Top Banner
BAB II PEMBAHASAN A. Hibah 1. Pengertian Suhendi (2008: 209) menjelaskan, secara etimologi hibah berasal dari kata hubub al-rih, yaitu: ىَ رْ خُ ى اَ لِ اٍ دَ يْ نِ م اَ هِ رْ وُ رُ مِ لُ هُ رْ وُ رُ مArtinya : “Perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain.” Ada pula yang berpendapat bahwa al-hibah diambil dari haba yang berarti istaiqazha (bangun), yaitu sesuai dengan kalimat: ِ هِ مْ وَ نْ نِ مَ ّ $ بَ هArtinya: “Terbangun dari tidurnya.” Al-hibah diartikan istaiqazha karena: ِ انَ سْ حِ اْ لِ لَ - ظَ / قْ 1 يَ 3 تْ سِ ا اَ هَ لِ ع اَ فَ ّ نِ لاArtinya : “Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa akan kebaikan.” Hibah secara bahasa berasal dari kata “wahaba” yang berarti lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk melakukan kebaikan atua diambil dari kata hubub ar-rih (angin 3
41

MAKALAH FIQH 11

Dec 30, 2014

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: MAKALAH FIQH 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hibah

1. Pengertian

Suhendi (2008: 209) menjelaskan, secara etimologi hibah berasal dari

kata hubub al-rih, yaitu:

ى ر� ا�خ� ال�ى ي�د� من� ا و�ره� ر� لم� ه� و�ر� ر� م�

Artinya : “Perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang

lain.”

Ada pula yang berpendapat bahwa al-hibah diambil dari haba yang

berarti istaiqazha (bangun), yaitu sesuai dengan kalimat:

ه م ن�و� من� ه�ب�

Artinya: “Terbangun dari tidurnya.”

Al-hibah diartikan istaiqazha karena:

ان س� ح� لال� ظ� ت�ي�ق� اس� ا ل�ه� اع ف� الن�

Artinya : “Perilaku hibah bangkit untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa

akan kebaikan.”

Hibah secara bahasa berasal dari kata “wahaba” yang berarti lewat dari

satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran untuk

melakukan kebaikan atua diambil dari kata hubub ar-rih (angin berhembus)

dikatakan dalam kitab Al-Fath, diartikan dengan makna yang lebih umum

berupa ibra’ (membebaskan utang orang), yaitu menghibahkan utang orang

lain dan sedekah yaitu menghibahkan sesuatu yang wajib demi mencari

pahala akhirat, dan ja’alah yaitu sesuatu yang wajib diberikan kepada orang

lain sebagai upah, dan dikhususkan dengan masih hidup agar bisa

mengeluarkan wasiat, juga terbagi kepada tiga jenis, hibah dipakai untuk

menyebutkan makna yang lebih khusus daripada sesuatu yang mengharap

ganti. (Azzam, 2010:435)

3

Page 2: MAKALAH FIQH 11

Sedangkan secara terminologi hibah adalah pemberian sesuatu barang

dari seseorang kepada orang lain tanpa sesuatu sebab, tanpa adanya ikatan

apa-apa dan tidak mengharap imbalan kecuali mengharapkan keridhaan Allah

swt (Suparta, 2007: 157).

Hibah atau pemberian merupakan perilaku ekonomi yang berkaitan

dengan pemberian sesuatu kepada orang lain saat pemberi itu masih hidup

(Nawawi, 2012: 255).

Adapun menurut (Azzam, 2010:435) yang dimaksud Hibah secara

terminologi adalah pemberian hak secara langsung dan mutlak terhadap satu

benda ketika masih hidup tanpa ganti walaupun dari orang yang lebih tinggi.

Atau kita katakan “Pemberian hak milik secara sukarela ketika masih hidup

dan yang ini lebih utama dan singkat.”

2. Konsep dasar Hibah

Menurut Ali Anshif dalam Nawawi (2012: 255) pengertian hibah

identik dengan hadiah, pemberian, anugerah, sedekah. Tapi, pada sedekah ada

titik tekannya kepada orang fakir dan miskin. Jika kita pahami, istilah hibah,

sedekah, dan hadiah, secara bahasa, nyaris memiliki pengertian yang sama.

Menurut Zuhaily (1989: 5) dalam Nawawi (2012: 255) perbedaan

peristilahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri

kepada Allah swt; dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan

tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut dinamakan sedekah.

b. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena

rasa cinta di namakan hadiah.

c. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah

dinamakan hibah.

d. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain saat ia sakit

menjelang kematiannya dinamakan ‘athiyah.

4

Page 3: MAKALAH FIQH 11

3. Rukun Hibah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul, sebab

keduanya termasuk akad seperti halnya jual beli. dalam kitab al-Mabsuth,

mereka menambahkan dengan qabdhu (pemegangan/penerimaan), karena

dalam hibah harus ada ketetapan dalam kepemilikan (Nawawi, 2012: 256).

Dalam sumber yang sama, sebagian ulama berpendapat bahwa qabul

dari penerima hibah bukanlah rukun. Dengan demikian, hibah cukup dengan

adanya ijab saja dari pemberi. Hal ini kembali kepada arti hibah itu sendiri

yang tak lebih berarti “sekedar pemberian”. Disamping itu, qabul hanya

dampak dari adanya hibah, yaitu pemindahan hak milik. Kemudian menurut

jumhur ulama, rukun hibah ada empat.

a. Pemberi (wahib),

b. Penerima (mauhub lah),

c. Barang (mauhub),

d. Shighah (ijab dan qabul).

