Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi odontogen adalah infeksi yang berasal atau bersumber dari dalam gigi. Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Ariji et. al.2002). Beberapa infeksi odontogen merupakan infeksi sekunder dipicu oleh infeksi pada jaringan sekitarnya rongga mulut, seperti kulit, tonsil, telinga, atau sinus (Fehrenbach & Herring, 1997). Infeksi odontogen bisa melalui tiga jalur, yaitu jalur karies, yang menyebabkan nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal, jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempurna. (Daud & Karasutisna, 2001). 1
68

Makalah SCL BM Bahasan 2

Nov 24, 2015

Download

Documents

Choirul Umam
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi odontogen adalah infeksi yang berasal atau bersumber dari dalam gigi. Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negative. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Ariji et. al.2002). Beberapa infeksi odontogen merupakan infeksi sekunder dipicu oleh infeksi pada jaringan sekitarnya rongga mulut, seperti kulit, tonsil, telinga, atau sinus (Fehrenbach & Herring, 1997).

Infeksi odontogen bisa melalui tiga jalur, yaitu jalur karies, yang menyebabkan nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal, jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempurna. (Daud & Karasutisna, 2001).Sementara itu, penyebaran infeksi odontogen dapat secara perkontinuatum, hematogen dan limfogen, penyebabnya antara lain periodontitis apikalis dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan yaitu melalui penghantaran patogen yang berasal dari luar rongga mulut, melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus, dan melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal. Penyebaran infeksi odontogen ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang bermacam-macam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000).Infeksi odontogen dapat berlanjut dan berkembang pada spasia-spasia wajah. Penyakit odontogen yang sering berlanjut menjadi infeksi spasia wajah adalah abses periapikal. Pus dari abses periapikal yang mengandung bakteri akan keluar dari apeks gigi dengan cara menembus tulang dan ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah spasia-spasia wajah. Gigi mana yang terkena abses periapikal ini kemudian yang akan menentukan jenis dari spasia wajah yang terkena infeksi. Selain mengarah ke spasia wajah, pola penyebaran infeksi odontogen pada rahang atas juga dapat menyebar ke arah sinus maksilaris yang dapat menyebabkan sinusitis maksilaris.Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain dengan mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai, drainase secara bedah dari infeksi yang ada, menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi dan evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi spasia wajah, prinsipnya sama dengan perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif (Soemartono, 2000). Perawatan harus diperhatikan pada daerah infeksi agar tidak terjadi kontaminasi, seperti pada bekas ekstraksi gigi atau tempat pemasangan implant. Perawatan gigi nonbedah seperti restorasi dan terapi debridement periodontal dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi, termasuk menghilangkan akumulasi plak. Pada beberapa pasien dengan penyakit tertentu mungkin memerlukan premedikasi dengan antibiotik sebelum dilakukan perawatan gigi untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih serius pada penyakit tersebut (Fehrenbach & Herring, 1997).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah:

a. Bagaimana patofisiologi infeksi odontogen?

b. Bagaimana pola penyebaran infeksi odontogen?

c. Bagaimana patofisiologi penyakit akibat penyebaran infeksi odontogen?

d. Bagaimana penatalaksanaan penyebaran infeksi odontogen?

1.3 Tujuan a. Menjelaskan patofisiologi infeksi odontogen?

b. Menjelaskan pola penyebaran infeksi odontogen?

c. Menjelaskan patofisiologi penyakit akibat penyebaran infeksi odontogen?

d. Menjelaskan penatalaksanaan penyebaran infeksi odontogen?

1.4 Manfaat

a. Mengetahui patofisiologi infeksi odontogen?

b. Mengetahui pola penyebaran infeksi odontogen?

c. Mengetahui patofisiologi penyakit akibat penyebaran infeksi odontogen?

d. Mengetahui penatalaksanaan penyebaran infeksi odontogen?

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi OdontogenikInfeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang mengalami gangguan.

Fistula

Bakteremie-Septikemie

Selulitis

Acute-Chronic

Infeksi SpasiumPeriapikal Infection

yang dalam

Abses intra oral

Osteomielitis Ke spasium yang lebihAtau jaringan lunak-kutis

tinggi infeksi serebral

Gambar 2.1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik (Topazian, 2002)Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke sisi wajah lain.2.1.1 Klasifikasi Infeksi odontogenika. Berdasarkan organisme penyebab Infeksi Bakteri

Virus

Parasit

Mikotikb. Berdasarkan Jaringan Odontogenik

Non-odontogenik

c. Berdasarkan lokasi masuknya Pulpa

Periodontal

Perikoronal

Fraktur

Tumor

Oportunistik

d. Berdasarkan tinjauan klinis Akut

Kronik

e. Berdasarkan spasium yang terkena Spasium kaninus Spasium bukal

Spasium infratemporal

Spasium submental

Spasium sublingual

Spasium submandibula

Spasium masseter

Spasium pterigomandibular

Spasium temporal

Spasium Faringeal lateral

Spasium retrofaringeal

Spasium prevertebral2.1.2 Faktor-faktor yang berperan terjadinya infeksia. Virulensi dan Quantity

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan dua faktor yaitu virulensi dan quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. Sedangkan Quantity adalah jumlah dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.b. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya dapat menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat.c. Pertahanan HumoralMekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit. Imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma yang merupakan perkembangan dari limfosit B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 % terdiri dari Ig G merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. Ig A sejumlah 12 % merupakan imunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat ditemukan pada membran mukosa. Ig M merupakan 7 % dari imunoglobulin yang merupakan pertahanan terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama berperan pada reaksi hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini belum diketahui.Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya, merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan harus di aktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang penting adalah yang pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran kedua adalah proses kemotaksis oleh polimorfonuklear leukosit yang dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah proses opsonisasi, untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan fagositosis. Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih untuk merusak dinding sel bakteri.d. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan bermigrasi e daerah invasi bakteri dengan proses kemotaksis. Sel-sel ini melakukan respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya pendek, dan hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil bakteri. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis, pembunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi kronis.Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi dari limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan berdifernsiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance (pertahanan terhadap tumor).2.1.3 Tahapan InfeksiInfeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka menjalani resolusi: a. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan adonannya konsisten.b. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.c. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan bakteri.2.1.4 PatogenesisPenyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.2.1.5 Macam-macam Infeksi odontogenikMacam-macam infeksi odontogenik dapat berupa : infeksi dentoalveolar, infeksi periodontal, infeksi yang menyangkut spasium, selulitis, flegmon, osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi lebih lanjut.

2.1.6 Tanda dan Gejalaa. Adanya respon InflamasiRespon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat disimpulkan dalam beberapa tanda :1) Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran darah pada vena.

2) Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.

3) Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah luka.

4) Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding lesi. 5) Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya

6) Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

b. Adanya gejala infeksiGejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.c. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase.

