Page 1
Metodologi Penelitian
Kerangka teori, kerangka konsep dan variabel kasus Peningkatan
angka Tuberkulosis Paru MDR di Puskesmas K
Teo Wijaya
B1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen krida Wacana
Jl.Arjuna utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
E-mail: [email protected]
1.1 Pendahuluan
Penelitian adalah suatu usaha penyelidikan yang hati-hati dan secara teratur terhadap
suatu objek tertentu untuk memperoleh suatu kebenaran atau bukti kebenaran.
Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk memahami dan
memecahkan masalah secara ilmiah, sistematis dan logis. Pada penelitian kesehatan
berorientasikan atau memfokuskan kegiatan pada masalah-masalah yang timbul
dibidang kesehatan/kedokteran dan sistem kesehatan.Berdasarkan metode yang
digunakan, penelitian kesehatan dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu
metode penelitian survei dan metode penelitian eksperimen. Penelitian survei adalah
suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap subjek
penelitian. Dalam survei penelitian dilakukan pada sebagian dari populasi ( sampel ),
sedangkan penelitian eksperimen adalah peneliti melakukan percobaan terhadap
variabel independennya. Langkah-langkah dalam penatalaksanaan survei yaitu
menentukan tujuan penelitian, hipotesis, kerangka teori dan kerangka konsep,
variabel, definisi operasional, desain penelitian, subjek penelitian, alat ukur,
pengolahan data, kesimpulan dan laporan.1
1
Page 2
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Teori
Menurut kamus Bahasa Indonesia Poerwadarminta, teori adalah “pendapat yang
dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai sesuatu peristiwa (kejadian), dan
asas–asas, hukum–hukum umum yang menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu
pengetahuan; serta pendapat cara –cara dan aturan–aturan untuk melakukan sesuatu”.
Kerangka teoritis adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu
teori dengan faktor‐faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.
Kerangka Teori atau Kerangka Pikir atau Landasan Teori adalah kesimpulan dari
Tinjauan Puskata yang berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan atau
berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Kerangka teori berisi
prinsip-prinsip teori yang memengaruhi dalam pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu
berguna untuk membantu gambaran langkah dan arah kerja. Kerangka teori itu harus
dapat menggambarkan tata kerja teori. Penyusunan teori merupakan tujuan utama dari
ilmu karena teori merupakan alat untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena yang
diteliti. Teori selalu berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan proposisi. Secara
defenitif, teori harus berlandaskan fakta empiris karena tuijuan utamanya adalah
menjelaskan dan memprediksikan kenyataan atau realitas. Suatu penelitian dengan
dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan si peneliti dalam upaya
menjelaskan fenomena yang diteliti.1,2,3
Teori memberikan konstribusi terhadap penilitian antara lain:
- teori meningkatkan keberhasilan penelitian karena teori dapat menghubungkan
penemuan-penemuan yang nampaknya bebeda- beda kedalam suatu keseluruhan
serta memperjelas proses-proses yang terjadi didalamnya.
2
Page 3
- Teori dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang diamati
dalam suatu penelitian.
- Teori dapat memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan
memberikan hasil yang diharapkan.4
2.2 Kerangka konsep
Dari hasil kerangka teori serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut
maka dikembangkan suatu kerangka konsep penelitian. Yang dimaksud dengan
kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti. Jadi variabel adalah simbol
atau lambang yang menunjukkan nilai atau bilangan dari konsep. Variabel adalah
yang bervariasi.4
Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu
pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung.
Agar dapat diamati dan dapat diukur, maka konsep tersebuh harus dijabarkan ke
vriabel-variabel. Dari variabel itulah konsep dapat diamati dan diukur. Kerangka
konsep penelitian ini di diperlukan agar memperoleh gmbaran secara jelas ke arah
mana penelitian dapatberjalan, atau data apa yang dikumpulkaan.4
Contoh: sehat adalah suatu konsep, isilah ini mengungkapkan sejumlah observasi
tentang hal-hal atau gejala yangmencerminkan kerangka keragaman kondisi kesehatan
seorang. Untuk mengetahui apakah seseoraang itu sehat atau tidak sehat maka
pengukuran konsep sehat tersebut harus melalui konstruk atau variabel-variabel,
misalnya tekanan darah, denyut nadi, Hb darah, kolesterol, gula darah dan sebagainya.
3
Page 4
Tekanan darah, denyut nadi, Hb dan sebagainya ini adalah variabel-varibel yang
digunakan untuk mengukur atau mengoservasi apakah seorang tersebutsehat atau
tidak sehat.4
Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi keluarga
misalnya harus melalui variabel tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluaraga
dan sebagainya. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antara konsep-konsep yangt ingin diamati atau diukur melalui penelitian
yang akan dilakukan. Kerangka konsep ini dikembangkan atau diacukan ke pada
tujuan penelitian yang telah dirumuskan, serta didasari oleh kerangka teori yang telah
di sajikan dalam tinjauan kepustakaan sebelumnya. Dengan perkataan lain kerangka
konsep adalah merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori-
teori yang mendukung penelitia tersebut. Oleh sebab itu, kerangka konsep ini terdiri
dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain. Dengan
adanya kerangka konsep akan mengarahkan kita untuk menganalisis hasil
penelitian.1,4,5
2.3 Variabel penelitian
Variabel didefinisikan sebagai karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu
subyek ke subyek lain. Yang dimaksud dengan variabel adalah karakteristik suatu
subyek, bukan subyek atau bendanya sendiri. Variabel mengandung pengertian
ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda
dengan yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel digunakan sebagai ciri, sifat atau
ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep
pengertian tertentu, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan,
pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit dan sebagainya. Variabel juga dapat
4
Page 5
diartikan sebagai konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Misalnya badan,
sosial, ekonomi, mahasiswa dan sebagainya.Selanjutnya konsep ini dapat diubah
menjadi variabel dengan cara memusatkan aspek tertentu. Misalnya:
a. Badan (konsep) berat badan, tinggi badan (variabel)
b. Mahasiswa ( konsep) jenis kelamin mahasiswa, umur mahasiswa, prestasi
mahasiswa (variabel).
c. Darah (konsep) tekanan darah.1,5,6
Berdasarkan sifatnya variabel dapat dibedakan menjadi:
a. variabel kontinu
variabel yang dapat ditentukan nilainya dengan jarak jangkau tertentu dengan desimal
yang tidak terbatas. Misalnya berat badan, tinggi badan, pendapatan dan sebagainya.
Misalnya seorang anak mempunyai tinggi 1,47 meter dengan berat badan 54,25
kilogram.1,4
b. variabel deskrit
konsep yang nilainya tidak dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan atau desimal.
Variabel ini sering juga dinyatakan sebagai kategori.jika mempunyai dua kategori
dinamakan variabel dikotomi. Misalnya jenis kelamin, terdiri dari dari laki-laki atau
perempuan. Status perkawinan, sudah menikah dan belum menikah. Jika ada lebih
dari dua kategori disebut juga vriabel politomi. Tingkat pendidikan adalah variabel
politomi, bisa SD, SMP, SMA, perguruan tinggi dan sebagainya. Jumlah anak hanya
bisa: 3,4 atau 10. tidak mungkin ada jumlah anak 4,4 dan sebagainya.1,4,6
Berdasarkan hubungan fungsional atau perannya variabel dibedakan menjadi:
1. Variabel tunggal
Variabel ini berdiri sendiri, tidak ada variabel lain yang mendampingi. Variabel
tunggal seperti ini digunakan pada penelitian deskriptif sebagai contoh penelitian
5
Page 6
tentang “lama rawat pasien post sectio di RS jakarta” memiliki variabel tunggal yaitu
“ lama hari rawat”.1
2. Variabel bebas dan variabel tergantung
Yang dimaksud dengan variabel bebas adalah variabel yang bila ia berubah akan
mengakibatkan perubahan variabel lain; variabel yang berubah akibat perubahan
variabel bebas ini disebut sebagai variabel tergantung. Dengan perkataan lain
independent variable merupakan variabel risiko atau sebab, dan dependent variable
merupakan variabel akibat atau efek.
Contoh:
1. pemberian obat A menyebabkan penurunan tekanan darah
2. perbedaan kadar kolesterol pada siswa lelaki dan perempuan.
Pada contoh pertama pemakaian obat A merupakan variabel bebas, sedangkan
tekanan darah adalah variabel tergantung. Dalam contoh kedua, kadar kolesterol
serum adalah variabel tergantung, sedangkan jenis kelamin merupakan variabel bebas.
