BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangDifteri adalah penyakit akibat
terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae.
Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana masa lalu telah
menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah
dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini
menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada
jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh
tahun sangat peka terhadap penyakit ini (Wikipedia Ensiklopedia
Bebas).Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae (Nelson, 2000). Penyakit
ini dominan menyerang anak-anak dan ditandai dengan timbulnya lesi
yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Difteri mempunyai gejala demam, suhu tubuh meningkat
sampai 38,9 derajat Celcius, batuk dan pilek yang ringan. Sakit dan
pembengkakan pada tenggorokan, mual, muntah, sakit kepala. Difteri
merupakan penyakit sangat menular, jumlah kasus dan kematian
cenderung meningkat. Cara penularan Difteri bisa menular dengan
cara kontak langsung maupun tidak langsung (Guyton, 2003).Pertusis
adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta,
whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer,
2000)Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2004
frekuensi kejadian luar biasa (KLB) difteri terjadi 34 kali dengan
jumlah kasus 106 di Indonesia. Tahun 2008 ada 77 kali KLB dengan
123 kasus, termasuk di Jawa Timur dengan jumlah kasus 73. Tahun
2011, terjadi KLB di Jatim dengan 330 kasus, 11 orang meninggal
awal Oktober 2011.Di Negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian
akibat menderita pertusis cukup tinggi.Ternyata 80% anak-anak
dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan
untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.Dengan
kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka
mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun.Pertusis
sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan.Penyakit
ini mudah menyebar ketika si penderita batuk.Sekali seseorang
terinfeksi pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit
untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang kadang
kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian.Pada saat ini vaksin
pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa.Walaupun orang dewasa
sering sebagai penyebab pertusis pada anak anak, mungkin vaksin
orang dewasa dianjurkan untuk masa depan.B. Rumusan
Masalah1.Bagaimanakah pengertian dari Difteri dan
Pertusis?2.Bagaimanakah etiologi dari Difteri dan
Pertusis?3.Bagaimanakah tanda & gejala dari Difteri dan
Pertusis ?4.Bagaimanakah patofisiologi dari Difteri dan Pertusis
?5.Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik dari Difteri dan Pertusis
?6.Bagaimanakah penatalaksanaan dan terapi dari Difteri dan
Pertusis ?7.Bagaimanakah komplikasi dari Difteri dan Pertusis
?8.Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan Difteri dan
Pertusis ?C. Tujuana. Tujuan umum Setelah menyusun makalah ini
diharapkan mahasiswa mengetahui bagaimana gambaran umum tentang
penyakit Difteri dan Pertusis dan bagaimana proses asuhan
keperawatannya.b. Tujuan khusus Setelah menyusun makalah ini
mahasiswa diharapkan mampu :1. Mahasiswa mampu menjelaskan
pengertian Difteri dan Pertusis.2. Mahasiswa mampu menjelaskan
etiologi Difteri dan Pertusis.3. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda
& gejala Difteri dan Pertusis.4. Mahasiswa mampu menjelaskan
patofisiologi Difteri dan Pertusis.5. Mahasiswa mampu menjelaskan
pemeriksaan diagnostik dari Difteri dan Pertusis.6. Mahasiswa mampu
menjelaskan penatalaksanaan dan terapi pada Difteri dan Pertusis.7.
Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dari Difteri dan Pertusis.8.
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang
menderita Difteri dan Pertusis.
BAB IITINJAUAN TEORIA. Difteri1. Pengertian Difteri Difteri
adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama
saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran
dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan
lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)Biasanya pembagian dari infeksi
difteri ini dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit ini
juga diajukan oleh Beach dkk. (1950) sebagai berikut :1. Infeksi
Ringan Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial
dengan gejala hanya nyeri menelan.2. Infeksi Sedang Pseudomembran
menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif.3.
Infeksi Berat Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang
hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala miokarditis,
paralisis atau pun nefritis dapat menyertaiya.Berdasarkan tempat
atau lokalisasi infeksi, penyakit ini dibagi menjadi 4 macam, dan
masing-masing mempunyai gejala klinis yang berbeda-beda, yaitu :a.
Difteria Tonsil Faring (fausial) Gejala difteria tonsil-faring
adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam
1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna
putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Pada
kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi.b.
Difteria Laring Difteria laring biasanya merupakan perluasan
difteri faring. Pada difteri primer gejala toksik kurang nyata,
oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas
atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk
dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak.c. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan
Telinga Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva
dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim.
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan
membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dan sekret purulen dan berbau.2. Etiologi DifteriDifteri
disebabkan Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora.
Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin.
Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau
V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana. Pada membran
mukosa manusia, C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara
fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.Basil ini
hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium
tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Menurut bentuk,
besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis
basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:a. Gravis, koloninya
besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.b. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam,
konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.c. Intermediate,
koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.Ciri khas C.diphteriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.
Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi
oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat
diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:1.
Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan
masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.2.
Polymerase chain pig inoculation test (PCR)3. Rapid enzyme
immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam,
lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang
membutuhkan waktu 24 jam.Pada pemeriksaan bakteriologik, basil
difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid
yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,
dan Corynebacterium serosis.Pada pemeriksaan bakteriologik, basil
difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid
yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman,
dan Corynebacterium serosis.
3. Tanda dan gejala (Manifestasi Klinis) DifteriOnset difteri
pernapasan adalah berbahaya dan dimulai setelah masa inkubasi 2-5
hari. Gejala awal penyakit termasuk sakit tenggorokan, kesulitan
menelan, malaise, dan demam ringan. Ciri difteri pernapasan adalah
adanya eksudat yang menyelenggarakan menjadi tangguh, putih
keabu-abuan pseudomembran atas tonsil, faring, laring.
Pseudomembran ini sangat melekat pada jaringan di bawahnya, dan
upaya untuk mengusir biasanya mengakibatkan pendarahan. Peradangan
yang menyertainya dari kelenjar getah bening leher dan sekitarnya
pembengkakan jaringan lunak leher menimbulkan " bull - neck "
penampilan dan tanda-tanda dari penyakit sedang sampai berat .
Membran dapat semakin meluas ke laring dan trakea dan menyebabkan
obstruksi jalan nafas, yang jika tidak ditangani bisa berakibat
fatal.4. Patofisiologi DifteriBasil hidup dan berkembang biak pada
traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih bila terdapat
peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi walaupun
jarang, basil dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga dan
kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul lokal atau kemudian menyebar
dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius
bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar
getah bening sekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung
toksin.Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan
miokarditis toksik atau mengenai jaringan saraf perifer sehingga
timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat
menimbulkan nekrosis lokal pada hati dan ginjal.Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini
akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan
di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.Pada serangan difteri
berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya,
di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini
tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan
secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara
tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.Berdasarkan gejala dan ditemukannya
membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan
pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di
laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi
akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL
Depkes,2003).Pathway DifteriFaktor pencetus
Imunisasi tidak lengkapFactor lingkunganDaerah endemic
bakteri
Eksotoksin Mengenai jantung
DIFTERI
Corynebacterium diphteriae inhalasi melewati hidung
Miokarditis Toksik
Melepas Eksotoksin
Mengenai saraf periferTerjadi masa inkubasi (2-5 hari) pada
traktus respiratorius atas
Membentuk Pseudomembran
PseuodomembranDX 5: Tachicardi berhubungan dengan penyebaran
eksotoksin ke daerah jantung
Paralisis otot pernafasan
InflamasiDx1 : Ketidak efektifan jalan nafas berhubungan dengan
obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan
Dilepaskan secara paksa
Nekrotik
Lapisan mukosa/ lendir dibawah akan berdarah
Pembengkakan pada faring/ laring
Menyumbat saluran udaraDx 2: Gangguan menelan bd dengan
perandangan pada faring
Kekurangan nutrisi dan cairan
Tidak bisa menelan
DX 4: Ansietas bd kesulitan menelan karena pemasangan NGTPasang
NGTKetidaknyamanan pemasangan NGT
Dx 3 :Resiko tinggi cedera bd prosedur pemasangan NGT
5. Pemeriksaan Diagnostik Difteri Bakteriologik. Preparat apusan
kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(nasofaringeal swab) Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis,
eritrosit, albumin Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen Ureum
dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal) EKG secara
berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung
dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali
bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.Tes schick:Uji
Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per
millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk
pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada
seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel
pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang
mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas
suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick
dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang
dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)Uji ini berguna untuk
mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna.
Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri
disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain
disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca
pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema
yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil
positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita
difteri). (Sumarmo: 2008)Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini
bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal
ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang
dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya
antitoksin akan menetap selama beberapa hari.Tes hapusan
spesimen:Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi
mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji
toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.6.
Penatalaksanaan dan terapi dari DifteriDalam pengobatan penderita
infeksi difteria terdiri dari :1. Pengobatan Umum Tirah baring
mutlak selama 10 14 hari. Pada miokarditis, tirah baring selama 4 6
minggu. Diberi cukup cairan dan kalori. Makanan lunak dan mudah
dicerna. Pada penderita gawat, mungkin perlu cairan per infus
Isolasi penderita dan pengawasan yang ketat atas kemungkinan
timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu.2.