2.2 Abses OdontogenikAbses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang berdinding tebal, manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan, dan kerusakan jaringan setempat.Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi. Kehadiran abses dentoalveolar sering dikaitkan dengan kerusakan yang relatif cepat dari alveolar tulang yang mendukung gigi. Jumlah dan rute penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta penyebab virulensi organisme.2.2.1 Macam-macam Abses Odontogenika. Abses periapikalAbses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia).

Gambar 2.2 : Abses periapikal

b. Abses subperiostealGejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan (Malik, 2011).c. Abses submukosaAbses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi (Malik, 2011).

Gambar 2.3 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi didaerah bukal.

b. Tampakan klinis Abses Submukosa

d. Abses fosa kaninaFosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah (Malik, 2011).

Gambar 2.4 : a. Ilustrasi abses Fossa kanina

b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina

e. Abses spasium bukalSpasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal. Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan (Malik, 2011).f. Abses spasium infratemporalAbses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal (Malik, 2011).

a

bGambar 2.5 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal

b. Tampakan klinis

g. Abses spasium submasseterSpasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.

Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan (Malik, 2011).h. Abses spasium submandibulaSpasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula (Malik, 2011) . a

bGambar 2.6: a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerahsubmandibular di bawah muskulus mylohyoid

b. Tampakan klinisi. Abses sublingualSpasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.

Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit (Malik, 2011).

a b

Gambar 2.7 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual

b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi

lidah ke arah berlawanan j. Abses spasium submentalSpasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah belakang ((Malik, 2011).

a

b

Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental b. Tampakan klinis

k. Abses spasium parafaringealSpasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.

Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai mediastinuim (Malik, 2011).

2.2.2 Penatalaksanaan Abses OdontogenikPerawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara lokal/sitemik. Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan terapi pendukung. Walaupun kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana apabila diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakterimia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi (perawatan) yang dilakukan. Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan (purulensi), yang bisa dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses mempunyai dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranestesi bisa menunjukkan adanya fluktuasi yang merupakan bukti adanya pernanahan (Fragiskos, 2007).

Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi bisa diperiksa/dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila interdental atau operkulum. Pada daerah tersebut biasanya juga terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing yang dapat mendukung proses infeksi.Alat dan bahan yang digunakan antara lain:a. Jarum 18 atau 20 gauge

b. Spoit disposibel 3ml

2.2.2.1 Insisi dan DrainaseAbses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal maupun periapikal, dirawat secara lokal yaitu insisi dan drainase, maka anestesi yang dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk melanjutkan tindakan ini. Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang paling bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi. Seperti pada pembuatan flap, biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi yang terlalu kecil. Insisi yang agak lebih besar mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang dipakai adalah suatu selang karet dan di pertahankan pada posisinya dengan jahitan.

Gambar 2.8 : Ilustrasi gambar untuk insisi Abses

Gambar 2.9 : Ilustrasi gambar setelah dilakukan insisi Abses2.2.2.2 Perawatan PendukungPasien diberi resep antibiotik (Penicillin atau erythromycin) dan obat-obatan analgesik (kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu di tekankan kepada pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat, onsentrasinya 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilaukan paling tidak seiap selesai makan. Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, trismus/disfagia.2.3 Pola Penyebaran Infeksi Odontogen

2.3.1 Perkontinuatum

Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan dan tubuh. Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (per kontinuitatum), pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe (limfogen). Penjalaran yang paling sering terjadi adalah secara per kontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m.mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal (Mansjoer, 2000)

Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas jaringan dan spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini. Pertama, nanah terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus (Gambar 4), (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.10. Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess)tergantung pada posisi apeks gigi penyebab. (A) Akar bukal : arah penyebaran ke bukal. (B) Akar palatal : arah penyebarannya ke palatal. (Fragiskos, 2007).Inflamasi purulen berhubungan dengan tulang alveolar yang dekat dengan puncak bukal atau labial tulang alveolar biasanya akan menyebar ke arah bukal, sedangkan tulang alveolar yang dekat puncak palatal atau lingual, maka penyebaran pus ke arah palatal atau ke lingual (Fragiskos, 2007).Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang atas dianggap bertanggung jawab atas penyebaran nanah ke arah palatal, sedangkan molar ketiga mandibula dan kadang-kadang dua molar mandibula dianggap bertanggung jawab atas penyebaran infeksi ke arah lingual. Inflamasi bahkan bisa menyebar ke sinus maksilaris ketika puncak apeks gigi posterior ditemukan di dalam atau dekat dasar antrum. Panjang akar dan hubungan antara puncak dan perlekatan proksimal dan distal berbagai otot juga memainkan peranan penting dalam penyebaran pus. Berdasarkan hal ini (Gambar 2.9), pus di mandibula yang berasal dari puncak akar di atas otot mylohyoid dan biasanya menyebar secara intraoral, terutama ke arah dasar mulut. Ketika puncak ditemukan di bawah otot mylohyoid (molar kedua dan ketiga), pus menyebar ke ruang submandibular dan terjadi pembengkakan ekstraoral (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.11. Penyebaran Pus. (Fragiskos, 2007).Pada fase selular, tergantung pada rute dan tempat inokulasi dari pus, abses dentoalveolar akut mungkin memiliki berbagai gambaran klinis, seperti: (1) intraalveolar, (2) subperiosteal, (3) submukosa, (4), subkutan, dan (5)fascia migratory cervicofacial(Gambar 6 dan 7). Pada tahap awal fase selular ditandai dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar yang disebut sebgai abses intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang menyebar ke ruang subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal, dimana pus dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal. Setelah terjadi perforasi periosteum, pus kemudian menyebar ke berbagai arah melalui jaringan lunak. Biasanya menyebar pada daerah intraoral membentuk abses di bawah mukosa, yang disebut abses submukosa. Terkadang, pus menyebar melalui jaringan ikat longgar dan setelah itu terakumulasi di bawah kulit, bentukan ini disebut abses subkutan. Sedangkan di waktu lainnya, pus menyebar ke ruang fascia, membentuk abses serous yang disebut abses spasia wajah (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.12. Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses intraalveolar (B) Abses superiosteal (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.13. Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses submukosa (B) Abses subkutan (Fragiskos, 2007).

Penyebaran infeksi odontogen pada jaringan lunak dapat berupa abses. Abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosit hidup dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi. Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000). Vestibular abses merupakan salah satu abses pada jariangan lunak. Vestibular abses merupakan penyebaran infeksi dari daerah apikal gigi hingga buccal space. Ruangan buccal yang terlibat dalam penyebaran infeksi tersebut dibatasi oleh oleh otot buccinator dan buccipharyngeal fascia di bagian medial, bagian lateral dibatasi oleh kulit pipi, bagian anterior dibatasi oleh otot bibir, bagian posterior dibatasi oleh pterygomandibular raphe, bagian superior berbatas dengan zygomatic arch, dan bagian inferior berbatasan dengan mandibula (Peterson, 2003).

