yang ditetapkan MK berhasil

dipenuhi penyelenggara negara, yang ditandai oleh pengesahan Undang-Undang Nomor 46

Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh presiden Susilo Bambang

Yudhoyono di Jakarta pada 29 oktober 2009. Banyak hal krusial yang terdapat didalamnya, yaitu

antara lain tentang hakim pengadilan tipikor, hukum acara pengadilan tipikor, kedudukan

pengadilan tipikor, dan ruang ligkup wewenang pengadilan tipikor.[5] Akan tetapi penulis hanya

akan membahas perihal hakim pengadilan tipikor dan kedudukan pengadilan tipikor.

            Sesuai dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:

Pasal 2

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan

Peradilan Umum.

Pasal 3

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah

hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Pasal 4

Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan

negeri yang bersangkutan.

            Pengadilan Tindak Pidana korupsi adalah sah kedudukannya sebagai pengadilan khusus

yang berada di bawah lingkungan peradilan umum, sedangkan dalam bagian penjelasan umum

UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap

Ibu Kota kabupaten/Kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana

dan prasarana. Namun untuk pertama kali, berdasarkan undang-undang ini pembentukan

pengadilan tipikor dilakukan pada setiap Ibu Koota Provinsi. Legalitas kekhususan pengadilan

yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi

telah tertulis dan  diperkuat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat 1 dan 2

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

1.    Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Page 10: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

2.    Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dalam undang-undang.

            Pengadilan Tipikor juga memiliki kekhususan yang terletak pada hukum acaranya yang

juga memiliki kekhususan tersendiri. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang

pengadilan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali

ditentukan lain dalam Pasal 25  UU No. 46  Tahun 2009. Dalam bagain penjelasan disebutkan

yang dimaksud dengan hukum acara pidana yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009

tentang Mahkamah Agung. Akan tetapi mengenai mekanisme pengadilan tipikor tetap sesuai

dengan apa yang tertera di KUHAP, yaitu meliputi pemeriksaan pendahuluan, penuntutan, dan

pemerikasaan akhir. Sedangkan mengenai prisip umum pengadilan tipikor relatif sama dengan

yang diatur dalam KUHAP, yakni independen dan tidak memihak, sederhana dan cepat,

transparan dan akuntabel.[6]

C.  Kedudukan Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi

            Undang-Undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa

kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan

pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari ketentuan yang tercantum

dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan

tujuan negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan

tujuan negara sebagai negara hukum, maka dalam mencapai sasarannya, perlu dibentuk sebuah

lembaga peradilan yang mempunyai tugas menegakkan hukum di bumi Nusantara ini. Dalam

perkembangan ketatanegaraan kita, Undang-Undang yang mengatur mengenai Kekuasaan

Kehakiman telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 14  Tahun

1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

            Sejalan dengan perubahan tersebut, Indonesia telah resmi memiliki Mahkamah Konstitusi

yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagai pelaksana terhadap

Undang-Undang Dasar Pasal 24 Ayat (2) Yang berbunyi: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

Page 11: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

            Sebenarnya apabila kita melihat dan membaca dengan seksama Undang-Undang Dasar

Pasal 24 mengenai Kekuasaan Kehakiman, jelas terlihat adanya tumpang tindih kewenangan

antara Mahkamah Agung dan Mahkmah Konsitusi yakni terhadap Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal

24C Ayat (1). Dimana sebenarnya awal dari maksud pembentukan Mahkamah Konsititusi adalah

untuk melindungi produk hukum yakni undang-undang dan peraturan perundang-undangan

dibawahnya yang dihasilkan DPR agar tidak berbenturan dengan konstitusi kita dengan dapat

mengujinya. Akan tetapi disisi lain Mahkamah Agung masih memiliki kewenangan untuk hal itu

yakni menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang,

yang seharusnya hal ini menjadi kewenangan mutlak dari Mahkamah Konstitusi. Maka untuk

kedepannya, khususnya ketiga hendak diadakan amandemen kelima Pasal yang mengatur

mengenai Kekuasaan Kehakiman harap ditinjau kembali agar jelas kedudukan kewenangan

antara dua lembaga tinggi ini, agar terciptanya check and balancies yang baik diantar keduanya.

