KOMODIFIKASI KEMISKINAN DI TELEVISI (Analisis Wacana Kritis pada Tayangan Orang Pinggiran di TRANS 7) Dian Sri Mulyani 1 , Widyo Nugroho 2 Fakultas Komunikasi Universitas Gunadarma 1) , AkommRTVi Global Media 2) E-mail : [email protected]1) , [email protected]2 ) Abstrak Saat ini, semakin sulit memisahkan eksistensi televisi dari kehidupan kita. Komodifikasi dalam kaitannya dengan tayangan televisi adalah tayangan televisi yang dijadikan sebuah produk yang awalnya memiliki nilai yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan sosial, diubah menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dihasilkan di pasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kritis komodifikasi kemiskinan dalam program dokumenter Orang Pinggiran di Trans 7. Metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA) Norman Fairclough, digunakan sebagai alat analisa penelitian ini. Pada level teks, metode semiotika dari Ferdinand de Saussure. Pada level discourse practice, dan pada level sociocultural practice, peneliti melakukan pelacakan literatur terkait dengan keberadaan tayangan Orang Pinggiran. Hasil penelitian ini menunjukkan dalam tayangan Orang Pinggiran tersebut terjadi komodifikasi atas kemiskinan, baik komodifikasi isi, pekerja dan khalayak. Proses komodifikasi ini melibatkan 3 point utama yang saling berhubungan yaitu terkait dengan industri media, khalayak dan pengiklannya. Industri media menggunakan program mereka untuk membangun khalayak sehingga menghasilkan rating tinggi, dengan rating tinggi tersebut media mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari para pengiklan yang mengiklankan barang dagangannya di sela-sela program tersebut. Maka, jika dikejar ke pangkalnya, khalayak itulah yang punya kekuatan besar untuk memaksa televisi berubah. Di sinilah perlunya menjadi khalayak yang kritis dan tak henti menyampaikan kritik untuk perbaikan acara-acara televisi tersebut. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KOMODIFIKASI KEMISKINAN DI TELEVISI (Analisis Wacana Kritis pada Tayangan Orang Pinggiran di TRANS 7)
Dian Sri Mulyani1, Widyo Nugroho2
Fakultas Komunikasi Universitas Gunadarma1), AkommRTVi Global Media2)
Saat ini, semakin sulit memisahkan eksistensi televisi dari kehidupan kita. Komodifikasi dalam kaitannya dengan tayangan televisi adalah tayangan televisi yang dijadikan sebuah produk yang awalnya memiliki nilai yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan individu dan kebutuhan sosial, diubah menjadi produk yang nilainya ditentukan oleh apa yang dapat dihasilkan di pasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis secara kritis komodifikasi kemiskinan dalam program dokumenter Orang Pinggiran di Trans 7. Metode kualitatif dengan analisis wacana kritis atau critical discourse analysis (CDA) Norman Fairclough, digunakan sebagai alat analisa penelitian ini. Pada level teks, metode semiotika dari Ferdinand de Saussure. Pada level discourse practice, dan pada level sociocultural practice, peneliti melakukan pelacakan literatur terkait dengan keberadaan tayangan Orang Pinggiran. Hasil penelitian ini menunjukkan dalam tayangan Orang Pinggiran tersebut terjadi komodifikasi atas kemiskinan, baik komodifikasi isi, pekerja dan khalayak. Proses komodifikasi ini melibatkan 3 point utama yang saling berhubungan yaitu terkait dengan industri media, khalayak dan pengiklannya. Industri media menggunakan program mereka untuk membangun khalayak sehingga menghasilkan rating tinggi, dengan rating tinggi tersebut media mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari para pengiklan yang mengiklankan barang dagangannya di sela-sela program tersebut. Maka, jika dikejar ke pangkalnya, khalayak itulah yang punya kekuatan besar untuk memaksa televisi berubah. Di sinilah perlunya menjadi khalayak yang kritis dan tak henti menyampaikan kritik untuk perbaikan acara-acara televisi tersebut.
