KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MORAL
MAKALAHUNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAHPerkembangan Peserta
DidikYang dibina oleh Ibu Arbin Janu Setiyowati
OlehKelompok 5 Offering A1. Ria Lifatul Jannah (120351402774)2.
Riris Nurhilyatus Z(120351402771)3. Silfia Dwi
Ananda(120351402784)
UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAMPRODI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAMMaret 2014BAB
IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangDi dalam kehidupan bermasyarakat arti
nilai sebuah moral sangat penting. Dalam hal ini orang dapat
dikatakan bermoral apabila dalam menjalani kehidupan sesuai dengan
aturan yang berlaku, dalam kehidupan manusia tidak bias hidup
sendiri atau dengan kata lain manusia dengan manusia yang lain
melakukan interaksi. Pengalaman berinteraksi dengan orang lain
menjadi pemicu dalam memahami tentang perilaku mana yang baik
dikerjakan dan yang tiadak baik dikerjakan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-
nilai atau prinsip-prinsip moral. Perkembangan moral merupakan
proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota
masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini
berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. perkembangan itu
sendiri merupakan proses perubahan kualitatif yang mengacu pada
kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan pada organ jasmani
tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada
kemampuan organ psikologis. Selain itu perkembangan moral hampir
dapat dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku
moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah
laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu
secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral
yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang
diperlukan diperlukan Seperti dalam proses perkembangan yang
lannya, proses perkembangan moral selalu berkaitan dengan proses
belajar, belajar itu sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi
kebutuhan yang belum terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi yang
dimiliki. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat
bergantung pada kualitas proses belajar ( khususnya belajar
sosial), baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan
masyarakat. Jadi proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa
dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma
moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang
berlaku dalam masyarakat.
1.2 Rumusan MasalahBertolak dari latar belakang di atas, masalah
yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.1. Apa
hakikat perkembangan moral peserta didik?2. Apa saja teori
perkembangan moral?3. Bagaimana tahap-tahap perkembangan moral
anak?4. Faktor apa yang mempengaruhi perkembangan moral anak?5.
Faktor apa yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan antara
pengetahuan moral dengan perilaku moral anak?6. Bagaimana
pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak?7. Bagaimana upaya
pengembangan moral anak?
1.3 Tujuan Tujuan Umum Menjelaskan kepada pembaca tentang
perkembangan moral. Tujuan Khusus1. Menjelaskan kepada pembaca
mengenai hakikat perkembangan moral peserta didik.2. Menjelaskan
kepada pembaca mengenai teori perkembangan moral.3. Menjelaskan
kepada pembaca mengenai tahap-tahap perkembangan moral anak.4.
Menjelaskan pada pembaca mengenai factor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral anak.5. Menjelaskan kepada pembaca mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan antara pengetahuan
moral dengan perilaku moral anak.6. Menjelaskan pada pembaca
mengenai pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak.7.
Menjelaskan kepada pembaca mengenai upaya pengembangan moral
anak.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Hakikat Perkembangan MoralIstilah moral berasala dari bahsa
Latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat,
atau kebiasaan (Gunarsa, 1986). Moral pada dasarnya merupakan
rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi
(Shaffer, 1979). Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang
mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok social
dan masyarakat. Moral merupakan standar baik dan buruk yang
ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana
individu sebagai anggota social. Moralitas merupakan aspek
kepribadian yang diperlukana seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan social secara harmonis, adil, seimbang. Perilaku moral
diperlukan demi terwujudnya kehidupna yang damai penuh keteraturan,
ketertiban, dan keharmonisan (Ali, 2012).Perkembangan moral adalah
perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain (Santrock, 2003). Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi
moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua,
saudara, teman sebaya, atau guru), anak belajar memahami tentang
perilaku mana yang baik yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan (Desmita,
2012).Komponen-komponen moral terdiri dari 3 hal, yakni :a.
