Top Banner
1 EDISI II TAHUN 2011 Lingkungan Hunian Berimbang Lingkungan Hunian Berimbang Hari Perumahan Nasional 2011: ‘Dengan Sinergi Pusat, Daerah dan Mitra Kita Wujudkan Rumah Murah Bagi Rakyat’ 2011 Kemenpera Raih Opini WTP BPK ke-5 Menpera: “Kinerja Kemenpera harus lebih baik”
60

Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Nov 29, 2014

Download

Real Estate

diterbitkan oleh Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat, sebagai media komunikasi diantara pemangku kepentingan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

1

EDISI II TAHUN 2011

LingkunganHunian Berimbang

LingkunganHunian Berimbang

Hari Perumahan Nasional 2011:

‘Dengan Sinergi Pusat, Daerah dan Mitra Kita Wujudkan Rumah Murah Bagi Rakyat’

2011 Kemenpera RaihOpini WTP BPK ke-5 Menpera: “Kinerja Kemenpera harus lebih baik”

Page 2: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

2

K ehadiran kami telah berlangsung secara rutin, na­mun tetap saja saat­saat Inforum sampai ke tangan pembaca selalu menjadi momen paling bahagia bagi

kami. Kebahagian ini semakin membuncah karena keha diran Inforum bertepatan dengan momen Idul Fitri. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H. Mohon maaf lahir batin. Semoga keberkahan ramadhan mengawal langkah kita selanjutnya.

Rumah sebagai kebutuhan dasar bahkan hak asasi manusia telah menjadi pemahaman kita semua. Namun bagaimana membumikannya masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ kita semua, tidak hanya pada skala Indonesia bahkan global. Sampai saat ini di Indonesia masih tercatat setidaknya 8 juta kepala keluarga belum menempati rumah layak huni.

Salah satu upaya pemerintah dalam memenuhi kebu tuhan rumah khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) di Indonesia adalah melalui konsep hunian ber imbang. Konsep ini diperkenalkan dengan kesadaran bahwa tanpa campur tangan pemerintah, MBR akan kesulitan memperoleh akses terhadap rumah layak huni. Selain juga untuk memastikan tidak terjadinya segregasi sosial dalam pemba ngunan kawasan permukiman.

Menjadi menarik kemudian untuk melihat seberapa jauh kita berhasil atau bahkan ‘seberapa gagal’ kita menerapkan konsep ini. Jawaban terhadap pertanyaan yang kritis ini menjadi semakin bermakna dengan diterbitkannya Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Bagaimana kemudian peluang kehadiran undang­undang ini dapat menjadi pendorong konsep hunian berimbang agar lebih mumpuni. Tentu saja masih banyak lagi pertanyaan di kepala kita tentang implementasi dari konsep ini.

Edisi Inforum kali ini menggunakan momen kehadiran Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 untuk melihat kem­bali keberadaan konsep hunian berimbang ini. Baik dari aspek teoritis, maupun praktisnya. Selain itu masa depan kota kembali dipertanyakan, akankah ada kehidupan pasca­kota, jika perkembangan perkotaan di Indonesia tidak terarah dan memiliki sebuah cetak biru perencanaan kota yang terintegrasi dengan baik.

Semoga sajian kami dapat lebih menambah pemahaman kita semua terhadap kondisi pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia.

Selamat membaca.

Desain cover: Agus SumarnoFoto cover depan: Istimewa

Redaksi menerima artikel, berita, karikatur yang terkait bidang perumahan rakyat dari pembaca. Lampirkan gambar/foto dan identitas penulis ke alamat email redaksi. Naskah ditulis maksimal 5 halaman A4, Arial 12.Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan terkait bidang perumahan rakyat ke email: [email protected] atau saran dan pengaduan di www.kemenpera.go.id

Pelindung Menteri Negara Perumahan Rakyat

Penasehat RedaksiSekretaris Kementerian Perumahan Rakyat Deputi Bidang Pembiayaan PerumahanDeputi Bidang Pengembangan KawasanDeputi Bidang Perumahan SwadayaDeputi Bidang Perumahan Formal

Pemimpin RedaksiOswar Mungkasa

Dewan RedaksiRifaid M. NurHardi SimamoraEko D. HeripoerwantoLukman Hakim

Redaksi PelaksanaMoch. Yusuf HariagungEko SuhendratmaDavid Agus Sagita

Penyunting dan Penyelaras Naskah JeffryTri Pudji AstutiArief KaryawanHotman Sahat Gayus

Reporter Ristyan Mega PutraAkbar Pandu Pratamalistya

Desain dan Produksi Aris KarnadhiRossi Dwi ApriawanAgus Sumarno

Bagian Administrasi Angga Dwijayanti

Bagian Distribusi Saiful AnwarRuby MarchelinusSri Rahmi PurnamasariPustika Chandra KasihJadima Lumban R

KontributorLusia Nini PurwajatiRidho Fauzy

KorespondenR. Budiono SubambangToni Rusmarsidik B. EkoputroCut LisaBambang Sucipto Yuwono

Alamat Redaksi Inforum:Bagian Humas dan Protokol Kementerian Perumahan RakyatJln. Raden Patah I No. 1 Lantai 3 Wing 3 Kebayoran Baru, Jakarta SelatanTelp / Fax : (021) 724687Email : [email protected] Website : www.kemenpera.go.id

Page 3: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

3

PENGGEMAR BARURedaksi Inforum Yth.Waktu saya berkunjung ke perpustakaan daerah saya secara tidak sengaja menemukan Majalah INFORUM Edisi I Tahun 2011. Setelah saya baca ternyata isinya cukup menarik dan lumayan berbobot, tetapi waktu saya tanyakan adakah edisi sebelumnya, ternyata perpusta-kaan daerah tempat saya membaca tidak memiliki koleksi Majalah INFORUM edisi sebelumnya. Dimanakah saya bisa memperoleh Majalah INFORUM edisi sebelumnya, apakah saya bisa berlangganan? Haris – Malang Yth. Sdr. Haris di MalangTerima kasih atas ketertarikan anda kepada Majalah INFO-RUM. Saat ini memang distribusi Majalah INFORUM belum merata ke seluruh perpustakaan-perpustakaan daerah tapi dalam waktu dekat Majalah INFORUM dapat didistribusikan ke daerah dengan merata. Jika anda ingin membaca Majalah INFORUM edisi 2010 anda dapat mengunduhnya secara gratis melalui situs www.kemenpera.go.id, demikian juga untuk edisi-edisi ke depan.

DEKONSENTRASI 2011Yth. Dewan Redaksi,Dalam edisi 1 yang lalu tahun 2011, INFORUM mem-bahas tentang program kegiatan Dekonsentrasi 2011 lingkup kementerian Perumahan Rakyat. Saya berharap inforum tetap meng-update setiap kegiatan Dekonsentrasi 2011, agar kami dapat mengetahui perkembangan dari seluruh kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan Dekon-sentrasi 2011.Salam - Rozak Yth. Sdr. RozakTerima kasih atas saran dan masukannya. Redaksi Inforum akan terus memberikan info seluruh kegiatan yang dilaksanakan dalam Dekonsentrasi 2011 Lingkup Kementerian Perumahan Rakyat. Info tersebut juga dapat diakses melalui situs BPA Kemenpera (www.bpa.kemenpera.go.id)

KEGIATAN HARI HABITAT DUNIA 2011Yth. Majalah Inforum,Hampir 1 tahun yang lalu saya pernah membaca tentang rangkaian kegiatan Hari Habitat Dunia 2010 di Majalah INFORUM terutama pada keterlibatan kaum muda dalam kegiatan tersebut. Apakah saya dapat mengeta-hui agenda acara untuk rangkaian acara peringatan Hari Habitat Dunia 2011, dan bagaimana saya dapat ikut serta dalam kegiatan tersebut?Nauval (Mahasiswa) – Denpasar

Yth. Sdr. NauvalRangkaian kegiatan Hari Habitat Dunia 2011 sedang dikompi-lasi karena masih menunggu masukan dari berbagai instansi/lembaga. Kami berharap Kalender Kegiatan dalam rangka Peringatan Hari Habitat Dunia akan diumumkan pada akhir Agustus atau awal September 2011. Silahkan buka website: www.habitat-indonesia.or.id untuk posting informasi terkini. Ke-terlibatan anak muda dalam Hari Habitat Dunia sangat diharapkan. Tahun ini Kementerian Perumahan Rakyat bekerja sama dengan Seknas Habitat akan menyelenggarakan Lomba Esai bagi pelajar SMA dan Mahasiswa dengan tema ‘Perumah-an dan Kawasan Permukiman Ramah Lingkungan’.

PENULISAN ARTIKELYth. Redaksi Inforum,Saya tertarik untuk mengirimkan tulisan untuk Majalah INFORUM, akan tetapi saya masih mahasiswa dan takut topik yang saya sajikan tidak begitu dalam. Apakah ada halaman khusus yang ditujukan untuk mahasiswa yang tertarik menulis seperti saya?Salam – Rizkya (Tenggarong)

Yth. Sdr. RizkyaTerima kasih atas ketertarikan anda untuk menyumbangkan tulisan ke INFORUM jangan takut untuk menulis jika tulisan anda memang menarik pasti akan dimuat di INFORUM. Saat ini kami belum memiliki rubrik yang khusus ditujukan untuk kaum muda, tetapi masukan anda akan menjadi pertimbangan kami dalam mengembangkan INFORUM ke depan.

Page 4: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

4

Dari Redaksi 02

Surat Pembaca 03

Daftar Isi 04

Laporan Utama 06

Wawancara Khusus 10

Wacana 12

Liputan 30

Kata Pemangku Kepentingan 40

Tanya Jawab 41

Intermezzo 42

Pengelolaan Pengetahuan 44

Fakta 49

Praktek Unggulan 50

Galeri Foto 52

Agenda 53

Jelang 55

Lebih Jelas tentang Lingkungan Hunian Berimbang

“End of Cities”Pertemuan Forum Perencana Muda Internasional(International Young Planners Forum) ke-2

32

Pelaksanaan konsep Lingkungan Hunian Berimbang (LHB) berjalan tanpa adanya payung yang jelas sehingga kemudian hari konsep tersebut sepertinya sangat sulit untuk diimplementasikan. Inforum berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Dr. Hazaddin T. S. Deputi Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat , tentang keberlanjutan dari konsep LHB pasca lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2011.

12

Pengertian berimbang lebih menekankan yang bertempat tinggal atau yang bermukim adalah berbagai kelompok masyarakat yang majemuk, tidak membentuk eksklusifitas dari kelompok tertentu saja.

Wacana

10

Laporan Utama

Wawancara Khusus Kebijakan ini Bertujuan untuk Mewujudkan Perumahan

dan Kawasan Permukiman yang Sehat, Aman, Serasi dan Teratur

Intermezzo 42

Fenomena Pemekaran Perkotaan yang Tidak TeraturUrban sprawl merupakan sebuah fenomena perembetan fisik perkotaan ke wilayah sub urban yang tidak terencana dengan baik. Hal ini mengakibatkan sulitnya membedakan antara urban dengan sub urban-nya.

Kota menjadi sebuah ajang pertempuran untuk menentukan kalah atau menang kepada generasi masa depan. Banyak dari kota-kota besar dan mega-kota (megacities) di dunia mengalami kejatuhan.

6

Liputan

SETUBABAKAN

Menguatkan Eksistensi Masyarakat Betawi Melalui Perkampungan Budaya BetawiJakarta kini sudah bukan milik masyarakat Betawi saja tapi merupakan kebanggaan dan milik seluruh masyarakat Indonesia yang ingin hidup di Ibu kota. Apakah mereka termarjinalkan oleh para pendatang baru yang memiliki modal yang kuat untuk memiliki dan membangun Jakarta?

Page 5: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 3 Tahun 2010

5

Desa Sukunan (Yogyakarta) dari Sampah Menjadi EmasTahun 2000, areal sawah yang dimiliki oleh masyarakat desa Sukunan sering tertimbun oleh sampah plastik dan lainnya yang terbawa melalui saluran irigasi dan mulai mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut. Sebuah sistem manajemen berbasis rumah tangga dengan menggunakan teknologi pemilahan sederhana dan pengomposan serta adanya sebuah sistem kolektif pengelolaan sampah diterapkan.

50 Praktek Unggulan

Perubahan-perubahan sosial yang dipelajari dari sudut ruang perkotaan secara umum, dan penyediaan perumahan pada khususnya. Fokus buku ini terletak pada masalah yang ada di

perumahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta memberikan wawasan segar tentang bagaimana pengalaman orang-orang pada zaman dekolonisasi.

44 Resensi Buku

Film Animasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 (DVD)Film Animasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 guna mempermudah masyarakat dalam

memahami kandungan dari isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

45 Info CD

MUKIMITShttp://www.mukimits.com

46 Info Situs

Situs ini dikelola oleh Laboratoruim Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Perumahan dan Permukiman.

Tema Hari Habitat Dunia 2011: Kota dan Perubahan IklimPada era ini, pada umumnya masyarakat tinggal di perkotaan, dan yang menjadi perhatian kita saat ini adalah dampak bencana terbesar sebagai akibat perubahan iklim diawali dan diakhiri di kota. Kota juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan iklim.

58 Jelang

Rumah Susun dalam Sinema IndonesiaPemerintah sejak beberapa dekade lalu telah mulai menggalakkan rumah susun di berbagai lokasi di Indonesia.Munculnya rumah susun sebagai latar sinema Indonesia menunjukkan rumah susun mulai mendapat tempat di masyarakat. Meski, potret rumah susun dalam ketiga film tersebut lebih dikaitkan dengan kemiskinan ataupun kriminalitas.

49Fakta

Tahapan Pelaksanaan Program Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Melalui Lembaga Keuangan Mikro/Lembaga Keuangan Non Bank (LKM/LKNB)

48 Info Pustaka

Page 6: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

6

Sudah sering kita mendengar pernyataan rumah merupa­kan kebutuhan dasar dan bahkan hak asasi manusia. Ini bukan tanpa dasar. Su­

dah sejak awal kemerdekaan, prinsip rumah sebagai hak dasar dan hak asasi manusia dapat ditemukan dalam ber­bagai aturan dan regulasi. Mulai dari UUD 1945 yang awal sampai UUD 1945 Amandemen, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Ma­nusia pasal 40, sampai kemudian regulasi terbaru yaitu UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 129. Na­mun bagaimana kenyataannya? Ke­mampuan Negara yang diwakili oleh pemerintah sampai saat ini belum da­pat memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Undang Undang terse­but. Akibatnya tercatat masih sekitar 8,2 juta ke­luarga Indonesia belum me nempati rumah yang layak huni.

Tentu saja telah ba­nyak program, kegiatan dan upaya yang dilakukan semua pihak termasuk pemerintah, namun hasilnya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Salah satu upaya pemerintah se­lama ini berupa penerapan konsep hunian berimbang, yaitu prinsip pem­ba ngunan rumah mewah, menengah dan sederhana secara berimbang, da­

lam pembangunan perumahan. Men­jadi menarik kemudian mengetahui lebih jauh seperti apa konsepnya, ba­gaimana konsep ini bekerja, kemudi­an kendala yang dihadapi, serta pros­peknya ke depan. Inforum mencoba menyajikannya.

Sejarah Hunian BerimbangKonsep hunian berimbang su­

dah sejak lama dikenal di Indonesia. Setidaknya dimulai pada zaman Orde Baru, ketika 3 (tiga) menteri terkait yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat menerbitkan Surat Keputusan Bersama Nomor 648­384

Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992 dan Nomor 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkung an Hunian yang Berimbang. Latar bela­kang diterbitkannya SKB ini adalah untuk menghindari terciptanya ling­kungan perumahan dengan penge­lompokan hunian yang dapat men­

dorong terjadinya kerawanan sosial. Selain itu, disebutkan pula tentang perlunya kesetiakawanan diantara ber­bagai kelompok masyarakat, sehingga dimungkinkan kelompok masyarakat mampu membantu masyarakat yang kurang mampu.

Pada saat itu, konsep hunian berimbang diterjemahkan sebagai pembangunan rumah dalam satu kompleks hunian dengan komposisi 1:3:6 yaitu pembangunan rumah 1 (satu) unit rumah mewah selalu di­sertai dengan pembangunan 3 (tiga) unit rumah menengah dan 6 (enam) unit rumah sederhana. Selain itu juga ditetapkan kriteria luasan dan biaya

pembangunan rumah.

Kendala Penerapan Konsep Hunian Berimbang

Pertanyaan yang kemudian me nge muka adalah apakah aturan dalam SKB tersebut dijalankan? Dalam prakteknya sangat sulit ditemui kompleks perumahan yang terdiri dari 3 (tiga) jenis rumah tersebut. Lebih banyak ditemukan pe­rumahan mewah bertebaran

dimana­mana tanpa adanya pembaur­an dengan rumah sederhana bahkan rumah menengah sekalipun.

Dimana letak kegagalannya? Per­tama, tentunya pene rapan hukum yang tidak tegas. Kedua, tidak terse­dia insentif bagi pengembang yang mematuhi aturan hunian berimbang. Ketiga, kondi si setiap daerah beragam,

Hunian Berimbang: Bukan Suatu yang Mustahil

Laporan Utama

Page 7: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

7

terutama ketersediaan lahan, semen­tara pengaturannya bersifat seragam.

Perspektif Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011

Kegagalan penerapan SKB terda­hulu mendorong pemerintah untuk mempunyai payung hukum yang le­bih lengkap. Untuk itu, di dalam Un­dang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Per­mukiman telah dicantumkan peng­aturan tentang hunian berimbang ini. Secara jelas diamanatkan bahwa hunian berimbang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan ren­dah (MBR). Selanjutnya, substansi hunian berimbang diatur dalam pasal 34 sampai 37.

Prinsip utama yang diatur ada­lah (i) badan hukum yang melaku­kan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang; (ii) pembangunan perumahan skala besar yang dilaku­kan oleh badan hukum wajib mewu­judkan hunian berimbang dalam satu hamparan. Hal yang menarik bahwa dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak da­lam satu hamparan, pembangunan ha rus dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota oleh badan hukum yang sama; (iii) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pemba ngun an perumah­an dengan hunian berimbang.

Kategori hunian berimbang sen­diri masih tetap sama yaitu meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. Namun disadari sepenuhnya bahwa pengaturan dalam undang­undang masih perlu ditindak­lanjuti dengan pengaturan lebih rinci sehingga ditetapkan bahwa ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Revitalisasi Konsep Hunian Berimbang

Kenyataan bahwa penerapan kon­sep hunian berimbang kurang ber­hasil selama ini mendorong perlunya dilakukan revitalisasi terhadap konsep itu sendiri. Belajar dari pengalaman selama ini, beberapa hal perlu menda­pat perhatian. Pertama, kondisi dae rah beragam sehingga dibutuhkan flek­sibilitas dalam pengaturannya. Hal ini sebaiknya tercermin dalam perda yang akan dibuat oleh masing­masing pe­merintah daerah. Kedua, rumah susun bisa menjadi salah satu pilihan dalam penerapan konsep hunian berimbang. Ketiga, pengaturan tidak hanya ber­gantung pada aspek penegakan hukum tetapi juga sebaiknya mengedepankan penyediaan insentif yang memadai. Keempat, konsep hunian berimbang tidak terlepas dari ke­beradaan aturan tata ruang di masing­ma­sing dae rah. Kelima, hunian berimbang juga terkait dengan aspek sosial sehingga dampak pembauran hunian ju­ga perlu mendapat perhatian. Keenam, mi tos komposisi huni­an berimbang 1:3:6 perlu ditinjau kembali. Apakah komposisi ini mutlak ada nya? Ketu­juh, pene rapan good go­vernance harus menjadi bagian dari penerapan hunian berimbang, sehingga keterbukaan harus dikedepankan.

Agenda KedepanLahirnya Undang­

Undang 1 Tahun 2011 merupakan momen­tum penting bagi pe­ne rap an konsep hu­

nian berimbang, sekaligus juga bagi pengurangan ‘backlog’ perumahan. Untuk menjaga momentum ini, dibu­tuhkan segera a cuan yang jelas dalam bentuk Peraturan Menteri sebagaimana diamanatkan dalam undang­undang tersebut. Namun tentunya dibutuhkan peraturan yang membumi agar dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang berkepenting an, se hing ga ke terlibatan semua pihak dalam proses penyusun­annya menjadi suatu kenis cayaan. Un­tuk selanjutnya, ditindaklanjuti oleh penetapan Peraturan dae rah oleh ma­sing­masing peme rintah daerah. Kita menyadari bahwa ini bukan pekerjaan mudah namun dengan semangat ke­bersamaan diantara semua ‘stakehold­ers’, tidak ada yang muskil maupun mustahil. Kita tunggu (OM).

Pasal 33(1) Pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi

ba dan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan un-tuk MBR.

(2) Pemerintah daerah berwenang mencabut izin pembangunan perumahan terhadap badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34(1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewu-

judkan perumahan dengan hunian berimbang.(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum

wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk

badan hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum.

(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insen-tif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.

Pasal 35(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meli-

puti rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.(2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Men-

teri.

Pasal 36(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak

dalam satu hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.

(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.

(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan daerah.

(4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.

Pasal 37Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri.

Sumber: UU Nomor 1 Tahun 2011, tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Page 8: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

8

Laporan Utama

Pengertian Lingkungan Hunian dalam Undang­Undang No­mor 1 Tahun 2011, merupa kan

bagian dari kawasan permukiman, yang dapat berupa kawasan perkotaan dan atau kawasan perdesaan, yang berfungsi sebagai tempat tinggal (ber­mukim). Jadi tekanan dari fungsi ling­kungan hunian adalah tempat tinggal atau bermukim. Tempat tinggal atau bermukiman tersebut dapat berupa, perumahan atau permukiman tergan­tung dari besar atau jumlah tempat tinggal yang menjadi satu kesatuan komunitas dan pelayanannya. Penger­tian berimbang lebih menekankan yang bertempat tinggal atau yang bermukim adalah berbagai kelom­pok masyarakat yang majemuk, tidak membentuk eksklusifitas dari kelom­pok tertentu saja.

Tujuan utama ketentuan lingkung­an hunian yang berimbang disebutkan di dalam Surat Keputusan Bersama 3

menteri tahun 1992 sebagai berikut:‘Bahwa untuk mencapai tujuan

pembangunan perumahan dan per­mukiman yang serasi tersebut di atas, perlu diwujudkan lingkungan permu­kiman yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial yang saling membu­tuhkan dengan dilandasi rasa keke­luargaan, kebersamaan dan kegotong royongan, serta menghindari tercip­tanya lingkungan perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan so­sial’. (Konsideran Menimbang huruf b. SKB 3 Menteri, tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Per­mukiman dengan Lingkungan Huni­an yang Berimbang 1992)

Dari konsideran SKB 3 Men­teri huruf b tersebut nampak bahwa hunian berimbang ditekankan suatu kesetia­kawanan sosial dari berbagai lapisan masyarakat, baik profesi, sta­

tus sosial serta tingkat ekonomi yang berbeda, mencegah terjadinya kerawa­nan sosial.

Pelaksanaan Lingkungan Hunian Berimbang Masa Lalu

Ketentuan lingkungan hunian berimbang sebenarnya sudah berjalan jauh sebelum peraturan 3 menteri ini diterbitkan. Perumahan baru diba­ngun pada awal 1980­an sampai de­ngan awal 1990­an dapat menerapkan lingkungan hunian berimbang de­ngan baik sampai dengan awal tahun 1990­an. Perumahan yang dibangun oleh instansi pemerintah atau oleh perusahaan swasta juga menerapkan lingkungan hunian berimbang yang diperuntukkan bagi eksekutif utama, tenaga eksekutif madya dan tenaga kerja di bawah tingkat tersebut de­ngan komposisi rumah tertentu.

Perkembangan selanjutnya, rumah dan perumahan bukan lagi dibangun

Lebih Jelas tentang Lingkungan Hunian Berimbang

Yusuf Yuniarto*

sumber foto: istimewa

Page 9: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

9

dan dijual sebagai pemenuhan ke­butuhan dasar saja tetapi sudah me­lekat dengan nilai prestise/pencitraan diri secara sosial (social prestige). De­ngan tambahan nilai pencitraan diri atas kebutuhan dasar tersebut harga jual rumah menjadi berlipat dan sa­ngat menguntungkan bagi pemba­ngunnya. Ternyata masyarakat juga mengikuti pancingan pasar sehingga, pasar rumah dan perumahan dengan tambahan nilai prestise tersebut laris manis. Rumah dan perumahan yang dibangun tanpa menambahkan nilai pencitraan diri ditinggalkan, bukan karena tidak menguntungkan yang membangun, tetapi akan lebih un­tung jika menjual rumah dengan diberikan tambahan pencitraan diri (social prestige).

Oleh sebab itu, rumah seder­hana yang dibangun sekedar untuk pemenuhan kebutuhan dasar, tidak diminati oleh pembangun rumah dan perumahan, karena akan lebih meng untungkan membangun ru­mah dan perumahan yang mem­punyai tambah an pencitraan diri. Ukuran rumah dapat sama, mi salnya tipe 36 m2 dengan ukuran kavling tanah yang sama dengan rumah dan perumahan sederhana, tetapi de­ngan tambahan nilai pencitraan diri lebih tinggi, harga jual rumah dan perumah annya dapat mencapai 3 atau bahkan 5 kali lebih mahal dari rumah dan perumahan sederhana.

