Gangguan Jiwa Pada AnakBlok 13 Semester 3 Tahun Ajaran
2013/2014Tutor:
dr. EvaKelompok:
E6
Nama Anggota*:
Cristomi Thenager 102011449Eliza 102012026Theresia
102012165Maulidin Tubagus Adriansyah 102012136Ajeng Aryuningtyas
102012259Elizabeth Angelina 102012354Karinda Lado 102012434Andry
Susanto 102012371Kasoki Sifa Justine 102013478
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
*Alamat Korespendensi:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail: [email protected]
Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang ke poli psikiatri
anak dan remaja dengan keluhan mendapat surat teguran dari wali
kelasnya karena selalu membuat onar dikelas/ tidak bisa diam di
kelas.
Pendahuluan
Adalah suatu harapan dan cita-cita dari para orang tua, guru,
maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat
jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat
anak-anak bermain riang gembira, pandai, tekun dalam belajar dan
bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan
kreativitasnya, banyak teman dan dapat menyesuaikan diri dengan
baik dalam berbagai lingkungan dimana ia berada.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan perkembangan yang
paling optimal dari segi fisik, emosi, mental dan social setiap
anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah
adanya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku sumbang,
bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, baik
norma budaya, norma umur, norma kecakapan/ketrampilan maupun norma
sosial yang berlaku dalam lingkungan dimana anak berada. Tingkah
laku mereka mengalami gangguan dan kelainan (disorder), yang
biasanya lebih dirasakan oleh lingkungannya daripada oleh anak
sendiri.1PembahasanWorking Diagnosis: Hiperaktivitas Hiperaktivitas
dikenal juga sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan
Hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit Hiperactivity Disorder
(ADHD). Hiperaktif sudah dikenal bertahun-tahun. Istilah hiperaktif
atau ADHD biasanya digunakan untuk menggambarkan anak yang masih
muda, yang dianggap sangat aktif, terlalu menuruti kata hati,
kurang dapat berkonsentrasi atau anak yang sulit diatur. Namun,
sebagian besar anak kecil umumnya mempunyai tingkat aktivitas
tinggi dan sulit diatur tanpa harus menjadi hiperaktif.2 Gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ditandai dengan rentang
perhatian yang buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau
adanya gejala hiperaktivitas dan impulsivitas yang tidak sesuai
dengan usia. Gejala ini harus ada paling sedikit 6 bulan dan
terjadi pada usia sebelum 7 tahun dan gejala-gejala tersebut
terdapat pada dua situasi atau lebih.Gejala hiperaktif
Anak hiperaktif pada masa bayinya, kemungkinan besar mempunyai
gejala-gejala yaitu terus menerus menangis atau berteriak, hanya
sedikit memerlukan tidur atau mempunyai pola tidur tidak teratur,
sulit tidur dan terbangun terus menerus, sakit perut dan sulit
makan, mudah marah dan tidak suka dipeluk, mudah terbangun setiap
kali mendengar suara, mempunyai air liur berlebihan dan sangat
kehausan, terus menerus membenturkan kepala atau
menggoyang-goyangkan tempat tidur ayunannya.2 Berikut beberapa
perilaku normal yang biasa ditemukan pada anak usia 2 tahun. Namun,
balita yang lebih tua, yang memiliki gejala-gejala perilaku berikut
paling sedikit 6 bulan, mungkin merupakan anak hiperaktif.
Contohnya yaitu Ceroboh atau mudah mendapat kecelakaan
Terus menerus gelisah atau tidak betah berdiam diri atau duduk
walaupun untuk waktu singkat
Sering menjadi bersikap agresif
Sering berganti dari satu hal ke hal lain, kurang dapat
konsentrasi dan tidak pernah menyelesaikan apa yang dikerjakan
Bereaksi berlebihan terhadap hal sepele dan sulit tenang
Mempunyai masalah tidur
Sulit belajar memakai pakaian sendiri
Rendah diri
Sulit berbagi
Menyentuh dan mencampuri segala hal
Terlambat bicara atau berbicara terus menerus
Mempunyai nafsu makan yang jelek dan selalu kehausan
Melakukan segala hal yangh berbahaya tanpa dapat merasakan
adanya bahaya atau memperlihatkan tanda tanda ketakutan
Tidak menyukai perubahan
Epidemiologi
Angka kejadian ADHD di seluruh dunia diperkirakan mencapai
hingga lebih dari 5%. Dilaporkan lebih banyak terdapat pada
laki-laki dibandingkan dengan wanita. Di Amerika Serikat,
penelitian menunjukkan kejadian ADHD mencapai 7%.
Etiologi
Ada beberapa teori tentang penyebab seorang anak menjadi
hiperaktif. Akan tetapi belum ditemukan satupun penyebab pastinya.
Sebagian besar anak dengan GPPH tidak menunjukkan tanda-tanda
cedera struktural yang besar pada system saraf pusat. Sebaliknya,
sebagian besar anak dengan gangguan neurologis yang diketahui
disebabkan oleh cedera otak tidak menunjukkan deficit atensi dan
hiperaktifitas. Gangguan dapat diperkirakan berhubungan dengan
berbagai gangguan lain yang mempengaruhi fungsi otak, seperti
gangguan belajar. Faktor penyumbang yang diajukan untuk GPPH adalah
pemaparan toksin prenatal, prematuritas, dan kerusakan mekanis
prenatal pada system saraf janin.2,2Penyedap makanan, zat pewarna,
pengawet, dan gula telah juga diperkirakan sebagai kemungkinan
penyebab untuk perilaku hiperaktif. Tidak ada bukti ilmiah yang
menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut menyebabkan gangguan
deficit atensi/hiperaktifitas.2,2Genetik, sebagian besar anak
hiperaktif mempunyai sedikitnya 1 sanak keluarga yang selagi kecil
juga hiperaktif. Jadi, diduga bahwa hiperaktif mempunyai komponen
genetik. Namun, belum ditemukan gen spesifik penyebab hiperaktif.
Hiperaktif lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki daripada anak
perempuan (kira-kira 5:1). Presentase terbesar anak laki laki
hiperaktif adalah yang berambut pirang bermata biru.2,2Cedera otak,
telah lama diperkirakan bahwa beberapa anak yang terkena GPPH
mendapat cedera otak yang minimal dan samar-samar pada system saraf
pusatnya selama periode janin dan perinatalnya. Atau cedera otak
mungkin disebakan oleh infeksi, peradangan, dan trauma. Cedera otak
yang minimal, samar-samar dan subklinis mungkin bertanggung jawab
untuk timbulnya gangguan belajar dan GPPH.
Tomografi computer (CT) kepala pada anak-anak dengan gangguan
deficit atensi/hiperaktifitas tidak menunjukkan temuan yang
konsisten. Penelitian dengan menggunakan tomografi emisi positron
(PET) telah menemukan penurunan aliran darah serebral dan kecepatan
metabolisme di daerah lobus frontalis anak-anak dengan gangguan
deficit atensi/hiperaktifitas tidak secara adekuat mengerjakan
mekanisme inhibisinya pada struktur yang lebih rendah, yang
menyebabkan disinhibisi.2,2Kesehatan ibu, proporsi besar anak
hiperaktif lahir dari keluarga dengan riwayat alergi dari pihak
ibu, seperti hay fever (alergi serbuk bunga), asma, eksim, atau
migraine.