Kata Kunci : Komodifikasi, Kemiskinan, Televisi
1. Pendahuluan
Saat ini, semakin sulit memisahkan eksistensi televisi dari kehidupan kita. Dari mulai
bangun pagi sampai menjelang tidur, dari rumah sampai kantor, dari desa sampai kota,
televisi senantiasa hadir ditengah – tengah kita. Televisi juga menjadi teman setia dari
berbagai lapisan usia, pendidikan, atau strata ekonomi. Menonton televisi sudah menjadi
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Fungsinya yang banyak dianggap sebagai media
tingginya angka kematian bayi dan anak – anak, rendahnya umur harapan hidup dan
rendahnya tingkat pendidikan yang semuanya merupakan indikator kesejahteraan. Hal ini
menunjukkan bahwa masalah kemiskinan bersifat multidimensional. Maka dari itu, apabila
ingin menggambarkan dan menjelaskan tentang kemiskinan haruslah secara keseluruhan,
tidak bisa secara terpotong – potong.
Pengambilan gambar, narasi maupun backsound tentunya sudah di atur sedemikian rupa
untuk menceritakan narasumber tersebut merupakan orang yang sangat miskin. Dengan narasi
yang merepresentasikan bagaimana keluarga miskin tersebut menjalani hidup dengan
penghasilan yang minimal, menempuh hidup dengan sangat memprihatinkan. Berbagai objek
kemiskinan diikutsertakan, digambarkan keluarga miskin yang sehari – harinya menjalani
hidup dengan serba pas-pasan. Bekerja keras demi melanjutkan kehidupan keluarga dengan
9
pekerjaan yang upahnya tidak menentu. Representasi kemiskinan ini juga memberitahukan
kepada kita, bagaimana masa – masa sulit yang dihadapi oleh sebuah keluarga tersebut
dimana anak mereka yang terancam tidak melanjutkan sekolah karena pendapatan orang
tuanya tidak mendukung. Dari proses representasi tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa
kemiskinan direduksi menjadi komoditas.
Dengan tanda kemiskinan yang dibawanya, seolah – olah semua adegan yang ada dalam
tayangan tersebut seperti nyata tanpa rekayasa, layaknya memainkan drama yang tragis dan
mengharukan. Hal ini dilakukan dengan berbagai teknik produksi, dari mulai pengambilan
gambar, pilihan musik, narasi, pencahayaan dan berbagai teknik lainnya, hingga semua itu
dapat terjalin hingga membentuk cerita secara audio – visual.
Dalam tayangan ini setelah memaparkan kemiskinan yang di alami sang narasumber,
tak ada upaya untuk merubah nasib narasumber itu sendiri. Tidak adanya solusi untuk sang
narasumber agar keluar dari masalah kemiskinan yang membelenggunya. Kemiskinan
dimanfaatkan oleh pihak produksi untuk dijadikan komoditi. Setelahnya, kemiskinan kembali
merundung keluarga tersebut. Pihak produksi seakan tak peduli tentang kemiskinan tersebut,
yang hanya mereka pikirkan adalah bagaimana kemiskinan itu bisa ditayangkan dan
mendapatkan ratting dan share yang tinggi. Walaupun ada upah atas jasa narasumber yang
menceritakan kemiskinannya, itu sangat tak seberapa. Sang narasumber tidak mengetahui
keuntungan berpuluh kali lipat yang pihak produksi dapatkan dibalik cerita kemiskinannya
tersebut.
Ketika program tayangan bertemakan kemiskinan digarap oleh berbagai stasiun televisi
untuk menarik pengiklan, maka persoalan tersebut merupakan sebuah praktik komodifikasi
terhadap objek tanda kemiskinan. Dengan permainan tanda kemiskinan tersebut, stasiun
televisi mendapat keuntungan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terjadi pada media
10
televisi, namun menjadi fenomena umum pada tiap industri kapitalis. Disana ada segelintir
elit yang mengeruk keuntungan dari suatu permainan ini.
1.3. Komodifikasi Pekerja
Komodifikasi pekerja terlihat pada proses produksi tayangan, dimana dari 11 orang
dalam tim yang terjun kelapangan untuk melakukan syuting hanya tiga orang saja yang terdiri
dari seorang reporter dan dua camera person. Hal tersebut dikarenakan untuk efisiensi biaya
dan waktu, biaya akan semakin tinggi apabila lebih banyak orang yang terjun kelapangan.