Pelaksanaan Lingkungan Hunian Berimbang Masa Depan

Ketentuan lingkungan hunian berimbang yang mengharuskan diba­ngunnya rumah sederhana disamping rumah menengah dan mewah tidak sepenuhnya dijalankan. Profit men­jadi motivasi utama para pembangun permukiman. Hanya pembangun permukiman yang mempunyai ideal­isme mewujudkan jiwa kenasionalan

tinggi, jiwa Bhineka Tunggal Ika dan gotong royong, tetap membangun ru­mah sederhana. Maka terjadi segregasi lokasi yang tajam antara rumah seder­hana dan rumah yang lainnya.

Dengan Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2001, yang salah satunya ber asaskan Kenasionalan, Lingkung­an Hunian Berimbang lebih terkait de ngan jiwa Bhineka Tunggal Ika. Lebih sempit lagi semangat kegotong­royong an pada masya rakat yang ber­asal dari berbagai kelompok dapat

tercipta dalam suatu permukiman, sebagai salah satu pelaksanaan dari asas tersebut. Oleh sebab itu, pem­bangunan permukiman wajib melak­sanakan pembangunan lingkungan hunian yang berimbang sebagai suatu perwujudan jiwa nasionalisme dan jiwa Persatuan Indonesia dari Pancasi­la. Kesengajaan tidak melaksanakan pembangun an permukiman dengan lingkungan hunian berimbang, apa­pun dalihnya, merupakan penging­karan asas kenasionalan dari Undang­Undang.

Pelaksanaan pembangunan per­mukiman dengan lingkungan huni­

an dengan pola 1:3:6 perlu ditinjau ulang, apakah perbandingan itu su­dah merupakan cerminan komposisi masyarakat dari salah satu wilayah, atau dengan komposisi tersebut jiwa kenasionalan dapat terwujud? Keten­tuan ini sebaiknya mengikuti kom­posisi masyarakat setiap wilayah, dan penelitian yang mendalam apakah dengan perbanding an tersebut benar­benar dapat membangun jiwa kena­sionalan lebih baik dan lebih cepat.

Pengertian rumah sederhana apa­kah berdasar ukuran kavling tanah­nya (ketentuan UU 1/2011, ukuran rumah minimal adalah 36 m2), atau harga jualnya. Ketentuan yang lalu rumah sederhana berdasarkan pada harga pembangun annya yang se­nilai 75% dari pemba ngunan rumah negara tipe C. Hal­hal tersebut perlu dikaji ulang dalam pelaksanaan ke­tentuan lingkungan hunian berim­bang pada Undang­undang Nomor 1 Tahun 2011, sesuai dengan jiwa yang melandasi.

Momentum sekarang adalah ke­sempatan yang sangat baik untuk dapat merumuskan ketentuan pelak­sanaan lingkungan hunian berim­bang berasaskan kenasionalan yang melandasi ketentuan dalam batang tubuh Undang­Undang tersebut.

Pelaksana an jiwa kenasionalan hen­daknya juga dipahami oleh perumus Rencana Peraturan Pemerintah dalam merumuskan aturan tentang penggu­naan nama perumahan atau kelompok rumah (klaster) yang mencerminkan kenasionalan untuk tidak memper­panjang penyakit sosial kita, inferior complex, pada lingkup penyelengga­ran perumahan dan kawasan permu­kiman, yang selama ini lebih bangga dengan menggunakan bentuk bangu­nan, bahasa dan nama asing.

*Staf Ahli Menteri Negara Perumahan Rakyat Bidang Tata

Ruang, Pertanahan dan Permukiman

Page 10: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

10

Wawancara Khusus

Selama ini kebijakan tentang Lingkungan Hunian Ber­imbang hanya dinaungi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri pada tahun 1992, dengan harapan

terwujudnya sebuah lingkungan perumahan dan kawasan permukiman yang serasi, bagaimana Bapak memandang kebi­jakan ini di masa lalu?

Sebagaimana dimaklumi kebijakan tentang Hunian Berimbang pada waktu yang lalu adalah melalui SKB Men­teri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 648­384 Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992, Nomor 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman de­ngan Lingkungan Hunian Berimbang atau yang lebih dike­nal dengan pola 1:3:6. Kebijakan Lingkungan Berimbang dimasa lalu dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain.

Pertama, dari aspek tujuan, kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan perumahan dan kawasan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur dengan berbagai kelom­pok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial, berbasis rasa kekeluargaan, kebersamaan dan kegotong­royongan serta menghindari terciptanya lingkung­an perumahan eksklusif, yang dapat mendorong terjadinya kerawanan dan kecemburuan sosial melalui pola 1:3:6 (1 rumah mewah : 3 rumah menengah : 6 rumah sederhana).

Kedua, dari aspek pelaksanaannya kebijakan ini harus diakui banyak menghadapi kendala dalam operasionalisasi­nya. Kendala tersebut antara lain, harga tanah di perkotaan mahal dan terbatas; image/citra lingkungan perumahan yang dibangun cenderung menurun kalau ada rumah sederhana, dalam SKB LHB tidak diatur secara jelas dan tegas tentang insentif dan disinsentif (sanksi); persoalan kompensasi yang tidak jelas dan sebagainya

Ketiga, dari aspek yuridis SKB tidak punya legitimasi yang kuat karena tidak dipayungi oleh aturan yang lebih tinggi (undang­undang) sebagaimana yang sedang disiapkan ini.

Ruh dari SKB tersebut kemudian dicoba untuk diangkat kembali dalam Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Menurut pandangan Bapak apakah sejumlah pasal yang membahas tentang Ling­kungan Hunian Berimbang dalam UU tersebut yaitu pasal 34, 35, 36 dan 37, telah dianggap memadai?

Kebijakan Hunian Berimbang yang baru sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 sampai 37 Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Per­mukiman, tentu saja belum memadai. Oleh karena itu perlu dijabarkan lebih lanjut (rinci) yang selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Menteri tentang Hunian Berimbang, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 dan saat ini proses penyusunan rancangannya masih dalam pembahasan tentang insentif.

Sebenarnya apa yang menjadi kendala utama pelaksana an aturan hunian berimbang selama ini? Apakah pengaturan yang ada saat ini sudah bisa menangani kendala tersebut? Apakah dengan nantinya masih dianggap perlu dibuatkan pengaturan lebih lanjut sebagai kelanjutan dari pengaturan dalam UU? (Jika ya, apa bentuknya dan kapan rencananya)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya beberapa kendala utama pelaksanaan LHB antara lain, kewajiban membangun rumah sederhana dalam satu hamparan dinilai mengurangi keuntungan pengembang; harga tanah mahal sehingga sulit dibangun rumah sederhana untuk mewujud­kan LHB sesuai ketentuan; image/citra lingkungan perumah­an yang dinilai akan turun; kelompok yang lebih mampu (mewah) tidak ingin hidup berdampingan dengan MBR; belum ada insentif dan disinsentif yang jelas untuk menjadi daya tarik pembangunan dengan Hunian Berimbang, dan lain­lain.

Apakah konsep Lingkungan Hunian Berimbang hanya

Kebijakan ini Bertujuan untuk Mewujudkan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang Sehat, Aman, Serasi dan Teratur

Topik tentang Lingkungan Hunian Berimbang (LHB) sebenarnya sudah dimulai sejak lahirnya SKB tiga menteri pada tahun 1992 yang kemudian lebih dikenal khalayak ramai sebagai konsep 1, 3, 6. Pelaksanaan konsep ini berjalan tanpa adanya payung yang jelas sehingga kemudian hari konsep tersebut sepertinya sangat sulit untuk diimplementasikan. Inforum berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Dr. Hazaddin T. S. Deputi Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat, tentang kelanjutan dari konsep LHB pasca lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disela-sela kesibukannya.

Page 11: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

11

terpaku pada konsep 1 Rumah Mewah, 3 Rumah Menengah, dan 6 Rumah Sederhana?

Sebelumnya memang konsep komposisi LHB sesuai dengan yang termaktub dalam SKB tersebut, tapi saat ini kita (Kemenpera­Red) sedang mencoba mengembangkan menjadi lebih luas termasuk menyangkut hal rumah tapak dan rumah susun juga kemungkinan perubahan komposisi, misalnya menjadi 1:2:3 termasuk insentif dan diinsentif. Harapannya bisa diimplementasikan di daerah.

Beberapa rumor beredar bahwa sebenarnya konsep 1, 3, 6 ini terlalu dipaksakan untuk diwujudkan, padahal sebenarnya pihak penyelenggara perumahan kurang bisa memperoleh keun­tungan, bagaimana Bapak melihat persoalan ini?

Rumor tersebut ada benarnya, tapi saat ini kita sudah berdasarkan amanat undang­undang karena itu saat ini kita (Kemenpera­Red.) mencoba memperbaiki aturannya melalui Permenpera tentang Hunian Berimbang yang sedang di­susun. Dalam prosesnya kita mengadakan semacam ‘dengar pendapat’ untuk menjaring masukan atau keinginan dari para pemangku kepentingan penye­lenggara dan pelaksana pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Bagaimana peran pemerintah daerah dalam hal ini?

Peran Pemda masih terbatas dan kurang memahami benar atas tujuan Hunian Berimbang, padahal Hunian Berimbang sangat terkait dengan kepentingan Pemda sendiri dalam penyediaan rumah bagi semua kelom­pok masyarakat termasuk bagi MBR di daerahnya serta menjadi tanggung jawab Pemda dalam penyediaan rumah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007.

Sejauh ini implementasi hunian berimbang yang sudah dilakukan dan berhasil ada di daerah mana saja?

Beberapa contoh pelaksanaan pembangunan perumahan dengan konsep Hunian Berimbang sampai saat ini antara lain; Perumahan Telaga Kahuripan di kabupaten Bogor dengan luas lokasi lebih kurang 750 Ha, Perumahan Bukit Semarang Baru di kabupaten Semarang dengan luas lokasi lebih kurang 1.250 Ha, Perumahan Bukit Baruga di kota Makassar dengan luas lokasi lebih kurang 1.000 Ha, Peru­mahan Driyorejo di kabupaten Gresik dengan luas lokasi lebih kurang 1.000 Ha dan Perumahan Kurnia Jaya di kota Batam dengan luas lokasi lebih kurang 100 Ha. Diharapkan ke depan akan banyak lagi pengembang yang akan melak­sanakan konsep Hunian Berimbang ini.

Apakah insentif yang bisa diberikan oleh pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) kepada pengem­bang jika telah membangun kawasan perumahan dan permu­kiman dengan konsep hunian berimbang?

Berbagai insentif memang perlu dipikirkan. Beberapa in­sentif yang sedang diusulkan dalam Rancangan Permenpera tentang Hunian Berimbang saat ini antara lain; pemberian stimulan PSU (Prasarana, Sarana dan Utilitas – Red.) untuk rumah sederhana; pemberian stimulan DAK bidang peru­mahan dan permukiman; pemberian program­program Ke­menpera (RP3KP, Rencana Rinci, DED), pemberian peng­hargaan di bidang perumahan; serta dari Pemda memberikan pembebasan restribusi dan perijinan dan juga pemberian kemudahan lainnya. Intinya kita akan berusaha memberikan insentif yang lebih, bukan pas dengan modal, karena harus kita hargai pengorbanan yang mereka (pengembang – Red.) lakukan untuk mewujudkan ini.

Apakah yang telah dilakukan selama ini dalam upaya “memberikan pemahaman” kepada para pengembang agar

melaksanakan konsep Lingkungan Hunian Berimbang?

Dalam rangka menyiapkan Permenpera Hunian Berimbang, seperti di awal telah di­terangkan kita sudah melakukan diskusi­dis­kusi di Pusat dan Daerah sekaligus menginfor­masikan dengan mengundang para pemangku kepentingan di bidang perumahan seperti dari Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, REI, APERSI, PERUMNAS, KOPERASI, Pemerintah Provinsi/Kota/Kabu­paten, kalangan civitas akademika dari pergu­ruan tinggi, pengamat perumahan dan lainnya untuk menyampaikan pendapat, masukan,

saran, bahkan uneg­uneg ­nya tentang Hunian Berimbang. Dengan demikian nantinya Permenpera ini dapat mewadahi berbagai macam aspirasi dan keinginan serta ide­ide baru yang segar.

Selama ini konsep Lingkungan Hunian Berimbang selalu diterapkan pada ‘Rumah Tapak’, apakah bisa konsep ini dite­rapkan pada ‘Rumah Susun’? Mohon penjelasan Bapak.

Konsep pembangunan perumahan dengan hunian ber­imbang pada prinsipnya dapat juga diterapkan pada pem­bangunan Rumah Susun Milik (RUSUNAMI). Hal tersebut sedang dicoba untuk dikembangkan misalnya dalam satu kawasan dibangun apartemen mewah, apartemen menengah dan disampingnya dapat dibangun Rusunami. Atau untuk rumah tapak misalnya jika memiliki lahan sempit maka un­tuk rumah sederhananya dapat dikonversi menjadi rusunami sehingga Hunian Berimbang dapat diwujudkan.

...nantinya Permenpera

ini dapat mewadahi berbagai

macam aspirasi...

Page 12: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

12

Wacana

Tahun 1970 Jakarta hanya berpenduduk 4,5 juta jiwa dan pada tahun 2010 angka ini melonjak menjadi 9,6 juta jiwa di malam hari. Pertanyaan

besarnya kemudian adalah berapa penduduk Jakarta di siang hari? Ternyata pada siang hari Jakarta dihuni oleh 15 juta penduduk, ini berarti ada sekitar 5,4 juta jiwa penduduk yang komuter masuk dan keluar Jakarta setiap harinya. Pertanyaan kedua adalah kemanakah 5,4 juta orang tersebut pergi?

Jawaban dari pertanyaan di atas pasti ke daerah­daerah penyangga di sekitaran Jakarta seperti Tangerang, Depok, Bogor dan Bekasi. Datang pagi hari dan kembali ke rumah pada sore hingga malam hari. Jika kita perhatikan dengan seksama maka kita dapat menemukan sebuah fenomena dimana tidak ada laginya perbedaan atau batasan yang jelas antara Jakarta dengan ‘kota’ penyangganya. Wujud yang dapat kita jumpai selalu akan sama yaitu façade (tampak muka) bangunan rumah atau ruko (rumah toko).

Fenomena ini dikenal dengan urban sprawl atau dapat disebut juga dengan perembetan fisik perkotaan ke wilayah sub urban yang tidak terencana dengan baik secara sporadis. Hal ini mengakibatkan sulitnya membedakan antara urban dengan sub urban­nya. Djaljoeni 1988, mendefinisikan kota sebagai sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan

tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen serta coraknya materialis. Sedangkan sub urban dapat didefinisikan sebagai sebuah wilayah peralihan yang memiliki karakteristik antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan, biasanya disebut dengan pinggiran kota (urban periphery). Jadi sub urban merupakan suatu wilayah yang berada di antara urban (kota) dan rural (desa). Jika hal ini dilihat sebagai suatu bentuk komunitas, maka sub urban merupakan komunitas yang memiliki sifat­sifat urban yang berada di tengah­tengah rural (Kuswitoyo, 2000).

Urban sprawl ditandai juga dengan terjadinya alih fungsi lahan­lahan pertanian menjadi sesuatu yang bukan pertanian. Data terakhir mencatat di Jakarta telah terjadi konversi lahan pertanian dengan rata­rata 12,03 persen per tahun. Lahan­lahan pertanian inilah yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai batas tegas antara wilayah urban dengan sub urban­nya. Contoh mengenai hal ini masih dapat kita jumpai di beberapa negara maju, ketika kita keluar dari kota maka yang akan ditemui adalah hamparan lahan pertanian atau perkebunan yang sangat luas tanpa permukiman. Antara kota yang satu dengan lainnya dipisahkan dengan zonasi yang jelas.

Dengan terjadinya fenomena ini, maka muncullah pusat­pusat pertumbuhan baru di kawasan Tangerang­Depok­Bogor­Bekasi. Hal ini terjadi karena pemerintah

Fenomena Pemekaran Perkotaan

yang Tidak Teratur

Eko Suhendratma*

Fenomena Pemekaran Perkotaan

yang Tidak Teratursumber foto: googleearth

Page 13: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

13

juga mendorong munculnya pusat­pusat permukiman dengan gaya ‘kota’ di wilayah­wilayah tersebut. Tidak hanya permukiman yang muncul, kawasan industri pun bergeser sehingga secara ekonomi hal ini ikut mempengaruhi struktur ekonomi Jakarta. Sektor industri di wilayah sekitar Jakarta ini memberikan kontribusi yang meningkat pada daerahnya masing­masing, Bekasi 60,9 persen (1993) menjadi 81,7 persen (2009), Bogor 49,4 persen (1993) menjadi 68,8 persen (2009) dan Tangerang 59,3 persen (1993) menjadi 71,7 persen (2009). Perubahan struktur ekonomi ini juga yang ikut memicu tumbuhnya pusat­pusat permukiman baru.

Tak bisa dipungkiri, kota adalah magnet yang menjadi daya­tarik manusia untuk ditempati. Kota ibarat sebuah peradaban yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari daerah asal (perdesaan). Itulah yang selalu terpatri di benak para angkatan kerja, baik yang telah dibekali skill dan kompetensi melalui pendidikan formal, ataupun masyarakat informal yang hanya mengandalkan tenaga dan daya juangnya untuk melangsungkan kehidupan. Dengan kata lain kondisi kota dipandang mampu menyediakan kesempatan kerja yang lebih berkualitas sehingga menjadi faktor penarik

Walaupun muncul pusat­pusat kegiatan perekonomian baru, konsentrasi kegiatan di Jakarta belum sepenuhnya berhasil di transfer ke wilayah luar Jakarta.

Masih terpusatnya kegiatan ekonomi di Jakarta mengakibatkan orang tetap memilih untuk bekerja di Jakarta. Namun dikarenakan ketersediaan lahan di Jakarta yang semakin terbatas dan mahal, orang lebih memilih untuk bergerak ke pinggiran kota atau sub urban dan bermukim di kota­kota baru tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya mobilitas yang tinggi antara ‘kota inti’ dan ‘kota penyangga’. “Pembiaran” mobilisasi penduduk ini akan menimbulkan masalah dalam pemanfaatan tata ruang wilayah, sehingga kepadatan kawasan pemukiman akan bergeser meluas keluar laksana fringer area atau seperti jari tangan. Pertambahan kawasan permukiman ke luar kawasan perkotaan menimbulkan

berbagai interaksi baik ke dalam atau keluar dan menimbulkan dampak ketidakteraturan. Pencampuran kegiatan dan interaksi ini akan mengakibatkan batas antara kawasan perkotaan dan pinggiran menjadi tidak jelas lagi.

Hal ini akan tentunya tidak menguntungkan dan sangat terasa di berbagai sektor, utamanya penggunaan moda transportasi akibat mobilitas penduduk dari daerah pinggir ke lokasi bisnis di pusat perniagaan perkotaan memerlukan waktu tempuh yang panjang. Ketidakmampuan ‘kota inti’ menangani perpindahan warganya dari dan menuju ‘kota penyangga’ akhirnya

akan membawa persoalan baru dimana kemacetan lalu lintas akan bertambah parah.

Seyogyanya, untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu diimbangi dengan penegakan regulasi (peraturan) bagi pengelola kota sehingga pemekaran kota akan sejalan dengan rencana tata ruang dan wilayah yang disusun. Dan mungkin sebaiknya antara Jakarta dan kawasan sekitarnya seharusnya memerlukan “satu regulasi” atau bahkan mungkin “satu penanganan”. Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya segera disusun dan diimplementasikan dalam mencapai tata ruang yang pro lingkungan dan mendukung pemerataan ekonomi.

Pemerintah daerah juga perlu segera membuat panduan pelaksanaan

pembangunan untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan perkotaan. Dalam jangka panjang, perlu segera menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dengan wilayah sekitarnya. Mengimplementasikan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan, dan upaya­upaya pengelolaan kawasan fungsional, yang akan menjadi tugas utama dalam pengendalian pembangunan kawasan perkotaan. Hal inilah yang akan mengurangi pemekaran wilayah kota yang tak teratur, sehingga dampak negatif dari urban sprawl dapat diminimalisir.

*memperoleh gelar Master Urban Management dari Institutte for Housing and Development Studies, Erasmus

University, Rotrerdam

sumber foto: istimewa

Page 14: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

14

Wacana

Istilah hunian berimbang telah muncul dalam undang-undang perumahan dan kawasan permu-

kiman. Pasal 34 sampai pasal 37, UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, memuat ketentuan tentang pembangunan pe-rumahan dengan hunian berimbang. Dengan demikian kebijakan hunian berimbang yang semula hanya meru-pakan prakarsa dan kesepakatan ber-sama tiga menteri, kini merupakan pengaturan yang kehadirannya diwa-jibkan oleh undang-undang.

Sejauh dapat dimengerti, undang-undang ini tidak begitu saja menga-dopsi kebijakan hunian berimbang seperti yang tertera dalam surat kepu-tusan bersama (SKB) Menteri PU, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perumahan Rakyat Tahun 1992 itu. Karena meski hunian berimbang di-anggap penting, tetapi ada pengeta-huan empirik tentang pelaksanaan SKB tersebut dan ada hal baru yang akan tercipta oleh UU Nomor 1/2011 ini yang harus menjadi pertimbangan. Hal baru tersebut belum ada dalam pemikiran perumusan SKB, tidak ter-cantum dalam UU perumahan lama dan bahkan belum dijumpai dalam kondisi nyata. Hal baru tersebut ha-rus dipertimbangkan dan harus men-jiwai konsep hunian berimbang yang masih ditunggu kelahirannya.

Paling tidak ada empat hal baru itu yang harus dipertimbangkan se-cara mendalam, dalam pengembang an konsep dan kebijakan pemba ngunan perumahan dengan hunian berim-bang. Pertama, UU Nomor 1/2011 telah menentukan adanya pengatego-rian rumah komersial, rumah umum,

rumah swadaya, rumah khusus dan rumah negara. Selanjutnya, UU ini mengatur bahwa badan hukum yang membangun rumah komersial atau campuran antara rumahan komersial dan rumah umum skala besar yang wajib mewujudkan hunian berim-bang. Rumah komersial menurut UU tersebut diselenggarakan untuk tujuan mendapatkan keuntungan, sedang ru-mah umum diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ber penghasilan rendah. Secara im-plisit UU ini menganggap bahwa pembangunan rumah umum tidak bisa mendapatkan keuntungan karena itulah pembangunan rumah umum ini dibantu subsidi atau fasilitas dari pemerintah. Mungkin dapat dipertim-bangkan pula adanya imbalan (fee) jasa penyelenggaraan perumahan yang tran s paran dan bukan keuntungan yang cara memperolehnya tersembu-nyi.

Kedua, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang hanya dike-

nakan pada pembangunan perumahan komersial atau campuran komersial umum skala besar. Apakah skala be-sar ini akan merupakan angka mutlak atau angka relatif yang disesuaikan dengan kondisi setempat, masih harus dipertegas. Undang-undang ini sendiri memberikan ketentuan yang mendua, di satu sisi skala besar tersebut diha-ruskan berupa satu hamparan (pasal 34 ayat 2), tetapi pada sisi lain boleh tidak satu hamparan asal dalam satu daerah kabupaten/kota (pasal 36 ayat 1).

Ketiga, bahwa untuk mewujudkan pembangunan perumahan dengan hu nian berimbang, pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat mem-berikan insentif, apa bentuk insentif yang paling merangsang bangkitnya nafsu mewujudkan hunian berimbang masih harus dicari.

Keempat, bahwa Menteri Perumah-an Rakyat mendapatkan mandat UU untuk menindak lanjuti dan mengatur lebih lanjut ketentuan tentang hunian berimbang tersebut. Ada dua pasal (pasal 35 dan pasal 37) yang menga-manatkan bahwa hunian berimbang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. Dengan demikian, Kemen-terian Perumahan Rakyat akan selalu dapat melakukan perbaikan, penyem-purnaan dan penyesuaian dengan perkembangan tanpa harus bernego-siasi dengan kementerian lain.

Sebelum hadirnya UU Nomor 1/2011 tersebut sesungguhnya telah ada upaya unit kerja di lingkungan Kementerian Perumahan Rakyat un-tuk meninjau kembali SKB tiga men-teri tersebut. Walaupun demikian se-jauh yang dapat diamati, peninjauan SKB tersebut masih dibelenggu oleh

Menimbang KembaliKebijakan Hunian Berimbang

Oleh Tjuk Kuswartojo

Upaya mewujudkan blok hunian berimbang: Tergolong rumah sederhanakah yang ber a-da di jalan yang lebih kecil.

sumber foto: google earth

Page 15: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

15

pemikiran bahwa hunian berimbang adalah proporsi satu rumah mewah, tiga rumah sedang dan enam rumah sederhana. Walapun angkanya dico-ba diotak-atik kembali tetapi konsep proporsi tipe rumah tersebut tetap dipertahankan. Konsep yang dice-tuskan sekitar duapuluh tahun yang lalu itu hampir menjadi mitos untuk mewujudkan keseim bangan pem-bangunan perumahan. Suatu upaya agar pembangunan perumahan (oleh pengembang) tidak didominasi oleh rumah mewah saja.

SKB Hunian Berimbang: Kebijakan Muskil, Implementasi Mustahil

Apabila disimak pertimbangan yang mendasari SKB hunian ber-imbang tahun 1992 tersebut, akan diperoleh kesan bahwa rumusannya memang sederhana. SKB ini hanya mengenai proporsi jumlah rumah yang dibangun, tetapi dibalik itu se-sungguhnya ada tujuan muskil yang hendak dicapai. Bagaimana tidak, kebijakan hunian berimbang yang mematok pembangunan perumahan dengan formula 1 mewah: 3 sedang: 6 sederhana harus diterapkan di seluruh Indonesia yang beragam.

