Top Banner
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON JA’FAR SALIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
271

Limbah Padat Baja

Aug 03, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Limbah Padat Baja

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA

SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR

KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON

JA’FAR SALIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: Limbah Padat Baja

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul “Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon” adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, Juli 2009 Ja’far Salim NIM P.062050534

Page 3: Limbah Padat Baja

ABSTRACT

JA’FAR SALIM, Model of Steel Industrial Waste Management for Maintaining The Sustainability of Coastal Region Krakatau Industrial Estate Cilegon. Under supervision of ASEP SAEFUDDIN, MARIMIN, and ETTY RIANI. Indonesia is rich in natural resources, raw material resources, and also human resources. Nevertheless, the environment contamination has become worse, especially in industrial area. The aims of this research are: To get information about condition of existing and amount of steel industrial disposal production which have not exploited yet; To find out the contamination of territorial water and health of society in industrial estate of Krakatau Cilegon from steel waste which cannot be recycled; To formulate the model of steel industrial waste management for maintaining the sustainability of coastal region and health of society; To formulate sustainable environmental oriented policy of steel industrial waste management system. System approaches in used in this research are: Investment analysis; AHP; ISM; and dynamic modeling. The result of this analysis: the measurement of assessment result of investment analysis NPV is 1,885,022 USD and BCR > 3, its mean beneficial investment, besides best level (1) is waste of slurry CRM with criterion value is feasible. Social impact in management of industrial disposal based on factor analysis using Health of Society coefficient is equal (0.36) + (0.04) Employment. So the value of social impact in model management of steel disposal is 36,662 persons. Selection priority in asphodel is obtained by result of calculation of weight importance focus variable to target variable are 0.325, 0.214, 0.201, 0.119, 0.084, and 0.056 (consistency ratio = 0,099) with sequences are: (1) exploiting of waste return, (2) waste minimalists, (3) prevention of contamination of coastal area, (4) prevention of contamination to society, (5) effort maintain continuity of coastal region, and (6) policy of management of waste with vision of and environment have continuation. Beside that, the result of calculation weight important actor variable to alternative variable 0.276, 0.170, 0.145, 0.114, 0.086, 0.075, 0.070, 0.065 are respectively: (1) the changing of raw material, (2) the changing of product, (3) the changing of technology and process, (4) applying environmental 5R, (5) lessening waste, (6) recycling waste, (7) changing waste, (8) rewiring waste. The determination of key parameter policies of steel industrial waste management for maintaining the sustainability of coastal region Krakatau Industrial Estate Cilegon by using ISM method base on environmental experts judgments from 20 item of question/statement. Furthermore, 10 answer items are taken to make key parameter as expert judgments sub-element. The model development as scenario in management of steel industrial waste using modeling dynamic system approach with powersim program especially for making the model with cause loop diagram and model structure model at resident sub model, coastal area and industrial disposal. Those models are verified by using historical data and validated by using faced and statistical validation methods. Key words: Steel waste management, coastal region, AHP, ISM, dynamic modeling

Page 4: Limbah Padat Baja

RINGKASAN

JA’FAR SALIM. Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Dibimbing oleh: ASEP SAEFUDDIN, MARIMIN, dan ETTY RIANI

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, baik sumber daya energi, sumber daya bahan baku, serta sumber daya manusia yang kompetitif, akan menjadi negara yang kuat di era global apabila bangsa Indonesia mampu mengelola dengan baik sumber-sumber daya tersebut, sehingga tidak hanya dapat dieksplotasi saat ini, melainkan juga untuk masa mendatang Salah satu sumber daya alam yang melimpah dan dapat digunakan untuk pembangunan berkelanjutan adalah bahan baku baja untuk industri dan kemakmuran masyarakat.

PT. Krakatau Steel merupakan pabrik baja terpadu dan termasuk salah satu industri baja terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini diharapkan mampu menjadi perusahaan unggulan terutama dalam teknis pembuatan baja dengan teknologi tinggi serta dituntut mampu meraih keuntungan secara finansial dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Namun proses produksi tidak akan lepas dari timbulnya limbah. Seperti halnya limbah industri lainnya, jika limbah industri baja tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai permasalahan, bahkan pencemaran lingkungan saat ini terus meningkat dan cenderung semakin memprihatinkan terutama di kawasan industri.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja yang dihasilkan namun belum dimanfaatkan kembali; untuk mengetahui pencemaran perairan dan kesehatan masyarakat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang; untuk merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat disekitarnya; dan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Model pengelolaan limbah industri baja yang dirancang dalam penelitian ini menggunakan metode maupun analisis penyelesaian masalah, yaitu: analisa investasi net present value (NPV) dan benefit cost ratio (BCR); model analisis statistik; model analytical hierarchy process (AHP Cdplus3.0); metode interpretative structural modelling (ISM VAXO); dan dynamic modeling (program powersim).

Hasil analisis kelayakan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menganalisis hasil penilaian net present value ini dengan tujuan agar semua investasi, pengeluaran dan penerimaan dalam pengelolaan limbah baja yang berbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai ekonomis proyek dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Untuk mengukur hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio ini menggunakan suku bunga yang berlaku pada akhir tahun 2007 yaitu suku bunga SBI sebesar 14 %, minimum attractive rate of return (MARR) sebesar 15 %, dan laju inflasi 6 %. Hasil pengukuran penilaian investasi analisis net present value sebesar 1,885,022 USD dan benefit cost ratio > 3 berarti investasi menguntungkan. Limbah slurry CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan investasi pengelolaan limbah baja.

Hasil analisis submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah baja ini dapat dilakukan dengan analisis multivariat. Dampak sosial pada pengelolaan limbah industri baja meliputi variabel kesehatan masyarakat, variabel lapangan kerja, dan variabel pencemaran lingkungan. Analisis dampak sosial berdasarkan analisis faktor dengan koefisien adalah (0,36) kesehatan masyarakat + (0,04) lapangan kerja, sehingga nilai dampak sosial dalam model pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 orang.

Page 5: Limbah Padat Baja

Analisis penentuan pemilihan prioritas dengan model AHP Cdplus3.0 dari pendapat para pakar lingkungan diperoleh hasil perhitungan bobot awal kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan pengelolaan limbah baja adalah 0,325, 0,214, 0,201, 0,119, 0,084, dan 0,056 dengan consistency ratio = 0,099 atau urutan tingkat kepentingannya adalah (1) pemanfaatan limbah kembali, (2) minimalisasi limbah, (3) pencegahan pencemaran pesisir, (4) pencegahan pencemaran terhadap masyarakat masyarakat, (5) upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir, dan (6) kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sedangkan hasil perhitungan akhir bobot kepentingan variabel aktor terhadap variabel alternatif pengelolaan limbah baja adalah 0,276, 0,170, 0,145, 0,114, 0,086, 0,075, 0,070, 0,065 atau urutannya: (1) perubahan bahan baku, (2) perubahan produk, (3) perubahan proses dan teknologi, (4) penerapan 5 R lingkungan, (5) mengurangi limbah, (6) mendaur ulang limbah, (7) mengganti limbah, (8) memakai kembali limbah.

Hasil analisis penentuan parameter kunci kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau Cilegon dengan metode ISM VAXO diperoleh dari jawaban para pakar lingkungan dari 20 butir pertanyaan/pernyataan, kemudian diambil menjadi 10 butir jawaban untuk dijadikan parameter kunci. Langkah-langkah penyusunan ISM VAXO terdiri dari penentukan sub elemen pendapat pakar dengan hasil urutan Pabrik baja, Area penyimpanan limbah, Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman, Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan, Jaringan pembuatan waste water, Kecepatan waktu pengolahan limbah, Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman, Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery), Studi pemanfaatan limbah, dan Mendatangkan pakar. Menentukan kontekstual antar elemen bertujuan untuk mengidentifikasi para pakar lingkungan terutama bekerja maupun yang berdomisili di sekitar lokasi pabrik yang berkecenderungan menghasilkan limbah untuk memberikan jawaban/pendapat kontekstual antar elemen dengan jumlah responden 5 orang pakar. Penentuan hasil pengolahan ISM VAXO diperoleh berdasarkan hasil pengolahan kontekstual antara elemen dengan melibatkan 5 orang responden dari para pakar lingkungan dengan meggunakan bantuan program ISM VAXO. Membuat grafik hasil pengolahan untuk melihat posisi elemen faktor parameter kunci model pengelolaan limbah baja.

Tahapan analisis pada pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri baja melalui pendekatan sistem meliputi: (a) analisis kebutuhan stakeholders, (b) formulasi masalah, (c) identifikasi sistem, (d) pembuatan model, dan (e) pengujian model. Hasil analisisnya adalah: 1) Analisis analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon terdiri dari: Pemerintah yang mewakili kepentingan publik melalui Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten serta Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Perusahaan/industri perhasil baja, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, Masyarakat di sekitar kawasan industri Cilegon yang menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya perikanan, Perguruan Tinggi, serta Divisi Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT. Krakatau Steel. 2) Formulasi masalah dilakukan untuk penentuan informasi yang telah dilaksanakan melalui identifikasi sistem secara bertahap. Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholders, meskipun konflik kepentingannya dapat diidentifikasi antara keinginan yang diperoleh dari hasil perhitungan bobot kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor. 3) Identifikasi sistem pada tahapan pengelolaan limbah baja menggunakan model dinamis (powersim construction) dengan membuar rancang bangun model dengan dilakukan penggambaran diagram sebab akibat (cause loop diagram), karena identifikasi sistem ini merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari berbagai variabel pada pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

Page 6: Limbah Padat Baja

mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon. 4) Pembuatan model dirancang berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah industri baja dan dibuat rancang bangun modelnya dengan menggunakan paket program powersim constructor terutama untuk pembuatan model rancang bangun dengan cause loop diagram dan struktur model pada submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri. Hasilnya dalam bentuk rancang bangun gambar cause loop diagram dan struktur model Cause loop diagram dan rancang bangun struktur model. 5) Pengujian model ini dilakukan agar hasil penelitian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah melalui hasil informasi tentang verifikasi dan validitasi model sebagai pengujian yang harus disampaikan oleh peneliti. Verifikasi model merupakan proses verifikasi model yang telah dirancang, kemudian dilakukan secara iteratif untuk memodifikasi struktur model, sedangkan pada validasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Validasi model pada submodel kependudukan dengan nilai AME = 0,045% dan nilai AVE = 0,254%, submodel pesisir laut dengan nilai AME = 0,0002% dan nilai AVE = 0 %, dan submodel limbah industri dengan nilai AME = 0,127% dan nilai AVE = 0,95%. Hasil validasi ketiga submodel tersebut adalah valid dan memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %.

Kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, dapat melakukan strategi kebijakan bersamaan dengan pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industr 1.500 ha., memperhatikan dampak sosial, dan melakukan pengelolaan limbah agar kualitas pesisir laut sehat dan aman. Pengelolaan limbah baja dengan penentuan pemilihan prioritas menggunakan model AHP Cdplus 3.0, penentuan parameter kunci menggunakan ISM VAXO menunjukkan hasil pendapat pakar lingkungan memposisikan yakni Sektor II (dependence) namun memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang kecil pada posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan kecepatan waktu pengolahan limbah (6); Sektor III (independent dan driver power yang kecil) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan area penyimpanan limbah (2), jaringan pembuatan waste water (5), membangun prasarana pengolahan limbah yang aman (7), penerapan 3 R (reuse, recyling, recovery) (8), Studi pemanfaatan limbah (9), dan mendatangkan pakar (9); Sektor IV (independent.) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan pabrik baja (1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman (3), dan pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas, hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar namun memiliki sedikit ketergantungan terhadap program, dan pengembangan model menggunakan program dinamik (powersim). Strategi kebijakan dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop) dan struktur model dengan model dinamik (powersim) yang memperlihatkan hasil analisis program berupa hasil trend naik maupun turun yang ditunjukkan dalam tabel maupun grafik. Arah kebijakan pengelolaan limbah berimplikasi pada metoda kebijakan yang didasarkan dari hasil analisis kebijakan berdasarkan hasil analisis struktur hirarki metoda AHP dan analisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis dari hasil analisis NPV dan BCR.

Kata kunci: Pengelolaan limbah baja, wilayah pesisir, AHP, ISM, dynamic modeling.

Page 7: Limbah Padat Baja

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 8: Limbah Padat Baja

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA

SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR

KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON

JA’FAR SALIM

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 9: Limbah Padat Baja

Penguji luar pada ujian tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng.

2. Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi

Penguji luar pada ujian terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc.

2. Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, M.S.

Page 10: Limbah Padat Baja

Judul Disertasi : Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon

Nama : Ja’far Salim

NIM : P.062050534

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Anggota Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi Pengelolaan SDA Dekan Sekolah Pascasarjana, dan Lingkungan,

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal ujian: 09 Juli 2009 Tanggal lulus:

Page 11: Limbah Padat Baja

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Karunia dan Hidayat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Model Pengelolaan Limbah

Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan

Industri Krakatau Cilegon.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M,Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan

proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan petunjuk, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

3. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan petunjuk, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan proposal,

pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir, Rahman Abdullah, M.Sc., selaku Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa – Serang, juga sebagai penguji luar ujian terbuka disertasi.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

7. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan SDA

dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

8. Bapak Prof. Dr. Bambang Pramudya, M.Eng,. selaku penguji luar ujian tertutup

disertasi.

9. Bapak Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, selaku penguji luar ujian tertutup disertasi.

10. Bapak Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS. selaku penguji luar ujian terbuka disertasi.

11. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Institut Pertanian Bogor.

12. Pemerintah Daerah Provinsi Banten, dan Pemerintah Kota Cilegon.

13. Istriku Dra. Hj. Kaniri, M.Pd, dan anak-anak kami Shifa Dini F., Dzikri Hidayat, dan

Faathira Y.H. yang terus menerus memberikan dorongan semangat, pengertian, dan

pengorbanan selama melaksanakan studi di IPB.

Page 12: Limbah Padat Baja

14. Rekan-rekan mahasiswa Program S3 PSL 2005 Kelas Khusus, Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

15. Rekan-rekan dosen di lingkungan Fakultas Teknik, khususnya di Program Studi Teknik

Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

16. Staf Administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Akhirul kata, semoga disertasi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya

bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan di Wilayah Pesisir Kota Cilegon.

Bogor, Juli 2009 Ja’far Salim

Page 13: Limbah Padat Baja

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 5 Juni 1963 sebagai anak ke 10 dari 11

bersaudara dari pasangan H.M. Salim dan Hj. Rubiah. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di

Jurusan Teknik Industri Universitas Islam Bandung, lulus tahun 1988 dan pada tahun 1997

penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Pascasarjana (S2) Jurusan Teknik

Industri Universitas Indonesia Jakarta, lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk

melanjutkan ke program Doktor (S3) dimulai pada tahun 2005 di program studi

Pengelolaan SDA dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar PNS sejak tahun 1991 di Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa Serang pada Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Industri. Mata kuliah

yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengetahuan Lingkungan, Sistem Produksi,

Perencanaan dan Pengendalian Produksi, dan Pengambilan Keputusan.

Sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah:

1. Jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta LPPM Untirta, berjudul: Model

pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, diterbitkan pada Edisi 1 Volume

10, November 2008.

2. Jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta LPPM Untirta, berjudul: Model strategi

pengelolaan limbah baja berkelanjutan di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon, diterbitkan pada Edisi 3 Volume 12, April 2009.

Kedua hasil penelitian tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.

Page 14: Limbah Padat Baja

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................................................

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................................

I. PENDAHULUAN .................................................................................................

1.1 Latar Belakang .................................................................................................

1.2 Tujuan Penelitian ..............................................................................................

1.3 Kerangka Pemikiran ..........................................................................................

1.4 Perumusan Masalah ...........................................................................................

1.5 Kebaharuan .......................................................................................................

1.6 Ruang Lingkup...................................................................................................

II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................

2.1 Konsep Pengelolaan Limbah ............................................................................

2.2 Dampak Limbah Terhadap Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Kesehatan

Masyarakat ......................................................................................................

2.2.1 Pencemaran Laut .....................................................................................

2.2.2 Limbah Logam Dalam Sistem Perairan dan Kesehatan Masyarakat ......

2.2.3 Toksisitas Logam pada Manusia dan Pencegahannya ............................

2.2.4 Beban Pencamaran Limbah Baja dan Kemampuan Asimilasi Wilayah

Pesisir …………………………………………………..........................

2.2.5 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat ...………………………………....

2.3 Pemanfaataan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah ...............................

2.4 Parameter Kriteria Kualitas Air dan Konsentrasi Logam Dalam Air ..............

2.5 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah ......................................................

2.5.1 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Spons ..........................

2.5.2 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Slab Baja .....................

2.5.3 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Billet Baja ...................

2.6 Karakteristik Limbah Padat Industri Baja ........................................................

2.7 Pemodelan Sistem, Verifikasi dan Validasi Model ..........................................

2.8 Analytical Hierarchy Process .........................................................................

2.8.1 Matriks Perbandingan Berpasangan .......................................................

xix

xxii

xxiv

1

1

5

5

7

8

8

11

11

12

14

17

18

20

22

22

25

27

27

28

29

29

33

36

38

Page 15: Limbah Padat Baja

xv

2.8.2 Besarnya bobot .......................................................................................

2.8.3 Indeks Konsistensi ................................................................................

2.9 Metode Interpretative Structural Modelling ...................................................

2.10 Pemodelan Sistem Dinamis ...........................................................................

2.11 Konsep Evaluasi Aspek Ekonomi dan Finansial ..........................................

III. METODE PENELITIAN ......................................................................................

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................

3.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................................

3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................................

3.3.1 Studi Pendahuluan ................................................................................

3.3.2 Pengumpulan Data ...............................................................................

3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................................

3.5 Jenis Data dan Teknis Analisis yang Digunakan ..........................................

3.6 Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah .............................................

3.7 Analisis Baku Mutu .....................................................................................

3.8 Pengambilan Sampling Sedimen .................................................................

3.9 Pengambilan Sampel Biota ..........................................................................

3.10 Pengelolaan Limbah berdasarkan Submodel ............................................

3.11 Analisis Kebijakan Model Pengelolaan Limbah Industri Baja……………

3.11.1 Diagram Sebab Akibat .....................................................................

3.11.2 Pemodelan Sistem Dinamik ...........................................................

3.11.3 Proses Hierarki Analitik ...........…………………………………

3.11.4 Pemodelan Interpretasi Struktural ...............................…………

3.11.5 Model Dinamik …………………………………..…………..

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................

4.1 Kondisi Geografis ............................................................................................

4.2 Kependudukan ..................................................................................................

4.2.1 Luas Wilayah dan jumlah penduduk .......................................................

4.2.2 Kesehatan Masyarakat .............................................................................

4.3 Perekonomian Wilayah ...................................................................................

4.3.1 Industri ...................................................................................................

4.3.1.1 Kondisi Eksisting Pabrik di Kawasan Industri Krakatau ..........

4.3.1.2 Kondisi Eksisting Jumlah Limbah Baja ....................................

39

39

40

41

43

44

44

44

45

45

45

46

47

48

50

51

52

53

55

56

56

59

61

62

64

64

65

65

66

67

67

69

73

Page 16: Limbah Padat Baja

xvi

4.3.2 Pertanian .................................................................................................

4.3.2.1 Sumberdaya Perikanan ...............................................................

4.4 Kondisi Pesisir Laut ...................................................................................

V. ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH DI WILAYAH PESISIR ..................

5.1 Pendahuluan ......................................................................................................

5.1.1 Latar Belakang ........................................................................................

5.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ..................................................................

5.2 Tinjauan Pustaka ..............................................................................................

5.2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir ......................................................................

5.2.2 Toksisitas .................................................................................................

5.2.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah.................................................

5.3 Metode Analisis Pengelolaan Limbah di Wilayah Pesisir ..............................

5.4 Hasil dan Pembahasan ....................................................................................

5.4.1 Penataan Ruang di Wilayah Pesisir .......................................................

5.4.2 Uji Terhadap Pengaruh Lingkungan .....................................................

5.4.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah Baja ……………………….

5.5 Kesimpulan dan Saran …………..………………………………………….

5.5.1 Kesimpulan ............................................................................................

5.5.2 Saran ........................................................................................................

Daftar Pustaka ........................................................................................................

VI. ANALISIS INVESTASI PENGELOLAAN LIMBAH ……………………….

6.1 Pendahuluan …………………………………………………………………

6.1.1 Latar Belakang ........................................................................................

6.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ................................................................

6.2 Tinjauan Pustaka ...........................................................................................

6.3 Metode Analisis Finansial Pengelolaan Limbah …………………………….

6.4 Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………

6.4.1 Asumsi Analisis ....................................................................................

6.4.2 Analisis Keterpaduan Wilayah Pesisir ..........................………………

6.4.3 Analisis Nilai Manfaat Investasi Wilayah Pesisir …. ………………

6.4.4 Kelayakan pengelolaan Limbah ……………………………………….

6.5 Kesimpulan dan Saran ........………………………………………………….

6.5.1 Kesimpulan ............................................................................................

6.5.2 Saran ......................................................................................................

74

75

76

77

77

77

79

80

80

80

81

82

84

84

84

94

96

96

98

98

99

99

99

100

100

101

102

102

103

105

106

108

108

109

Page 17: Limbah Padat Baja

xvii

Daftar Pustaka ........................................................................................................

VII. MODEL STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN .............................

7.1 Pendahuluan ....................................................................................................

7.1.1 Latar Belakang ........................................................................................

7.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ................................................................

7.2 Tinjauan Pustaka ..............................................................................................

7.3 Metode Strategi Pengelolaan Lingkungan ......................................................

7.4 Hasil dan Pembahasan Strategi Pengelolaan Lingkungan ..............................

7.4.1 Asumsi Model ........................................................................................

7.4.2 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Penduduk ........................

7.4.3 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Industri.............................

7.4.4 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Dampak Sosial ................................

7.4.5 Pengelolaan Limbah terhadap Pesisir Laut ..........................................

7.4.6 Analisis Baku Mutu ...............................................................................

7.4.7 Analisis terhadap Komponen-komponen Pengelolaan Limbah ...........

7.4.8 Penentuan-penentuan Pengelolaan Limbah ...........................................

7.4.8.1 Penentuan Pemilihan Prioritas ...................................................

7.4.8.2 Penentuan Parameter Kunci ......................................................

7.4.8.3 Pengembangan Model Dinamis pada Pengelolaan Limbah ......

7.5 Kesimpulan dan Saran........................................................................................

7.5.1 Kesimpulan ..............................................................................................

7.5.2 Saran ......................................................................................................

Daftar Pustaka .........................................................................................................

VIII. IMPLIKASI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH ...............

8.1 Pendahuluan ....................................................................................................

8.1.1 Latar Belakang ........................................................................................

8.1.2 Tujuan kebijakan Pengelolaan Limbah ..................................................

8.2 Metode Kebijakan Pengelolaan Limbah .........................................................

8.3 Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Limbah .................................

8.3.1 Analisis Kebijakan .................................................................................

8.3.2 Sintesa ...................................................................................................

8.3.2.1 Analisis Logam Berat ................................................................

8.3.2.2 Analisis Investasi Pengelolaan Limbah .....................................

8.4 Kesimpulan dan Saran ....................................................................................

109

110

110

110

112

112

113

114

114

115

115

117

118

119

130

132

132

139

143

171

171

172

173

174

174

174

175

175

176

176

180

181

181

183

Page 18: Limbah Padat Baja

xviii

8.4.1 Kesimpulan .............................................................................................

8.4.2 Saran ......................................................................................................

Daftar Pustaka .......................................................................................................

IX . KESIMPULAN DAN SARAN AKHIR...........................................................

9.1 Kesimpulan ....................................................................................................

9.2 Saran ...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

LAMPIRAN ............................................................................................................

183

183

184

185

185

186

187

192

Page 19: Limbah Padat Baja

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sumber pencemaran di wilayah pesisir dan lautan ...............................................

2. Baku mutu limbah cair ..........................................................................................

3. Jenis teknologi direct reduction ..........................................................................

4. Jenis teknologi blast furnace ................................................................................

5. Jenis teknologi direct smelting ............................................................................

6. Skala banding secara berpasangan dalam AHP ...................................................

7. Stakeholder dalam menentukan model pengelolaan limbah baja .........................

8. Tujuan penelitian, jenis data, teknis analisis dan keluaran ..................................

9. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon ..............................................

10. Jenis penyakit di Kota Cilegon ............................................................................

11. Perusahaan/pabrik baja hulu dan hilir di Kawasan Industri PT. Krakatau Steel

Grup ....................................................................................................................

12. Kondisi eksisting Kawasan Industri: Krakatau Industrial Estate Cilegon ..........

13. Data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007 .................

14. Produksi komoditi hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 ..............................

15. Hasil toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) limbah baja ..............

16. Data kualitas air laut di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon…

17. Logam berat pada sedimen ................................................................................

18. Kandungan logam berat pada organ tubuh kerang-kerangan ............................

19. Estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan industri

Krakatau Cilegon ………………………………………………………………..

20. Penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan

limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon ………………….

21. Presentase sektor lapangan usaha di empat Kecamatan Kota Cilegon tahun

2007 …………………………………………………………………………….

22. Dampak sosial model pengelolaan limbah industri baja tahun 2007 ……………

23. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di

Kecamatan Ciwandan tahun 2003 – 2007............................................................

24. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di

16

26

30

30

31

39

47

48

66

68

70

71

73

74

86

88

90

91

107

108

114

117

122

Page 20: Limbah Padat Baja

xx

Kecamatan Citangkil tahun 2003 – 2007. ............................................................

25. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di

Kecamatan Grogol tahun 2003 – 2007..................................................................

26. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di

Kecamatan Pulomerak tahun 2003 – 2007. .........................................................

27. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Ciwandan .................

28. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Citangkil ..................

29. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Grogol .......................

30. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Pulomerak .................

31. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Ciwandan tahun 2007

32. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Citangkil tahun 2007..

33. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Grogol tahun 2007 ...

34. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Pulomerak tahun 2007

35. Hasil analisis bobot fokus terhadap tingkat kepentingan tujuan strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC .............................................

36. Hasil perhitungan bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada

strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ................................

37. Hasil analisis bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria startegi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC .............................................

38. Hasil perhitungan bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada

strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ...............................

39. Hasil analisis bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ............................................

40. Hasil perhitungan bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada

strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ...............................

41. Hasil analisis bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ............................................

42. Hasil pendapat pakar lingkungan tentang pengelolaan limbah baja …………….

43. Sub elemen faktor kunci dalam pengelolaan limbah .........................................

44. Formulasi masalah keinginan dan konflik kepentingan pengelolaan limbah …...

45. Struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon ..................

46. PDRB dan pendapatan penduduk pada struktur sub model kependudukan di

wilayah pesisir Kota Cilegon .............................................................................

47. Kebutuhan tenaga kerja perairan dan pesisir pada struktur sub model pesisir

122

123

123

124

124

125

125

126

127

127

128

133

134

134

135

136

136

137

139

141

145

153

154

Page 21: Limbah Padat Baja

xxi

laut di wilayah pesisir Kota Cilegon ....................................................................

48. Jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri ..............................

49. Jumlah penduduk aktual dan hasil prediksi jumlah penduduk .........……………

50. Luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir ..............................................

51. Limbah baja aktual dan hasil prediksi limbah baja .............................................

52. Urutan tingkat kepentingan faktor tujuan pengelolaan limbah baja ……………

53. Hirarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung ………

54. Hirarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung …………

55. Hirarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung ……

56. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan limbah industri baja ……………………

158

161

166

168

170

177

178

179

180

183

Page 22: Limbah Padat Baja

xxii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Jenis limbah baja yang dapat di daur ulang kembali menjadi baja ......... ............

2. Jenis limbah baja yang tidak dapat di daur ulang kembali menjadi baja .............

3. Kerangka berpikir pengelolaan limbah industri baja ...........................................

4. Rancangan dan perumusan penyelesaian masalah ...............................................

5. Daur pencemaran lingkungan ................................................................................

6. Kawasan industri dan potensi sumber daya alam kabupaten/kota di Provinsi

Banten ...................................................................................................................

7. Sistem pengolahan air WTP DR plant …………………………………………..

8. Sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia ...............................................

9. Tahap pendekatan sistem ......................................................................................

10. Metode penelitian pengelolaan limbah industri baja .............................................

11. Struktur hirarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja ..............

12. Peta Kota Cilegon .................................................................................................

13. Data kuantitas jenis limbah baja ..........................................................................

14 Pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir ........................................................

15. Logam berat pada air, sedimen, insang, dan hepatopankreas .............................

16. Konsentrasi sedimen, insang, hepatopankreas, dan air pada logam berat ..........

17. Diagram alir proses RTP/IPAL ............................................................................

18. Model analisis investasi pengelolaan limbah ......................................................

19. Pemodelan sistem pengelolaan/pengendalian limbah baja ................................

20. Grafik prosentase sektor lapangan usaha di Kota Cilegon ..................................

21. Struktur hierarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja ............

22. Matriks driver-power – dependence untuk sub elemen faktor kunci ................

23. Diagram model struktural dari elemen faktor kunci pengelolaan limbah .............

24. Diagram input – output pengelolaan sumberdaya pesisir ...................................

25. Diagram hubungan sebab akibat submodel kependudukan pada model

pengelolaan limbah industri baja .........................................................................

26. Struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja .....

27. Grafik PDRB Kota Cilegon tahun 2003 – 2015 pada struktur sub model

kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon ................................................

3

3

7

10

14

17

28

32

35

46

60

65

74

83

92

92

97

102

114

116

138

142

143

149

150

151

154

Page 23: Limbah Padat Baja

xxiii

28. Diagram hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model

pengelolaan limbah industri baja .........................................................................

29. Struktur sub model pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja .....

30. Diagram hubungan sebab akibat submodel limbah industri pada model

pengelolaan limbah industri baja .........................................................................

31. Struktur sub model limbah industri pada model pengelolaan limbah industri

baja .......................................................................................................................

32. Struktur model keseluruhan model pengelolaan limbah industri baja sebagai

upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon ..................................................................................................

33. Grafik jumlah penduduk aktual dan prediksi jumlah penduduk pada submodel

kependudukan .....................................................................................................

34. Grafik jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 pada sub model kependudukan

di wilayah pesisir Kota Cilegon .........................................................................

35. Grafik luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir pada submodel pesisir

laut ......................................................................................................................

36. Grafik luas pesisir tahun 2003 – 2015 pada submodel pesisir laut di wilayah

pesisir Kota Cilegon ..........................................................................................

37. Grafik jumlah limbah aktual dan hasil prediksi jumlah limbah pada submodel

limbah industri ..................................................................................................

38. Grafik jumlah limbah baja tahun 2003 – 2015 pada submodel limbah industri

di wilayah pesisir Kota Cilegon .........................................................................

155

156

159

160

162

167

167

168

169

170

171

Page 24: Limbah Padat Baja

xxiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar istilah (Glossary) ........................................................................................

2. Analisa penilaian net present value limbah ............................. ..........................

3. Analisa penilaian benefit cost ratio limbah …………………...........................

4. Compound interest factors …………………..………………………………….

5. Kuesioner analytical hierarchy process (AHP) ……………………………….

6. Kuesioner interpretative structural modelling (ISM) ………………………….

7. Hasil matriks pasangan Fokus - Tujuan analisis AHP model pengelolaan limbah

baja ……………………………………………………………………………...

8. Hasil matriks pasangan Tujuan - Kriteria analisis AHP model pengelolaan

limbah baja ………………………………………………………………………

9 Hasil matriks pasangan Kriteria - Aktor analisis AHP model pengelolaan

limbah baja ………………………………………………………………………

10. Hasil matriks pasangan Aktor - Alternatif analisis AHP model pengelolaan

limbah baja ………………………………………………………………………

11. Hierarki analisis AHP aktor - alternatif model pengelolaan limbah baja ……….

12. Data input dan proses ISM VAXO .…………………………………………….

13. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model

Kependudukan ………………………………………………………………….

14. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model

Pesisir Laut….……………………..…………………………………………….

15. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model

Limbah Industri ……………………………………………………………….

15. Prediksi hasil pemodelan sistem tahun 2003 - 2015………………………….

192

194

197

200

201

225

234

234

235

235

236

237

239

240

242

244

Page 25: Limbah Padat Baja

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemakmuran dan kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan

dan pengelolaan sumber daya alam yang baik, seperti pengelolaan energi dan bahan

baku, sumber daya manusia, pengelolaan pasar (market), strategi dan teknologi. Oleh

karena itu, maka Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya

energi, sumber daya bahan baku, serta sumber daya manusia yang kompetitif, akan

menjadi negara yang kuat di era global apabila bangsa Indonesia mampu mengelola

dengan baik sumber-sumber daya tersebut, sehingga tidak hanya dapat dieksplotasi

saat ini, melainkan juga untuk masa mendatang. Menurut Salim (1993), dalam

rangka mengisi pembangunan berkelanjutan, sumber-sumber daya yang telah

dieksploitasi seperti bahan mentah pertambangan akan diolah menjadi sumber alam

produksi lainnya dengan melibatkan teknologi pengolahan sumber alam.

Salah satu sumber daya alam yang melimpah dan dapat digunakan untuk

pembangunan berkelanjutan adalah bahan baku baja untuk industri. Menurut

Mulyowahyudi (2005) industri baja sebagai based industry untuk banyak sektor lain.

Oleh karena itu maka industri ini diharapkan mampu menjadi katalis untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemandirian dan produktivitas industri dengan

melakukan optimalisasi natural resources secara berkesinambungan. Selain itu

industri baja juga diharapkan mampu menjadi penggerak pembangunan infrastruktur

nasional. Salah satu pabrik baja yang terkenal di Indonesia adalah PT. Krakatau Steel.

PT. Krakatau Steel merupakan pabrik baja terpadu dan termasuk pada salah

satu industri baja terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini diharapkan mampu menjadi

perusahaan unggulan terutama dalam teknis pembuatan baja dengan teknologi tinggi

serta dituntut mampu meraih keuntungan secara finansial dalam meningkatkan

kapasitas produksinya. Namun dalam proses produksi, tidak akan lepas dari

timbulnya limbah. Seperti halnya limbah industri lainnya, jika limbah industri baja

tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai permasalahan. Kompleksitas

permasalahan dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

semakin diperparah oleh beberapa faktor penghambat. Menurut Douven (2000) faktor

penghambatnya antara lain adalah perencanaan wilayah pesisir yang masih sangat

bersifat sektoral, perencanaan dan pengelolaan wilayah darat dan l aut yang masih

Page 26: Limbah Padat Baja

2

terpisah, dan rendahnya kesadaran para stakehoders pada masalah-masalah

lingkungan, dan permasalahan pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Khusus untuk limbah industri dengan semakin

cerdasnya masyarakat, limbah industri baja banyak mendapat sorotan dari berbagai

kalangan karena dikuatirkan akan membahayakan lingkungan. Dalam rangka

meminimalisasi bahaya yang akan ditimbulkan oleh industri baja terhadap

lingkungan, maka harus dilakukan pengelolaan secara komprehenshif, sehingga

limbah industri baja tidak mencemari lingkungan, baik terhadap pertanian maupun

kesehatan masyarakat sekitarnya.

Menurut Galeotti (1997), pabrik insenerasi (pengabuan) memiliki teknologi

yang efisien untuk perlakukan municipal solid wastes (MSW) menjadi bagian dari

pabrik yang ditangani secara terintegrasi dan memiliki kemampuan untuk mengurangi

volume limbah. Sedangkan pencemaran lingkungan saat ini terus meningkat dan

cenderung semakin memprihatinkan di kawasan industri. Hal ini terjadi akibat belum

optimalnya penanganan limbah industri yang berdampak pada kerugian bagi

masyarakat sekitarnya. Namun sampai saat ini, pihak perusahaan belum menghitung

berapa besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah baja dan dampaknya

terhadap tingkat kerusakan lingkungan khususnya lahan pertanian maupun kesehatan

masyarakat sekitarnya. Limbah industri merupakan bagian dari hasil produksi yang

pada umumnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang kurang baik,

namun jika limbah tersebut dapat dikelola atau dimanfaatkan kembali dalam bentuk

daur ulang menjadi jenis produk lainnya akan mempunyai nilai tambah (added value)

yang sangat menguntungkan. Salah satu contoh limbah industri baja yang dapat

didaur ulang adalah limbah yang berasal dari proses manufacturing yakni proses

pengubahan, baik bersifat fisik (bentuk atau ukuran) maupun bersifat kimiawi.

Menurut Samsudin (2006), lokasi buangan limbah dapat menimbulkan

pencemaran dan permasalahan pencemaran terjadi di area yang lembab, di mana

kelembaban yang ada melebihi kemampuan dari timbunan limbah yang menyerap air.

Jika limbah yang dihasilkan industri baja tidak dimanfaatkan kembali, maka

jumlahnya akan semakin banyak. Menurut Darmono (2006), dari jumlah tersebut

diperkirakan 20 % dibuang ke laut berupa sludge, lumpur yang bercampur dengan

bahan kimia toksik dan bahan padat yang berasal endapan pengelolaan limbah. Hal

ini berarti bahwa tempat membuangnya limbah tersebut diperkirakan akan terkena

pencemaran limbah baja yang dapat mengurangi produksi ikan laut terutama pesisir

sekitar pabrik tersebut. Oleh karena kegiatan di pabrik berlangsung setiap hari, maka

Page 27: Limbah Padat Baja

3

sludge yang akan dibuang ke laut juga dilakukan setiap hari. Kondisi ini akan

mengakibatkan semakin beratnya degradasi di pesisir tempat membuang limbah,

karena pesisir merupakan wilayah sebagai tempat aktivitas yang paling banyak

dilakukan, maka menurut MacDonald (2005), memperkirakan sekitar 70% penduduk

dunia hidup dan tinggal di wilayah pesisir. Oleh karena itu, perlu dilakukan

pengelolaan limbah yang jumlahnya semakin banyak dengan mengolahnya terlebih

dahulu pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan teknologi tertentu

sehingga dapat mengurangi bahaya dari limbah tersebut. Limbah industri baja berupa

limbah yang dihasilkan pabrik baja dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Limbah padat proses produksi : scrap dan slag

2. Limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri : scale, slurry, dan sludge

3. Limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc

furnace.

Jenis-jenis limbah padat yang dihasilkan pada proses manufacturing, baik yang dapat

didaur ulang menjadi produk yang sejenis maupun produk yang tidak sejenis

disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

(SLAG EAF) (SCALE SSP) (SCRAP)

Gambar 1. Jenis limbah baja yang dapat di daur ulang kembali menjadi baja

( DEBU EAF) ( SLUDGE) (SLURRY)

Gambar 2. Jenis limbah baja yang tidak dapat di daur ulang kembali menjadi baja

Page 28: Limbah Padat Baja

4

Sebenarnya PT. Krakatau Steel telah melakukan pengolahan terhadap limbah

yang dihasilkannya sehingga dihasilkan produk yang bernilai ekonomis melalui

sebuah proses transformasi. Proses transformasi ini akan merubah bentuk dan dimensi

fisik dari bahan baku serta sifat-sifat lainnya (non-fisik) sesuai dengan rancangan

yang diinginkannya. Proses transformasi ini baru akan memberikan arti positif

apabila diikuti dengan pertambahan nilai (added value) dari output yang dihasilkan,

baik berupa pertambahan nilai fungsional maupun nilai ekonomisnya. Sedangkan

pada umumnya perusahaan mengharapkan limbah yang dihasilkan seminimal

mungkin (zero waste). Menurut Sheehan (2000), zero waste merupakan sistem

manajemen sumber daya yang memaksimalkan pendauran ulang, memperkecil

limbah, mengurangi konsumsi dan memastikan bahwa produk dibuat untuk

digunakan kembali, diperbaiki atau didaur ulang kembali ke sifat asal atau menjadi

barang yang diminta oleh pasar.

Menurut Bateman (1997), baja dapat digunakan pada lokasi maupun tempat

yang sering mengalami kerusakan terkait dengan cuaca atau bencana alam seperti

angin topan, tsunami, dan gempa bumi. Banyak keuntungan dari baja dibandingkan

dengan kayu, karena baja mempunyai umur ekonomis lebih lama, sekalipun tak

memenuhi ramalan permintaan pasar tetapi industri baja dapat mengantisipasinya.

Industri dan produk baja yang dihasilkannya mempunyai dampak pada basis

sumberdaya alam melalui keseluruhan daur eksplotasi dan ekstrasi bahan mentah,

trasformasi menjadi produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian

produk serta pembuangan sampah yang dihasilkan produk itu oleh konsumen.

Dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan kegiatan industri pada

mulanya hanya dipandang sebagai masalah pencemaran udara, air, dan tanah yang

bersifat setempat.

Walaupun pabrik baja telah berupaya melakukan transformasi dari limbah

yang dihasilkannya menjadi produk yang bernilai ekonomis, namun masih tetap

dihasilkan limbah yang harus dibuang ke lingkungan. Hal ini sudah dibuktikan dalam

suatu percobaan, earthworms telah digunakan untuk menilai ecotoxicas dari waste

foundry sands (WFSs). Di U.S sebagai contoh industri pengecoran logam

menghasilkan beberapa juta ton limbah berupa pasir yang tidak lagi digunakan untuk

metalcasting (Dungan, 2006), padahal produksi baja dunia pada beberapa tahun

terakhir jumlahnya 900 juta ton dan sekitar 400 juta ton dari co-products, sludge dan

limbah padat. Menurut Kallio (2005), lebih dari 80% dari co-products yang

timbulkan dari produksi baja adalah ampas bijih (slags). Kondisi ini sudah barang

Page 29: Limbah Padat Baja

5

tentu akan mengganggu lingkungan karena limbah yang tidak dapat dimanfaatkan

kembali akan dibuang ke lingkungan pesisir, oleh karena itu dalam rangka menjaga

kelestarian wilayah pesisir dan menjaga kesehatan masyarakat di sekitar pabrik baja

PT. Krakatau Steel dan Kawasan Industri Krakatau Cilegon, maka agar segera

dilakukan.

Sebenarnya sudah banyak dilakukan penelitian yang mengarah pada

pemanfaatan limbah baja, namun hingga saat ini limbah industri baja masih

menimbulkan berbagai masalah terutama masalah ekologi, masalah kesehatan dan

masalah sosial. Namun masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat ini

adalah masalah kerusakan wilayah pesisir yang ada di Kawasan Industri Krakatau

Cilegon. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan kelestarian wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon maka perlu dicari model pengelolaan limbah baja.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja

yang dihasilkan, yang belum dimanfaatkan kembali.

2. Mengetahui pencemaran di wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat di Kawasan

Industri Krakatau Cilegon dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang.

3. Merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitarnya.

4. Merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan.

1.3 Kerangka Pemikiran

Konsep berpikir pengelolaan limbah ke depan ditujukan pada pembangunan

berkelanjutan yang tidak saja hanya memperhatikan kesejahteraan pada saat ini,

namun mengusahakan kesejahteraan pada generasi yang akan datang. Hal ini terkait

dengan kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk tidak hanya ditentukan oleh

kemampuan mengakses bahan pokok, tetapi juga harus mampu mencari alternatif lain

untuk menaikkan tingkat kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah

pemanfaatan kembali limbah industri baja (didaur ulang) menjadi produk lain yang

mempunyai nilai tambah, sekaligus tidak merusak lingkungan. Namun negara

Indonesia yang menghasilkan bahan dasar magnet dari limbah pabrik besi baja, saat

ini belum mampu mengolah limbah berupa besi oksida menjadi magnet. Para

Page 30: Limbah Padat Baja

6

pengamat ekonomi Indonesia menginformasikan bahwa negara Indonesia setiap

tahunnya menghasilkan sekurang-kurangnya 10.000 ton besi oksida. Karena tidak

dilakukan proses pengolahan limbah, maka limbah tersebut dibeli dan diolah oleh

negara-negara produsen magnet terbesar, seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, dan

Jerman, yang kemudian mengekspor kembali produk magnet siap pakai ke Indonesia.

Pemanfaatan lain limbah padat industri baja adalah sebagai bahan substitusi semen

untuk pembuatan beton non struktur seperti produk batako, paving block, genteng

press, dan sebagainya. Namun demikian limbah yang tidak dapat dimanfaatkan akan

dibuang ke lingkungan, sehingga dalam jumlah yang banyak akan berakibat buruknya

pada lingkungan.

Untuk menghadapi permasalahan limbah yang setiap waktu bertambah dan

dapat berakibat buruk pada lingkungan, baik udara, air, tanah serta pada lahan

pertanian, diperlukan strategi pemecahan masalah ke depan. Berdasarkan data dan

informasi dimulai dari timbulnya limbah industri dari hasil proses produksi sampai

dengan model pengelolaan limbah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah.

Pada dasarnya limbah baja yang dihasilkan ada yang dapat didaur ulang

kembali menjadi produksi sejenis dan ada juga limbah yang tidak dapat didaur ulang.

Untuk limbah baja yang tidak dapat didaur ulang, jika dibiarkan di tempat

penampungan limbah, suatu saat akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap

lingkungan sekitarnya. Untuk itu perlu pengelolaan secara optimal sehingga tidak

memunculkan efek yang merugikan baik bagi karyawan, masyarakat di sekitar

perusahaan maupun lingkungan sekitarnya. Dalam rangka mencapai hal tersebut di

atas, maka perlu dilakukan penelitian pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

mempertahankan wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Beberapa penelitian limbah baja yang sudah dilakukan, antara lain oleh

Nurdin (1992) yang meneliti mengenai proses pengendapan air pendingin limbah baja

berupa lumpur dan scale yang dihasilkannya dan dijadikan bahan pembuatan magnet.

Damanhuri (1997) mendapatkan konsep dasar atau teknologi terapan pengelolaan

limbah baja terutama dikaitkan dengan upaya daur ulang. Penelitian model

pengelolaan limbah industri baja dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan

kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang belum pernah

dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Kerangka

pemikiran penelitian ini, disajikan pada Gambar 3.

Page 31: Limbah Padat Baja

7

Gambar 3. Kerangka berpikir penelitian

1.4 Perumusan Masalah

PT. Krakatau Steel sebagai industri baja terpadu pertama yang dimiliki

negara Indonesia mempunyai kemampuan untuk bersaing di pasar dalam dan luar

negeri. Untuk menangkap peluang yang akan dicapai, perlu dilakukan tahapan

pengelolaan yang merupakan tahapan sangat penting karena pengelolaan akan

menjadi dasar acuan langkah-langkah selanjutnya. Pengelolaan limbah industri baja

dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang kompleks, yang melibatkan variabel-

variabel sumber daya yang membatasi setiap alternatif penanganan limbah dan

seberapa besar pengaruh limbah industri baja tersebut terhadap tingkat pencemaran

lingkungan industri maupun masyarakat sekitarnya.

Limbah baja (sludge,slurry, debu EAF, dll)

Tujuan Pengelolaan Limbah Baja: Pemanfaatan kembali limbah baja yang timbul, Meminimalisasi dampak limbah baja terhadap pencemaran lingkungan di masyarakat dan Upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir

Masalah pengelolaan limbah baja

Upaya pengelolaan limbah baja yaitu pengendalian limbah, minimalisasi limbah yang timbul, pemanfaatan limbah

Pemanfaatan dan pengelolaan limbah industri baja

Hasil: Pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk kelestarian lingkungan

Mengurangi, memakai kembali, mendaur ulang,

dan mengganti

Lingkungan (Ketahanan wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat)

Page 32: Limbah Padat Baja

8

Manajemen perusahaan memiliki kebijakan untuk melakukan

penganekaragaman usaha dengan cara memanfaatkan limbah industri baja yang

dihasilkan menjadi produk yang bernilai komersial. Hal ini juga dimaksudkan untuk

membuka peluang lapangan kerja baru dan membuka peluang usaha di luar bidang

usaha yang sudah ada, dan diharapkan usaha-usaha yang dilakukan selain menyerap

tenaga kerja yang mendapatkan nilai tambah yang lebih baik bahkan bukan tidak

mungkin akan mempunyai nilai yang lebih ekonomis. Menghadapi permasalahan

limbah industri yang timbul dan harus segera dicari penyelesaiannya dalam rangka

mengurangi pencemaran lingkungan, baik terhadap perikanan maupun kesehatan

masyarakat, perlu dibuat kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri

yang meliputi: pemanfaatan limbah baja yang mempunyai nilai tambah,

meminimalisasi limbah baja yang timbul dan pengendalian limbah baja. Selain itu,

beberapa aspek dalam pengelolaan limbah baja berwawasan lingkungan dan

berkelanjutan ini diharapkan terciptanya pendapatan masyakatan sekitar, penyerapan

tenaga kerja, peningkatan ekonomi daerah, kesehatan masyarakat, serta terjaganya

kelestarian pesisir. Adapun rancangan dan perumusan penyelesaian masalah

selengkapnya disajikan pada Gambar 4.

1.5 Kebaharuan

Kebaharuan (novelty) hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Model

heuristik yang menggabungkan model AHP, metode ISM, dan pemodelan sistem

dinamik pada pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon, (2) Strategi pengelolaan limbah industri baja yang holistik dan

berwawasan lingkungan.

1.6 Ruang Lingkup

Untuk mengarahkan penulisan penelitian ini terfokus pada permasalahan yang

akan diteliti, maka ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan di Pabrik baja terpadu PT. Krakatau Steel dan wilayah

pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi Kecamatan Ciwandan,

Citangkil, Grogol, dan Pulomerak

2. Jenis limbah yang diteliti adalah limbah padat hasil pengelolaan air limbah

industri melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL): slurry, dan sludge dari:

(a) direct reduction plant (DR I, II, III) yang berasal dari water treatment plant

(WTP). (b) billet steel plant (BSP), slab steel plant (SSP) yang tergabung di fluid

Page 33: Limbah Padat Baja

9

centre (FC). (c) wire rode mill (WRM), berasal dari WTP. (d) hot strip mill

(HSM), berasal dari WTP. (e) cold rolling mill (CRM), berasal dari WTP.

Serta jenis limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric

arc furnace (EAF) dari SSP.

3. Dampak masyarakat terhadap pengelolaan limbah baja dalam upaya

mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir dan kesehatan masyarakat di

Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

4. Pengambilan sampel sedimen dan biota air khususnya kerang-kerangan dilakukan

untuk melihat kelestarian ekosistem wilayah pesisir.

Page 34: Limbah Padat Baja

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengelolaan Limbah

Pada Agenda 21 menganjurkan teknologi yang bersih dapat mengurangi

jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah secara aman (Memahami KTT

Bumi, 1992). Namun pada permasalahan limbah industri baja ini diperlukan upaya-

upaya yang dapat dilakukan dalam mengelola limbah industri baja saat ini yaitu

meminimasi jumlah limbah yang berada di sumber timbunan, pewadahan,

pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan lebih diprioritaskan pada upaya daur

ulang limbah. Adapun untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan kebijaksaan

dapat dilakukan dengan memperhatikan sistem pengolahan, konsep pengelolaan

limbah hingga pada konsep evaluasi investasi.

Menurut Chini dan Gupta (1997), baja yang diproduksi secara terus-menerus

diperoleh kembali dan didaur ulang tanpa penurunan atau kerugian. Respon industri

terhadap polusi dan pengrusakan sumberdaya tidak pernah dan tidak boleh terbatas

hanya pada kesediaan mengikuti peraturan. Industri harus menerima tanggung jawab

sosial yang luas dan selalu mempertimbangkan lingkungan semua tingkat. Untuk

mencapai itu, menurut Salim (1993) semua perusahaan industri harus menciptakan

kebijakan-kebijakan dari semua tingkatan dalam memperhatikan pengelolaan

lingkungan, termasuk ketaatan hukum dan persyaratan tempat beroperasinya suatu

perusahaan.

Intensitas pengolahan berikut kadar dampak kepada lingkungan sangat

dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan, maka pilihan teknologi yang kurang

merusak lingkungan menjadi sangat penting dalam usaha pengolahan sumber alam

tanpa merusak lingkungan (Memahami KTT Bumi, 1992). Adapun upaya-upaya yang

dapat dilakukan dalam mengelola limbah industri baja saat ini yaitu meminimasi

jumlah limbah yang berada di sumber timbunan, pewadahan, pengumpulan,

pengangkutan dan pembuangan lebih diprioritaskan pada upaya daur ulang limbah,

baik untuk kebutuhan di lingkungan industri sendiri maupun untuk di luar lingkungan

industri dengan cara menjual limbah. Menurut Heather (1997), limbah buangan padat

telah menjadi suatu perhatian utama di dalam area penyimpanan dan berpotensi

mengancam kesehatan masyarakat, merusak lingkungan, dan merintangi

perekonomian.

Page 35: Limbah Padat Baja

12

Menurut Fenton (1998), konsumsi besi dan skrap baja dari skrap industri

tergantung secara langsung terhadap industri pembuatan baja. Konsep tersebut sejalan

dalam rangka peningkatan produksi baja dan kebutuhan konsumen yang semakin

meningkat, maka suatu kegiatan industri pasti menimbulkan limbah, baik secara

langsung maupun tak langsung tak lepas dari masalah penanganan limbahnya. Agar

jumlah limbah yang ada saat ini berpotensi dapat mencemarkan lingkungan

sekitarnya dan menambah beban biaya bagi perusahaan, maka diperlukan sistem

pengelolaan limbah yang sudah dan akan ditimbulkan, sistem pengelolaan ini

meliputi penanganan limbah dari sumbernya. Oleh karena itu, menurut Thale (1994)

praktek buangan limbah pada masa lalu sudah ditinggalkan dari suatu warisan yang

berbahaya menuju ke keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Menurut Djajadiningrat (2001), pengelolaan limbah baja dalam upaya

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir sekitarnya, memerlukan adanya

perubahan dalam pola berpikir dengan teknologi produksi bersih yang meliputi: (1)

Sebagai alternatif faktor yang mempengaruhi, yaitu (a) Good house keeping,

mencakup tindakan prosedural, administratif atau institusional yang dapat digunakan

perusahaan untuk mengurangi terbentuknya limbah dan emisi. (b) Perubahan material

input, bertujuan untuk mengurangi bahan berbahaya dan beracun (B3) yang masuk

atau digunakan dalam proses produksi, sehingga dapat juga menghindari

terbentuknya limbah B3 dalam proses produksi. (c) Perubahan teknologi, mencakup

modifikasi proses dan peralatan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi

limbah dan emisi. (d) Perubahan produk, meliputi substitusi produk, konservasi

produk dan perubahan komposisi produk. (e) On-site reuse, merupakan upaya

penggunaan kembali bahan-bahan yang terkandung dalam limbah, baik untuk

digunakan kembali pada proses awal atau sebagai material input dalam proses yang

lain; (2) Sedangkan sebagai manfaat yang mempengaruhinya, yaitu (a) Penghematan

bahan baku. (b) Mengurangi biaya pengolahan limbah. (c) Mencegah kerusakan

lingkungan. (d) Mengurangi bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. (e)

Meningkatkan daya saing poduk.

2.2 Dampak Limbah terhadap Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Kesehatan Masyarakat

Menurut Maduka (2006), proses perkembangan teknologi dan industrialisasi

merupakan awal dari adanya bahaya bahan kimia (hazardous chemicals) terhadap

lingkungan baik air, udara, maupun tanah. Sedangkan perkembangan industri yang

Page 36: Limbah Padat Baja

13

pesat dewasa ini tidak lain karena penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna

mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Industri dan teknologi dimanfaatkan

oleh manusia untuk mengolah kekayaan alam yang ada. Udara, air, tanah, dan segala

kekayaan yang ada di dalamnya dicari dan diolah sedemikian rupa untuk

mendapatkan hasil yang diinginkan (Wardhana, 2004). Namun, jika pengelolaannya

menimbulkan dampak yang kurang baik, justru akan merugikan kelangsungan hidup

manusia maupun makhluk hidup lainnya, seperti limbah hasil produksi dapat

menimbulkan pencemaran ekosistem pesisir/perairan dan kesehatan masyarakat.

Sedangkan menurut Bertram (2005), perjalanan ekosistem kesehatan di perairan

berorientasi pada tujuan untuk mendapatkan proses hubungan stakeholders dan

indikatornya adalah ketersediaan sumber alam, kesehatan manusia dan nilai sosial

lainnya.

Begitu juga, menurut Knuteson (2002) penggunaan pestisida dalam pertanian

yang tidak sesuai dapat mendorong kearah permasalahan lingkungan seperti

penurunan kualitas air dan tekanan terhadap ekologis. Di sisi lain, bahan kimia di

udara yang berpengaruh negatif pada manusia, hewan, tanaman, dan lainnya dapat

dikategorikan sebagai pencemar udara. Hampir semua emisi bahan pencemar yang

berasal dari proses alamiah selalu tersebar ke seluruh permukaan bumi sehingga

jarang terkonsentrasi dan mengakibatkan kerusakan. Pencemaran debu baja dari

limbah yang dihasilkan dari proses produksi dapat merusak lingkungan alam

sekitarnya. Pencemaran udara yang terjadi sejak revolusi industri telah banyak

dilaporkan, dan dari tahun ke tahun jenis dan jumlah bahan pencemar terus meningkat.

Menurut Darmono (2006), beberapa bahan pencemar yang menyebabkan polusi udara

telah banyak dilaporkan, terutama di negara industri seperti: Amerika dan Jepang.