Vestibular abses ini dapat terjadi karena penyebaran infeksi odontogen melalui apikal gigi. Gigi karies yang menalami profunda perforasi mengandung jaringan nekrotik pada jaringan pulpanya. Jaringan nekrotik yang berasal dari pulpa menyebar sampai ke tulang cancellous melalui apikal gigi dan menyebar hingga cortical plate. Jika cortical plate tersebut tipis, maka jaringan nekrotik yang menyebar hingga cortical plate tersebut dapat mengikis tulang alveolar secara perlahan lahan, sehingga menyebar sampai ke jaringan lunak . Lokasi penyebaran infeksi tersebut hingga ke jaringan lunak dapat diprediksikan berdasarkan bentuk anatomi dan ciri masing masing gigi, ketebalan tulang daerah apeks, dan hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada maksila dan mandibula. Infeksi pada perapikal gigi akan menembus korteks tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak yang meliputinya melewati tulang dengan ketebalan paling rendah. Bila apeks akar gigi yang bersangkutan lebih dekat dengan tulang labial (labial plate) maka pus akan menyebabkan vestibular abscess di bagian labial gigi tersebut. Sebaliknya jika akar gigi lebih dekat dengan permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess (Hupp, et all., 2008).

Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada tulang rahang, utamanya yaitu musculus buccinator pada maksila dan mandibula, dan musculus mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal dan di bawah perlrkatan musculus buccinator maka akan terjadi vestibular abscess (submucous abscess). Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umumnya menjalar ke arah labial atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya ekstrem, akar palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat menyebabkan abses di daerah palatal (palatal abscess). Penjalaran infeksi ke labial atau bukal selanjutnya dapat menjadi vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi dan tempat pelekatan otot-otot pada maksila yaitu musculus buccinators dan musculus levator anguli oris. Di rahang bawah infeksi periapikal dari gigi-gigi insisif, kaninus, dan premolar pada umumnya akan merusak korteks di labial atau buccal plate sehingga menjadi vestibular abses. Infeksi pada gigi molar pertama bias mengarah baik ke bukal atau ke lingual, demikian pula gigi molar kedua bisa ke arah bukal atau lingual tetapi biasanya lebih banyak ke arah lingual, sedangkan infeksi periapikal gigi molar ketiga hampir selalu mengarah ke lingual (Hupps, et all., 2008).

Secara klinis, gejala yang tampak pada daerah intra oral berupa warnanya yang kemerahan, buccal fold terangkat, pada palpasi terasa sakit dan fluktuatif, perkusi terasa sakit, terdapat gigi gangrene yang memberikan respon sakit pada tes perkusi dan tekan. Abses ini dapat pecah secara spontan dan membentuk drainase berupa fistel intra oral, tempat keluarnya nanah ke rongga mulut, sehingga tanda-tanda infeksi akut mereda. Bila fistel ini tertutup maka infeksi menjadi kambuh dengan tanda-tanda akut kembali.Sedangkan pada daerah ekstra oral berupa bengkak yang diffuse dan kelenjar limfe regional membesar (Peterson, 2003).2.3.2 Per Limfogen

Sistem limfatik adalah suatu sistem sirkulasi sekunder yang terdiri atas anyaman pembuluh limfe yang luas dan berhubungan dengan kelompok kecil jaringan limfatik yaitu kelenjar getah bening (lymph node). Dalam tubuhnya manusia memiliki 500 kelenjar getah bening yang tersebar di seluruh tubuh, berdasarkan letaknya kelenjar getah bening dapat dibedakan menjadi 7 kelompok kelenjar getah bening, yaitu:

a. Cervical lymph nodes terletak pada bagian kepala dan leher. Yang terbagi lagi menjadi enam kelenjar getah bening.

b. Axillary lymph nodes - terletak pada daerah ketiak yang dibagi menjadi dua macam kelenjar getah bening, yaitu superficial lymph nodes dan deep lymph nodes.

c. Supraclavicular lymph nodes terletak di sepanjang tungan clavicula (tulang selangka).

d. Femoral lymph nodes - terletak pada bagian paha atas, sepanjang vena femoralis.

e. Mesenteric lymph nodes - terletak pada perut bagian bawah.

f. Mediastinal lymph nodes - terletak di antara kantung-kantung udara pada paru-paru

g. Inguinal lymph nodes terletak pada daerah selangkangan.Cervical lymph nodes atau kelenjar getah bening kepala dan leher dibagi menjadi 7 level kelenjar getah bening yang berfungsi untuk membantu menjelasnya perjalan penyebaran infeksi melalui kelenjar getah bening. 7 level cervical lymph nodes, yaitu (Topazian et al, 2002) :

a. Level I

:Submental dan submandibular nodesb. Level II:Upper cervical chain nodesc. Level III:Middle deep cervical chain nodes d. Level IV:Lower deep cervical chain nodes e. Level V:Spinal accessory dan transverse cervical chain nodesf. Level VI:Pretracheal, paratracheal, dan prelaryngeal nodes

g. Level VII: Upper mediastinal nodes.

Limfe adalah cairan jaringan yang masuk ke dalam pembuluh limfe. Pembuluh limfe berbentuk seperti tasbih karena mempunyai banyak katup sepanjang perjalanannya.Pembuluh limfe dimulai dari: kapiler limfe pembuluh limfe kecil pembuluh limfe besar masuk ke aliran darah. Limfe sebelum masuk ke aliran darah, melalui satu atau banyak kelenjar limfe. Pembuluh limfe aferen adalah pembuluh limfe yang membawa limfe masuk ke kelenjar limfe. Pembuluh limfe eferen adalah pembuluh limfe yang membawa limfe keluar dari kelenjar limfe. (Scribd, 2012)

Limfe masuk aliran darah pada pangkal leher melalui: Ductus Lymphaticus dexter dan Ductus Thoracicus (Ductus Lymphaticus sinister). Sistem saluran limfe berhubungan erat dengan sistem sirkulasi darah. Darah meninggalkan jantung melalui arteri dan dikembalikan ke jantung melalui vena. Sebagian cairan darah yang meninggalkan sirkulasi dikembalikan masuk pembuluh darah melalui saluran limfe, yang merembes dalam ruang-ruang jaringan. Hampir seluruh jaringan tubuh mempunyai saluran limfatik yang mengalirkan kelebihan cairan secara langsung dari ruang interstitial. Beberapa pengecualian antara lain bagian permukaan kulit, sistem saraf pusat, bagian dalam dari saraf perifer,endomisium otot, dan tulang. Limfe mirip dengan plasma tetapi dengan kadar protein yanglebih kecil. Kelenjar limfe menambahkan limfosit pada limfe sehingga jumlah sel itu sangat besar di dalam saluran limfe. (Scribd, 2012)

Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat imun (antibodi) untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme. Kelenjar limfe dapat meradang (bengkak, merah dan sakit), proses ini disebut lymphadenitis. Sedangkan adanya infeksi pada pembuluh limfe disebut lymphangitis. (Scribd, 2012)

Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada rongga mulut kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional (Bazemore A dan Smucker DR, 2002). Sistem limfatik yang terdapat pada kepala dan leher memungkinkan penyebaran infeksi yang berasal dari gigi dan jaringan mulut di sekitarnya menuju jaringan atau organ lainnya. Hal ini disebabkan karena bakteri patogen dapat berjalan melalui pembuluh limfe yang terdapat di sekitar rongga mulut dan saling berhubungan satu sama lain dengan kelenjar getah bening lainnya yang terdapat pada jaringan atau organ lain. Oleh karena itu bakteri patogen dapat menyebar dari primary node yang berada di dekat infeksi ke secondary node yang berada jauh dari tempat infeksi. Pola penyebaran infeksi odontogen melalui kelenjar getah bening bervariasi tergantung gigi yang terlibat. (Fehrenbach et al, 1997).