Dibalik formula sederhana itu, se-sungguhnya ada tujuan memang mu-lia, muluk dan juga muskil. Pemba-ngunan perumahan digunakan untuk merekayasa terwujudnya suatu satuan sosial multistrata yang harmonis. Ke-bijakan hunian berimbang adalah upaya untuk mewujudkan komuni-tas yang meski terdiri dari berbagai lapisan masyarakat tetapi tetap serasi. Kehadiran eksklusifitas tempat ting-gal dapat dicegah dan kesetia-kawan-an sosial bisa terwujud. Pemanfaatan prasarana dan fasilitas dapat dilaku-kan secara adil dan subsidi silang-pun dapat dilaksanakan. Pokoknya peru mahan dengan komposisi 1:3:6 tersebut diharapkan akan mewujud-kan suatu komunitas serasi meskipun

terdiri dari aneka status sosial, aneka profesi, aneka asal usul dan semuanya mendapatkan pelayanan serta fasilitas publik secara adil.

Apakah selama ini kebijakan terse-but dapat diwujudkan. Rasanya belum pernah terdengar adanya evaluasi yang serius atas implementasi kebijakan ini. Karena itu sebetulnya belum diketahui secara persis berapa banyak pemba-ngunan perumahan yang benar-benar menaati kebijakan ini. Kenyataannya tidak mudah untuk menemukan pe-rumahan yang dibangun sejak 1993 yang menaati SKB tersebut dalam satu hamparan. Ternyata eksklusifitas dan dominasi penggunaan prasarana umum terus bermunculan tanpa ada tindak apapun untuk mengatasinya.

Agaknya para pemberi izin dan pelaksana kebijakan tersebut mema-hami bahwa formula 1:3:6 adalah ke-bijakan yang mustahil untuk diwujud-kan, apalagi dalam kaitannya dengan pembangunan perumahan komersial. Kehadiran angka enam dalam ham-paran perumahan komersial justru

dianggap bisa membawa sial. Mana mau orang kaya hidup berdampingan dengan orang sederhana. Karena itu ada pemerintah daerah yang terang-terangan menolak formula ini. Ada pula pemerintah daerah secara kreatif memelintir kebijakan ini dengan me-nyilahkan pembangunan rumah me-wah saja, asalkan dana pembangunan untuk rumah sederhana diserahkan pada suatu organisasi yang dibentuk untuk mengurusi jenis rumah ini. For-mula 1:3:6 tetap dapat dipenuhi, tetapi tentu saja jauh dari niat untuk mewu-judkan komunitas multistrata yang harmonis, walaupun mungkin subsidi silang memang bisa dilakukan.

Meski tidak banyak, tetapi ada ba-dan usaha yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dengan konsep hunian berimbang tersebut. Pembangunan rumah mewah, se-dang dan sederhana ditata dalam satu blok dengan mengadopsi apa yang dikonsepkan dan pernah diwujud-kan oleh perencana zaman kolonial Belanda (Thomas Karsten) sekitar

Tatanan Belanda (1920an): Rumah untuk masyarakat lapisan atas yang disetarakan dengan Belanda menghadap jalan besar, rumah pribumi pegawai rendahan di belakangnya dengan MCK umum. Kini semua rumah telah menjadi rumah gedongan dan dihuni lapisan atas.

sumber foto: google earth

Page 16: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

16

tahun 1920an. Rencana tersebut me-nempatkan rumah gedongan meng-hadap jalan besar dan satu blok de-ngan rumah kampung sederhana yang menghadap gang kecil dibelakangnya. Rumah gedongan diperuntukkan go-longan yang berkedudukan sosial serta penghasil an yang lebih tinggi daripa-da penghuni rumah kampung di be-lakangnya, “orang kampung” tersebut bisa mendapatkan penghidupannya dari penghuni gedongan dan sebaliknya orang gedongan bisa mendapatkan jasa orang kampung. Wujud konsep pe ninggalan perencana Belanda ini masih bisa ditemukan antara lain di Semarang, tetapi tentu realitanya tentu tidak seperti yang diteorikan.

Apakah adopsi konsep Belanda tersebut berhasil mewujudkan ko-munitas multi strata yang harmonis, ternyata tidak. Rumah sederhana yang ditempatkan di belakang rumah se-dang, ternyata tidak dibeli oleh orang sederhana. Bahkan banyak yang hanya untuk investasi dan tidak untuk ditem-pati. Karena itu bisa terjadi dua tiga rumah di tangan satu pemilik. Sedang para penghuninya, jangankan mem-bentuk komunitas, saling kenal pun juga tidak.

Juga ada yang menggagas untuk mengadopsi konsep komunitas multi strata seperti sistem ngindung dan ma-gersari bangsawan Jawa. Atas kebaikan hati sang bangsawan, di halaman be-lakang rumah besarnya (dalem ageng) dibangun rumah untuk para kawula yang sederhana dengan status ngin-dung (nebeng) atau magersari (semacam rumah dinas) disekitarnya. Tentu saja konsep semacam ini mustahil dite-rapkan, karena dalam sistem ngindung perumahan adalah produk sistem so-sial, sedang konsep hunian berimbang merupakan proses sebaliknya yaitu perumahan untuk membangun sistem sosial. Lagi pula dalam kehi dupan yang mengota dan modern, tidak mungkin dapat dijumpai bangsawan baik hati dalam jumlah yang sebanding dengan

jumlah para kawula.Implementasi kebijakan hunian

berimbang dengan formula 1:3:6 bu-kan hanya buruk, tetapi juga mustahil untuk dapat diwujudkan. SKB hunian berimbang tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia, tanpa petunjuk bagaimana menyesuaikannya dengan kondisi daerah. Padahal daerah di Indonesia memunyai perkembangan dan kondisi yang sangat beraneka ra gam, sehingga tidak mungkin ada satu kebijakan pembangunan peru-mahan yang dapat diberlakukan de-ngan cara yang sama untuk seluruh daerah. Meskipun semua daerah perlu mewujudkan keserasian dan keadilan, tetapi oleh stratifikasi dan kondisi lingkung an yang berbeda, cara un-tuk mencapainyapun perlu dibeda-kan. Bahkan ada kemungkinan suatu daerah tidak membutuhkan adanya kebijakan hunian berimbang, karena memang tidak ada perumahan mewah yang dibangun. Sebaliknya mungkin

saja suatu daerah mempunyai begitu ba nyak lapisan masyarakat sehingga tidak cukup untuk ditampung hanya dalam tiga tipe rumah. Mungkin harus diciptakan tipe rumah sangat seder-hana, hampir sederhana, sederhana, agak menengah, menengah, mene-ngah plus, hampir mewah, mewah, sangat mewah dan sebagainya.

Skala pembangunan juga tidak dipertimbangkan secara mendalam dalam SKB hunian berimbang ini. Tampaknya tidak diperhitungkan, berapa luas hamparan atau berapa jumlah rumah yang dibangun agar da-pat memenuhi formula hunian berim-bang untuk mewujudkan komunitas harmonis dan subsidi silang. Skala ini juga menentukan jangka waktu pem-bangunan yang menentukan proses pembentukan dan perkembangan komunitas. Pasti ada bedanya pemba-ngunan yang dimulai dengan rumah sederhana dulu, mewah dulu atau di-lakukan bersamaan. Malaysia meng-

Satu hamparan perumah campuran: perumahan komersial mewah, sedang, sederhana dan perumahan swadaya sederhana. Apakah juga merupakan suatu satuan komunitas.

Wacana

sumber foto: google earth

Page 17: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

17

atur agar rumah sederhana dulu yang harus dibangun sebagai syarat untuk mendapatkan izin membangun ru-mah mewah.

Sejak SKB tiga menteri sesung-guhnya puluhan perumahan skala be-sar telah hadir terutama di Jakarta dan sekitarnya, yang semuanya pasti men-coba menyiasati pelaksanaan SKB hunian berimbang tersebut. Apa yang telah terjadi ini perlu dipelajari dengan seksama agar dapat diperoleh gambar-an nyata bagaimana sesungguhnya pembentukan komunitas terjadi.

Mungkin ada pandangan bahwa SKB hunian berimbang tersebut me-rupakan pedoman umum, yang ope-rasionalisasinya harus ditindak lanjuti oleh Gubernur, Bupati/Walikota. Se-hingga merekalah yang bertanggung jawab menyukseskan SKB tersebut. Hal yang demikian itu memang terjadi dan karena itu juga dianggap sah saja apabila ada kepala daerah tidak melak-sanakannya atau menerjemahkannya dengan konsepnya sendiri. Benarkah begitu. Kalau memang boleh demiki-an mengapa harus ada pedoman yang ditetapkan dengan surat keputusan bersama.

Kebijakan Hunian Berimbang dalam Perspektif Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 1/2011 memberi perspektif dan kerangka baru tentang hunian berimbang. Kini kebijakan hunian berimbang menjadi wewenang dan tanggung jawab Ke-menterian Perumahan Rakyat. Sebagai pelaksanaaan undang-undang, de ngan sendirinya substansi pengaturan harus dikembangkan dari apa yang menjiwai dan ditetapkan UU secara menyelu-ruh. Karena itu mestinya peraturan menteri tersebut tidak terpaku hanya pada pasal yang mengamanatkan adanya peraturan hunian berimbang saja. Ketentuan dalam UU Nomor 1/2011 yang perlu digunakan sebagai dasar merumuskan peraturan tentang hunian berimbang paling tidak dapat

dicatat sebagai berikut:Kebijakan hunian berimbang ha nya (1). diberlakukan untuk pemba ngunan skala besar. Berapa jumlah unit rumah atau berapa luas hamparan yang akan dibangun masih harus ditetapkan. Skala ini perlu disesuai-kan dengan kondisi dan perkiraan perkembangan daerah yang akan menampung pembangunan peru-mahan skala besar tersebut.Kebijakan hunian berimbang ha rus (2). bertolak dari adanya pengatego-rian rumah komersial dan rumah umum. Karena badan hukum yang membangun rumah komersial atau campuran antara rumah komersial dan rumah umum berskala besar yang wajib mewujudkan hunian berimbang. Pemerintah dan atau pemerintah (3). daerah dapat memberikan insentif. Tentang insentif ini perlu dipadu-kan dengan insentif/disinsentif sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan kawasan permukim-an (pasal 85).Rumah sederhana, menengah dan (4). mewah seperti yang dimaksud pasal 3, UU Nomor 1/2011 perlu dipahami secara lebih imajinatif dan kreatif. Di Indonesia pernah ada kebijakan yang menetapkan adanya: rumah inti, rumah sangat sederhana dan rumah sederhana dalam kaitannya dengan fasilitasi pembiayaan. Kini undang-undang telah mematok angka minimum luas rumah 36 m2 tanpa dikait-kan dengan jumlah penghuni dan kualitas rumahnya. Istilah rumah sederhanapun mulai tidak disukai tanpa alasan yang bisa dimengerti.Sejauh apa yang dapat dipahami

dari UU Nomor 1/2011, upaya un-tuk meninjau dan menyusun kembali kebijakan hunian berimbang perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Kebijakan hunian berimbang ada-(1). lah tindak lanjut dari kebijakan

pembangunan perumahan skala besar. Oleh karena itu, rencana pembangunan kawasan permukim-an harus menjadi dasar menyusun kebijakan hunian berimbang. Di daerah mana perumahan skala besar (permukiman, lingkungan hunian, kawasan permukiman) akan dikembangkan harus ditetap-kan dulu dan baru kemudian ditetapkan kebijakan hunian ber-imbang.Kebijakan hunian berimbang, tidak (2). hanya mengenai proporsi rumah sederhana, menengah dan me-wah, tetapi yang perlu ditetapkan proporsi berapa rumah komersial dan berapa rumah umum. Kebijan hunian berimbang yang (3). akan datang harus bisa lebih berkekuatan, karena meskipun tidak ada sanksi tetapi ada insentif yang dapat dijadikan alat pemaksa (forcing instrument) diterapkannya kebijakan tersebut.Kebijakan hunian berimbang, (4). perlu dikaitkan dengan berbagai kebijakan lain yang juga diamanat-kan oleh undang-undang, seperti penyelenggaraan perumahan dan penyelenggaraan kawasan.Kebijakan hunian berimbang se-(5). bagai instrumen rekayasa sosial hanya dapat dilakukan secara selektif. Pada umumnya perkem-bangan permukiman di Indonesia terlanjur acak, apalagi sekitar kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lain-lainnya, sehingga rekayasa sosial yang dilakukan hanya da-lam satu hamparan efeknya akan sangat terbatas dan menjadi upaya yang sia-sia.Demikian, mudah-mudahan tu-

lisan ini dapat menjadi bahan re-nungan dan pemikiran dalam upaya meninjau dan menimbang kembali kebijakan hunian berimbang.

Bandung, 5 Agustus 2011

Penulis adalah Pemerhati masalah permukiman, perkotaan dan lingkungan hidup.

Edisi 2 Tahun 2011

Page 18: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

18

*Retno Hastijanti

Untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat ber-peng hasilan rendah (MBR)

dan implementasi konsep permukim-an yang berkeadilan, Kemen terian Perumahan Rakyat menegaskan kem-bali pola pembangunan hu nian ber-imbang. Peraturan ini ditujukan bagi pengembang untuk mem bangun ru-mah sejahtera tapak bagi kebutuhan masyarakat kecil. Pola hunian berim-bang ini diatur dalam Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permu-kiman (PKP), utamanya pada Pasal 34, 35 dan 36. Pada Pasal 34 ayat (2) dijelaskan bahwa pembangunan pe-rumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib mewujud-kan hunian berimbang dalam satu hamparan. Sedangkan Pasal 35 (1) menjelaskan bahwa pembangunan perumahan skala besar dengan huni-an berimbang meliputi rumah seder-hana, rumah menengah, dan rumah mewah.

Dapat dipastikan bahwa, masing-masing kelompok rumah, akan mem-bentuk komunitas sendiri-sendiri berdasarkan segregasi sosial ekonomi masing-masing penghuninya. Walau-pun belum dipastikan komposisi yang akan diterapkan pada masing-masing kelompok rumah, menyatukan mereka

dalam satu hamparan, akan menimbul-kan “sisi lain” yang perlu diwaspadai. Terdapat potensi untuk menghasilkan “ruang konflik” diantara kelompok-kelompok rumah tersebut. Sedangkan perumahan skala besar tersebut akan menghasilkan masyarakat plural baru di wilayah perkotaan.

Fenomena Ruang Konflik pada Permukiman Masyarakat Plural

Kota, sebagai pusat berkumpulnya populasi pluralis terbesar, merupakan gabungan dari area-area milik berbagai kelompok yang berbeda, ia adalah a set of areas of different group. Kelompok-

kelompok tersebut melakukan suatu proses untuk membuat suatu bentuk ruang yang sesuai bagi mereka. Proses tersebut di kenal sebagai clustering pro-cess. Hasilnya berupa kantong (enclave) yang menggambarkan dialog antara kelompok-kelompok tersebut.

Proses ini kemudian membagi ke-lompok-kelompok tersebut dalam se-butan “kita” dan “mereka”. Sehingga terjadi proses inklusi dan eksklusi yang menyebabkan timbulnya batas-batas area milik masing-masing kelompok. Ini diikuti dengan penekanan tanda dan simbol masing-masing kelompok untuk menandai kehadiran mereka di

“Sisi Lain” Hunian Berimbang

dalam Satu Hamparan

Wacana

Gambar 1

Page 19: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

19

area tersebut. Dengan demikian kota akan dibagi-bagi berdasarkan pada keberadaan kelompok homogen yang bermacam-macam. Dan kedua keku-atan tersebut, selalu ada, walau terka-dang kekuatan salah satu mendomina-si yang lain.

Proses pengelompokan yang terja-di, pada akhirnya menghasilkan suatu tatanan yang didasarkan pada perilaku penghuninya. Tatanan ini diatur oleh berbagai macam tanda yang diketahui dan dipatuhi oleh penghuninya. Mere-ka mempunyai kesamaan budaya dan menjalankan bersama aturan-aturan yang tak tertulis. Mereka adalah ke-lompok yang homogen. Dalam kon-disi seperti itu, kelompok homogen tersebut memiliki privacy, yang didefi-nisikan sebagai kontrol akses diri yang selektif. Dengan privacy, kelompok tersebut dapat mengontrol keterbu-kaan dan ketertutupan mereka dalam bersosialisasi dengan kelompok lain. Privacy dapat berupa suatu proses dia-log dua arah untuk mengontrol batas-batas yang disepakati. Dengan ber-gabung dalam suatu kelompok, dan mempunyai privacy kelompok, maka individu akan merasa lebih aman. Di-sini mereka melakukan privatism, suatu pencarian kestabilan dalam dunia yang tidak stabil dan menakutkan. Contoh dampak privatisasi, adalah tumbuh nya gated communities, suatu hunian yang ja-lan masuknya dijaga dan diawasi serta terpisah dari lingkungan sekitarnya, biasanya dipisah oleh pagar tinggi. Dan ini adalah awal perubahan ruang menjadi tempat yang mencerminkan proses eksklusi dan tempat yang men-cerminkan proses inklusi. Atau de-ngan kata lain, akibat terjadinya pro-ses privatisasi ini, kita dapatkan ruang eksklusif dan ruang inklusif.

Blakely dan Snyder menyebut ruang eksklusif yang berpotensi kon-flik sebagai - the gated, walled, private community- dan merupakan bentuk baru dalam diskriminasi. Dengan cara ini, maka suatu ruang publik diprivati-

sasi sehingga menjadi milik kelompok tertentu. Bentuk ini membuat frag-mentasi atau merusak apa yang dise-but civitas, yang mengatur hidup ko-munitas. Ada 3 (tiga) hal utama yang menyebabkan terjadinya lingkungan ini, berdasarkan motivasi dari peng-huninya, yaitu komunitas dengan gaya hidup tertentu; komunitas elit; atau kebutuhan untuk membentuk zona keamanan. Makin berkembangnya ruang-ruang eksklusif di perumahan saat ini, seiring dengan makin berkem-bangnya konsep perumahan yang ada. Konsep-konsep perumahan seperti konsep regency, thematic cluster, ataupun strata title, merupakan konsep dengan

potensi terbentuknya ruang eksklusif. Itu membuat ruang-ruang permu-kiman kota menjadi terpetak-petak.

Terbentuknya ruang eksklusif dan inklusif, pada dasarnya juga mencer-minkan adanya pembagian kekuasaan (power) dalam masyarakat. Ruang ek-sklusif merupakan salah satu bentuk contoh bagi “kekuasaan lebih” suatu kelompok masyarakat terhadap ke-lompok masyarakat yang lain. Ia juga merupakan perantara wujud kekua-saan pada arsitektur, dan mempunyai dimensi yang spesifik. Antara lain, dimensi yang menekankan adanya pembagian ruang berdasarkan hak istimewa suatu kelompok terhadap kelompok lain. Selain itu, juga me-nekankan adanya ‘batas’ ruang yang memisahkan kelompok masyarakat berdasarkan status, gender, ras, bu-daya, kelas dan umur, serta mencipta-kan ruang istimewa bagi kenyamanan kelompok tertentu. Ruang eksklusif juga menyimbolkan identitas sosial dan perbedaan penghuninya. Dengan penyelesaian batas ruang dan tempat yang tegas, suatu komunitas kemu-dian mendapat hak istimewa terhadap kelompok lain. Dan dampak negatif dari hal ini lebih besar dari dampak positifnya.

Ruang ekslusif juga

menyimbolkan identitas sosial dan perbedaan penghuninya.

Gambar 2

Page 20: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

20

Pada akhirnya, ruang eksklusif inilah yang memiliki potensi sebagai ruang yang rawan konflik. Rawan kon-flik artinya bisa menimbulkan konflik, antara penghuninya dengan penghuni ruang lain disekitarnya. Konflik itu bisa berupa konflik sosial, psikologi bahkan fisik.

Ruang Konflik pada Konsep Hunian Berimbang dalam Satu Hamparan

Permukiman dengan konsep hu-nian berimbang utamanya dalam satu hamparan, cenderung menjadi permu-kiman yang pluralis. Dengan kondisi seperti itu, kemungkinan munculnya proses pengelompokan komunitas-komunitas tertentu sangatlah besar. Pada masa tertentu, ternyata hal itu tidak menjadi masalah. Dalam arti an-tara kelompok yang satu dengan yang lain, mampu menjalankan hubungan sosial dengan baik, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Tetapi pada saat yang lain, terlihat adanya dampak-dampak negatif dari pengelompokan ini.

Pada dasarnya, setiap ruang me-miliki keseimbangan. Demikian pula dengan permukiman masyarakat plu-ral. Keseimbangan suatu lingkung an, itu secara ‘konstan berubah’. Adanya

berbagai proses yang terjadi dan me-libatkan individu serta lingkungan ber-akibat pada perubahan keseimbangan lingkungan.

Di satu sisi terjadi keseimbangan ruang yang menyebabkan konflik yang melibatkan antarkelompok-kelompok pemilik ruang-ruang tersebut. Di sini, keseimbangan ruang itu kemudian berpihak pada salah satu kelompok. Di sisi lain, para pemilik ruang mampu membangun suatu sistim yang men-jaga keseimbangan ruang sedemikian hingga tidak terjadi dampak negatif dari perubahannya. Dengan demikian kita melihat bahwa keseimbangan ru-ang ini sangat penting untuk menjaga keutuhan, baik ‘ruang’ terbangun itu sendiri (dalam hal ini ruang permukim-an) maupun ‘manusia’ sebagai penghu-ninya (dalam hal ini ‘kelompok masya-rakat’), utamanya bila ruang tersebut merupakan ‘milik’ beberapa kelompok masyarakat yang berlainan (plural).

Yang dimaksud de ngan ruang di sini bila dihubungkan dengan perilaku sosial (berhubungan dengan kelompok masyarakat), maka erat keterkaitannya dengan ruang pu blik. Ruang publik inilah yang dianggap mampu menjadi ruang negosiasi dan mampu menge-liminir potensi konflik yang ada.

Konsep perencanaan dan peran-

cangan ruang publik yang baik dan benar, mampu membuatnya menjadi ruang yang menyatukan komunitas-komunitas yang berbeda. Dengan meletakkan ruang terbuka hijau yang cantik sebagai ruang komunal (gam-bar 1), maka diharapkan terjadi ke-seimbangan yang harmonis antara komunitas kelas menengah (kelom-pok rumah menengah) dan komunitas kelas atas (kelompok rumah mewah). Dan bila terpaksa, dengan meletak-kan tembok dekoratif serta sekaligus membagi penerangan umum kom-pleks permukiman, diharapkan terjadi keseimbangan yang harmonis antara komunitas kelas menengah (kelompok rumah menengah) serta atas (kelom-pok rumah mewah) dengan komu-nitas kelas bawah (kelompok rumah sederhana), seperti pada gambar 2.

Bila masih dimungkinkan, maka ruang komunal atau jalan pembagi le-bih diutamakan pada kasus ini. Pemba-ngunan fasilitas sosial, merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjaga keharmonisan keseimbangan lingkungan antara komunitas kelas bawah (kelompok rumah sederhana) dengan komunitas kelas bawah lain-nya (kelompok rumah sederhana), se-perti terlihat pada gambar 3. Dengan adanya pengelolaan yang baik, uta-manya terhadap ruang-ruang publik, maka keseimbangan ruang dalam permukiman dapat menjadi alat ukur bagi keutuhan masyarakat di kawasan hunian berimbang, utamanya dalam satu hamparan.

* Memperoleh gelar Doktor di bidang Arsitektur dengan program kekhususan Perumahan

dan Permukiman dari ITS Surabaya. Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Staf Pengajar di

Jurusan Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

WacanaPada

dasarnya, setiap ruang

memiliki keseimbangan.

Gambar 3

Page 21: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

21

Bayangkan ketika kita terba-ngun di suatu pagi, kita tidak perlu tergesa-gesa untuk se-

gera berangkat kerja ke kantor. Tem-pat kita bekerja tidak jauh dari ru-mah. Ya, kita bekerja di kampung kita sendiri, sehingga pagi hari kita dapat diisi dengan kegiatan yang berkuali-tas seperti olah raga, membaca buku, menyiapkan serta menikmati sarapan bersama keluarga kita, bahkan bersa-ma tetangga. Kita bersama keluarga tinggal di dalam sebuah rumah yang nyaman karena sirkulasi udaranya be-nar-benar diperhitungkan oleh arsitek lokal, yang memberikan rancangan-nya secara gratis atau kalaupun harus membayar harganya terjangkau. Kita

tidak perlu pusing memikirkan opera-sional serta pemeliharaannya karena rumah tersebut memang dirancang menggunakan pencahayaan alami di siang hari, serta menggunakan sum-ber energi alternatif yang dibangun secara lokal di kampung kita.

Seusai sarapan, kita dapat memulai aktivitas sehari-hari yang berarti ter-hadap diri dan lingkungan kita. Tentu saja aktivitas ini jauh dari kegiatan dalam rangka membela profit peru-sahaan tempat kita bernaung, bukan dalam rangka berkompetisi dengan orang lain dari perusahaan lain, bukan pula menyuap pihak otoritas untuk mendapatkan proyek, atau menggol-kan kebijakan yang kita atau perusa-haan inginkan. Kegiatan sehari-hari akan sangat berarti bagi diri kita sen-diri, keluarga, serta lingkungan. Kita hadir di muka bumi tidak dalam rang-ka merusak manusia dan lingkungan. Kita hidup dalam keseimbangan baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan. Output dari kegiatan kita sangat jelas, sejelas toilet yang bersih setelah dibersihkan oleh para penjaga kebersihan toilet. Ya, kita keluar ru-mah untuk bergabung dengan orang lain dalam rangka membangun rumah bagi salah satu atau beberapa warga.