.
Faktor lingkungan, salah satu yang menyangkut aspek lingkungan
yaitu psikososial. Psikososial yang berpengaruh adalah konflik
keluarga, sosial ekonomi keluarga tidak memadai, jumlah keluarga
terlalu besar, orang tua kriminal, orang tua dengan gangguan jiwa
(psikopat) dan anak yang diasuh pada tempat penitipan
anak.Kekurangan asam lemak esensial, dari hasil penelitian di
Inggris dan Amerika Serikat menemukan beberapa anak hiperaktif juga
menderita kekurangan asam lemak esensial. Gejala kekurangan asam
lemak esensial adalah rasa haus yang hebat, kulit dan rambut
kering, sering buang air kecil, serta ada riwayat alergi seperti
asma dan eksema.
Kekurangan zat gizi, bebrapa anak hiperaktif menderita
kekurangan zinc, magnesium, atau vitamin B12.
Makanan, zat penambah makanan, pewarna, pengawet makanan,
coklat, gula, makanan dari susu, gandum, tomat, nitrat, jeruk,
telur, dan makanan lain diduga sebagai penyebab hiperaktif.Gambaran
klinis
GPPH dapat digolongkan menjadi 3 jenis yaitu :
A. Tipe anak yang tidak bisa memusatkan perhatian, mereka sangat
mudah terganggu perhatiaannya, tetapi tidak hiperaktif atau
impulsive. Tipe ini kebanyakan dapat di jumpai pada anak perempuan,
mereka seringkali melamun.
B. Tipe anak yang hiperaktif dan impulsive, mereka menunjukan
gejala yang sangat hiperaktif dan impulsive tetapi tidak bisa
memusatkan perhatian. Seringkali ditemui pada anak anak kecil.
C. Tipe gabungan, mereka sangat mudah terpengaruh perhatiannya,
hiperaktif dan juga impulsive.3Anak-anak dengan GPPH seringkali
mudah marah secara meledak. Iritabilitas mereka mungkin ditimbulkan
oleh stimuli yang relative kecil, yang mungkin membingungkan dan
mencemaskan anak. Mereka seringkali labil secara emosional, mudah
dibuat tertawa atau menangis, dan mood dan kinerja mereka cenderung
bervariasi dan tidak dapat diramalkan.Impulsivitas dan
ketidakmampuan menunda kegembiraan adalah
karekteristik.Karakteristik anak-anak dengan GPPH yang tersering
dinyatakan adalah1. Hiperaktif2. Gangguan motorik3. Labilitas
emosional4. Defisit koordinasi menyeluruh5. Gangguan atensi
(rentang atensi yang pendek, keras hati, gagal menyelesaikan
sesuatu, inatensi, konsentrasi yang buruk)6. Impulsivitas
(bertindak sebelum berpikir, mengubah perilaku tiba-tiba, tidak
memiliki organisasi yang baik, meloncat-loncat di sekolah ataupun
tempat-tempat ramai)7. Gangguan daya ingat dan cara berpikir8.
Ketidakmampuan untuk belajar sesuatu secara spesifik9. Gangguan
dalam berbicara dan mendengar10. Tanda neurologis dan iregularitas
EEG yang samar-samarDiagnosis Banding
1. Autisme4
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang
yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Karakteristik
yang menonjol pada seseorang yang mengidap kelainan ini adalah
kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal
maupun memahami emosi serta perasaan orang lain. Autisme merupakan
salah satu gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari
Kelainan Spektrum Autisme atau Autism Spectrum Disorders (ASD) dan
juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung
Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder
(PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut
tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini
termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.
Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia
tiga puluh bulan sejak kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.
Penderita autisme juga dapat mengalami masalah dalam belajar,
komunikasi, dan bahasa. Seseorang dikatakan menderita autisme
apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut:
kesulitan dalam berinteraksi sosial secara kualitatif kesulitan
dalam berkomunikasi secara kualitatif menunjukkan perilaku yang
repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak
normal.
EpidemiologiDi Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali
lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan
dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa Amerika
dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013
diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita
autisme dalam usia 5-19 tahun. Sedangkan prevalensi penyandang
autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah
6 di antara 1000 orang mengidap autisme.
Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme
mengalami kesulitan dalam menentukan seseorang sebagai penyandang
autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa disandarkan pada ada
atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme
lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat
dilihat apabila seorang anak memiliki kelemahan di tiga domain
tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang
berulang.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu
pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa autisme sehingga
menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di
setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah,
di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan
sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak
jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa
seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku
yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.
Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari
dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya
gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab
mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan
selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa
semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh
terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu
adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup
anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak
sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan
keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian
disarankan agar para profesional di bidang autisme juga
mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal
anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak,
fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan
konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan
musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak
sendiri.DiagnosisAnak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun
pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua
seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan
cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi
dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat
sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap
rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran,
sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku
repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan
badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku
dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain)
atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku
terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala
tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas
dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu
melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang
tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima,
misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari
suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang
menjadi kesukaan mereka.Beberapa atau keseluruhan karakteristik
yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang
autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami
bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di
sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak
wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang
dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola
perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik
dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan
perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak 'berbicara'
sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga
sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya
menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami
konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan
dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih
waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di
Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai
dan perlunya evaluasi lebih lanjut:
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada,
menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16
bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di
usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada
usia tertentu
Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak
tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan
autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan
evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog,
Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya
yang memahami persoalan autisme.
Simtoma klinis menurut DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak
mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2
arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non
verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi,
egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi
social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal
1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat
khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak
berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang.
Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu
benda
Gambar 1: Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan
yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate)
hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari
seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering
kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para
ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan
kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki
perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat
terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka
diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka
yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu
menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan
kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai
high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan
sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan
maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang
autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para
ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan
strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi
mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun
sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan
prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan
sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali
jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD
(International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993
dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994
yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan
Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang
mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial
Komunikasi Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat
menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila
tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi
adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini
telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme
masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun
1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan
skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan
orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan,
kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar
pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk
mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron
Cohen pada awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang
terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4
tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening
autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone
di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu;
bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan
lain yang berhubungan membutuhkan pengamatan yang menyeluruh
terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan
perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya
berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara
dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi
tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya
standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog,
psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi
terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita
autisme belum diketahui secara pasti. Riset-riset yang dilakukan
oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa mengenai
penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme
adalah faktor genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti
pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
Faktor genetic
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi
penyandang autisme walaupun tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme
hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga. Riset yang dilakukan
terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak
kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen
sedangkan kemungkinan untuk dua saudara kandung mengalami autisme
hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen. Hal ini diinterpretasikan sebagai
peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar
identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya
memiliki gen yang 50% sama.
Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin
diberikan kepada anak-anak di usia dimana gejala-gejala autisme
mulai terlihat.[9] Kekhawatiran ini disebabkan karena zat kimia
bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut
mengandung merkuri. Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap
berpotensi menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti
kuat yang mendukung bahwa autisme disebabkan oleh pemberian vaksin.
Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin telah diberhentikan
namun angka autisme pada anak semakin tinggi. Penanganan
autismIntensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme
merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang
ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih
dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang
dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di
Indonesia di antaranya adalah:1. Kurangnya tenaga terapis yang
terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam
proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi
anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk
menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia.
Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari
luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan
anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara
dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin
kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para
ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan
dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang
memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum
tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan
autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis
dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang
autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena
hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah
minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang
didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically
Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah
autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain
membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data
empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang
menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi
tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak
merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah
satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini
dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka
informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan
baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan
masalah autisme di Indonesia.
Terapi
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari
waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul.
Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk
treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar
dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat
bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada
hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap
anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persoalan perilaku.
Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech
Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied
Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi
perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai
literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh
dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan
bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang
dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional
dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh,
sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi
hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada:
Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan
dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete
Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang
dikenal sebagai Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication Handicapped Children).
Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet,
pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi
perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri
sendiri, dsb.).
Speech Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak
terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan
proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS
(Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi
visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan
pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai
disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah
maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas
pada Occupational Therapy (OT), dan Auditory Integration Training
(AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh
orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu
jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan
mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan
masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi
yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta
menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai
autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari
tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan
belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian
itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol
semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari
penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak
akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak.
Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada
potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak
sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku
sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu
mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi
yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih
oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan
efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan
laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau
kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan
terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh
orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan
selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan.
Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi
perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika
Serikat. Sejak tahun 80 an, bayi-bayi yang lahir di California AS,
diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme.
Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran
saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah
yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari
anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information
Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY)
memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50
100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne:
2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya
(Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 best current
estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah
18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah:
62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat
kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi
pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui
secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian
mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat
menemukan obat yang tepat untuk mengatasi fenomena ini.
Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli,
meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam
otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di
Singapura pada tanggal 26 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa
faktor penyebab autisme, yaitu:
Genetic susceptibility different genes may be responsible in
different families
Chromosome 7 speech / language chromosome
Variety of problems in pregnancy at birth or even after
birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak
selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan
penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat
melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan
autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak
ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat
mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu
wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater
Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya
peningkatan yang luar biasa. Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah
penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang
meningkat menjadi satu per 500 anak (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang
lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900
anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya
setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai
karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160
juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh
menyandang austime beserta spektrumnya?
Perkembangan penelitian autisme
Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh
seorang psikiater asal Amerika Serikat, Leo Kanner, di tahun 1943.
Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic Disturbances of
Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang
memiliki gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai
"autisme". Pada masa itu, anak-anak penderita autisme dianggap
sebagai anak yang bodoh dan terbelakang bukan sebagai anak yang
mengalami gangguan perkembangan.[10] Hasil penelitian yang
dilakukan Kanner ini kemudian menjadi titik tolak perkembangan
penelitian autisme serta perubahan pandangan masyarakat terhadap
anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan
pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui
experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model
psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun
1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku
psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan
(Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan
beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi
treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki
anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin
dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya
mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan
dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk
tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat
berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime
untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara
detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai
seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang
bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang
dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan
Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus,
termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat
program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang
dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak
dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang
kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal
psikologi.
2. Sindrom Asperger5Sindrom Asperger atau Gangguan Asperger (SA)
merupakan suatu gejala kelainan perkembangan syaraf otak yang
namanya diambil dari seorang dokter berkebangsaan Austria, Hans
Asperger, yang pada tahun 1944 menerbitkan sebuah makalah yang
menjelaskan mengenai pola perilaku dari beberapa anak laki-laki
memiliki tingkat intelegensi dan perkembangan bahasa yang normal,
namun juga memperlihatkan perilaku yang mirip autisme, serta
mengalami kekurangan dalam hubungan sosial dan kecakapan
komunikasi. Walaupun makalahnya itu telah dipublikasikan sejak
tahun 1940-an, namun Sindrom Asperger baru dimasukkan ke dalam
katergori DSM IV pada tahun 1994 dan baru beberapa tahun terakhir
Sindrom Asperger tersebut dikenal oleh para ahli dan orang
tua.Seseorang penyandang SA dapat memperlihatkan bermacam-macam
karakter dan gangguan tersebut. Seseorang penyandang SA dapat
memperlihatkan kekurangan dalam bersosialisasi, mengalami kesulitan
jika terjadi perubahan, dan selalu melakukan hal-hal yang sama
berulang ulang. Sering mereka terobsesi oleh rutinitas dan
menyibukkan diri dengan sesuatu aktivitas yang menarik perhatian
mereka. Mereka selalu mengalami kesulitan dalam membaca aba-aba
(bahasa tubuh) dan seringkali seseorang penyandang SA mengalami
kesulitan dalam menentukan dengan baik posisi badan dalam ruang
(orientasi ruang dan bentuk).
Karena memiliki perasaan terlalu sensitif yang berlebihan
terhadap suara, rasa, penciuman dan penglihatan, mereka lebih
menyukai pakaian yang lembut, makanan tertentu dan merasa terganggu
oleh suatu keributan atau penerangan lampu yang mana orang normal
tidak dapat mendengar atau melihatnya. Penting untuk diperhatikan
bahwa penyandang SA memandang dunia dengan cara yang berlainan.
Sebab itu, banyak perilaku yang aneh dan luar biasa yang disebabkan
oleh perbedaan neurobiologi tersebut, bukan karena sengaja berlaku
kasar atau berlaku tidak sopan, dan yang lebih penting lagi, adalah
bukan dikarenakan 'hasil didikan orang tua yang tidak benar'.
Menurut definisi, penyandang SA mempunyai IQ.normal dan banyak
dari mereka (walaupun tidak semua) memperlihatkan pengecualian
dalam keterampilan atau bakat di bidang tertentu. Karena mereka
memiliki fungsionalitas tingkat tinggi serta bersifat naif, maka
mereka dianggap eksentrik, aneh dan mudah dijadikan bahan untuk
ejekan dan sering dipaksa temanya untuk berbuat sesuatu yang tidak
senonoh. Walaupun perkembangan bahasa mereka kelihatannya normal,
namun penyandang SA sering tidak pragmatis dan prosodi.
Perbendaharaan kata-kata mereka kadang sangat kaya dan beberapa
anak sering dianggap sebagai 'profesor kecil'. Namun mereka dapat
menguasai literatur tapi sulit menggunakan bahasa dalam konteks
sosial.