Bakteri patogen yang terdapat pada gigi insisif rahang bawah menyebar melalui submental nodes yang melayani gigi insisif rahang bawah dan jaringan disekitarnya, kemudian melewati submandibular nodes yang melayani seluruh gigi dalam rongga mulut dan jaringan di sekitarnya, kecuali gigi insisif rahang atas dan molar ketiga rahang atas. Atau juga dapat langsung menuju deep cervical nodes. Bakteri patogen yang berasal dari gigi-gigi yang dilayani oleh submandibular nodes akan terbawa oleh aliran limfatik menuju superior deep cervical nodes, superior deep cervical nodes merupakan kelenjar primer yang melayani molar ketiga rahang atas dan jaringan disekitarnya. Setelah dari superior deep cervical nodes bakteri patogen dapat terbawa dahulu menuju inferior deep cervical nodes ataupun langsung menuju vena jugularis, hal ini disebabkan karena superior deep cervical nodes beranastomosis dengan vena jugularis. Setelah masuk pada sistem pembuluh darah maka bakteri patogen dapat menyebar ke seluruh jaringan dan organ (Fehrenbach et al, 1997).

Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang atas. Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut: Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya (Ferrer R, 1998).

Kelenjar getah bening yang terlibat dalam infeksi mengalami lymphadenopathy, yaitu pembesaran kelenjar getah bening (Topazian et al, 2002). Kadang kadang kulit diatasnya teraba merah dan hangat (Peters TR dan Edwards KM, 2000). Lymphadenopathy bisa merupakan efek dari infeksi odontogen. Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak, kulit sekitar berwarna merah, edema pada jaringan yang terinfeksi. Pada infeksi kronis, pembesaran dan kepadatan jaringan tergantung pada derajat inflamasi. Pada umumnya jaringan lunak dan edema pada kulit sekitar jarang terjadi. Lokasi pembesaran nodul merupakan indikasi lokasi infeksi. Ketika organ yang terinfeksi melakukan mekanisme pertahanan lokal pada nodul dan memproduksi reaksi seluler akan terjadi akumulasi pus pada nodul. Akumulasi pus ini bisa terjadi pada single nodes atau multiple nodes. (Topazian et al, 2002).

Gambar 2.14 Cervical nodes (Bazemore A dan Smucker DR, 2002).

Gambar 2.15 Lymph nodes head and neck (Alford, Bobby R. 2003)

Infeksi odontogenik sangat umum dan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan jika tidak dikenali dan diobati dengan tepat. Pembentukan abses dan penyebaran Infeksi dalam ruang leher fasia dapat menyebabkan mengarahkan tekanan pada saluran udara bagian atas. Dalam mengelola pasien septik pertimbangan pertama adalah untuk berusaha untuk mengidentifikasi dan menghilangkan sumber infeksi. Ketika telah diindikasikan, drainase bedah dan debridemen harus dilakukan segera. Antibiotik empiris harus dimulai sedini mungkin, cukup luas dalam spectrum untuk menutupi organisme menginfeksi mungkin, dan mampu menembus ke lokasi infeksi. Penelitian telah menunjukkan bahwa dimulainya terapi antibiotik intravena dalam jam pertama setelah pengakuan sepsis sangat penting untuk mengurangi kemungkinan komplikasi (Handley, T, 2009).2.3.3 Hematogen

Infeksi odontogenik kebanyakan bermula dari infeksi yang berasal dari jaringan pulpa. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi pulpa dan nekrosis. Pulpa gigi biasanya dilindungi dari infeksi oleh mikroorganisme mulut dengan enamel dan dentin. Pertahanan ini dapat diinvasi bakteri ke daerah pulpa atau periapikal. Hal ini dapat terjadi melalui rongga yang disebabkan oleh karies gigi, trauma, atau prosedur gigi, melalui tubulus dentin yang terbuka atau karies, pada penyakit periodontal dari celah gingiva dan invasi sepanjang membran periodontal, perluasan infeksi periapikal dari gigi yang berdekatan yang terinfeksi atau melalui aliran darah selama bakteremia. (Edgar,2007)Bakteri yang berpotensi dalam virulensi dapat bermigrasi dari saluran akar ke daerah apikal. Produk-produk kimia dari pulpa juga memiliki peran patogenik dalam penanggulangan peradangan. Sebagai abses berlangsung, jaringan lebih mungkin terlibat, serta gigi yang berdekatan, tekanan dari akumulasi nanah dapat menghasilkan saluran sinus ke permukaan kulit atau rongga mulut atau hidung. (Edgar,2007)

Rute yang paling penting dari invasi pulpa adalah melalui tubulus dentin karies. Ini dapat terjadi bahkan sebelum pulpa terkena langsung ke lingkungan mulut oleh kavitas. Bakteri yang menginvasi dentin sebelum kavitasi sebagian besar adalah fakultatif anaerob dan termasuk streptococci , staphylococci , lactobacilli , dan microorganisms lainnya. (Edgar,2007)

Setelah pulpa menjadi nekrosis, bakteri dapat berlanjutan melalui jaringan saluran akar nekrotik , dan peradangan (periodontitis apikal) terus berkembang di daerah periapikal. (Xiojing et.al, 2000)

Organisme yang mendominasi pada tahap infeksi awal adalah Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan peptostreptococci. Namun, mikroorganisme utama yang menyebabkan pulpitis sulit untuk menentukan karena kesulitan teknis terkait dengan mendapatkan sampel darikultur, dan karena waktu yang tepat dari infeksi awal sulit untuk dipastikan. (Xiojing et.al, 2000)

Sebagaimana dinyatakan di atas, penyebaran mikroorganisme mulut ke dalam aliran darah adalah umum, dan kurang dari 1 menit setelah prosedur oral, organisme dari situs yang terinfeksi mungkin telah mencapai jantung, paru-paru, dan sistem kapiler darah tepi. (Page,1998)

