Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG SISTEM SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK Oleh: DR. Nizwar Syafa’at Ir. Adreng Purwoto, MS Ir. Khairina M. Noekman, MS Ir.Iwan Setiaji Anugerah, MS Ir.Erma Suryani, MSi Ir. Yuni Marisa Ir. Andi Askin M.Suryadi, SP PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2007
32
Embed
Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_NIZ_2007.pdf · Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007 KAJI ULANG SISTEM SUBSIDI
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Makalah Seminar Hasil Penelitian TA 2007
KAJI ULANGSISTEM SUBSIDI DAN DISTRIBUSI PUPUK
Oleh:DR. Nizwar Syafa’at
Ir. Adreng Purwoto, MSIr. Khairina M. Noekman, MSIr.Iwan Setiaji Anugerah, MS
Adapun terjadinya kenaikan harga di atas HET adalah karena peningkatan biaya
distrIbusi. Sementara itu kelangkaan pupuk terjadi selain karena adanya gangguan
produksi yang disebabkan oleh tersendatnya pasokan gas, juga karena petani
menggunakan pupuk melebihi dosis yang dianjurkan, isu adanya ekspor ilegal pupuk
bersubsidi dan rembesan pupuk bersubsidi ke perkebunan besar sehingga alokasi
pupuk bersubsidi tidak mencukupi.
Kondisi yang demikian memunculkan wacana perlunya menghilangkan disparitas
harga di pasar domestik (harga pupuk bersubsidi untuk pangan vs perkebunan besar)
dan di pasar internasional (harga pupuk bersubsidi untuk pangan vs harga dunia)
melalui pemberian subsidi langsung kepada petani. Dengan pemberian subsidi
langsung kepada petani, maka petani membeli pupuk sesuai dengan harga pasar,
sehingga diharapkan tidak ada lagi disparitas harga di pasar domestik maupun pasar
internasional. .
Selain modus subsidi tersebut, pemerintah, DPR dan masyarakat masih perlu
untuk memperbaiki sistem distribusi yang ada sekarang karena belum memenuhi HET
yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dijaki ulang seluruh kebijakan subsidi untuk
mendapatkan rancang bangun modus dan model distribusi pupuk bersubsidi ke depan
yang efesien dan efektif.
Hasil kajian ini diharapkan memberikan kontribusi pada efisiensi dan efektifitas
pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah. Paling tidak Rp 1 trillium lebih uang petani
dapat diselematkan apabila sistem distribusi yang dihasilkan oleh kajian ini mampu
menjual pupuk bersubsidi sesuai dengan HET; modus subsidi yang efektif tidak hanya
menghemat uang subsidi yang dikeluarkan oleh negara tetapi juga mampu merubah
tingkah laku petani dalam penggunaan pupuk yang rasional sesuai dengan dosis
anjuran.
2
1.2. Tujuan dan Keluaran
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan modus subsidi
dan model distribusi pupuk bersubsidi ke depan yang efektif dan efisiensi dengan kriteria
6 (enam) tepat yaitu : tepat harga, kualitas, dosis, tempat, waktu, dan jenis. Secara rinci
tujuan kajian ini dapaat dirinci sebagai berikut :
1) Melakukan review tentang evolusi kebijakan modus subsidi dan sistem distribusi
pupuk bersubsidi
2) Melakukan evaluasi modus subsidi dan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang
berlaku saat ini.
3) Menyusun rekomendasi modus subsidi dan sistem distribusi pupuk bersubsidi.
Adapun keluaran kajian ini adalah sebagai berikut :
1) Hasil review tentang evolusi kebijakan modus subsidi dan sistem distribusi pupuk
bersubsidi.
2) Hasil evaluasi modus subsidi dan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang
berlaku saat ini.
3) Modus subsidi dan sistem distribusi pupuk bersubsidi.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Urgensi Kaji Ulang Modus Subsidi dan Sistem Distribusi
Modus Subsidi
Perlu diketahui bahwa subsidi harga pupuk yang diberikan kepada petani selama
ini bersifat tidak langsung dimana petani membayar harga pupuk dibawah harga pasar.
Harga yang dibayar petani tersebut biasa disebut harga eceran tertinggi (HET). Selisih
harga pasar dengan HET adalah subsidi, yang dibayarkan langsung kepada produsen
pupuk. Oleh karena itu modus subsidi harga pupuk semacam itu bisa disebut sebagai
modus subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk.
Hasil sejumlah penelitian (Nizwar dkk, 2006; Yusdja dkk, 2005) menunjukkan
bahwa dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini HET pupuk adalah tidak efektif. Ketidakefektifan
HET pupuk berarti salah satu azas dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, yaitu tepat
harga, telah dilanggar. Banyak faktor yang menyebabkan HET pupuk tidak efektif.
3
Ketidakefektifan HET menyebabkan petani dirugikan karena harus membayar harga
pupuk lebih tinggi daripada HET. Disamping petani, pemerintah yang sudah
mengeluarkan subsidi juga dirugikan dalam bentuk turunnya kredibilitas pemerintah di
mata petani. Satu-satunya pihak yang tidak dirugikan sehubungan dengan
ketidakefektifan HET pupuk adalah produsen pupuk. Hal ini karena produsen pupuk
sekurang-kurangnyua masih memperoleh keuntungan normal sesuai dengan negosiasi
yang disepakati antara mereka dengan pemerintah.
Bertitik tolak dari fakta diatas muncul wacana untuk mengubah modus subsidi
harga pupuk yang semula diberikan langsung kepada produsen pupuk menjadi
diberikan langsung kepada petani. Hal ini sejalan dengan kesepakatan antara
pemerintah derngan DPR bahwa subsidi harga pupuk adalah untuk membantu petani,
bukan pabrik pupuk (Simatupang, 2004). Dengan modus subsidi harga pupuk langsung
kepada petani, petani akan membeli pupuk sesuai dengan harga pasar. Disamping itu,
akan tercipta kesamaan harga pupuk di pasar domestik dengan pasar internasional
sehingga diharapkan akan mengurangi penyelundupan pupuk untuk ekspor.
Sistem Distribusi
Perlu diketahui bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini
bersifat terbuka dan pasif. Yang dimaksud bersifat pasif adalah bahwa penyaluran
pupuk bersubsidi dilakukan oleh produsen mulai dari pabrik sampai ke tingkat pengecer
yang selanjutnya dijual di pasar secara pasif dalam arti siapapun baik petani yang
berhak maupun bukan secara sendiri-sendiri maupun berkelompok dapat membeli
pupuk dengan cara datang ke kios pengecer yang berlokasi di kecamatan atau desa.
Yang dimaksud bersifat terbuka adalah bahwa sistem distribusi hanya memiliki delivery
system (sistem distribusi dari produsen sampai pengecer (lini IV)) dan tidak memiliki
receiving system (sistem penerimaan oleh petani). Akibatnya, pengecer resmi dapat
menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja termasuk kepada mereka yang tidak
berhak.
Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang bersifat terbuka dan pasif tersebut
menyebabkan petani berpeluang besar tidak mendapatkan jumlah pupuk bersubsidi
sesuai dengan yang dibutuhkan. Dengan perkataan lain sistem distribusi tersebut
seringkali menyebabkan terjadinya langka pasok. Terjadinya langka pasok berarti
sejumlah azas dalam pendistribusian pupuk bersubsidi, seperti tepat jumlah, jenis, mutu,
waktu dan tempat, akan dilanggar. Menurut Pasaribu (2006), ketersediaan pupuk
bersubsidi seringkali lebih kecil daripada kebutuhan petani (Pasaribu, 2006). Dengan
demikian, langka pasok akan semakin mengurangi ketersediaan pupuk bersubsidi dan
4
pada gilirannya akan semakin memicu terjadinya peningkatan harga pupuk bersubsidi.
Akibatnya, tingkat penggunaan pupuk di tingkat usahatani menurun dan pada gilirannya
kuantitas produksi pun juga menurun.
Bertitik tolak dari fakta diatas muncul wacana untuk mengubah sistem distribusi
pupuk bersubsidi dari bersifat terbuka dan pasif menjadi bersifat tertutup dan aktif. Yang
dimaksud bersifat aktif adalah bahwa ada kewajiban secara eksplisit bagi pengecer
resmi untuk menyalurkan/menjual habis pupuk bersubsidi yang sudah diterima dari
distributor kepada petani dalam kurun waktu tertentu. Yang dimaksud bersifat tertutup
adalah bahwa sistem distribusi pupuk bersubsidi paling tidak terdiri dari delivery system
(sistem distribusi dari produsen sampai pengecer (lini IV)) dan receiving system (sistem
penerimaan oleh petani). Kedua segmen tersebut harus menyatu agar aliran pupuk dari
produsen kepada petani tidak bocor terutama dari pengecer (lini IV) ke petani.
Pengalaman kebijakan subsidi harga pupuk yang dilakukan pada era 1980 – 1990-an
menunjukkan bahwa penerapan sistem distribusi pupuk bersubsidi yang bersifat tertutup
terbukti efektif dalam mencegah langka pasok dan menjamin HET (Simatupang dkk,
2004).