4. Syarat Hibah

Syarat hibah berkaitan dengan syarat pemberi (wahib) dan penerima

(mauhub lah). Ulama Hanabilah menetapkan syarat yang harus dipenuhi

sebagai berikut (Nawawi, 2012: 257).

a. Hibah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan,

b. Terpilih dan sungguh-sungguh,

c. Harta yang diperjual-belikan,

d. Tanpa adanya pengganti,

e. Orang yang sah memilikinya.

5. Syarat Wahib (Pemberi Hibah)

Menurut Nawawi (2012: 257) wahib (pemberi) disyaratkan harus ahli

tabarru’ (derma), yaitu:

a. Berakal,

b. Baligh,

5

Page 4: MAKALAH FIQH 11

c. Rasyid (pintar)

6. Syarat Mauhub (barang)

Nawawi (2012: 257) juga menyebutkan syarat mauhub (barang),

kriteria barang yang layak untuk dihibakan adalah sebagai berikut:

a. Harus ada waktu hibah,

b. Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat,

c. Milik sendiri. Menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan

terhadap barang bercampur milik orang lain, sedangkan menurut

Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’yah, hal itu dibolehkan.

d. Mauhub terpisah dari yang lain, barang yang dihibahkan tidak boleh

bersatu dengan barang yang tidak dihibahkan, sebab akan menyulitkan

untuk memanfaatkan mauhub.

e. Mauhub telah diterima atau dipegang oleh penerima,

f. Penerima memegang atas seizin wahib.

7. Macam-macam Hibah

Suhendi (2008: 210-211) menjelaskan beberapa macam sebutan hibah

(pemberian) disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang-orang yang

menyerahkan benda. Macam-macam hibah adalah sebagai berikut:

a. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki

zatnya tanpa mengharapkan penggantian (balasan) atau dijelaskan oleh

Iman Taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini dalam kitab

Kifayat al-Akhyar bahwa al-Hibah ialah :

عو�ض� بغ�ي�ر لي�ك� ا�لت�م�

Artinya: “Pemilikan tanpa penggantian.”

b. Sedekah, yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada yang lain

tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran

(pahala) dari Allah Yang Maha Kuasa.

c. Washiat, yakni dimaksud dengan washiat menurut Hasbi Ash-Siddiqie

ialah:

6

Page 5: MAKALAH FIQH 11

“Suatu akad yang dengan akad itu mengharuskan di masa hidupnya

mendermakan hartanya untuk orang lain yang diberikan sesudah

wafatnya.”

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa washiyyat adalah pemberian

seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan

setelah yang mewariskan meninggal dunia.

8. Pemberian Bersyarat

Pada hakekatnya pemberian dilakukan dengan tidak mengharapkan

balasan dari manusia, baik pemberian itu berbentuk hibah, hadiah, maupun

sedekah, tetapi pemberian juga boleh dilakukan dengan persyaratan, seperti

seseorang berkata “Aku berikan ini kepadamu dengan syarat kamu supaya

menyerahakan pulpen kamu kepadaku”. Dalam pemberian bersyarat, apabila

syarat tidak dipenuhi boleh pemberian diminta kembali (Suhendi, 2008: 214).

Diriwayatkan oleh Iman Ahmad dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas ra. bahwa:

“Seorang laki-laki memberikan kepada Rasulullah saw’ seekor unta betina,

kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasulullah saw. dan bersabda; “Telah

relakah engkau?”, Laki-laki itu menjawab: “belum”, Rasulullah saw.

menambahkan balasannya dan bersabda; “Telah relakah engkau?”, laki-laki

itu menjawab “belum”, kemudian ditambah kembali balasannya itu, lalu

beliau bersabda; “Telah relakah engkau?”, laki-laki itu menjawab; “Ya,

sudah!.”

9. Pemberian dengan ‘Umra dan Ruqbah

‘Umra artinya umur dan Ruqbah artinya mengintai. Pemberian dengan

‘umra dan ruqbah adalah perbuatan orang-orang Arab sejak zaman jahiliyah

yang kemudian ditetapkan atau dilestarikan keberlakuannya oleh agama Islam

(Suhendi, 2008: 215).

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari

Jabir ra. berkata:

ل�ه� ب�ت� و�ه لم�ن� ا ن�ه�� أ ى ر� ل�ع�م� با صم الن�بى3 ق�ض�

7

Page 6: MAKALAH FIQH 11

Artinya : “Nabi saw. telah menghukum dengan ‘umra, bahwa sesungguhnya

‘umra adalah milik orang yang diberinya.”

Dalam lafazh Muslim disebutkan:

: ر� ع�م�أ� من� ان�ه� ف� ا د�وه� س ت�ف� و�ال� ال�ك�م� و� م�

أ� ع�ل�ي�ك�م� ك�وا م�سأ� لم� م�س� ظ� ل�ف� و�في

به لع�ق و� ي=ت>ا و�م� ي<ا ح� ا ه� ر� ع�مأ� لل�ذي ي� ه ف� ى ر� ع�م�

Artinya: “Hendaklah kalian menjaga harta kalian dan janganlah

merusaknya. sesungguhnya barangsiapa memberikan ‘umra, maka

ia menjadi milik orang yang beri, baik ketika masih hidup maupun

sesudah meninggal dan juga milik anak keturunannya.”