            Akan tetapi terlepas akan hal itu, disisi lain kita dapat melihat bagaimana seharusnya

kriteria seorang hakim agung dan hakim konstitusi, yang menurut Undang-Undang Dasar Pasal

24A Ayat (2): Hakim Agung harus memiliki intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,

professional. Dan berpengalaman di bidang hukum. Dan juga Undang-Undang Dasar Pasal 24C

Ayat (5): Hakim Konstitusi harus memiliki Intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,

negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai

pejabat negara. Sehingga dengan berpedoman terhadap kedua pasal tersebut, jelas bahwa

seorang hakim agung dan hakim konstitusi haruslah memenuhi kriteria-kriteria tersebut bukan

hanya ketika diadakan seleksi didepan panitia seleksi dan ketika diadakannya wawancara tes

kemampuan di depan anggota DPR, akan tetapi jauh dari itu mereka harus menjaga kriteria

tersebut dan konsisten selama mereka memangku jabatan tersebut sehingga jangan sampai

terulang lagi kasus yang menimpa hakim agung yang menerima suap terulang kembali, yang

mana hal ini tentu saja mencoreng nama baik institusi kehakiman, mengikis kepercayaan

masyarakat para pencari keadilan dan telah melanggar janji suci seorang hakim agung dan hakim

konstitusi.

Page 12: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

            Kita sebagai pencari keadilan menginginkan akan kemerdekaan dan strelilnya lembaga

Mahkmah Agung ini, karena sesungguhnya ketika kemerdekaan dan strelilnya institusi ini

dipertanyakan maka hal ini juga pastinya akan berdampak sistemik terhadap jajaran lembaga

peradilannya dibawahnya, karena sesungguhnya Mahkamah Agung adalah benteng terakhir bagi

mereka pencari keadilan. Dengan demikian hakim agung dalam melaksanakn tugasnya harus

sesuai prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang telah diatur oleh Undang-Undang, karena

bila melanggar maka seorang hakim agung dapat diberhentikan secara tidak hormat, sesuai

dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

yang berbunyi: Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung

diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh presiden selaku Kepala Negara atas

usul Mahkamah Agung dengan alasan: (a) dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;

(b) melakukan perbuatan tercela; (c) terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan

tugas kerjanya; (d) melanggar sumpah janji jabatan; (e) melanggar larangan yang dimaksud

Pasal (10).

            Sedangkan mengenai lembaga peradilan dibawahnya, jelas dengan demikian para hakim

diluar hakim agung juga tidak jauh beda mengenai kode etik yang harus mereka jalankan, yakni

dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang

diatur dalam Undang-Undang. Dimana mereka harus menepati janji suci mereka sebagai seorang

hakim, bertanggung jawab atas tugasnya terhadap Negara dan Tuhan yang Maha Esa, dan

menjalankan amanat mandat ini dengan sebaik-baiknya dan seksama, dan harus bebas dari

campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktif dan

rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh

undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya

harus bebas dan merdeka namun tetap berada dalam rambu-rambu kewenangannya. Sedangkan

mengenai kewenangnan dalam menjatuhkan putusan tidaklah mutlak sifatnya harus sesuai

undang-undang, karena hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan Pancasila dengan

jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya

melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga putusannya mencerminkan perasaan

keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

Page 13: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

            Seorang hakim sesungguhnya dalam menjalankan tugasnya dalam keseharian sudah

diawasi oleh lambang kedinasaan yang tertera di setiap dada sebelah kiri seorang hakim.

Lambang atau logo tersebut terpampang dalam sebuah lencana yang berbentuk lonjong yang di

dalamnya terdapat simbol-simbol yang memiliki makna masing-masing. Untuk lebih

memaknainya, akan diuraikan secara tuntas sebagai berikut:[7]

1.    KARTIKA (Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa) : bahwa seorang hakim

harus Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan

kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

2.    CAKRA (Senjata ampuh dari dewi keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan,

kezaliman, dan ketidakadilan) : bahwa seorang hakim harus Adil, dalam kedinasan seorang

hakim harus adil, tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak), bersungguh-sungguh

mencari kebenaran dan keadilan, memutus berdasarkan keyakinan hati nurani, sanggup

mempertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim harus

saling menghargai, berprilalu baik, tertib, dan lugas, dan berpandangan luas dan saling

pengertian.

3.    CANDRA (Bulan menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan):

bahwa seorang hakim harus Bijaksana/Berwibawa, dalam kedinasan seorang hakim harus

berkepribadian baik, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian terhadap

pekerjaan. Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim dituntut untuk dapat dipercaya, penuh rasa

tanggung jawab, menumbuhkan rasa hormat, dan anggun dan berwibawa.

4.    SARI (Bunga yang merebak wangi mengharumkan kehidupan masyarakat): bahwa seorang

hakim harus Berbudi Luhur/Berkelakuan Tidak Tercela, dalam kedinasan seorang hakim

harus tawakkal, sopan, ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas, bersemangat ingin maju

meningkatkan nilai peradilan, dan tenggang rasa.

5.    TIRTA (Air yang membersihkan segala kotoran di dunia) : bahwa seorang hakim harus Jujur,

dalam kedinasaan dia harus jujur, merdeka (tidak berpihak dan dan berdiri netral sesuai

kepentingan semua pihak), bebas dari pengaruh siapa pun juga. Sedangkan diluar kedinasan

seorang hakim harus jujur dalam berprilaku dan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan

kedudukan.

