Top Banner

of 21

Makalah SP Osteoporosis Bryan

Jan 06, 2016

Download

Documents

yogidj

JDFKJAHSKXNLKNXLHAKLNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNKLANLSNN;LMA;LMS;LMA;SLAL;X;LA;SM;a,l
' jjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjjshasssakhlkadldksjl;aSLbuiswkdm;lasnuihoak
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Perempuan 65 Tahun yang Tidak Dapat Berdiri Setelah JatuhBryan Benyamin [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

AbstrakManusia pada dasarnya dapat bergerak karena adanya tulang dan otot. Tulang merupakan alat gerak pasif sedangkan otot adalah alat gerak aktif. Berbeda dengan otot yang dapat dibesarkan melalui aktivitas olahraga seperti fitness, tulang terbentuk dengan proses metabolisme, mulai dari penyerapan hingga kalsifikasinya. Keduanya dapat mengalami penyusutan, namun tulang dapat berakibat fatal bila kekuatannya sangat lemah. Osteoporosis mungkin sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Penyakit global dengan penyebab rapuhnya densitas tulang dapat membuat penderita rentan mengalami fraktur atau patah tulang. Hal ini umumnya menyerang kalangan lansia dikarenakan proses degeneratif. Osteoporosis sendiri sejatinya dapat dicegah, namun biasanya osteoporosis disadari ketika telah menyebabkan kelainan sekunder seperti fraktur pada sang penderita. Kata kunci: Fraktur, Tulang, Osteoporosis

AbstractPeople are able to move because of the bones and muscles. Bone is passive locomotor whereas muscle is active locomotor. The muscle that can be raised through sports activities such as fitness, bone is formed by metabolic processes, from absorption to calcification. Both can be shrinking, but can be fatal if the bone strength is weak. Osteoporosis may already be familiar in community. This global disease causes fragility of bone density that can make patients easily to fractures. It usually strikes the elderly due to the degenerative process. Osteoporosis itself actually can be prevented, but usually osteoporosis realized when it has led to secondary abnormalities such as fractures of the patient.Key words: Fracture, Bone, Osteoporosis

