Top Banner

of 24

makalah SKENARIO KASUS

Feb 11, 2018

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    1/24

    SKENARIO KASUS

    Seorang wanita, 61 tahun, mengeluhkan nyeri mulut dan sakit saat membuka mulut

    sejak 4 bulan lalu. Dari Puskesmas, telah mendapat obat amoksisilin dan larutan kumur

    betadin, namun nyeri mulut tidak sembuh dan semakin memburuk hingga memaksanya

    berkonsultasi pada beberapa dokter. Telah mendapatkan obat antara lain antibiotik, antijamur,

    dan antiradang topikal, yang tidak menyebabkan kesembuhan. Odinofagi mengakibatkan

    penurunan berat badan hingga 6 kg. Tidak ada lesi yang sama pada genital maupun mata.

    Pasien memiliki riwayat hipotiroidisme, hipertensi, glaukoma, dan diabetes mellitus tipe 2,

    yang kesemuanya sudah dalam pengawasan dokter penyakit dalam. Penampilan umum pasien

    sehat, meski merasa stress. Tanda vital dalam batas normal. Ekstraoral tampak sebagian

    vermilion bawah eritematus dan pada beberapa tempat mengalami erosi, perdarahan titik

    (pin-point bleeding) dan krusta. Intra-oral tampak adanya ulkus dangkal berdiameter 20 mm

    pada mukosa pipi bilateral setinggi linea alba, tertutup lapisan putih kekuningan. Tepi ulkus

    tidak teratur namun tidak ada indurasi, di sekelilingnya tampak beberapa area erosi dan

    abrasi. Gingiva tepi regio anterior atas dan bawah tampak eritematus dengan sebagian erosi

    dan beberapa area tampak adanya epithelial sloughing. Mukosa palatum pada ah-line tampak

    eritematus, sedangkan pada lateral dan ventral lidah terdapat beberapa ulkus dangkal dengan

    diameter 5 mm. Pada kulit bahu dan punggung tampak adanya lesi erosif dan krusta, uji

    Nikolsky pada kulit menunjukkan hasil negatif. Hasil biopsi ulkus mulut menunjukkan celah

    intraepitel suprabasal, akantolisis, dan sebukan sel radang ke dalam jaringan ikat dibawahnya.

    Pada pemeriksaan DIF (direct immunofluorescence), terlihat deposit IgG dan fraksi

    komplemen C3 pada zona interseluler epitel.

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    2/24

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I. Latar BelakangBegitu banyak penyakit oral yang memiliki manifestasi oral yang serupa sehingga

    menjadi sukar menentukan diagnosis dan tidak menutup kemungkinan menjadikan

    seorang dokter salah menentukan diagnosis. Hal ini tentu dapat menjadi suatu hal yang

    membahyakan baik bagi pasien juga bagi dokter itu sendiri. Penyakit vesikobulosa dan

    ulseratif merupakan salah satu penyakit yang seringkali muncul di oral. Dengan

    mengetahui macam-macam penyakit yang bisaa dijadikan difensial diagnosis dapatmembantu para calon dokter dalam menetapkan diagnosis pastinya. Pemfigus bulgaris

    merupakan salah satu penyakit vesikobulosa yang

    II. Tujuan- Memahami etiologi, perjalanan penyakit, dan golden standard pemeriksaan serta

    rencana perawatan terhadap suatu penyakit.

    - Mampu mengaitkan suatu tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan suatupenyakit mulut.

    III. Manfaat

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    3/24

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    I. Definisi Lesi Vesikulobulosa dan ulkusLesi dermal diklasifikasikan berdasarkan penampakan klinis seperti ulkus, vesikel

    maupun bulla. Penyakit ulseratif atau vesikulobulosa di dalam rongga mulut memiliki

    penampakan klinis yang hampir sama. Mukosa oral yang tipis menyebabkan vesikel dan

    bula mudah pecah sehingga terbentuk ulser. Keparahan ulser dipicu dengan adanya

    trauma (gigi dan makanan) dan infeksi sekunder oleh flora mulut. Faktor ini dapat

    menyebabkan lesi memiliki penampakan spesifik pada mukosa oral.

    Vesikel adalah suatu benjolan berisi cairan, berbatas jelas dalam epidermis yang

    kurang dari 1 cm diameternya. Cairan vesikel umumnya terdiri atas limfe atau serum,

    tetapi juga dapat berisi darah. Dinding epitel dari vesikel adalah tipis dan akhirnya akan

    pecah, karenanya trerjadi suatu ulkus atau scar. ( Bricker et all, 1994).

    Bulla adalah suatu vesikel yang diameternya lebih dari 1 cm. Kondisi ini terjadi dari

    pengumpulan cairan dalam pertemuan epidermis-dermis atau celah pada epidermis.

    Ulkus adalah suatu luka terbuka dari kulit atau jaringan mukosa yang menperlihatkan

    disintegritas dan nekrosis jaringan yang sedikit demi sedikit. Ulkus meluas melaluilapisan basal dari epitel dan kedalam dermisnya, karena jaringan parut dapat

    mempengaaruhi penyembuhannya. Ulkus-ulkus biasanaya sakit dan sering kali

    memerlukan terapi obat topical agar terapi efektif.

