Top Banner
A. ANAMNESIS Os datang ke IGD RSUD Koja pada tanggal 4 Juni 2012 pukul 19.00 dengan riwayat kecelakaan motor yang terjadi satu jam sebelumnya. Saat itu, Os sedang mengendarai motor dengan membonceng ayahnya serta kondisi jalan dalam keadaan macet dan Os berada di belakang sebuah mobil tangki. Tiba-tiba sebuah container dari belakang motor Os tetap melaju dan akhirnya Os dan ayahnya tergencet dari belakang. Os mengaku pada saat tergencet, Os berdiri dan perut bagian bawahnya tertekan oleh stang sepeda motor yang dikendarainya. Kemudian saat container tersebut mundur, Os kehilangan keseimbangan sehingga Os dan ayahnya terjatuh dengan posisi miring ke kiri. Pada saat terjatuh, Os masih dapat menahan agar kepalanya tidak terbentur dengan cara menopang badan dengan tangan kirinya. Os mengaku kepalanya tidak terbentur saat terjatuh, tidak mengalami pingsan ataupun muntah. Riwayat Penyakit Sekarang: Riwayat Penyakit dahulu Riwayat Penyakit Keluarga Primary Survey: Airway : Patent Breathing : Pernapasan simetris Regular 1
35

Long Case Bedah

Dec 02, 2015

Download

Documents

Yohanes Ivan

Long Case Bedah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Long Case Bedah

A. ANAMNESIS

Os datang ke IGD RSUD Koja pada tanggal 4 Juni 2012 pukul 19.00 dengan riwayat

kecelakaan motor yang terjadi satu jam sebelumnya. Saat itu, Os sedang mengendarai motor

dengan membonceng ayahnya serta kondisi jalan dalam keadaan macet dan Os berada di

belakang sebuah mobil tangki. Tiba-tiba sebuah container dari belakang motor Os tetap melaju

dan akhirnya Os dan ayahnya tergencet dari belakang. Os mengaku pada saat tergencet, Os

berdiri dan perut bagian bawahnya tertekan oleh stang sepeda motor yang dikendarainya.

Kemudian saat container tersebut mundur, Os kehilangan keseimbangan sehingga Os dan

ayahnya terjatuh dengan posisi miring ke kiri. Pada saat terjatuh, Os masih dapat menahan agar

kepalanya tidak terbentur dengan cara menopang badan dengan tangan kirinya. Os mengaku

kepalanya tidak terbentur saat terjatuh, tidak mengalami pingsan ataupun muntah.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Riwayat Penyakit dahulu

Riwayat Penyakit Keluarga

Primary Survey:

Airway : Patent

Breathing : Pernapasan simetris

Regular

frekuensi napas: 24 x/menit

Circulation : akral ekstremitas atas dan bawah hangat

Tekanan darah: 100/60 mmHg

frekuensi nadi: 90 x/menit

Disability : GCS 15

Initial Assesment : trauma tumpul abdomen

Initial Planning :

Secondary Survey:

1

Page 2: Long Case Bedah

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 5 Juni 2012

Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Keadaan gizi : Cukup

Tanda Vital

Tekanan Darah : 100/60 mmHg

Frekuensi Nadi : 90 x/menit

Frekuensi Nafas : 24 x/menit, pola pernafasan normal, abdomino-thorakal,

tidak terlihat penggunaan otot bantu pernafasan.

Pemeriksaan Sistematis

Kepala : Normocephali, rambut hitam, tidak mudah dicabut, tidak terdapat jejas

maupun luka

Mata : Palpebra tidak oedem, pupil bulat isokor

Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-

Reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+

Hidung : Normosepta , deformitas -, sekret -/-

Mulut : bibir kering (+), sianosis (-)

Mukosa bibir pecah- pecah (-)

Oral hygiene baik, gigi geligi lengkap, gusi hiperemis (-)

Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, kriptus tidak melebar

Telinga : Normotia, tidak mengeluarkan cairan atau darah

Leher : JVP 5+1 cmH20

KGB tidak teraba membesar

Kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Trachea berada ditengah

Thoraks

Inspeksi dinding thoraks : tidak terdapat jejas dan luka

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Icktus cordis terba ics V pada 2 cm linea

midclavikularis sinistra,

2

Page 3: Long Case Bedah

Perkusi : - Batas atas jantung pada ics III linea

parasternal sinistra.

- Batas kanan jantung pada linea parasternal

kanan ics III-IV-V

- Batas kiri jantung ics V pada 3 cm medial

linea midclavikularis sinistra

Auskultasi : SI-SII reguler, Gallop (-), Murmur (-).

Paru : Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis, memar (-)

Palpasi : vocal fremitus sama kuat paru dextra dan sinistra

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.

Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : Inspeksi : dinding abdomen rata, tidak cekung, tidak cembung. Terdapat

jejas pada pada perut bagian bawah, regio hipogastrica, inguinal kiri dan inguinal kanan

Palpasi : dinding abdomen supel, nyeri tekan positif di regio hipogastrica,

inguinal kiri dan inguinal kanan. Hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen, terdapat nyeri saat diperkusi di regio

hipogastrica dan inguinal kiri

Auskultasi : bising usus terdengar 5x / menit di seluruh regio abdomen

Ekstremitas

Atas : akral hangat, oedem -/-, deformitas -/-

Bawah : akral hangat, oedem -/- , deformitas -/-

C. STATUS UROLOGI

- Regio Costo vertebrae angle

Inspeksi : jejas (-), tanda-tanda radang (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), massa (-), ballottement (-)

Perkusi : nyeri ketuk (-)

- Regio Supra symphisis

Inspeks : warna kulit sama dengan sekitar, jejas (-), sikatriks (-), tanda-tanda radang (-)

Palpasi : nyeri tekan (+), vesika urinaria tidak teraba penuh

Perkusi : tympani

3

Page 4: Long Case Bedah

- Regio Genitalia Eksterna

Penis

Inspeksi : kelainan bentuk (-), OUE letak normal, tanda radang (-), terpasang kateter

folley no 16 tahanan baik, aliran lancar, warna urin kuning tua, darah (-),

volume 200 cc/3jam.

Palpasi : nyeri tekan (-), tidak teraba massa

Scrotum

Inspeksi : pembesaran (-), tanda-tanda radang (-)

Palpasi : testis teraba kanan dan kiri, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-)

- Rectal Toucher

Inspeksi : disekitar anus massa (-), ulcerasi (-), tanda-tanda radang (-).

Rectal Toucher : tonus sphincter ani baik, ampula recti tidak kolaps, mukosa rectum licin

tidak berbenjol, nyeri tekan di seluruh arah jarum jam (-), tidak teraba massa, teraba prostat

dengan konsistensi kenyal, permukaan rata, pool atas teraba, sulcus mediana teraba, pada

sarung tangan darah (-), feces (-), lendir (-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Laboratorium Rutin

Tanggal 8 Mei 2012

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 11,8 13.5-17.5 mg/dl

Hematokrit 35 41-53 %

Trombosit 235.000 150.000-450.000

Leukosit 14.400 4100-10900/ul

Fungsi Ginjal

Ureum 23 20-40 mg/dl

Kreatinin 1.5 0.7-1.5 mg/dl

Urinalisa

Warna Kuning keruh Kuning jernih

BJ 1015 1003-1030

4

Page 5: Long Case Bedah

Ph 6 4.6-8.5

Albumin - -

Glukosa - -

Keton - -

Bilirubin - -

Darah samar + -

Nitrit + -

Urobilinogen 0.2 0.1-1

Sedimen :

Leukosit 6-8 <10/LBP

Eritrosit 2-3 <1/LBP

Silinder - -

Bakteri - -

Epitel + -

Kristal: -

Ca oxalate - -

Ca karbonat - -

Fosfat - -

Asam urat - -

Amorf - -

Sel ragi - -

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos abdomen 3 posisi:

Deskripsi: preperitoneal fat line normal

Distribusi udara dalam lambung dan rongga usus dalam batas normal, tak

tampak tanda-tanda ileus. Pada foto posisi erect dan LLD tidak

terlihat udara bebas di cavum peritoneum

Kesan: tidak ada udara bebas di cavum peritoneum, tidak ada tanda-tanda

5

Page 6: Long Case Bedah

ileus. Foto abdomen 3 posisi dalam batas normal

Anjuran: USG abdomen

- EKG

RESUME

Pasien, pria, Tn.I, 63 tahun, datang dengan keluhan nyeri saat BAK sejak

1 hari SMRS. Nyri yang dirasakan hilang timbul, tidak menjalar ke pinggang,

perut ataupun bagian tubuh lainnya. Pasien mengaku telah mengalami hal

seperti ini sejak 1 bulan yang lalu dan semakin lama bertambah nyeri .

Pasien harus mengedan bila ia ingin berkemih, hal tersebut dikarenakan Ia

sulit untuk memulai berkemih. Pancaran kencing dari pasien kecil dan

lemah. Hal itu menyebabkan perasaan tidak puas sesudah berkemih. Urin berwarna kuning,

tidak berbau, tidak berwarna merah seperti ada darah.

Pada pemeriksaan status urologi

DIAGNOSIS KERJA DAN DASAR DIAGNOSIS

Hipertrofi prostat

1. Anamnesia

- Keluhan Obstruktif : pasien sulit untuk memulai berkemih dan nyeri saat berkemih.

Harus mengejan bila ingin berkemih. Setelah BAK sering tidak merasa puas dan

pancarannya lemah.

- Keluhan iritatif : nyeri saat berkemih (disuria)

- Riwayat penyakit dahulu : pada tahun 2007 pasien pernah mengalami kecelakaan lalu

lintas.

2. Pemeriksaan fisik :

3. Pemeriksaan penunjang ;

6

Page 7: Long Case Bedah

DIAGNOSIS BANDING

1. Striktur Urethra

- Dasar yang mendukung : sulit BAK, memerlukan waktu untuk menunggu urin keluar dan

mengedan untuk mengeluarkan urinnya. Pancaran urin lemah. Ada rasa ridak puas

setelah berkemih.

- Dasar yang tidak mendukung

2. Karsinoma prostat

- Dasar yang mendukung :

- Dasar yang tidak mendukung :

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Abdomen

Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari diafragma

hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus dinding (abdominal wall)

7

Page 8: Long Case Bedah

dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland, 2002).  Pada bagian superior, dinding

abdomen dibentuk oleh diafragma yang memisahkan kavitas abdominalis dari kavitas thorakalis.

Pada bagian inferior, kavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi kavitas pelvis melalui

apertura pelvis superior. Di bagian posterior, dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh

kelima vertebra lumbales dan diskus intervertebralisnya, bagian lateral dibentuk oleh 12 kosta,

bagian atas oleh muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus lumborum, dan aponeurosis origo

muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen dibatasi oleh selubung fascia dan peritoneum

parietale (Snell, 2006).

Abdomen terbagi menjadi sembilan daerah yang dibatasi oleh empat garis bayangan pada

dinding anterior, dua diantaranya berjalan horizontal mengelilingi badan (yang atas setinggi

tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas krista iliaka), dan dua lainnya

vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan

ligamentun inguinale (Dorland, 2002).  

Berdasarkan letaknya, organ dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ intraperitoneal

dan retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya lambung, hepar, duodenum,

pankreas, kolon, dan organ-organ saluran pencernaan yang lain. Adapun organ yang terletak

retroperitoneal seperti ginjal, aorta, dan venakava inferior (Srivathsan, 2009).  

B. Trauma

Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja sehingga

menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma pada abdomen terbagi berdasarkan kejadian, yaitu

trauma tumpul dan trauma tembus (Srivathsan, 2009).

Pada trauma tembus perbedaan antara benda-benda berkecepatan tinggi dan rendah mempunyai

arti penting. Luka kecepatan rendah yang biasa terjadi ialah pada penikaman dengan senjata

tajam. Proses penikaman dapat dibedakan menjadi dua macam berdasarkan energinya, yaitu

tikaman dengan energi kinetik rendah dan energi kinetik tinggi. Pada tikaman dengan energi

kinetik yang rendah, korban sering dapat melihat datangnya dan mengelak pada saat tikaman

tersebut terjadi. Dengan demikian, penetrasi rongga perut yang dalam jarang terjadi. Tikaman

dengan energi kinetik yang tinggi dipakai dengan maksud terang-terangan membunuh. Luka-

8

Page 9: Long Case Bedah

luka tersebut menembus dalam  dan sering kompleks. Peluru berkecepatan tinggi dari pistol atau

pecahan-pecahan granat yang meledak dapat menembus dalam dan mengikuti jalan yang aneh,

secara luas merusak segala sesuatu atau apa saja di sekitar lintasannya (Dudley, 1992).

Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi (cedera

perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang berat, tidak ada luka di

luar, tapi ada jejas organ di visera akibat desakan luka atau organ viscera. Trauma intra abdomen

karena hantaman sering dikaitkan dengan faktor tumbukan antara orang yang cedera dan kondisi

di luar tubuh individu tersebut, serta kekuatan akselerasi dan deselerasi yang bekerja terhadap

organ dalam abdomen (Rahmawati, 2006).

Pada penderita ini mengalami trauma dalam kecelakaan bis dikarenakan benturan langsung dan

proses kompresi akibat himpitan kursi. Bagian tubuh penderita yang terhimpit adalah bagian

perut hingga kaki serta tangan kanan. Himpitan meninggalkan jejas dan menyebabkan tangan

kanan serta kaki penderita terasa lemah untuk digerakkan.

C. Trauma Tumpul Abdomen

1. Mekanisme

Trauma yang didapat dari kecelakaan menjadi penyebab terbanyak dari trauma abdomen.

Kecelakaan mobil dengan mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki menduduki 50-75% dari

keseluruhan kasus trauma tumpul abdomen (Udeani & Steinberg,2011).

Cedera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme utama, yaitu tenaga

kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive

forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi.

Hal yang sering terjadi hantaman menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ

padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ

berongga dan menyebabkan ruptur (Salomone & Salomone,2011).

Tenaga deselerasi menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ yang terfiksasi. Cidera

deselerasi klasik termasuk hepatic tear sepanjang ligamentum teres dan cidera intima pada arteri

renalis (Salomone & Salomone,2011).

Salomone & Salomone (2011) menyatakan bahwa trauma tumpul akibat hantaman secara umum

dibagi ke dalam 3 mekanisme, yang pertama adalah ketika tenaga deselerasi hantaman

menyebabkan pergerakan yang berbeda arah dari struktur tubuh yang permanen. Akibatnya,

9

Page 10: Long Case Bedah

kekuatan hantaman menyebabkan organ viseral yang padat serta vaskularisasi abdomen menjadi

ruptur, terutama yang berada di daerah hantaman.

Yang kedua adalah ketika isi dari intra abdomen terhimpit antara dinding depan abdomen dan

kolumna vertebralis atau posterior kavum thorak. Hal ini dapat merusak organ-organ padat visera

seperti hepar, limpa dan ginjal.

Ketiga adalah kekuatan kompresi eksternal yang mengakibatkan peningkatan tekanan intra

abdomen secara mendadak dan mencapai puncaknya ketika terjadi ruptur organ.

Pada penderita ini terjadinya jejas pada abdomen disebabkan karena terhimpitnya pasien saat

terjadi kecelakaan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya himpitan pada organ intra abdomen

antara dinding depan abdomen dan kolumna vertebralis.

2. Patofisiologi

Menurut Anonim (2008), patofisiologi dari trauma tumpul abdomen terdiri dari :

a. Kehilangan darah

i. Limpa dan hati memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga terjadi kehilangan darah

dengan cepat.

ii. Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan sulit melakukan proses homeostasis.

iii. Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di diagnosis.

b. Nyeri

i. Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik patologi intraabdomen.

ii. Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba dan iritasi

membrane peritoneal hingga ke dinding abdomen.

iii. Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum peritoneal.

iv. Cidera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek mengaktifkan enzim di

sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi area retroperitoneal.

v. Tanda dan gejalan cidera pankreas dan duodenum adalah :

Nyeri tekan abdomen yang difus

penjalaran nyeri pada area epigastrium sampai ke punggung.

10

Page 11: Long Case Bedah

D. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang mengancam nyawa

teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai. AMPLE sering digunakan untuk

mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,Medications, Past medical history, Last meal or

other intake, Events leading to presentation (Salomone & Salomone,2011) .

 Udeani & Seinberg (2011) menyatakan bahwa faktor penting yang berhubungan dengan pasien

trauma tumpul abdomen, khususnya yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor

perlu digali lebih lanjut, baik itu dari pasien, keluarga, saksi, ataupun polisi dan paramedis. Hal-

hal tersebut mencakup:

a. Proses kecelakaan dan kerusakan kendaraan

b. Waktu pembebasan (evakuasi) yang dibutuhkan

c. Apakah pasien meninggal

d. Apakah pasien terlempar dari kendaraan

e. Bagaimana fungsi peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman dan airbags

f. Apakah pasien dalam pengaruh obat atau alkohol

g. Apakah ada cidera kepala atau tulang belakang

h. Apakah ada masalah psikiatri

Pada pasien anak, perlu digali apakah ada riwayat gangguan koagulasi atau penggunaan obat-

obat anti platelet (seperti pada defek jantung congenital) karena dapat meningkatkan resiko

perdarahan pada cidera intra abdomen (Wegner et al.,2006).

2. Pemeriksaan Fisik

Evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen harus dilakukan dengan semua cidera

merupakan prioritas. Perlu digali apakah ada cidera kepala, sistem respirasi, atau sistem

kardiovaskular diluar cidera abdomen (Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,

2011).. Pemeriksaan yang diperlukan adalah :

a. Pemeriksaan awal :

i. Setelah survey primer dan resusitasi dilakukan, fokus dilakukan pada survey sekunder

abdomen.

ii. Untuk cidera yang mengancam jiwa yang membutuhkan pembedahan segera, survei sekunder

yang komprehensif dapat ditunda sampai kondisi pasien stabil.

11

Page 12: Long Case Bedah

iii. Pada akhir pemeriksaan awal dilihat kembali luka-luka ringan pada penderita. Banyak cedera

yang samar dan baru termanifestasikan kemudian.

b. Inspeksi :

i. Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera. Perlu diperhatikan

adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.

ii. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi karena sabuk

pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk contusio). Pada banyak penelitian,

tanda (bekas) sabuk pengaman dapat dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan

insidensi cidera intra abdomen.

iii. Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan cedera medulla

spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan berhubungan dengan

pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang diakibatkan iritasi peritoneal.

iv. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien dengan

cedera trauma tumpul abdomen.

v. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal, namun gejala

ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan edema panggul meningkatkan

kecurigaan adanya cedera retroperitoneal.

vi. Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak, perdarahan,

dan hematom.

c. Auskultasi :

i. Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula arteriovenosa

traumatik.

ii. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.

iii. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.

d. Palpasi :

i. Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien. Perhatikan

massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas.

ii. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan intraabdomen.

iii. Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda potensial

12

Page 13: Long Case Bedah

untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang rusuk.

iv. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius bagian

bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka berhubungan tingkat

kematian sebesar 50%.

v. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan cedera.

Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat atau tersamar. Tonus

rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari pasien.

vi. Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya cedera

medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan penurunan atau bahkan tidak

adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.

vii. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena bantuan

ventilasi atau terlalu banyak udara.

viii. Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera setelah cedera

menandakan adanya kebocoran isi usus.

e. Perkusi :

i. Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal

ii. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar konsultasi

pembedahan.

ix. Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti fraktur basal

kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai apakah ada perdarahan. Jika pasien

mengalami cidera maxillofacial, lebih baik dipasang pipa orogastrik. Selanjutnya kateter foley

juga dipasang untuk mengetahui produksi urin dan pengambilan sample urinalisis untuk

pemeriksaan hematuri mikroskopis. Jika cedera urethra atau vesika urinaria diduga karena

fraktur pelvis, maka perlu dilakukan retrograde urethrogram terlebih dahulu sebelum

pemasangan kateter. Karena luasnya spektrum cidera pada trauma tumpul abdomen, maka

frekuensi evaluasi ulang menjadi komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma

tumpul abdomen. Survei tersier merupakan pengulangan survei primer dan sekunder serta revisi

semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah penelitian, survey tersier pada trauma

dapat mendeteksi 56% cidera yang terlewatkan selama penilaian awal dalam 24 jam pertama.

Hasil pemeriksaan fisik abdomen pada penderita ini didapatkan jejas di seluruh region abdomen

dengan vulnus excoriation (VE) serta darah kering di region inguinalis dekstra dan sinistra.

13

Page 14: Long Case Bedah

Peristaltik usus yang positif (+) ditunjukkan dengan pemeriksaan auskultasi. Didapatkan nyeri

tekan pada region inguinalis kanan dan kiri. Hasil palpasi tidak didapatkan massa serta adanya

undulasi. Perkusi memberikan hasil timpani tanpa pekak alih. Pada pemeriksaan kedua kaki

didapatkan bahwa kedua kaki sulit digerakkan. Pasien sudah dipasang kateter urin dan

ditemukan hematuria pada urine bag.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan

untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa serum, darah lengkap, kimia serum, amylase

serum, urinalisis, pembekuan darah, golongan darah, arterial blood gas (ABG), ethanol darah,

dan tes kehamilan (untuk wanita usia produktif).

a. Pemeriksaan darah lengkap

Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa dijadikan acuan bahwa

tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan mengeluarkan darah lengkap. Hingga volume darah

tergantikan dengan cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone

[ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian ulang transkapiler,

anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan pemberian transfusi pada pasien dengan kadar

hematokrit yang relatif normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti

fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.

Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia berat (jumlah

trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan

antara rendahnya kadar hematokrit (<30%) dengan cidera berat. Peningkatan sel darah putih

tidak spesifik dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan serial Hb. Pemeriksaan darah lengkap

yang dilakukan bersama serial Hb pertama menunjukkan angka Haemoglobin sebesar 14.5 g/dL,

hematokrit sebesar 45%, angka leukosit 27.9 x 103/uL, angka eritrosit 4.94 x 106/uL, angka

trombosit 281 x 103/uL, MCV sebesar 81.7 IL, MCH 26.9 pg, MCHC 32,9g/dL. Hitung jenis

leukosit menunjukkan hasil limfosit 15.9%, MXD 4.4% dan neutrofil 79.7%. Laju endap darah

(LED) 1 jam menunjukkan angka 5 mm dan LED 2 jam menunjukkan angka 10mm.

Pada serial Hb kedua didapatkan hasil kadar haemoglobin sebesar 15,6 g/dL dan hematokrit

sebesar 24,6 %. Serial Hb ketiga menunjukkan hasil Hb sebesar 16,4 g/dL dan hematokrit

sebesar 28,2%. Pemeriksaan serial Hb keempat didapatkan kadar hemoglobin sebesar 16,9 g/dL

14

Page 15: Long Case Bedah

dan hematokrit sebesar 22,1%.

b. Kimia serum

Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan jarang menggunakan obat-

obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran

gas darah tidak dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk mengukur serum glukosa dan

level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan menggunakan alat stik pengukur

penting pada pasien dengan perubahan status mental.

c. Tes fungsi hati

Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting dilakukan, namun temuan

peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh beberapa alasan (contohnya penggunaan alkohol).

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanine

aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden dengan cedera hepar

yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase (LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi

indikator trauma hepar.

d. Pengukuran Amilase

Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak sensitif dan tidak spesifik

untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma

memiliki keakuratan yang cukup besar. Meskipun beberapa cedera pankreas dapat terlewat

dengan pemeriksaan CT scan  segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi jika scan

diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat terjadi akibat iskemik pancreas akibat

hipotensi sistemik yang menyertai syok.

e. Urinalisis

Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen dan atau panggul, gross

hematuria, mikroskopik hematuria dengan hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan.

Gross hematuri merupakan indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT scan

abdomen dengan kontras.

f. Penilaian gas darah arteri (ABG)

Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan trauma mayor. Informasi

penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai

pasien dengan kecurigaan asidosis metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok.

Defisit kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan penentuan etiologi.

15

Page 16: Long Case Bedah

Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen sistemik dengan memastikan SaO2 yang

adekuat (>90%) dan pemberian volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika

diindikasikan, dengan darah.

g. Skrining obat dan alkohol

Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan perubahan tingkat kesadaran.

Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi tingkat penggunaan alkohol.

4. Pemeriksaan Gambar

Penilaian awal paling penting pada pasien dengan trauma tumpul abdomen adalah penilaian

stabilitas hemodinamik. Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, evaluasi cepat harus

dibuat untuk melihat adanya hemoperitoneum. Hal ini dapat dapat dilakukan dengan DPL

(Diagnostic Peritoneal Lavage) atau FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma) scan.

Pemeriksaan radiografi abdomen perlu dilakukan pada pasien yang stabil ketika pemeriksaan

fisik kurang meyakinkan (Hoff et al., 2001).

a. Foto polos

Udeani & Steinberg (2011) menyatakan bahwa :

i. Meskipun secara keseluruhan evaluasi pasien trauma tumpul abdomen dengan rontgen polos

terbatas, namun foto polos dapat digunakan untuk menemukan beberapa hal.

ii. Radiografi dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur

hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum.

iii. Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra torakolumbar

iv. Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari perforasi usus

kemungkinan bisa terlihat.

Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan foto polos pervis, sedangkan untuk abdomen 3 posisi

belum dilakukan. Pada foto polos pelvis AP view tidak didapatkan lesi litik ataupun sklerotik,

tak tampak tanda-tanda fraktur/dislokasi, tak tampak kelainan pada sistem tulang yang

tervisualisasi, serta joint space tak melebar/menyempit.

b. Ultrasonografi

Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah digunakan untuk

mengevaluasi pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi diagnostik FAST secara

umum sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL). Penelitian di Amerika dalam beberapa

16

Page 17: Long Case Bedah

tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat

hemoperitoneum (Feldman, 2006).

Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem, ultrasonografi portabel

dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat mengidentifikasi cairan bebas di

intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang teridentifikasi, namun cairan bebas bisa

tervisualisasi pada beberapa kasus (Salomone & Salomone,2011).

Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang subxiphoid),

rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis. Tampilan pada kantong

Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah cairan (Jehangir et al., 2002).

Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen. Cairan bebas

pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan laparotomi emergensi, akan tetapi

jika pasien stabil dapat dievaluasi dengan CT scan (Feldman, 2006).

Pada penderita ini, pemeriksaan ultrasonography (USG) tidak didapatkan cairan bebas pada

hepatorenal, splenorenal, serta retrovesika urinaria. Pada gambaran hepar menunjukkan ukuran,

bentuk dan echostructure parenchym normal, homogen, tepi licin, capsula intact, tak tampak

pelebaran sistema bilier, et vascular intra hepatal, tak tampak nodul/cyst. Pada gambaran vesica

fellea didapatkan ukuran normal, dinding tak menebal, regular, tak tampak massa. Gambaran lien

menunjukkan ukuran, bentuk, dan echostructure parenchyma normal, dinding licin, hilus tak

prominen, tak tampak massa. Gambaran ginjal kanan dan kiri menunjukkan ukuran dan

echostructure parenchyma normal, kapsula intak, batas kortek dan medulla tegas, SPC tak

melebar, tak tampak massa/nodul. Gambaran vesika urinaria nampak terisi cairan, terpasang

balon vesika urinaria, dinding licin, tak tampak batu/massa. Gambaran prostat memberikan hasil

ukuran dan ekostruktur parenkim normal, tak tampak nodul, tak tampak limpadenopati

paraaortisi.

c. Computed Tomography (CT) Scan

Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak mendukung

gambaran detail patologi trauma dan memberi penunjuk dalam intervensi operatif. Tidak seperti

FAST ataupun DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage), CT scan dapat menentukan sumber

perdarahan (Salomone&Salomone,2011).

Cidera diafragma dan perforasi saluran pencernaan masih dapat terlewat dengan pemeriksaan CT

scan, khususnya jika CT scan dilakukan segera setelah trauma. Cidera pankreas dapat

17

Page 18: Long Case Bedah

terlewatkan dengan pemeriksaan awal CT scan, tapi secara umum dapat ditemukan pada

pemeriksaan follow up yang dilakukan pada pasien resiko tinggi. Untuk beberapa pasien,

endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dapat ditambahan bersama CT scan

untuk mendukung cedera duktus (Hoff et al., 200l).

Keuntungan utama CT scan adalah tingginya spesifitas dan penggunaan sebagai petunjuk

manajemen nonoperatif pada cidera organ padat (Feldman, 2006).

5. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan adanya

perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan abdomen

menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak jelas. DPL juga berguna untuk

pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan (Feldman, 2006).

Indikasi dilakukannya DPL pada trauma tumpul dimana :

a. Pasien dengan cedera medulla spinalis

b. Cedera multipel dan syok yang tidak bisa dijelaskan

c. Pasien dengan cedera abdomen

d. Pasien intoksikasi dimana ada kecenderungan cedera abdomen

e. Pasien dengan resiko cedera intra abdomen dimana dibutuhkan anestesi yang lebih panjang

untuk prosedur yang lain.

Kontraindikasi absolute untuk DPL adalah kebutuhan untuk laparotomi yang nyata.

Kontraindikasi relatif termasuk obesitas morbid, riwayat pembedahan abdomen multipel, dan

kehamilan. (Udeani&Steinberg,2011).

Variasi metode kateterisasi ke dalam rongga peritoneal telah dijelaskan, yaitu metode terbuka,

semi terbuka, dan metode tertutup. Metode terbuka membutuhkan insisi kulit infraumbilikal

yang luas dan melalui linea alba. Peritoneum dibuka dan kateter dimasukkan dibawah visualisasi

secara langsung. Metode semi terbuka serupa, kecuali peritoneum tidak dibukan dan kateter

dilewatkan perkutaneus melewati peritoneum ke dalam kavum peritoneal. Taknik tertutup

membutukan kateter uang dimasukkan secara buta melalui kulit, jaringan subkutan, linea alba,

dan peritoneum. Teknik tertutup dan semi terbuka pada infra umbilical lebih banyak dilakukan

pada bagian tengah (Udeani&Steinberg,2011).

DPL bernilai postitif pada pasien trauma tumpul jika 10mL darah segar teraspirasi sebelum infus

18

Page 19: Long Case Bedah

cairan cuci atau jika pipa cairan cuci (contohnya 1 L NaCl diinfuskan ke kavitas peritoneal

melalui kateter dan dibiarkan tercampur, dimana akan dialirkan oleh gravitasi) terdapat lebih dari

100.00 sel darah merah/mL, lebih dari 500 sel darah putih/mL, peningkatan kadar amilase,

empedu, bakteri, serat makanan, atau urin. Hanya diperlukan kira-kira 30 mL darah pada

peritoneum untuk menghasilkan hasil DPL positif secara mikroskopis (Feldman, 2006 ;

Salomone & Salomone, 2011 ; Udeani & Steinberg,2011).

Hasil lain dari DPL yang menjadi indikasi dilakukan eksplorasi termasuk adanya empedu atau

kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus), serat makanan, atau bakteri pada

pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002).

Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi (luka

peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria, usus halus, uterus).

Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada vesika urinaria, atau cidera

organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan mengakibatkan hasil positif palsu. Hasil

positif palsu dapat memicu laparotomi yang tidak diperlukan (King&Bewes,2002).

Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak

terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah

pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006).

E. Penatalaksanaan

1. Tatalaksana inisiasi (Salomone&Salomone,2011) :

Fokus penatalaksanaan sebelum di rumah sakit pada penilaian dan penangangan masalah yang

mengancam nyawa, termasuk inisiasi resusitasi dan transport ke rumah sakit terdekat.

Penggunaan intubasi endotrakeal untuk membebaskan jalan nafas pada pasien yang tidak mampu

mempertahankan jalan nafas atau yang berpotensial terjadinya gangguan pada jalan nafas.

Perdarahan eksternal jarang dihubungkan dengan trauma tumpul abdomen. Jika ada, kontrol

perdarahan dengan tekanan langsung. Perhatikan tanda-tanda kurangnya perfusi sistemik. Inisiasi

resusitasi cairan dengan cairan kristaloid.

Diagnosis tension pneumothoraks diobati dengan kompresi jarum diikuti dengan penempatan

pipa torakostomi. Faktor mekanis lain yang berhubungan dengan ventilasi termasuk hemotorak,

dan kontusio pulmonal.

2. Tatalaksana non operatif (Udeani&Steinberg,2011) :

Manajemen non operatif berdasarkan diagnosis CT scan dan stabilitas hemodinamik pasien. Pada

19

Page 20: Long Case Bedah

trauma tumpul abdomen, termasuk cedera organ padat yang parah, pilihan manajemen non

operatif menjadi perawatan standar.

Angiografi merupakan modalitas manajamen non operatif pada trauma tumpul pada organ padat

dewasa. Angiografi digunakan untuk melihat perdarahan secara non operatif.

3. Tatalaksana bedah

Resusitasi thorakotomi pada UGD hanya bersifat menyelamatkan jiwa. Survival dengan

penyembuhan neurologis lebih diharapkan pada pasien dengan trauma tajam dibandingkan

trauma tumpul. Torakotomi dapat berperan pada beberapa pasien dengan trauma tajam pada

leher, dada, atau ekstermitas dengan tanda-tanda kehidupan (Dudley, 1992).

Pasien dengan trauma tumpul torakoabdominal dengan pulseless electrical activity (PEA)

merupakan pertanda buruk untuk dilakukan resusitasi torakotomi. Pada pasien dengan

hemoperitoneum dari trauma tumpul torakoabdominal, tujuan resusitasi torakotomi pada IGD

adalah (1) klem aorta, mengalihkan darah ke koroner dan pembuluh darah otak selama resusitasi,

(2)evakuasi tamponade pericardial,(3)mengontrol perdarahan thoraks secara langsung, dan

(4)membuka dada untuk pijat jantung (Udeani&Steinberg,2011).

Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak

terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah

pemeriksaan FAST atau DPL. Ketika sudah ada indikasi untuk dilakukan laparotomi, antibiotik

spektrum luas diberikan. Insisi pada garis tengah biasanya lebih disukai. Ketika abdomen dibuka,

kontrol perdarahan dilakukan dengan mengeluarkan darah dan bekuan darah, dan mengeklem

struktur vaskuler. Setelah intra abdomen diperbaiki dan perdarahan dikontrol,eksplorasi

abdomen dilakukan untuk mengevaluasi seluruh lapangan abdomen(Udeani&Steinberg,2011).

Setelah cedera intraperitoneal terkontrol, retroperitoneum dan pelvis harus diperhatikan. Jangan

pernah melakukan eksplorasi pada hematom pelvis. Gunakan fiksasi eksterna pada fraktur pelvis

untuk menurunkan atau menghentikan perdarahan. Setelah sumber perdarahan dihentikan,

kemudian stabilisasi pasien dengan cairan merupakan hal penting (Udeani&Steinberg,2011).

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan refer ke rumah sakit dengan tipe yang lebih tinggi

untuk mencari penyebab hematuria dikarenakan keterbatasan peralatan.

F. Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul dari trauma tumpul abdomen adalah cedera yang terlewatkan,

terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenic, intra abdomen sepsis dan abses, resusitasi yang

20

Page 21: Long Case Bedah

tidak adekuat, rupture spleen yang muncul kemudian (King et al, 2002 ;

Salomone&Salomone,2011).

G. Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen bervariasi. Tanpa data statistik yang

menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah pasien total dengan trauma

tumpul abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk pasien trauma intra abdomen sulit. Angka

kematian untuk pasien rawat inap berkisar antara 5-10% (Udeani&Steinberg,2011).

BAB III

KESIMPULAN

Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari diafragma

hingga pelvis (Agung, 2010). Trauma yang didapat dari kecelakaan menjadi penyebab terbanyak

dari trauma abdomen. Kecelakaan mobil dengan mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki

menduduki 50-75% dari keseluruhan kasus trauma tumpul abdomen (Udeani & Steinberg,2011).

Cidera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme utama, yaitu tenaga

kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive

forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi.

Hantaman merupakan hal yang paling menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ

padat visera. Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ

berongga dan menyebabkan rupture (Salomone & Salomone,2011).

Penegakan diagnosis pada trauma tumpul abdomen dapat dilakukan dengan melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi yang terdiri dari foto

polos, FAST, atau CT scan. Selain itu, dapat pula dilakukan DPL. DPL terutama berguna jika

riwayat dan pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cedera multisistem atau

tidak jelas (Feldman,2006).

21

Page 22: Long Case Bedah

Penatalaksanaan pada pasien trauma tumpul abdomen dilakukan secara konservatif dan bedah.

Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok yang tidak

terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya hemoperitoneum setelah

pemeriksaan FAST atau DPL (Udeani&Seinberg,2011).

Hasil pemeriksaan fisik abdomen pada penderita ini didapatkan jejas di seluruh region abdomen

dengan vulnus excoriation (VE) serta darah kering di region inguinalis dekstra dan sinistra.

Peristaltik usus yang positif (+) ditunjukkan dengan pemeriksaan auskultasi. Didapatkan nyeri

tekan pada region inguinalis kanan dan kiri. Hasil palpasi tidak didapatkan massa serta adanya

undulasi. Perkusi memberikan hasil timpani tanpa pekak alih. Pada pemeriksaan kedua kaki

didapatkan bahwa kedua kaki sulit digerakkan. Pasien sudah dipasang kateter urin dan

ditemukan hematuria pada urine bag. Hasil lab tidak menunjukkan adanya gangguan yang

menandakan adanya perdarahan. Pada foto polos pelvis yang dilakukan tidak didapatkan adanya

kelainan maupun tanda-tanda adanya fraktur. USG abdomen belum menunjukkan adanya cidera

organ yang berarti akibat trauma pada kecelakaan yang diderita. Penatalaksanaan pada pasien ini

dilakukan refer ke rumah sakit dengan tipe yang lebih tinggi untuk mencari penyebab hematuria

dikarenakan keterbatasan peralatan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I. G. N. 2010 Anatomi Abdomen. Catatan Radiograf. Diakses pada 12 Februari 2011 dari

http://catatanradiograf.blogspot.com/2010/08/anatomi-abdomen.html.

Amro, M. 2006 Akut Abdomen. Scribd. Diakses pada tanggal 11 Februari 2011 dari

http://www.scribd.com/doc/25945432/Abdominal-Trauma.

Anonim. 2008 Kegawatdaruratan Sistem Pencernaan pada Trauma Abdomen. Diakses pada 8

Februari 2011 dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kegawatdaruratan.pdf

Dorland, W. A . N. 2002 Kamus Kedokteran Dorland Ed.29. Jakarta : EGC.

Dudley, H. A. F. 1992 Hamilton Bailey's Emergency Surgery. Yogyakarta : UGM Press.

Feldman, G. 2006 Blunt Abdominal Trauma : Evaluation. Diakses pada 11 Februari 2011 dari

http://www.docstoc.com/docs/30321684/Blunt-Abdominal-Trauma-Evaluation.

Hoff. W S., Holevar M., Nagy K. K., Patterson L.,  Young .J S., Arrillaga A., Najarian M. P.,

22

Page 23: Long Case Bedah

Valenziano C. P. 2001 PRACTICE MANAGEMENT GUIDELINES FOR THE

EVALUATION. Coatesville : Eastern Association for the Surgery of Trauma.

Jehangir B., Bhat A. H., Nazir, A. 2002 The Role of Ultrasonography in Blunt Abdominal

Trauma. JK-practitioner.

King M., Bewes P. 2002 Bedah Primer Trauma. Jakarta : EGC.

Salomone A. J., Salomone, J. P. 2011 Emergency Medicine: Abdominal Blunt

Trauma.Emedicine. WebMD. Diakses pada 11 Februari 2011 dari

http://emedicine.medscape.com/article/433404-print .

Snell, R S. 2006 Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.

Srivathsan. 2009 Abdominal Trauma. Scribd. Scribd. Diakses pada  11 Februari  2011 dari

http://www.scribd.com/doc/15565439/Abdominal-Trauma- .

Udeani, J., Steinberg S. R. 2011 Trauma Medicine: Blunt Abdominal Trauma.Emedicine.

WebMD. Diakses pada 11 Februari  2011 dari http://emedicine.medscape.com/article/821995-

print .

Wegner, S., Colleti, J E., Wie, D V. 2006 Pediatric Blunt Abdominal Trauma. Pediatric clinics.

Diakses pada 11 Februari 2011 dari

http://hsc.unm.edu/emermed/ped/physicians/residents/articles/Pediatric%20Blunt%20Abdominal

%20Trauma.pdf.

23