Top Banner
PENDAHULUAN Setiap negara, apapun bentuk Negara tersebut, memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut Pratikno (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu; fungsi pelayanan publik (public services), fungsi pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah). Transfer/memberikan kewenangan dan tanggungjawab dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah di namakan dengan”desentralisasi”. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, telah terjadi mekanisme bahwa kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Untuk memahami desentralisasi, konep dan prakteknya serta kendala dan manfaatnya bagi peningkatakan kualitasa hubungan negara dan masyarakatnya akan dibahas dalam tulisan ini. 1.1. PengertianDesentralisasi Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan kedalam 2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation perspecitve (perspektif desentralisasi politik) dan administrative decentralisation perspecitve (perspektif desentralisasi administrasi). 1
103

Makalah Kelompok II

Oct 29, 2015

Download

Documents

bungaeka
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Kelompok II

PENDAHULUAN

Setiap negara, apapun bentuk Negara tersebut, memiliki fungsi-

fungsi tertentu sebagai upaya untuk mencapai tujuan negara. Menurut

Pratikno (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara yaitu;

fungsi pelayanan publik (public services), fungsi

pembangunan/kesejahteraan (welfare), dan fungsi

pengaturan/ketertiban (governability). Untuk melaksanakan ketiga

fungsi ini agar lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Pusat perlu

melakukan transfer atau memberikan kewenangan dan tanggungjawab

kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah (daerah).

Transfer/memberikan kewenangan dan tanggungjawab dari Pemerintah

Pusat kepada pemerintah tingkat yang lebih rendah di namakan

dengan”desentralisasi”.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU  Nomor 32

Tahun 2004, telah terjadi mekanisme bahwa kewenangan itu

didesentralisasikan ke daerah. Untuk memahami desentralisasi, konep dan

prakteknya serta kendala dan manfaatnya bagi peningkatakan kualitasa

hubungan negara dan masyarakatnya akan dibahas dalam tulisan ini.

1.1. PengertianDesentralisasi

Konsep desentralisasi secara umum dapat dikategorikan kedalam

2 (dua) perspektif utama, yakni political decentralisation perspecitve

(perspektif desentralisasi politik) dan administrative decentralisation

perspecitve (perspektif desentralisasi administrasi).

Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan

definisi dan tujuan desentralisasi. Perspektif desentralisasi politik

mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of

power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Parson

(1961), misalnya, mendefinisikan desentralisasi sebagai “… sharing of

1

Page 2: Makalah Kelompok II

the governmental power by a central ruling group with other groups,

each having authority within a specific area of the state.”

Sedangkan dekonsentrasi, menurut Parson, adalah “… the

sharing of power between members of the same ruling group having

authority respectively in different areas of the state.” Dengan merujuk

pada definisi desentralisasi dan dekonsentrasi yang dirumuskan Parson

tersebut, Mawhood (1987: 9) mengatakan bahwa desentralisasi adalah

“… devolution of power from central to local governments”2. Hal

senada juga dikemukakan oleh Smith (1985), yang mendefinisikan

desentralisasi sebagai “… the transfer of power, from top level to lower

level, in a territorial hierarchy, which could be one of government

within a state, or offices within a large organisation.”

Poin penting yang menarik untuk digarisbawahi di sini adalah

bahwa Smith mendudukkan ide devolution of power sebagai substansi

utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak

hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.

Pada sisi lain, perspektif desentralisasi administrasi lebih

menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang

administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah.

Rondinelli and Cheema (1983: 18), mengatakan: Decentralisation

is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority

from central government to its field organisations, local administrative

units, semi autonomous and parastatal organisations, local government,

or non-government organisations. Transfer kewenangan atau

pembagian kekuasaan ini terjadi dalam perencanaan pemerintah,

pengambilan keputusan dan administrasi dari pemerintah pusat ke unit-

unit organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi

setengah swatantra-otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah

daerah. Selanjutnya menurut Rondinelli, terdapat empat model

desentralisasi yang umum dijumpai dalam prakteknya, yaitu

dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan privatisasi.

2

Page 3: Makalah Kelompok II

Istilah dekonsentrasi  ini dipakai untuk menggambarkan

pemindahan beberapa kekuasaan administrasi ke kantor-kantor daerah

dari Departemen pemerintah pusat. Karena dalam model ini hanya

melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan kekuasaan politis,

maka jenis ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah.

Dekonsentrasi ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling sering

diterapkan di negara-negara sedang berkembang sejak tahun 1970-an.

Istilah Devolusi ini merupakan kebijakan untuk membentuk atau

memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional. Biasanya di tingkat

sub-nasional telah mempunyai status hukum yang jelas, mempunyai

batasan geografis yang tegas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan

kewenangan untuk mencari pendapatan dan membelanjakannya.

Istilah Delegasi ini merupakan pemindahan tanggung jawab

manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi yang

berada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak

langsung dikontrol oleh pemerintah pusat.

Istilah privatisasi merupakan pemindahan tugas-tugas dan

pengelolaan ke organisasi-organisasi sukarelawan atau perusahaan

privat yang mencari laba maupun tidak. Banyak pemerintah di negara

berkembang telah lama bergantung kepada organisasi-organisasi

sukarela dalam penyediaan pelayanan publik.

            Konsekuensi dari penyerahan wewenang dalam pengambilan

keputusan dan pengawasan kepada pemerintah lokal akan

memberdayakan kemampuan daerah (empowerment local capacity).

Perbedaan kedua perspektif dalam mendefinisikan desentralisasi,

berimplikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang

hendak dicapai. Secara umum, perspektif desentralisasi politik lebih

menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara

lain: meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para

penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan

integrasi nasional.

3

Page 4: Makalah Kelompok II

Menurut Sadu Wasistiono (2005 : 61), terdapat 2 tujuan

desentralisasi yaitu tujuan politik dan tujuan administratif.

Tujuan politik dari desentralisasi adalah dalam rangka mewujudkan

demokratisasi, sedangkan tujuan administratifnya adalah dalam

rangka efektivitas dan efisiensi pemerintahan.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa desentralisasi

pada dasarnya merupakan proses demokratisasi pemerintahan dengan

memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintahan lokal

(local government) dalam mengurus rumah tangga daerahnya untuk

mencapai efektivitas dan efisiensi pemerintahan.

Riswandha Imawan (2005 : 39) mengatakan bahwa

“desentralisasi merupakan konsekwensi dari demokratisasi. Tujuannya

adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik.

Dengan demikian, setiap keputusan harus dibicarakan bersama dan

pelaksanaan dari keputusan itu didesentralisasikan menjadi elemen

penting dalam proses demokratisasi. Bahkan secara tegas dinyatakan

oleh Ryaas Rasyid, (2007 : 17-18) bahwa “Kebijakan desentralisasi yang

melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari

kebijakan demokratisasi. Hal ini berarti ”Tidak ada demokrasi

pemerintahan tanpa desentralisasi”.

Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985) membedakan

tujuan desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah

pusat), dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.

Bila dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, tulis Smith

(1985), sedikitnya ada tiga tujuan utama desentralisasi.

Pertama, political education (pendidikan politik)3, maksudnya

adalah, melalui praktik desentralisasi diharapkan masyarakat belajar

mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan

politik yang mereka hadapi; menghindari atau bahkan menolak untuk

memilih calon anggota legislatif yang tidak memiliki qualifikasi

kemampuan politik; dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan

4

Page 5: Makalah Kelompok II

pemerintah, termasuk masalah penerimaan dan belanja daerah

(Maddick, 1963: 50-106).

Kedua desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah

to provide training in political leadership (untuk latihan

kepemimpinan). Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari

asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang

paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat sebelum

mereka menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional.

Kebijakan desentralisasi diharapkan akan memotivasi dan

melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional

Ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat adalah

to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik).

Melalui kebijakan desentralisasi akan terwujud kehidupan sosial yang

harmonis dan kehidupan politik yang stabil (Smith, 1985: 23).

Dari sisi kepentingan pemerintah daerah, tujuan

desentralisasi adalah untuk

Pertama untuk mewujudkan political equality. Melalui pelaksanaan

desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi

masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di

tingkat lokal. Masyarakat di daerah, tulis Smith (1985: 24), dapat

mempraktekkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya menjadi

anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan

kebebasan mengekspresikan kepentingan, dan aktif dalam proses

pengambilan kebijakan.

Kedua, desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah

adalah local accountability. Melalui pelaksanaan desentralisasi

diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan pemerintah

daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya, yang meliputi

hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan

implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol

pelaksanaan pemerintahan daerah.

5

Page 6: Makalah Kelompok II

Ketiga, desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah

adalah local responsiveness. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi

yang ketiga ini adalah: karena pemerintah daerah dianggap lebih

mengetahui berbagai masalah yang dihadapi komunitasnya,

pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk

mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi

pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

Tujuan desentralisasi menurut perspektif desentralisasi

administrasi (administrative decentralisastion perspective) lebih

menekankan pada aspek efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan ekonomi di

daerah sebagai tujuan utama desentralisasi. Rondinelli (1983: 4),

misalnya, menyebutkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai

melalui kebijakan desentralisasi adalah untuk meningkatkan

kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and

services, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

pembangunan ekonomi di daerah.

Ruland (1992), lebih menekankan aspek partisipasi masyarakat

dalam pembangunan ekonomi sebagai tujuan utama desentralisasi.

Lebih jelasnya, Ruland (1992:3) mengatakan “Decentralisation, as a

corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase

people participation, which would eventually lead to

socio-economic development” (1992: 3).

Hal penting yang perlu menjadi catatan dalam tulisan ini adalah

bahwa selain memiliki beberapa perbedaan mendasar, antara perspektif

desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi, juga memiliki

persamaan. Keduanya mendudukkan ‘Pendapatan Asli Daerah (PAD)’

sebagai Potensi Lokal adalah bagian dari faktor penentu pencapaian

keberhasilan atau kegagalan tujuan desentralisasi.

Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan

dan perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai

6

Page 7: Makalah Kelompok II

pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga

diartikan pelimpahan kewenangan dan pemerintah kepada sektor

swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack dkk. (1998:)

yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut.

"Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public

functions from the central government to subcordinate or quasi

independent government or organization or the private sector—covers a

broad rang of concepts. Each type of decentralization—political,

administrative, fiscal, and market—has different characteristics, policy

implications, and conditions for success. “

1.2. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide desentralisasi

(Imawan, 2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan

dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari

desentralisasi sendiri.

Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional.

Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan

fungsi pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar

dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan

kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan

Imawan (2005), Chaidir (2005) menyatakan bahwa otonomi

merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana

otonomi adalah suatu keadaan yang tidak tergantung pada siapa pun.

Dalam bahasa yang lebih politis, dalam konteks hubungan pusat —

daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh

daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan,

kebijakan publik, dan hal — hal lain, dalam batasan — batasan yang

telah ditetapkan dan disepakati bersama. Dengan adanya otonomi

sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih

dimungkinkan.

7

Page 8: Makalah Kelompok II

Otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri. Dan  urusan pemerintahan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk memaknai otonomi daerah, perlu dipahami bagaimana

filosofi dan visi dari otonomi daerah itu sendiri. Menurut Syamsuddin

Harris, (2007), ada 2 filosofi otonomi daerah yang penting untuk

dipahami, yaitu :

1) Melihat otonomi daerah sebagai otonomi dari masyarakat daerah,

bukan ”sekadar” otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis

dari cara pandang ini adalah bahwa kebijakan otonomi daerah harus

berorientasi pada pemberdayaan dan kesejahteraan bagi

masyarakat lokal.

2) Memandang otonomi daerah sebagai hak daerah yang sudah ada

pada masyarakat setempat. Konsekuensi logis dari cara pandang ini

adalah bahwa otonomi daerah sebagai hak masyarakat tidak dapat

dicabut oleh pemerintah pusat.

Visi otonomi daerah menurut Ryaas Rasyid, (2007 : 9) dapat

dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu

politik, ekonomi serta sosial budaya.

1) Visi otonomi daerah di bidang politik :

Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi

dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses

untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan yang

dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya

pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat

8

Page 9: Makalah Kelompok II

luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan

yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

2) Visi Otonomi daerah di bidang Ekonomi

Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan

ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak, terbukanya peluang

bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan regional

dan lokal untuk mengoptimalkan potensi ekonomi di daerahnya,

sehingga otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat

kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

3) Visi otonomi daerah di bidang sosial budaya :

Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan

dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama

memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif

terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika

kehidupan di sekitarnya.

1.3. Desentralisasi dan Kualitas Hubungan Negara dan Masyarakat (State-Society Relation)

Bila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif state-society

relation, akan diketahui bahwa sejatinya keberadaan desentralisasi

adalah untuk mendekatkan negara kepada masyarakat, sedemikian

rupa sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi yang dinamis,

baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi

kebijakan (Vincent Ostrom, 1991). Dengan mendudukkan desentralisasi

seperti ini, tegas Ostrom, maka diharapkan terwujud “… the features of

governance that would be appropriate to circumstance where people

govern rather than presuming that government govern” (1991:6).

Dalam kerangka berfikir perspektif state-society relation

desentralisasi bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebagai alat atau

sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat (society). Tujuan akhir

9

Page 10: Makalah Kelompok II

yang hendak dicapai tidak lain adalah demokratisasi, kemakmuran, dan

kesejahteraan rakyat.

Dengan kerangka berfikir perspektif state-society relation

cenderung tidak memisahkan antara konsep dan implementasi

kebijakan desentralisasi dengan sistem politik dari negara yang sedang

berkuasa

Dalam negara demokrasi pola interaksi antara state dan society

sangat dinamis. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan

society, baik pada proses pengambilan keputusan (policy making)

maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation).

Berbagai keputusan yang diambil oleh negara secara prinsip merupakan

persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan

pihak state. Tegasnya, kalaupun negara secara legal formal memiliki

otoritas untuk ‘menjatuhkan palu akhir’ atas berbagai keputusan,

namun peran dalam proses pengambilan keputusan lebih sebagai

mediator atas kompleksitas dan perbedaan kepentingan kalangan

masyarakat.

Praktek desentralisasi dalam negara demokrasi memiliki

hubungan interkoneksitas dengan karakteristik pola interaksi state-

society seperti dijelaskan sebagai berikut :

Sebagai bagian dari kebijakan nasional, baik perumusan konsep

maupun implementasi kebijakan desentralisasi didasarkan pada

interaksi dua arah antara state dan society. Sehingga

keberadaannya merupakan persenyawaan antara kepentingan pihak

state dan society.

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

hal ini lebih didasarkan pada prinsip salingketergantungan dan saling

membutuhkan.

Pengertian ‘daerah’ dalam konteks hubungan pusat-daerah lebih

merujuk pada entitas yang terdiri dari pemerintah daerah dan

masyarakat daerah. Sehingga, pada tataran yang lebih mikro,

10

Page 11: Makalah Kelompok II

kesetaraan interaksi antara state dan society dapat tercipta, yakni

antara pemerintah daerah dan komunitasnya.

Interkorelasi antara pola hubungan state-society dan kebijakan

desentralisasi dalam negara demokrasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Pola InteraksiNegara – Masyarakat

Negara

Masyarakat

Kebijakan Desentralisasi

Pemerintah Pusat

Pemda

Masyarakat

Gambar 1. Pola interaksi state-society dan kebijakan desentralisasi pada negara demokrasi

1.4. Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan Perpektif Hubungan Negara – Masyarakat untuk Mencapai Tujuan Negara

Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada tataran

konseptual (normatif), tidak akan mencapai hasil optimal bila tidak

diikuti upaya penataan yang baik pada tataran operasional, yang antara

lain menghendaki adanya reformasi pendekatan dalam implementasi

kebijakan desentralisasi. Pendekatan kebijakan yang harus diterapkan

11

Page 12: Makalah Kelompok II

adalah pendekatan yang bersifat holistik. Terminologi ‘holistik’ dapat

dimaknai sedikitnya dalam dua dimensi.

Pertama, sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita

berbangsa dan bernegara, maka kebijakan desentralisasi tidak dapat

berdiri sendiri, namun harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-

kebijakan pada bidang lain, sehingga dapat tercipta kondisi saling

dukung dan saling mengisi, bukan sebaliknya, antara kebijakan

desentralisasi dengan kebijakan-kebijakan pada bidang lain.

Kedua, ‘holistik’ juga berarti bahwa dalam implementasi kebijakan

desentralisasi harus memperhatikan karakteristik, potensi, dan

kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah.

Skema pendekatan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah

berdasarkan Perpektif Hubungan Negara – Masyarakat tersebut

dapat dilihat pada Gambar 2.