Kemewahan kehidupan di atas tidak hanya dirasakan oleh segelin-tir orang saja. Kemewahan tersebut larut dalam berimbangnya kehidupan antar manusia serta manusia terhadap alam, sangat larut, sehingga kita akan sulit membedakan apakah sebuah ru-mah itu tergolong dalam rumah yang proporsinya 1, 3, atau 6 (dalam UU Nomor 1 Tahun 2011, proporsi rumah mewah : menengah : sederhana adalah 1 : 3 : 6). Seorang arsitek atau ahli ba-

Eco VillageAgung Bhakti Utama, STStaf Asdep Kerjasama Antar Lembaga, Deputi Bidang Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat

Suasana lingkungan di sebuah eco village.

Suasana makan bersama di rumah bersama (common house).

sumber foto-foto: gen.ecovillage.org

Page 22: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

22

1. Dimensi Sosial/KomunitasSebuah komunitas eco village terdi-

ri atas orang-orang yang merasa didu-kung serta sekaligus bertanggungjawab terhadap orang-orang sekelilingnya. Mereka memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kelompoknya. Komu-nitas tersebut cukup kecil sehingga se-tiap setiap orang merasa aman, diberi wewenang, terlihat, serta didengarkan aspirasinya. Orang-orang tersebut dapat ikut serta dalam pembuatan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka sendiri melalui proses-proses yang transparan.

Komunitas berarti :Mengenali dan terhubung dengan •yang lainnya;Membagi sumberdaya milik ber-•sama serta menyediakan bantuan yang saling menguntungkan;Menekankan pada praktek keseha-•tan yang preventif dan menyeluruh;Mengintegrasikan kelompok-kelom-•pok marginal;Mempromosikan pendidikan yang •tidak pernah berakhir (unending education);Menggalakkan kesatuan melalui •sikap hormat-menghormati ter-hadap perbedaan;Memberikan tempat untuk ekspresi •budaya.

2. Dimensi EkologisEco village memungkinkan setiap

orang mengalami hubungan pribadinya dengan bumi yang hidup. Masyarakat menikmati interaksi sehari-hari dengan tanah, air, angin, tumbuh-tumbuhan, serta hewan. Mereka menyediakan

kebutuhan sehari-hari mereka seperti makanan, pakaian, dan tempat ting-gal, dengan tetap menghormati siklus alam.

Ekologis berarti :Menyediakan makanan sebanyak •mungkin dalam komunitas pada satu wilayah;Mendukung produksi makanan •organik;Membuat perumahan dari bahan-•bahan yang disesuaikan dengan keadaan lokal;Menggunakan sistem energi terba-•rui yang terintegrasi;

ngunan menjadi pemimpin bagi warga yang berprofesi sebagai pembangun perumahan. Seorang ahli pangan dan gizi berbaur dengan masyarakat yang memilih mendedikasikan hidupnya

untuk memasak. Seorang ahli perta-nian menjadi pemimpin para petani makmur yang bercocok tanam dan berternak untuk memenuhi kebutuh-an kampungnya. Tidak ada yang

kurang kesejahteraannya selama se-seorang tersebut bekerja. Sementara anak-anak mereka hidup dalam berke-limpahan waktu orang tua serta fasili-tas pendidikan yang memadai yang

Tim Pembangun Perumahan dan Tim Pertanian.

Dimensi Keberlanjutan dalam Sebuah Eco Village

Wacana

sumber foto-foto: gen.ecovillage.org

Page 23: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

23

Menjaga keragaman biologi (• biodi-versity);Memberi tempat untuk prinsip-•prinsip bisnis ekologis;Menetapkan siklus hidup dari •seluruh produk dalam kacamata sosial, spritiual, dan ekologi, di-mana produk yang dibuat sebaiknya dari bahan-bahan terbaik sehingga tahan lama untuk menghindari siklus konsumsi yang cepat ter-hadap alam, hal ini tentunya perlu didukung oleh teknologi;Menjaga kebersihan tanah, air, dan •udara melalui manajemen energi dan limbah yang benar.

3. Dimensi Budaya/SpiritualKebanyakan eco village tidak

me nempatkan penekanan praktek spritiual, namun dengan cara me-reka sendiri eco village menghormati serta mendukung – Bumi dan semua makhluk hidup di atasnya; budaya dan pengayaan seni serta ekspresi, dan keragaman spiritual.

Spiritual berarti :Membagi kreativitas, ekspresi •seni, aktivitas budaya, ritual, dan

perayaan;Rasa kesatuan komunitas dan du-•kungan yang bersifat timbal balik;Penghormatan dan dukungan ter-•hadap manifestasi spiritual;Fleksibilitas dan sikap responsif •terhadap kesulitan yang dihadapi;Perwujudan dunia yang damai, •penuh cinta, serta berkelanjutan.

3. Dimensi EkonomiSeiring dengan grup lokal dan

komunitas menciptakan sendiri mata uang dan sistem pertukaran mereka, mereka belajar tentang rahasia terda-lam dari ekonomi: uang dan informasi itu seimbang -- dan tidak ada satupun yang langka! (Hazel Henderson)

Ekonomi berarti :Menjaga uang tetap berada dalam •komunitas;Memutarnya ke sebanyak mungkin •orang;Mencari, membelanjakan, serta •menginvestasikan uang dalam bisnis yang dimiliki anggota komu-nitas;Menyimpannya dalam institusi •keuangan lokal (home-grown finan-cial institution).

Sumber tulisan: http://gen.ecovillage.org/ecovillages.html

dapat membantu mereka menguak misteri alam serta mengolahnya men-jadi teknologi yang berguna untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Seorang remaja berkembang imajinasi dan kreativitasnya karena tidak per-nah ditakut-takuti akan jenjang karir di masa depan, jauh dari didikan un-tuk berebut suplai uang yang beredar dalam sistem perekonomian, karena ia hidup dalam sebuah lingkungan di-mana kesejahteraan terjamin selama ia berkarya.

Kita semua memimpikan orang-orang dan komunitas dapat hidup secara sehat, kooperatif, secara alami merasakan kebahagiaan yang sejati karena menjalani gaya hidup yang be-rarti (meaningful). Pancaran harapan

yang akan membantu kita semua da-lam transisi menuju masa depan yang berkelanjutan di atas bumi ini. Hal ini dapat diwujudkan melalui penye-lenggaraan perumahan dalam suatu lingkungan yang sehat, aman, se-rasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan, yaitu melalui penerap-an konsep eco village, yang di dalam-nya terjadi keseimbangan baik antar masyarakat maupun terhadap kondisi alam. Dalam eco village, keadaan sa ling menghormati, saling berbagi, serta niat yang baik benar-benar mendapat tempat.

Eco VillageEco villages adalah komunitas masya -

rakat baik perkotaan maupun pede-

saan yang berjuang untuk menginte-grasikan sebuah lingkungan sosial yang mendukung dengan cara hidup yang tidak banyak mempenga ruhi/merusak lingkungan. Untuk men-capainya, mereka menggabungkan ber bagai aspek seperti: desain ramah lingkungan, permaculture, bangunan ra-mah lingkungan, produksi secara ala-miah, energi alternatif, pembangunan komunitas, dan lain sebagainya.

Motivasi untuk melakukan eco vil-lages didasari atas komitmen untuk mengembalikan struktur sosial/buda-ya yang secara perlahan terdisintegrasi serta sebagai desakan terhadap prak-tek-praktek perusakan lingkungan di atas planet bumi ini.

Page 24: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

24

Studi kelayakan merupakan hal ter­pokok agar bisa memperoleh gam­baran sejak awal mengenai aspek­

aspek yang dipikirkan dalam proses pembangunan. Produk studi kelayakan merupakan suatu produk yang dihasilkan dari suatu studi kelayakan secara menyeluruh sebagai dasar pengambilan keputusan dalam investasi dan kebutuhan un­tuk para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam studi tersebut. Aspek­aspek yang dikaji dalam studi kelayakan terangkum dalam 7 kelompok aspek kajian: aspek lingkung­an, aspek legal, aspek pasar, aspek teknis, aspek finansial, as­pek ekonomi, aspek sosial. Ketujuh kelompok aspek kajian tersebut dianalisis secara hirarkis dan sekuensial. Bila aspek awal sudah layak dilanjutkan aspek berikutnya, sampai semua aspek dinyatakan layak sehingga bisa dinyatakan pembangun­an kawasan perumahan dinyatakan layak. Tahapan dalam ka­jian studi kelayakan digambarkan sebagai berikut:

Investasi Pembangunan Perumahan Investasi pembangunan perumahan merupakan bentuk

investasi barang modal atau investasi proyek, dengan kon­sekuensi menyerap dan mengikat dana dalam persentase yang cukup besar jumlahnya serta dengan jangka waktu ikatan dana yang cukup lama. Kesalahan dalam perencanaan atau evaluasi kelayakan rencana investasi menimbulkan dampak negatif yang berlangsung lama atau kerugian yang sangat be­sar. Pertimbangan utama dalam menentukan pembangunan kawasan perumahan adalah penetapan lokasi perumahan.

Ciri investasi suatu proyek tidak terkecuali pembangunan kawasan perumahan memberikan manfaat atau keuntungan baru dapat dinikmati beberapa bulan atau tahun setelah in­

vestasi dilakukan dan memiliki resiko yang cukup besar, tidak hanya karena besarnya jumlah dana yang terikat, me­

lainkan juga karena jangka waktu yang panjang yang diper­lukan untuk memetik keuntungan. Keputusan investasi yang keliru tidak dapat direvisi.

Pengambilan Keputusan Investasi Pembangunan Kawasan Perumahan

Untuk pengambilan keputusan investasi tersebut dilaku­kan langkah­langkah kajian sebagai berikut:1. Kajian Aspek Lingkungan

Data tentang kualitas udara, kualitas air dan sistem pem­- buangan lingkungan kawasan;Hasil analisis dampak yang ditimbulkan selama proses - proyek pembangunan ; l Pra konstruksi (pembebasan lahan, lingkungan sekitar,

sosial, tenaga kerja),l Konstruksi (gangguan suara, penempatan material, penempatan pekerja, aksesbilitas dari dan menuju proyek),l Pasacakonstruksi (pengelolaan dan pengamanan lingkungan serta integrasi sistem pengelolaan limbah terhadap lingkungan sekitar)

Aspek lingkungan, walaupun merupakan aspek sekunder, namun saat ini pendekatan utama investasi harus dilakukan dengan keberlanjutan sesuai kondisi lingkungan ekternal. Bila seluruh kajian aspek ling­

kungan sudah dinyatakan layak, maka dapat dilanjutkan de­ngan kajian aspek berikutnya yaitu aspek legal.2. Kajian Aspek Legal

Kejelasan Pemrakarsa Pekerjaan (Investor/Lembaga) dibuk­- tikan dengan kepemilikan akta perusahaan;Kejelasan kepemilikan lahan rencana pembangunan dibuk­- tikan dengan kepemilikan Sertipikat Hak Milik;Kejelasan jenis usaha yang dimiliki oleh investor/lembaga - dibuktikan dengan kepemilikan Surat Ijin Usaha (SIUJK/TDR/NPWP/PKP/Ijin HO);Kejelasan Struktur Organisasi Pemrakarsa dibuktikan de­- ngan Organisasi Tata Laksana (OTK) investor/lembaga;Kejelasan tentang Izin Prinsip Kepala Daerah, dibuktikan -

ASPEKLINGKUNGAN

ASPEKLEGAL

ASPEKPASAR

ASPEKTEKNIS

ASPEKFINANSIAL

ASPEKEKONOMI

ASPEKSOSIAL

DOKUMEN STUDI KELAYAKAN INVESTASI

PENETAPAN LOKASI

PENYUSUNAN STUDI KELAYAKAN INVESTASI

Moch.Yusuf Hariagung *)

“Penilaian Studi Kelayakan sebagai Bahan Pengambilan Keputusan terhadap

Perencanaan Kawasan Perumahan”

Alur Aspek Kajian Studi Kelayakan

Wacana

Page 25: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

25

dengan Surat Izin Prinsip Walikota tentang Pembangunan; Surat­Surat Keputusan Menteri tentang Pembangunan; - Pedoman Teknis Pembangunan.- Kejelasan tentang Zonasi Kawasan sesuai peruntukan - dibuktikan dengan RTRW/RRTR Kabupaten/Kota ter­hadap kawasan dengan peruntukannya;Kejelasan tentang Peruntukan lahan/tata guna lahan (- land use) sesuai fungsi kawasan terbangun yang dibuktikan de­ngan RTRW/RRTR Kabupaten/Kota;Kejelasan tentang KDB, KLB dan RTH pada lahan rencana - pembangunan kawasan perumahan dibuktikan de ngan RTRW/RRTR yang telah disyahkan oleh DPRD Kabu­paten/Kota;Kejelasan tentang jaringan utilitas dibuktikan dengan pe­- nyediaan utilitas (listrik, air bersih, Tlp, gas) pada kawasan (data dari PLN, PDAM dan Telkom serta Dinas Pertam­bangan dan Energi sebagai penyedia).

Bila seluruh persyaratan aspek legal sudah dipenuhi dan dinyatakan layak, maka dapat dilanjutkan pada kajian aspek pasar.3. Aspek Pasar

Data tentang pangsa pasar (- market share) ketertarikan calon penghuni terhadap proyek kawasan perumahan di Kabu­paten/Kota;Data tentang sasaran pasar (- target market);Data pembanding (- competitor) sekurang­kurangnya yang sudah dibangun Kabupaten/Kota.

Bila seluruh persyaratan aspek pasar sudah direspon positif dan dinyatakan layak, maka dapat dilanjutkan pada kajian as­pek teknik.4. Kajian Aspek Teknik

Data lokasi proyek, luas lahan, status proyek sebagai bahan - dalam melakukan desain bangunan dan fasilitasnya;Data mengenai peta garis untuk menentukan lokasi lahan - terhadap lingkungan sekitar;Analisis konsep zonasi; - Analisis kebutuhan ruang dan fasilitas; - Data tentang Harga Satuan Bahan dan Upah tahun terakhir - sebagai dasar dalam menentukan biaya bangunan;Hasil analisis sistem dan kebutuhan M/E/P sebagai dasar - rancangan MEP serta perhitungan biaya;Hasil analisis kebutuhan - furniture dan peralatan sebagai dasar menentukan biaya (bila model turn key);Biaya­biaya teknis yang harus ditanggung (Informasi dari - Pemkab/Pemkot tentang biaya IMB, AMDAL/AMDALA­LIN, Ijin HO, Biaya FS, Biaya Perencanaan dan Biaya MK /Rujukan dari Dirjen Cipta Karya);Gambar rancangan Pradesain arsitektur.-

Bila seluruh persyaratan aspek teknik sudah didesain dan dinyatakan layak, maka dapat dilanjutkan pada kajian aspek ekonomi.

5. Kajian Aspek EkonomiData tentang tingkat inflasi Kabupaten/Kota tahun berjalan - sebagai bahan kajian perhitungan Present Value;Data tentang suku bunga Sertipikat Bank Indonesia tahun - berjalan sebagai bahan perhitungan Present Value;Data tentang suku bunga komersial yang berlaku pada pasar - sebagai pembanding untuk menentukan Discount Factor (DF) sebagai dasar menentukan Present Value;

Bila seluruh persyaratan aspek ekonomi sudah memiliki manfaat dan efek multiplier dan dinyatakan layak, maka da­pat dilanjutkan pada kajian aspek finansial.6. Kajian Aspek Finansial

Semua perhitungan biaya teknis sebagai nilai yang diper­hitungkan dalam biaya investasi langsung;

Semua perhitungan biaya pengelolaan selama 1 tahun yang - diperhitungkan dalam biaya modal (termasuk depresiasi bangunan, biaya bunga, asuransi kebakaran);Proyeksi­proyeksi penerimaan dari semua pendapatan yang - diproyeksi sekurang­kurangnya 10 tahun atau lebih dise­suaikan dengan masa pinjaman (10 tahun/15 tahun/20 tahun/25 tahun atau terlama 30 tahun);Proyeksi Rugi Laba selama masa proyeksi­proyeksi peneri­- maan;Perhitungan - Net Cash Inflow dan Net Cash outflow dengan memperhatikan DF (dasar suku bunga) sebagai proyeksi nilai uang masa yang akan datang;Perhitungan - Net Present Value (NPV) dan Benefit and Cost Ratio (B/C) untuk menentukan tingkat kelayakan;Perhitungan IRR untuk membandingkan tingkat keun­- tungan terhadap suku bunga komersial, apakah proyek tersebut layak atau tidak dikemudian hari;Perhitungan - Payback Period guna mengetahui waktu terce­pat pengembalian investasi.

Bila seluruh persyaratan aspek finansial sudah memiliki proyeksi keuntungan investasi di masa yang akan datang dan dinyatakan layak, maka dapat dilanjutkan pada kajian aspek sosial7. Aspek Sosial

Merupakan aspek akhir dari seluruh hirarki dari kajian seluruh studi kelayakan. Suatu proyek investasi harus memi­liki kohesif dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya dan tidak menimbulkan inklusif. Sehingga investasi tersebut tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan perumahan.

Dinilai layak investasi dan dapat diambil suatu keputusan investasi setelah mempertimbangkan seluruh aspek kajian se­cara hirarki dan proyek dapat dinyatakan GO.

*)Kepala Bagian Data dan Pelaporan Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenpera

Page 26: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

26

Undang­undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

mengamanatkan pembangunan lingkungan hunian berimbang (LHB). Hal ini tertera dalam pasal 54 ayat 1 sampai 5. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dalam pasal tersebut juga disebutkan sanksi yang bisa dikenakan kepada pengembang yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut.

Ketentuan hunian berimbang ini mengulang sejarah era Orde Baru. Pada November 1992, tiga orang menteri yaitu Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muhtar, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Siswono Yudohusodo, menandatangani surat keputusan bersama (SKB) tentang hunian berimbang. Ketiga menteri sepakat untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR lewat ketentuan tersebut.

Dalam SKB tersebut ditetapkan konsep 1:3:6. Ini berarti pengembang yang membangun 1 unit rumah mewah, maka harus membangun 3 unit rumah menengah dan 6 unit rumah sederhana. Secara logika, jika aturan ini diterapkan maka pembangunan rumah bagi MBR akan melaju kencang. Alhasil masalah backlog pun tidak akan terjadi.

Namun sayangnya, dalam praktiknya ketentuan tersebut tidak bisa diaplikasikan dengan baik. Bahkan cenderung diabaikan oleh para pengembang. Hal ini antara lain karena tidak sinkronnya dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah daerah (Pemda). Ada sebagian Pemda yang justru mengeluarkan aturan yang kontradiktif dengan SKB tiga menteri. Akibatnya, pelaksanaannya jauh panggang dari api.

Sekarang kita tentu berharap aturan hunian berimbang yang diamanatkan UU PKP tidak mengalami nasib yang sama. Untuk itu perlu perhatian semua

stakeholder perumahan untuk mengawal dan mengawasi pelaksanaannya. Pemerintah, dituntut untuk konsisten dan konsekuen terhadap aturan yang ditetapkan. Tentu saja harus memperhatikan suara dan aspirasi dari

para pengembang yang memikul kewajiban melaksanakan aturan tersebut.

Selain memberikan sanksi, pemerintah juga diminta memberikan insentif bagi para pengembang yang mentaati aturan tersebut

dengan baik dan benar. Insentifnya seperti apa, bisa dikaji bersama. Misalnya insentif pajak

atau dalam bentuk lain.Sebaliknya, para pengembang juga harus jujur dan

konsisten dalam melaksanakan aturan tersebut. Jujur dalam arti tidak memanipulasi data jumlah rumah yang telah dibangunnya sehingga bisa diketahui berapa banyak rumah menengah dan sederhana yang harus dibangun. Hal ini penting karena kesuksesan pelaksanaan aturan hunian berimbang antara lain berada di pundak pengembang.

Harus diakui, sampai saat ini memang masih muncul sejumlah persoalan. Antara lain lokasi pembangunan hunian berimbang, apakah berada dalam satu

Hunian Berimbang, Antara Teori dan Realita

Wacana

sumber ill.: istimewa

Page 27: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

hamparan atau bisa di lokasi lain. Ini terutama menyangkut lahan yang terbatas dan harganya yang mahal. Tentu tidak mungkin jika ada pengembang yang membangun rumah mewah di Jakarta terus diharuskan membangun rumah menengah dan sederhana di lokasi yang sama karena harga tanahnya yang mahal.

Selain itu, juga muncul perdebatan tentang komposisi idealnya, apakah tetap 1:3:6 atau menggunakan aturan lain yang sesuai dengan perkembangan saat ini. Hal itulah yang harus diakomodir oleh Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Permenpera) tentang hunian berimbang yang akan segera diterbitkan. Ini penting demi menjamin efektivitas pelaksanaannya nanti.

Dalam berbagai kesempatan, Menpera Suharso Monoarfa mengatakan, pihaknya memastikan awal semester kedua tahun ini pera turan tentang hunian berimbang akan segera diterbitkan. “Kami akan dorong agar pola hunian berimbang ini dapat diberlakukan kembali. Itulah amanah UU PKP yang baru di sahkan DPR di penghujung tahun lalu”.

Menurutnya, dalam UU PKP pengembang wajib me nyediakan sekian persen lahan untuk pe rumahan bagi MBR.Namun pihaknya belum bisa menjelaskan berapa per senta senya. Saat ini pihaknya ber sama asosiasi pengembang sudah mulai melakukan pen da­taan me ngenai perusahaan pro perti milik pengembang perumahan berikut anak perusaha annya, termasuk jenis proyek yang sedang dikerjakan. Data ini penting agar dapat di ketahui berapa unit rumah sederhana yang wajib dibangun pe ngembang bersangkutan, per ban dingan total rumah mene ngah atas yang dibangun grup pe ngem bang tersebut.

Tentu kita berharap aturan tentang hunian berimbang ini bisa tersosialisasi dan terlaksana dengan baik. Sebab pada dasarnya konsep hunian berimbang mengandung prinsip­prinsip pro poor, pro green dan pro growth. Tentunya, terpenting program infrastruktur

di berbagai sektor terutama di bidang perumahan, permukiman, dan perhubungan, perlu dipadukan untuk mewujudkan kawasan yang asri dan menjamin kualitas kehidupan penduduknya.

Demikian juga fasilitas pendidikan dan perdagangan perlu dipadukan. Hanya keterpaduan pembangunan fasilitas inilah yang akan menghasilkan kawasan permukiman yang diminati masyarakat dari semua golongan. Inilah yang dijalankan Housing Development Board (HDB) di Singapura, KNHC di Korea Selatan, dan URA di Jepang.

Tidak kalah pentingnya adalah kontribusi Pemerintah Daerah. Caranya dengan memberikan kemudahan dalam perizinan bagi para pengembang untuk membangun rumah. Biaya siluman yang selama ini banyak dikeluhkan pengembang harus segera dihilangkan. Jika ini terjadi, pembangunan perumahan bagi MBR akan lebih cepat berjalan.

Kita boleh berharap tinggi akan kesuksesan pelaksanaan pembangunan hunian berimbang demi meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat khususnya MBR. Tapi jika tidak ada sinergi, kejujuran, dan komitmen semua pihak terkait, tentu harapan itu hanya angan­angan belaka. Sebagai salah satu anak bangsa, saya akan sangat bersedih jika hal itu ternyata menjadi kenyataan.

Anjar Fahmiarto (Forwapera)

sum

ber

foto

: isti

mew

a

27

Page 28: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

28

Sidang Governing Council ke­23 (GC­23) United Nations Human Settlements Programme (UN­Habitat) dengan tema ‘Sustainable Urban De­

velopment through Expanding Equitable Access to Land, Housing, Basic Services and Infrastructure’ telah diselengga­rakan pada tanggal 11­15 April 2011 di Nairobi. Sidang dihadiri negara­negara anggota, badan­badan PBB, dan Mitra Agenda Habitat yang terdiri dari pemerintah daerah, organisasi non­pemerintah, lembaga donor, or­ganisasi masyarakat madani, dan organisasi internasional/swasta lainnya.

GC23 UN­Habitat dibuka secara resmi oleh Presiden Kenya, Mwai Kibaki, dan diisi dengan sambutan dari Mr. Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP, Sekjen PBB Ban Ki­moon yang dibacakan Wakil Direktur UN­Ha­bitat Mrs. Inga Bjork­Klevby, dan dr. Joan Clos, Direk­tur Eksekutif UN­Habitat. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam sesi pembukaan adalah:

Peningkatan urbanisasi global yang tinggi (saat ini a. sudah lebih dari separuh dan diperkirakan tahun 2050 mencapai 70%) dihadapkan pada berbagai tantangan termasuk kemiskinan, transportasi, kurangnya la­pangan pekerjaan, tumbuhnya permukiman kumuh dan informal serta perubahan iklim. Perlunya inovasi kebijakan dan program yang pro b. rakyat miskin serta berbagi pengalaman antarnegara dalam menangani masalah urbanisasi. Hasil pembahasan GC23 UN­Habitat merupakan c. peluang penting agar agenda pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sebagai tema utama pertemuan dapat terefleksikan di dalam konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio +20) yang akan digelar tahun 2012 di Rio de Janeiro, Brasil.Perlunya mengembalikan penanganan perkotaan d.

melalui perencanaan bagi pemenuhan kebutuhan dasar perkotaan (basic urban planning), yaitu dengan menekankan kepada pentingnya penataan pola dan jaringan jalan, pencadangan lahan untuk kepenting­an umum (land as common goods), dan penyediaan pelayanan dasar perkotaan (urban services); menyi­apkan kelembagaan dan tata penyelenggaraan kota; serta mendorong tumbuhnya ekonomi perkotaan, khususnya penciptaan lapangan pekerjaan. Pena­nganan perkotaan yang baik harus mampu mencegah terjadinya urban sprawl (perkembangan kota secara sporadis), yang menyebabkan hilangnya potensi ekonomi urbanisasi dan aglomerasi.Sidang juga telah memilih Mr. Vincent Karega,

Menteri Infrastruktur Rwanda, sebagai Presiden Govern­ing Council 2011­2013 dengan dibantu oleh 3 wakil presiden dan 1 Rapporteur dari Chili (mewakili Amerika Latin), Cina (mewakilil Asia), Rusia (mewakili Eropa Timur) dan Finlandia.