Pendahuluan1.1Latar belakangSetiap manusia yang hidup di dunia ini pasti bergerak. Gerakan yang dilakukan pastinya gerakan yang diperlukan, mengambil piring, berjalan, melompat, dll. Namun terkadang dapat terjadi kegagalan dalam mengkoordinasikan gerakan tubuh kita sehingga tubuh kita terjatuh. Jatuh ini dapat menyebabkan banyak hal, tergantung dari bagian tubuh manakah yang jatuh menyentuh permukaan terlebih dahulu, seberapa tinggi dan kecepatan ketika terjatuh, bagaimana permukaan di tempat ketika kita terjatuh. Peristiwa jatuh ini sering dijadikan metode bunuh diri dengan melompat dari atap gedung dari ketinggian tertentu. Metode tersebut merupakan contoh ekstrim dari kasus jatuh, apabila melihat kasus sehari-hari maka resiko terburuk dari jatuh adalah patah tulang, baik terbuka maupun tertutup. Salah satu faktor resiko yang memudahkan terjadinya patah tulang akibat jatuh adalah lemahnya kekuatan tulang tubuh kita, dalam hal ini osteoporosis dimana densitas tulang rendah atau bisa dibilang tulang penderita keropos. Karena lemahnya tahanan tulang, maka begitu jatuh dengan kondisi yang ringan sekalipun dapat menyebabkan patah tulang yang dapat berakibat fatal.1Kita dapat mengetahui bahwa tulang terbentuk melalui proses metabolisme yang terjadi terus menerus dan akan mangalami penurunan dengan sendirinya akibat proses penuaan atau degeneratif, hal ini yang menyebabkan osteoporosis cenderung menyerang kaum lansia.1 Selain itu proses metabolisme tulang juga dipengaruhi oleh hormon, maka dari itu wanita lansia yang telah mengalami menopause akan lebih rentan terserang osteoporosis. Selain itu kekurangan vitamin D juga dapat menyebabkan rapuhnya tulang kita, maka dari itu cukup banyak hal-hal yang dapat kita tanyakan ketika melakukan anamnesis untuk menegakkan diagnosis osteoporosis.11.2Rumusan MasalahRumusan masalah yang diangkat kali ini berdasarkan skenario PBL yang diterima adalah Perempuan 65 tahun dengan keluhan tidak mampu berdiri. Dalam skenario diberitahukan bahwa seorang perempuan mengalami jatuh di kamar mandi sebelum tidak dapat berdiri.1.3Tujuan PenulisanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas tinjauan pustaka dari kelas PBL. Diharapkan pula, agar pengetikan tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan para pembaca sekalian dan berguna bila menjumpai kasus serupa dalam kehidupan sehari-hari.Pembahasan Ada beberapa tahapan pembahasan mengenai kasus di atas dengan lebih sistematis. Pertama akan dibahas dari proses anamnesis, kemudian pemeriksaannya serta diakhiri dengan penatalaksanaan. Pada anamnesis akan ada banyak hal yang perlu ditanyakan yang harus diketahui oleh dokter. Berikut akan dijelaskan lebih dalam untuk tahapannya. 2.1AnamnesisAnamnesis merupakan suatu proses pengambilan keterangan tentang riwayat penyakit yang dialami oleh pasien yang dapat diperoleh melalui wawancara antara dokter dengan pasien yang bersangkutan langsung(auto-anamnesa) atau diperoleh dari wawancara dokter dengan keluarga atau kerabat yang terdekat dari pasien tersebut(allo-anamnesa). Anamnesis yang dilakukan pada kasus adalah auto-anamnesa, mengingat pasien merupakan orang dewasa yang masih sadar sepenuhnya dan dianggap mampu untuk berkomunikasi yang efektif. Beberapa pertanyaan yang dapat kita tanyakan terkait riwayat penyakit sekarang pada pasien adalah sebagai berikut: Kapan mulai tidak bisa berdiri? Apakah ada trauma atau cedera sebelumnya? Bagaimana posisi jatuhnya? Apakah ada rasa nyeri ketika berusaha menggerakan? Di bagian mana rasa nyeri itu? Sejak kapan muncul rasa nyeri? Apakah makin berat atau ringan ketika melakukan tindakan tertentu? Apakah hanya tidak bisa beridiri saja? Adakah ada bunyi kretek-kretek bila berusaha menggerakan? Di bagian mana ada bunyi tersebut? Apakah ada demam atau gejala sistemik lainnya?Dari sini kita dapat mengetahui bagian mana saja yang mengalami gangguan oleh pasien dan perlu penanganan khusus. Kemudian yang kedua, perlu diperhatikan riwayat penyakit dahulu. Beberapa pertanyaan yang dapat kita tanyakan terkait riwayat penyakit dahulu pada pasien adalah sebagai berikut: Apakah tidak lama sebelum keluhan utama berlangsung, pasien baru saja mengalami penyakit tertentu? Bagaimana penatalaksanaannya? Apakah sebelumnya pernah mengalami hal yang sama? Apakah pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit yang harus dirawat inap di rumah sakit?Dari sini kita dapat melihat riwayat perjalanan kesehatan yang telah dialami oleh pasien. Kemudian hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit keluarga. Jadi perlu kita lontarkan beberapa pertanyaan sebagai berikut: Apakah ada riwayat penyakit keluarga yang serupa? Apakah di keluarga ada punya riwayat osteoporosis?Dari keterangan pasien, kita dapat melihat apakah ada kemungkinan pasien terpengaruh faktor genetik dari pihak keluarganya. Selanjutnya kita melihat riwayat sosial pasien yang meliputi kebiasaan hidup. Beberapa informasi yang kita perlukan dapat ditanyakan sebagai berikut: Apakah ada penurunan berat badan? Apakah pasien sudah mengalami menopoause? Bagaimana pola makan dan minum pasien? Apakah makanan dan minuman yang sering dikonsumsi? Apakah kebutuhan vitamin dan mineral terpenuhi? Apakah pasien sering terpapar sinar matahari setiap hari pada pagi hari? Apakah di lingkungan tempat tinggal pasien terkena cahaya matahari? Apakah pasien merokok? Apakah pasien mengkonsumsi alkohol? Apakah pasien rutin berolahraga? Apakah pasien telah meminum obat tertentu? Apakah ada perbaikan?Riwayat sosial menentukan adanya faktor resiko pada pasien yang mengarah kepada suatu penyakit tertentu. Selanjutnya kita beralih ke pemeriksaan fisik pasien.2.2Pemeriksaan FisikPemeriksaan dari fraktur coxae dimulai dengan inspeksi, diikuti dengan palpasi dan kemudian gerakan.1,2 Untuk inspeksi kita perhatikan ekstremitas sang pasien, apakah mengalami deformitas atau perubahan bentuk, kemudian apakah ada luka terbuka, dan juga cara berjalan. Dilanjutkan dengan palpasi, raba bagaimana suhu daerah yang sakit, kemudian apakah ada penonjolan atau pencekungan dari ekstremitas pasien.2 Kemudian periksa apakah rasa nyeri tekan masih ada atau sudah hilang, selanjutnya kekuatan tonus otot. Pemeriksaan fisik yang terakhir adalah gerakan. Gerakan ekstremitas pasien, lihat apakah ada hambatan maupun ada rasa nyeri saat digerakan. Saat digerakan dengarkan apa ada krepitasi pada sang pasien.1-32.3Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang dasar yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah. Umumnya pada penderita osteoporosis akan didapatkan hasil sebagai berikut:4 Complete blood count: Dapat muncul anemia Serum chemistry levels: Umumnya normal pada penderita osteoporosis primer Liver function tests: Peningkatan menunjukkan ndikasi alkoholik Thyroid-stimulating hormone level: Disfungsi thyroid berkaitan dengan osteoporosis 25-Hydroxyvitamin D level: Insufisiensi vitamin D dapat menjadi predisposisi osteoporosis

. Pemeriksaan penunjang kedua yang dapat dilakukan pada kasus adalah rontgen atau dengan foto x-ray.