Komodifikasi pekerja pun terlihat dalam memproduksi tayangan adanya double job
yang dilakukan tim produksi. Apabila kita amati dalam credit tittle di akhir tayangan, akan
kita lihat Nurul Qoyimah selain sebagai produser Orang Pinggiran, beliau juga merangkap
sebagai narator. Hal tersebut dikarenakan memanfaatkan latar belakang pendidikannya yang
berasal dari dunia radio sehingga beliau sudah sangat terbiasa untuk menjadi dubber.
Ketika peneliti menanyakan tentang bayaran yang Nurul Qoyimah dapat dari double job
tersebut, beliau menolak apabila mendapat bayaran sebagai narator/dubber. Beliau hanya
mendapatkan gaji/bayaran sebagai produser. Nurul menegaskan dengan dirinya merangkap
sebagai narator dapat meminimalisir pengeluaran biaya produksi daripada harus menyewa
atau membayar dubber lain untuk menjadi narator.
Dari kedua hal diatas, telihat sangat jelas bahwa disini terjadi komodikasi pekerja,
dimana terjadi pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal untuk melakukan tugas.
Hal tersebut di lakukan oleh pemilik media untuk menekan biaya produksi, sehingga
mendapatkan keuntungan setinggi – tingginya.
Ketika peneliti menanyakan berapa keuntungan yang didapat, mereka sangat tertutup
sekali dan enggan menjawabnya, berdalih masalah keuntungan yang mengurus bagian
marketing. Namun dengan sedikit desakan dari peneliti, akhirnya Nurul Qoyimah mengiyakan
11
bahwa keuntungan yang didapat sekitar 1-2 Milyar rupiah per satu episodenya. Jumlah yang
begitu fantastis mengingat kecilnya jumlah biaya produksi. Dalam memproduksi tayangan
Orang Pinggiran per satu episodenya hanya berkisar 20 juta rupiah, sudah termasuk biaya
syuting, akomodasi, upah fixer, upah narasumber dan menyewa kamera. Dengan adanya
komodifikasi pekerja membuat biaya produksi rendah dan menghasilkan keuntungan yang
tinggi.
Dalam tayangan Orang Pinggiran, peran Narasumber sangatlah penting. Bisa dikatakan
Narasumber adalah jantungnya dari tayangan Orang Pinggiran. Dalam satu episodenya,
tayangan ini mengulas kemiskinan dari satu narasumber, baik dari segi pekerjaan, penghasilan
maupun tempat tinggalnya. Dengan peran Narasumber yang begitu penting, ternyata upah
yang didapat narasumber sangat tidak sesuai. Upah yang didapat narasumber hanya 1 juta
rupiah saja yang memakan waktu 3 – 4 hari syuting.
4.3 Komodifikasi Khalayak
Relasi segitiga antara industri media, khalayak dan pengiklan nampaknya semakin tidak
terelakkan dalam industri media. Antara iklan, ratting dan khalayak rupa – rupanya terdapat
suatu korelasi. Semakin banyak khalayak menonton suatu program acara televisi, semakin
tinggi ratting program itu, maka semakin banyak iklan yang dapat diraup. Kenyataan
demikian nampak jelas dalam industri media yang berlangsung hingga saat ini.
Dari hasil analisis yang telah kita bahas sebelumnya, dapat kita lihat bahwa pihak
produksi nampaknya sudah berhasil mengemas tayangan Orang Pinggiran sedemikian rupa
agar menarik perhatian dan emosi khalayak. Tayangan ini dikemas sedemikian rupa mulai
dari alur cerita yang drama, backsound yang melow dan ekspresi narasumber yang
menceritakan seolah – olah bahwa ia adalah orang yang paling menderita. Dapat dikatakan,
12
dengan kemasan tayangan yang seperti itu menjadikan hal tersebut sebagai nilai jualnya untuk
menarik emosi khalayak.