Kognitif (Teori : Piaget dan Kohlberg)Moral Judgement cara
seseorang mengkonseptualisasikan benar salah dan membuat keputusan
tentang bagaimana bertindak.
b. Afektif (Teori : Freud)Moral feeling (perasaan) mengenai
benar salahnya yg menyertai tindakan yg diambil dan memotivasi
pikiran dan tindakan tentang moral. Perasaan seseorang jika
melakukan kesalahan adanya rasa bersalah/tidak. Freud
menerangkannya melalui masa oedipal dimana pada masa ini anak
melakukan identifikasi dengan salah satu orangtuanya sehingga
terbentuk orangtua dalam diri anak. Orangtuadalam diri anak inilah
yang akan menghukum (menimbulkan perasaan bersalah) bila anak
melanggar. Selanjutnya setelah terjadi internalisasi, apakah anak
akan bertingkah laku benar atau tidak tidak ditentukan oleh
identifikasi tersebut tetapi oleh kekuatan egonya (apakah egonya
mengikuti kataorangtua dalam dirinya atau tidak).
c. Perilaku (Teori : Behavioristik)Moral behavior bagaimana
seseorang bertindak ketika mengalami kebimbangan/godaan untuk
berlaku bohong, curang atau perbuatan yang melanggar moral.
Didasari oleh teori Social Learning. Pembicaraan berpusat pada
dapatkah tingkah laku anak sesuai dengan keadaan internalnya.
Hobart Mowrer menerangkan tentang internalisasi aturan-aturan
dengan memakai dasar teori Classical conditioning. Contoh : jika
anak merasa enak ketika diberi makan maka akan mengembangkan
perasaan anak terhadap ibu. Kedekatan dengan ibu menjadi pemicu
timbulnya perasaan enak pada anak. Prinsip ini digunakan untuk
menerangkan internalisasi aturan. Jika anak bertingkah laku tidak
baik dan dapat hukuman akan timbul rasa tidak enak. Rasa ini
menyertai tingkah lakunya (anak tidak akan melakukan tingkah laku
itu). Jadi, internalisasi aturan berbentuk tingkah laku yang
menghindari, yaitu menghindari tingkah laku yang tidak disukai
lingkungan.Metode untuk menanamkan tingkah laku adalah melalui
reward dan punishment. Menurut Albert Bandura aturan-aturan
(benar-salah) untuk mengontrol tingkah laku anak diperoleh melalui
proses modelling. Anak belajar benar-salah diberitahu secara khusus
oleh orangtua dengan cara mencontoh perilaku mereka (orangtua
teladan anak) (Harahap, Tanpa Tahun).Menurut Harahap (Tanpa Tahun)
perkembangan moral memiliki 2 dimensi yaitu (1) dimensi
intrapersonal, dimensi ini mengatur atau mengarahkan aktivitas
orang tersebut saat dia tidak terlibat dalam interaksi sosial
(aturan/nilai dasar dan penilaian diri individu); (2) dimensi
interpersonal, dimensi ini mengatur interaksi sosial individu
dengan orang lain dan menengahi konflik, titik perhatiannya adalah
pada apa yang seharusnya dilakukan individu saat berinteraksi
dengan orang lain.
2.2 TEORI-TEORI TENTANG PERKEMBANGAN MORAL2.2.1 Teori
Psikoanalisa tentang Perkembangan MoralDalam menggambarkan
perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur
kepribadian manusia atas 3, yakni id, ego, dan superego. Id adalah
struktur kepribadian yang terdiri dari aspek biologis yang
irasional dan tidak disadari. Ego adalah kepribadiana yang terdiri
dari aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan
disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem
nilai dan moral yang benar-benar memperhitungkan benar dan salahnya
sesuatu (Desmita, 2012).Menurut psikoanalisa klasik Freud, semua
orang mengalami konflik Oedipus. Konflik ini akan menghasilkan
pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Freud sebagai
superego. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik Oedipus
adalah perasaan khawatir akan kehilangan kasih saying orang tua dan
ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak
dapat diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk
mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih
sayang orang tua, anak-anak membentuk suatu superego dengan
mengidentifikasi standar-standar benar dan salah orang tua
(Desmita, 2012).Struktur superego ini mempunyai dua komponen, yaitu
ego ideal kata hati (conscience). Kata hati menggambarkan bagian
dalam atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan
masyarakat, hokum, kode, etika, dan moral. Pada usia kira-kira 5
tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna.