Salah satu jenis bahan pencemaran yang sering dijumpai yaitu karbon manoksida

(CO). Jenis bahan tersebut terdapat pada kandungan limbah baja. Selain itu, berat

atau ringannya pencemaran udara di suatu daerah sangat tergantung pada iklim lokal,

topografi, banyaknya industri yang berlokasi di daerah tersebut. Adapun daur

pencemaran lingkungan disajikan pada Gambar 5.

Page 37: Limbah Padat Baja

14

Sumber Pencemaran

Udara Air Daratan

Tanaman Tanaman

Hewan Hewan

Manusia

Gambar 5. Daur pencemaran lingkungan (Wardhana, 2004)

Sedangkan menurut Maduka (2006) dalam kebijakan lingkungan yang efisien

terhadap polusi air/perairan dan kesehatan manusia, rekomendasinya kepada industri

dan hasil limbahnya yaitu agar industri dapat mendaur ulang limbahnya sehingga

permasalahan dampak pencemaran terhadap air/perairan maupun terhadap kesehatan

masyarakat dapat ditangani dengan baik.

2.2.1 Pencemaran Laut

Menurut Rodriguez (2007) berpendapat bahwa manusia mempunyai suatu

pengaruh yang kuat terhadap perubahan ekosistem yang berhubungan dengan air dan

aktivitasnya seperti kebutuhan akan kualitas perairan yang menggunakan teknologi

efektif untuk mendeteksi, mengatur, dan memeriksa terhadap penurunan kualitas air

(perairan) yang disebabkan oleh keaneka-ragaman polusi maupun pencemaran

kualitas perairan. Sedangkan menurut Darmono (2006), dalam kehidupan manusia di

bumi ini salah satunya sangat tergantung pada lautan, manusia harus menjaga

kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Lautan

merupakan tempat pembuangan benda-benda asing dan pengendapan barang sisa

yang diproduksi oleh manusia. Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh

air dari daerah pertanian dan limbah rumah tangga, sampah, dan sebagainya.

Page 38: Limbah Padat Baja

15

Mengingat bahwa pencemaran lingkungan, baik yang melalui udara, air, daratan

(tanah) pada akhirnya akan sampai juga kepada manusia.

Dalam kegiatan industri yang dilakukan oleh manusia di daratan bermacam-

macam, namun yang paling potensial menimbulkan pencemaran disebabkan oleh

limbah industri yang dihasilkan limbah adalah industri kertas dan pulp, industri

pengolahan makanan dan minuman, industri pertambangan, industri farmasi-kimia,

dan industri lainnya. Limbah industri-industri tersebut mengandung logam berat

seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn) dan

sebagainya. Unsur-unsur tersebut mempunyai daya racun yang kuat (toksisitas tinggi),

sehingga dapat menurunkan kualitas air dan meracuni organisme makhluk hidup

lainnya. Menurut Darmono (2006), daya racun (toksisitas) logam berat tergantung

dari jenis, kadar, efek sinergis-antagonis dan sifat fisika-kimianya.

Menurut Williams (1997), dalam International Oceangraphic Commission

(IOC) untuk UNESCO mendefinisikan pencemaraan laut sebagai berikut:

dimasukkannya oleh manusia langsung atau tidak langsung substansi ke dalam

lingkungan laut menghasilkan pengaruh merusak terhadap sumberdaya alam,

sehingga menggangu kesehatan manusia dan aktivitas dilaut. Pencemaran di laut

memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Kehidupan biota dan

kenyamanan manusia serta sumberdaya menjadi terganggu akibat pencemaran. Oleh

karena itu, pencemaran terjadi akibat dari aktivitas manusia dan alam. Menurut Miller

(1991) menjelaskan terdapat dua bentuk sumber pencemar yang masuk ke perairan

laut: (1) Sumber pencemar berasal dari pembungan limbah cair melalui pipa, saluran

air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu, seperti pabrik, tempat pengolahan

limbah, rumah sakit, dan lain-lain. (2) Sumber pencemar berasal dari pembuangan

limbah ke badan air maupun tanah pada suatu daerah yang luas, sepert limpasan air

dari daerah pertanian, peternakan, lokasi pembangunan dan lain-lain. Adapun sumber

pencemaran di wilayah pesisir dan lautan disajikan pada Tabel 1.

Page 39: Limbah Padat Baja

16

Tabel 1. Sumber pencemaran di wilayah pesisir dan lautan Pencemar Sumber (Pollution) Pertanian Limbah

Cair Limbah Cair

Perkotaan Pertambangan Budidaya

Perikanan Industri Pelayaran

Sediemen *** ** *** *** * * Nutrien *** *** ** ** * Logan beracun * * * *** *** * Zat kimia beracun * ** * * * ** * Pestisida *** * * Organisme eksotik * ** Organisme patogen *** * * Sampah * * *** * ** Bahan penyebab turunnya oksigen terlarut

*

***

**

**

*

Sumber: Dahuri (2001)

Keterangan: *** = sumber terbesar ** = sumber moderat * = sumber terkecil

Selain itu, pencemaran pantai (pesisir) menurut Clark (1996) menyatakan

bahwa pencemaran pantai dapat berakibat menurunnya populasi, kerusakan habitat

dan lingkungan perairan sebagai media hidup ikan. Sebagai parameter yang

berpengaruh yaitu menurunnya kandungan oksigen perairan yang membatasi habitan

ikan, eutrofikasi menimbulkan blooming alga yang membahayakan kehidupan ikan,

kehadiran zat beracun seperti logam berat. Juga pencemaran perairan pantai dapat

berdampak pada kesehatan manusia secara tidak langsung. Mikroorganisme yang

bersifat patogen dan bahan kimian beracun dapat terakumulasi pada jaringan tubuh

biota laut seperti kerang-kerangan. Apabila manusia mengkonsumsi biota tersebut

akan menimbulkan penyakit. Dampak lain akibat pencemaran perairan pantai yaitu

menurunnya jumlah pengunjung dalam kegiatan parawisata di lokasi yang

membutuhkan perairan yang bersih dan nyaman yang bebas dari pencemaran

lingkungan perairan. Gambar 6 memperlihatkan kawasan industri dan potensi

sumber alam di Provinsi Banten khususnya di Kota Cilegon terdapat beberapa

industri yang berdiri di lokasi perairan pantai.

Page 40: Limbah Padat Baja

17

SEKTOR UNGGULAN :

TAMBANG (FOSFAT ALAM, ZEOLIT, BENTONIK, EMAS, BATUBARA)

PERKEBUNAN (KELAPA SAWIT, KARET, CENGKEH, MELINJO)

PARIWISATA

PERIKANAN

INDUSTRI

KEHUTANAN

PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

KAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAMKAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM

Gambar 6. Kawasan industri dan potensi sumber daya alam kabupaten/kota

di Provinsi Banten

2.2.2 Limbah Logam dalam Sistem Perairan dan Kesehatan Manusia

Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun esensial terlarut dalam air

dan mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal dari

pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, juga dapat berasal lahan

pertanian yang menggunakan pupuk yang mengandung logam (Darmono, 2006).

Sedangkan daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat tergantung

pada spesies, lokasi, umur, daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu untuk

sifatmenghindari diri dari pengaruh polusi.

Menurut Rachmansyah (1998), logam berat yang masuk ke dalam jaringan

tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernapasan, pencernaan,

dan penetrasi melalui kulit. Jika hal ini dibiarkan, maka toksik logam akan

mengganggu terhadap kesehatan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Karena

pencemaran logam berat, juga dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,

Page 41: Limbah Padat Baja

18

keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan

ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor kadar

dan keseimbangan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas dan

bioakumulasi, karena pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya

perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek

fisikologi, genetik dan resistensi.

Di antara jenis-jenis logam yang telah ditemukan ternyata hanya beberapa

logam yang sangat berbahaya dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan

keracunan fatal. Menurut Gossel dan Bricker (1984) terdapat 5 logam yang berbahaya

pada munusia yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi

(Fe). Diantara kelima logam tersebut, maka logam besi (Fe) merupakan bagian dari

proses produksi baja yang menghasilkan limbah baja.

Menutur Darmono (2006), logam bersifat toksik karena logam tersebut terikat

dengan ligan dari struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut

dalam beberapa jenis sistem enzim dalam tubuh. Ikatan tersebut mengakibatkan tidak

dapat aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah penyebab utama dari toksisitas

logam tersebut. Tempat ikatan logam yang spesifik tersebut menjadi dasar perkiraan

dari organ atau jaringan yang sensitif terhadap keracunan logam dosis kecil.

Di sisi lain kegiatan manusia di darat yang mempunyai dampak meningkatnya

sedimentasi khususnya di wilayah pesisir akan menghasilkan beban sedimen.

Kelebihan sedimen cenderung akan membunuh biota-biota yang bernafas dengan

insang dan hewan-hewan air pemakan sedimen, apalagi jika sedimen tersebut

mengandung pestisida maupun logam berat yang mempunyai konsentrasinhya sangat

tinggi.

2.2.3 Toksisitas Logam pada Manusia dan Pencegahannya

Pengaruh negatif toksisitas logam terhadap manusia seperti keracunan logam

telah banyak diketahui, seperti ada nama khusus terhadap keracunan logam tertentu,

yaitu “Minamata Disease” karena keracunan metil merkuri. Keracunan akut dari

logam berbahaya biasanya terjadi pada orang termakan dosis tinggi logam yang

bersangkutan atau karena pengaruh obat yang mengandung logam. Hal tersebut

biasanya terjadi pada kelompok orang tertentu atau perorangan. Tetapi pada

keracunan kronis yang disebabkan oleh orang yang mengkonsumsi logam dalam

jumlah sedikit tetapi berlangsung lama biasanya terjadi dalam komunitas atau

Page 42: Limbah Padat Baja

19

penduduk yang tinggal dalam suatu lingkungan yang tercemar, seperti penduduk di

pemukiman nelayan sepanjang pesisir/pantai.

Menurut Darmono (2006), terjadinya toksisitas logam dapat melalui beberapa

jalan, yaitu inhalasi melalui pernapasan, termakan melalui saluran pencernaan, dan

penetrasi melalui kulit. Hubungan antara lokasi industri dan inhalasi debu adalah

sangat nyata dalam proses keracunan logam melalui saluran pernapasan. Kejadian

luka pada kulit yang menyebabkan logam diserap melalui kulit sudah sering terjadi.

Menurut Gossel dan Briker (1984) terdapat 5 logam yang berbahaya pada manusia

yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe), selain itu

terdapat 3 logam yang kurang beracun yaitu: tembaga (Cu), selenium (Se), dan seng

(Zn).

Limbah baja memiliki kandungan logam besi (Fe), meskipun logam ini

termasuk kelompok logam esensial, tetapi kasus keracunan Fe sering dilaporkan

terutama pada anak-anak. Keracunan pada anak-anak terjadi secara tidak sengaja, saat

anak memakan makanan atau benda yang mengandung Fe, sedangkan pada orang

dewasa jarang terjadi. Walaupun toksisitas Fe jarang menyebabkan kematian, tetapi

dapat menyebabkan gangguan mental serius. Kasus terjadinya toksisitas Fe pada anak

kemungkinan besar terjadi karena banyak preparat yang mengandung Fe diberikan

pada anak, baik berupa obat dan vitamin. Di samping itu, kebiasaan anak makan

sembarangan di lingkungan sekitarnya.

Besi (Fe) merupakan logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak

bumi, tetapi termasuk kelompok mikro dalam sistem biologi. Logam ini termasuk

yang pertama ditemukan dan digunakan oleh manusia sebagai alat pertanian. Sebagai

sumber utama pencemaran udara oleh Fe adalah pabrik besi dan pabrik baja. Inhalasi

Fe oksida dari asap dan debu yang sering terjadi di lokasi pertambangan atau pabrik

baja, dapat menyebabkan radang paru-paru “benigna pneumoconiosis”. Pada waktu

pemeriksaaan sinar rontgen terlihat adanya endapan Fe dalam alveoli paru-paru. Pada

umumnya setiap jaringan tubuh manusia mengandung Fe sebanyak 4 g Fe. Hampir

semua Fe dalam tubuh terikat dengan protein porfirin dan komponen hemoglobin.

Besi (Fe) sering tersedia dalam preparat obat dan vitamin, termasuk tablet suplemen,

sebagai sulfat, glukonat, dan garam fumarat. Dalam tablet multivitamin-mineral

biasanya diberikan pada ibu hamil yang menjelang melahirkan untuk mencegah

defisiensi Fe. Sebagai upaya untuk melakukan antisipasi pencegahan suatu kasus

terjadinya keracunan logam yang lebih luas, perlu dilakukan pengamatan kondisi

lingkungan. Kondisi lingkungan yang menurun baik udara, air, ataupun makanan

Page 43: Limbah Padat Baja

20

yang selalu digunakan penduduk setiap hari perlu diteliti. Bilamana suatu kawasan

lingkungan yang mulai dipergunakan sebagai kawasan industri, maka perlu dipikirkan

relokasi pemindahan penduduk ke daerah lain yang bersih.

2.2.4 Beban Pencemaran Limbah Baja dan Kemampuan Asimilasi Wilayah Pesisir

Peningkatan jumlah limbah baja pada pesisir akan mengalami peningkatan

tingkat pencemaran melalui aliran sungai dari pabrik yang membawa limbah menuju

daerah wilayah pesisir sekitarnya. Besarnya beban pencemaran limbah ditentukan

melalui pengukuran debit air sungai dan konsentrasi limbah baja yang mengalir

menuju wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.

Menurut Quano (1993) menerangkan bahwa kapasitas asimilasi sebagai

kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa

menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya.

Limbah yang ke pesisir akan mengalami 3 macam peristiwa yaitu: pengenceran

(dilution), penyebaran (dispersion), dan penguraian (decompotition) (UNEP, 1993).

Pengenceran terjadi ketika limbah masuk ke perairan akan bereaksi dengan unsur atau

senyawa yang berada dalam air. Penyebaran terjadi akibat pengaruh arus atau

gelombang, sedangkan penguraian dilakukan oleh aktifitas bakteri. Bila kemampuan

asimilasi pesisir mengalami penurunan akibat dampak dari pengelolaan limbah baja

tidak terkendali, kondisi tersebut akan merugikan di antaranya: (1) Meningkatnya

evapontranspirasi. (2) Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan

sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air. (3)

Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia. (4) Menurunkan nilai

estetika lingkungan perairan.

Di dalam pengukuran kapasitas asimilasi yang bersifat spesifik tergantung

lokasi, membutuhkan pengembangan dari model skala hidrolik dan komputer yang

menggunakan metode elemen terbatas dari persamaan penyebaran larutan (UNEP,

1993). Menurut Dahuri (2001), penentuan kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan

menggunakan beberapa metode, yaitu:

1. Metode perhitungan pengukuran limbah awal, dispersi dan penguraian;

Metode ini dipergunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi melalui

penggabungan nilai pengurangan nilai limbah awal, nilai dispersi limbah dan nilai

pengurangan limbah.

Page 44: Limbah Padat Baja

21

Kelebihan dari metode ini yaitu perhitungan lebih ditekankan pada faktor-faktor

fisik, sehingga ketepatan perhitungannnya tinggi. Sedangkan kekurangan dari

metode ini yaitu tidak memperhitungkan faktor-faktor kimia seperti perbedaan

jenis limbah yang masuk ke sungai tidak diperhitungkan.

2. Metode arus bermuatan partikel;

Metode ini dipergunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi dengan cara

membandingkan konsentarasi limbah dengan konsentrasi air sungai menerima

limbah. Kelebihan dari metode ini yaitu penentuan perbandingan antara

konsentarasi limbah dan air sungai yang sangat penting bagi perhitungan

kapasitas asimilasi. Sedangkan kekurangannya yaitu kesulitan dalam perhitungan

konsentrasi limbah berupa bahan kimia yang masuk ke sungai karena

membutuhkan waktu lama.

3. Metode penurunan oksigen dari streeter dan phelps;

Metode ini menentukan nilai kapasitas asimilasi dengan cara mengamati

pengurangan nilai oksigen terlarut. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain

waktu perjalanan limbah di sungai dan konsentrasi asam karbonat yang tetap pada

saat perjalanan limbah. Kelebihannya adalah perhitungan yang lebih teliti karena

perhitungan waktu perjalanan limabah. Sedangkan keekurangannya adalah

membutuhkan waktu lebih lama.

4. Metode pengukuran biological oxygen demand dari Jorgensen;

Metode ini menentukan kapasitas asimilasi yaitu hanya pada bahan yang mudah

terurai dengan menentukan nilai BOD awal dan nilai BOD yang tersisa pada

waktu akhir. Metode ini relatif mjudah dilakukan, namun kekurangannya adalah

penggunaan banyak asumsi dan lebih sesuai untuk perairan agak tertutup seperti

pelabuhan.

5. Metode hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya;

Metode ini menentukan kapasitas asimilasi yaitu dengan cara memplotkan nilai-

nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah

yang dikandungnya ke dalam suatu grafik, selanjutnya direferensikan dengan

baku mutu air untuk diperuntukan bagi biota laut berdasarkan Kepmen KLH No.

51 tahun 2004. Selanjutnya dari titk potong yang diperoleh diketahui waktu

(tahun) terjadinya, kemudian dilihat nilai beban limbahnya sebagai nilai kapasitas

asimilasi. Kelebihannya mudah dilakukan dan dapat menerangkan semua

parameter yang diamati. Sedangkan kekurangannya hanya berdasarkan hubungan

Page 45: Limbah Padat Baja

22

kualitas air dengan beban limbahnya tanpa memperhatikan dinamika perairan

yang ada.

2.2.5 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat

Dalam persepsi kehidupan masyarakat yang berada di daerah pesisir pantai

dapat berupaya untuk menekan tingkat pencemaran dengan cara melakukan

pengendalian dan pengurangan pencemaran di wilayah sekitarnya. Di sisi lain,

menurut Soemarwoto (2004), persepsi masyarakat terdapat anggapan bahwa

kehidupan di daerah pesisir pantai adalah masyarakat yang hidup terpisah dari

masyakat umum padahal mereka butuh sosialisasi dengan masyarakat lainnya, butuh

kehidupan yang layak baik lingkungan bersih, kesehatan dan pendapatan yang

memadai.

Menurut pendekatan ekologik, persepsi terjadi secara spontan dan langsung.

Spontanitas terjadi karena organisme selalu menjajaki dengan lingkungannya dan

penjajakan itu melibatkan setiap objek yang terdapat di lingkungannya. Setiap objek

menonjolkan sifat-sifat yang khas untuk organisme yang bersangkutan. Begitu juga,

partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran limbah di wilayah pesisir

pantai harus berperan aktif, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah

daerah. Partisipasi yang dimaksud adalah suatu proses ikut ambil bagian dalam suatu

kagitan. Menurut Davis (1985), parisipasi adalah keterlibatan mental emosional,

kesediaan memberikan kontribusi, kesediaan untuk bertanggung jawab dalam

mencapai tujuan bersama. Pada penelitian ini persepsi dan partipasi masyarakat

dalam hubungannya dengan pengelolaan limbah meliputi: pengendalian limbah,

upaya pengurangan limbah yang timbul, dan pemanfaatan limbah.

2.3 Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah

Wilayah pesisir sekitar kawasan industri Krakatau Cilegon merupakan

kawasan yang memiliki dinamika pertumbuhan yang paling pesat, terutama untuk

industri-industri. Karena wilayah pesisir tersebut memiliki arti strategis yang

merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi

sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik

laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu.

Kebijakan pemerintah daerah yang sektoral dan bias, belum menyentuh pada

kebutuhan masyarakat sekitar. Menurut Dahuri (1996), dari sisi sosial-ekonomi,

pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar. Nelayan

sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.

Page 46: Limbah Padat Baja

23

Sedangkan dalam permasalahan lingkungan hidup telah menjadi suatu penyakit

kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal permasalahan lingkungan

hidup yang selama ini terjadi di Perairan Indonesia disebabkan paradigma

pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan faktor

lingkungan yang dianggap sebagai penghambat. Posisi tersebut dapat menyebabkan

terabaikannya pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup di dalam pengambilan

keputusan dan pembuatan kebijakan. Akibatnya kualitas lingkungan makin hari

semakin menurun, ditandai dengan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup di berbagai wilayah perairan atau pesisir.

Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah kabupaten dan kota untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah

laut adalah: (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut

sebatas wilayah laut tersebut. (2) Pengaturan kepentingan administratif. (3)

Pengaturan tata ruang. (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan

oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. (5) Bantuan

penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Oleh karena itu yang termasuk wilayah

laut daerah provinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai

arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut daerah

kabupaten dan kota adalah sepertiga dari wilayah laut daerah provinsi. Dengan

memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari

daerah kabupaten dan kota.

Wilayah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut

berada dalam kewenangan daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari kabupaten/kota

adalah sepertiga dari wilayah laut provinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari

garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan daerah kabupaten atau

kota setempat. Sejalan dengan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakatnya, maka daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah

wilayah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.

Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam

mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah maka seluruh potensi sumber daya yang

tersedia di daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber

Page 47: Limbah Padat Baja

24

daya yang dimiliki sebagian daerah adalah potensi daerah wilayah pesisir. Oleh sebab

itu, secara alamiah potensi wilayah pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh

masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri

dari nelayan. Nelayan di wilayah pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan,

rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada umumnya potensi wilayah pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para

nelayan baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.

Pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir secara besar-besaran untuk

mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan

perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan wilayah pesisir untuk

usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota

yang berada di daerah wilayah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan

daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi

daerah, pemerintah daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah wilayah

pesisir ini untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Disamping itu

pemerintah daerah juga memanfaatkan potensi daerah wilayah pesisir ini untuk

meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat

kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk

juga daerah wilayah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka

pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh

daerah kabupaten atau kota yang berada di wilayah pesisir, sehingga belum semua

kabupaten dan kota dapat memanfaatkan potensi wilayah pesisir.

Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat

maupun pemerintah daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan

sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap

kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi

daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya

alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.

Berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan

daerah wilayah pesisir masih terdapat beberapa kendala sebagai berikut: (1)

Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah pesisir belum diatur dengan peraturan

perundang-undangan yang jelas, sehingga daerah mengalami kesulitan dalam

menetapkan suatu kebijakan. (2) Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah pesisir

cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang

tumpang tindih satu sama lain. (3) Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah

Page 48: Limbah Padat Baja

25

pesisir belum memperhatikan konsep daerah wilayah pesisir sebagai suatu kesatuan

ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal

ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah. (4) Kewenangan daerah

dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para

stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sektor timbul berbagai

pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah

wilayah pesisir.

2.4 Parameter Kriteria Kualitas dan Konsentrasi Logam di dalam Air

Pesisir merupakan pertemuan daratan dan laut yang rentan pencemaran,

karena banyak industri yang membuang limbah di pesisir baik limbah kimia, fisika

atau biologi. Menurut Darmono (2006), dampaknya yang sudah pasti selain gangguan

terhadap kelestarian lingkungan, juga keselamatan dan kesehatan masyarakat tidak

dijamin. Meskipun logam berat biasa ditemukan di perairan/pesisir secara alamiah

sangat sedikit yaitu dari 1µg/l, tetapi apabila terjadi erosi alamiah, konsentarasi

logam tersebut dapat meningkat.

Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup Nomor KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang baku mutu limbah cair bagi

kegiatan yang telah beroperasi di bagi empat golongan I, II, III, dan IV. Baku mutu

limbah cair selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Page 49: Limbah Padat Baja

26

Tabel 2. Baku mutu limbah cair Golongan Baku Mutu Air Limbah

No. Parameter Satuan I II III IV

FISIKA 1 Temperatur oC 35 35 35 35 2 Zat padat terlarut mg/l 1500 2000 4000 50003 Zat padat tersuspensi mg/l 100 200 400 500 KIMIA 1 pH mg/l 6 - 9 6 - 9 6 - 9 5 - 9 2 Besi terlarut mg/l 1 5 10 20 3 Mangan terlarut mg/l 0,5 2 5 10 4 Barium mg/l 1 2 3 5 5 Tembaga mg/l 1 2 3 5 6 Seng mg/l 2 5 10 15 7 Khrom hexavalen mg/l 0,05 0,1 0,5 1 8 Khrom total mg/l 0,1 0,5 1 2 9 Kadmium mg/l 0,01 0,05 0,1 0,5

10 Raksa mg/l 0,001 0,002 0,005 0,0111 Timbal mg/l 0,03 0,1 1 2 12 Stanum mg/l 1 2 3 5 13 Arsen mg/l 0,05 0,1 0,5 1 14 Selenium mg/l 0,01 0,05 0,5 1 15 Nikel mg/l 0,1 0,2 0,5 1 16 Kobalt mg/l 0,2 0,4 0,6 1 17 Sianida mg/l 0,02 0,05 0,5 1 18 Sulfida mg/l 0,01 0,05 0,1 1 19 Fluorida mg/l 1,5 2 3 5 20 Khlorin bebas mg/l 0,5 1 2 5 21 Amoniak bebas mg/l 0,02 1 5 20 22 Nitrat mg/l 10 20 30 50 23 Nitrit mg/l 0,06 1 3 5 24 BOD5 mg/l 20 50 150 300 25 COD mg/l 40 100 300 600 26 Senyawa aktif biru

metilan mg/l 0,5 5 10 15

27 Fenol mg/l 0,01 0,5 1 2 28 Minyak nabati mg/l 1 5 10 20 29 Minyak mineral mg/l 1 10 50 100 30 Radioaktivitas** mg/l 31 Pestisida, termasuk

PCB*** mg/l

Sumber: SK MENNEG KLH No. KEP-03/MENKLH/II/1991

*) Kadar limbah yang memenuhi persyaratan baku mutu air limbah tersebut tidak

diperbolehkan dengan cara pengenceran yang airnya langsung diambil dari

sember air.

Kadar bahan limbah tersebut adalah kadar maksimum yang diperbolehkan,

kecuali pH yang meliputi juga kadar yang minimal.

**) Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.

***) Limbah pestisida yang berasal dari industri yang memformulasi atau

memproduksi dan dari konsumen yang mempergunakan untuk pertanian dan

Page 50: Limbah Padat Baja

27

lain-lain tidak boleh menyebabkan pencemaran air yang mengganggu

pemanfaatannya.

2.5 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah

Menurut Damanhuri (1997), untuk mengetahui proses produksi dan timbulnya

limbah industri baja yang dihasilkan oleh masing-masing pabrik dapat dijelaskan

dalam uraian subbab-subbab berikut ini.

2.5.1 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Spons

Pabrik besi spons atau DR plant terdari dua pabrik yang menggunakan

teknologi HYL I (Hoyalata Y Lamina I disebut pabrik besi spons I dan II) serta satu

pabrik dengan teknologi HYL III (disebut pabrik HYL III). Ketiga pabrik ini

menghasilkan besi spons dari bahan baku pellet dengan proses reduksi langsung

yaitu menggunakan gas reduksi CO dan H2. Di dalam proses pembuatan bijih besi

spons merupakan proses reduksi Fe dari bijih besi Fe2O3. Oksigen yang diambil dari

proses ini melalui oksidasi besi pada suhu di bawah titik lebur besi. Untuk

kelangsungan proses tersebut digunakan gas alam (metana) dan uap air (Nurdin,

1992).

Menurut Damanhuri (1997), aktivitas proses produksi yang berjalan oleh

masing-masing pabrik tersebut, maka tidak lepas dari timbulnya limbah. Selama

proses produksi berlangsung membutuhkan pendinginan aliran gas pereduksi setelah

keluar dari reaktor. Gas keluar dengan temperatur berkisar antara 3800C - 4000C

dengan membawa air dalam bentuk uap yang ditimbulkan reaksi reduksi secara

kimia. Gambar 7 menunjukkan sistem pengolahan air WTP DR plant PT. Krakatau

Steel.

Page 51: Limbah Padat Baja

28

Air dari Kerenceng

Hot Cold Quench Blow Water Water Water down System tank

Cooling Tower

Clarifer

Sludge Draying Belt Vacuum belt Filter press

Thichener

Coke

Gambar 7. Sistem pengolahan air WTP DR plant (Damanhuri, 1997)

Berdasarkan gambar 7 di atas, sebagian aliran gas juga membawa debu-debu

besi yang terbawa saat gas itu mengalir dalam reaktor. Sumber limbah diperoleh dari

air yang didinginkan dan mengkondensikan gas. Air tersebut membilas vassel dan

mendelegasi vassel kemudian mengalir ke clarifier. Pada clarifier, debu-debu dan

bahan pengotor lainnya akan diendapkan dengan bantuan koagulan.

2.5.2 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Slab Baja

Pabrik slab baja ini memiliki 2 (dua) pabrik yaitu pabrik slab baja I dan II.

