Top Banner
REFRESHING SINDROM NEFROTIK Oleh: Dimas Bagus Respati 0810710036 Tita Luthfia Sari 0810710107 Anissa Atika Rada 0910710036 Ferdian Musthafa 0910710072 Pramudya Wardhani 0910713024 Daniel Raj A/L Arumugam0910714002 Pembimbing : Dr. dr. Krisni Subandiyah, Sp. A (K)
42

Makalah Sindrom Nefrotik

Oct 26, 2015

Download

Documents

Tita Luthfia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Sindrom Nefrotik

REFRESHING

SINDROM NEFROTIK

Oleh:

Dimas Bagus Respati 0810710036

Tita Luthfia Sari 0810710107

Anissa Atika Rada 0910710036

Ferdian Musthafa 0910710072

Pramudya Wardhani 0910713024

Daniel Raj A/L Arumugam 0910714002

Pembimbing :

Dr. dr. Krisni Subandiyah, Sp. A (K)

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG

2013

Page 2: Makalah Sindrom Nefrotik

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai

pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang

terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia

<2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan

glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008).

Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika

Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan

prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang

insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada

anak berusia kurang dari 14 tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan

perempuan 2:1 (Trihono et al., 2008).

Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi

primer/idiopatik termasuk di dalam nya kongenital dan sekunder akibat penyakit

sistemik (Kliegman et al., 2007). Pasien sindrom nefrotik biasanya datang

dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi

pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria, gejala infeksi,

nafsu makan berkurang, diare, nyeri perut akibat terjadinya peritonitis, dan

hipovolemia. Prognosis sindrom nefrotik menjadi gagal ginjal berkisar antara 4-

25% dalam waktu 5-20 tahun. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh diagnosis

dini dan penatalaksanaan awal yang tepat (Atalas et al., 2002).

Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat

kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk

pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindak lanjuti

sesudahnya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai sindrom nefrotik

sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan harapan dapat

mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan penatalaksanaan.

Pada refreshing ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai sindrom nefrotik, yang

meliputi definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,

komplikasi dan prognosis.

Page 3: Makalah Sindrom Nefrotik

1.2 Rumusan Masalah

Apakah definisi sindrom nefrotik ?

Bagaimana epideiologi sindrom nefrotik di dunia dan di Indonesia ?

Apa saja etiologi dari sindrom nefrotik ?

Bagaimana patogenesis sindrom nefrotik ?

Apa saja gejala klinis sindrom nefrotik ?

Bagaimana cara mendiagnosis sindrom nefrotik ?

Bagiamana penatalaksanaan sindrom nefrotik ?

Apakah komplikasi sindrom nefrotik ?

Bagaimana prognosis sindrom nefrotik ?

Bagaiaman alur rujukan pasien dengan sindrom nefrotik ?

Page 4: Makalah Sindrom Nefrotik

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai

pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang

terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia

<2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan

glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui (Trihono et al., 2008).

2.2 Epidemiologi

Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika

Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan

prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang

insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada

anak berusia kurang dari 14 tahun (Trihono et al., 2008). Sindrom nefrotik lebih

sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan (2:1) dan kebanyakan

terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada

anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa.

Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta melaporkan

bahwa sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien

di Poliklinik Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang

dirawat antara tahun 1995-2000 (Wila, 2002).

2.3 Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi pasti dari sindrom nefrotik belum diketahui. Akhir-akhir ini sindrom

nefrotik dianggap sebagai suatu penyakit auto imunyang merupakan suatu reaksi

antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer

terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.

Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.

Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,

yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau

usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau

Page 5: Makalah Sindrom Nefrotik

karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya

adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus

telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal

dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Kliegman et al., 2007).

Tabel  1.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

(Kliegman et al., 2007)

            Kelainan minimal (KM)

            Glomerulosklerosis (GS)

                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

            Glomerulonefritis kresentik (GNK)

            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran

                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

            Glomerulopati membranosa (GM)

            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer

dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney

Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui

pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan

pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Bagga dan Mantan,

2005). Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom

nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi

ISKDC.

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa

sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik

tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak (Kliegman

et al., 2007).

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak

berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2%

tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang

Page 6: Makalah Sindrom Nefrotik

dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal

dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi (Wila, 2002).

b. Sindrom Nefrotik Sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari

berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara lain :

(Eddy dan Symons, 2003)

- Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom

Alport, miksedema

- Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS

- Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun

serangga, bisa ular

- Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,

purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis

- Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 Patogenesis

Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier

yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus

yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang

terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma.