            Dengan tetap berpedoman kepada aturan hukum yang berlaku, paling tidak seorang

hakim harus memiliki sikap yang luhur dan baik terhadap sesama rekan, atasan,

Page 14: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

bawahan/pegawai, institusi lain, keluarga, dan masyarakat tentunya. Senada akan hal itu, seorang

hakim harus memiliki peran yang diwarnai oleh tiga syarat, yaitu:[8]

1.    Tangguh, tangguh menghadapi keadaan dan kuat mental.

2.    Terampil, artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah

ada dan masih berlaku yang terkait.

3.    Tanggap, artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar, serta

menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.

D.  Pengakuan dan Eksistensi Hakim Adhoc Dalam Sistem Peradilan Tipikor

            Berbicara mengenai tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut Tipikor) untuk sekarang

ini adalah perihal yang sedang hangat dibicarakan, apalagi ketika jilid ketiga KPK bergulir

dengan segala sepak terjangnya telah memasukkan sedikit demi sedikit para penjahat white

collar crime ke dalam jeruji besi, sebut saja seperti Nazaruddin eks Bendahara Umum DPP

Demokrat, Gayus Tambunan eks pegawai pajak, Angelina Sondakh eks Anggota DPR dan lain

sebagainya. Giatnya KPK dalam memberantas korupsi tidaklah segampang membalikan telapak

tangan, tinjauan dan respon publik yang beraneka ragam dari yang itu bersifat masukan, kritikan,

hingga hinaan tidaklah mengurangi semangat lembaga ini dalam memberantas korupsi, akan

tetapi hal-hal tersebut seakan menjadi cambukan keras bagi mereka untuk selalu memberikan

yang terbaik untuk Negeri yang dicintainya.

            Demikian halnya ketika mereka menjadi pihak JPU KPK (Jaksa Penuntut Umum KPK)

yang mana selalu dipandang oleh publik selalu terkesan setingan Pengadilan Tipikor dengan

Mejelis Hakim sehingga publik memandang tidak merdeka dan bebasnya seorang Hakim

Pengadilan Tipikor. Sehingga terkesan para tersangka selalu sudah dianggap sebagai terpidana,

karena kemenangan selalu berpihak pada JPU KPK. Untuk mendapatkan Kondisi yang lebih

objektif tersebut, maka  memerlukan penanganan secara khusus yaitu bantuan tenaga hakim

adhoc (non-karir) disamping hakim karir. Diharapkan dengan keberadaan hakim adhoc,

pengadilan tipikor dapat menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan penyelenggara Negara

dan diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan kecurigaan bahwa dalam perkara tipikor

Majelis Hakim  kurang objektif dan selalu memenangkan pihak JPU KPK dan merugikan

kepentingan terdakwa. Disamping keberadaan hakim adhoc untuk menciptakan sistem peradilan

tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif

Page 15: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

berlebihan, keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan

negara, sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik

dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah

luar Jabodetabek.

            Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita dapat memahami apa perbedaan antara

hakim karir dan hakim adhoc. Dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Ayat 1-3 dijelaskan mengenai definisi Hakim yang

berbunyi:

1.    Hakim adalah Hakim Karir dan Hakim Adhoc.

2.    Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung

yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.

3.    Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam

Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.

            Sedangkan mengenai pengangkatan, masa jabatan dan syarat-syarat menjadi Hakim

Pengadilan Tipikor, telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 10-11 yang berbunyi:

1.    Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim

ad hoc.

2.    Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua

Mahkamah Agung.

3.    Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara

tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara lain.

4.    Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada

Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

5.    Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5

(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Page 16: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

Dan bunyi Pasal 11 adalah sebagai berikut:

Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a. Berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;

b. Berpengalaman menangani perkara pidana;

c.  Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama

menjalankan tugas;

d. Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara pidana;

e.  Memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung; dan

f.   Telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan bunyi Pasal 12 adalah sebagai berikut:

Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a.    Warga negara Republik Indonesia;

b.    Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c.    Sehat jasmani dan rohani;

d.    Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-

kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah

Agung;

e.    Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim

ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh)

tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;

f.      Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

g.    Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik;

h.    Tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;

i.      Melaporkan harta kekayaannya;

j.      Bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan

Page 17: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

k.    Bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc

tindak pidana korupsi.