Pabrik slab baja I mempunyai 4 (empat) unit dapur listrik dilengkapi dengan 2 (dua)

continous feeding dan pabrik slab baja II yang merupakan perluasan dari pabrik slab

baja I mempunyai 2 (dua) unit dapur listrik dilengkapi dengan 1 (satu) continous

feeding. Dalam pembuatan slab baja menggunakan bahan baku besi spons yang

dilebur dalam tanur listrik EAF (electric arc furnace) dan dicor ke dalam cetakan

dengan menggunakan mesin continous casting (concast). Dalam proses pembuatan

slab baja, dimasukkan juga scrap sebagai bahan tambahan dan bahan-bahan paduan

logam lainnya seperti karbon, nikel, mangan, alunium, untuk menghasilkan baja

dengan kualitas (grade) tertentu. Dari proses produksi tersebut, maka limbah yang

ditimbulkan berupa buangan limbah padat lumpur (sludge), scale, dan debu EAF

(Nurdin, 1992).

Page 52: Limbah Padat Baja

29

2.5.3 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Billet Baja

Menurut Damanhuri (1997), proses pembuatan billet baja tidak dengan proses

pembuatan slab baja. Yang berbeda adalah dimensi produk baja yang dihasilkan.

Billet baja ini merupakan bahan baku untuk pabrik kawat. Limbah yang dihasilkan

adalah scale, sludge, dan debu EAF. Untuk pengolahan air yang mensuplai dan

mengelola air bersih untuk pabrik slab baja dan pabrik billet baja diperlukan

bangunan pengolahan air yang disebut fluid centre, yang terdiri dari fluid centre I dan

II. Proses produksi di kedua pabrik ini sama yaitu menggunakan tanur listrik EAF

untuk melebur besi spons. Sedangkan jenis buangan padat yang ditimbulkan di fluid

centre I adalah scale dan sludge. Scale berasal dari proses pendinginan slab baja dan

billet baja pada concast plant. Slab dan billet baja yang telah selesai dicetak

didinginkan dengan menyemprotkannya dengan air. Sebagian sisik-sisik baja ikut

terlepas dan akan terbawa air. Air ini juga membawa sebagian minyak pelumas mesin

concast. Sisik-sisik baja kemudian akan disisihkan melalui pengendapan, minyak

(grease) disisihkan dengan menggunakan oil skimmer. Buangan padat yang berasal

dari sisik-sisik baja ini disebut dengan scale. Lumpur (sludge) ditimbulkan dari

proses pencucian (backwash) gravel filter.

Untuk pembuatan baja berkualitas, selain menggunakan bijih besi (sponge)

juga menggunakan slag baja. Menurut Solomon (1994), slag baja digunakan sebagai

bahan campuran pembuatan baja yang proses melalui tanur pembakaran bijih baja.

Proses peleburan besi selain menghasilkan buangan lumpur juga mengemisi debu ke

udara. Debu berasal dari EAF ini ditangkap dengan menggunakan dedusting plant.

Sisa emisi debu EAF yang tidak tertangkap oleh dedusting plant akan masuk ke

dalam aliran air pendingin proses dan tersaring di gravel filter. Pada suatu saat

tertentu tangki-tangki akan dibersihkan dengan cara pencucian. Air buangan yang

berasal dari tangki-tangki penyaring ini akan ditampung di backwash water basin dan

lumpur yang dihasilkan ditampung ditangki lumpur (scale tank).

2.6 Karakteristik Limbah Padat Industri Baja

Menurut Mulyowahyudi (2005), teknologi pengolahan besi menjadi baja

dapat dipisahkan menjadi tiga macam. Masing-masing teknologi mempunyai

karakteristik yang berbeda mengenai bahan baku, produk, dan bahan pendukung

utama yang lain, sebagai berikut:

Page 53: Limbah Padat Baja

30

1. Direct Reduction (DR)

DR adalah proses pembuatan besi dari bahan baku pellet (Fe2O3) menjadi DRI

(direct reduced iron) dengan menggunakan bahan pembantu utama proses natural

gas. Penggunaan bahan pembantu utama ini yang menjadi alasan utama pemilihan

teknologi. Saat ini PT Krakatau Steel menggunakan teknologi HYL III. Bahan

baku pellet PT Krakatau Steel seluruhnya diimport karena bijih besi lokal

mengandung kadar Fe yang rendah dan tidak adanya industri pengolahan bijih

besi menjadi pellet (pengkayaan dan pembuatan pellet). Perkembangan teknologi

direct reduction terbaru sudah mampu mengolah bijih besi secara langsung

melalui teknologi FINMET dan menggunakan bahan pembantu utama natural gas

(NG) secara lebih hemat. Di masa mendatang, apabila supply sumber daya

natural gas dapat berkembang dengan lebih baik, maka teknolog seperti FINMET

merupakan pilihan yang direkomendasikan. Jenis teknologi direct reduction

selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis teknologi direct reduction (DR).

HYL III (KS) MIDREX FINMET Input Pellet, Lump Pellet, Lump Fines Produk DRI/HBI DRI/HBI HBI Konsumsi NG NG NG

Electricity Electricity Electricity

Sumber: Mulyowahyudi (2005)

2. Blast Furnace

Blast Furnace merupakan teknologi tertua dalam pembuatan hot metal dari

bahan baku agglomerated ore dan menggunakan cooking coal. Cooking coal

disini adalah batu bara dengan kandungan karbon tertentu yang digunakan sebagai

bahan baku proses pembuatan hot metal. Dan cooking coal jenis ini yang tidak

ada di Indonesia. Jenis teknologi blast furnace disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis teknologi blast furnac.

Input Agglomerated ore Produk Hot metal Karakeristik

Perlu coke/coking coalIssue lingkungan Investasi besar

Sumber: Mulyowahyudi, (2005)

Page 54: Limbah Padat Baja

31

3. Direct Smelting

Teknologi direct smelting merupakan teknologi terbaru dari pengolahan besi

baja. Teknologi ini mampu memproduksi DRI langsung dari bijih besi dengan

bahan pembantu utama batu bara. Batu bara yang dibutuhkan bukan batu bara

dengan kadar/kualitas tertentu, tapi bisa menggunakan batu bara muda yang

banyak terdapat di Indonesia. Bijih besi yang dibutuhkan pun tidak perlu yang

berkadar tinggi, tapi bisa bijih besi kadar rendah yang juga banyak terdapat di

Indonesia. Sampai saat ini teknologi ini masih terus dikembangkan untuk

disempurnakan dan belum banyak digunakan (skala komersial). Jenis teknologi

direct smelting selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis teknologi direct smelting.

Corex Hismelt DIOS Input Iron ores Iron ores Iron ores

Produk DRI/HBI DRI/HBI HBI Konsumsi Coal Coal Coal

NG NG Status Comercial Under

Construction Pilot Plant

Sumber: Mulyowahyudi, (2005)

Dari ketiga teknologi di atas, mengingat ketersediaan bahan baku dan bahan

pembantu utama yang banyak terdapat di Indonesia, teknologi direct reduction

(sejenis FINMET) dan direct smelting merupakan pilihan teknologi pengolahan

industri baja yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.

Sedangkan kekayaan cadangan bijih beji Indonesia cukup besar, diperkirakan

mencapai lebih dari 2 milyar ton dan belum termanfaatkan secara optimal baik secara

industri maupun ekonomi. Prospek pemanfaatan bahan baku lokal ini dapat

memberikan kontribusi cost advantages bagi penguatan daya saing industri nasional

secara signifikan. Dalam mempotensikan pemberdayaan bahan baku lokal sebenarnya

telah banyak upaya-upaya sistematis untuk mempersiapkan ke arah itu, mulai dari

pemetaan cadangan bijih besi di Indonesia, penelitian skala laboratorium maupun

industri, kajian-kajian prospek bisnis, hingga pelurusan pemahaman tentang bijih besi

secara objektif dan proporsional.

Menurut Mulyowahyudi (2005), Bahan baku industri baja domestik saat ini

adalah pellet, disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat

digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa

Page 55: Limbah Padat Baja

32

mengakomodasi hal itu dan belum ada industri nasional yang mengolah bijih besi

menjadi pellet. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya di ekspor.

Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan

dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di

ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun

menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara

nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect dalam hal

penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya

yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional. Gambar 8

merupakan kondisi sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia.

Gambar 8. Sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia (Mulyowahyudi, 2005)

Seharusnya bahan baku baja tersebut diatas merupakan ketahanan nasional

untuk dapat menekan pasar, sehingga industri baja nasional mempunyai kekuatan

posisi tawar dengan supplier. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah agar

penambangan bijih besi yang ada di dalam negeri dikelola dari hulu-hilir terjadi

terciptanya keharmonisan, maka kebijakan pemerintah yang diperlukan adalah:

1. Izin konsesi penguasaan penambangan yang selama ini sudah terlanjur

diotonomikan ke pemerintah daerah, agar dapat ditarik dan dikelola pemerintah

pusat. Alasannya adalah : (a) Agar eksploitasi sumber daya dapat dilakukan

secara good mining practice (sudah memperhatikan AMDAL dan dampak sosial

Page 56: Limbah Padat Baja

33

lainnya). (b) Untuk menghindar penambangan-penambangan liar yang dapat

merusak lingkungan. (c) Pengelolaan industri mining harus dikelola secara

industrialisasi agar memenuhi economic skill. (d) Untuk menjamin industri mining

sustainable.

2. Untuk menjamin pengelolaan bijih besi dan komoditi lain atau produk turunannya

dapat dikelola secara baik, dengan mengemukakan kepentingan nasional.

3. Menciptakan iklim investasi yang kondusif disektor industri mining, misalnya

dengan memberikan incentif perpajakan terhadap aktivitas pembangunan industri

mining.

4. Pemerintah membangun infrastruktur di pusat-pusat lokasi yang akan dibangun

industri mining, terutama prasarana jalan, pelabuhan, sumber energi dan air.

2.7 Pemodelan Sistem

Menurut Eriyatno (1999), menyatakan bahwa model merupakan suatu

abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung

serta kaitan timbal balik dalam istilah. Menurut Arimin (2001), menjelaskan

penggunaan istilah model menunjukkan dua hal, yaitu: (1) Model dalam pengertian

contoh atau teladan atau suatu yang perlu ditiru. (2) Model dalam pengertian bentuk,

pola, rancangan, Pemodelan merupakan teknik untuk membantu konseptualisasi dan

pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi

dari sistem terhadap tindakan manusia. Menurut Murdick (1982) mengemukakan

bahwa terdapat dua keuntungan menggunakan model yaitu: (1) Dengan modelkan

sistem lebih ekonomik dari bentuk lain. Untuk melakukan perubahan (modifikasi)

sistem lebih murah. (2) Model memungkinkan kita mengkaji dan melakukan

percobaan situasi yang rumit sampai ke tingkat tertentu yang tidak mungkin

dilakukan dengan membangun sistem nyata dengan lingkungannya. Membangun

suatu model dilakukan bertujuan untuk melihat perilaku sistem dalam membantu

kebijakan dan strategi pengololaan limbah industri baja dalam upaya

mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Menurut Muhammadi (2001), mengelompokkan model menjadi 3 (tiga) jenis,

yaitu: (1) Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik,

statistk, atau komputerisasi. (2) Model kualitatif adalah model yang berbentuk

gambar, diagram atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. (3) Model

ekonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik dengan barang yang ditirukan,

meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil.

Page 57: Limbah Padat Baja

34

Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem. Pada dasarnya

pendekatan sistem merupakan pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan

ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Karena itu, di dalam manajemen sistem

dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai ciri dasar sistem yang

perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem (Marimin,

2004). Dengan demikian, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan elemen-elemen

yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Menurut Eriyatno (1998), karena pemikiran sistem selalu mencari

keterpaduan (integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan

suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach).

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian permasalahan yang dimulai dengan

dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan–kebutuhan sehingga

dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.

Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi : (1) Analisis kebutuhan antar

pelaku, (2) Formulasi permasalahan, (3) Identifikasi sistem, (4) permodelan sistem,

(5) Verifikasi dan Validasi model serta (6) Implementasi model. Pada tahap analisis

kebutuhan dapat dijadikan sebagai permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam

tahap ini juga dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dari masing-masing

pelaku yang terlibat dalam sistem. Pada tahap formulasi permasalahan dirumuskan

permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah

diidentifikasi dari masing-masing pelaku tersebut. Tahap identifikasi sistem

merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan

dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi

kebutuhan tersebut. Di dalam tahap pemodelan sistem dibuat kaitan antara masukan

dan keluaran sistem yang akan diverifikasi dan divalidasi pada tahap selanjutnya.

Pada tahap akhir dilakukan rencana implementasi model, adapun tahapan pendekatan

sistem disajikan pada Gambar 9.

Page 58: Limbah Padat Baja

35

Mulai Tidak A Absah ? Ya Absah ? Tidak Absah ? Tidak Ya Ya Tidak Tidak Absah ? Absah ? Ya Ya A Selesai Gambar 9. Tahap pendekatan sistem (Eriyatno, 1999)

Anderson (1977) menjelaskan bahwa verifikasi dan validasi model merupakan

bagian penting dalam setiap menganalisis yang bersifat empiris. Artinya bahwa

setelah model dibangun dengan pemograman komputer dan format input-output telah

dirancang dan hasilnya memadai, maka tahap selanjutnya yaitu melakukan verifikasi

(pembuktian) yang berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan

model matematik. Sedangkan menurut Eriyatno (1999), validasi merupakan usaha

untuk menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dan

realitas yang dikaji. Karena itu, suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya

dapat menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem

nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan

dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem

nyata bekerja. Pembuktian validasi model suatu hal yang sebenarnya sulit untuk

dilakukan.

Analisis Kebutuhan Stakehoders

Formulasi Permasalahan

Identifikasi Sistem

Pemodelan Sistem

Verifikasi dan Validasi

Page 59: Limbah Padat Baja

36

Muhammadi (2001) menjelaskan bahwa untuk menguji validasi model dibagi

menjadi dua yaitu: validasi struktur dan validasi kinerja (output model). Validasi

struktur bertjuan untuk memperoleh suatu keyakinan tentang sejauhmana kesamaan

struktur model mendekati struktur nyata. Sedangkan validasi kinerja merupakan

aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem dan ditujukan untuk memperoleh

suatu keyakinan tentang sejauhmana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata

sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah sesuai dengan fakta. Oleh karena itu,

validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, cara kualitatif yaitu

dengan membandingkan secara visual antara simulasi dengan aktual. Kedua, cara

kuantitatif yaitu: dengan uji statistik antara simulasi dengan aktual.

2.8 Analytical Hierarchy Process

Adapun prinsip kerja dalam pengelolaan limbah baja menggunakan model

analytical hierarchy process (AHP – criterium decision plus). Pada dasarnya AHP ini

berlandaskan pada pola pikir manusia yang sistematis guna menghadapi kompleksitas

yang ditangkapnya, sehingga diwujudkan dalam suatu metode yang merumuskan

masalah dalam bentuk hirarki dan pertimbangan-pertimbangan dimasukkan guna

menghasilkan skala prioritas. Menurut Saaty (1999), analytical hierarchy process

adalah suatu model yang luwes yang memungkinkan kita mengambil keputusan

dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai pribadi secara logis.

Model AHP ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak

mempunyai struktur, biasanya digunakan untuk memecahkan permasalahan (problem

solving) yang dapat terukur, masalah yang memerlukan pendapat (judgement)

maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi di mana data,

informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kuantitatif

yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. Menurut Saaty (1999), selain

itu model AHP juga banyak digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk banyak

kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-

strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik.

Menurut Saaty (1993), terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan

model AHP sebagai alat analisis, yaitu:

1. Memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk keragam persoalan

yang tidak struktur;

2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam

memcahkan persoalan kompleks;

Page 60: Limbah Padat Baja

37

3. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk

mendapatkan prioritas;

4. Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan

tidak memaksa pemikiran linier;

5. Mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah-milah elemen-

elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berlainan dan mengelompokkan

unsur serupa dalam setisiap tingkat;

6. Menuntun ke suatu tafsiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif;

7. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang gunakan dalam

penetapkan berbagai prioritas;

8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan

memungkinkan orang memilih alternatif terbaik suatu tahapan pelaksanaan

kegiatan, berdasarkan tujuan masing-masing;

9. Tidak memaksakan konsensus tetapi tetapi mensintesis suatu hasil yang

representatif dari penilaian yang berbeda.

10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan

memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Selain tersebut di atas, kelebihan model AHP dibandingkan dengan yang

lainnya adalah: (1) struktur yang berhirarki, sebagi konsekuensi dari kriteria yang

dipilih, sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, (2) memperhitungkan

validitas sampai dengan batas toleransi inkonsisten berbagai kriteria dan alaternatif

yang dipilih oleh para pengambil keputusan, (3) memperhitungkan daya tahan output

analisis sensitifitas pengambilan keputusan. Model AHP juga mempunyai

kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang

berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap elemen. Jadi, model ini merupakan

model pengambilan keputusan yang komprehensif.

Menurut Suryadi (2002), langkah-langkah yang dilakukan pada analisis AHP

adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.

2. Membuat matrik perbandingan berpasangan untuk setiap elemen dalam hirarki.

3. Memasukkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan

perangkat matrik.

4. Mengolah data dalam matrik perbandingan berpasangan sehingga didapatkan

prioritas setiap elemen hirarki.

5. Menguji konsistensi dari prioritas yang telah diperoleh.

Page 61: Limbah Padat Baja

38

6. Melakukan langkah-langkah di atas untuk setiap level hirarki.

7. Menggunakan komposisi hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas

dengan bobot-bobot kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas yang sudah

diberi bobot tadi dengan nilai prioritas dari level bawah berikutnya dan seterusnya.

Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk level hirarki paling bawah.

8. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki dengan mengalikan setiap indeks

konsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil

kalinya. Hasil ini kemudian dibagi dengan pernyataan sejenis menggunakan

indeks konsistensi random/acak yang sesuai dengan dimensi tiap matrik. Rasio

konsistensi hirarki tersebut tidak boleh lebih dari 0,1. Jika tidak maka proses

harus diperbaiki.

2.8.1 Matriks Perbandingan Berpasangan

Matriks perbandingan berpasangan dibuat untuk menggambarkan pengaruh

relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat

diatasnya, perbandingan berdasarkan penilaian (judgement) dari para pengambil

keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan

elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen

terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses

AHP yang disarankan, seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Page 62: Limbah Padat Baja

39

Tabel 6. Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat

Kepentingan Keterangan Penjelasan

1

3

5

7

9

2,4,6,8

Kebalikan

Kedua elemen sama pentingnya.

Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada

elemen yang lainnya.

Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen

yang lain.

Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada

elemen yang lain.

Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada

elemen yang lain.

Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang

berdekatan.

Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila

dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai

nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama terhadap tujuan.

Pengalaman dan penilaian sedikit

mendukung satu elemen

dibandingkan elemen lainnya.

Pengalaman dan penilaian sangat

kuat mendukung satu elemen

dibanding elemen lainnya.

Satu elemen dengan kuat didukung

dan dominan terlihat dalam praktek.

Bukti yang mendukung elemen

yang satu terhadap elemen lain

memiliki tingkat penegasan

tertinggi yang mungkin

menguatkan.

Nilai ini diberikan bila ada dua

kompromi diantara dua pilihan.

Sumber: Saaty (1999)

Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan

nilai skala komparasi 1 sampai 9. Skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang

terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya yang

ditunjukkan dengan nilai RMS (root mean square deviation) dan MAD (median

absolute deviation).

2.8.2 Besarnya Bobot

Menurut Marimin (2005), terdapat 3 langkah untuk menentukan besarnya

bobot yang dimulai kasus khusus yang sederhana sampai dengan kasus-kasus umum,

adalah sebagai berikut:

1. Langkah 1:

wi/wj = aij (i,j = 1, 2,...,n) ......................................................................... (1)

wi = bobot input dalam baris

wj = bobot input dalam lajur

2. Langkah 2:

wi = aij wj (i,j = 1, 2,...,n) ..................................................................... (2)

Page 63: Limbah Padat Baja

40

Untuk kasus-kasus umum mempunyai bentuk:

n wi = 1 ∑ aij wj (i = 1, 2,...,n) n j=i

wi = rata-rata dari ai1 w1 , ..., ain wn

3. Langkah 3:

Bila perkiraan aij baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah wi/wj. Jika n

juga berubah, maka n diubah menjadi λ maksimum sehingga diperoleh:

n wi = 1 ∑ aij wj (i = 1, 2,...,n) ................................................. (3) λ max j=i

2.8.3 Indeks Konsistensi (CI)

Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang

akan berpengaruh kepada keabsahan hasil. Indeks konsistensi untuk menyatakan

penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu

penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan

menggunakan rumus:

CI = 1

max−−

nnλ ............................................................. (4)

Keterangan: λ max = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks

Nilai pengukuran indeks konsistensi (CI) diperlukan untuk mengetahui

kekonsistensian jawaban dari key person yang akan berpengaruh terhadap keabsahan

hasil.

Perhitungan Consistency Ratio (CR)

Consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa

apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak

(Marimin, 2004). Consistency ratio dapat dihitung dengan persamaan:

RICICR = ................................................ (5)

Di mana nilai RI diperoleh dari nilai indeks random.

2.9 Metode Interpretative Structural Modelling

Menurut Marimin (2005), salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan

untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural

Page 64: Limbah Padat Baja

41

(interpretative structural modelling - ISM). Sedangkan menurut Eriyatno (1998),

ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-

model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,

melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta

kalimat. Oleh karena itu, Teknik ISM merupakan salah satu teknik pemodelan

sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang

yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau

aplikasi statistik deskriptif. Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi 2 (dua)

bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip dasarnya adalah

identifikasi dari di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi

guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.

Menurut Marimin (2004), teknik ISM memberikan basis analisis di mana

kebijakan serta perencanaan strategis, seperti yang diungkapkan Saxena (1992)

program dapat dibagi menjadi 9 (sembilan) elemen: (1) Sektor masyarakat yang

terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala utama, (4) Perubahan yang

dimungkinkan, (5) Tujuan dari program, (6) Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan,

(7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna

mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, (9) Lembaga yang terlibat

dalam pelaksanaan program. Adapun keluaran dari program ISM ini adalah berupa

rangking masing-masing subelemen dan plot masing-masing subelemen ke dalam (4)

empat sektor beserta koordinatnya. Dari hasil rangking masing-masing sub elemen,

maka dapat dibuat hierarki setiap sub elemen secara manual di mana sub elemen

dengan rangking yang lebih tinggi akan berada pada hierarki yang lebih rendah.

2.10 Pemodelan Sistem Dinamik

Menurut Muhammadi (2001), sistem merupakan keseluruhan interaksi antar

unsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai

tujuan. Pengertian dari keseluruhan adalah lebih sekedar penjumlahan atau susunan

(aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh seluruh itu

jauh lebih besar dari suatu pen jumlahan atau susunan.

Di dalam sistem dinamik, proses perumusan mekanisme tersebut pada

dasarnya adalah penyederhanaan kerumitan untuk menciptakan sebuah konsep model

(mental model). Penanganan kerumitan itu berarti membuat penyerhanaan terhadap

kerumitan, namun penyederhanaan bukan berarti mengabaikan unsur-unsur yang

saling mempengaruhi yang membentuk unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Ada 2

Page 65: Limbah Padat Baja

42

(dua) jenis kerumitan yang perlu disederhanakan, yaitu kerumitan rinci (detail

complexity) dan kerumitan perubahan (dynamic complexity). Kerumitan rinci (detail

complexity) yaitu yang menyangkut ciri dan cara bekerja unsur-unsur yang terlibat

dalam sistem yang diamati dalam mengisi kesenjangan. Sedangkan kerumitan

perubahan (dynamic complexity) yaitu proses dan kecepatan/kelambatan waktu yang

diperlukan sistem dalam bentuk simpal-simpal (loops) umpan balik, yang

menunjukkan struktur dan mekanisme dinamis mempengaruhi proses nyata dalam

menciptakan kejadian nyata (Muhammadi, 2001).

Eriyanto (1999) menjelaskan elemen atau komponen sistem adalah unsur

(entity) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik. Elemen mempunyai atribut berupa

nilai bilangan, formula intensitas atau statu keadaan fisik seperti seseorang, mesin,

dan organisasi. Menurut Shrode dan Voich dalam Arimin (2001), secara garis besar

sistem dibagi menjadi 2 (dua) pengertian yaitu:

(1) Sistem sebagai entitas (wujud) merupakan statu himpunan bagi yang saling

berkaitan membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks terapi

merupakan satu kesatuan. Contoh wujud: alam semesta, manusia, pesawat, dan

sebagainya. Dengan demikian sistem di sini menganggap sebagai suatu entitas

yang pada dasarnya bersifat menggambarkan (deskriptif).

(2) Sistem sebagi suatu metode. Sistem di sini dapat dirtikan sebagai tata cara yang

bersifat preskriptif selain keteraturan dan ketertiban juga memiliki makna

pendekatann rasional dan logik dalam mencapai suatu tujuan. Pengertian sistem

sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem.

Di dalam pengelolaan limbah industri baja diperlukan suatu sistem yang melibatkan

berbagai elemen seperti sumberdaya, konsep dan prosedur untuk pencapaian tujuan

dengan menekan berbagai aspek tingkat pencemaran lingkungan melalui program

pengendalian limbah, minimalisasi limbah dan pemanfaatan kembali limbah yang ada.

Untuk membangun sistem model tersebut diperlukan model dinamik

(dinamic modeling) yang dilakukan bertujuan untuk melihat perilaku sistem dalam

membantu penyusunan model (Handoko, 2005), seperti model pengelolaan limbah

industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan

Industri Krakatau Cilegon. Model dinamik ini dapat dibuat dengan bantuan software

powersim, sehingga kompleksitas permasalahan dapat diselesaikan sesuai dengan

keinginan yang diharapkan.

Page 66: Limbah Padat Baja

43

2.11 Konsep Evaluasi Aspek Ekonomi dan Finansial

Menurut Mulyowahyudi (2005), meningkatnya konsumsi baja di Indonesia

akan sangat tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, terutama untuk

sektor-sektor yang erat kaitanya dengan baja, seperti halnya sektor konstruksi. Namun

sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 dimana tingkat pertumbuhan

ekonomi merosot tajam hingga mencapai rata-rata per tahun dibawah 4 %, ternyata

berdampak pada pertumbuhan sektor konstruksi yang paling banyak menyerap baja,

dengan pertumbuhan hanya di bawah 2,5 % per tahun. Namun kemudian, secara

sektor industri konstruksi sudah mulai memperlihatkan kegiatannya, terbukti selama

periode tahun 2000-2003 sektor ini mampu mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi

yaitu rata-rata 8,19 % per tahun. Dengan berkembangnya sektor properti,

infrastruktur dan pembangunan-pembangunan perumahan di Indonesia yang bersifat

individual, akan sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan di sektor ini. Oleh

sebab itu, diperkirakan trend ini akan terus berkembang untuk tahun-tahun

mendatang, diperkirakan kegiatan pembangunan di sektor infrastruktur akan semakin

tinggi.

Menurut Helfert (1997), berkembangnya kegiatan pembangunan di sektor

infrastruktur harus diikuti dengan konsep evaluasi aspek ekonomi dan finansial.

Konsep ini dilakukan untuk menentukan apakah suatu proyek itu akan memberikan

sumbangan atau mempunyai peranan yang menguntungkan dalam mengelola limbah

industri baja menjadi produk yang lebih bermanfaat dan mempunyai nilai tambah

(added value). Diharapkan manfaat aspek ekonomi dapat memberikan kemampuan

suatu perusahaan/proyek dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan

penghasilan suatu perusahaan dan sebagainya. Sedangkan pada aspek finansial,

proyek dikatakan sehat apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu

memenuhi kewajiban finansialnya. Evaluasi aspek ekonomi dan finansial juga pada

hakekatnya merupakan hasil keputusan yang diambil ketika diadakan aspek-aspek

lainnya seperti aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi, dan aspek

manajemen operasional, dari proyek yang direncanakan. Sebagai contoh perhitungan

kebutuhan dana modal tetap sebagian besar dilakukan berdasarkan jumlah dan jenis

harta tetap proyek seperti tanah, bangunan, mesin, peralatan yang secara teknis dan

teknologi dinilai layak untuk disarankan dipergunakan dalam proyek.