Gambar 1. Fraktur Coxae Pada Jatuh Posisi Duduk5

Selain itu pengukuran BMD(Bone Mass Density) juga perlu dilakukan.

Tabel 1. Hasil BMD dan Intepretasinya4

DefinitionBone Mass Density MeasurementT-Score

NormalBMD within 1 SD of the mean bone density for young adult womenT-score 1

Low bone mass (osteopenia)BMD 12.5 SD below the mean for young-adult womenT-score between 1 and 2.5

OsteoporosisBMD 2.5 SD below the normal mean for young-adult womenT-score 2.5

Severe or established osteoporosisBMD 2.5 SD below the normal mean for young-adult women in a patient who has already experienced 1 fracturesT-score 2.5 (with fragility fracture[s])

2.3Working DiagnosisWorking diagnosis yang diambil adalah fraktur coxae dextra et causa osteoporosis. Osteoporosis umumnya menyerang wanita, lanjut usia. Osteoporosis, suatu penyakit kronis dan progresif yang disebabkan multifaktorial. Osteoporosis adalah suatu penyakit skeletal sistemik yang disebabkan oleh rendahnya massa tulang dan jaringan tulang mikroarsitektual yang menyebabkan peningkatan kerapuhan tulang. Penyakit ini jarang terlihat hingga dijumpai adanya fraktur pada sang penderita. Osteoporosis menunjukkan adanya peningkatan masalah kesehatan dan ekonomi yang serius di Amerika dan di seluruh dunia. Banyak individu, laki-laki dan perempuan, mengalami sakit, kecacatan, dan penurunan kualitas hidup sebagai hasil dari kondisi ini.4Terlepas dari efek osteoporosis, kondisi ini sering diperhatikan lebih serius namun untuk penanganannya sebalkinya, karena secara klinis bisa dibilang manifestasinya tidak menonjol hingga muncul fraktur. Sebagai contoh, sebuah lembaga survei yang dilakukan oleh National Osteoporosis Foundation(NOF) menunjukkan bahwa 86% dari perempuan berusia 45-75 tahun tidak pernah membahas tentang osteoporosis kepada petugas medis, dan lebih dari 80% tidak sadar bahwa osteoporosis adalah penanggung jawab dari fraktur panggul. Kegagalan untuk mengidentifikasi pada pasien beresiko, mengedukasi mereka, dan menanamkan pengukuran prevensi dapat menyebabkan konsekuensi yang tragis.2,4Perawatan medis termasuk kalsium, vitamin D, dan agen antiresorptif seperti bifosfonat, modulator reseptor estrogem selektif raloxifene, calcitonin, dan denosumab.4,6