Dalam hubungan antar-variabel perlu dipahami bahwa satu jenis variabel dapat
berfungsi berbeda, bergantung kepada konteks penelitian. Misalnya dalam penelitian
tentang faktor resiko terjadinya hipertensi, hipertensi merupakan variabel tergantung (
dengan variabel bebas atau risiko misalnya faktor keturunan, konsumsi garam,
merokok,kegemukan, kebiasaan olahraga dan lain-lain). Akan tetapi dalam penelitian
tentang penyebab kematian pada manula, hipertensi merupakan salah satu variabel
bebas sedangkan variabel tergantung adalah kematian. Perlu ditekankan bahwa
meskipun namanya variabel “bebas -tergantung” atau variabel “prediktor-efek” atau ‘
kausa outcome’ namun perlu diingat bahwa terdapatnya hubungan antara variabel
bebas dengan variabel tergantung tidak selalu merupakan hubungan sebab-akibat.5
3. Variabel perancu( confounding )
6
Page 7
Variabel perancu adalah jenis variabel yang berhubungan dengan variabel bebas dan
variabel tergantung, tetapi bukan merupakan variabel antara. Identifikasi variabel
perancu ini amat penting oleh karena bila tidak, ia dapat membawa kita kesimpulan
yang salah misalnya disimpulkan tidak ada hubungan antar variabel padahal
sebenarnnya hubungan tersebut tidak ada atau sebaliknya, disimpulkan tidak ada
hubungan padahal sebenarnya hubungan tersebut ada. Variabel pengganggu dapat
terjadi dengan dua cara yaitu membuat suatu perbedaan tersebut tidak ada atau
menyembunyikan suatu perbedaan yang sebenarnya ada.
Sebagai contoh kita tinjau penelitian yang mencari hubungan antara kebiasaan
minum kopi dan kejadian penyakit jantung koroner; peneliti ingin menguji hipotesis
bahwa PJK lebih sering terjadi pada peminum kopi. Disini yang bertidak sebagai
variabel bebas adalah kebiaaan minum kopi dan variabel tergantungnya adalah
variabel perancu, oleh karena
- kebiasaan minum kopi berhubungan dengan kebiasaan merokok; perokok
lebih sering minum kopi daripada bukan perokok.
- Kebiasaan merokok diketahui berhubungn dengan PJK.
Jadi kebiasaan merokok memenuhi syarat sebagai perancu oleh karena ia mempunyai
hubungan dengan kebiasaan minum kopi dengan kejadian PJK. Apabila kebiasaan
merokok ini tidak diindentifikasi, mungkin akan ditemukan hubungan positif antara
kebiasaan minum kopi dengan kejadian PJK, misalnya diperoleh data bahwa subyek
yang gemar minum kopi lebih banyak yang menderita PJK dibanding dengan subyek
yang tidak gemar minum kopi dengan kejadian PJK, namun ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan PJK; perokok banyak yang minum kopi, jadi seolah-olah
kebiasaan minum kopi berhubungan dengan kejadian PJK, namun ada hubungan
7
Page 8
antara kebiasaan merokok dengan PJK; perokok banyak yang minum kopi, jadi
seolah-olah kebiasaan minum kopi berhubungan dengan kejadian PJK.4,5
4. variabel intervening
Variabel ini berada ditengah antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel ini
dipengaruhi oleh variabel bebas secara langsung dan sisi lain variabel ini
mempengaruhi variabel terikat. Sebagai dan disisi lain variabel ini mempengaruhi
variabel terikat. Sebagai contoh variabel ini pada penelitian tentang hubungan antara
pola mkan dan kadar Hb ibu hamil dipengaruhi pola makannya dan kadar Hb akan
mempengaruhi kemungkinan terjadinya perdarahan post partum.3
5. variabel pendahulu ( eksternus)
Variabel ini ada atau terjadi mendahului dua variabel yang saling berhubungan
tersebut menjadi tidak ada. Sebagai contoh dari sebuah penelitian di instalasi gawat
darurat RS cipto mangunkusumo jakarta disimpulkan bahwa kejadian KPD lebih
banyak terjadi pada primigravida dibandingkan multigravida. Benarkah demikian?
Terkesan primigravida lebih beresiko dibangdingkan multigravida. Tetapi setelah
dimasukkan variabel eksternus yaitu “ aktivitas sehari-hari”. Hasilnya multigravida
lebih berhati-hati dalam beraktivitas dibandingkan primigravida. Jadi yang
berpengaruh besar pada kejadian KPD bukan status gravida tetapi bagaimana aktivitas
sehari-hari dilakukan.1,3
6. variabel aktif
Variabel yang dimanipulaasi oleh peneliti dinamakan variabel aktif. Jika seorang
peneliti memanipulasikan metode mengajar, cara menghukum, adalah variabel-
variabel aktif, karena variabel ini dapat dimanipulasikan.
7. variabel atribut
8
Page 9
Ada juga variabel-variabel yang tidak bisa dimanipulasikan. Variabel
demikiandinamakan variabel atribut. Variabel-variabel atribut umumnya merupakan
karakteristik manusia seperti intelegensia, jenis kelamin, status sosial, pendidikan,
sikap dan sebagainya.4
Ditinjau dari segi korelasi antar variabel dalam penelitian, terdapat beberapa bentuk
korelasi antara lain:
1. Korelasi simetris, yaitu terjadi apabila antar dua variabel ada hubungan, tetapi
tidak ada mekanisme saling mempengaruhi, masing-masing bersifat mandiri.
Contohnya hubungan antara tinggi dan berat badan, merupakan variabel
tergantung dari variabel bebas pertumbuhan.
2. Korelasi asimetris, ialah korelasi antar dua variabel dengan satu variabel
(bebas bersifat mempengaruhi varibel yang lain (terikat). Contoh: tingginya
kadar lipoprotein berat jenis rendah (Low density lipoprotein) dalam darah akan
mengakibatkan aterosklerosis.
3. Korelasi timbal balik, korelasi antar dua variabel yang atar keduanya saling
mempengaruhi. Contoh: korelasi antara malnutrisi dengan malabsorbsi.
Malabsorbsi akan mengakibatkan malnutrisi, sementara malnutrisi
mengakibatkan atropi selaput lendir usus yang mengakibatkan malabsorbsi.7
Pada variabel dapat berskala kategorikal ( yang dibagi menjadi skala nominal dan
ordinal) dan skala numerik ( yang dapat dibedakan menjadi skala interval dan rasio).
Pembagian jenis variabel ini tidak hanya penting dalam proses melakukan pengukuran
tetapi juga dalam analisis data.
1. Skala pengukuran pada variabel kategorikal ada dua yaitu skala nominal dan skala
ordinal.
9
Page 10
a) Skala Nominal
Pengukuran paling lemah tingkatannya, terjadi apabila bilangan atau lambang-
lambang-lambang lain digunakan untuk mengkalsifikasikan obyek pengamatan.
Misal : Jenis kelamin, hanya membedakan laki-laki dan perempuan tanpa melihat
tingkatan atau urutan tertentu.4,5
b) Skala Ordinal
Pengukuran ini tidak hanya membagi objek menjadi kelompok-kelompok yang tidak
tumpang tindih, tetapi antara kelompok itu ada hubungan (rangking). Jadi dari
kelompok yang sudah ditentukan dapat diurutkan menurut besar kecilnya. Dengan
kata lain, data skala ordina mempunyai urutan kategori yang bermakna, tetapi tidak
ada jarak yang terukur diantara kategori.
Misal: Tingkat pendidikan.4,5,6
2. variabel dengan skala pengukuran numerik umumnya disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik. Skala pengukuran pada variabel numerik ada dua yaitu skala interval dan
ratio.
a) Skala Interval
Kalau di dalam skala ordinal kita hanya dapat menentukan urutan dari kelompok
maka di dalam skala interval selain membagi objek menjadi kelompok tertentu dan
dapat diurutkan juga dapat ditentukan jarak dari urutan kelompok tersebut dan tidak
mempunyai titik nol absolut.
Misal: Suhu normal badan Andi biasanya 32 0C. Ketika dia menderita demam, suhu
tubuhnya menjadi 37 0C. Berarti suhu Andi lebih panas 50C daripada suhu normal.