Pengobatan Khususa. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum
(ADS)Diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari
berturut-turut.dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila
ternyata penderita sensitif terhadap serum tersebut, maka harus
dilakukan desensitisasi dengan cara Besredka (secara
bertahap).Dalam literatur lain, dosis pemberian ADS ini dibedakan
berdasarkan tingkat infeksi : Difteri ringan (hidung, mata dan
kulit) : 20.000 U secara IM Difteri sedang (tonsil, laring) :
40.000 U secara IV tetesan Difteri berat disertai penyulit :
100.000 U secara IV tetesanb. AntimikrobaPenisilin prokain sebanyak
50.000 U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas atau selama 10
hari.Bila alergi terhadap penisilina : eritromisin 50 mg/kgBB/hari
oral atau 500 mg per hari selama 5 10 hari.Pada penderita yang
dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari,
dibagi 4 dosis.c. KortikosteroidDapat diberikan prednison 2
mg/kgBB/hari selama 3 minggu kemudian diberhentikan secara
bertahap. Pada penderita dengan penyulit jantung perlu
dipertimbangkan.7. Komplikasi dari DifteriKomplikasi penyakit
difteria dapat terjadi dini maupun lambat, berupa :1. Saluran
pernafasanObstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya,
bronkopneumonia dan atelektasis.2. KardiovaskularMiokarditis akibat
toksin yang dibentuk oleh kuman penyakit ini.3. UrogenitalDapat
terjadi nefritis atau gagal ginjal akut.4. Susunan sarafKira-kira
10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai
sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
B. Pertusis 1. Pengertian PertusisPertusis adalah infeksi
saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah pertusis
(Nelson, 2000 : 960). Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit
infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan
ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat
spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan,
1993).Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis
adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh
bordetella pertusis, nama lain penyakit ini adalah tussis Quinta,
whooping cough, batuk rejan.2. Etiologi PertusisPertusis pertama
kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou,
kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu
Bordetella pertusis, Bordetella Parapertusis, Boredetella
Bronkiseptika, dan Bordetella Avium. Bordetella pertusis adalah
satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak
bergerak, dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah
nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif
Mansjoer, 2000). Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :a.
Berbentuk batang (coccobacilus).b. Tidak dapat bergerak.c. Bersifat
gram negatif.d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.e.
Tidak berspora, mempunyai kapsul.f. Mati pada suhu 55C selama jam,
dan tahan pada suhu rendah (0- 10C).g. Dengan pewarnaan Toluidin
blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.h. Tidak sensitif
terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhdap penicillin.i. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :1)
Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).2) Endotoksin
(lipopolisakarida).j. Melekat ke epitel pernafasan melalui
hemaglutinasi filamentosa dan adhesin yang dinamakan pertaktin.k.
Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :1) Toksin Pertusis
(PT).2) Filamentous hemagglutinin (FHA).3) Pertactine 69-kDa OMP4)
Aglutinogen fimbriae5) Adenylcyclase6) Endotoksin (pertusis
lipopolysaccharide)7) Tracheal cytotoxin3. Tanda dan
gejalaPertusis, Menurut Guinto-Ocampo H. (2006), periode inkubasi
pertusis berkisar antara 3-12 hari. Pertusis merupakan penyakit 6
minggu (a 6-week disease) yang dibagi menjadi: stadium catarrhal,
paroxysmal, dan convalescent.a. Stadium 1Stadium ini berlangsung
1-2 minggu. Stadium ini disebut juga catarrhal phase, stadium
kataralis, stadium prodromal, stadium pre-paroksismal. Stadium ini
tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas
dengan common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin, dapat
disertai dengan sedikit demam (low-grade fever), tearing, dan
conjunctival suffusion.Pada stadium ini, pasien sangat infeksius
(menular) namun pertusis dapat tetap menular selama tiga minggu
atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling mudah diisolasi juga
pada stadium ini.Menurut Rampengan (2008), masa inkubasi pertusis
6-10 hari (rata-rata 7 hari), perjalanan penyakitnya berlangsung
antara 6-8 minggu atau lebih. Adapun manifestasi klinis pada
stadium ini adalah:1) Gejala infeksi saluran pernafasan bagian
atas, yaitu dengan timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan
jernih.2) Infeksi konjungtiva, lakrimasi.3) Batuk dan panas yang
ringan.4) Kongesti nasalis.5) Anoreksia.Batuk yang timbul mula-mula
pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi semakin hebat. Sekret
banyak, menjadi kental dan lengket.b. Stadium 2Stadium ini
berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga
paroxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal,
stadium spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat
yang tiba-tiba dan tak terkontrol (paroxysms of intense coughing)
yang berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia kurang
dari 6 bulan tidak disertai whoop yang khas namun dapat disertai
episode apnea (henti nafas sementara) dan berisiko kelelahan
(exhaustion). Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada
stadium ini adalah:1) Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering
terdengar pada saat penderita menarik nafas di akhir serangan
batuk.2) Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas,
dan di akhir serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan
dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri
dengan muntah.3) Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi
merah atau sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar,
dan gelisah. Juga tampak pelebaran pembuluh darah yang jelas di
kepala dan leher, petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan
sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah. 4) Di akhir serangan,
penderita sering memuntahkan lendir kental.5) Setelah 1 atau 2
minggu, serangan batuk makin menghebat.c. Stadium 3Stadium ini
berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium
konvalesens. Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Garna H., et.al.
