Top Banner
MAKALAH POLIFARMASI PADA GERIATRI Disusun Oleh : Santiko Restuadhi 108103000064 Pembimbing : dr. Nurul Hiedayati, Sp.FK KEPANITERAAN KLINIK ILMU GERIATRI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
28

Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Aug 13, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

MAKALAH POLIFARMASI PADA GERIATRI

Disusun Oleh :

Santiko Restuadhi

108103000064

Pembimbing :

dr. Nurul Hiedayati, Sp.FK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GERIATRIPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA2013

Page 2: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

• Nama : Tn. D

• Usia : 63 tahun

• Jenis kelamin : Laki-laki

• Status perkawinan : Menikah

• Alamat : Kedaung, Pamulang. Tangerang selatan

• Pekerjaan : Pedagang

• Agama : Islam

• Suku : Betawi

• Pendidikan : SD

• Ruang rawat : Lt.2 RSUD Tangerang Selatan

• Masuk RS : 4 Januari 2013

• Waktu pemeriksaan : 7 Januari 2013

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Pasien dibawa ke RSUD karena badan terasa lemas 1 jam SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan seluruh tubuhnya lemas sejak 1 jam SMRS. Lemas

sudah dirasakan sejak 1 hari SMRS, semakin lama semakin memberat

hingga 1 jam sebelum dibawa ke RS pasien tidak dapat berjalan sendiri.

Sejak 1 hari SMRS pasien juga mengeluh mencret, hingga 7 kali sehari.

BABnya cair, tidak berlendir, tidak berbau dan berdarah berwarna

kehitaman. Bab dengan darah kehitaman sudah dialami pasien hilang

timbul hanya sesekali sejak 1 minggu SMRS, namun sebelumnya tidak

mencret dan sehari hanya 1 kali. Pasien juga merasakan nyeri perut di

bagian ulu hati sejak 1 hari SMRS.

1

Page 3: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Sejak +- 1 bulan SMRS pasien sering mengeluhkan mual dan perutnya

terasa penuh, tapi tidak muntah. Pasien juga menjadi cepat lelah dan tidak

nafsu makan.

Keluhan sesak nafas disangkal, batuk disangkal, demam disangkal.

pada saat dilakukan pemeriksaan pasien mengeluhkan perutnya membesar,

pasien menjadi sulit BAB, dan nafasnya sesak sejak 2 hari sebelum

pemeriksaan. Pasien juga merasa seluruh bagian perutnya sakit dan pasien

menjadi sulit bergerak.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya. Riwayat sakit

kuning disangkal. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat asam urat

(-), riwayat alergi (-), riwayat sakit paru (-), riwayat trauma (-).

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi , riwayat DM , riwayat alergi , riwayat sakit paru dan

jantung disangkal pasien.

E. Riwayat Kebiasaan

Pasien merokok sejak usia muda sebanyak 1 bungkus/hari. Kebiasaan

minum minuman beralkohol disangkal. Pasien sehari hari berjualan dipasar,

makanan sehari-hari pasien didapat dari beli di warung. Pasien juga

terkadang minum jamu jamuan karena dipercaya dapat meningkatkan

kekuatan tubuh, namun tidak teratur.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

TD berbaring : 110/80 mmHg

Nadi berbaring : 100 kali/menit, reguler, isi cukup

Laju pernapasan : 24 kali/menit

BB: 50 Kg, TB: 165 cm

Suhu : 36,5 o

2

Page 4: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Kepala : Normochepali,tidak ada deformitas

Rambut : Sebagian putih, tidak mudah dicabut

Kulit : Kulit kering,CRT <2detik,erythema (-).