Berikut ini gambar skematis dinding kapiler glomerulus :

Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus (Jalanko, 2009)

Page 7: Makalah Sindrom Nefrotik

Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang

lebih besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah

diafragma (Eddy dan Symons, 2003). Berikut ini gambar skematis proses filtrasi

glomerulus :

Gambar 2. Gambar Skematis Proses Filtrasi Glomerulus (Jalanko, 2009)

Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kaki-

kaki podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi

glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting untuk

patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :

a. Mutasi Protein Podosit

Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom

nefrotik yang diturunkan (Eddy dan Symons, 2003). Beberapa protein tersebut

antara lain dapat dilihat pada gambar 3.

Page 8: Makalah Sindrom Nefrotik

Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus

normal dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit (Eddy dan

Symons, 2003).

A: Prosesus sel podosit dipisahkan oleh celah pori-pori B: Pada sindrom

nefrotik, celah pori-pori menghilang dan prosesus sel podosit terlihat

bergabung menjadi satu C: Mutasi protein podosit 1: slit diaphragm proteins

(nephrin), 2: membrane proteins (podocin), 3: cytoskeleton (α-actinin-4, CD2-

AP), 4: extracellular matrix adhesion molecule, (β4 integrin), 5: sialylated

anionic surface proteins, 6: nuclear proteins (WT1, LMX1B, SMARCAL1),7:

basement membrane proteins (α5 chain collagen IV).

b. Adanya Faktor Plasma

Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada

pasien dengan sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003).

c. Abnormalitas Respon Sel Limfosit T

Sel T diduga mensintesis faktor permeabilitas yang dapat mengubah

selektivitas glomerulus terhadap protein, sehingga terjadilah proteinuria

massif. Hipotesis lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau

menyebabkan down regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada

kondisi normal berfungsi mencegah proteinuria (Eddy dan Symons, 2003).

Page 9: Makalah Sindrom Nefrotik

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik (Atalas et al., 2002) :

1. Proteinuria

Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan

negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat

peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai

peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa

faktor yang turut menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu :

- Konsentrasi plasma protein

- Berat molekul protein

- Electrical charge protein

- Integritas barier membrane basalis

- Electrical charge pada filtrasi barrier

- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus

- Degradasi intratubular dan urin

2. Hipoalbuminemia

Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati

ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul

69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh

kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme

kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk

mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra

vaskular.

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat

hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini

mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :

- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus

(protein losing enteropathy)

- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan

menurun dan mual-mual

- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal

Page 10: Makalah Sindrom Nefrotik

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma

albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti

oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang

terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi

filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan

hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+

kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif

sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif

sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air

H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA)

dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda

aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini

(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi

diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.

3. Sembab

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-

kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis

dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan

volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air.

Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan

tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.

Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :

a. Jalur langsung/direk

Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung

menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.

b. Jalur tidak langsung/indirek

Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan

penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:

- Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron

- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan

kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi

hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk

mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.

- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.

Page 11: Makalah Sindrom Nefrotik

- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,

menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat.

Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma

rennin dan angiotensin.

4. Hiperkolesterolemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density

lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)

dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis

lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran

lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah).

Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum

dan penurunan tekanan onkotik.

2.5 Gejala Klinis

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,

yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab

timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.

Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak

pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,

daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh

dan masif (anasarka) (Hammersmith et al., 2006).

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai

sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi

bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,

meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan

sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya

tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau

GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih

hebat pada pasien SNKM (Atalas et al., 2002).

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit

sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang

disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin

yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut

yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang

kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan

Page 12: Makalah Sindrom Nefrotik

menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan

malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites

berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani (Wisata et al.,

2010).

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau

tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi

gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit

berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak

yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah

merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga

dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu

sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi

terganggu (Atalas et al., 2010).

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian

International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%

pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil

umur (Darnindro dan Muthalib, 2008).

2.6 Diagnosis

Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang

khas, yaitu : (Trihono et al., 2008)

1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

3. Edema

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain : (Trihono et al., 2008)

1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang

mengarah kepada infeksi saluran kemih.

2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari

3. Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,

hematokrit, LED)

Page 13: Makalah Sindrom Nefrotik

- Albumin dan kolesterol serum

- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan

rumus Schwartz

- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik,

emeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear

antibody), dan anti ds-DNA

Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom

nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik

kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada

pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%.

Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium

yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi

ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom

nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid

(Noer, 2002).

2.7 Penatalaksanaan

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di

rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi

pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan

edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).

Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-

pemeriksaan berikut: (Trihono et al., 2008)

a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

b. Pengukuran tekanan darah

c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti

lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein

d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi

perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6

bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat

antituberkulosis (OAT)

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat

edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal

ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik

Page 14: Makalah Sindrom Nefrotik

disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh

sekolah (Trihono et al., 2008).