Ketika hal ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti
bahwa pada usia sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan
pengembangan moralnya.2.2.2 Teori Belajar Sosial tentang
Perkembangan MoralTeori belajar sosial melihat tingkah laku moral
sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses
penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan
prilaku moral anak-anak. Bila anak diberi hadiah atas perilaku yang
sesuai dengan aturan dan kontrak social, mereka akan mengulangi
perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka dihukum atas perilaku
yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang dan hilang
(Desmita, 2012).
2.2.3 Teori Kognitif Piaget tentang Perkembangan MoralTeori
kognitif Piaget tentang perkembangan moral melibatkan
prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan
kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan
intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui
aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah
kecenderungan untuk menerima dan mentaati system peraturan.
2.2.4 Teori Kohlberg tentang Perkembangan MoralTokoh yang paling
dikenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan moral adalah
Lawrence E. Kohlberg (1995). Melalui disertasinya yang sangat
monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking
and Choice in the Years 10 to 16 yang diselesaikannya di University
of Chicago pada tahun 1958, dia melakuakn penelitian empiris lintas
kelompok usia tentang cara pertimbangan moral terhadap 75 orang
anak dan remaja yang berasal dari daerah sekitar Chicago. Anak-anak
dibagi kedalam tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia 10, 13, dan
16 tahun. Penelitiannya dilakukan dengan cara menghadapkan para
subjek penelitian/responden kepada berbagai dilema moral dan
selanjutnya mencatat semua reaksi mereka. Dalam pandangan Kohlberg,
sebagaimana sebagaimana juga pandangan Jean Piaget salah seorang
yang sangat dikaguminya bahwa berdasarkan penelitiannya, tampak
bahwa anak-anak dan remaja menafsirkan segala tindakan dan
perilakunya sesuai dengan struktur mental mereka sendiri dan
menialai hubungan social dan perbauatan tertentu sebagai adil atau
tidak adil, baik atau buruk juga seiring dengan tingkat
perkembangan atau struktur moral mereka masing-masing (Ali,
2012).Berdasarkan penelitainnya itu, Kohlberg (1995) menarik
sejumlah kesimpulan sebagai berikut :a. Penilaian dan perbuatan
moral pada intinya bersifat rasional. Keputusan moral bukanlah soal
perasaan atau nilai, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran
kognitif terhadap keadaan dilemma moral dan bersifat kondtruktif
kognitif yang bersifat aktif terhadap titik pandang masing-masing
individu sambil mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak,
kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi terhadap sesuatu yang
baik dan adil. Kesemuanya merupakan tindakan kognitif.b. Terdapat
sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan
formal harus diuraikan dan biasanya digunakan remaja untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.c. Membenarkan gagasan
Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah
mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral sebagimana
penelitian piaget membuktikan, bahwa baru pada masa remaja pola
pemikiran operasional-formal berkembang. Demikian pula Kohlberg
menunjukkan adanya kesejajaran antara perkembangan moral, yaitu
bahwa pada masa remaja dapat juga dicapai tahap tertinggi
perkembangan moral, yang ditandai dengan kemampuan remaja
menerapkan prinsip keadilan universal pada penilaian moralnya (Ali,
2012).