(2005), pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun
batuk yang terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung
selama berminggu-minggu. Dapat terjadi petekie pada kepala/leher,
perdarahan konjungtiva, dapat terjadi ronki difus.Menurut Rampengan
(2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:1) Whoop dan
muntah berhenti.2) Batuk biasanya masih menetap dan segera
menghilang setelah 2-3 minggu.3) Beberapa penderita akan timbul
serangan batuk paroksismal kembali dengan whoop dan muntah-muntah.
Episode ini terjadi berulang dalam beberapa bulan bahkan hingga
satu atau dua tahun, dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran
nafas bagian atas yang berulang.4. Patofisiologi PertusisBordetella
pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme
patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat
tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit
sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada
perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini
tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan
toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan
whooping cough.Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit
disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub
unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan
reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif
pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.Toxin mediated
adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan
fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah
dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek
memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin,
sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.Toksin menyebabkan
peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial
dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi
silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi
sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan
Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug
yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan
sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat
anoksia.Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan
tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan
mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun
terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.Cara penularan
pertusis, melalui: Droplet infection Kontak tidak langsung dari
alat-alat yang terkontaminasi Penyakit ini dapat ditularkan
penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah
penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui sapu
tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman
penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita
pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3
minggu setelah batuk dimulai.Pathway PertusisInfeksi
Lewat udara dan droplet
Menghasilkan bahan aktif seperti Hemaglutinin flamentosa (HAF)
dan pertakin
Nempel pada saluran nafas bagian bawah
Fungsi silia menurun
Nekrosis
Lesi pada epitel
Menghambat bersihan organisme
Dx 1 : Bersihan jalan nafas tak efektif b/d penumpukan
sekret
Peningkatan sputum sekret
Bersihan jalan nafas inefektif
Toksin menyebar ke saluran pernafasan
Batuk rejan yang lama
Mual Muntah Infeksi dan terjadi penumpukan mukus dan menimbulkan
plug
Berlangsung lama
DX 2 : Pola nafas tak efektif b/d dispnea
Penurunan nafsu makan dan sering berkeringat serta metabolisme
tergangguDX 4 : Gangguan pemenuhan Nutrisi b/d berhubungan dengan
muntah yang lebih dan anoreksi
DX 4: Resiko kekurangan volume cairan b/d intake klien yang
kurang
5. Pemeriksaan Diagnostik Pertusispemeriksaan diagnostiknya
sebagai berikut :a. Pemeriksaan sputumb. Pemeriksaan serologis
untuk Bordetella pertussisc. ELISAElisa dapat dipakai untuk
menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap filamentous
hemoaglutinin (FHA) dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan
IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena
menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit
atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan
test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA
dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik
untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi
pertussis.d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis
absolut selama stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal). e.
Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)f. Diagnosis
pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus
nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).g. Polymerase
chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya
lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild
interstitialedema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang
bervariasi, mildperibronchial cuffing, atau empiema.Konsolidasi
(consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder
atau pertussis pneumonia (jarang).Adakalanya pneumothorax,
pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat
terlihat.Radiographytidak diindikasikan pada pasien dengan
tanda-tanda vital (vital signs) yang normal. Vital signs ini
meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate, respiration rate, dan
suhu tubuh.6. Penatalaksanaan dan terapi dari Pertusisa. Penilaian
dan perawatan pendukungTujuan terapi adalah membatasi jumlah
paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila
perlu, dan memaksimalkan nutrisi dan istirahat.b. Agen terapeutik,
agen antimikrobaAgen antimikroba selalu diberikan bila pertusis
dicurigai atau diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan
membatsi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam,
secara oral dalam dosis terbagi empat selama 14 hari merupakan
pengobatan baku.c. SalbutamolSejumlah kecil trial klinis dan
laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-gejala dari stimulan
2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat
yang telah menunjukkan pengaruh manfaat. Pengobatan dengan
aerosoldapat memicu paroksismal. Berguna dalam pengobatan pertusis
terutama pada bayi muda dengan seragan proksimal.Salbutamol Efektif
terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja : a) Beta 2
adrenergik stimulan1. Mengurangi paroksimal khas2. Mengurangi
frekuensi dan lamanya whoop3. Mengurangi frekuensi apneub) Terapi
suportif1. Lingkungan perawatan penderita yang tenang2. Pemberian
makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya makanan
cair, bila muntah diberikan cairan dan elektrolit secara
parenteral3. Pembersihan jalan nafas4. Oksigend.
KortikostreoidTidak ada trial khusu buta acak cukup besar yang
telah dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam
manajemen pertusis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh
yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai
kesimpulan pada infeksi pernapasan pada manusia. Penggunaan
klinisnya tidak dibenarkan.1) Betametason oral dosis 0,075 mg/lb
BB/hari2) Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg
BB/ hari kemudian diturunkanperlahan dan dihentikan pada hari
ke-83) Prednisone oral 2,5 5 mg/harie. Globulin Imun PertusisBelum
ada persesuaian faham mengenai pemberian imonoglobuli nstadium
kataralis. Penggunaan preparat imunoglobulin jenis apapun tidak
dibenarkan kecuali kalau penelitian lebih lanjut memperkuat
pengaruh manfaat.7. Komplikasi dari PertusisKomplikasi dari
pertusis adalah sebagai berikut:a. Sistem pernafasanDapat terjadi
otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis yang
disebabkan sumbatan mukus, emfisema, bronkietaksis, dan
tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.b. Sistem
pencernaanMuntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis
(anak menjadi kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang
mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada
ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu
serangan batuk, juga stomatitis.c. Susunan sarafKejang dapat timbul
karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah,
kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak, mungkin pula
terjadi perdarahan otak.d. Lain-lainDapat pula terjadi perdarahan
lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan
subkonjungtiva.
BAB IIIASUHAN KEPERAWATANAsuhan Keperawatan DifteriKasus :Anak D
usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari
pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring,
kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak D rewel dan
tidak mau makan dan sulit menelan, sputum meningkat , RR 33
x/menit, retraksi dinding dada sehingga dipasang NGT dan juga
terpasang nasal kanul dengan 3 lpm, Anamnesa:1. Identitas pasiena.
Nama : Db. Usia : 6 Tahunc. Jenis Kelamin : Laki-laki2. Keluhan
Utama :Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.3.
Riwayat Penyakit Sekarang :Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau
makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul.
Dari hasil EKG didapat tachicardy.4. Riwayat penyakit keluarga5.
Riwayat penyakit masa laluPemeriksaan Fisik :B1: Breathing
(Respiratory System) RR tak efektif (Sesak nafas), 33 permenitB2:
Blood (Cardiovascular system) tachicardiB3: Brain (Nervous system)
NormalB4: Bladder (Genitourinary system) Normal/ berkemih atau
tidak ada masalahB5: Bowel (Gastrointestinal System) Anorexia,
nyeri menelan, kekurangan nutrisiB6: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit pucat, terkadang tampak sianosis1.
Diagnosa keperawatan: Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan
dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakanTujuan: Pasien
mampu bernafas tetap pada batas normalKriteria Hasil:Tidak terjadi
Obstruksi jalan nafas Pernapasan tetap pada batas normalIntervensi
dan Rasional:1. Oksigenasi dengan pemasangan nasal
kanul.Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien.2.
Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi.Untuk mepertahankan
atau memperbaiki keadaan umum.3. Pemberian SAD 40.000 KI secara IM
atau IV.Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan.2.
Diagnosa keperawatan: Gangguan menelan berhubungan dengan
peradangan pada faringTujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang
adekuat.Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan
menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.Intervensi dan
Rasionala. Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT).Untuk
memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.b.
Pantau masukan keluaran dan berat badan.Untuk mengkaji keadekuatan
masukan nutrisi.3. Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera
berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT.Tujuan: Pasien tidak
mengalami infeksi.Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan
bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric TubeIntervensi
dan Rasionala. Bersihkan kateter sesering mungkin.Untuk mencegah
bakteri masuk ke dalam tubuh.4. Diagnosa keperawatan: Ansietas
berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena
pemasangan NGT.Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda
ketidaknyamanan.Kriteria Hasil: Pasien istirahat dengan tenang,
sadar bila terjaga. Mulut tetap bersih dan lembab. Nyeri yang
dialami pasien minimal atau tidak ada.Intervensi dan Rasionala.
Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).Untuk memudahkan
perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.b. Beri perawatan
mulut.Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa
lembab.c. Dorong orangtua untuk berpartisipasi dalam perawatan
anak.Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.5. Diagnosa keperawatan
: Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah
jantungTujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak
gelisahKriteria hasil: Bunyi jantung normal. Tidak ditemukan
tanda-tanda payah jantung. Gambaran EKG : tidak ada depresi segmen
ST.Intervensi dan Rasionala. Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau
IV Menetralisir Toksin. Eradikasi Kuman Menanggulangi infeksi
sekunderb. Pemberian obat sedative (diazepam/luminal)Untuk
mengurangi rasa gelisah anakc. Pantau terus hasil perekaman
EKGUntuk evaluasi segala kedaaan dari miokard
ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSISA. Pengkajian1. Identitas (
Ngastiyah, 1997 ; 32 ) Mengenai semua golongan umur, terbanyak
mengenai anak umur 1-5th Lebih banyak anak laki laki dari pada anak
perempuan.2. Keluhan Utama. Batuk disertai muntah.3. Riwayat
Penyakit Sekarang.Batuk makin lama makin bertambah berat dan
diikuti dengan muntah terjadi siang dan malam. Awalnya batuk dengan
lendir jernih dan cair disertai panas ringan, lamakelamaan batuk
bertambah hebat (bunyi nyaring) dan sering, maka tampak benjolan,
lidah menjulur dan dapat terjadi pendarahan sub conjungtiva.4.
Riwayat Penyakit Dahulu. Adanya gejala infeksi saluran pernafasan
bagian atas. Batuk dan panas ringan, batuk mula-mula timbul pada
malam hari, kemudian siang hari dan menjadi hebat.5. Riwayat
Penyakit Keluarga.Dalam keluarga atau lingkungan sekitarnya,
biasanya didapatkan ada yang menderita penyakit pertusis.6. Riwayat
ImunisasiJENISUMURCARAJUMLAH
BCG0 2 bulan1C1x
DPT2, 3, 4 bulan1M3x
Polio1-5 bulanRefisi4x
Capak9 bulan5C4x
Heportits0, 1, 6 bulan1M3x
7. Riwayat Tumbuh Kembanga. Personal Sosial Ibu pasien
mengatakan kalau dirumah anaknya lincah, tidak mau diam.b. Motorik
HalusAnak terbiasa melakukan gerakan seperti memasukkan benda
kedalam mulutnya, menangkap objek atau benda benda, memegang kaki
dan memegang kaki dan mendorong kearah mulutnya.c. Motorik
KasarAnak dapat tengkurap dan berbalik sendiri, dapat merangkak
mendekati benda atau seseorang.d. Kognitif Anak berusaha memperluas
lapangan pandangan, tertawa dan menjerit karena gembira bila diajak
bermain, mulai berbicara tapi belum jelas bahasanya.USIA
FISIKMotorik KasarMotorik HalusSosial Emosional
15 blnBerjalan sendiri Pegang cangkir Memasukkan jari kelubang
Membuka kotak Melempar bendaBermain solitary play
18 bln Lari jatuh Menarik mainan Naik dengan tangga bantuan
Menggunakan sendok Membuka hal. Buku Menyususn balok
24 bln BB 4x BB lhrTB bauik Berlari sudah baik Naik tangga
Sendiri Membuka pintu Membuka kunci Menggunting Menggunakan sendok
dengan baik
8. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatala. AntenatalKesehatan
ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan
antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang
pernah diminum serat kebiasaan selama hamil.b. NatalTanggal, jam,
tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara persalinan
(spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section secaria dan
gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan
congenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama
setelah lahir, masa kehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat
lahir anak menangis spontan atau tidak.c. PostnatalLama dirawat
dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan gagguan
sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola
eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya
ashyksia, trauma dan infeksi.9. Pemeriksaan fisik.1) Keadaan umum :
Saat batuk mata melotot, lidah menjulur, batuk dalam waktu yang
lama dan berkeringat.Kesadaran : Composmetis,TTV : Nadi
meningkat(120-125x/mnt),respirasimeningkat(30-35x/mnt)2) Head to
toeKepala : Tidak ada bekas luka ataupun bengkak.Rambut: warna
rambut hitam, lurus, distribusi merata, tidak terdapat
ketombe.Wajah: Simetris, bentuk bulat, tidak terdapat kelainan
kulit.Mata: Sklera berwarna putih,mata tampak menonjol.Hidung:
Lubang hidung simetris, hidung berair, terdapat pernafasan cuping
hidung.Mulut: Mukosa lembab, lidah menjulurTelinga: Daun telinga
simetris, membran timpani putih mengkilat, tidak ada benda
asing.Leher: Tidak terdapat pembesaran JVP, tidak ada tandatanda
pembesaran kaku kuduk dan pembesaran kelenjar tiroid.Dada Inspeksi:
Terdapat tarikan otot bantu pernafasan dengan cepatPalpasi: Tidak
ada krepitasi.Perkusi: Paru sonor, jantung dallnesAuskultasi:
Wheezing inspirasiAbdomen Inspeksi: Terdapat distensi
abdomenAuskultasi: Bising usus 9x/mntPalpasi: Tidak terdapat
pembesaran lien dan hepar, turgor kulit bisa menurun bisa
normal.Perkusi: Perut tidak kembungEkstremitasAtas : tidak ada
odem, pada bagian kiri terpasang infus.Bawah : tidak ada odem,
tidak ada bekas luka.