Tiga mekanisme atau jalur yang menghubungkan infeksi oral untuk efek sistemik sekunder telah diusulkan. Ini adalah penyebaran metastasis infeksi dari rongga mulut sebagai akibat bakteremia transien, cedera metastasis dari efek beredar racun mikroba oral, dan peradangan metastasis disebabkan oleh cedera imunologi yang disebabkan oleh mikroorganisme oral. (Page,1998)

Mikroorganisme yang mendapatkan pintu masuk ke darah dan beredar ke seluruh tubuh biasanya dieliminasi oleh sistem retikuloendotelial dalam beberapa menit (bakteremia transien) dan sebagai aturan menyebabkan tidak ada gejala klinis selain mungkin sedikit peningkatan suhu tubuh. Namun, jika mikroorganisme disebarkan menemukan kondisi yang menguntungkan, mereka dapat menetap di situs tertentu dan, setelah jeda waktu tertentu, mulai berkembang biak. (Moore dan Moore,2000)

Beberapa bakteri gram positif dan gram negatif memiliki kemampuan untuk memproduksi protein diffusible, atau exotoxins, yang meliputi enzim cytolytic dan racun dimer dengan subunit A dan B. Exotoxin memiliki tindakan farmakologis tertentu dan dianggap sebagai racun yang paling kuat dan mematikan. Sebaliknya, endotoksin merupakan bagian dari membran luar dibebaskan setelah kematian sel. Endotoksin adalah komposisinya sebuah lipopolisakarida (LPS) yang ketika diperkenalkan ke dalam host, menimbulkan sejumlah besar manifestasi patologis. LPS adalah dari batang gram negatif periodontal selama pertumbuhan mereka in vivo. (Moore dan Moore,2000)Antigen larut dapat memasuki aliran darah, bereaksi dengan sirkulasi antibodi spesifik, dan membentuk kompleks makromolekul. Immunocomplexes ini dapat menimbulkan berbagai reaksi inflamasi akut dan kronis di lokasi pengendapan. (Genco,1998)

Bakteri oral seperti Streptococcus sanguis dan Porphyromonas gingivalis menginduksi agregasi platelet, yang mengarah ke pembentukan trombus. Organisme ini memiliki molekul kolagen-seperti, protein agregasi platelet - terkait, di permukaan mereka. Ketika S. sanguis disuntikkan intravena ke kelinci, serangan seperti jantung serangkaian peristiwa terjadi. Mungkin, antibodi reaktif terhadap organisme periodontal melokalisasi di jantung dan memicu aktivasi komplemen, serangkaian peristiwa yang menyebabkan sel T peka dan terjadi penyakit jantung. (Genco,1998)

Endokarditis infektif adalah infeksi bakteri pada katup jantung atau endotelium jantung. Hal ini terjadi ketika bakteri di aliran darah pada katup jantung yang abnormal atau jaringan jantung yang rusak. Endokarditis jarang terjadi pada orang dengan hati yang normal. Namun, orang yang memiliki cacat jantung yang sudah ada tertentu berada pada risiko untuk mengembangkan endokarditis saat bakteremia terjadi. (Drangsholt,1998)

Endokarditis infektif adalah penyakit sistemik yang serius dan sering fatal yang telah dikaitkan dengan penyakit gigi dan pengobatannya. Ada lebih dari 1.000 laporan kasus bergaul prosedur gigi atau penyakit dengan timbulnya endokarditis. (Drangsholt,1998)

Mikroorganisme dapat menginfeksi saluran pernapasan bagian bawah oleh empat rute yaitu: aspirasi isi orofaringeal, menghirup aerosol menular, penyebaran infeksi dari situs berdekatan, dan menyebar hematogen dari situs luar paru dari infeksi . Pneumonia dapat disebabkan oleh infeksi oleh bakteri anaerob. Plak gigi akan tampak menjadi sumber logis dari bakteri ini, terutama pada pasien dengan penyakit periodontal. Pasien seperti pelabuhan sejumlah besar bakteri subgingiva, spesies terutama anaerobik. Di antara spesies bakteri mulut terlibat dalam pneumonia adalah A. actinomycetemcomitans, Actinomyces israelii, Capnocytophaga spp ., Eikenella corrodens, Prevotella intermedia, dan Streptococcus constellatus (Boon dan Fox, 1995).Infeksi mulut juga tampaknya meningkatkan risiko untuk atau berkontribusi untuk berat badan lahir rendah pada bayi baru lahir. Berat badan lahir rendah, didefinisikan sebagai berat lahir < 2.500 g, merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di kedua negara maju dan berkembang. Selama kehamilan, rasio spesies bakteri gram negatif anaerob dan aerob untuk spesies peningkatan plak gigi pada trimester kedua. (Kornman dan Loeschhe,1980) Bakteri gram-negatif yang terkait dengan penyakit progresif dapat menghasilkan berbagai molekul bioaktif yang secara langsung dapat mempengaruhi tuan rumah. (Dasanayake,1998) Salah satu komponen mikroba, LPS, dapat mengaktifkan makrofag dan sel-sel lain untuk mensintesis dan mensekresi beragam molekul, termasuk sitokin IL-1, TNF , IL-6, dan PGE2 dan matriks metalloproteinase. Jika mediator ini menginvasi ke dalam sirkulasi umum dan melintasi penghalang plasenta, mereka bisa menambah tingkat fisiologis PGE2 dan TNF- dalam cairan ketuban dan induksi persalinan prematur (Breslau et. al., 1996).BAB 3

KONSEPUAL MAPPING3.1 Grand Mapping

3.2 Konseptual Mapping Skenario 3

3.3 Konsepual Mapping Skenario 4

3.4 Konseptual Mapping Skenario 5

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Analisis Skenario 3

Pada kasus 3 dijelaskan bahwa penderita wanita 25 tahun datang dengan keluhan bengkak pada pipi kiri sejak 3 hari yang lalu. Sejak 1 tahun sebelumnya ada geraham kiri bawah yang berlubang dan ditambal. Gigi tersebut sejak 2 minggu yang lalu terasa sakit apabila digunakan untuk mengunyah. Pada pemeriksaan klinis didapatkan pembengkakan pada pipi kiri tidak berbatas jelas, warna agak kemerahan, pada palpasi teraba agak padat dan didapatkan nyeri tekan. Kelenjar submandibularis kiri teraba, padat, nyeri pada tekanan. Pemeriksaan inttra oral tidak menunjukkan pembengkakan jaringan lunak, hanya terdapat kemerahan pada vestibulum oris regio 35,36,dan 37. Tampak gigi 36 dengan tumpatan kelas 1 pada mahkota, pada pemeriksaan perkusi dan druk timbul rasa nyeri. Penderita diberikan resep obat antibiotik dan analgesik oleh dokter gigi yang memeriksa, tetapi penderita tidak meminum obatnya secara teratur. Tiga hari kemudian pasien datang kembali untuk kontrol. Pembengkakan pada pipi tampak lebih besar dan teraba lebih padat, pada pemeriksaan intraoral tampak pembengkakan pada vestibulum oris dan terdapat fluktuasi. Pada foto panoramik tampak gambaran radiolusen pada periapikal gigi 36.