12

Page 13: Makalah Kelompok II

Gambar 2. Pendekatan Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan Perpektif Hubungan Negara - Masyarakat

Secara umum pendekatan Implementasi Desentralisasi dan

Otonomi Daerah berdasarkan Perpektif Hubungan Negara – Masyarakat

pada Gambar 2. dapat dijelaskan sebagai berikut:

13

Page 14: Makalah Kelompok II

Kebijakan desentralisasi pada prisipnya lebih banyak mengatur dua

variabel utama, yaitu hubungan kekuasan dan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah (Kotak 1).

Dengan adanya penyerahan kekuasaan, termasuk didalamnya

kekuasaan dalam hal keuangan, akan terwujud otonomi daerah,

yakni hak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengambil

keputusan dan mengimplementasikan kebijakan berdasarkan

prakarsa dan aspirasi masyarakat, serta kemampuan yang dimiliki

daerah (Kotak 2). Ini berarti, secara implisit, mengindikasikan bahwa

ruang lingkup otonomi yang dimiliki daerah sangat ditentukan oleh

seberapa jauh kekuasaan yang telah diserahkan oleh pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah melalui kebijakan desentralisasi.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bagaikan dua sisi mata

uang: antara satu dan yang lain berbeda letak dan status, namun

saling mengisi dan memberi makna.

Selanjutnya, tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain untuk mepertahankan

integrasi bangsa, training kepemimpinan nasional, mempercepat

mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menciptakan

demokratisasi di tingkat lokal, efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan peningkatan pelayanan

publik (Kotak 3).

Tujuan yang hendak dicapai tersebut telah merangkum tujuan

desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional dan tujuan

desentralisasi berdasarkan kepentingan daerah.

Untuk mencapai tujuan tersebut tidak mungkin terlaksana bila hanya

bertumpu pada kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semata

tanpa terkait dan didukung oleh kebijakan-kebijakan pada bidang

lain.

Demikian juga halnya dengan keinginan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, mustahil terwujud bila hanya didasarkan

pada kebijakan pengaturan hubungan keuangan pusat- daerah,tanpa

14

Page 15: Makalah Kelompok II

terkait dan didukung oleh kebijakan bidang investasi, pengelolaan

sumber daya alam, dan lain sebagainya.

Jadi, untuk dapat mewujudkan tujuan ideal kebijakan desentralisasi,

maka pada tingkat implementasi ia harus terkait dan didukung oleh

kebijakan-kebijakan pada bidang lain. Kebijakan pada bidang lainnya

tersebut diberi status sebagai digambarkan sebagaimana Kotak 4.

Dengan status ini, secara eksplisit ditunjukkan bahwa keberadaan

kebijakan bidang-bidang lain dapat berperan sebagai pendukung

atau penghambat bagi pencapaian tujuan ideal desentralisasi (Kotak

3).

Faktor lain yang penting diperhitungkan dalam implementasi

kebijakan desentralisasi adalah karakteristik, potensi, dan

kekhususan-kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah (Kotak

5). Kebijakan desentralisasi yang ideal adalah jika penyerahan

kekuasaan kepada daerah disesuaikan dengan karakteristik dan

kemampuan nyata masingmasing daerah. Ini berarti, jumlah dan

ruang lingkup kekuasaan yang diserahkan tidak harus sama antara

daerah satu dengan yang lain.

Proses penyerahan kekuasaan seyogianya dilakukan secara

bertahap, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-

masing daerah.

PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG (PILKADASUNG) SEBAGAI PROSES DEMOKRATISASI LOKAL DI ERA OTONOMI

DAERAH

15

Page 16: Makalah Kelompok II

Oleh : Yeti Kuswati

2.2. Pilkadasung sebagai Proses Demokratisasi

Dalam perspektif desentralisasi dan proses demokrasi lokal pada

masa sekarang salah satunya yaitu dengan diterapkannya sistem

pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadasung) merupakan sebuah

inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di era

otonomi daerah. Pilkadasung memiliki sejumlah keunggulan

dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh

model sentralistik “ala” UU no. 5 tahun 1974 atau model demokrasi

perwakilan yang dimuat dalam UU no. 22 tahun 1999. Tetapi sejak

dikeluarkannya undang-undang nonor 32 tahun 2004, bahwa proses

demokrasi lokal sejalan dengan perkembangan era otonomi daerah

merupakan suatu proses yang sangat penting dan menentukan masa

depan daerahnya, sehingga daerah tersebut dapat menata

pemerintahan dan pembangunan daerahnya masing-masing setelah

menetapkan pimpinan daerah melalui pilkadasung.

Tantangan bagi konsolidasi demokrasi ini adalah bagaimana

memberikan akses demokrasi kepada masyarakat dan pembentukan

serta penguatan institusi-institusi demokrasi di daerah. Di titik inilah

desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah memiliki peran yang

sangat penting dalam konsolidasi demokrasi. Peran desentralisasi dalam

konsolidasi demokrasi tersebut berasal dari adanya proses demokrasi

lokal yang memotivasi otoritas lokal dalam menjawab aspirasi dan

kebutuhan konstituennya/masyarakatnya. Selain itu salah satu

pemikiran diterapkannya desentralisasi ini adalah agar institusi

demokrasi lokal akan lebih memahami dan merespon aspirasi lokal ,

karena jika dilihat dari aspek jarak institusi dan masyarakat lokal berada

pada posisi lebih dekat, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap

informasi yang diperlukan.

16

Page 17: Makalah Kelompok II

Desentralisasi bukan hanya persoalan pengaturan hubungan antar

berbagai tingkatan pemerintahan namun juga merupakan persoalan

mengenai hubungan antara negara dan rakyatnya. Kebijakan

desentralisasi bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat atau daerah

semata namun juga merupakan tanggung jawab masyarakat lokal

sebagai pihak yang memiliki hak utama dalam penyelenggaraan

kehidupan lokal. Hal ini akan tercapai melalui lembaga perwakilan

masyarakat lokal dalam wadah DPRD melalui proses pemilu yang bebas.

Demokratisasi di Indonesia kemudian diperkuat dengan adanya

pemilihan kepala daerah secara langsung atau yang lebih dikenal

dengan pilkadasung mulai tahun 2005 dan geliat pilkadasung akhir-

akhir ini semakin dinamis. Pilkadasung merupakan proses demokrasi

lokal, karena dengan pilkadasung kepala daerah yang akan memimpin

daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui

tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung. Kepala daerah terpilih

inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dalam pembangunan di

daerah termasuk di dalamnya penguatan demokrasi lokal dan

penerapan prinsip menata pemerintahan yang baik. Bagi calon

incumbent yang maju untuk kedua kalinya, pilkadasung menjadi sarana

masyarakat lokal untuk mengevaluasi kinerja calon selama yang

bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah.

Komitmen luhur untuk mengembangkan demokratisasi dan

membangun pemerintahan yang baik dibarengi setidaknya faktor

sistem hukum yang dirakit, kelembagaan dan menejemen

pemerintahan, profesionalisme aparatur pemerintah, dan

penyelenggaraan pilkadasung, kesiapan masyarakat/stakeholder,dll.

Dukungan dimaksud terkadang masih jauh dari kenyataan, sehingga

pagelaran demokrasi lewat pilkadasung masih semerawut dengan

sederatan masalah.

Dari sejumlah pilkadasung yang telah digelar contohnya di Jawa

Barat tercatat sejumlah kecenderungan, antara lain:

1) Masih rendahnya tingkat apresiasi politik masyarakat;

17

Page 18: Makalah Kelompok II

2) Kebablasan dalam memahami dan mengaktualisasi demokrasi

sebagai proses dan nilai;

3) Partai Politik digarap sebagai lahan mencari nafkah, bukan sebagai

suatu wadah yang memperjuangkan ideology tertentu;

4) Budaya kepemerintahan yang mengkultuskan dan terpusat pada

figure tertentu, pemangku pemerintahan lebih menampakkan diri

sebagai pangreh yang dilayani bukan sebagai pamong yang

melayani;

5) Infrastruktur politik dan sosial masih jauh dari transparansi dan

akuntabilitas;

6) Krisis pemimpin yang berkualitas;

7) Pilkadasung terkait dengan bayang-bayang uang.

Dari fenomena yang terukir dalam pagelaran pilkadasung sebagai

wujud dari proses demokratisasi di daerah tentunya membawa implikasi

bagi pengembangan pembangunan daerahnya, baik implikasi positif

maupun implikasi negatif. Oleh karenanya, dalam topik ini berusaha

menyajikan tentang “Pemilihan kepala daerah langsung(pilkadasung)

sebagai proses demokratisasi lokal di era otonomi daerah berimplikasi

terhadap kemajuan pembangunan daerah”.

Landasan hukum pilkadasung

Landasan hukum penyelenggaraan pemilihan umum kepala

daerah secara langsung dituangkan dalam:

1. UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

3. UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Mencermati landasan hukum pilkadasung yang telah ditetapkan,

terlihat secara formal tersedia rambu-rambu bagi penyelenggaraan

pilkadasung, karena berbagai konsekuensi yang berkenaan dengan

Pilkadasung. Ketersediaan landasanhukum secara formal tidak

sepenuhnya menjamin terselenggaranya pilkadasung secara baik dan

18

Page 19: Makalah Kelompok II

dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme

demokrasi tersebut. Pilkadasung secara demokratis ditandai dengan

ciri-ciri yang dikemukakan Patrick Marloe (1999:1), yaitu menghargai

dan menjunjung tinggi hak-hak asasi, kepercayaan masyarakat dan

persaingan yang adil.

Dalam kaitannya dengan pengembangan demokrasi justru

perangkat hukum pilkadasung bukan sekedar suatu proses teknis,

tetapi harus memenuhi tuntutan substansi demokrasi. Pilkadasung

merupakan bagian dari suatu proses politik dan proses demokrasi

masyarakat yang beradab, sehingga hukum dibutuhkan untuk

membangkitkan dan memulihkan kepercayaan masyarakat.

Sebagaimana ditulis Patrick Marloe (1999:3), UU dan prosedur

pemilihan yang baik memang penting tapi belum cukup; masyarakat

termasuk para calon, harus percaya bahwa pemilihan itu akan

dilaksanakan secara efektif dan tidak memihak.

2.2. Hambatan dalam Pilkadasung

Sebagai gambaran tentang fenomena demokrasi yang

berkembang dalam era otonomi daerah, dapatlah dikemukakan kasus

pemilihan kepala daerah langsung (pilkadasung) yang telah berjalan

dibeberapa tempat mengalami adanya hambatan dalam proses

pemilihannya. Pilkadasung dipraktekkan sebagai salah satu wujud

reformasi terkait dengan obsesi untuk mengembangkan dan

menumbuhsuburkan demokrasi. Proses pilkadasung memang

merupakan indikator tumbuhnya (transisi) demokrasi lokal, namun

dalam praktiknya (proses, hasil dan dampak) pilkadasung selama era

reformasi juga menimbulkan sejumlah masalah yang runyam.

Sandungan yang sering terjadi dalam pelaksanaan pilkadasung

pada umumnya diantaranya :

Pertama, pilkadasung hanya berlangsung dalam ruang yang

oligarkis dalam partai politik dan DPRD. Di dalamnya hampir tidak

terjadi proses politik secara sehat untuk memperjuangkan nilai-nilai

19

Page 20: Makalah Kelompok II

ideal jangka panjang, melainkan hanya terjadi permainan politik jangka

pendek seperti intrik, manipulasi, konspirasi, money politics.

Kedua, partisipasi masyarakat yang betul-betul otentik tidak ada

dalam proses pilkadasung. Dalam pilkadasung tidak terjadi kontrak

sosial antara mandat dan visi, atau antara kandidat dan konstituen.

Aktor-aktor politik yang bermain melakukan mobilisasi massa untuk

membuat “seru” pilkadasung, tetapi mobilisasi itu bukanlah partisipasi

(voice, akses dan kontrol) masyarakat, melainkan hanya untuk

kepentingan konspirasi dan pertarungan antar power blocking dalam

jangka pendek. Partai politik maupun aktor-aktor politik lainnya sangat

hebat dalam memobilisir massa, tetapi telah gagal mengorganisir

massa secara beradab dan demokratis. Semakin besar dan brutal

mobilisasi massa itu, maka konflik fisik tidak bisa dihindari lagi.

Ketiga, karena berlangsung dalam proses politik yang tidak sehat

dan tidak beradab, pilkadasung sering menghasilkan kepala daerah

yang bermasalah (berijazah palsu, premanisme, pelaku kriminal,

koruptor, bodoh, dan seterusnya). Tidak sedikit bupati/walikota yang

hanya berorientasi politik jangka pendek untuk mengejar kekuasaan

dan kekayaan saja. Sekarang sering muncul istilah raja-raja kecil untuk

menunjuk bupati/walikota yang menumpuk kekuasaan dan kekayaan

itu.

Keempat, mekanisme dan hasil akuntabilitas politik kepala daerah

sangat lemah. Komitmen luhur untuk membangun demokrasi yang

sehat dibarengi setidaknya oleh faktor sistem hukum yang dirakit,

kelembagaan pemerintahan, manajemen pemerintahan,

profesionalisme aparatur pemerintah, dan kesiapan

masyarakat/stakeholder, itu hampir kurang menunjang.

Dalam kenyataan Pilkadasung di Jawa Barat, komitmen tersebut

masih tersandung pada sederetan masalah/tantangan dalam proses

yang telah berlangsung, diantaranya yaitu:

1) Monopoli mekanisme pengajuan pasangan calon Kepala Daerah &

Wakil Kepala Daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik

20

Page 21: Makalah Kelompok II

menjadikan pilkadasung sangat potensial sebagai ajang elit politik

dan money politics; Partai politik lebih leluasa menjadikan dirinya

sebagai “kendaraan” bagi mereka yang berminat ke bursa

pencalonan dengan menyediakan sejumlah dana tertentu.

2) Ketentuan UU No. 32/2004, Pasal 59 ayat (5) menyebutkan bahwa

PNS, anggota TNI dan kepolisian yang menduduki jabatan negeri

(jabatan struktural dan fungsional) yang mengajukan dirinya sebagai

calon, cukup dengan mengundurkan diri dari jabatannya, dalam

prakteknya tidak memperkuat institusi partai politik. Singkatnya

jarak waktu antara pengunduran diri (non-aktif) bagi mereka yang

sedang menjabat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah/Sekretaris

Daerah yang kemudian mencalonkan diri, menyebabkan bahwa

calon yang pernah berkuasa masih mempunyai kesempatan dan

kemampuan untuk mengendalikan aparat pemerintah demi

kepentingan politiknya, sehingga tidak menjamin netralitas Pegawai

Negeri Sipil/TNI/Kepolisian, yang ikut dalam pencalonan pilkada

tersebut.

3) Rendahnya partisipasi warga masyarakat dalam pilkadasung

berhubungan dengan banyaknya warga masyarakat yang tidak

tercantum dalam daftar pemilih atau tidak memperoleh kartu

pemilih. Masalah penyusunan data pemilih merupakan salah satu hal

yang paling semrawut dan mengundang protes dalam pilkada.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, pelaksanaan

pemutakhiran data pemilih merupakan kewajiban dan

tanggungjawab Pemerintah Daerah yang dilakukan unit kerja yang

melaksanakan urusan pendaftaran penduduk (Dinas kependudukan

dan Catatan Sipil). Permasalahan tersebut muncul karena: a)

kurangnya koordinasi antara Dinas Kependudukan & Catatan Sipil

dengan KPUD. b) Kurangnya keterlibatan RT/RW dalam proses

pendaftaran pemilih; c) Kartu pemilih terlambat atau tidak

disampaikan sama sekali; d) atas dasar pertimbangan politik

disinyalir ada petugas pendaftaran pemilih sengaja tidak

21

Page 22: Makalah Kelompok II

mendaftarkan atau menyampaikan kartu pemilih kepada warga

tertentu.

4) Pilkadasung yang dilakukankepada rakyat, tidak berarti Kepala

Daerah & Wakil Kepala Daerah terpilih, akan langsung lebih tanggap

terhadap rakyat yang menjadi konstituen dengan merealisasikan

program-program yang dijanjikannya ketika kampanye.

5) Pengabaian terhadap aspirasi dan keterlibatan perempuan sebagai

kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah.

6) Gugatan hasil Pilkadasung ke Pengadilan Tinggi dan gugatan

terhadap keputusan KPUD ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Hampir

seluruh pilkada di Jawa Barat berujung dengan gugatan terhadap

hasil pilkada dengan kecurigaan terjadinya kecurangan, namun tidak

satupun gugatan tersebut dikabulkan.