Nol derajat celcius bukan 0 absolut, artinya walaupun nilainya 0 bukan berarti suhu
menjadi normal, tetapi tetap ada nilainya. Tetapi jika suhu tubuh dalam skala Kelvin
(0K), termasuk dalam skala rasio karena memiliki 0 absolut/mutlak.4,5
10
Page 11
b) Skala Rasio
Dengan skala rasio kita dapat mengelompokkan data, kelompok itu pun dapat
diurutkan dan jarak antara urutan pun dapat ditentukan. Selain itu, sifat lain untuk
data dengan skala rasio kelompok tersebut dapat diperbandingkan (ratio). Hal ini
disebabkan karena skala rasio mempunyai titik ’nol mutlak’.
Misal : Usia Responden pada penelitian.1,4,5
11
Page 12
Tabel 1. Skala pengukuran variabel
SKALA PENGUKURAN
KATEGORIKAL/KUALITATIF/DIKONTINYU
NUMERIK/NON KATEGORIKAL/KUANTITATIF/KON
TINYU
Nominal
Jenis kelamin
Golongan darah
Status Pernikahan
Agama
Kota
Rasio
Berat badan
Umur
Tinggi badan
Kadar gula darah
Kadar kolesterol
Lama tinggal di suatu kota
Ordinal
Tingkat pendidikan
Klasifikasi kadar kolesterol
Sikap
Tingkat Pengetahuan
Derajat Keganasan Kanker
Tingkat Kesembuhan
Interval
Suhu badan (oC)
Tingkat Kecerdasan (IQ)
2.4 Desain Penelitian
Jenis penelitian surveyy yang biasa dikenal adalah suvey deskriptip yang
disebut juga sebagai explanatory study atau studi menjelajah dan survey analitik atau
explanatory study.
Survei Deskriptip
Survei ini diarahkan untuk menjelaskan atau menguraikan keadaan dalam
suatu komunitas atau masyarakat. Misalnya, prevalensi karies gigi untuk golongan
12
Page 13
umur 8 tahun di Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1999 adalah 60% dengan
tingkat keparahan sedang. Disini ada informasi mengenai apa,dimana, dan kapan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana atau how. Survei deskriptif umumnya
digunakan untuk menelaah gejala atau masalah yang sedang hangat dialami, menelaah
kasus yang ingin dijelskan secara tepat, melihat insidens atau prevalesni penyakit
tertentu guna perencanaan program pelayanan kesehatan.7
urutan langkap penelitian deskriptif adalah
1. Memilih masalah yang akan diteliti
2. Merumuskan dan membuat batasan masalah yang akan diteliti, dan
berdasarkan masalah tersebut diadakan studi pendahuluan untuk mendapatkan
informasi dan teori yang diapaki sebagai dasar menyusun konsep penelitian.
3. Merumuskan dan memilih alat ukur dan teknik pengumpulan data.
4. Menentukan kriteria atau kategori untuk klasifikasi data.
5. Mengadakan kalibrasi untuk menghindari bias antar-peneliti bila peneliti lebih
dari satu orang, selanjutnya uji coba alat ukur dan keabsahan alat ukur tersebut.
6. Melaksanakan pengumpulan data.
7. mengolah dan menganalisis data.
8. menyimpulkan dan menjelaskan hasil penelitian dalam laporan penelitian
Survei yang bersifat analitik
survei ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana atau how dan mengapa atau wht
karena penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana dan mengapanya suatu
keadaan. Misalnya, ”Mengapa masyarakat Kampung Ambon kelurahan Kayu Putih,
Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur kurang memanfaatkan fasilitas kesehatan gigi
di balai kesehatan Masyarakat FKUI? Mengapa anak-anak sekolah dasar negeri
kebersihan giginya buruk? ” Di sini peneliti mencoba menjelaskan. Survey analitik
terdiri atas:
a. Penelitian potong-lintang atau cross sectional study
Jenis penelitian ini berusaha mempelajari dinamika hubungan atau korelasi antara
faktor-faktor resiko dengan dampak atau efeknya. Faktor risiko dan dampak atau
efeknya di observasi pada saat yang sama, artinya setiap subyek penelitian diobservasi
hanya satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau
status pada saat diobservasi.7
besar rasio prevalensi dengan potongan lintanng adalah :
13
Page 14
angka rasio prevalensi memberi gambaran tentang prevalensi suatu penyakit di
dalam populasi yang berkaitan dengan faktor risiko yang dipelajari atau yang timbul
akibat faktor-faktor resiko tertentu.7
Langkah-langkah penelitian potong lintang adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi variabel-variabel penelitian dengan memilah antara faktor
resiko dan yang termasuk dampak serta faktor risiko yang tidak dipelajari dampaknya
untuk mengendalikan pengaruhnya. Misalnya, antara variabel gizi anak, kebiasaan
mengisap ibu jari, dan kebiasaan bernapas melalui mulut dihubungkan dengan
prognati dan maloklusi gigi.
2. Setelah variabel teridentifikasi, dilakukan penelitian kembali untuk
mengetahui apakah masih ada variabel luar yang mungkin berpengaruh atau
berhubungan dengan variabel yang telah teridentifikasi. Juga diteliti apakah
pengaruhnta dapat dikontrol. Bila tidak dapat dikontrol, model yang telah ditetapkan
perlu dirancang ulang. selanjutnya apakah subyek penelitian sudah sesuai dengan
tujuan penelitian ? apakah seluruh populasi diambil sebagai sampel atau hanya
sebagian saja? apabila populasi terlalu besar, perlu dihitung besarnya sampel dengan
rumus, antara lain:
Rumus ini untuk populasi besar, yaitu lebih dari 10.000 subyek penelitian.
pxq
apabila populasi subyek penelitian kurang dari 10.000 maka rumus yang dipakai :
3. Menetapkan subyek penelitian dengan memperhatikan atau mengusahakan
variabilitas, yaitu dengan cara memaksimalkan variabilitas faktor resiko yang
dipelajari dan meminimalkan variabilitas faktor resiko yang tidak dipelajari.
4. melaksanakan analisi hubungan atau perbedaan proporsi antar-kelompok hasil
observasi.
keterbatasan penelitian potong lintang adalah :
1. Dibutuhkan subyek penelitian yang relatif besar atau banyak dengan asumsi
variabel bebas yang berpengaruh cukup banyak.
2. Kurang dapat menggambarkan proses perkembangan penyakit secara tepat.
3. Faktor-faktor resiko tidak dapat diukur secara akurat dan akan mempengaruhi
hasil penelitian.
14
Page 15
4. nilai prognosanya atau prediksinya lemah atau kurang tepat.
5. korelasi faktor resiko dengan dampaknya adalah paling lemah bila
dibandingkan dengan rancangan penelitian yang lainnya.
6. kesimpulan hasil penelitian berkaitan dengan kekuatan rancangan yang
disusun sangat berpengaruh, umumnya kekuatan rancangan yang baik adalah sekitar
40% artinya hanya sebesar 40% variabe bebas atau faktor resiko mampu menjelaskan
variabel terikat atau dampak, sisanya yaitu 60% tidak mampu dijelaskan dengan
model yang dibuat.
Rancangan penelitian kasus-kontrol
Rancangan penelitian ini ada yang menyebutnya sebagai studi retrospektif, meskipun
istilah ini kurang tepat. Penelitian ini berusaha melihat ke belakang, yaitu data digali
dari dampak (efeknya) atau akibat yang terjadi. Kemudia dari dampak tersebut
ditelusuri variabel-variabel penyebabnya atau variabel yang mempengaruhinya.
penelitian epidemiologi kasus kontrol ini hasil korelasinya lebih tajam dan mendalam
bila dibandingkan dengan rancangan penelitian potong-lintang, sebab menggunakan
subyek kontrol atau subyek dengan dampak positif dicarikan kontrolnya dan subyek
dengan dampak negatif juga dicari kontrolnya. kemudia variabel penyebab atau yang
berpengaruh ditelusuri lebih dulu, baru kemudian faktor resiko atau variabel yang
berpengaruh diamati secara retrospektif. Keuntungan rancangan kasus kontrol
dibanding rancangan potong lintang, kasus kontrol mempunyai kelebihan, yaitu
variabel bebasnya atau faktor resiko dapat dibatasi, justru keterbatasan jumlah faktor
risiko akan meningkatkan potensi rancangan. selain itu tingkat keabsahan rancangan
kasus kontrol lebih tinggi, untuk mempelajari perkembangan atau etiologi penyakit.
yang dimaksud dengan matching adalah pemilihan subyekkontrol dengan
karakteristik semirip mungkin dengan kasus. hal ini penting untuk mengendalikan
faktor resiko yang perlu dikendalikan misalnya karakteristik jenis kelamin, umur,
pendidikan yang dapat atau dikehendaki untuk dikendalikan.7
Tahap pertama : mengindentifikasi variable dependen (efek) dan variable-variabel
independen (factor risiko)
variable dependen : malnutrisi
variable independen : perilaku ibu dalam memberikan makanan.
variable independen yang lain : pendidikan ibu, pendapatan keluarga, jumlah
anak dsb.
