Sejarah Perkembangan Hadits Page 1 Bab 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan, menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas) hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh, menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut. 1 Sebab studi tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya. Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan tersebut. 1 Goldziger adalah seorang orientalis kelahiran Hongaria yang banyak dan mengkaji literatur-literatur Islam terutama hadit s. Melalui karya tulisnya “Muhammedanische Studien”, Goldziger berhasil menanamkan keragu - raguan kepada banyak orang termasuk orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini. Lihat Goldzger, Hadis dan Sunah, dalam H.L Beck dan N.J.G.Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosof, Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sejarah Perkembangan Hadits Page 1
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis ini diharapkan dapat
mengetahui sikap dan tindakan umat Islam yang sebenarnya. Khususnya para ulama ahli
hadits terhadap hadits serta usaha pembinaan dan pemeliharaan mereka pada tiap-tiap
periodenya sampai akhirnya terwujud kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna. Bahkan,
menguatnya kajian hadis dalam dunia islam tidak lepas dari upaya umat islam yang
melakukan counter balik terhadap sangkaan-sangkaan negatif kalangan orientalis terhadap
keaslian hadis. Goldziger misalnya, ia meragukan sebagian besar keaslian (orisinalitas)
hadits, oleh yang diriwayatkan oleh Bukhari sekalipun. Salah satu alasannya adalah semenjak
wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan masa upaya pentadwinan hadis sangat jauh,
menurutnya, sangat sulit untuk menjaga tingkat orisinalitas hadis tersebut.1 Sebab studi
tentang keberadaan hadis selalu makin menarik untuk di kaji seiring dengan perkembangan
manusia yang semakin kritis. Oleh karena itu mengkaji sejarah ini berarti melakukan upaya
mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya sehingga sulit untuk ditolak keberadaannya.
Perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami berbagai persoalan dan hambatan yang
dihadapinya, yang antara satu periode dengan periode lainnya tidak sama, maka
pengungkapan sejarah persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan
tersebut.
1 Goldziger adalah seorang orientalis kelahiran Hongaria yang banyak dan mengkaji literatur-literatur Islam
terutama hadits. Melalui karya tulisnya “Muhammedanische Studien”, Goldziger berhasil menanamkan keragu -
raguan kepada banyak orang termasuk orang islam sendiri terhadap sumber tasyri’ yang kedua ini. Lihat Goldzger,
Hadis dan Sunah, dalam H.L Beck dan N.J.G.Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosof,
Teologi, dan Mistik Tradisi Islam, (Jakarta: INIS, 1988)
Sejarah Perkembangan Hadits Page 2
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian sejarah hadits?
b. Hadits pada masa Nabi Muhammad SAW?
c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in
d. Hadits pada abad ke-II, III, dan IV H
e. Sejarah pada abad ke-V sampai sekarang perkembangan hadits
Bab 2
PEMBAHASAN
a. Pengertian Sejarah Hadits
Sejarah hadits terdiri dua kata yaitu kata “sejarah” dan kata “hadits”. Kata sejarah
sendiri yang digunakan pada masa sekarang ini bersumber dari bahasa Arab yaitu
Syajaratun yang berarti pohon. Dari sisi lain, istilah history merupakan terjemahan dari
bahasa Yunani yakni histories yang memberikan arti suatu pengkajian. Dalam sebuah
tulisan yang berjudul definisi sejarah (2007) mengutip pandangan Bapak Sejarah
Herodotus yang menurutnya sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu perputaran
jatuh bangunnya seorang tokoh masyarakat dan peradaban.
Sedangkan menurut Aristoteles sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang
mempunyai catatan, rekam-rekam atau bukti-bukti yang kukuh.2
Hadits secara Lughowi (Harfiyah) adalah ism masdar yang fi’il madhi dan mudhori’nya
hadatsa-yahdutsu yang berarti baru. Hadits secara istilah ialah segala perkataan (aqwal),
perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dan sifat Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah hadits ialah suatu kajian peristiwa-peristiwa
bin Amr ini sekarang terhimpun bersama sama hadits yang disusun oleh Imam Ahmad
bin Hambal dalam kitab Musnadnya.
2. Jabir bin Abdullah Al-Anshari. Shahifahnya disebut Shahifah Jabir. Imam Muslim
dalam kitab shahihnya telah menghimpun hadits-hadits Jabir bin Abdullah ini dalam
masalah haji.