High-Level SegmentSesi High­level Segment telah membahas mengenai

tema utama pertemuan yaitu pembangunan perkotaan yang berkelanjutan melalui perluasan akses kepada lahan, perumahan, dan pelayanan serta infrastruktur dasar. Pada sesi ini, Menteri Perumahan Rakyat RI menyampaikan pernyataan, baik dalam kapasitas sebagai Ketua Delri maupun sebagai Ketua Asia Pacific Ministerial Confer­ence on Housing and Urban Development (APMCHUD). Pokok­pokok pernyataan Ketua Delri sebagai berikut:

Rencana Implementasi Solo yang dihasilkan dalam •APMCHUD ke­3 memberikan kerangka kerja untuk pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi tan­tangan regional melalui kerjasama dan pertukaran

Governing Council ke-23 UN-Habitat 11-15 April 2011

Governing Council ke-23 UN-Habitat 11-15 April 2011

Wacana

sumber foto: Delegasi RI

Page 29: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

29

praktek unggulan (best practices). Perlunya mobilisasi dana yang inovatif dan tidak ber­•gantung pada dana publik, dengan memberdayakan dana swasta dan masyarakat untuk rehabilitasi dan pencegahan bencana. Perlunya perkuatan jejaring kerja antarpemerintah, •swasta dan masyarakat untuk menjawab tantangan meningkatnya kemiskinan, kesenjangan sosial ekono­mi dan sektor informal. Ajakan kerjasama UN­Habitat dan mitra Agenda •Habitat untuk mendukung Regional Center for Com­munity Empowerment in Housing and Urban Develop­ment (RC­CEHUD) menjadi center of excellence di kawasan Asia­Pasifik. Komitmen Indonesia untuk persiapan konferensi •Habitat III tahun 2016.

Sesi dialog Pembahasan sesi pagi bertopik “Sustainable Urban

Development Through Equitable Access to Basic Services And Infrastructure” menampilkan beberapa panelis yaitu dari unsur Pemerintah (Menteri Perumahan Maroko); Mitra Agenda Habitat (Global Parliamentarians for Habitat dan Shack/Slum Dwellers International); serta akademisi (Delft University of Technology, Belanda). Hal­hal pokok yang mengemuka selama sesi ini yaitu:

Terdapat kesepakatan bahwa lahan merupakan •komponen kritis untuk perumahan, infrastruktur dan pelayanan, terutama bagi masyarakat berpeng­hasilan rendah dan rentan. Mengingat jumlahnya yang terbatas, diperlukan kebijakan, undang­undang ataupun sistem yang menjamin kepemilikan lahan. Hasil studi negara­negara dunia menunjukkan bahwa dukungan kebijakan yang inovatif dalam kerangka tata­kelola pertanahan yang baik dapat meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah (low income communities) ke tanah dan perumahan.Terdapat pandangan bahwa perumahan memainkan •peran sentral dalam pengembangan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan promosi praktik pembangunan rumah yang berkesinambungan dan ramah lingkungan. Statistik menunjukkan bahwa sektor perumahan menyum­bangkan hampir 20 persen pembentukan modal dalam Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Untuk kawasan kumuh, program • slum upgrading and prevention dapat menjadi alat Pemerintah dalam mengembangkan akses terhadap perumahan berbiaya rendah dan mengendalikan jejak kaki (footprint) perko­

taan dan pada akhirnya merupakan kontribusi kota terhadap upaya pencapaian sustainable development. Dialog pada sesi sore yang membahas Equitable Access

to Basic Services and Infrastructure, menghadirkan panelis unsur Pemerintah (Menteri Infrastruktur Rwanda dan pejabat senior Kementerian Perumahan Sri Lanka); peme­rintah daerah (Walikota Harare, Zimbabwe); dan Mitra Agenda Habitat (World Business Council for Sustainable Development). Hal­hal yang mengemuka antara lain:

Perencanaan dan penyediaan layanan dasar merupakan •bagian penting bagi pengembangan kota berkelan­jutan, termasuk diantaranya energi, transportasi, air dan sanitasi. Akses terhadap jasa­jasa ini adalah faktor penentu lokasi berkumpulnya populasi dan mempe­ngaruhi pertumbuhan serta pengembangan mereka. Terdapat kesamaan pandangan bahwa diperlukan •kolaborasi erat antara berbagai sektor pemerintahan, pihak swasta dan masyarakat madani, serta pening­katan dan penguatan kerangka peraturan. Kesetaraan akses terhadap layanan dasar membutuh­•kan investasi dalam jumlah yang tidak kecil. Namun demikian, disadari bahwa akses ini memiliki potensi jangka panjang menuju green growth melalui pen­ciptaan lapangan kerja, terutama untuk kaum miskin. Pada kedua sesi, mayoritas peserta sependapat bahwa

pemerintah, organisasi internasional, dan mitra Agenda Habitat (institusi keuangan, kelompok masyarakat, organisasi profesi, dan lain­lain) memainkan peran kunci dan harus bekerjasama dalam peningkatan akses terhadap tanah, perumahan, pelayanan dasar dan infrastruktur.

Catatan AkhirPertemuan GC UN­Habitat ke­23 kali ini meru­

pakan pertemuan yang dipandang strategis mengingat isu­isu terkait perumahan dan pembangunan kota yang berkelanjutan telah menghadapi berbagai tantangan baru. Isu­isu baru seperti perubahan iklim, dan green economy memberikan tantangan tersendiri bagi upaya pencapai­an program pembangunan kota yang berkelanjutan dan akses terhadap perumahan. Dalam konteks ini dan men­jelang pertemuan Rio+20 di Brazil, pelaksanaan GC ke­23 UN­Habitat diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pertemuan Rio+20, terutama dalam kaitan dengan isu­isu pembangunan berkelanjutan.

Disepakati bahwa GC UN­Habitat tidak secara spesifik membahas substansi green economy namun hanya mencatat pentingnya kontribusi UN­Habitat terhadap pertemuan Rio+20 terutama dalam kaitan dengan pem­bangunan kota yang berkelanjutan. (LW/Delegasi RI)

Page 30: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

30

Liputan

Kota yang merupakan pusat kegiatan ekonomi menjadi daya tarik bagi masyarakat sehingga menyebabkan pula tingginya arus urbanisasi.

Kondisi di Indonesia sebagai negara berkembang tidak jauh berbeda, tingginya angka pertambahan penduduk di perkotaan masih menjadi masalah. Pesatnya perkem­bangan penduduk diperkotaan tidak selalu dapat diim­bangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga meng­akibatkan munculnya permukiman­permukiman kumuh. Di Indonesia sendiri luas permukiman kumuh cenderung bertambah dari 54 ribu hektar pada tahun 2004 menjadi 58 ribu hektar pada tahun 2009. Bertambahnya permu­kiman kumuh di kawasan perkotaan ini harus segera di­tangani secara serius oleh seluruh pemangku kepen tingan di wilayah perkotaan itu sendiri, sehingga diharapkan terwujud suatu lingkungan yang sehat, aman serasi dan teratur

Kota Batam merupakan kota dengan populasi terbesar ke tiga di wilayah Sumatera setelah Medan dan Palem­bang, dengan jumlah penduduk mencapai 1.081.527 jiwa dan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2011 angka pertumbuhan penduduk rata­rata lebih dari 8 persen per tahun.

Secara geografis Batam memiliki posisi strategis karena berada di jalur pelayaran internasional serta dekat de ngan Singapura dan Malaysia. Ketika dibangun pada awal 1970­an kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk, dalam waktu 40 tahun penduduk Batam tumbuh hingga 170 kali lipat. Pesatnya pertumbuhan penduduk di Kota Batam memunculkan banyak permukiman kumuh, dian­taranya terletak di kampung Bagan, kelurahan Tanjung Piayu, kota Batam

Awalnya, kampung yang sebagian besar penduduknya adalah pedagang dan buruh dengan rata­rata penghasil­an Rp. 800 ribu per bulan ini merupakan salah satu pintu masuk ke pulau Batam, namun seiring berjalannya waktu, Kampung Bagan berkembang menjadi kawasan permukiman kumuh yang huniannya sebagian besar merupakan bangunan semi permanen yang tidak layak huni. Hal ini diperburuk dengan tidak adanya sanitasi dan sumber air bersih.

Penataan Kampung Bagan dengan PLP2K-BKPemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat

sejak tahun 2010 berupaya memberikan stimulan untuk membenahi kampung Bagan dengan pendekatan pro­gram Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permu­kiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K­BK). Program ini merupakan suatu upaya untuk menata dan mening­katkan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman kumuh secara berkelanjutan melalui pendekatan Tridaya, yaitu perbaikan dan pembangunan perumahan, penyedia­an PSU yang memadai sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dengan mengintegrasikan konsep penanganannya melalui pemanfaatan potensi wilayah disekitarnya.

Stimulan melalui program PLP2K­BK diberikan dalam bentuk pemberian komponen fisik berupa pem­buatan gorong­gorong, jalan steger, saluran precast, dan penerangan jalan. Hal ini diharapkan dapat mengemba­likan fungsi kampung Bagan sesuai dengan rencana tata ruang wilayahnya sebagai kawasan kampung tua yang diarahkan sebagai cagar budaya dan kawasan wisata laut yang dikelilingi hutan mangrove.

Program PLP2K­BK di kampung Bagan maupun di beberapa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia diharapkan dapat menjadi stimulan bagi pena nganan permukiman kumuh di Indonesia yang cen derung ber­tambah. PLP2K­BK ini diharapkan menjadi skenario pe­nanganan yang diimplementasikan secara konsisten oleh para stakeholder terkait, khususnya pemerintah daerah dan masyarakat dalam rangka mewujudkan lingkungan hunian yang layak, aman, nyaman dan sejahtera.

PLP2K-BK di Kampung Bagan.

Pembenahan Kawasan Kumuh Kota Batam Melalui PLP2K-BK

sumber: Asisten Deputi Perencanaan Pengembangan Kawasan

Page 31: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

31

Sesuai dengan pelaksanaan misi ke­5 Kementerian Perumahan Rakyat yaitu “Meningkatkan Peran Pemerintah Daerah dan Pemangku Kepentingan

Lainnya dalam Pembangunan Perumahan dan Permukim­an”, Kementerian Perumahan Rakyat melaksanakan kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2011. Tujuan dari pelaksanaan Dekonsen­trasi Tahun 2011 adalah peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pembangunan perumahan dan permukiman, sedangkan sasarannya adalah meningkatnya pemahaman dan kesadaran pemerintah daerah terhadap pembangun­an perumahan di daerah dan meningkatnya kapasitas pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi pembangunan perumahan. Pada tahun 2011 ini, kegiatan utama Dekonsentrasi Lingkup Kementerian Perumahan Rakyat terdiri dari dua kegiatan utama yaitu Sosialisasi Kebijakan dan Peningkatan Kapasi­tas Daerah.

Kegiatan Sosialisasi Kebijakan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah dilaksanakan pada 33 provinsi dalam waktu 2 (dua) bulan. Kegiatan sosialisasi ini dilaksa­nakan untuk mengenalkan kebijakan dan program yang di laksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat, sa sa r annya yaitu aparat pemerintah provinsi dan kabupa­ten/kota serta stakeholders terkaitperumahan, agar mereka mengetahui arah kebijakan dan program yang dilaksana­kan oleh Kementerian Perumahan Rakyat. Kegiatan ini melibatkan semua unsur di unit Kedeputian di lingkungan Kementerian Perumahan Rakyat yang bertindak sebagai nara sumber, mulai dari tingkat eselon IV sampai de ngan tingkat eselon I yang bertugas menyampaikan segala infor­masi yang dibutuhkan Pemerintah Daerah terkait kebi­jakan bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Contoh hasil pelaksanaan Sosialisasi Kebijakan bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah Sosialisasi di Provinsi Jawa Timur. Persoalan perijinan dalam pemba­ngunan rumah adalah salah satu rintangan yang dihadapi masyarakat Jawa Timur dalam pemenuhan kebutuhan perumahan diutarakan pada kegiatan Sosialiasasi Kebi­jakan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman di JawaTimur.

Sementara itu pada acara Kegiatan Sosialisasi Kebijakan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman di Sumatera Selatan yang dihadiri oleh Sekretaris Kementerian Peru­

mahan Rakyat ­ Dr. Iskandar Saleh, menyampaikan bahwa masih sulitnya membangun perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ditengarai karena komit­men yang tidak dimiliki Pemerintah Daerah. Beliau menga takan bahwa dalam Undang­Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 105, disebutkan tanggung jawab ketersediaan lahan dan rencana tata ruang berada di pundak Pemda.

Dalam kesempatan itu pula, disampaikan program pembangunan rumah murah bagi keluarga miskin dan ber­penghasilan rendah. Pada tahun anggaran 2011 Kemen­pera menargetkan 100.000 unit rumah murah. Saat ini baru Kota Malang (Jawa Timur) yang menangkap peluang ini dengan meminta 10.000 unit rumah.

Ditegaskan bahwa hal ini bergantung pada inisiatif dari walikota/bupatinya. Bersedia atau tidak menyediakan ru­mah murah bagi warganya. Beliau juga mengatakan, syarat yang diperlukan untuk pengajuan program ini hanya satu yaitu Pemda menyediakan tanah.

Untuk urusan infrastruktur dan prasarana Kementerian Perumahan Rakyat akan menyediakan, termasuk keterse­diaan fasilitas umum, sosial, mikrodrainase, saluran air dan listrik. Itu artinya, rumah tersebut siap huni dengan nilai bangunan yang dikreditkan senilai 20 juta sampai dengan 25 juta dengan cicilan sekitar Rp. 200.000 per bulan, untuk tipe 36. Sesuai amanat Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011, maka keluarga miskin dan berpenghasil­an rendah berhak atas rumah murah, dan hak ini harus dipenuhi oleh Pemda. (Ochi)

Kegiatan Dekonsentrasi Lingkup Kementerian Perumahan Rakyat Tahun 2011

sumber foto: Bagian Data dan Pelaporan, BPA

Page 32: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

32

Liputan

E nd of Cities, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Akhir Kota’ adalah sebuah tema jenius yang diangkat

pada Pertemuan Forum Perencana Muda Internasional (International Young Planners Forum – IYPF) ke­2 pada pertengahan Juli kemarin di Yogyakarta. Alasan dipilihnya tema tersebut dikarenakan pada saat ini kita telah memasuki milenium perkotaan. Tahun 2007 tercatat sebagai tahun bersejarah bagi umat manusia dengan ditandainya terjadi pergeseran demografis besar penduduk dunia, penduduk perkotaan lebih tinggi dari pada penduduk perdesaan untuk pertama kalinya.

Pada 2011, populasi dunia diperkirakan mencapai 7 miliar jiwa, sebagian besar dari mereka hidup di kawasan Asia. Tahun 2015 akan ada 358 kota dengan penduduk lebih dari 1 juta di seluruh dunia dan 153 kota tersebut ada di Asia. Kencenderungan populasi

yang mengkhawatirkan tersebut memberikan peringatan kepada kita bahwa kota menjadi sebuah ajang pertempuran untuk menentukan kalah atau menang kepada generasi masa depan. Banyak dari kota­kota besar dan mega­kota (megacities) di dunia mengalami kejatuhan. Makin memburuknya kemacetan, polusi yang semakin meningkat, bertambahnya ukuran dan jumlah kemiskinan serta permukiman kumuh dan liar dengan sanitasi buruk dan rendah pasokan air, adalah beberapa contoh bagaimana kita akan kehilangan tanah yang kita miliki.

Terlebih lagi kita di Asia Pasifik tinggal dalam sebuah jalur api (ring of fire) yang membuat kota­kota kita sangat rentan terhadap bencana. Yogyakarta pada tahun 2006 dan 2010 serta Jepang 2011 adalah sebagian contoh kecil bagaimana bencana datang tanpa pemberitahuan dan kota­kota tersebut hancur. Hal ini diperburuk lagi dengan makin meningginya suhu di dunia, membuat kota­kota besar kita tidak nyaman lagi sebagai tempat tinggal. Hal ini kemudian menjadi perhatian utama dari 150 peserta yang hadir, 45 peserta diantaranya dari mancanegara Malaysia, Australia, Singapura dan India.

Pemilihan kota Yogyakarta sebagai tempat penyelenggaraan IYPF kali ini bukan tanpa alasan. Dari sisi sejarah, kota Yogyakarta pernah menjadi ‘kota raja’ kerajaan Mataram Islam sekitar abad 15 sampai abad 16 tepatnya di kawasan Kota Gede. Sekitar abad 17 adanya Kasultanan Yogyakarta berdiri dengan pusat pemerintahan Keraton Yogyakarta berada di Desa Beringharjo. Pada masa awal berdirinya Republik Indonesia, Yogyakarta sempat menjadi ibukota negara pada kurun tahun 1945­1949. Pada tahun 1950 Yogyakarta mendapatkan status sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Awal tahun 2006, kota Yogyakarta diguncang oleh gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter dan tahun 2010 bencana kembali terjadi dengan

“End of Cities”Pertemuan Forum Perencana Muda Internasional

(International Young Planners Forum) ke-2Yogyakarta 13-15 Juli 2011

sumber foto: David A. Sagita/INFORUM

Pemukulan gong oleh Ir. Joessair Lubis, C.E.S. (Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang).

Page 33: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

33

meletusnya Gunung Merapi pada bulan Oktober. Selain bencana, Yogyakarta juga memiliki salah satu contoh praktek unggulan dalam penanganan permukiman kumuh yaitu penanganan kawasan permukiman di bantaran sungai Code oleh arsitek Indonesia Y. B. Mangunwijaya atau yang biasa dikenal dengan Romo Mangun.

Dalam pertemuan ini ada 3 sub tema yang dibahas untuk mendukung tema tersebut yakni; 1. Identifikasi Sistem Perencanaan di setiap negara peserta (Identifying Planning Systems in each members countries), 2. Konsep dari Kota Masa Depan (the Concept of Future Cities), 3. Penyusunan roadmap pembangunan Kota Masa Depan (Roadmap of the Future Cities). Selain itu, pertemuan ini bertujuan untuk memperbaharui deklarasi IYPF dan mendorong terbentuknya Forum Perencana Muda tingkat Asia Pasifik.

Pertemuan ini dibuka oleh Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal IAP Indonesia Ir. Bernardus R. Djonoputro. Dalam sambutannya Bernadus menyampaikan pentingnya membuat jejaring kerja sama di bidang perencanaan kota dan mengharapkan IYPF menjadi salah satu jejaring yang mampu mewujudkan itu. Kemudian acara dilanjutkan oleh pembacaan sambutan

Menteri Pekerjaan Umum yang dibacakan oleh Direktur Perkotaan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Ir. Joessair Lubis, C.E.S.. Dalam sambutannya Menteri Pekerjaan Umum menekankan bahwa pembangunan perkotaan di Indonesia harus mulai direncanakan dengan baik.

Selanjutnya sambutan Menteri Negara Perumahan Rakyat yang dibacakan oleh Staf Khusus Menteri Negara Perumahan Rakyat bidang Peran Serta Masyarakat Ir. Qoyum A. J., M.Si. menyampaikan tanggapan atas tema“End of Cities” dengan prespektif ‘PPP’ Perumahan, Perkotaan dan Peradaban. Rumah membentuk kota dan kota berujung pada peradaban sebuah bangsa. Jika kota­kota akan tamat riwayatnya, kenapa itu bisa terjadi dan kalau benar terjadi maka seperti apa bentuk kehidupan pasca­kota? Menteri

Negara Perumahan Rakyat juga menekankan bahwa nasib masa depan kota kita ada di tangan kaum muda, sehingga diharapkan pertemuan­pertemuan seperti IYPF tidak hanya menghasilkan sebuah kesepakatan yang ditanda­tangani oleh orang banyak tetapi juga menghasilkan sebuah program yang nyata serta dapat diimplementasikan di Indonesia.

Pada kesempatan ini juga diluncurkan 2 buah buku yaitu “the State of Asian Cities 2010/11” yang diterbitkan oleh UN­Habitat dan“State of Indonesian Cities 2010” yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Penataan

nasib masa depan

kota kita ada

di tangan kaum muda

sumber foto: istimewa

Page 34: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

34

Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Masing­masing buku tersebut diserahkan kepada pemangku kepentingan di bidang perkotaan yang diwakili oleh perwakilan lembaga akademis, pemerintah kota Yogyakarta, Yayasan Yogya Kota Kita, perwakilan YUF Indonesia, Ketua IAP Yogyakarta dan perwakilan peserta.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi pertama dengan topik diskusi ‘Apakah kita memiliki sistem perencanaan yang tepat dalam menjawab tantangan perencanaan saat ini?’ (Do we have the right planning system to address planning challenge today?). Untuk sesi kedua topik yang diangkat adalah ‘Apa yang kita mau dari kota kita di masa depan? (What do we want our future cities to be?). Kedua sesi ini menghadirkan 4 pembicara dari Malaysia, Singapura, Australia dan Indonesia dengan moderator Noorliza Hasyim, mantan Ketua Malaysia Institute of Planning.

Malam harinya para peserta diundang untuk menghadiri jamuan makan malam dari Walikota Yogyakarta. Pada kesempatan ini para peserta berkesempatan untuk melakukan diskusi ringan tentang bagaimana Walikota Yogyakarta menghadapi bencana yang terjadi di kota Yogyakarta. Pada hari kedua para perencana muda ini mengadakan sebuah pertemuan pararel dengan agenda khusus untuk membahas isi dari draft deklarasi IYPF Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh tim perumus dari Indonesia dan Malaysia.

Di lain kesempatan, Direktur Eksekutif IAP Indonesia mengemukakan “Forum ini dimaksudkan sebagai wadah tukar informasi antar perencana muda di wilayah Asia Pasifik mengenai permasalahan yang dihadapi kota­kota di regional. Kami berharap suara para perencana muda Asia­Pasifik dapat menggugah para pemimpin kota untuk menaruh perhatian lebih besar pada aspek keberlanjutan pembangunan kota”. (DVD)

Forum Perencana Muda International 13-15 Juli 2011

Yogyakarta, Indonesia

DEKLARASI RENCANA AKSI YOGYAKARTA

Mempromosikan pertukaran pengetahuan tentang perencanaan kota berkelanjutan

Setelah deklarasi yang dibuat di Kuala Lumpur Forum Perencana Muda Internasional perdana pada 18 Oktober 2010, kami, para perencana

muda dari Indonesia, Malaysia, Australia, dan Singapura telah berkumpul di Yogyakarta, Indonesia dari 13 ke-15 Juni 2011 untuk membangun kerjasama berdasarkan kebersamaan visi menuju kota layak huni dan berkomitmen untuk lebih meningkatkan masa kualitas kota-kota kita di masa depan dengan mencontoh dan menerapkan praktek perencanaan yang baik.

Membuat rencana aksi sebagai berikut:IYPF mendesak peserta: (a) untuk belajar dari praktek

perencanaan kota terbaik dan terburuk antara satu sama lain, (b) untuk mendukung agenda pemerintah dalam perencanaan kota berkelanjutan, (c) untuk secara aktif membantu Pemerintah untuk memecahkan berbagai masalah perkotaan dengan menelurkan ide-ide dan solusi, (d) untuk membentuk kemitraan strategis dengan berbagai pemangku kepentingan dalam melakukan penelitian dan dalam menerapkan rencana aksi pada perencanaan kota yang berkelanjutan.Kami juga akan mendorong peluang-peluang:1. Memperluas jejaring IYPF ke negara lain di wilayah

Asia-Pasifik;2. Melakukan pertukaran perencana internasional;3. Membangun sebuah situs yang diperbarui secara

ter atur untuk praktek perencanaan terbaik di setiap negara;

4. Menyelenggarakan pertemuan Forum Perencana Mu-da Internasional pada 2013 untuk mengevaluasi pen capaian rencana aksi ini dan mencari lokasi yang tepat.

Liputan

sumber foto: David A. Sagita/INFORUM

Page 35: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

35

Kementerian Perumahan Rakyat kembali mem-peroleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuang an Tahun Anggaran 2010. Opini WTP dari BPK ini merupakan yang kelima secara berturut-turut setelah-sebelumnya Kementerian Perumahan Rakyat memper-oleh WTP dari hasil audit BPK atas laporan keuangan Tahun Anggaran 2006-2009.

Opini WTP dari hasil audit BPK ini diterima lang-sung oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa yang diserahkan oleh Ketua BPK Hadi Purnomo pada acara Penyerahan Laporan Hasil Peme-riksaan di lingkungan Auditorat Keuangan Negara III Atas Laporan Keuangan Tahun 2010 di ruang Audito-rium Kantor Pusat BPK, Jumat (24/6) kemarin.

Menteri Negara Perumahan Rakyat menyatakan, prestasi Kementerian Perumahan Rakyat yang berha-sil mempertahankan opini WTP BPK ini harus bisa memacu semangat kerja para karyawan di lingkungan Kemenpera. Salah satunya adalah dengan membuat kebi-jakan perumahan yang pro rakyat.

“Adanya prestasi ini (opini WTP BPK-red) harus bisa meningkatkan kinerja seluruh karyawan Kemenpera ke depan,” ujar Suharso Monoarfa kepada sejumlah war-tawan.

Kementerian Perumahan Rakyat, ujar Suharso Mono-arfa, terus berupaya untuk mengatasi backlog (jumlah

akumulasi angka kekurangan rumah) yang ada di Indo-nesia. Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2010 lalu, diketahui angka backlog perumahan di Indonesia menca-pai angka lebih dari 13 juta unit.

“Kami berharap Pemerintah Daerah (Pemda) se-tempat bisa ikut memberikan perhatian khusus terhadap sektor atau bidang perumahan di daerahnya masing-ma sing. Kementerian Perumahan Rakyat dalam hal ini akan terus mendorong serta memberi stimulan baik melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) agar daya beli masyarakat terhadap perumahan bisa lebih ditingkat-kan”, tandasnya.

LHP atas Laporan Keuangan Kemenpera Tahun 2010 tersebut terdiri dari LHP yang memuat opini atas kewajaran laporan keuangan, LHP atas Sistem Pengen-dalian Intern (SPI), dan LHP atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

Sementara itu, Ketua BPK Hadi Purnomo me-ngatakan Jumlah Kementerian/Lembaga yang laporan keuangannya memperoleh opini WTP meningkat pada 2011. Dari 33 Lembaga Negara/Kementerian Negara/Lembaga Non Kementerian yang diperiksa oleh Audito-riat Keuangan Negara III, 70 persen WTP dan 30 persen Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Hadi Purnomo menambahkan pada tahun 2008, Kementerian/Lem-baga yang memperoleh opini WTP sebanyak 15 institusi sementara pada 2011 mencapai 22 institusi.

2011 Kemenpera Raih Opini WTP BPK ke-5

Menpera: Kinerja Kemenpera Harus Lebih Baik

2011 Kemenpera Raih Opini WTP BPK ke-5sumber foto: Bagian Humas dan Protokol Kemenpera

Page 36: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

36

Kemenpera Sosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011

Kementerian Perumahan Rakyat melakukan kegiatan sosialisasi

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu. Sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga dan seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan untuk memahami dalam pengambilan kebijakan yang terkait bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini adalah Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Yoseph Umar Hadi dan Staf Ahli Menpera Bidang Tata Ruang, Pertanahan dan Permukiman, Yusuf Yuniarto

dan Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo. Kegiatan yang dibuka oleh Deputi Bidang Pengembangan Kawasan Kemenpera, Hazaddin TS yang mewakili Sesmenpera Iskandar Saleh ini diikuti lebih dari 100 peserta yang berasal dari seluruh Deputi dan unit kerja lingkup Kemenpera, perwakilan Kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Pemerintah Daerah, asosiasi pengembang dan kalangan perbankan serta perguruan tinggi.

Menurut Yoseph Umar Hadi, dengan adanya Undang-Undang ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik, setidaknya ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam program pembangunan perumahan

dan kawasan permukiman di Indonesia. “Beberapa permasalahan itu antara lain keterbatasan lahan untuk perumahan, terutama di kota besar, harga tanah yang sangat mahal, Pemerintah Daerah tidak memiliki konsep penyediaan tanah untuk perumahan, konsep tata-ruang yang tidak jelas dan alih fungsi lahan”, tandasnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, imbuhnya, juga terdapat beberapa hal pokok yang menunjukkan adanya perhatian khusus dari pemerintah terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat. Hal-hal pokok itu yakni negara bertanggung jawab dalam menyediakan rumah, pemerintah harus lebih berperan terutama terhadap pemenuhan rumah bagi MBR, peningkatan kapasitas

Liputan

sumber foto: Bagian Humas dan Protokol Kemenpera

Page 37: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

37

kelembagaan yaitu, peningkatan status Menteri yang membidangi Perumahan dan Kawasan Permukiman dari kategori C menjadi B, adanya kewajiban negara yang di delegasikan secara merata dari Pusat sampai ke daerah, alokasi anggaran perumahan tidak hanya harus ada di APBN, tapi juga APBD, Revisi Tata Ruang, Konsolidasi Tanah dalam bentuk bank tanah, Kasiba dan Lisiba, alokasi anggaran untuk MBR, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman.

Perkuat Peran Pemerintah Daerah

Hal senada juga disampaikan Staf Ahli Menpera Bidang Tata Ruang, Pertanahan dan Permukiman, Yusuf Yuniarto. Dirinya mengungkapkan, Undang-Undang ini sebenarnya juga memperkuat peranan pemerintah daerah karena perumahan merupakan urusan wajib daerah.

“Grand design perumahan ingin menempatkan perumahan dalam suatu kawasan, Pembukaan UUD 1945 menyebutkan cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum, dan salah satu indikator kesejahteraan umum adalah perumahan,” terangnya.

Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kemenpera, Agus Sumargiarto menyatakan, sosialisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Kementerian Perumahan Rakyat merupakan salah satu bentuk penyebarluasan kebijakan sektor perumahan dan kawasan permukiman. “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 juga menjadi pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,” ujarnya.

Menurut Agus Sumargiarto,

pemerintah ke depan terus berupaya membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam pemenuhan kebutuhan rumah. Oleh karena itu, Kementerian Perumahan Rakyat yang bertanggungjawab sebagai sektor yang menangani bidang perumahan dan kawasan permukiman dirasa perlu melakukan sosialisasi Undang-Undang baru ini.

“Sosialisasi ini dilakukan dalam rangka mengintegrasikan kebijakan di sektor perumahan dari pusat sampai daerah. Selain itu juga untuk menjawab berbagai permasalahan-permasalahan yang ada dalam program pembangunan perumahan dan kawasan permukiman,” katanya. Agus berharap, melalui sosialisasi ini akan muncul sinergi positif dalam pengambilan kebijakan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman di masa mendatang. Apalagi rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat serta menjadi aset bangsa dan tolok ukur kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo menyatakan, pihaknya sangat menyambut baik adanya Undang-Undang ini. Sudaryatmo melihat kelahiran Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman sekurang-kurangnya dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, Undang-Undang ini merupakan jawaban solusi atas berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat dalam pengadaan perumahan, baik yang dibangun

oleh pemerintah maupun oleh pengembang swasta.

“Salah satu batu uji keberhasilan Undang-Undang ini adalah apakah Undang-Undang ini bisa menekan sengketa/masalah yang mucul di masyarakat dalam pembangunan perumahan di masa yang akan datang”, harapnya.

Sedangkan perspektif yang kedua, katanya, Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat menjadi alat rekayasa sosial (social engineering) dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di masa yang akan datang. Dengan demikian, melalui Undang-Undang perumahan dan kawasan permukiman ini kita semua dapat membayangkan situasi seperti apa kondisi perumahan dan kawasan permukiman lima atau sepuluh tahun yang akan datang.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman menegaskan bahwa rumah berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga yang mendukung perikehidupan dan penghidupan juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan penyiapan generasi muda. Kebutuhan rumah bagi masyarakat dapat dilakukan dengan kepemilikan dengan cara sewa maupun cara lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Meskipun pada dasarnya pemenuhan kebutuhan rumah merupakan tanggung jawab masyarakat secara mandiri, namun dukungan pencapaiannya membutuhkan pelibatan pemerintah, pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota serta para pemangku kepentingan bidang perumahan dalam merealisasikannya.

salah satu indikator

kesejahteraan umum adalah perumahan

Page 38: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

38

Rapat Koordinasi Dekonsentrasi Lingkup Kementerian Perumahan

Rakyat Tahun 2011 telah dilaksanakan pada tanggal 20­22 Juli 2011 di Hotel Ambara, Jakarta. Acara Rapat Koordinasi ini dihadiri oleh peserta sebanyak 105 orang, yang terdiri dari 72 orang utusan SKPD (KPA, PPK, dan Bendahara Pengeluaran) dan 33 orang TAPP dari 33 Provinsi. Selain itu Rapat Koordinasi dihadiri juga oleh para pejabat di lingkungan kedeputian Kementerian Perumahan Rakyat dan 2 orang narasumber dari Kementerian Keuangan, yaitu Direktur Pelaksana Anggaran, Ditjen Perbendaharaan (drs. Tri Buwono Tunggal) dan Kepala Seksi Subdit Pelaksana Anggaran Direktorat Perbendaharaan (drs. Burhani, M.M.).

Pelaksanaan kegiatan Rapat Koordinasi menampilkan pemaparan materi terkait pelaksanaan Dekonsentrasi Tahun 2011 dan disampaikan oleh para narasumber baik dari Kemenpera maupun dari Kemenkeu. Sistem yang digunakan adalah diskusi interaktif dan tanya jawab yang dibagi dalam 3 kelompok, masing­masing Kelompok Perencanaan, Kelompok Pelaksanaan dan Kelompok Pelaporan.

Kegiatan Dekonsentrasi Tahun 2011 telah dimulai pada bulan Maret 2011 dan telah menyelesaikan

beberapa rangkaian kegiatan antara lain sosialisasi kebijakan bidang perumahan dan kawasan permukiman provinsi dan sebahagian kegiatan peningkatan kapasitas daerah dalam hal perencanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Rapat Kerja bertujuan untuk meningkatkan sinergitas dan efektivitas pelaksanaan Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera Tahun 2011 serta dalam rangka penyiapan kegiatan Dekonsentrasi Tahun 2012. Disamping itu juga sebagai upaya peningkatan kapasitas Tenaga Ahli

Perumahan Provinsi (TAPP) dan SKPD terkait.

Rencana tindak lanjut kegiatan Rapat Koordinasi Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera Tahun 2011 antara lain bahwa Kementerian Perumahan Rakyat akan mengirimkan surat kepada setiap SKPD Provinsi terkait tingkat penyerapan alokasi dana/anggaran yang rendah dalam rangka meningkatkan kinerja provinsi, serta melakukan koordinasi penyusunan anggaran kegiatan Dekonsentrasi Tahun 2012 antara Kemenpera dan SKPD Provinsi.

Rapat Koordinasi Dekonsentrasi Lingkup Kemenpera Tahun 2011Jakarta 20-22 Juli 2011

Liputan

sumber foto: Sekretariat Dekonsentrasi Kemenpera

Suasana Kelas B (Peserta SKPD) pada hari kedua (21 Juli 2011) tentang Pemaparan Tata Cara Pencairan Revisi DIPA Dekonsentrasi.

Page 39: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

39

Kementerian Perumahan Rakyat dalam rangka Per­ingatan Hari Perumahan

Nasional (HAPERNAS) menyeleng­garakan Workshop “Kerjasama Kemi­traan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Rumah Murah” di Hotel Bidakara Jakarta. Workshop ini diharapkan dapat menjadi upaya dan usaha untuk mencari dan merumus­kan langkah­langkah kebersamaan para mitra dalam mewujudkan rumah murah untuk rakyat

Salah satu tujuan workshop ini adalah sebagai sarana sosialisasi dan pendalaman pemahaman kebijakan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman termasuk penyelenggaraan rumah murah. Hapernas sendiri diperingati setiap tahunnya pada tanggal 25 Agustus, dan tahun ini mengambil tema “Dengan Sinergi Pusat, Daerah dan Mitra, Kita Wujudkan Rumah Murah untuk Rakyat”.

Kegiatan ini dibuka oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa dan dihadiri sekitar 500 peserta dari Pemerintah, Pemda, Perbankan, Badan Usaha (BUMD, BUMD, Mitra Swasta, Koperasi), Badan Nirlaba (Asosiasi perusahaan dan profesi, Yayasan, Perhimpunan), serta media massa. Bertindak sebagai pembicara dalam workshop ini antara lain Iskandar Saleh (Sesmenpera), Yosef Umar Hadi (DPR­RI), Michel Sudarskis (Secretary General INTA), dan Effendi Gazali (Dosen UI).

Dalam kesempatan ini juga ditandatangani sebuah MOU (Memorandum of Understanding)

kerjasama dan kemitraan Pemerintah, Badan Usaha dan Badan Nirlaba tentang kerjasama dan kemitraan untuk rumah murah. Seperti yang kita ketahui bersama Pemerintah beberapa waktu lalu meluncurkan program pro­rakyat salah satunya adalah penyediaan rumah murah bagi MBR. Rumah murah ini diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan antara Rp 1,2 juta hingga Rp 2,5 juta dengan harga sebesar Rp 20­25 juta per unit. Rumah murah merupakan program pro­rakyat yang diwujudkan dengan sinergitas pemerintah, melalui dukungan penyediaan PSU, pembebasan harga tanah, dan biaya perizinan dalam membangun perumahan.

Selain terjangkau oleh masyarakat, dan juga rumahnya tersedia di pasaran, bagaimana pun

rumah tersebut harus layak huni, yaitu handal, memenuhi kecukupan luas minimum, dan menjamin kesehatan bagi penghuninya, dan berada pada lingkungan perumahan yang sehat dan aman, serta dibangun sesuai RTRW, ada kepastian Hak Atas Tanah dan IMB, serta dukungan infrastrukturnya memadai.

Hasil workshop ini mencakup program atau rencana aksi guna mempercepat perwujudan rumah murah bagi masyarakat Indonesia. Dalam kesempatan ini juga dilakukan Deklarasi pemangku kepentingan industri perumahan dan kawasan permukiman dalam mendukung program penyelenggaraan rumah murah yang ditandatangani oleh para stakeholder perumahan diantaranya Perum Perumnas, DPP Apersi, DPP REI, Asbanda, IAI, IAPPI, MP3I dan IAP. *AP

Peringati Hapernas,

Kemenpera Adakan Workshop dan Pameran Kerjasama Kemitraan Pemangku Kepentingan Dalam Penyelenggaraan Rumah Murah

sumber foto: Bagian Humas dan Protokol Kemenpera

Page 40: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

40

Tidak dapat dipungkiri, akhir­akhir ini khususnya di kota­kota besar marak berkembang kawasan perumahan elit dengan pola klaster (cluster). Pola

ini akhirnya membentuk kelompok eksklusif pada area perumahan dan permukiman yang berpotensi memicu timbulnya berbagai masalah yang terkait dengan tata ruang maupun problem sosial. Sinyal permasalahan ini sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dengan mencanangkan program hunian berimbang (LHB) 1:3:6 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 4/KPTS/BKP4N/1995 yang merupakan ketentuan lanjutan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 648­384 tahun 1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian Ber­imbang.

Dalam Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 diamanatkan kembali tentang konsep hu­nian berimbang yang menekankan pada pembangunan perumahan dengan konsep pemenuhan 1 Rumah mewah 3 rumah menengah dan 6 Rumah Sederhana Sehat. Konsep ini diharapkan dapat menciptakan harmonisasi lingkungan perumahan yang apabila dikembangkan dalam skala besar akan mendukung dan menciptakan tingkat hunian yang nyaman di perkotaan.

Lalu bagaimana dengan kesiapan para pengembang dalam menyukseskan program ini? Ditengarai apabila diterapkan akan banyak pengembang yang enggan melak­sanakan konsep hunian tersebut, apalagi di perkotaan yang harga tanahnya sudah melambung tinggi. Bagi Perumnas konsep hunian berimbang 1:3:6 bukan meru­pakan hal baru mengembangkan kawasan perumah an dan permukiman skala besar. Namun seiring dengan mahalnya harga tanah khususnya di perkotaan, konsep ini mejadi su­lit untuk diterapkan oleh Perumnas maupun pengembang yang lain.

Menyikapi hal ini Perumnas bersama dengan pe­ngembang lain membutuhkan insentif, misalnya berupa keringanan pembayaran PBB serta peran pemerintah daerah dalam penyediaan lokasi dan pengendalian harga tanah. Prinsip Perumnas sebagai satu satunya BUMN pengembang dengan tugas pokok serta fungsi sebagai

penyedia perumahan bagi MBR, siap bersinergi dengan pengembang swasta yang dirasa kesulitan mengembang­kan rumah sejahtera tapak. Untuk itu, Perumnas membutuhkan penunjukan khusus sebagai bagian dari komitmen pemerintah dalam melaksanakan proyek tersebut. Perumnas yang telah 37 tahun berkiprah dalam pengembangan perumahan dan permukiman skala besar sangat mengapresiasi adanya konsep hunian berimbang 1:3:6 ini, namun dirasa masih ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan Perumnas dalam melaksanakan program ini diantaranya adalah masalah pendanaan serta masalah penyediaan lahan.

Masalah pengadaan lahan yang selama ini menjadi benturan bagi para pengembang tidak terkecuali Perum­nas harus menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah. Dalam hal ini Perumnas membutuhkan land bank yang cukup untuk dapat menjalankan progam kerjanya dan untuk memaksimalkan progam tersebut. Pemerintah dapat memberikan lahan non produktif yang lokasinya sudah tidak tepat untuk industri atau perkebunan, se­hingga memungkinkan untuk melakukan implementasi konsep hunian berimbang. Dengan adanya pengelolaan land banking maka harga tanah dapat dikendalikan. Akan sangat sulit apabila di satu sisi harga tanah melambung tinggi namun di sisi lain para pengembang diwajibkan untuk membangun Rumah Murah atau Rumah Seder­hana Tapak/Susun. Hal ini merupakan anomali yang berdampak pada kalkulasi biaya yang mempengaruhi keuntungan para pengembang. Sehingga program ini kurang diminati tidak terkecuali Perumnas. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah ke depan agar program ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Program hunian berimbang 1:3:6 memang dapat dijadikan koridor awal dalam mengawal kesejahteraan rakyat khususnya untuk kecukupan kebutuhan peru­mahan dan permukiman namun tetap mengedepankan aspek tata ruang dan sosial dimana diharapkan mampu menciptakan lingkungan hunian yang harmonis, teratur dan tentunya dapat meminimalisir gejolak­gejolak sosial yang diakibatkan oleh penataan konsep premukiman yang kurang baik. Maka tidak terlalu berlebihan apa­bila Perumnas Siap menjadi garda depan pembangunan perumahan dan permukiman dengan konsep hunian berimbang di Indonesia.

Perumnas Garda Depan Penyedia Hunian BerimbangHimawan Arief Sugoto, Direktur Utama Perumnas

Kata Pemangku Kepentingan

Page 41: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

41

Tanya Jawab Perumahan

Tanya:Program Rumah Murah dan FLPP

Dengan hormat, yang ingin saya tanyakan :1) Bank mana yang dapat saya hubungi untuk

mendapatkan informasi tentang FLPP atau Program Rumah Murah?

2) Dinasapa di Kabupaten Bandung yang menangani program di atas?SofianSauri

Jawab:Saudara Sofian, terima kasih atas pertanyaannnya, berikut

jawaban kami:

- Bank yang dapat dihubungi tentang program FLPP KPR Sejahtera adalah BTN dan Bukopin, sedangkan untuk Bank Pembangunan Daerah adalah BPD NTT, BPD Sumatera Utara Konvensional dan Syariah, BPD Kalimantan Timur, BPD Papua, BPD Sumatera Selatan Bangka Belitung, BPD Riau Kepri Konvensional dan Syariah.

- Peraturan untuk menunjang Program Rumah Murah masih dalam persiapan karena memerlukan pembahasan lebih lanjut tentang perijinan dan penyediaan tanah.

- Di Bandung, silahkan hubungi BTN, BNI ’46 dan Bukopin untuk mendapatkan keterangan lebih rinci tentang Program KPR Sejahtera FLPP. Dinas Perumahan tidak menangani program FLPP KPR.

Tanya:Lokasi perumahan yang ikut program KPR bersubsidi PNS

Salam, saya sudah coba hubungi nomor telepon BLU Pusat Pembiayaan Perumahan tapi tidak diangkat padahal masih jam kerja, boleh saya minta informasi dimana saja lokasi perumahan yang ikut program KPR Bersubsidi PNS.

Aditya

Jawab:Terima kasih Saudara Adhitya.

- Nomor telepon BLU Pusat Pembiayaan Perumahan Kemenpera adalah 021-7220050

- Program KPR Bersubsidi tidak ada dan telah diganti dengan KPR Sejahtera dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR Sejahtera FLPP) untuk masyarakat

berpenghasilan rendah, yaitu KPR dengan bunga satu digit sepanjang masa tenor. Persyaratan KPR Sejahtera FLPP adalah : - Belum pernah memiliki rumah/hunian - Belum pernah menerima subsidi perumahan - Mempunyai penghasilan max Rp 2,5 juta/bulan - Memiliki NPWP dan SPT Tahunan Pph Orang Pribadi

- Bunga kredit melalui FLPP sebesar 8,15-8,50% untuk rumah sejahtera tapak dengan uang muka minimal 10%. Adapun suku bunga FLPP yang ditetapkan untuk rumah sejahtera susun antara 9,25% hingga 9,95% dengan uang muka minimal 12,5%.

- Tentang lokasi perumahan yang dapat dibeli melalui KPR Sejahtera FLPP lebih jelasnya silahkan ditanyakan kepada Bank Pelaksana Penerbitan KPR Sejahtera FLPP. Mereka mempunyai daftar pengembang yang membangun rumah sejahtera.

sumber foto: istimewa

Page 42: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Intermezzo

akarta, Ibu kota yang menjadi harapan besar

bagi setiap pendatang dari penjuru daerah untuk

mengais rezeki. Banyak pendatang baru yang mencoba

mencari peruntungan di Jakarta. Ada yang hanya bermodal nekad saja. Jakarta kini sudah bukan milik masyarakat Betawi saja tapi merupakan kebanggaan dan milik seluruh masyarakat Indonesia yang ingin hidup di Ibu kota. Pertanyaannya adalah, bagaimana keadaan masyarakat Betawi itu saat ini? Apakah mereka termarjinalkan oleh para pendatang baru yang memiliki modal yang kuat untuk memiliki dan membangun Jakarta?

Menguatkan Eksistensi Melalui Perkampungan Budaya Betawi

Jawabannya Tentu tidak. Masyarakat Betawi asli kian menguatkan eksistensinya melalui Perkampungan Budaya Betawi.Salah seorang tokoh masyarakat Betawi yang dijumpai INFORUM, Imron, yang juga menjabat sebagai Kasi Pemberdayaan Masyarakat di Suku Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Selatan, mengatakan bahwa mereka tidak merasa termarjinalkan, oleh para pendatang.

“Melihat latar belakang bahwa komunitas Betawi itu semakin berkurang dan karena kebesaran hatinya untuk pembangunan kota Jakarta, orang Betawi dengan suka rela mau melepaskan tanahnya dan pindah ke wilayah lebih pinggir, bukan termajinalkan. Dia dengan sadar, kalau dia tidak mau melepas

tanahnya, pendatang tidak bisa ke sini. Jakarta tidak bisa dibangun. Jadi, tumbuhnya Jakarta karena kesadaran mereka”, tutur Imron.

Pernyataan Imron tersebut sekaligus menjawab latar belakang dibangunnya Perkampungan Budaya Betawi. Lebih jauh lagi Imron menuturkan bahwa dengan adanya perkampungan Budaya Betawi ini dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai budaya Betawi.

“Orang supaya cinta terhadap budaya Betawi perlu ditanamkan rasa memiliki, rasa cinta,dan harus tumbuh berkembang. Karena ada falsafahnya seni akan berkembang pada masyarakat yang masyarakatnya itu sendiri cinta terhadap seni”, ujar Imron.

Sementara yang menjadi alasan

mengapa Setu Babakan dijadikan pilihan untuk pembangunan Perkampungan Budaya Betawi adalah karena letaknya lebih asri dan aset pemda ada di sini yaitu Setu Babakan dan Setu Manga Bolong, kata Imron.

Perkampungan Budaya Betawi Khusus untuk Masyarakat Betawi Asli

Perkampungan Budaya Betawi yang dibangun di kawasan seluas ± 289 Ha ini dikhususkan untuk Masyarakat Betawi Asli dalam rangka melestarikan Budaya Betawi dan ditetapkan lewat Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Kawasan Perkam-pungan Budaya Betawi. Lalu, bagaimana dengan pendatang yang ingin tinggal di Perkampungan Budaya Betawi? Imron tentu memiliki jawaban sendiri untuk hal

Menguatkan Eksistensi Masyarakat Betawi MelaluiSETUBABAKAN

Perkampungan Budaya Betawi

Gerbang Masuk Perkampungan Budaya Betawi.

sumber foto: Sri/INFORUM

42

Page 43: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

43

ini.“Pendatang seharusnya mengerti dan

paham. Bahwa ini kepentingan budaya, karena pembinaan harkat martabat generasi muda hanya bisa dilakukan melalui perekat budaya. Orang kalau sudah bicara perekat persatuan dan kesatuan melalui ekonomi dan politik akan pecah”, tutur Imron.

Dari pernyataan tersebut tersirat bahwa perkampungan Budaya Betawi ini tertutup bagi pendatang. Dalam artian, hanya diperuntukkan bagi masyarakat Betawi Asli untuk tinggal di wilayah tersebut. Akan tetapi INFORUM menemukan ada Kepala Keluarga yang berasal dari luar tinggal di Kawasan ini. Salah seorang petugas penjaga keamanan yang dijumpai INFORUM mengatakan bahwa Kepala keluarga itu sudah lama mendiami wilayah tersebut jauh sebelum Perkampungan Budaya Betawi dibangun.

Adapun batas fisik dari perkampungan Budaya Betawi adalah sebelah Barat Jl. Mochamad Kahfi. Sebelah Timur Jl. Desa Putera, dan di Sebelah Selatan sampai batas tanah baru Jawa Barat. Demikian tutur Imron. Untuk mencapai Perkampungan Budaya Betawi ini kita bisa menggunakan Kopaja 616 dari arah Blok M menuju ke Cipedak.

Areal Situs Membedakan Perkampungan Budaya Betawi dari Pekampungan Lainnya

MeskipunPerkampungan Budaya Betawi ini dikhususkan untuk masyarakat Betawi asli bukan berarti masyarakat luar tidak bisa masuk ke kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Sebagai salah satu kawasan yang

memiliki tempat rekreasi yang menarik, tentunya terbuka untuk semua orang yang ingin berkunjung dan menikmati hiburan yang ada. Areal Situs Perkampungan Budaya Betawi yang merupakan ciri atau pembeda Perkampungan Budaya Betawi dengan Perkampungan lainnya menjadi pilihan rekreasi murah dan biasanya digunakan sebagai sarana pementasan Budaya Betawi.