Page 67: Limbah Padat Baja

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Industri Pabrik baja terpadu PT. Krakatau

Steel Cilegon yang meliputi area pabrik besi sponge atau direct reduction (DR) plant,

pabrik slab baja, dan pabrik billet baja dan wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon yang berlokasi empat kecamatan yaitu Kecamatan Ciwandan, Kecamatan

Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak di Kota Cilegon. Penelitian

dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dengan cara observasi langsung di lokasi penelitian

seperti pengambilan sampel sedimen dan kerang-kerangan di wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon dan pengambilan data secara purpossive melalui

kuesioner, diskusi dan wawancara dengan pakar lingkungan. Sedangkan data

sekunder penelitian ini diperoleh dari jenis limbah baja yang dihasilkan oleh pabrik,

baik limbah industri baja yang berada di area masing-masing pabrik tersebut maupun

di area penampungan limbah industri baja yang sudah ditentukan lokasinya, yakni:

1. Jenis limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc

furnace (EAF) dari billet steel plant (BSP) dan slab steel plant (SSP I/II).

2. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: sludge dari: direct

reduction plant (DR I, II, III) yang berasal dari water treatment plant (WTP) dan

wire rode mill (WRM), berasal dari WTP.

3. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: slurry dari: cold rolling

mill (CRM), berasal dari WTP.

4. Data demografi, kesehatan masyarakat, dan dampak industri terhadap kesehatan

masyarakat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Selain data tersebut di atas, juga diperlukan data untuk mendukung hasil penelitian

berupa hasil pengujian-pengujian karakteristik jenis limbah industri baja, serta untuk

kelengkapan data yang terkumpul sebagai validasi model pengelolaan limbah industri

baja sebagai upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir, perlu dilakukan

dengan bantuan pakar (expert) yang kemampuan dalam bidang pengendalian

pencemaran pesisir.

Page 68: Limbah Padat Baja

45

Marimin (2002) menjelaskan kriteria-kriteria yang memenuhi syarat sebagai

pakar, adalah sebagai berikut:

1. Pakar yang mendapat pendidikan formal S2/S3 pada bidang yang dikaji.

2. Pakar yang berpengalaman pada bidang yang dikaji, tetapi memilki pendidikan

formal di bidang lain.

3. Pakar yang berpendidikan formal dan berpengalaman pada bidang yang dikaji.

4. Pakar berasal dari praktisi, didasarkan pada lama kerja dan kewenangan di suatu

posisi tertentu.

Dalam penelitian ini yang menjadi stakeholder sebagai pakar lingkungan yang

berasal dari perguruan tinggi, instansi pemerintah maupun instansi terkait lainnya

yang berpendidikan S2/S3 seperti IPB, ITB, dan UNTIRTA, Puspiptek Serpong,

Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Provinsi Banten

seperti Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel

dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan.

3.3 Tahapan Penelitian

Untuk mempermudah penyelesaian masalah dalam rangka menentukan model

pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Untuk itu diperlukan tahapan

penelitian yang selengkapnya disajikan pada Gambar 10.

3.3.1 Studi Pendahuluan

Sebelum dilakukan penelitian utama, dilakukan studi pendahuluan yang

bertujuan untuk mengenal keadaan lokasi dan menemukan permasalahan

pemanfaatan limbah inidustri baja untuk keperluan daur ulang limbah menuju ke arah

dan sasaran yang hendak dicapai dalam rangka memanfaatkan penggunaan sumber

daya yang dimiliki. Untuk keperluan tersebut yang dilakukan adalah mempelajari

kepustakaan-kepustakaan, observasi lapang untuk mengidentifikasi permasalahan-

permasalahan yang ada di perusahaaan serta mempelajari sistem pengelolaan limbah

industri baja saat ini di Pabrik baja PT. Krakatau Steel.

3.3.2 Pengumpulan Data

Penelitian ini dikumpulkan dan didentifikasi data jenis limbah baja yang

timbul baik dalam bentuk sludge, slurry, slag, scale, dan debu EAF yang berasal dari

hasil proses produksi pabrik baja yang sedang berjalan maupun jenis limbah yang ada

saat ini di area penampungan limbah dari pabrik baja penghasil limbah yaitu: billet

Page 69: Limbah Padat Baja

46

STUDI PENDAHULUAN

steel plant, slab steel plant, direct reduction plant I, II, dan III, wire rode Mill, dan

cold rolling mill. Selain itu penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap parameter

Gambar 10. Tahapan penelitian pengembangan model pengelolaan limbah industri baja

air yang akan menyebabkan terjadi degradasi pesisir maupun timbulnya penyakit bagi

kesehatan manusia baik pada karyawan maupun penduduk di Kawasan Industri

Krakatau Cilegon, untuk penelitian ini data diperoleh dari instansi terkait yaitu: Divisi

Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT. Krakatau Steel,

Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi (DLHPE) Kota Cilegon, Dinas

Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten.

Data kualitas air selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu dan dianalisis secara

deskriptif.

Studi Pustaka

Observasi Lapangan

Pengelolaan Limbah Baja Saat ini

PENGUMPULAN DATA

Identifikasi Data Jenis Limbah

PEMANFAATAN LIMBAH

Analiasa Limbah (Slurry, Sludge,

Debu EAF)

(AHP, ISM) (POWERSIM) (NPV, BCR)

Dampak Pencemaran Lingkungan

Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

Degradasi Pesisir

Kesehatan Masyarakat

Analisis Baku Mutu

Kebijakan dan Strategi Model

Pengelolaan Limbah Baja

Limbah: - Hasil uji Toksisitas - Hasil uji lainnya

Produk substitusi limbah yang memenuhi standar

mutu

Proses Produksi bersubstitusi

Limbah

Pemanfaatan Limbah

Pengelolaan Limbah Baja

Penentuan Pemilihan Prioritas

Penentuan Parameter

Kunci

Komponen Proses dan Teknologi, Penduduk dan Lingkungan, serta Ekonomi

Masyarakat Sekitar

Pesisir Laut

Industri

Pengem-bangan Model

Analisis Kebijakan

Model Dinamis

Sintesa

Page 70: Limbah Padat Baja

47

3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Sejumlah data yang dikumpulkan merupakan jenis data yang digunakan yaitu

data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengambilan

secara purpossive berjumlah 14 orang pakar lingkungan dengan jenjang pendidikan

S2 dan S3 melalui penyebaran kuesioner dan wawancara dengan stakehoder, baik

dari perguruan tinggi yang berasal dari IPB, ITB, Untirta, instansi terkait yang

berasal dari Dinas Lingkungan Kota Cilegon dan Provinsi Banten, Puspiptek Serpong,

DPRD Kota Cilegon dan Provinsi Banten, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM)

peduli lingkungan Kota Cilegon. Hasil kuesioner tersebut digunakan untuk penentuan

pemilihan prioritas dan penentuan parameter kunci pada model pengelolaan limbah,

selain itu juga dilakukan pengambilan sampel sedimen dan biota air khususnya

kerang-kerangan di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Sedangkan

pengumpulan data sekunder dilakukan dengan survei mendatangi instansi terkait

berupa pengambilan data statistik, data demografi: jumlah penduduk, angka kelahiran

dan angka kematian penduduk, kesehatan masyarakat, potensi wilayah, hasil-hasil

penelitian, rencana pengelolaan limbah, dan data hasil olahan lainnya.

Stakeholder yang terkait dengan kebijakan model pengelolaan limbah industri

baja dalam upaya untuk mempertahankan kelestarian pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon ditentukan berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan

kriteria kepentingan dan pengaruh setiap stakeholder. Pemilihan pakar didasarkan

pada latar belakang pendidikan, pengalaman atau jabatan, dan perilaku (attitude) para

stakeholder terkait. Secara rinci hasil identifikasi dengan para stakeholder disajikan

pada Tabel 7.

Tabel 7. Stakeholder dalam menentukan model pengelolaan limbah baja

Stakeholder Provinsi Banten dan lainnya

Kota Cilegon

Pemerintah - Bapedalda - Dinas Perindakop - Dinas Perikanan dan Kelautan - Dinas Pertanian dan Peternakan - Dinas Kesehatan

- Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi - Badan Kependudukan dan Catatan Sipil - Dinas Koperasi dan Pertanian - Dinas Kesehatan - Badan Pusat Statistik

Pengusaha Kadinda Kadinda Perusahaan - Divisi K3LH PT.KS, PT. KIEC LSM/Tokoh Masyarakat - LSM terkait

- Walhi - DPRD Propinsi

- LSM terkait - DPRD Kota Cilegon

Peneliti/Pakar - Puspiptek, ITB, IPB UNTIRTA

Page 71: Limbah Padat Baja

48

3.5 Jenis Data dan Teknis Analisis yang Digunakan

Jenis data dan teknis analisis yang digunakan serta keluaran (output) dalam

proses penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tujuan penelitian, jenis data, teknis analisis dan keluaran

Tujuan Penelitian Jenis data yang dikumpulkan

Teknis Analisis Keluaran

Mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja yang dihasilkan, namun belum dimanfaatkan kembali.

Data jenis limbah baja: slag, scale, sludge, slurry dan debu EAF di Area penampungan

- Analisis hasil uji toksisitas - Analisis hasil uji kualitas air laut - Analisis IPAL

Karakteristiik jenis limbah baja: sludge, slurry dan debu EAF yang memenuhi standar mutu.

Mengetahui pencemaran di wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitar KIKC dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang.

Data limbah baja yang mencemari perairan dan kesehatan masyarakat yang lolos dari proses IPAL, kualitas air, sedimen dan kandungan logam berat pada kerang

Deskriptif Tingkat pemcemaran pesisir dan kesehatan bagi masyarakat sekitar dan konsentrasi logam berat pada organ tubuh kerang.

Merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitarnya.

. Nilai ekonomis limbah

.Indikator dari para Peneliti/pakar dan bobot setiap atribut hasil kuesioner

. Analisis investasi pengolahan limbah NPV dan BCR

. Analisis model pngelolaan limbah: AHP, ISM, dan

pemodelan sistem dinamik (powersim)

. Nilai NPV dan BCR

. Prioritas kebijakan

. Faktor penentu parameter kunci . Penyusunan model untuk melihat perilaku sistem

Merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

Instansi terkait: Pemerintah Daerah, LSM/tokoh masyarakat, Peneliti/pakar PT dan Pengusaha

.Analisis baku mutu . Model dinamis

. Analisis kebijakan

. Sintesa

Model pengelolaan limbah baja dalam upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir

3.6 Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

Model ini bertujuan untuk menentukan analisis pengelolaan limbah industri

baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Juga model analisis

investasi pengelolaan limbah baja digunakan untuk mengevaluasi peran lingkungan

hidup di kawasan pesisir secara sinergi memberikan manfaat kepada masyarakat dan

lingkungan secara berkelanjutan.

Model analisis investasi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir Kawasan

Industri Krakatau Cilegon dapat diukur dengan mengevaluasi manfaat nilai kelayakan

Page 72: Limbah Padat Baja

49

lingkungan, yaitu dengan menghitung net present value (NPV) dan benefit cost ratio

analysis (BCR).

A. Net Present Value Analysis

Menurut Hisrich (1991), di dalam menganalisa nilai sekarang (net present

value/NPV analysis) ini bertujuan agar semua investasi, pengeluaran dan penerimaan

yang terbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai umur ekonomis proyek

dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat

suku bunga yang relevan. Formulanya sebagai berikut:

n n NPV(i) = ∑ Bt (1 + i)-t - ∑ Ct (1 + i)-t ............................................................. (6) t = 0 t = 0

Keterangan: Bt = Total penerimaan (benefit) dari proyek pada periode t

Ct = Total biaya (cost) untuk proyek yang dikeluarkan

i = Tingkat suku bunga (interst rate)

(1+i)-t = Faktor nilai sekarang (present worth factors) atau discount

factor koreksi pengaruh waktu terhadap nilai uang pada

periode t dengan interst rate i per-tahun.

Jika nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang lebih

besar dari nilai sekarang investasi, maka proyek tersebut dikatakan menguntungkan

sehingga diterima (NPV > 0). Sedangkan jika nilai sekarang lebih kecil (NPV < 0),

maka proyek ditolak karena dinilai tidak menguntungkan. Dan apabila NPV = 0,

berarti nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang sama

dengan nilai sekarang investasi.

B. Benefit Cost Ratio Analysis

Benefit cost ratio analysis digunakan untuk menentukan pengelolaan

sumberdaya yang dimiliki di wilayah pesisir laut secara lebih efisien, terutama

digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan pesisir di Kawasan

Industri Krakatau Industri. Dengan menggunakan pendekatan benefit cost ratio

analyisis (BCR) ini, sebuah proyek atau program dengan net present value (NPV)

positif direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek

tersebut akan menghasilkan pengembalian yang lebih besar dan merupakan hasil

pengelolaan sumberdaya terbaik di masa mendatang. Formulanya sebagai berikut:

n Bt/(1 + i)t BCR = ∑ …………………………………………. (7) t = 1 Ct /(1 + i)t

Page 73: Limbah Padat Baja

50

Prosedur untuk mengevaluasi penentuan pengelolaan limbah baja di wilayah

pesisir dan laut didasarkan pada nilai BCR tertinggi.

3.7 Analisis Baku Mutu

Analisis baku mutu terhadap lingkungan ditujukan untuk mengetahui batas

aman dari bahan yang membahayakan dalam pengelolaan limbah baja terhadap

degradasi kelestarian wilayah pesisir atau terhadap ekosistem perairan dan kesehatan

masyarakat. Batas aman disini apakah lingkungan masih dapat mentoleransi sehingga

tidak terjadi akumulasi standar kualitas dan dapat dijadikan sebagai pembanding

untuk mengetahui perubahan kualitas lingkungan. Tujuan dilakukan analisis baku

mutu untuk: (1) keperluan pemantauan (monitoring), dan (2) pengendalian

(controlling).

Di dalam penetapan baku mutu ini terdapat prinsip-prinsip yang dapat

dilakukan yaitu: (1) tidak terlalu memberatkan pengusaha (tidak terlalu ketat). (2)

tidak mengabaikan kesehatan masyarakat (tidak terlalu longgar). Sehingga

diharapkan dalam penetapan baku mutu ini terjadi keseimbangan antara kepentingan

pengusaha dengan lingkungan sekitarnya.

Menurut Suratmo (2002) menjelaskan teknik pendekatan penyusunan Baku

Mutu melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Identifikasi dari penggunaan sumberdaya atau media ambien yang harus

dilindungi.

2. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan

pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.

3. Merumuskan baku mutu ambien (berkenaan dengan lingkungan) dari hasil

penyusunan kriteria

4. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dikemas ke dalam lingkungan.

5. Membentuk program pemantauan dan pengumpulan berbagai informasi untuk

penyempurnaan.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan

Hidup Nomor: 03 tahun 1991 pasal 13, menyatakan untuk mencegah pembuangan

kejutan (stock loading) pada sistem pengolahan limbah atau pada sumber air, setiap

pabrik harus mengadakan suatu sistem dengan mencegah agar beban pencemaran

limbah tidak boleh lebih tinggi 100% dari beban pencemaran cair rata-rata setiap

bulan. Adapun penelitian ini difokuskan pada pengambilan sampel sedimen dan biota

di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Page 74: Limbah Padat Baja

51

3.8 Pengambilan Sampling Sedimen

Pengambilan sampel sedimen dilakukan di wilayah pesisir dimana sampel

bentik diambil dan stasiun yang diambil mengikuti stasiun pengambilan sampel

bentik. Hal ini dimaksudkan agar ada kesinambungan terutama untuk interpretasikan

data komunitas bentik sangat membutuhkan data karakter fisik dan kimia sedimen di

lokasi tempat hidup biota bentik tersebut. Adapun alat yang digunakan adalah sama

dengan pada pengambilan sample bentos yaitu Petersen Grab (luasan 0.1 m2) dengan

cara pengambilan yang sama seperti pengambilan bentos. Adapun cara pengambilan

sampling sedimen disajikan di bawah ini.

A. Penggunaan Grab Sampler

Turunkan grab sampler ke kolom air pada posisi terbuka dengan kecepatan

terkontrol sekitar 1 m/3 detik melalui kabel dengan menggunakan whinch. Pastikan

grab sampler tidak jatuh bebas ke dasar perairan. Hydrowire (kabel yang digunakan

untuk menurunkan grab sampler) harus lurus selama grab sampler diturunkan.

Sampler akan tertutup ketika menyentuh dasar dan kabel agak mengendor. Angkat

sedikit grab sampler dari dasar air agar bisa tertutup dengan tepat tanpa ada sedimen

tertumpah. Setelah grab sampler terangkat dari dasar air, kecepatan penarikan dapat

dinaikkan sampai sekitar 1 m/detik.

B. Pengambilan sampel

Pada saat dilakukan pengambilan sampel tangan menggunakan sarung tangan

lateks. Setelah grab diangkat ke permukaan yang pertama harus dilakukan adalah

membuang air dari atas sedimen dengan menggunakan syringe tanpa jarum.

Selanjutnya memeriksa sampel dan mencatat pada catatan buku lapangan hal-hal

mengenai warna, tekstur, aroma, kotoran, struktur biologi, batu besar, kilap minyak,

hal-hal yang tidak biasa pada sampel dan hal lain yang tidak biasa pada proses

pengambilan sampel. Selanjutnya dilakukan pembuangan kotoran, struktur biologi,

batu besar yang ada pada sampel. Sementara itu juga disiapkan botol sampel yang

diberi label sesuai dengan nomor stasiun dengan tinta permanen, dan mencatat pada

buku catatan lapang mengenai identifikasi sampel (lokasi pengambilan sampel),

tanggal dan waktu pengambilan sampel, klien, parameter yang akan dianalisis dan

petugas pengambil sampel.

Selanjutnya 2 cm teratas dari sampel tersebut diambil dengan sendok stainless

steel dan dimasukan ke dalam 3 botol sampel bersih yang masing-masing volumenya

250 ml dan masing-masing botol tersebut akan dimanfaatkan untuk analisa butiran

Page 75: Limbah Padat Baja

52

sedimen dan logam. Selain itu juga akan diambil sampel tambahan pada setiap

stasiun untuk keperluan sampel duplikat. Selanjutnya botol dimasukan ke dalam

plastik dua rangkap, dan dimasukkan pada cooler dengan kualitas yang baik, yang

berisi frozen ice park dan tutup cooler dan didalamnya diberi es batu yang telah

dibungkus plastik, sehingga selama penyimpanan dan pengiriman sampel tetap dingin.

Namun demikian untuk keperluan pemeriksaan butir sedimen, sample tidak

dibekukan. Selanjutnya sampel akan dikirim ke laboratorium. Analisis di

laboratorium akan menggunakan metoda standar US EPA (environmental protection

agence). Untuk ukuran butiran akan dianalisis distribusi ukuran butiran, sedangkan

pemeriksaan logam merkuri, arsenik, besi, mangan, alumunium, dan silikon. Jika ada

kelebihan air, maka akan diaduk masuk ke dalam sampel dan dihomogenkan (diaduk)

dengan spatula, dan selanjutnya sampel akan dikeringkan dengan oven pada suhu 60C.

C. Penentuan konsentrasi logam berat

Pelarutan sampel dan analisis total merkuri digunakan metoda US EPA

dengan menggunakan aqua regia sebagai bagian dari proses pelarutan, sehingga

dihasilkan perolehan total (setiap jenis) logam berat pada sedimen laut yang baik.

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap setiap jenis logam berat dengan

menggunakan cold vapor atomic absorption.

3.9 Pengambilan Sampel Biota

Pengambilan sampel biota khususnya kerang yang akan diambil contoh

jaringannya dilakukan di lokasi dimana sampel sedimen diambil. Hal ini

dimaksudkan agar ada kesinambungan terutama untuk interpretasi data kandungan

logam pada jaringan kerang di lokasi diambil diduga ada kaitannya dengan

kandungan logam pada sedimen. Adapun alat yang digunakan di sini adalah sama

dengan pada pengambilan sampel kerang.. Kerang sampel yang diambil untuk

dijadikan sampel dalam keadaan hidup. Selanjutnya kerang dicuci dengan deionized

water, Setiap sampel tersebut dimasukkan pada cooler yang kualitasnya baik dengan

dilengkapi es batu yang dibungkus dengan plastik.

Pengambilan potongan sampel insang dan hati (hepatopankreas) pada kerang

dilakukan secara hati-hati tidak boleh kena tangan langsung (menggunakan sarung

tangan lateks) yang dilakukan di atas papan penyiangan yang bersih dengan

menggunakan bilah scalpel stainless steel yang baru. Untuk keperluan tersebut yang

pertama kali dilakukan adalah melepas kulit dan otot pengaitnya dengan hati-hati

sehingga jaringan yang diambil tidak terkontaminasi lendir, kotoran, sedimen atau hal

Page 76: Limbah Padat Baja

53

lain. Selanjutnya sampel otot dorsal dimasukkan ke dalam plastik bersih yang dapat

disegel dengan plastik rangkap dua, dan diantara kedua plastik tersebut diberi label

yang berisi identifikasi sampel, tanggal dan jam pengumpulan, nama klien, parameter

yang akan dianalisis dan nama pengumpul sampel. Selanjutnya sampel dibekukan,

dan baik pada saat disimpan maupun sampel dikirim diupayakan semaksimal

mungkin sehingga ada dalam keadaan beku. Sampel segera dikirim ke laboratorium

untuk dianalisis. Analisis logam pada jaringan dilakukan di laboratorium dengan

menggunakan metoda US EPA. Untuk keperluan ini sampel beku akan dithawing

terlebih dahulu dan selanjutnya dihomogenkan dengan cara diblender pada blender

dengan botol kaca dan bilahnya dari stainless steel yang sudah dibilas dengan asam

dan blanko pembilasannya digunakan untuk memferifkasi. Selanjutnya sampel yang

sudah dihomogenkan disimpan dalam keadaan beku. Pada waktu sampel tersebut

akan dianalisis sampel dithawing kemudian dilarutkan pada asam nitrit/H2O2 dengan

menggunakan wadah berupa bejana terbuka dan memanaskan serta melarutkan

sampelnya dengan menggunakan hot plate. Selanjutnya logam berat dianalisis

dengan cold vapor atomic adsorption (CVAA).

3.10 Pengelolaan limbah berdasarkan Submodel

Pada penelitian ini dugunakan analisis sistem dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut: (1) Analisis kebutuhan antar pelaku, (2) Formulasi permasalahan, (3)

Identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) Verifikasi dan validasi model serta (6)

Implementasi model. Pembangunan suatu model dilakukan dengan tujuan untuk

melihat perilaku sistem dalam membantu perencanaan strategi dan kebijakan

pengolahan limbah industri baja sebagai upaya mempetahankan kelestarian wilayah

pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Perumusan pemodelan ini dilakukan

berdasarkan hasil pendekatan black box dan kondisi faktual hasil studi yang

dikombinasikan dengan konsep teoritis dari berbagai kepustakaan yang digambarkan

dalam diagram input-output pengelolaan sumberdaya pesisir/perikanan. Sedangkan

untuk merumuskan model tersebut, maka dibangun sub-sub model yang akan

disajikan di bawah ini.

A. Submodel Penduduk

Untuk membuat submodel penduduk perlu dirumuskan bahwa Pertambahan

penduduk mengikuti suatu fungsi dari jumlah angka kelahiran, angka kematian, dan

urbanisasi. Penduduk pada suatu waktu (Pti) (jiwa) ditentukan oleh jumlah populasi

Page 77: Limbah Padat Baja

54

penduduk saat ini (Pto) (jiwa), jumlah kelahiran (Kel)) (%), jumlah urbanisasi (Urb)

(%), dan jumlah kematian (Kem)(%), dapat dirumuskan:

Pti = Pto + Pto (Kel + Urb – Kem) ............................................................... (8)

B. Submodel Industri

Untuk menyusun submodel industri perlu dirumuskan bahwa Jumlah beban

limbah industri (Li) (ton/tahun) dipengaruhi oleh Jumlah industri pada waktu ti (Jlti),

Jumlah industri awal (Jlto), Fraksi pembangunan industri (FPI) (%), Luas lahan

kawasan (LK) (ha), Fraksi limbah industri (Fli) (%). Dengan asumsi untuk setiap

industri membutuhkan satu hektar lahan, dapat dirumuskan:

Jlti = Jlto (1+FPI)/LK ............................................................................. (9)

Li = Jlti * Fli ..............................................................................(10)

C. Submodel Pengolah limbah

Untuk menyusun submodel pengolah limbah perlu dirumuskan bahwa jumlah

limbah (JL) (ton/tahun) yang masuk ke pesisir pantai dipengaruhi oleh beban limbah

(BL) (ton/tahun) bersumber dari industri baja dan kapasitas instalasi pengolahan

limbah (Kipal) (ton/tahun), dapat dirumuskan:

JL = BL – Kipal ....................................................................................... (11)

Pengolahan limbah yaitu upaya untuk mengurangi beban limbah hingga memenuhi

baku mutu.

D. Submodel Dampak Sosial

Untuk menyusun submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah

baja digunakan model dinamis. Model dinamis ini digunakan untuk mengetahui

dampak limbah terhadap demografi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dengan

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model dinamis ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Demografi = f(Kesehatan masyarakat, sosial ekonomi, dan daya dukung lingkungan)

Dampak demografi tersebut merupakan model populasi yang berkaitan dengan

submodel penduduk dapat diselesaikan dengan model dinamis (powersim) sebagai

pada model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah

pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Page 78: Limbah Padat Baja

55

3.11 Analisis Kebijakan Model Pengelolaan Limbah Industri Baja

Pencemaran lingkungan hidup terjadi di mana-mana. Pesisir maupun perairan

adalah korban pertama yang menderita di era pembangunan seperti ekosistem pantai.

Dinamika pesisir/perairan pantai mempunyai kelebihan dalam kemampuan untuk

mencerna limbah, namun bukan tidak ada batasnya. Keluhan tentang limbah yang

mencemari pesisir/perairan laut melalui air sungai mengalir ke laut, yang

menyebabkan makin berkurangnya produktivitas hasil tangkapan ikan dan lain-lain.

Penanganannya banyak tergantung dari cara menangani limbah di darat.

Penentuan kebijakan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Komponen-komponen limbah industri baja, yaitu: (a) jenis limbah baja; (b)

toksisitas limbah baja; (c) karakteristik limbah baja; dan (d) potensi tingkat

pencemaran limbah terhadap lingkungan.

2. Faktor-faktor yang menimbulkan limbah industri baja, yaitu: (a) proses produksi

pembuatan baja; (b) instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kurang baik; (c) daya

dukung lingkungan kurang; (d) Area penampungan limbah terbatas; dan (e)

Kapasitas limbah baja semakin meningkat.

3. Indikatornya, yaitu: (a) Reduce (mengurangi); sebisa mungkin meminimalisasi

material yang digunakan karena semakin banyak kita menggunakan material,

semakin banyak sampah yang dihasilkan; (b) Reuse (memakai kembali); sebisa

mungkin memilih material yang bisa dipakai kembali dan menghindari pemakaian

material yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang

waktu pemakaian material sebelum menjadi sampah; (c) Recycle (mendaur-

ulang); sebisa mungkin, material yang sudah tidak berguna dapat didaur ulang;

(d) Replace (mengganti); teliti material yang digunakan secara kontinu. Ganti

material yang hanya bisa dipakai sekali dengan material yang lebih tahan lama;

(e) Degradasi lingkungan; lakukan upaya untuk mengurangi degradasi pesisir; (f)

Kesehatan masyarakat; upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan

masyarakat di lingkungan sekitar dari pengaruh limbah.

Untuk memenuhi 3 (tiga) hal tersebut di atas, perlu dianalisis kebijakan dan

strategi model pengelolaan limbah industri baja yang digunakan yaitu menyusun

alternatif tindakan atau keputusan yang akan diambil untuk mempengaruhi proses

nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Page 79: Limbah Padat Baja

56

Adapun analisis kebijakan model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya

untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon seperti berikut ini.

3.11.1 Diagram Sebab Akibat

Hubungan antar variabel pada model pengelolaan limbah baja dapat

digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop). Keterkaitan antara pelaku

maupun kegiatan yang terlibat dalam pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Pemecahan masalah ini telah diformulasikan pada tahap sebelumnya dengan

kerkaitan 3 (tiga) subsistem, yaitu subsistem kependudukan, subsistem pesisir laut,

dan subsistem limbah industri.

Dalam diagram sebab akibat (cause loop) ini, setiap subsistem memiliki

struktur masing-masing dengan karakteristik kegiatannya. Selanjutnya dalam proses

pengkontruksian diagram sebab akibat pada masing-masing subsistem dilakukan

secara bertahap.

3.11.2 Pemodelan Sistem Dinamik

Membangun suatu model dilakukan dengan tujuan untuk memperhatikan

perilaku sistem dalam menentukan kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah

industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan

Industri Krakatau Cilegon. Model ini berstandar pada pendekatan sistem dengan

menggunakan powersim, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan

(integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu

kerangka fikir melalui pendekatan sistem.

Berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan dibuat untuk model

pengelolaan limbah industri baja terutama yang berkaitan dengan diagram sebab

akibat yang dirancang, maka perlu dilakukan pemodelan sistem dengan rancang

bangun model dinamis dengan menggunakan bantuan progam powersim yang dapat

menterjemahkan diagram sebab akibat (cause loop) yang telah dirancang ke dalam

program komputer.