3. Abdullah bin Abi Awfa. Shahifahnya dikenal dengan nama Shahifah Abdullah bin Abi
Awfa.
4. Samurah bin Jundub. Shahifahnya diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman bin
Samurah.
5. Ali bin Abi Thalib, Shahifahnya berisi hadits-hadits Nabi yang berhubungan dengan
diyat.9
c. Sejarah hadits pada masa sahabat dan Tabi’in
Hadist pada Masa Sahabat, Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah
masa sahabat, khususnya adalah Khulafa al-Rasyidun (Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin
Khathab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sehingga masa ini dikenal dengan
masa sahabat besar.10
Periode ini juga dikenal dengan zaman Al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah
yaitu periode membatasi hadits dan menyedikitkan riwayat. Hal ini disebabkan karena
para sahabat pada masa ini lebih mencurahkan perhatiannya kepada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur’an. Akibatnya periwayatan haditspun kurang mendapat perhatian,
bahkan mereka berusaha untuk bersikap hati - hati dan membatasi dalam meriwayatkan
hadits.
Kehati - hatian dan usaha membatasi periwayatan dan penulisan hadits yang
dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan
kebohongan atas nama Rasul SAW, karena hadits adalah sumber ajaran setelah Al-
Qur’an.11
9 Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289 10 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadits (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), 79. 11 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 71.
Sejarah Perkembangan Hadits Page 8
Keberadaan hadits yang demikian harus dijaga keautentikannya sebagaimana
penjagaan terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya Khulafa al-
Rasyidin, dan sahabat lainnya seperti Al - zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha
keras untuk memperketat periwayatan hadits. Berikut ini akan diuraikan periwayatan
hadis pada masa sahabat.
a. Abu Bakar Al-Shiddiq
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadits dilakukan dengan sangat
hati hati. Bahkan menurut Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi (wafat 748H/1347M),
sahabat Nabi yang pertama - tama menunjukkan sikap kehati - hatiannya dalam
meriwayatkan hadits adalah Abu Bakar Al-Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati - hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan
tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadits yang dimilikinya.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah (putri Abu Bakar) bahwa Abu Bakar telah
membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadist. Tindakan Abu Bakar tersebut
lebih dilatarbelakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam
meriwayatkan hadits Sehingga, tidak mengherankan jika jumlah hadits yang
diriwayatkannya juga tidak banyak. Padahal, jika dilihat dari intensitasnya bersama
Nabi, beliau dikatakan sebagai sahabat yang paling lama bersama Nabi, mulai dari zaman
sebelum Nabi hijrah ke Madinah hingga Nabi wafat.
Selain sebab - sebab di atas, menurut Suhudi Ismail, setidaknya ada tiga factor yang
menyebabkan sahabat Abu Bakar tidak banyak meriwayatkan hadits, yaitu
(1) Dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah;
(2) Kebutuhan akan hadits tidak sebanyak pada sesudahnya;
(3) Jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadits
pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada
masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat
menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan
kewibawaan pemerintah setelah meninggalnya Rasulullah SAW baik yang datang dari
Sejarah Perkembangan Hadits Page 9
dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Meskipun demikian, kesemuanya tetap dapat
diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.
b. Umar ibn al-Khathab
Tindakan hati - hati yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, juga diikuti oleh
sahabat Umar bin Khathab. Umar dalam hal ini juga terkenal sebagai orang yang sangat
berhati-hati di dalam meriwayatkan sebuah hadits. Beliau tidak mau menerima suatu
riwayat apabila tidak disaksikan oleh sahabat yang lainnya.
Hal ini memang dapat dipahami, karena memang pada masa itu, terutama masa khalifah
Abu Bakar dan khalifah Umar bi Al-Khathab naskah Al-Qur’an masih sangat terbatas
jumlahnya, dan karena itu belum menyebar ke daerah - daerah kekuasaan Islam.