Dalam sumber yang sama, umpamanya seseorang berkata, “Aku

berikan benda ini kepadamu selama engkau hidup” atau seseorang berkata,

“Jika aku mati sebelum engkau, maka benda itu untukmu”. Kedua akad itu

menunjukan cara ‘umra. Jika seseorang berkata, “Jika engkau mati

sebelumku, pemberian itu tetap kembalikan kepadaku”. Syarat ini batal

karena pemberian tetap menjadi milik orang yang diberi. Bila yang diberi

meninggal dunia, maka benda-benda itu menjadi milik para ahli warisnya.

Pemberian semacam ini dinamakan pemberian secara ruqbah karena masing-

masing mengintai kematiannya. Bila seseorang berkata, “Ini adalah hak

selama engkau hidup”, maka barang itu dinamakan pinjaman selama hidup

sebab bila ia mati, hak itu dikembalikan kepada yang punya, yang demikian

ini tidak dinamakan pemberian.

Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasai dari Jabir, Rasulullah

saw. bersabda:

ث�ته ر� لو� و� ه� ي�ئ>اف� ش� ر� ا�ع�م� ا�و� ي�ئ>ا ش� ي�ب� و�قأ� م�ن� و�اف� ر� او�ال�تع�م ب�و� ق ال�تر�

Artinya : “Janganlah kamu mnegatakan ruqbah dan jangan pula mengatakan

‘umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau di’umrakan itu untuk

ahli warisnya”.

Berdasarkan beberapa hadits yang telah disebutkan, secara harfiah

tampak adanya pertentangan. Hal ini menunjukan bahwa secara istilah ‘umra

8

Page 7: MAKALAH FIQH 11

dan ruqbah itu sama antara zaman Jahiliyah dengan zaman Islam. Secara

operasional atau pelaksanaannya ‘umra dan ruqbah zaman Jahiliyah berbeda

dengan ‘umra dan ruqbah pada penetapan atau yang dibolehkan oleh ajaran

Islam (Suhendi, 2008: 216).

Menurut Mardani (2012:163) ada tiga macam ‘umra, yaitu:

a. Bersifat kekal, seperti perkataannya, “Ini milikmu milik anak keturunan

sepeninggalmu.”

b. Berlaku untuk selama hidup, seperti perkataannya, “Ini menjadi milikmu

selama engkau masih hidup atau selama aku masih hidup.” Jumhur

ulama menyatakan keabsahan dua macam ini. Keduanya berlaku untuk

selamanya menurt pendapat sebagian mahzab Hambali.

c. Pemberi hibah mensyaratkan akan menarik kembali hibahnya setelah

salah seorang di antara keduanya meninggal dunia. Apakah syarat ini

dianggap sah atau ia harus disingkirkan dan menjadi hibah yang bersifat

kekal? Segolongan ulama menyatakan keabsahan syarat itu. di antara

mereka Az-Zuhry, Malik, Abu Tsaur, Daud dan merupakan salah satu

riwayat dari Al-Iman Ahmad, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu

Tamiyah serta rekan-rekannya yang lain, yang didasarkan kepada hadits,

“Orang-orang Muslim berdasarkan syaratnya.” Adapun, syarat itu harus

diabaikan sehingga menjadi hibah dan bersifat kekal. Syarat

pengembalian yang diperselisihkan keabsahannya bukan hibah selama

hidup. Yang demikian ini memiliki hukum pinjaman menurut ijma’

ulama.

10. Dalil Hukum

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran.” (QS. Al-Maidah [2]: 2)

9

Page 8: MAKALAH FIQH 11

Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian

jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari

maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)

pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 4)

Dari Abdullah Ibnu Amr dari Rasulullah saw; bersabda:

“Perumpamaan seseorang yang mencabut kembali apa yang telah

dihibahkan adalah seperti anjing yang muntah kemudian memakan

kembali muntahannya itu.” (HR. Abu Dawud)

Hibah hukumnya sunnah dan lebih utama menghibakan sesuatu kepada

kaum keluarga. Dalam hibah ini diperlukan ijab qabul dan sebaiknya

dilaksanakan dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan dibuktikan dengan

bentuk tulisan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi gugatan dari ahli waris.

Meskipun sekarang dalam syara’ hal semacam itu tidak diperlukan, namun

dalam keadaan sekarang hal itu sangat diperlukan (Suparta, 2007: 157).

Nawawi (2012: 258) menjelaskan, bahwa ulama Hanafiyah berpendapat

sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat

dibatalkan oleh pemberi, sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah

saw; dari Abu Hurairah: “Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang

dihibahkan selama tidak ada pengganti”. (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni).

Dalam sumber yang sama, dibolehkan mengembalikan barang yang

telah dihibahkan. Akan tetapi dihukumi makruh, karena perbuatan itu

termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hiba harus rida.

Ulama Hanafiyah berpendapat ada enam perkara yang melarang

pemberi mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu sebagai berikut:

10

Page 9: MAKALAH FIQH 11

a. Penerima memberikan ganti

1) Pengganti yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah,

Hanabilah, dan Syafi’iyah menganggap hibah, karena seperti ini

dianggap jual beli dan bukan hibah.

2) Pengganti yang diakhirkan.

b. Penerima maknawi

1) Pahala dari Allah.

2) Pemberian dalam rangka silaturahmi.

3) Pemberian dalam hubungan suami-isteri.

c. Tambahan pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan

mauhub lah (penerima hibah).

d. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual

kepada orang lain.

e. Salah seorang yang akad meninggal.

f. Barang yang dihibahkan rusak.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika

sudah dipegang tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua

kepada anaknya yang masih kecil dan belum bercampur dengan hak orang

lain.