2.3. Implikasi Positip dan Negatip dalam Pilkadasung

Pilkadasung berimplikasi terhadap pertumbuhan demokrasi dan

jalannya pemerintahan di daerah.Pilkadasung telah bergulir sebagai

sebuah hajatan demokrasi yang bergengsi di era reformasi. Hajatan

tersebut tentunya menjanjikan sebuah proses yang demokratis,

sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang akuntabel dan

menjelmakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat Indonesia telah

terlibat dalam proses tersebut, namun belum serius mengawali proses

yang berlangsung tersebut. Demikian pula sejumlah aktor yang terlibat

dalam proses pilkadasung belum mengapresiasi secara baik asas

transparansi dan akuntabilitas, sehingga proses pilkadasung masih

meninggalkan sederetan sandungan menuju terwujudnya cakrawala

demokrasi yang semakin berkualitas. Realitas tersebut pada gilirannya

berkonsekuensi pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

perangkat hukum yang mengatur sistem dan proses pilkadasung.

Pilkadasung mempunyai implikasi positif terhadap kemajuan

pembangunan daerahnya, diantaranya sbb:

22

Page 23: Makalah Kelompok II

Dengan dilaksanakannya pilkadasung, menjadikan daerah tersebut

dapat menerapkan demokrasi lokal dimasyarakatsesuai dengan

kemampuannya, dan menjadikan daerah tersebut bisa maju dan

berkembang, serta dapat menata pembangunan daerahnya kearah

yang lebih baik lagi.

Dengan adanya pilkadasung, masyarakat lokalmempunyai hak

memilih dan hak suaranyauntuk diberikan kepada calon yang

dipilihnya, dengan sebutan “one man one vote”, sehingga hak

masyarakat tidak bisa diwakilkan lagi kepada wakil-wakil rakyat

yang lain dalam memilih pemimpinnya.

Dengan dilaksanakannya pilkadasung, pemerintah daerah

mempunyai kesempatan untuk menerapkan demokratisasi lokal

dalam memilih pimpinannya yang sesuai dengan keinginan

rakyatnya.

Selain itu, tercatat sederetan implikasi negatif akibat

penyelenggaraan pilkadasung, antara lain:

1. Kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan pilkadasung berujung

pada sengketa pasca pilkadasung dan kekecewaan yang berlanjut.

Hal ini menunjukkan di beberapa kabupaten, pilkadasung gagal

menetapkan pemenang yang diterima khalayak, dan di banyak

tempat telah meningkatkan persaingan politik yang tidak sehat

antar elit-elit politik. Persaingan yang tidak sehat ini telah

menghentikan roda pemerintahan pada satu kabupaten.

2. Metode-metode kampanye dan mobilisasi telah membangun atau

memperkuat hubungan-hubungan ‘patronase’ yang mendorong

penyaluran kekuasaan dan sumberdaya pemerintah melalui jalur

tidak resmi, sehingga semakin mengukuhkan siklus pemerintahan

yang korup. Fenomena ini sudah memunculkan konflik di antara

para elite lokal yang saling berebut dukungan, dan menurut

sejumlah indikasi yang ada sekarang, akan terus mempersempit

23

Page 24: Makalah Kelompok II

peluang untuk memperbaiki pemerintahan yang sedang

berlangsung.

3. Terdapat beberapa tanda-tanda awal bahwa jaringan ‘patronase’

yang dikembangkan selama pilkadasung akan dimanfaatkan untuk

memobilisasi kekecewaan ditingkat masyarakat.

4. Praktek lima tahunan pilkadasung ini masih memunculkan

permasalahan yang berimplikasi terhadap konflik sosial dan

kelembagaan legislatif dan eksekutif daerah, serta munculnya

ketidakharmonisan hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah.

5. Pemborosan anggaran. Penggunaan uang yang semakin marak dari

waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen dan ongkos pilkada

yang amat mahal, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik

akan menang, sehingga akibatnya biaya kampanye yang besar sulit

dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.Realitas yang

dipaparkan ini sangat kontras dengan hakekat otonomi daerah dan

demokrasi yang pada hakekatnya adalah pemerataan dan

peningkatan kesejahteraan serta keadilan masyarakat di daerah.

Harapan untuk percepatan kesejahteraan rakyat telah didistorsi oleh

sistem pilkadasung

24

Page 25: Makalah Kelompok II

PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI BENCHMARKS PEMERINTAH DAERAH DI ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Oleh:Tintin Kartini

3.1. Konteks Pelayanan Publik

Pelayanan pada dasarnya didefinisikan sebagai aktivitas

seseorang, sekelompok atau organisasi baik langsung ataupun tidak

langsung, untuk memenuhi kebutuhan. Monir (2003:16) mengatakan

bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui

aktivitas orang lain secara langsung. Sedangkan Mentri PAN (1993)

mengemukakan bahwa pelayanan adalah segala bentuk barang atau

jasa dalam rangka upaya pemenuhan masyarakat. Definisi pelayanan

menurut Sinambela (2005 :5) adalah setiap kegiatan yang dilakukan

oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap

kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan

dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu

produk secara fisik. Agung Karmawan (2005:26) mengatakan bahwa

pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan

orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada

organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah

ditetapkan.

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan

yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah

memiliki fungsi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh

masyarakat. Mulai dari pelayanan bentuk pengaturan ataupun

25

Page 26: Makalah Kelompok II

pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat,

misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pelayanan

publik dalam masyarakat dan keterbukaan informasi publik tidak dapat

dipisahkan. Walaupun hal tersebut telah diatur dalam UU tersendiri,

negara berkewajiban melayani setiap warganya untuk memenuhi hak

dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Saat ini

penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi

yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai

bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pelayanan Publik oleh Kepmen PAN No. 58 Tahun 2002 terbagi

tiga kelompok yaitu :

1. Kelompok Pelayanan Administratif : yaitu pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk dokumen formal yang dibutuhkan

oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat

dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administratif misalnya

penerbitan dokumen yang berkaitan dengan :

status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya : Kartu

Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta

kematian, dll);

status kepemilikan (misalnya : Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku

Pemilik Kendaraan ermotor, dll);

Status kompetensi (misalnya : Surat Ijin Mengemudi, Ijin

Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.).

2. Kelompok Pelayanan Barang : yaitu pelayanan yang

menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh

publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh

Negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh

Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih,

penyedia listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll).

3. Kelompok Pelayanan Jasa : yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya:

pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan

26

Page 27: Makalah Kelompok II

transportasi, penyelenggaraan pos, dll). Ruang lingkup

penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin meluas dan

menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakkan hak-hak dasar

manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan,

pekerjaan yang layak, jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang

sehat, dan lain sebagainya, akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang

langsung menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti

perijinan, identitas status, penyaluran kebutuhan bahan pokok,

transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya.

3.2. Indikator Pelayanan Publik Prima

Pelayanan publik prima atau pelayanan yang berkualitas

didefinisikan oleh beberapa pakar sebagai berikut:

1. Menurut Osborne & Gebler (1995), Bloom (1981) antara lain

memiliki ciri-ciri seperti tidak prosedural (birokratis) terdistribusi

dan terdesentralisasi serta berorientasi kepada pelanggan.

2. Menurut Kasmir (2005:31) mengatakan pelayanan yang baik

adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan

yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan

standar yang ditentukan.

3. Menurut Zethami & Haywood Farmer dalam Warella

(1997:17) ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan yaitu :

Intangibility, heterogeinity,inseparability.

Intangibility berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat

performance dan hasil pengalaman dan bukannya objek.

Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba

atau di tes sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas.

Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik

yang dapat di tes kualitasnya sebelum disampaikan kepada

pelanggan.

Heterogeinity berarti pemakai jasa atau klien atau pelanggan

memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan

27

Page 28: Makalah Kelompok II

pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda.

Demikian pula performance sering bervariasi dari suatu

prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.

Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu

pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri

pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di

sektor pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan.

Kualitas terjadi selama interaksi antara klien dan penyedia

jasa.

3.3. Pelayanan Publik sebagai Benchmarks Pemerintah Daerah

Pelayanan publik merupakan salah satu bidang yang dikaji oleh

Ilmu Adminstrasi Publik, maka cakupan dari ilmu Adminstrasi Publik

adalah kepentingan publik (Public Interest) dan urusan publik (Public

Affair). Dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik, tugas administrasi

publik adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan

rakyat dan masyarakat. Jadi bukanlah sebaliknya rakyat yang mengabdi

kepada kepentingan administrasi publik. Untuk membangun pelayanan

publik yang berorientasi kepada kepentingan publik maka dibutuhkan

administrasi dan birokrasi yang profesional. Lewat upaya penataan

administrasi yang baik pastinya akan berakibat baik pula terhadap

pelayanan yang diberikan, oleh sebab itu, maka administrasi publik

sangat berkaitan erat dengan pelayanan publik.

Pelayanan Publik di Indonesia masih rendah. Demikian salah satu

kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development

Report 2004, dan hasil penelitian Governance and Desentralitation

Survey (GDS) 2002.

Buruknya pelayanan publik, bukan hal baru, fakta di lapangan

banyak menunjukkan hal ini. Tiga Masalah penting yang banyak terjadi

di lapangan dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik yaitu :

28

Page 29: Makalah Kelompok II

1. Besarnya diskriminasi pelayanan, pelayanan masih diselenggarakan

sangat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi

politik, etnis dan agama.

2. Tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan yang sering

menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa

cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada

penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan

kualitas pelayanan.

3. Rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan publik, ini

merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan

dan ketidakpastian tersebut. SOP (Standard Operating Procedure)

pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan

disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar.

Akibatnya pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak

semaunya tanpa rasa bersalah kepada masyarakat.

Gambaran kondisi pelayanan publik di Indonesia pada saat ini

(Dadang Solihin, 2012) , adalah :

Masih rendahnya kualitas pelayanan

Masih besarnya peranan Pemerintah Daerah dalam penyediaan

pelayanan

Tidak jelasnya standar pelayanan

Rendaknya akuntabilitas pelayanan

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi masalah

pelayanan publik di era desentralisasi antara laian adalah:

1. Penerapan standar pelayanan.

2. Pengembangan standar operating Prosedur (SOP),

3. Penggembangan survey kepuasan pelanggan;

4. Pengembangan sistem pengelompokan pengaduan.

5. Antisipasi berbagai penyakit dalam pelayanan publik dan sistem

birokrasi seperti : pungli, korupsi, kolusi, dan nepotiesme,

29

Page 30: Makalah Kelompok II

diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam

kegiatan yang tidak efektif dan efisien.

6. Kembangkan asas keterbukaan dalam pelayanan publik dibutuhkan

karena tidak adanya keterbukaan dapat menimbulkan

penyalahgunaan kewenangan dari pejabat negara sehingga

pelayanan publik dalam penyelenggaraan negara tersebut semakin

dapat dipertanggungjawabkan.

7. Meningkatkan kualitas pelayanan dalam proses pengambilan

keputusan publik

8. Mengubah pola pikir para pejabat bahwa Republik Indonesia ini,

bukan lagi Negara kekuasaan tetapi sudah menjadi Negara

Pelayanan Publik.

IMPLIKASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Oleh:Aan Anwar Shihabudin

4.1. Konteks Kesejahteraan Masyarakat

Istilah kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang mendapat

awalan “ke” dan akhiran “an”. Mansur Muslich menjelaskan bahwa

bentuk dasar yang dapat dilekati morfem imbuhan (ke-an) pada

umumnya berkelas kata kerja, kata benda, kata sifat dan kata

bilangan.Dalam hal ini maka kata “sejahtera” yang mendapat awalan

“ke” dan akhiran “an” berubah dari kata sifat menjadi kata benda.

Sehingga arti sejahtera berbeda dengan arti kesejahteraan, kalau arti

sejahtera adalah tenang dan tenteram, selamat, tak kurang sesuatu

apapun.

Menurut Sudarman Danim manusia yang sejahtera adalah

manusia yang memiliki tata kehidupan dan penghidupan, baik material

maupun spiritual yang disertai dengan rasa keselamatan, kesusilaan

30

Page 31: Makalah Kelompok II

dan ketenraman lahir dan batin, yang pada akhirnya dapat memenuhi

kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosialnya.

Dari pengertian diatas, maka dapat diambil suatu pengertian

bahwa yang dimaksud dengan tingkat kesejahteraan adalah suatu tata

kehidupan dan penghidupan seseorang baik sosial material maupun

spiritual yang disertai  dengan rasa keselamatan, kesusilaan dan

ketentraman lahir dan batin sehingga dapat memenuhi  kebutuhan

jasmaniah, rohaniah dan sosialnya.

Menurut Meadows (1998), kualitas kehidupan merupakan suatu

tingkat kesejahteraan. Proses perubahan kualitas hidup dibagi dalam

empat tingkatan yang menggambarkan proses terjadinya perubahan

kualitas hidup manusia yang masing-masing memiliki implikasi terhadap

kebutuhan hidup sehari-hari. Tingkat kesejahteraan tersebut adalah

pemenuhan kebutuhan dasar (ultimate means), pemenuhan kebutuhan

primer (Intermediate means), pemenuhan kebutuhan sekunder

(Intermediate ends), dan pemenuhan kebutuhan tersier (Ultimate ends)

(Meadows dalam Sarifuddin, 2006 : 30).

Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-

individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman

kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah

apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana

intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang

kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan,

pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan

sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua,

keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya.

Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi

yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan

tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi,

mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit

direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu

31

Page 32: Makalah Kelompok II

intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi

juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi

kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang

batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik

kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak

lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global.

Salah satu bentuk kesejahteraan masyarakat digambarkan

dengan kualitas hidupnya. Secara teoritis, manusia yang berkualitas,

misalnya cerdas, berpendidikan dan yang sehat, akan selalu

meningkatkan kualitasnya dan sekaligus sebagai anggota masyarakat

akan ikut membantu meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.

Peranan kualitas hidup dapat dilihat dari peningkatan penghasilan,

kualitas perumahan, kesehatan yang baik dan lainnya. Namun dalam

kenyataannya hubungan tersebut tidak hanya searah, tetapi timbal

balik. Kualitas hidup yang tinggi juga akan mempengaruhi kualitas

manusia. Misalnya penghasilan yang tinggi mampu menyediakan

keberagaman gizi untuk perkembangan kecerdasan anak-anak dan

membuka peluang untuk meningkatkan pendidikan yang tinggi.

Keberhasilan kegiatan pembangunan akan terlihat dampaknya pada

peningkatan kualitas tersebut. Masalahnya adalah sektor yang terlibat.

Oleh karena itu masalah selanjutnya apakah semua sektor dalam

pembangunan berpengaruh dalam peningkatan kualitas hidup.

(Faturochman, 1990)

Pada awalnya GNP dianggap sebagai indikator kualitas hidup yang

memadai. Namun kemudian banyak ahli yang menyanggahnya (Mukhar,

1988). Sejak tahun 1978 kualitas hidup dinyatakan dalam indikator,

yaitu tingkat kematian bayi, harapan hidup usia satu tahun, dan melek

huruf. Menurut Sajogyo (1984) hal tersebut merupakan satu set

indikator ekonomi. Bahkan akhir-akhir ini kualitas hidup tidak hanya

diindikasikan oleh hal-hal tersebut diatas, tetapi juga melibatkan

indikator psikologis (Andrews, 1986; Mukharjee, 1988).

32

Page 33: Makalah Kelompok II

Kualitas Kehidupan Masyarakat indikatornya dilihat dari Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), yang terdiri tiga komponen yaitu

Pendidikan, Kesehatan dan Daya Beli.

Pengkajian kualitas hidup terus dilakukan, bahkan secara

internasional dimotori oleh Organization of Economic and Development

(OECD) yang berkedudukan di Paris. Untuk mengetahui kualitas hidup,

maka harus diketahui terlebih dahulu indikatornya. Menurut OECD

(1982) indikator kualitas hidup adalah pendapatan, perumahan,

lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, dan kesempatan kerja.

Kualitas hidup akan berarti kesejahteraan jika diarahkan kepada

sesuatu yang bersifat individual, (Dissart & Deller, 2000 : 135).

Dalam beberapa pandangan, hidup dapat dikatakan berkualitas

jika seseorang memiliki kemampuan untuk memilih serta banyak pilihan

yang dapat dipilih (Kuswartojo, 2005 : 18). Pengertian ini sejalan dengan

pendapat Campbell yang menyatakan bahwa kualitas hidup dapat

didefenisikan berdasarkan kemampuan seseorang dalam hal

peningkatan derajat kesejahteraan, kepuasan, dan standar hidup

(Campbell dalam Yuen, 1994 : 4).