Sifat-sifat dalam belajar dan berperilaku pada murid penyandang
Asperger antara lain:
Sindrom Asperger merupakan suatu sifat khusus yang ditandai
dengan kelemahan kualitatif dalam berinteraksi sosial. Sesorang
penyandang Sindrom Asperger (SA) dapat bergaul dengan orang lain,
namun dia tidak mempunyai keahlian berkomunikasi dan mereka akan
mendekati orang lain dengan cara yang ganjil (Klin & Volkmar,
1997). Mereka sering tidak mengerti akan kebiasaan sosial yang ada
dan secara sosial akan tampak aneh, sulit ber-empati, dan salah
menginterpretasikan gerakan-gerakan. Pengidap SA sulit dalam
berlajar bersosialisasi serta memerlukan suatu instruksi yang jelas
untuk dapat bersosialisasi.
Walaupun anak-anak penyandang SA biasanya berbicara lancar saat
mencapai usia lima tahun, namun mereka sering mempunyai masalah
dalam menggunakan bahasa dalam konteks sosial ( pragmatik ) dan
tidak mampu mengenali sebuah kata yang memiliki arti yang
berbeda-beda (semantic) serta khas dalam berbicara /prosodi (tinggi
rendahnya suara, serta tekanan dalam berbicara) (Attwood, 1998).
Murid penyandang SA bisa jadi memiliki perbendaharaan kata-kata
yang lebih, dan sering tak henti-hentinya berbicara mengenai suatu
subyek yang ia sukai. Topik pembicaraan sering dijelaskan secara
sempit dan orang itu mengalami kesulitan untuk berpindah ke topik
lain. Mereka dapat merasa sulit berbicara teratur. penyandang SA
dapat memotong pembicaraan orang lain atau membicarakan ulang
pembicaraan orang lain, atau memberikan komentar yang tidak relevan
serta mengalami kesulitan dalam memulai dan mengakhiri suatu
pembicaraan. Cara berbicaranya kurang bervariasi dalam hal tinggi
rendahnya suara, tekanan dan irama, dan, bila murid tersebut telah
mencapai usia lebih dewasa, cara berbicaranya sering terlalu
formal. Kesulitan dalam berkomunikasi sosial dapat terlihat dari
cara berdiri yang terlalu dekat dengan orang lain, memandang lama,
postur tubuh yang tidak normal, dan tak dapat memahami
gerakan-gerakan dan ekspresi wajah.
Murid penyandang SA memiliki kemampuan intelegensi normal sampai
di atas rata-rata, dan terlihat berkemampuan tinggi. Kebanyakan
dari mereka cakap dalam memperdalam ilmu pengetahuan dan sangat
menguasai subyek yang mereka sukai pernah pelajari. Namun mereka
lemah dalam hal pengertian dan pemikiran abstrak, juga dalam
pengenalan sosial. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan
akademis, khususnya dalam kemampuan membaca dan mengerti apa yang
dibaca, menyelesaikan masalah, kecakapan berorganisasi,
pengembangan konsep, membuat kesimpulan dan menilai. Ditambah pula,
mereka sering kesulitan untuk bersikap lebih fleksibel. Pemikiran
mereka cenderung lebih kaku. Mereka juga sering kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan, atau menerima kegagalan yang
dialaminya, serta tidak siap belajar dari kesalahan-kesalahanya.
(Attwood 1998).
Diperkirakan bahwa 50% - 90% dari penyandang SA mempunyai
kesulitan dalam koordinasi motoriknya (Attwood 1998). Motorik yang
terkena dalam hal melakukan gerakan yang berpindah-pindah
(locomotion), kecakapan bermain bola, keseimbangan, cakap
menggerakan sesuatu dengan tangan, menulis dengan tangan, gerak
cepat, persendian lemah, irama serta daya mengikuti
gerakan-gerakan.
Seorang penyandang SA memiliki kesamaan sifat dengan penyandang
autisme yaitu dalam menanggapi rangsangan sensori. Mereka bisa
menjadi hiper sensitif terhadap beberapa rangsangan tertentu dan
akan terikat pada suatu perilaku yang tidak biasa dalam memperoleh
suatu rangsangan sensori yang khusus.
Seorang penyandang SA biasanya kelihatan seperti tidak
memperhatikan lawan bicara, mudah terganggu konsentrasinya dan
dapat / pernah dikategorikan sebagai penyandang ADHD (Attention
Deficit Hyperactivity Disorder) sewaktu di-diagnosa dalam masa
kehidupan mereka (Myles & Simpson, 1998).
Rasa takut yang berlebihan juga merupakan salah satu sifat yang
dihubungkan dengan penyandang SA. Mereka akan sulit belajar
menyesuaikan diri dengan tuntutan bersosialisasi di sekolah.
Instruksi yang baik dan benar akan membantu meringankan
tekanan-tekanan yang dialaminya.
Kuesioner berikut ini di dibuat untuk mengidentifikasi perilaku
dan kemampuan dari Asperger Sindrom pada anak-anak usia sekolah
dasar yang merupakan saat dimana pola perilaku dan kemampuan mereka
dapat dengan jelas dapat diamati. Masing-masing pertanyaan berikut
memiliki peringkat skor dimulai dari angka nol (0) atau sama dengan
tingkat rata-rata dari anak normal: 0 = jarang (jrg) , 6 =
sering
Kuesioner:KEMAMPUAN SOSIAL DAN EMOSIONAL
Apakah anak tersebut kurang memiliki pemahaman mengenai
bagaimana cara bermain dengan anak lain? Contohnya, tidak menyadari
akan adanya aturan permainan yang tak tertulis?|0|1|2|3|4|5|6|
Jikalau sedang bebas bermain dengan anak lain, saat makan siang
di sekolah, apakah anak tersebut menolak melakukan kontak sosial
dengan anak lain? Misalnya, ia lebih suka memilih tempat yang sunyi
atau pergi ke ruang perpustakaan? |0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut tampaknya tidak menyadari akan kebiasaan
sosial atau tata cara bertingkah laku lalu melakukan tindakan dan
memberikan komentar-komentar yang tidak pada tempatnya? Contohnya,
dia melontarkan suatu komentar pribadi kepada seseorang, sedangkan
dia sendiri tampaknya tidak sadar bahwa ucapannya itu akan membuat
orang lain marah?|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut biasanya mengharapkan orang lain mengerti
perasaan-perasaan, pengalaman dan pendapat-pendapat mereka?
Misalnya dia, tidak menyadari bahwa kita tidak dapat mengetahui hal
tersebut karena pada saat itu kita tidak berada disamping
dia?.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut perlu selalu diyakinkan kembali, terutama
ketika ada perubahan atau jika terjadi sesuatu kesalahan?
|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut tidak dapat mengekpresikan
pengalaman-pengalaman emosionalnya? Contohnya, anak tersebut
memberikan reaksi tertekan atau mengasihi yang tidak sesuai dengan
suatu situasi/keadaan ?|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut kurang memiliki kemampuan dalam
mengexpresikan emosinya? |0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut tidak berminat untuk ikut serta dalam
pertandingan olah raga, permainan dan aktivitas lainnya?. Angka nol
(0) berarti anak tersebut menyukai pertandingan olah
raga.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut berbeda terhadap trend anak sekarang atau
tekanan teman? Angka nol (0) berarti bahwa anak tersebut tergila
gila trend. Contohnya, anak tidak menuruti trend mutakhir dalam
memilih mainan atau baju-baju? |0|1|2|3|4|5|6|
B: KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI
Apakah anak tersebut kurang menerima secara harafiah suatu
penjelasan dari suatu kritik? Misalnya ia menjadi bingung
mengartikan idiom seperti 'pull your socks up - berusahalah', atau
'looks can kill - pandangan yang mematikan' atau 'hop on the scales
- melompat lebih tinggi' ?|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut memiliki nada suara yang tidak biasa?