2.4Differential DiagnosisDiagnosis banding dari osteoporosis cukup luas. Ketika berhubungan dengan densitas tulang yang berkurang, selalu tangani gejala yang ada sebelum menangani osteoporosis. Banyak pasien memiliki penyebab kehilangan densitas tulang yang lain. Diagnosis banding akibat fraktur non traumatik adalah osteomalasia, tumor, osteonekrosis, infeksi, dan kelainan metabolik lainnya. Penyakit metastatik tulang harus diawasi ketika terjadi fraktur multipel.4Osteoporosis kadang dibuat bingung dengan osteomalasia, tetapi pada osteoporosis, tulang berpori-pori dan rapuh, sedangkan pada osteomalasia tulang akan lunak. Perbedaan konsistensi ini terkait dengan rasio mineral dan material organik. Pada osteoporosis, rasio mineral dan kolagen masih normal, sedangkan pada osteomalasia, proporsi kolagen berkurang dibanding kandungan mineral organik. Sering kali, keberadaan fraktur tidak hanya menjadi penanda pada penurunan massa tulang tetapi juga gejala yang berpotensi atas kegagalan dari beberapa kelainan yang mirip. Kondisi lainnya yang dapat diperhitungkan adalah sebagai berikut:4 Leukemia Lymphoma Metastases Pathologic fractures secondary to bone metastases from cancer Pediatric osteogenesis imperfecta Renal osteodystrophy Homocystinuria/Homocysteinemia Hyperparathyroidism Mastocytosis Multiple Myeloma Osteomalacia and Renal Osteodystrophy Paget Disease Scurvy Sickle Cell Anemia2.5Gejala KlinikOsteoporosis umumnya tidak terlihat secara klinis hingga fraktur muncul. 2/3 dari fraktur vertebra tidak menimbulkan rasa nyeri. Penemuan yang tipikal pada pasien dengan fraktur vertebra yang menimbulkan rasa sakit adalah sebagai berikut:2,4 Adanya episode akut dari nyeri yang diirngi jatuh atau trauma minor Nyeri terlokalisisr, dapat diidentifikasi, terdapat pada level pertengahan thoraks hingga ke thoraks rendah atau lumbar atas. Nyeri dapat dideskripsikan tajam, dapat terjadi nyeri eksaserbasi saat digerakan, pada beberapa kasus dapat menjalar ke bagian abdomen Nyeri sering diiringi dengan spasme otot paravertebral yang bereksaserbasi ketika beraktivitas dan berkurang saat tiduran terlentang Pasien biasanya hanya tiduran di ranjang dan tidak melakukan banyak gerakan untuk mengurangi nyeri eksaserbasi Nyeri akut umumnya menghilang 4 hingga 6 minggu, nyeri dapat menjadi kronisPasien dengan fraktur panggul dapat mengalami hal berikut Nyeri pada pangkal paha, pantat, paha anterior-medial, dan lutut ketika menahan berat beban yang melibatkan ekstremitas Penurunan jangka gerakan atau range of movement (ROM), umumnya rotasi internal dan fleksiPada pemeriksaan fisik, pasien dengan kompresis fraktur vertebral dapat menunjukkan hal berikut Kifosis thoraks dengan lordosis servikal Lordosis pada lumbal Penurunan tinggi badan sekitar 2 hingga 3 cm setelah kompresi vertebral dan kifosis progresif2.6EpidemiologiMenurut National Osteoporosis Foundation (NOF), 10 juta penduduk Amerikan memiliki osteoporosis. 34 juta orang lainnya memiliki massa tulang yang rendah, dimana hal ini dapat menyebabkan peningkatan resiko osteoporosis. Di Amerika, 1,5 juta fraktur osteoporotik terjadi tiap tahunnya. Adapun, 700.000 kasus adalah fraktur spinalis, 300.000 adalah frakture panggul, dan 200.000 adalah fraktur pergelangan tangan. Secara global, osteoporosis adalah penyakit terbanyak akibat penyakit metabolik tulang, dan dia mempengaruhi lebih dari 200 juta orang secara global. Sekitar 75 juta di Eropa, Amerika, dan Jepang memiliki osteoporosis. Kurang lebih 1 dari 2 wanita dan 1 dari 5 laki-laki yang lebih dari usia 50 tahun akan mengalami fraktur akibat osteoporosis. Pada 2050, insiden fraktur panggul secara global diproyeksikan akan meningkat hingga 240% pada wanita dan 310% pada laki-laki.Resiko untuk osteoporosis meningkat berdasakan usia juga. Meskipun keroposnya tulang terjadi perlahan, namun hal ini akan meningkat sekitar menopause, biasanya di atas 50 tahun. Jumlah fraktur osteoporotik meningkat seiring dengan usia.Fraktur vertebral terjadi lebih sering pada dekade ketujuh kehidupan. 90% dari fraktur panggul terjadi saat orang berusia 50 tahun atau lebih, terjadi tersering saat masuk dekade kedelapan kehidupan.4Wanita lebih tinggi resikonya secara signifikan untuk osteoporosis. Menurut NOF, dari 10 juta orang Amerika yang memiliki osteoporosis, 80% adalah wanita. Laki-laki memiliki prevalensi lebih tinggi atas osteoporosis sekunder, dengan kisaran 45-60% akibat hipogonadisme, alkohol, atau kelebihan glukokortikoid. Hanya 35-40% dari osteoporosis didiagnosis pada laki-lakisebagai osteoporosis primer. Secara umum, osteoporosis memiliki rasio wanita: laki-laki adalah 4:1.450% dari seluruh wanita dan 25% dari seluruh laki-laki di atas 50 tahun mengalami fraktur akibat osteoporosis dalam hidup mereka. 80% dari fraktur panggul terjadi pada wanita. Wanita memiliki 2 kali lipat angka kejadian fraktur yang disebabkan bukan karena trauma, dibandingkan dengan laki-laki pada kelompok usia yang sama.42.7EtiologiOsteoporosis telah dibagi menjadi beberapa klasifikasi menurut etiologinya dan lokasi pada rangka tubuh. Osteoporosis secara umum dibagi menjadi 2, yaitu primer dan sekunder. Postmenopausal osteoporosis secara primer terjadi akibat defisiensi estrogen, osteoporosis senile terjadi akibat degeneratif dan defisiensi kalsium.4Pasien dibilang dengan osteoporosis primer ketika tidak dijumpai adanya hal yang disebabkan oleh osteoporosis sekunder, termasuk osteoporosis muda dan idiopatik. Osteoporosis idiopatik dapat dibagi menjadi postmenopausal(tipe 1) dan yang terkait usia atau senile(tipe 2).4Tabel 2. Tipe dari Osteoporosis Primer4Type of Primary OsteoporosisCharacteristics

Juvenile osteoporosis Usually occurs in children or young adults of both sexes Normal gonadal function Age of onset: usually 8-14 years Hallmark characteristic: abrupt bone pain and/or a fracture following trauma

Idiopathic osteoporosis

Postmenopausal osteoporosis (type I osteoporosis) Occurs in women aged 50-65 years Characterized by a phase of accelerated bone loss, primarily from trabecular bone Fractures of the distal forearm and vertebral bodies common