2.2. Subsidi Langsung Ke Produsen Pupuk vs Subsidi Langsung Ke
Petani
Walaupun telah ada wacana untuk mengubah modus subsidi harga pupuk yang
semula diberikan langsung kepada produsen pupuk menjadi diberikan langsung kepada
petani, namun agaknya tidak mudah memilih diantara kedua modus tersebut. Hal ini
karena masing-masing modus memiliki kekuatan/kelebihan dan kelemahan/
kekurangan. Berikut akan diuraikan kekuatan/kelebihan dan kelemahan/kekurangan
dari masing-masing modus.
5
Tabel 2.1. Kekuatan dan Kelemahan Modus Subsidi Langsung Kepada Produsen Pupuk dan Modus Subsidi Langsung Kepada Petani
Modus Subsidi LangsungKepada Produsen Pupuk
Modus Subsidi langsungKepada Petani
Kekuatan:1. Pengelolaan subsidi : relatif mudah 2. Identifikasi petani penerima subsidi: tidak diperlukan
3. Efektifitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk: relatif tinggi
Kelemahan:
1. Harga pupuk: terasa relatif murah2. Dualisme pasar pupuk domestik: terjadi
Kekuatan:1. Harga pupuk: terasa relatif mahal2. Dualisme pasar pupuk domestik: tidak
terjadi3. Ketepatan subsidi mencapai sasaran:
relatif tinggi4. Potensi mark-up dana subsidi: relatif
sulit
Kelemahan:
1. Pengelolaan subsidi : relatif sulit2. Dana untuk mencetak dan
mendistribusikan kupon (voucher) : relatif besar
3. Potensi konflik antara petani dengan petugas lapang: relatif tinggi
4. Efektifitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk: relatif rendah
Ada sejumlah kekuatan/kelebihan modus subsidi harga pupuk langsung kepada
produsen pupuk. Pertama, pengelolaan subsidi adalah relatif mudah (Tabel 2.1). Hal
ini karena pemerintah hanya perlu berhubungan dengan beberapa produsen pupuk saja,
yaitu Pupuk Iskandar Muda (PIM), Pupuk Sriwijaya (PUSRI), Pupuk Kujang Cikampek
(PKC), Petro Kimia Gresik (PKG), dan Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Kedua, tidak
diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini karena pengecer resmi (lini
IV) dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja baik petani yang berhak maupun
bukan Ketiga, efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli
pupuk adalah relatif tinggi. Hal ini berlaku dengan syarat apabila efektivitas HET
terjamin. Apabila efektivitas HET terjamin maka garis anggaran petani untuk membeli
pupuk bergeser ke kanan yang mencerminkan daya beli petani untuk membeli pupuk
meningkat sejalan dengan diberlakukannya HET pupuk (Gambar 2.1). Karena daya beli
petani untuk membeli pupuk meningkat maka jumlah pupuk yang sanggup dibeli
meningkat dari P1 menjadi P2.
6
Gambar 2.1. Dampak Subsidi Pupuk Melalui Modus Harga Terhadap Penggunaan Pupuk
Disamping kekuatan/kelebihan yang dimiliki, ada beberapa kelemahan/
kekurangan modus subsidi harga pupuk langsung kepada produsen pupuk. Pertama,
harga pupuk terasa relatif murah (Tabel 3.1). Hal ini karena HET jauh lebih rendah
daripada harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung overdosis dalam
menggunakan pupuk. Kedua, terjadi dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar
pupuk dengan harga bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi.
Hal ini membuka peluang terjadinya aliran pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non-
subsidi yang memicu terjadinya langka pasok.
Sementara itu kekuatan/kelebihan modus subsidi harga pupuk langsung kepada
petani adalah sebagai berikut. Pertama, harga pupuk terasa relatif mahal (Tabel 2.1).
Hal ini karena harga pupuk yang dibayar petani adalah harga pasar bebas. Akibatnya,
petani cenderung tidak overdosis dalam penggunaan pupuk. Kedua, dualisme pasar
pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi dan pasar pupuk
dengan harga tidak bersubsidi, tidak terjadi. Hal ini karena hanya ada satu harga
pupuk yang berlaku di pasar yaitu harga pasar itu sendiri. Dalam hubungan ini petani
penerima subsidi membeli pupuk dengan harga pasar. Ketiga, ketepatan subsidi
mencapai sasaran adalah relatif tinggi. Hal ini karena petani penerima subsidi telah
Pupuk (P)
7
melalui seleksi dengan sejumlah kriteria tertentu. Keempat, potensi mark-up dana
subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena besarnya dana subsidi yang dapat di-claim
oleh produsen pupuk harus sesuai dengan jumlah kupon (voucher) yang telah
digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi tingkat pengecer resmi.
Disamping memiliki kekuatan/kelebihan, ada beberapa kelemahan/ kekurangan
modus subsidi harga pupuk langsung kepada petani. Pertama, pengelolaan subsidi
adalah relatif sulit (Tabel 2.1). Hal ini karena pemerintah perlu berhubungan dengan
puluhan juta petani. Kedua, diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini
sudah barang tentu membutuhkan dana yang tidak kecil khususnya pada tahun pertama
diterapkannya modus bersangkutan. Ketiga, dibutuhkan dana relatif besar untuk
mencetak dan mendistribusikan kupon (voucher). Dana ini harus tersedia setiap
tahun selama modus tersebut diterapkan. Keempat, potensi konflik antara petani dan
petugas lapangan adalah relative tinggi. Hal ini karena walaupun petani penerima
subsidi telah melalui seleksi dengan kriteria tertentu namun tetap terbuka peluang ada
petani yang tidak menerima subsidi meskipun mereka berhak berdasarkan kriteria yang
berlaku. Kelima, efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli
pupuk adalah relatif rendah. Hal ini berlaku dengan syarat apabila terjadi jual beli
kupon (voucher) guna dibelikan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak
tanah, dsb. Fenomena semacam itu sangat mungkin terjadi dalam kondisi daya beli
masyarakat yang rendah seperti sekarang ini. Karena kupon (voucher) dijual untuk
mendapatkan uang tunai guna membeli makanan maka anggaran petani untuk membeli
makanan bergeser ke kanan sedangkan anggaran petani untuk membeli pupuk tetap
pada posisi semula (tidak bergeser) (Gambar 2.2). Ini berarti daya beli petani untuk
membeli makanan meningkat, sedangkan daya beli petani untuk membeli pupuk adalah
tetap. Karena daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap maka jumlah pupuk
yang sanggup dibeli petani tidak berubah yaitu tetap sebesar P1. Akibatnya, kuantitas
produksi yang diperoleh juga tetap. Dengan demikian pemberian subsidi harga pupuk
yang dimaksudkan oleh pemerintah agar petani mampu meningkatkan penggunaan
pupuk dan sekaligus meningkatkan kuantitas produksi menjadi sia-sia.
8
Gambar 2.2.Dampak Subsidi Pupuk Melalui Modus Tunai Terhadap Penggunaan Pupuk
2.3. Sistem Distribusi Terbuka vs Sistem Distribusi Tertutup
Seperti halnya dalam memilih diantara 2(dua) modus subsidi, dalam memilih
diantara 2 (dua) sistem distribusi ditemukan juga kesulitan karena masing-masing
sistem distribusi memiliki kekuatan/kelebihan maupun kelemahan/kekurangan. Berikut
akan diuraikan kekuatan/kelebihan dan kelemahan/kekurangan dari masing-masing
sistem.
Ada sejumlah kekuatan/kelebihan sistem distribusi terbuka. Pertama,
keberadaan kelompok tani adalah tidak mutlak (Tabel 2.2). Seperti telah diuraikan
sebelumnya bahwa sistem distribusi terbuka hanya memiliki delivery system (sistem
distribusi dari produsen sampai ke pengecer (lini IV)) dan tidak memiliki receiving
system (sistem penerimaan oleh petani). Komponen utama dalam receiving system
adalah kelompok tani. Hal ini karena secara ekonomi pembelian saprodi oleh kelompok
tani maupun pendistribusian saprodi lewat kelompok tani adalah efisien. Karena sistem
distribusi terbuka tidak memiliki receiving system maka keberadaan kelompok tani
adalah tidak mutlak. Perlu diketahui bahwa pada era sebelum reformasi eksistensi
Pupuk (P)
9
kelompok tani terkait dengan keberadaan kredit usahatani. Sejalan dengan tidak ada
lagi kredit usahatani sejak era reformasi maka sejak itu pula eksistensi kelompok tani
surut. Kedua, keberadaan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) adalah tidak mutlak.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas PPL adalah membantu kelompok tani
dalam menyusun dan mengoreksi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) untuk
pupuk. Karena dalam sistem distribusi terbuka tidak dibutuhkan RDKK maka
keberadaan PPL adalah tidak mutlak. Ketiga, tidak ada kewajiban bagi pengecer
resmi untuk menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada petani dalam kurun
waktu tertentu. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam sistem
distribusi terbuka pengecer resmi dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja
baik petani yang berhak maupun bukan, sehingga tidak ada kewajiban bagi pengecer
resmi untuk menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada petani dalam kurun waktu
tertentu.