15
Page 16
Tahap kedua : menetapkan objek penelitian, yaitu populasi dan sampel
penelitian. Objek penelitian di sini adalah pasangan ibu dan balita daerah mana yang
dianggap menjadi populasi dan sampel penelitian ini.
Tahap ketiga : mengindentifikasikan kasus, yaitu anak balita yang menderita
malnutrisi. Yang dimaksud kasus di sini adalah anak balita yang memenuhi criteria
malnutrisi yang telah ditetapkan. Misalnya berat per umumnya kurang dari 75%
standar Havard. Kasus diambil dari populasi yang telah ditetapkan.
Tahap keempat : pemilihan subjek sebagai control, yaitu pasangan ibu-ibu
dengan anak balita mereka. Pemilihan control hendaknya didasarkan kepada
kesamaan karakteristik subjek pada kasus. Misalnya cirri-ciri masyarakatnya, social
ekonominya, letak geografis dsb. Pada kenyataannya memang sulit untuk memilih
kelompok control yang mempunyai karakteristik yang sama dengan kelompok kasus.
Oleh sebab itu sebagian besar cirri-ciri tersebut kiranya dapat dianggap mewakili.
Tahap kelima : melakukan pengukuran secara retrospektif, yaitu dari kasus
(anak balita yang malnutrisi) itu diukur atau dinyatakan kepada ibunya
dengan ,menggunakan metode “recall” mengenai perilaku atau kebiasaan
memberikan makanan kepada anaknya. Recall disini maksudnya menanyakan kepada
ibu anak balita kasus tentang jenis-jenis makanan serta jumlahnya yang diberikan
kepada anak balita selama periode tertentu. Biasanya menggunakan metode 24 jam
(24 hours recall).
Tahap keenam : melakukan engolahan dan analisis data. Analisis data
dilakukan dengan membandingkan proporsi perilaku ibu yang baik dan yang kurang
baik dalam hal memberikan makanan kepadsa anaknya pada kelompok kasus, dengan
proporsi perilaku ibu yang sama pada kelompok control. Dari sini akan diperoleh
bukti atau tidak adanya hubungan antara perilaku pemberian makanan dengan
malnutrisi pada anak balita.
Kelebihan Rancangan Penelitian Case Control7
a. Adanya kesamaan ukuran watu antara kelompok kasus dengan kelompok control
b. Adanya pambatasan atau pengndalian factor resiko sehingga hasil penilitian lebih
tajam disbanding dengan hasil rancangan cross sectional
c. Tidak menghadapi kendala etik seperti pada penelitian eksperimen atau cohort
d. Tidak memerlukan waktu lama (lebih ekonomis)
Kekurangan Rancangan Penelitian Case Control7
16
Page 17
a. Pengukuran variable yang retrospektif, objektifitas dan reliabilitasnya kurang
karena subjek penelitian harus mengingat kembali factor-faktor risikonya,
b. Tidak dapat diketahui efek variable luar karena secara teknis tidak dapat
dikendalikan
c. Kadang-kadang sulit memilih control yang benar-benar sesuai dengan kelompok
kasus karena banyaknya factor resiko yang harus dikendalikan.
Penelitian kohort atau sering disebut penelitian prospektif adalah suatu
penelitian survey (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara
factor resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi
dulu kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit atau
salah satu indicator status kesehatan. Contoh klasik studi kohort adalah Framingham
Heart Study.7
Rancangan penelitian kohort disebut juga sebagai survey prospektif meskipun
sesungguhnya kurang tepat. Rancangan penelitian ini merupakan rancangan penelitian
epidemiologis noneksperimental yang paling kuat mengkaji hubungan antara faktor
risiko dengan dampak atau efek suatu penyakit.7
Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan longitudinal ke depan, dengan
mengkaji dinamika hubungan antara faktor risiko dengan efek suatu penyakit.
Pendekatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor risiko, kemudian
dinamikanya diikuti atau diamati sehingga timbul suatu efek atau penyakit.
Kesimpulan hasil penelitian diketahui dengan membandingkan subyek yang
mempunyai efek positif (sakit) antara kelompok subyek dengan faktor risiko positif
dan faktor risiko negative (kelompok kontrol).7
Kelebihan penelitian Kohort7
a. Dapat membandingkan dua kelompok, yaitu kelompok subyek dengan faktor
risiko positif dan subyek dari kelompok control sejak awal penelitian.
b. Secara langsung menetapkan besarnya angka risiko dari waktu ke waktu.
c. Keseragaman observasi terhadap faktor risiko maupun efek dari waktu ke waktu.
Kekurangan penelitian Kohort7
a. Memerlukan waktu penelitian yang relative cukup lama.
b. Memerlukan sarana dan prasarana serta pengolahan data yang lebih rumit.
c. Kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out sehingga mengurangi
ketepatan dan kecukupan data untuk dianalisis.
17
Page 18
d. Menyangkut etika sebab faktor risiko dari subyek yang diamati sampai terjadinya
efek, menimbulkan ketidaknyamanan bagi subyek.
Contoh penelitian retrospektif kohort: penelitian yang dilakukan oleh National
Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yang bertujuan untuk menguji
hipotesis bahwa energy yang dihasilkan oleh video display terminal (VDT’s)
dimungkinkan dapat menybabkan keguguran secara spontan.7
2.5 Konsep Penelitian Tuberkulosis
Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep penelitian
ini adalah :
Definisi Konsep :
1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru
yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan.2
2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang
berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di luar
18
Page 19
pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru, meliputi :
dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung jawab.2
3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam
menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2 bulan
dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.2
2.6 Usulan Penelitian TBC
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien TBC dalam meminum obat
serta efektivitas dari PMO dan program wajib puskesmas di wilayah K.
2.7 Tuberkulosis Paru
Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati urutan nomor tiga setelah
india dan cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila
tidak diobati, tiap satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10
sampai 15 orang dan cara penularannya dipengaruhi berbagai factor. Tuberkulosis
paru merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Tuberkulosis
paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberkulosa. Penularan kuman dipindahkan melalui udara ketika seseorang sedang
batuk, bersin, yang kemudian terjadi droplet. Seseorang penderita TBC akan
mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia, penurunan berat-
badan, haid tidak teratur pada wanita, demam sub febris dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan, malam batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai darah,
nafas bunyi crakles (gemercik), Wheezing (mengi). Keringat banyak malam hari,
kedinginan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi tuberkulosis menurut
Alsagaff (2001) adalah adanya sumber infeksi (sering kontak dengan penderita),
penurunan daya tahan tubuh (pasien infeksi HIV, pengguna obat-obat terlarang atau
alkohol), faktor lingkungan (pemukiman yang penuh, kumuh), virulensi tinggi dan
jumlah basil banyak (perilaku buang dahak sembarangan), faktor imunologis, faktor
psikologis, dan kelompok sosio ekonomi rendah (nutrisi dan sebagainya).
19
Page 20
Penatalaksanaan TBC meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Penatalasanaan secara promotif yaitu Peningkatan kesehatan diberikan pada individu
dan keluarga baik yang kontak dengan penderita TBC maupun tidak, adapun cara-cara
untuk meningkatkan kesehatan terkait dengan TBC meliputi hal-hal : menghindari
factor resiko, mengelola stress, menjaga kebersihan diri (Personal higiene), nutrisi
yang seimbang, imunisasi, pemeriksaan rutin (laboratorium).
Pengetahuan penderita TBC dan keluarga pada tingkatan tahu adalah mengingat
penyebab kambuhnya batuk, tertarik menjadi tahu setelah melihat iklan obat batuk
dan dengan obat batuk tersebut gejala batuk bisa reda. Contoh dari pengetahuan
tingkat kedua (memahami) adalah mampu menjelaskan tanda dan gejala penyakit
TBC, ataupun penyakit lainya. Pengetahuan yang terkait pada aplikasi misalnya
adalah seorang penderita atau keluarga yang mampu memilih berobat secara rutin ke
puskesmas atau Balai Paru untuk pengobatan sakit TBC.