Menurut Mardani (2012: 160) bahwa jumhur ulama mengecualikan

pengharaman menarik kembali hibah bagi hibahnya orang tua terhadap anak,

karena orang tua dapat menarik kembali hibahnya, sebagai pengalaman

riwayat Ahmad dan Ashhabus-Sunan, dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dari

Rasulullah saw. Beliau bersabda:

“Tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk memberikan suatu

pemberian kemudian dia menarik kembali pemberian itu kecuali

pemberian orang tua kepada anaknya” (At-Tirmidzi dan Al-Hakim

menshahihkan)

11

Page 10: MAKALAH FIQH 11

11. Hikmah

Saling membantu dengan cara memberi, baik berbentuk hibah, sedekah,

maupun hadiah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya (Suhendi, 2008: 218).

Hikmah atau manfaat disyari’atkannya hibah adalah sebagai berikut:

a. Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni

penyakit yang terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai

keimanan. Hibah dilakukan sebagai penawar racun hati, yaitu dengki.

Sebuah hadits meriwayatkan:

“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat

menghilangkan sakit hati (dengki).”

b. Pemberian atau hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi,

mencintai, dan menyayangi.

c. Hadiah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam.

d. Hibah dalam jumlah yang banyak diandalkan dijadikan modal hidup bagi

penerimanya. Misalnya hibah sebidang tanah bisa dijadikan lahan

pertanian, atau dijual untuk kemudian dijadikan modal usaha. Juga hibah

kendaraan bisa dijadikan modal niaga untuk alat transportasi, dan lain-

lain.

e. Hibah orang tua kepada anak (yang sudah dewasa) dapat membuat anak

menjadi lebih mandiri, karena tidak terus menerus mengharapkan harta

warisan dari orang tuanya.

B. Sedekah

1. Pengertian

Secara etimologi sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti ‘benar’.

Orang yang bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya.

Adapun secara terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan

pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya

(Hafidhuddin, 1998: 15).

12

Page 11: MAKALAH FIQH 11

Sedekah merupakan perilaku ekonomi dalam rangka membantu orang

lain dengan tujuan mencari pahala Allah swt.

2. Hukum Sedekah

Sedekah dibolehkan pada setiap waktu berdasarkan Alquran dan As-

Sunnah, diantaranya:

Artinya : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman

yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan

meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda

yang banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezki) dan kepada-

Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245)

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah

kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan

berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,

orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang

dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang

berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam

perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah

[9]: 60)

Sabda Rasulullah saw.:

13

Page 12: MAKALAH FIQH 11

“Barangsiapa memberi orang lapar, Allah swt. akan memberinya makan dari

buah-buahan surga. Barangsiapa memberi orang dahaga, Allah swt. akan

memberinya minum pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap.

Barangsiapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah swt. akan

memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau.” (HR. Abu Dawud dan

Tirmidzi).

Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah menyatakan

bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih,

membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami isteri, dan melakukan

kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (Hafidhuddin, 1998: 15).

“Senyummu di hadapan saudaramu adalah merupakan sedekah bagimu,

perintahmu pada kebaikan dan laranganmu dari kejahatan juga sedekah,

petunjukmu pada sedekah bagimu, begitu juga menyingkirkan batu, duri

maupun tulang di jalan menjadi sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah saw; bersabda:

“Bersedekahlah kamu sekalian , karena sesungguhnya akan datang suatu

masa akan ada seseorang yang berjalan membawa sedekahnya, maka tidak

ditemuinya orang yang mau menerima sedekahnya. Berkatalah seseorang:

‘Kalau engkau membawa sedekah ini kemarin pasti kuterima, adapun hari ini

aku tidak memerlukannya lagi’.” (HR. Bukhari)

“Barangsiapa memberikan sedekah demi melihat wajah Allah di hari kiamat,

lalu ia meninggal dunia dengan amalan itu, pasti ia masuk surga.” (HR.

Ahmad)

Sedekah itu sangat dianjurkan oleh agama, karena dampaknya sangat

luas, baik bagi kehidupan individu maupun masyarakat, bahkan bagi

kelangsungan hidup bersama. Sedekah yang sudah ditentukan ukuran, bentuk

dan waktunya, misalnya zakat hukumnya wajib, sedangkan yang tidak

ditentukan jumlah dan waktunya, hukumnya sunnah mukkadah. Kecuali jika

ada orang yang sangat membutuhkan uluran tangan orang yang mampu, maka

14

Page 13: MAKALAH FIQH 11

hukumnya adalah wajib. Ada pula sedekah yang tidak sah, yaitu memberikan

sesuatu kepada orang yang sudah tidak ada atau mati (Suparta, 2007: 156).

3. Hikmah

a. Kebiasaan bersedekah merupakan sumber kebaikan pada diri seseorang.

b. Mengikat masyarakat dengan ikatan kasih sayang dan persaudaraan yang

erat.

c. Sedekah dapat mencegah bencana, baik bagi orang yang memberikan

maupun bagi yang menerimanya.

d. Sedekah dapat membantu orang yang kurang mampu atau tidak punya,

meskipun mungkin hanya sementara waktu pada saat ia sangat

membutuhkan bantuan orang lain.

e. Sedekah dapat memperat tali silaturahmi.

f. Sedekah dapat memadamkan api kemarahan Allah swt; dan dapat

mencegah daripada kematian yang hina-dina.

C. Hadiah

1. Pengertian

Hadiah (hadiyyah) berasal dari kata hadâ wa ahdâ.  Bentuk

pluralnya hadâyâ atau hadâwâ menurut bahasa penduduk Madinah. Hadiah

secara bahasa berarti sesuatu yang Anda berikan (mâ athafa bihi).