Masyarakat Betawi Terikat Aturan Perda Bagi Masyarakat Betawi yang tinggal

di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, mereka terikat dengan aturan

yang tertuang dalam Peraturan Daerah.Hal senada dituturkan oleh Imron bahwa aturan yang ditetapkan untuk Masyarakat Betawi yang tinggal di kawasan ini adalah berupa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 seperti yang telah diulas pada bagian awal.

“Aturan yang mengikat masyarakat Betawi yang tinggal di kawasan ini adalah Perda. Di dalam kawasan itu kita minta masyarakat Betawi maupun non Betawi untuk menyesuaikan diri, membina, melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi. Kita tidak memaksa mereka.Itu

melalui kesadaran masyarakat untuk membangun budayanya”, terang Imron.

Dalam perjalanannya Perkampungan Budaya Betawi dikawal oleh Satgas Perkampungan Budaya Betawi (Satuan Gerakan Sosial Perkampungan Budaya Betawi) yang tentu saja tujuan utamanya adalah untuk mengawal terbangunnya Perkampungan Budaya Betawi. Selain itu, ada juga Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang bertugas dalam mengelola dan melakukan pembinaan di dalam kawasan ini. Lembaga ini diketuai oleh Abdul Syukur dan beranggotakan 14 orang dari masyarakat yang dipilih melalui proses pemilihan dan pencalonan sekaligus sebagai mitra kerja pemerintah. Sri

Galeri Perkampungan Budaya Betawi. Galeri ini berfungsi

sebagai gedung untuk memamerkan hasil industri rumah tangga,

prototipe alat musik, pakaian adat.

Apa saja yang ada di dalam Kawasan Areal Situs Budaya Betawi?

Kantor Pengelola Pusat Informasi. Para pengelola maupun tokoh

masyarakat Perkampungan Budaya Betawi bisa ditemui di kantor

ini.

sumber foto-foto: Sri/INFORUM

Page 44: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

44

Buku ini membahas perubahan sosial di kota-kota Indonesia selama proses dekolonisasi. Gejolak politik pendudukan

Jepang dan revolusi Indonesia, dan langkah-langkah pertama untuk membangun bangsa yang berdaulat yang memiliki dampak besar bagi masyarakat perkotaan. Perubahan-perubahan sosial yang dipelajari dari sudut ruang perkotaan secara umum, dan penyediaan perumahan pada khususnya. Fokus buku ini terletak pada masalah yang ada di perumahan sehari-hari, dan kombinasinya pada tingkat analisis lokal, serta memberikan wawasan segar tentang bagaimana pengalaman orang-orang pada zaman dekolonisasi.

Pada paruh pertama buku, penulis mencoba mempertanyakan kembali tentang gagasan dari pergeseran perbedaan etnis dan kelas dan perubahan sosial yang terjadi selama dekolonisasi dan berpendapat

sebaliknya bahwa dalam masyarakat perkotaan kolonial sudah terbentuk garis pemisah perbedaan

kelas yang dominan. Bagian kedua buku ini berfokus pada pergeseran keseimbangan kekuasaan antara agen-agen utama dalam arena perkotaan.

Beberapa topik khusus yang disajikan dalam buku ini adalah: ketegangan antara otoritas sipil dan militer; kebencian yang berkembang di antara penduduk kota tentang persyaratan ijin tinggal, program bangunan publik, korupsi, polisi pamong praja; permainan kucing dan tikus diantara penduduk kampung dan perkotaan administrasi; dan pergeseran keseimbangan kekuasaan antara tuan tanah dan penyewa.

Melalui penggunaan sumber-sumber sejarah yang sampai sekarang tidak terpakai, buku ini menyajikan kekayaan data baru tentang kota Indonesia dan proses dekolonisasi selama dekade tahun 1940-an dan 1950

Pengelolaan Pengetahuan

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk

laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Hal tersebut sejalan dengan, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, mengamanatkan kepada semua Kementerian/Lembaga termasuk didalamnya Kementerian Perumahan Rakyat untuk mengintegrasikan PUG pada saat menetapkan kebijakan, menyusun program dan kegiatan masing-masing.

Dalam rangka menjalankan amanat tersebut, Kementerian Perumahan Rakyat bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak telah menyusun Buku Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Bidang

Perumahan dan Kawasan Permukiman (Buku Panduan PPRG bidang PKP).

Panduan tersebut berisi arahan mengenai tata cara pengintegrasian isu gender ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran di Kementerian Perumahan Rakyat, dimana penerapan tersebut dilakukan melalui pendekatan Alur Kerja Analisis

Gender (Gender Analysis Pathway) dan Anggaran Responsif Gender (Gender Budget

Statement).Dengan terbitnya Buku Panduan

Perencanan dan Penganggaran yang Responsif Gender bidang Perumahan

dan Kawsan Permukiman, diharapkan seluruh perencana, pelaksana serta penentu

kebijakan di lingkungan Kementerian Perumahan Rakyat dapat menggunakannya

sebagai acuan dalam menyusun perencanaan dan penganggaran yang efisien, efektif, dan berkeadilan bagi perempuan, laki-laki, lansia dan anak serta orang dengan kebutuhan khusus (disable) di bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Resensi

Judul: Under Construction: the Politics

of Urban Space and Housing During the Decolonialization of

Indonesia, 1930-1960Penulis:

Freek ColombijnPenerbit: KITLV Press

Tahun: 2010

Judul: Panduan Perencanaan dan

Penganggaran yang Resposif Gender: Bidang Perumahan dan

Kawasan Permukiman Penerbit: Kementerian

Perumahan RakyatTahun: 2011

Page 45: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

45

Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada tanggal 12 Januari 2011, maka perlu ditindaklanjuti dengan sosialisasi serta penyebarluasan Undang-Undang dimaksud.

Salah satu cara penyebarluasan Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, maka dibuatlah Film Animasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 guna mempermudah masyarakat dalam memahami kandungan dari isi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Film animasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 bertemakan “Warung Pak Roem” yang memiliki 4 (empat) buah judul, yaitu: Animasi pertama dengan judul “Jangan Asal Bangun”;Animasi Kedua dengan judul “Obral Tanah Air”;Animasi Ketiga dengan judul “Calo”; danAnimasi keempat dengan judul “Pahlawan Kesiangan”.

Film animasi ini dicopy dalam bentuk DVD dan disediakan dengan berbagai format file, yaitu format flv, format mp4, dan format mpg.

Kursus Pelatihan tentang Hak Tanah, Properti dan Perumahan di Dunia Islam diadakan oleh Global Land Tool Network (GLTN) yang merupakan bagian dari jejaring aktivis Islam dalam bidang pertanahan.

Di negara-negara yang menerapkan hukum Islam, teori dan praktek merupakan hal penting yang memiliki kontribusi penting terhadap akses penyediaan lahan. Karena itu GLTN bertujuan untuk salah satunya melakukan identifikasi dan mengembangkan instrumen pertanahan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam serta studi kasus melalui proses silang-budaya, interdisipliner dan bersifat global, tidak hanya yang dimiliki oleh umat Islam tetapi

masyarakat sipil dan mitra pembangunan lainnya.

Kursus pelatihan ini dirancang sebagai pengantar ke lapangan dan dibagi menjadi delapan

modul yang mandiri serta bertujuan agar dapat digunakan di lingkungan

masyarakat Islam secara luas. Secara umum modul ini disusun untuk mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam melengkapi modul ini ke depan. Sebagai tambahan, modul juga dilengkapi dengan panduan untuk fasilitator dan lampiran-lampiran yang diambil dari proses yang berjalan selama pelatihan.

Kelompok sasaran untuk pelatihan ini adalah para pengambil kebijakan,

peserta pemula atau sarjana strata satu tanpa pengetahuan tentang Hukum

Pertanahan Islam tetapi memiliki pengalaman dasar dengan masalah pertanahan di dunia Islam.

Kursus Pelatihan tentang Hak Tanah, Properti dan Perumahan di Dunia Islam (CD)

Film Animasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 (DVD)

Info CD

Page 46: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

46

Habitat Indonesiahttp://www.habitatindonesia.org/index.php/home

Habitat for Humanity Indonesia merupakan bagian dari organisasi non-profit Habitat for Humanity International.Berkantor pusat di Jakarta, didirikan pada 1997 sebagai sebuah yayasan nasional. Sejak kiprahnya di Indonesia, Habitat for Humanity Indonesia telah melayani 19.850 kelu-arga agar memiliki rumah yang layak huni di 13 provinsi. Saat ini, Habitat for Humanity Indonesia telah bermitra dengan lebih dari 40 organisasi internasional dan LSM nasional, lembaga-lembaga keuangan mikro, koperasi, serta lembaga-lembaga keagamaan. Bermitra dengan lebih dari 250 Perusahaan, Yayasan, Organisasi PBB serta pemerintah lokal. Hingga saat ini, Habitat for Humanity Indonesia telah memobilisasi 2.600 sukarelawan lokal dan 3.200 relawan asing.

MUKIMITShttp://www.mukimits.com

Situs ini dikelola oleh Laboratoruim Perumahan dan Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Perumahan dan Permukiman. Pada situs ini kita dapat menemukan beberapa publikasi yang ditulis oleh beberapa peneliti senior di bidang perumahan dan permukiman seperti Prof. Ir. Johan Silas dan Prof. Dr. Happy Ratna, S, M.Sc.. Situs ini juga memuat penelitian terkini yang sedang dilakukan oleh para anggota labotariumnya, se-hingga situs ini sangat menarik untuk menjadi rujukan berbagai pihak yang tertarik dengan bidang perumah-an dan pemukiman.

US. Department of Housing and Urban Developmenthttp://Portal.hud.gov/portal/page/portal/HUDMerupakan situs resmi pemerintah Amerikas Serikat yang menangani bidang perumahan rakyat. Situs ini memberi-kan kemudahan bagi para pengunjungnya dalam pencari-an informasi bidang perumahan yang dibutuhkan. Para pengunjung situs ini dapat pula mencari informasi dan membeli rumah melalui pilihan-pilihan yang ada pada aplikasi “I want to”. Situs ini dapat menjadi panduan yang bermanfaat bagi pengunjung atau masyarakat yang me-merlukan informasi perumahan.

Info Situs

HRChttp://www.hrcjogja.org/index.phpHousing Resource Center (HRC) pada awalnya diinisiasi oleh Kementerian Perumahan Rakyat dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sebuah program untuk mendukung penguatan bantuan teknis pemerin-tah daerah dalam melayani publik di DIY dan seki-tarnya. HRC merupakan lembaga madani bergerak pada bidang perumahan dan perkotaan, berperan sebagai perantara integratif antar-stakehoders perumahan dan perkotaan untuk meningkatkan sinergi sumberdaya pada pemerintah, dunia usaha, kalangan profesi, akademisi, dan masyarakat dalam upaya bersama menyediakan perumahan dan perkotaan yang sehat, layak huni, dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, HRC menyelenggarakan pelatihan, workshop dan seminar di bidang perumahan dan pengembangan perkotaan, yang dilakukan sepanjang tahun.

Pengelolaan Pengetahuan

Page 47: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

47

Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 648-384 Tahun 1992 Nomor: 739/KPTS/1992 Nomor : 09/KPTS/1992tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang

Regulasi

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14/PERMEN/M/2006tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 15/PERMEN/M/2006tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengem bang an Kawasan Nelayan

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 16/PERMEN/M/2006tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Kawasan Industri

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 17/PERMEN/M/2006tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengem bang an Perumahan Kawasan Perbatasan

Peraturan Menteri Negara erumahan Rakyat Nomor 31/PERMEN/M/2006tentang Petunjuk Pelaksanaan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/PERMEN/M/2006tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 33/PERMEN/M/2006tentang Pedoman Tatacara Penunjukkan Badan Pengelola Kawasan Siap Bangun dan Penyelenggara Lingkungan Siap Bangun yang Berdiri Sendiri

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 34/PERMEN/M/2006tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU)

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/IX/1999tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D)

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 08 Tahun 2010tentang Tata Kearsipan Kementerian Perumahan Rakyat

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 06 Tahun 2010tentang Pola Klasifikasi Arsip Kementerian Perumahan Rakyat

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 07 Tahun 2010tentang Tata Naskah Dinas Kementerian Perumahan Rakyat

Page 48: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

48

Leflet

Indonesian Houses: Tradition and Transformtion in Vernacular Architecture Penerbit: KITLV Press (2004)

Indonesian Houses, Volume 2: Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia Penerbit: KITLV Press (2009)

Info Pustaka

Laporan Kinerja Kemenpera 2010

Buletin Tata RuangBadan Koordinasi Penataan Ruang NasionalMei-Juni 2011

Deputi Bidang Perumahan FormalKementerian Perumahan Rakyat

Pelaksanaan Integrasi Kegiatan Peningkatan Kualitas Kampung

Deputi Bidang Perumahan SwadayaKementerian Perumahan Rakyat

Tahapan Pelaksanaan Program Stimulan Pembangunan Perumahan Swadaya Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Melalui Lembaga Keuangan Mikro/Lembaga Keuangan Non Bank (LKM/LKNB)

Majalah/Jurnal

Buku:

Pengelolaan Pengetahuan

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Laporan

Page 49: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

49

Cintaku di Rumah Susun (1987)

Tahun: 1987 Genre: Komedi

Sutradara: Nya Abbas Akub Pemain: Deddy Mizwar, Eva Arnaz, Asmuni,

Rima Melati Penulis Naskah: Nya Abbas Akub

Cintaku di Rumah Susun adalah sebuah film komedi besutan Nya Abbas Akub dan bercerita tentang kehidupan dari penghuni yang beragam di sebuah rumah susun sederhana. Film ini dibuat ketika rumah susun mulai diperkenalkan di Indonesia di dekade 1980-an. Tokoh utamanya adalah Somad (Deddy Mizwar) yang walau sudah cukup umur namun belum juga memiliki istri. Ada juga Badrun (Doyok Sudarmadji) lalu Zuleha (Eva Arnaz), si simpanan Gandun (Galeb Husein), yang sering menganggu Somad. Galub sendiri punya anak yaitu Enka (Meta Armys) yang ditaksir oleh Somad dan juga ada pula Asmuni sang ketua RT dan Mastun (Rima Melati) yang sering menunggak sewa. Interaksi antara penghuni rumah susun inilah yang mengurai jalannya cerita Cintaku di Rumah Susun.

Mengejar Matahari (2004)

Tahun: 2004 Genre: Drama

Sutradara: Rudi Soedjarwo Pemain: Winky Wiryawan, Udjo, Fauzi

Baadila, Fedi Nuril, Agni Prathista Penulis Naskah: Titien Wattimena,

Rudi Soedjarwo

Kisah dalam film ini menceritakan persahabatan 4 orang yaitu Ardi (Winky Wiryawan), Nino (Fedi Nuril), Apin (Udjo), dan Damar (Fauzi Baadila) yang tinggal di kompleks rumah susun. Mereka bersahabat sejak kecil dan memiliki ritual saling berlomba berlari mengelilingi kompleks tempat mereka tinggal. Empat sahabat ini menjadi saksi pembunuhan yang dilakukan oleh Obet, preman setempat. Persahabatan mereka lalu mulai terguncang ketika Rara (Agni Prathista) muncul, seorang gadis penghuni baru yang sama-sama memikat Ardi dan Damar. Obet yang kembali dari penjara dan berhasrat untuk membalas dendam pun membuat permasalahan semakin pelik. Film ini mengambil gambar di rumah susun Kebon Kacang Jakarta, Jalan Sabang, dan Stasiun Tanah Abang. Penghargaan yang diraih oleh film ini antara lain adalah Tata Sinematografi terbaik pada FFI 2004 serta Film Terpuji pada Festival Film Bandung Tahun 2005.

Fiksi (2008)

Tahun: 2008 Genre: Thriller

Sutradara: Mouly Surya Pemain: Ladya Cheryl, Donny

Almsayah, Kinar Yosih Penulis Naskah: Joko Anwar,

Mouly Surya

Film ini bergenre thriller dan mengangkat kisah Alisha yang merasa kosong dan hampa tinggal di sebuah rumah besar. Hingga, Alisha pun mulai mengenal cinta sejak mendengar siulan Bari (Donny Alamsyah) yang sedang membersihkan kolam di rumahnya. Ini membawa Alisha untuk tinggal di rumah susun, bersebelahan dengan kamar Bari dan kekasihnya, Renta (Kinar Yosih). Hidup Alisha yang kosong pun mulai berwarna, namun, obsesinya terhadap Bari membuat Alisha menggunakan segala cara untuk mendekati pujaannya. Mulai dari menipu, menjebak, bahkan hingga membunuh. Sudut pandang rumah susun yang kelam tampak dalam film ini dan sejalan dengan alur cerita film ini. Film yang mengambil latar belakang rumah susun Bendungan Hilir 2 di Jakarta ini meraih banyak penghargaan pada FFI 2008 termasuk untuk Film Terbaik dan Penyutradaraan Terbaik.

(LNP, dari berbagai sumber)

Rumah Susun dalam Sinema Indonesia

Fakta

Perkembangan kota yang semakin pesat menuntut manusia untuk kembali beradaptasi antara lain dengan tinggal di hunian vertikal. Sebagai bentuk antisipasi, Pemerintah sejak

beberapa dekade lalu telah mulai menggalakkan rumah susun di berbagai lokasi di Indonesia. Rusun-rusun yang pertama tersebut antara lain adalah Rusun Tanah Abang, Kebon Kacang, dan Klender di Jakarta yang mulai dihuni pada dekade 1980-an

Kini, sudah sekitar tiga dekade berlalu, kondisi lingkungan dan fenomena urbanisasi semakin menuntut pentingnya hunian vertikal. Namun, apakah hunian vertikal atau rumah susun ini

sudah benar-benar diterima di masyarakat? Mungkin belum, tapi ternyata rumah susun telah muncul sebagai latar dalam beberapa film di Indonesia.

Munculnya rumah susun sebagai latar sinema Indonesia menunjukkan rumah susun mulai mendapat tempat di masyarakat. Meski, potret rumah susun dalam ketiga film tersebut lebih dikaitkan dengan kemiskinan ataupun kriminalitas.

Semoga potret tersebut hanya ada di ranah fiksi semata. Berikut ini beberapa film Indonesia yang mengangkat rumah susun sebagai latar belakang.

Page 50: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

50

Praktek Unggulan

Desa Sukunan adalah sebuah desa kecil dengan penduduk lebih kurang 800 warga (sekitar 250 rumah tangga) yang terletak di pinggiran wilayah Yogyakarta. Sebagian besar penduduk

desa adalah buruh tingkat rendah yang bekerja di sektor pertanian dan dalam pelayanan umum kota, sementara sebagian kecil bekerja di sektor formal. Ini merupakan salah satu ciri khas desa­desa di pinggiran sebuah kota besar di Indonesia.

Tahun 2000, areal sawah yang dimiliki oleh masyarakat desa Sukunan sering tertimbun oleh sampah plastik dan lainnya yang terbawa melalui saluran irigasi dan mulai mencari solusi untuk mengatasi hal tersebut. Adalah Iswanto (dosen Politeknik Kesehatan) dan Suharto (tokoh masyarakat) yang berupaya mengawali percarian solusi tehadap masalah tersebut dengan mengajak masyarakat untuk melakukan gerakan peduli desa yang berbasis pada sistem manajemen pengelolaan sampah mandiri. Sebuah sistem manajemen berbasis rumah tangga dengan menggunakan teknologi pemilahan sederhana dan pengomposan serta adanya sebuah sistem kolektif pengelolaan sampah yang memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan nilai ekonomi dari sampah yang didaur ulang.

Pada tahun 2003 Iswanto melakukan sebuah eksperimen sederhana tentang sistem manajemen pengelolaan limbah dengan menggunakan rumah miliknya sendiri sebagai studi kasus. Belajar dari bagaimana pemulung bekerja untuk mengumpulkan dan kemudian menjual beberapa jenis sampah seperti plastik, logam, kaca, dan kertas, Iswanto menerapkan hal tersebut di rumahnya. Dia juga mengembangkan teknik sederhana menggunakan pot tanah liat untuk membuat kompos dari sampah organik. Plastik dari kemasan sachet diubah menjadi barang kerajinan tangan seperti tas dan dompet. Tahun 2004, bekerja sama dengan pemimpin lokal, organisasi masyarakat bernama Paguyuban Sukunan Bersemi didirikan dan salah satu fungsinya adalah untuk menyebarkan ide tersebut kepada orang­orang. Sebuah tim inti kemudian dibentuk untuk

melakukan sosialisasi dan menerapkan sistem pengelolaan limbah sedangkan bantuan keuangan diberikan oleh ACICIS, sebuah konsorsium universitas Australia yang bekerja di Yogyakarta.

Para pemuda di paguyuban berkontribusi dengan membuat tempat sampah untuk pemisahan sampah di tingkat rumah tangga. Banyaknya respon eksternal terhadap program ini kemudian memicu pengembangan sistem pengelolaan limbah. Setelah program ini berjalan, beberapa workshop daur ulang sampah diadakan antara lain workshop membuat pot dan batu bata dari styrofoam, workshop membuat dan memasarkan kompos, workshop membuat berbagai macam kerajinan berbasis sampah dan cara memasarkannya, serta mendirikan pusat pelatihan untuk sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Awalnya program ini tidak didukung oleh tokoh masyarakat karena mereka khawatir terhadap kelangsungan dari program. Hal ini disebabkan juga oleh tidak mudahnya mengubah perilaku dari masyarakat. Apalagi pada awalnya program tersebut tidak melibatkan masyarakat secara aktif. Setelah melakukan diskusi beberapa kali dengan tokoh masyarakat, konsep dari program tersebut diubah total dengan membangun sebuah sistem berbasis komunitas dari bawah ke atas. Pada Januari 2004, sebuah tim manajemen pengelolaan limbah yang terdiri dari beberapa anggota masyarakat

Desa Sukunan (Yogyakarta) dari

Sampah Menjadi Emas

Kantor Bank Sampah “Gemah Ripah”

foto: Daniel Suharta

Page 51: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

51

dibentuk dan mendapatkan dukungan penuh dari seluruh tokoh masyarakat. Tim ini kemudian bekerja mengadakan pertemuan rutin komunitas dimana setiap orang dapat bertukar ide dan pengalaman dalam suatu proses partisipatif. Selain itu, tim tersebut merancang sebuah program sosialisasi untuk kelompok­kelompok kecil yang terdiri dari 10 keluarga tentang konsep 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Tim ini juga menginisiasi sebuah kompetisi kecil pemilihan sampah antarkeluarga. Sebuah workshop tentang pembuatan barang­barang kerajinan dari sampah ditujukan untuk para wanita terutama ibu rumah tangga. Para pemuda diberikan pelatihan pembuatan tempat sampah yang diletakkan di 22 lokasi di desa Sukunan serta gantungan baju dari barang­barang bekas. Anak­anak diberikan pengetahuan melalui sebuah modul­modul permainan yang mendidik terutama di bidang pengelolaan sampah di lingkungan rumah. Dengan metode demikian, diharapkan anak­anak mampu menyerap dan mempraktekkan pentingnya pengelolaan sampah di lingkungan rumah masing­masing.

Tim ini juga mendorong pemilahan sampah disetiap rumah tinggal dengan memberikan tempat­tempat sampah yang dibuat oleh para pemuda yang sebelumnya sudah dilukis atau diberi slogan­slogan yang menarik sesuai dengan bahan yang akan dipilah misalnya plastik, kertas, logam/kaca. Selain itu, tim juga membagikan 360 pot tanah liat yang digunakan untuk melakukan proses pengomposan sampah dapur ke tiap­tiap rumah. Setiap 1 rumah mendapatkan 2 pot. Kompos yang dibuat di rumah­rumah tersebut kemudian dikumpulkan dan disimpan untuk kemudian dijual. Setiap bulan desa

akan mampu menjual beberapa produk hasil pemilahan sampah mereka seperti kompos dan hasil kerajinan. Hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk membayar kolektor sampah dan mengisi kas desa.

Keberhasilan desa Sukunan menerapkan sistem manajamen pengelolaan sampah ini mendorong desa­desa lain di sekitar untuk ikut mengadopsinya. Sekarang tim manajemen pengelolaan limbah tersebut membantu untuk mengadakan workshop serupa di desa­desa sekitar desa Sukunan, bahkan Pemerintah Daerah membantu dengan menyediakan barang­barang yang dihasilkan saat workshop untuk desa­desa lain yang tertarik mengadopsi sistem tersebut.

Keberlanjutan sistem manajemen pengelolaan sampah di Sukunan tergantung pada seberapa baik masyarakat menyerap nilai­nilai dan perilaku yang membentuk sistem. Partisipasi dari semua segmen masyarakat: tokoh masyarakat, laki­laki dan perempuan anggota masyarakat, dan pemuda. Manfaat ekonomi berlaku untuk semua rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan dalam hal pendapatan tambahan bagi anggota aktif berpartisipasi (dalam kerajinan tangan dan produksi kompos, dan kegiatan pelatihan) dan pendapatan bagi kas desa yang dapat digunakan untuk membeli fasilitas masyarakat umum serta paling tidak alat yang digunakan dalam sistem pengelolaan sampah diberikan secara gratis. Desa Sukunan telah juga mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia dalam hal pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hal ini juga dapat meningkatkan rasa percaya diri masyarakat desa. Saat ini desa Sukunan juga telah menjadi tempat tujuan wisata para wisatawan yang datang ke Yogyakarta.(DVD)

sumber tulisan: http://www.unhabitat.org/bestpractices/2010/mainview.asp?BPID=2464

Skema Sosialisasi Pengelolaan Sampah Terpadu di Desa Sukunan.sumber: KKN Universitas Gajah Mada Hargobinangun 2008.