Disamping kekuatan/kelebihan yang dimiliki, ada beberapa kelemahan/
kekurangan sistem distribusi terbuka. Pertama, peluang petani menggunakan pupuk
secara overdosis adalah relatif tinggi (Tabel 2.2). Hal ini karena dalam sistem
distribusi terbuka volume pembelian pupuk oleh petani di tingkat pengecer resmi tidak
dibatasi. Kedua, ketepatan pupuk bersubsidi mencapai sasaran adalah relatif
rendah. Hal ini karena dalam sistem distribusi terbuka pengecer resmi dapat menjual
pupuk bersubsidi kepada siapa saja baik petani yang berhak maupun bukan. Ketiga,
keakuratan data volume pupuk bersubsidi yang telah disalurkan adalah relatif
rendah. Hal ini karena yang mencatat realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dari
produsen ke pengecer resmi adalah produsen itu sendiri, sehingga potensi terjadi
penyimpangan khususnya terhadap besaran penyaluran adalah relatif tinggi.
Sementara itu kekuatan/kelebihan sistem distribusi tertutup adalah sebagai
berikut. Pertama, peluang petani menggunakan pupuk secara overdosis adalah
relatif rendah (Tabel 2.2). Hal ini karena dalam sistem distribusi tertutup volume pupuk
yang dibutuhkan masing-masing petani dituangkan dalam RDKK dan RDKK ini dikoreksi
oleh PPL guna menyesuaikan kebutuhan pupuk setiap petani dengan dosis
rekomendasi. Kedua, ketepatan pupuk bersubsidi mencapai sasaran adalah relatif
tinggi. Hal ini karena dalam sistem distribusi tertutup kelompok tani-kelompok tani
kemana pengecer resmi harus menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi sudah
ditentukan.
10
Tabel 2.2. Kekuatan dan Kelemahan Sistem Distribusi Terbuka dan Sistem Distribusi Tertutup
Sistem Distribusi Terbuka Sistem Distribusi Tertutup
Kekuatan:1. Keberadaan kelompok tani: tidak mutlak 2. Keberadaan PPL: tidak mutlak3. Kewajiban bagi pengecer resmi untuk
menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada petani dalam kurun waktu tertentu: tidak ada
Kelemahan:
1. Peluang petani menggunakan pupuk secara overdosis: relatif tinggi2. Ketepatan pupuk bersubsidi mencapai
sasaran: relatif rendah
3. Keakuratan data volume pupuk bersubsidi yang telah disalurkan : relatif rendah
Kekuatan:1. Peluang petani menggunakan pupuk
secara overdosis: relatif rendah2. Ketepatan pupuk bersubsidi mencapai
sasaran: relatif tinggi
Kelemahan:
1. Keberadaan kelompok tani: mutlak 2. Keberadaan PPL: mutlak
1. Kewajiban bagi pengecer resmi untuk menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada petani dalam kurun waktu tertentu: ada
Disamping memiliki kekuatan/kelebihan, ada beberapa kelemahan/ kekurangan
sistem distribusi tertutup. Pertama, keberadaan kelompok tani adalah mutlak (Tabel
2.2). . Hal ini karena dalam sistem distribusi tertutup selain delivery system (sistem
distribusi dari produsen sampai ke pengecer (lini IV)), harus ada receiving system
(sistem penerimaan oleh petani). Komponen utama dalam receiving system adalah
kelompok tani, sehingga keberadaan kelompok tani adalah mutlak. Kedua,
keberadaan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) adalah mutlak. Hal ini karena dalam
sistem distribusi tertutup kebutuhan pupuk setiap petani harus tertuang dalam rencana
definitif kebutuhan kelompok (RDKK) untuk pupuk. Dalam hubungan ini PPL bertugas
membantu kelompok tani dalam menyusun dan mengoreksi RDKK, sehingga
keberadaan PPL adalah mutlak. Ketiga, ada kewajiban bagi pengecer resmi untuk
menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada petani dalam kurun waktu
tertentu. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa dalam sistem distribusi tertutup
kelompok tani-kelompok tani kemana pengecer resmi harus menyalurkan/menjual pupuk
bersubsidi sudah ditentukan, sehingga ada kewajiban bagi pengecer resmi untuk
menyalurkan/menjual pupuk bersubsidi kepada kelompok tani dalam kurun waktu
tertentu.
11
II. METODA PENELITIAN
3.1. Perencanaan Sampling
Lokasi
Sesuai dengan tujuan penelitian, pemilihan provinsi lokasi penelitian ditentukan
secara purposive dengan kriteria sebagai daerah sentra produksi padi di pulau
bersangkutan. Provinsi-provinsi yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Selatan.
Responden
Sesuai dengan tujuan penelitian, dalam penelitian ini akan digunakan baik data primer
maupun data sekunder. Data primer akan dikumpulkan dari pelaku distribusi pupuk
bersubsidi, pengguna pupuk bersubsidi dalam hal ini petani padi, dan Penyuluh
Pertanian Lapang (PPL). Pelaku distribusi pupuk bersubsidi terdiri dari produsen pupuk,
distributor, pengecer resmi, dan kelompok tani. Dengan demikian ada 6 (lima) jenis
responden yang merupakan sumber data primer, yaitu (a) produsen pupuk, (b)
distributor, (c) pengecer resmi, (d) kelompok tani, (e) petani padi, dan PPL. Agar
diperoleh informasi berkesinambungan dan konsisten maka pelaku distribusi pupuk
bersubsidi yang dipilih sebagai responden adalah mereka yang berada dalam satu
rantai pemasaran. Data sekunder akan dikumpulkan dari sejumlah instansi pemerintah
yang terkait dengan kebijaksanaan subsidi pupuk, yaitu (a) Departemen Pertanian baik
di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten, (b) Departemen Perdagangan baik di
tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten, dan (c) BUMN produsen pupuk (PT Pupuk
Sriwijaya, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Kujang
Cikampek, dan PT Petrokimia Gresik).
Data dan Cara Pengumpulannya
Pengumpulan informasi dari responden-responden yang merupakan sumber
data primer (produsen pupuk, distributor, pengecer resmi, kelompok tani, petani padi,
dan PPL) dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Sementara itu pengumpulan informasi dari responden-responden yang merupakan
sumber data sekunder (sejumlah instansi pemerintah dan produsen pupuk) dilakukan
12
lewat wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi pokok-pokok
informasi yang hendak digali.
3.2. Analisa Data
Review tentang evolusi kebijakan modus subsidi dan sistem distribusi pupuk
bersubsidi akan dilakukan secara deskriptif. Evaluasi modus subsidi dan sistem
distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini juga akan dilakukan secara deskriptif
dengan mempergunakan tabulasi.
IV. HASIL PENELITIAN.
4.1. Review Evolusi Kebijakan Modus Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi
4.1.1.Modus Subsidi: Tunai Ke Produsen vs Tunai Ke Petani
Subsidi pupuk pertama kali diberikan kepada petani Indonesia pada tahun 19791
dengan modus subsidi harga yang diberikan langsung kepada produsen. Selama
periode tahun 1979-1998, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk subsidi harga dengan
menetapkan harga eceran tertinggi (HET) di tingkat petani yang lebih rendah dari harga
pasar dan selisih HET dengan harga pasar ditanggung oleh pemerintah dan diberikan
kepada produsen karena produsen menjual sesuai dengan HET dibawah harga pasar.
Pupuk bersubsidi disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) di bawah koordinasi dan
tanggung jawab PT. Pusri. Pembelian pupuk oleh petani dilakukan dengan sistem kredit
bersubsidi yang disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
1 Sebelum tahun 1979, kebutuhan pupuk petani disediakan oleh swasta. Sejak awal berproduksi, pada
Bulan Oktober 1963 sampai dengan tahun 1967, PT Pusri hanya sebagai produsen, sedangkan PT Pertani sebagai pembeli tunggal yang memasarkan kepada konsumen. Pada tahun 1968-1969, pembayaran dari PT Pertani mengalami kemacetan, sejak itu PT Pusri mulai memasarkan sendiri dengan menggunakan jasa perusahaan-perusahaan tertentu (CV Tulus Karya, FA Taman Sari, CV Tiga Daya dan CV Toyamas). Tahun 1970, Unit Pemasaran PT Pusri dibentuk dengan fungsinya mendistribusikan dan menyalurkan sarana produksi pertanian. Tahun 1970-1971, mulai dibentuk KPW di beberapa propinsi antara lain Jatim, Jateng, Jabar, Sumsel, Sumut dan Sulsel. Pembentukan ini berhubungan denganditetapkannya PT Pusri sebagai distributor/ importir pupuk TSP dan Urea untuk memenuhi program BIMAS/INMAS tanaman pangan sesuai surat Mentan/Ketua BP.Bimas No.380/KP/UM/7/70 tanggal 17 Juli 1970 bersama-sama dengan importir/distributor lainnya yaitu PN Pertamina, PT Panca Niaga, PT Cipta Niaga, PT Intrada, PT Lamtoro Agung dan PT Jaya NIaga. PT Pusri diharuskan bertanggungjawab atas kelancaran penyediaan pupuk. Berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor : 56/KP/II/1979 tanggal 15 Februari 1979, PT Pusri ditunjuk sebagai Distributor Nasional untuk seluruh jenis pupuk bersubsidi (Urea, TSP, & DAP). Fungsinya mendistribusikan dan menyalurkan pupuk bersubsidi baik produksi dalam negeri maupun impor untuk kebutuhan sektor pertanian sampai Lini IV. Dalam perjalanan waktu, jenis pupuk ditambah dengan pupuk ZA, KCl, ZK, KS, KNO3 dan SP-36 (Sumber : www.pusri.co.id)
13
Pada periode tahun 1999-2000, subsidi dan tataniaga pupuk dicabut, dan
distribusi pupuk dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar bebas. Penghentian subsidi
dan deregulasi pemasaran pupuk merupakan pelaksanaan dari (Letter of Intent) antara
Presiden Republik Indonesia dan International Monetery Fund (IMF), sebagai bagian
dari rencana aksi pemulihan ekonomi Indonesia dari terpaan krisis yang terjadi sejak
akhir tahun 1997. Pencabutan subsidi dan deregulasi pasar telah menyebabkan harga
pupuk di tingkat petani sepenuhnya tergantung pada pasar pupuk internasional. Selama
tahun 1999 harga pupuk cukup rendah dan stabil, karena harga pupuk dunia cenderung
turun, sementara nilai rupiah cenderung menguat.