Tahapan pendekatan sistem dalam pembangunan model pengelolaan limbah

industri baja, adalah sebagai berikut:

Page 80: Limbah Padat Baja

57

A. Analisis Kebutuhan

Analisa kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian sistem. Pada tahap

analisa ini dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, kemudian

dilakukan tahapan yang mengarah pada pengembangan terhadap kebutuhan-

kebutuhan. Menurut Marimin (2007), dalam analisis kebutuhan perlu diketahui faktor

yang menentukan dari pengembangan sistem pakar, yaitu resiko yang diterima oleh

pemakai, resiko teknik didalam pertukaran informasi dan jawaban yang diberikan

pemakai, ketersediaan sumberdaya manusia yang mendukung, dan software yang

tersedia. Tahap ini juga memberikan informasi mengenai tanggapan dari pengambil

keputusan terhadap jalannya sistem.

B. Formulasi Permasalahan

Menurut Eriyatno (1999), formulasi permasalahan dilakukan atas dasar

penentuan informasi yang telah dilaksankan melalui identifikasi sistem secara

bertahap. Karena formulasi permasalahan memberikan ilustrasi tentang kompleksitas

permasalahan dalam hubungan dengan interaksi variabel baik di dalam maupun antar

sistem. Untuk mengetahui permasalahan secara rinci maka dilakukan analisis

berbagai keinginan dan konflik kepentingan oleh masing-masing aktor/pelaku, yaitu:

pemerintah, industri, LSM, masyarakat sekitar, peneliti/pakar, dan Divisi K3LH.

C. Identifikasi sistem

Identifikasi sistem dilakukan untuk mengetahui komponen-komponen yang

terlibat di dalam sistem yang akan dikaji. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai

hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyatan khusus dari

masalah yang harus diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Selanjutnya

identifikasi sistem dilakukan dengan menghubungkan antara pernyataan-pernyataan

masalah dengan kebutuhan-kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem. Identifikasi

sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi.

D. Pembuatan Model

Model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan

kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dilakukan dengan

menggunakan pendekatan sistem, kedudukan model sistem sebagai informasi dasar

dalam menyusun strategi dengan merubah kondisi suatu daerah aliran beban limbah.

Page 81: Limbah Padat Baja

58

E. Simulasi Model

Simulasi merupakan suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik

kesimpulan tentang perilaku sistem melalui penelaahan perilaku model. Simulasi

model digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model berdasarkan hasil

simulasi model akan dianalisis dan ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya pola dan kecenderungan yang digambarkan dengan diagram sebab akibat

(cause loop diagram). Tahap berikutnya perlu dijelaskan bagaimana mekanisme

kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model dijadikan

dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem.

F. Verifikasi dan Validasi Model

Suatu model dapat dijalankan secara bebas apabila data maupun informasinya

cocok. Karena itu, suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya dapat

menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata,

atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan

dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem

nyata bekerja.

Verifikasi terhadap model yang disusun bertujuan untuk meyakinkan bahwa

program komputer dan implementasi dari model konseptualnya adalah benar.

Verifikasi model ini menggunakan software Powersim untuk pemodelan sistem

dinamis akan menghasilkan tingkat kesalahan yang relatif lebih sedikit bila

dibandingkan menggunakan bahasa simulasi yang penggunaannya secara general.

Proses verifikasi terhadap model komputer, selain dilakukan sebelum validasi model,

juga dilakukan setelah proses validasi model. Di dalam proses tersebut dapat

dilakukan secara iteratif termasuk merubah atau memodifikasi struktur model

komputer untuk menghasilkan yang memuaskan dan diperoleh kesesuaian dengan

tujuan dari penyusunan model yang diharapkan.

Sedangkan validasi terhadap model merupakan proses menguji substansi

model, yaitu sejauhmana model komputer yang dibuat dalam lingkup aplikasinya

memiliki kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan tujuan dari penerapan

model tersebut. Menurut Sargent (1998), menjelaskan bahwa atribut yang digunakan

dalam proses validasi sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem yang digunakan dalam

model tersebut, dengan kata lain apakah sistem dapat diobservasi atau sistem tidak

dapat diobservasi. Sistem tersebut dapat diobservasi, bila memungkinkan data yang

dikumpulkan di dunia nyata tentang perilaku operasional dari sistem yang dikaji.

Page 82: Limbah Padat Baja

59

Oleh karena itu, validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, cara

kualitatif yaitu dengan membandingkan secara visual antara simulasi dengan aktual.

Kedua, cara kuantitatif yaitu: dengan uji statistik antara simulasi dengan aktual.

Validasi terhadap model dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan

proses simulasi yang dilakukan terhadap submodel kependudukan, pesisir laut, dan

limbah industri. Ketiga submodel ini dirangkaikan menjadi satu kesatuan yang

membentuk struktur model pada model pengelolaan limbah baja sebagai upaya

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Dengan demikian proses validasi terhadap model ini terlihat bahwa output (keluaran)

yang ditunjukkan dalam proses simulasi menggambarkan perilaku yang sesuai

dengan tujuan dari model.

Menurut Muhammadi (2001), pembuktian validasi model merupakan suatu

hal yang sebenarnya sulit untuk dilakukan. Walaupun validasi suatu sistem dibatasi

oleh mental model dari penyusun model, namun demikian untuk memenuhi kaidah

keilmuan pada model sistem tetap perlu dilakukan uji validasi. Pengujian validasi

perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan

dapat digunakan, yaitu: 1) Absolute mean error (AME) yaitu penyimpangan (deviasi)

antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute

variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap

aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 5 – 10%.

AME = [(Si – Ai)/Ai].................................................................................. (12)

Si = Si N, dimana S = nilai simulasi

Ai = Ai N, dimana A = nilai aktual

N = interval waktu pengamatan

AVE = [(Ss – Sa)/Sa].................................................................................. (13)

Ss = ((Si – Si)2 N) = deviasi nilai simulasi

Sa = ((Ai – Ai) 2 N) = deviasi nilai aktual

3.11.3 Proses Hierarki Analitik

Untuk menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja menggunakan

model proses hierarki analitik (AHP-analytical hierarchy process) yang

disajikan berdasarkan struktur hierarki pada Gambar 11.

Page 83: Limbah Padat Baja

Gambar 11. Struktur hierarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja

STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH BAJA FOKUS

KRITERIA Timbulnya limbah

Pencemaran & kerusakan lingkungan

Efisiensi material &

energi

“Environmental equity”

Degradasi lingkungan

Ekosistem lingkungan

Daya dukung

lingkungan

TUJUAN Pemanfaatan kembali limbah

Minimalisasi

limbah

Pencegahan pencemaran pesisir

Pencegahan pencemaran

thp kesehatan masyarakat

Upaya mem-pertahankan kelestarian wil. pesisir

Kebijakan pengelo-laan limbah

berwawasan lingk. dan berkelanjutan

AKTOR Industri Penghasil Baja

Divisi K3LH PT. KS

Masyarakat sekitar

LSM Pemerintah Daerah

Peneliti/ Pakar

ALTERNATIF Perubahan bahan baku

Perubahan proses & teknologi

Perubahan produk

Penerapan 5 R

lingkungan

Mengura-ngi limbah

Memakai kembali limbah

Mendaur ulang

limbah

Meng-ganti

limbah

Page 84: Limbah Padat Baja

61

Gambar 11 tersebut di atas, terlihat bahwa struktur yang dibangun terdiri

atas 5 level atau hirarki. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada analisis

AHP adalah sebagai berikut: (1) Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan

yang diinginkan, (2) Membuat matrik perbandingan berpasangan untuk setiap elemen

dalam hirarki, (3) Memasukkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk

mengembangkan perangkat matrik, (4) Mengolah data dalam matrik perbandingan

berpasangan sehingga didapatkan prioritas setiap elemen hirarki, (5) Menguji

konsistensi dari prioritas yang telah diperoleh. Sedangkan menurut Marimin (2004),

penentuan pemilihan prioritas pengelolaan limbah industri baja menggunakan model

AHP – criterium decision plus dengan langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:

(1) Jalankan program criterium decision plus dengan perintah

start/program/criterium decision plus, lalu double klik criterium decision plus. (2)

Buat file bainstorming dengan perintah file/new, lalu buat atruktur masalah. Setelah

selesai simpan dengan perintah file/save as dan beri nama file.BST. (3) Buat struktur

hierarki dengan perintah view/general hierarchy. (4) Tentukan model AHP dengan

perintah model/technique/AHP. (5) Lakukan penilaian terhadap kriteria dengan

perintah:

a. Klik kotak memilih

b. Lakukan perintah: block rate subcriteria

c. Penilaian kriteria dengan jalan:

i. Lakukan perintah: methods/full pairwase

ii. Isikan nilai seperti yang ada pada contoh

d. Lakukan penilaian perbandingan antara dua alternatif untuk setiap kriteria yang

bersedia, tetapi untuk teknologi proses, harus diubah menjadi pengisiannya

perintah method/direct, lalu dimasukkan secara langsung data efisiensi dari

masing-masing teknologi proses.

e. Setelah selesai klik OK

(6) Untuk melihat hasil akhir, gunakan perintah result decision/decision scores.

Grafik hasilnya dapat diperoleh. (7) Untuk melihat hasil akhir dalam bentuk tabel

gunakan perintah view/result data. Hasilnya dapat diperoleh.

3.11.4 Pemodelan Interpretasi Struktural

Menurut Marimin (2004), penentuan parameter kunci dalam pengelolaan

limbah industri baja menggunakan teknik pemodelan interpretasi struktural (ISM-

interpretative structural modelling), dengan langkah-langkah adalah: (a) Identifikasi

Page 85: Limbah Padat Baja

62

elemen yaitu elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat diperoleh

melalui penelitian, brainstorming, dan lain-lain. (b) Hubungan Kontekstual: Sebuah

hubungan kontekstual antar elemen dibangun, tergantung pada tujuan dari pemodelan.

(c) Matriks interkasi tunggal tersetruktur (structural self interaction matrix/SSIM).

Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang

dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara

dua elemen dari sistem yang dipertimbangan, adalah:

V … hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.

A ... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.

X ... hubungan interrelasi antara Ei terhadap Ej (dapat sebaliknya)

O ... menunjunjuk bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.

(d) Matriks reachabilita (reachabilita matrix/RM. (e) Tingkat partisipasi dilakukan

untuk mengklasifikasikan elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari

struktur ISM. (f) Matriks canonial: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang

sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari

elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. (g) Digraph:

adalah konsep yang berasal dari directional graph, sebuah elemen-elemen yang

saling berhubungan secara langsung, dan level hirarki. Digraph awal dipersiapkan

dalam baisis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan

memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digarph akhir. (h)

Interpretative structural model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh

jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan

gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.

3.11.5 Pemodelan Sistem Dinamik

Untuk membuat model pengelolaan limbah industri baja menggunakan sistem

dinamis melalui analisis kebutuhan dan black box. Sebagai tahap awal dalam

melakukan pengkajian menggunakan pendekatan sistem adalah analisa kebutuhan.

Analisis ini dinyatakan dalam kebutuhan stakeholders yang berpengaruh terhadap

sistem yang dikaji. Analisis kebutuhan stakeholders terhadap upaya pengendalian

pencemaran kelestarian wilayah pesisir yaitu: (1) Pemerintah daerah: sebagai

pengendali yang melibatkan partisipasi masyarakat, bantuan dana dan kerjasama

dengan instansi lain. (2) Masyarakat: pengendalian yang berkeadilan secara

menyeluruh. (3) Pengusaha: pengendalian yang tepat sasaran dan berkelanjutan. (4)

Page 86: Limbah Padat Baja

63

Lembaga swadaya masyarakat: pengendalian yang melibatkan partisipasi masyarakat

dan berkeadilan. (5) Perguruan tinggi: sebagai pengendalian yang efektif dan efisien.

Page 87: Limbah Padat Baja

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

Kota Cilegon merupakan kota otonomi yang secara yuridis dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No. 15/1999. Sebagai kota yang berada di ujung barat

Pulau Jawa, juga bagian dari wilayah Provinsi Banten. Kota Cilegon merupakan pintu

gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Secara geografis, Kota Cilegon yang berada pada koordinat 5o52’24”–

6o04’07” Lintang Selatan dan 105o54’05” – 106o05’11” Bujur Timur, dibatasi oleh:

- Sebelah Barat : Selat Sunda

- Sebelah Utara : Kabupaten Serang

- Sebelah Timur : Kabupaten Serang

- Sebelah Selatan : Kabupaten Serang

Kota Cilegon yang luasnya 175,45 Km2 dibagi kedalam delapan kecamatan

yakni Kecamatan Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak,

Kecamatan Grogol, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Cilegon, Kecamatan

Jombang, dan Kecamatan Cibeber serta 43 kelurahan. Kota ini memiliki iklim tropis

dengan temperatur berkisar 21,1oC – 34,1oC dan curah hujan rata-rata 114 mm per

bulan.

Kota Cilegon dilalui beberapa sungai antara lain Sungai Kahal, Tompos,

Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuarsa, Sumur Wuluh, Grogol,

Cipangurungan, dan Sungai Cijalumpang. Diantara sebelas sungai tersebut Sungai

Grogol merupakan yang terbesar dan hampir semuanya bermuara di Selat Sunda.

Selain beberapa sungai, di Kota Cilegon juga terdapat sebuah waduk yang cukup luas

yakni Waduk Kerenceng yang membelah Desa Kebonsari, Lebakdenok, dan

Tamansari di Kecamatan Ciwandan dan merupakan sumber air PDAM yang dialirkan

ke rumah tangga untuk sebagian wilayah di Kota Cilegon. Waduk Krenceng juga

dimanfaatkan oleh industri-industri di wilayah kawasan industri Krakatau Cilegon

yang pengelolaannya oleh PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) yang merupakan anak

perusahaan PT. Krakatau Steel. Kondisi geografis Kota Cilegon disajikan pada

Gambar 12.

Page 88: Limbah Padat Baja

65

Gambar 12. Peta Kota Cilegon

4.2 Kependudukan

4.2.1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk

Dari tahun ke tahun jumlah Kota Cilegon mengalami pertambahan yang

semakin besar. Jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007 sebesar 347.599 jiwa.

Penduduk Kota Cilegon terdiri dari 180.366 jiwa laki-laki dan 167.232 jiwa

perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,32 % per-tahun

dan tingkat kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2. Selain itu, data Dinas Kesehatan

Kota Cilegon tahun 2007 diperoleh rata-rata angka kelahiran penduduk sebanyak

1,85 % per-tahun dan angka kematian penduduk sebesar 1,15 % per-tahun dari

jumlah penduduk.

Sumber utama data pendudukan tersebut adalah sensus penduduk. Selain

sensus untuk menjembatani ketersediaan data penduduk, Badan Pusat Statistik (BPS)

Kota Cilegon melakukan survey penduduk. Di dalam sensus penduduk, pencacahan

dilakukan terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah geografis Kota

Page 89: Limbah Padat Baja

66

Cilegon. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007 disajikan

pada Tabel 9.

Tabel 9. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007

Luas Penduduk Kecamatan Km2 % Laki-

laki Perempu-

an Jumlah %

1. Ciwandan

2. Citangkil

3. Pulomerak

4. Grogol

5. Purwakarta

6. Cilegon

7. Jombang

8. Cibeber

51,85

22,98

19,91

23,28

15,23

9,16

11,55

21,49

29,55

13,10

11,35

13,27

8,68

5,22

6,58

12,25

21.115

30.029

22.260

17.455

19.655

19.922

29.028

20.893

18.686

27753

20753

16.168

18.174

18.434

27.006

20.258

39.801

57.782

43.013

33.623

37.839

38.356

56.034

41.151

11,45

16,62

12,37

9,67

10,89

11,03

16,12

11,84

Jumlah 175,45 100,00 180.366 167.232 347.599 100.00

Sumber: Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Cilegon, Tahun 2007

Adapun kecamatan yang didalamnya terdapat pada penelitian ini yaitu

wilayah Kawasan Industri Krakatau Cilegon (KIKC) meliputi: Kecamatan Ciwandan,

Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak dan Kecamatan Grogol. Mengingat

penelitian dilakukan di KIKC maka fokus penelitiannya ditujukan pada empat

kecamatan tersebut. Dari keempat kecamatan tersebut yang merupakan wilayah

pesisir: 1). di Kecamatan Ciwandan yang merupakan wilayah pesisir hádala Desa

Tegal Ratu, Desa Gunung Sugih, Desa Kepuh, Desa Randakari, dan Desa Kubang

Sari; 2). di Kecamatan Citangkil meliputi Desa Warnasari, dan Desa Semang Raya, 3).

di Kecamatan Pulomerak meliputi Desa Suralaya, Desa Tamansari, Desa Mekarsari,

dan Desa Lebak Gede; 4). di Kecamatan Grogol meliputi Desa Gerem, dan Desa

Rawa Arum.

4.2.2 Kesehatan Masyarakat

Perkembangan pesat industri di Kota Cilegon saat ini tidak lain karena

banyaknya investor yang menanamkan sahamnya di daerah yang sangat strategis dan

menjanjikan dalam dunia usaha. Di sisi lain penerapan teknologi oleh perusahaan

maupun manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik seringkali tidak

diikuti oleh faktor keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai, yang pada

akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Cilegon terdapat sepuluh besar jenis

penyakit yang hampir ditemukan pada setiap empat kecamatan yang merupakan

Page 90: Limbah Padat Baja

67

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yaitu penyakit: ISPA, tukak

lambung, TBC paru BTA, dermatitis (penyakit kulit), myalgia (nyeri sendi),

hypertensi esensial, diare & gastroentiritis, artritis (radang), demam, dan gejala

penyakit lainnya. Berdasarkan sepuluh jenis penyakit tersebut, selanjutnya dapat

diidentifikasi menjadi empat jenis penyakit yang diakibatkan oleh pengaruh

pencemaran limbah industri (polusi udara, air, dan tanah) di Kawasan Industri

Krakatau Cilegon. Adapun empat jenis penyakit disajikan pada Tabel 10.

Berdasarkan Tabel 10 tersebut, jumlah penderita penyakit yang paling besar yang

dijumpai di empat kecamatan adalah jenis penyakit infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA). Hal ini terjadi karena masyarakat yang berdomisili dekat dengan kawasan

industri yang udaranya sudah tercemar oleh pabrik-pabrik yang beroperasi di kawasan

tersebut.

4.3 Perekonomian Wilayah

Kota Cilegon merupakan wilayah bagian barat dari Provinsi Banten atau

bagian barat dari daratan pulau Jawa. Oleh karena perkembangan pembangunan yang

cukup, teutama dalam bidang industri, pertanian/perikanan, dan wisata. Salah satu

kekuatan Kota Cilegon terletak bidang industri dan pelabuhan, secara sektoral

pelabuhan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan turut memberikan artikulasi politik

bagi daerahnya, karena pelabuhan merupakan infrastruktur strategis bagi kegiatan

ekonomi dan transportasi, terutama bagi industri untuk kegiatan arus masuk dan

keluarnya barang, bahkan bagi kelancaran akulturasi dan komunitas antar berbagai

wilayah, baik dalam negeri maupun dengan luar negeri.

Perekonomian wilayah Kota Cilegon telah memasuki daerah industrialisasi

yang secara tidak langsung memanfaatkan wilayah pesisir untuk pembangunan

kawasan industri yang tumbuh dengan industri-industri raksasa seperti pabrik baja

dan kimia, serta jenis-jenis industri lainnya.

4.3.1 Industri

Pertumbuhan bidang industri di Kota Cilegon yang berkembang di masa

sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan

tekanan terhadap sektor perikanan, semakin meningkat. Pertambahan jumlah industri

dan penduduk membawa dampak bertambahnya beban pencemaran. Pencemaran

akibat kegiatan industri dapat menyebabkan kerugian besar, karena umumnya

Page 91: Limbah Padat Baja

Tabel 10. Jenis penyakit di wilayah pesisir Kota Cilegon Jenis Penyakit di Wilayah Pesisir Kota Cilegon Tahun 2003 - 2007No. Jenis Penyakit Kecamatan Ciwandan (Org) Kecamatan Citangkil (Org) Kecamatan Grogol (Org) Kecamatan Pulomerak (Org)

2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 1 ISPA 5285 5465 5.671 6.098 6.775 9868 10015 10.246 11.017 12.241 318 327 336 362 402 2468 2505 2.664 2.865 3.183 2 Dermatitis 2878 3150 3.212 3.453 3.837 1844 1995 2.021 2.173 2.414 152 165 175 188 209 590 611 624 671 745 3 TBC Paru BTA 1485 1658 1890 2.032 2.258 925 997 1.045 1.123 1.248 169 178 201 216 240 603 646 673 724 804 4 Artritis lainnya 1160 1285 1.301 1.399 1.554 985 1056 1.211 1.302 1.447 159 172 192 206 229 305 340 352 378 420

Total 10808 11558 12.074 12.980 14.424 13622 14063 14.522 15.615 17.350 798 842 904 972 1.08 3966 4102 4.312 4.637 5.152

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2007

Page 92: Limbah Padat Baja

INFORMASI RANCANGAN

PENGELOLAAN

ANALISIS INVESTASI

PENGELOLAAN LIMBAH

OBSERVASI LANGSUNG TERHADAP JENIS LIMBAH BAJA DI AREA PENAMPUNGAN YANG BERKECENDERUNGAN MENIMBULKAN

PENCEMARAN LINGKUNGAN

PROSES INPUT – OUTPUT Data Order Input Output - Scrap, Slag Jenis Limbah: Karakteristik jenis - Scale,Sludge, Slurry - Sludge, Slurry limbah proses hasil - Debu EAF - Debu EAF uji toksisitas

G G

Ga Gambar 4. Rancangan dan perumusan penyelesaian masalah

KEBIJAKAN DAN STRATEGI MODEL PENGELOLAAN LIMBAH BAJA

Pemanfaatan limbah

Area penyimpanan limbah

Limbah yang akan diolah

Proses

Pemanfaatan limbah

Jenis limbah Karakteristik limbah baja

Pencemaran lingkungan

Pengendalian limbah

Kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri baja

sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian

ekosistem pesisir kawasan industri

Minimalisasi limbah

Pendapatan masyarakat

sekitar

Aspek-aspek Pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

Peningkatan ekonomi daerah

Kesehatan masyarakat

Terjaganya kelestarian

pesisir

Penyerapan tenaga kerja

Page 93: Limbah Padat Baja

69

buangan/limbah dari kegiatan industri tersebut mengandung zat beracun seperti

senyawa klor, raksa, kadmium, krom, timbal dan lain sebagainya munculnya zat

beracun ini disebabkan bahan tersebut sering digunakan dalam proses produksi suatu

industri, baik bahan baku, katalisator, maupun bahan utamanya.

Dilain pihak hingga saat ini industri yang tumbuh dan berkembang di Kota

Cilegon setiap tahun selalu bertambah, baik industri menengah maupun industri

berat. Saat ini terdapat 85 perusahaan swasta ditambah dengan industri yang bergerak

pada kelompok industri Krakatau Steel Group di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

4.3.1.1 Kondisi Eksisting Pabrik di Kawasan Industri Krakatau Cilegon

Kawasan industri yang prospektif bila didukung oleh infrastruktur yang

memadai dapat memacu perkembangan ekonomi kawasan di Kota Cilegon dan

Provinsi Banten pada umumnya. Oleh karena itu, setelah diketahui kawasan industri

yang prospektif tersebut, maka perlu diidentifikasi kebutuhan investasi infrastruktur

sesuai kondisi masing-masing kawasan industri tersebut dengan memperhatikan

langkah-langkah dukungan melalui pendekatan: (1) Mengidentifikasi kebutuhan

infrastruktur untuk mendorong percepatan perkembangan kawasan industri yang

prospektif berkembang. (2) Melakukan upaya sinkronisasi kebutuhan infrastruktur

yang telah diidentifikasi tersebut terhadap sistem infrastruktur wilayah yang telah

ditetapkan dalam struktur rencana tata ruang wilayah (RTRW Kota Cilegon dan

Provinsi Banten). (3) Melakukan kajian dan analisa kebutuhan investasi untuk

infrastruktur kawasan industri yang sinkron dengan kebijakan yang ditetapkan

dalam RTRW Kota Cilegon dan Propinsi Banten. (4) Menyusun dalam sebuah profil

untuk kebutuhan investasi infrastruktur kawasan andalan.

Kondisi eksisting Kawasan Industri PT. Krakatau Steel memiliki luas lahan +

1.500 ha dan Kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon yang dikelola oleh PT.

KIEC sebuah anak perusahaan PT. Krakatau Steel mengelola luas lahan + 2.000 ha

dan total luas lahan kawasan industri Cilegon luasnya + 3.500 ha. Nama-nama

perusahaan/pabrik yang beroperasi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan

pada Tabel 11.

Page 94: Limbah Padat Baja

70

Tabel 11. Perusahaan/pabrik baja hulu dan hilir di Kawasan Industri PT. Krakatau Steel Group

No. Nama Pabrik/Perusahaan Jenis Kegiatan 1 Besi Spons Mengolah besi pellet menjadi besi spons 2 Billet Baja Mengolah besi spons menjadi billet baja 3 Slab Baja Mengolah besi spons menjadi slab baja 4 Hot Strip Mill (HSM) Mengolah slab baja menjadi baja lembaran 5 Cold Rolling Mill (CRM) Mengolah baja lembaran �ngá ketebalan

tertentu 6 Wire Rode Mill (WRM) Mengolah billet baja menjadi batang kawat 7 PT. Krakatau Daya Listrik (KDL) Mengelola listrik untuk kawasan industri,

perumahan, dan perkantoran 8 PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) Mengelola air untuk kawasan industri,

perumahan, dan perkantoran 9 PT. Krakatau Bandar Samudera (KBS) Mengelola pelabuhan barang eksport – import

untuk keperluan PT. Krakatau Steek Group10 PT. Krakatau Information Technology

(KITech) Mengelola jaringan informasi dan teknologi baik untuk keperluan PT. KS Group maupun non PT. KS.

11 PT. Krakatau Medika Mengelola Rumah Sakit untuk keperluan karyawan PT. KS Group maupun untuk umum.

12 PT. Krakatau Industrial Estate Cilegon Mengelola lahan di kawasan industri Cilegon (+ 2.000 ha)

13 PT. Krakatau Engineering Mengelola jasa konstruksi 14 PT. KHI Pipe Industries Memproduksi pipa baja 15 PT. Krakatau Wajatama Memproduksi besi ulir dan besi profil 16 PT. Plat Timah Nusantara (Latinusa) Memproduksi plat timah

Sumber: (Divisi Umum, PT. Krakatau Steel, 2007)

Sedangkan untuk mengelola Kawasan Industri Krakatau Cilegon, PT.KIEC

dalam kegiatannya bergerak juga dalam bidang property dan bidang pendukung

lainnya sebagai berikut:

1. Property industri untuk kawasan industri:

- Area industri baja : 1.500 Ha

- Area industri umum : 602 Ha (kemungkinan diperluas sampai 1.600 Ha)

- Area komersial : 1.250 Ha

2. Property komersil: perkantoran, hotel, stadion sepak bola dan lapangan golf

3. Property residen: perumahan direksi dan karyawan

4. Investasi dan perdagangan

Kota Cilegon selain tumbuh dengan industri milik pemerintah pusat (BUMN)

yaitu PT. Krakatau Steel, juga memiliki anak perusahaan yang tergabung dalam PT.

Krakatau Steel Group dan nama-nama perusahaan yang tergabung dalam PT.

Krakatau Group + 58 jenis perusahaan dengan berbagai jenis usaha. Pabrik-pabrik

yang beroperasi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang dikelola oleh PT.

Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) disajikan pada Tabel 12.

Page 95: Limbah Padat Baja

71

Tabel 12. Kondisi eksisting Kawasan Industri Krakatau Cilegon No. Nama Investor Jenis Produk/Kegiatan Keterangan

1 PT. Air Liquide Indonesia Liquid nitrogen, liquid oxygen, liquid argon, gas hydrogen

2 PT. Argamas Bajatama Paku, Bedrad 3 PT. Ashahimas Chemical Caustic Soda, Ethylene

Dichlorida, Vinyl Chloride Monomer, Polyvinyl Chlorida, Hydrochloric Acid, Luquid Chlorine, Sodium Hypochlorite

4 PT. Barchock & Wilcox Asia Workshop 5 PT. Barata Indonesia Jasa kontruksi & pemesinan

(vessel)

6 PT. BASF Polimer dispersion Belum/tidak beroperasi

7 PT. Beton Agung Cilegon Concrete ready mix 8 PT. Blue Scope Steel Indonesia Zincalum coated coiol, paint

coated coil

9 PT. Briketama Anugrah Cold bricket iron 10 PT. Cabot Indonesia Carbon black 11 PT Cahya Anugrah Tama Design, engineering, fabrication

and contruction, testing and painting of pressure vessel, column, heat exchanger, storage tank, drum, piping, steel structural and similar steel, material

12 PT. Cerestar Flour Mills Pabrik tepung Belum/tidak beroperasi

13 PT. Cheetham Garam Indonesia Garam 14 PT. Cigading Habeam Centra Welded H-beam, steel

fabricator, coil centre, electric pole

15 PT. Citra Indokarbon Perkasa Calcined coke Belum/tidak beroperasi

16 a PT. Citra Industri Logam Mesin Pig iron Belum/tidak beroperasi

17 PT. Clariant Indonesia Bahan baku cat dan tekstil 18 PT. Commonweath steel Indonesia Grinding media (steel grinding

balls)

19 PT. Commucation Cable Industri kabel 20 PT. Daekyung Indah Heavy Industry Heat exchange, pressure vessel,

tower & column, boiler, tank.