Kantor Bank Sampah “Gemah Ripah”

Hasil pengolahan limbah styrofoam menjadi pot-pot bunga.

sumber foto: istimewa

Page 52: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

52

Rusunawa Mako Brimob, Depok.

Menpera Suharso Monoarfa bersama dengan Kapolri Jenderal Timur Pradopo

melakukan peninjauan lapangan ke lokasi pembangunan Rusunawa Mako

Brimob Kelapa Dua Depok beberapa waktu lalu.

Ruby Marchelinnus/Inforum

Galeri Foto

Kunjungan Kadin Malaysia.Menpera Suharso Monoarfa (kanan) memberikan cinderamata kepada Presiden Associated Chinese Chambers of Commerce and Industry of Malaysia (ACCCIM) dan Chinese Chambers of Commerce and Industry of Kuala Lumpur and Selangor (KLSCCCI) Tan Sri William Cheng Heng Jem (kiri) di sela-sela kunjungan bisnis delegasi Kadin Malaysia di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (30/5).

Akbar Pandu P/Inforum

Buka Puasa Bersama, Gontor.Menpera Suharso Monoarfa memberikan sambutan pada kegiatan Buka Puasa Bersama Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo dalam rangka Silaturahmi Ramadhan 1432 H di Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Ristyan Mega Putra/Inforum

MoU Bapertarum.Menpera Suharso Monoarfa (tengah) menyaksikan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Tambahan Bantuan Uang Muka dan Tambahan Bantuan Sebagian Biaya Membangun antara Bapertarum PNS dengan Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Bukopin di Ruang Prambanan, Kantor Kemenpera, Jakarta, Rabu (24/8).

Akbar Pandu P/Inforum

Pameran Perumahan Hapernas.

Menpera Suharso Monoarfa didampingi Deputi

Perumahan Formal Pangihutan Marpaung melihat maket

rumah di sela-sela kegiatan pameran perumahan serta

workshop perumahan dalam rangka memperingati Hari

Perumahan Nasional (Hapernas) di Jakarta beberapa

waktu lalu (26/7).

Akbar Pandu P/Inforum

Rumah TNI.Sesmenpera Iskandar Saleh (tengah) mendapat penjelasan dari Direktur

Utama PT Graha Nusa Pertiwi, H Jamri terkait program pembangunan

rumah bagi TNI Kodam VI/ Mulawarman di daerah Sepinggan, Balikpapan

beberapa waktu lalu.

Ristyan Mega Putra/Inforum

Page 53: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

53

Agenda

Tanpa ada penanganan khusus, jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 diprediksi bisa

membengkak mencapai 10 miliar jiwa. Sementara itu, tepat pada Oktober 2011 nanti, penduduk Bumi bakal mencapai 7 miliar orang. Jika dihitung, jumlah ini lebih banyak sekitar 1 milyar jiwa dibanding 12­13 tahun yang lalu.

Meningkatnya penduduk dunia ini dipicu oleh semakin pesatnya laju pertambahan penduduk dunia pada abad ini dibandingkan dengan beberapa dekade lalu. Yang perlu diperhatikan, 82% penduduk dunia tersebut tinggal di negara berkembang yang umumnya miskin. Rata­rata pertumbuhan

penduduk di negara maju sendiri umumnya kurang dari 0,3%. Sedangkan, di negara berkembang, rata­rata pertumbuhan penduduk mencapai 1,4­1,55 dan negara tertinggal mencapai sekitar 2%. Sementara itu, untuk laju pertumbuhan penduduk Indonesia, berada di angka 1,49%, angka yang cukup tinggi untuk pertumbuhan penduduk.

Untuk memusatkan perhatian dunia pada urgensi dan pentingnya masalah penduduk dalam konteks rencana dan program­program pembangunan secara keseluruhan untuk mencari solusi dari masalah kependudukan tersebut, sejak tahun 1989, dalam Decision 89/46, the Governing Council of

Tujuh Milyar Manusia: Bersama-sama Bertanggung Jawab dan Peduli

Hari Kependudukan Dunia –11 Juli 2011

7 Milyar adalah sebuah tantanganSaat ini, masalah manusia yang paling mendesak adalah masalah transnasional, ketika kita berbagi dalam hal ras, agama dan kebangsaan. Dengan semakin banyaknya ma-nusia, tantangan baru akan muncul dan memecahkan tan-tangan yang ada akan menjadi semakin lebih mendesak.

7 Milyar adalah sebuah kesempatanAda masalah yang dapat dan harus dipecahkan. Sebagai individu, kita memainkan peran kunci dalam menciptakan dunia yang berkelanjutan yang dicirikan oleh keseimbangan dan kedamaian untuk semua. Kita adalah bagian dari komunitas besar yang saling berhubungan dengan tindakan yang diambil dalam satu negara atau wilayah dapat memiliki dampak langsung pada bagian-bagian lain dunia. Kita memiliki kapasitas yang baru dan belum pernah terjadi sebelumnya, baik secara

individual maupun secara kolektif, untuk mengakses dan mengevaluasi informasi, membuat koneksi dan mengejar ide-ide, serta menghubungkan dan melibatkan masyarakat untuk memecahkan masalah yang belum pernah sebelumnya.

7 Milyar adalah panggilan untuk bertindakAda banyak masalah yang berbeda yang disebabkan oleh jumlah yang semakin banyaknya manusia dalam dunia yang berukuran terbatas. Berbagai masalah ini dapat diatasi dan solusi baru akan muncul dari waktu ke waktu. Mengurangi kesenjangan dan menemukan cara untuk menjamin kesejahteraan orang yang hidup hari ini serta generasi yang datang akan membutuhkan cara-cara berpikir baru dan kerja sama global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saat untuk bertindak adalah sekarang.

Aksi 7 Milyar

“This year’s World Population Day falls during a milestone year, when we anticipate the birth of the Earth’s seven billionth inhabitant. This is an opportunity to celebrate our common humanity and our diversity. It is also a reminder of our shared

responsibility to care for each other and our planet”.Secretary-General Ban Ki-moon, Message for World Population Day, 11 July 201

Page 54: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

54

Agenda

the United Nations Development Programme (UNDP) merekomendasikan bahwa11 Juli perlu diperingati masyarakat internasional sebagai Hari Kependudukan Dunia (World Population Day).

7 Milyar ManusiaBerbeda dengan peringatan hari internasional lainnya

seperti Hari Bumi atau Hari Lingkungan Hidup yang sudah marak terdengar gaungnya, peringatan Hari Kependudukan Dunia atau World Population Day memang relatif belum familiar di masyarakat. Padahal, tantangan populasi dunia makin besar setiap tahunnya.

Untuk tahun 2011, peringatan ini mengambil tema “Seven billion people counting each other”. Menghadapi 7 milyar manusia tersebut, terdapat gerakan “Aksi 7 Milyar” yang diluncurkan oleh UNFPA (United Nations Population Fund). Lahir dari sebuah pertemuan unik yang diikuti oleh pemimpin dari media, perusahaan, LSM, universitas, dan organisasi akar rumput, “Aksi 7 Miliar”adalah gerakan global yang terbuka untuk setiap organisasi dan individu berkomitmen untuk mengatasi masalah yang paling menantang saat ini. Gerakan ini bertujuan untuk mewujudkan dunia yang lebih adil dan

berkelanjutan. Dalam dunia dengan 7 milyar manusia, penduduk dunia bersama dan bergantung satu sama lain. Dengan bekerja bersama­sama, aksi ini akan dapat menghasilkan dampak yang signifikan.

Urbanisasi: Perencanaan untuk PertumbuhanMeningkatnya penduduk menjadi 7 milyar manu­

sia pada tahun 2011 ini tentu menimbulkan berbagai dampak yang perlu diantisipasi. Aksi 7 Milyar menggaris­bawahi pada 7 tantangan kunci dengan salah satu tan­tangan diantaranya adalah Urbanisasi: Perencanaan untuk Pertumbuhan (Urbanization: Planning for Growth).

Walaupun kota­kota adalah tempat konsentra­si kemiskinan, kota juga adalah menyediakan tempat ter­baik untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Sejak dulu, kota­kota selalu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, daerah dengan kepadatan yang lebih tinggi cenderung lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan daerah yang tumbuh menyebar (sprawling communities) sekaligus memungkinkan untuk penyediaan jasa yang lebih efisien. Perencanaan yang baik dan dilakukan sejak awal adalah kunci antisipasi.

(Dari berbagai sumber/unfpa.org/7billionsaction.org/LNP)

sumber foto: istimewa

sumber foto: istimewa

Page 55: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

55

66 tahun sudah bangsa ini merdeka, dan bu­kanlah hal yang mudah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi seluruh

lapisan masyarakat. Salah satu hak dasar yang diamanat­kan dalam konstitusi dan tercantum dalam Undang­Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1 bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia dalam meningkatkan mutu kehidupan serta pencerminan diri dalam upaya peningkatan peradaban bangsa. Rumah juga merupakan pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, penyiapan generasi muda, serta menjadi roda penggerak pembangunan ekonomi nasional.

Pembangunan perumahan telah berlangsung sejak pra kemerdekaan. Setelah Kemerdekaan pada tahun 1947 dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perhubung­an yang antara lain menangani perumahan rakyat pada tingkat “Balai Perumahan”, karena pada saat itu sebagian unsur Kementerian penanganannya pada tingkat Balai dan Jawatan. Kemudian pada tanggal 25–30 Agustus 1950 diselenggarakanlah Kongres Perumahan Rakyat, dengan menghasilkan pokok­pokok keputusan, diantaranya adalah mengusulkan didirikannya per­usahaan pembangunan peru­mahan di daerah­daerah, meng­usulkan penetapan syarat­syarat minimal bagi pembangunan peru­mahan rakyat; dan mengusulkan pembentukan badan/lembaga yang menangani perumahan. Beberapa tahun kemudian dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat yang bertugas membangun perumah­an dengan harga di bawah harga pasaran, khususnya untuk golongan

menengah ke bawah. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Wakil

Presiden RI pertama Moh. Hatta menggaris bawahi bahwa permasalahan perumahan merupakan permasa­lahan nasional yang dipandang sangat kompleks dan terus menerus harus diusahakan,

Upaya pemerintah dalam menangani masalah pe­rumahan terus berlanjut hingga saat ini. Hal ini ter­cermin dalam kelembagaan yang menangani masalah perumahan dan permukiman dari masa ke masa. Dalam rangka melaksanakan berbagai kebijakan perumahan dan kawasan permukiman, telah dibentuk dan disesuaikan lembaga yang menangani perumahan diantaranya:

Orde Baru tahun 1978–1984 Menteri Muda Urus­1. an Perumahan Rakyat, tahun 1984–1998 Menteri Negara Perumahan Rakyat, tahun 1998–1999 Men­teri Negara Perumahan dan Permukiman;Orde Reformasi tahun 2000­ 2004, Direktorat 2. Jenderal Perumahan dan Permukiman, bagian dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah; danSejak Tahun 2004, Menteri Negara Perumahan Rak­3. yat.

Salah satu momentum bersejarah­nya adalah pada tanggal 10 Juli 2008,

para stakeholder bidang perumahan sepakat melakukan deklarasi

mengusulkan kepada Pemerin­tah untuk menetapkan Hari

Perumahan Nasional, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Mente­

ri Negara Perumahan Rakyat Nomor 46/KPTS/M/2008 tanggal 6 Agustus

2008 yang menyatakan bahwa tanggal 25 Agustus sebagai Hari Perumahan Nasional (HAPERNAS).

Peringatan Hari Perumahan Nasional Tahun 2011

Dengan Sinergi Pusat, Daerah, dan Mitra, Kita Wujudkan Rumah Murah untuk Rakyat

Jelang

Page 56: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

56

Jelang

Hapernas dan Tantangan Pembangunan perumahan saat ini

Peringatan Hari Perumahan Nasional yang tahun ini diperingati untuk ketiga kalinya seharusnya tidak hanya sebatas peringatan seremonial semata. Hapernas tahun ini semestinya bisa digunakan sebagai momentum dalam upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hunian layak, terlebih mengingat lingkungan strate­gis pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang semakin berat. Hal ini terlihat dari kondisi saat ini, dengan meningkatnya jumlah kekurangan rumah (back­log) dari 5,8 juta unit pada tahun 2004 menjadi 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009 dengan pertambahan sebesar 710 ribu unit per tahunnya, termasuk kecenderungan permukiman kumuh yang semakin meluas, pada tahun 2009 luas permukiman kumuh diperkirakan mencapai 57.800 Ha dari kondisi sebelumnya yakni 54.000 Ha pada akhir tahun 2004. Oleh karenanya dibutuhkan sua­tu terobosan yang mumpuni untuk mewujudkan hunian layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah.

Pemerintah pusat terus melakukan upaya­upaya meningkatkan pemenuhan kebutuhan rumah layak huni terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), salah satunya adalah bersama DPR dalam membentuk Undang­Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumah an dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Dalam UU PKP ini salah satunya mengamanatkan perumah an dan kawasan permukiman diselenggara­kan dengan tujuan antara lain untuk memberdayakan para pemangku ke­pentingan bidang pembangunan perumah an dan kawasan permukiman. Hal ini dapat diartikan pemerintah pusat bertugas memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada skala nasional, begitu pula halnya pemerintah provinsi dan kabupaten kota pada lintas dan skala kabupaten/kota.

Sesuai ketetapan di dalam UU PKP tersebut, maka kebijakan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman harus mampu mendukung upaya pember­dayaan dan peningkatan kapasitas dan peran masyarakat/badan nirlaba, badan usaha, dan Pemerintah serta Pemda sesuai dengan tuntutan otonomi daerah. Kebijakan dimaksud diharapkan dapat memantau pengendalian pe­manfaatan ruang perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan rancangan awal dan pemanfaatan ruang­

nya. Kebijakan harus mampu partisipatif dan transparan, serta mampu memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Untuk pelaksanaan di daerah, pen­jabaran kebijakan dan produk pengaturan telah disesuai­kan dengan kondisi di daerah sehingga perlu ditindaklan­juti dengan Peraturan Daerah (Perda). Hal tersebut bisa dilakukan dengan membentuk kelembagaan yang diberi tugas menangani masalah perumahan dari perencanaan sampai ke pengawasan pembangunan. Juga menetapkan zonasi kawasan perumahan serta memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang tata ruang. Untuk itu, diperlukan kerja sama atau sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pelaku pembangunan perumahan.

Adiupaya Puritama 2011Pemerintah pusat sebenarnya telah melakukan bebe­

rapa cara untuk terus mendorong stakeholder terutama pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan perumahan, salah satunya adalah dengan pemberian peng hargaan Adiupaya Puritama yang diselenggarakan

setiap tahunnya bertepatan dengan Hari Perumahan Nasional. Peng­hargaan ini adalah bentuk apresiasi kepada Pemerintah Daerah yang telah melaksanakan program pembangunan perumahan. Pemberian penghargaan Adi upaya Puritama IV ini ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang dinilai berhasil dalam melaksa­nakan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukim an di daerah­nya masing­masing. Selain itu, penghargaan ini juga akan diberikan

kepada Pemerintah Provinsi pada lokasi Kabupaten dan Kota penerima penghargaan, sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya pembinaan yang telah dilakukan. Pem­berian penghargaan Adiupaya Puritama ini diharapkan dapat mendorong dan memotivasi pemerintah kota dan kabupaten untuk senantiasa meningkatkan upaya pe­nyelenggaraan pengembangan program perumahan dan permukiman di daerahnya masing­masing.

Pada tahun 2011 ini ada 8 aspek bidang penyeleng­garaan perumahan dan kawasan permukiman yang akan menjadi kriteria penilaian, yaitu; 1) Kriteria Rencana Strategis Daerah, 2) Kriteria Realisasi Pengembangan Perumahan, 3) Kriteria Pembiayaan Pengembangan Perumahan, 4) Kriteria Kelembagaan Pengembangan Perumahan, 5) Kriteria Penilaian oleh Asosiasi, 6) Kriteria

Pemberian penghargaan

Adiupaya Puritama ini diharapkan dapat

mendorong dan memotivasi

pemerintah kota dan kabupaten

Page 57: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

Edisi 2 Tahun 2011

57

Pemberdayaan/Kemitraan Masyarakat dan Pengembang, 7) Kriteria Lingkungan, serta 8) Kriteria Terobosan dan Inovasi. Keseluruhan aspek ini mengacu kepada prinsip­prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu memperhati­kan aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek ekonomi, yang merupakan suatu sistem dalam tata kelola penye­lenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang baik, dengan pemberian penghargaan ini diharapkan keseriusan pemangku kepentingan di bidang perumahan dalam mewujudkan hunian murah bagi masyarakat ber­penghasilan rendah dapat terus diupayakan

Butuh Peran Semua Pihak untuk Wujudkan Rumah Murah

Pemerintah sangat peduli dengan pengadaan rumah murah bagi MBR ini, hal ini terbukti dengan beberapa waktu lalu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan 6 (enam) program pro rakyat dan perlin­dungan sosial. Salah satu program pro rakyat tersebut adalah program rumah sangat murah dan rumah murah untuk rakyat dengan kisaran harga 20­25 juta rupiah

Suksesnya program rumah murah dan rumah sangat murah ini tidak lepas dari dukungan pemda karena sesuai amanat PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mengamanatkan bahwa pembangunan perumahan merupakan urusan wajib pemerintah daerah

Peran pemerintah daerah dalam memastikan per­ijinan serta penyediaan lahan untuk lokasi pembangunan rumah murah bagi masyarakat sangatlah dibutuhkan, karena Pemda lah yang mengetahui jumlah kebutuhan rumah masyarakatnya. Pemerintah melalui Kementerian Perumah an Rakyat (Kemenpera) juga terus mendo­rong pemda dalam menyukseskan pembangunan rumah murah ini melalui pemberian stimulan fasilitasi pemba­ngunan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Diharapkan Dana Dekonsentrasi dan DAK merupakan pendorong program pembangunan perumahan untuk masyarakat di daerah.

Selain itu tidak kalah penting adalah peran swasta sangat dibutuhkan untuk mewujudkan rumah murah melalui pengembangan teknologi rumah murah yang ramah lingkungan dan berkearifan lokal sehingga dapat menekan biaya produksi rumah.

Oleh karenanya dengan semangat Hapernas Tahun 2011 yang mengambil tema “Dengan Sinergi Pusat, Daerah Dan Mitra, Kita Wujudkan Rumah Murah Untuk Rakyat” hendaknya dapat menciptakan sebuah sinergi Public Private Partnership (PPP) yang memper­temukan program Pemerintah mewakili kepentingan publik dengan kemampuan fiskal pihak swasta, sehingga program penyediaan rumah bagi MBR dapat ditingkat­kan dan bermuara pada berkurangnya backlog, sehingga pada akhirnya diharapkan setiap keluarga Indonesia dapat menempati rumah yang layak huni seperti yang dicita­citakan para pejuang kemerdekaan 66 tahun yang lalu untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik. (Akbar Pandu Pratamalistya)

Edisi

Depan

Agenda Kegiatan Peringatan Hari Perumahan Nasional 2011Lokakarya (21 Juli 2011)Tema: “Percepatan Pembangunan Rumah Murah”Seminar, Bedah Buku dan Kuliah Umum (21-23 Juli 2011)Tema: “Rumah Murah dan Kota Baru”Tempat: Institut Teknologi Indonesia (ITI) SerpongLokakarya dan Pameran (26 Juli 2011)Tema: Kerjasama Kemitraan Pemangku Kepentingan Dalam Penyelenggaraan Rumah Murah”Keynote Speaker: Menteri Negara Perumahan RakyatTempat: Biwara Room – Hotel Bidakara, Jl. Jend. Gatot Subroto, JakartaTasyakuran (18 Agustus 2011)Tempat: Ruang Rapat Prambanan, Kantor Kemenpera Lt. 2 Wing INarasumber: Muhammad Syafii AntonioBazaar (18 Agustus 2011)Tempat: Halaman parkir gedung kantor KemenperaFun Bike (18 September 2011)Rute: Kantor Kemenpera-Bundaran HI-Kantor KemenperaDonor Darah (19 September 2011)Upacara Bendera (22 September 2011)Tempat: Halaman parkir gedung kantor KemenperaResepsi (22 September 2011)Tempat: Hotel Bidakara, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta

Kebijakan Tabungan PerumahanRedaksi menerima artikel, berita, karikatur yang terkait bidang perumahan rakyat dari pembaca. Lampirkan gambar/foto dan identitas penulis ke alamat email redaksi. Naskah ditulis maksimal 5 halaman A4, Arial 12, spasi 1,5.

Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan terkait bidang perumahan rakyat ke email [email protected] atau saran dan pengaduan di www.kemenpera.go.id

Page 58: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

58

Perayaan Hari Habitat Dunia tahun ini akan diselenggarakan di Meksiko dengan tema “Cities and Climate Change” atau “Kota dan Perubahan

Iklim”. Tahun lalu Meksiko juga telah menjadi tuan rumah untuk acara Perbincangan tentang Perubahan Iklim PBB di Cancun. Sekjen PBB Ban Ki Moon mengingatkan bahwa hasil dari pertemuan Cancun harus dapat menjadi alat untuk memperkuat upaya kita dalam bertindak sejalan dengan pemikiran ilmiah.

Tema Cities and Climate Change dipilih karena perubahan iklim yang berlangsung sangat cepat menjadi tantangan pembangunan paling utama, di abad 21. Tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi terhadap sebuah kota dalam kurun waktu 10-20 dan 30 tahun. Pada era ini, pada umumnya masyarakat tinggal di perkotaan, dan yang menjadi perhatian kita saat ini adalah dampak bencana terbesar sebagai akibat perubahan iklim diawali dan diakhiri di kota. Kota juga memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan iklim.

Kondisi ini memunculkan banyak peluang, karena kota beserta masyarakatnya, industri, pendidikan, budaya dan infrastruktur dapat memberikan solusi terbaik dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan mekanisme penanganan dan mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.

Pencegahan dapat ditingkatkan melalui perencanaan tata guna lahan dan peraturan bangunan yang lebih baik sehingga kota dapat mengurangi jejak tapak ekologis (ecological footprint) serta memastikan warganya, terutama warga miskin, terlindungi dari bencana perubahan iklim, seperti kekeringan, banjir ataupun bencana lainnya.

Dalam menghadapi kemiskinan perkotaan dan perubahan iklim, kita harus berpikir secara global dan juga lokal. Kita perlu memahami cara paling cepat untuk mitigasi

perubahan iklim adalah mengurangi kemiskinan perkotaan serta menghemat penggunaan energi.

Bukan suatu kebetulan bahwa perubahan iklim secara global sudah menjadi isu internasional, terutama pada saat yang bersamaan dengan dunia yang menjadi semakin mengota (urbanized).

Alasan ini menjadikan UN Habitat 2011 Global Report on Human Settlements memokuskan pada kota dan perubahan iklim. Hasil yang mengejutkan dalam laporan tersebut adalah bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kota memberikan kontribusi 70% dari polusi dunia – sebagian besar berasal dari konsumsi bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi, penggunaan energi pada gedung-gedung komersial dan perumahan, industri serta sampah. Hal ini juga memperlihatkan meningkatnya bukti-bukti terhadap resiko perubahan iklim di kawasan perkotaan dan peningkatan populasi yang berdampak pada ketersediaan air, infrastruktur fisik, transportasi, ekosistem barang dan pelayanan, penyediaan energi, produksi industri dan ekonomi.

Laporan tersebut berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dalam pembangunan perkotaan dan perubahan iklim termasuk kontribusi kota-kota terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap kota. Yang terutama, pengetahuan ini dapat digunakan dalam mengidentifikasi mitigasi dan pengukuran adaptasi untuk mendukung pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan tangguh.

Kerjasamaantara UN Habitat dengan Meksiko semakin meningkat setelah pada tahun 2004, Meksiko menjadi tuan rumah kantor nasional UN Habitat. Program kerjanya menunjukkan komitmen Meksiko dalam mengurangi permukiman kumuh, yang sejalan dengan MDGs. Saat ini kegiatan-kegiatan yang didukung oleh UN Habitat Meksiko memfokuskan pada sektor air dan sanitasi, perencanaan perkotaan serta promosi keamanan perkotaan dan kenyamanan di ruang publik.

Harapan penyelenggaran Hari Habitat Dunia 2011 pada tanggal 3 Oktober adalah untuk meningkatkan kepedulian yang lebih besar terhadap dimensi perkotaan terutama, per-ubahan iklim. Bersama-sama kita dapat melakukan sesuatu untuk masa depan bumi dengan melakukan aksi-aksi baru untuk membantu mengurangi krisis perubahan iklim.

Tahun ini peringatan puncak Hari Habitat Dunia 2011 diselenggarakan di kota Makassar. Rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Habitat Dunia dapat dicatatkan ke Sekretariat Nasional Habitat Indonesia untuk dimasukkan dalam Kalender Acara Hari Habitat Dunia.

Sekretariat Nasional Habitat IndonesiaJalan Wijaya I No. 68, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Telp. 021-7226530, Email: [email protected].

Tema Hari Habitat Dunia 2011:

Kota dan Perubahan Iklim

Jelang

sumber foto: istimewa

Page 59: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011
Page 60: Lingkungan Hunian Berimbang. Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman 'INFORUM' Edisi 2 Tahun 2011

KEMENTERIAN PERUMAHAN RAKYATREPUBLIK INDONESIA

HARI PERUMAHANNASIONAL