2.7.1 Epidemiologi
Di Negara industri diseluruh dunia ,angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit TBC menunjukkan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980an,grafik menetap
dan meningkat di daerah dengna prevalensi HIV tinggi. Morbiditias tinggi biasanya
terdapat pada kelompok masyarakat dengan social ekonomi rendah dan prevalensinya
lebih tinggi pada daerah perkotaan daripada pedesaan.8
Menurut hasil SKRT (survei kesehatan rumah tangga) tahun 1986 ,penyakit
tuberculosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan
ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat. SKRT tahun 1992 menunjukkan jumlah
penderita penyakit tuberculosis semakin meningkat dan menyebabkan kematian
terbanyak yaitu pada urutan kedua. Pada tahun 1999 di Jawa Tengah, penyakit
tuberculosis menduduki urutan ke-6 dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit,
sedangkan menurut SURKERNAS 2001, TBC menempati urutan ke-3 penyebab
kematian (9,4%).8
WHO memperikrakan terjadi kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di seluruh
dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun.Dari
seluruh kematian tersebut, 25% terjadi di Negara berkembang. Sebanyak 75% dari
penderita berusia 15-50 tahun (usia produktif). WHO menduga kasus TBC di
Indonesia merupakan nomor 3 terbesar di dunia setelah Cina dan India. Prevalensi
20
Page 21
TBC secara pasti belum diketahui. Asumsi prevalensi BTA(+) di Indonesia adalah
130 per 100.000 penduduk. WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi
di dunia 50% nya berasal dari Negara Negara Afrika dan Asia serta Amerika.
Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta mulai
merambah tidak hanya pada golongan social ekonomi rendah saja. Profil kesehatan
Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita TBC sebesar adalah usia
25-34 tahun (23,67%). Gambaran di seluruh dunia menunjukkan bahwa morbiditas
dan mortalitas meningkat sesuai dengna bertambahnya umur dan pada pasien berusia
lanjut ditemukan bahwa penderita laki laki lebih banyak daripada wanita. Laporan
dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230
penderita TBC BTA+ terdapat 43.249 laki-laki (56,79%) dan 32,936
perempuan(43,21%).8,9
Anak yang pernah terinfeksi TBC mempunyai risio menderita penyakit ini
sepanjang hidupnya sebesar 10%. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB
pada anak berusia 0-4 tahun adalah 19%,sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%.
Pada tahun 1998-2002 dari jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit
Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun adalah penyandang TB dengan angka
kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60
bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%. Karena sulitnya
menegakkan diagnosis TB pada anak, data TB anak sangat terbatas,termasuk di
Indonesia. Untuk mengatasi kesulitas tersebut, WHO sedang melakukan upaya
dengan cara membuat consensus diagnosis di berbagai Negara. Dengan adanya
consensus ini, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga
kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka
prevalens pastinya diketahui. Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan
hanya mencapai 70,03% dari 85% yang ditargetkan. Rendahnya angka kesembuhan
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu penderita(perilaku,karakteristik,social
ekonomi),petugas (perilaku, keterampilan) , ketersediaan obat,lingkungan,
PMO(pengawas minum obat) serta virulensi dan jumlah kuman.10
2.7.2 Interaksi host,agent dan environment
Dewasa ini wawasan mengenai diagnosis, gejala ,pengobatan dan pencegahan TBC suatu penyakit
infeksi menular terus berkembang. Sejalan dengan itu, maka perlu dipelajari faktor-faktor
penentu yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan perjalanan alamiah.8
21
Page 22
1. Periode Prepatogenesis
a. Faktor Agent ( Mycobacterium tuberculosis)
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap desinfektan
kimia atau antibiotik dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama. Kuman ini bersifat tahan asam. Pada Host ,daya infeksi dan kemampuan tinggal
sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan
daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host . Sifat resistensinya
merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi
moderm,sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi.
Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi
kongenitalyang jarang terjadi. Bila agen penyebab penyakit dengan pejamu berada dalam
keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat. Perubahan
keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit. 8,11
b. Faktor lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang
besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola
sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi merupakan
hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya
korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan,
perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewanternak yang terinfeksi adalah berbahaya.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik.
Lingkungan fisik antara lain seperi keadaan geografis dan lingkungan tempat
tinggal. Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan
penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan
perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet
yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara berkaitran dengan
penularan penyakit. Rumah denan ventilasi yang baik akan menyulitkan
pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan menugrai
konsentrasi kuman di udara.
22
Page 23
Lingkungan nonfisik meliputi social, budaya, ekonomi dan politik.
Lingkungan social masyarakat berpengaruh pada tingkat pengetahuan sikap
dan praktek masyarakat dalam bidang kesehatan. Kemampuan ekonomi
masyarakt biasanya tercermin pad akondisi lingkungan perumaha seperti
sarana air minum , dan kondisi rumah. Pemimpin dengan tingkat kepedulian
tinggi terhadap kesehatan masyarakat akan mendukung dalam bentuk
komitmen dari dana untuk penanggulangan penyakit. 8
c. Faktor Host
Hal yang perlu diketahui tentang pejamu meliputi karakteristik, gizi, daya tahan
tubuh, higieni , dan pengobatan. Penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan
bobot agen penyebab penyakit menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit.
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC.
Terdapat 3 puncak kejadian dankematian ; (1) paling rendah pada awal anak
(bayi) dengan orang tua penderita, (2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai
dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita, (3)
puncak sedang pada usia lanjut. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa
muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak
lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Kebiasaan sosial dan pribadi
turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan
kelalaian. Status gizi,kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan
tingkah laku sebagai mekanismepertahanan umum juga berkepentingan besar.
Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksiprimer memberikan beberapa resistensi,
namun sulit untuk dievaluasi.8,11
2. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)
Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi
dan pencernaan Host .Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian
berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis.
Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent,Host dan
Lingkungan.
Pada rantai penularan atau skema diatas, prinsip memutuskan rantai penularan
penyakit menular adalah memotong garis penghubung di antara host-agent-
23
Page 24
environment dan bila penyakit diketahui ditularkan melalui vector, maka garis yang
menghubungkan vector dengan agent host dan environment juga harus diputuskan.
Sebagai contoh memutuskan garis antra agent dan host dengan melakukan imunisasi
sehingga host menjadi imun, memberikan pengobatan kepada penderita secara
adekuat sehingga terjadi konversi bakteri(+) menjadi (-) sehingga penderita menjadi
tidak menularkan lagi. Antara agent dan environment dengna melakukan sanitasi air
minum (pada diare) sehingga di dalam air tidak mengandung agent lagi. Penyehatan
lingkungan pemukiman misalnya membuat rumah sehat sehingga sinar matahari dapat
masuk , ventilasi udara yang baik dapat membuat agent menjadi tidak dapat hidup
sekaligus host juga dapat hidup secara seimbang di lingkungan yang sehat. Pada
pengobatan TBC yang terjadi adalah pasien umumnya tidak patuh minum obat yang
direncanakan selama 6 bulan, sehingga akan menimbulkan resistensi dan kekambuhan
yang lebih parah,di Puskesmas diberikan pengobatan dengan Pengawasan Minum
Obat(PMO) sehingga obat yang diberikan benar benar diminum sampai selesai.8
2.7.3 Penularan
Penyakit tuberculosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TBC batuk
dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat
bernapas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang
lain,basil tuberculosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat. Masa
inkubasinya selama 3-6 bulan.9
Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas papran dengan
sumber infeksi dan tidak berhubungan dengna faktor genetic dan faktor pejamu
lainnya. Risiko tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusaia di bawah
3 tahun , risiko rendah pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa
remaja,dewasa muda, dan usia lanjut. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran
darah,pembuluh limfe atau langsung ke orang terdekatnya.9
Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya,
sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi
lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua
kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah). Seorang penderita
24
Page 25
dengan BTA+ yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit ini.
Sebaliknya penderita dengan BTA(-) dianggap tidak menularkan. Angka risiko
penularan infeksi TBC di Amerika Serikat adalah sekitar 10/10.000 populasi. Di
Indonesia angka ini sebesar 1-3% yang berarti di antara 100 penduduk terdapat 1-3
warga yang akan terinfeksi TBC. Setengah dari mereka BTAnya akan positif(0,5%).