Kohlberg setuju dengan piaget yang menjelaskan bahwa sikap moral
bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperolah dari
pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari
aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang
melalui interaksi social, namun interaksi ini memiliki corak
khusus, dimana factor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut
berperan (Desmita, 2012).Hal penting lain dari teori perkembangan
moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang
hanya ada dalam pikiran dan dibedakan dengan tingkah laku moral
daam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral
seseorang, akan semakin terlihat lebih mantap dan bertanggung jawab
dari perbuatan-perbuatannya. Berdasarkan pertimbangan yang
diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang,
Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan
(level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap(Desmita,
2012).
2.3 TAHAPAN-TAHAPAN MORAL ANAKTahap-tahap perkembangan moral
terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak. Anak memang
berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai
mempunyai corak yang khusus di mana faktor pribadi, faktor si anak
dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
perkembangan moral, Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Panahapan yang dikemukakan
bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada
proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran
menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan
nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan Piaget, makin
tinggi pula tingkat moral seseorang.Menurut Kohlberg, faktor
kebudayaan mempengaruhi perkembangan moral, terdapat berbagai
rangsangan yang diterima oleh perkembangan moral, terdapat berbagai
rangsangan yang diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi tempo
perkembangan moral. Bukan saja mengenai tempo perkembangan moral.
Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap yang dapat
dicapai. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar
belakang kebudayaan tertentu.Konsep kunci atau utama dalam memahami
perkembangan moral adalah proses internalisasi, yaitu perubahan
yang terjadi dalam perkembangan di mana awalnya perilaku itu
dikendalikan oleh kekuatan di luar diri individu menjadi
dikendalikan oleh standar dan prinsip-prinsip internal. Teori
Kohlberg muncul berdasarkan jawaban yang diberikan orang-orang saat
ditanya bagaimana pendapat mereka tentang cerita Kohlberg Moral
Dilemmas (Harahap, Tanpa Tahun). Berdasarkan pertimbangan yang
diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang,
Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan
(level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (Desmita,
2012).
a. Tingkat 1 Pra-Konvensional (4-9 tahun) Tidak adanya
internalisasi terhadap nilai-nilai moral. Penilaian tentang moral
didasarkan pada hadiah atau hukuman yang berasal dari luar dirinya.
Menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensi fisik
perbuatannya secara langsung. Tingkah laku individu tunduk pada
peraturan dari luar bukan dari standar dirinya.Stadium 1. Orientasi
kepatuhan dan hukumanIndividu memfokuskan diri pada konsekuensi
langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri (akibat
fisik). Anak berorientasi pada hukuman; Anak patuh karena takut
dihukum. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang
lain berbeda dari sudut pandang dirinya (egosentris).
Stadium 2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat
saya?)Perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling
diminatinya. Kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang
lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri. Anak menyesuaikan diri terhadap
harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. Contohnya adalah anak
aktif sesuai anjuran guru agar dipuji (Harahap, Farida). Dalam
tahap ini anak mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untuk
memperoleh hadiah atau menghindari hukuman. Hal ini disebut
hedonisme instrumental. Sifat timbal balik disini memegang peranan,
tetapi masih dalam arti moral balas dendam (Suciati, 2009).
b. Tingkat 2 Konvensional (10-15 tahun) Ada proses
internalisasi, hanya masih sebagian atau sedang. Penilaian individu
sebagian didasarkan oleh standar pribadi (internal) tapi ada juga
yang berdasarkan standar orang lain (orangtua). Umumnya ada pada
seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya pada
pandangan dan harapan masyarakat (bersifat konformitas).Stadium 3.
Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas ( Sikap anak
baik)Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau menyesuaikan dengan orang-orang lain karena hal
tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut (Harahap, Tanpa Tahun). Sesuatu dinilai
baik jika itu menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan buruk
apa yang ditolak oleh orang lain. Menjadi anak manis masih sangat
penting dalam periode ini (Suciati, 2009).Penalaran tahap tiga
menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas hanya untuk menghindari penolakan
orang lain terhadap peran sosialnya (Harahap, Tanpa Tahun) .