Sehingga dikhawatirkan umat Islam yang baru memeluk Islam saat itu tidak bisa
membedakan antara Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Pada periode ini menyusun catatan-catatan terdahulu juga dilarang, karena dari
catatan tersebut tidak dapat diketahui mana yang haq dan mana yang bathil, demikian
pula dengan pencatat ilmu juga dilarang. Meskipun demikian, pada masa Umar ini
periwayatan hadits juga banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu dalam periwayatan
tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian.
c. Utsman Ibn Affan
Pada masa Usman Ibn Affan, periwayatan hadits dilakukan dengan cara yang
sama dengan dua khalifah sebelumnya. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Utsman
Ibn Affan ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khathab.
Meskipun Utsman melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Namun pada zaman ini, kegiatan umat Islam
dalam periwayatan hadist telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan
periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Sebab, seruannya itu ternyata tidak
begitu besar pengaruhnya terhadap para periwayat yang bersikap “longgar” dalam
periwayatan hadist. Hal ini lebih disebabkan karena selain pribadi Utsman yang tidak
sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas. Yang
Sejarah Perkembangan Hadits Page 10
mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara
ketat.
d. Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadits tidak jauh berbeda
dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati
didalam meriwayatkan hadits. Dan diperoleh pula atsar yang menyatakan bahwa Ali r.a
tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkannya itu disumpah.12 Hanya saja,
kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta mereka untuk
bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu,
apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak
mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits
yang berupa catatan, isinya berkisar tentang:
[1] hukuman denda (diyat);
[2] pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir;
[3] larangan melakukan hukum (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh
orang kafir.
Dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadist yang
terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulunya.
Hadits Pada masa Tabi’in, Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh
kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Hanya saja
persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada,
masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
12 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999), 47.
Sejarah Perkembangan Hadits Page 11
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan Islam sampai
meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika, Bashrah, Syam dan Khurasan. Penyebaran para
sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat,sehingga masa ini dikenal dengan
masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar)
1. Pusat-pusat Pembinaan hadis
Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai tempat
tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-
Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup
banyak, antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah, Abdullah
ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id Al-Khudri13
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena di sinilah Rasul SAW menetap
setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri
atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu, Mu’adz ibn Jabal, ‘Atab
ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan ‘Utbah ibn Al-Haris.14
Di antara para Tabi’in yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha’ ibn Abi Rabah, Thawus ibn
Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.15 Di antara para sahabat yang membina hadis di
Kufah yaitu, Ali bin Abi Thalib,Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di
antara para tabi’in yaitu, Al-Rabi’ ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i dan Abu Ishaq
Al-Sa’bi16
Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu, Anas ibn Malik, Abdullah ibn
Abbas,’Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar, Abdurrahman ibn Samrah dan Abu Sa’id
Al-Anshari. Di antara para Tabi’in yaitu, Hasan Al-Bishri, Muhammad ibn Sirrin, Ayub
Al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn ‘Aun, Kahatadah ibn Du’amah Al-
Dengan kegiatan pembukuan hadits yang pertama kali secara resmi, maka secara resmi
pula kaum muslimin memiliki kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan untuk
belajar dan mendalami petunjuk-petunjuk Nabi saw. Akan tetapi buku atau kitab hadits
tersebut masih dalam bentuknya yang sederhana. Secara umum ciri-ciri yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
a. Hadits yang dibukukan dalam kitab/dewan hadits, mencakup hadits Nabi saw, fatwa
shahabat dan tabi’in. Dengan demikian kitab hadits dalam periode ini, belum ada
pemisahan antara hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’. Kitab hadits saat
itu yang hanya husus menghimpun hadits Nabi saw adalah yang ditulis oleh
Muhammad bin Hazm, Gubernur kota Madinah yang mendapat Instruksi Khalifah
Umar bin Abd. Aziz :
ل اال حديث الرسول صلى هللا عليه وسلمالتقب
b. Hadist yang ditulis dalam kitab hadits saat itu, umumnya belum dikelompokkan
dalam judul-judul (maudhu’) tertentu. Dengan demikian hadits yang tertulis dalam
kitab, masih bercampur antar berbagai tema, belum ada pengelompokan misalnya
bab tentang hukum, sejarah Nabi, hadits tentang tafsir dan sebagainya. Yang pertama
melakukan pengelompokan berdasar tema adalah Imam al-Syafi’i, yaitu masalah
thalaq, terkumpul dalam satu bab.
c. Hadits-hadits yang disusun dalam kitab belum dipisah, antara yang shahih, hasan dan
dha’if.