(Muhyiddin, 2011).

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli)

Hadiah merupakan perilaku sosial ekonomi bahwa seseorang

memberikan sesuatu pada orang lain dalam rangka menghormati pada orang

yang bersangkutan. (Nawawi, 2012:262).

Secara istilah, dalam al-Qâmûs al-Fiqhî dinyatakan, menurut ulama

Syafiiyah, Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, hadiah adalah tamlîku ’ayn

bi lâ ’iwadh ikrâm[an] ilâ al-muhdâ ilayh (pemindahan pemilikan suatu harta

15

Page 14: MAKALAH FIQH 11

tanpa kompensasi sebagai penghormatan kepada orang yang diberi hadiah).

(Muhyiddin, 2011)

Hadiah adalah pemberian oleh orang berakal sempurna sebuah barang

yang dimilikinya dengan tidak ada tukarnya serta dibawa ketempat yang

diberi karena hendak memuliakannya. (Al-Ayubi, 2012)

Dalam Mu’jam Lughah al-Fukahâ’, hadiah adalah al-’athiyah bi lâ

’iwadh ikrâman (pemberian tanpa kompensasi sebagai suatu penghormatan).

Hadiah juga bermakna i’thâ’ syay’[in] bighayr ‘iwadh shilat[an] wa

taqarrub[an] wa ikrâm[an] (pemberian sesuatu tanpa kompensasi karena

adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan sebagai bentuk

penghormatan). (Muhyiddin, 2011)

Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan untuk mengagungkan atau

karena rasa cinta. Hadiah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam

menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Hadiah merupakan bukti cinta

dan kejernihan hati. Di dalam hadiah terdapat nilai penghargaan dan

penghormatan. (Setyani, dkk., 2011)

Adapun menurut (Suparta, 2007:160) Hadiah adalah pemberian sesuatu

barang oleh seseorang kepada orang lain untuk memuliakan atau sebagai

penghormatan/ penghargaan kepada yang diberi.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa hadiah merupakan sebuah upaya

pemberian dengan tujuan membuat senang seseorang yang diberi serta

menjadikannya merasa dihargai. Pemberian hadiah dapat menjadikan sang

pemberi dan yang diberi semakin erat hubungannya.

3. Landasan Hukum Hadiah

Pada dasarnya memberikan hadiah hukumnya mubah (boleh) (Suparta,

2007:161). Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw yang artinya :

“Dari Khalid bin Adi Al-Juhaniy, sesungguhnya Nabi saw; bersabda:

“Barang siapa diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak dia minta atau

berlebih-lebihan, hendaklah diterima dan janganlah ditolak. Sesungguhnya

16

Page 15: MAKALAH FIQH 11

yang demikian itu pemberian yang diberikan Allah kepadanya.” (HR.

Ahmad).

Dalam Hadits lain dikatakan :

رواه ( ا ع�ل�ي�ه� ي�ثي�ب� و� دي�ة� ال�ه� ب�ل� ي�ق� ل�م و�س� ع�ل�ي�ه الله� ل�ى ص� الله و�ل� س� ر� ن� ك�ا

( ومسلم ى ر البخا

Artinya : “Rasulullah saw; biasa menerima hadiah dan selalu memberi

balasannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Suhendi (2008:212) menyebutkan bahwa hadiah itu tidak boleh ditolak.

Dalam hadits Nabi SAW, siti Aisyah r.a. bertanya :

Artinya : “Wahai Rasulullah saw. sesungguhnya aku mempunyai dua

tetangga, siapa yang paling layak kuberi hadiah di antara

keduanya itu ?” Nabi saw. menjawab, “Orang yang paling dekat

pintunya denganmu.” (HR. Bukhari)

Abu Hurairah r.a. telah menceritakan hadits bahwa nabi pernah bersabda :

Artinya : “Seandaianya aku diundang untuk memakan kaki kambing atau

kaki sapi, niscaya aku akan memenuhinya, dan seandainya aku

diberi hadiah kaki kambing atau kaki sapi niscaya aku mau

menerimanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sabdanya lagi :

Artinya : ”Saling berhadiahlah kalian karena sesungguhnya hadiah itu dapat

melenyapkan kedengkian hati, dan jangan sekali- kali seseorang

wanita menganggap remeh terhadapa tetangga, sekalipun

menghadiahkan kepadanya sepotong kaki kambing.” (HR. Bukhari

dan Muslim).

(Nawawi, 2012:263)

Hadiah diberikan dalam rangka mempererat tali cinta dan kasih sayang.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan dari Abu

Hurairah :

17

Page 16: MAKALAH FIQH 11

د�ر الص� ر� و�ح� هب� ت�ذ� دي�ة� اله� أن� ف� د�و�ا ا ت�ه�

Artinya : “Saling memberi hadiahlah, karena hadiah dapat menghilangkan

perasaan yang tidak berkenan di hati. “ (HR. Tirmidzi)

(Suparta, 2007: 160)

Namun, ada juga hadiah yang dilarang oleh agama, yaitu hadiah yang

mengarah kepada risywah atau suap. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan

Aisyah di bawah ini:

Artinya : “Barang siapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan,

kemudian kami beri gaji, maka apa yang diambil selebih dari itu

berarti suatu penipuan.” (HR. Abu Dawud).