Tanda tanda dari infeksi adalah adanya 5 gejala, yaitu dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsio lesa. Berdassarkan kasus diatas pasien mengalami infeksi odontogen yang disebabakan oleh karies sekunder. Yang berperan dalam tempat masuknya infeksi atau biasa disebut dengan port de entry adalah karies sekunder yang berasal dari gigi 36 akibat dari tambalan yang kurang sempurna. Banyak hal yang dapat menyebabkan karies sekunder, diantaranya karena tambalan yang tidak adekuat, kebocoran atau mikroleage, atau dari oral hygiene yang jelek. Karies sekunder yang terjadi terkadang bersifat asimtomatik sehingga pasien tidak akan terasa nyeri. Sehingga penjalaran infeksi berjalan tanpa terasa sakit hingga menembus dentin dan mengenai pulpa. Apabila infeksi pada pulpa tidak ditangani maka akan menyebabkan nekrosis pulpa. Nekrosis pulpa ini akan berlanjut sampai ke periapikal. Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat. Bakteri yang terkumpul pada saluran pulpa tersebut akan mengeluarkan toksin toksin yang dapat merusak jaringan, oleh karena itu tubuh mengeluarkan sistem pertahanan seluler berupa makrofag dan sitokin lain untuk merusak bakteri dan toksinnya. Apabila host dalam kondisi tidak sehat, maka bakteri akan terus mengeluarkan toksinnya. Eksudat eksudat ini akan berkumul dan membentuk pus. Pus yang terkumpul di periapikal disebut dengan abses periapikal.

Setelah dari abses periapikal penyebaran infeksi akan masuk menembus korteks tulang dan terjadi periostitis. Serous periostitis adalah keradangan akut pada periosteum tulang rahang karena infeksi periapikal telah menembus korteks tulang. Keradangan yang terjadi berupa cairan serous diantara korteks dan periosteum, belum terbentuk nanah. Gejala subjektifnya berupa rasa sakit selama 1-3 hari disertai pembengkakan. Pemeriksaan extra oral tampak pembengkakan merata, warna agak kemerahan, palpasi peningkatan suhu dan sakit. Pemeriksaan intra oral tampak peninggian buccal fold tapi tidak ada fluktuasi.Pencabutan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang berbahaya. Perawatan ditujukan pada tindakan yang dapat meredakan infeksi akut yaitu open bur disertai dengann ekstirpasi saluran akar, pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan bila tanda radang sudah reda. Pemberian antibiotik sesuai dengan dengan indikasi.

Berdasarkan kasus dijelaskan bahwa penderita hanya diberikan antibiotik dan analgesik, maka penyebaran infeksi hanya bisa di perlambat. Hal ini juga diperparah dengan penggunaan obat yang tidak teratur akibatnya infeksi akan terus berlanjut.Infeksi yang semakin parah akan menjadi superiostitis abses. Superiostitis abses merupakan kelanjutan dari seruos periostitis dimana pus sudah terbentuk dan terkumpul di bawah periosteum. Periosteum adalah jaringan ikat yang tipis dan tegang, maka dengan terkumpulnya pus dibawahnya akan timbul rasa sakit yang sangat dan biasanya periosteum akan pecah dalam waktu singkat. Oleh karena itu secara klinis periosteal abses jarang dijumpai.

Setelah ini perluasan infeksi akan menembus korteks dan periosteum tulang. Penyebaran infeksi pada gigi molar bawah dapat menyebar ke arah lingual atau ke arah bukal. Penyebaran ditentukan oleh faktor ketebalan tulang dan posisi akar. Pada gigi molar bawah cenderung lebih melakukan penjalaran ke arah bukal karena tulang daerah bukal lebih tipis daripada daerah lingual. Penyebaran infeksi molarbawah ke arah bukal juga ditentukan oleh perlekatan otot buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan otot buccinator maka yang tejadi adalah abses vestibular, bila pus keluar dibawah perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular infection. Penyebaran infeksi molar rahang bawah kearah lingual ditentukan oleh relasi antara letak apeks akar gigi molar dan tempat perlekatan otot mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan otot mylohyoid maka akan terjadi abses spasia sublingual, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan otot tersebut akan timbul abses spasia submandibular.Setelah menembus korteks dan periosteum tulang ke arah bukal, pus yang berasal dari infeksi periapikal masuk ke dalam jaringan lunak di bawah permukaan mukosa di daerah vestibulum (mocobucal fold), disebut dengan abses vestibular. Pada keadaan ini, nyeri sudah sedikit mereda dibandingkan dengan keadaan abses subperiosteal.

Pemeriksaan extraoral berupa pembengkakan tidak berbatas jelas, palpasi sakit dan pembesaran kelenjar limfe regional. Pemeriksaan intra oral tampak buccal fold terangkat, warna kemerahan, palpasi terasa sakit dan ada fluktuasi. Akibat dari pengumpulan pus di rongga vestibulum ini, jika di palpasi akan terasa fluktuasi.Bila belum terjadi drainase spontan, maka perawatannya adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya mereda.Penyebaran juga bisa di lakukan pada jalur lain seperti pembuluh darah, saraf dan limfa. Pada rongga vestibulum terdapat berbagai saluran yang dapat menjadi sasaran penyebaran infeksi. Infeksi dapat menyebar melalui kelenjar limfa. Fungsi dari kelenjar limfa salah satunya adalah berfungsi sebagai pertahanan tubuh. Apabila terjadi infeksi pembuluh limfa akan mengeluarkan limfosit dan histiosit yang berguna untuk menghancurkan toksin dan bakteri. Toksin yang dikeluarkan bakteri masuk ke dalam pembuluh limfa, maka di dalam pembuluh akan melakukan funsi pertahanan tubuh yaitu meningkatkan produksi limfosit dan histiosit. Hasilnya terjadi proliferasi sel histiosit dan limfosit dalam pembuluh dan dapat menyebabkan pembesaran kelenjar limfa submandibularis dan terasa pada apabila di palpasi.

4.2 Analisis Skenario 4Penderita ini kami diagnosa mengalami sinusitis maksilaris. Sumber infeksi terjadinya sinusitis dapat disebabkan oleh karena infeksi hidung (rinogen) dan infeksi gigi (odontogen). Secara anatomis ada hubungan antara antrum maksila dan geligi rahang atas, sehingga infeksi odontogen dapat mempengaruhi sinus maksilaris. Molar kedua memiliki hubungan anatomis paling dekat dengan sinus maksilaris, diikuti oleh molar pertama, molar ketiga, premolar pertama dan kedua, serta caninus (Topazian,2002). Infeksi odontogen dapat berasal pulpa, jaringan periodontal, dan pericoronal. Dalam kasus ini sinusitis disebabkan oleh nekrosis pulpa pada gigi 16.