    II. Nikolskiy signNikolsky sign dinamai dari dermatologis Russia Piotr Vasiliyevich Nikolskiy yang

    mendeskripsikannya pada tahun 1894.Nikolskiy sign yang positif menunjukkan

    pembelahan intraepidermal dan membedakan lepuh intraepidermal dari lepuh

    subepidermal. Tanda ini merupakan patognomonik dari pemfigus dan staphylococcal

    scalded skin syndrome.Nikolsky sign juga bisa dielisitasi pada ichthyosis bullosa of

    Siemens (yang jarang terjadi), di mana ia dinamakan sebagai `mauserung phenomenon'. .(

    James et all, 2005)

    Tanda ini dielisitasi dengan memberikan tekanan lateral dengan menggunakan ibu

    jari atau fingerpad pada kulit pada tonjolan tulang (bony prominence). Hal ini akanmenyebabkan tekanan penggeseran yang akan memisahkan lapisan atas epidermis dari

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    4/24

    lapisan bawah epidermis.Penghapus (rubber eraser) atau sebarang objek tumpul yang

    bisa mencengkeram kulit dengan utuh juga bisa digunakan. Nikolsky sign juga bisa

    dielisitasi pada mukosa oral dengan menggunakan penghapus atau swab kapas. .( James

    et all, 2005)

    Penyebab tersering:

    Kondisi autoimun (Pemphigus vulgaris) Infeksi bakteri (Scalded skin syndrome) Toxic drug reaction(Toxic epidermal necrolysis)

    Nikolskiy sign memberikan hasil positif pada fase aktif atau progresif penyakit

    pemfigus. Bila tanda ini menjadi negatif pada pasien yang menerima terapi

    imunosupresif, hal ini memnunjukkan berakhirnya fase akut dari penyakit tersebut.

    Namun demikian, kemunculan kembali saat pengobatan menunjukkan terjadinyaflare-up.

    Pasien ini akan memerlukan peningkatan dosis imunosupresan atau pemberian obat baru.(

    James et all, 2005)

    III. DIF (Direct Immunoflourescence)Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan flouresens.

    Pemeriksaan ini dinamakan direct immunoflourescence (DIF). DIF menunjukan

    deposit antibody imonureaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF

    biasanya menunjukan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam

    maupun sekitar lesi.(Hert, 2005)

    IV. AkantolisisAkantolisis adalah proses hilangnya jembatan antar sel pada sel-sel keratinosit

    terutama pada stratum spinosum sehingga menyebabkan terbentuknya rongga.

    V. UlkusUlkus merupakan lesi yang terbentuk oleh kerusakan lokal dari seluruh

    epidermis dan sebagian atau seluruh korium di bawahnya.

    VI. Pemphigus Vulgarisa. Definisi

    http://www.umm.edu/ency/article/000882.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000851.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000851.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/001352.htmhttp://www.umm.edu/ency/article/000882.htm
  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    5/24

    Pemphigus vulgaris adalah penyakit autoimmune berupa bula yang bersifat

    kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan ditemukannya antibodi

    IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel keratinosit, menyebabkan

    timbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya

    kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis dan akhirnya

    terbentuknya bula di suprabasal (Domonkos et al, 2000).

    b. EpidemiologiPemphigus vulgaris tersebar di seluruh dunia, dapat mengenai semua ras,

    frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus vulgaris merupakan

    bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70 % dari semua kasus pemphigus, biasanya

    pada usia 5060 tahun dan jarang pada anak-anak (Domonkos et al, 2000).

    c. PrognosisPrognosis dari pemphigus tergantung pada usia penderita, onset dari gejala

    serta waktu pengobatan pertaa dilakukan, perluasan lesi serta dosis dari kortikosteroid

    yang digunakan untuk mengontrol penyakit tersebut. Sebelum dilakukan pengobatan

    dengan kortikosteroid, angka kematian akibat pemphigus ini cukup timggi yaitu 75%

    pada tahun pertama. Namun sekitar 5-10% diakibatkan dari efek samping terapi yangdilakukan (Lagha et al, 2005).

    d. DiagnosisDiagnosis pemphigus vulgaris dapat ditegakkan melalui tindakan biopsi pada

    kulit penderita. Oleh karena beberapa lesi vesikulobulosa dan ulserasi memiliki

    tampilan yang serupa, seperti Pemphigoid, Lichen planus tipe erosif dan Erythema

    multiforme, maka penegakan diagnosis tidak hanya didasarkan pada pemeriksaan

    klinis. Untuk memastikan diagnosis Pemphigus vulgaris diperlukan pemeriksaan

    histopatologi, dengan karakteristik berupa cleftintra epitel atau akantolisis suprabasal

    dan sel epitel membulat, dikenal dengan Tzanck cells( rezeki,2009). Selain itu

    penegakkan diagnosis dari pemphigus vulgaris ini dapat dilakukan dengan

    pemeriksaan patologi dan tes immunofluorescene (Lagha et al, 2005). Dimana dengan

    pemeriksaan immunofluorescene direct, pemphigus vulgaris menunjukkan endapan

    antibodi IgG, C3 di substansi interselluler epidermis. Komplemen C3 tersebut

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    6/24

    merupakan ciri-ciri bahwa lesi tersebut merupakan lesi yang masih dini (Malcolm et

    al, 1993).

    e. Gambaran klinisLesi awal dari pemphigus vulgaris ini biasanya tersembunyi dan terlokalisasi.