Misalnya, anak tersebut memiliki tekanan suara yang terdengar asing
di telinga atau suaranya membosankan, atau tidak ada tekanan pada
kata-kata kunci/utama? |0|1|2|3|4|5|6|
Pada saat berbicara apakah anak tersebut cenderung jarang
memandang lawan bicaranya sebagaimana kita harapkan?
|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut berbicara terlalu teliti atau
memperlihatkan pengetahuannya, misalnya cara berbicaranya terlalu
formal atau mirip kamus berjalan?|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut punya masalah dalam memperbaiki suatu
percakapan? Contohnya jika kebingungan mereka (perempuan atau
laki-laki) tidak meminta penjelasan namun hanya beralih pada suatu
topik yang mereka kenal atau perlu waktu lama untuk mencari
jawabannya.|0|1|2|3|4|5|6|
C. KEMAMPUAN PENGENALAN/KOGNITIF
Apakah anak tersebut membaca buku khusus untuk mencari
informasi, dan tidak tertarik pada bacaan fiksi? Misalnya anak
tersebut gemar membaca buku ensiklopedi atau buku ilmu pengetahuan,
namun tidak senang dengan buku cerita tentang
petualangan.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut memiliki daya ingat yang kuat mengenai
sesuatu kejadian atau fakta? Misalnya mampu mengingat nomor plat
mobil milik tetangga yang dilihatnya beberapa tahun lalu, atau
dengan mudah dapat mengingat kembali suatu kejadian beberapa tahun
yang lalu.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut kurang memiliki imajinasi sosial, misalnya
tidak mengikut sertakan anak-anak lain dalam permainan imajinasinya
atau dia menjadi bingung ketika ikut serta dalam permainan
berpura-pura dengan anak lain.|0|1|2|3|4|5|6|
D. MINAT KHUSUS
Apakah anak tersebut merasa kagum pada suatu topik khusus dan
kemudian gemar mengumpulkan informasi atau statistik mengenai topik
tersebut? Misalnya anak tersebut berubah menjadi ensiklopedi
berjalan, punya pengetahuan mengenai kendaraan, peta-peta ataupun
table liga sepak bola.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut menjadi marah atau kecewa berlebihan karena
adanya suatu perubahan dari keadaan biasanya, atau terjadi
perubahan di luar harapannya? Misalnya: dia kesal jika pergi ke
sekolah melewati rute perjalanan yang lain dari
biasanya.|0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut mengerjakan (mengembangkan) suatu rutinitas
atau ritual yang harus diselesaikan? Umpamanya menempatkan
mainannya dengan sejajar sebelum pergi tidur.|0|1|2|3|4|5|6|
E. KELINCAHAN DALAM BERGERAK
Apakah anak tersebut memiliki koordinasi motorik yang lemah?
Misalnya kurang cepat menangkap bola. |0|1|2|3|4|5|6|
Apakah anak tersebut berlari dengan cara yang aneh?
|0|1|2|3|4|5|6|
F. KARAKTER / SIFAT LAINUntuk bagian ini, beri tanda silang jika
anak menunjukkan tanda-tanda yang dapat memperlihatkan sifat mereka
seperti dibawah ini:
Memperlihatkan ketakutan yang luar biasa karena:Kesal bila
mendengar suara-suara yang biasa misalnya bunyi alat-alat rumah
tangga dari listrik. [_]Menyentuh kulit atau kulit kepala,
[_]Memakai pakaian khusus, [_]Suara berisik yang
tiba-tiba,[_]Melihat sesuatu obyek/barang, [_]Kebisingan, berada di
suatu tempat yang bising misalnya supermarket [_]Cenderung gemetar
atau kaku bila sedang dilanda kegembiraan atau suatu
kekesalan[_]Kurang sensitif terhadap tingkat rasa sakit yang
rendah. [_]Lamban dalam menjawab pertanyaan [_]Memperlihatkan mimik
wajah yang aneh/lucu [_]3. Retardasi mental 6Retardasi mental
adalah kondisi sebelum usia 18 tahun yang ditandai dengan rendahnya
kecerdasan (biasanya nilai IQ-nya di bawah 70) dan sulit
beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari. Retardasi mental tertuju
pada sekelompok kelainan pada fungsi intelektual dan defisit pada
kemampuan adaptif yang terjadi sebelum usia dewasa. Akan tetapi,
klasifikasi retardasi mental lebih bergantung pada hasil penilaian
IQ dari pada kemampuan adaptif.
Kriteria Diagnosis
1. Nilai IQ sekitar 70 atau dibawahnya
2. Adanya defisit atau gangguan pada fungsi adaptif minimal 2
dari fungsi berikut: komunikasi, self-care, tempat tinggal,
kemampuan sosial/interpersonal, akademis, kerja, kesehatan,
keamanan, penggunaan tempat umum, self-direction, makan.
3. Onset terjadi sebelum berumur 18 tahun.Epidemiologi
Prevalensi retardasi mental dari dari populasi umum sekitar 1-3%
Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 1,5:1 85% dari seluruh kasus
merupakan kasus Ringan.KlasifikasiKlasifikasi dibawah ini merupakan
klasifikasi berdasarkan hasil penilaian IQ, yaitu:1. Retardasi
Mental Ringan (mild): bila nilai IQ berkisar 70-55/502. Retardasi
mental sedang (moderate): bila nilai IQ berkisar antara 55/50
40/353. Retardasi mental berat (severe): bila nilai IQ berkisar
antara 40/35 25/204. Retardasi mental sangat berat (Profound): bila
nilai IQ berada di bawah 25/20.Faktor RisikoFaktor risiko
terjadinya retardasi mental diantaranya:1. Genetik: kelainan
biologis yang memungkinkan terjadinya retardasi mental seperti
sindroma Down, sindroma Fragile-X2. Sosioekonomik: pendidikan orang
tua yang rendah ditambah dengan buruknya nutrisi atau kemiskinan
yang dapat berisiko menyebabkan retardasi mental.
3. Pengaruh lingkungan.
4. Kelainan Metabolik
5. Maternal substance abuse6. Trauma atau penyakit (illness)
7. Idiopatik, kurang lebih 40%.
8. Infeksi maternal seperti infeksi Rubela, Cytomegalovirus,
Sifilis genital.