Age-associated or senile osteoporosis (type II osteoporosis) Occurs in women and men older than 70 years Represents bone loss associated with aging Fractures occur in cortical and trabecular bone Wrist, vertebral, and hip fractures often seen in patients with type II osteoporosis

Osteoporosis sekunder terjadi ketika ada penyakit lainnya, defisiensi, atau pengaruh obat yang menyebabkan adanya osteoporosis. Sepertiga dari perempuan posmenopausal, sama dengan laki-laki dan perempuan premenopausal, memiliki penyebab penurunan tulang, yaitu hiperkalsiuria renal adalah salah satu yang paling penting menyebabkan osteoporosis sekunder dan dapat ditangani dengan diuretik thiazid.4Tabel 3. Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa4Cause Examples

Genetic/congenital Renal hypercalciuria one of the most important secondary causes of osteoporosis; can be treated with thiazide diuretics Cystic fibrosis Ehlers-Danlos syndrome Glycogen storage disease Gaucher disease Marfan syndrome Menkes steely hair syndrome Riley-Day syndrome Osteogenesis imperfecta Hemochromatosis Homocystinuria Hypophosphatasia Idiopathic hypercalciuria Porphyria Hypogonadal states

Hypogonadal states Androgen insensitivity Anorexia nervosa/bulimia nervosa Female athlete triad Hyperprolactinemia Panhypopituitarism Premature menopause Turner syndrome Klinefelter syndrome

Endocrine disorders Cushing syndrome Diabetes mellitus Acromegaly Adrenal insufficiency Estrogen deficiency Hyperparathyroidism Hyperthyroidism Hypogonadism Pregnancy Prolactinoma

Deficiency states Calcium deficiency Magnesium deficiency Protein deficiency Vitamin D deficiency Bariatric surgery Celiac disease Gastrectomy Malabsorption Malnutrition Parenteral nutrition Primary biliary cirrhosis

Inflammatory diseases Inflammatory bowel disease Ankylosing spondylitis Rheumatoid arthritis Systemic lupus erythematosus

Hematologic and neoplastic disorders Hemochromatosis Hemophilia Leukemia Lymphoma Multiple myeloma Sickle cell anemia Systemic mastocytosis Thalassemia Metastatic disease

Medications Anticonvulsants: phenytoin, barbiturates, carbamazepine (these agents are associated with treatment-induced vitamin D deficiency) Antipsychotic drugs Antiretroviral drugs Aromatase inhibitors: exemestane, anastrozole Chemotherapeutic/transplant drugs: cyclosporine, tacrolimus, platinum compounds, cyclophosphamide, ifosfamide, high-dose methotrexate Furosemide Glucocorticoids and corticotropin: prednisone (5 mg/day for 3 mo) Heparin (long term) Hormonal/endocrine therapies: gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonists, luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) analogues, depomedroxyprogesterone, excessive thyroxine Lithium Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)

Miscellaneous Alcoholism Amyloidosis Chronic metabolic acidosis Congestive heart failure Depression Emphysema Chronic or end-stage renal disease Chronic liver disease HIV/AIDS Idiopathic scoliosis Immobility Multiple sclerosis Ochronosis Organ transplantation Pregnancy/lactation Sarcoidosis Weightlessness

2.8Faktor ResikoFaktor resiko dari osteoporosis seperti, usia lanjut, penurunan Bone Mass Density(BMD) telah diketahui memiliki hubungan yang sangat kuat dengan osteoporosis. Bagaimanapun, banyak faktor yang harus diperhitungkan utnuk dianggap sebagai faktor resiko berdasarkan BMD sebagai indikator osteoporosis. Faktor resiko osteoporosis dapat dijabarkan sebagai berikut:1-4 Lanjut usia (50 tahun) Perempuan Etnis kulit putih atau Asia Genetik, seperti riawayat keluarga Postur badan tipis atau kecil Amenorrhea Menarche terlambat Menopause dini Postmenopausal Tidak aktif secara fisik atau immobilisasi Penggunaan obat: anticonvulsants, systemic steroids, thyroid supplements, heparin, chemotherapeutic agents, insulin Pengguna alkohol dan rokok Defisiensi androgen atau estrogen Defisiensi kalsium