Gigi 16 yang sebelumnya terdapat riwayat berlubang sejak dua tahun yang lalu telah mengalami karies profunda. Pada proses karies demineralisasi terjadi lebih cepat dari proses mineralisasi. Bila karies sudah terbentuk dan tidak mendapat perawatan, maka proses demineralisasi terus berlanjut dan menyebabkan karies semakin meluas ke dalam gigi sehingga menembus lapisan-lapisan enamel, dentin dan pada akhirnya akan mencapai ke dalam ruang pulpa. Adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan menyebabkan kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Green et. Al. 2001).

Ujung akar gigi dan bagian dalam sinus hanya dibatasi oleh lapisan tipis tulang. Gigi 16 yang mengalami nekrosis pulpa menyebabkan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi. (Damayanti dan Mangunkusumo,2008)

Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Efiaty,2007).

Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan. Karena pada umumnya bakteri yang ditemukan merupakan gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk. Dan akibatnya menimbulkan bau busuk dari hidung. (Damayanti dan Mangunkusumo,2008)Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus (Farhat,2006).

Pada gambaran radiografik dari sinusitis pada proyeksi Waters terlihat gambaran keruh difuse pada cavum maksilaris kanan, dan pada foto panoramik terlihat radiopaque irregular dalam cavum sinus, bayangan radiolusen di sentral cavum, serta radiopaque pada bagian dasar sinus.Pengobatan sinusitis dibedakan menjadi surgical dan non surgical. Pada pengobatan non surgical, penderita diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik garis pertama yang diberikan lini I yakni golongan penisilin, trimethoprimsulfatmethoxazole (TMP-SMZ), eritromicin, doxiciclyn, dan claritomicin. Terapi antibiotik disertai terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari (Damayanti dan Mangunkusumo,2008).

Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi antibiotik garis kedua dilakukan. Pemberian antibiotik garis kedua seperti cefpodoxin dan cefuroxine diberikan sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik) (Damayanti dan Mangunkusumo,2008).

Pada kasus sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Operasi ini bertujuan agar pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut . biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman (Damayanti dan Mangunkusumo,2008).4.3 Analisa Skenario 5

Pada kasus dijelaskan bahwa seorang penderita berusia 58 tahun dari rujukan klinik Kardiologi RS.Dr Soetomo ingin melakukan pencabutan gigi-gigi sisa akar. Namun sebelum dilakukan tindakan pencabutan harus diberkan antibiotic profilaksis 1 jam sebelum tindakan.

Pada kasus ini, diketahui bahwa penderita memiliki kelaianan jantung congenital sehingga memiliki resiko yang sangat besar untuk terjadinya bakteri endocarditis. Maka dari itu pemberian antibiotic profilaksis sangat dianjurkan untuk pasien dengan resiko tinggi terjadinya endocarditis sebelum dilakukan tindakan perawatan gigi yang memiliki kemungkinan terjadinya bakterimia (Fragiskos, 2007).Pada kasus sebelumnya telah dijelaskan bahwa terdapat tiga macam port de entry yang sering terlibat, salah satunya karies gigi. Pada kasus ini penderita ingin gigi yang sisa akar dilakukan pencabutan, sedangkan penderita memiliki kelainan pada jantung. Padahal kita ketahui bahwa gigi karies sisa akar dapat menyebabkan penyebaran infeksi pada jaringan dan melakukan invasi serta berkembangbiak. Penyebaran dari infeksi ini bisa melalui tiga jalan, yaitu secara perkontinuatum, limfogen, dan hematogen.

Ketika penderita dengan kelainan jantung gigi karies sisa akar langsung dilakukan pencabutan tanpa dilakukan persiapan rongga mulut dan juga pemberian antibiotic profilaksis sebelum tindakan pencabutan maka bakteri yang terakumulasi cukup banyak di gigi yang sisa akar akan menyebar dan juga masuk ke dalam pembuluh darah (bakterimia).

Pada kondisi dimana katup endothelium normal, maka katup ini akan tahan terhadap kolonisasi dan infeksi oleh bakteri yang berdar. Namun, ketika katup ini mengalami kerusakan dan tidak rata baik itu karena aliran turbulen darah, elektroda atau kateter, atau perubahan degenerative pada orang tua yang berhubungan dengan peradangan, microulcers, dan mikrotrombi maka katup endothelia tidak lagi mampu untuk menahan kolonisasi dan infeksi dari bakteri yang beredar. Sehingga dapat menyebabakan terjadinya bacterial endocarditis.

Endokarditis terjadi ketika mikroorganisme mengendap di vegetasi steril selama terjadinya bakterimia.Tidaksemuabakteridapatmelekat pada vegetasi ini, namun bakteri seperti S. aureus dapat menginvasi endotel secara utuh sehingga menimbulkan endokaditis. Setelah terinfeksi, vegetasi ini akan terus membesar melalui pengendapan trombosit dan fibrin dan jika infeksi ini dibiarkan lebih lanjut dapat menjadi tempat persembunyian bakteri dari mekanisme pertahanan penjamu seperti leukosit polimofonukleat dan komplemen. Dengan adanya vegetasi dari trombosit dan fibrin, vaskularisasi jaringan granular tidak berjalan dengan baik, sehingga memudahkan mikroorganisme berkembangbiak dan akibatnya akan menambah kerusakan katup dan endokard. Kuman yang sangat pathogen dapat menyebabkan robeknya katup sehingga terjadi kebocoran.

Karenanya infeksi akan dengan mudah meluas kejaringan sekitarnya menimbulkan abses miokard atau aneurisma mikotik. Bila infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi rupture, mengakibatkan terjadinya kebocoran katup. Karena resiko pada penderita kelainan jantung cukup tinggi sehingga perlu dilakukan pemberian antibiotic proflaksis 1-2 jam sebelumtindakan. Antibiotic profilaksis diberikan untuk menghambat adhesi dari bakteri ke katup dan membunuh bakteri secara intravascular.

Pada kasus ini, antibiotic profilaksis yang diberikan menurut AHA tercantum dalam table berikut.

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Infeksi odontogen adalah infeksi yang berasal atau bersumber dari dalam gigi. Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus ginggiva, dan mukosa mulut. Infeksi odontogen bisa melalui tiga jalur, yaitu jalur karies, yang menyebabkan nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal, jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket dan jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum. Jika infeksi odontogen tidak dilakukan perawatan secara adekuat, maka akan mengalami penyebaran. Penyebaran infeksi odontogen akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada jaringan dan organ lain. Pola penyebaran infeksi odontogen antara lain; perkontinuatum, yaitu melalui jaringan terdekat yang pengaruhi oleh virulensi bakteri, resistensi host, dan struktur anatomi seperti perlekatan otot dan ketebalan tulang, secara hematogen, yaitu terjadinya bakteriemia, dan per limfogen yaitu melalui kelenjar limfa regional.DAFTAR PUSTAKA

Ariji Y,Gotoh M,Kimura Y,Naitoh M,Kurita K,Natsume N,Ariji E. 2002.Odontogenic Infection Pathway to The Submandibular Space: Imaging Assessment. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgiBazemore A, Smucker DR. Lymphadenopathy and Malignancy. Am Fam Physician 2002;66:2103-10. Diambil dari http://www.aafp.org/afp/20021201/2103.html. Diakses 1 April 2013.