Genetalia: Bersih, tidak berbau tak sedap, tidak terdapat
varises atau odem.Anus Inspeksi : bersih, tidak terdapat hemoroid,
tidak ada perdarahan.Palpasi : tidak ada benjolan, massa, ataupun
tumor.10. Pemeriksaan penunjang1) Melakukan pemeriksan hapusan
skret di nasofaring / lendir yang dimuntahkan.2) Pada hapusan darah
tepi akan dijumpai (20.000 50.000 sel / mm3 darah) dengan
limfositosis yang predominan ( 60 %).3) Pemeriksaan serologis
(imunofluorecent antibody) yaitu untuk mengetahui ada tidaknya
kuman.B. Diagnosa Keperawatan1) Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penumpukan secret.2) Pola napas tidak efektif
b/d dispnea.3) Resiko kekurangan volume cairan b/d intake klien
yang kurang.4) Ganggaun pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari
kebutuhan) berhubungan dengan muntah yang lebih dan anoreksiC.
Intervensi Keperawatan Dx Kep ITujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam, status ventilasi saluran pernafasan
baikKriteria Hasil : 1) Keluarga mampu mengetahui ttg sakit yang
dialami anaknya.2) Px mengungkapkan pernafasan menjadi mudah.3) Px
mampu melakukan batuk efektif.4) Rata-rata pernafasan
normal(16-24x/mnt).Intervensi:1. Kaji frekuensi/ kedalaman
pernafasan dan gerakan dada .Rasional : takipnea, pernapasan
dangkal,dan gerakan dada tak simetriks sering terjadi karena
ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan/ cairan paru2. Auskultasi
area paru.Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area
konsulidasi dengan cairan. Bunyi napas bronchial (normal pada
bronkus) dapat juga terjadi pada area konsulodasi. Krekes,ronki,dan
mengi terdengar pada inspirasi dan/ ekspirasi pada respon terhadap
pengumoulan cairan, secret .3. Bantu pasien latihan napas sering.
Tunjukkan/ bantu pasien melakukan batuk, misalnya menekan dada dan
batuk efektif.Rasional : napas dalam memudahkan ekspansi maksimum
paru-paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
pembersihan jalan napas alami, membantu silia untuk mempertahankan
jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan
posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan kuat. 4.
Pengisapan sesuai indikasiRasional : merangsang batuk atau
pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu
melakukan karena 5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali
kontraindikasi). Tawarkan air hangat daripada dingin.Rasional :
cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
secret. 6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi 7. Rasional :
untuk menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan resiko
keparahan.Dx Kep II.Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, klien menunjukkan pola napas efektif.Kriteria
hasil : 1. Keluarga mampu mengerti ttg sesak yg dialami anaknya.2.
Px mengungkapkan sesak berkurang.3. Px mampu melakukan napas
dalam.4. Pengembangan dada normal antara inspirasi dan
ekspirasiIntervensi:1. Kaji frekuensi,kedalaman pernafasan,
ekspansi dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot
bantu.Rasional : kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi
peningkatan kerja napas (pada awal /hanya tanda EP subakut).