Pada sebuah studi dari 736 perempuan lansia Korea, Ahn dkk, menemukan bahwa usia 35 tahun ke atas memiliki resiko 2,164 kali lipat akan osteoporosis. Riwayat saat masa muda tidak terkait akan resiko osteoporosis.Studi lain oleh Cummings dkk, mengevaluasi 9.516 perempuan kulith putih dengan usia rata-rata 65 tahun memiliki hubungan secara tidak langsung sebagai faktor resiko dan densitas tulang.4 Studi ini juga mengidentifikasi bahwa faktor warna rambut, jumlah anak, riwayat merokok, penggunaan benzodiazepin tidak meningkatkan faktor resiko terjadinya fraktur. Sebuah penemuan yang menarik bahwa pola makan asupan kalsium tidak berkorelaso dengan adanya fraktur panggul, bagaimanapun, penulis dari studi ini setuju dengan argumen bahwa asupan kalsium akan menolong pasien dengan defisiensi kalsium.4 2.9PatofisiologiTulang mengalami remodelisasi sebagai respons trauma mikro. Remodelisasi tulang terjadi dalam resorbsi tulang dan formasi tulang, hal ini disebut coupling. Densitas tulang kortikal dan trabekular atau tulang cancellous memiliki arsitektur yang berbeda tetapi serupa pada kompoosisi molekuler. Kedua tipe tulang memiliki matriks ekstraseluler dengan komponen mineral dan non-mineral. Komposisi dan arsitektur dari matriks ekstraseluler adalah yang menyusun tulang secara mekanis. Kekuatan tulang ditentukan oleh protein kolagen dan mineral osteoid. Semakin besar konsentrasi dari kalsium, semakin besar kekuatan kompresif. Pada dewasa, sekitar 25% dari tulang trabekular diresorbsi dan diganti tiap tahunnya, diabndingkan dengan tulang kortikal yang hanya 3%.4Osteoklast, derivat dari sel mesenkimal, bertanggung jawab atas resorbsi tulang, mulai prekursor hematopoietik, bertanggung jawab untuk formasi tulang. Ada 2 tipe dari sel pada masing-masing untuk memproduksi osteoid tetapi juga muncul untuk mengkontrol resorbsi tulang oleh osteoklas. Osteosit, yang akan didiferensiasi osteoblas untuk mineralisasi tulang, secara langsung untuk remodelisasi tulang. Pada osteoporosis, coupling ini tidak dapat berjalan sejajar dengan konstan oleh trauma mikro tulang trabekular. Osteoklas membutuhkan seminggu untuk resorbsi tulang, sedangkan osteoblas butuh bulanan untuk memproduksi tulang baru. Maka dari itu, proses ini meningkatkan rata-rata remodelisasi tulang, dan hasilnya penurunan tulang seiring berjalannya waktu.Lebih lagi, pada periode remodelisasi (contoh: setelah menopause), tulang mengalami peningkatan resiko atas fraktur karena produksi tulang yang baru kurang mineral untuk densitas tulangnya.1,3,4Puncak massa tulang adalah sekitar dekade ketiga kehidupan dan menurun perlahan setelahnya. Kegagalan untuk mendapatkan kekuatan tulang yang optimal adalah salah satu faktor pencetus osteoporosis, dimana menyebabkan kenapa pada beberapa orang muda posmenopausal memiliki densitas mineral tulang yang rendah dan kenapa beberapa orang lainnya mengalami osteoporosiis. Maka dari itu, nutrisi dan aktivitas fisik penting selama pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu, faktor hereditas juga memainkan peran utama dalam menentukan puncak kekuatan tulang seseorang. Malahan, genetik dapat meningkatkan hingga 80% dari variansi pada puncak kekuatan tulang tiap individu.1,4Kunci dari osteoporosis adalah reduksi massa tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dari resorbsi tulang dan formasi tulang. Kondisi dibawah fisiologis, formasi tulang dan resorbsi berjalan seimbang. Sebuah perubahan, apakah perubahan dari resorbsi tulang atau penurunan formasi tulang, dapat menyebabkan osteoporosis.4Osteoporosis dapat terjadi oleh karena kegagalan pembentukan tulang dan mencapai puncak kekuatan tulang saat dewasa muda dan oleh penurunan tulang disebabkan oleh status hormonal, seperti pada perempuan perimenopausal, dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan tua, dan dapat terjadi secara sekunder karena penyakit atau medikasi tertentu.Proses penuaan dan kehilangan fungsi gonad adalah 2 hal yang menjadi faktor penting dalam kontribusi pengembangan osteoporosis. Sebuah studi menunjukkan bahwa penurunan kekuatan tulang terjadi sangat cepat pada 1 tahun pertama setelah menopause.4Defisiensi estrogen tidak hanya mempercepat penyusutan tulang pada perempuan menopause tetapi juga memainkan peran penting pada laki-laki. Defisiensi estrogen dapat menimbulkan resorbsi tulang berlebih dengan formasi tulang yang inadekuat.Osteoblas, osteosit, dan osteoklas semuanya merujuk pada reseptor estrogen. Sebagai tambahan, estrogen mempengaruhi tulang secara tidak langsung melalui sitokin dan faktor pertumbuhan lokal.Absennya estrogen, sel T mempromosikan rekrutmen osteoklas, diferensiasi, dan memperpanjang daya tahan hidupnya melalui IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor(TNF)-alpha.. Sel T menghambat diferensiasi osteoblas dan aktivitasnya dan apoptosis prematur dari osteoblas melalui sitokin seperti IL-7.2 Dan estrogen mempengaruhi hormon paratiroid.4Berbanding terbalik dengan penyusutan tulang pos menopause, dimana berhubungan dengan peningkatan aktivitas osteoklas berlebih, penyusutan tulang yang diiringi dengan penuaan ini berhubungan dengan penurunan kebutuhan proporsi osteoblas. Kebutuhan ini ditentukan dengan unit multiseluler yang diciptakan dan siklus dari remodel.4Setelah dekade ketiga kehidupan, resorbsi tulang meningkat dan