Ciri-ciri retardasi mentalCiri utama retardasi mental adalah
lemahnya fungsi intelektual. Lama sebelum muncul tes formal untuk
menilai kecerdasan, orang dengan retardasi mental dianggap sebagai
orang yang tidak dapat menguasai keahlian yang sesuai dengan
umurnya dan tidak bisa merawat dirinya sendiri. Selain
intelegensinya rendah, anak dengan retardasi mental juga sulit
menyesuaikan diri dan susah berkembang. Keterampilan adaptif antara
lain adalah keahlian memperhatikan dan merawat diri sendiri dan
mengemban tanggung jawab sosial seperti berpakaian, buang air,
makan, kontrol diri, dan berinteraksi dengan kawan sebaya.
Manifestasi KlinisPasien anak biasanya datang dengan keluhan
dismorfisme seperti mikrosefali disertai dengan gagal tumbuh sesuai
usia, tidak ada tanda-tanda khusus secara fisik yang menunjukan
kelainan intelektual. Kebanyakan anak dengan gangguan intelektual
sulit bersosialisasi dengan anak seumurnya, tidak berkembang sesuai
umurnya misalnya kurangnya pendengaran atau penglihatan, postur
yang tidak sesuai, atau sulit untuk duduk atau berjalan pada anak
usia 6-18 bulan. Gangguan bicara dan bahasa paling banyak terjadi
setelah usia 18 bulan. Retardasi mental banyak teridentifikasi pada
usia 3 tahun.
Manajemen TerapiManajemen terapi yang mungkin diberikan pada
anak dengan retardasi mental diantaranya:1. Dokter anak memeriksa
fisik anak secara lengkap dan mengobati kelainan/penyakit yang
mungkin ada.Adapun pencegahan yang mungkin dilakukan yaitu:a.
Preventif primer: Memberikan perlindungan spesifik terhadap
penyakit tertentu (imunisasi) Meningkatkan kesehatan dengan
memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup sehatb. Preventif
Sekunder: Mendeteksi penyakit sedini mungkin. Diagnosis dini PKU
(fenilketonuria) dan hipotiroid ditanggulangi (untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut). Koreksi defek sensoris kemudian dilakukan
stimulasi dini (stimulasi sensoris, speech therapist)2. Psikolog
untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak.3. Pekerja
sosial untuk menilai situasi keluarga bila dianggap perlu.Setelah
dilakukan penilaian, dirancang strategi terapi, mungkin perlu
dilibatkan lebih banyak ahli. Misalnya ahli saraf anak bila
menderita epilepsy, palsi serebral dll. psikiater bila anak
tersebut menderita kelainan tingkah laku; fisioterapis untuk
merangsang perkembangan motorik dan sensorik; ahli terapi bicara
serta guru pendidikan luar biasa.Prognosis
Seorang anak yang mengalami retardasi mental yang berat,
prognosis kedepannya ditentukan oleh keadaan anak tersebut pada
masa awal kanak-kanaknya. Retardasi mental yang ringan bisa jadi
terjadi hanya sementara. Anak-anak mungkin akan didiagnosa sebagai
retardasi mental pada awalnya, namun pada tahun-tahun usia
berikutnya, mungkin kelainannya akan dapat lebih dispesifikan,
contohnya gangguan komunikasi dan autism.Efek jangka panjang dari
setiap individu berbeda-beda, bergantung pada derajat deficit
kognitif dan adaptif, gangguan perkembangan pada masa embrionik,
dan dukungan keluarga serta lingkungan.4. Depresi Pada Anak7
Depresi pada anak dan remaja merujuk pada sindrom-sindrom
depresif yang didefinisikan di dalam revisi teks edisi keempat dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR)
dan di dalam edisi kesepuluh dari International Classification of
Diseases (ICD-10) yang terjadi pada anak dan remaja. Sindrom
depresif mengacu pada suatu kelompok tingkah laku dan emosi yang
meliputi kecemasan dan depresi yang berupa perasaan kesepian,
menangis, takut melakukan hal-hal yang buruk, perasaan tidak
dicintai, perasaan bersalah, perasaan tidak berharga, gugup, rasa
sedih atau cemas. Diagnosis dari sindrom-sindrom depresif tersebut
dapat berupa : gangguan depresi mayor, gangguan distimik, dan
gangguan depresi yang tak dapat digolongan di tempat lain (not
otherwise specified).
Epidemiologi Berbagai macam angka prevalensi telah dilaporkan.
Berbagai perbedaan tersebut kemungkinan akibat perbedaan populasi
sampel, pasien anak-anak rawat inap atau rawat jalan. Perbaikan
pada instrumen terstruktur atau semi struktur untuk mendiagnosis
gangguan-gangguan psikiatrik pada anak dan remaja sejak tahun
1980-an telah membuat penilaian menjadi lebih akurat.
Studi-studi epidemiologik yang dilakukan di Amerika Serikat
melaporkan insidensi depresi sebesar 0,9 persen pada anak
pra-sekolah, 1,9 persen pada anak usia sekolah, dan 4,7 persen pada
remaja. Rutter dan kawan-kawan melaporkan tidak adanya gangguan
depresif pada anak laki-laki dan hanya 3 anak perempuan usia 10 11
tahun, walaupun simtom-simtom depresi umum dijumpai. Pada anak 14
tahun gangguan depresif ditemukan sebesar 14 persen. Pada remaja
yang didiagnosis gangguan depresif mayor, juga banyak terdapat
simtom-simtom yang memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan
distimik (double depression). Suatu angka prevalensi sebesar 3,3
persen telah ditemukan untuk gangguan distimik. Weller dan Weller
pada tahun 1990 telah menemukan bahwa prevalensi gangguan depresif
mayor pada sampel klinik anak dan remaja sebesar 58 persen pada
klinik-klinik
pada pasien rawat jalan di klinik psikiatrik, dan 40 - 60 persen
pada tempat-tempat perawatan psikiatrik. Sebagai perbandingan,
prevalensi 7 persen ditemukan pada anak-anak yang mengalami rawat
inap di rumah sakit. Emsli dan kawan-kawan pada tahun 1990 yang
menilai simtom-simtom depresif pada murid-murid sekolah menengah,
menemukan bahwa perempuan hispanik lebih depresi , sedangkan
laki-laki kulit putih lebih jarang mengalami depresi. Jenis kelamin
wanita, berada di kelas bagian belakang, dan etnis selain kulit
putih ditemukan memiliki simtom-simtom depresif yang lebih tinggi.
Menurut Allen dan kawan-kawan, anak-anak yang mendapat perawatan
khusus memiliki skor rata-rata CDI yang lebih tinggi daripada
anak-anak biasa. Mereka melaporkan simtom-simtom depresif yang
lebih banyak daripada anak-anak biasa. Simtom-simtom depresif ini
berhubungan dengan usia, namun tidak berhubungan dengan faktor
demografik dan variabel lainnya. Depresi pada anak dan remaja
menurut Calles ditemukan sebesar 0,4 persen sampai dengan 2,5
persen pada anak-anak, kemudian 0,4 persen sampai dengan 8,3 persen
pada remaja di komunitas.