Mata : Pupil bulat isokor, R.Cahaya +/+,

konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+

THT : Dalam batas normal,

Leher : Trakea di tengah, tidak ada pembesaran

KGB

Dada : Simetris, tidak teraba massa, deformitas (-)

Paru : Sonor, vesikuler kanan/kiri, ronkhi -/-,

wheezing -/-

Jantung : Batas jantung normal , S1-S2 murni,

murmur (-), gallop (-)

Perut : Buncit, keras, nyeri tekan (+), asites (+)

bising usus (-), hepar & limpa tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai +/+, sianosis

(-), clubbing finger (-),

Punggung : Tidak ditemukan deformitas atau ulkus

dekubitus

IV. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Hb : 6,4

Ht : 20

Leukosit : 8.700

Trombosit : 334.000

LED : 80

V. Diagnosis di RSUD

- General weakness

- Melena ec. Susp NSAID induced Gastropathy

VI. Tatalaksana di RSUD

IVFD RL

3

Page 5: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Ceftriaxon

Ranitidin 2x1 amp

Paracetamol 3x500 mg

Akita 3x2 tab

Transfusi premedikasi lasix 1amp

4

Page 6: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

BAB II

PEMBAHASAN

I. Pembahasan diagnosis

Di RSUD pasien didiagnosis dengan melena ec. Susp gastropati NSAID.

Pada pasien didapatkan keluhan BAB berwarna kehitaman, yang mana hal ini

menunjukan terdapatnya perdarahan pada saluran cerna bagian atas sehingga

diagnosis Gastropati NSAID masih mungkin. Pada pasien juga terdapat keluhan

mual dan nyeri perut, tetapi belum dapat ditentukan secara pasti asal dari keluhan

tersebut karena belum dilakukan endoskopi. Endoskopi dapat digunakan untuk

melihat permukaan mukosa lambung, baru setelah itu diagnosis Gastropati bisa

ditegakkan. Pasien memang memiliki riwayat mengonsumsi jamu jamuan, tetapi

masih dalam frekuensi yang normal. Jamu jamuan tersebut juga tidak dapat

ditentukan secara pasti apakah mengandung obat NSAID. Oleh karena penjelasan

tersebut, dalam hal ini penulis cenderung untuk mendiagnosis pasien dengan

Melena ec. Sirosis hepatis. Sirosis hepatis dapat memberikan gejala yang serupa

dengan gastropati seperti mual dan rasa penuh diperut. Pemeriksaan fisik pada

pasien juga mendukung diagnosis Sirosis Hepatis dengan ditemukannya asites

pada perut pasien. Asites juga mengganggu pergerakan diafragma sehingga pasien

merasa sesak. Anemia yang dialami pasien juga berhubungan dengan Sirosis

Hepatis pasien. Perjalanan penyakit Sirosis Hepatis yang diderita pasien sudah

berlangsung lama sehingga pasien juga mengeluhkan perlahan lahan semakin

lemah dan tidak nafsu makan. Diare akut yang diderita pasien 1 hari SMRS

membuat keadaan umum pasien semakin memburuk hingga pasien akhirnya

dibawa ke RS. Namun pemeriksaan penunjang masih perlu dilakukan untuk

memastikan diagnosis dan mencari kemungkinan etiologinya.

5

Page 7: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

II. Pembahasan polifarmasi

Pada pasien digunakan lebih dari 5 jenis obat sehingga merupakan masalah

polifarmasi.

1. PARASETAMOL

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik

ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal

dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana, 1995).

Farmakokinetik

Absorpsi

Paracetamol cepat diabsorpsi di saluran pencernaan, juga diabsorpsi secara

baik dari membrane mukosa rectum.

Distribusi, Metabolisme,dan Ekresi

Paracetamol didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan dengan

mudah. Setelah paracetamol dimetabolisme oleh liver, lalu dieksresikan oleh

ginjal dan dalam jumlah kecil pada air susu ibu (ASI). Administrasi Paracetamol

dapat diminum sebelum atau sesudah makan (tidak bergantung kepada makanan).

Onset dari Paracetamol kurang dari 1 jam dengan waktu paruh sekitar 1-3 jam.