Dari kedua informan tersebut yang juga sebagai khalayak Orang Pinggiran, DNZ
mengaku tidak begitu intens menonton tayangan tersebut, namun cukup mengikuti
perkembangan dari tayangan tersebut. Berbeda dengan DNZ, NN mengaku sangat sering
menonton tayangan Orang Pinggiran kerena tertarik dengan isi tayangan tersebut.
Tim produksi mengemas tayangan Orang Pinggiran secantik mungkin dengan segala
trik yang mereka gunakan sebagai nilai jual, yang bertujuan untuk menarik perhatian, emosi
dan perasaan khalayak. Khalayak yang tertarik, secara tidak langsung akan menonton
tayangan tersebut dan mengikuti perkembangannya. Dengan banyaknya khalayak yang
menonton tayangan tersebut, akan dipastikan ratting & share yang didapat tayangan tersebut
akan tinggi. Mereka gunakan ratting & share tinggi tersebut sebagai lahan yang empuk untuk
para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya. Posisi khalayak menjadi sangat penting
dan memiliki potensi ekonomi yang besar. Sebagai khalayak massa kita tidak hanya
menyimpan jutaan dan milyaran rupiah dalam kantung para pemilik media, tetapi kita juga
secara tidak langsung membayar upah para pekerja dalam industri media dan para
pengiklannya.
Tidak dapat dipungkiri, jumlah media massa kian lama, kian meningkat. Hal ini
membuat antar stasiun-stasiun televisi yang ada di Indonesia bersaing ketat memperebutkan
khalayak dan pengiklan. Sebagai industri media, keberadaan televisi sangat bergantung pada
khalayak. Dengan kata lain, saat seluruh pendapat televisi ditopang sepenuhnya oleh iklan,
maka pemasangan iklan dalam suatu program ditentukan dari banyaknya khalayak yang
menyukai program tersebut. Semakin sedikit khalayak yang menggemari program di televisi,
semakin besar kemungkinan program tersebut tidak akan bertahan lama.
13
Disini jelas bahwa media sesungguhnya tidak hanya menciptakan konsumen (khalayak)
sebagai pasar, namun juga mengkonstruksi khalayak sebagai sebuah komoditas yang bisa
dijual dan mendatangkan keuntungan. Khalayak yang menjadi komoditas inilah yang
dipasarkan oleh industri media kepada pengiklan. Khalayak sendiri hanya dapat mengonsumsi
media, termasuk mengonsumsi pesan iklan. Inilah yang pada akhirnya memengaruhi khalayak
membelanjakan uang mereka untuk membeli produk yang diiklankan di televisi.
Sistem ratting & share yang di terapkan oleh media selama ini sesungguhnya
merupakan proses komodifikasi khalayak. Dalam sistem ratting & share sebenarnya bukan
program tersebut yang dijual, melainkan khalayak media itu sendiri. Dengan kata lain, ratting
& share sesungguhnya tidak lebih dari jual – beli khalayak. Ketika ratting & share diangkat
sebagai patokan sebuah program layak atau tidak, maka yang terjadi adalah komodifikasi
khalayak.
Namun dari kedua informan tersebut, mereka adalah contoh khalayak yang cerdas.
Mereka tidak serta merta menerima apa yang tayangan tersebut sampaikan, mereka lebih
mencerna dahulu isi kontennya. Hal tersebut dapat kita lihat dari tanggapan mereka tentang
tayangan Orang Pinggiran. Dari kedua informan tersebut dapat kita simpulkan bahwa
masyarakat sudah mulai kritis terhadap isi tayangan Orang Pinggiran.
2. Kesimpulan
Dalam hal bisnis industri pertelevisian hal – hal yang rawan terjadi adalah kemungkinan
dipermainkannya kebenaran dan terjadinya manipulasi. Dalam hal kasus diatas merupakan
sebuah praktik komodifikasi terhadap kemiskinan. Kemiskinan direduksi sebagai komoditas,
dilebih – lebihkan atau di manipulasi sehingga dapat menyita perhatian publik, tujuannya
untuk mendapatkan rating tinggi dan pemasukan tariff iklan juga tinggi sehingga institusi
media mendapatkan keuntungan yang besar.
