BAB I PENDAHULUAN 1.Konsep Keuangan Daerah Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut”.Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5). Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.Konsep Keuangan Daerah
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah
adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala
sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut”.Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci
dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari
sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber
penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka
melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5).
Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah
kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan
dengan pentingnya posisi keuangan daerah ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139)
menegaskan:
“Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien
tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan Dan keuangan
inilah merupakan dalam satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.
Sementara itu, untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya
daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140)
merinci ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya,
antara lain:
1) Daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah direstui oleh
Pemerintah Pusat;
2) Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau Bank
atau melalui pemerintah pusat;
3) Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah,
misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);
4) Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak setral tertentu; dan
5) Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan keuangan daerah perlu dibuatkan suatu perencanaan agar
seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan
keuangan daerah inilah yang dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD
adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan
daerah.Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah menetapkan bahwa
kebijakan anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan diprioritaskan untuk
menstimulasi perekonomian daerah melalui pengeluaran pembangunan (development
budget). Sebaliknya, jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi,
maka APBD kurang dapat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena
anggaran pembangunan jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah
(Saragih, 2003:82).
Menurut Mamesah (1995:16) APBD sebagai sarana atau alat utama dalam
menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat dari daerah yang
bersangkutan;
2) Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi;
3) Memberikan isi dan arti tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah
khususnya, karena APBD itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah;
4) Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan cara
yang lebih mudah dan berhasil guna; dan
5) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.
Pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur
secara mendetail dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang
kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007)
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya
sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:
2.Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:
A.Pendapatan Asli Daerah;
Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar Pemerintah Daerah dalam
mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi
lain seperti dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan
penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan tentunya pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD antara lain terdiri dari:
1) Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada
semua obyek pajak, seperti orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;
2) Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu
jasa/fasilitas yang berlaku oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain:
a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;
c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat;
4) Lain-lain PAD yang sah, antara lain:
a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b) Jasa giro;
c) Pendapatan bunga;
d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h) Pendapatan denda pajak;
i) Pendapatan denda retribusi;
j) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k) Pendapatan dari pengembalian;
l) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Pemberian sumber PAD bagi daerah ini bertujuan untuk memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan
potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum bisa diandalkan sebagai sumber
pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota disebabkan oleh beberapa hal berikut.