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular Tb. Sumber penularan adalah
orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA
sputum. Sebaliknya jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya
atua yang kontak erat harus ditelusur ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan
sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakuakn dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisikm
dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin. 18,10
2.7.4 Diagnosis dan manifestasi
Pathogenesis TB sangat kompleks ,sehingga manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberpa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah
dan virulensi kuman,sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi
imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadi infeksi. Untuk mengetahui tentang
penderita tuberculosis dengan baik harus dikenali tanda dan gejalanya. Seseorang
ditetapkan sebagai tersangka penderita tuberculosis paru apabila ditumeukan gejala
klinis utama(cardinal symptom) pada dirinya.8,10,11
Gejala utama pada tersangka TBC adalah :
Batuk berdahak lebih dari tiga minggu
Batuk berdahak
Sesak napas
Nyeri dada
2.7.5 Pengobatan TB Paru
a. Pengobatan penderita (case holding)
25
Page 26
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.
1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.1,3,5
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT
Anak : 2HRZ/4HR
1. Kategori-1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)310
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
26
Page 27
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 2.1 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/ 4H3R310
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet
Etambutol
@ 250 mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E310
27
Page 28
Berat
Badan
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hariSelama 28
hariselama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Tabel 3.1 Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E310
Berat
Badan
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E(400)
Selama 56 hariSelama 28
hariselama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
28
Page 29
Tabel 3.2 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)10
Tahap
Pengoba-
tan
Lama
Pengoba-
tan
Tablet
Isoniasid
@ 300
mgr
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Etambutol
Streptomisin
injeksi
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablet
@ 250
mgr
Tablet
@ 400
mgr
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 gr
-
56
28
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).8,9,10
OAT Sisipan (HRZE)
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan
intensif masih tetap BTA positif.
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 4. Dosis KDT Sisipan : (HRZE)
Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
29
Page 30
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 4.1. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE
Tahap
Pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr
Kaplet
Ripamfisin
@ 450 mgr
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr
Tablet
Etambutol
@ 250
mgr
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tahap
intensif
(dosis
harian)
1 bulan 1 1 3 3 28
OAT Kategori Anak
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.10
Tabel 4 Dosis OAT KDT anak10
Berat badan (kg)2 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)
4 bulan tiap hari
RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Sumber data: IDAI
Tabel 4.1 Dosis OAT Kombipak anak: 2RHZ/ 4RH 10
30
Page 31
Jenis ObatBB
< 10 kg
BB
10 – 19 kg
BB
20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Tabel 4.2 Dosis Obat Antituberkulosis pada anak10
Nama obatDosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis
maksimal
(mg per hari)
Efek samping
Isoniazid 5−15* 300 hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10−20 600 gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15−30 2000 toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15−20 1250 neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15−40 1000 ototoksik, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari.
31
Page 32
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat menganggu bioavailabilitas rifampisin.
Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (satu jam sebelum makan).10
b. Pengamatan timbulnya efek samping:
o Tubuh melemah
o Nafsu makan berkurang
o Gatal-gatal
o Sesak napas
o Mual dan muntah
o Berkeringat dingin dan menggigil
o Gangguan pendengaran dan penglihatan (biru dan merah)
efek samping obat :
o INH : neuropati perifer , hepatotoksik/hepatitis
o Rifampicin: sindrom flu, hepatotoksik
o Pirazinamid : hiperurisemia, hepatotoksik
o Etambutol : neuritis optic, nefrotoksik, ruam kulit
o Streptomisin : nefrotoksik, gangguan N.VIII
Kriteria kesembuhan :
o Pemeriksaan dahak (3x dalam seminggu) dengan hasil
negative dinyatakan sembuh tetapi bila pada akhir
pengobatan masih BTA+ maka pengobatan dilanjutkan
selama 3 bulan lagi
o Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket
pengobatan.
(Masa pengobatan intensif dan intermiten maksimal 9
bulan)
o Pencatatan dan pelaporan yang harus dilakukan oleh
puskesmas adalah register laboratorium, kartu pengobatan
32
Page 33
penderita, kartu pengenal penderita, register pengobatan,
catatan kotor penderitam data lokasi penderita per desa.
c. Evaluasi pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap dua bulan. Evaluasi hasil pengobatan setelah 2 bulan
terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. Dilakukan dengan cara evaluasi klinis yaitu menghilang
atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,
misalnya penambahan BB yang bermakan, hilangnya demam, hilangnya batuk,
perbaikan nafsu makan , dan lain lain. Apabila respons pengobatan baik,maka
pengobatan dilanjutkan.
2.7.6 Upaya Kesehatan Puskesmas
Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas, yakni
terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, puskesmas bertanggung
jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan
masyarakat, yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional
merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut
dikelompokkan menjadi dua yakni:12
a) Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit
tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan
wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:12
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan
kesehatan untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada seseorang
pasien dilakukan oleh seorang dokter secara ilmiah berdasarkan temuan-temuan
yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan.
2. Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang
diarahkan untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal melalui
kegiatan penyuluhan (induvidu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB di
Puskesmas yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada PUS (Pasangan
33
Page 34
Usia Subur) untuk ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan
bayi dan balita.
4. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular yaitu
program pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan
penular penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta).
5. Kesehatan Lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di
puskesmas untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya
sanitasi dasar, pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum termasuk
pengendalian pencemaran lingkungan dengan peningkatan peran serta masyarakat.
6. Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan,
perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan pendidikan
gizi, penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih,
Peningkatan Survailans Gizi, dan Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga/Masyarakat.9
2.7.7 Program Nasional Pemberantasan TB Paru
Pedoman Nasional Pemberantasan TB Paru
Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB,
kemitraan global dalam penanggulangan TB mengembangkan strategi sebagai
berikut: 13
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintahmaupun
swasta
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset
Adapun kegiatan P2TB dilaksanakan dengan cara penemuan dan pengobatan
pasien, perencanaan, pemantauan dan evaluasi, peningkatan SDM (pelatihan,
supervisi), penelitian, promosi kesehatan, dan kemitraan dengan lintas sector.13
Tujuan dan Target
34
Page 35
Tujuan P2TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance
(MDR),sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Kebijakan
a. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi
dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan
sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana)
b. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
c. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga
mampu memutuskan rantai penularan dan mencegahterjadinya MDR-TB
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru(RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru
Paru (BP4), Klinik Pengobatanlain serta Dokter Praktek Swasta (DPS)
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerjasama dan
kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta
dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB)
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikankepada pasien
secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya
i. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yangmemadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program
j. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dankelompok
rentan terhadap TB
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium
Development Goals (MDGs)
35
Page 36
Strategi
a. Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin
ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas
b. Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara
bertahap dan sistematis
c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melaluikegiatan
advokasi, komunikasi dan mobilisasi social
d. Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan
sumber daya.
e. Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan
supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan
2.8 Hubungan antara pekerjaan, PMO pelayanan kesehatan dan dukungan
keluarga dengan perilaku berobat pasien Tb paru
2.8.1 Perilaku Berobat
Pencapaian untuk menurunkan angka mortalitas dan mobiditas sangat diinginkan oleh
pemerintah terhadap kasus Tuberkulosis Paru. Pengobatan yang teratur dan tuntas
merupakan suatu usaha pengendalian penularan TB Paru yang telah dilakukan oleh
pemerintah melalui strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-course).