Rute administrasi dari paracetamol :

Oral

Rectal

Intravena

Farmakodinamik

Paracetamol mengurangi rasa sakit dan demam, tapi tidak seperti

salicylate, Paracetamol tidak memberikan efek signifikan pada inflamasi dan

fungsi dari trombosit. Efek analgesic dari paracetamol masih belum diketahui

secara pasti mekanismenya. Obat ini mungkin bekerja di central nervous system

6

Page 8: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

(CNS) dengan menghambat sisntesis prostaglandin dan di pheriperal nervous

system dengan mekanisme yang tidak diketahui. Paracetamol mengurangi demam

dengan berkerja langsung pada heat regulating center di hypothalamus. Telah

dibuktikan bahwa paracetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim

siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa

penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini

berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu

molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-

inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja paracetamol ialah bahwa

paracetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun

hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida

yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi paracetamol juga tinggi, sehingga

menghambat aksi antiinflamasi. Hal ini menyebabkan paracetamol tidak memiliki

khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf

pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif.

Mekanisme kerja

Sebagai pereda nyeri, paracetamol bekerja dengan cara menghambat

biosintesis prostagalandin tetapi berbeda dengan analgesic lain, paracetamol

bekerja pada lingkungan yang rendah kadar peroksidnya seperti di hipotalamus.

Sebagai pereda demam, paracetamol bekerja dengan cara menekan efek zat

pirogen endogen yang merupakan zat yang pada keadaan patologis akan

meningkatkan suhu tubuh.

Indikasi

Paracetamol digunakan untuk meredakan demam dan nyeri yang

ringansampai sedang yang disebabkan oleh berbagai hal. Efek pereda nyerinya

tidak terlalu tinggi namun efek pereda demamnya sangat bagus. Selain itu

Paracetamoldigunaka untuk Post-Immunisation Pyrexia. Paracetamol, aman untuk

wanita hamil dan anak-anak.

Kontra Indikasi

7

Page 9: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Perlu diperhatikan pemberian untuk pasien dengan alergi terhadap

paracetamol, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta pasien dengan ketergantungan

terhadap alcohol.

Efek samping

Mual

Reaksi hypersensitivitas,

ruam pada kulit,

Acute renal tubular necrosis

Potensial Fatal : Sangat Jarang, dyscrasia darah (sepertithrombocytopenia,

leucopenia, neutropenia, agranulocytosis), kerusakanliver.

Interaksi obat

Paracetamol dapat meningkatkan potensi kerusakan liver jika digunakan

bersama dengan barbiturates

Paracetamol dapat meningkatkan potensi kerusakan ginjal jika digunakan

bersama dengan NSAIDs atau salicylates

Paracetamol jika digunakan bersama dengan tetracycline akan

menurunkan absorpsi paracetamol

Paracetamol dapat meningkatkan efek obat anti-koagulan

Dosis

Dewasa: 325 – 650 mg tiap 4 jam, sampai 1 g q.i.dDaily dose 4 mg

Anak-anak

: 1-5 tahun: 120-250 mg setiap 4-6 jam (max 4 dosis dalam 24 jam); 6-12

tahun: 250-500 mg setiap 4-6 jam (max 4 dosis dalam 24 jam).

Pembahasan

Secara umum parasetamol merupakan obat yang realtif aman untuk

digunakan karena minim efek sampingnya. Namun pada pasien ini penggunaan

paraceamol kurang tepat karena ridak didapatkan keluhan demam pada pasien dan

8

Page 10: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

pada pemeriksaan fisik suhu tubuh pasien juga masih dalam batas normal. Pada

pasien ini juga terdapat gangguan fungsi hati dan parasetamol merupakan obat

yang dapat memperburuk keadaan tersebut. Maka sebaiknya penggunaan

parasetamol dihentikan.

2. CEFTRIAXONE

Farmakokinetik

Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar

plasma maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV

atau IM dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan

akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal.

Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam

uring dalam bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu

dan sebagian kecil dalam feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g

IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml

dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran empedu, 098 mg dalam duktus

sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam

plasma.

Setelah pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar

antara 5-8 jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-

1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73 L/jam.

Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.

Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan

anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan

75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml.

Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya

sedikit sekali terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal/hati, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

9

Page 11: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Farmakodinamik

Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis

dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-

laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh

kuman gram-negatif, gram-positif.

Indikasi

Ceftriaxone diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi-infeksi dibawah ini yang

disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti :

- Infeksi saluran napas bawah

- Infeksi kulit dan jaringan lunak

- Goneore tanpa komplikasi

- Penyakit radang rongga panggu

- Septikemia bacterial

- Infeksi tulang dan sendi

- Infeksi intra-abdominal

- Meningitis

Profilaksis operasi yaitu 1g dosis tunggal ceftriaxone dapat mengurangi angka

kejadian infeksi pasca operasi pada pasien yang dioperasi dan dianggap

terkontaminasi atau secara potensial terkontaminasi, misalnya : histerektoni

vaginal atau abdominal dan pada pasien yang dioperasi dimana infeksi pada

operasi tersebut menyebabkan risiko yang serius ( misal : selama operasi lintas

arteri koroner ).

Kontraindikasi

Ceftriaxone dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap

golongan cephalosporin.

10

Page 12: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Efek Samping

Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat

ditemukan adalah :

• Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat

suntikan dan phlebitis setelah pemberian

intravena.

• Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus,

demam atau menggigil

• Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan

kadang-kadang anemia, anemia hemolitik,

netropenia, limfopenia, trombositopenia dan

pemanjangan waktu protrombia.

• Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah,

disgeusia.

• Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-

kadang peningkatan fosfatase alkali dan

bilirubin.

• Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang

peningkatan kreatinin serta ditemukan silinder

dalam urin.

• Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau

pusing.

• Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya

monitiasis atau vaginitis.

Dosis Dan Cara Pemberian

Ceftriaxone dapat diberikan secara intravena atau intramuskular.

Dewasa : Dosis lazim harian untuk orang dewasa adalah 1-2g sekali sehari (atau

dibagi dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya infeksi. Dosis total harian

tidak boleh melebihi 4g. Untuk pengobatan infeksi gonokokal tanpa komplikasi,

11

Page 13: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

dosis yang dianjurkan adalah 250 mg intramuskular sebagai dosis tunggal, untuk

profilaksis opersai, dosis yang dianjurkan adalah 1g sebagai dosis tunggal dan

diberikan 0,5-2 jam sebelum operasi.

Anak-anak : Untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak, dosis total harian

yang dianjurkan adalah 50-75 mg/kg sekali sehari (atau dibagi 2 dosis), dosis total

harian tidak boleh melebihi 2g. Untuk pengobatan meningitis dosis harian adalah

100 mg/kg dan tidak boleh melebihi 4g, dosis diberikan dengan atau tanpa dosis

muat 75mg/kg

Keterangan Umum Dosis : Secara umum terapi dengan ceftriaxone harus

dilanjutkan paling tidak 2 hari setelah tanda dan gejala infeksi menghilang. Lama

pengobatan terapi umumnya adalah 4-14 hari, dimana pada infeksi yang disertai

dengan komplikasi terapi yang diperlukan akan lebih lama.

Pembahasan

Pada pasien ini tidak jelas apa tujuan dari diberikannya pengobatan ceftriaxone.

Karena tidak sesuai dengan diagnosis. Penggunaan ceftriaxone sebagai profilaksis

juga tidak diperlukan karena pasien tidak di operasi.

3. RANITIDIN

Ranitidin merupakan antihistamin paenghambat reseptor Histamin H2 yang

berperan dalam efek histamine terhadap sekresi cairan lambung. Berdasarkan dari

mekanisme kerja kedua obat tersebut kita akan melihat profil dari masing-masing

obat tersebut.

Farmakodinamik

Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2

akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian ranitidine

sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan ranitidine

terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap

ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat

muskarinik atau gastrin. Ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hydrogen

12

Page 14: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan

pepsinogen menjadi pepsin menurun.