Menurut Kane, komponen kualitas hidup dibagi ke dalam 11

bagian : 1). Keamanan, 2). Ketenangan fisik, 3). Kepuasan, 4). Kegiatan

yang bermanfaat, 5). Pola hubungan sosial, 6). Keahlian yang

bermanfaat, 7). Kedudukan, 8). Privasi, 9). Kepribadian, 10). Otonomi,

dan 11). Keimanan (Kane dalam ibid).

Dari sudut pandang yang lain, kualitas hidup bukan hanya

menyangkut aspek material tertentu dalam kehidupan seperti misalnya

kualitas tempat tinggal, sarana fisik yang tersedia maupun fasilitas-

fasilitas sosial, akan tetapi juga menyangkut aspek-aspek tidak terukur

seperti kesehatan dan kebutuhan rekreasi (Yuan, et al, 1994 : 4).

I.1. Indikator Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan, telah dikembangkan

beberapa indikator operasional yang menggambarkan tingkat

33

Page 34: Makalah Kelompok II

pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan

kebutuhan pengembangan. Sedangkan untuk mendapatkan gambaran

yang lebih jelas tentang tingkat kesejahteraan akan digunakan

beberapa indikator yang telah digunakan oleh BKKBN. Indikator ini

berdasarkan pendataan keluarga tahun 2000, adapun beberapa

indikator tersebut adalah sebagai berikut :

a. Keluarga Pra Sejahtera :

Yaitu keluarga yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai

keluarga sejahtera I.

b. Keluarga Sejahtera I

Melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut masing-masing

Makan dua kali sehari atau lebih.

Pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan.

Lantai rumah bukan dari tanah.

Jika anak sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.

c. Keluarga Sejahtera II

Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut

agama yang dianut masing-masing.

Minimal seminggu sekali keluarga tersebut menyediakan daging/

ikan/ telur sebagai lauk pauk.

Memperoleh pakaian baru dalam setahun terakhir.

Luas lantai tiap penghuni rumah satu 8 m².

Anggota keluarga sehat dalam keadaan tiga bulan terakhir,

sehingga dapat menjalankan fungsi masing-masing.

Keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan

tetap.

Bisa baca tulis latin bagi anggota keluarga dewasa yang berumur

10-60 tahun.

Seluruh anak yang berumur 7-15 tahun bersekolah pada saat ini.

34

Page 35: Makalah Kelompok II

Anak hidup dua atau lebih dan saat ini masih memakai alat

kontrasepsi.

d. Keluarga Sejahtera III

Keluarga mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan

agama.

Keluarga mempunyai tabungan.

Keluarga biasanya makan bersama minimal sekali dalam sehari.

Turut serta dalam kegiatan masyarakat.

Keluarga mengadakan rekreasi bersama minimal sekali dalam 6

bulan.

Keluarga dapat memperoleh berita dari surat kabar/ radio/ televisi/

majalah.

Anggota keluarga dapat menggunakan sarana transportasi.

e. Keluarga Sejahtera III Plus

Memberikan sumbangan secara teratur dan sukarela untuk

kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.

Aktif sebagai pengurus yayasan/ instansi

I.2. Desentralisasi dan Otonomi Daerah sebagai Determinan

dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.

Tingkat Kesejahteraan Masyarakat adalah salah satu dari indikator

lokal  untuk memonitoring kemajuan kabupaten dan kota agar

dapat menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya  di

bawah  $1  per hari  menjadi setengahnya, sebagai upaya

menanggulangi kemiskinan dan kelaparan.

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dalam

rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan, ada

beberapa pentahapan keluarga sejahtera ialah sebagai berikut:

35

Page 36: Makalah Kelompok II

a. Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) secara minimal, seperti:

kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan dan kesehatan atau

keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu indikator-indikator

keluarga sejahtera I.

b. Keluarga Sejahtera I yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat

memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, seperti:

kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam

keluarga, interaksi dengan lingkungan sekitar dan  transportasi.

c. Keluarga Sejahtera II yaitu keluarga-keluarga yang disamping dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi

kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi

kebutuhan pengembangan, seperti: menabung dan  memperoleh

informasi.

d.  Keluarga Sejahtera III yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat

memenuhi keseluruhan kebutuhan dasar, kebutuhan sosial

psikologisnya dan kebutuhan pengembangan, tetapi belum dapat

memberikan sumbangan yang maksimal dan teratur bagi

masyarakat dalam bentuk material, seperti: sumbangan materi untuk

kepentingan sosial kemasyarakatan atau yayasan sosial,

keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan lain sebagainnya. 

e. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu keluarga-keluarga yang  telah dapat

memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial

psikologis maupun pengembangan serta telah memberikan

sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat

I.3. Kesejahteraan Masyarakat Kota Tasikmalaya Pasca

Desentralisasi

I.3.1.Pendapatan Perkapita

36

Page 37: Makalah Kelompok II

Tingkat kesejahteraan masyarakat Kota Tasikmalaya yang

tercermin melalui pendapatan perkapita memiliki tren positif (progresif)

dari tahun 2002-2007. Sejak awal proses pemekaran (2002),

pendapatan perkapita masyarakat Kota Tasikmalaya relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan Kabupaten Tasikmalaya, yakni dengan rasio 1,71.

Namun begitu, nilai tersebut masih relatif rendah dibandingkan Propinsi

Jawa Barat (rasio 0,82).

Pendapatan perkapita masyarakat Kota Tasikmalaya relatif

meningkat setelah tahun 2003, dimana diasumsikan telah mulai

terdapat perhitungan yang lebih akurat antara kedua wilayah, baik

mengenai jumlah penduduk maupun jenis kegiatan yang menghasilkan

nilai tambah (khususnya dikotomi wilayah, penduduk maupun berbagai

data yang berkaitan dengan keruangan). Kondisi tersebut sangat terkait

dengan penentuan batas administratif yang sangat mempengaruhi

terhadap perhitungan penduduk maupun nilai tambah wilayah. Hal ini

dapat diamati dengan pertumbuhan yang cukup besar diikuti dengan

peningkatan rasio rata-rata yang lebih besar terhadap wilayah induk

(2,85) maupun terhadap wilayah region Jawa Barat (1,22). Dengan

peningkatan nilai pendapatan perkapita maupun rasio tersebut

diasumsikan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat tersebut tercermin atas peningkatan daya

dukung wilayah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

setempat akibat berkurangnya beban penduduk dibandingkan periode

sebelum pemekaran. Masyarakat diasumsikan memiliki akses yang lebih

baik terhadap berbagi sumber daya dan potensi ekonomi wilayah.

I.3.2.Kesenjangan Pendapatan (Koefisien Gini)

Guna mendalami efek pemekaran wilayah terhadap kesejahteraan

masyarakat, maka digunakan koefisien gini. Koefi sien ini bertujuan

untuk mengukur kemampuan wilayah dalam mendistribusikan

pendapatan wilayah kepada seluruh masyarakat.

37

Page 38: Makalah Kelompok II

Pendapatan wilayah selama ini belum mampu terdistribusi secara

optimal dan proporsional ke seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya. Hal

ini tercermin pada koefi sien gini rata-rata yang berada pada kisara

0,202. Artinya bahwa masih terjadi konsentrasi distribusi pada

kelompok masyarakat tertentu (20 % dari total masyarakat). Namun

demikian, distribusi pendapatan yang dilakukan telah relatif lebih baik

dibandingkan di wilayah induk maupun di wilayah region Jawa Barat

yang ditunjukkan melalui rasio rata-rata yang mencapai 1,040 dan

1,064.

Bila ditelusur ke belakang (periode sebelum pemekaran), nampak

bahwa telah terjadi sedikit perbaikan distribusi pendapatan yang

ditunjukkan melalui peningkatan rasio terhadap regional yang

meningkat sebesar 0,019 (dari 1,045 ke 1,064). Kondisi ini dapat berarti

bahwa melalui pemekaran wilayah, distribusi pendapatan berjalan lebih

baik dibanding sebelum pada periode pemekaran.

Ditengarai, komponen jumlah dan struktur penduduk sangat kuat

mempengaruhi proses distribusi pendapatan ini.

I.3.3.Tingkat Pengangguran

Nampaknya terdapat korelasi positif antara peningkatan pendapatan

perkapita dengan pengurangan pengangguran di Kota Tasikmalaya. Hal

tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan rata-rata pengangguran yang

cenderung menurun (8,33%). Penurunan terbesar justru terjadi pada

tahun 2004 (-49,72 %) dari 64.606

(2003) menjadi 32.486. Fluktuasi pertumbuhan terjadi pada tahun 2003

(64.606) dan 2005 (37.352), dimana memiliki pertumbuhan positif

sebesar 16,63 % dan 14,98 %.

Demikian pula dengan tingkat rasio pengangguran terhadap total

penduduk yang semakin menurun, seperti tahun 2003 sebesar 0,117

menjadi 0,046. Rasio rata-rata mencapai 0,072 sehingga dapat

dikatakan bahwa pertumbuhan pengangguran cenderung lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sementara bila dikaitkan

38

Page 39: Makalah Kelompok II

dengan wilayah propinsi, nampak bahwa rasio cenderung menurun,

dimana mengindikasikan bahwa pertumbuhan pengangguran di Kota

Tasikmalaya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tingkat

pengangguran propinsi.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun dengan

pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan Propinsi Jawa

Barat, Pemerintah setempat relatif mampu menciptakan lapangan

pekerjaan yang lebih besar. Dengan kata lain pertumbuhan yang

tercipta justru pertumbuhan ekonomi yang relatif berkualitas dan

mampu menciptakan berbagai usaha yang bersifat padat karya. Hal ini

relevan dengan perkembangan sektor industri dan perdagangan-hotel-

restoran yang cukup pesat dimana diprediksi sebagai media penyedia

lapangan kerja yang lebih besar.

I.3.4.Indeks Pembangunan Manusia

Peningkatan pendapatan perkapita maupun tingkat kesenjangan

pendapatan belum cukup dalam menggambarkan adanya peningkatan

kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu melalui

IPM diharapkan mampu menggambarkan tentang kinerja ekonomi

wilayah yang terkait dengan pelayanan publik. Sejak awal pemekaran

hingga tahun 2006, IPM Kota Tasikmalaya terus mengalami

pertumbuhan positif. Nilai IPM Propinsi Jawa Barat cenderung lebih

tinggi baik bila dibandingkan terhadap wilayah induk (1,04) maupun

region Propinsi Jawa Barat (1,03). Artinya bahwa kebijakan yang

dikeluarkan Pemerintah setempat mampu meningkatkan kualitas hidup

masyarakat Kota Tasikmalaya.

Dalam sisi kesejahteraan masyarakat, nampak bahwa pemekaran

memberikan implikasi positif. Beberapa indikator seperti kualitas hidup,

pendapatan perkapita, distribusi pendapatan maupun tingkat

pengangguran menunjukkan berbagai indikator yang positf. Namun

demikian beberapa hal yang harus diwaspadai adalah kegiatan ekonomi

yang tercipta belum mampu menumbuhkan usaha-usaha baru dalam

39

Page 40: Makalah Kelompok II

skala yang lebih besar di tengah masyarakat. Industri di Kota

Tasikmalaya didominasi oleh usaha-usaha kecil dan menengah.

Harapannya dengan adanya Perubahan struktur sektoral juga harus

diwaspadai terhadap adanya gejala polarisasi kembali ke Kota

Tasikmalaya yang mana bila diantisipasi menimbulkan berbagai

masalah dibelakangnya. Oleh karena itu guna mendorong pertumbuhan

ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik,

beberapa hal dapat dipertimbangkan sebagai upaya perbaikan, yaitu :

1. Menyelesaikan konflik eksternal dengan wilayah induk (Kabupaten

Tasikmalaya), baik secara administratif, pembagian aset, maupun

dalam berbagai program pembangunan.

2. Mempercepat pembangunan infrastruktur, khususnya jalan raya

demi memudahkan masuknya investasi dan pengembangan

potensi ekonomi daerah.

3. Menumbuhkan industri-industri pemenuhan kebutuhan input bagi

kegiatan ekonomi/produksi di wilayah Kota Tasikmalaya. Hal ini

diharapkan mampu meningkatkan efek pengganda

yang lebih besar dibanding sebelumnya.

4. Meneruskan program pembangunan industri, khususnya UKM

melalui insentif pada skala yang lebih luas guna mempercepat

sektor industri sebagai mesin penggerak utama ekonomi sekaligus

menciptakan lapangan kerja yang lebih luas sekaligus

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

IMPLIKASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH TERHADAP

BESARAN BEBAN / ONGKOS POLITIK, ADMINISTRASI DAN

KEUANGAN

Oleh : Bunga Eka Fajarwati

5.1. Beban / Ongkos Politik Pasca Desentralisasi

40

Page 41: Makalah Kelompok II

Dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 dan UU No.

25/1999 pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia telah melakukan

transformasi tata pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999, maka akan terjadi

perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II, dan dengan UU No.

25 Tahun 1999 akan tercipta peningkatan kemampuan keuangan

daerah.

Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan bisa menjadi formula

terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui

berbagai efek multiplier dari desentralisasi yang diharapkan bisa

terwujud. Secara teoretis, kehadiran kedua undang-undang tersebut

cukup menjanjikan bagi terwujudnya local accountability, yakni

meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan

hak-hak dari komunitasnya. Meski demikian, perlu disadari bahwa

tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan serta

merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran kedua UU tersebut.

Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan dari proses

desentralisasi sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu

mendapat perhatian khusus dalam waktu dekat yaitu (1) political

commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah

daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-

daerah. (2) Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih

didasari oleh “itikad” untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah

(bukan sebaliknya). Dan (3) perubahan perilaku elite lokal dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa itu semua tujuan

desentralisasi tidak akan pernah tercapai.

Dengan diserahkannya beberapa kewenangan ke pemerintah

daerah, diharapkan pelayanan masyarakat semakin efisien dan pada

gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Fenomena di

Indonesia menunjukkan bahwa setelah tiga tahun pelaksanaan

desentralisasi, banyak masyarakat Indonesia merasa bahwa

desentralisasi tidak membawa pada kondisi perekonomian yang lebih

41

Page 42: Makalah Kelompok II

baik, bahkan muncul pandangan bahwa desentralisasi hanyalah

persoalan hubungan antar pemerintahan tanpa menimbulkan efek

positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dan sebalikanya

pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut juga justru menunjukkan

“missing link” antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan

ekonomi daerah.

Beberapa pemerintahan di seluruh dunia termasuk Indonesia,

telah melakukan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hasil

empiris menunjukkan bahwa kesuksesan desentralisasi dan otonomi

daerah telah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan sektor

publik, dan telah ebrhasil mengakomodasi dari tekanan kekuatan-

kekuatan politik. Sebaliknya, ketidaksuksesan desentralisasi dan

otonomi daerah telah telah mengancam stabilitas ekonomi dan politik

serta mengganggu penyediaan publik (Bird and Vailandcourt, 1998; Ter-

Minassian, 1997; World Bank, 2000; Shah, 2003).

Sejumlah studi di negara maju dan berkembang menunjukkan

bahwa berlakunya Undang-undang desentralisasi dan otonomi daerah

telah mendukung dilaksanakannya akuntabilitas horizontal, namun juga

menjadi peluang terjadinya saluran baru bagi praktik penyalahgunaan

kekuasaan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, politik uang (money

politic), lobi-lobi, suap atau gratifikasi. Selain itu, salah satu risiko dari

sistem desentralisasi dan otonomi daerah adalah kemungkinan

terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah.

Sejalan dengan desentralisasi, buruknya kualitas Pilkada adalah

salah satu contoh dari kelemahan dalam implementasi desentralisasi

dan otonomi daerah. Dalam pelaksanaannya, umum diketahui,

pelaksanaan pilkada sejak 2005 sarat dengan politik uang. Mahalnya

ongkos politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)

menyebabkan perilaku korup para pejabat daerah. Penyebab terjadinya

kasus hukum, seperti korupsi, sebenarnya disebabkan karena ongkos

politik yang tinggi sebagai kepala daerah. Sehingga, setelah terpilih

mereka mencari jalan pintas untuk korupsi, karena pendapat

42

Page 43: Makalah Kelompok II

bulanannya tidak akan cukup untuk menutupi modal kampanye yang

pada akhirnya akan menyengsarakan masyarakat didaerah yang

dipimpinnya.

5.2. Efektifitas Administrasi Pemerintah Pasca Desentralisasi

Penerapan desentralisasi merupakan proses pemberian

wewenang dalam pengelolaan kekuasaan daerah yang diharapkan

dapat bermuara pada terselenggaranya good local governance. Namun

sebagai proses, good local governance yang ditempuh melalui

desentralisasi tidaklah secara serta merta dapat terjadi, namun ia

memerlukan rangkaian tahapan yang amat panjang.