21 PT. Daya Swahasta Cipta Pengolahan plat baja limbah CRM

22 PT. Dongjin Indonesia Azodicarbonamide, modified azodicarbonamide, dinitro pentamethylene, tetramine, urea promoter.

23 PT. Dresser-Rand Services Indonesia Jasa perbaikan dan pemeliharaan alat-alat berat untuk keperluan operasi pertambangan minyak dan gas

24 PT. DySar Colours Indonesia Zat warna tekstil 25 PT. Harbison-Walker Refractories Refractories 26 PT. Indocement Tunggal Perkasa Tbk. Coal storage terminal 27 PT. Indonesia Asri Refractories Perotit S, Pertundit M, Peramit

M, Perfrit HL-78 (basic refractories mixes)

28 PT. Kapurindo Sentana Baja Kapur bakar

Page 96: Limbah Padat Baja

72

29 PT. Karunia Berca Indonesia Fabrikasi konstruksi baja umum dan galvanisasi

30 PT. Kokusai Keiso Engineering, construction, and maintenance work of instrumentation and electrical

31 PT. Krakatau Prima Dharma Sentana Alumunium pellet & ingot 32 PT. Lautan Otsuka Chemical Blowing agent (azodicarbon-

amide)

33 PT. Man Ferrostaal Indonesia Engineering, fabrication and industrial erection, maintenance

34 PT. Mitraguna Pancatama Wire mesh 35 PT. Multi Fabrindo Gemilang Engineering, fabrication and

Construction of pressured vessel, oil & gas production equipment, steel structure

36 PT. Nusaraya Putra Mandiri Pengemasan oli 37 PT. NX Indonesia Fenite magnet, fenite material,

die tooling (peralatan pengerjaan logam)

38 PT. Petrojaya Boral PlasterBoard Gypsum board 39 PT. Prajamita Internusa Packaging oil & gas industry 40 PT. Pundi Kencana Pabrik tepung Belum/tidak

beroperasi 41 PT. RC Grease & Lublicant Manufaktur pelumas & gemuk 42 PT. Resource Management Indonesia CO2 Belum/tidak

beroperasi 43 PT. Rohm and Hass Indonesia Acrylic emulsion resin (adhesive

chemical)

44 PT. Samator Gas Indonesia Pembotolan gas oksigen 45 PT. Samson Tiara Pusat pelatihan kesehatan 46 PT. Santika Pramesti Refined sugar Belum/tidak

beroperasi 47 PT. Savanmulia Indah Briket besi 48 PT. Seamless Pipi Indonesia Jaya Seamless pipe 49 PT. Selago Makmur Plantation Biodiesel dan minyak goreng Belum/tidak

beroperasi 50 PT. Sentra Usahatama Jaya Sugar refinery 51 PT. Siemens Indonesia Servicing and manufacturing of

turbine component & part, misc.power geraration component, kondensator, precision parts for industries

52 PT. Surya Besindo Sakti Fabricator & Engineering Service

53 PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Jasa telekomunikasi 54 PT. Jokro Putra Persada Komponen mesin, steel

fabriated parts

55 PT. Tritara Pradipta Steel inustry Belum/tidak beroperasi

56 PT. Umikasentana Bajatama Kapur bakar Belum/tidak beroperasi

57 PT. Wastec International Pengolahan limbah B3 58 PT. Yosomulyo Jajag Splier carbon, distributor semen

padang Belum/tidak beroperasi

Sumber: (Divisi Properti Industri PT. KIEC, 2007)

Page 97: Limbah Padat Baja

73

4.3.1.2 Kondisi Eksisting Jumlah Limbah Baja

Kondisi eksisting jumlah limbah padat baja yang berasal dari pabrik-pabrik

yang menghasilkan limbah baja dan disimpan di area penampungan limbah sebagai

lahan pembuangan akhir dilakukan dengan menghitung frekuensi pengangkutan.

Jumlah pengangkutan limbah dihitung tiap bulan kemudian dikonversikan menjadi

satuan ton. Berdasarkan informasi dari Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (2006),

memperlihatkan bahwa kondisi eksiting jumlah limbah baja dibuang ke lahan

pembuangan akhir berdasarkan limbah baja yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja

sebagai sumber limbah dalam ukurun waktu 10 tahun terakhir (1994 – 2002) masing-

masing menghasilkan jenis limbah: (1) Debu EAF yang berasal dari sumber limbah:

BSP, SSP I/II, menghasilkan total limbah + 512.523 ton, (2) Sludge yang berasal dari

sumber limbah: DR plant dan WRM plant menghasilkan total limbah + 260.361 ton,

dan (3) Slurry yang berasal dari sumber limbah CRM plant menghasilkan total limbah

+ 1.056.375 ton.

Di dalam ruang lingkup penelitian pengelolaan limbah industri baja di

Kawasan Industri Krakatau Cilegon difokuskan pada pengambilan data kuantitas

limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007 yang berasal dari pabrik besi

spons, besi billet, direct reduction plant (DR), dan wire rode mill (WRM). Tabel 13.

merupakan data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007.

Tabel 13. Data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007

Jenis Limbah Baja NO. Bulan Debu EAF Debu EAF Debu EAF Sludge Sludge Slurry

BSP SSP1 SSP2 DR WRM CRM (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) 1 Januari 567 1107 906 215 130 1146 2 Pebruari 240 498 923 350 50 968 3 Maret 570 740 790 182 100 1304 4 April 570 1036 882 173 130 1096 5 Mei 585 1151 986 100 220 701 6 Juni 564 1027 770 131 150 789 7 Juli 552 1010 1030 203 120 928 8 Agustus 573 1070 869 173 160 1033 9 September 552 1110 679 145 90 855

10 Oktober 522 1028 429 464 60 728 11 Nopember 552 1123 926 367 90 688 12 Desember 576 1162 779 0 0 963

Jumlah 6423 12062 9969 2503 1300 11196

Sumber: Divisi K3LH PT. KS, (2007)

Dari Tabel 13 di atas, memperlihatkan bahwa jumlah limbah baja tahun 2007

dari masing-masing jenis limbah yang dihasilkan oleh pabrik baja yakni BSP, SSP,

Page 98: Limbah Padat Baja

74

DR, WRM, CRM masih memperlihatkan jumlah limbah yang cukup besar. Untuk itu

perlu penanganan limbah baja yang serius, agar limbah yang ada saat ini dapat

dimanfaatkan dan mempunyai nilai tambah (added value). Adapun data kuantitas

jenis limbah baja tahun 2007 yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja yang berada di

area pabrik baja PT. Krakatau Steel disajikan pada Gambar 13.

JENIS LIMBAH BAJA

0100020003000400050006000

Janu

ari

Peb

ruar

i

Mar

et

Apr

il

Mei

Juni

Juli

Agu

stus

Sep

tem

ber

Okt

ober

Nop

embe

r

Des

embe

r

Bulan

Jml L

imba

h Debu EAF BSP (Ton)Debu EAF SSP1 (Ton)

Debu EAF SSP2 (Ton)

Sludge DR (M2)Sludge WRM (Ton)

Slurry (M2)

Gambar 13. Kuantitas setiap jenis limbah baja tahun 2007

4.3.2 Pertanian

Sektor pertanian di Kota Cilegon yang menjadi unggulan sebagai hasil

produksi pertanian meliputi perikanan, tanaman pangan, dan perkebunan. Kegiatan

pertanian ini banyak diperoleh di darat dan di Perairan Selat Sunda yang merupakan

daerah pesisir pada empat kecamatan di wilayah Kota Cilegon yaitu Kecamatan

Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol dan Kecamatan Pulomerak.

Kegiatan sektor pertanian ini berupa komoditas hasil tanaman pangan yaitu padi

(beras), hasil perkebunan yaitu kacang tanah. Sedangkan komoditas hasil perikanan

berasal dari hasil penangkapan ikan laut.

Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon

diperoleh data komoditas hasil produksi pertanian berupa hasil tangkapan ikan,

produksi padi dan produksi perkebunan kacang disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Produksi komoditi hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007

Produksi Hasil Pertanian Tiap Kecamatan (Ton) No. Komoditi Ciwandan Citangkil Pulomerak Grogol Jumlah

1. Tangkapan Ikan

299 266 166 372 1.103

2. Padi 1.532 1.491

452 1.754 5.229

3. Kacang Tanah

1.446 1.290 1.192 864 4.792

Sumber: Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon, tahun 2007

Page 99: Limbah Padat Baja

75

Permasalahan yang dihadapi oleh Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon

sampai saat ini adalah 1). Kota Cilegon belum memiliki tempat pelelangan ikan (TPI)

dan Peraturan Daerah tentang perijinan usaha perikanan; 2). Sebagian besar nelayan

masih termasuk nelayan tradisional dengan armada perikanan dan alat tangkap yang

sederhana karena kurangnya modal usaha.

Meskipun demikian, ada upaya-upaya pemecahan masalah oleh Pemerintah

Daerah, yaitu: 1). Pemerintah Kota Cilegon beserta pihak terkait lainnya berusaha

untuk mendirikan TPI agar sistem pendaratan dan pemasaran ikan menjadi lebih baik,

serta membuat peraturan daerah tentang peraturan perijinan usaha perikanan untuk

menciptakan iklim usaha perikanan yang kondusif; 2). Akses permodalan bagi

nelayan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak memberatkan nelayan, serta

mendorong para nelayan untuk menggunakan lembaga permodalan yang ada seperti

Koperasi LEP-M3, Linbuk, dan sebagainya.

4.3.2.1 Sumberdaya Perikanan

Kondisi pelimpahan ikan di perairan wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon terutama di daerah penangkapan ikan tradisional belum memiliki

tempat pelelangan (TPI) yang hal ini menyulitkan bagi para petani khususnya

masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, terlihat bahwa para nelayan di

wilayah pesisir 4 (empat) kecamatan yakni Kecamatan Ciwandan, Kecamatan

Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak hanya mampu menangkap

ikan + 1.103 ton/tahun, sedangkan konsumsi masyarakat untuk kebutuhan ikan lebih

dari angka tersebut. Namun secara faktual Dinas Koperasi dan Pertanian Kota

Cilegon telah membentuk kelompok petani khususnya perikanan tangkap sampai

tahun 2007 yang meliputi: 1). Jumlah petani: (a) Rumah tangga perikanan (RTP)

terdiri dari: punya perahu sebanyak 519 Kepala Keluarga (KK), tanpa perahu

sebanyak 77 KK; (b) Rumah tangga buruh perikanan (RTBP) sebanyak 208 KK. 2).

Armada perikanan tangkap terdiri dari: perahu tanpa motor sebanyak 204 unit, motor

tempel sebanyak 239 unit, dan kapal motor: < 5GT sebanyak 6 unit, dan 5 – 10 GT

sebanyak 70 unit. 3). Alat tangkap terdiri dari: jaring insang hanyut 33 unit, jaring

insang tetap 6 unit, bagan perahu 54 unit, bagan tancap 9 unit, pancing 421unit, bubu

71 unit, dan serok 80 unit.

Program lain pemerintah Kota Cilegon dalam upaya meningkatkan

produktifitas sumberdaya ikan di perairan wilayah pesisir yang dicanangkan dalam

dekat akan membentuk Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon. Dinas tersebut

Page 100: Limbah Padat Baja

76

merupakan pemisahan Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon, yang diharapkan

wilayah pesisir Kota Cilegon mampu menghasilkan devisa bagi pendapatan asli

daerah (PAD) Kota Cilegon.

4.4 Kondisi Pesisir Laut

Pemukiman di sekitar pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon

menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang

sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan sesuai dengan keadaan lingkungan

wilayah pesisir. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam,

ekploitasi hutan laut, perdagangan dan industri merupakan dasar bagi tata ekonomi

masyarakat wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Tekanan jumlah penduduk yang selalu bertambah sering mengakibatkan

rusaknya/degradasi lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa limbah rumah

tangga, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan

keamanan umum. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang proses perubahan yang

terjadi di wilayah pesisir tersebut. Perlu diketahui pula bahwa perairan wilayah pesisir

umumnya merupakan perangkap zat-zat hara maupun bahan-bahan buangan, karena

pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan cermat akan menimbulkan

masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan buangan seperti dari sampah

organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan

sebagainya akann terbawa aliran sungai dan pada akhirnya akan mencapai perairan

wilayah pesisir tersebut.

Menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota

Cilegon hingga tahun 2007, bahwa kadar logam berat dalam air laut disepanjang

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon sangat bervariasi namun kisaran

kadar logam beratnya konsentrasi masih tergolong rendah dan masih memenuhi baku

mutu air laut yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negera Kependudukan dan

Lingkungan Hidup tahun 1988 dan tahun 2004. Keputusan Menteri Negera

Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep 51/MNKLH/I/2004 tentang Pedoman

Penetapan Baku Mutu Air Laut.

Page 101: Limbah Padat Baja

V. ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH DI WILAYAH PESISIR

ABSTRAK

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan,

juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan. Kebijakan pengelolaan limbah di wilayah pesisir dirasakan sangat penting bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Tujuan analisis pengelolaan limbah ini yaitu: untuk mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja, mengetahui kualitas air laut di wilayah pesisir, mengetahui proses instalasi pengelohan air limbah baja. Metode analisis pengelolaan limbah baja ini mengacu pada: toxicity characteristic leaching prosedure (TCLP) untuk mengetahui hasil uji toksisitas; Peraturan Pemerintah RI. No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); Proses IPAL untuk regenerasi atau recovery limbah. Hasil analisisnya yaitu: hasil uji toksisitas limbah industri baja tersebut masuk pada limbah B3, karena melebihi baku mutu untuk limbah DR (untuk Pb), limbah HSM (untuk Cr, Cu, dan Pb), limbah FC (untuk Cr dan Cu) dan limbah EAF kecuali Cu sedangkan limbah baja WRM dan CRM tidak terkena kriteria limbah B3. Kualitas air laut di wilayah pesisir masih memenuhi batas aman, tidak melewati baku mutu air laut. Proses instalasi pengelohan air limbah baja dilakukan dengan proses regenerasi atau recovery sebagai upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair.

Kata kunci: Limbah baja, toksisitas, kualitas air laut, IPAL, wilayah pesisir.

5.1 Pendahuluan

5.1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan,

juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia

serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan.

Laporan dari UNESCO (1993), sekitar 60% dari total penduduk dunia bermukim di

daerah sekitar 60 km dari garis pantai. Dua per tiga dari kota-kota dunia dengan

penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pesisir.

Menurut Dahuri (1998), keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, dalam hal

ini hampir sebagian kota-kota besar serta lebih dari 60% jumlah penduduknya

terdapat di wilayah pesisir. Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai

kegiatan pembangunan di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan

disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat, yaitu: (1)

wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif

di planet bumi ini. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti

hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria, berada di wilayah

Page 102: Limbah Padat Baja

78

pesisir. Menurut Clark yang dikeluarkan oleh FAO (1992), lebih dari 90% total

produksi perikanan dunia (sekitar 82 juta ton), baik melalui kegiatan penangkapan

maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir; (2) wilayah pesisir menyediakan

berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi

kegiatan industri, pemukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, dari pada yang

dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-landareas). Kemudahan tersebut berupa

media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin (cooling

water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, serta

bahan baku industri lainnya; (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama

keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik

dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur,

perairan pesisir untuk renang, selancar, dan berperahu; dan terumbu karang serta

keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam, dan sebagainya.

Kemajuan di bidang industri dan pertanian di masa sekarang ini

mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan tekanan

terhadap pertanian sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah industri dan penduduk

membawa akibatnya bertambahnya beban pencemaran yang disebabkan oleh

pembuangan limbah industri dan domestik. Pencemaran tersebut menyebabkan

kerugian besar karena umumnya limbah mengandung zat beracun antara lain klor,

raksa, kadmium, khrom, timbal, dan lain sebagainya yang sering digunakan dalam

proses produksi suatu industri, baik sebagai bahan baku, katalisator atau bahan utama.

Hal tersebut karena paradigma dan pola pembangunan yang selama ini terlampau

berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya perhatian yang memadai

terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem wilayah pesisir yang

menyusun daya dukung dan kapasitas ekosistem ini bagi kelangsungan pembangunan,

maka dikawatirkan akan terjadi pencemaran lingkungan di wilayah pesisir.

Menurut Dahuri (1998), banyak wilayah pesisir di dunia termasuk Indonesia

telah mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks, baik berupa

pencemaran, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pengikisan

keanekaragaman hayati, degradasi fisik habitat pesisir, maupun konflik penggunaan

ruang dan sumberdaya. Bahkan di beberapa daerah pesisir tingkat kerusakan ekologis

tersebut telah mencapai atau melampaui daya dukung lingkungan dan kapasitas

keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem wilayah pesisir untuk menopang

kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia di masa mendatang. Salah satu

pencemaran lingkungan pesisir adalah masuknya logam berat di perairan.

Page 103: Limbah Padat Baja

79

Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar

zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya.

Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali

lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik

industri pertanian maupun industri pertambangan. Sebagian besar dari limbah itu

biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Menurut Gaskin (2003), adanya kontaminan logam berat di tanah yang

berasal dari lumpur (sludge) mendorong peningkatan akumulasi kandungan logam

berkorelasi positif dengan dosis lumpur, sedangkan menurut Sukreeyapongse (2002),

Peningkatan akumulasi logam Pb dan Cd di dalam lumpur (sludge) mengalami

mobilisasi dan ditranslokasikan ke kawasan sekitarnya. Hal ini juga dapat

menghambat perbaikan lingkungan yang rusak akibat pencemaran air limbah yang

mengalir di lingkungan sekitarnya termasuk di wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon. Karena hal yang paling ditakutkan adalah menurunnya kualitas

badan air penerima, karena sebagian besar bahan baku industri logam bersifat

karsinogenik. Meskipun beberapa industri telah memiliki instalasi pengolahan air

limbah (IPAL) namun pengolahannya diduga belum maksimal. Memperhatikan

permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan teknik pemanfaatan kembali

(recovery) limbah tersebut untuk memperoleh kembali salah satu unsur logam yang

ada didalamnya.

Analisis pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon ditujukan untuk mengetahui hasil pengelolaan limbah, baik yang

telah dilakukan melalui pengujian limbah terhadap lingkungan sekitar maupun di

wilayah pesisir kawasan industri yang berkecenderungan terkena dampak pencemaran

lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas pabrik yang beroperasi di

wilayah tersebut.

5.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan

Tujuan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini, yaitu untuk: (1)

Mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja; (2) Mengetahui kualitas air laut

di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon; dan (3) Mengetahui proses

instalasi pengolahan air limbah baja.

Sedangkan lingkup bahasan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah

pesisir ini yaitu: mengetahui toksisitas limbah industri baja berdasarkan hasil uji yang

telah dilakukan; mengetahui kondisi kualitas air laut di wilayah pesisir di empat

Page 104: Limbah Padat Baja

80

kecamatan Kota Cilegon yang termasuk wilayah pesisir; dan mengetahui proses IPAL

yang dilakukan oleh pabrik baja tersebut.

5.2 Tinjauan Pustaka

5.2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir

Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi

sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut banyak dimanfaatkan dan

memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat

maupun sebagai sebagai devisi negara yang sangat penting. Aktifitas perekonomian

yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya kegiatan perikanan seperti perikanan

tangkap dan perikanan budidaya, industri dan parawisata. Selain dimanfaatkan

sebagai kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga sebagai digunakan sebagai

tempat membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik di darat maupun di

kawasan pesisir, sehingga wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis

berupa pencemaran yang bersumber dari aktivitas manusia. Melimpahnya bahan

pencemar di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian

perikanan laut.

Menurut Dahuri (1996), akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir

terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktivitas

industri. Hal tersebut disanyilir terjadi di perairan wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon yang berasal dari muara 11 sungai yang berada di Kota Cilegon .

5.2.2 Toksisitas

Menurut Otobboni (1996) yang dikutip dari Sax (1957), toksisitas dapat

diartikan sebagai kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila

masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Semua pencemar

baik yang berasal dari udara, air dan tanah sebagian besar akan tersalurkan dan masuk

ke dalam pesisir/laut. Menurut Kunaefi (2000), dalam penelitian di Kepulauan Seribu

menunjukkan bahwa konsentrasi beberapa logam berat sudah melampaui standar

yang berlaku. Enam jenis ikan yang biasa dimakan turis, ternyata juga mengandung

Cd, Cu, Pb, Zn, dan Hg dalam konsentrasi yang jauh lebih besar dari yang

diperbolehkan. Hal ini dapat diperkirakan akibat dari proses biokonsentrasi. Faktor

biokonsentrasi (BCF) yang diperkirakan untuk logam-logam tersebut sangat

bervariasi, mulai dari yang terkecil 11,20 mol/l untuk Pb sampai 65.196,50 mol/l

untuk Zn.

Page 105: Limbah Padat Baja

81

Menurut Sax (1957), Toksisitas dapat diartikan sebagai kemampuan racun

(molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi

organ yang rentan terhadapnya. Sedangkan menurut Sumirat (2003), di dalam

pengujian toksisitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan racun dari limbah

yang dapat menimbulkan kerusakan pada produk yang dibuat. Di dalam tujuan

taksikologi lingkungan diharapkan mampu menguraikaan perlunya mencari substansi

yang aman, mencegah terjadinya efek yang tidak dikehendaki dari racun terhadap

organisme dan kualitas lingkungan, dapat membuat kriteria dasar untuk standarisasi

lingkungan, dan dapat memperbaiki cara pengobatan karena mengetahui mekanisme

terjadinya efek, dan keracunan.

Adapun upaya yang dilakukan untuk antisipasi pencegahan terjadinya

keracunan (toksisitas) logam yang lebih luas, perlu dilakukan pengamatan kondisi

lingkungan. Kondisi lingkungan yang menurun baik udara, air maupun yang selalu

digunakan penduduk di wilayah pesisir setiap saat perlu diteliti. Bilamana suatu

kawasan lingkungan yang mulai dipergunakan sebagai kawasan industri, maka perlu

dipikirkan relokasi pemindahan penduduk ke daerah lain yang bersih.

Adapun yang dimaksud dengan toksisitas dalam penelitian ini adalah tujuan

toksisitas lingkungannya, menurut Soemirat (2003) dengan toksisitas lingkungan

diharapkan mampu: (1) menguraikan perlunya mencari substansi yang aman, yang

berarti harus mengetahui mekanisme bagaimana racun (toksik) menyerang organisme,

sehingga timbul efek yang tidak dikehendaki atau terjadi struktur yang tidak normal;

(2) Mencegah efek yang tidak dikehendaki dari racun terhadap organisme dan

kualitas lingkungan; (3) dapat membuat kriteria dasar untuk standarisasi kualitas

lingkungan, yakni menentukan konsentrasi yang dapat diterima masyarakat; (4) dapat

memperbaiki cara pengobatan karena mengetahui mekanisme terjadinya efek dan

keracunan.

5.2.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah

Saat ini beberapa industri hanya sebagian saja yang mempunyai instalasi

pengolahan air limbah (IPAL) yang baik, sedangkan yang lainnya bisa dikatakan

membuang limbahnya sembarangan, sehingga pada akhirnya akan menimbukan

berbagai macam dampak. Salah satu dampak tersebut adalah merosotnya kualitas

lingkungan akibat limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri tersebut. Usaha yang

dilakukan oleh pihak perusahaan untuk menghindari hal tersebut diantaranya adalah

Page 106: Limbah Padat Baja

82

dengan cara mengolah limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air,

sehingga pencemaran lingkungan dapat dihindari.

Untuk mempertahankan efektivitas pengolahan air limbah baja, secara berkala

lumpur diangkat dari dasar kolam di instalasi pengolahan air limbah oleh industri dan

selanjutnya ditimbun di area penampungan limbah. Dalam hal limbah baja,

penggunaan lumpur baja sebagai bahan campuran (substitusi) untuk produksi baja

atau produk jenis lain yang telah banyak dilakukan di berbagai negara maju dengan

pertimbangan bahwa limbah baja mengandung bahan perekat dan sejumlah elemen

yang mendukung penggunaan limbah ini. Namun logam berat di dalam lumpur

limbah dapat juga mengancam rantai makanan di tanah.

Menurut Damanhuri (1997), konsep dasar atau teknologi terapan pengelolaan

limbah baja terutama dikaitkan dengan upaya daur ulang mempunyai nilai tambah

(added value) yang sangat menjanjikan, misal negara Jepang sudah membuat keramik

dengan bahan substitusi (campuran) dari bahan limbah baja dengan nilai ekonomis

yang sangat besar. Di sisi lain penggunaan lumpur limbah sebagai bahan campuran

pada produksi baja maupun jenis produk lain merupakan cara yang praktis untuk

memanfaatkan limbah, dan dianggap menguntungkan. Namun lumpur mengandung

logam berat, sehingga penggunaan dalam jumlah berlebih dan jangka panjang dapat

berpengaruh buruk terhadap kualitas tanah dan air/pesisir dan mengkontaminasi.

Logam berat seperti baja ini yang masuk ke perairan laut/pesisir secara

fisiologis tidak diperlukan bagi kehidupan makhluk hidup laut. Oleh karena itu,

limbah yang dihasilkan dari proses produksi perlu mendapatkan prioritas penanganan

melalui proses instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) yang distandarisasi, agar

limbah baja yang mengalir ke pesisir dipastikan dosisnya memiliki nilai ambang batas

yang memenuhi kualitas air laut yang disyarakatkan. Karena setiap makhluk hidup di

perairan seperti ikan memiliki perbedaan sensitivitas terhadap logam berat dan

memperlihatkan kemampuan yang berbeda dalam mengakumulasi logam berat.

5.3 Metode Analisis Pengelolaan Limbah di Wilayah Pesisir

Metode analisis pengelolaan limbah baja ini meliputi:

1. Uji toksisitas, bertujuan untuk mengevaluasi jumlah komponen limbah yang

terlepas kembali dari masing-masing sampel limbah yang telah disolidifikasi

akibat pengaruh air yang bersifat asam. Uji ini berlaku untuk limbah baja

berkategori B3 yang akan mengalami landfilling yang berlaku di Indonesia sesuai

dengan Peraturan Pemerintah No.19/1994 dan Peraturan Pemerintah No. 12/1995.

Page 107: Limbah Padat Baja

83

Pengujian dilakukan dengan cara toxicity characteristic leaching prosedure

(TCLP). Setelah dianalisis, bila kandungan logam logam berat dari hasil leachate

(lindi) tersebut lebih rendah dari baku mutu TCLP yang dikeluarkan oleh

pemerintah, maka limbah padat tersebut dikatakan tidak berbahaya/beracun

sehingga dapat di timbun setelah dilakukan proses stabilisasi dan solidifikasi

terlebih dahulu. Adapun cara pengujian pelindian (leachate) limbah beracun ini

adalah: a). Sampel padat imbah B3 tanpa fasa cair, diayak terlebih dahulu dengan

partikel yang lolos dari ayakan 0,9 cm, b). Ke dalam masing-masing botol

pengekstrak yang berkapasitas lebih dari 1000 mL, masukkan contoh limbah

padat B3 masing-masing sebanyak 50 gram. Selanjutnya tambahkan larutan asam

asetat (pH 5) sebanyak 1000 mL. Perbandingan berat limbah padat B3 dengan

larutan asam asetat yaitu 1 : 20

2. Pengujian kualitas air ini, bertujuan untuk mengetahui tingkat atau daya racun

logam berat berdasarkan sifat fisika, kimia, dan biologi dari limbah baja yang

mengalir ke wilayah pesisir sesuai dengan Surat Keputusan Kementerian Negara

Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Golongan Baku Mutu

Air Limbah. Untuk mengetahui jenis polutan yang terdapat dalam air limbah,

dapat ditentukan unit proses yang diperlukan.