    Lesi yang terdapat pada mulut akan membentuk ulcer yang menyakitkan dan adanya

    sensasi seperti terbakar. Hal ini yang akan mempengaruhi penurunan nafsu makan

    pada penderita. Kulit akan terserang setelah beberapa minggu ataupun beberapa bulan

    setelah lesi pada mukosal itu tampak, dengan penampakan suatu lesi yang lunak

    dengan cairan di dalamnya. Lesi yang lunak ini mudah pecah dan akan membentuk

    erosi yang didukung oleh epidermal ring. Penekanan pada kulit yang sehat akan

    menyebabkan bula atau erosi berpindah, hal ini yang disebut dengan Nikolskys sign.

    Walaupun tanda ini disarankan untuk mendiagnosis pemphigus, namun tanda ini

    tidaklah spesifik dan terkadang tidak menunjukkan hasil (Lagha et al, 2005).

    f. PatogenesisAntibodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglein 3 pada

    permukaan sel keratinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya plasminogen

    activator sehingga merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin yang terbentuk

    menyebabkan kerusakan desmosom sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari

    sitoplasma keratinosit, akibatnya terjadi pemisahan selsel keratinosit (tidak adanya

    kohesi antara sel-sel) proses ini disebut akantolisis. Kemudian terbentuk celah di

    suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang sebenarnya (Burton & Rook, 1998).

    g. TerapiTerapi yang dilakukan pada penderita pemphigus vulgaris ini tergantung dari

    elemen dari prognosis yang berpengaruh, seperti perluasan lesi dan level antibodi.

    Perawatannya diberikn dalam 2 fase, dimana fase pertama adalah loading phase yang

    berfungsi untuk mengontrol penyakit. Fase yang kedua adalah maintenance phase

    dimana akan dibagi lagi menjadi consolidation dan treatment tapering. Perawatan

    mendasar dari pemphigus ini terdiri dari kortikosteroid baik lokal maupun sistemik.

    Terapi kortikosteroid lokal digunakan pada kasus dimana PV tidak meluas dan lesi

    hanya terbatas pada kavitas oral. Kortikosteroid juga dapat diresepkan pada pasta gigi

    sebagai ointment atau mouthwash. Hal ini sebagai monoterapi atau terapi tambahan

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    7/24

    dari pearawatan sistemik. Terapi kortikosteroid intralesu akan mempercepat

    pembentukkan jaringan parut dari lesi atau dapat juga digunakan untuk mengobati lesi

    yang persisten. Injeksi sublesional dapat diberikan setiap 7-15 hari dan perawatan

    dihentikan apabila setelah 3 kali injeksi namun tidak mnunjukkan hasil apapun.

    Pembentukkan jaringan parut ini diiringi dengan atrofi mukosal dan kutaneus, yang

    merupakan kekurangan dari perawatan ini. Terkadang pasien diberikan terapi

    tambahan dengan aplikasi topikal dari tracolimus. Jika pasien mempunyai lesi

    ekstraoral atau lesi oralnya sudah meluas maka kortikosteroid sistemik diberikan

    secepatnya. Dosis awal yang diberikan tergantung dari kekronisan dari lesi dan

    keparahan penyakit. Aplikasi harian dari prednison 0,5-2 mg/kg sangat

    direkomendasikan. Dosisnya dapat dikurangin sampai dosis terapeutik tergantung dari

    responnya dan dapat diberikan satu dosis pada pagi hari untuk mengurangi efek

    sampingnya (Lagha et al, 2005).

    VII. Pemfigoid Bulosaa. Definisi

    Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai

    oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang

    tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan

    mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi.Namun presentasinya dapat

    polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa, terutama pada tahap awal penyakit,

    di mana bula biasanya tidak ada.(1)

    Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan

    berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen

    komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG sirkulasi dan

    antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone.(2,3)

    Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di

    lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran

    basal. Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di membran basal disebut antigen

    hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel peradangan

    (kemotaksis).(3)

    Tidak ada akantolisis dan tidak ada tanda-tanda nikolsky. (Lynch dkk, 1994)

    b. Insiden dan Epidemiologi

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    8/24

    Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid

    bulosa jarang terjadi pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis

    kelamin yang memiliki kecenderungan menderita pemfigoid bulosa. Insiden

    pemfigoid bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan Jerman.(2)

    c. EtiologiEtiologinya adalah autoimunitas, tetapi penyebab yang menginduksi autoantibodi

    masih belum diketahui (3), namun beberapa hal yang diduga berpotensi menyebabkan

    penyakit tersebut diantaranya : Sinar UV, terapi radiasi, obat-obatan terapi seperti

    furosemide,ibuprofen, agen anti inflamasi nonsteroidal, captopril,penicillamine, dan

    antibiotik (Stanley et al, 2008)

    d. PatofisiologiPemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun yang menyerang pada stratum

    basalis. Stratum basalis terdiri atas sel sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal

    pada perbatasan dermo epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan

    lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel

    berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel basal dalam membran

    basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel sel

    basalis dengan membran basalis.(2,3)

    Pemfigoid bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler

    dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran basal.(5) Antigen

    pemfigoid bulosa merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel basal,

    diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane zone) epitel

    gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan

    membran basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.(3)

    Terdapat dua jenis antigen pemfigoid bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD

    disebut PBAg1 (pemfigoid bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan

    PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari pada PB180.(3)

    Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula

    subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen,

    perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan pembebasan berbagai

    kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-9 dan neutrofil elastase.(1)

    http://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofenhttp://en.wikipedia.org/wiki/Ibuprofen
  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    9/24

    Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigoid

    bulosa terjadi dalam lamina lusida, di antara membran basalis dan lamina densa.

    Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya daya tarikan filament

    dan hemidesmosom.(2)

    Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap

    antigen pemfigoid bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik

    komplemen. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi

    sel mast. Produk-produk sel mast menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui

    mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan

    protease sel mast mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh,

    eosinofil, sel inflamasi dominan di membran basal pada lesi pemfigoid bulosa,

    menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang

    mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula.(2)

    e. DiagnosaGambaran Klinis

    Fase Non Bulosa

    Manifestasi kulit pemfigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal

    penyakit non-bulosa, tanda dan gejala cenderung tidak spesifik, seperti rasa gatal

    ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau

    urtikaria, serta ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu hingga

    bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda

    penyakit.(1)

    Fase Bulosa

    Tahap bulosa dari pemfigoid bulosa ditandai oleh perkembangan vesikel dan

    bula pada kulit normal atau pun tampakan eritematus yang bersamaan dengan

    urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola

    melingkar. Bula tampak tegang, diameter 14 cm, berisi cairan bening, dan dapat

    bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi

    seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur

    anggota badan dan tungkai bawah, termasuk perut. Tidak ada akantolisis dan tidak

    ada tanda-tanda nikolsky yang positif. (16)

    Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiperpigmentasi dan

    hipopigmentasi serta miliar meskipun gambaran ini jarang. Keterlibatan mukosa

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    10/24

    mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus

    dan daerah anogenital lebih jarang terkena. (1)

    Lesi kuli t

    Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula.

    Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang

    eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat

    lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok dalam pola

    serpiginosa dan arciform.(2)

    Tempat Predil eksi

    Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah. (2)

    Pemeriksaan Laboratorium

    Pemfigoid bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA,

    eritema multiform, erupsi obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa.

    Penderita harus melakukan biopsi kulit dan titer antibodi serum untuk

    membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit-penyakit ini

    karena mempunyai prognosis yang tidak sama.(3,9)

    f. HistopatologiKelainan awal pada pemfigoid bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan

    dermal-epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah

    eosinofil.(9)

    g. ImunologiPada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun

    seperti pita di BMZ (Base Membrane Zone).(3)

    Pewarnaan Immunofluorescence langsung (DIF) menunjukkan deposit IgG,

    dan biasanya juga C3, dalam lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler

    dari epidermis.(3)

    h. Diagnosis BandingPemfigus Vulgaris (PV) kebanyakan menyerang pada usia remaja dan dewasa.

    Erosi dan ulkus yang akut pada mukosa mulut antara 70-80% dari kasus.

    Umumnya lesi dapat muncul berbagai ukuran pada kulit yang normal. Lesi ini

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    11/24

    bisa terdapat di seluruh tubuh, namun umumnya lesi ini muncul pada orang

    dengan posisi berbaring dimana terjadi tekanan dan gesekan sama halnya

    punggung, pantat dan kaki. Lesi mudah terjadi ruptur yang dapat menyebabkan

    erosi yang lebih luas dan krusta. Lesi ini akan menimbulkan sensasi nyeri jika

    tersentuh. Ketika lesi ini tertekan secara terus-menerus, cairan akan keluar ke

    perifer di sekitar lesi pada kulit yang normal (lesi phenomenadiffusion atau false

    Nikolskys sign). Erosi pada mulut dan mukosa esofagus dapat menyebabkan

    disfagia. Ketika erupsi telah terjadi, kelainan elektrolit terjadi yang dimana

    menyebabkan cairan tubuh menghilang (hipoproteinemia), hal ini bisa berbahaya

    jika terjadi infeksi sekunder. (11)

    i. Penatalaksanaan- Kortikosteroid umumnya diberikan secara oral maupun injeksi, dosis

    prednison 40 - 80 mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan

    perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat disembuhkan dengan

    kortikosteroid saja.(3,12)

    - Jika pengobatan kortikosteroid belum menunjukkan perbaikan, dapatdipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan

    kortikosteroid untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid itu sendiri.

    Obat sitostatik merupakan terapi adjuvan karena bersifat imunosupresif. Yang

    termasuk obat ini adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan

    mikofenolat mofetil. Obat yang lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup

    bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg

    sehari atau 1-3 mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis

    prednison mencapai 80 mg. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison

    diturunkan lebih dulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara bertahap.

    Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoetik dan bersifat

    hepatotoksik. Mikrofenolat mofetil juga dikatakan lebih efektif daripada

    azatioprin karena efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2x1 g sehari.(2,3)

    - Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti pemfigus,dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis

    awal 20 - 40 mg prednison atau setara harus secara bertahap dikurangi ke

    jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga

    berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    12/24

    penelitian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita

    dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi

    dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita harus

    menanggung efek samping obat tersebut.(3)

    - Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untukmengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada pemfigoid

    bulosa.(2)

    Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas , oleh karena itu

    memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek

    samping kortikosteroid sistemik sehingga harus dikombinasikan untuk

    mengurangi efek sampingnya.(3)

    j. PrognosisPemfigoid bulosa umumnya memberikan respon yang baik jika diobati, tetapi

    kebanyakan pasien yang telah berhenti beberapa tahun namun penyakit ini

    kembali setelah pengobatan berhenti. Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah

    terbukti secara signifikan mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan

    bahwa prognosis pasien dengan pemfigoid bulosa jauh lebih baik dari pasien

    dengan pemfigus, terutama pemfigus vulgaris dengan pemfigoid bulosa dimana

    tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar 95%

    untuk pasien dengan penyakit pemfigus vulgaris saja tanpa pengobatan. Dalam

    beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus pemfigoid

    bulosa menunjukkan bahwa dengan perawatan, pasien pemfigoid bulosa memiliki

    prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir, dengan lebih dari 40% pasien

    meninggal dunia dalam kurun 12 bulan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa

    penyakit penyerta dan pola praktek (penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau

    obat imunosupresif) juga mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas

    penyakit ini. (1,12,13,14,15)

    VIII. Mucous Membrane Pemphigoid (MMP)a. Definisi

    Merupakan penyakit kronik yang tidak biasa yang dapat menyebabkan bulla

    dan erosi yang menyakitkan. Lesi ini jarang tersebar luas dan perkembangannya

    lambat. Desquamative gingivitis dapat menjadi manifestasinya. Bulla yang utuh

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    13/24

    tidak selalu terlihat. Kehancuran erosi meninggalkan ulcer dengan garis tepi yang

    jelas. Erosi yang lebih lanjut dapat tumbuh tidak jauh dan proses ini dapat

    bertahan selama setahun atau lebih. Lesi tersebut membatasi dalam daerah mulut

    untuk waktu yang sangat panjang dan tidak pernah melibatkan tempat lain

    (Cawson & Odell, 2008).

    MMP adalah penyakit autoimun kronis subepitel yang mempengaruhi selaput

    lendir pasien di atas usia 50, sehingga lecet mukosa, ulserasi, dan selanjutnya

    jaringan parut (Burket, et al, 2008).

    Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit kronis yang tidak umum

    terjadi pada masyarakat, yang berupa bulla dan membentuk erosi serta

    menimbulkan rasa sakit. Mucous membrane pemphigoid adalah penyakit

    autoimun yang idiopatik dan tidak menular. Mucous membrane pemphigoid

    biasanya menyerang orang tua dengan perbandingan prevalensi pria berbanding

    wanita adalah 1:2 (DeLong dan Burkhart, 2008).

    MMP merupakan penyakit autoimun subhepitelial yang kronis yang terjadinya

    2x lebih besar pada wanita daripada pria dan menyerang membran mukosa

    seseorang dengan usia pada umumnya di atas 50 tahun yang menyebabkan

    timbulnya bulla, ulcer, dan juga lesi (Greenberg, dkk, 2008).

    b. Etiologi dan PatogenesisLesi utama MMP terjadi ketika autoantibodi diarahkan terhadap protein di

    zona membran basalis, bertindak dengan komplemen (C3) dan neutrofil, yang

    kemudian menyebabkan perpecahan subepitel dan pembentukan vesikula (Burket,

    et al, 2008).

    MMP adalah kelainan tipe autoimun, secara imunologi digolongkan menurut:

    1. Pengendapan immunoglobulin dan komponen komplemen pada epitel basement

    membrane zone (BMZ), menunjukkan bahwa antibody diatur berlawanan dengan

    membran dasar.

    2. Sirkulasi autoantibodi kepada komponen BMZ

    3. Endapan pada epitel BMZ yang secara klasik pada jenis IgG (97%) with C3

    (78%), tapi terkadang IgA (27%) atau IgM (12%). Tambahan ini menunjukkan

    bahwa hal ini merupakan kelompok berbagai macam jenis kelainan.

    (Scully, 2004)

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    14/24

    Patogenesis penyakit ini adalah antibody menyerang membrane basal dan

    melemahkan perlekatan jaringan ikat. Pembentukan bulla terjadi pada area

    subepitel diantara jaringan ikat dan membrane basalis. Pada dasar bulla terdapat

    sel-selinflamasi (DeLong dan Burkhart, 2008).

    Pada MMP terdapat lesi bulosa subepitel dengan lapisan sel basal utuh di atap.

    Pada submukosa pada lesi awal menunjukkan peradangan minimal. antigen target

    MMP adalah heterogen dan biasanya diterjemahkan ke lamina lucida. DIF

    menunjukkan distribusi basement linear IgG, komplemen fraksi 3, dan IgA (IgA

    linear penyakit) (Eversole, 2011).

    MMP tampaknya disebabkan oleh antibodi yang menargetkan membran basal

    dan menyebabkan melemahnya lampiran ke jaringan ikat yang mendasari. pada

    penyakit ini, pembentukan bula terjadi di daerah subepitel antara jaringan ikat dan

    membran basal. histologi menunjukkan gangguan, dengan pemisahan lapisan sel

    basal dari jaringan ikat yang mendasari (DeLong and Burkhart, 2008 ).

    Bagian khas dari MMP :

    1. Menyerang wanita dan biasanya usia tua

    2. Mukosa mulut sering terserang pertama kali

    3. Keterlibatan mata dapat menyebabkan scarring dan kebutaan

    4. Keterlibatan kulit sedikit atau tidak pernah

    5. Tidak aktif, bukan penyakit yang menyebabkan kematian

    6. Bulla mulut merupakan subepitel dan terlihat utuh

    (Cawson & Odell, 2008)

    Pada MMP jinak, gangguan bulosa menunjukkan bula oral yang luas pada

    basis eritematosa. symblepharon terlihat melintasi konjungtiva palpebral dan

    bulbar (Eversole, 2011).