menyebabkan osteopenia, pada keadaan berat akan menyebabkan osteopororsis. Perempuan kehilangan 30-40% dari tulang kortikal dan 50% dari tulang trabekular dalam hidup mereka, sedangkan pada laki-laki 15-20% pada tulang kortikal, dan 25-30% pada tulang trabekular.1,3 Kalsium, vitamin D, dan paratiroid hormone(PTH) membantu menjaga homeostasis tulang. Asupan kalsium yang kurang atau absorbsi pencernaan akan kalsium yang menurun akibat proses penuaan dapat menyebabkan hyperparathyroid sekunder. PTH disekresi sebagai respon kadar kalsium rendah. Peningkatan resorbsi kalsium dari tulang, penurunan ekskresi kalsium renal, dan peningkatan produksi renaldari 1,25-dihydroxyvitamin D (1,25[OH]2 D)suatu bentuk hormonal aktif dari vitamin D yang mengoptimalkan absorbsi kalsium dan fosfat, menginhibisi sintesis PTH, dan memainkan peran minor dari resorbsi tulang. Defisiensi vitamin D dapat menjadi hiperparatiroidisme sekunder dengan penurunan absorbsi kalsium pada pencernaan. Menariknya, efek dari PTH dan 1,25[OH]2 D pada tulang diikat dengan osteoblas.4Fraktur osteoporotik menunjukkan gejala klinis secara signifikan dari perubahan susunan tulang. Mereka dapat terjadi dari trauma dengan energi rendah, seperti jatuh dari kursi atau posisi berdiri, dan dari traume bernergi tinggi, seperti kecelakaan ditabrak kendaraan. Fraktur yang rapuh ini, dimana terjadi secara sekunder akibat trauma berenergi rendah, adalah karakteristik dari osteoporosis. Umumnya fraktur panggul berhubungan dengan jatuh.4Kondisi lainnya adalah pemakaian obat-obatan tertentu. Kondisi endokrinologi atau medikasi dapat menyebabkan kekurangan tulang seperti glukokortikoid dapat menyebabkan osteoporosis. Kortikosteroid menginhibisi fungsi osteoblas dan meningkatkan apoptosis osteoblas.62.10PenatalaksanaanSaat ini, tidak ada penanganan yang dapat mengembalikan secara komplit akan osteoporosis. Pencegahan awal dapat dilakukan untuk mencegah osteoporosis pada sebagian besar orang. Pada pasien dengan osteoporosis, intervensi medis dapat menghambat progresinya. Pada osteoporosis sekunder, penanganan pada kelainan primer seharusnya diberikan. Terapi dilakukan secara individualis berdasarkan skenario klinis pasien, dengan resiko dan keuntungannya yang telah didiskusikan antara petugas medis dan pasien.4,6Pasien diidentifikasikan akan resiko osteoporosis(termasuk anak-anak dan dewasa muda) seharusnya diukur termasuk asupan kalsium, vitamin d, dan latihan fisik. hal lainnya direkomendasikan adalah menghindari rokok dan konsumsi alkohol berlebih. Pencegahan lainnya harus diberikan pada pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid untuk medikasi yang lain. Hal ini termasuk penggunaan dosis minimum yang efektif, pemutusan obat secepat mungkin, dan pemberian suplemen kalsium dan vitamin D.6National Osteoporosis Foundation (NOF) merekomendasi bahwa farmakoterapi harus dipikirkan untuk pasien posmenopausal dan laki-laki 50 tahun atau lebih dengan gejala berikut:4 Fraktur panggul atau vertebra Nilai T-score -2.5 atau kurang Massa tulang rendah (T-score antara -1.0 dan -2.5) American College of Physicians telah meringkas dan menyimpulkan penanganan farmakoterapi untuk osteoporosis. Agen yang dapat digunakan sementara waktu adalah bisphosphonates, selective estrogen-receptor modulator (SERM) raloxifene, calcitonin, denosumab, dan agen anabolik, teriparatide. Seluruh terapi harus diberikan dengan kalsium dan suplemen vitamin D. Petunjuk dari American Association of Clinical Endocrinologists (AACE), yang dipublikasikan pada tahun 2010, hal berikut termasuk dalam rekomendasi dalam pemilihan obat untuk menangani osteoporosis: Lini pertama: alendronate, risedronate, zoledronic acid, denosumab Lini kedua: ibandronate Lini kedua atau ketiga: raloxifene Lini terakhir: calcitonin Penanganan untuk pasien dengan resiko fraktur tinggi bila gagal dengan biphosphonate: teriparatideTidak ada studi yang menunjukkan bahwa kombinasi 2 atau lebih terapi memiliki efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian satu agen terapi. Petunjuk AACE menyarankan untuk tidak memberikan terapi kombinasi hingga efeknya benar-benar diketahui dengan pasti.4Bisphosphonates adalah agen yang paling dipakai untuk osteoporosis. Biphosphonate telah dipakai baik untuk penanganan dan pencegahan. Tersedia dalam bentuk oral dan intravena.4 Alendronate disetujui untuk penanganan osteoporosis pada laki-laki, perempuan posmenopausal, dan pada pasien dengan osteoporosis akibat pemakaian glukokortikoid. Hal ini telah menunjukkan peningkatan densitas spinalis dan panggul pada perempuan posmenopausal. Pemakaian dengan kontrol klinis yang tepat dapat menurunkan fraktur spinalis, panggul, dan pergelangan tangan hingga 50% dengan osteoporosis. Dosis pemakaian dari alendronate adalah 70mg/minggu, dan harus dimakan 30 menit sebelum makan di pagi hari dengan diiringi minum air dalam jumlah segelas besar. Alendronate dapat diberikan bersama dengan kolekalsiferol(Vitamin D3). Kombinasi ini diindikasikan pada laki-laki osteoporosis untuk meningkatkan massa tulang.6Ibandronate (Boniva) adalah bifosfonat yang dapat diberikan sekali dalam sebulan secara oral. Bifosfonat intravena adalah pilihan yang tepat pada pasien yang intoleransi pada bifosfonat oral. Ibandronate juga tersedia dalam bentuk intravena yang diberikan setiap 3 bulan. 4,6