Pemalsuan Dan upaya Penyelamatan Hadits Nabi
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib
serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat
Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing
kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.
Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu.
Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula
membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan
Sejarah Perkembangan Hadits Page 16
jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah
berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya
propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai
imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk
membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul
juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar
mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil
darinya:
1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti
hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada
Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-
nilai hadis yang diriwayatkannya.27
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-
perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah
Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-
benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para
ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-
golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam
tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun
kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain:
Kitab تذكرت الموضوعات oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdisi(w. tahun 507 H)
Kitab الموضوعات الكبرى oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
27 Ibid, hal. 109-110
Sejarah Perkembangan Hadits Page 17
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan
serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu.
Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas
rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis:
لتسبوا الديك فإنه صديقي
Artinya:
"Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. "
2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
الباذنجان شفاء من كل داء
Artinya:
"Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti
hadis:
ولد الزنا الجنة ليدخل
Artinya:
"Anak zina itu tidak akan masuk surga. "
4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
ولتزروازرة وزرأخرى
Artinya:
"Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir: 18)
Sejarah Perkembangan Hadits Page 18
Pada abad ke-III, Periode ini dimulai sejak masa akhir pemerintahan Bani Abbas
angkatan pertama (Khalifah al-Makmun) sampai awal pemerintahan Bani Abbas
angkatan ke dua (Khalifah al-Muqtadir). Periode abad ini disebut sebagai masa
penyaringan dan seleksi hadits, karena pada masa inilah kegiatan pentashihan hadits
Nabi mulai dilakukan dengan sitematis.
a. Kegiatan Para Ulama Hadits
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak
akhir masa pemerintahan Bani Umayyah angakatan pertama (awal pemerintahan Bani
Umayah angkatan ke dua) sampai ahir abad II H, tetapi belum begitu sempurna. Kitab
hadits yang ada berisi campuran antara hadits yang shahih dan dha’if. Begitu pula belum
dipisahkan antara hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu’. Maka pada awal abad III H.
dilakukan upaya penyempunaan; berupa kegiatan sebagain berikut:
1. Mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh. Kegiatan ini dilakukan karena
hadits-hadits Nabi yang sudah dibukukan pada abad II H baru terbatas pada hadits
hadits Nabi yang ada di kota-kota tertentu saja, padahal dengan telah tersebarnya
para perawi hadits ke tempat-tempat yang jauh (karena kekuasaan Islam telah
semakin luas), maka masih sangat banyak hadits Nabi yang belum dibukukan. Oleh
karena itu untuk melengkapi koleksi hadits Nabi, jalan satu-satunya adalah
melakukan rihlah (perjalanan) ke tempat-tempat yang dimaksud. Usaha ini
dipelopori oleh Imam al-Bukhori. Selama 16 tahun beliau telah melakukan
perlawatan ke kota Makkah, Madinah, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mesir, Demaskus,
Naisabur dan sebagainya. Kemudian diikuti Imam Muslim, Abu Dawud, al-
Turmudzi, al-Nasa’I dan lain-lain.
2. Mengadakan klasifikasi antara hadits yang marfu’(hadits yang disandarkan kepada
Nabi), mauquf (yang disandarkan kepada Sahabat Nabi) dan yang maqthu’(yang
disandarkan kepada Tabi’in). Dengan usaha ini, maka hadits Nabi telah terpelihara
dari percampuran dengan fatwa sahabat dan fatwa tabi’in.
3. Para ulama mulai mengadakan seleksi kualitas hadits antara hadits yang shahih dan
yang dha’if. Ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah Ishaq Ibnu Rahawaih.
Kemudian tilanjutkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud , al-Turmudzi, al-
Sejarah Perkembangan Hadits Page 19
Nasa’I, Ibnu Majah dan lain-lain. Sebelum kemunculan al-Turmudzi, klasifikasi
hadits hanya terdiri atas hadits shahih dan dha’if. Akan tetapi setelah al-Turmudzi,
klasifikasi itu berkembang menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.
4. Menghimpun kritik yang dilontarkan para ahli ilmu kalam dan lain-lain, baik kritik
yang ditujukan kepada pribadi perawi maupun pada matan hadits. Kemudian
dilakukan upaya pembelaan dengan melakukan bantahan terhadap kritik tersebut.
Salah seorang ulama yang melakukan kegiatan ini adalah Ibnu Qutaibah dengan
menyusun kitab“Ta’wilu Mukhtalif al-Hadits fi Raddi ‘Ala ada’ al-Hadits.
5. Menyusun kitab hadits hadits berdasarkan tema dan masalah, sehingga kitab tersebut
memiliki bab-bab sesuai dengan masalah tertentu. Metode ini dilakukan untuk
mempermudah mencari masalah yang dikandung oleh hadits. Metode ini dikenal
dengan istilah metode Mushannaf. Ulama yang merintis mertode ini adalah Imam al-
Bukhari, kemudian diikuti oleh muridnya sendiri yaitu Imam Muslim. Sesudah itu
baru diikuti oleh Abu Dawud, al-Turmudzi dan lain-lain.28
b. Bentuk Penyusunan Kitab-Kitab Hadits
Sistem pembukuan (kodifikasi) hadits pada periode ini dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga bentuk :
1. Kitab Shahih, Yaitu kitab hadits yang disusun dengan cara menghimpun hadits-hadits
yang berkualitas shahih, sedang hadits-hadits yang berkualitas tidak shahih tidak
dimasukkan ke dalam kitab. Bentuk penyusunan kitab shahih termasuk bentuk
mushannaf. Contohnya kitab al-Jami’ al-Shahih, karya al-Bukhari, dan al-Jani’ al-
Shahih karya Imam Muslim.
2. Kitab Sunan, yaitu kitab hadits yang dususun, selaim memuat hadits-hadits yang
berkualitas shahih, juga mengikut sertakan hadits yang berkualitas hasan dan dha’if,
dengan catatan tidak berkualitas hadits mungkar dan terlalu lemah. Untuk hadits yang
berkualitas tidak shahih biasanya , oleh penyusunnya, diterangkan kelemahannya.
Kitab sunan termasuk disusun dengan metode mushannaf. Contohnya adalah Kitab
28 Ibid, hal. 113-115
Sejarah Perkembangan Hadits Page 20
Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Turmudzi, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah dan
Sunan al-Darimi.
3. Kitab Musnad, yaitu kitab hadits yang disusun dengan menggunakan nama-nama
perawi pertamanya (rawi dari kalangan shahabat Nabi) sebagai bab. Misalnya hadits-
hadits yang diriwayatkan saiyidah A’isyah, dihimpun di bawah titel A’isyah. Hadits-
hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas,dihimpun di bawah titel Ibnu Abbas dan
seterusnya. Kitab musnad ini berisi hadits yang berkualitas shahih dan tidak shahih,
tetapi tidak dijelaskan kualitasnya oleh sang penyusun. Contoh Kitab Musnad , karya
Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad, karya Abu al-Qasim al-Baghawi, kitab Musnad ,
karya Utsman bin Abi Syaibah.29
c. Kitab-Kitab Hadits Induk
Berkat keuletan para ulama hadits yang telah bersusah-payah mengadakan
perjalanan melacak hadits ke berbagai daerah, ahirnya mereka telah berhasil
menyusun berbagai kitab hadits. Demikian pula berkat kesungguhan mereka dalam
melakukan kegiatan penyaringan hadits, mereka telah berhasil membukukan hadits-
hadits yang shahih, atau kitab-kitab yang isinya lebih banyak memuat hadits shahih.
Kitab-kitab ini pada perkembangan selanjutnya dikenal al-kutub al-sittah (kitab induk
enam) atau al-kitab al-tis’ah (kitab induk sembilan).
Al-Kutub al-Sittah terdiri atas kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan sebagai
berikut:
●Al-Jami’ al-Shahih karya Imam al-Bukhari
●Al-Jami’ al-Shahih karya Imam Muslim
●Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud
●Sunan al-Turmudzi karya Imam al-Turmudzi
●Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’I
●Sunan Ibnu Majah karya Imam Ibnu Majah
Sedangkan al-Kutub al-Tis’ah adalah terdiri atas kitab-kitab induk yang enam di
atas, ditambah dengan kitab-kitan hadits berikut:
29 Fathurrahman, Drs. Ikhtisar Mushthalah Hadits ( Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 39. Bandinmgkan dengan
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……ibid, hal. 115-116
Sejarah Perkembangan Hadits Page 21
●Al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas
●Sunan al-Darimi karya Imam al-Darimi
●Musnad Ahmad karya Imam Ahmad bin Hambal
Suatu catatan yang perlu diketahui bahwa walaupun kitab-kitab hadits di atas disebut sebagai
kitab induk (hadits), tetapi tidak semua hadits Nabi yang dikandung di dalamnya, berstatus
shahih secara keseluruhan. Masih ada beberapa hadits yang kualitasnya hasan atau bahkan
lemah dalam sanad tertentu. Oleh karena itu tetap diperlukan sikap kritis di dalam
mempergunakannya. Tindakan selektif dengan memperhatikan pendapat para ulama yang
tetah melakukan pengkajian dan penelitian hadits patut diperhatikan. Namun demikian, perlu
diketahui pula bahwa jika terdapat suatu hadits yang lemah dari sisi sanad tertentu, masih ada
kemungkinan shahih pada sanadnya yang lain. Untuk itu melakukan konfirmasi dan
membandingkan suatu matan hadits melalui berbagai sanad yang berbeda sangat bermakna,
guna menghindari sikap gegabah dalam melemahkan suatu hadits.30
Hadits pada periode abad ke-IV H ( Periode Penyempurnaan Sistematika
Pembukuan) Dan Sesudahnya. Periode ini dimulai pada masa pemerintahan Bani Abbas
angakatan ke dua (masa pemerintahan al-Muqtadir). Masa ini disebut juga dengan istilah
Periode ulama muta’akhirin.31 Mulai pada periode ini dinamakan sebagai masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan, penggabungan, pensyarahan dan pentahrijan.
a. Kegiatan Para Ulama
Pada periode ini kaadaan daulat islamiyah sudah mulai melemah, namun kegiatan para
ulama hadits dalam melestarikan hadits Nabi tetap tidak terpengaruh, sebab kenyataannya
masih sangat banyak para ulama yang menekuni dan mendalami serta bersungguh-sungguh
dalam memelihara dan mengembangkan pembinaan hadits, sekalipun caranya berbeda
dengan ulama sebelumnya.
Pada abad III H hampir seluruh hadits Nabi telah terbukukan. Oleh karena itu kegiatan
para ulama abad IV H ini, meskipun masih ada yang melakukan usaha pembukuan
(melakukan perlawatan ke daerah dengan tujuan mendapatkan hadits untuk dihimpunan
30 Selanjutnya baca Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Haadist ( Jakarta : AMZAH, 2008 ) hal. 64-65 31 Ulama yang hidup sebelum abad IV H dinamakan ulama mtaqaddimin (salaf/klasik). Sedangkan ulama yang
hidup pada abad IV H dinamakan ulama muta’akhkhirin (modern)
Sejarah Perkembangan Hadits Page 22
dalam suatu kitab), tetapi kebanyakan kegiatan mereka ditujukan kepada pemeliharaan
hadits dengan berpedoman pada kitab-kitab yang sudah ada, dengan cara (1) mempelajari (2)
menghafal (3) memeriksa dan menyelidiki sanad (4) menyusun kitab-kitab baru dengan
tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan matan yang saling
berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang sudah ada (5)
memberikan syarah dan komentar hadits-hadits yang sudah dihimpun dalam kitab hadits
yang ada.32
Di antara kitab-kitab yang tersusun pada abad ini ialah sebagai berikut:
1. Kitab al-Shahih, karya Ibnu Huzaimah
2. Al-Anwa’ wa al-Taqsim, susunan Ibnu Hibban
3. Kitab Musnad, karya Abu Awanah
4. Al-Muntaqa , susunan Ibnu Jarud
5. dan lain-lain
b. Ciri-Ciri Sistem Pembukuan Hadits