    Terbentuk bulla pada area subepitelial antara jartingan ikat dan juga membran

    basali. Kemudian terjadi pemisahan antara keduanya sehingga tampak terbentuk

    celah. Hal ini karena peruibahan komplemen C3 dan neutrofil oleh karena

    antibodi yang melawan protein di membrana basalis (Greenberg,dkk, 2008).

    c. ManifestasiPada ekstraoral, penyakit ini dapat menyerang membrane mukosa lain,

    contohnya pada kulit, hidung, uretra, dan esophagus. Bulla biasanya short-lived,

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    15/24

    cepat pecah dan mengalami deskuamasi, kemudian meninggalkan bekas yang

    eritematus (Cawson dan Odell, 2008).

    Lesi mata adalah karakteristik pada MMP, dan ketika dilakukan pemeriksaan

    oral biopsi ditemukan bula subepitel, diagnosis klinikopatologi dapat diperoleh

    dengan pasti (Eversole, 2011).

    Bula oral berkembang secara perlahan dan bervariasi dalam ukuran, mereka

    adalah runcing/tegang atau plak seperti agar-agar. Deskuamasi gingiva juga sering

    ditemukan. lesi mata ditemukan pada kedua conjunctivas palpebral dan bulbar dan

    cenderung sembuh dengan membentuk jaringan parut (Eversole, 2011).

    Conjungtiva adalah bagian kedua yang paling sering terserang mucous

    membrane pemphigoid dan dapat berkembang menjadi adesi dan luka antara

    bulbar dan palpebral conjungtiva yang disebut symblepharon. Lesi juga dapat

    menyerang mukosa genital, menyebabkan nyeri atau sakit serta disfungsi seksual.

    Terhadap laring, dapat mengakibatkan sakit atau nyeri, serak, sulit bernapas,

    sedangkan pada faring dapat menyebabkan dysphagia, yang dapat menuntun

    kepada kelemahan dan kematian pada bebrapa kasus. Biasanya terdapat lesi kulit

    pada kepala dan leher, pada 20 sampai 30% pasien (Greenberg, dkk, 2008).

    Rongga mulut dan conjunctivas adalah situs disukai, meskipun faring, lesi

    dubur, dan vagina yang hadir di sebagian dari salah satu pasien (Eversole, 2011).

    Pada intraoral, penyakit ini biasanya membuat jaringan mukosa eritematus,

    jaringan gingiva memerah dan biasanya terjadi gingivitis deskuamatif, jaringan

    mudah terkelupas, dan meninggalkan bekas yang sakit, eritema, ataupun

    permukaan yang ulseratif (Cawson dan Odell, 2008).

    Pada oral, lesi gingiva desquamative yang terjadi menyerupai lesi pada erosive

    lichen planus dan pemphigus, sehingga lebih baik dilakukan biopsy dan

    pemeriksaan histologist dan DIF untuk menentukan diagnosis yang benar. Lesi

    dapat muncul sebagai vesikel dari gingiva atau mukosa oral, namun biasanya

    muncul sebagai erosi yang non-spesifik, menyebar lebih lambat dari pemphigus,

    danself-limiting (Greenberg, dkk, 2008).

    d. Pemeriksaan PenunjangDiagnosis diperkuat dengan biopsi dan mikroskop immunofluoresence, namun

    lebih disukai untuk didapatkan vesikel atau bulla yang utuh. Dikarenakan

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    16/24

    kemungkinan resiko untuk melihat, pemeriksaan ocular penting jika perubahan

    pada awal diduga di dalam mata (Cawson & Odell, 2008).

    Secara histologi, MMP digolongkan menurut pemisahan junctional pada epitel

    BMZ memberikan kenaikan ke pecahan sub-basilar sebagai bentuk lain dari

    pemphigoid. Kemungkinan besar patogenesisnya termasuk

    pengambilan complement-mediated pada leukosit, dengan yang dihasilkan sitokin

    dan enzim leukosit melepaskan dan memisahkan sel basal dari BMZ (Scully,

    2004).

    Apabila dilakukan uji Nikolsky pada penyakit ini, maka akan didapatkan

    harga yang positif. Selain itu, diagnosis juga dapat dipastikan dengan biopsy

    (Cawson dan Odell, 2008).

    e. Treatment/ ManajemenMenejemen MMP tergantung dari keparahan dari gejala dan tempat yang

    terlibat. Ketika lesi berbatas pada oral mukosa, menggunakan kortikosteroid

    sistemik hanya dipertimbangkan untuk periode singkat waktu keparahan pecahnya

    sampai pembentukan toxic berkurang terapi dapat diganti. Kecuali pemphigus,

    MMP merupakan penyakit fatal yang jarang dan penggunaan steroid sistemik

    jangka panjang untuk lesi oral involvement merupakan indikasi yang jarang.