(Suparta, 2007:161)

4. Syarat-syarat dan Rukun Hadiah

a. Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah

perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang

kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan

hadiahnya.

b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena

keadaannya yang terlantar.

c. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi

shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak

sah.

d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi

penerimanya. (Muhyiddin, 2011)

5. Hikmah

Memberikan hadiah dapat mendatangkan hikmah baik kepada pemberi

maupun penerima. Adapun hikmah pemberian hadiah menurut para ahli

antara lain sebagai berikut :

18

Page 17: MAKALAH FIQH 11

a. Pemberian hadiah dapat memberikan motivasi kepada orang yang

diberinya untuk lebih berprestasi, apabila hadiah itu diberikan sebagai

penghargaan.

b. Pemberian dapat memacu akal untuk berlomba-lomba dalam kebajikan,

sebatas hadiah itu masih dalam ukuran yang wajar.

(Suparta, 2007:162-163)

Adapun menurut pendapat Nawawi (2012:263) hikmah memberikan

hadiah antara lain :

a. Untuk menghilangkan penyakit dengki, yang merupakan penyakit hati

yang merusak nilai- nilai keimanan. Hal ini sesuai dengan hadits yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dan Abu Hurairah yang

artinya : “Beri memberilah kamu, karena pemberian itu dapat

menghilangkan sakit hati (dengki).”

b. Memberi hadiah dapat saling mengasihi, mencintai dan menyayangi,

mencintai dan menyayangi. Abu Ya’la telah meriwayatkan sebuah hadits

dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. pernah bersabda : “Saling

memberi hadiahlah kamu, niscaya kamu akan saling mencintai.”

c. Hadiah dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadits dari

Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda : “ Saling memberi hadiahlah

kamu, karena sesungguhnya hadiah itu dapat mencabut rasa dendam.”

D. Undian Berhadiah

1. Pengertian

Secara etimologi undian berhadiah mempunyai arti lotere (Suhendi,

2008:317). Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa lotere

itu berasal dari bahasa Belanda ”loterij” yang artinya undian berhadiah, nasib,

peruntungan. Dalam Bahasa Inggris juga terdapat “lottery” yang berarti

undian (Shidiq dalam Cholio, 2008: 22)

Sementara itu, dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa

undian (qur’ah) merupakan upaya memilih sebagain pilihan (alternatif) dari

keseluruhan pilihan yang tersedia dengan cara sedemikian rupa sehingga

19

Page 18: MAKALAH FIQH 11

setiap pilihan yang tersedia itu memiliki kemungkinan (probabilitas) yang

sama besarnya untuk terpilih. Undian merupakan upaya paling mampu

menjauhkan unsure keberpihakan dalam memilih dan dapat dilakukan untuk

maksud- maksud yang jauh sama sekali dari perjudian. (Dahlan dalam

Cholio, 2008: 22)

Ibrahim Husen (dalam Suhendi, 2008:317), menjelaskan bahwa lotere

di sini adalah salah satu cara untuk menghimpun dana yang dipergunakan

untuk proyek kemanusiaan dan kegiatan sosial.

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli)

Undian berhadiah sering kali dilakukan di berbagai acara atau

momentum tertentu dengan mengeluarkan kupon berhadiah agar merangsang

atau menggairahkan penyumbang atau pembeli (Nawawi, 2012:268). Penulis

sependapat dengan pendapat tersebut karena itu dilakukan untuk

menimbulkan daya tarik kepada calon pembeli agar tergerak untuk membeli

sebuah produk. Mungkin juga hal tersebut sebagai ajang promosi dan

merupakan salah satu strategi marketing sebuah produk.

Kupon berhadiah menurut M. Ali Hasan (dalam Musrifah, dkk., 2011)

adalah, “memberikan barang dengan mengundi surat kecil atau karcis (kupon)

dan tidak ada tukarannya atas dasar syarat-syarat tertentu yang diterapkan

sebelumnya, menang atau kalah sangat bergantung kepada nasib,

penyelenggaranya bisa oleh perorangan, lembaga atau badan baik resmi

maupun swasta menurut peraturan pemerintah, yang bertujuan untuk

mengumpulkan dana atau propaganda peningkatan pemasaran barang

dagangan.

3. Pendapat para ulama tentang undian berhadiah

a. Menurut A. Hasan Bangil

Hasan menjelaskan bahwa kebanyakan para ulama mengharapkan

lotere sekalipun hasil lotere tersebut digunakan untuk derma

(membangun, sekolah, pesantren, madrasah diniyah, rumah jompo,

asrama yatim piatu dalam lain sebagainya). Pasalnya, menurut

20

Page 19: MAKALAH FIQH 11

kebanyakan ulama, derma yang diberikan ini tidak atas dasar keikhlasan,

sedangkan dalam konteks islam, ikhlas merupakan salah satu masalah

yang dianggap pokok. (Suhendi, 2008:321)

Hasan mengatakan bahwa mengadakan lotere dan membeli lotere

adalah terlarang, sedangkan menerima atau meminta bagian dari hasil

lotre adalah perlu atau mesti sebab kalau tidak diambil (diperkirakan)

akan digunakan oleh umat lain untuk merusak islam atau paling tidak

memundurkannya. (Nawawi, 2012:270).

Menurut Nawawi (2012:270), Hasan menjelaskan bahwa beliau

bersedia ruju’ apabila terbuti pendapatnya keliaru dan kurang baik.

b. Menurut Fuad. Mohd. Fachruddin

Fuad Mohd. Fachruddin (dalam Nawawi, 2012:269) berpendapat

bahwa lotere tidak termasuk perjudian (maisir) yang diharamkan karena

undian berhadiah ‘illah-nya tidak termasuk maitsir.