           

            Dengan memperhatikan bunyi-bunyi pasal diatas, jelas kita dapat memahami bahwa tidak

terdapat perbedaan yang principal antara syarat-syarat hakim karir dan hakim adhoc. Karena

pada hakekatnya, keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat kompleksitas perkara

tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor

antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa

pemerintah.[9] Sehingga demikian, Panitia Seleksi Mahkamah Agung dalam penyeleksian hakim

adhoc lebih menitik beratkan pada mereka yang tidak hanya berpendidikan hukum pidana,

namun lebih dari itu kepada mereka yang berpengalaman dalam bidang hukum perekonomian,

pembuktian, hukum adminsitrasi Negara, dan hukum pajak. Hakim adhoc sangatlah dibutuhkan

karena kurangnya pengalaman hakim-hakim karir apabila menghadapi kasus yang terlalu

kompleks, sehingga membutuhkan pengetahuan yang ekstra diluar ilmu hukum. 

            Dengan demikian Ketua Pengadilan akan memilih hakim adhoc berdasarkan daftar nama

hakim adhoc yang disesuaikan dengan keahlian hakim adhoc tersebut. Jadi ada daftar registrasi

hakim adhoc spesialisasi yang ditentukan berdasarkan keahliannya, misalnya perkara tindak

pidana korupsi yang berkaitan dengan perpajakan, maka Ketua Pengadilan akan menetapkan

hakim adhoc spesialisasi dari daftar hakim adhoc yang ahli perpajakan, dan seterusnya.[10]

Yang juga menjadi isu pokok pembahasan, adalah mengenai komposisi Majelis Hakim dalam

persidangan, yang seharusnya menurut penulis akan lebih baik apabila Ketua Pengadilan dalam

menentukannya harus sesuai prosedur yang proporsional dan komposisinya sesuai dengan

kepentingan pemeriksaan perkara untuk menghindari dikotomi proses dan integritas antara

hakim karir dan hakim adhoc. Sedangakan mengenai kewenangan hakim adhoc tidaklah beda

dengan hakim karir, karena pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009

tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karir dan

hakim adhoc sehingga keduanya tidak memiliki kewenangan yang berbeda, hal ini dipertegas

dalam kewenangannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi dalam

pasal 6 yang berbunyi: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:

a.    Tindak pidana korupsi;

Page 18: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

b.    Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;

dan/atau

c.    Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana

korupsi.

Dan pasal 7 yang berbunyi:

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik

Indonesia.

            Selain memiliki kewenangan memerikasa, mengadili, dan memutus perkara tidak pidana

korupsi, hakim adhoc juga memiliki kewenangan memeriksa perkara tidak pidana pencucian

uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Jadi disini korupsi sebagai tindak

pidana asal yang sering disebut sebagai predicate crimes. Tak kalah pentingnya bahwa peran dan

kewenangan hakim adhoc spesialisasi dalam kaitan pasal 6 huruf c kewenanan pengadilan tipikor

untuk menangani tindak yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak

pidana korupsi. Mengingat peran hakim karir yang cukup besar dan hakim adhoc merupakan

penunjang peran pengadilan tipikor, karenanya hakim adhoc diwajibkan mengikuti pendidikan

khusus tipikor sebagai hakim adhoc yang bersertifikasi. Mahkamah Agung sudang memberikan

jawaban antisipasinya berupa keberadaan hakim karir bersertifikasi dengan mengadakan

pendidikan tindak pidana korupsi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Page 19: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

            keberadaan hakim adhoc adalah untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang

merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan,

keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara,

sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik

dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah

luar Jabodetabek. Dengan demikan keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat

kompleksitas perkara tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun

luasnya cakupan tipikor antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan

barang dan jasa pemerintah.

            Dan berkaitan dengan kompleksitas tipikor, dapat kita simpulkan bahwa penyebab-

penyebab terjadinya wabah penyakit mental (korupsi) tersebut adalah:

1.    Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,

2.    administrasi yang lamban dan sebagainya.

3.    Warisan pemerintahan kolonial yang buruk

4.    Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak

5.    Tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang

6.    dilakukan oleh pejabat pemerintah.

7.    Kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan.

8.    Melemahnya keimanan, moralitas dan rasa malu.

9.    Tidak berani berkata jujur, dan lebih memilih diam.

            Yang kesemuanya itu dapat terjadi dengan kita, maka ini bukan hanya tugas seorang

penegak hukum atau institusi penegak hukum, namun ini adalah tugas kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alatas, Syed Husein, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data          Kontemporer,

Jakarta: LP3ES, 1983

Adji, Idriyanto Seni, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media, 2009

Page 20: Makalah Tentang Peran Hakim Ad Hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor

Danil, elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta:      Rajawali

Press, 2011

Friedman, Lawrence M., Element Of a Legal System, New York London: W.W     Norton &

Company, 1984

Syamsudiin, Aziz, Tindak PIdana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar   Grafika, 2008

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana    Korupsi.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana           Korupsi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman