Irwandi Syahputra, S.H., M.H. PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI M O D U L
Irwandi Syahputra, S.H., M.H.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUMFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
M O D U L
ADAGIUM HUKUM
Het Strafrecht Zich Richt
Tegen Min Of Meer Abnormale Gedragingen
Hukum Pidana Berfungsi Untuk Melawan Kelakuan-Kelakuan Yang
Tidak Normal
i Tindak Pidana Kelautan
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya
Penulis dapat menyelesaikan Modul yang berjudul Tindak Pidana Kelautan yang
diperuntukkan bagi kegiatan pembelajaran di Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu,
membimbing, dan memberikan saran-saran serta arahan dalam proses
penyelesaian modul ini, khususnya kepada yang saya hormati:
1. Bapak Prof. Dr. Agung Dharma Syakti, S.Pi, DEA selaku Rektor Universitas
Maritim Raja Ali Haji;
2. Bapak Dr. Oksep Adhayanto, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik;
3. Ibu Marnia Rani, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
4. Bapak Irman, S.H., M.H., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
5. Bapak Dr. (Cand). Endri, S.H., M.H., Ibu Ayu Efritadewi, S.H., M.H., dan
Ibu Heni Widiyani, S.H., M.H., selaku dosen di Departemen Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
6. Keluarga Besar Program Studi Ilmu Hukum
7. Seluruh Staf di lingkungan Universitas Maritim Raja Ali Haji
8. Bapak Letkol Laut (KH) Deni Nugraha, S.H, M.H., M.M., M.Tr. Hanla,
selaku Kadiskum Lantamal IV Tanjungpinang
9. Bapak Letda Laut (KH) Adji Puspa Negara, S.H., selaku Paur TU Diskum
Lantamal IV
10. Bapak Iptu Ardian, S.H. selaku Kasat Pol Air Polres Tanjungpinang
11. Bapak Amiruddin, selaku Kasubseksi Intelijen Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tanjungpinang
12. Bapak Ribut, selaku Kasubseksi Penindakan dan Sarana Operasi Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tanjungpinang
13. Della Monika, S.H., M.kn, selaku bidang Layout Isi
14. Razil, S.H, selaku bidang Desain Sampul
15. Deni Crysyanto Tampubolon dan M. Reza Irawan Meliala, selaku Mahasiswa
yang mendampingi dalam pencarian data-data ke instansi terkait
16. Seluruh mahasiswa di Departemen Hukum Pidana Program Studi Ilmu
Hukum
Modul Tindak Pidana Kelautan ini pada dasarnya merupakan bahan tayang
perkuliahan yang penulis persipkan untuk mata kuliah tindak pidana kelautan di
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji yang telah melalui
proses dengan penambahan dan penyempurnaan guna melengkapi materi dibidang
Tindak Pidana Kelautan.
ii Tindak Pidana Kelautan
Penulis menyadari bahwa modul ini masih jauh dari kata sempurna. Agar
modul ini menjadi lebih sempurna, penulis berharap masukan dan saran yang
membangun guna mengoreksi segala kekurangan yang ada pada buku Tindak
Pidana Kelautan ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga modul ini dapat
bermanfaat bagi mahasiswa maupun semua pihak yang menggunakan modul ini
sebagai pedoman bagi ilmu pengetahuan dibidang tindak pidana kelautan. Akhir
kata, kiranya Allah Subhana wata’ala melimpahkan kebaikan dan kasih sayang
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian, sehingga dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin yaa Robbal’alamiin.
Nuun Wal Qolami Wama Yasthuruun
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tanjungpinang, Oktober 2020
Penyusun,
Irwandi Syahputra
iii Tindak Pidana Kelautan
Daftar Isi
Halaman Pengesahan
Prakata……………………………………………………………………………………
Daftar Isi…………………………………………………………………………………
Rencana Pembelajaran Semester (RPS)………………………………………………….
i
iii
iv
BAB I PEMAHAMAN DASAR TINDAK PIDANA KELAUTAN…………...
1. Pengertian Laut dan Hukum Laut……………………………………..
2. Konsepsi Hukum Laut………………………………………………….
3. Jenis-Jenis dan zonasi Laut…………………………………………….
4. Pengertian Hukum Laut dan Tindak Pidana Kelautan…………………
5. Pembagian Delik dalam Hukum Pidana……………………………….
6. Sumber Hukum terhadap Tindak Pidana Kelautan dan jenis Tindak
Pidana Kelautan secara umum…………………………………………
1
2
2
2
3
4
4
BAB II PEROMPAKAN BERSENJATA ATAU PEMBAJAKAN DI LAUT...
1. Tinjauan mengenai Perompakan bersenjata atau Pembajakan…………
2. Yurisdiksi yang dimiliki oleh negara berdaulat dan pemberlakuan asas
Hukum………………………………………………………………….
3. Kejahatan Pelayaran dalam KUHP……………………………………..
7
8
16
16
BAB III KEJAHATAN PENYELUNDUPAN MELALUI JALUR LAUT
(SMUGGLING)……………………………………………………..........
1. Pengertian penyeludupan dan menurut pendapat para ahli…………….
2. Jenis-jenis Tindak pidana Penyeludupan………………………………
3. Faktor-faktor pendorong terjadinya Penyeludupan……………………
4. Ketentuan Pidana terhadap kejahatan Penyeludupan…………………..
5. Penyeludupan Manusia (Human Smunggling)…………………………
19
20
21
22
23
26
BAB IV TINDAK PIDANA DI BIDANG PELAYARAN………………………..
1. Pengertian Pelayaran dan jenis angkutan……………………………….
2. Asas dan Tujuan Pelayaran……………………………………………..
3. Sanksi Administrasi…………………………………………………….
4. Ketentuan Pidana dalam KUHP dan di luar KUHP……………………
5. Penegak Hukum………………………………………………………...
30
31
33
34
35
38
BAB V TINDAK PIDANA PENCEMARAN LAUT……………………………
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Lingkungan Hidup……………………….
2. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Pencemaran Laut……..
3. Sumber dan Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Laut…………………
4. Sanksi Pidana terkait dengan Pencemaran Laut………………………...
40
41
42
43
45
iv Tindak Pidana Kelautan
5. Kasus dan Penyelesaian Hukum………………………………………...
6. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup………………………………….
47
50
BAB VI TINDAK PIDANA BENDA CAGAR BUDAYA DI BAWAH
PERMUKAAN LAUT……………………………………………………
1. Pengertian Cagar Budaya……………………………………………….
2. Asas dan Tujuan Pelestarian Cagar Budaya……………………………
3. Pemilikan Dan Penguasaan Benda Cagar Budaya……………………...
4. Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya………………………………………………….
5. Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga
Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam…………………………………..
6. Perburuan Cagar Budaya Di Laut Bintan Dari Masa Ke Masa………...
52
53
54
56
56
58
59
BAB VII TINDAK PIDANA TERHADAP PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL………………………………..
1. Pengertian, Asas dan Tujuan…………………………………………...
2. Pemanfaatan dan Hak Atas Pulau-Pulau Kecil…………………………
3. Tindak Pidana Terhadap Trumbu Karang dan Mangrove……………...
4. Tindak Pidana Penambangan Pasir, Mineral, Minyak dan Gas………...
5. Tindak Pidana Reklamasi………………………………………………
62
63
67
69
70
71
BAB VIII TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER DAYA HAYATI DAN
EKOSISTIMNYA…………………………………………………………
1. Pengertian dan Kegiatan Konservasi Sumber Daya Hayati Dan
Ekosistimnya……………………………………………………………
2. Asas dan Tujuan………………………………………………………...
3. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar…………………………
4. Ketentuan Larangan dan Pengecualian…………………………………
5. Satwa Laut yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dan
Peraturan Menteri……………………………………………………….
6. Ketentuan Pidana……………………………………………………….
7. Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistimnya di
Kepulauan Riau…………………………………………………………
73
74
75
75
76
77
79
83
BAB IX TINDAK PIDANA DI ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA...
1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia…………………………………….
2. Kedaulatan di ZEEI dalam UNCLOS 1982…………………………….
3. Hak Berdaulat, Hak-Hak Lain Dan Yurisdiksi Republik Indonesia Di
Zona Ekonomi Eksklusif………………………………………………..
4. Wewenang Penegak Hukum……………………………………………
85
86
88
89
91
v Tindak Pidana Kelautan
5. Ketentuan Pidana………………………………………………………. 92
BAB X TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN DI PERAIRAN...........................
1. Pengertian Dan Kebijakan Selektif……………………………………..
2. Izin Tinggal Terbatas Perairan………………………………………….
3. Subjek dan Fasilitas Izin Tinggal Terbatas Perairan……………………
4. Instansi Pemberi Rekomendasi Izin Tinggal Terbatas Perairan………..
5. Tata Cara Pemberian Izin Tinggal Terbatas Perairan…………………..
6. Persyaratan Untuk Permohonan Izin Tinggal Terbatas Perairan.............
7. Dinamika Izin Tinggal Terbatas Perairan di Masa Moratorium..............
8. Ketentuan Pidana……………………………………………………….
9. Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan Kepri………………………...
94
95
95
96
97
97
99
100
102
103
BAB XI TINDAK PIDANA PERIKANAN.............................................................
1. Dasar Pertimbangan dan Perubahan Undang-Undang Tentang
Perikanan.........................................................................................
2. Ketentuan Pidana Di Bidang Perikanan………………………………...
3. Penegakan Hukum Illegal Fishing Di Indonesia……………………….
4. Kasus-Kasus Perikanan Regional dan Nasional………………………..
106
107
112
116
122
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
RIWAYAT PENULIS.....................................................................................................
126
131
Tindak Pidana Kelautan vi
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER
MATA
KULIAH KODE
RUMPUN
MK
BOBOT
(SKS) SEMESTER
Tanggal
Penyusunan
Tindak Pidana
Kelautan
ILMU
HUKUM 2 GENAP
(VI)
1 JANUARI
2020
OTORISASI Dosen Pengembang RPS
Koordinator
RMK/Dosen
Pengembang
Ketua Prodi
Irwandi Syahputra, S.H., M.H.
Marnia Rani, S.H., M.H
Capaian
Pembelajaran
CPL-PRODI yang dibebankan pada Mata Kuliah
S-1 Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religius;
S-2 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam
menjalankan tugas berdasarkan agama,moral, dan etika
S-3 Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan kemajuan
peradaban berdasarkan Pancasila
S-4 Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta
tanah air, memiliki nasionalisme serta rasa
tanggungjawab pada negara dan bangsa
S-7 Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara
S-9 Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di
bidang keahliannya secara mandiri
P-1 Menguasai teori-teori ilmu hukum;
Tindak Pidana Kelautan vii
P-2 Menguasai sumber-sumber ilmu hukum ;
P-3 Menguasai asas-asas hukum
P-4 Menguasai konsep-konsep yang diatur dalam hukum
positif di indonesia
P-5 Menguasai teori-teori dan konsep dalam penyelesaian
sangketa hukum
KK-04
Dapat membuat pendapat hukum (legal opinion);
KK-06 Mampu memberikan konsultasi hukum;
KK-07 Mampu membangun argumentasi hukum (legal
reasoning);
KK-08 Mampu membuat karya-karya ilmiah di bidang kajian
ilmu pengetahuan hukum;
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK)
CPMK-1 Mampu memberikan definisi dan menyebutkan Istilah
dan Pengertian yang terdapat dalam tindak pidana
kelautan serta sumber hukum (S-3, P-1, P-3, P-5)
CPMK-2 Mampu menyebutkan dan menjelaskan Perompakan
bersenjata atau pembajakan di Laut (S-3, P-1, P-3, P-4)
CPMK-3 Mampu menguraikan dan menyimpulkan tentang
Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut
(Smuggling) (S-3, S-4, P-3, P-4)
CPMK-4 Mampu menguraikan dan menyimpulkan tentang Tindak
Pidana di Bidang Pelayaran (S-1, S-2, S-3, P-2, P-3, P-
5)
CPMK-5 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Pencemaran Laut (S-3, S-4, P-1, P-3, P-4)
CPMK-6 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Benda Cagar Budaya di bawah permukaan Laut (S-3, S-
9, P-1, P-4)
CPMK-7 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (M-11)
CPMK-8 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistimnya (M-
Tindak Pidana Kelautan viii
11)
CPMK-9 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (S-2, S-3, P-1, P-3,
P-5)
CPMK-10 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Keimigrasian di Perairan (S-2, S-3, P-1, P-3, P-5)
CPMK-11 Mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Perikanan dan Perubahan Undang-undang (S-2, S-3, P-
1, P-3, P-5)
CPMK-12 Mampu menerangkan dan menguraikan Penegak
Hukum Di Bidang Perikanan (S-2, S-3, P-1, P-3, P-5)
CPMK-13 Mampu menerangkan dan menguraikan Penegakan
Hukum di Bidang Perikanan dan kasus-kasus
perikanan(S-2, S-3, P-1, P-3, P-5)
Sub-CPMK
Sub-CPMK-1 Mahasiswa mampu memberikan definisi dan
menyebutkan Istilah dan Pengertian yang terdapat dalam
tindak pidana kelautan serta sumber hukum (M-1 dan
M-2)
Sub-CPMK-2 Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan
Perompakan bersenjata atau pembajakan di Laut (M-3
dan M-4 )
Sub-CPMK-3 Mahasiswa mampu menguraikan dan menyimpulkan
tentang Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut
(Smuggling)(M-5)
Sub-CPMK-4 Mahasiswa mampu menguraikan dan menyimpulkan
tentang Tindak Pidana di Bidang Pelayaran (M-6)
Sub-CPMK-5 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Pencemaran Laut (M-6)
Sub-CPMK-6 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Benda Cagar Budaya di bawah
permukaan Laut (M-10)
Sub-CPMK-7 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (M-11)
Tindak Pidana Kelautan ix
Deskripsi Singkat
MK
Mata kuliah ini membahas tentang tindak pidana kelautan, untuk
membekali mahasiswa dengan pengetahuan tentang segala peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan tindak pidana di laut,
kejahatan-kejahatan yang terjadi dilaut serta penegakan hukum, mata
kuliah ini juga berpedoman terhadap prosedur ketetapan (Protap)
dalam penegakan hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Bahan Kajian : 1. Istilah dan Pengertian yang terdapat dalam tindak pidana
kelautan serta sumber hukum
2. Perompakan bersenjata atau pembajakan di Laut
3. Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut (Smuggling)
4. Tindak Pidana di Bidang Pelayaran
5. Tindak Pidana Pencemaran Laut
6. Tindak Pidana Benda Cagar Budaya di bawah permukaan
Laut
7. Tindak Pidana Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
8. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistimnya
9. Tindak Pidana di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
10. Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan
11. Tindak Pidana Perikanan dan Perubahan Undang-undang
12. Penegak Hukum Di Bidang Perikanan
13. Penegakan Hukum di Bidang Perikanan
Materi
Pembelajaran
Sub-CPMK-8 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistimnya (M-11)
Sub-CPMK-9 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (M-
11)
Sub-CPMK-10 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan (M-11)
Sub-CPMK-11 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Tindak Pidana Perikanan dan Perubahan Undang-
undang (M-11)
Sub-CPMK-12 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Penegak Hukum Di Bidang Perikanan (M-11)
Sub-CPMK-13 Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan
Penegakan Hukum di Bidang Perikanan dan kasus-kasus
perikanan (M-11)
Tindak Pidana Kelautan x
14. Kasus-Kasus Perikanan Regional dan Nasional.
Pustaka Utama
1. Arief, Barda Nawawi. 1991. Upaya Non Penal dalam
Menanggulangi Kejahatan, Makalah Seminar Kriminologi UI,
Hukum UNDIP. Semarang.
2. Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
3. Gosita, Arief. 1989. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Citra Aditya Bakti. Bandung.
4. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.
5. Subagyo, Joko. 2002. Hukum Laut Indonesia. PT Rineka Cipta.
Jakarta.
6. Tribawono, Djoko. 2002. Hukum Perikanan Indonesia. PT Citra
Aditya Bakti. Bandung
7. Likiadja, Frans. E dan Bessie, Daniel, F. 1988. Hukum Laut dan
Undang-Undang Perikanan Indonesia. Ghalia Indonesia. Bandung.
8. Marpaung, Leden. 1993. Tindak Pidana Wilayah Perikanan (Laut)
Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Pendukung
1. Undang-Undang Perikanan
2. Undang-Undang Pelayaran
3. Undang-Undang Kepabeanan
4. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
5. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
6. Undang-Undang Cagar Budaya
7. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistimnya
8. Undang-Undang Keimigrasian
9. Undang-Undang Zona Ekonomi Ekslusif
Dosen Pengampu Irwandi Syahputra, S.H., MH.
Mata Kuliah Syarat
MINGGU
KE-
SUB-CP-MK (KEMAMPUAN
AKHIR YANG
DIHARAPKAN)
INDIKATOR MATERI
PELAJARAN
METODE
PEMBELA
JARAN
REFE
RENSI
(1) (2) (3) (4) (5) (9)
1 Mahasiswa mengetahui
kontrak Perkuliahan
dan mampu memahami
Pengertian, Jenis-jenis
dan zonasi Laut,
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
1. Kontrak
Mata Kuliah
2. Pendahuluan
a. Pengertian
Laut dan
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
1,2,3,4,5
, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xi
pembagian delik dalam
hukum pidana dan
sumber hukum
terhadap kejahatan
kelautan dan jenis-jenis
secara umum.
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Hukum
Laut
b. Jenis-Jenis
dan zonasi
Laut
c. Pengertian
Hukum
Laut dan
Tindak
Pidana
Kelautan
d. Pembagian
Delik
dalam
Hukum
Pidana
e. Sumber
Hukum
terhadap
Kejahatan
Kelautan
dan jenis
kejahatan
secara
umum
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
2 Mahasiswa
diharapkan mampu
memahami, mengerti
dan mengetahui
tentang Perompakan
bersenjata atau
pembajakan di Laut
dan Mahasiswa
mampu untuk
menjelaskan dan
menguraikan serta
menyimpulkan
mengenai Peraturan-
peraturan terkait
Perompakan
bersenjata atau
pembajakan di Laut
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Perompakan
bersenjata
atau
pembajakan
di Laut
1. Konsepsi
Hukum Laut
2. Laut Lepas
Berdasarkan
Unclos 1982
3. Tinjauan
mengenai
Perompakan
bersenjata
atau
Pembajakan
4. yurisdiksi
yang dimiliki
oleh negara
berdaulat dan
pemberlakuan
asas Hukum
5. Kejahatan
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xii
Pelayaran
dalam KUHP
3 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan sikap
ilmiah serta
keaktifan belajar,
Mahasiswa mampu
untuk menjelaskan
dan menguraikan
serta
menyimpulkan
mengenai
Kejahatan
Penyelundupan
Melalui Jalur Laut
(Smuggling)
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Kejahatan
Penyelundupa
n Melalui
Jalur Laut
(Smuggling)
1. Pengertian
penyeludu
pan dan
menurut
pendapat
para ahli
2. Jenis-jenis
Tindak
pidana
Penyeludu
pan
3. Faktor-
faktor
pendorong
terjadinya
Penyeludu
pan
4. Ketentuan
Pidana
terhadap
kejahatan
Penyeludu
pan
5. Penyeludu
pan
Manusia
(Human
Smungglin
g
1,2,3,4,5
, 6, 7
dan 8
4 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
Mahasiswa mampu
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
Tindak Pidana
di Bidang
Pelayaran
1. Pengertian
Pelayaran
dan jenis
angkutan
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xiii
untuk menjelaskan
dan menguraikan serta
menyimpulkan
mengenai Tindak
Pidana di Bidang
Pelayaran, dan
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
2. Asas dan
Tujuan
Pelayaran
3. Sanksi
Administra
si
4. Ketentuan
Pidana
dalam
KUHP dan
di luar
KUHP
5. Penegak
Hukum
menalar,
mengomuna
sikan)
5 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
Mahasiswa mampu
untuk menjelaskan
dan menguraikan
serta menyimpulkan
mengenai Tindak
Pidana Pencemaran
Laut, dan
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Tindak
Pidana
Pencemaran
Laut
1. Pengertian
dan Unsur-
Unsur
Lingkungan
Hidup
2. Pengertian
Pencemaran
LH dan
Pencemaran
Laut
3. Sumber dan
Jenis-Jenis
Pencemaran
Lingkungan
Laut
4. Sanksi Pidana
terkait
dengan
Pencemaran
Laut
5. Kasus dan
Penyelesaian
Hukum
6. Penegakan
Hukum
Lingkungan
Hidup
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
6 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
1. Ketepatan
dan Tindak Pidana
Benda Cagar
Saintifik
(mengamat,
1,2,3,4,
5, 6, 7
Tindak Pidana Kelautan xiv
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
Mahasiswa mampu
untuk menjelaskan
dan menguraikan serta
menyimpulkan
mengenai Tindak
Pidana Benda Cagar
Budaya di bawah
permukaan Laut dan
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Budaya di
bawah
permukaan
Laut
1. Asas
Pelestarian
Cagar
Budaya
2. Pemilikan
Dan
Penguasaa
n
3. Ketentuan
Pidana dan
Pemberata
n
Hukuman
4. Perburuan
Cagar
Budaya
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
dan 8
7 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menyatakan
pendapat atas
diskusi materi
yang ditanyakan
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Review materi
yang telah
diajarkan dari
pertemuan 1-6
dengan
berdiksusi dan
Tanya jawab.
Serta
pemberian
kisi-kisi Ujian
Tengah
Semester
(UTS)
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
8 UTS
9 Menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar , menyatakan
pendapat atas diskusi
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
Pengelolaan
Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau
Kecil
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xv
materi yang
ditanyakan,
Mahasiswa mampu
memberikan
gambaran,
menjelaskan dan
menguraikan
mengenai Tindak
Pidana Terhadap
Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil ,
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
1. Pengertian,
Asas dan
TujuanPeman
faatan dan
Hak Atas
Pulau-Pulau
Kecil
2. Tindak
Pidana
Terhadap
Trumbu
Karang dan
Mangrove
3. Tindak
Pidana
Penambangan
Pasir,
Mineral,
Minyak dan
Gas
4. Tindak
Pidana
Reklamasi
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
10 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar menyatakan
pendapat atas diskusi
materi yang
ditanyakan,
Mahasiswa mampu
menjelaskan dan
menguraikan tentang
Tindak Pidana
Konservasi Sumber
Daya Hayati dan
Ekosistimnya.
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Tindak Pidana
Konservasi
Sumber Daya
Hayati dan
Ekosistimnya
1. Asas dan
Tujuan
2. Ketentuan
larangan dan
Pengecualian
dari Larangan
3. Pemanfaatan
Jenis
Tumbuhan
Dan Satwa
Liar
Ketentuan
Pidana
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xvi
11 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar menyatakan
pendapat atas diskusi
materi yang
ditanyakan dan
Mahasiswa mampu
untuk menjelaskan,
menguraikan serta
menyimpulkan
mengenai Tindak
Pidana di Zona
Ekonomi Ekslusif
Indonesia
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Tindak Pidana
di Zona
Ekonomi
Ekslusif
Indonesia
1. Hak
Berdaulat,
Hak-Hak
Lain Dan
Yurisdiksi
2. Kegiatan-
Kegiatan Di
Zona
Ekonomi
Eksklusif
Indonesia
3. Ketentuan
Pidana dan
Penegakan
Hukum
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
12 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan
sikap ilmiah serta
keaktifan belajar
menyatakan
pendapat atas
diskusi materi
yang ditanyakan
dan Mahasiswa
mampu untuk
mengidentifikasi
mengenai Tindak
Pidana
Keimigrasian di
Perairan
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Tindak
Pidana
Keimigrasian
di Perairan
1. kebijakan
selektif
2. Jenis Izin
Tinggal
3. Izin
Tinggal
Terbatas
Di
Perairan
4. Subjek
ITAS
Perairan
5. Fasilitas
Pada Itas
6. Ketentuan
Pidana
7. Bentuk-
Bentuk
Saintifik
(mengamat,
menanya,
mengumpul
kan
informasi,
menalar,
mengomuna
sikan)
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xvii
Tindak
Pidana
Keimigras
ian
13 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan sikap
ilmiah serta
keaktifan belajar
menyatakan
pendapat atas
diskusi materi yang
ditanyakan dan
Mahasiswa mampu
untuk
mengidentifikasi
Tindak Pidana
Perikanan dan
Perubahan Undang-
undang dan Penegak
Hukum Di Bidang
Perikanan
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
1. Tindak
Pidana
Perikanan
dan
Perubahan
Undang-
undang
2. Penegak
Hukum Di
Bidang
Perikanan
Presentasi,
diskusi dan
Tanya
jawab
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
14 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya,
menunjukkan sikap
ilmiah serta keaktifan
belajar, Mahasiswa
mampu untuk
menjelaskan,
menguraikan serta
menyimpulkan
mengenai Penegakan
Hukum di Bidang
Perikanan dan
Kasus-Kasus
Perikanan Regional
dan Nasional
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
1. Penegakan
Hukum di
Bidang
Perikanan
2. Kasus-
Kasus
Perikanan
Regional
dan
Nasional
Presentasi,
diskusi dan
Tanya
jawab
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
Tindak Pidana Kelautan xviii
15 Mahasiswa mampu
Menyatakan dan
menjawab materi
pembelajaran
sebelumnya ,
menyatakan pendapat
atas diskusi materi
yang ditanyakan
1. Ketepatan
dan
kelengkapa
n dalam
penjelasan
konsep/
materi
2. Menunjukk
an sikap
yang baik
selama
proses
pembelajar
a
3. Keaktifan
selama
pembelajar
an
Review materi
yang telah
diajarkan dari
pertemuan 9-14
dengan
berdiksusi dan
Tanya jawab.
Serta pemberian
kisi-kisi Ujian
Akhir Semester
(UAS)
Presentasi,
diskusi dan
Tanya
jawab
1,2,3,4,
5, 6, 7
dan 8
16 UAS
Tanjungpinang, 1 Januari 2020
Dosen Mata Kuliah
Irwandi Syahputra, S.H., M.H
1 Tindak Pidana Kelautan
BAB I
PEMAHAMAN DASAR
TINDAK PIDANA KELAUTAN
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa Memahami aspek-aspek dasar dalam Tindak Pidana
Kelautan
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian Laut dan Hukum Laut,
Konsepsi Hukum Laut, Jenis-Jenis dan zonasi Laut, Pengertian
Hukum Laut dan Tindak Pidana Kelautan, Pembagian Delik dalam
Hukum Pidana Sumber Hukum terhadap Kejahatan Kelautan dan
jenis kejahatan secara umum
Materi 1. Pengertian Laut dan Hukum Laut
2. Konsepsi Hukum Laut
3. Jenis-Jenis dan zonasi Laut
4. Pengertian Hukum Laut dan Tindak Pidana Kelautan
5. Pembagian Delik dalam Hukum Pidana
6. Sumber Hukum terhadap Tindak Pidana Kelautan dan jenis
Tindak Pidana Kelautan secara umum
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi
Interaktif
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Menjelaskan Kontrak Perkuliahan
Menjelaskan RKPP
Menjelaskan buku bacaan/sumber belajar
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang pemahaman Dasar Tindak Pidana
Kelautan
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
2 Tindak Pidana Kelautan
C. Pemahaman Dasar Tindak Pidana Kelautan
1. Pengertian Laut dan Hukum Laut
Kata laut sudah dikenal sejak dulu kala oleh bangsa kita bahkan oleh
bangsa-bangsa dibeberapa negara lain nya. Laut merupakan bagian dari bumi
kita yang tertutup oleh air asin. Abdul Muthalib Tahar menyatakan bahwa laut
adalah sekumpulan air asin yang memiliki jumlah yang sangat luas sehingga
mampu untuk misahkan benua, pulau, dan lain sebaginya.
Laut terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi
manusia. Begitu pula hukum laut, oleh karena hukum pada umumnya adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai
anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-
anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang meluas diantara
berbagai benua dan pulau-pulau di dunia.1
2. Konsepsi Hukum Laut
Lahirnya konsepsi hukum laut tidak dapat dilepaskan dari sejarah
pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal pertarungan antara dua
konsepsi, yaitu :2
a. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama
masyarakat dunia dan oleh karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh
siapapun.
b. Res Nulius, yang menyatakan laut itu tidak ada yang memiliki dan oleh
karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing Negara.
3. Jenis-Jenis dan zonasi Laut
a. Laut Transgresi, terjadi karena genangan air laut terhadap daratan akibat
kenaikan permukaan air laut 60-70 m pada zaman berakhirnya zaman es cth.
Laut Jawa. Selat Karimata,
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,1984, hlm. 8
2 Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum laut, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1979.
hlm. 11.
3 Tindak Pidana Kelautan
b. Laut Ingresi, dasar taut mengalami gerakan menurun/turunnya tanah di dasar
taut cth. Laut Banda. Laut Flores
c. Laut Regresi, laut yang semakin menyempit karena adanya akumulasi
endapan material dari sungai yang bermuara ke sana. Cth adalah Laut Bering
di dekat Arktik
Zonasi laut termuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982 yaitu laut terbagi beberapa zonasi
yang dapat diuraikan dalam gambar berikut ini:
Gambar I.1
Zonasi Laut
4. Pengertian Hukum Laut dan Tindak Pidana Kelautan
Tindak kejahatan di laut, se-panjang eksistensi peradaban manusia, telah
mewarnai perjalanan sejarahnya yang terjadi di berbagai belahan bumi. Hukum
Laut menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro SH yaitu meliputi segala peraturan
hukum yang ada hubungan dengan laut. Jika melihat dari pengertian tindak
pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum
4 Tindak Pidana Kelautan
pidana seiring mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-
undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian tindak pidana kelautan yaitu Perbuatan-perbuatan
menimbulkan gangguan hubungan hak dan kewajiban manusia dalam hubungan
hukum serta menimbulkan kerugian terhadap sumber daya laut.
5. Pembagian Delik dalam Hukum Pidana
Tabel. I.1
Pembagian Delik dalam Hukum Pidana
Jenis Delik
Kejahatan (misdrijf)
Penjelasan KUHP : sebelum ada
UU sudah dianggap tidak baik
(recht-delicten)
Hazewinkel - Suringa: tidak ada
perbedaan kualitatif, hanya
perbedaan kuantitatif
a) Percobaan: dipidana
b) Membantu: dipidana
c) Daluwarsa: lebih panjang
d) Delikaduan: ada
KUHP : Buku II
Pelanggaran (overtreding)
Baru dianggap tidak baik setelah
ada UU (wet delicten)
Perbedaan dengan kejahatan:
a) Percobaan: tidak dipidana
b) Membantu: tidak dipidana
c) Daluwarsa: lebih pendek
d) Delikaduan: tidak ada
KUHP : Buku III
6. Sumber Hukum terhadap Tindak Pidana Kelautan dan Jenis Tindak
Pidana Kelautan Secara Umum
Sumber hukum terhadap tindak pidana kelautan dapat dilihat dari
hukum positif di Indonesia, baik diatur secara materil maupun hukum formil:
1) Hukum Materil;
5 Tindak Pidana Kelautan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistem
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Dapat dipadukan dengan KUHP
Peraturan Pemerintah
Perda
2) Hukum Formilnya:
KUHAP dan peraturan lain terkait dengan Tindak Pidana Kelautan.
Jenis Kejahatan Laut atau tindak pidana tertentu di laut dapat
dikelompokkan sebagai berikut ini:
Perompakan Bersenjata Atau Pembajakan Di Laut
Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut (Smuggling)
Tindak Pidana Di Bidang Pelayaran
Tindak Pidana Pencemaran Laut
Tindak Pidana Benda Cagar Budaya Di Bawah Permukaan Laut
6 Tindak Pidana Kelautan
Tindak Pidana Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil
Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistimnya
Tindak Pidana Di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Tindak Pidana Keimigrasian Di Perairan
Tindak Pidana Perikanan
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian laut dan hukum laut?
2. Jelaskan konsepsi hukum laut?
3. Jelasakan jenis-jenis dan zonasi laut?
4. Jelaskan pengertian hukum laut dan tindak pidana kelautan?
5. Jelaskan pembagian delik dalam hukum pidana?
6. Sebutkan sumber hukum terhadap tindak pidana kelautan dan jenis tindak
pidana kelautan secara umum?
E. Sumber Penulisan
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta.
1984.
Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum laut, Penerbit Bina Cipta,
Jakarta, 1979.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982
7 Tindak Pidana Kelautan
BAB II
PEROMPAKAN BERSENJATA
ATAU PEMBAJAKAN DI LAUT
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menyebutkan dan menjelaskan Perompakan
bersenjata atau pembajakan di Laut
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Tinjauan mengenai
Perompakan bersenjata atau Pembajakan, Yurisdiksi yang dimiliki
oleh negara berdaulat dan pemberlakuan asas Hukum dan Kejahatan
Pelayaran dalam KUHP
Materi 1. Tinjauan mengenai Perompakan bersenjata atau Pembajakan
2. Yurisdiksi yang dimiliki oleh negara berdaulat dan
pemberlakuan asas Hukum
3. Kejahatan Pelayaran dalam KUHP
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi
Interaktif, Analisis kasus
sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu pertama
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Perompakan bersenjata atau
pembajakan di Laut
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
8 Tindak Pidana Kelautan
C. Perompakan bersenjata atau pembajakan di Laut
1. Tinjauan mengenai Perompakan bersenjata atau Pembajakan
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan
sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan
bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya
menguasai seluruh lautan tengah secara mutlak. Dengan demikian
menimbulkan suatu keadaan di mana lautan tengah menjadi lautan yang bebas
dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan
lautan tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium
Roma. Pemikiran umum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas doktrin
res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia), yang memandang
penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis
omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk
kebebasan menangkap ikan.
Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman suatu negara,
atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Implikasi dari definisi
tersebut membuat laut lepas menjadi kawasan yang terbuka bagi setiap negara
dan tidak ada negara yang mengklaim bahwa kawasan tersebut berada di bawah
yurisdiksinya (Res Communis) Prinsip hukum yang mengaturrezim laut lepas
adalah prinsip kebebasan.
Menurut Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982, kebebasan tersebut
meliputi :
a. freedom of navigation;
b. freedom of overflight;
c. freedom to lay submarine cables and pipelines, subject to Part VI;
d. freedom to construct artificial islands and other installations permitted
under international law, subject to Part VI;
9 Tindak Pidana Kelautan
e. freedom of fishing, subject to the conditions laid down in section 2;
f. freedom of scientific research, subject to Parts VI and XIII.
Laut lepas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 87 UNCLOS
merupakan laut yang terbuka bagi semua negara, sehingga memungkinkan
terjadinya suatu tindak pidana pada kawasan tersebut, seperti pembajakan
kapal, perdagangan gelap dan penyiaran yang tidak sah. Perompakan bersenjata
atau pembajakan di laut merupakan kejahatan yang tertua di dunia. Bahkan,
tindakan pembajakan di laut atau dikenal dengan istilah Piracy merupakan satu-
satunya tindak kriminal murni yang ditetapkan sebagai kejahatan internasional
Berdasarkan data dari International Maritime Bureau (IMB) dalam satu
tahun ini terdapat 100 kapal yang terlibat upaya perompakan, 42 diantaranya
berhasil dibajak dan 17 diantaranya masih belum dibebaskan hingga saat ini.
Serangan pembajakan dilakukan terhadap kapal pengangkut minyak, kapal
pesiar, kapal pembawa persenjataan bahkan kapal pembawa bantuan
kemanusiaan. Hukum internasional menganggap pembajakan sebagai kejahatan
terhadap umat manusia (homo homini lupus).
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Pidana Internasional
II” Romli Atmasasmita menyatakan bahwa: “international crimes adalah
kejahatan yang termasuk yurisdiksi ICC, seperti genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi (Pasal 5 Statuta ICC), dan beberapa
kejahatan lain seperti pembajakan di laut
Pada pertemuan internasional ARF Expert Group Meeting On
Transnational Crime yang diselenggarakan di Seoul tanggal 30-31 Oktober
2000 membahas permasalahan tentang pembajakan, migrasi ilegal dan
perdagangan gelap senjata kecil dan ringan, dimana hasil dari pertemuan ini
menyatakan bahwa pembajakan yang semakin meningkat, merupakan suatu
kejahatan transnasional yang berdampak pada keamanan regional. Prinsip
pemberantasan perompakan ini juga ditegaskan oleh pasal 100 Konvensi yang
meminta agar negara-negara bekerjasama sepenuhnya dalam pemberantasan
10 Tindak Pidana Kelautan
perompakan di laut lepas atau tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu
negara
Pasal 101 UNCLOS 1982 bahwa “Piracy” itu dapat berupa setiap
tindakan kekerasan atau penahanan, atau setiap tindakan pembinasaan yang
dilakukan untuk kepentingan pribadi, oleh awak kapal atau penumpang sebuah
kapal atau pesawat udara swasta, dan kejadian tersebut terjadi di laut lepas, atau
di luar yurisdiksi suatu negara, dan tentang pembajakan (Piracy) itu sendiri
diatur dalam Pasal 100 sampai 107 konvensi. Jadi, apabila tindakan tersebut
terjadi di perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial suatu
negara maka tindakan tersebut bukan tergolong “piracy” melainkan sea/armed
robbery
Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization-
IMO) merupakan salah satu badan organisasi internasional yang mengatur
tentang bajak laut di dunia. IMO mengeluarkan definisinya tentang bajak laut
berdasarkan pasal 101 Konvensi hukum laut internasional (United Nations
Conventions on the Law of the Sea 1982) yang dapat digolongkan menjadi lima
karekteristik :
1. Pembajakan laut harus melibatkan tindakan melawan hukum seperti
kekerasan atau penahanan, atau setiap tindakan pembinasaan dan untuk
tujuan-tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang kapal pribadi atau
pesawat pribadi.
2. Pembajakan laut harus dilakukan di laut lepas atau di tempat di luar
yurisdiksi sebuah negara. Ketentuan tersebut membatasi definisi pada sebuah
tindakan kekerasan atau penahanan ilegal terhadap sebuah kapal di wilayah
laut bebas atau di wilayah lainnya di luar yurisdiksi sebuah negara.
Sehingga, aksi perompakan dan pembajakan yang dilakukan di dalam
wilayah laut teritorial suatu negara tidak akan dimasukkan ke dalam istilah
bajak laut.
11 Tindak Pidana Kelautan
3. Definisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua
kapal (two-ship requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal
untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka
penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal
dari dalam kapal tidak termasuk aksi bajak laut.
4. Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak
memasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak
laut. Oleh karena itu, pembajakan laut yang dilakukan oleh kelompok
pemberontak misalnya, tidak dapat digolongkan ke dalam definisi bajak laut.
5. Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi bajak laut karena
serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang kapal milik
pribadi.
Pembajakan di Laut Lepas ini telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan
internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran pelayaran dan
negara memiliki hak untuk melaksanakan yurisdiksi berdasarkan hukum yang
berlaku dalam negaranya.3 Konvensi Roma 1988, Pasal 6 ayat (1) dan (2)
berbunyi sebagai berikut:
1) menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang ditetapkan dalam pasal 3
ketika kejahatan dilakukan:
a) melawan untuk mengibarkan bendera negara pada waktu kejahatan
dilakukan di atas kapal;
b) dalam wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial;
c) dilakukan oleh seorang warga negara dari negara tersebut
2) Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas suatu
pelanggaran jika:
a) tindakan itu dilakukan oleh seseorang yang berkewarganegaraan dari
negara yang bersangkutan;
3 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 353
12 Tindak Pidana Kelautan
b) selama pelaku dari negara tersebut, mengancam untuk membunuh atau
melukai orang lain;
c) tindakan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang
bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan
Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian
pembajakan di laut telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi
Jenewa l958 dan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Jenewa l958
dalam Pasal l5 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa :4 Pembajakan
terdiri dari salah satu tindakan berikut:
1) Setiap tindakan ilegal kekerasan, penahanan atau tindakan penyusutan,
berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang kapal swasta
atau pesawat pribadi, dan diarahkan:
a) Di laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap orang
atau properti di atas kapal atau pesawat udara.
b) Terhadap kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar
yurisdiksi Negara manapun.
2) Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam operasi pesawat terbang dengan
mengetahui fakta yang membuatnya menjadi bajak laut-kapal atau pesawat
udara.
Pembajakan di laut lepas merupakan tindak kejahatan internasional dan
dianggap sebagai musuh setiap negara, serta dapat diadili dimanapun pembajak
tersebut ditangkap tanpa memandang kebangsaannya. Pembajakan di laut lepas
memang bersifat “crimes of universal interest (kejahatan kepentingan yang
universal)”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan yang dinyatakan
sebagai pembajakan yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah negara lain
4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1978, hlm.
224-225
13 Tindak Pidana Kelautan
yaitu di Laut Lepas, dan berhak melaksanakan penegakan yurisdiksi dan
ketentuan-ketentuan hukumnya.5
Dalam hal ini setiap negara boleh menangkap pembajak di laut lepas,
dan menyeret kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut,
dengan alasan pembajakan di laut lepas tersebut adalah “hostes humani
generis”. (musuh semua umat manusia). Tetapi hak ini hanya berlaku terhadap
orang-orang yang dianggap melakukan pembajakan dilaut berdasarkan kriteria
yang ditentukan oleh hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin
terdapat perbuatan yang dianggap pembajakan oleh undang-undang suatu
negara tertentu, tetapi menurut hukum internasional bukan pembajakan.
Misalnya, bahwa dalam hukum kejahatan Inggris, bekerja dalam perdagangan
budak dianggap sama dengan pembajakan.6
Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur
tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 tentang Laut
Lepas. Pengaturannya sebagai berikut:7
a. Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup
pembajakan di laut sebagai berikut:
Pembajakan di laut terdiri atas salah satu di antara tindakan berikut ini:
1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap
tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak
kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan
dilakukan:
a. di Laut Lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap
orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;
5 Henkin, Louis Henkin, International Law , Cases and Materials, American Casebook Series, ST,
PaulMinn, West Publishing Co, USA, l980, hlm. 387
6 Mochammad Radjab, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit Bhratara, Jakarta, l993.
hlm. 226
7 Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung:
Universitas Lampung, 2012, hlm 58
14 Tindak Pidana Kelautan
b. terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat
di luar yurisdiksi negara manapun.
2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu
kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya
menjadi suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan
sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peristiwa pembajakan yang
terjadi di lepas pantai Somalia telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam Pasal 101 KHL 1982 sebagaimana yang disebutkan di atas. Peristiwa
ini terjadi di lepas pantai Somalia yang merupakan daerah di luar laut
teritorial Somalia. Para pembajak tersebut melakukan tindakan kekerasan
dan penahanan atau penyanderaan terhadap awak kapal yang dibajak.
b. Pasal 100 KHL 1982 menyatakan bahwa, “Dalam hal pembajakan di laut,
semua negara harus bekerjasama sepenuhnya untuk memberantas
pembajakan di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu
negara.”
c. Pasal 102 KHL 1982 menyatakan bahwa, “Apabila pembajakan
sebagaimana ditentukan di atas dilakukan oleh suatu kapal perang, kapal
atau pesawat udara pemerintah dimana awak kapalnya telah memberontak
dan mengambil alih kapal atau pesawat udara tersebut, maka tindakan-
tindakan yang dilakukan orang-orang tersebut dapat disamakan dengan
dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara pembajak.”
d. Pasal 103 KHL 1982 mengatur mengenai batasan kapal atau pesawat udara
pembajak yaitu sebagai berikut: “Suatu kapal atau pesawat udara dianggap
suatu kapal atau pesawat udara pembajak apabila ia dimaksudkan oleh orang
yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu
tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101. Hal yang sama berlaku apabila
kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk melakukan setiap
15 Tindak Pidana Kelautan
tindakan demikian, selama kapal atau pesawat udara itu berada di bawah
pengendalian orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu.”
e. Pasal 104 KHL 1982 menyatakan bahwa, “Suatu kapal atau pesawat udara
dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi kapal atau
pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan
ditentukan oleh hukum negara yang telah memberikan kebangsaan itu.”
f. Pasal 105 KHL 1982, ditentukan bahwa, Di laut lepas atau di setiap tempat
di luar yurisdiksi negara manapun, setiap negara dapat:
a. menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajak;
b. menyita suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh pembajak
dan berada di bawah pengendalian pembajak;
c. menangkap orang-orang (pelakunya) serta menyita barang-barang yang
ada di dalam kapal;
d. mengadili dan menghukum pelaku-pelaku pembajakan tersebut, serta
menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal,
pesawat udara atau barang-barang tersebut dengan memperhatikan
kepentingan pihak ketiga.
g. Pasal 107 KHL 1982 mengatur tentang “Tindakan penyitaan terhadap kapal
atau pesawat udara pembajak (termasuk kapal atau pesawat hasil
pembajakan) dan menangkap pelaku pembajakan, hanya dapat dilakukan
oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara
lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sedang dalam dinas
pemerintah.”
h. Pasal 106 KHL 1982 mengatur bahwa, “Apabila tindakan penyitaan
terhadap suatu kapal atau pesawat udara yang dicurigai melakukan
pembajakan ini tanpa bukti yang cukup, maka negara yang telah melakukan
penyitaan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan
16 Tindak Pidana Kelautan
yang timbul akibat penyitaan tersebut kepada negara yang kebangsaannya
dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut.”8
2. Yurisdiksi yang dimiliki oleh negara berdaulat dan pemberlakuan asas
Hukum
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh negara yang berdaulat
menurut O’Brien :
a. Kewenangan negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap
orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya
(Legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);
b. Kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan
hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction);
c. Kewenangan pengadilan negara untuk mengadili dan memberikan putusan
hukum (yudicial jurisdiction).
Disamping azas teritorial yang dianut KUHP terdapat juga azas
nasionalitas pasif (Perspektif Korban) atau asas perlindungan yang mengatur
bahwa peraturan pidana Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang
melakukan delik di luar wilayah Indonesia dan juga terhadap nakhoda dan
orang yang berlayar dengan alat pelayaran Indonesia
a. Pasal 4 secara singkat: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia
b. Tindak Pidana yang menyerang kepentingan indonesia: kejahatan keamanan
negara, martabat presiden, kejahatan materai, merk, mata uang, surat
berharga surat utang, pembajakan laut dll.
3. Kejahatan Pelayaran dalam KUHP
Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kejahatan pembajakan
di laut di Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum. Beberapa pasal
8 Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional
(Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja
Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008, hlm 34
17 Tindak Pidana Kelautan
dalam KUHP mengatur mengenai kejahatan pembajakan yang terjadi di laut
yang menurut KUHP masih dalam pengertian hukum laut tradisional. Dalam
pasal-pasal tersebut dibedakan 4 macam jenis pembajakan menurut tempat di
mana kejahatan itu terjadi, yaitu
a. pembajakan di laut (zee-roof),
b. pembajakan di tepi laut (kust-roof),
c. pembajakan di pantai (strand-roof
d. pembajakan di sungai (rivier-roof)
Selain itu, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1985 membawa akibat hukum bahwa Indonesia terikat oleh kewajiban untuk
melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut. Berdasarkan hukum positif Kejahatan
Pelayaran dalam KUHP di kualifikasi dalam beberapa pasal yaitu dapat sebagai
berikut:
Pembajakan (piracy) di laut lepas melanggar pasal 438 KUHP
Pembajakan di pantai (perompakan), melanggar pasal 439 KUHP.
Pembajakan di pesisir, melanggar hokum pasal 440 KUHP.
Pembajakan di sungai, melanggar pasal 441 KUHP.
Nakhoda bekerja sebagai/menganjurkan melakukan pembajakan, melanggar
pasal 442 KUHP.
Bekerja sebagai ABK di kapal yang digunakan untuk pembajak di pantai
melanggar pasal 443 KUHP.
Menyerahkan kapal untuk dibajak, melanggar pasal 447 KUHP.
Penumpang merampas kapal, melanggar pasal 448 KUHP.
Nakhoda melarikan kapal dari pemiliknya, melanggar pasal 449 KUHP.
Bekerjasama sebagai nakhoda atau ABK di kapal yang digunakan untuk
pembajak, melanggar pasal 450 atau pasal 451 KUHP.
18 Tindak Pidana Kelautan
D. Evaluasi
1. Jelaskan mengenai perompakan bersenjata atau pembajakan beserta analisis
kasus?
2. Jelaskan yurisdiksi yang dimiliki oleh negara berdaulat dan pemberlakuan asas
hukum?
3. Jelaskan kejahatan pelayaran dalam KUHP?
E. Sumber Penulisan
Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan
Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia,
Jakarta, 2008.
Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar
Lampung: Universitas Lampung, 2012.
Henkin, Louis Henkin, International Law , Cases and Materials, American
Casebook Series, ST, PaulMinn, West Publishing Co, USA, l980.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X, Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
Mochammad Radjab, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit Bhratara,
Jakarta, l993.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta,
Bandung, 1978.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982
UNCLOS 1982
19 Tindak Pidana Kelautan
BAB III
KEJAHATAN PENYELUNDUPAN MELALUI
JALUR LAUT (SMUGGLING)
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menguraikan dan menyimpulkan tentang
Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut (Smuggling)
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian penyeludupan dan
menurut pendapat para ahli, Jenis-jenis Tindak pidana
Penyeludupan, Faktor-faktor pendorong terjadinya Penyeludupan,
Ketentuan Pidana terhadap kejahatan Penyeludupan dan
Penyeludupan Manusia (Human Smunggling)
Materi 1. Pengertian penyeludupan dan menurut pendapat para ahli
2. Jenis-jenis Tindak pidana Penyeludupan
3. Faktor-faktor pendorong terjadinya Penyeludupan
4. Ketentuan Pidana terhadap kejahatan Penyeludupan
5. Penyeludupan Manusia (Human Smunggling)
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi
Interaktif, Analisis kasus
sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu kedua
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Kejahatan Penyelundupan Melalui
Jalur Laut (Smuggling)
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
20 Tindak Pidana Kelautan
C. Kejahatan Penyelundupan Melalui Jalur Laut (Smuggling)
1. Pengertian penyeludupan dan menurut pendapat para ahli
Permana Agung menyatakan bahwa Penyelundupan merupakan masalah
yang sudah sangat berurat dan berakar di Indonesia, artinya menghapus
penyelundupan merupakan masalah yang cukup besar. Bahkan penyelundupan
dapat diibaratkan seperi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah
sembarangan. Bukan hanya di bidang perdagangan internasional, perdagangan
nasional juga mempunyai potensi untuk melakukan bisnis dengan cara
penyelundupan
Masalah penyeludupan adalah masalah yang sangat complicated dengan
melibatkan banyak kepentingan atau perorangan yang mempunyai kepentingan-
kepentingan tertentu (vested interest) yang bermain di sana. Mereka itulah yang
berusaha mengeruk keuntungan dengan adanya penyeludupan.9 Andi Hamzah
mengatakan bahwa istilah penyeludupan dan menyelundup sebenarnya bukan
istilah yuridis, serta merupakan pengertian gejala sehari-hari di mana seseorang
secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi memasukkan atau mengeluarkan
barang-barang ke atau dari dalam negeri dengan latar belakang tertentu. Latar
belakang perbuatan ini untuk menghindari dari Bea dan Cukai (faktor
ekonomi), menghindari larangan yang dibuat oleh pemerintah seperti senjata,
amunisi, dan semacamnya, narkotika (faktor keamanan), penyeludupan dalam
arti ini adalah dalam pengertian luas.10
Pengertian tindak pidana Penyelundupan Penyelundupan dapat diartikan
perbuatan pemasukan barang dan manusia secara gelap untuk menghindari bea
masuk atau karena menyelundupkan barang-barang terlarang. Penyelundupan
diartikan pemasukan barang secara gelap untuk menghindari bea masuk atau
karena menyelundupkan barang terlarang. Dalam kamus Webster’s Ninth New
9 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabeanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 351.
10
Prapto Soepardi, Tindak Pidana Penyeludupan Pengungkapan dan Penindakannya, Usaha
Nasional, Surabaya, 1991, hlm. 35.
21 Tindak Pidana Kelautan
Collegiate Dictionary kata smuggle (penyeludupan) diartikan sebagai: “to
import or export secretly contrary to the law and especially without paying
duties import or export something in violation of the customs law (mengimpor
atau mengekspor secara gelap, berlawanan/tak sesuai dengan hukum dan
khususnya menghindari kewajiban membayar atas suatu impor atau ekspor
yang merupakan pelanggaran peraturan pabean).
Menurut Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa pengertian
penyeludupan (smuggling atau Smokkle) adalah:
“Mengimpor, mengantar pulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas
pabean (douaneformaliteiten) yang ditetapkan oleh Peraturan Perundang-
undangan”.
2. Jenis-jenis Tindak pidana Penyeludupan
1) Klasifikasi Jenis berdasarkan Status Barang
a) Penyelundupan impor, adalah suatu perbuatan memasukkan barang-
barang dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesiadengan tidak melalui
prosedur yang ditentukan bagi pemasukan barang-barang dari luar negeri.
b) Penyelundupan ekspor,adalah pengeluaran barang-barang dari Indonesia
ke luar negeri tanpa melalui prosedur yang ditentukan untuk itu.
2) Klasifikasi Jenis berdasarkan Perbuatan
a) Penyelundupan Administrasi adalah perbuatan pemasukan barang dari
dan keluar Indonesia dengan melalui prosedur yang ditentukan yakni
dilindungi dengan dokumen, tetapi dokumen tsb tidaksesuai dengan
barang yang dimasukkan atau dikeluarkan yakni darisegi jenisnya,
kualitas, kuantitas, dan harga barang. Ciri-ciri penyelundupan
administrasi yaitu:
Barang-barang selundupan masuk atau keluar melalui pelabuhan
resmi.
22 Tindak Pidana Kelautan
Kapal yang mengangkut barang-barang tersebut memakai dokumen.
Dokumen-dokumen yang digunakan telah dibuat dengan tidak
semestinya.
Tingkat kesalahan masih pada tahap pemberitahuan umum.
b) Penyelundupan Fisik adalah tindakan pemasukan atau pengeluaran
barang ke dalam maupun keluar suatu negara tanpa dilengkapi dokumen.
Ciri-ciri penyelundupan fisik yaitu:
Pemasukan/penyelundupan barang-barang tidak menggunakan
dokumen
Kapal atau perahu yang mengangkut tidak melalui pelabuhan resmi
dan tidak melapor kepada petugas bea cukai.
Perbuatannya mengandung kesengajaan memasukkan barang-barang
tanpa dilindungi dokumen.
3. Faktor-faktor pendorong terjadinya Penyeludupan
Pelaku tindak pidana dan modus operandi memiliki kaitan erat dalam
penegakan hukum terhadap kejahatan penyeludupan. Pengertian pelaku dalam
undang-undang ini adalah orang yang melakukan atau orang yang ikut
melakukan suatu tindak pidana. Atau dalam hukum pidana, disebut sebagai
pelaku utama dan pembantu pelaku. Pelaku utama adalah orang yang
mempunyai inisiatif atau yang bertindak sebagai otak, pengendali, pemrakarsa
untuk melakukan pelanggaran, tetapi belum tentu ia sebagai pelakunya.
Sedangkan pembantu pelaku adalah orang yang melaksanakan, membantu
melaksanakan, mengetahui, mendengar langsung, maupun tidak langsung
tindak pidana akan/telah dilakukan. Hukuman merupakan suatu sanksi bagi
orang yang melakukan tindak pidana oleh karena itu hukuman sifatnya
mengikat kepada setiap orang yang melakukan tindak pidana, hal ini
disebabkan antara lain, adanya niat untuk melakukan pelanggaran, pada
kurangnya pemahaman dan penyuluhan hukum yang akan diberikan kepada
23 Tindak Pidana Kelautan
masyarakat. Bahkan tindak pidana dilakukan dengan bantuan pejabat public
dengan kemungkinan terjadinya kerugian Negara yang besar dan berakibat
berkurangnya penerimaan Negara.11
Ada beberapa Faktor-faktor pendorong
terjadinya Penyeludupan yaitu:
a) Faktor geografis
b) Kondisi industri dalam negeri
c) Sumber Daya alam
d) Kelebihan produksi
e) Transportasi
f) Mentalitas masyarakat
4. Ketentuan Pidana terhadap kejahatan Penyeludupan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
dimana telah diatur delik pidana atau tindakan-tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana penyelundupan, penyelundupan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102.
1) Penyelundupan Di Bidang Impor
Pasal 102. Setiap orang yang:
a) mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2);
b) membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa
izin kepala kantor pabean;
c) membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3);
11 Ali Purwito M. Kepabeanan Dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Konsep dan Aplikasi.
Kajian Hukum Fiskal FH UI Bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 378.
24 Tindak Pidana Kelautan
d) membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam
pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan atau
diizinkan.
e) menyembunyikan barang impor secara melawan hukum;
f) mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban
pabeannya dari kawasan pabean dan atau tempat penimbunan berikat atau
dan tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat
bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya Pungutan negara
berdasarkan undang-undang ini;
g) mengangkut barang impor dan tempat penimbunan sementara ata tempat
penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak
dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya;
h) dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor
dalam pemberitahuan pabean secara salah.
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu tahun dan pidana penjara paling lama10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,C (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2) Penyelundupan Di Bidang Ekspor
Pasal 102A, Setiap orang yang:
a) mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean;
b) dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang ekspor
dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan
negara di bidang ekspor;
c) memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor
pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3);
d) membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala
kantor pabean; atau
25 Tindak Pidana Kelautan
e) mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah
sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9A ayat (1)
Dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang ekspor dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Tindak pidana penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-
sendi perekonomian Negara, Pasal 102B menyatakan bahwa Pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan
terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Unsur-unsur Penyelundupan, Edwin H. Sutherland dalam bukunya
Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling
bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut
kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut yaitu:
a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana
c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan
d. Harus ada maksud jahat (mens rea)
e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian di antara maksud jahat dengan perbuatan
f. Harus ada hubungan sebab akibat di antara kerugian yang dilarang undang-
undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri
26 Tindak Pidana Kelautan
g. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Dilihat dari ketentuan unsur-unsur delik di atas, tindak pidana
penyelundupan yang diatur dalam Pasal 102 dan Pasal 102A UU No. 17 Tahun
2006 tentang Kepabeanan, maka untuk menyatakan suatu tindak pidana sebagai
tindakan penyelundupan harus memenuhi unsur-unsur:
1) Barang yang diselundupkan adalah barang ekspor dan impor
2) Pembongkaran barang ekspor dan impor dilakukan tanpa izin
3) Khusus untuk barang impor disembunyikan dengan tanpa izin
4) Informasi tentang jumlah barang ekspor dan impor yang salah
5) Mengangkut barang ekspor impor ke tempat tujuan yang salah
6) Dilakukan dengan cara melawan hukum
Rumusan sanksi pidana penyelundupan pada dasarnya menerapkan
sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda yang merupakan sanksi
pidana yang bersifat kumulatif (gabungan), dengan mengutamakan penerapan
sanksi pidana penjara terlebih dahulu dan kemudian diikuti dengan sanksi
pidana denda secara kumulatif. Formulasi penerapan sanksi pidana seperti ini
menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana penyelundupan dikenakan sanksi
pidana ganda yang cukup berat, yaitu diterapkan sanksi pidana penjara di satu
sisi dan sekaligus juga dikenakan saksi pidana denda. Namun jika sanksi denda
tidak dapat dibayar dengan subsider Pasal 30 KUHP maka sangat merugikan
negara.
5. Penyeludupan Manusia (Human Smunggling)
Menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang
Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun
tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya
seseorang secara illegal ke suatu bagian Negara dimana orang tersebut bukanlah
warga Negara atau memiliki izin tinggal. Masuk secara illegal berarti melintasi
batas Negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk
27 Tindak Pidana Kelautan
memasuki wilayah suatu Negara secara legal. Unsur Penyelundupan Manusia
yaitu:
1) Dalam hal proses, Penyeludupan Manusia adalah aktivitas pemindahan
seseorang (sama sepeerti dalam perdagangan orang).
2) Dalam hal Cara, tidak ada unsur penyelewengan persetujuan kehendak
pribadi maupun dengan penggunaan kekerasan, umumnya calon migrant
mencari dan memulai kontak dengan penyelundup sendiri dengan menyadari
tujuannya, yaitu untuk melintasi batas suatu Negara secara illegal.
3) Dalam hal Tujuan, selalu ada nilai mendapatkan keuntungan berupa
financial dan pelaksanaannya untuk tujuan melintasi perbatasan Negara yang
dilakukan secara illegal.
Tabel III.1
Perbedaan Antara Traffikking Dengan Smuggling
Perbedaan Dari
Segi
Traffikking Smuggling
Sifat dan kualitas
persetujuan
persetujuan diperoleh karena
kekerasan, paksaan, penipuan
dsb.
selalu ada persetujuan untuk
pemindahan
Unsur kepentingan
perdagangan orang tujuannya
selalu eksploitasi
penyeleundupan manusia
tujuannya pemindahan orang
secara illegal.
Sifat hubungan
individu dgn
fasilitator
antara (korban & trafiker)
terjadi hubungan jangka
panjang, berkesinambungan,
hingga korban berada di
Negara tujuan hubungan ini
masih berlangsung.
antara (pembeli & pemasok)
hubungan jangka pendek dan
putus setelah kegiatan
pemindahan ke suatu negara
tercapai.
Segi kekerasan dan
intimidasi
perdagangan orang selalu
menggunakan kekerasan dan
intimidasi, guna
mempertahankan korban tetap
berada dalam situasi
tereksploitasi
tidak selalu menggunakan
kekerasan dan intimidasi.
28 Tindak Pidana Kelautan
Otonomi dan
kebebasan
korban selalu dalam posisi
lemah
korban biasanya tidak terlalu
lemah kecuali jika dibutuhkan
agar pemindahan berhasil.
Dari aspek
geografis
perdagangan orang terjadi
secara internal dan lintas batas
Negara,
penyelundupan manusia
terjadi secara lintas batas
Negara.
Dari segi dokumen
perdagangan orang bisa legal
maupun illegal.
penyelundpan manusia
biasanya selalu illegal.
Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana penyeludupan
manusia yang terdapat dalam ketentuan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Pasal 120 (1) menyatakan bahwa Setiap
orang yang melakukan perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, untuk diri sendiri atau untuk orang lain dengan
membawa seseorang atau kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak
terorganisasi, atau memerintahkan orang lain untuk membawa seseorang atau
kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang tidak
memiliki hak secara sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau keluar dari
Wilayah Indonesia dan/atau masuk wilayah negara lain, yang orang tersebut tidak
memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan
menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan
Dokumen Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak.
Penyelundupan Manusia diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah). Percobaan untuk melakukan tindak pidana
Penyelundupan Manusia dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
29 Tindak Pidana Kelautan
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian penyeludupan dan menurut pendapat para ahli?
2. Jelaskan jenis-jenis tindak pidana penyeludupan?
3. Jelaskan faktor-faktor pendorong terjadinya penyeludupan?
4. Jelaskan ketentuan pidana terhadap kejahatan penyeludupan ?
5. Jelaskan penyeludupan manusia (Human Smunggling)?
E. Sumber Penulisan
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Kepabeanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Ali Purwito M. Kepabeanan Dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Konsep dan
Aplikasi. Kajian Hukum Fiskal FH UI Bekerjasama dengan Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.
Prapto Soepardi, Tindak Pidana Penyeludupan Pengungkapan dan
Penindakannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1991.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia
30 Tindak Pidana Kelautan
BAB IV
TINDAK PIDANA DI BIDANG
PELAYARAN
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menguraikan dan menyimpulkan tentang Tindak
Pidana di Bidang Pelayaran
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian Pelayaran dan
jenis angkutan, Asas dan Tujuan Pelayaran, Sanksi Administrasi,
Ketentuan Pidana dalam KUHP dan di luar KUHP dan Penegak
Hukum
Materi 1. Pengertian Pelayaran dan jenis angkutan
2. Asas dan Tujuan Pelayaran
3. Sanksi Administrasi
4. Ketentuan Pidana dalam KUHP dan di luar KUHP
5. Penegak Hukum
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi
Interaktif, Analisis kasus
sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu ketiga
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana di Bidang Pelayaran
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
31 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana di Bidang Pelayaran
1. Pengertian Pelayaran dan jenis angkutan
Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di
perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim. pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat
prinsip pelaksanaan asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut
nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan
di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan
permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk
angkutan.
Pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai
penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara
fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah
dan swasta secara proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan.
pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat
ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada
konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada
sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi
ketentuan mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam
“International Ship and Port Facility Security Code.
Pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat
ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan
laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan
mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti “International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships”. Jenis Angkutan
Pelayaran terdiri dari:
1) Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan
penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
32 Tindak Pidana Kelautan
2) Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani
kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.
3) Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat
tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan
angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar
bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan
ukuran tertentu.
Jenis angkutan di perairan terdiri atas angkutan laut, angkutan sungai
dan danau dan angkutan penyeberangan. Yang dapat dijelaskan sebagai berikut
ini:
1) Jenis Angkutan laut
a) angkutan laut dalam negeri, Kegiatan angkutan laut dalam negeri
dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
b) angkutan laut luar negeri, Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri
dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan
angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
dan/atau kapal asing.
c) angkutan laut khusus, Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh
badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri
dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi
persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal
berkewarganegaraan Indonesia.
d) angkutan laut pelayaran-rakyat, Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat
sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian
dari usaha angkutan di perairan mempunyai peranan yang penting dan
karakteristik tersendiri.
33 Tindak Pidana Kelautan
2) Angkutan Sungai dan Danau
Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dilakukan oleh
orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan
menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan
Indonesia. Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan di laut
kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal
3) Angkutan Penyeberangan
Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur
kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan
kendaraan beserta muatannya.
2. Asas dan Tujuan Pelayaran
Dalam rangkaian kegiatan pelayaran di Indonesia memiliki asas yang
termuat dalam undnag-undang yaitu:
a. asas manfaat;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c. asas persaingan sehat;
d. asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f. asas kepentingan umum;
g. asas keterpaduan;
h. asas tegaknya hukum;
i. asas kemandirian;
j. asas berwawasan lingkungan hidup;
k. asas kedaulatan negara; dan
l. asas kebangsaan.
Sedangkan tujuannya dapat diuraikan sebagai berikut ini:
34 Tindak Pidana Kelautan
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan
dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
b. membina jiwa kebaharian;
c. menjunjung kedaulatan negara;
d. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan
nasional;
e. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan
pembangunan nasional;
f. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan
Wawasan Nusantara; dan
g. meningkatkan ketahanan nasional.
Selain asas dan tujuan dalam berlakunya hukum di bidang pelayaran
memiliki ruang lingkup yaitu:
a. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan
keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan
Indonesia;
b. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
c. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.
3. Sanksi Administrasi
Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut:
1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran
sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
2) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat
melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan
hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint
venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal
berbendera Indonesia sekurang- kurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran
35 Tindak Pidana Kelautan
GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak
berkewarganegaraan Indonesia.
Berkaitan hal-hal pokok yang diatur dalam Undang-undang Pelayaran
yaitu dapat di ringkas sebagai berikut ini:
1) Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau
atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. (Pasal 8 Ayat (2))
2) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional
dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah. (Pasal 9 Ayat (8))
3) Selain memiliki izin usaha angkutan sungai dan danau, untuk angkutan
sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memiliki izin trayek (Pasal
28 ayat (4))
4) Selain memilik izin usaha penyeberangan , untuk angkutan penyeberangan,
kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal
(Pasal 28 ayat (6))
5) Setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait dengan
Angkutan di Perairan wajib memiliki izin usaha Terkait
Bentuk-bentuk sanksi Administratif dalam Undang-undang Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran yaitu:
a) peringatan;
b) denda administratif;
c) pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
d) pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.
4. Ketentuan Pidana dalam KUHP dan di luar KUHP
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang pelayaran menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang keefektifitasan pelayaran secara
terkendali dan sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayaran sehingga
pelayaran dapat berjalan berkelanjutan dengan lebih baik. Oleh karena itu
tindak pidana pelayaran juga telah diatur dengan sedemikian rupa untuk
36 Tindak Pidana Kelautan
terwujudnya lalu lintas pelayaran yang baik di Indonesia, yang mana diatur di
dalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu di dalam buku kedua
tentang kejahatan yaitu kejahatan pelayaran yang diatur di dalam Pasal 466, 469
dan buku kedua tentang pelanggaran yang diatur dalam Pasal 560, 561. Adapun
isi dari pasal-pasal tersebut ialah :
1) Pasal 466 Seorang nakhoda kapal Indonesia yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atau
untuk menutupi perbuatan itu menjual kapalnya, atau meminjam uang
dengan mempertanggungkan kapalnya atau perlengkapan kapal itu atau
perbekalannya, atau menjual atau menggadaikan kapal itu barang muatan
atau barang perbekalan kapal itu, atau mengurangi kerugian atau belanja,
atau tidak menjaga supaya buku-buku harian harian di kapal dipelihara
menurut Undang-undang, ataupun tidak mengurus keselamatan surat-surat
kapal ketika meninggalkan kapalnya, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh.
2) Pasal 469 (1) Nakhoda kapal (perahu) Indonesia yang tidak karena terpaksa
dan tidak dengan setahu yang punya atau peserta kongsi perkapalan itu,
melakukan, atau membiarkan perbuatan yang diketahuinya bahwa hal itu
dapat menyebabkan kapal (perahu)nya atau muatannya jadi tertangkap,
tertahan atau terhenti, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat
bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.9000
3) Pasal 560 Nachoda kapal (perahu) Indonesia yang berangkat sebelum
diperbuat dan ditanda tangani daftar orang kapal (monsterrol), yang
diperlukan menurut Undangundang dihukum denda sebanyak-banyaknya
Rp. 1500,-. (K.U.H.P. 93 s).
4) Pasal 561 Nachoda kapal (perahu) Indonesia yang dikapal (perahunya) tidak
memegang segala surat kapal, buku atau surat lain-lain yang dimestikan oleh
atau menurut peraturan Undang-undang, dihukum denda sebanyak-
banyaknya Rp. 1500,- (K.H.U.P 93)
37 Tindak Pidana Kelautan
Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran di Luar KUHP termuat dalam
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran berjumlah 52 pasal,
dan terdapat dalam pasal 284, sampai dengan pasal 336 yaitu dapat diringkas
sebagai berikut ini:
1) Dipidana setiap orang yang mengoperasikan kapal asing yang
mengangkut penumpang atau barang antar pulau di wilayah perairan
Indonesia, tanpa izin pemerintah.
2) Dipidana setiap orang yang melayani angkutan laut khusus yang
mengangkut muatan barang milik pihak lain atau muatan barang umum
pihak lain tanpa izin pemerintah.
3) Dipidana Nakoda angkutan danau dan sungai yang melayarkan kapalnya
ke laut tanpa izin kesyahbandaran. Dan yang mengakibatkan kerugian
barang maupun mengakibatkan kematian seseorang.
4) Dipidana setiap orang WNI atau Badan Usaha yang mengoperasikan kapal
pada angkutan diperairan tanpa izin usaha dari pemerintah.
5) Dipidana setiap orang mengoperasikan kapal pada angkutan
penyeberangan tanpa persetujuan pengoperasian dari
menteri/gubernur/bupati/walikota bagi masig-masing kapal untuk melayani
lintas pelabuhan di masing-masing wilayah antar provinsi dan antar
Negara/antar kabupaten atau dalam wilayah kabupaten/kota ybs.
6) Dipidana setiap orang yang menyelenggarakan jasa usaha angkuta di
perairan, danau dan sungai tanpa izin pemerintah.
7) Dipidana setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang
berbahaya yang tidak sesuai persyaratan pengemasan dan penumpukan di
pelabuhan, pengenaan tanda keselamatan atau tidak memberi tanda
peringatan barang berbahaya, yang sesuai peraturan standar nasional
maupun internasional, dan yang mengakibatkan kerugian harta benda atau
kematian seseorang.
38 Tindak Pidana Kelautan
8) Dipidana Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan
diketahuinya jika kapal itu tidak laik laut yang mengakibatkan kerugian
harta benda atau kematian seseorang.
9) Dipidana Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui cuaca buruk
yang membahayakan keselamatan berlayar, namun tidak
menyebarluaskan kepada pihak lain dan atau kepada pemerintah.
10) Dipidana Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki surat persetujuan
berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar, dan yang mengakibatkan
kecelakaan kapal serta mengakibatkan kerugian harta benda dan kematian .
5. Penegak Hukum
Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran
yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang
angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di
pelabuhan. Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang keselamatan dan
keamanan Syahbandar melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
melaksanakan keamanan dan ketertiban di pelabuhan sesuai dengan ketentuan
konvensi internasional, Syahbandar bertindak selaku komite keamanan
pelabuhan (Port Security Commitee). Dalam melaksanakan fungsi, Syahbandar
dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia dan/atau Tentara
Nasional Indonesia.
Pasal 340 menyatakan bahwa Kewenangan penegakan hukum pada
perairan Zona Ekonomi Eksklusif dilaksanakan oleh Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya Pasal 278 menyatakan bahwa dalam melaksanakan
tugas, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
39 Tindak Pidana Kelautan
d. melakukan penyidikan.
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian pelayaran dan jenis angkutan?
2. Jelaskan asas dan tujuan pelayaran ?
3. Jelaskan sanksi administrasi di bidang pelayaran?
4. Jelaskan ketentuan pidana dalam KUHP dan di luar KUHP berkaitan dengan
tindak pidana di bidang pelayaran?
5. Jelaskan penegak hukum di bidang pelayaran?
E. Sumber Penulisan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships
40 Tindak Pidana Kelautan
BAB V
TINDAK PIDANA
PENCEMARAN LAUT
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Pencemaran Laut
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian dan Unsur-Unsur
Lingkungan Hidup, Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dan
Pencemaran Laut, Sumber dan Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan
Laut, Sanksi Pidana terkait dengan Pencemaran Laut, Kasus dan
Penyelesaian Hukum serta Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
Materi 1. Pengertian dan Unsur-Unsur Lingkungan Hidup
2. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Pencemaran Laut
3. Sumber dan Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Laut
4. Sanksi Pidana terkait dengan Pencemaran Laut
5. Kasus dan Penyelesaian Hukum
6. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi
Interaktif, Analisis kasus
sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu keempat
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Pencemaran Laut
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
memahami materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
41 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Pencemaran Laut
1. Pengertian dan Unsur-Unsur Lingkungan Hidup
Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan
environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan millieu atau dalam bahasa
Perancis disebut dengan I’environment.12
Menurut Emil Salim bahwa
lingkungan hidup diartikan segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup
termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini
bisa sangat luas, namun untuk praktisnya kita batasi ruang lingkungan dengan
faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia, seperti faktor alam, faktor
politik, faktor ekonomi, faktor sosial, dan lain-lain.13
Pendapat di atas, memberikan gambaran bahwa manusia dalam
hidupnya mempunyai hubungan secara betimbal balik dengan lingkungannya.
Manusia dalam hidupnya baik secara pribadi maupun sebagai kelompok
masyarakat selalu beriteraksi dengan lingkungan dimana ia hidup, dalam arti
manusia dengan berbagai aktivitasnya akan mempengaruhi kehidupan
manusia.14
Pasal 1, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan definisi bahwa Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk
hidup termasuk di dalamnya manusia dan kesejahteraan manusia serta makhluk
lainnya. Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh
berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
12 N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2004, hlm. 4.
13
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, 1982, hlm. 14-15.
14
Syamsul Arifin, Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia, USU Press, Medan, 1993,
hlm. 49
42 Tindak Pidana Kelautan
Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau
bahan pencemaran yang terdapat di dalam lingkungan dengan tidak
menimbulkan gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda
lainnya. Dalam lingkungan hidup terdapat unsur-unsur yang dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
a. Unsur Hayati (Biotik), terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.
b. Unsur Fisik (Abiotik), terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti tanah,
air, udara, iklim dan lain sebagainya.Keberadaan lingkungan fisik sangatlah
memiliki peranan yang besar bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di
bumi.
c. Unsur Sosial Budaya, sistem nilai, gagasan dan keyakinan dalam prilaku
sebagai makhluk sosial.
Sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap
mempertahankan lingkungan laut. Pada kondisi yang menghubungkan bagi
hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam
yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan mengordinasikan laut ataupun
dalam memenuhi kebutuhan dari laut, merupakan langkah untuk mewujudkan
pelestarian lingkungan laut.15
2. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Pencemaran Laut
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukannya mahluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.” (Pasal 1 butir (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Pada dasarnya laut
itu mempunyai kemampuan alamiah untuk menetralisir zat-zat pencemar yang
masuk ke dalamnya, Akan tetapi apabila zat-zat pencemar tersebut melebihi
15 P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Reneka Cipta, Jakarta, 1991, hlm.31.
43 Tindak Pidana Kelautan
batas kemampuan air laut untuk menetralisirnya, maka kondisi itu
dikategorikan sebagai pencemaran.
Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia,
secara langsung atau tidak langsung, bahan atau energi ke dalam lingkungan
laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat
buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut dan
kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan-
kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah
lainnya, penurunan kwalitas kegunaan air laut dan pengurangan kenyamanan.
Pencemaran dilingkungan/wilayah laut disebabkan oleh empat sumber
yaitu: pencemaran dari kapal, dumping, aktivitas dasar laut dan aktivitas dari
daratan.16
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut adalah
perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh
manusia secara langsung maupun tidak bahan-bahan enerji ke dalam
lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang
demikian buruknya sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati,
bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut
termasuk perikanan dan lain-lain penggunaan laut yang wajar, pemburukan dari
kwalitas air laut dan menurunnya tempat-tempat permukiman dan rekreasi
3. Sumber dan Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Laut
Apabila ditinjau dari mana sumber pencemaran tersebut berasal,maka
sumber pencemaran laut dapat dibedakan menjadi, yaitu :
a) Laut
Kapal (Pembuangan Minyak, Kebocoran Kapal dan kecelakaan seperti
kapal pecah, dan tabrakan kapal.)
Instalasi Minyak.
16 R.R. Churcil and A.V. Lowe, The Law of The Sea,: Manchester University Press, Manchester ,
1999, hlm. 329
44 Tindak Pidana Kelautan
b) Darat
pencemaran melalui udara
pembuangan sampah ke laut
air buangan sungai
air buangan industri
Jika ditinjau dari sudut sumber yang menyebabkan terjadinya
pencemaran laut, dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :
a) Pencemaran yang disebabkan oleh zat pencemar yang berasal dari darat
b) Pencemaran yang disebabkan oleh zat pencemar yang berasal bersumber dari
kapal laut
c) Pencemaran yang disebabkan oleh dumping atau buangan sampah
d) Pencemaran laut yang disebabkan oleh zat yang bersumber dari kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi dasar laut serta tanag dibawahnya.
e) Pencemaran laut yang disebabkan oleh zat pencemar yang bersumber dari
udara.
Jenis - jenis Pencemaran Lingkungan Laut dapat dikelompokkan
sebagai berikut ini:
1) Marine Pollution caused via the atmosphere by land based activities Bukti-
bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga penyebab utama pencemaran laut
golongan pertama ini, yaitu :
a. Penggunaan berbagai macam synthethic chemical khususnya chlorinated
hydrocarbons untuk pertanian
b. Pelepasan logam-logam berat (heavy metal) seperti merkuri akibat proses
industri atau lainnya
c. Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan oleh
penggunaan minyak bumi untuk menghasilkan energy
45 Tindak Pidana Kelautan
2) The disposal of domestic and industrial wastes, Pencemaran yang
disebabkan oleh pengaliran limbah domestik atau limbah industri dari pantai,
baik melalui sungai sewage outlets atau akibat dumping.
3) Marine Pollution caused by radioactivity, Pencemaran laut karena adanya
kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun dari kegiatan-kegiatan manusia.
Dua penyebab utamanya adalah percobaan senjata nuklir dan pembuangan
limbah radioaktif, termasuk pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan
laut untuk kepentingan militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
4. Sanksi Pidana terkait dengan Pencemaran Laut
Tindak pidana lingkungan atau delik lingkungan adalah perintah dan
larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam
dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda
dengan tujuan untuk ,elindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun
unsur-unsur dalam lingkunagn hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air
serta manusia. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini, delik lingkungan hidup
tidak hanya ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH,
tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk
melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.17
Berdasarkan Asas Subsidiaritas (Ultimum Remidium) Hukum (sanksi)
Pidana sebagai penunjang hukum administrasi, Sanksi pidana digunakan
apabila:
a. Sanksi administrasi tidak efektif
b. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak efektif
c. Penyelesaian sengketa di pengadilan tidak efektif
d. Kesalahan pelaku relatif/besar dan berat
e. Timbul keresahan di masyarakat
17 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,
hlm. 221.
46 Tindak Pidana Kelautan
f. Menimbulkan orang sakit
g. Menyebabkan Orang Meninggal Dunia
h. Ada bukti permulaan cukup
i. Pelaku pencemaran dan/atau perusakan jelas
Ketentuan pidana terkait degan pencemaran laut terdiri dari 2 (dua) jenis
Delik yaitu Delik Materil dan Delik Formil. Delik materiel dalam ketentuan
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 98 dan Pasal 99, yaitu setiap orang yang
dengan sengaja atau kelalaiannya melakukan:
1) Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
2) Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
dan mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia
3) Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
dan mengakibatkan orang luka berat atau mati
Sedangkan perbutan yang dilarang yang masuk kategori delik formil
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 100 s/d Pasal 111 dan Pasal
113 s/d Pasal 115 antara lain:
1) Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan;
2) Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin;
3) Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan;
4) Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin;
5) Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
47 Tindak Pidana Kelautan
6) Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
7) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
8) Pejabat pemberi izin lingkungan yg menerbitkan izin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL;
9) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan;
10) Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum
yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
11) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah;
12) Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat
penyidik pegawai negeri sipil
5. Kasus dan Penyelesaian Hukum
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan
aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku,
yang meliputi tiga bidang hukum, yakni hukum administratif, hukum perdata,
dan hukum pidana. Penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk
mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum
yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan
ataupun ancaman, sarana adminsitratif, keperdataan, dan kepidanaan.18
Kasus
kapal baik anak buah kapal atau penumpang yang membuang sampah
sembarangan di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran yaitu:
Pasal 229
18 Niniek Suparni, Pelestarian, Pengeloaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hlm. 161.
48 Tindak Pidana Kelautan
1) Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas, kotoran,
sampah, serta bahan kimia berbahaya dan beracun ke perairan.
2) Dalam hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan kualitas buangan
telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan
perundangundangan, ketentuan pada ayat (1) dapat dikecualikan.
3) Setiap kapal dilarang mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas sesuai
dengan ketentuan ambang batas sesuai perundang-undangan.
Pasal 325
4) Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran,
sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
5) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (6) Jika perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Penerapan sanksi pidana penjara dan denda tersebut di atas bersifat
komulatif bukan alternatif, jadi sanksinya diterapkan keduanya yaitu sanksi
pidana penjara dan pidana denda, bukan salah satu dintaranya, pemberatan
sanksi dapat dikenakn bagi pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana yaitu
diperberat sepertiga Selain ancaman pidana, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c) perbaikan akibat tindak pidana;
49 Tindak Pidana Kelautan
d) pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikantanpa hak; dan/atau
e) penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
(Pasal 119 UU No. 32/2009)
Kasus lainnya terhadap pencemaran laut dapat dilihat dalam kasus
berikut ini yaitu pencemaran yang diakibatkan anjungan pengeboran minyak di
Montara Blok West Atlas Laut Timor, perairan Australia yang meledak dan
terbakar pada 21 Agustus 2009. Setiap hari sekitar 400 barel minyak mentah
tumpah ke laut lepas. Sembilan hari kemudian, tumpahan minyak mentah itu
sudah memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kebocoran kilang
minyak itu akhirnya bisa ditutup pada 3 November 2009. Namun tumpahan
minyak terlanjur mengalir ke perairan Indonesia. Pada 1 September 2009, jejak
tumpahan minyak ditemukan pada jarak 51 mil laut dari Pulau Rote.
Dampaknya terasa sampai dua tahun setelah kebocoran itu. Pada tahun pertama
setelah kebocoran, hasil tangkapan ikan nelayan di wilayah Timor Barat anjlok
sekitar 85%. Hasil panen petani rumput laut juga berkurang hampir 90% dari
saat normal. Pemerintah Indonesia menghitung kerugian lingkungan, sosial dan
ekonomi sekitar Rp. 22 triliun. Biaya tersebut termasuk biaya pemulihan
lingkungan akibat kebocoran sumur minyak tersebut
Dalam kasus bocornya anjungan pengeboran minyak di laut Montara
tahun 2009 nampaknya proses negosiasi yang semula terlihat mudah menjadi
ruwet. Hal ini terlihat pihak PTTEP terus mengulur waktu penandatanganan
MOU dengan berbagai alasan contoh: pergantian kabinet, banjir di Thailand,
dan beberapa kali mengganti tim perunding. Kemudian pada bulan September
2011 Executive vice President PTTEP Group membuat pernyataan dengan
memberi kesimpulan kebocoran minyak Montara tidak merusak lingkungan
hidup dengan alasan sebagian besar tumpahan minyak Montara mengalir ke
perairan Australia.
Kasus tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana
pertanggungjawaban serta penyelesaian hukum terhadap pelaku pencemaran
50 Tindak Pidana Kelautan
laut yang mana perbuatan tersebut di lakukan diluar yurisdiksi Indonesia dan
berdampak sampai ke Indonesia. Dalam kasus Montara, pemerintah bisa
menempuh jalur hukum pidana dan hukum perdata. pemerintah Indonesia bisa
menuntut PTTEP ke jalur perdata. Pemerintah Indonesia bisa menggugat
PTTEP di Pengadilan Perth atau di Jakarta. Di Negara Australia, pihak
Indonesia menggunakan Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa t entang Hukum
Laut, Yurisprudensi Mahkamah Internasional, dan Undang-undang Lingkungan
Hidup Australia. Adapun di Jakarta, Pemerintah bisa memakai hukum perdata
dan undang-undang lingkungan hidup Indonesia. (Nomor perkara
No.241/Pdt.G/2017/PN.Jkt) Adapun secara pidana, Indonesia bisa memakai
Undangundang Lingkungan hidup.
6. Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
D. Evaluasi
1. Jelaskan Pengertian dan Unsur-Unsur Lingkungan Hidup?
2. Jelaskan Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Pencemaran Laut?
51 Tindak Pidana Kelautan
3. Jelaskan Sumber dan Jenis-Jenis Pencemaran Lingkungan Laut?
4. Jelaskan Sanksi Pidana terkait dengan Pencemaran Laut?
5. Jelaskan Kasus dan Penyelesaian Hukum?
6. Jelaskan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup?
E. Sumber Penulisan
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta, 1982
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Penerbit
Erlangga, Jakarta, 2004.
Niniek Suparni, Pelestarian, Pengeloaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,
Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
P.Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Reneka Cipta, Jakarta, 1991.
R.R. Churcil and A.V. Lowe, The Law of The Sea,: Manchester University Press,
Manchester , 1999.
Syamsul Arifin, Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia, USU Press,
Medan, 1993.
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
52 Tindak Pidana Kelautan
BAB VI
TINDAK PIDANA BENDA CAGAR BUDAYA
DI BAWAH PERMUKAAN LAUT
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Benda Cagar Budaya di bawah permukaan Laut
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian Cagar Budaya, Asas
dan Tujuan Pelestarian Cagar Budaya, Pemilikan Dan Penguasaan
Benda Cagar Budaya, Ketentuan Pidana Dalam Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya, Panitia Nasional Pengangkatan Dan
Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam
dan Perburuan Cagar Budaya Di Laut Bintan Dari Masa Ke Masa
Materi 1. Pengertian Cagar Budaya
2. Asas dan Tujuan Pelestarian Cagar Budaya
3. Pemilikan Dan Penguasaan Benda Cagar Budaya
4. Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya
5. Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga
Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam
6. Perburuan Cagar Budaya Di Laut Bintan Dari Masa Ke Masa
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu kelima
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Benda Cagar Budaya di
bawah permukaan Laut
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami
materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
53 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Benda Cagar Budaya di bawah permukaan Laut
Indonesia mempunyai banyak benda peninggalan bersejarah yang
merupakan warisan dari nenek moyang bangsa ini. Peninggalan bersejarah tersebut
merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya, yang sangat perlu untuk
dirawat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.Benda peninggalan sejarah
tersebut yang sesuai dengan kualifikasi yang telah ditentukan oleh Undang–
Undang, biasa disebut sebagai benda cagar budaya. Keberadaan dari benda cagar
budaya tersebut masih rawan dari kerusakan, kehilangan dan kemusnahan, baik
yang disebabkan oleh faktor alam maupun perbuatan dari manusia itu sendiri.
Akibat kondisi alam yang sulit ditebak dan system navigasi masih belum
modern saat itu sehingga telah banyak kapal tenggelam yang umumnya berasal
dari masa sebelum abad XX. Tepatnya sebelum Perang Dunia II ditemukan di
perairan Indonesia. Kapal-kapal Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur untuk
tujuan berdagang tersebut memiliki potensi membawa muatan benda-benda
berharga yang memiliki nilai sejarah dan budaya.
1. Pengertian Cagar Budaya
Cagar budaya adalah suatu produk masa lalu yang bersifat unik dan
langka. Karena keunikan dan kelangkaan itulah yang antara lain suatu
cagar budaya perlu dilestarikan. Cagar budaya merupakan kekayaan
budaya yang penting demi memupuk kesadaran jati diri bangsa dan
meningkatkan harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa
kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa di masa depan.19
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
19Ratna Herawati, “Implementasi Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010 terhadap
Pelestarian Benda Cagar Budaya di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang”.
Jurnal Hukum dan Masyarakat Madani 1 (6): 59-73, 2016, hlm. 63.
54 Tindak Pidana Kelautan
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan. Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila
memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
2. Asas dan Tujuan Pelestarian Cagar Budaya
Konsep pelestarian cagar budaya dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya tidak dirumuskan secara
eksplisit namun cukup menggambarkan bahwa arti pelestarian cenderung
mengacu kepada upaya-upaya pelindungan yang bersifat statis,
misalnya dengan membuat batasan-batasan secara relatif ketat pada
aktifitas pengembangan dan pemanfaatan yang dianggap berpotensi
merusak cagar budaya. Oleh karena itu muncullah kesan bahwa upaya-upaya
pengembangan atau pemanfaatan dapat mengancam kelestarian jika tidak
dikendalikan secara ketat. Pemahaman tentang konsep pelestarian yang
dipertentangkan dengan pengembangan atau pemanfaatan
sesungguhnya masih terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila konsep pelestarian yang dirumuskan dalam undang-
undang cagar budaya yang baru tersebut belum banyak dipahami oleh
masyarakat luas.20
20Supratikno Rahardjo, “Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya dan
Strategi Solusinya”. Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur, 7 (2). 2013, hlm. 4-5.
55 Tindak Pidana Kelautan
Pelestarian Cagar Budaya berasaskan:
a. Pancasila yaitu Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan berdasarkan nilai-
nilai Pancasila.
b. Bhinneka Tunggal Ika yaitu Pelestarian Cagar Budaya senantiasa
memperhatikan keberagaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah, dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
c. Kenusantaraan yaitu bahwa setiap upaya Pelestarian Cagar Budaya harus
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah negara Indonesia.
d. Keadilan yaitu Pelestarian Cagar Budaya mencerminkan rasa keadilan dan
kesetaraan secara proporsional bagi setiap warga negara Indonesia.
e. Ketertiban dan kepastian hukum yaitu bahwa setiap pengelolaan Pelestarian
Cagar Budaya harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan adanya kepastian hukum.
f. Kemanfaatan yaitu Pelestarian Cagar Budaya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat dalam aspek agama, sosial, pendidikan,
ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata.
g. Keberlanjutan yaitu upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dilakukan secara
terusmenerus dengan memperhatikan keseimbangan aspek ekologis.
h. Partisipasi yaitu setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif
dalam Pelestarian Cagar Budaya.
i. Transparansi dan akuntabilitas yaitu Pelestarian Cagar Budaya
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara transparan dan terbuka
dengan memberikan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
Pelestarian Cagar Budaya bertujuan:
a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia;
b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
c. memperkuat kepribadian bangsa;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
56 Tindak Pidana Kelautan
e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
3. Pemilikan Dan Penguasaan Benda Cagar Budaya
Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya
dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan Undang-Undang. Warga negara asing dan/atau badan hukum
asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga
negara asing dan/atau badan hukum asing yang tinggal dan menetap di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga negara asing dan/atau badan
hukum asing dilarang membawa Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-
bagiannya, ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan
kepemilikannya kepada negara atau setiap orang lain. Negara didahulukan atas
pengalihan kepemilikan Cagar Budaya. Pengalihan kepemilikan dapat
dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual,
diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan. Cagar Budaya yang
telah dimiliki oleh Negara tidak dapat dialihkan kepemilikannya. Setiap orang
dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya
dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat dan/atau di air,
kecuali dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
4. Ketentuan Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya
Pasal 103, menyatakan bahwa Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah
atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
57 Tindak Pidana Kelautan
Pasal 106, menyatakan bahwa Setiap orang yang mencuri Cagar
Budaya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah) dan Setiap orang yang menadah hasil pencurian
Cagar Budaya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 109, menyatakan bahwa Setiap orang yang tanpa izin Menteri,
membawa Cagar Budaya ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 113, menyatakan bahwa Tindak pidana yang dilakukan oleh badan
usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum,
dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh badan usaha
berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum, dipidana
dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda. Tindak pidana yang
dilakukan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana,
dipidana dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
Pasal 115, Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 sampai dengan Pasal 114 dikenai tindakan pidana
tambahan berupa:
a. kewajiban mengembalikan bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik
pengerjaan sesuai dengan aslinya atas tanggungan sendiri; dan/atau
58 Tindak Pidana Kelautan
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap
badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum
dikenai tindakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
5. Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam
Barang Muatan Kapal Tenggelam (treasure-laden shipwrecks - BMKT)
atau yang sering disebut dengan harta karun adalah aset laut Nusantara yang
tersebar di perairan antara Sabang sampai Marauke yang hingga kini belum
digarap dengan baik. Di sejumlah kawasan yang memiliki potensi luar biasa.
Namun, kenyataan banyak dari aset kita itu diekplorasi dan hanya dinikmati
oleh pihak asing. Baik melalui pencurian kekayaan laut maupun dengan cara
ekploitasi yang legal
Dari data Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (Ditjen PSDKP) Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) ada
493 situs arkeologi bawah laut di Indonesia. Namun, para peneliti kemaritiman
memperkirakan bahwa bila melihat luas perairan nusantara dan keterangan
dalam sejarah kemaritiman di Indonesia angka tersebut dianggap masih terlalu
kecil.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Panitia
Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal
Yang Tenggelam. BMKT merupakan benda yang dikuasai Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan dikelola oleh Pemerintah. Dalam hal BMKT memenuhi
unsur-unsur:
a. nilainya sangat penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayan
bangsa Indonesia;
b. sifatnya memberikan corak khas dan unik;
59 Tindak Pidana Kelautan
c. jumlah dan jenisnya sangat terbatas dan langka; berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang benda cagar budaya, dinyatakan menjadi
milik negara.”
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) PANNAS BMKT mempunyai tugas yaitu:
1) Mengkoordinasikan kegiatan departemen dan instansi lain yang berkaitan
dengan kegiatan pengelolaan BMKT
2) Menyiapkan peraturan perundang-undangan dan penyempurnaan
kelembagaan di bidang pengelolaan BMKT;
3) Memberikan rekomendasi mengenai izin survei, pengangkatan, dan
pemanfaatan BMKT kepada Pejabat yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
4) Menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan, dan
pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT;
5) Menyampaikan laporan tertulis pelaksanaan tugas paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali kepada Presiden.
PANNAS BMKT memanfaatkan BMKT yang tidak dinyatakan sebagai
milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
melaksanakan tugasnya, PANNAS BMKT dapat mengundang dan/atau
meminta pendapat dari instansi pemerintah dan/atau pihak lain.
6. Perburuan Cagar Budaya Di Laut Bintan Dari Masa Ke Masa
Seperti dilansir dalam Timesonline.com dan menurut Konsorsium
Penyelamat Aset Bangsa (KPAB) bahwa, seorang warga negara Australia
bernama Berger Michael Hatcher yang lahir di Inggris, merupakan salah satu
dari sekian banyak pelaku pemburuan harta karun yang telah banyak meraup
keuntungan dari upayanya melakukan pencarian, pengangkatan, dan penjualan
BMKT dari lautan di wilayah perairan Indonesia sejak tahun 1980-an.
Pada 1985-1986 berhasil mengangkat isi kapal tenggelam Geldermasen
milik VOC di Karang Heliputan di Tanjung Pinang Indonesia kemudian
melelangnya di balai lelang Christie, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan
60 Tindak Pidana Kelautan
Indonesia tidak kebagian sedikit pun. Di dunia internasional Hatcher dijuluki
The Wreck Salvage King (Raja Penyelamat Kapal Karam). Dia mendapatkan
126 emas batangan dan 160 ribu benda keramik dinasti Ming dan Ching.
Perburuan cagar budaya di laut Bintan juga masih terjadi di masa ini,
berdasarkan informasi dari tribunbatam, Komandan Guskamlamabar Harjo
Susmoro memberikan telah penjelasan kepada 22 ABK yang terjaring dalam
patroli angkatan laut yang sedang berburu harta karun keramik antic di perairan
Pulau Bintan.
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian cagar budaya?
2. Jelaskan asas dan tujuan pelestarian cagar budaya?
3. Jelaskan pemilikan dan penguasaan benda cagar budaya?
4. Jelaskan ketentuan pidana dalam nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya?
5. Jelaskan panitia nasional pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga asal
muatan kapal yang tenggelam?
6. Analisis berkaitan dengan kasus perburuan cagar budaya di laut bintan?
E. Sumber Penulisan
Ratna Herawati, “Implementasi Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010
terhadap Pelestarian Benda Cagar Budaya di Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang”. Jurnal Hukum dan Masyarakat
Madani 1 (6). 2016.
Supratikno Rahardjo, “Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya dan Strategi Solusinya”. Jurnal Konservasi Benda Cagar
Budaya Borobudur, 7 (2). 2013.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang
Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam
61 Tindak Pidana Kelautan
http://batam.tribunnews.com/2014/09/10/penyelam-berburu-emas-batangan-di-
perairan-pulau-bintan?page=2.
tribunbatam.id
62 Tindak Pidana Kelautan
BAB VII
TINDAK PIDANA TERHADAP PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian, Asas dan Tujuan,
Pemanfaatan dan Hak Atas Pulau-Pulau Kecil, Tindak Pidana
Terhadap Trumbu Karang dan Mangrove, Tindak Pidana
Penambangan Pasir, Mineral, Minyak dan Gas dan Tindak Pidana
Reklamasi
Materi 1. Pengertian, Asas dan Tujuan
2. Pemanfaatan dan Hak Atas Pulau-Pulau Kecil
3. Tindak Pidana Terhadap Trumbu Karang dan Mangrove
4. Tindak Pidana Penambangan Pasir, Mineral, Minyak dan Gas
5. Tindak Pidana Reklamasi
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Terhadap Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami
materi yang diberikan
Mereview materi Perkuliahan minggu pertama sampai ke ketujuh
persiapan Ujian Tengah Semester (UTS)
Kesimpulan
Evaluasi
63 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Terhadap Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
1. Pengertian, Asas dan Tujuan
Sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan, Daerah mulai
memperhatikan potensi yang dimilikinya dan yang secara ekonomis dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa daerah
di Indonesia yang secara geografis memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil menyadari betapa pentingnya pengelolaan kawasan tersebut untuk
berbagai kegiatan baik yang bersifat ekonomis maupun konservasi dengan
seimbang dan tepat. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memang merupakan
wilayah yang memiliki keunikan tersendiri namun rentan terhadap terjadinya
konflik kepentingan, ekonomi dan sosial serta berbagai persoalan lingkungan
akibat pemanfaatan yang tidak didasarkan pada prinsip ekologis yang
merupakan dasar pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.21
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati,
sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber
daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;
sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar
laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan:
21
Ambo Tuwo, Pendekatan Ekologi dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut,
dalam buku Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia, IPB Press, Jakarta, 2013, hlm. 147.
64 Tindak Pidana Kelautan
a. Keberlanjutan
Asas keberlanjutan diterapkan agar:
1) Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber
daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya nonhayati pesisir;
2) Pemanfaatan sumber daya pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan
(kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber
daya pesisir; dan
3) Pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus
dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang
memadai.
b. Konsistensi;
Asas konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan
lapisan pemerintahan, dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian,
dan pengawasan untuk melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan pulaupulau Kecil yang telah diakreditasi.
c. Keterpaduan;
Asas keterpaduan dikembangkan dengan:
1) Mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor
pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah dan
pemerintah daerah; dan
2) Mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan
masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
membantu proses pengambilan putusan dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
d. Kepastian hukum;
Asas kepastian hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum
yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara
jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan;
serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat
65 Tindak Pidana Kelautan
dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil.
e. Kemitraan;
Asas kemitraan merupakan kesepakatan kerja sama antarpihak yang
berkepentingan berkaitan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.
f. Pemerataan;
Asas pemerataan ditujukan pada manfaat ekonomi sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dinikmati oleh sebagian besar
anggota masyarakat.
g. Peran serta masyarakat;
Asas peran serta masyarakat dimaksudkan:
1) Agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peran dalam
perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian;
2) Memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan
pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan
sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil;
3) Menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan
tersebut;
4) Memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil.
h. Keterbukaan;
Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dari tahap
perencanan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara.
66 Tindak Pidana Kelautan
i. Desentralisasi;
Asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan
dari Pemerintah kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
j. Akuntabilitas; dan
Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan.
k. Keadilan.
Asas keadilan merupakan asas yang berpegang pada kebenaran, tidak
berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tujuan dari penyusunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ini adalah22
:
1) Untuk menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai
pengelolaan WP3K khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan,
hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi
bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran
konvensi-konvensi internasional terkait;
2) Untuk membangun sinergi dan saling memperkuat hubungan kerja
antarlembaga Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang terkait
dengan pengelolaan WP3K sehingga tercipta hubungan yang harmonis dan
mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan
antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3) Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki
tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
22 Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil
67 Tindak Pidana Kelautan
pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat
pesisir dan anggota masyarakat lainnya yang berkepentingan, termasuk
pihak pengusaha
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan
dengan tujuan:
a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan;
b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran
serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
2. Pemanfaatan dan Hak Atas Pulau-Pulau Kecil
Pada dasarnya, pulau-pulau kecil itu dikuasai oleh negara, kemudian
negara mengatur penguasaannya kepada pihak lain (baik itu perseorangan atau
swasta) dalam bentuk izin. Namun kemudian, Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil mengatur
bahwa pulau-pulau kecil dapat diberikan Hak Atas Tanah, termasuk hak milik.
Pada Bab tentang Pemanfaatan mengatur berkaitan dengan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir dan pemanfaatan Pulau–Pulau Kecil dan Perairan
di Sekitarnya:
(1) Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.
68 Tindak Pidana Kelautan
(2) HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut.
(3) HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
(4) Pemberian HP-3 wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian
Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan
kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.
(5) HP-3 dapat diberikan kepada:
a. Orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. Masyarakat Adat.
(6) HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat di
perpanjang
Pemanfaatan Pulau–Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya yaitu:
(1) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan
berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan
terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2) Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan
untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a. konservasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. budidaya laut;
e. pariwisata;
f. usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
g. pertanian organik; dan/atau
h. peternakan.
Persoalan penurunan kualitas fisik lingkungan pesisir umumnya terjadi
pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Terumbu karang
yang dalam kondisi baik saat ini tidak lebih dari 30% sedangkan area yang
69 Tindak Pidana Kelautan
mengalami degradasi hamper merata terjadi di seluruh wilayah pesisir
Indonesia. Beberapa kegiatan yang diduga menjadi penyebab erosi pantai
adalah kegiatan penambangan pasir laut untuk kepentingan reklamasi,
pembangunan pelabuhan, jetty, marina serta pembangunan hotel dan resort.
Pencemaran wilayah pesisir terjadi karena akibat dari aktivitas di darat seperti
limbah industri dan rumah tangga serta pertanian. Beberapa aktivitas di laut
juga menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan seperti kegiatan
ptransportasi laut, termasuk transportasi kapal pengangkut minyak dan kegiatan
pertambangan lepas pantai. Hal-hal inilah yang menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan perairan dan estetika pantai.23
3. Tindak Pidana Terhadap Trumbu Karang dan Mangrove
Ketentuan pidana berkaitan dengan Trumbu Karang dan Mangrove
terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pasal 73 (1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
setiap Orang yang dengan sengaja:
a. Melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu
karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan
beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem
terumbu karang. Kegiatan tersebut yaitu:
1) Menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem
terumbu karang;
2) Mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
23Ridwan Lasabuda, “Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara
Kepulauan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmiah Platax, Vol.1-2 Januari 2013, hlm. 96-97.
70 Tindak Pidana Kelautan
3) Menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang
merusak Ekosistem terumbu karang; d. Menggunakan peralatan, cara, dan
metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
b. Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove,
melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk
kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain, seperti:
1) Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang
tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
2) Melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona
budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
3) Menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri,
pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
4. Tindak Pidana Penambangan Pasir, Mineral, Minyak dan Gas
Ketentuan pidana berkaitan dengan Penambangan Pasir, Mineral,
Minyak dan Gas terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pasal 73
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:
d. Melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya;
e. Melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara
teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
71 Tindak Pidana Kelautan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya;
f. Melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis
dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan
Masyarakat sekitarnya; serta
5. Tindak Pidana Reklamasi
Ketentuan pidana berkaitan dengan Reklamasi terdapat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pasal 74 huruf (b) yaitu Dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena
kelalaiannya, tidak melaksanakan kewajiban reklamasi, Pelaksanaan Reklamasi
wajib menjaga dan memperhatikan:
a) Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
b) Keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
c) Persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian, asas dan tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil?
2. Jelaskan pemanfaatan dan hak atas pulau-pulau kecil?
3. Analisis kasus berkaitan dengan tindak pidana terhadap trumbu karang dan
mangrove?
4. Analisis kasus berkaitan dengan tindak pidana penambangan pasir, mineral,
minyak dan gas?
5. Analisis kasus berkaitan dengan tindak pidana reklamasi?
72 Tindak Pidana Kelautan
E. Sumber Penulisan
Ambo Tuwo, Pendekatan Ekologi dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut, dalam buku Membangun Sumber Daya Kelautan Indonesia, IPB
Press, Jakarta, 2013.
Ridwan Lasabuda, “Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmiah Platax, Vol.1-2
Januari 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
73 Tindak Pidana Kelautan
BAB VIII
TINDAK PIDANA KONSERVASI SUMBER DAYA
HAYATI DAN EKOSISTIMNYA
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistimnya
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian dan Kegiatan Konservasi Sumber
Daya Hayati Dan Ekosistimnya, Asas dan Tujuan, Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Liar, Ketentuan Larangan dan Pengecualian, Satwa
Laut yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah, Ketentuan Pidana
dan Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistimnya di
Kepulauan Riau
Materi 1. Pengertian dan Kegiatan Konservasi Sumber Daya Hayati Dan
Ekosistimnya
2. Asas dan Tujuan
3. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar
4. Ketentuan Larangan dan Pengecualian
5. Satwa Laut yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri
6. Ketentuan Pidana
7. Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistimnya di
Kepulauan Riau
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview Soal Ujian Tengah Semester (UTS)
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya
Hayati dan Ekosistimnya
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami
materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
74 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistimnya
1. Pengertian dan Kegiatan Konservasi Sumber Daya Hayati Dan
Ekosistimnya
Kebijakan konservasi di Indonesia mulai mengalami pergeseran
paradigma, dari yang awalnya berprinsip konservasi untuk konservasi itu
sendiri menjadi konservasi yang memiliki fungsi sosial-ekonomi bermanfaat
bagi masyarakat lokal. Konservasi tidak memisahkan manusia dengan alam
sekitarnya.24
Manusia dengan segala motivasi atau kepentingannya sejak lama telah
memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tumbuhan maupun satwa liar (flora
fauna) baik untuk menunjang ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan
dimana pada banyak jenis tumbuhan dan satwa liar, pemanfaatan yang telah
dilakukan oleh manusia diyakini telah menyebabkan jenis-jenis tersebut
menjadi terancam kepunahan. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur
hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan
sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya. Ekosistem sumber daya alam hayati
adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati
maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara,
yang masih mempunyai kemurnian jenisnya. Satwa liar adalah semua binatang
yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai
sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
24Santosa A dkk, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan, Pokja
Kebijakan Konservasi, Bogor, 2008, hlm. 45-56
75 Tindak Pidana Kelautan
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati
ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-
sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan
hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
2. Asas dan Tujuan
a. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan
pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang.
b. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
3. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan
melalui tiga kegiatan:
1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kehidupan adalah merupakan
suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya dan
saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan.
Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang
akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam hayati,
maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan
dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-
usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air,
tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi
hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai; perlindungan
terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.
2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-
76 Tindak Pidana Kelautan
unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik). Semua unsur ini
sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak
dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk
menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur
tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat
berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewaktu-waktu
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di
luar kawasan (konservasi exsitu).
3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam
pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga
pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan secara terus menerus pada masa
mendatang.
4. Ketentuan Larangan dan Pengecualian
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya mengatur berkaitan
dengan ketentuan larangan yaitu terdapat dalam Pasal 21 yang menyatakan
sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang untuk :
a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
77 Tindak Pidana Kelautan
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan
atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Ketentuan larangan dalam Pasal 21 memiliki beberapa pengecualian
yaitu terdapat di Pasal 22 yang dapat di uraikan sebagai berikut ini:
1) Untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
2) Termasuk dalam penyelamatan adalah pemberian atau penukaran jenis
tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin
Pemerintah.
3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang
dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa
yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
5. Satwa Laut yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri
a. Satwa Laut yang Dilindungi Berdasarkan Peraturan Pemerintah berikut
adalah daftar spesies dan keluarga hewan laut yang dilindungi, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa, yaitu:
78 Tindak Pidana Kelautan
a) Mamalia:
Paus (semua jenis dari famili Cetacea)
Lumba-lumba (semua jenis dari famili Dolphiniidae dan Ziphiidae)
Paus biru (Balaenoptera musculus)
Paus bersirip (Balaenoptera physalus)
Paus bongkok (Megaptera novaeangliae)
b) Reptil:
Penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
Penyu tempayan (Caretta caretta)
Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
Penyu ridel (Lepidodhelys olivacea)
Penyu pipih (Natator depressa)
c) Ikan:
Ikan raja laut aka.Coelacanths (Latimeria chalumnae).
d) Akar bahar :
Akar bahar dan koral hitam (Antiphates spp.)
e) Moluska :
Kima tapak kuda (Hippopus hippopus)
Kima cina (Hippopus porcellanus)
Kima kunia (Tridacna crocea)
Kima selatan (Tridacna derasa)
Kima raksasa (Tridacna gigas)
Kima kecil (Tridacna maxima)
Kima sisik, kima seruling (Tridacna squamosa)
Triton terompet (Charonia tritonis)
Kepala kambing (Cassis cornuta)
Susu bunder (Trochus niloticus)
79 Tindak Pidana Kelautan
Batu laga, siput hijau (Turbo marmoratus)
Nautilus berongga (Nautilus pompillus)
f) Arthropoda :
Ketam tapak kuda (Tachypleus gigas)
b. Satwa yang dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018
Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang dilindungi yaitu Dugongidae
(Dugong dugon) atau yang lebih dikenal dengan duyung
c. Satwa yang dilindungi dalam PP Nomor 7 Tahun 1999 yaitu:
a) Anoxypristis cuspidata (Hiu Gergaji, Cucut Krakas, Knifetooth Sawfish),
Dulu dianggap sebagai Pristis cuspidatus
b) Pristis clavata (Hiu Gergaji, Dwarf Sawfish)
c) Pristis microdon (Pari Sentani, Hiu gergaji, Largetooth Sawfish)
d) Pristis zijsron (Hiu Gergaji, Green Sawfish)
d. Satwa yang dilindingi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan
Penuh Ikan Hiu paus atau Rhincodon typus (Hiu paus atau Whale shark)
e. Cheilinus undulatus (Ikan Napoleon atau Humphead wrasse)
Dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
37 Tahun 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan
Napoleon
6. Ketentuan Pidana
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem mengatur berkaitan dengan tindak pidana
yaitu terdapat dalam Pasal 40 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1)
80 Tindak Pidana Kelautan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 19 (1) Setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Pasal 33 (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00(seratusjuta rupiah).
Pasal 21
1) Setiap orang dilarang untuk:
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
2) Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
81 Tindak Pidana Kelautan
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.
Pasal 33 Ayat (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).
Pasal 19 (1) Setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Pasal 32 Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang
terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan
keperluan.
(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 21
1) Setiap orang dilarang untuk:
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati
82 Tindak Pidana Kelautan
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
2) Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya
dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.
Pasal 33 Ayat (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (4) adalah pelanggaran.
83 Tindak Pidana Kelautan
7. Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistimnya di
Kepulauan Riau
Perburuan Ikan Duyung di Kepri masih terjadi diera ini, dapat kita
ketahui dari liputan M.Ambari di Bintan Kepri pada 4 Mei 2018 yaitu sebagai
berikut ini:
Ditengah keterbatasan itu, hampir semua warga Air Glubi bertahan
hidup sebagai nelayan. Tapi uniknya ada satu keluarga yang enggan
berprofesi sebagai nelayan yaitu Musa (70 tahun). Bersama
keluarganya, Musa justru berprofesi sebagai pemburu Duyung (Dugong
Dugon), sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Ditemui
dirumahnya, Musa yang berasal dari Suku Laut bercerita termasuk
pemburu yang masif menangkap mamalia laut Duyung. Dalam sebulan,
dia bisa menangkap rerata 10 ekor seberat masing-masing sekitar 700
kilogram. Duyung dijual dengan harga bervariasi kepada pembeli yang
datang, terutama dari pulau Bintan.
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian dan kegiatan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistimnya?
2. Jelaskan asas dan tujuan konservasi sumber daya hayati dan ekosistimnya?
3. Jelaskan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar?
4. Jelaskan ketentuan larangan dan pengecualian dalam konservasi sumber daya
hayati dan ekosistimnya?
5. Jelaskan satwa laut yang dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah dan
peraturan menteri?
6. Jelaskan ketentuan pidana konservasi sumber daya hayati dan ekosistimnya?
7. Analisis kasus pidana berkaitan dengan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistimnya di Kepulauan Riau?
84 Tindak Pidana Kelautan
E. Sumber Penulisan
Santosa A dkk, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan,
Pokja Kebijakan Konservasi, Bogor, 2008.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
Dan Satwa
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan
Dan Satwa Yang dilindungi
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu paus atau Rhincodon
typus (Hiu paus atau Whale shark)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang
Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon
85 Tindak Pidana Kelautan
BAB IX
TINDAK PIDANA DI ZONA
EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana di
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
Kedaulatan di ZEEI dalam UNCLOS 1982, Hak Berdaulat, Hak-Hak
Lain Dan Yurisdiksi Republik Indonesia Di Zona Ekonomi Eksklusif,
Wewenang Penegak Hukum dan Ketentuan Pidana
Materi 1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2. Kedaulatan di ZEEI dalam UNCLOS 1982
3. Hak Berdaulat, Hak-Hak Lain Dan Yurisdiksi Republik Indonesia
Di Zona Ekonomi Eksklusif
4. Wewenang Penegak Hukum
5. Ketentuan Pidana
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu kesembilan
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana di Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami
materi yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
86 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Konvensi 1982 tidak secara eksplisit menegaskan pengertian atau
definisi dari ZEE tersebut.tidak ada satu pasalpun dari 21 pasalnya (Pasal 55-57
konvensi 1982) itu yang menegaskan pengertian atau definisi tentang ZEE.
meskipun demikian, terdapat 2 pasal yaitu Pasal 55 dan 57 yang jika di kaitkan
satu dengan yang lainnya ternyata menunjukkan pengertian tentang ZEE.
Pasal 55 yang judulnya adalah “specific regime of the exclusive
economic zone” (rejim hukum khusus zona ekonomi eksklusif) menyatakan
sebagai berikut: “the exclusive economic zone is an area beyond and adjacent
to the territorial sea,subject to the specific legal rejim established in this part,
under which the rights and the freedoms of the other states are governed by the
relevant provisionsof this convention”. (zona ekonomi eksklusif adalah suatu
daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rejim
hukum khusus yang di tetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan
yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan Negara lain diatur oleh
ketentuan –ketentuan yang relevan dari konvensi ini).
Selanjutnya Pasal 57 menegaskan lebar ZEE sebagai berikut: “the
exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the
baselines from which the breadth of the territorial sea is measured (zona
ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dai garis pangkal dari
mana lebar laut territorial di ukur ).’’
Dari kedua pasal yang telah di kutip diatas,yang tampaknya saling
melengkapi ,dapatlah di simpulkan pengertian dam substansi dari ZEE. Kedua
pasal itu menunjukkan arah unsur-unsur dari ZEE Yakni:
a) Letak geografisnya dari ZEE yaitu sebagai suatu zona diluar dan
bersambungan dengan laut territorial (Pasal 55);
b) ZEE tunduk pada rezim hukum yang spesifik sebagaiman ditentukan di
dalam bab ini (bab yang mengatur tentang ZEE itu sendiri, Pasal 55);
87 Tindak Pidana Kelautan
c) Berdasarkan rejim hukum khusus itu ,hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai
serta hak-hak kebebasan negara-negara laindiatur oleh ketentuan yang
relevan dari konvensi ini (Pasal 55);
d) Lebar dari ZEE tidak boleh melebihi dari 200 mil laut ,diukur dari garis
pangkal dari mana lebarlaut territorial diukur (Pasal 57).
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah
di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki
kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri atas perairan
kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu
Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya
kelautan seluas 2,7 km2 pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).25
Konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan pranata hukum laut
internasional yang masih baru. Di dalam konferensi Hukum Laut yang
diprakarsai oleh PBB yang diselenggarakan mulai tahun 1973 sampai dengan
1982, Zona Ekonomi Eksklusif ini dibahas secara mendalam dan intensif
sebagai salah satu agenda acara konferensi dan disepakati serta dituangkan di
dalam Bab V Pasal 55-Pasal 75 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.26
25 Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 1
26
T. May Rudy, Hukum Internasional Cetakan I, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 21.
88 Tindak Pidana Kelautan
2. Kedaulatan di ZEEI dalam UNCLOS 1982
Konvensi III PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) membagi laut
dalam tiga bagian. Pertama, laut yang merupakan bagian dari wilayah
kedaulatan sebuah negara (laut teritorial dan laut pedalaman); Kedua, laut yang
bukan merupakan wilayah kedaulatan sebuah negara namun negara tersebut
memiliki sejumlah hak dan yurisdiksi terhadap aktifitas tertentu (zona
tambahan dan zona ekonomi eksklusif); Ketiga, laut yang bukan merupakan
wilayah kedaulatan dan bukan merupakan hak/yurisdiksi negara manapun, yaitu
laut bebas.27
Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah salah satu fitur paling
revolusioner dari UNCLOS 1982 dan memberi dampak yang signifikan pada
27 https://jurnalmaritim.com/zona-ekonomi-eksklusif-zee-dalam-unclos-1982/, diakses pada
terakhir pada tanggal 15 Oktober 2020.
89 Tindak Pidana Kelautan
pengelolaan dan konservasi sumber daya laut. Rezim ZEE menertibkan klaim-
klaim sepihak (unilateral) atas perairan oleh negara-negara di masa sebelumnya,
dengan memberi hak kepada Negara pantai untuk eksplorasi dan eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar
laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya
untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan
energi dari air, arus laut dan angin.28
Pasal 73 UNCLOS 1982 mengatur berkaitan dengan kedaulatan di ZEEI
yang menyatakan bahwa kedaulatan yang dikatakan bahwa Negara pantai dapat
melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif,
menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan jika
diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan
3. Hak Berdaulat, Hak-Hak Lain Dan Yurisdiksi Republik Indonesia Di
Zona Ekonomi Eksklusif
1) Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif Republik Indonesia yaitu:
a) eksplorasi dan eksploitasi
b) pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari
dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya
c) kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona
tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
2) Yurisdiksi di Zona Ekonomi Eksklusif Republik Indonesia berhubungan
dengan:
a) pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya;
b) penelitian ilmiah mengenai kelautan;
28 Ibid,
90 Tindak Pidana Kelautan
c) perlindungan dan pelestarian lingkungan taut;
Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak
berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia
dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen
Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-
negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku. Di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan
internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.
3) Kegiatan-kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dapat diuraikan
sebagai berikut ini:
a) Barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya
alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan/atau
persetujuan internasional tersebut harus mentaati ketentuan tentang
pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
b) Eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah
tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh orang atau badan
hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah yang
diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut
melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
Barangsiapa membuat dan/atau menggunakan pulau-pulau buatan atau
instalasi- instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan
dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan tersebut. Barangsiapa melakukan
kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Barangsiapa
melakukan kegiatan-kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, wajib
91 Tindak Pidana Kelautan
melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan
menanggulangi pencemaran lingkungan laut. Pembuangan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia hanya dapat dilakukan setelah memperoleh keizinan dari
Pemerintah Republik Indonesia.
4. Wewenang Penegak Hukum
Penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut Indonesia
(Perairan) Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif) yang luasnya 6 juta km2
tersebut (3 kali dari luas darat) masih memerlukan perhatian yang besar,
termasuk penegakan hukum dan pengamanan di Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI). Peningkatan kemampuan penegakan hukum dan
pengamanan ini mencakup suatu kerja sama yang erat antara kegiatan-kegiatan
di darat, laut, dan udara. Usaha-usaha meningkatkan monitoring, kontrol,
surveillance, serta kegiatan-kegiatan penyelidikan dan proses pengadilan harus
ditata dengan sebaik-baiknya.29
Wewenang penegak hukum terdapat dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Pasal 13 dan Pasal 14 yang menyatakan bahwa Aparatur penegak hukum
Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan
penegakan hukum sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan pengecualian sebagai
berikut :
1) Penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan
pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi tindakan
penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang
tersebut dipelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;
29Slamet Soebiyanto, Keamanan Nasional ditinjau dari Prespektif Tugas TNI Angkatan Laut,
Majalah Patriot, 2007, hlm.10.
92 Tindak Pidana Kelautan
2) Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat
mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali
apabila terdapat keadaan force majeure;
3) Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang
ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
4) Penuntut umum adalah jaksa pada pengadilan negeri
5) Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau
orang-orang
5. Ketentuan Pidana
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia mengatur berkaitan dengan ketentuan pidana
yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal 17 yang menyatakan bahwa:
Pasal 16: Barangsiapa melakukan tindakan-tindakan:
1) Eksplorasi dan eksploitasi tanpa izin dan mengindahkan peraturan indonesia
2) Membuat dan/atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi- instalasi
atau bangunan-bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif tanpa izin
3) Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tanpa persetujuan terlebih dahulu berdasarkan syarat-
syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225.000.000,-
(dua ratus dua puluh lima juta rupiah). Pasal 17 menyatakan bahwa
Barangsiapa merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana dengan maksud untuk menghindarkan
tindakan-tindakan penyitaan terhadap barang-barang tersebut pada waktu
dilakukan pemeriksaan, dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Pasal 18 memberi penjelasan
93 Tindak Pidana Kelautan
bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17
adalah kejahatan.
D. Evaluasi
1. Jelaskan yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia?
2. Jelaskan Kedaulatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam UNCLOS
1982?
3. Jelaskan Hak Berdaulat, Hak-Hak Lain Dan Yurisdiksi Republik Indonesia Di
Zona Ekonomi Eksklusif
4. Jelaskan Wewenang Penegak Hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia?
5. Jelaskan Ketentuan Pidana Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia?
E. Sumber Penulisan
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta Timur,
2015.
T. May Rudy, Hukum Internasional Cetakan I, Refika Aditama, Bandung, 2010
Slamet Soebiyanto, “Keamanan Nasional ditinjau dari Prespektif Tugas TNI
Angkatan Laut”, Majalah Patriot, 2007.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi
Ekslusif
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana
UNCLOS 1982
https://jurnalmaritim.com/zona-ekonomi-eksklusif-zee-dalam-unclos-1982/
94 Tindak Pidana Kelautan
BAB X
TINDAK PIDANA KEIMIGRASIAN
DI PERAIRAN
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana Keimigrasian
di Perairan
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian Dan Kebijakan Selektif, Izin Tinggal
Terbatas Perairan, Subjek dan Fasilitas Izin Tinggal Terbatas Perairan, Instansi
Pemberi Rekomendasi Izin Tinggal Terbatas Perairan, Tata Cara Pemberian Izin
Tinggal Terbatas Perairan, Persyaratan Untuk Permohonan Izin Tinggal Terbatas
Perairan, Dinamika Izin Tinggal Terbatas Perairan di Masa Moratorium, Ketentuan
Pidana dan Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan Kepri
Materi 1. Pengertian Dan Kebijakan Selektif
2. Izin Tinggal Terbatas Perairan
3. Subjek dan Fasilitas Izin Tinggal Terbatas Perairan
4. Instansi Pemberi Rekomendasi Izin Tinggal Terbatas Perairan
5. Tata Cara Pemberian Izin Tinggal Terbatas Perairan
6. Persyaratan Untuk Permohonan Izin Tinggal Terbatas Perairan
7. Dinamika Izin Tinggal Terbatas Perairan di Masa Moratorium
8. Ketentuan Pidana
9. Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan Kepri
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Mereview materi Perkuliahan minggu kesepuluh
Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami materi
yang diberikan
Kesimpulan
Evaluasi
95 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan
1. Pengertian Dan Kebijakan Selektif
Pasal 1 angka 1 pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian yaitu “Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka
menjaga tegaknya kedaulatan negara”. Kebijakan selektif (Selective Policy)
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia yaitu bahwa berdasarkan
kebijakan dimaksud serta dalam rangka melindungi kepentingan nasional hanya
orang asing yang memberikan manfaat, serta tidak membahayakan keamanan
dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di wilayah indonesia,
tentunya dengan kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal. Selective Policy Diberikan
kepada orang asing yang Diperbolehkan masuk dan berada di wilayah
Indonesia dan Orang asing yang memberikan manfaat dan Orang asing yang
tidak Membahayakan keamanan Dan ketertiban umum.
Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib memiliki
Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku. Setiap Orang Asing yang
masuk Wilayah Indonesia wajib memiliki Visa yang sah dan masih berlaku,
kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian
internasional. Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib
melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi.
2. Izin Tinggal Terbatas Perairan
Setiap orang asing yang berada di wilayah Indonesia wajib memiliki
izin tinggal terdapat dalam Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2011 tentang Keimigrasian. Jenis Izin Tinggal yang sebagaimana dimaksud
yaitu:
a. Izin Tinggal diplomatik
b. Izin Tinggal dinas;
96 Tindak Pidana Kelautan
c. Izin Tinggal kunjungan;
d. Izin Tinggal terbatas; dan
e. Izin Tinggal Tetap.
Itas Perairan adalah Izin tinggal terbatas yang diberikan kepada
Nakhoda, Awak Kapal, atau Tenaga Ahli Asing yang bekerja di atas kapal laut
atau alat apung, instalasi yang beroperasi di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Subjek dan Fasilitas Izin Tinggal Terbatas Perairan
Pasal 41 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2014
tentang Izin Tinggal Keimigrasian mengatur berkaitan dengan Subjek Izin
tinggal Terbatas yaitu:
1) Tenaga ahli asing, Nakhoda asing, Awak kapal asing yang bekerja di
perairan Indonesia pada kapal laut/alat apung atau instalasi landas kontinen.
2) Jenis Kapal Dan Alat Apung:
a. Kapal Ikan (pengangkut dan atau penangkap);
b. Kapal-kapal, Tanker dan Tramper (Kapal Angkutan Bebas, ex: Cargo);
c. Alat Pengeboran (RIG)/Drilling Vessel dan fasilitasnya (tagboat, utility
boat);
d. Kapal untuk Penelitian (Research Vessel);
e. Kapal Pesiar/wisata (Cruise/yacht).
Fasilitas pada Itas Perairan di atur dalam Undang-undang Nomor 6
Tahun 2011 Pasal 43 huruf d dan Permen 27 tentang Izin Tinggal Keimigrasian
Tahun 2014). Orang asing sebagai tenaga ahli, nahkoda dan awak kapal/alat
apung dapat memasuki wilayah Indonesia tanpa diwajibkan memiliki Visa, jika
masuk dengan kapalnya setelah memperoleh Keputusan Itas Perairan. Kepala
Kantor Imigrasi atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk yang wilayah kerjanya
membawahi tempat keberadaan Orang Asing yang bersangkutan dapat
memberikan persetujuan kepada pemegang Itas Perairan untuk berada di
wilayah darat paling lama 7 (tujuh) hari dalam rangka:
97 Tindak Pidana Kelautan
a. kepentingan administrasi dengan kantor penjaminnya;
b. berobat;
c. maksud meninggalkan Wilayah Indonesia tidak dengan kapal/alat
angkutnya; atau
d. pendeportasian.
4. Instansi Pemberi Rekomendasi Izin Tinggal Terbatas Perairan
Instansi Pemberi Rekomendasi Itas Perairan diatur dalam Kep Dirjen
Nomor F-658.IZ.01.10 Tahun 2003 Pasal 7 yaitu sebagai berikut ini:
1) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk bidang penelitian;
2) Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi untuk bidang minyak dan gas
bumi;
3) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap untuk bidang perikanan;
4) Deputi III Bidang Pengembangan Pariwisata untuk bidang kepariwisataan;
5) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk bidang angkutan laut;
6) Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumber Daya Non Hayati Laut, Departemen
7) Kelautan dan Perikanan.
5. Tata Cara Pemberian Izin Tinggal Terbatas Perairan
Peraturan pada Subjek Itas Perairan dalam Pasal 42 Peraturan Menteri
Hukum dan HAM Izin Tinggal Nomor 27 Tahun 2014 menyatakan bahwa
Orang Asing yang bermaksud bekerja di perairan sebagaimana dapat masuk ke
wilayah Indonesia dengan cara:
a. datang langsung bersama kapal laut atau alat apungnya; atau
b. tidak dengan kapal laut atau alat apungnya dalam hal penambahan,
pengurangan atau pengantian awak kapal/alat apung.
Nakhoda, Awak Kapal, atau Tenaga Ahli Asing yang datang langsung
dengan kapal laut atau alat apungnya dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa.
Nakhoda, Awak Kapal, atau Tenaga Ahli Asing yang datang tidak dengan kapal
laut atau alat apungnya harus mendapatkan Visa tinggal terbatas saat
kedatangan. Visa tinggal terbatas saat kedatangan diberikan Tanda Masuk yang
98 Tindak Pidana Kelautan
berlaku sebagai Itas saat kedatangan oleh Pejabat Imigrasi di TPI untuk jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari dalam rangka bergabung bekerja diatas kapal/alat
angkut/alat apung/instalasi di wilayah perairan
ITAS Saat Kedatangan diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri Hukum
dan HAM Nomor 27 Tahun 2014. ITAS saat kedatangan dalam rangka
bergabung bekerja di Kapal Laut, Alat Angkut, Alat Apung atau instalasi di
wilayah Perairan dapat dipergunakan dalam rangka:
a. Bergabung untuk bekerja di Alat Angkut, Kapal Laut, Alat Apung, instalasi
di wilayah perairan (join untuk mendapatkan Itas Perairan)
b. Selain sebagaimana dimaksud point a dapat juga:
1) melakukan pengawasan kualitas barang atau produksi;
2) melakukan inspeksi atau audit;
3) melayani purnajual;
4) memasang dan mereparasi mesin;
5) melakukan pekerjaan nonpermanen dalam rangka konstruksi; atau
6) melakukan pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak di wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Tata cara pemberian ITAS perairan di atur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM tentang Izin Tinggal Nomor 27 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa jangka waktu Itas diberikan sesuai dengan yang tercantum
dalam Surat keputusan Direktur Jenderal tentang persetujuan Itas Perairan
namun tidak boleh melampaui masa berlaku Paspor Kebangsaan atau Dokumen
Perjalanan Orang Asing yang bersangkutan. Pemberian Itas Perairan
dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap meliputi:
a. Penerbitan surat keputusan Direktur Jenderal tentang persetujuan pemberian
Itas Perairan; dan
b. Peneraan Itas Perairan oleh Kepala Kantor Imigrasi yang membawahi
wilayah kerja yang bersangkutan.
99 Tindak Pidana Kelautan
Surat keputusan Direktur Jenderal tersebut diatas merupakan izin tinggal
Orang Asing di wilayah Indonesia dan bukan merupakan izin untuk bekerja
atau melakukan pekerjaan.
6. Persyaratan Untuk Permohonan Izin Tinggal Terbatas Perairan
Persyaratan untuk permohonan ITAS Perairan memiliki beberapa syarat
yaitu:
a. Surat keagenan kapal, alat apung, atau instalasi;
b. Daftar awak kapal asing atau daftar tenaga ahli asing yang dikeluarkan oleh
instansi pemerintah;
c. Surat penjaminan dari penjamin;
d. Paspor kebangsaan atau dokumen perjalanan orang asing yang bersangkutan
yang sah dan masih berlaku, yang memuat izin tinggal terbatas saat
kedatangan dalam hal awak kapal datang tidak dengan kapal, alat apung,
atau instalasinya;
e. Surat rekomendasi dari instasi terkait sesuai dengan kewenangannya; dan
f. Surat kuasa bermeterai cukup dalam hal permohonan melalui kuasa.
Seluruh ABK/Crew atau tenaga ahli asing yang memiliki izin tinggal
Itas Perairan dan melakukan pekerjaanya diwajibkan memiliki Izin
Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) sesuai dengan peraturan dari
Kemnaker. Penolakan Pemberian atau Perpanjangan Itas Perairan terdapat
dalam Pasal 50 Per. Menteri Hukum dan HAM Izin Tinggal Nomor 27 Tahun
2014 yang menyatakan bahwa:
a. namanya tercantum dalam daftar Penangkalan;
b. Dokumen Perjalanannya diduga palsu;
c. menderita gangguan jiwa atau penyakit menular yang membahayakan
kesehatan umum atau diduga melakukan perbuatan yang melanggar norma
kesusilaan yang berlaku di Indonesia;
d. memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh Visa;
100 Tindak Pidana Kelautan
e. diduga terlibat dalam kejahatan internasional dan kejahatan transnasional
terorganisasi;
f. menunjukan perilaku yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum;
g. termasuk dalam daftar pencarian orang dari suatu negara asing;
h. diduga terlibat dalam kegiatan makar terhadap pemerintahan Republik
Indonesia;
i. diduga terlibat kegiatan politik yang merugikan negara; atau
j. tidak membayar biaya beban dan/atau biaya Keimigrasian, kecuali yang
dibebaskan dari kewajiban dari biaya beban dan/atau biaya Keimigrasian
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
7. Dinamika Izin Tinggal Terbatas Perairan di Masa Moratorium
Informasi yang berkaitan dengan penghentian sementara (Moratorium)
perizinan penangkapan ikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia diatur dalam peraturan sebagai berikut ini:
1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2014
tanggal 03/11/2014
2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 10/PERMEN-KP/2015
tanggal 24/04/2015 tentang perubahan atas Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 56/PERMEN-KP/2014
3) Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015 tanggal 07/01/2015
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI telah ditindaklanjuti oleh
Direktorat Jenderal Imigrasi dengan:
1) Surat Direktur Italtuskim Nomor IMI.3.GR.01.12-4.2315 tanggal 27/11/2014
tentang dukungan pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
yang menyatakan bahwa sejak 21/11/2014 Ditjen Imigrasi sudah tidak
menerbitkan Surat Keputusan tentang Persetujuan Pemberian Izin Tinggal
Terbatas Perairan Terkait bagi ABK Asing Penangkap Ikan
101 Tindak Pidana Kelautan
2) Surat PLT Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.GR.01.12-3689 tanggal
04/12/2014 yang menyatakan penghentian pelayanan pemberian,
perpanjangan dan peneraan serta pemulangan bagi ABK asing kapal
penangkap ikan
Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015 tanggal
07/01/2015 Mencabut penghentian sementara (moratorium) pemberian
perizinan Surat Izin Kapal pengangkut ikan di Bidang Pembudidayaan Ikan.
Kementerian kelautan dan perikanan tetap memberlakukan penghentian
sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah
pengelolaan perikanan negara republik Indonesia sampai 31 Oktober 2015,
kecuali pengangkut ikan di bidang pembudidayaan ikan.
102 Tindak Pidana Kelautan
8. Ketentuan Pidana
Pengaturan bidang keimigrasian (lalu lintas keluar masuk) suatu negara,
berdasarkan hukum internasional menurut Ramadhan K.H. dan Abrar Yusra
merupakan hak dan wewenang suatu negara. Dengan perkataan lain, merupakan
salah satu indikator kedaulatan suatu negara.30
Imigrasi juga mempunyai peran
diberbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti bidang ekonomi,
politik, hukum, dan keamanan. Tindakan atau sanksi yang dapat diberikan
kepada orang asing yang melakukan tindak pidana keimigrasian menurut Moh.
Arif dibagi atas 2 (dua) bentuk yaitu melalui tindakan keimigrasian dan melalui
proses peradilan.31
Ketentuan pidana berkaitan dengan izin tinggal terbatas perairan
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
yaitu:
1) Pasal 113, Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar Wilayah
Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat
Pemeriksaan Imigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Pasal 114 (2), Penanggung Jawab Alat Angkut yang sengaja menurunkan
atau menaikkan penumpang yang tidak melalui pemeriksaan Pejabat
Imigrasi atau petugas pemeriksa pendaratan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
3) Pasal 119 (1) Setiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di Wilayah
Indonesia yang tidak memiliki Dokumen Perjalanan dan Visa yang sah dan
30 K.H. Ramadhan dan Yusra, Abrar. Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia. Direktorat Jenderal
Imigrasi, Jakarta, 2005, hlm.13.
31
Moh. Arif, Suatu Pengantar Keimigrasian di Indonesia. Pusdiklat Departemen Kehakiman,
Jakarta, 1997, hlm. 113.
103 Tindak Pidana Kelautan
masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4) Pasal 122 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah):
a. Setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau
melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya;
b. Setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada Orang
Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan maksud atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan
kepadanya.
9. Tindak Pidana Keimigrasian di Perairan Kepri
TNI AL Tangkap Kapal Pancing Tak Berizin yang Bawa 13 WNA di
Perairan Kepri, Tim Western Fleet Quich Response (WFQR) TNI-AL Lantamal
IV Tanjungpinang, Sabtu (16/4) pukul 19.30 WIB menangkap kapal berbendera
Malabo (negara di bagian Afrika Selatan) di perairan Tanjung Berakit, sebelah
utara Bintan, Kepulauan Riau.
Kapal pancing berbendera Malabo MV SELIN GT 78 IMO 5632789 itu
di nahkodai,Shoo Chian Huat warga negara Singapura dan 3 ABK warga
negara Indonesia. Saat ditangkap, kapal berada pada posisi 01 19 026 U - 104
34 901 T. Menurut Kadispen Koarmabar Letkol Laut (KH) Drs. Ariris
Miftachurrahman, kapal ini membawa 13 orang pemancing yang di antaranya, 7
warga Negara Singapura dan 6 Warga Malaysia.
Menurut pengakuan Nahkoda kapal, mereka bersama-sama berangkat
dari Singapura dan kemudian menuju perairan kepulauan riau untuk
memancing. Selanjutnya komandan tim pemeriksa TNI-AL akan berkoordinasi
104 Tindak Pidana Kelautan
dengan Imigrasi Tanjung Pinang guna pemeriksaan terhadap orang asing yang
diamankan di markas TNI-AL Tanjung Pinang Kepulauan Riau itu.
D. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian dan kebijakan selektif?
2. Jelaskan izin tinggal terbatas perairan?
3. Jelaskan subjek dan fasilitas izin tinggal terbatas perairan?
4. Jelaskan instansi pemberi rekomendasi izin tinggal terbatas perairan?
5. Jelaskan tata cara pemberian izin tinggal terbatas perairan?
6. Jelaskan persyaratan untuk permohonan izin tinggal terbatas perairan?
7. Jelaskan dinamika izin tinggal terbatas perairan di masa moratorium?
8. Jelaskan ketentuan pidana berkaitan dengan keimigrasian di perairan?
9. Analisis kasus keimigrasian di perairan di wilayah Kepri?
E. Sumber Penulisan
K.H. Ramadhan dan Yusra, Abrar. Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia. Direktorat
Jenderal Imigrasi, Jakarta, 2005.
Moh. Arif, Suatu Pengantar Keimigrasian di Indonesia. Pusdiklat Departemen
Kehakiman, Jakarta, 1997.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Izin Tinggal
Keimigrasian
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Izin Tinggal Nomor 27 Tahun 2014
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2014
tanggal 03/11/2014
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 10/PERMEN-KP/2015
tanggal 24/04/2015 tentang perubahan atas Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor 56/PERMEN-KP/2014
Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015 tanggal
07/01/2015
105 Tindak Pidana Kelautan
Surat Direktur Italtuskim Nomor IMI.3.GR.01.12-4.2315 tanggal 27/11/2014
tentang dukungan pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
RI
Surat PLT Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.GR.01.12-3689 tanggal
04/12/2014
Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015
Kep Dirjen Nomor F-658.IZ.01.10 Tahun 2003
106 Tindak Pidana Kelautan
BAB XI
TINDAK PIDANA PERIKANAN
A. Petunjuk Umum
Kompetensi
Dasar
Mahasiswa mampu menerangkan dan menguraikan Tindak Pidana
Perikanan
Indikator Mahasiswa dapat menjelaskan Dasar Pertimbangan dan Perubahan
Undang-Undang Tentang Perikanan, Ketentuan Pidana Di Bidang
Perikanan, Penegakan Hukum Illegal Fishing Di Indonesia dan Kasus-
Kasus Perikanan Regional dan Nasional
Materi 1. Dasar Pertimbangan dan Perubahan Undang-Undang Tentang
Perikanan
2. Ketentuan Pidana Di Bidang Perikanan
3. Penegakan Hukum Illegal Fishing Di Indonesia
4. Kasus-Kasus Perikanan Regional dan Nasional
Metode
Pembelajaran
Pendekatan/Model Student Center Learning
Metode Ceramah, Diskusi Interaktif,
Analisis kasus sederhana
B. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan Memberitahukan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan materi
Penyajian Menjelaskan materi tentang Tindak Pidana Perikanan
Diskusi Interaktif
Penutup Umpan balik untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa memahami
materi yang diberikan
Mereview materi Perkuliahan minggu kesembilan sampai ke lima
belas persiapan Ujian Akhir Semester (UAS)
Kesimpulan
Evaluasi
107 Tindak Pidana Kelautan
C. Tindak Pidana Perikanan
1. Dasar Pertimbangan dan Perubahan Undang-Undang Tentang Perikanan
1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
berlaku sampai sekarang kurang luas jangkauannya dan kurang mampu
menampung perkembangan keadaan serta kebutuhan pembangunan pada
umumnya dan pembangunan hukum nasional pada khususnya, sehingga
dipandang perlu untuk menetapkan ketentuan-ketentuan baru dalam bentuk
Undang-undang. Dalam pada itu, peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan yang berlaku pada saat ini sebagian besar masih berasal dari
zaman Hindia Belanda. Selain berbeda dalam pemikiran dasar, peraturan-
peraturan itupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan.
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka segala
peraturan yang telah mengatur di Bidang Perikanan dengan segala
perubahannya, dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan tersebut diantaranya
sebagai berikut ini:
a) Algemeene regelen voor het visschen naar Parelschelpen,
Parelmoerschelpen, Teripang en Sponsen binnen de afstand van niet
meer dan drie Engelsche zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie
(Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157);
b) Visscherij Bepalingen ter Bescherming van den Vischsstand (Staatsblad
Tahun 1920 Nomor 396);
c) Algemeene Regeling voor de Visscherij binnen het zeegebied van
Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144);
d) Algemeene regelen voor de jacht op walvisschen binnen den afstand van
drie zeemijlen van de kusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun
1927 Nomor 145);
e) Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali
108 Tindak Pidana Kelautan
ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan
hukum di laut;
2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek pengelolaan
sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan
sumber daya ikan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan perikanan
masa sekarang dan masa yang akan datang, maka Undang-undang ini
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:
a) Pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
b) Penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran
perikanan, dan kapal perikanan;
c) Pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan
nelayan kecil atau pembudi daya-ikan kecil;
d) Pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan,
perwira TNI-AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
e) Pembentukan pengadilan perikanan; dan
f) Pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional
3) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan saat ini masih belum mampu mengantisipasi
perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam
rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum
dapat menjawab permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan
perubahan terhadap beberapa substansi, baik menyangkut aspek manajemen,
109 Tindak Pidana Kelautan
birokrasi, maupun aspek hukum. Secara ringkas dapat diuraikan dalam
beberapa poin dibawah ini:
a) Kelemahan pada aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain
belum terdapatnya mekanisme koordinasi antarinstansi yang terkait
dengan pengelolaan perikanan.
b) Sedangkan pada aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan
kepentingan dalam pengelolaan perikanan.
c) Kelemahan pada aspek hukum antara lain masalah penegakan hukum,
rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif pengadilan negeri
terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar
kewenangan pengadilan negeri tersebut.
d) Mengenai pengawasan dan penegakan hukum menyangkut masalah
mekanisme koordinasi antarinstansi penyidik dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana
atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu
pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang
perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa
penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
e) Masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan,
konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran.
Sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini ada tersirat
bahwa undang-undang ini dirubah karena terdapat kekurangan. Beberapa hal
yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial antara
undang-undang nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 antara lain pada:32
a. Hal Pembatasan Penangkapan
32Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 462.
110 Tindak Pidana Kelautan
Kapal penangkap ikan berbendera asing tidak diperbolehkan menangkap
ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.
b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI )
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak
menyebutkan secara jelas mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (
ZEEI ), melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Melalui UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia sudah sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat
pada Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang
yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).
c. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL dan
Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kewenangan
besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus
dilaksanakan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik dan
pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran
111 Tindak Pidana Kelautan
dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.33
d. Putusan Perampasan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau
yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan.
Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
digunakan untuk menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan
dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan menjadi
rampasan melalui putusan pengadilan.
e. Peran Serta Masyarakat Diperlukan Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Penegak Hukum
lainnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, juga
diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia.
f. Tidak Mementingkan Unsur Kesengajaan
Tindak Pidana Pencurian Ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan “ dalam
beberapa pasal Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan tidak
memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang
memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
g. Penggunaan Sistem Pidana Penjara
Penggunaan Sistem Pidana Penjara terhadap pelaku tindak pidana pencurian
ikan oleh Nelayan Asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
33 Lihat penjelasan pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
112 Tindak Pidana Kelautan
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan.
Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di
Tempat Kejadian Perkara, selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses
dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai
diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara asalnya tanpa
ditahan terlebih dahulu.
h. Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak Pidana Selesai
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman
pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana
percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki
efek yang sangat besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun
rupiah per tahun.10 Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dapat dikelompokkan dari segi
bentuk perbuatannya yaitu Kejahatan dan pelanggaran.
2. Ketentuan Pidana Di Bidang Perikanan
Potensi sumber daya ikan di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh semua
warga negara. Akan tetapi, pemanfaatan dan pengelolaannya senantiasa harus
rasional demi menjaga kelestarian, dan untuk itu, diatur melalui perizinan usaha
perikanan. Dengan perizinan dimaksudkan untuk pengendalian sekaligus
pembinaan usaha perikanan yang pada gilirannya akan menciptakan iklim
usaha kondusif dan berkelanjutan.34
Perizinan dimaksudkan untuk mengendalikan usaha dan berfungsi
menjaga kelestarian sumber daya ikan sekaligus membina usaha perikanan itu
sendiri. Pembinaan dan pengawasan mempunyai arti penting dalam rangka
34 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 295.
113 Tindak Pidana Kelautan
mengembangkan usaha perikanan berkelanjutan. Melalui upaya pembinaan dan
pengawasan berkesinambungan pada gilirannya akan menciptakan iklim usaha
perikanan yang kondusif dan sehat.35
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan kementrian kelautan
dan perikanan, memberi batasan pada istilah Illegal fishing yaitu pengertian
illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang
tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia.36
Hal ini merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International
Plan Of Action (IPOA) illegal, unreported, unregulated (IUU) yang di
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code Of Conduct For
Responsible Fisheries (CCRF). Pengertian penangkapan ikan dijelaskan
sebagai berikut: 37
1) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu
ataukapal asing di perairan yang bukan merupkan yurisdiksinya tanpa
izindarinegara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan
tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara.
2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
salah satu negara yang bergabung sebagai anggota organisasi pengolaan
perikanan regional.
3) Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundangundangan
suatu negara atau ketentuan internasional.
Praktik perikanan ilegal umumnya dilakukan oleh pengusaha asing,
pengusaha nasional, maupun kerjasama keduanya. Modusnya adalah sebagai
berikut:
35 Ibid, hlm. 154
36
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Cet. ke-, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 80.
37
Ibid.
114 Tindak Pidana Kelautan
(1) melakukan penangkapan ikan tanpa dokumen izin,
(2) pemalsuan dokumen atau satu izin untuk beberapa kapal,
(3) memiliki izin tapi melanggar ketentuan alat tangkap, wilayah tangkap,
pengisian Log-book, dan pelabuhan,
(4) bongkar muat (transhipment) di laut lepas, dan
(5) berbendera ganda.
Modus operandi dalam kejahatan perikanan secara rinci dapat diuraikan
dalam gambar dibawah ini:
Tindak Pidana Perikanan ialah segala jenis pelanggaran yang dilakukan
di bidang perikanan mulai dari proses praproduksi, produksi, pengolahan,
sampai dengan pemasaran yang kemudian ketentuannya dituangkan dalam
peraturan-perundang-undangan, yaitu dalam Undang- Undang perikanan
terdapat dalam pasal 84 sampai dengan 104, ketentuan pidana tersebut
merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang diatur guna mengurangi dampak kerusakan dalam pengelolaan
perikanan Indonesia yang dapat merugikan masyarakat, bangsa dan negara.