Kemudian dikatakan bahwa pembeli atau pemasang lotere apabila

bermaksud dan bertujuan hanya menolong dan mengharapkan hadiah,

maka tidaklah terdapat dalam perbuatan itu satu perjudian. Apabila

seseorang bertujuan semata- mata ingin memperoleh hadiah, menurut

Muhammad Fachruddin perbuatan itu tidak termasuk perjudian sebab

pada perjudian kedua belah pihak berhadap hadapan dan masing- masing

menghadapi kemenangan atau kekalahan (Suhendi, 2008:322)

Fachruddin sebagaimana yang dikutip oleh Suhendi (2008:323)

juga menjelaskan kebolehan hal- hal berikut :

1) Mengeluarkan lotere oleh suatu perkumpulan Islam yang berbakti

adalah dibolehkan.

2) Menjual lotere yang dilakukan oleh perkumpulan Islam yang

berbakti dibolehkan.

3) Membeli lotere disamping mendapatkan hadiah yang dibagi-

bagikan oleh perkumpulan itu dibolehkan.

21

Page 20: MAKALAH FIQH 11

c. Syaikh Muhammad Abduh

Syeikh Abduh sebagaimana dikutip oleh Hosen (dalam Nawawi,

2012:269) mengatakan bahwa umat Islam diharamkan menerima uang

hasil undian (lotere), baik secara individual maupun secara kolektif,

dengan alasan karena hal itu termasuk memakan harta orang lain dengan

cara yang batil.

Maksud harta yang batil menurut Abduh adalah harta yang

tidaka ada imbangannya/ imbalannya dengan sesuatu yang nyata. Kata

batil berasal dari kata batlan dan butlanan yang artinya sia- sia dan rugi.

Agam telah mengharamkan mengambil harta tanpa ada imbalannya yang

nyata yang dapat dinilai dan tanpa adanya keridhaan pemiliknya, dimana

harta itu diambil, demikian pula haram mendermakannya pada jalan yang

tidak ada manfaatnya (Almanar Juz II dalam Suhendi, 2008:323)

Kemudian Nawawi (2012:269) memperjelas pendapat tersebut

diatas bahwasannya maksud dari memakan harta dengan jalan yang batil

adalah :

1) Mencari atau mengambil barang orang lain tanpa ada imbalan

yang nyata dan yang dapat dinilai.

2) Menerima atau mengambil barang orang lain dengan tanpa

ridanya.

Pada bagian lain dijelaskan oleh Syaikh Muhamad Abduh dalam

Hosen sebagaimana yang dikutip oleh Nawawi (2012: 269) mengenai

pendapat ahli fiqih yang menyatakan bahwa orang yang tidak

mempunyai pakaian sama sekali untuk menutup auratnya, ia tidak wajib

meminjam pakaian kepada yang lain, karena bila melakukannya, ia harus

salat dengan telanjang, dan pada saat yang sama, orang lain pun tidak

boleh menerima pemberian pakaian dari orang tersebut.

Nawawi (2012:269) menyimpulkan bahwa haram menerima

hadiah orang yang menang dalam lotere (undian) dan juga haram

memanfaatkan hasil lotere tersebut.

22

Page 21: MAKALAH FIQH 11

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hal- hal yang

berkaitan degan undian berhadiah mulai dari penyelenggaraan sampai

pemanfaatan masih terdapat perselisihan antar para ulama

d. Ash-Shiddieqy

Ash-Shiddieqy sebagaimana yang dikutip oleh (Cholio, 2008:28)

mengatakan bahwa meskipun lotre masuk dalam kategori haram, namun

keharamannya tidaklah sama dengan keharaman qimar atau maitsir

karena pada qimar dan maitsir langsung menimbulkan permusuhan,

pertengkaran, bahkan terkadang sampai tikam menikam antara yang

menang dan yang kalah. Dalam lotre ini tidak terdapat yang demikian.

Namun di dalamnya terdapat pula padanya hal- hal yang menyamakan

dengan qimar atau maitsir.

4. Aktivitas Undian Berhadiah

Menurut Hosen dalam (Nawawi, 2012:268) pelaksanaan undian

berhadiah atau lotere biasanya melibatkan hal- hal berikut :

a. Penyelenggara biasanya lembaga pemerintah atau swasta yang legal

mendapatkan izin dari pemerintah.

b. Para penyumbang adalah para pembeli kupon yang mengharapkan

hadiah.

Sementara itu, mengenai kegiatan penyelenggaraan kupon biasanya

adalah sebagai berikut :

a. Mengedarkan kupon atau menjual kupon yang salah satu fungsi

pengedarannya adalah dapat dihitung dana yang diperoleh dari para

penyumbang.

b. Membagi- bagi hadiah sesuai dengan ketentuan yang sebenarnya

diambil dari sebagian dana yang diperoleh.

c. Menyalurkan dana yang telah terkumpul sesuai dengan rencana yang

telah ditentukan setelah diambil untuk hadiah dan dana

operasionalnya. (Nawawi, 2012:268)

23

Page 22: MAKALAH FIQH 11

5. Jenis- jenis Undian berhadiah

Undian dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :

a. Undian yang mengandung unsur mudarat atau kerusakan. Undian jenis

ini terbagi menjadi dua, yaitu :

1) Undian yang menimbulkan kerugian financial pihak- pihak yang

diundi. Dengan kata- lain antara pihak- pihak yang diundi terdapat

unsur- unsur untung rugi, yakni jika di satu pihak ada yang mendapat

keuntungan, maka di pihak lain ada yang merugi dan bahkan

menderita kerusakan mental. Biasanya, keuntungan yang diraihnya

jauh lebih kecil daripada kerugian yang ditimbulkan. Undian yang

terdapat unsur- unsur ini dalam Al-Qur’an disebut al-Maitsir (Q.S.