Peningkatan harga pupuk dunia akibat peningkatan harga gas sejak tahun 2000
telah mendorong pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk pada tahun 2001.
Selama periode tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif gas
domestik (IGD) untuk produksi pupuk Urea. IGD memang tidak disebut sebagai subsidi
pupuk dan jumlahnya pun tidak begitu besar.
Peningkatan harga gas yang terus berlanjut telah mendorong pabrik pupuk Urea
menuntut subsidi yang lebih besar. Di sisi lain, peningkatan harga pupuk dunia
memaksa pemerintah untuk mengendalikan harga pupuk domestik dalam rangka
membantu petani dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian.
Oleh karena itu, sejak tahun 2003, pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi,
tidak saja subsidi gas untuk Urea, tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP-36,
ZA dan NPK). Sebagai imbalannya, pabrik pupuk wajib menyalurkan pupuk setiap saat
dalam jumlah yang cukup pada HET yang ditetapkan pemerintah.
Berakhirnya masa kontrak GAS beberapa pabrik pupuk yang dimulai tahun 2005
dan memperbaharui dengan kontrak GAS baru dan harga GAS baru yang lebih tinggi
menyebabkan pabrik pupuk mengalami kerugian dengan modus subsidi harga melalui
insentif GAS. Oleh karena itu, dengan persetujuan DPR, mulai bulan November 2006,
pemerintah menerapkan subsidi harga (bukan insentif GAS) untuk pupuk urea. Dengan
demikian sejak November 2006 modus ssubsidi pupuk kembali seperti tahun 1998.
Salah satu dampak kebaijakan tersebut adalah kebutuhan dana subsidi pupuk melonjak
tajam, Kalau pada tahun 2005 sebesar Rp 2.6 trilliun, maka pada atahun 2007 dengan
volume yang sama meningkat menjadi sekitar Rp 5.8 trilliun.
Walaupun subsidi mengalami peningkatan yang sangat signifikan, namun HET
yang dijanjikan oleh produsen tidak pernah dinikmati petani. Padahal tangung jawab
distribusi pupuk bersubsidi telah diserahkan kepada produsen. Apabila terjadi
14
peningkatan harga sebesar Rp 200 di atas HET, maka petani mensubsidi produsen
sebagai penanggung jawab distribusi pupuk sebesar Rp 1 trilliun lebih. Dengan
demikian, selain produsen memperoleh subsidi dari pemerintah, produsen juga
menerima subsidi dari petani. Kondisi ini menunjukkan adanya in-efisiensi dan in-
efektivitas pemberian subsisi pupuk. Oleh karena itu, perlu dilakukan kaji ulang seluruh
kebiajakn modus subsidi pupuk untuk mendapatkan rancang bangun modus subsidi
yang mampu mengefisienskan dan mengefektifkan subsidi itu sendiri.
4.1.2.Sistem Distribusi : Terbuka vs Tertutup
Periode 1070-1998
Sejak awal berproduksi, pada Bulan Oktober 1963 sampai dengan tahun 1967,
PT Pusri hanya sebagai produsen, sedangkan PT Pertani sebagai pembeli tunggal yang
memasarkan kepada konsumen. Pada tahun 1968-1969, pembayaran dari PT Pertani
mengalami kemacetan, sejak itu PT Pusri mulai memasarkan sendiri dengan
menggunakan jasa perusahaan-perusahaan tertentu (CV Tulus Karya, FA Taman Sari,
CV Tiga Daya dan CV Toyamas).
Tahun 1970, Unit Pemasaran PT Pusri dibentuk dengan fungsinya
mendistribusikan dan menyalurkan sarana produksi pertanian. Tahun 1970-1971, mulai
dibentuk KPW di beberapa propinsi antara lain Jatim, Jateng, Jabar, Sumsel, Sumut dan
Sulsel. Pembentukan ini berhubungan dengan ditetapkannya PT Pusri sebagai
distributor/ importir pupuk TSP dan Urea untuk memenuhi program BIMAS/INMAS
tanaman pangan sesuai surat Mentan/Ketua BP.Bimas No.380/KP/UM/7/70 tanggal 17
Juli 1970 bersama-sama dengan importir/distributor lainnya yaitu PN Pertamina, PT
Panca Niaga, PT Cipta Niaga, PT Intrada, PT Lamtoro Agung dan PT Jaya NIaga. PT
Pusri diharuskan bertanggungjawab atas kelancaran penyediaan pupuk.
Berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor : 56/KP/II/1979 tanggal 15 Februari
1979, PT Pusri ditunjuk sebagai Distributor Nasional untuk seluruh jenis pupuk
bersubsidi (Urea, TSP, & DAP). Fungsinya mendistribusikan dan menyalurkan pupuk
bersubsidi baik produksi dalam negeri maupun impor untuk kebutuhan sektor pertanian
sampai Lini IV. Dalam perjalanan waktu, jenis pupuk ditambah dengan pupuk ZA, KCl,
ZK, KS, KNO3 dan SP-36. Pelaksanaan atas SK Menteri Perdagangan dan Koperasi
Nomor : 56/KP/II/1979 diatur lebih rinci dalam Surat Keputusan No.
004/Dagri/Kp/II/1979.
15
Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.91/KP/III/83 mengatur
tentang Ketentuan Pengadaan dan Penyaluran Pupuk serta Pestisida untuk Sektor
BIMAS dan non BIMAS. Penyaluran pupuk Urea, TSP, DAP, KCl, ZA yang berasal dari
produsen dalam negeri maupun impor untuk kebutuhan BIMAS/INMAS dan non BIMAS
merupakan tanggung jawab PT Pusri, sedangkan KUD/PUSKUD ditunjuk sebagai
penyalur dari Lini III ke Lini IV mulai MT 1983.
SK Menteri Perdagangan No.1075/KP/VIII/84 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk dan Pestisida Bersubsidi. PT Pusri masih bertanggung jawab dalam
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Prioritas penyalur yang ditunjuk oleh PT
Pusri adalah Koperasi, Persero Niaga, dan Swasta. Jika penyalur tersebut tidak dapat
SK Menteri Perdagangan No. 61/KP/2/1988 tentang Pengadaan dan Penyaluran
Pupuk dan Pestisida Bersubsidi. Penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini III ke Lini IV
dilakukan oleh KUD Penyalur yang ditunjuk oleh PT Pusri. Keputusan Bersama Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi No.
03/DAGRI/KP/II/1988 dan No. 60/BUK/SKB/II/1988 tanggal 29 Februari 1988 tentang
Pelaksanaan Keputusan Menteri Perdagangan No. 61/KP/II/1988 mengenai Pengadaan
dan Penyaluran Pupuk dan Pestisida Bersubsidi. KUD penyalur untuk pupuk dan
pestisida bersubsidi adalah KUD yang telah mendapat rekomendasi dari Direktur
Jenderal Bina Usaha Koperasi/Pejabat yang ditunjuk.
SK Menteri Perdagangan No. 60/KP/IV/1989 tanggal 01 April 1989 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi. Pupuk bersubsidi digunakan untuk
keperluan Intensifikasi dan Non Intensifikasi. Pengadaan dan penyaluran pupuk
bersubsidi dari dalam negeri dari Lini I maupun impor dari Lini II sampai dengan Lini IV,
menjadi tanggung jawab PT Pusri. Dalam hal penyaluran pupuk dari Lini III ke Lini IV,
dilakukan oleh KUD penyalur. Pelaksanaan dari SK No. 60/KP/IV/1989 diatur dalam
Surat Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dan Direktur
Jenderal Bina Usaha Koperasi Nomor : 02/DAGRI/KP/IV/1989 dan No
117/SKB/BUK/IV/1989. Melalui Keputusan Pemerintah No. 831/KMK.016/1993 tanggal
16 Oktober 1993 jenis pupuk KCl, KS, ZK dan KNO3 tidak disubsidi lagi oleh
Pemerintah. Melalui Keputusan No. 495/KMK.016/1994 tanggal 08 Oktober 1994,
dinyatakan bahwa jenis pupuk ZA dan TSP/SP-36 tidak disubsidi lagi oleh Pemerintah.
16
SK Menteri Perdagangan No. 182/KP/VIII/95 tentang Pengadaan dan
Penyaluran Pupuk untuk Tanaman Pangan. SK ini mencabut Keputusan Menteri
Perdagangan No. 60/KP/IV/1989 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi.
Pupuk yang diatur adalah Urea, TSP/SP-36 dan ZA. PT Pusri bertanggung jawab
terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk urea, sedangkan PT Petrokimia Gresik
bertanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk TSP/SP-36 dan ZA, mulai
dari Lini I sampai Lini IV. PT Pusri dan PT Petrokimia Gresik bekerjasama dengan
produsen/importir pupuk dalam pengadaan dan penyaluran pupuk tersebut.
SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 38/MPP/Kep/3/96 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk untuk Sektor Pertanian. Tanggung jawab atas
pengadaan dan penyaluran pupuk Urea, SP-36/TSP dan ZA dari Lini I sampai dengan
IV untuk Sub Sektor Tanaman Pangan dilaksanakan oleh PT Pusri. KUD penyalur
ditunjuk oleh PT Pusri, sedangkan KUD pengecer dan pengecer ditunjuk oleh KUD
penyalur dengan persetujuan PT Pusri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28/1997 tanggal 07 Agustus 1997
dibentuk holding BUMN pupuk yang terdiri dari PT Pusri, PT Pupuk Iskandar Muda (PT
PIM), PT Pupuk Kujang, PT Petrokimia Gresik dan PT Pupuk Kaltim. Kegiatan distribusi
dan pemasaran pupuk tetap dilaksanakan oleh PT Pusri.
Melalui Keputusan Pemerintah No. 207/KMK.016/1998 tanggal 09 April 1998,
disebutkan bahwa jenis pupuk ZA dan SP-36 untuk sektor pertanian disubsidi lagi oleh
pemerintah. SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 378/MPP/Kep/8/1998
tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk untuk Sektor Pertanian. Pupuk bersubsidi
(urea, SP-36, ZA dan KCl) untuk tanaman pangan, perikanan, peternakan dan
perkebunan rakyat merupakan barang dalam pengawasan. PT Pusri sebagai pelaksana
dan penanggung jawab atas pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi dari Lini I
sampai IV. Produsen pupuk wajib mencantumkan tulisan "Bersubsidi" pada sisi depan
kantong pupuk.
Selama periode 1970-1998, sistim distribusi pupuk bersubsidi bersifat tertutup.
Distribusi pupuk dari lini I dan lini IV menjadi tanggung jawab produsen, termasuk KUD
sebagai mitra pengecer di lini IV. Petani dalam membeli pupuk diwajibkan berkelompok
dan menebus pupuk sesuai dengan kebutuhan pupuk yang tertuang dalam RDKK
(Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Pupuk yang disalurkan oleh KUD dan mitra
swasta produsen yang menjadi pengecer tidak boleh disalurkan di luar peruntukannya.
Namun demikian karena adanya perbedaan harga antara harga pupuk bersubsidi untuk
17
pangan vs harga pupuk non susbsidi untuk perkebuanan besar, dan harga pupuk
bersubsidi untuk pangan vs harga dunia, sering terjadi penjualan pupuk subsidi ke
perkebunan besar, dan penyelundupan ekspor. Inilah persoalan kebocoran distribusi
yang belum dapat diselesaikan.
Periode 1999 - 2000
Melalui media elektronik pada tanggal 01 Desember 1998, Menteri Pertanian RI
mengumumkan bahwa tata niaga pupuk tidak diatur lagi dan subsidi pupuk dihapuskan.
Namun melalui Keputusan Pemerintah No. 26/MPP/Kep/1999 tanggal 14 Januari 1999,
PT Pusri masih ditunjuk sebagai penanggung jawab pengadaan dan penyaluran serta
ketersediaan stok pupuk urea, SP-36/TSP, ZA dan KCl bagi petani tanaman pangan di
daerah-daerah yang sulit dijangkau sesuai Ketetapan Menteri Pertanian. Tambahan
biaya distribusi dimintakan kepada Menteri Keuangan. PT Pusri (holding) masih
mengambil posisi berkepihakan pada kepentingan petani.
Periode 2000- 2006
Untuk membantu pabrik pupuk urea agar dapat berproduksi secara
berkesinambungan, pemerintah memberikan fasilitas IGD (Insentif Gas Domestik)
kepada PT Pusri, PT Pupuk Kaltim, dan PT Pupuk Kujang melalui Surat Menteri
Keuangan nomor : S-588/MK.017/2000 tanggal 24 November 2000 dan Surat No. S-
650/MK.017/2000 tanggal 26 Desember 2000. Harga gas yang menjadi beban PT Pusri
(Pusri IB, II, III, dan IV), PT Pupuk Kaltim atas konsumsi gas tambahan (volume melebihi
kontrak) pada Kaltim I, II dan III serta PT Pupuk Kujang adalah sebesar US$ 1,3 per
MMBTU.
Pemerintah mengatur kembali tata niaga pupuk urea melalui keputusan
Menperindag Nomor : 93/MPP/Kep/3/2001 tanggal 14 Maret 2001 tentang pengadaan
dan penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian. Penyaluran pupuk urea untuk
tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan rakyat dilaksanakan oleh unit
niaga PT Pusri, produsen, distributor dan pengecer. SK ini juga memuat tentang
persyaratan sebagai distributor.
Surat Keputusan (SK) Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari
2003 telah mengatur kembali pola Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk
Sektor Pertanian, yaitu dengan pola rayonisasi distribusi pupuk bagi produsen pupuk.
Dalam hal ini, Menperindag menetapkan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) bertanggung
jawab terhadap distribusi pupuk urea ke Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan
18
Sumatera Utara. PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) bertanggung jawab atas distribusi pupuk
ke Propinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, dan Kalimantan Barat.
Sedangkan PT Pupuk Kujang mendistribusikan ke Propinsi Jawa Barat dan PT
Petrokimia Gresik (Petrogres) ke Propinsi Jawa Timur. Sementara PT Pupuk Kaltim
(PKT) mendistribusikannya ke Propinsi Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
Kemudian menyusul Surat Keputusan No. 306/MPP/Kep/4/2003 yang mengatur
tentang perubahan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No
70/MPP/Kep/2/2003 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor
Pertanian. SK ini mengatur tentang syarat-syarat bagi importir serta tatacara pengadaan
pupuk bersubsidi dan non subsidi melalui impor.
Dalam rangka lebih meningkatkan kelancaran pengadaan dan pendistribusian
pupuk bersubsidi, maka Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan nomor :
356/MPP/Kep/5/2004 tanggal 27 Mei 2004 yang menegaskan kembali tanggung jawab
masing-masing Produsen, Distributor, Pengecer serta pengawasan terhadap
pelaksanaannya dilapangan.
Sistem distribusi pupuk disempurnakan lagi melalui Permendag No 03/M-
DAG/PER/2/2006, tanggal 16 Pebruari 2006, dimana kelompok tani dapat membeli
langsung kepada distributor di lini III, dan kelemahan sistem distribusi ini dibanding
sistem distribusi nomor : 356/MPP/Kep/5/2004 adalah produsen tidak bertanggung
jawab penuh atas sistem distribusi dari Lni I sampai Lini IV, tetapi ditanggung bersama
distributor dan pengecer. Apabila kejadian kenaikan harga dan langkanya pasokan
terjadi di Lini II, maka yang bertanggung jawab adalah produsen, bila terjadi di Lini III
yang bertanggung jawab adalah distributor, dan bila terjadi di lini IV yang bertanggung
jawab adalah pengecer. Namun sistem distribusi berdasarkan Permendag No 03/M-
DAG/PER/2/2006 sudah bersifat semi tertutup. Dengan demikian, selama periode
2001 – 2006 sistem distribusi pupuk sedang menuju sistim tertutup.
19
4.2. Evaluasi Modus Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani
4.2.1. Jenis Pupuk yang Digunakan Petani, Tingkat Partisipasi, dan Tingkat Penggunaannya per HektarJenis pupuk yang digunakan petani di provinsi-provinsi lokasi penelitian meliputi
Urea, SP-36, ZA, NPK dan KCL. Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk
adalah bervariasi menurut jenis pupuk. Tingkat partisipasi tertinggi ditunjukkan dalam
penggunaan urea (98,60 %), selanjutnya berturut-turut diikuti oleh SP-36 (73 %), NPK
(41,10 %), ZA (33,34 %) dan tingkat partisipasi terendah ditunjukkan dalam penggunaan
KCL (28,67 %) (Tabel Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa dalam berusahatani
petani secara umum lebih mengandalkan pupuk urea dalam meningkatkan produktivitas.