Ulama hadits pada periode ini di samping menyusun kitab hadits seperti metode yang
ditempuh ulama sebelumnya, yaitu dalam bentuk mushannaf dan musnad, juga menyususn
kitab hadits dengan sistem baru sebagai berikut:
1. Kitab Athraf; yaitu kitab hadits yang isinya hanya menyebut sebagian-sebagian dari
matan hadits tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan yang
bersangkutan., baik dari sanad yang berasal dari kitab hadits yang dikutip, maupun
dari kitab lain. Misalnya :
Athraf al-Shahihain, karya Ibrahin al-Dimasyqy
Athraf sl-Shahihain, susunan Abu Muhammad Khallaf Ibnu Muhammad al-Wasithi
Athraf Kutub al-Sittah, susunan Muhammad Ibnu Thahir al-Maqdisi
2. Kitab Mustakhraj; yaitu kitab hadits yang memuat matan-matan hadits yang
diriwayatkan misalnya oleh al-Bukhari dan Muslim, atau salah satunya, kemudian
penyusun kitab meriwayatkan matan-matan hadits tersebut dengan menggunakan
sanadnya sendiri yang berbeda. Misalnya:
32 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits……op. cit. hal. 120-121
Sejarah Perkembangan Hadits Page 23
a. Mustakhraj Shahih al-Bukhari , karya al-Jurjani
a. Mustakhraj Shahih Muslim, karya Abu Awanah
b. Mustakhraj Bukhari-Muslim, karya Abu Bakar Ibnu Abdan al-Syirazi
3. Kitab al-Mustadrak; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits yang memiliki
syarat , misalnya Bukhari-Muslim, atau memiliki syarat dengan salah satu kitab
Bukhari-Muslim. Contohnya : Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihaini, karya Imam al-
Hakim
4. Kitab Jami’ ; yaitu kitab hadits yang menghimpun (mengumpulkan )hadits hadits
Nabi yang terlah termuat dalam kitab yang telah ada dalam satu kitab tertentu.
Contohnya :
a. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya Ibnu al-Furat
b. Al-Jami’ Baina al-Shahihaini, karya al-Baghawi
c. Mashabih al-Sunan, karya al-Baghawi
5. Kitab Berdasar pokok Masalah; yaitu kitab hadits yang menghimpun hadits hadits
Nabi berdasar masalah tertentu dari kitab-kitab yang telah ada, contohnya antara lain:
a. Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majduddin Abd. Salam
b. Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baghawi
c. Umdat al-Ahkam, karya Abd. Ghoni al-Maqdisi
6. Kitab Syarah ; yaitu kitab hadits yang memuat hadits-hadits dari kitab tertentu yang
sudah ada, kemudian dijelaskan dan dikomentari maksudnya, baik dengan
menggunakan ayat al-qur’an, atau hadits nabi atau dengan keterangan rasional.
Contohnya antara lain:
a. Fath al-Bari, Syarah Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Atsqalani
b. Al-Minhaj, Syarah Muslim, karya Imam al-Nawawi
c. Aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abi Dawud, karya Syamsul Haq al-Adhim al-
Abady
d. Qutul Mughtadzi, Syarah al-Turmudzi, karya Imam al-Syuyuthi
e. Syarah Ta’liq, syarah sunan al-Nasa’i, karya Imam al-Syuyuthi
f. Al-Dibajah, syarah Sunan Ibnu Majah, karya Kamaluddin al-Damiri.
Sejarah Perkembangan Hadits Page 24
7. Kitab Mukhtashar; yaitu kitab hadits yang memuat hadits hadits yang sudah
dihimpun dalam kitab yang sudah ada, dengan cara menyederhanakan / meringkas
periwayatan hadits tertentu. Misalnya dengan membuang sanad, Contoh :
a. Al-Jami’ al-Shaghir, mukhtashar kitab Jam’ul Jawami’, karya Imam al-Syuyuthi
b. Muhtashar Shahih-Muslim, karya Muhammad Fu’ad Abd. Baqi
8. Kitab Petunjuk /Kamus Hadits : yaitu kitab yang disusun dengan memuat sebagian
kalimat dari sustu hadits Nabi, kemudian menjelaskan letak hadits yang dimaksud di
dalam kitab-kitab hadits; mulai dari nama kitab, bab dan sub babnya. Sebagian kitab
kamus hadits, ada yang menyebut tempat hadits dengan menunjuk juz dan halaman
kitab hadits yang dimaksud. Contohnya antara lain ialah kitab Miftah Kunuz al-
Sunnah, karya Prof. Dr. A.J.Winsink. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Muhammad Fuad Abd. Baqy. Kitab ini memberikan petunjuk untuk mencari
matan hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits (Kitab shahih al-Bukhari,