Farmakokinetik

Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat

pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada orang dewasa,

dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati

masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar pada ginjal.Pada

ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin 25-35

ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan

ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15 %. Ranitidine

mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup besar

setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya diekskresi terutama melalui

ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30

% yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Indikasi

Digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi

manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui

secara jelas.

Efek penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan

penurunan kira-kira 50% dan Ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan

70% sekresi asam lambung; sedangkan terhadap sekresi malam hari, masing-

masing menyebabkan penghambatan 70% dan 90%.

Interaksi obat

Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan

simetidin. Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi

dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga

menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%.

Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang waktu

13

Page 15: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan , karena lebih

sukar melewati sawar darah otak disbanding obat sejenis seperti simetidin.

Pembahasan

Pemberian ranitidin pada pasien ini masih rasional, karena ranitidin dapat

diberikan untuk mengurangi gejala mual dan nyeri perut yang dirasakan pasien.

Pada diagnosis gastropati, pemberian ranitidin juga tepat untuk melindungi

mukosa lambung yang terluka dari asam lambung yang berlebih. Namun pada

diagnosis Sirosis Hepatis kurang tepat karena perdarahan terjadi karena varises

esofagus bukan karena terdapat luka pada lambung. Mual yang dirasakan pasien

bukan diakibatkan oleh peningkatan asam lambung sehingga penggunaan

ondanetron lebih tepat.

4. FUROSEMID

Farmakokinetik

o Absorbsi : Baik secara oral maupun intravena

o Distribusi : Terikat protein plasma secara ekstensif

o Metabolisme : Hepar

o Ekskresi : Sebagian besar melalui ginjal, sebagian kecil melalui

hati

Farmakodinamik

Menghambat reabsorbsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle asendens bagian

epitel tebal (loop diuretics). Selain itu, akan meningkatkan ekskresi K+/Ca++/Mg++.

Interaksi Obat

Meningkatkan resiko aritmia pada pasien yang mendapat digitalis atau obat

antiaritmia. Pemberian bersama aminoglikosida. sefalosporin dan antikanker

sisplatin akan meningkatkan resiko nefrotoksisitas. Probenesid mengurangi

sekresi diuretik ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang. AINS

terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.

Efek samping

14

Page 16: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Dapat memicu gangguan cairan dan elektrolit (hiponatremi, hipokalemi,

hipokalsem, dll), hipotensi, ototoksisitas, efek metabolik (hiperurisemia,

hiperglikemia) dan nefritis intersisialis alergi.

Makna Klinis

Pada pasien ini diberikan sebagai terapi gagal jantung dengan cara menurunkan

volume cairan ekstraseluler dengan cepat → menurunkan aliran balik vena.

Pemberian furosemid sebagai diuretik kuat tepat karena pada pasien ini ditemukan

tanda bendungan berupa edem di kedua tungkai. Efek samping furosemid adalah

hipokalemi, oleh karena itu pasien perlu mendapatkan preparat kalium.

Pembahasan pada kasus

Pada pasien ini pemberian furosemid ditujukan hanya untuk premedikasi

transfusi. Perlu berhati hati resiko hipotensi dan gangguan elektrolit.

5. Attapulgite

Mekanisme kerja

Mengabsorpsi nutrisi, racun, obat dan cairan pada saluran pencernaan.

Indikasi

Diare.

Farmakologi

Mula kerja obat: respon inisial: oral: 12-19,5 jam. Absorpsi: Attapulgit tidak

diabsorpsi oleh saluran cerna.

Kontraindikasi:

1. Hipersensitivitas terhadap attapulgit

2. Dugaan obstruksi usus.

Efek Samping

Efek samping yang sering terjadi: Saluran cerna: konstipasi, kembung, gangguan

pencernaan, mual. Efek samping yang serius: Metabolik endokrin: elektrolit tidak

normal.