Seperti halnya tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk, tingkat
penggunaan pupuk per hektar juga bervariasi menurut jenis pupuk. Tingkat
pengggunaan tertinggi ditunjukkan dalam penggunaan urea (209,32 kg per hektar),
selanjutnya berturut-turut diikuti oleh NPK (111,77 kg per hektar), SP-36 (85,82 kg per
hektar), KCL (51,27 kg per hektar), dan tingkat penggunaan terendah ditunjukkan dalam
penggunaan ZA (49,41 kg per hektar) (Tabel Lampiran 1).
Dalam pembelian pupuk ada 2 (dua) cara pembayaran yang dilakukan
responden, yaitu bayar secara tunai dan bayar setelah panen (yarnen). Diantara dua
cara pembayaran ini, bayar secara tunai relatif lebih banyak dilakukan responden
daripada bayar setelah panen baik dalam pembelian pupuk urea, SP-36, ZA, NPK
maupun KCL. Proporsi cara pembayaran dalam pembelian setiap jenis pupuk adalah
sebagai berikut: urea (62,05 % tunai dan 37,95 % yarnen), SP-36 (59,91 % tunai dan
40,10 % yarnen), ZA (67,67 % tunai dan 32,26 % yarnen), NPK (64,27 % tunai dan
35,73 % yarnen), dan KCL (55,36 % tunai dan 44,04 % yarnen). Secara umum harga
beli secara yarnen relatif lebih mahal daripada harga beli secara tunai (Tabel Lampiran
1). Masih relatif tingginya proporsi responden yang melakukan pembayaran setelah
panen (yarnen) dalam pembelian pupuk mengindikasikan bahwa harga pupuk
bersubsidi masih dianggap mahal ditinjau dari segi daya beli mereka.
Secara umum pangsa nilai pupuk urea, SP-36, ZA, NPK dan KCL terhadap biaya
total tunai dengan sewa lahan adalah 16,22 persen, sedangkan terhadap biaya total
tunai tanpa sewa lahan adalah 18,24 persen. Angka pangsa ini adalah relatif tinggi.
Setiap kali HET dinaikkan atau besaran subsidi pupuk per satuan berat diturunkan maka
pangsa nilai pupuk terhadap biaya total tunai dengan maupun tanpa sewa lahan juga
akan meningkat. Dengan perkataan lain kenaikan HET atau penurunan besaran subsidi
20
pupuk per satuan berat akan meningkatkan beban petani khususnya yang berskala kecil
dalam menanggung biaya usahatani.
4.2.2. Evaluasi Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Di Tingkat Petani
Kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi sistem distribusi pupuk bersubsidi di
tingkat petani adalah terpenuhi tidaknya azas 6 tepat (harga, tempat, waktu, jumlah,
kualitas, dan jenis) dalam distribusi pupuk bersubsidi di tingkat petani. Dalam hubungan
ini tepat harga didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh
petani secara kontandi tingkat pengecer/kios resmi per saknya sama dengan harga
eceran tertinggi (HET). Tepat tempat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana pupuk
tersedia di dekat/di sekitar rumah.lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian
pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa. Tepat waktu didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Hal
ini didasarkan jawaban subyektif petani. Tepat jumlah/dosis didefinisikan sebagai suatu
kondisi dimana jumlah/dosis pupuk yang dibutuhkan petani terpenuhi yang diindikasikan
oleh terpenuhinya dosis rekomendasi atau terpenuhinya dosis kebiasaan petani. Tepat
jenis didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana jenis-jenis pupuk yang dibutuhkan
petani tersedia. Sementara itu tepat mutu didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana
mutu pupuk yang dukehendaki oleh petani terpenuhi.
Karena jenis-jenis pupuk yang secara resmi direkomendasikan oleh pemerintah
untuk digunakan oleh petani adalah urea, SP-36, ZA, NPK dan KCL maka apabila
responden di provinsi lokasi penelitian menggunakan jenis-jenis pupuk tersebut maka
dianggap bahwa tepat jenis dalam distribusi pupuk di tingkat petani telah terwujud.
Demikian pula karena sulit mencari variabel yang dapat digunakan untuk mengukur
kualitas pupuk yang didistribusikan ke petani, maka kita harus percaya bahwa pupuk
yang didistribusikan ke petani oleh BUMN telah memiliki kualitas sesuai dengan yang
dibutuhkan petani. Berdasarkan pertimbangan ini, dari 6 tepat hanya 4 tepat yang akan
dijadikan kriteria dalam mengevaluasi sistem distribusi pupuk di tingkat petani, yaitu:
tepat harga, tepat tempat, tepat waktu dan tepat jumlah/dosis.
Perlu diketahui bahwa sistem subsidi maupun sistem distribusi berpengaruh
terhadap terpenuhinya azas 6 tepat dalam distribusi pupuk di tingkat petani. Hal ini
secara jelas diilustrasikan pada Gambar 4.1. Sistem subsidi mencakup antara lain
modus subsidi (ke pabrik vs ke petani), penerima subsidi (semua skala usahatani vs
usahatani berskala tertentu), dan besarnya dana subsidi (terbatas vs tidak terbatas).
SistemSubsidi
Modus Subsidi(ke pabrik vs ke
petani)
Penerima Subsidi
(semua skala usahatani vs
usahatani berskala tertentu
Dana Subsidi(terbatas vs
tidak terbatas)
Dampak yang muncul a.l:
Volume pupuk bersubsidi terbatas
Disparitas harga antar skala usahatani
Disparitas harga pupuk domestik dan harga pupuk internasio- nal
Azas 6 tepat dalam distribusi pupuk:
tepat harga
tepat waktu
tepat tempat
tepat jumlah
tepat jenis
tepat kualitas
Sistem Distribusi
Sifat sistem(pasif/terbuka
vs aktif/tertutup)
Perilaku Pelaku
Distribusi(menyimpang
atau tidak)
Peraturan distribusi yg
berlaku(mengandung
kelemahan atau tidak
HET yang berlaku
(realistis atau tidak)
Dampak yang muncul a.l:Semua pihak bisa beli pupuk bersubsidi
Harga beli petani diatas HET
Penjualan pupuk bersubsidi keluar wilayah kerja
Produsen tidak peduli thd penya- luran oleh distributor dari lini III ke lini IV
Gambar 4.1. Pengaruh sistem subsidi dan sistem distribusi terhadap terpenuhinya azas 6 tepat dalam distribusi pupuk
22
Ketiga aspek ini akan menimbulkan dampak antara lain dalam bentuk: volume pupuk
bersubsidi terbatas, terjadi disparitas harga pupuk antar skala usahatani, dan terjadi disparitas
harga pupuk domestik dan harga pupuk internasional. Semua dampak ini akan berpengaruh
terhadap terpenuhinya azas 6 tepat dalam distribusi pupuk di tingkat petani. Sementara itu
sistem distribusi mencakup antara lain sifat sistem (pasif/terbuka vs aktif/tertutup), pelaku
distribusi (berperilaku menyimpang atau tidak), peraturan distribusi yang berlaku
(mengandung kelemahan atau tidak) dan HET yang berlaku (realistis atau tidak). Keempat
aspek ini akan menimbulkan dampak antara lain dalam bentuk: semua pihak bisa beli pupuk
bersubsidi, harga beli petani diatas HET, penjualan pupuk bersubsidi keluar wilayah kerja, dan
produsen tidak peduli terhadap penyaluran pupuk oleh distributor dari lini III ke lini IV. Semua
dampak ini akan berpengaruh terhadap terpenuhinya azas 6 tepat dalam distribusi pupuk di
tingkat petani. Jadi jelaslah bahwa baik sistem subsidi maupun sistem distribusi berpengaruh
terhadap terpenuhinya azas 6 tepat dalam distribusi pupuk ditingkat petani.
Pada kesempatan ini hasil evaluasi yang ditampilkan hanyalah hasil evaluasi di tingkat
petani. Perlu diketahui bahwa evaluasi sistem distribusi pupuk bersubsidi dapat dilakukan
baik di tingkat produsen, distributor, pengecer/kios maupun kelompok tani. Hal ini karena
pihak-pihak tersebut terlibat dalam distribusi pupuk bersubsidi sebagaimana ditunjukkan oleh
Gambar 4.2. Dari Gambar 4.2 nampak jelas bahwa kinerja 6 tepat di tingkat produsen akan
berpengaruh terhadap kinerja 6 tepat di tingkat distributor. Selanjutnya kinerja 6 tepat di
tingkat distributor akan berpengaruh terhadap kinerja 6 tepat di tingkat pengecer/kios. Dan
pada gilirannya kinerja 6 tepat di tingkat pengecer/kios akan berpengaruh terhadap kinerja 6
tepat di tingkat kelompok tani dan atau petani. Namun harus disadari bahwa apabila kinerja 6
tepat di tingkat produsen, distributor maupun pengecer/kios tidak baik maka yang paling
dirugikan adalah petani. Hal inilah yang menjadi pertimbangan mengapa hasil evaluasi yang
ditampilkan hanyalah hasil evaluasi di tingkat petani.