Strategi DOTS yang telah gencar dilakukan telah menunjukkan angka kesembuhan
pasien menjadi >85%. Masa pengobatan penderita TB Paru mempunyai kebiasaan
pindah berobat dengan alasan tidak ada perubahan (tidak sembuh) dan sakitnya
bertambah parah 11 . Panduan OAT jangka pendek dan peran Pengawas Menelan
Obat (PMO) merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita 6 . Walaupun
panduan obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat dengan
teratur, maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Sehingga
menyebabkan kegagalan yang dapat mengakibatkan terjadinya kemungkinan
resistensi primer kuman TB terhadap obat anti Tuberkulosis atau Multi Drug
Resistance (MDR) 10 . Tuberkulosis adalah penyakit yang mudah menular dan
menyebar melalui udara. Jika tidak diobati, setiap orang dengan TB aktif dapat
menginfeksi rata-rata 10 sampai 15 orang per tahun. Lebih dari dua miliar orang,
36
Page 37
sama dengan sepertiga dari total penduduk dunia, terinfeksi basil TB, mikroba yang
menyebabkan TB. Satu dari setiap 10 orang-orang akan menjadi sakit dengan TB
aktif dalam seumur hidupnya. Orang yang hidup dengan HIV berada pada risikoyang
jauh lebih besar. Oleh karena itu sangat diperlukan perilaku berobat yang teratur bagi
setiap penderita. Penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Batua dan Puskesmas
Tamamaung mengungkapkan bahwa dari 74 pasien TB Paru didapatkan 22 orang
yang tidak teratur dalam menjalani pengobatannya, sedanglan 52 orang teratur dalam
pengobatan. Pasien TB Paru yang tidak teratur berobat memberikan alasan yang
beragam mengapa tidak menjalani pengobatannya dengan teratur.14
2.8.2 Hubungan Pekerjaan Dengan Perilaku Berobat
Berdasarkan variabel pekerjaan, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien TB
Paru yang tidak teratur berobat lebih banyak yang memiliki pekerjaan yang
menghasilkan pendapatan untuk kebutuhan sehari-hari pasien dan keluarga sama
halnya dengan pasien TB Paru yang teratur berobat lebih banyak memiliki pekerjaan.
Hasil uji statistik (OR=0.617, LL-UL=0.221- 1.720) menunjukkan bahwa pekerjaan
bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Perdana (2008) menunjukkan bahwa
pasien TB Paru yang bekerja lebih patuh dibandingkan dengan yang tidak memiliki
pekerjaan namun tidak menunjukkan adanya hubungan dan penelitian oleh Zuliana
(2009) menemukan bahwa pekerjaan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan berobat
penderita TB Paru. Namun, menurut Philipus (1997) yang dikutip oleh Perdana
(2008) memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan
dengan keteraturan dalam berobat. Pekerjaan merupakan suatu aktifitas yang
dilakukan untuk mencari nafkah. Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang
untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk
terinfeksi TB Paru antara lain supir, buruh, tukang becak dan lain- lain dibandingkan
dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran. Penelitian yang dilakukan oleh
Arsin dkk (2004) menunjukkan bahwa jenis pekerjaan yang berisiko tinggi terpapar
kuman TB adalah sopir, buruh/tukang, pensiunan/purnawirawan, dan belum bekerja.
Penyebab pasien yang tidak bekerja cenderung tidak teratur berobat karena didasari
oleh pendapat mereka yang mengatakan bahwa berobat ke puskesmas harus
mengeluarkan biaya untuk transportasi dan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari daripada untuk pengobatan. Tetapi obat yang diberikan oleh pihak
37
Page 38
puskesmas gratis. Sehingga tidak ada alasan bagi pasien untuk tidak teratur berobat
walaupun tidak bekerja. Hendaknya pasien maupun keluarga pasien membuka usaha
kecil-kecilan untuk menambah pendapatan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.14
2.8.3 Hubungan Peran PMO Dengan Perilaku Berobat
Metode DOTS sangat berpengaruh terhadap sikap pasien terhadap keteraturan minum
obat. Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin
keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO (Pengawas Menelan Obat). Namun
dalam penelitian menemukan bahwa pengawasan langsung oleh PMO tidak berjalan
dengan seharusnya. Hasil tabulasi silang variabel peran PMO dengan perilaku pasien
TB Paru diperoleh nilai OR =3.636 yang berarti pasien TB Paru yang memiliki peran
PMO yang kurang berisiko 3.636 kali untuk tidak teratur berobat dibandingkan
dengan penderita TB Paru yang memiliki peran PMO yang baik. Jika dilihat dari nilai
upper dan lower limit (95% CI 1.225 – 10.790), maka peran PMO bermakna secara
statistik. Penelitian ini didukung oleh penelitian Sumarman dan Krisnawati (2012)
yang menemukan bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar 3.013 kali
untuk menyebabkan pasien tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir
pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memiliki peran PMO yang baik. Sama
halnya yang ditemukan oleh Sumange (2010) menemukan bahwa ada hubungan
antara peran PMO dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Dukungan sosial
oleh PMO berupa dukungan emosional meningkatkan motivasi kepada pencderita TB
Paru untuk sembuh. Peran PMO lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga
sebanyak 41 orang kemudian diikuti oleh teman sebanyak 4 orang. Pasien yang tidak
teratur secara keseluruhan (100%) memiliki PMO dari anggota keluarga tetapi tidak
berperan dengan baik. Kurangnya pemahaman akan tugas sebagai PMO sehingga
pasien TB Paru dengan peran PMO yang kurang lebih banyak tidak teratur berobat.
Tugas sebagai PMO kebanyakan dikerjakan berupa mengingatkan untuk ambil obat
dan mengawasi menelan obat, tetapi kurang melakukan tugas untuk memberikan
penyuluhan kepada anggota keluarga yang lain. 14
2.8.4 Hubungan Pelayanan Kesehatan Dengan Perilaku Berobat
Peranan petugas kesehatan dalam melayani pasien TB Paru diharapkan dapat
membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur kinerja petugas kesehatan
38
Page 39
mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan
kesehatan terhadap pasien Tuberkulosis Paru yang secara langsung atau tidak
langsung akan berpengaruh terhadap keteraturan berobat pasien yang pada akhirnya
juga menentukan hasil pengobatan. Pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak
menyatakan mendapat sikap petugas kesehatan yang baik sebanyak 13 orang (59.1%)
daripada sikap petugas kesehatan yang kurang sebanyak 9 orang (40.9%). Sedangkan
pasien yang teratur berobat lebih banyak menyatakan mendapat sikap petugas
kesehatan yang kurang sebanyak 28 orang (53.8%) daripada sikap petugas kesehatan
yang baik sebanyak 24 orang (46.2%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa petugas
kesehatan bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku berobat pasien TB Paru.
Hal ini disebabkan karena nilai OR (odds ratio)< 1 (OR=0.593). Hasil yang
ditemukan dalam penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Perdana (2008) yang mengemukakan bahwa pelayanan kesehatan berhubungan
kepatuhan berobat penderita TB Paru. Tetapi sejalan dengan penelitian
Erawatyningsih dkk (2009) dan Zuliana (2009) yang menemukan bahwa pelayanan
kesehatan tidak berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru 13,18 .
Hubungan yang saling mendukung antara pelayanan kesehatan dengan penderita TB
Paru serta keyakinan penderita terhadap pelayanan kesehatan merupakan faktor yang
penting bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatannya.14
2.8.5 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Berobat
Kegagalan pengobatan TB Paru dapat disebabkan oleh putus berobat atau terjadinya
resisten terhadap obat yang disebabkan oleh ketidakteraturan pasien dalam menjalani
pengobatannya. Keluarga merupakan orang yang dekat dengan pasien. Peran keluarga
sangat dibutuhkan dalam memperhatikan pengobatan anggota keluarganya. Sehingga
keluarga harus memberi dukungan agar penderita dapat menyelesaikan
pengobatannya sampai sembuh. Penelitian ini menemukan bahwa pasien yang tidak
teratur berobat lebih banyak ditemukan dukungan keluarga yang kurang sebanyak 14
orang (63.6%) daripada untuk kategori baik 8 orang (36.4%). Pasien yang teratur
berobat lebih banyak ditemukan dukungan keluarga yang baik sebanyak 33 orang
(63.5%) dan kategori kurang 19 orang (36.5%). Hasil tabulasi silang variabel
dukungan keluarga dengan perilaku pasien TB Paru diperoleh nilai OR=3.039 yang
berarti penderita TB Paru yang memiliki dukungan keluarga yang kurang berisiko
3.039 kali untuk tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita TB Paru yang
39
Page 40
memiliki dukungan keluarga yang baik. Jika dilihat dari nilai upper dan lower limit
(95% CI 1.079 - 8.564), maka dukungan keluarga bermakna secara statistik.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Perdana (2008)
yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
pasien TB Paru. Tetapi sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Raharno (2005)
di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan dan Tahan (2006)
menemukan bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan ketidakteraturan berobat
pasien TB Paru. Peran keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang
ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjurannya. Adanya
dukungan atau motivasi yang penuh dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku
minum obat pasien TB Paru secara teratur. Sehingga keluarga perlu berperan aktif
mendukung supaya pasien menjalani pengobatan secara teratur sampai dinyatakan
sembuh oleh petugas kesehatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan
keluarga terhadap pasien untuk teratur berobat cukup baik. Pada umumnya dukungan
keluarga yang diberikan dalam bentuk memberikan motivasi untuk teratur berobat,
bantuan dana untuk kebutuhan sehari-hari, serta bantuan transportasi untuk pasien TB
Paru. Tetapi masih ada anggota yang menghindari pasien yang menyebabkan pasien
merasa malu untuk menjalani pengobatan. Peran keluarga menentukan pasien untuk
menjalani pengobatan.14
2.9 Health Promotion & Preventive Tuberkulosis Paru
2.9.1 Health Promotion
o Penyuluhan perorangan menggunakan metode penyuluhan langsung. Materi
yang dijelaskan adalah informasi tentang TB.