Stadium 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (
Moralitas hukum dan aturan)Tumbuh semacam kesadaran akan aturan
yang ada karena dianggap berharga tetapi dengan belum dapat
mempertanggungjawabkan secara pribadi (Suciati, 2009). Penting
untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi social karena berguna
dalam memelihara fungsi dari masyarakat (ketertiban). Penalaran
moral dalam stadium empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan
masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada
kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga
celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik. (Harahap, Tanpa Tahun)Colby
and Kohlberg dalam Lickona (1976) mengatakan bahwa individu yang
berada pada tahap tingkat konvensional (tahap 3 dan 4). Bila
dihadapkan kasus yang seperti berikut ini : misalnya, jika sejak
kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu
tumbuh subur. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai
bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun
akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan
jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa
kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak
mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan
sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut (Papalia,
D.E. & Olds, S.W. 1995).
c. Tingkat 3 Pasca-Konvensional (> 16 tahun) Proses
internalisasi sudah terjadi secara utuh dan penilaian moral tidak
lagi menggunakan standar orang lain. Mengenali adanya alternative
dalam memberikan penilaian, mengeksplorasi setiap alternatif dan
akhirnya memutuskan mana yang paling pas sesuai dengan nilai
pribadi yang diyakininya (Harahap, Tanpa Tahun).Pasca-konvensional
menunjukan bahwa dalam tahap operasional formal moral akhirnya akan
berkembang sebagai pendirian pribadi jadi lebih baik tidak
tergantung daripada pendapatpendapat konvensional yang ada (dalam
Monks & dkk, 2002).Prinsip-prinsip moral diterima atas
kehendaknya sendiri. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
identitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat.
Akibat hakekat diri mendahului orang lain ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku prakonvensional
(Harahap, Tanpa Tahun).
Stadium 5. Orientasi kontrak sosialindividu-individu dipandang
sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda,
dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain
tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial
dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan
kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya
kebaikan orang banyak . Anak patuh krn menghormati kepentingan
bersama. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan
kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskanpada penalaran tahap lima (Harahap, Tanpa Tahun).
Stadium 6. Prinsip etika universal ( Principled conscience =
berprinsip )penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila
berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga
menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Individu menyesuaikan diri dengan standar sosial karena keinginan
dari hati nuraninya sendiri, sbg perwujudan tanggung jawab pribadi,
bukan karena kecaman sosialnya. Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang
lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama.
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa
kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya orang sukar bisa mencapaitahap enam dari model
Kohlberg ini (Harahap, Tanpa Tahun).Perkembangan moral yang dasar
utamanya adalah penalaran moral dijelaskan dalam serangkaian
tahapan-tahapan atau tingkatan (Harahap, Tanpa Tahun). Dalam
konteks perkembangan moral terdapat sejumlah tahap-tahap perkembang
moral yang sangat terkenal, yaitu yang dikemukakan oleh John Dewey
yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget, dan Lawrence Kohlberg
sendiri (1995). Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan
pandangan masing-masing adalah sebagaimana dipaparkan berikut ini.
John Dewey yang kemudian dijabarkan oleh Jean Piaget (Kohlberg,
1995) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral.a. Tahap
PramoralDitandai bahwa anak belum menyadari keterkaitannya pada
aturan. Bayi yang baru lahir dikatakan belum memiliki moral karena
belum memiliki pengetahuan dan pengertian yang diharapkan oleh
masyarakat di lingkungan ia hidup atau dapat disebut dengan
pramoral (Harahap, Tanpa Tahun).b. Heteronomi (berakhir pada usia
6-9)Seorang anak belum bisa melihat tingkah laku dari intensinya.