Secara rinci tindak pidana tersebut dapat di kategorikan sebagai berikut ini:
115 Tindak Pidana Kelautan
1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan, yaitu:
a) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak atau bangunan
yang dapat merugikan dan membahayakan kelestarian sumber daya ikan
serta lingkungan laut. (Pasal 84)
b) Penggunaan alat penangkapan ikan atau alat bantu penangkapan ikan
yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai (Pasal 85)
c) Perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan sumber daya
ikan dan lingkungannya (Pasal 86 Ayat (1))
d) Membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan atau
lingkungan sumber daya ikan dan kesehatan manusia (Pasal 86 Ayat (2))
e) Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat
membahayakan sumber daya ikan atau lingkungan sumber daya ikan dan
kesehatan manusia (Pasal 86 Ayat (3))
f) Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan atau lingkungan sumber daya ikan dan
kesehatan manusia (Pasal 86 Ayat (4))
g) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan (Pasal 91)
h) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang
tidak memiliki SIUP (Pasal 92)
i) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia atau kapal Asing di ZEE melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93)
116 Tindak Pidana Kelautan
j) Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan
SIKPI palsu (Pasal 94 A)
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,
Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah
pelanggaran, yaitu:
a) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal
perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu (Pasal 95)
b) Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal
perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia (Pasal 96)
c) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa
alat penangkapan ikan lainnya (Pasal 97 Ayat (3))
d) Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan
yang dikeluarkan oleh syahbandar (Pasal 98)
e) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari
Pemerintah (Pasal 99)
3. Penegakan Hukum Illegal Fishing Di Indonesia
UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi
dua kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya terhadap
IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan dan wilayah
laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk di
bawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman
dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan
kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan
yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen
117 Tindak Pidana Kelautan
Aparat penegak hukum dalam lingkup kewenangan penyidikan di
wilayah ZEEI dilakukan oleh PPNS dan TNI AL, hal ini berdasarkan
pembagian kewenangan penyidikan pada Pasal 73 ayat (2) UU Perikanan jo.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Perikanan.
Berkaitan Pembagian Kewenangan Penyidik di WPP-NRI dapat diuraikan
dalam gambar berikut ini:
Keterpaduan multi unsur penegakan hukum satu atap untuk kejahatan
perikanan Negara Pembentukan Satgas 115 melalui Perpres No. 115/2015
tentang Satuan Tugas Pemberantasan Ikan secara Ilegal. Diantara UU yang
diterapkan oleh pemerintah Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana di
bidang perikanan, diantaranya yaitu Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009
dalam Penanggulangan Tindak Pidana perikanan di Perairan Indonesia. Adapun
proses penanganan kasus dalam tindak pidana perikanan oleh Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan yang berkoordinasi
dengan TNI AL, Penyidik Sipil, Bakamla, Kepolisian dan kejaksaan adalah
sebagai berikut:
118 Tindak Pidana Kelautan
1) Tindakan Penyelidikan
Penyelidikan yaitu suatu peristiwa untuk mendapatkan keterangan
yang pasti dan jelas yang merupakan awal dari tindak pidana kejahatan,
Penyelidikan dapat dilakukan dengan cara terbuka sepanjang hal itu dapat
menghasilkan keterangan-keterangan yang dibutuhkan.Tindakan Penyidikan
Merupakan kegiatan pengumpulan data akurat sehingga menjadi jelas suatu
peristiwa pelangaran yang terjadi guna menemukan tersangkanya (pasal 1
butir 2 KUHAP).
2) Penindakan
Kegiatan penindakan bisa dikerjakan di area tempat terjadinya
pelangaran dan penampungan dan pengolahan ikan. Adapun langkah-
langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : Persiapan dan Pelaksanaan
Penindakan.
3) Penanganan Barang Bukti.
Penyitaan dilakukan dengan surat Perintah Penyitaan dalam keadaan
yang sangat mendesak dan perlu karena memerlukan tindakan segera,
penyitaan dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri tetapi terbatas
pada benda-benda bergerak kemudian wajib di beritahu kepada aparat yang
berwenang (“Ketua PN setempat”).
4) Pemanggilan Pemanggilan dikenakan terhadap tersangka dan orang yang
berada di tempat kejadian tindak pidana dengan memberitahu melalui
pemberitahuan yang dikirim surat kepada tersangka atau saksi dengan
menyebutkan alasan pemanggilan tersebut serta uraian singkat tindak pidana
yang terjadi.
5) Penangkapan.
Penangkapan dilakukan pada tersangka dan dapat juga dilakukan
pada perusahan pemilik kapal.
6) Penahanan.
119 Tindak Pidana Kelautan
Tersangka ditempatkan dalam pengawasan penyidik untuk
dilanjutukan di tingkat pemrosesan lebih lanjut.
7) Penggeledahan.
Penggeledahan adalah penegak hukum yang melakukan pemeriksaan
keseluruhan terhadap seseorang atau tempat terjadi suatu peristiwa tindak
pidana yang telah diatur menurut ketentuan hukum yang berlaku. dalam UU
ini (pasal 32 KUHAP).
8) Pemeriksaan.
Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan,
ketegasan serta persamaan persepsi mengenai alat bukti dan para tersangka
yang berhubungan dengan unsur-unsur tindak pelangaran yang dilakukan
sehingga alat bukti didalam tindak pidana tersebut menjadi jelas.
Pemeriksaan Tersangka dan pemeriksaan Saksi / dan Saksi Ahli.
9) Penuntasan hasil pemeriksaan/ berkas.
Merupakan prosedur tahap terakhir dari suatu pelangaran pidana ,
kegiatan tersebut terdiri dari: Pembuatan Resume adalah serangkaian
prosedur kegiatan pemeriksaan terhadap tersangka dan menyimpulkan suatu
permasalahan serta . suatu tindak pidana yang terjadi. Penyusunan Isi Berkas
Perkara, yaitu penyusunan isi berkas perkara yang sesuai dengan urut-urutan
tindakan dan pengelompokan surat/ Berita Acara yang telah dibuat serta
dilampiri sesuai dokumen-dokumen bukti serta surat-surat lain yang perlu
dilampirkan sebagaimana yang tertuang dalam Petunjuk Teknis Penyidikan,
pemberkasan, yaitu merupakan kegiatan untuk memberkas isi Berkas
Perkara dengan susunan dan syarat-syarat pengikatan penyegelan tertentu,
penyerahan Berkas Perkara, yaitu ; yang akan dilimpahkan kepada jaksa
penuntut.
Penenggelaman kapal dimandatkan dalam UU Perikanan Menciptakan
Deterrent Effect agar tidak ada lagi IUUF di wilayah perairan Indonesia Pasal
120 Tindak Pidana Kelautan
69 UU Perikanan (31/2004 jo. 45/2009) menjelaskan lingkup kewenangan yaitu
dapat diuraikan dalam pasal berikut ini:
a) Pasal 69 (3): Menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal
yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di Wilayah
Pengelolaan Perikanan
b) Pasal 69 (4): Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup
Penenggelaman kapal dari November 2014 sampai Mei 2019 dapat
gambarkan sebagai berikut:
Siaran Pers Kementerian Kelautan Dan Perikanan
Nomor : SP.57/SJ.4/X/2020 menjelaskan berkaitan kondisi penegakan hukum
di akhir tahun 2019 sampai pertengahan tahun 2020 menyatakan bahwa selama
hampir satu tahun kepemimpinan Menteri Edhy, KKP melalui Direktorat
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berhasil
121 Tindak Pidana Kelautan
menangkap 74 kapal illegal-fishing. Dari jumlah itu, 56 di antaranya
merupakan kapal ikan asing sisanya kapal ikan Indonesia.
Kapal-kapal ikan berbendera asing yang berhasil ditangkap terdiri dari
27 KIA Vietnam, 16 Filipina, 13 Malaysia, dan 1 Taiwan. Rentetan
penangkapan ini berkat kegigihan tim patroli didukung oleh teknologi, serta
koordinasi dengan instansi lainnya seperti Polairud, Bakamla, dan TNI AL. dari
seluruh kapal illegal-fishing yang berhasil ditangkap; 17 di antaranya telah
diputus pengadilan (inkracht); satu kapal ditengggelamkan karena berusaha
kabur saat ditangkap; 15 kapal diberikan sanksi administrasi; dan sisanya masih
menjalani proses hukum di kejaksaan dan persidangan.
Dalam Undang-Undang Perikanan mi dimuat ketentuan pidana dalam
Bab XV dan Pasal 84 sampai dengan Pasal 105. Adanya ancaman pidana
kumulatif dalam undang-undang di bidang perikanan tidaklah berarti dengan
serta merta illegal fishing dapat dicegah dan dibasmi sampal tuntas ke akar-
akarnya. Sulitnya penegakan hukum illeggal fishing setidaknya disebabkan oleh
dua hal, yaitu tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang berujung
ketidakjelasan institusi yang berwenang dalam mengurus permasalahan illeggal
fishing serta adanya konflik kepentingan diantara institusi tersebut.38
Strategi penegakan hukum dalam tindak perikanan menjadi sangat
penting. Dimana begitu banyak modus operandi dalam tindak pidana ini. Maka
dalam membangun strategi penegakan hukum dalam tindak pidana perikanan
dapat diuraikan dalam gambar sebagai berikut ini:
38 Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan & Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung , 2010, hlm.
44.
122 Tindak Pidana Kelautan
4. Kasus-Kasus Perikanan Regional dan Nasional
Satgas 115 telah melaksanakan Analisis dan Evaluasi Kapal Perikanan
yang Pembangunannya Dilakukan diIndonesia (Anev KII) di 11 lokasi
(Batam,Tanjung Balai Karimun dan TanjungPinang, Sorong, Kendari, DKI
Jakarta, Tegal, Pekalongan, Ambon,Ternate, Benoa dan Bitung).
1) KKP Tangkap 5 Kapal Illegal Fishing di Natuna
KKPNews, BATAM (4/3) – Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (PSDKP) kembali melakukan penangkapan terhadap lima kapal
asing ilegal. Kelima kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan ikan di
perairan Natuna Utara pada 1 Maret 2020.
123 Tindak Pidana Kelautan
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo mengapresiasi
jajarannya atas keberhasilan tersebut. Bahkan, ia menegaskan bahwa
penjagaan laut Indonesia tidak akan pernah berhenti. “Ini berita bahagia,
penjaga laut kita tidak pernah tidur walaupun satu detik,” kata Edhy saat
konferensi pers di Pangkalan PSDKP Batam, Rabu (4/3).
Menteri Edhy memaparkan, kelima kapal yang ditangkap ialah KG
94376 TS, PAF 4837, KG 94654 TS, PAF 4696 dan KG 95786 TS. Total 68
awak kapal berkewarganegaraan Vietnam berhasil diamankan dari kapal-
kapal tersebut. Selanjutnya, para pelaku illegal fishing akan diproses lebih
lanjut di Pangkalan PSDKP Batam. “Ini luar biasa, capaian ini harus mejadi
capaian kita bersama,” jelasnya.
Lebih lanjut, Menteri Edhy mengungkapkan bahwa keberhasilan
petugas membekuk kapal ikan asing, tak terlepas dari operasi terstruktur
yang dilaksanakan oleh lima kapal PSDKP: KP Paus 01, KP Hiu Macan
Tutul 02, Orca 01, KP Orca 02, dan KP Orca 03. Operasi tersebut sesuai
dengan arahan Presiden Joko Widodo serta harapan dari DPR untuk
meningkatkan pengawasan dan wujud kehadiran negara di Laut Natuna.
“Sesuai arahan Bapak Presiden serta DPR, kami akan memperkuat
pengawasan di perairan Natuna untuk memastikan kedaulatan pengelolaan
perikanan tidak diganggu negara manapun,” tegasnya. Modus Operandi
Baru, dalam konferensi pers, Menteri Edhy membeberkan modus operandi
yang dilakukan oleh kelima kapal ikan asing tersebut. Bermula dari deteksi
oleh kapal PSDKP di posisi 01’43.611′ Lintang Utara dan 104’48,079′ Bujur
Timur (Barat Daya Pulau Tarempa). Wilayah tersebut merupakan perairan
ZEE Indonesia yang berbatasan dengan overlapping claimed area Indonesia-
Malaysia. Mereka tidak mengibarkan bendera kebangsaan kapal dan
menggunakan kode C2 pada lambung kapal, kode tersebut biasa digunakan
oleh kapal ikan Malaysia yang beroperasi di wilayah ZEE.
124 Tindak Pidana Kelautan
“Kapal ikan asing ilegal ini mencoba mengelabui aparat kita dengan
seolah-olah mereka kapal ikan asal Malaysia,” terangnya. Namun, siasat
tersebut tak mampu mengelabui aparat yang kemudian melakukan
penangkapan. Saat diperiksa petugas, mereka tidak memiliki dokumen yang
menunjukkan klaim berasal dari Malaysia. Bahkan, mereka ternyata
berkewarganegaraan Vietnam. “Saya yakin pencurian ini tidak akan
berhenti, penjagaan juga tidak akan berhenti. Terimakasih semua awak kapal
dan keberanian dan kekompakan kalian di tengah lapangan (laut),” katanya.
2) KKP Tangkap Lagi 2 Kapal Asing, Kali Ini di Samudera Pasifik
JAKARTA (6/10) - Kementerian Kelautan dan Perikanan kembali
menangkap kapal asing pelaku illegal-fishing yang masuk wilayah laut
Indonesia. Kali ini dua kapal Filipina yang ditangkap bersama 21 awaknya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjelaskan, penangkapan
dua kapal Filipina bernomor lambung VMC-188 dan LB VIENT-21
merupakan hasil operasi Kapal Pengawas Orca 04 pada Kamis 1 Oktober
2020 di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 717 Samudera Pasifik.
"Satu kapalnya ukuran besar 105,90 GT menggunakan alat purse
seine. Satunya lagi ukuran 20,62 GT, jenis kapal lampu," terang Menteri
Edhy dalam konferensi pers yang digelar secara daring dari Jakarta, Selasa
(6/10/2020). Penangkapan kapal asing di perairan Samudera Pasifik
merupakan pertama kalinya sejak Menteri Edhy menjabat. Menurutnya ini
menjadi penanda bahwa modus operadi dan pergerakan kapal illegal-fishing
sangat dinamis. Ditambah lagi di masa pandemi, pencurian tetap
berlangsung.
"Kita jaga di Laut Sulawesi, mereka bergerak ke arah Samudera
Pasifik. Alhamdulillahnya pergerakan ini terdeteksi dengan baik oleh aparat
kami dari Ditjen PSDKP. Kesigapan tim di lapangan patut diapresiasi,"
ujarnya. Menteri Edhy menerangkan bahwa meskipun KKP mengalami
keterbatasan armada kapal pengawas, meski demikian, Edhy memastikan
125 Tindak Pidana Kelautan
pengawasan tetap dilakukan semaksimal mungkin. "Dengan adanya
penangkapan ini, ke depan kita akan semakin intensifkan di wilayah perairan
lainnya termasuk WPP 718, Laut Arafura," tegasnya.
D. Evaluasi
1. Jelaskan dasar pertimbangan dan perubahan undang-undang tentang perikanan?
2. Jelasakan ketentuan pidana di bidang perikanan?
3. Jelaskan penegakan hukum illegal fishing di indonesia?
4. Analisis kasus-kasus perikanan regional dan nasional?
E. Sumber Penulisan
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan & Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung ,
2010.
Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002.
Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Cet. ke-, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Supriadi, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
UNCLOS 1982
https://kkp.go.id/
126 Tindak Pidana Kelautan
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abdul Alim Salam, 2008, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen
Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan
Kelautan Indonesia, Jakarta.
Abdul Muthalib Tahar, 2012, Hukum Internasional dan Perkembangannya,
Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Adrian Sutedi, 2012, Aspek Hukum Kepabeanan, Sinar Grafika, Jakarta.
Akhmad Solihin, 2010, Politik Hukum Kelautan & Perikanan, Nuansa Aulia,
Bandung.
Ali Purwito M. 2010, Kepabeanan Dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang)
Konsep dan Aplikasi. Kajian Hukum Fiskal FH UI Bekerjasama dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Ambo Tuwo, 2013, Pendekatan Ekologi dalam Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Laut, dalam buku Membangun Sumber Daya Kelautan
Indonesia, IPB Press, Jakarta.
Djoko Tribawono, 2002, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Emil Salim, 1982, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta.
Hasyim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum laut, Penerbit
Bina Cipta, Jakarta.
Henkin, Louis Henkin, 1980, International Law , Cases and Materials,
American Casebook Series, ST, PaulMinn, West Publishing Co, USA.
J.G. Starke, 2008, Pengantar Hukum Internasional, Edisi X, Sinar Grafika,
Jakarta.
K.H. Ramadhan dan Yusra, Abrar. 2005, Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia.
Direktorat Jenderal Imigrasi, Jakarta.
Mochammad Radjab, 1993, Hukum Bangsa-Bangsa (terjemahan), Penerbit
Bhratara, Jakarta.
127 Tindak Pidana Kelautan
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Penerbit
Binacipta, Bandung.
Moh. Arif, 1997, Suatu Pengantar Keimigrasian di Indonesia. Pusdiklat
Departemen Kehakiman, Jakarta.
N.H.T Siahaan, 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Niniek Suparni, 1994, Pelestarian, Pengeloaan dan Penegakan Hukum
Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta.
Nunung Mahmudah, 2015, Illegal Fishing, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta
Timur.
P.Joko Subagyo, 1991, Hukum Laut Indonesia, Reneka Cipta, Jakarta.
Prapto Soepardi, 1991, Tindak Pidana Penyeludupan Pengungkapan dan
Penindakannya, Usaha Nasional, Surabaya.
R.R. Churcil and A.V. Lowe, 1999, The Law of The Sea,: Manchester
University Press, Manchester.
Santosa A dkk, 2008, Konservasi Indonesia Sebuah Potret Pengelolaan dan
Kebijakan, Pokja Kebijakan Konservasi, Bogor.
Supriadi, 2011, Hukum Perikanan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Syamsul Arifin, 1993, Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia, USU
Press, Medan.
T. May Rudy, 2010, Hukum Internasional Cetakan I, Refika Aditama,
Bandung.
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1984, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur Bandung,
Jakarta.
2. Jurnal/Majalah
Ratna Herawati, “Implementasi Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010
terhadap Pelestarian Benda Cagar Budaya di Kecamatan
Ambarawa Kabupaten Semarang”. Jurnal Hukum dan
Masyarakat Madani 1 (6). 2016.
128 Tindak Pidana Kelautan
Ridwan Lasabuda, “Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam
Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmiah
Platax, Vol.1-2 Januari 2013.
Supratikno Rahardjo, “Beberapa Permasalahan Pelestarian Kawasan Cagar
Budaya dan Strategi Solusinya”. Jurnal Konservasi Benda Cagar
Budaya Borobudur, 7 (2). 2013.
Slamet Soebiyanto, “Keamanan Nasional ditinjau dari Prespektif Tugas TNI
Angkatan Laut”, Majalah Patriot, 2007.
3. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS
1982
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Ekslusif
129 Tindak Pidana Kelautan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 Tentang
Panitia Nasional Pengangkatan Dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Izin Tinggal Nomor 27 Tahun 2014
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Izin
Tinggal Keimigrasian
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 10/PERMEN-KP/2015
tanggal 24/04/2015 tentang perubahan atas Permen Kelautan dan
Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 56/PERMEN-KP/2014
tanggal 03/11/2014
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan
Dan Satwa Yang dilindungi
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan Dan Satwa
Kep Dirjen Nomor F-658.IZ.01.10 Tahun 2003
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu paus atau Rhincodon
typus (Hiu paus atau Whale shark)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2013 tentang
Penetapan Status Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon
Surat Direktur Italtuskim Nomor IMI.3.GR.01.12-4.2315 tanggal 27/11/2014
tentang dukungan pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan RI
Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015 tanggal
07/01/2015
130 Tindak Pidana Kelautan
Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015
Surat PLT Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.GR.01.12-3689 tanggal
04/12/2014
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships
UNCLOS 1982
Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia
4. Website
http://batam.tribunnews.com/2014/09/10/penyelam-berburu-emas-batangan-di-
perairan-pulau-bintan?page=2.
tribunbatam.id
https://jurnalmaritim.com/zona-ekonomi-eksklusif-zee-dalam-unclos-1982/
https://kkp.go.id/
131 Tindak Pidana Kelautan
RIWAYAT PENULIS
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Irwandi Syahputra
Alamat : JL. Basuki Rahmat GG.Tempinis II No. 53 RT/RW
001/006 Kelurahan Tanjungpinang Timur Kecamatan
Bukit Bestari Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan
Riau
Tempat/tanggal
lahir
: Tanjungpinang/ 19 Juli 1994
Nama Ayah : Azwar
Nama Ibu : Yefreilis
Kontak : 081363172330
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
TK Pembina Tanjungpinang, lulus tahun 2000
SD Negeri 002 Tanjungpinang, lulus tahun 2006
SMP Negeri 4 Tanjungpinang, lulus tahun 2009
SMA Negeri 2 Tanjungpinang, lulus tahun 2012
S1 Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau, Pekanbaru,
lulus tahun 2016
S2 Magister Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Andalas,
Padang, lulus tahun 2018
Organisasi
Pengawas Pemilihan Raya Fakultas Hukum ( PEMIRA ) Tahun 2013
Anggota Minat dan Bakat Staf Taekwondo Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Periode 2013-2014
Anggota Penelitian dan Pengembangan Akademik Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Periode 2013-2014
Pengurus Ikatan Mahasiswa Kota Tanjungpinang (IMTA) Periode 2013-2015
Anggota Penelitian dan Pengembangan Akademik Staf Peradilan Semu Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Periode 2014-2015
Ketua Harian Taekwondo Fakultas Hukum Periode 2012-2014
132 Tindak Pidana Kelautan
Ketua Komunitas Peradilan Semu (KPS) Fakultas Hukum Universitas Riau
Periode 2013- 2014
Anggota Ikatan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas Periode
2017-2018