Efektifitas pemerintahan lokal sebagai manifestasi good local

governance amat bertumpu pada terwujudnya peningkatan pelayanan

publik (pendidikan dan kesehatan) maupun berbagai hal yang terkait

dengan pembangunan daerah yang pada dasarnya kesejahteraan

masyarakat. Keputusan untuk melakukan desentralisasi selain tujuan

tersebut diharapkan dalam jangka panjang akan menumbuhkan

demokratis melalui peranserta masyarakat, terkait masukan atas

program pembangunan daerah.

Dalam memahami kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik

kiranya diawal bagian ini perlu dipahami apa yang dimaksud dengan

pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud disini adalah sebuah

bentuk layanan bagi masyarakat yang merepresentasikan ekstistensi

birokrasi pemerintah karena pemerintah sendiri memiliki fungsi sebagai

pemberi pelayanan.

Berdasar pemahaman tersebut maka kualitas pelayanan publik

merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah.

Pemahaman tersebut menjadi landasan dalam menjelaskan keterkaitan

hubungan antara pelayanan publik dengan birokrasi pemerintah daerah.

43

Page 44: Makalah Kelompok II

5.2.1. Peran Pemerintah Dalam Penyediaan Pelayanan Publik

Bagi Masyarakat

Tata kelola hubungan pemerintah pusat dan daerah mengalami

perubahan signifikan semenjak UU No 22 dan 23 Tahun 1999 kemudian

diperbaharui menjadi UU No 32 dan 33 tahun 2004, dimana pemerintah

Kabupaten/Kota memiliki peluang lebih besar untuk mengelola daerah

sesuai kewenangan yang dimilikinya. Desentralisasi kewenangan

berdasarkan UU Otonomi merupakan bentuk keseimbangan hubungan

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dimana masing-

masing intitusi tingkat pusat dan daerah dapat dipandang sebagai

hubungan principalagent. Berdasarkan UU Otonomi telah di rumuskan

kedudukan pemerintah pusat dan daerah terkait kewenangan

administrasi maupun keuangan. Pengaturan kewenangan tersebut di

harapkan akan mendorong masing-masing tingkatan pemerintah (pusat

maupun daerah) dapat mengambil peran sesuai kewenangan yang ada.

Pemerintah pusat maupun daerah didorong untuk dapat

menyelenggarakan tata pemerintahan yang efisien sehingga proses

pembangunan akan tepat guna sehingga dapat mewujudkan

pembangunan berkualitas.

Berkaitan dengan kewenangan administrasi, yang dimaksud

dengan administrasi publik bukan sekadar instrumen birokrasi negara,

fungsinya lebih daripada itu. Administrasi publik merupakan sebuah

bentuk instrumen kolektif, sebagai sarana publik untuk

menyelenggarakan tatakelola kepentingan bersama dalam jaringan

kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang telah disepakati.

Pemahaman administrasi publik oleh Frederickson disebut sebagai

governance, dimana administrasi publik mempunyai lokus pada wilayah

publik dengan menyertakan pelaku-pelaku dari publik/warga

masyarakat dengan fokus agenda interest publik yang memang menjadi

kebutuhannya.

Pemerintah Kabupaten/Kota, dalam kerangka desentralisasi

kewenangan terkait dengan pemahaman yang dikemukakan

44

Page 45: Makalah Kelompok II

Frederickson tersebut perlu merumuskan kebijakan dan program agar

operasionalisasi kebijakan pembangunan dapat dilaksanakan oleh

Satuan Kerja Perangkat Daerah/SKPD. Dalam menyusun kebijakan

pembangunan daerah birokrasi pemerintah perlu memahami beberapa

hal yang terkait penyelenggaraan pemerintahan, antara lain

peningkatan kapabilitas daerah, peningkatkan prakarsa, kreativitas, dan

peranserta masyarakat dan keserasian hubungan antar daerah dan

antara Pusat dan Daerah, termasuk keserasian kebijakan dalam dan

antar daerah, serta antara kebijakan nasional dan daerah. Proses

pembangunan baik pusat maupun daerah dari sisi administrasi

dipandang sebagai organisasi pemerintah dan akan terfokus pada

birokrasi pemerintah. Kedudukan birokrasi pemerintah menjadi penting,

menurut Ginanjar (1997) birokrasi pemerintah akan mempengaruhi

pelayanan publik dalam pengelolaan pembangunan sosial ekonomi

terlebih pada negara berkembang.

Pemahaman atas kedudukan birokrasi pemerintah tersebut

menjadi penting sebab birokrasi pemerintah merupakan sebuah bentuk

organisasi yang akan mempengaruhi pelayanan publik. Sektor publik

diartikan sebagai sector yang bercirikan non komersial, berorientasi

pada kepentingan umum, sehingga birokrasi pemerintah berdasarkan

legitimasi kekuasaan hanya berperan sebagai pembuat kebijakan.

Dinamika desentralisasi menuntut pemerintah daerah untuk dapat

mengoptimalisasi pelayanan publik melalui birokrasi pemerintah.

Namun kultur birokrasi pemerintah yang terbangun selama ini

menggambarkan belum optimalnya pelayanan publik bagi masyarakat.

Rendahnya kualitas pelayanan publik yang diterima masyarakat

disebabkan kurang responsive-nya birokrasi pemerintah memahami

partisipasi masyarakat. Terlebih bagi daerah baru yang menghadapi

kendala infrastruktur, akan menjadi permasalahan dalam membangun

prosedur baku pelayanan publik. Hal lain yang menjadi kendala

birokrasi pemerintah memenuhi kebutuhan publik, belum terbiasanya

birokrasi pemerintah menciptakan suatu mekanisme-mekanisme baru

45

Page 46: Makalah Kelompok II

untuk dapat menghasilkan kinerja yang maksimal terhadap

pelayanannya kepada masyarakat.

Dalam mencapai pelayanan publik yang prima birokrasi

pemerintah menurut pandangan Osborne dan Gaebler perlu memahami

konsep Reinventing Government. Reinventing Government menekankan

peran manajer publik untuk melakukan inovasi dalam mencapai tujuan

penyediaan pelayanan publik. Dalam memberikan pelayanan publik

diperlukan manajer publik yang mampu mengarahkan pelayanan publik

untuk dapat dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Untuk

dapat melaksanakan pelayanan publik yang prima manajer publik

penting memahami 10 prinsip Reinventing Government, yaitu :

1. Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh.

Pandangan ini mendorong terbentuknya organisasi pemerintah

yang ramping tetapi kuat sehingga birokrasi pemerintah lebih

berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan strategis daripada

mengurusi teknis pelayanan.

2. Pemerintah milik rakyat: lebih baik memberikan peluang dan

wewenang daripada melayani. Pemerintah mengupayakan agar

tugas pelayanan menjadi tugas dan kepentingan masyarakat.

Pendelegasian tugas pelayanan tersebut dilakukan dengan

melibatkan peran serta masyarakat (partisipatif) melalui

organisasi sosial.

3. Pemerintah yang kompetitif: menumbuhkan persingan dalam

pemberian pelayanan. Dalam upaya memberikan pelayanan

birokrasi pemerintah harus memmperhatikan kemampuan

pemerintah sendiri jangan sampai mengorbankan kualitas dan

efektifitas pelayanan publik. Pelayanan prima atas kebutuhan

masyarakat tersebut dilakukan dengan menerapkan kompetensi

dalam pemenuhan pelayanan publik baik yang diadakan oleh

masyarakat sendiri maupun oleh organisasi non pemerintah.

4. Pemerintah berpedoman pada peraturan daripada kepada misi :

mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Walaupun

46

Page 47: Makalah Kelompok II

pemerintah dijalankan berdasarkan peraturan, agar efektif dan

efisien maka birokrasi pemerintah diberi keleluasaan untuk

menjalankan misi dan tujuan sehingga timbul inovasi dalam

mencapai pelayanan publik yang prima.

5. Pemerintah yang berorientasi hasil : membiayai outcome bukan

input. Pembiayaan pemerintah biasanya berdasarkan input

sehingga kurang menghasilkan kinerja yang baik, bila dilakukan

berdasarkan outcome birokrasi pemerintah akan lebih objektif

dan berprestasi.

6. Pemerintah yang mengabdi masyarakat : memenuhi kebutuhan

masyarakat, bukan birokrasi. Pemerintah harus menempatkan

masyarakat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan,

sehingga birokrasi pemerintah perlu belajar dari sector bisnis.

Pemerintah harus secara cermat memahami kebutuhan

pelanggan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat

untuk dapat memilih berbagai macam pelayanan sebagai bentuk

penciptaan keadilan atas pelayanan publik.

7. Pemerintah yang berorientasi wirausaha: menghasilkan

ketimbang membelanjakan

Dalam menjalankan proses pembangunan pemerintah mengalami

permasalahan yang sama dengan sektor bisnis, yaitu

keterbatasan akan pembiayaan/keuangan. Dalam keterbatasan

pembiayaan tersebut maka birokrasi pemerintah dituntut untuk

berinovasi dalam menjalankan program sehingga kebutuhan

pelayanan publik akan terpenuhi.

8. Pemerintah berkemampuan antisipatif: lebih baik mencegah

daripada mengobati. Pola pemerintahan tradisional yang

birokratis lebih memusatkan pada penyediaan jasa untuk

memerangi masalah. Seiring dengan perubahan tuntutan

masyarakat maka pola preventif harus dikedepankan sehingga

pemerintah akan lebih responsive atas masalah-masalah publik

yang muncul.

47

Page 48: Makalah Kelompok II

9. Pemerintah desentralisasi : dari hirarki menuju partisipasi dan

kerja kelompok Perkembangan pola hubungan antara pusat dan

daerah telah mendorong implementasi desentralisasi yang lebih

luas bagi daerah. Dengan kewenangan yang dimiliki

pemerintintah daerah, kerjasama antar sektor pemerintah akan

terfokus demikian halnya dengan tumbuhnya civil socity akan

mendorong terciptanya kerja kelompok dalam menyediakan

pelayanan publik.

10. Pemerintah berorientasi pasar : mendorong perubahan

melalui pasar. Pemerintah atau organisasi publik lebih baik

berfungsi sebagai fasilitator untuk merespon perubahan melalui

penetapan strategi yang inovatif. Peran pemerintah melalui

institusi politik akan menjamin berjalannya penyediaan pelayanan

publik yang efisien dan memberikan kesempatan yang sama

pada penyedia pelayanan publik.

Penyediaan pelayanan publik yang menekankan pentingnya

peran manajer publik, dalam hal ini government bureaucratic/ birokrasi

pemerintah akan mendorong tercapainya efisiensi dan efektifitas.

Penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah selama ini dihadapkan

pada permasalahan pendanaan dan sumber daya manusia dengan

demikian birokrasi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

akan pelayanan publik perlu memiliki inovasi. Pada kenyataannya bagi

birokrasi pemerintah tidak hanya diperlukan inovasi tetapi juga perlu

memahani secara benar kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik.

Berdasarkan hal tersebut perkembangan pemikiran publik administrasi

berkembang pada konsep new public service dimana masyarakat/warga

negara menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sistem

pemerintahan demokratis. Konsep new public service diawali oleh

pemikiran Denhardt dimana pemilik kepentingan publik sebenarnya

adalah masyarakat sehingga pemerintah dalam hal ini birokrasi

pemerintah sebagai administrator publik perlu memusatkan perhatian

dan tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara

48

Page 49: Makalah Kelompok II

melalui pengelolaan organisasi publik dan mengimplementasikan

kebijakan publik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai

agregasi dari kepentingan pribadi, namun sebagai hasil

interaksi/keterlibatan publik dalam menentukan nilai dan kepentingan

bersama.

Berdasarkan pandangan konsep new public service warga negara

ditempatkan menjadi focus, sehingga administrator publik akan

memposisikan diri bukan hanya sebagai pengarah dan pengayuh tetapi

lebih pada bagaimana membangun institusi publik yang didasarkan

pada integritas dan respons. Upaya membangun institusi publik yang

direpresentasikan melalui administrator publik/ birokrasi penting kiranya

pemahaman akan prinsip new public service, antara lain :

1. Serve citizens, not customers

Berdasarkan pemahaman bahwa kepentingan publik merupakan

hasil dialog tentang nilai-nilai bersama dari pada agregasi

kepentingan pribadi/perorangan maka administrator publik tidak

semata-mata merespon tuntutan pelanggan tetapi justeru

memusatkan perhatian untuk membangun kepercayaan dan

kolaborasi dengan dan diantara warga negara.

2. Seek the public interest

Administartor publik harus memberikan pemikiran penting agar

dapat menumbuhkan pemikiran untuk dapat menyediakan

kepentingan publik bersama. Tujuannya tidak untuk menemukan

solusi cepat yang diarahkan oleh pilihan-pilihan perorangan tetapi

menciptakan kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama.

3. Value citizenship over entrepreneurship

Penyediaan kepentingan publik lebih baik dijalankan oleh

administrator publik dan warga negara yang memiliki komitmen

untuk memberikan sumbangsih daripada dijalankan oleh manajer

wirausaha yang bertindak seolah-olah uang masyarakat adalah

milik mereka sendiri.

49

Page 50: Makalah Kelompok II

4. Think strategically, act democratically

Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat

dicapai secara efektif dan efisien melalui upaya kolektif dan

proses kolaboratif.

5. Recognize that accountability is not simple

Administrator publik seharusnya lebih peduli daripada mekanisme

pasar. Selain itu, juga harus mematuhi peraturan

perundangundangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik,

standar profesional, dan kepentingan warga negara.

6. Serve rather than steer

Penting sekali bagi administrator publik untuk menerapkan

kepemimpinan yang berbasis pada nilai bersama dalam

membantu warga negara mengemukakan kepentingan bersama

dan memenuhinya daripada mengontrol atau mengarahkan

masyarakat ke arah nilai baru.

7. Value people, not just productivity

Organisasi publik beserta jaringannya lebih memungkinkan

mencapai keberhasilan dalam jangka panjang jika dijalankan

melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang

didasarkan pada penghargaan kepada semua orang.

Dalam kerangka otonomi/ kiranya pelayanan kepada masyarakat

merupakan tugas utama bagi administrator publik sekaligus sebagai

fasilitator bagi perumusan kepentingan publik dan partisipasi

masyarakat dalam pemerintahan. Dalam penyelenggaraan

pemerintahan lokal, partisipasi masyarakat merupakan unsur penting,

partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui beberapa hal.

Pertama, referendum yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan

terhadap isu-isu vital di daerah. Kedua, konsultasi dan kerjasama

dengan masyarakat sesuai kebutuhan dan tuntutan lokal. Ketiga,

penempatan pejabat lokal yang diisi berdasarkan prosedur pemilihan

(elected member) sebagai bentuk pemerintahan perwakilan sehingga

para pejabat memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada

50

Page 51: Makalah Kelompok II

masyarakat. Keempat, melakukan desentralisasi kepada unit-unit

pemerintahan yang lebih kecil.

Untuk melihat efektivitas pemerintah daerah pasca desentralisasi,

daerah yang diamati sebagai studi dalam makalah ini adalah

Tasikmalaya. Sebagai sebuah daerah baru, langkah efisiensi dan

efektifitas penggunaan sumberdaya menjadi kunci dalam proses

pembangunan Kota Tasikmalaya. Keberhasilan suatu daerah baru

maupun daerah lain yang telah mendapatkan desentralisasi/

pelimpahan kewenangan maka ada tiga hal yang dapat dijadikan

ukuran dalam menilai keberhasilan desentralisasi, yaitu institusional,

keuangan dan kemampuan aparatur daerah. Ketiga hal tersebut akan

saling terkait dalam menumbuhkan modal sosial sehingga potensi dan

kemampuan daerah dapat dioptimalkan.

Sebagai langkah konkrit pelaksanaan pembangunan daerah,

pemerintah Kota Tasikmalaya telah menetapkan visi dan misi

pembangunan yang menjadi arah dan pendorong kebijakan

pembangunan berkelanjutan agar terwujud menjadi kota termaju di

wilayah Priangan Timur. Sasaran pembangunan Kota Tasikmalaya akan

dicapai dengan mengacu pada visi daerah, yaitu ”Kesejahteraan

Masyarakat Dalam Bingkai Iman dan Taqwa”. Semenjak bersetatus

sebagai sebuah daerah otonom baru sesuai UU No. 10 Tahun 2001, Kota

Tasikmalaya berupaya melakukan pembangunan di berbagai sektor.