Jadi anak hanya bisa melihat bahwa baik-buruk tingkah laku adalah
akibat fisik yang harus diderita seseorang. Pada saat ini
aturan-aturan tidak bisa berubah dan harus diikuti, selain itu
aturan-aturan ini tetap ada di manapun, kapanpun. (Harahap, Tanpa
Tahun)Dalam tahap berfikir ini, anak-anak menghormati
ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai sesuatu yang bersifat
suci dan tidak dapat dirubah, karena berasal dari otoritas yang
dihormatinya. Oleh karena itu jika seseorang melanggar aturan maka
ia mandapat hukuman (dari orang-orang yang dipandang mempunyai
otoritas seperti; orangtua, guru, dan sebagainya). Anak-anak pada
masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu konsep bahwa suatu
aturan dilanggar, maka hukuman akan segera dijatuhkan. Mereka
percaya bahwa pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan
hukuman , dan setiap pelanggaran akan dihukum menurut tingkat
kesalahan yang dilakukan seseorang anak dengan mengabaikan apakah
kesalahan itu disengaja atau kebetulan (Desmita, 2012). Pada tahap
Heteronomous morality, baik atau benarnya perilaku hanya dinilai
dengan mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan oleh perilaku
tertentu, dan tidak mempertimbangkan niat atau tujuan dari si
pelaku Contoh: memecahkan gelas 1 dengan sengaja dan memecahkan
gelas 12 karena tidak sengaja, maka yang baik adalah yang
memecahkan satu (Harahap, Tanpa Tahun).c. Otonomi (9-12 tahun)Pada
saat ini seorang anak masih belum bisa melihat tingkah laku dari
intensinya. Awalnya seorang anak belum bisa mengerti bahwa
aturan-aturan sosial bisa berubah-ubah sesuai dengan kesepakatan
kelompok. Kemudian pada tahap ini seorang anak sudah mulai bisa
menunjang kejujuran, keadilan dan aturan-aturan sebagai suatu dasar
untuk melakukan hubungan dengan orang lain (Harahap, Tanpa
tahun).Pada tahap ini anak mulai saar bahwa aturan-aturan dan
hokum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu
hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku
serta akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap ini,
peraturan-peraturan hanyalah masalah kenyamanan dan kontrak social
yang telah disetujui bersama, sehingga mereka menerima dan mengakui
perubahan menurut kesepakatan. Dalam tahap ini, anak juga
meninggalkan penghormatan kepada teman sebayanya. Mereka Nampak
membandel pada otoritas, serta lebih mentaati peraturan kelompok
sebaya atau pimpinannya (Desmita, 2012).
2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL ANAKArti
perkembangan terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang
termanifestasi pada kemampuan organ fisiologis dan proses
perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Dalam
perkembangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai
berikut:2.4.1 Faktor InternalFaktor internal yaitu faktor yang ada
dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi
psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri.
Faktor Genetika (Hereditas)Hereditas merupakan totalitas
karakeristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak, atau
segala potensi baik fisik maupun psikis yang dimiliki individu
sejak masa konsepsi sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui
gen-gen. Pada masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma), seluruh
bawaaan hereditas individu dibentuk dari 23 kromosom (pasangan xx)
dari ibu dan 23 kromosom (pasangan xy) dari ayah. Dalam 46 kromosom
tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat-sifat fisik
dan psikis individu atau yang memnentukan potensi-potensi
hereditasnya.Masa dalam kandungan dipandang sebagai periode yang
kritis dalam perkembangan kepribadian individu, sebab tidak hanya
sebagai saat pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga sebagai
masa pembentukan kemampun-kemampuan yang menentukan jenis
penyesuaian individu terhadap kehidupan setelah kelahiran. Pengaruh
gen terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, tetapi
yang berpengaruh langsung dengan gen adalah kualitas system syaraf,
keseimbangan biokimia tubuh, dan struktur tubuh (Sonhaji,
2013).2.4.2 Faktor EksternalFaktor eksternal yaitu hal hal yang
datang atau ada diluar diri siswa/peserta didik yang meliputi
lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa
tersebut dengan lingkungan. Diantara faktor eksternal yang
mempengaruhi perkembangan moral peserta didik adalah : Lingkungan
Sosial masyarakatLingkungan masyarakat sangat mempengaruhi
perkembangan moral peserta didik, karena lingkungan terdapat
berbagai macam karakter masyarakat, sehingga berbagai macam
karakter itu sangat berpengaruh pada perkembangan moral.