2.11KomplikasiKetika seseorang mengalami fraktur parah hingga immobilisasi, maka pasien akan tirah baring seterusnya. Hal ini dapat berakibat fatal karena perlahan tapi pasti, otot-otot dari pasien akan mengalami atrofi. Yang ditakutkan adalah atrofi pada otot pernafasan sehingga dapat mengancam jiwa. Selain itu, fraktur yang lebih ringan dapat mengurangi kualitas kehidupan seseorang, maka dari itu fraktur harus segera ditangani. Lebih tepatnya osteoporosis pasien harus menjadi fokus utama penanganan karena osteoporosis merupakan etiologi penyebab fraktur sang pasien dalam skenario.

Penutup3.1KesimpulanOsteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang umumnya menyerang perempuan lanjut usia dengan kondisi posmenopausal. Hal ini menyebabkan rapuhnya tulang atau keroposnya tulang sang penderita, sehingga ketika mengalami suatu trauma ringan sekalipun dapat berakibat patah tulang atau fraktur. Fraktur pada penderita osteoporosis umumnya menyerang panggul, vertebra, dan pergelangan tangan. Hal ini sering terjadi ketika sang penderita terjatuh dari posisi berdiri. Dengan jatuh secara posisi duduk, maka dicurgai tulang coxae penderita mengalami fraktur. Dengan jatuh secara posisi tangan menahan terlebih dahulu, maka dicurigai pergelangan tangan mengalami fraktur. Terakhir bila jatuh dalam posisi tidur, maka dicurigai tulang vertebra mengalami fraktur. Osteoporosis sendiri disebabkan karena tidak seimbangnya aktivitas osteoklas dan osteoblas. Hal ini yang menyebabkan resorbsi tulang berlebih sedangkan pembentukannya kurang dari sewajarnya. Pemberian bifosfonat dapat cukup efektif menangani penderita osteoporosis, baik per oral maupun per intravena. Pencegahan merupakan jalan terbaik sebelum sang pasien mengalami osteoporosis, karena osteoporosis susah dideteksi sebelum muncul adanya fraktur. Pemeriksaan BMD dapat menjadi skrining tes penderita osteoporosis. Selain pemberian farmakoterapi, penderita juga harus mendapatkan asupan vitamin D secara adekuat, dalam hal ini, cukup dengan paparan sinar matahari pada pagi hari.

Daftar Pustaka1. Bartl R, Frisch B. Osteoporosis: diagnosis, prevention, therapy. Berlin: Springer; 2004. h. 1-30.2. Adler RA. Osteoporosis: pathophysiology and clinical management. New York: Humana Press; 2010. h.25-40; 88-1023. Marcus R, Feldman D, et al. Osteoporosis. California: Elsevier; 2008. h.137-454. Available in URL: http://emedicine.medscape.com/article/330598-overview5. Available in URL: http://www.google.com/imgres?imgurl=http://4.bp.blogspot.com/-BTNVKifo4-M/VE5i0HPObjI/AAAAAAAAJIA/kMvnB-CQFZs/s1600/Coxae%25252Bfraktr,75%25252B50%25252B30x40.jpg&imgrefurl=http://ceritaayahdanbunda.blogspot.com/2014/10/hasil-radiograph-bagian-ii.html&h=1200&w=1600&tbnid=n64awFfPdQqmqM:&zoom=1&docid=TLT3FWYJPHLg2M&ei=6FXkVJDaGIawuATetYG4BQ&tbm=isch&ved=0CB8QMygDMAM6. Hartono A. Terapi gizi dan diet rumah sakit. Jakarta: EGC; 2006. h. 176-8