Kedalaman pernafasan biasanya bervariasi tergantung derajat gagal
napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis
dan/ nyeri dada pleuritik. 2. Auskultasi bunyi napas.Rasional :
bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap perdarahan,bekuan atau kolaps jalan napas kecil
(atelaktasis). Ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan
napas/kegagalan pernafasan3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah
posisi. Bangunkan pasien turun tempat tidur dan ambulasi sesegera
mungkin.Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru
memudahkan pernafasan. Pengubahan posisi dan ambulasi meningkatkan
pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi
gas4. Observasi pola batuk dan karakter secretRasional : kongesti
alveolar mengakibatkan batuk kering/iritasi. Sputu berdarah dapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan (infark paru) atau antikoagulan
berlebihan.5. Dorong/bantu pasien dalam napas dalam dan latihan
batuk. Pengisapan peroral atau naso trakeal bila
diindikasikan.Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana
gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyamanan upaya bernafas. 6.
Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan bila
diindikasikan.Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan
kerja napasDx Kep IIITujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, kekurangan volume cairan tidak terjadi.Kriteria
Hasil :1) Keluarga mengerti ttg penyebab kekurangan cairan.2) Px
mengungkapkan sudah tidak merasa dehidrasi.3) Px sudah Nampak tidak
lemah.4) Turgor kulit membaik, membrane mukosa baikIntervensi1.
Observasi turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir dan
lidah).R/ indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun
membrane mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen
tambahan2. Pantau masukan dan haluaran,catat warna, karakter urine.
Hitung keseimbangan cairan.R/ memberikan informasi tentang
keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian.3. Catat cairan
Intake dan Output.R/untuk mengetahui keseimbangan cairan.4. Berikan
dan anjurkan untuk memberikan minum sesering mungkinR/ Mengurangi
tingkat dehidrasi5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
terapi cairanR/ Untuk mengatasi rehidrasi yang dialami pasien.Dx.
Kep IVTujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam, kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.Kriteria Hasil: 1) Keluarga
mengerti ttg pentingnya nutrisi.2) Px mengungkapkan nafsu makannya
bertambah.3) Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi
yang dibutuhkan / diberikan.4) BB meningkat, membrane mukosa
lembabIntervensi: 1. Kaji keluhan muntah dan anoreksia yang dialami
klien.Rasional :Mengetahui / menetapkan cara menentukan tindakan
perawatan dan cara mengatasinya.2. Berikan makanan yang tidak
terlalu asin dan makanan yang tidak digoreng.Rasional: Makanan yang
asin dan digoreng dapat meerangsang batuk.3. Berikan makanan /
minuman setiap habis batuk dan muntah. Rasional :Pemberian makanan
dan minuman setelah batuk dan muntah membantu memenuhi kebutuhan
nutrisi.4. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh
klien.Rasional :Mengetahui sejkauh mana pemenuhan nutrisi klien.5.
Timbang BB klien tiap hari.Rasional : Mengetahui status gizi
klien.6. Hindarkan pemberian makanan yang sulit ditelan Rasional :
Makanan cair atau lunak menghindari adanya aspirasi.Implementasi
dan evaluasi disesuaikan dengan intervensi, tujuan, dan kriteria
hasil yang telah kita buat.
BAB IVPENUTUPA. KesimpulanKesimpulan yang dapat kami ambil dari
penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai berikut :
Difteri1.Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh
kumanCorynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya
diberi nama serupa dengankuman penyebabnya.2.Menurut tingkat
keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkatyaitu: Infeksi
ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat3. Menurut lokasi gejala
difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difterifaring, difteri
laring dan difteri kutaneus dan vaginal4.Gejala klinis penyakit
difteri ini adalah :a).Panas lebih dari 38 Cb).Adapsedomembranebisa
dipharynx,larynxatau tonsilc).Sakit waktu meneland).Leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karenapembengkakan kelenjar leher. Pertusis1. Pertusis adalah
penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteriBordotella
pertusis.2. Pertusis dapat mengenai semua golongan umur dan
terbanyak mengenai anak 1-5 tahun Tiga tahapan dari penyakit
pertusis adalah tahap kataralis, paroksimal dan konvelesensi.3.
Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar
adalah menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri
pertusis.B. SaranSebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan
asuhan keperawatan terhadap penderita pertusis dan diftei. Karena
seringkali pada penderita pertusis dan difteri disertai dengan
komplikasi. Keadaan ini akan menyebabkan penderitaan yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, penyakit batuk rejan dan difteri
perlu dicegah. Cara yang paling mudah adalah dengan pemberian
imunisasi bersama vaksin lain yang biasa disebut DPT dan
polio.Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam hal
ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya imunisasi dan
imunisasi akan berdaya guna jika dilakukan sesuai dengan program.
Selain itu perawat harus memberikan pengetahuan pada orang tua
mengenai penyakit pertusis secara jelas dan lengkap.Terutama
mengenai tanda-tanda, penanganan dan pencegahannya.10