CulturalJika dihitung disekitar kita, ada berpuluh bahkan beratus
kelompok masyarakat yang masing masing mempunyai kultur, budaya,
adat istiadat, dan tradisi tersendiri, dan hal ini jelas
berpengaruh terhadap perkembangan moral peserta didik. EdukatifEtik
pergaulan / moral membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Melihat pendidikan adalah proses pengoperasian ilmu yang
normatif, yang memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam
masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Oleh
karena itu Faktor pendidikan ini relatif paling besar pengaruhnya
dibandingkan dengan faktor yang lain. ReligiusProses pembentukan
prilaku seorang anak dengan agama merupakan faktor penting yang
mempengaruhinya karena pondasi agama merupakan salah satu faktor
yang sangat berpengaruh dan berperan penting sebagai media kontrol
dalam perkembangan peserta didik (Sonhaji, 2013).
2.5 KESENJANGAN ANTARA PENGETAHUAN MORAL DENGAN PERILAKU MORAL
ANAKSering kali pada anak terjadi kesenjangan antara pengetahuan
moralnya dengan perilaku moral yang ditunjukkan. Hal ini terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor di bawah ini.
a. Faktor Kebingungan, disebabkan karena: konsep moral bersifat
abstrak bagi dirinya terdapat kesenjangan (jarak) antara perkataan
orangtiua dan orang lain yang berwenang terdapat kesenjangan antara
perilaku yang dilukiskan dalam media massa dan apa yang diajarkan
pada mereka tentang benar salah. konsep moral anak berbeda dengan
konsep moral terhadap teman sebaya konsep moral bertentangan dengan
konsep kejujuran, loyalitas dan kerjasamab. Faktor Emosi Sewaktu
marah anak mungkin malkakukan hal yang ia tahu itu salah untuk
membalas supaya orang lain marah.c. Faktor Motivasi (dorongan) Anak
mungkin merasa bahwa berbuat sesuatu itu tidak benar, namun dapat
menguntungkan bagi mereka (Harahap, Tanpa Tahun).
2.6 PELANGGARAN MORAL YANG UMUM TERJADI PADA ANAKBerikut ini
merupakan beberapa pelanggaran moral yang umum terjadi pada anak.a.
BerbohongAnak kecil yang berbohong biasanya tidak menipu, melainkan
sedang mengkhayal. Pada anak yang lebih besar berbohong karena rasa
takut akan hukuman atau diejek.b. KecuranganKecurangan dalam
bermain umumnya terjadi pada anak dari semua usia karena kemenangan
mempunyai nilai sosial yang tinggi.c. MencuriBiasanya dilakukan
anak kalau mereka tidak dapat memperoleh sesuatu yang dilakukan
dengan cara lain.d. MerusakBiasanya tidak dilakukan anak kecil,
kecuali jika dilakukan secara pembalasan. Pada anak yang lebih
besar merusak sudah mulai dilakukan. Kalau terjadi kegiatan merusak
biasanya dilakukan oleh kelompok sebagai ekspresi kemarahan.e.
MembolosPada anak kecil, membolos biasanya karena takut masuk
sekolah. Pada anak yang sudah besar membolos karena tidak suka.
