BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi
pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di
tengah. Angka kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit
dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan minimal atau terdapat
spina pada septum. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan
respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal. Deviasi yang
cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan
gangguan estetik wajah karena tampilan hidung menjadi
bengkok.1,2Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala
penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan
aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari
berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebabnya
dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi.1Deviasi septum
nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan di masyarakat.
Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago septum,
yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum
biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus
yang merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi.
Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya obstruksi nasal
unilateral maupun bilateral, yang bermanifestasi sebagai gangguan
pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur, sakit kepala, infeksi
sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.3
1.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
Struktur Anatomi HidungHidung luar berbentuk piramid menonjol
pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas. Struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu yang paling atas
berupa kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling
bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.4Berikut
bagian-bagiannya dari atas ke bawah : pangkal hidung (bridge),
dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung
(nares anterior).5
Gambar 1. Anatomi Hidung LuarHidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : Tulang
hidung (os nasal), Prosesus frontalis os maksila, dan Prosesus
nasalis os frontal.Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu : Sepasang kartilago nasalis lateralis superior, Sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor, Beberapa pasang kartilago alar minor, dan
Tepi anterior kartilago septum.5
Gambar 2. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung LuarRongga
hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
yang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut
nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan antara kavum nasi dengan
nasofaring.4,5Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.4,5Dinding medial hidung adalah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang rawan
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Sedangkan bagian tulang adalah : lamina perpendikularis os etmoid,
os vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os
palatina.5Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral
hidung licin, yang disebut agger nasi dan di belakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Gambar 3. Septum NasiPada dinding lateral terdapat 4 buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media, yang lebih kecil lagi
ialah konka superior, dan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini bersifat rudimenter. Konka inferior merupakan
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.5Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada 3 meatus, yaitu meatus inferior, medianus dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.5Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan
suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior merupakan
ruang di antara konka superior dan kona media. Pada meatus superior
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.4,5
Gambar 4. Dinding Lateral Cavum NasiDinding inferior rongga
hidung merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang
yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa/saringan) sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh
os sfenoid.5
Kompleks Ostiomeatal (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan
celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM
adalah : 1
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal.
KOM merupakan unit fungsional yang berfungsi sebagai tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior,
yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoidalis
superior.5
Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Perdarahan Hidung Bagian atas hidung rongga hidung mendapat
pendarahan dari a. etmoidalis anterior dan posterior yang merupakan
cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a. fasialis.Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung), terutama pada anak.Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di
hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.5
Persarafan Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan
cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmikus
(N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion
sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.Sedangkan fungsi penghidu berasal dari nervus
olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.5
Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara
histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa
penghidu. Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh cilliated pseudostratified
collumnar epithellium yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat
sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia menjadi
sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh
sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa.Silia
yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai
daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi
oleh pseudostratified columnar non-ciliated epithellium. Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan
sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.Di bawah lapisan epitel terdapat tunika propria yang
banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang
khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika
propria, tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastin dan otot polos. Pada bagian ujungnya, sinusoid
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam, lalu ke venula. Dengan
susunan demikian, mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasokonstriksi dan
vasodilatasi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.4,5
Fisiologi Hidung Berdasarkan teori struktural, teori
revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung
dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu;
3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu
proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; serta
5) refleks nasal.5
Sebagai Jalan Napas Pada saat inspirasi, udara masuk melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian
turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara
inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring. Pengatur Kondisi Udara (Air
Conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu
untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi
ini dilakukan dengan cara : a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi
ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. b) Mengatur suhu. Fungsi
ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. Sebagai Penyaring dan
Pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi
dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : a) Rambut (vibrissae)
pada vestibulum nasi b) Silia c) Palut lendir (mucous blanket).
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan
silia. d) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
disebut lysozime. Indra Penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra
penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. Resonansi Suara Penting untuk
kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau. Proses Bicara Membantu proses pembentukan kata dengan
konsonan nasal (m, n, ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga
hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. Refleks
Nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Contohnya,
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan napas
terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.4,5
BAB IIPEMBAHASAN
Bentuk septum normal ialah lurus di tengah rongga hidung, tetapi
pada orang dewasa biasanya tidak lurus sempurna di garis tengah.
Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila
deviasi itu cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi
hidung. Dengan demikian dapat terjadi gangguan fungsi hidung dan
menyebabkan komplikasi.2
2.1 Definisi dan KlasifikasiDeviasi septum ialah suatu keadaan
dimana terjadi peralihan posisi septum nasi dari letaknya yang
berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut Mladina dibagi
atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :1. Tipe
I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.2. Tipe
II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.3. Tipe III :
deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).4.
Tipe IV : S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi
lainnya).5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum,
sementara di sisi lain masih normal.6. Tipe VI : tipe V ditambah
sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga
yang asimetri.7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu
tipe I-tipe VI.1,6
Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina
Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya,
yaitu :1) Spina dan KristaMerupakan penonjolan tajam tulang atau
tulang rawan septum yang dapat terjadi pada pertemuan vomer di
bawah dengan kartilago septum dan atau os ethmoid di atasnya. Bila
memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat
runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini biasanya
merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal. 2) DeviasiLesi ini
lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk C atau S yang dapat
terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.3) DislokasiBatas bawah kartilago septum
bergeser dari posisi medialnya dan menonjol ke salah satu lubang
hidung. Septum deviasi sering disertai dengan kelainan pada
struktur sekitarnya.4) SinekiaBila deviasi atau krista septum
bertemu dan melekat dengan konka di hadapannya. Bentuk ini akan
menambah beratnya obstruksi.1,2
Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :1)
Dinding Lateral HidungTerdapat hipertrofi konka dan bula
ethmoidalis. Ini merupakan kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf
septum.2) MaksilaDaya kompresi yang menyebabkan deviasi septum
biasanya asimetri dan juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi
menjadi datar, pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan
abnormalitas ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada
sisi yang sakit.3) Piramid HidungDeviasi septum nasi bagian
anterior sering berhubungan dengan deviasi pada piramid hidung.4)
Perubahan MukosaUdara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah
yang sempit menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan
krusta. Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya
resistensi terhadap infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi
edema sebagai akibat fenomena Bernouili yang kemudian menambah
derajat obstruksi.1
Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau
ringannya keluhan :1) RinganDeviasi kurang dari setengah rongga
hidung dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral
hidung.2) SedangDeviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi
ada sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.3)
BeratDeviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral
hidung.3
Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4,
yaitu :1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian
kaudal2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir3)
Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal4) Lengkungan deviasi yang
berhubungan dengan deviasi hidung luar.3
Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk
2.2 EtiologiDeviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma
langsung dan biasanya berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain
hidung, seperti fraktur os nasal. Pada sebagian pasien, tidak
didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray (1972) menerangkannya
dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal dapat
menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat
terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung
saat kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum.1,2Faktor
risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir,
resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak
langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau
sabuk pengaman ketika berkendara.1,3Penyebab lainnya ialah
ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus
tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap, juga
karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan
demikian terjadilah deviasi septum.2
2.3 Gejala KlinisGejala yang sering timbul biasanya adalah
sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Hal ini
terjadi karena pada sisi hidung yang mengalami deviasi terdapat
konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka
yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan
lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu,
penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian
atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat ostium sinus
sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.2Jadi
deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala
berikut ini : Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril Kongesti
nasalis biasanya pada salah satu sisi Perdarahan hidung
(epistaksis) Infeksi sinus (sinusitis) Kadang-kadang juga nyeri
pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip. Mengorok saat tidur
(noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan anak.6,7Pada
beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan
atas, seperti common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi
respiratori akan mencetuskan terjadinya inflamasi pada hidung dan
secara perlahan-lahan menyebabkan gangguan aliran udara di dalam
hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi yang juga terkait
dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah sembuh
dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi
septum nasi juga akan menghilang.7
2.4 DiagnosisDeviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui
inspeksi langsung pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi
anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika
terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan
bisa normal.1Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi
tanpa spekulum, karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian
kaudal. Pemeriksaan seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral
hidung untuk menentukan besarnya konka. Piramid hidung, palatum,