Dari segi ketepatan harga, boleh dikatakan bahwa secara umum azas tepat harga
tidak terpenuhi dalam distribusi pupuk di tingkat petani. Hal ini karena lebih dari separuh
responden menyatakan bahwa harga beli mereka untuk pupuk urea, SP-36, ZA, maupun NPK
lebih tinggi daripada HET. Rata-rata persentase responden yang menyatakan bahwa harga
beli mereka lebih tinggi daripada HET untuk masing-masing jenis pupuk adalah sebagai
berikut: urea (51,35%), SP-36 (70,17%), ZA (69,99%), dan NPK (66,52%) (Tabel Lampiran
2). Dari segi ketepatan tempat, dapat dikemukakan
23
LINI ILOKASI PRODUSEN PUPUK
GUDANG LINI II(KANTOR PERWAKILAN PRODUSEN
Di Provinsi Lokasi penelitian)
GUDANG LINI III(Tingkat Kabupaten)
GUDANG DISTRIBUTOR
PENGECER/KIOS
PETANI KELOMPOK TANI
Gambar2. Jalur distribusi pupuk urea bersubsidi di provinsi-provinsi lokasi penelitian
24
bahwa secara umum azas tepat tempat terpenuhi dalam distribusi pupuk di tingkat petani. Hal
ini karena lebih dari separuh responden menyatakan bahwa lokasi pembelian pupuk mereka
adalah di dalam desa. Rata-rata persentase responden yang menyatakan bahwa lokasi
pembelian adalah di dalam desa untuk masing-masing jenis pupuk adalah sebagai berikut:
urea (77,72%), SP-36 (74,47%), ZA (84,17 %), dan NPK (72,79 %) (Tabel Lampiran 3).
Sementara itu, dari segi ketepatan waktu, dapat disebutkan bahwa secara umum azas tepat
waktu terpenuhi dalam distribusi pupuk di tingkat petani. Hal ini karena lebih separuh dari
responden menyatakan bahwa pupukcara fisik tersedia pada saat dibutuhkan. Rata-rata
presentase responden yang menyatakan bahwa pupuk tersedia pada saat dibutuhkan untuk
masing-masing jenis pupuk adalah sebagai berikut: urea (74,40%), SP-36 (67,07), dan ZA
(81,94%) (Tabel Lampiran 4).
Terpenuhinya azas tepat tempat dan tepat waktu dalam distribusi pupuk di tingkat
petani nampaknya membuat sebagian besar responden puas terhadap sistem distribusi
pupuk yang berlaku saat ini. Hal ini ditunjukkan oleh sekitar 78,98 persen responden
menyatakan puas terhadap distribusi pupuk yang berlaku saat ini (Tabel Lampiran 5). Data
ini sudah barang tentu dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bahwa sistem
distribusi yang berlaku saat ini tidak perlu diganti. Alasan utama bagi sebagian besar
responden menyatakan puas terhadap distribusi pupuk yang berlaku saat ini adalah karena
pupuk mudah diperoleh pada saat dibutuhkan. Perlu dikemukakan bahwa prinsip yang dianut
sebagian besar petani adalah bahwa harga lebih tinggi daripada HET tidak masalah, yang
penting pupuk tersedia pada saat dibutuhkan.
Yang menarik untuk dikemukakan bahwa masih ada sebagian kecil petani yang tidak
mengetahui bahwa harga pupuk disubsidi. Hal ini ditunjukkan oleh sekitar 22,42 persen
responden tidak mengetahui kalau ada subsidi pupuk (Tabel Lampiran 5). Bagi responden
yang mengetahui ada subsidi pupuk, sebagian besar dari mereka hanya tahu ada subsidi
harga pupuk, tetapi mereka tidak mengetahui berapa besar subsidinya
Akhirnya dapat diungkapkan bahwa seluruh responden masih menghendaki agar
harga pupuk tetap disubsidi. Bahkan sekitar 45,18 persen responden menghendaki agar
subsidi harga untuk jenis pupuk urea, SP-36, ZA maupun NPK tetap dipertahankan (Tabel
Lampiran 6). Alasan responden tentang masih perlunya harga pupuk disubsidi adalah
beragam. Namun alasan yang paling banyak disuarakan responden adalah bahwa modal
petani terbatas.
25
4.2.3. Evaluasi Modus Subsidi
Pada Tabel Lampiran 7 ditampilkan opini responden tentang modus subsidi
di provinsi-provinsi lokasi penelitian. Dari tabel lampiran tersebut dapat ditunjukkan bahwa
sebagian besar responden (85,40 persen) menyatakan cocok dengan modus subsidi yang
berlaku saat ini. Konsisten dengan pernyataan ini, sebagian besar responden (78,14 persen)
juga menyatakan memilih subsidi lewat pabrik (modus subsidi yang berlaku saat ini) daripada
memilih subsidi langsung kepada petani (modus subsidi lewat voucher). Data ini sudah barang
tentu dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk memutuskan bahwa modus
subsidi yang berlaku saat ini tidak perlu diganti.
V. KESIMPULAN
Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk urea adalah relatif tinggi (98,60%),
sedangkan tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk non-urea adalah relatif rendah
(28,67 % - 73,04 %). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam berusahatani padi petani secara
umum lebih mengandalkan pupuk urea dalam meningkatkan produktivitas.
Proporsi responden yang melakukan pembayaran setelah panen (yarnen) dalam
pembelian pupuk masih relatif tinggi (32,26 % - 44,04%). Hal ini mengindikasikan bahwa
harga pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini masih dianggap mahal ditinjau dari segi daya
beli petani.
Pangsa nilai pupuk urea, SP-36, ZA, NPK dan KCL terhadap biaya total tunai dengan
maupun tanpa sewa lahan adalah relatif tinggi (16,22 % - 18,24 %). Angka yang relatif tinggi
ini ini mengindikasikan bahwa kenaikan HET atau penurunan besaran subsidi pupuk per
satuan berat akan meningkatkan beban petani padi khususnya yang berskala kecil dalam
menanggung biaya usahatani.
Sebagian besar responden (78,98 %) menyatakan puas terhadap sistem distribusi
pupuk yang berlaku saat ini. Data ini sudah barang tentu dapat dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan bahwa sistem distribusi yang berlaku saat ini tidak perlu diganti.
Sebagian besar responden (85,40 persen) menyatakan cocok dengan modus subsidi
yang berlaku saat ini. Konsisten dengan pernyataan ini, sebagian besar responden (78,14
persen) juga menyatakan memilih subsidi lewat pabrik (modus subsidi yang berlaku saat ini)
daripada memilih subsidi langsung kepada petani (modus subsidi lewat voucher). Data ini
sudah barang tentu dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk memutuskan
bahwa modus subsidi yang berlaku saat ini tidak perlu diganti.
26
DAFTAR PUSTAKA
Pasaribu, B. 2006. Sistem Distribusi Pupuk Yang Berkerakyatan. Makalah dalam Seminar Membangun Sistem Distribusi Pupuk Yang Efisien dan Berkeadilan. Jakarta, 16 Pebruari 2006.
Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk Kepada Petani dalam Isu Kontemporer Kebijakan Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. PSE-KP, Bogor.
Simatupang, P., et.al. 2004. Analisis Kelayakan Pengalihan Subsidi Pupuk Menjadi Penjaminan Harga Gabah: Subsidi Input vs Output. Memorandum Pertimbangan dan Rekomendasi Kebijakan (Tidak Dipublikasikan).
Syafa’at, N., et.al. 2006. Analisis Besaran Subsidi Pupuk dan Pola Distribusinya. Laporan Penelitian. PSE-KP, Bogor.
Yusdja, Y., et. al. 2005. Kajian Sistem Distribusi Pupuk dan Usulan Penyempurnaannya: Kasus di Tiga Propinsi di Jawa. Laporan Penelitian. PSE-KP, Bogor.