(Harahap, Tanpa Tahun)
2.7 UPAYA PENGEMBANGAN MORAL SERTA IMPLIKASINYA Perwujudan moral
tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Apa yang terjadi di dalam
diri pribadi seseorang hanya dapat dikekari dengan cara-cara tidak
langsung yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang
tersebut, maupun membandingkan dengan gejala serta tingkah laku
orang lain. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan
moral. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan
moral adalah :a. Menciptakan komunikasiDalam komunikasi didahului
dengan pemberian informasi tentang moral. Anak tidak pasif
mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah
laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak
harus dirangsang supaya lebih aktif. Disekolah para siswa hendaknya
diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral
misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan
sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai
dengan nilai atau norma-norma moral.
b. Menciptakan Iklim Lingkungan yang SerasiSeseorang yang
mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil
memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu
umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara
positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk tingkah
laku yang merupakan pencermminan nilai hidup tersebut. Ini berarti
hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan
intelektual semata-semata tetapi juga mengutamakan adanya
lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor lingkungan itu
sendiri merupakan pejelmaan yang kongkret dari nilai-nilai hidup
tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas dan
bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah
lingkungan social terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang
berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru.
(BUKUNYA GILDA)
BAB IIIPENUTUP
3.1 SIMPULANPerkembangan moral adalah perkembangan yang
berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang
lain.Teori-teori yang berkaitan dengan perkembangan moral antara
lain Teori Psikoanalisa, Teori Belajar Sosial, Teori Kognitif
Piaget, dan Teori Kohlberg.Klasifikasi perkembangan moral menurut
Kohlberg ada tiga tingkatan (level), yaitu tingkat 1
pra-konvensional, tingkat 2 konvensional , dan tingkat 3
pasca-konvensional. Tiga tingkatan tersebut kemudian dibagi lagi
menjadi enam tahap, yaitu (1) Orientasi kepatuhan dan hukuman; (2)
Orientasi minat pribadi; (3) Orientasi keserasian interpersonal dan
konformitas; (4) Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial;
(5) Orientasi kontrak sosial; (6) Prinsip etika universal.
Sedangkan tahap perkembangan moral menurut John Dewey yang kemudian
dijabarkan oleh Jean Piaget (Kohlberg, 1995), terdapat tiga tahap
perkembangan moral, yaitu tahap pramoral, heteronomi, dan
otonomi.Di dalam perkembangannya, moral dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal yang meliputi faktor genetika (hereditas) dan
faktor eksternal yang meliputi lingkungan sosial masyarakat,
kultural, edukatif, dan religius. Sering kali pada anak terjadi
kesenjangan antara pengetahuan moralnya dengan perilaku moral yang
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor kebingungan, faktor
emosi dan faktor motivasi (dorongan).Pada kenyataannya, terjadi
beberapa pelanggaran moral yang dilakukan oleh anak antara lain
berbohong, kecurangan, mencuri,merusak, dan membolos. Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan moral anak
agar perkembangan moral anak menjadi baik adalah dengan menciptakan
komunikasi yang baik yaitu komunikasi yang aktif antara orang
dewasa dengan anak serta menciptakan iklim lingkungan yang
serasi.
3.2 SARAN
Daftar Rujukan
Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad. 2012. Psikologi Remaja
PerkembanganPeserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara
Desmita,Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2012.
Gunarsa, S.D. 2003. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja.
Jakarta: Gunung Mulia.
Harahap, Farida.Tanpa Tahun. Perkembangan Moral, (Online),
(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Nanang.pdf)
Diakses 4 Februari 2014
Monks, F.J. & Knoers, 2002. Psikologi Perkembangan:
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Papalia D.E. 2007. Human Development (10th Ed.). New York:
McGraw-Hill -8iCompanies, Inc.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja. Alih
bahasa: Shinto D. Adelar & Sherly Saragih. Jakarta:
Erlangga.
Shaffer, D.R. 2002. Developmental Psychology (6th Ed.). USA:
Wads Worth Group Mifflin Company.
Sonhaji, 2013. Perkembangan Moral Peserta Didik, (online),
(http://sonhaji82.blog.com/2013/02/07/makalah-perkembangan-moral/),
Diakses 02 Maret 2014
Suciati, Riri. 2009. Perkembangan Moral Anak Tunggal Pada Usia
15 18
Tahun.(http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/Artikel_10503158.pdf),
Diakses 04 Februari 2014