Proses pembangunan daerah Kota Tasikmalaya secara makro dapat

dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi daerah, pada tahun 2004 sebesar

4,99 % sedangkan pada tahun 2007 mencapai 5,98 %. Meningkatnya

laju pertumbuhan ekonomi tersebut menggambarkan terjadinya

peningkatan produktivitas atas aktivitas ekonomi Kota Tasikmalaya.

Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan indikasi

bahwa Kota Tasikmalaya telah dapat mengelola potensi sumber daya

alam dan sumber daya manusia yang dimiliki. Sesuai dengan visi

daerah penting untuk dilihat sejauh mana keberhasilan peningkatan

pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap kesejahteraan masyarakat.

51

Page 52: Makalah Kelompok II

Berdasarkan atas pengertian kesejahteraan adalah kondisi

agregat dari kepuasan individu-individu, dimana tingkat kepuasan dan

kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan (Bappenas,

2008). Pemahaman tersebut memberikan pengertian bahwa tingkat

kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan

tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau

masyarakat luas. Dengan pemekaran wilayah peran pemerintah Kota

Tasikmalaya untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat

sebagai satu kesatuan pengguna pelayanan publik akan meningkat

demikian halnya dengan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat.

5.3. Pemberdayaan Potensi Lokal dalam Pembiayaan

Pembangunan Daerah

Dinamika politik tingkat lokal di Indonesia mengalami

perkembangan pesat pasca diberlakukannya otonomi daerah melalui

UU. No. 22 dan 25 Tahun 1999. Hal tersebut secara langsung telah

mengubah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang tadinya

semua keputusan ada di pusat (sentralisasi kewenangan) menjadi

daerah berperan aktif dalam menetapkan kebijakan sesuai kewenangan

yang dilimpahkan (desentralisasi kewenangan). Dalam perjalanannya,

dirasakan pelimpahan kewenangan (desentralisasi) masih terdapat

beberapa kelemahan dan kekurangan sehingga disempurnakan menjadi

UU. No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang otonomi dan desentralisasi

fiskal. Terkait dengan UU tersebut, di tetapkan PP No. 25 Tahun 2000

dan PP 41 Tahun 2007, tentang Standar Operasional Tata Kewenangan,

dimana secara konkueren (ultravires) Pemerintah Daerah mempunyai

kewenangan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Artinya bahwa

semakin banyak kewenangan dan tanggungjawab yang diberikan

kepada Pemerintah Daerah oleh Pusat, akan mampu menjamin

52

Page 53: Makalah Kelompok II

terselenggaranya pembangunan daerah yang mendorong terciptanya

kesejahteraan masyarakat lokal.

Dinamika desentralisasi yang mendorong terjadinya pemekaran

wilayah menuntut pemerintah baru hasil pemekaran tidak hanya

berkosentrasi pada urusan politik. Pembangunan daerah baru selain

dibutuhkan dukungan politik juga perlu inovasi dari pemerintah daerah

dalam mengelola potensi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi secara

tepat akan mendorong pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Potensi ekonomi daerah perlu dikelola secara efi siensi dan sehingga

diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang mampu bersaing sesuai

karateristik lokal, guna mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan.

Pertumbuhan ekonomi tersebut akan memberikan jaminan

kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik prima. Dalam

mengukur kinerja ekonomi pasca desentralisasi dapat digunakan

metode Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) Daerah yang terdiri dari beberapa

komponen seperti : 1) Pertumbuhan Ekonomi (ECGI); 2) PDRB per Kapita

(WELFI); 3) Rasio PDRB Kabupaten terhadap PDRB Propinsi (ESERI); 4)

Angka Kemiskinan. Namun demikian tidak seluruhnya komponen

tersebut digunakan dalam mengupas implikasi desentralisasi terhadap

perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat. Di tingkat makro,

akan digunakan indikator PDRB (kontribusi maupun pertumbuhannya)

dan Rasio PDRB terhadap propinsi. Sementara di tingkat mikro

dikembangkan dari indikator pendapatan perkapita, IPM, dan koefisien

gini.

Dalam aspek desentralisasi fiskal, sejak 2001 dilakukan alokasi

pusat kepada daerah yang dikenal sebagai dana perimbangan, dalam

bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana

bagi hasil (DBH), baik yang berasal dari pajak maupun sumber daya

alam.

53

Page 54: Makalah Kelompok II

Secara umum kebijakan desentralisasi belum mampu

menghasilkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Berdasarkan nilai

riil tahun 2007, dalam periode 1996-2009, dana perimbangan dari

pusat telah meningkat hampir 4 kali lipat dari Rp.44,5 triliun menjadi

Rp.209,8 triliun, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 28,6 persen per

tahun. Di luar dari komponen dana perimbangan, pendapatan daerah

terdiri dari PAD dan pendapatan daerah lainnya yang secara rata-rata

dalam periode yang sama berkontribusi sebesar 14 persen terhadap

pendapatan daerah. Jika dilihat kecenderungannya, proporsi PAD

terhadap pendapatan APBD mengalami penurunan dari 13 persen pada

tahun 1996 menjadi 6 persen pada tahun 2008, sedangkan pendapatan

daerah lainnya meningkat dari 1 persen menjadi 7 persen pada periode

yang sama (Decentraliazation Support Facility, 2011).

Penataan desentralisasi fiskal diarahkan untuk mendukung

pembiayaan pembangunan bagi daerah dengan kebutuhan khusus.

Selama ini mekanisme transfer pemerintah terutama yang dilaksanakan

melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU)

belum responsif dalam mendukung pemberdayaan potensi lokal. Alokasi

DAK menunjukkan kecenderungan pada “fungsi penyebaran” dengan

meninggalkan “fungsi kekhususan” melaporkan 31% penerima DAK

adalah daerah dengan DAU per kapita yang relatif tinggi. Disamping itu

DAK bersifat top down sehingga tidak responsif terhadap kebutuhan

daerah. Hal ini terutama terlihat pada alokasi DAK yang bersifat non

fisik padahal kebutuhan pemberdayaan potensi lokal tidak hanya

kegiatan fisik tapi juga non fisik misalnya pengembangan tenaga

terampil. Formula DAK juga dirasakan memberatkan untuk daerah

dengan kapasitas fiskal rendah karena mensyaratkan adanya dana

pendamping.

Formula DAU cenderung menciptakan efek negatif terhadap

kemandirian daerah. seperti terlihat pada tabel dibawah, tax effort

daerah menurun. Formula DAU menciptakan kesan bahwa jika PAD naik

54

Page 55: Makalah Kelompok II

maka DAU akan diturunkan. Oleh sebab itu banyak daerah yang justru

enggan mengolah potensi lokalnya untuk mendongkrak PADnya.

Sumber : World Bank, 2012

Efek negatif lain dari DAU adalah dorongan bagi daerah untuk

merekrut pegawai. DAU dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri

atas celah fiskal dan alokasi dasar dimana alokasi Dasar (AD) jumlah

gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. AD mendorong daerah untuk

mengangkat pegawai sebanyak banyaknya. Dengan kata lain, bagi

pemerintah daerah tidak ada insentif untuk merekrut pegawai secara

rasional sesuai beban kerja.

5.4. Kolaborasi Pembiayaan dan Pemberdayaan potensi Lokal

untuk Keberlangsungan Pembangunan Kota Tasikmalaya

pasca Desentralisasi

5.4.1. Anggaran Daerah

Terkait dengan tata kelola pemerintah Kota Tasikmalaya,

anggaran pembangunan merupakan salah satu komponen yang penting

dalam mendukung kegiatan pembangunan daerah. Dalam menyusun

anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kota Tasikmalaya telah

55

Page 56: Makalah Kelompok II

menerapkan anggaran berbasis kinerja sesuai Keputusan Menteri Dalam

Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,

Pertangungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan

Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

Besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota

Tasikmalaya meningkat signifikan dari Rp. 186,04 milyar pada tahun

2002 menjadi Rp. 472,5 milyar pada tahun 2007. Namun demikian bila

dilihat dari komponen pembentukan APBD Kota Tasikmalaya pada

periode 2002-2006 porsi dana perimbangan masih menjadi

penyumbang terbesar dalam pembentukan APBD daerah (85,52 persen

secara ratarata setiap tahunnya). Komponen pendapatan dari

pendapatan asli daerah (PAD) memberikan kontribusi rata-rata sebesar

10,81 persen sedangkan komponen pendapatan lain-lain yang sah

kontribusi rata-rata hanya 3,67 persen setiap tahun.

Sebagai sebuah wilayah yang memiliki perkembangan kegiatan

ekonomi yang cukup berkembang, Kota Tasikmalaya banyak

memperoleh keuntungan atas aktivitas ekonomi yang berkembang

tersebut. Manfaat yang dapat diterima dari perkembangan aktivitas

ekonomi berupa potensi PAD, dimana secara umum memberikan

kontribusi sebesar rata-rata 10,81 persen. Komponen PAD ini

merupakan bagian penting dari peningkatan status (terjadinya

pemekaran) menjadi Kota Tasikmalaya, berdasarkan besarnya

penerimaan PAD menggambarkan meningkatnya aktivitas sosial

ekonomi. Secara umum di beberapa daerah Kabupaten/Kota

penerimaan yang bersumber dari PAD rata-rata 5 persen, Kota

Tasikmalaya PADnya mampu berkontribusi cukup besar, artinya

kegiatan perekonomian yang berkembang menjadi salah satu

pendorong pembangunan daerah.

Walaupun pendapatan asli daerah (PAD) cukup besar, untuk

menjalankan kegiatan pembangunan, pemerintah Kota Tasikmalaya

56

Page 57: Makalah Kelompok II

tetap mengandalkan penerimaan dari dana perimbangan. Hal ini

Nampak dari besarnya komponen dana perimbangan dalam struktur

APBD Kota Tasikmalaya. Beban kegiatan pemerintahan dengan adanya

peningkatan status/pemekaran secara signifikan berpengaruh terhadap

kebutuhan pendanaan dan kebutuhan yang terbesar diterima dari dana

perimbangan. Sedangkan sumber APBD yang berasal dari pendapatan

lain-lain hanya reltif kecil dalam struktur APBD Kota Tasikmalaya, secara

rata-rata tahun 2002-2006 berkontribusi sebesar 3,67 persen.

Keberadaan Kota Tasikmalaya menjadi strategis dalam hal

kegiatan perekonomian, dimana aktivitas perekonomian (perdagangan,

industry dan pariwisata) secara nyata berada di wilayah Kota

Tasikmalaya. Perkembangan kegiatan ekonomi yang terjadi dapat di

indikasikan dari besarnya potensi PAD yang dapat digali oleh

pemerintah daerah Kota Tasikmalaya.

Namun demikian terkait dengan pembiayaan pembangunan

dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota

Tasikmalaya masih tergantung dari bantuan pemerintah pusat (Dana

Perimbangan) melalui Dana Alokasi Umum. Pembangunan yang

dijalankan semenjak tahun 2001 (secara definitive berstatus Kota

Tasikmalaya) yang tercermin dari besarnya anggaran pembangunan

diharapkan akan digunakan bagi upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut perlu peningkatan

kapasitas kemampuan dari segenap eleman dalam pemerintahan Kota

Tasikmalaya.

5.4.2. Pemberdayaan Potensi Lokal

Sesuai dengan sejarah pembentukan Kota Tasikmalaya, kota ini

lahir pada tahun 2001 yang mana merupakan hasil pemekaran dari

Kotib Tasikmalaya. Bila diamati secara sekilas terdapat beberapa hal

yang menarik atas kontribusi sektoral Kota Tasikmalaya. Pertama,

terdapat perubahan yang signifi kan dalam struktur ekonominya, yakni

pergeseran dari sektor pertanian, perdagangan dan sektor jasa (periode

57

Page 58: Makalah Kelompok II

Kotib) menjadi sektor perdagangan (29,16 %); industri (17,42 %) dan

jasa-jasa (13,52 %) sebagai penggerak utama perekonomian. Sektor

pertanian yang sebelumnya (periode Kotib) mendominasi struktur

perekonomian justru menyusut kontribusinya. Hal ini disebabkan

wilayah Kota Tasikmalaya mayoritas berada di Kota, sehingga lahan

pertanian cenderung terbatas yang secara langsung berpengaruh pada

penurunan nilai tambah yang dihasilkan. Kedua, terdapat

kecenderungan bahwa perkembangan sektor unggulan tersebut

merupakan bagian/hasil dari kegiatan yang terjadi di periode Kotib dan

‘dibawa’ pada periode Kota Tasikmalaya. Dengan kata lain bahwa sektor

unggulan tersebut (khususnya sektor perdagangan hotel dan restoran)

bukan merupakan hasil pembangunan (prestasi) Kota Tasikmalaya itu

sendiri, namun lebih merupakan ‘warisan’ dari Kotib Tasikmalaya.

Tabel 1.1. Kontribusi Sektoral Perekonomian Kota Tasikmalaya

Sektor 2002 2003 2004 200

5

200

6

2007 Rata-

Rata

Pertanian,

perkebunan,

peternakan,

perikanan, kehutanan

10.7 10.4 10.0 9.69 9.15 8.98 8.92

Pertambangan dan

penggalian

0.68 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.12

Industri Pengolahan 16.5 16.8 17.3 17.8 17.8

9

18.0 17.42

Listrik, gas, dan air

bersih

1.43 1.41 1.39 1.51 1.60 1.64 1.50

Bangunan 9.52 9.45 9.14 8.89 9.44 9.83 9.38

Perdagangan, hotel

dan restauran

30.5 30.0 28.8 27.9 28.5

1

29.0 29.15

Pengangkutan dan

Komunikasi

10.2 10.1 9.82 9.61 9.49 9.12 9.73

58

Page 59: Makalah Kelompok II

Keuangan, sewa dan

jasa perusahaan

6.03 7.82 9.92 11.0

2

10.5

4

10.5 9.35

Jasa-jasa 14.3 13.9 13.4 13.2 13.3

6

12.7 13.52

Sumber: BPS Kota Tasikmalaya

Argumentasi diatas nampaknya cukup relevan bila dalam analisis

berikut melihat perubahan struktur ekonomi Kabupaten Tasikmalaya

sebagai bagian dari hasil Pemekaran Kotib Tasikmalaya (hasil

pemekaran Kotib adalah munculnya Kota Tasikmalaya dan Kabupaten

Tasikmalaya). Kabupaten Tasikmalaya selanjutnya disebut sebagai

Daerah Induk (DI), sementara Kota Tasikmalaya disebut sebagai Daerah

Otonomi Baru (DOB). Perkembangan sektor Perdagangan Hotel

Restoran (PHR) di Kota Tasikmalaya berkorelasi positif (29,16 %)

dengan perkembangan sektor PHR pada periode Kotib (24,23 %).

Artinya bahwa sektor PHR merupakan hasil perkembangan dari Kotib

dibandingkan tercipta (terbangun) akibat pemekaran. Lebih jauh,

nampak terjadi pembagian sektor unggulan antara Kota dan Kabupaten

Tasikmalaya dari adanya pemekaran. Kondisi ini dapat dilihat dari

sektor unggulan serupam (PHR) yang memiliki kontribusi cukup besar

terhadap perekonomian Kabupaten Tasikmalaya (21,70 %). Bilamana

diperbandingkan secara nilai antara Kota dan Kabupaten maka nampak

bahwa sektor PHR Kabupaten Tasikmalaya (Rp. 847,49 milyar)

cenderung memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan Kota

Tasikmalaya (Rp.916,32 milyar). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten

memiliki kekuatan lebih dalam mengakomodasi sektor ini dibandingkan

dengan Kota sebagai hasil dari pemekaran Kotib Tasikmalaya.

Sementara itu, sektor industri yang menjadi sektor unggulan

kedua setelah sektor PHR di Kota Tasikmalaya, secara tidak langsung

diprediksi merupakan hasil dari pemekaran wilayah. Argumentasinya

adalah : pertama bila dibandingkan dengan Kabupaten (7,05 %) , Kota

(17,42 %) cenderung memiliki kontribusi sektor industri lebih besar.

Kedua, nilai tambah sektor industri Kota (Rp. 508,18 milyar) lebih besar

59

Page 60: Makalah Kelompok II

dibanding kabupaten (Rp. 327.10 milyar). Ketiga, dengan adanya

pemekaran sistem birokrasi dan dukungan terhadap perkembangan

sektor usaha relatif lebih baik. Hal ini sesuai dengan hasil indepth

interview terhadap salah satu pengusaha batik yang menyatakan

bahwa dengan adanya pemekaran, insentif bagi pengusaha cenderung

lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya. Beberapa bentuk

insentif yang diberikan adalah fasilitasi pameran, pemberian modal

maupun pelatihan. Selain itu, melalui Bappeda dan Dinas Perindustrian

memberikan kemudahan dalam hak ijin usaha sehingga akses

perbankan relatif lebih mudah. Hal ini mengindikasikan bahwa target

pemekaran untuk memberikan kedekatan pelayanan kepada

masyarakat secara sekilas tercapai.