27
Tabel Lampiran 1. Jenis pupuk yang digunakan responden, tingkat partisipasi, tingkat penggunaan per hektar, dan pangsanya terhadap biaya total tunai di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007
ResponUraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Tingkat partisipasi dalam penggunaan pupuk (%):
a. Ureab. SP-36c. ZAd. NPKe. KCL
93,0067,0043,0037,0040,00
100,0071,4064,3050,0028,60
100,0082,766,8934,4837,93
100,0070,37
-62,96
-
100,0073,6852,5321,0536,84
98,6073,0433,3441,1028,67
2. Tingkat penggunaan pupuk per hektar (kg):
a. Ureab. SP-36c. ZAd. NPKe. KCL
260,15106,0467,9376,2975,53
113,0076,9061,0055,4028,00
248,58116,0656,25167,1772,88
232,0063,30
-141,25
-
192,8666,7961,85
118,7579,93
209,3285,8249,41
111,7751,27
3. Cara pembayaran dalam pembelian pupuk dan harganya:
a. Urea(1)Tunai (%)/Harga(Rp/kg)(2)Yarnen (%)/Harga (Rp/kg)
b. SP-36 (1)Tunai (%)/Harga (Rp/kg) (2)Yarnen (%)/Harga (Rp/kg) c. ZA (1)Tunai (%)/Harga (Rp/kg) (2)Yarnen (%)/Harga (Rp/kg) d. NPK (1)Tunai (%)/Harga (Rp/kg) (2) Yarnen (%)/Harga Rp/kg) e. KCL (1) Tunai (%)/Harga (Rp/kg)
(2) Yarnen (%)/Harga (Rp/kg)
56,67/130043,33/1300
66,67/156033,33/1600
64,29/110035,71/1100
64,29/170035,71/1900
60,00/240040,00/2400
90,90/12009,10/1300
90,00/155010,00/1800
66,67/105033,33/1050
88,90/180011,10/2000
50,00/300050,00/3000
36,00/123664,00/1246
26,32/178073,68/1838
100,00/1050-
16,67/200083,33/2000
40,00/190060,00/2125
74,07/122025,93/1200
73,68/159426,32/1587
--
76,47/179623,53/1800
--
52,63/120047,37/1314
42,86/147557,14/1793
40,00/110060,00/1525
75,00/175025,00/1750
71,43/170028,57/2500
62,05/123137,95/1272
59,91/159240,10/1724
67,67/107532,26/1225
64,27/180935,73/1890
55,36/157544,04/2506
4. Pangsa nilai pupuk terhadap biaya total tunai (%):
a. Dengan sewa lahanb. Tanpa sewa lahan
13,1815,50
9,4011,09
11,2116,17
20,7721,43
26,5227,00
16,2218,24
28
Tabel Lampiran 2. Persepsi responden tentang tepat harga dalam distribusi pupuk di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007
Respon (%)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Urea a. Lebih tinggi daripada HET b. Sesuai dengan HET c. Lebih rendah HET
86,67
13,33-
26,40
63,60-
72,00
28,00-
33,33
66,67-
38,33
43,3318,33
51,35
42,993,67
2.SP-36 a. Lebih tinggi daripada HET b. Sesuai dengan HET c. Lebih rendah HET
85,71
14,29-
70,00
30,00-
84,00
16,00-
66,16
36,84-
45,00
55,00-
70,17
30,43-
3.ZA a. Lebih tinggi daripada HET b. Sesuai dengan HET c. Lebih rendah HET
92,86
7,14-
57,10
42,90-
-
--
-
--
60,00
40,00-
69,99
30,01-
4.NPK a. Lebih tinggi daripada HET b. Sesuai dengan HET c. Lebih rendah HET
71,43
28,57-
100,00
--
20,00
80,00-
41,18
58,82-
100,00
--
66,52
33,48-
Definisi : tepat harga dalam distribusi pupuk di tingkat petani adalah suatu kondisi dimana harga pembelian pupuk oleh petani secara kontan di tingkat pengecer/kios resmi per saknya sama dengan HET
Tabel Lampiran 3. Persepsi responden tentang tepat tempat dalam distribusi pupuk di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007
Respon (%)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Urea a. Di dalam desa b. Di luar desa
86,6713,33
100,00-
76,6723,33
77,7822,22
47,5052,50
77,7222,28
2.SP-36 a. Di dalam desa b. Di luar desa
90,909,10
100,00-
52,5047,50
78,9521,05
50,0050,00
74,4725,53
3.ZA a. Di dalam desa b. Di luar desa
86,6713,30
100,00-
100,00-
--
50,0050,00
84,1715,83
4.NPK a. Di dalam desa b. Di luar desa
85,7114,29
100,00-
40,0060,00
88,2411,76
50,0050,00
72,7927,21
Definisi: tepat tempat dalam distribusi pupuk di tingkat petani adalah suatu kondisi dimana pupuk tersedia di dekat/di sekitar rumah/lahan petani yang diindikasikan dengan pembelian pupuk oleh petani dilakukan di kios di dalam desa
29
Tabel Lampiran 4. Persepsi responden tentang tepat waktu dalam distribusi pupuk di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007
Respon (%)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Urea a. Tepat b. Tidak tepat
90,489,52
64,2935,71
94,445,56
77,7822,22
55,0045,00
76,4023,60
2.SP-36 a. Tepat b. Tidak tepat
100,00-
70,0030,00
66,6733,33
73,6826,32
25,0075,00
67,0732,93
3.ZA a. Tepat b. Tidak tepat
100,00-
77,7722,22
100,00-
--
50,0050,00
81,9418,05
4.NPK a. Tepat b. Tidak tepat
--
--
--
--
--
--
Definisi:tepat waktu dalam distribusi pupuk di tingkat petani adalah suatu kondisi dimana pupuk secara fisik tersedia pada saat dibutuhkan oleh petani. Hal ini didasarkan jawaban subyektif petani
Tabel Lampiran 5. Opini responden tentang sistem distribusi pupuk yang berlaku di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007.
Respon %)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Kepuasan terhadap sistem distribusi pupuk yang berlaku:
a. Puasb. Tidak puas
86,6713,30
100,00-
86,6713,33
74,0725,93
47,5052,50
78,9821,02
2. Alasan puas terhadap sistem distribusi pupuk:
a. Pupuk sulit dicarib. Harga pupuk mahalc. Aturan penebusan rumitd. Lainnya
---
100,00
---
100,00
---
100,00
---
100,00
---
100,00
----
3. Pengetahuan tentang adanya subsidi pupuk:
a. Tahub. Tidak tahu
73,3026,67
85,7014,30
60,0040,00
88,8911,11
80,0020,00
77,5822,42
4. Pengetahuan tentang harga pupuk bersubsidi:
a. Tahu ada subsidi pupuk, tetapi tidak tahu berapa besarnya subsidi
b. Tahu berapa besarnya subsidi
c. Tahu marjin pemasaran Pupuk bersubsidi
d. Lainnya
78,26
17,39
-
4,30
80,00
20,00
-
-
57,14
28,57
-
14,29
62,50
29,17
-
8,33
65,00
20
-
15
-
-
-
-
30
Tabel Lampiran 6. Opini responden tentang jenis pupuk yang masih perlu disubsidi di provinsi-provinsi lokasi penelitian, 2007.
Respon (%)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Jenis pupuk yang masih perlu disubsidi:
a.Semua jenis pupuk (Urea, SP-36, ZA, dan NPK)b. Urea sajac.SP-36 sajad. ZA sajae.NPK sajaf. Lainnya
37,00
----
63,00
50,00
----
50,00
33,33
----
66,67
55,56
11,11---
33,33
50,00
----
50,0
45,18
2,22---
52,60
2. Alasan pupuk masih perlu disubsidi: a. Modal petani terbatas b. Harga output rendah c.Tingkat kebutuhan pupuk tinggi d.Harga input lain tinggi e. Lainnya
46,88-
31,25-
21,88
-----
52,00-
20,004,0024,00
37,0011,113,703,7048,15
55,00-
15,0010,0015,00
-----
31
Tabel Lampiran 7. Opini responden tentang modus subsidi di provinsi- provinsi lokasi penelitian, 2007.
Respon (%)Uraian Sumatera
UtaraSumatera
BaratJawaBarat
KalimantanSelatan
SulawesiSelatan
Rata-rata
1.Kecocokan terhadap modus subsidi yang berlaku:
a. Cocokb. Tidak cocok
86,6713,33
100,00-
82,7617,24
92,597,40
65,0035,00
85,4014,59
2. Alasan ketidakcocokan dengan modus subsidi yang berlaku:
a. Banyak terjadi kelangkaanb. Harga pupuk mahalc. Aturan penebusan rumitd. Hanya menguntungkan
pedagang dan produsene. Lainnya
16,67-
8,38,3
66,67
----
-
37,7012,30
--
50,00
50,00---
50,00
25,00---
75,00
----
-
3. Preferensi terhadap pilihan berikut ini:
a. Memilih subsidi lewat pabrik (modus subsidi yang berlaku)
b. Memilih subsidi langsung kepada petani (modus subsidilewat voucher)
86,67
13,33
75,00
25,00
71,43
28,57
92,59
7,40
65,00
35,00
78,1421,86
4. Alasan memilih subsidi lewat pabrik (modus subsidi yang berlaku): a.Pembagian kupon tidak adil,
potensi konflik besarb.Jumlah kupon terbatasc.Kupon bisa diperjualbelikand.Pengurusan kupon rumite.Kebutuhan pupuk tinggif.Kebutuhan pupuk rendahg.Harga lebih murahh.Harga terkesan mahali.Pupuk mudah diperolehj.Pupuk relative sulit diperolehk.Lainnya
30,00
15,0020,0015,00
-5,00
----
15,00
66,67
8,3025,00
--------
42,86
9,52-
9,524,76
-4,764,7614,29
-9,52
-
-20-------
44
55,00
-25,0020,00
-------
-
----------
5. Alasan memilih subsidi langsung lepada petani (modus subsidi lewat voucher): a.Pembagian kupon tidak adil, potensi konflik besar
b.Jumlah kupon terbatasc.Kupon bisa diperjualbelikand.Pengurusan kupon rumite.Kebutuhan pupuk tinggif.Kebutuhan pupuk rendahg.Harga lebih murahh.Harga terkesan mahali.Pupuk mudah diperolehj.Pupuk relative sulit diperoleh