Etiologi Terdapat sejumlah teori tentang etiologi gangguan
depresif pada anak dan remaja. Teori-teori tersebut antara lain
adalah :
Abnormalitas Neuroendokrin
Hipersekresi kortisol sebagaimana juga nonsupresi deksametason
telah dilaporkan pada anak-anak prapubertas dan remaja. Weller dan
Weller telah melaporkan penggunaan tes supresi deksametason pada
anak dan remaja. Secara keseluruhan, 54 persen dari anak dan remaja
yang terdepresi memiliki tes supresi deksametason yang abnormal.
Abnormalitas ini semakin jelas pada anak prapubertal (70 persen)
daripada remaja (43 persen). Penjelasan tentang hal ini kemungkinan
depresi pada prapubertas lebih berat daripada depresi pada remaja,
selain itu juga sistem neuroendokrin pada anak prapubertas lebih
intak oleh karena belum banyak dipengaruhi oleh pemakaian obat dan
hormon-hormon seks. Weller dan kawan-kawan juga menemukan bahwa
hasil klinis pada beberapa anak prapubertas yang mengalami depresi
berhubungan dengan hasil tes supresi deksametason. Penanda biologis
lainnya adalah hormon pertumbuhan, dimana dijumpai hiposekresi pada
anak yang terdepresi sebagai respons terhadap perubahan insulin.
McKnew dan Cytrin melaporkan penurunan
3-methoxy-4-hydroxyphenylethyl glycol (MHPG) pada urin anak yang
terdepresi.
Studi-studi tidur
Pada dewasa yang terdepresi telah dilaporkan pemendekan latensi
rapid eye movement (REM), peningkatan densitas REM, gelombang
lambat abnormal, dan penurunan dalam efisiensi tidur. Pada anak
telah dilaporkan hasil yang sebaliknya. Dibutuhkan penelitian
lanjutan untuk memperjelas hal ini.
Studi-studi Genetik
Studi anak kembar telah melaporkan angka konkordansi pada kembar
monozigot sebesar 76 persen dibandingkan dengan 19 persen pada
kembar dizigot. Pada studi anak-anak dari orangtua yang terdepresi
telah ditemukan peningkatan kejadian gangguan afektif. Pada studi
orangtua dari anak dan remaja yang terdepresi telah ditemukan
risiko morbiditas sesuai usia untuk gangguan afektif dibandingkan
dengan risiko terhadap anggota keluarga lainnya. Gambaran Klinis
dan Diagnosis Depresi mayor pada anak dan remaja ditentukan dengan
menggunakan kriteria DSM-IV-TR sekurangnya ada gejala depresi atau
mood iritabel selama 2 minggu dan kurangnya ketertarikan, diikuti
dengan sekurangnya empat simtom : perubahan berat badan, gangguan
tidur, retardasi atau agitasi psikomotor, kelelahan atau
berkurangnya energi, perasaan bersalah, penurunan konsentrasi, dan
ide atau rencana bunuh diri. Simtom harus menyebabkan gangguan
dalam fungsi anak, sebagai contoh, penampilan dalam lingkungan
sekolah atau hubungan dengan teman sebaya, hal ini penting untuk
mendiagnosis pada anak remaja. Gangguan tersebut membantu untuk
membedakan simtom ini dari fase anak atau remaja.
Anak remaja dengan gangguan depresi mayor sering menampilkan
mood iritabel daripada disforia. Biasanya mereka tidak perduli
terhadap semakin besarnya iritabilitas mereka atau efeknya terhadap
interaksi dengan orang lain.
Remaja yang mempunyai beberapa tilikan terhadap iritabilitas
mereka mungkin mengatakan bahwa segalanya membuat mereka marah baik
itu penting atau tidak. Kehilangan kegembiraan atau perhatian dapat
membuat anak remaja menarik diri dari sekolah atau aktivitas dan
pertemanan mereka. Gangguan tidur biasa terdapat pada anak remaja
yang terdepresi, sebagian mengalami sulit tidur. Berkurangnya berat
badan atau susahnya naik berat badan lebih sering daripada kenaikan
berat badan. Anak remaja yang terdepresi sering merasa lelah dan
beristirahat sepulang sekolah. Kurangnya konsentrasi dapat
bermanifestasi terhadap prestasi sekolah. Seorang anak sering
menggambarkan perasaan bersalah seolah-olah tak ada yang
menyukainya. Usaha bunuh diri dan ciri psikotik lebih umum djiumpai
pada remaja yang terdepresi daripada anak.
Anak remaja yang terdepresi seringkali tidak menganggap mereka
sedang depresi oleh karena mood mereka lebih sering iritabel
daripada terdepresi. Orangtua seringkali tidak mengenali
gejala-gejala dari anak remaja mereka yang terdepresi. Anak dan
remaja yang terdepresi lebih sering dibawa untuk evaluasi oleh
karena adanya penurunan prestasi di sekolah, penyalahgunaan zat,
usaha bunuh diri, atau suatu perubahan perilaku.
Untuk kriteria diagnostik gangguan distimik menurut DSM-IV-TR,
anak atau remaja haruslah memiliki mood terdepresi atau iritabel
sekurang-kurangnya selama 1 tahun. Sebagai tambahan, harus ada
sekurangnya 2 gejala berikut : selera makan yang menurun atau makan
yang berlebihan, insomnia atau hipersomnia, energi yang rendah atau
perasaan kelelahan, harga diri yang rendah, konsentrasi yang buruk
atau kesulitan untuk membuat keputusan, dan perasaan hilang
harapan/keputusasaan. Anak remaja dengan gangguan distimik memiliki
simtom-simtom melankolik dan neurovegetatif yang lebih rendah
daripada yang dengan gangguan depresif mayor. Kronisitas dari
gangguan distimik menghasilkan gangguan psikososial yang
signifikan. Gangguan depresif pada anak dan remaja sering komorbid
dengan kondisi psikiatrik lainnya seperti gangguan ansietas,
gangguan hiperaktivitas, gangguan tingkah laku, dan penyalahgunaan
zat.
5. Komorbiditas8
Gangguan mood sering ditemukan pada pasien retardasi mental
karena terdapat gangguan belajar, social skills deficits dan self
esteem yang rendah. Keluhan yang muncul berupa: iritabel, mudah
untuk menangis (tidak ada perencanaan masalah), sulit tidur,
agitasi, mood yang labil, social withdrawal, dan isolasi
Penatalaksanaan
Anak ditempatkan di kelas/sekolah yang sesuai dengan taraf
kemampuannya yang terbatas itu. Sekolah anak dengan kebutuhan
khusus (kerjasama antara psikiater dengan dokter anak, rehab medik,
psikolog, terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapis dan tenaga
pendidik/remedial)
Edukasi dan support orang tua untuk dapat menerima kondisi
anaknya yang demikian ini.
Farmakoterapi
Dokter harus ekstra hati-hati dalam pemberian obat dan interaksi
obat pada pasien dengan retardasi mental ( uji coba obat yang
melibatkan pasien retardasi mental sangat terbatas. Pemberian obat
sesuai gejala yang muncul. Pasien retardasi mental ( pemakaian
dosisnya lebih rendah dibanding dengan anak normal.