Dalam sisi pertumbuhan ekonomi, nampak bahwa laju

pertumbuhan ekonomi (LPE) memliki tren yang terus meningkat sejak

adanya pemekaran dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,9%. Di

tingkat sektoral, pertumbuhan terbesar justru terjadi pada sektor non

unggulan, yaitu keungan, sewa dan jasa perusahaan (17,98). Sementara

sektor unggulan seperti industri pengolahan (IP) dan PHR cenderung

tumbuh rata-rata pada level yang lebih rendah (6,60 % dan 3,79 %)

Pada awal pemekaran (2003), LPE hanya sebesar 4,43 % dan terus

meningkat menjadi 5,98 % (2007). Namun demikian LPE Kota Tasik (4,9

%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan LPE Propinsi

Jawa Barat (5,3%). Hal ini disebabkan karena sebagai DOB, Kota

Tasikmalaya masih terfokus pada upaya untuk melakukan sinkronisasi,

penataan dan restrukturisasi kembali hingga penyesuaian kembali

seluruh sistemnya (baik pemerintahan maupun ekonomi). Selain itu,

Kota Tasikmalaya dihadapkan pada permasalahan konflik asset dengan

Kabupaten Tasikmalaya, khususnya atas aset-aset daerah yang

potensial. Secara langsung hal ini menghambat pada proses

pembangunan khususnya dalam konsentrasi mengerahkan dan

mengelola segala potensi yang dimiliki.

60

Page 61: Makalah Kelompok II

61

Page 62: Makalah Kelompok II

REALITAS IMPLEMENTASI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Oleh:Wawan Tuswandi

Keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah ditentukan

oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kinerja dan

Pemerintah Daerah (Syaukani, 2005). Walaupun kinerja pemerintah

daerah bukanlah faktor yang paling dominan dalam menentukan

keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah namun perlu

perhatian dan upaya untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah,

secara simultan juga harus dilakukan peningkatan faktor — faktor

lainnva.

Syaukani (2005) mengemukakan bahwa antara implementasi

kebijakan otonomi daerah dan kinerja pemerintah daerah dapat ditarik

hubungan sebab akibat yang cukup signifikan. Antara kedua kondisi

tersebut saling mempengaruhi, selain implementasi otonomi daerah

dipengaruhi oleh kinerja pemerintah daerah, sebaliknya kinerja

pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh implementasi kebijakan

otonomi daerah.

Seiring dengan berkembangnya konsep tentang pembangunan,

sisi pembiayaan tidaklah menjadi satu-satunya acuan kinerja

pemerintahan suatu wilayah, kinerja suatu daerah hanya dinilai dari

aspek makro secara ekonomi, yaitu dari :

(1)Kemampuan daerah tersebut untuk menciptakan dan

mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan daerah bruto

(Product Domestic Regional Brutto) atau pertumbuhan ekonomi,

(2)Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita riil (income regional per

capita) yaitu PDRB per kapita yang telah dikurangi dengan faktor

inflasi, dan

62

Page 63: Makalah Kelompok II

(3)Tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumberdaya,

yang biasanya diindikasikan oleh pergeseran struktur produksi dan

sector pertanian ke sektor industri.

Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pembangunan yang

menekankan pentingnya pertumbuhan banyak dipersoalkan, karena

disadari bahwa tolok ukur kinerja daerah yang murni bersifat ekonomi

harus pula didukung oleh tolok ukur yang bersifat non ekonomi.

Paradigma pembangunan daerah pun kemudian mulai bergeser

ke arah pembangunan yang seimbang. Paradigma ini mengungkap

kembali pentingnya ‘the second fundamental theory of welfare

economics’ yaitu keseimbangan pembangunan ekonomi dan non

ekonomi.

Strategi pembangunan kini lebih memberikan penekanan utama

kepada manusia sebagai subjek utama dalam pembangunan. Hal

terpenting di sini adalah bagaimana memperluas pilihan-pilihan

penduduk untuk hidup lebih panjang, lebih terdidik dan lebih

mendapatkan akses terhadap sumberdaya untuk mempertahankan

standar hidup yang layak. Karenanya indikator pembangunan atau

kinerja suatu daerah juga mengalamai perubahan. Disamping

pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, kinerja daerah

juga dinilai dan berbagai indikator kemajuan makro sosial”.

Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kinerja daerah terukur

melalui kemampuan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Kaho (1997) menyatakan bahwa salah satu kriteria penting

untuk mengetahui secara nvata kemampun daerah dalam mengatur

dan mengurus rumah tangganva adalah self-supporting dalam bidang

keuangan. Hal ini berarti bahwa keuangan merupakan factor esensial

dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan

otonominya. Pemerintah daerah diharapkan mampu menetapkan

belanja daerah yang wajar, efisien dan efektif (Aslym, 1999).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) idealnya menjadi sumber

pendapatan pokok daerah. Sumber pendapatan lain dapat bersifat

63

Page 64: Makalah Kelompok II

fluktuatif dan cenderung di luar kontrol kewenangan daerah. Melalui

kewenangan yang dimiliki, daerah diharap dapat meningkatkan PAD,

sambil tetap memperhatikan aspek ekonomis, efisierisi, dan netralitas.

Kinerja PAD terukur melalui Ukuran Elastisitas, Share dan Growth.

Kombinasi indeksasi dan ketiga ukuran tersebut merupakan Indeks

Kemampuan Keuangan (IKK) yang sekaligus digunakan dalam menilai

kinerja daerah dalam pengelolaan input.

Selanjutnya Bappenas menyatakan bahwa elastisitas adalah rasio

pertumbuhan PAD dengan pertumbuhan PDRB. Rasio ini bertujuan

melihat sensitivitas atau elastisitas PAD terhadap perkembangan

ekonomi suatu daerah. Sedangkan share merupakan rasio PAD terhadap

belanja daerah (belanja aparatur daerah dan belanja pelayanan publik).

Rasio ini mengukur seberapa jauh kemampuan daerah membiayai

kegiatan aparatur daerah dan kegiatan pelayanan publik. Rasio ini

dapat digunakan untuk melihat kapasitas kemampuan keuangan

daerah, dan growth merupakan angka pertumbuhan PAD tahun i dan

tahun i-l.

Indikator kinerja kunci yang digunakan untuk Evaluasi Kinerja

Pelaksanaan Otonomi Daerah (EKPOD) yang terdapat dalam PP No. 8

Tahun 2008 disebutkan bahwa: “Tujuan akhir otonomi daerah

ditunjukkan dengan parameter tinggi kualitas manusia yang secara

internasional diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam

EKPOD, IPM ini digunakan untuk mengecek apakah aspek — aspek yang

digunakan untuk mengukur kemampuan penyelenggaraan otonomi

daerah dapat dipertanggung jawabkan”. Dengan demikian IPM idealnya

menjadi salah satu indikator pengukuran kinerja daerah dilihat dan sisi

outcomes.

Pengamatan terhadap kondisi IPM di 19 (Sembilan belas) Provinsi

adalah terdapat peningkatan secara signifikan setelah kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah

Sedangkan pengamatan terhadap kinerja daerah di 19 (Sembilan

belas) Provinsi, berdasikator Indeks Kemampuan Keuangan (IKK),

64

Page 65: Makalah Kelompok II

meningkat secara signifikan setelah pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah.

Secara normatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dipahami

sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini,

otonomi daerah merupakan bagian yang melekat dari implementasi

sistem desentralisasi.

Dalam suatu negara yang menganut kebijakan desentralisasi,

ditandai dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan

yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat untuk menjadi

kewenangan daerah. Pada era reformasi dewasa ini kita menerapkan

pola otonomi luas, dimana daerah diberikan kewenangan yang luas

untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang

menjadi kepentingan masyarakat daerah.

Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 31 sektor

pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang di-

desentralisasikan ke daerah baik yang terkait dengan urusan yang

bersifat wajib untuk menyelenggarakan pelayanan dasar maupun

urusan yang bersifat pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan

sector unggulan, dimana pelaksanaannya berpedoman pada Standar

Pelayanan Minimal (SPM).

Adapun urusan-urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke

daerah sebagai berikut,

Pertama urusan wajib yang meliputi pendidikan, pemuda dan

olahraga, kesehatan, pekerjaan umum, lingkungan hidup,

perumahan, penanaman modal, UKM, kependudukan, tenaga kerja

dan transmigrasi, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana,

perhubungan, komunikasi dan informasi (kominfo), pertanahan,

kesatuan bangsa, pemberdayaan masyarakat desa, sosial.

65

Page 66: Makalah Kelompok II

Kedua, urusan pilihan meliputi kelautan dan perikanan laut,

pertanian, perkebunan, peternakan, tanaman pangan, perikanan

darat, kehutanan, pertambangan, pariwisata dan kebudayaan,

industri, perdagangan.

UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur kriteria pembagian urusan

yang dikerjakan bersama oleh Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota

dengan menggunakan tiga kriteria yakni eksternalitas, akuntabilitas dan

efisiensi. Urusan pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota

tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:,

Pertama, pemerintah pusat membuat aturan main dalam bentuk

norma, standar dan prosedur untuk melaksanakan suatu urusan

pemerintahan; menegakkan aturan main dalam bentuk monitoring,

evaluasi dan supervisi agar urusan pemerintahan tersebut

dilaksanakan dalam koridor norma, standar, prosedur yang dibuat

pusat; melakukan fasilitasi dalam bentuk pemberdayaan/capacity

building agar daerah mampu melaksanakan otonominya dalam

norma, standard dan prosedur yang dibuat pusat; melaksanakan

urusan-urusan pemerintahan yang berdampak nasional/lintas

provinsi dan internasional.

Kedua, pemerintah provinsi mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam skala provinsi (lintas kabupaten/kota) sesuai

norma, standar, prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat

dan gubernur sebagai wakil pemerintahan di wilayah provinsi.

Ketiga, kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusanurusan

pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar

dan prosedur yang ditetapkan pemerintah pusat.

Walaupun terdapat pembagian urusan pemerintahan antar

tingkatan pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota), namun

tetap terdapat hubungan keterkaitan/interrelasi dan

ketergantungan/interdependensi dalam pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi domain masing-masing sebagai satu

kesatuan sistem.

66

Page 67: Makalah Kelompok II

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, daerah otonom berhak, berwenang, dan

sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan

Pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, menyediakan pelayanan umum, dan meningkatkan daya

saing daerah sesuai dengan potensi, kekhasan, dan unggulan daerah

yang dikelola secara demokratis, transparan dan akuntabel.

Untuk mencapai hasil yang optimal, pemerintahan daerah selaku

penyelenggara urusan pemerintahan harus dapat memproses dan

melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas

kepemerintahan yang baik (good governance) sesuai dengan asas

umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana diamanatkan Pasal 6 dan Pasal 222 UU Nomor 32

Tahun 2004, pemerintah melakukan evaluasi, pembinaan dan

pengawasan terhadap pemerintahan daerah. Dalam hal ini, telah diatur

secara tegas di dalam PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa Kementerian

Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan

daerah atau disebut sebagai Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah (EPPD) untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah

dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. Adapun

tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan

kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi

daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik.

Dalam hal ini EPPD meliputi tiga macam evaluasi yakni,

67

Page 68: Makalah Kelompok II

Pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah

(EKPPD), yang dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan

pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan

prinsip tata kepemerintahan yang baik.

Kedua, evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah

(EKPOD), yang dilakukan untuk menilai kemampuan daerah dalam

mencapai tujuan otonomi daerah yang meliputi peningkatan

kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan umum, dan

kemampuan daya saing daerah; dan

Ketiga, evaluasi daerah otonom baru (EDOB), yang dilakukan untuk

memantau perkembangan kelengkapan aspek-aspek

penyelenggaraan pemerintahan daerah pada daerah yang baru

dibentuk.

Hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah

terhadap provinsi dan kabupaten/kota dituangkan di dalam Keputusan

Menteri Dalam Negeri, yang secara regular disampaikan kepada publik

secara luas setiap tahunnya pada tanggal 25 April, bertepatan dengan

diselenggarakannya peringatan hari ulang tahun otonomi daerah.

Penyebarluasan informasi evaluasi penyelenggaraan pemerintah

daerah, di samping untuk menjadi bahan pengambilan kebijakan lebih

lanjut juga turut mendukung terwujudnya transparansi dalam

pengelolaan pemerintahan sebagaimana juga telah diatur dalam UU

Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

PENATAAN DAERAH

Daerah otonom baru yang dimungkinkan pembentukannya secara

masif sejak diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian

diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, dalam perjalanannya menunjukkan dinamika yang dapat

berkembang sesuai tujuan pembentukannya dan dalam batas tertentu

68

Page 69: Makalah Kelompok II

mengalami berbagai persoalan yang berdampak buruk pada pelayanan

publik.

Adapun dalam rentang waktu lebih dari satu dasawarsa sejak

tahun 1999, jumlah daerah otonom di Indonesia telah bertambah 205

(dua ratus lima) daerah terdiri dari 7 (tujuh) provinsi, 164 (seratus enam

puluh empat) kabupaten dan 34 (tiga puluh empat) kota. Dengan

demikian, penambahan ini telah menambah total jumlah daerah otonom

di Indonesia menjadi 524 (lima ratus dua puluh empat) daerah otonom,

yang terdiri dari 33 (tiga puluh tiga) provinsi, 398 (tiga ratus Sembilan

puluh delapan kabupaten, 93 (sembilan puluh tiga) kota, dimana jumlah

tersebut tidak termasuk enam daerah administratif di Provinsi DKI

Jakarta.

Sebagai bahan komparasi terdapat beberapa studi dan evaluasi

yang menunjukkan fakta tentang dinamika daerah otonom baru, bahwa

hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 148 daerah otonom

baru, menunjukkan bahwa pembentukan daerah baru belum

mensejahterakan masyarakat. Hal itu terlihat, baik di daerah baru

maupun daerah induknya. Belum terwujudnya kesejahteraan

masyarakat dilihat dari angka kemiskinan di daerah otonom baru, rata-

rata di tahun 2003 (17,91%) dan tahun 2004 (18,01%).

Angka kemiskinan di daerah induk rata-rata 21,03% (tahun 2003)

dan 19,54% (tahun 2004). Angka itu dinilai masih di atas angka

kemiskinan nasional, yaitu 16,66% di tahun 2004.

Berdasarkan hasil penelitian Bappenas dan UNDP (2008),

menunjukkan adanya gejala kegagalan pemekaran. Indikator utamanya

adalah daerah-daerah hasil pemekaran belum bisa berkembang secara

akseleratif, minimal mendekati perkembangan daerah induknya.

Riset itu dilakukan terhadap 6 provinsi dan 72 kabupaten/kota di

Indonesia selama 2002-2007. Terdapat empat bidang kajian, yaitu

ekonomi daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, dan aparatur di

daerah.

69

Page 70: Makalah Kelompok II

Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2009 oleh BPK atas kinerja

daerah pemekaran menunjukkan bahwa:

(a) beberapa indikator kinerja daerah induk dan daerah otonom baru,

yakni seluruh komponen aspek kesejahteraan, dan belanja modal,

rata-rata tidak tercapai karena masih di bawah rata-rata nasional

seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

(b) pemenuhan masa transisi pemerintahan baru tidak dapat tercapai

dengan baik, misalnya pembiayaan daerah otonom baru tidak diatur

secara jelas dan didokumentasikan dengan memadai.

(c) belum ditemukan dokumen sumber yang memadai mengenai

komitmen pembiayaan dari pemerintah provinsi dan daerah induk.

Berdasarkan tinjauan efektifitas, secara umum kebijakan

pemekaran daerah sejauh ini belum menunjukkan capaian yang cukup

positif. Sebaliknya kompleksitas gagasan pemekaran memunculkan

beragam persoalan pada tahap inisiasi pemekaran, proses pemekaran

maupun kinerja daerah otonom baru.

Sementara itu ekses negatif dari pemekaran daerah juga

berimbaspada keuangan negara, yang dalam hal ini telah menyebabkan

lonjakan beban anggaran yang luar biasa dalam APBN dalam kurun

waktu 1999-2010.

Menyikapi situasi ini, Pemerintah saat ini menerapkan moratorium

(jeda) pemekaran daerah sembari menunggu landasan hukum yang

kuat dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang nantinya menginisiasi

suatu manajemen transisi pemekaran suatu daerah.