Al- Baqarah :219) (Dahlan dalam Cholio, 2008:24)

2) Undian yang hanya menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi

dirinya sendiri, yaitu berupa kerusakan mental. Manusia

menggantungkan nasib, rencana, pilihan dan aktivitasnya kepada para

“pengundi nasib” atau “peramal”, sehingga akal pikirannya menjadi

labil, kurang percaya diri dan berpikir tidak realistic. Undian semcam

ini dalam Al-Qur’an disebut dengan al-azlam (QS. Al-Maa’idah:90)

b. Undian yang tidak mengandung Mudarat

Undian jenis ini tidak mengakibatkan kerugian, baik bagi pihak- pihak

yang diunsi maupun pihak pengundi sendiri para pelakunya hanya

mendapatkan keuntungan di satu pihak dan pihak lain tidak mendapat

apa- apa, akan tetapi tidak menderita kerugian. Yang termasuk dalam

kategori ini adalah segala macam undian berhadiah dari perusahaan-

perusahaan dengan motif promosi atas barang produksinya, undian untuk

mendapatkan peluang tertentu (karena terbatasnya peluang tersebut)

seperti undian untuk berangkat ibadah haji dengan Cuma- Cuma dan

undian untuk menentukan giliran tertentu, seperti dalam arisan.

Termasuk juga dalam kategori ini bentuk undian dalam katefori prioritas

24

Page 23: MAKALAH FIQH 11

urutan dalam perlombaan, baik olahrga maupun kesenian. (Dahlan dan

Cholio, 2008, 24-25)

BAB III

PENUTUP

25

Page 24: MAKALAH FIQH 11

A. Kesimpulan

B. Saran

26

Page 25: MAKALAH FIQH 11

Daftar Pustaka

Al-Ayubi, Ockym. (2012). Makalah Fiqih Bab Hadiah. [online].

Tersedia : http://ockym.blogspot.com/2012/12/makalah-fiqih-bab-

hadiah.html [27 April 2013].

Anonim. 2011. Undian Berhadiah. [Online].

Tersedia : http://riariok.blogspot.com/2011/10/undian-berhadiah.html [27

April 2013].

Azzam, A. A. (2010). Fiqih Muamalat : Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam .

Jakarta: Amzah.

Cholio, Abdul. (2008). Analisis Pendapat Yusuf Qardhawi tentang Undian

Berhadiah. Skripsi pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang :

tidak diterbitkan.

Hafidhuddin, D. (1998). Tentang Zakat Infak Sedekah. Jakarta: Gema Insani

Press.

Mardani. (2012). Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: PT

RAJAGRAFINDO PERSADA.

Muhyiddin, A.L. (2011). Makalah Fiqih Muamalah Hibah dan Hadiah. [online].

Tersedia : http://alwafaalmuttaqiin.blogspot.com/2011/12/makalah-fiqh

muamalah-hibah-hadiah-dan.html [27 April 2013].

Musrifah, Etik, dkk. (2011). Kupon Berhadiah, Hadiah Perlombaan dan Ibadah

Haji Hadiah. Makalah pada Sekolah TInggi Agama Islam Ngawi : tidak

diterbitkan.

Nawawi, I. (2012). Fiqih Muamalah Klasik dan kontemporer. Bogor: Ghaila

Indonesia.

Setyani, Iin, dkk. (2011). Hibah, Sedekah dan Hadiah. Makalah pada Fakultas

Tarbiyah IAIN Semarang: tidak diterbitkan.

Suhendi, H. (2008). FIQH MUAMALAH. Bandung: PT Raja Grafindo Persada.

Suparta, M. (2007). Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra.

27

Page 26: MAKALAH FIQH 11

Table of Contents

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3

A. Hibah ...............................................................................................................3

1. Pengertian.....................................................................................................3

2. Konsep dasar Hibah.....................................................................................4

3. Rukun Hibah................................................................................................5

4. Syarat Hibah.................................................................................................5

5. Syarat Wahib (Pemberi Hibah)....................................................................5

6. Syarat Mauhub (barang)...............................................................................6

7. Macam-macam Hibah..................................................................................6

8. Pemberian Bersyarat....................................................................................7

9. Pemberian dengan ‘Umra dan Ruqbah........................................................7

10. Dalil Hukum.................................................................................................9

11. Hikmah ......................................................................................................12

B. Sedekah...................................................................................................................12

1. Pengertian...................................................................................................12

2. Hukum Sedekah.........................................................................................13

3. Hikmah ......................................................................................................15

C. Hadiah15

1. Pengertian...................................................................................................15

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli).............................................15

3. Landasan Hukum Hadiah...........................................................................16

4. Syarat-syarat dan Rukun Hadiah................................................................18

5. Hikmah 19

D. Undian Berhadiah..................................................................................................19

28

Page 27: MAKALAH FIQH 11

1. Pengertian...................................................................................................19

2. Terminologi (pendapat para ulama dan ahli).............................................20

3. Pendapat para ulama tentang undian berhadiah.........................................21

a. Menurut A. Hasan Bangil.........................................................................21

b. Menurut Fuad. Mohd. Fachruddin..........................................................21

c. Syaikh Muhammad Abduh......................................................................22

4. Aktivitas Undian Berhadiah.......................................................................23

5. Jenis- jenis Undian berhadiah....................................................................24

BAB III PENUTUP.......................................................................................................26

A. Kesimpulan.............................................................................................................27

B. Saran 27

Daftar Pustaka................................................................................................................28

29