Pemeriksaan Penunjang1. Anamnesis
Ditanyakan mengenai perkembangan anak yang meliputi aspek-aspek
fisik, mental, emosi, sosial dan gangguan yang mungkin timbul dalam
perkembangannya.Hubungan antara perkembangan anak dengan
factor-faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya orang tua,
saudara-saudara, lingkungan rumah, lingkungan pergaulan dll.
2. Observasi
Sebagai salah satu cara penilaian kepribadian yang meliputi
penampilan fisis, sikap dan tingkah laku dalam pemeriksaan,
kebiasaan tertentu yang diperlihatkan dan reaksi terhdaap
lingkungan
3. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap anak yang sudah cukup besar untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai kehidupan emosi, sikap dan
pendapatnya mengenai orang tua dan saudara-saudaranya.Wawancara
juga digunakan sebagai sumber informal test untuk mengetahui fungsi
inteleknya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti
misalnya berapa kakinya dan sebagainya.
4. Uji psikologis
Pemeriksaan ini umumnyadigolongkan menjadi dua golongan, yaitu
:
a. Uji inteligensia
Untuk mengetahui berbagai segi dari fungsi intelek (misalnya
daya ingatan, konsentrasi) baik secara khusus maupun secara umum
yang dinyatakan dengan Intelligence Quotient (IQ).
Contoh : Wechesrler Intelligence Scale for children (WISC)
b. Uji kepribadian
Banyak dipergunakan dengan metode proyeksi, artinya anak
memproyeksi cirri-ciri karakterologiknya (misalnya emosi, cara
penyesuaian diri) pada suatu screen.
Contoh : Childrens Apperception Test (CAT)
Pemeriksaan Patologi dan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang patognomonik untuk
gangguan defisit atensi/hiperaktivitas. Beberapa pemeriksaan
laboratorium sering menemukan hasil abnormal yang tidak spesifik
pada anak-anak hiperaktif, seperti hasil EEG yang terdisorganisasi
dan imatur, dan tomografi emisi positron (PET) mungkin menunjukkan
penurunan aliran darah serebral di daerah frontalis.
Tes kognitif yang membantu dalam menegakkan inatensi dan
impulsivitas anak adalah tugas kinerja kontinu, dimana anak diminta
memijat tombol tiap kali urutan huruf atau angka tertentu
ditampilkan dilayar.Anak-anak dengan atensi yang buruk membuat
kesalahan tindakan, yaitu mereka tidak memijat tombol walaupun
urutan tersebut telah ditampilkan. Impulsivitas dimanifestasikan
oleh kesalahan tindakan, dimana mereka tidak mampu menahan memijat
tombol, walaupun urutan yang diinginkan belum ditampilkan
dilayar.1Pentalaksanaan dan TerapiFarmakoterapi
Agen farmakologis untuk GPPH adalah stimulant system saraf pusat
terutama dextroamphetamine (Dexedrine), methylphenidate, dan
pemoline (Cylert).Food and Drug Administration (FDA) mengizinkan
dextroamphetamine pada anak berusia 3 tahun dan lebih dan
methylphenidate pada anak berusia 6 tahun dan lebih; keduanya
adalah obat yang paling sering digunakan.Methylphenidate telah
terbukti sangat efektif pada hampir tiga perempat anak dengan GPPH
dan memiliki efek samping yang relative kecil. Efek samping obat
yang paling sering adalah nyeri kepala, nyeri lambung, mual, dan
insomnia. Beberapa anak mengalami efek rebound, dimana mereka
menjadi agak mudah marah dan tampak agak hiperaktif selama waktu
singkat saat medikasi dihentikan.1 Antidepresan termasuk imipramine
(Tofranil), despiramine, dan nortriptyline (Pamelor) telah
digunakan untuk mengobati GPPH dengan suatu keberhasilan.
Antidepresan memerlukan monitoring yang cermat pada fungsi jantung.
Beberapa penelitian melaporkan kematian mendadak pada anak dengan
GPPHPsikoterapi
Medikasi sendiri saja jarang memuaskan kebutuhan terapeutik yang
menyeluruh pada anak GPPH dan biasanya hanya merupakan satu segi
dari regimen multimodalitas.Pada psikoterapi individual, modifikasi
perilaku, konseling orang tua, dan terapi tiap gangguan belajar
yang menyertai mungkin diperlukan.
Jika menggunakan medikasi, anak dengan GPPH harus diberikan
kesempatan untuk menggali arti medikasi bagi mereka. Dengan
melakukan hal itu akan menghilangkan kekeliruan pengertian (seperti
saya gila) tentang pemakaian medikasi dan menjelaskan bahwa
medikasi hanya sebagai tambahan. Anak-anak harus mengerti bahwa
mereka tidak perlu selalu sempurna.
Jika anak-anak dengan GPPH dibantu untuk menyusun lingkungannya,
kecemasan mereka menghilang.Dengan demikian, orang tua dan guru
mereka harus membangun struktur hadiah atau hukuman yang dapat
diperkirakan, dengan menggunakan model terapi perilaku dan
menerapkannya pada lingkungan fisik, temporal, dan
interpersonal.Persyaratan yang hampir universal untuk terapi adalah
membantu bagi anak-anak mereka.Orang tua juga harus dibantu untuk
menyadari bahwa, walapun ada kekurangan pada anak-anak mereka dalam
beberapa bidang, mereka menghadapi tugas maturasi yang normal,
termasuk perlu mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.Dengan
demikian, anak-anak dengan GPPH tidak mendapatkan manfaat dari
dibebaskan dari persyaratan, harapan, dan perencanaan yang berlaku
untuk anak itu.Penutup
Kesimpulan
Riwayat di sekolah dan laporan guru adalah penting dalam menilai
apakah kesulitan anak dalam belajar dan perilaku di sekolah
terutama disebabkan oleh masalah perilaku atau maturasionalnya atau
karena citra diri mereka yang buruk. Anak tersebut memiliki
perilaku hiperaktif. Ia mengalami kesulitan untuk tetap duduk,
berpikir, tidak dapat mengikuti instruksi, tidak dapat
mempertahankan perhatian, berpindah dari satu aktivitas ke
aktivitas lain, memiliki kesulitan dalam bermain tenang dan Sering
menggangu orang lain dan berbuat onar.
Daftar pustaka1. Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: Infomedika Jakarta; 2007.p.64-6.2. Kaplan HI, Sadock BJ.
Sinopsis psikiatri jilid 1. Jakarta: Binarwa Aksara;
2010.h.744-53.
3. Rudolf AM, Hoffman Julien IE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri.
Ed 20. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2006.h.130-2.
4. Hamid A.Y (2008). Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta
: EGC
5. Santrock, J. W. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2010,
hal. 224-225.
6. Kliegman, Robert M. (2007). Nelson Textbook Of Pediatrics.
Saunders Elsevier.7. Jonathan, Birnkrant (2007). Crash Course:
Psychiatry. Mosby Elsevier.8. Elly Tania, dr., SpKJ. Bahan kuliah
Blok 13 gangguan jiwa pada anak27 | Page