14
Produksi tanda kemiskinan dipertukarkan dalam bentuk ratting dan share yang
merupakan legitimasi dalam penentuan tariff iklan di sela tayangan. Lagi – lagi dengan dalih
kepentingan ekonomi yang menjadi acuan bagi pelaku bisnis industri media. Artinya, bahwa
kemiskinan dikomersialisasikan untuk kepentingan industri media televisi. Kemiskinan
sebenarnya tidak layak dijadikan alat untuk mencari keuntungan, apalgi menimbulkan efek
pengharapan orang miskin yang membuat mereka tidak produktif.
Konstruksi kemiskinan seperti ditayangkan dalam tayangan Orang Pinggiran itu
cenderung mewakili pandangan yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oelh sesuatu
di dalam diri atau di dekat orang miskin tersebut dan bukan karena faktor struktural. Meski
hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit, tapi rangkaian gambar dan narasi acara
tersebut menunjukkannya.
Tayangan Orang Pinggiran telah melakukan komodifikasi isi tentang kemiskinan, hal
tersebut dapat dilihat dari kedua episode Orang Pingiran yang peneliti analisis, terdapat 56
adegan yang merepresentasikan kemiskinan, 27 adegan episode pertama dan 29 adegan di
episode kedua. Kemiskinan yang ditampilkan sampai pada hal yang bersifat privasi
narasumber.
Trans 7 melakukan komodifikasi pekerja, hal tersebut dapat dilihat hanya 3 orang saja
yang terjun kelapangan untuk melakukan syuting dan sang produser melakukan double job
sebagai narator. Hal tersebut dilakukan untuk menekan biaya produksi serendah – rendah dan
menghasilkan keuntungan yang setinggi – tingginya.
Tema kemiskinan yang diangkat dalam tayangan Orang Pinggiran ternyata banyak
menarik perhatian khalayak. Kemiskinan yang ditampilkan dikemas sesedih mungkin, agar
menarik emosi dan perasaan penonton. Terdapat suatu korelasi antara iklan, rating dan
khalayak. Semakin banyak khalayak menonton suatu program acara televisi, semakin tinggi
rating program itu, semakin banyak iklan yang masuk, maka semakin banyak keuntungan
15
yang dapat diraup. Dengan kata lain, rating sesungguhnya tidak lebih dari jual-beli khalayak.
Ketika rating diangkat sebagai patokan sebuah program layak atau tidak, maka yang terjadi
adalah komodifikasi khalayak.
Daftar Isi
An-Naf, Jullisar. 2011. Pengentasan Kemiskinan Sebagai Sasaran Strategis dalam Pembangunan di Indonesia dalam Jurnal Madani. Edisi V, Mei 2011
Ardianto, Elvinaro dkk. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ayawaila, Gerzon R. 2009. Semi-Dokumenter Bukan Dokumenter dalam Jurnal Imaji. Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Vol 5, 2009/2010:53-59
Cahyat, Ade., Christian Gonner dan Michaela Haug. 2007. Mengkaji Kemiskinan dan Kesejahteraan Rumah Tangga: Sebuah Panduan dengan Contoh dari Kutai Barat, Indonesia. Bogor : Center for International Forestry Research
Chesney Mc, Robert W. 1998. Capitalism and The Information Age. New York: Monthly Review Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.Hanan, David. 2008. Tehnik membuat film pinggiran. Jakarta: FFTV-IKJMcQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Penerjemah: Agus
Dharma dan Aminuddin Ram. Jakarta: Erlangga.Mosco, Vincent. 1996. The Political Ekonomy of Communication. London: Sage Publication,
Inc.Rusdarti & Lesta Karolina Sebayang. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dalam Jurnal Economia. Universitas Negeri Semarang. Volume 9, Nomor 1, April 2013 : 1-9.
Sumarjo. 2011. “Efek Adegan Kekerasan Di Televisi (Kritik Atas Teori Kultivasi Gerbner)” dalam Jurnal Inovasi. Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo. Volume 8, Nomor 3, September 2011:102-114.