Boon N A, Fox K A A. 1995. Disease of the cardiovascular system. In: Edwards C R W, Bouchier I A D, Haslett C, Chilvers E R, editors.Davidson's principles and practice of medicine.17th ed. New York, N.Y: Churchill Livingstone. Pp/ 191312.

Breslau N, Brown G G, DelDotto J E, Kumar S, Ezhuthachan S, Andreski P, Hufnagle K G. 1996. Psychiatric sequelae of low birth weight at 6 years of age.J Abnorm Child Psychol. Volume 24. Pp/385400

Dasanayake A P. 1998. Poor periodontal health of the pregnant woman as a risk factor for low birth weight.Ann Periodontol.Volume 3. Pp/206212.

Daud ME, Karasutisna T. 2001. Infeksi Odontogenik 1th ed. Bandung. Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad.

Drangsholt M T. 1998. A new causal model of dental diseases associated with endocarditis.Ann Periodontol.Volume 3. Pp/ 184196.

Edgar Schafer. 2007. Irrigation of the Root Canal. Journal of Endodontic. Volume 1(1). Pp/ 11-27.Efiaty AS. 2007.Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 6 edisi.Jakarta: FakultasKedokteran Universitas Indonesia

Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H.Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006.Fehrenbach MJ, Herring SW. 1997. Spread Of Dental Infection. Practical Hygiene. Diakses dari: http://www.dhed.net/Spread_of_Dental_Infection2.pdf. 9 April 2014

Fehrenbach, Margaret J et at. 1997. Spread of Dental Infection. Available from: http://www.mmcpub.com/pdf/1997jph/199705jph_pdf/97jphv6n5p13.pdfFerrer R. Lymphadenopathy : Differential diagnosis and evaluation. AAFP (58);6.1998. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/981015ap/ferrer.htmlFragiskos, FD. 2007. Oral Surgery. New York : Springer Berlin Heidelberg .

Genco R J. Periodontal disease and risk for myocardial infarction and cardiovascular disease.Cardiovasc Rev Rep.1998;19:3437.

Green, E. A. Flower dan N. E. New.. 2001. Mortality Associated with Odontogenic Infection!.British Dental journal. Accesed from : http://www.nature.comHandley, T. Devlin ,M. Koppel, and D. McCaul, J. 2009. The Sepsis Syndrome in Odontogenic Infection. JICS Volume 10, Number 1.

Kornman K S, Loesche W J. 1980. The subgingival microbial flora during pregnancy.Periodontal Res. Volume 15. Pp/111122..Malik N. A., 2011. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd edition. India. Jaypee. Pp/714-716

Mansjoer A, et al. Angina ludwig. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta:Media Aesculapius; 2000.p.124-5

Moore W E C, Moore L V H. The bacteria of periodontal disease.Periodontol 2000. Volume5. Pp/6677

Page R C. 1998. The pathobiology of periodontal diseases may affect systemic diseases: inversion of a paradigm.Ann Periodontol.Volume 3. Pp/108120.

Peters TR, Edwards KM. Cervical Lymphadenopathy and Adenitis. Pediatrics in Review (21);12.2000

Peterson, LJ. 2003. Contemporaray Oral and Maxillofacial Surgery. Fouth Edition. St. Louise: Mosby Ltd.

Soemartono, 2000 Infeksi Odontogen dan Penyebabnya. Surabaya: Pelatihan Spesialis kedokteran Gigi Bidang bedah Mulut.

Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2008

Topazian R.G., Morton H. Goldberg, James R. Hupp. 2002. Oral and Maxillofacial Infections. 4th edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company. Pp/ 171-173, 142-144Systemic Diseases Caused by Oral InfectionXiaojing Li,Kristin M. Kolltveit, Leif Tronstad,Ingar Olsen. 2000. Systemic Disease Caused by Oral Infection. Clinical Microbiology Rev. Volume 13(4). Pp/ 547-558a

b

a

b

Karies sekunder

Penderita 25 th gigi 36 ditambal 1 tahun lalu

Karies perforasi ke pulpa

Penyebaran infeksi bakteri

Per Kontinuatum

Per Limfatogen

Hematogen

Keradangan pulpa

Infeksi kelenjar limfe regional submandibularis

Nekrosis pulpa

Abses periapikal

Produksi histiosit dan limfosit

Infeksi jaringan periapikal

Nyeri untuk mengunyah, Pemeriksaan perkusi dan druk nyeri, radiolusen di periapikal gigi 36

Limfadenitis

Serous periostitis

Setelah 3 hari peminuman obat tdk teratur

Infeksi cancellous bone

Kelenjar limfe teraba, padat, nyeri tekan

Vertibulum oris bengkak dan fluktuasi, Pipi kiri bengkak tdk berbatas jelas, rubor, palpasi padat, nyeri

Vestibular abses

Terapi: Insisi, drainase ( Antibiotik

Bau busuk dari hidung

Bakteri mengeluarkan gas gangren (H2S) ( tuba sinus maksilaris

Infeksi tulang sekitar periapikal 16

Perforasi dasar sinus maksilaris

Terapi

Antibiotik

1st line therapy

amoxilin 10-14 hari

Trimethoprimsulfatmethoxazole (TMP-SMZ)

Eritromicin

Doxiciclyn

Claritomicin

2nd line therapy

Cefpodoxin

Cefuroxine

Surgical Therapy

Gambaran Ro

Panoramic

Radiopaque irregular dalam cavum sinus

Bayangan radiolusen di sentral cavum

Bagian dasar sinus radiopaque oleh karna proses awal

2. Waters

Gambaran keruh difuse pada cavum maksilaris kanan

Sinusitis

Infeksi supuratif dasar sinus maksilaris

Nyeri pada druk

Infeksi periapikal

Nekrosis pulpa

Pulpitis

Karies profunda perforasi

Penderita 50 th gigi 16 lubang 2 th lalu

Endokarditis

Melekat pada endotel jantung

Profilaksis Antibiotik

Pemberian: 1 jam sebelum ekstraksi dengan dosis inisial, lalu 6 jam setelah operasi dengan setengah dari dosis inisial

(Hematogen)

Invasi bakteri

Sistem imun

Kelainan jantung (Penderita rujukan dept. Kardiologi)

)

Bakteriemia

Gigi sisa akar

Ekstraksi

azithromisin / klarithromisin

15 mg/kg p.o

sefalexin / sefadroxil

50 mg/kg p.o

sefazolin

25 mg/kg i.m/i.v

klindamisin

20 mg/kg p.o/i.v

amoxicillin / ampisilin

50 mg/kg p.o/i.m/i.v

Penderita 58 tahun

118