    Pasien dengan lesi oral yang ringan dirawat dengan topikal dan itralesional

    steroid. Desquamative gingivitis dapat dirawat dengan steroid topikal pada soft

    dental splint yang menutupi gingiva, meskipun klinisi menggunakan steroid

    topikal pada area mukosa yang luas memonitor pasien karena efek samping

    candidiasisdan efek absorbsi sistemik. Ketika topikal dan intralesional steroid

    tidak berhasil, gunakan tetracycline, doxycycline, atau minocycline lebih

    membantu dalam mengontrol desquamative gingivitis dan lesi oral lainnya. Saat

    terdapat lesi oral yang parah, dengan keterlibatan conjunctiva dan laryngeal,

    dapsome terapi direkomendasikan sebagai pilihan selanjutnya sebelum

    mempertimbangkan steroid sistemik jangka panjang atau terapi obat

    immunosuppresive. Karena dapson menyebabkan hemolysis dan

    methemoglobinemia, defisiensi glukosa-6-phosphate dehydrogenase

    dikesampingkan dan hemoglobin pasien harus dimonitor. Efek samping yang

    jarang pada dapson lainnya adalah dapson hypersensitivity syndrome, penyakit

    idiosinkratik dengan karakteristik demam, lymphadenopathy, skin eruptions, dan

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    17/24

    kadang-kadang dengan keterlibatan liver. Pasien resisten dapson dirawat dengan

    kombinasi kortikosteroid sistemik dan obat-obatan immunosuppresive, khususnya

    terdapat resiko kebutaan dari keterlibatan conjunctiva atau kerusakan laryngeal

    dan esophageal yang berarti. Terapi dosis tinggi intravena telah ditunjukkan pada

    beberapa kasus terapi adjuvant efektif pada pasien yang resisten terhadap terapi

    konvensional, meskipun kontrol percobaan belum selesai.

    MMP terbatas pada mukosa mulut yang kekerasannya cukup atau lembut

    sebaiknya diobati dengan dapsone sebagai pengobatan pertama dalam steroid

    sistemik. Meskipun demikian, efek samping dapat membatasi pengobatan.

    Penyakit ringan dapat dengan efektif dapat dikendalikan dengan kortikosteroid

    topical. Dosisnya kecil dan tanpa efek sistemik. Keterlibatan mata minor juga

    bereaksi terhadap dapsone, tetapi penyakit mata yang parah membutuhkan

    immunosuppresi yang besar dengan steroid dan azathioprine, cyclophosphamide

    atau mycophenylate mofetil (Cawson & Odell, 2008).

    MMP terkait dengan epiligrin telah dilaporkan membawa risiko yang lebih

    tinggi dari asosiasi dengan keganasan, namun bukti untuk ini tidak konklusif.

    Penelitian lebih lanjut diperlukan mengenai kemungkinan asosiasi pemfigoid

    dengan keganasan, dan dokter harus mempertimbangkan rujukan untuk

    menyingkirkan kemungkinan keganasan pada pasien yang baru didiagnosis MMP

    (Greenberg,dkk,2008).

    IX. Dermatitis Hepertiformisa. Definisi

    Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai Morbus Duhring

    merupakan suatu penyakit vesikobulosa autoimun yang berhubungan dengan gluten-

    sensitive enteropathy (GSE). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Louis

    Duhring pada tahun 1884, yang ditandai dengan papul dan vesikel, plak, urtikaria,

    eritematous dan kelompok ekskoriasi pada daerah ekstensor, siku, lutut, bokong dan

    punggung yang terdistribusi secara simetris (Kariosntono, 2000).

    b. EpidemiologiDermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring) ini bisa terjadi pada semua umur,

    termasuk anak-anak. Namun paling sering dijumpai pada dekade 2 4 yaitu usia 20

    tahun hingga 40 tahun (Amiruddin , 2003).

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    18/24

    c. Etiologi dan PatogenesisDermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh

    deposit IgA pada papilla dermis yang dicetuskan melalui proses imunologis,

    melibatkan infiltrasi neutrofil dan aktivasi komplemen. Teori menyebutkan bahwa

    dermatitis herpetiformis adalah hasil respon imunologik dari paparan kronik pada

    sel mukosa gastrointestinal oleh bahan gluten dengan aktivasi bertahap pada sel

    endotel pembuluh darah kulit dan sel-sel inflamasi, termasuk neutrofil (Miller ,

    2007).

    Adanya autoantibodi terhadap epidermal transglutaminase (TGase),

    memegang peranan penting pada patogenesis pasien dermatitis herpetiformis.

    TGase adalah suatu enzim yang dihasilkan pada dinding sel selama diferensiasi

    keratinosit. Selain pada epidermis, enzim transglutaminase juga dihasilkan pada

    berbagai jaringan tubuh lainnya, termasuk pada saluran pencernaan (Miller, 2007).

    d. Gejala KlinisLesi awal dari DH adalah papul eritematous, plak urtikaria atau lebih sering

    dengan bentuk vesikel yang berkelompok yang muncul pada beberapa tempat,

    bisa juga lesinya muncul tidak berkelompok. Bentuk vesikel lebih sering

    ditemukan pada telapak tangan, bisa disertai dengan perdarahan. Jika berlangsung

    lama akan disertai hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Pasien bisa datang hanya

    dengan lesi krusta, jika lesi-lesi primer sudah tidak muncul lagi atau hilang. Gejala

    klinis DH sangat bervariasi mulai dari rasa sensasi terbakar yang berat dan gatal

    yang sangat hebat (Siregar ,2004).

    e. PrognosisPenyakit ini dapat berlangsung lama dengan proses eksaserbasi dan remisi.

    10% penderita akan mengalami remisi.