dan gigi juga diperiksa karena struktur-struktur ini sering terjadi
gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.1,2Namun,
diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi
antero-posterior tampak septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan
nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi
septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa. Bila
dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.1
2.5 Penatalaksanaan Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat
ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Analgesik,
digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Dekongestan, digunakan untuk
mengurangi sekresi cairan hidung. Pembedahan : Septoplasty
(Reposisi Septum)Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada
anak-anak, (ii) dapat dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii)
dilakukan bila terjadi dislokasi pada bagian caudal dari kartilago
septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan bersama dengan reseksi
septum bagian tengah atau posterior. Pada operasi ini, tulang rawan
yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang
dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang
mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya
perforasi septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak
berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak. SMR
(Sub-Mucous Resection)Pada operasi ini, muko-perikondrium dan
muko-periosteum kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang
septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian
diangkat, sehingga muko-perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri
dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.Reseksi submukosa
dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya hidung pelana
(saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena bagian
atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi
ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat
mempengaruhi pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum
nasi.2,8,9
2.6 KomplikasiDeviasi septum dapat menyumbat ostium sinus,
sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain
itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang
dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-operasi,
diantaranya :1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi
akibat insisi pada hidung atau berasal dari perdarahan pada membran
mukosa. 2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat
operasi sehingga menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan
terjadilah pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera
setelah operasi dilakukan.3) Nasal Septal Perforation. Terjadi
apabila terbentuk rongga yang menghubungkan antara kedua sisi
hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan perdarahan pada kedua
sisi membran di hidung selama operasi.4) Saddle Deformity. Terjadi
apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang
memiliki deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan
perbaikan.7,8
2.7 PrognosisDeviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi
peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di
garis medial tubuh. Prognosis pada pasien deviasi septum setelah
menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-20 hari dapat
melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga
pasien harus juga menghindari trauma pada daerah hidung.1
BAB IIIKESIMPULAN
Deviasi septum nasi dapat berupa kelainan bawaan sejak lahir
atau paling sering terjadi akibat trauma. Risiko terjadinya deviasi
septum meningkat pada laki-laki karena lebih banyak terpapar dengan
lingkungan dan trauma. Deviasi septum yang ringan tidak memberikan
keluhan, sedangkan yang berat dapat menyebabkan kesulitan bernapas
akibat obstruksi nasal.9Terapi konservatif untuk obstruksi nasal
dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk mengatasi gejala
pada pasien. Namun untuk mengkoreksi deviasi septum, tindakan
pembedahan sangat penting. Tujuannya adalah untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi pasien sehingga menyebabkan berbagai
komplikasi. Tingkat keberhasilan tindakan pembedahan yang
diharapkan tergantung pada berat ringannya deviasi septum nasi yang
terjadi.8Secara umum, sebagian besar pasien dengan deviasi septum
nasi lebih baik dilakukan tindakan septoplasty dibandingkan dengan
sub-mucous resection (SMR) karena adanya komplikasi post-SMR,
seperti perforasi septum, perdarahan, dan saddle nose.7,9
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi
Septum Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas : Padang. 28 Juli
2011 : hlm 1-7. Available at :
http://repository.unand.ac.id/17339/1/Pengukuran_Sumbatan_Hidung_Pada_Deviasi_Septum.pdf
(Accessed : 2012 April 7)2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Kelainan
Septum. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD,
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. 2010 : hlm 126-127. 3. Jin HR, Lee JY, Jung WJ. New
Description Method and Classification System for Septal Deviation.
Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University,
College of Medicine, Boramae Hospital : Seoul. Journal Rhinology,
2007; 14 : 27-31. Available at :
http://www.doctorjin.co.kr/Journal%20PDF/50%20New%20description%20method%20and%20classification%20system%20for%20septal%20deviation_2007_06.pdf
(Accesed : 2012 April 5)4. Higler PA. Hidung : Anatomi dan
Fisiologi Terapan. Dalam : Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Cetakan Ketiga. Jakarta : EGC.
1997 : hlm 173-188. 5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS.
Hidung. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD,
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI. 2010 : hlm 118-122. 6. Baumann I, Baumann H. A New
Classification of Septal Deviations. Department of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery, University of Heidelberg : Germany. Journal
of Rhinology, 2007; 45 : 220-223. Available at :
http://www.rhinologyjournal.com/Rhinology_issues/44_Baumann.pdf
(Accessed : 2012 April 7)7. Park JK, Edward IL. Deviated Septum.
The Practice of Marshfield Clinic, American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2005. Available at :
http://www.marshfieldclinic.org/proxy/MC-ent-DeviatedSeptum.1.pdf
(Accessed : 2012 April 7)8. Bull PD. The Nasal Septum. In : Lecture
Notes on Diseases of The Ear, Nose and Throat. Ninth Edition. USA :
Blackwell Science Ltd. 2002 : p. 81-85.9. Widjoseno-Gardjito,
editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Wim de Jong,
editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC.
2005 : hlm 365-366.