DIETETIK

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena

akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme

protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit

rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan

hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai

dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit

rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema

(Trihono et al., 2008).

DIURETIK

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan

loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan

dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4

mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan

hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan

pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :

Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik (Trihono et al., 2008)

Page 15: Makalah Sindrom Nefrotik

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi

karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus

albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan

dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2

mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20

ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya

komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat

diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan

mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu

pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al., 2008).

IMUNISASI

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2

mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan

pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu

setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV

(Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu

dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.

Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap

infeksi pneumokokus dan varisela (Trihono et al., 2008).

TERAPI KORTIKOSTEROID

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali

bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau

prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak

dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel

berikut:

Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak

dengan Sindrom Nefrotik (Noer, 2002)

Istilah Keterangan

Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam

selama 3 hari berturut-turut

Relaps Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam

selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya

pernah mengalami remisi

Relaps tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali

Page 16: Makalah Sindrom Nefrotik

dalam periode 12 bulan

Relaps sering Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah

respons awal,  atau  ≥ 4 kali kambuh pada setiap

periode 12 bulan

Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja

Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa

tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari

setelah terapi steroid dihentikan

Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan

terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu

Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison

60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain

Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal

Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang

sebelumnya responsif-steroid

Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa

kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison

60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis

terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat

badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full

dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu

pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3

dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari

setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak

terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 5. Pengobatan Inisial Kortikosteroid (Trihono et al., 2008)

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

Page 17: Makalah Sindrom Nefrotik

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan

prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan

dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami

proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison,

dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat

infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang

tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥

++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai

diberikan.

Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008)

Keterangan : Pengobatan SN relaps prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai

remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau

alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:

1. Pemberian steroid jangka panjang

2. Pemberian levamisol

3. Pengobatan dengan sitostatik

4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,

radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset

penyakit pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama,

dan remisi lambat pada episode awal (Noer, 2002).

1. Steroid Jangka Panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,

setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis

1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap

0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis

terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb

Page 18: Makalah Sindrom Nefrotik

alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-

12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat

bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah

sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb

alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam

dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka

prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,

kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2

mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau

relaps yang terakhir.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,

tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba

dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,

atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol

diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12

bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic

rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak

adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan

peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara

intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,

yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA

puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian

CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi

sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka

panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan

pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x

seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit

<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit

>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.

Page 19: Makalah Sindrom Nefrotik

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total

kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan

mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil

diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.

Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa

kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau

sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari

(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin

darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen

steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga

pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,

biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan

pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten

steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau

sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2

LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12

- 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

Protokol pengobatan sindrom nefrotik relaps :

Page 20: Makalah Sindrom Nefrotik

Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral

(Trihono et al., 2008)

Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)

kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2

LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8 minggu

Gambar 8. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid

(Trihono et al., 2008)

Keterangan :

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian

dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan

melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau alternating

(AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan

dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1

bulan (lama tapering off 2 bulan).

atau

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian

dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu

dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian

prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan

0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Page 21: Makalah Sindrom Nefrotik

Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau

dependen steroid :

Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik SN Relaps Sering atau

Dependen Steroid (Trihono et al., 2008)

Keterangan :

1. Pengobatan steroid jangka panjang

2. Langsung diberi CPA

3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA

4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,

seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,

maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat

diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara

intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan

dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL

0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan

interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (Trihono et al.,

2008).

Page 22: Makalah Sindrom Nefrotik

Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum

memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya

dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena

gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat

menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan

pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena

SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada

pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau

menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total

sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping

CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga

bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada

pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :

- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL

- Kadar kreatinin darah berkala

- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan

dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA

jarang atau sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil

prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau

klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000

mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS

adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam

Page 23: Makalah Sindrom Nefrotik

literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka

obat ini belum direkomendasi di Indonesia .

Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

(Trihono et al., 2008)

Keterangan:

• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan

• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.

Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,

dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

atau

• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali

sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6

bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,

dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteiuria

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor

blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja

kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga

mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth

factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya

Page 24: Makalah Sindrom Nefrotik

merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.

Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada

SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid

mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23

Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB

memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.

Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS

dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,

bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa

digunakan adalah:

- Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5

mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

- Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

2.8 Komplikasi

Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius.

Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut

yang berkaitan dengan keadaan nefrotik, terutama infeksi dan penyakit

tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik dan pengobatan,

terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah

aspek penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada

anak yang mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka .

a. Komplikasi Infeksi

Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat

menjadi komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri

bergantung pada berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses

opsonisasi bergantung pada komplemen dapat memperlambat proses klirens

mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia.

Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik.

Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang

virus varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar

terhindar dari paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin

varicella zoster disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan

perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan

vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis

Page 25: Makalah Sindrom Nefrotik

tambahan diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir

oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi

obat kortikosteroid.

b. Komplikasi Tromboembolik

Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.

Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis

dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu

disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain

peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X, XII),

antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet

( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia.

Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang dapat

memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan resiko

thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid, imobilisasi,

dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot pada anak

dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat

dilakukan.

Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki

resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah

mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6

bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus

dihindari, namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis

dapat dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun

membutuhkan antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna

sebagai antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.

c. Penyakit Kardiovaskular

Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular

pada anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara

lain paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,

hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan

sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada

dewasa. Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko

terserang penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya

penyakit jantung yang disebabkan oleh sindrom nefrotik masih

Page 26: Makalah Sindrom Nefrotik

terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar

anak dapat diatasi.

d. Komplikasi Medis yang Lain

Meskipun secara teoritis terdapat resiko penurunan kepadata ntulang

padapenggunaan kortikosteroid, prevalensi penyakit tulang pada anak dengan

sindrom nefrotik masih belum jelas.Selain Steroid, terdapat faktor lain yang

berpotensi menyebabkan penyakit tulang pada sindrom nefrotik. Protein

pengikat vitamin D yang keluar dalam urin dapat menyebabkan defisiensi

vitamin D, dan hiperparatiroid sekunder pada sebagian kecil kasus.Komplikasi

medis lain yang mungkin terjadi antara lain efek toksik obat, hipotiroidisme,

dan gagal ginjal akut.

2.9 Prognosis

Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,

prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD)

memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak

menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab

lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan

terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat

lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi

ginjal.

Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu

sebagai berikut :

- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6

tahun

- Jenis kelamin laki-laki

- Disertai oleh hipertensi

- Disertai hematuria

- Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder

- Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal

- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa

gambaran klinis

Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi

respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira

Page 27: Makalah Sindrom Nefrotik

50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi

respons lagi dengan pengobatan steroid.

2.10 Alur Rujukan

Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada

ahli nefrologi anak:

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit

sindrom nefrotik di dalam keluarga

2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan

fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau

lesi di kulit

3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi

berat, toksik steroid

4. Sindrom nefrotik resisten steroid

5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

Page 28: Makalah Sindrom Nefrotik

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang

terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai

hiperlipidemia.

Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,

glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.

Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat

proteinuria dan hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti

asites, efusi pleura, edema anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai

pada semua tipe sindrom nefrotik.

Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :

1. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau

rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥

2+)

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

3. Edema

4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Penatalaksanaan pasien dengan sindrom nefrotik meliputi pengaturan

diit, penanggulangan edema, pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

3.2 Saran

Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan

untuk membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan

sindrom nefrotik pada anak.

Page 29: Makalah Sindrom Nefrotik

DAFTAR PUSTAKA

Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik. Buku

Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

Bagga, A. dan Mantan, M. 2005. Nephrotic syndrome in children. Indian Journal

of Medical Research, vol. 122, hal. 13-28.

Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan.

Cermin Dunia Kedokteran, no. 150, hal. 50-54.

Darnindro, N dan Muthalib, A. 2008. Tatalaksana Hipertensi pada Pasien dengan

Sindrom Nefrotik. Maj Kedokt Indon, vol. 58, no. 2, hal. 57-61

Eddy, AA dan Symons, JM. 2003. Nephrotic syndrome in childhood. THE

LANCET , vol 362, hal. 629-639.

Hammersmith, J., Bradley Tirner, dan George H. Roberts. 2006. Nephrotic

Syndrome. Continuing Education Topics & Issues

Jalanko, H. 2009. Congenital nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, vol. 24,

hal. 2121–2128

Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nephrotic Syndrome. Nelson

Textbook of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia. Chapter 527.

Lasty Wisata, Dwi Prasetyo, Dany Hilmanto. Perbedaan Aspek Klinis Sindrom

Nefrotik Resisten Steroid dan Sensitif Steroid pada Anak. Maj Kedokt

Indon, vol. 60, no. 12.

Noer, MS. 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,

Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:

Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 73-87

Sophie de Seigneux dan Pierre-Yves Martin. 2009. Management of patients with

nephritic Syndrome. Swiss Med Weekly, vol.139 (29-30), hal. 416-422.

Trihono, PP., Atalas, H., Tambunan, T., Pardede, SO 2008. Konsensus

Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Unit Koordinasi

Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi Kedua Cetakan Kedua 2012.

Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 1-20.

Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,

Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI, hal 381-426.