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    19/24

    BAB III

    MIND MAP

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    20/24

    BAB IV

    PEMBAHASAN

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    21/24

    BAB V

    KESIMPULAN

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    22/24

    DAFTAR PUSTAKA

    Amiruddin DM. Dermatitis Herpetiformis. Dalam :Amiruddin DM, editor. Ilmu Penyakit

    Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH; 2003.p.337-43.

    Andrews. Clinical Dermatology. Diseases of the Skin. 10th ed: Saundres; 2006.

    Wojnarowska F, Venning VA, editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. II, 8thEd.

    Oxford: Blackwell Publishing Company; 2010. Page 40.32-40.33.

    Berman K, Zieve D. Atlanta Center for Dermatologic Disease. [may 2011; cited 2012 27

    Februari]; Available from: http:// MedlinePlus Medical Encyclopedia.mht.

    Lynch dkk. 1994.Burket Ilmu Penyakit Mulut, Edisi 8. Binarupa Aksara: Jakarta.

    Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. In: Jorizzo JL, Rapini JL,

    editors. Dermatology. 2nd ed: Mosby. chapter. 29.

    Bricker S.L., Langlais R.P.,Miller, C.S., 1994, Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment

    Planning, 2nd edition, Lea & Febiger a Waverly Company, USA.

    Bullous Pemphigoid. American Osteopathic College of Dermatology [cited]; Available

    from: http://www.aocd.com/index.html/ed.

    Burket L. W, Greenberg M. S, et al. 2008. Burkets Oral medicines, 11th Ed. BC Decker Inc : India.

    Burton JL and Rook. 1998. Bullous Eruption in :Textbook of Dermatology. 6th edition.

    Blackwell Science.

    Cawson RA, Odell EW. 2008. Cawson's Essential of Oral Pathology and Oral Medicine. Elsevier:

    Philadelphia.

    DeLong L, Burkhart N W. 2008. General and Oral pathology for Dental Hyginiest. Lippincott William

    and Wilkins: Philadelphia.

    Djuanda A.Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan

    Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. p. 210-1.

    Domonkos AN, Arnold HN, Odom RD. 2000. Chronik Blistering Dermatoses in Andrews

    Disease of the skin. 7thedition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

    Eversole Lewis R. 2011. Clinical Outline of Oral Pathology: Diagnosis and treatment, 4th Ed. Peoples

    Medical Publishing House : USA.

    Greenberg MS, Glick M, and Ship JA. 2008. Burkets Oral Medicine, eleventh edition. BC Decker Inc:

    Ontario.

    Habif T. Clinical Dermatology. A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed:Mosby; 2003.

  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    23/24

    Hert M, ed. Autoimmune disease of the skin: pathogenesis,diagnosis,management. 2nd revised

    edition.Austria : Springer-verlag Wien; 2005;60-79.

    James, William; Berger, Timothy; Elston, Dirk (2005) Andrews' Diseases of the Skin:

    Clinical Dermatology (10th ed.). Saunders. Page 16. ISBN 0-7216-2921-0.

    John RS.Pemphigus in Freedberg. In: Eisen, Wolff, Austen, Goldsmith, Katz SI, leditors.

    Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.

    Kariosntono H. Dermatitis Herpetiformis (Penyakit Duhring). Dalam: Harahap M, editor.

    Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.p.139-41.

    Lagha NB, et al. 2005. Phemphigus Vulgaris: A Case-Based Update. J Can Dent Assoc.

    71(9):667-72.

    Malcolm AL, Vemon JB, Martin SG. 1993.Ilmu Penyakit Mulut: Diagnosis dan Terapi. edisi

    kedelapan Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.

    Miller, Jami. Dermatitis herpetiformis. eMedicine. [serial online] 2007 mei. [citied

    September 20]. Available from URL http://www.eMedicine.com

    Opeola M, Clerk BKD. Dermatology for Skin of Color. New York: McGraw-Hill; 2009.

    Bullous Pemphigoid. Histopatology [Feb 2010; cited 2012 27 Februari]; Available from:

    http://www.google.com/histopatology.html

    Scully, C.M. 2004.Oral and Maxillofacial Diseases, 3rd Ed. Taylor and Francis: United Kingdom.

    Shimizu H, editors. Shimizu Textbook of Dermatology. Japan: Hokkaido University

    Press; 2007.

    Siregar RS. Dermatitis Herpetiformis. Dalam : Hartono H, editor. Saripati Pennyakit Kulit

    Jakarta: EGC;2004.p.196-7

    Swerlick AR, Korman JN. Bullous Pemphigoid. ; 2007 [updated 2007 04 May 2007; cited

    2012 27 Februari ]; Available from: www.nature.com/jid/journal/v122/n5/index.html.ed

    Bernard P, Ziar R.RiskFactors for Relapse in Patient with Bullous Pemhigoid in ClinicalRemission. [may 2009; cited 2012 27 Februari]; Available from:

    http://www.archderm.ama-assn.org.

    Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.

    6th ed. New York: McGraw-Hill; 2007.

    Zillikens D, Kasperkiewicz M. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid [July 2007;

    cited 2012 27 Februari]; Available from: http:// www.google.co.id/Clinic Rev AllergImmunol

    http://www.emedicine.com/http://www.archderm.ama-assn.org/http://www.archderm.ama-assn.org/http://www.emedicine.com/
  • 7/23/2019 makalah SKENARIO KASUS

    24/24