15

Page 17: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

Dosis Pemberian :

Dosis: Oral: Dewasa: 1,2-1,5 g setiap setelah diare (dosis maksimum: 9 g per

hari). Lama pemberian adalah 48 jam.. Untuk penatalaksanaan diare pada anak

usia 3-<6 tahun, dosis lazimnya adalah 300 mg setiap setelah diare, dosis tidak

boleh melebihi 2,1 g per hari. Anak usia 6-12 tahun dengan diare akut, dosis oral

yang direkomendasikan untuk sediaan suspensi adalah 600 mg setiap setelah

diare; dosis tidak boleh melebihi 4,2 g per hari. Anak usia 6-12 tahun: dosis yang

direkomendasikan untuk tablet biasa adalah 750 mg setiap setelah diare; dosis

tidak boleh melebihi 4,5 g per hari. Keterangan penting: Adsorben antidiare,

termasuk attapulgit, tidak direkomendasikan untuk anak usia dibawah 3 tahun

karena risiko kehilangan cairan dan elektrolit; anak usia dibawah 3 tahun harus

dirujuk ke dokter. Cara pemberian: Satu dosis attapulgit diminum setiap setelah

diare. Untuk bentuk sediaan tablet, telanlah seluruh tablet secara utuh. Untuk

bentuk sediaan sirup, kocoklah terlebih dahulu sebelum digunakan.

Pembahasan pada kasus

Pada kasus ini, pemberian atapulgit sudah terlalu lama. Atapulgit masih diberikan

hingga hari ke 3 pasien dirawat padahal diare sudah berhenti sejak hari pertama,

saat ini pasien justru mengeluh sulit BAB.

III. Pembahasan interaksi obat

Menurut literatur pada kombinasi obat yang didapatkan oleh pasien, terapat 2

interaksi obat.

1. ceftriaxone dengan furosemid

Menurut literatur, pada penelitian terdahulu data yang terbatas menunjukkan

furosemide dapat meningkatkan efek nefrotoksik dari beberapa obat golongan

sefalosporin. Mekanisme yang pasti dari interaksi tersebut masih belum diketahui,

meskipun furosemide telah terbukti dapat meningkatkan konsentrasi plasma

dan/atau mengurangi clearance dari beberapa obat golongan sefalosporin seperti

16

Page 18: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

cephaloridine dan ceftazidime. Penelitian menunjukan adanya hubungan antara

penggunaan diuretik dan angka kejadian gagal ginjal akut selama pengobatan

dengan cephaloridine. Secara khusus, 9 dari 36 pasien yang mengalami gagal

ginjal akut saat dalam masa pengobatan dengan cephaloridine ternyata juga

menerima pengobatan dengan diuretik (terutama furosemid). Faktor riesiko lain

diantaranya shock, infeksi, dosis cephaloridine yang belebihan, dan penggunaan

bersamaan dengan obat lain yang juga memiliki efek nefrotoksik.

MANAJEMEN: Meskipun data terutama terbatas pada cephaloridine, yang tidak

lagi dipasarkan secara komersial, hal ini perlu diperhatikan pada pasien yang

menerima diuretik loop dalam kombinasi dengan sefalosporin lainnya. Fungsi

ginjal harus dipantau, terutama ketika dosis tinggi digunakan atau ketika obat ini

diberikan pada orang tua atau pasien dengan gangguan ginjal yang sudah ada

sebelumnya.

Pada kasus ini interaksi ini tidak berbahaya karena diuretik hanya diberikan

sebagai premedikasi sebelum transfusi.

2. Paracetamol dengan ranitidin

Penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa ranitidine dapat mempotensiasi

hepatotoksisitas dari acetaminophen, namun penelititan lebih lanjut gagal

mengonfirmasi penemuan tersebut pada manusia.

17

Page 19: Makalah Polifarmasi Pada Geriatri

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI,

2007.

2. Katzung BG (1986) Basic and Clinical Pharmacology, 3rd edition. Lange

Medical Book, California.

3. Speight TM (1987) Avery’sDrug Treatment: Principles and Practice of

Clinical Pharmacology and Therapeutics, 3rdedition. ADIS Press, Auckland.

4. WHO (1985) Drugs for the Elderly. WHO-Europe, Copenhagen.

18