Di samping itu, pemerintah juga telah menyusun suatu desain

besar (grand design) bagi penataan daerah yang bersifat komprehensif

menyangkut dimensidimensi strategis penataan daerah. Desain Besar

Penataan Daerah (Desartada) ini mencakup empat elemen dasar yakni :

Pertama, pembentukan daerah persiapan sebagai tahap awal

sebelum ditetapkan sebagai daerah otonom.

Kedua, penggabungan dan penyesuaian daerah otonom.

70

Page 71: Makalah Kelompok II

Ketiga, penataan daerah yang memiliki karakteristik khusus.

Keempat, penetapan estimasi jumlah maksimal daerah otonom

(provinsi, kabupaten dan kota) di Indonesia untuk tahun 2010-2025.

Dengan demikian melalui penataan daerah yang menyeluruh, ke

depan dapat diproyeksikan suatu akselerasi pengembangan potensi

nasional yang diarahkan bagi pemantapan integrasi nasional,

peningkatan pembangunan ekonomi dan penguatan kualitas pelayanan

publik bagi masyarakat seluruh daerah di Indonesia di dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah secara bertanggungjawab.

PEMILIHAN KDH DAN HUBUNGAN SINERGIS PENYELENGGARA

PEMERINTAHAN DAERAH

Penerapan kebijakan desentralisasi dimaksudkan tidak hanya

untuk mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan daya saing

daerah, tetapi juga bertujuan untuk mengakselerasi agenda

demokratisasi di daerah. Secara umum tujuan berdemokrasi juga akan

memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik

di tingkat lokal yang secara agregat akan memberikan sumbangsih

terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar

dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta

mempercepat terwujudnya masyarakat yang demokratis.

Salah satu proses demokrasi di tingkat lokal termanifestasi dalam

mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), dimana hal tersebut

telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 18 Ayat (4) yang

berbunyi : “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing- masing sebagai

kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis”.

Sedangkan pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dari segi

undang-undang, khususnya Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah mengatur bahwa Kepala Daerah, baik Gubernur

71

Page 72: Makalah Kelompok II

maupun Bupati/Walikota dipilih secara bersama-sama dengan wakilnya

secara langsung oleh rakyat di daerah

Sejak pertama kalinya dilaksanakan pada tanggal tanggal 1 Juni

2005, proses Pemilukada telah menimbulkan dinamika politik yang

cukup tinggi, baik secara vertikal dalam tata kepemerintahan maupun

dalam kehidupan sosial politik masyarakat di daerah.

Penyelenggaraan pemilukada dapat membawa implikasi

terjadinya konflik horizontal yang memicu tindakan-tindakan anarkis di

tengahtengah masyarakat dan maraknya praktik politik uang hingga

munculnya gejala dekadensi etika berdemokrasi. Tidak hanya itu,

penyelenggaraan pemilukada dapat pula membawa implikasi pada

penguatan partisipasi politik publik yang masif dan dalam skala yang

luas. Namun demikian, secara substantif pemilihan KDH dapat

melahirkan kepala daerah yang berkualitas sehingga mampu

menciptakan pemerintahan daerah yang efektif dalam mewujudkan

kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat dari konstitusi, UUD NRI

Tahun 1945.

Oleh karena itu, saat ini Pemerintah telah merampungkan

penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala

Daerah sebagai satu basis regulasi yang secara komprehensif memuat

ketentuan tentang pemilihan kepala daerah yang mampu memberikan

kepastian hukum serta menjadi faktor utama dalam melahirkan kepala

daerah dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berkualitas.

Terkait hal tersebut, perlu digarisbawahi bahwa Kepala Daerah

yang baru saja terpilih agar memperhatikan secara serius

penganggaran dalam perhelatan pemilihan kepala daerah. Hal ini

dikarenakan pembiayaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

bersumber kepada APBD, sehingga perlu adanya alokasi anggaran yang

telah dipersiapkan dalam tahun pertama kepemimpinan, sehingga di

tahun akhir kepemimpinan tidak terjadi ketidaktersediaan dana. Di

samping itu tanpa adanya suatu skema terencana terhadap

72

Page 73: Makalah Kelompok II

pembiayaan dalam postur APBD, menyebabkan maraknya fenomena

penyanderaan anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Hal ini tidak hanya berakibat pada tertundanya pemilihan kepala

daerah, namun lebih dari itu telah menciderai komitmen dari seorang

kepala daerah untuk mengakselerasi agenda demokrasi di daerahnya.

Sementara itu, pasca perubahan konstitusi hingga keempat kali,

UUD NRI 1945 menganut sistem pembagian kekuasaan berdasarkan

prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar

lembaga negara, baik di tataran pusat maupun daerah. Dalam konteks

konfigurasi pemerintahan daerah, saat ini hubungan antara kepala

daerah dan DPRD bersifat kemitraan dalam koridor harmonis-sinergis

dan bukannya harmonis-kolutif, sehingga kerjasama yang dinamis dan

produktif antara kepala daerah dan DPRD mampu menggerakan

perubahan positif bagi daerahnya dan bukan sebaliknya. Adanya

hubungan yang sinergis antara kepala daerah dan DPRD kemudian tidak

hanya membawa manfaat bagi daerah yang bersangkutan, namun juga

dapat mendukung terwujudnya sinergi nasional. Hal ini merujuk pada

kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat

segera dioperasionalisasi di tingkat regional maupun lokal, dengan

adanya iklim yang kondusif dalam sistem pemerintahan daerah.

Hubungan yang sinergis itu pula, mutlak berlaku bagi pasangan

kepala daerah dan wakil kepala daerah, dimana hubungan yang

konfrontatif antara kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya akan

menyebabkan terfragmentasinya pemerintah daerah yang pada

muaranya akan mendistorsi visi misi yang pernah diusung bersama di

kala pemilihan yang lampau.

OPTIMALISASI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM TATA

KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

73

Page 74: Makalah Kelompok II

Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik erat kaitannya

dengan pelaksanaan agenda percepatan reformasi birokrasi, baik pada

tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang mutlak sebagai upaya

untuk melakukan perbaikan kinerja birokrasi dengan meningkatkan

kualitas regulasi, meningkatkan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas di

seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka

meningkatkan kualitas pelayanan prima kepada publik yang pada

gilirannya akan meningkatkan legitimasi publik kepada pemerintah

serta mendukung terwujudnya good governance.

Dalam konteks kekinian saat ini, reformasi tidak bisa lagi

dimaknai sebagai satu semangat dan atau suatu simbol semata, namun

reformasi harus dipandang sebagai satu kebijakan yang konkrit dan

sistemik dalam rangka mengakselerasi agenda mewujudkan tata kelola

pemerintahan yang baik. Terhadap hal itu, INPRES Nomor 1 Tahun 2010

tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional,

menempatkan Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola menjadi instruksi

pertama dari Presiden terkait pelaksanaan prioritas pembangunan

nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)

Tahun 2010-2014.

Dalam hal peningkatan kinerja pemerintahan daerah melalui

program pengembangan kapasitas pemerintah daerah dilaksanakan

berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 Tentang

Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah,

yang mencakup 3 (tiga) bidang yakni pengembangan dibidang

kebijakan, kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM).

Peningkatan kinerja pemerintah daerah melalui program

pengembangan kapasitas tersebut menjadi langkah strategis bagi

Pemerintah Daerah menuju optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah

yang efektif, efisien dan responsif dalam merespon tuntutan

masyarakat terhadap pelayanan publik yang lebih berkualitas dan

profesional.

74

Page 75: Makalah Kelompok II

Adapun secara konseptual, guna mencapai optimalisasi

penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah tentunya tidak

dapat dilepaskan dengan peranan aktif dari organisasi birokrasi

pelaksana otonomi daerah. Organisasi birokrasi memiliki tugas yakni,

Pertama, memberikan pelayanan umum (services) yang bersifat rutin

kepada masyarakat seperti memberikan pelayanan perijinan,

pembuatan dokumen, perlindungan, pemeliharaan fasilitas umum,

pemeliharaan kesehatan, dan penyediaan jaminan keamanan bagi

penduduk.

Kedua, melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap

masyarakat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan yang lebih

baik, seperti melakukan pembimbingan, pendampingan, konsultasi,

menyediakan modal dan fasilitas usaha, serta melaksanakan

pendidikan.

Ketiga, menyelenggarakan pembangunan (development) di tengah

masyarakat, seperti membangun infrastruktur perhubungan,

perdagangan, dan sebagainya.

Namun demikian, diakui atau tidak, dari segi mentalitas birokrasi

di daerah masih dipengaruhi oleh pola budaya feodal yang telah sekian

lama mengakar. Budaya feodal itu kemudian menyebabkan mentalitas

personil birokrasi pada umumnya kurang kondusif dalam mendorong

sistem birokrasi bekerja optimal dalam memberikan pelayanan publik

secara prima.

Diantara beberapa sikap itu adalah :

Pertama, sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada

menghasilkan. Para birokrat menganggap bahwa anggaran dan

fasilitas mereka adalah milik negara sehingga birokrat tidak perlu

bersusah payah untuk mengelola secara baik apalagi memberi nilai

tambah pada aset-aset itu. Para birokrat bahkan cenderung ceroboh

dalam mengelola aset-aset pemerintah

Kedua, sikap minta dilayani, bukan melayani. Hal ini sedikit banyak

merupakan warisan paham masa lampau baik masa kerajaan yang

75

Page 76: Makalah Kelompok II

menempatkan birokrat sebagai priyayi, maupun masa penjajahan

yang menempatkan birokrat sebagai ambtenaar yang memiliki hak-

hak dan status khusus.

Ketiga, motivasi birokrasi pada umumnya keliru. Sejak awal para

personil birokrasi mendaftar menjadi pegawai bukan untuk melayani

dan mengabdi, melainkan mencari status dan gaji, sehingga tentu

saja tatkala bekerja orientasinya sudah tidak sesuai lagi dengan

tugas dan fungsi utama birokrasi.

Dengan demikian terdapat tugas seorang kepala daerah yang

tentunya dibantu oleh wakil kepala daerah untuk secara konsisten

mengawal agenda percepatan reformasi birokrasi. Aspek kepemimpinan

yang dapat dijadikan suri tauladan bagi jajaran aparat pemerintah

daerah menjadi modal yang mutlak dimiliki oleh kepala daerah maupun

wakil kepala daerah, sehingga kepercayaan yang telah diberikan rakyat

dalam pemilihan kepala daerah dapat dibuktikan dengan kerja yang

nyata.

KESIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI

I.4. Kesimpulan

Dalam pendekatan implementasi kebijakan desentralisasi

berdasarkan perspektif Hubungan negara – masyarakat,

desentralisasi dipandang sebaagai salah satu sarana untuk

mendekatkan negara kepada masyarakat. Formulasi definsi

desentralisasi lebih merujuk pada perspektif desentralisasi

politik, dengan tekanan pada aspek penyerahan kekuasaan

dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, namun

76

Page 77: Makalah Kelompok II

dalam formulasi tujuan yang hendak dicapai tidak

mendikotomikan antara tujuan menurut konsep desentralisasi

politik dan desentralisasi administrasi.

Dalam perspektif Hubungan negara – masyarakat, baik tujuan

politik maupun tujuan administrasi adalah sama penting.

Perbedaan lebih terletak pada metode dan tekanan prioritas

untuk mencapai tujuan. Itulah sebabnya tujuan desentralisasi

yang dibangun lebih diformulasikan menurut kepentingan

nasional dan daerah.

Dari sisi kepentingan nasional, tujuan desentralisasi meliputi,

antara lain, memperkuat integrasi bangsa; training bagi calon-

calon pemimpin nasional; dan percepatan pencapaian

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Sedangkan dari sisi kepentingan daerah, tujuan desentralisasi

meliputi, antara lain mewujudkan demokratisasi di tingkat

lokal; meningkatkan pelayanan publik; serta menciptakan

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.

Tujuan desentralisasi secara nasional perlu medapat

penekanan, karena dalam praktik desentralisasi di Indonesia

sejauh ini, tujuan tersebut belum dirumuskan secara eksplisit,

baik pada tataran konsep maupun pada tingkat kebijakan.

Implikasinya, antara lain, pelaksanaan kebijakan desentralisasi

sering dikaitkan dengan kekuaatiran terancamnya integrasi

bangsa. Kecenderungan ini dimengerti, karena apabila tujuan

desentralisasi berdasarkan kepentingan nasional tersebut

dikonkritkan pada level konsep dan kebijakan akan

mempersempit ruang gerak rezim yang berkuasa untuk

melakukan ‘diskresi desentralisasi’, yaitu memanipulasi

konsep dan kebijakan desentralisasi guna membelenggu

daerah.

Sudah saatnya, untuk dikaji dan dilakukan segera reformulasi

tujuan desentralisasi.

77

Page 78: Makalah Kelompok II

Implementasi kebijakan desentralisasi tidak dapat berdiri

sendiri, tetapi harus terkait dan sejalan dengan kebijakan-

kebijakan pada bidang lain

Selain itu, implementasi kebijakan desentralisasi juga harus

tidak mengabaikan karakteristik masing-masing daerah.

Dalam pendekatan desentralisasi secara holistik, persoalan

hubungan pusat-daerah tidak dapat diselesaikan secara

parsial, dengan hanya mengutak-atik kebij akan tentang

pengaturan hubungan kekuasaan dan keuangan pusat-daerah

dan kebijakan otonomi daerah, tetapi juga menghendaki

perbaikan kebijakan pada bidang-bidang lain

Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di

Indonesia, lebih banyak diperlihatkan dengan marak

tumbuhnya daerah otonom baru hasil pemekaran daerah,

namun kondisi yang lebih baik sebagai implikasi dari

terwujudnya tujuan desentralisasi belum terwujud dengan baik.

Sebagian besar daerah otonom (70 persen) belum mampu

melaksanakan desentralisasi kekuasaan dan kewenangan

keuangan untuk mengurus dan memenuhi kebutuhannya

daerahnya sendiri

I.5. Saran / Rekomendasi

Setelah mamahami dan mencermati segala dampak positif

dan negative sebagai implikasi dari kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia dalam rangka

meningkatkan kualitas hubungan negara – masyarakat,

disampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan kajian yang lebih kongkret dalam reformulasi

tujuan desentralisasi, khususnya tujuan secara nasional. Hal

ini ditujukan untuk mengantisipasi semakin besarnya gap

kondisi antar daerah akibat dari arogansi otonomi. Kondisi

78

Page 79: Makalah Kelompok II

tersebut akan bertendensi mengakibatkan terjadinya

disentegrasi bangsa, yang pada dahulu kala telah diikat

dengan semangat kesatuan dan persatuan.

2. Salah satu mekanisme yang dipandang akan mampu

mengikat kesatuan dan persatuan bangsa antara lain adalah

dengan memperkuat kerjasama antar daerah dalam berbagai

bidang dan sektor yang dituangkan dalam komitmen legal

antar kepala daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Cheema, G Shabbir, Dennis A Rondenelli, 1983. Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, Beverly Hills/London/New Delhi

79

Page 80: Makalah Kelompok II

Conyers, Diana, 1986. Decentralization and Development: a Framework for Analysis, Community Development Journal. (Vol.21, Number 2, April)

Dariwardani, Ni Made Inna dan Siti Noor Amani, 2012., Kinerja Provinsi di Indonesia Sebelum dan Setelah Pemberlakuan Otonomi Daerah,. Program Studi Manajemen Ekonomi Publik., STIA- LAN., Jakarta

Djohan, Djohermansyah, 2012. Kebijakan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam: Jornal Pamong Praja, Volume I, Nomor: 1 Tahun 2012 (1-7)

Imawan, Riswandha. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance dalam Haris, Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

Kaho, Josef Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Millet, John D., 1954, Management in the Public Service, New York : McGraw-Hill Book Company, Inc

Pratikno. 2005. Pengelolaan Hubungan Antar Pusat dan Daerah, dalam Haris,

Ruland, J. (1993) Urban Development in Southeast Asia: Regional Cities and Local Government, Boulder: Westview Press.

Ryaas, Rasyid M., 1996, Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta : Yarsif Watampone

Smith, Brian C., 1985, Decentralization The Teritorial Dimension Of The State, Sydney

Sudarman Danim, Transformasi Sumber Daya Manusia: Analisis Fungsi Pendidikan Dinamika Prilaku dan Kesejahteraan Manusia Indonesia Masa Depan (Jakarta: Bumi Aksara,1995),7.

Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

80

Page 81: Makalah Kelompok II

Syaukani. 2005. Peningkatan Kinerja Eksekutif dan Implementasi Otonomi Daerah, dalam Haris, Syamsuddin (2005). Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.

81