o Penyuluhan kelompok menggunaka metode penyuluhan langsung dengan cara
ceramah mengenai TB. Materi penyuluhan adalah semua informasi tentang
TB.15
Materi penyuluhan :
Pengertian dan Faktor Resiko TB
40
Page 41
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Cara penularan :
• Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
• Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
• Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
• Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
• Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
• Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan :
• Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien
TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih
besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
• Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
• ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.5
41
Page 42
• Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi
positif. Risiko menjadi sakit TB
• Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
• Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
• Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
(gizi buruk).5
2.9.2 Preventif
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari
TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TB paling
efektif,walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan
mempertahankan standar kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi
spesifik dengan tujuan pencegahan TB yang meliputi yaitu :
Imunisasi Aktif,melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada
daerah dengan angka kejadiantinggi dan orang tua penderita atau beresiko
tinggi dengan nilai proteksi yang tidak absolutdan tergantung Host tambahan
dan lingkungan.
Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan
pengobatan diabetes, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
Contohnya :
- Pencegahan pada faktor penyebab tuberculosis (agent) bertujuan
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh agent tuberculosis yaitu
mycobacterium tuberkulosis serendah mungkin dengan melakukan isolasi
pada penderita tuberkulosis selama menjalani proses pengobatan.
42
Page 43
- Mengatasi faktor lingkungan yang berpengaruh pada penularan
tuberkulosis seperti meningkatkan kualitas pemukiman dengan
menyediakan ventilasi pada rumah dan mengusahakan agar sinar matahari
dapat masuk ke dalam rumah.
- Meningkatkan daya tahan pejamu seperti meningkatkan status gizi
individu, pemberian imunisasi BCG terutama anak.
- Tidak membiarkan penderita tuberculosis tinggal serumah dengan bukan
penderita karena bisa menyebabkan penularan.
- Meningkatkan pengetahuan individu pejamu (host) tentang tuberculosis
defenisi, peyebab, cara untuk mencegah penyakit tuberculosis paru seperti
imunisasi BCG, dan pengobatan tuberculosis paru.
Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus
TB yang timbul dengan 3 komponen utama yaitu Agent, Host dan Lingkungan.
Kontrol pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern
kemoterapi spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga.
Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TB
sebagai pusat, sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan
tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk
yang paling efektif. Langkah kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai
infeksi TB, dengan imunisasi TB negatif dan Chemoprophylaxis pada TB positif.
Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat
mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi
lingkungan memegang peranan terhadap epidemiologi TB. Melalui usaha pembatasan
ketidak mampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan
menghindari tekanan psikis.16
Pecegahan sekunder atau pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosis dini
dan pencegahan yang cepat untuk mencegah meluasnya penyakit, untuk mencegah
proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran
pencegahan ini ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita
(suspect) atau yang terancam akan menderita tuberkulosis (masa tunas). 6
43
Page 44
Contohnya :
- Pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru
sesuai dengan kategori pengobatan seperti isoniazid dan rifampisin.
- Penemuan kasus tuberkulosis paru sedini mungkin dengan melakukan
diagnosis pemeriksaan sputum (dahak) untuk mendeteksi BTA pada orang
dewasa.
- Diagnosis dengan tes tuberkulin
- Anamnesis baik terhadap pasien maupun keluarganya
- Melakukan foto thorax
- Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti tuberkulosis.6
Pencegahan Tersier
Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TB. Dimulai dengan
diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara
psikis, rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien,
kemudian rehabilitas ipekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya,
pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi
cacat sosial dari TB, serta penegasan perlunya rehabilitasi.16
Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi
perbedaan pengetahuan tentang TB, yaitu dengan jalan sebagai berikut :
Perkembangan media
Metode solusi problem keresistenan obat
Perkembangan obat bakterisidal baru
Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin
Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TB yang fleksibel
Studi lain yang intensif
Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TB yang terkontrol.
Pencegahan tertier atau pencegahan tingkat ketiga dengan tujuan mencegah
jangan sampai mengalami kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu
44
Page 45
penyakit atau mencegah kematian. Dapat juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah
efek fisik, psikologis dan sosial.6
- Lakukan rujukan dalam diagnosis, pengobatan secara sistematis dan
berjenjang.
- Berikan penanganan bagi penderita yang mangkir terhadapat pengobatan
- Kadang-kadang perlu dilakukan pembedahan dengan mengangkat sebagian
paru-paru untuk membuang nanah
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas
kesehatan.16
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Langkah-langkah dalam penelitian yaitu menentukan tujuan penelitian,
hipotesis, kerangka teori dan kerangka konsep, variabel, definisi operasional, desain
penelitian, subjek penelitian, alat ukur, pengolahan data, kesimpulan dan laporan.
Pada kasus ini usulan penelitiannya ialah faktor-faktor apa yang mempengaruhi
kepatuhan pasien tb paru dalam meminum obat sehingga diperlukan beberapa data
sampel dari suatu populasi yang diambil sampel untuk dilakukan penelitian dan dicari
apa penyebab tidak patuhnya pasien meminum obat apakah ada hubungannya dengan
pekerjaan,PMO pelayanan kesehatan ataupun dukungan keluarga. Angka TBC di
Indonesia cukup tinggi menduduki posisi 3 di dunia oleh karena itu diperlukan
perhatian pemerintah dalam menangani kasus TB di masyarakat dalam bentuk
pelayanan di puskesmas atau pelayanan kesehatan agar programnya dapat terlaksana
dan pasien yang telah mendapat regimen pengobatan dapat patuh meminum obat
sehingga angka MDR tidak meningkat.
45
Page 46
DAFTAR PUSTAKA
1. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
h.83-113.
2. Arifin Z. Dasar-dasar penulisan karya ilmiah. Jakarta: Gramedia Wigiasarana
Indonesia;2008.h. 56-57.
3. Suyanto. Metodologi dan aplikasi penelitian keperawatan. Jakarta: Nuha
Medika; 2011.h.22-26.
4. Nazir M. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia:2009.h.25,149-160.
5. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed-3. Jakarta:
Sagung seto; 2008.h. 59-61, 255-261.
6. Azwar A, Prihartono J. Metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan
masyarakat. Jakarta: Binarupa akara;2005.h. 23-24.
7. Budiharto. metodologi penelitian kesehatan gigi. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2011.h.1-47.)
8. Widoyono.Penyakit
Tropis,Epidemiologi,Penularan,Pencegahan&Pemberantasan. Jakarta: Penerbit
Erlangga;2008.h.1-21.
9. Ranuh IGN,Suyitni H,Hadinegoro SRS,Kartasasmita CB,
Ismoedijanto.Pedoman imunisasi di Indonesia.ed 3.Jakarta:Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia;2008.4-5,131.
10. Rahajoe N Nastiti,Basir Darfioes, MS Makmuri, Kartasasmita CB.Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak.ed 2.Jakarta:UKK Respirologi PP IDAI;2007.3-
5,25-41,53-7,63-5.
11. Waloejono K .Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di
Puskesmas.Magelang:Balai Pelatihan Kesehatan;2000.120-3.
12. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Kerja Puskesmas Jilid I. Jakarta: Bakti
Husada;1991.h.B1-6, C2-4.
13. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis,
Budiman Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta
Nirmala. – Jakarta : EGC, 2009.
46
Page 47
14. Amelda,Ridwan,Leida (2012). “Hubungan antara Pekerjaan,PMO,Pelayanan
Kesehatan,Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat
Pasien TB Paru”. Jurnal Epidemiologi.h.7-10.
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Standar Penanggulangan Penyakit
Tuberkulosis:Jakarta;2002.
16. Merryani Girsang. Pengobatan Standar Penderita TBC. Cermin Dunia
Kedokteran:2000; 13: 6-8.
47