3. Menganalisis proses instalasi pengolahan air limbah (IPAL) oleh pabrik baja PT.

Krakatau Steel dikenal dengan nama reject treatment plant (RTP) atau waste

water treat plant (WWTP), tujuannya adalah sebagai upaya optimalisasi

konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair pada proses

produksi baja melalui proses regenerasi atau recovery. Untuk memisahkan

kontaminasinya dari air, dilakukan melalui proses asam dan proses basa.

Oleh karena itu, dalam analisis pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir

difokuskan pada hasil uji toksisitas, kualitas air laut, dan proses instalasi air limbah

seperti yang disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir

HASIL UJI TOKSISITAS

KUALITAS AIR LAUT

PROSES IPAL

ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH BAJA DI WILAYAH PESISIR

LIMBAH BAJA

Page 108: Limbah Padat Baja

84

5.4 Hasil dan Pembahasan

5.4.1 Penataan Ruang di Wilayah Pesisir

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat menyebabkan

peningkatan kebutuhan manusia akan pengelolaan sumberdaya. Pemenuhan

kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam secara

berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Pada pengelolaan limbah

bajapun memerlukan pengendalian dan pengelolaan yang harus dilakukan secara

komprehensif dan terpadu. Sehingga diharapkan limbah baja dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan manusia secara lestari dan berkelanjutan. Adanya tekanan

penduduk terhadap kebutuhan lahan pesisir dan laut, baik untuk kegiatan

pertanian/perikanan, rekreasi, maupun kegiatan lain akan menyebabkan perubahan

penggunaan sumberdaya pesisir. Perubahan penggunaan sumberdaya pesisir yang

paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian pesisir adalah perubahan dari kawasan

pesisir ke penggunaan sumberdaya lainnya seperti perhotelan, perumahan, industri

dan perumahan diperlukan tata ruang di wilayah pesisir.

Struktur tata ruang wilayah meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan

yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi

pengembangan sektor unggulan, khususnya dalam kegiatan pemanfaatan tata ruang di

wilayah pesisir yang menggunakan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, kapital,

teknologi, dan sebagainya. Untuk membuat kawasan industri kelautan dan perikanan

perlu didukung oleh regulasi yang mengatur pembuatan kawasan industri (cluster

industry) baik yang bersumber dari departemen teknis yaitu Departemen Kelautan

dan Perikanan yang mengatur tata ruang pembangunan kawasan industri perikanan

sehingga unsur untuk menjaga stabilitas lingkungan pesisir tetap terjaga maupun

instansi lain yang berkaitan dengan pengaturan rencana tata ruang kabupaten/kota.

Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan

sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terestrial (darat) atau sumber daya

akuatik (perairan).

5.4.2 Uji Terhadap Pengaruh Lingkungan

Berdasarkan hasil wawancara dan survei, maka penelitian pengaruh limbah

terhadap lingkungan, adalah sebagai berikut:

Page 109: Limbah Padat Baja

85

A. Hasil Uji Toksisitas Limbah

Berdasarkan hasil survei di lapangan, karakteristik limbah padat industri

diperlukan sistem pengelolaan limbah secara tepat dalam upaya mengurangi

pencemaran terhadap lingkungan dengan terlebih dahulu mengetahui hasil pengujian

berupa hasil uji toksisitas terhadap limbah. Karakteristik fisik limbah menunjukkan

bahwa semua limbah, kecuali CRM mempunyai specific gravity yang lebih besar

daripada aggregate halus. Berat volume FC, HSM, DR, dan WRM lebih besar

dibandingkan aggregate halus. Untuk modulus kehalusan, limbah FC dan CRM lebih

besar dibandingkan aggregate halus. Sedangkan specific surface area limbah WRM

dan DR lebih tinggi dibandingkan aggregate halus. Secara fisik diantara semua

limbah, limbah CRM mempunyai bentuk yang paling sulit ditangani, hal ini antara

lain disebabkan oleh kandungan air dan volatil yang tinggi dan limbah tersebut ada

dalam bentuk slurry. Sedangkan untuk karakretistik kimia menunjukkan bahwa

semua limbah mempunyai pH diatas 7 sehingga dapat dikatakan bersifat basa.

Uji toksisitas limbah baja disebut sebagai uji pelindian atau toxicity

charcteristic leaching prosedure (TCLP). Tujuan pengujian ini adalah untuk

mengevaluasi jumlah komponen limbah yang terlepas kembali dari limbah baja yang

telah disolidifikasi akibat pengaruh air yang bersifat asam. Uji ini berlaku untuk

limbah berkategori B3 yang mengalami landfilling yang berlaku di Indonesia sesuai

dengan Peraturan Pemerintah No.19/1994 dan Peraturan Pemerintah No. 12/1995. Uji

pelindian dilakukan dengan cara TCLP. Fitratnya kemudian dianalisis terhadap logam

Cr, Cd, Cu, Ni, Pb, dan Zn. Limbah untuk uji TCLP diambil dari limbah yang

dihasilkan.

Untuk melakukan identifikasi limbah sebagai limbah B3, diperlukan uji

karakteristik dan uji toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi

karateristik limbah atas sifat-sifat: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif,

beracun, bersifat korosif, dan dapat menyebabkan infeksi. Sedangkan uji toksikologi

digunakan untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah.

Hasil uji toksisitas digunakan untuk menilai efek akut, subakut, dan kronis.

Uji ini perlu didasarkan atas waktu, karena semua zat baru akan memasuki atau

dipakai di industri harus diuji terlebih dahulu toksisitasnya. Untuk melihat efek

jangka panjang, maka uji toksisitas setiap zat harus dikaji pula efek kronisnya, Karena

itu, menurut Sumirat (2003), di dalam toksisitas logam seperti limbah baja dapat

bersifat kronis dan akut, sangat tergantung pada berbagai faktor:

Page 110: Limbah Padat Baja

86

1. Toksisitas akut tergantung pada: (a) dosis tinggi sekaligus dalam waktu yang

pendek, maka efek bisa akut dan parah. (b) waktu pemaparan pendek tetapi pasif.

(c) organ absorpsi memungkinkan masuk ke peredaran darah dengan cepat.

2. Toksisitas kronis tergantung pada: (a) dosis tidak tinggi, tetapi paparan yang

menahun. (b) gejala tidak mendadak ataupun sangat gradual/kronis. (c) organ

dapat seluruh terkena.

Uji TCLP tersebut dilakukan untuk mengetahui kemungkinan pelindian logam

berat dalam air hujan secara maksimum. Uji ini dilakukan terhadap limbah baja yang

dihasilkan dari proses produksi baja. Hasil uji TCLP limbah baja selengkapnya

disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil toxicity characteristic leaching prosedure (TCLP) limbah baja.

Parameter(mg/l) Jenis Limbah Cd Cr Cu Pb Zn

DR * * * 11,0 *

WRM * 4,5 * * *

HSM * 7,2 18,0 6,2 *

CRM FC * 6,2 13,0 4,5 *

EAF 3,8 19,2 7,8 21,0 60,5

Keterangan: (*) tidak dilakukan analisa karena total lebih kecil dari standar TCLP.

Dalam kaitannya dengan baku mutu yang ditetapkan, maka uji TCLP tersebut

di atas merupakan pendekatan dalam upaya pengendalian terhadap pembuangan

limbah berbahaya. Adapun sasaran uji TCLP ini adalah membatasi adanya lindi

(leaching) berbahaya yang dihasilkan dari penimbunan (landfilling) setelah limbah di

stabilisasi/solidifikasi. Untuk melakukan uji perlindian (TCLP) terhadap limbah

beracun memerlukan alat rotary agitator yaitu suatu alat yang berputar secara rotasi

end-over-end dengan kecepatan putaran 30 + 2 rpm selama 18 + 2 jam.

Berdasarkan analisa TCLP di atas dapat disimpulkan bahwa limbah tersebut

masuk pada kriteria limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu

seperti diatur dalam standar TCLP No. 04/09/1995 dan baku mutu TCLP Peraturan

Pemerintah RI. No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya

dan Beracun (B3), yaitu: direct reduction (DR, untuk Pb), hot strip mill (HSM, untuk

Cr, Cu, dan Pb), furnace centre (FC, untuk Cr dan Cu) dan electric arc furnace (EAF,

untuk semua komponen kecuali Cu). Limbah baja wire rode mill (WRM) dan cold

Page 111: Limbah Padat Baja

Tabel 16. Data kualitas air laut di wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon HASIL UJI LABOTARIUM TIAP KECAMATAN No. PARAMETER SATUAN BAKU CIWANDAN CITANGKIL PULOMERAK GROGOL

MUTU 2005 2006 2007 2005 2006 2007 2005 2006 2007 2005 2006 2007 A. FISIKA

1 Bau - Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau Tdk

berbau 2 Kecerahan Meter > 3 3,25 3,0 3,0 3,0 3,5 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3 Zat padat tersuspensi Mg/l 80 5 3 1 5 5 1 12 4 5 12 7 2 4 Suhu oC Alami 31,2 29,6 30,0 30,8 30,0 29,7 30,0 29,7 30,1 30,0 31,9 30,0 5 Lapisan Minyak - Nihil Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 6 Sampah - Nihil Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

B. KIMIA

1 pH - 6,5 - 8,5 7,85 8,09 7,70 7,89 8,10 7,80 8,4 7,87 7,40 8,5 7,93 7,70 2 Salinitas o/oo Alami 33,7 33,7 32,4 33,3 32,4 32,32 33,2 32,0 32,4 33,3 32,4 32,2 3 Amonia Total (NH3-N) mg/l 0,3 0,02 < 0,01 < 0,01 0,02 < 0,01 < 0,01 0,05 < 0,01 < 0,01 0,01 < 0,01 < 0,01 4 Sulfida (H2S) mg/l 0,03 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 5 Fenol mg/l 0,002 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 6 Surfactan Anion mg/l 1,0 0,25 < 0,01 < 0, 01 0,23 < 0,01 < 0, 01 0,21 < 0,01 < 0, 01 0,23 < 0,01 < 0, 01 7 Minyak dan Lemak mg/l 5,0 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 8 Air Raksa (Hg) mg/l 0,003 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 9 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005

10 Tembaga (Cu) mg/l 0,05 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 11 Timbal (Pb) mg/l 0,05 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 12 Seng (Zn) mg/l 0,1 0,332 0,0284 0,0208 0,0290 0,0284 0,0211 0,332 0,0287 0,0201 0,333 0,0265 0,0212

C. MIKROBIOLOGI

1

kolifrom Total

MPN/100 ml

1.000

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi, Kota Cilegon tahun 2007

Page 112: Limbah Padat Baja

87

rolling mill (CRM) tidak terkena kriteria tersebut. Setelah dicampur sebagai material

lainnya, ternyata nilai TCLPnya di bawah baku mutu yang dipersyaratkan.

B. Kualitas Air Laut di Wilayar Pesisir

Menurut Darmono (2006), logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan

bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik,

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22

sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Sebagian logam berat seperti timbal (Pb),

kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas

yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang

dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat

(-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan

tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui

dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau

mengkatalis penguraiannya.

Pada penelitian ini dilihat seberapa besar pengaruh limbah baja yang

mengalir ke wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon terhadap kualitas air

laut. Adapun pengaruh dari limbah baja ini ditunjukkan oleh kualitas air seperti yang

disajikan pada Tabel 16. Analisis kualitas air dilihat pada penelitian ini terutama

kandungan logam beratnya, karena adanya logam berat di perairan, berbahaya, baik

secara langsung terhadap kehidupan organisme maupun efeknya secara tidak

langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam

berat, yaitu:

1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan

keberadaannya secara alami sulit dihilangkan.

2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan

membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut.

3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari

konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena

pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke

dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala

waktu tertentu.

Kadmium (Cd) dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah

pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam

penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali. Keracunan kadmium

Page 113: Limbah Padat Baja

89

dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa

penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan

kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang.

Seperti diketahui bahwa limbah baja termasuk limbah logam berat, yang

didalamnya terkandung unsur-unsur bahan kimia. Tembaga merupakan logam yang

ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida (CuS). Tembaga sering

digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas, dan alloy.

Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan

dari batuan mineral sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat

dalam lapisan udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga berasal dari buangan

bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri galangan kapal, industri

pengolahan kayu, dan limbah domestik. Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat

mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput

lendir . Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah

dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan protein, sebagian

dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian lagi

menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan

tuberkulosis.

Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat

racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing

alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik. Namun

pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi timbal (Pb) pada air laut masih di

bawah baku mutunya.

Kadmium (Cd) lebih beracun bila terisap melalui saluran pernapasan daripada

melalui saluran pencernaan. Kasus keracunan akut kadmium sebagian besar dari

mengisap debu dan asap kadmium, terutama kadmium oksida (CdO). Dalam beberapa

jam setelah mengisap, korban akan mengeluh pada gangguan pencernaan, muntah,

kepala pusing, dan sakit pinggang. Kadmium merupakan logam toksik yang diketahui

berinteraksi dengan seng (Zn), sehingga hadirnya Cd dapat mengganggu sifat esensial

dari Zn. Dalam penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi kadmium (Cd) dan seng (Zn)

pada kualitas air laut di Kawasan Industri Krakatau Cilegon tergolong masih di

bawah baku mutunya.

Pada ion merkuri (Hg) menyebabkan pengaruh toksik karena terjadinya proses

presipitasi protein, menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan yang

korosif. Pengaruh toksisitas merkuri pada manusia bergantung pada bentuk komposisi

Page 114: Limbah Padat Baja

90

merkuri, rute masuknya ke dalam tubuh dan lamanya ekspose. Sedangkan tembaga

(Cu) merupakan logam berat esensial, kecenderungan untuk menimbulkan keracunan

pada hewan. Keracunan terjadi apabila garam Cu langsung kontak dengan dinding

usus hewan sehingga menimbulkan radang, hewan menjadi shock dan akhirnya mati.

Namun pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi merkuri (Hg) dan tembaga

(Cu) pada air laut masih di bawah baku mutunya.

Walaupun kandungan logam berat di dalam air tidak terdeteksi, namun

kandungan logam berat di dalam sedimen cukup tinggi, begitupun kandungan logam

berat pada biota air terutama biota air yang bersifat menetap seperti kerang-kerangan.

Rendahnya kandungan berat pada air disebabkan pada air disebabkan oleh tingginya

flushing yang terjadi di wilayah pesisir dan sifat logam berat tersebut mempunyai

densitas lebih dari 5, sehingga logam berat akan cenderung mengendap ke dasar

perairan (Riani, dkk., 2004). Hal ini sesuai pendapat Law (1981) yang menyatakan

bahwa terjadinya peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasi dalam air

dapat berubah setiap saat, karena adanya berbagai macam proses yang dialami oleh

senyawa tersebut selama dalam kolom air. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat

dipahami jika kandungan logam berat pada air laut semuanya tidak terdeteksi.

Sedangkan logam berat pada sedimen disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Logam berat pada sedimen

No. Logam berat pada sedimen Konsentrasi (mg/l)

1 Timbal (Pb) 11,05

2 Kadmium (Cd) 10,2

3 Crom (Cr 0,7

4 Merkuri (Hg) 8,3

Berdasarkan Tabel 17 di atas, kandungan logam berat pada sedimen

memperlihatkan konsentrasi yang cukup tinggi, bila dibandingkan dengan ketentuan

dari yang dikeluarkan oleh swedian environmental protection agence (SEPA)

terutama pada kandungan logam berat kadmium (Cd) mencapai 0,02 mg/l dan

merkuri (Hg) < 0,05 mg/l. Dari analisis hasil laboratorium memperlihatkan bahwa

konsentrasi timbal (Pb) pada sedimen mencapai 11,05 mg/l. Kadmium (Cd) pada

sedimen mencapai 10,2 mg/l, Crom (Cr) pada sedimen mencapai 0,7 mg/l dan

merkuri (Hg) pada sedimen mencapai 8,3 mg/l. Kondisi ini memperlihatkan bahwa

sumbangan dari limbah industri di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon cukup tinggi. Dan logam berat yang terdapat pada limbah industri terdapat di

Page 115: Limbah Padat Baja

91

Kawasan Industri tersebut akan mengendap dan terakumulasi di dasar perairan

pesisir. Hal ini sesuai dengan pendapat environmental protection agence (APE) tahun

1973 yang menyatakan bahwa zat pencemar seperti logam berat akan masuk ke dalam

ekosisitem laut dan melalui proses fisika kimia akan mengakibatkan logam berat

mengendap di dasar air. Demikian juga pada kandungan logam berat pada organ

tubuh kerang-kerangan seperti disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Kandungan logam berat pada organ tubuh kerang-kerangan

No. Jenis logam berat Konsentrasi pada Insang (mg/l)

Konsentrasi pada Hati (mg/l)

1 Timbal (Pb) 87 97

2 Kadmium (Cd) 69 171

3 Crom (Cr) 13,3 75,64

4 Merkuri (Hg) 69 121,52

Berdasarkan Tabel 18 di atas, berbeda dengan kandungan logam berat pada air

dan sedimen, kandungan logam berat pada kerang-kerangan yang siap dikonsumsi,

kandungan beratnya sangat tinggi. Dalam hal ini konsentrasi Pb pada insang

mencapai 87 mg/l, sedangkan pada hati(hepatopankreas) mencapai 97 mg/l.

Konsentrasi Cd pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati

(hepatopankreas) mencapai 171 mg/l. Konsentarasi Cr pada insang mencapai 13,3

mg/l, sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai 75,64 mg/l. Konsentrasi Hg

pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai

121,52 mg/l. Konsentarasi tersebut terjadi karena adanya akumulasi logam berat pada

biota air (Lu, 1995). Hal ini sesuai dengan pernyataan EPA 1973 yang menyatakan

bahwa logam berat yang masuk ke lingkungan laut akan dipekatkan melalui proses

biologis, karena logam berat tersebut diserap oleh biota air terutama yang bersifat

menetap seperti kerang-kerangan dan selanjutnya mengalami pemekatan di dalam

kerang-kerangan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Horiguchi, et al. (2006)

yang menyatakan bahwa logam berat yang terdapat pada ekosistem perairan juga

akan mengalami proses pemekatan dengan melalui proses makan memakan

(biomagnifikasi).

Untuk melihat pengaruh logam berat terhadap air, sedimen, dan biota air

seperti kerang pada insang dan hati (hepatopankreas) disajikan pada histogram

Gambar 15.

Page 116: Limbah Padat Baja

92

Gambar 15. Logam berat pada air, sedimen, insang dan hepatopankreas

Sedangkan pengaruh sedimen, insan, hati (hepatopankreas), dan air pada logam berat

disajikan pada histogram Gambar 16.

Sedimen 0,7 – 11,05 mg/l Insang 13,3 – 87 mg/l

Hepatopankreas 75,64 – 171mg/l Air tidak terdeteksi

Gambar 16. Konsentrasi sedimen, insang, hepatopankreas, dan air pada logam berat

Masalah pencemaran lingkungan di pesisir merupakan masalah besar sebagai

salah satu dampak negatif dari kemajuan di bidang industri. Limbah industri jika

tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan dampak bagi lingkungan terhadap

Page 117: Limbah Padat Baja

93

manusia maupun organisme-organisme yang dihidup disekitarnya. Bahan pencemaran

logam berat biasanya berasal dari kegiatan industri selain bersifat racun bagi

organisme perairan, logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh ikan maupun hasil

laut lainnya. Hal ini berakibat akan membahayakan kesehatan manusia yang

mengkonsumsi hasil-hasil laut tersebut. Namun rendahnya logam berat Cu, Pb, Hg,

Cd, dan Zn dalam perairan tidak berarti bahwa pasti aman, karena logam berat pada

makhluk hidup bersifat akumulatif yang pada akhirnya dapat membahayakan

makhluk hidup yang terdapat didalamnya.

Bahan buangan yang sering menimbulkan pencemaran laut atau pantai

ditemui di negara-negara yang sedang berkembang. Diketahui ada beberapa jenis

logam berat yang dipertimbangkan sebagai pencemar, namun ada beberapa logam

berat tersebut yang esensial untuk kehidupan organisme, misalnya Mn, Fe, dan Cu

tetapi dalam penggunaan jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme.

Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas

industri, pertambangan, pertanian dan pemukinan penduduk. Kandungan logam berat

dalam perairan/pesisir dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia yaitu arus, suhu,

salinitas, pedatan tersuspensi dan derajat keasaman (pH), namun kandungannya pada

pesisir sekitar Kawasan Industri Krakatau Cilegon masih dalam batas belum

membahayakan.

Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan estuaria merupakan suatu

proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia.

Menurut Darmono (2006), pada air laut di lautan lepas kontaminasi logam berat

biasanya terjadi secara langsung dari atmosfir atau tumpahan minyak dari kapal-kapal

tangker yang melaluinya, sedangkan di wilayah sekitar pantai kontaminasi logam

kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan

industri.

Berdasarkan analisis kualitas air terhadap parameter bau, kecerahan, zat padat

tersuspensi, suhu, lapisan minyak, sampah, pH, salinitas, amoniak sulfida, fenol,

surfactan anion, minyak dan lemak, serta Hg, Cu, Cd, Pb, dan Zn memperlihatkan

bahwa semua parameter ada di bawah ambang batas (Tabel 18). Hal ini mengandung

arti bahwa wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon masih ada dalam

kondisi baik.

Page 118: Limbah Padat Baja

94

5.4.3 Proses Instalasi Pengelohan Air Limbah Baja

Proses instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pada perusahan baja PT.

Krakatau Steel dikenal dengan nama reject treatment plant (RTP) atau waste water

treat plant (WWTP). Proses IPAL /RTP/WWTP limbah baja ini melalui fluida-fluida

proses setelah digunakan pada proses cold rolling mill (CRM) sebelum dibuang

sebagai limbah, dilakukan proses regenerasi atau recovery sebagai upaya optimalisasi

konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair.

Limbah cair ini pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua bagian menurut

sifat keasamannya, yaitu:

1. Acid Effluent (AE) adalah limbah cair asam yang berasal dari bocoran-bocoran

mekanikal seal diproses acid regenerasi plant (ARP) dan sisa-sisa FeCl2 < 10

gr/lt, HCl < 5 gr/lt dalam air demin (eks kondensat dan rinsing), dengan jumlah

buangan rata-rata 8 m3/jam.

2. Waste Industrial Effluent (WIE) adalah limbah basa yang berasal dari sisa-sisa air

pencucian strip di ECL 1-2, CAL, air eks coolant atau tumpahan rolling oil di

CTCM dan TPM, tumpahan/bocoran pelumas-pelumas mesin maupun kotoran-

kotoran dari cleaning mill. Jumlah rata-rata buangan adalah 60 m3/jam, dengan

kontaminasinya adalah minyak berkisar 0,12%, NaOH < 0,66% dan partikel-

partikel pengotor lainnya (pasir, tanah, dan sebagainya).

Limbah cair tersebut dipompakan dari mill ke IPAL/RTP ke dalam masing-

masing tangki penampungannya, yaitu asam ke AE Storage Tank dengan kapasitas

penampung 200 m3 dan Presettler Tank dengan kapasitas 1.500 m3 untuk limbah basa.

Dari kedua penampung ini selanjutnya diolah dalam tangki-tangki pengolahan yang

tersedia guna memisahkan kontaminasinya dari air, yaitu melalui proses asam dan

proses basa.

A. Proses Asam

Pada acid effluent (AE) storage tersedia dua buah pompa asam dengan

kapasitas masing-masing sebesar 12 m3/jam (1 untuk standby). Limbah AE

dipompokan ke tangki pencampuran slurry untuk dinaikkan pHnya, dari pH 8 – 10.

Pada tangki ini dilengkapi dengan sebuah agitator dan sistem pH controller. Setelah

pH sudah sesuai, fluida terolah akan mengalir secara gravitasi menuju ke tangki

oksida yang berkapasitas 450 m3. Oksidasi dilakukan dengan menggunakan Aerator

dan Blowing Fan yang berkapasitas 2.500 m3 udara/jam (1 unit operasi dan 1 unit

standby). Pada oksidasi ini terjadi perubahan Fe2+ menjadi Fe3

+, yang merupakan inti

Page 119: Limbah Padat Baja

95

koagulant. Oleh karenanya fluida hasil olahan ini akan dimanfaatkan lebih lanjut

untuk koagulasi diproses basa (WIE). Berdasarkan proses asam ini, manfaat yang

diperoleh adalah dapat melakukan optimalisasi konsumsi dan minimalisasi

kontaminasi dalam buangan limbah cair.

B. Proses Basa

Seperti halnya dalam proses asam, proses basa juga bertujuan untuk

melakukan upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam

buangan limbah cair. Adapun proses basa yang dilakukan adalah limbah basa

ditampung pada tangki presettler, akan mengalami pemisahan fisik sepanjang

perjalanan (selama waktu tinggal 24 jam). Kontaminan minyak akan mengapung

dipermukaan, partikel tak terlarut/kotoran akan mengendap di dasar dan di posisi

tengah adalah air yang terkontaminasi emulsion oil dan sistem koloid atau terlarut

lainnya. Bagian permukaan sebagai lumpur minyak akan dikumpulkan untuk

dipompakan keluar tangki pada truk. Sementara pada bagian dasarnya adalah

kumpulan partikel-partikel terendapkan yang secara kondisional dipompakan ke

sludge tank.

Untuk bagian cairannya, akan mengalir pada water separator berada di ujung

tangki presettler, yaitu suatu desain system trapping yang dapat menghidari lumpur

minyak ataupun partikel padatan yang masih terikut. Pada water separator tersedia 3

buah pompa dengan kapasitas masing-masing 80 m3/jam, 100 m3/jam dan 120 m3/jam,

Pengolahan dilakukan secara semi kontinyu tergantung dari pada level permukaan

tangki yang dialirkan ke tangki koagulasi, yaitu berfungsi untuk memecah emulsi

minyak dan menstabilkan larutan koloid dengan menambahkan fluida hasil olahan

oksidasi atau dari chemical koagulasi. Target hasil pada proses ini adalah ditandai

dengan timbulnya bintik-bintik partikel yang berada dalam cairan bening.

Selanjutnya, fluida terolah mengalir secara gravitasi ke tangki flokulasi yang

bertujuan untuk memperbesar atau mengumpulkan bintik-bintik partikel padatan

menjadi lebih besar sehingga cairan beningnya menjadi nyata. Kumpulan-kumpulan

padatan ini dialirkan ke tangki pemisahan padatan. Untuk mempecepat pemisahannya

dialirkan air jernih yang diinjeksikan udara pada kedalaman tertentu. Padatan yang

terangkat maupun yang mengendap diangkat menggunakan scrapper untuk

dimasukkan ke sludge pit, sludge tank untuk selanjutnya diumpankan ke filter press.

Hasil dari filtrasi ini dari 5% menjadi 70% solid content (cake), sementara air

beningnya di tampung pada tangki clear water, sebagian akan mengalir ke tangki

netralisasi. Netralisasi dilakukan dengan menambah H2SO4 yang terkontrol melalui

Page 120: Limbah Padat Baja

96

pH controller, yang di set pada pH 6,5 sampai dengan pH 8,5. Air setelah dinetralkan

akan dialirkan secara gravitasi ke bak Lamelia Settler. Bak ini memiliki sarana

perangkap lumpur sehingga air terakhir dari hasil pengolahan di IPAL/RTP

diharapkan sudah tidak terikut lagi kontamin-kontaminan atau minimal memenuhi

nilai ambang batas (NAB) air buangan yang berlaku. Di dalam penanganan kualitas

air limbah diperlukan pemahaman mengenai karakteristik sifat-sifat air limbah.

Pemahaman ini akan memberikan gambaran mengenai akibat-akibat dari perlakuan

industri terhadap air limbah tersebut. Gambar di bawah ini merupakan diagram alir

proses RTP/IPAL pada pabrik baja PT. Krakatau Steel yang selengkapnya disajikan

pada Gambar 17.

Berdasarkan Gambar 17 tersebut memperlihatkan aliran proses RTP/IPAL di

PT. Krakatau Steel yang selama ini penanganan instalasi pengelohan air limbah baja

masih dilakukan di perusahaan tersebut, karena prosesnya sudah tergolong dan

memenuhi standar operasional prosedur yang benar, baik peralatan yang digunakan,

proses, dan hasil akhir proses IPAL yang diharapkan limbahnya tidak akan

mencemari lingkungan sekitarnya termasuk wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon.

5.5 Kesimpulan dan Saran

5.5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir, maka dapat

disimpulkan:

1. Hasil uji toksisitas limbah industri baja tersebut masuk pada kriteria sebagai

limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu yaitu: limbah DR

(untuk Pb), limbah HSM (untuk Cr, Cu, dan Pb), limbah FC (untuk Cr dan Cu)

dan limbah EAF (untuk semua komponen kecuali Cu). Limbah baja WRM dan

CRM tidak terkena kriteria limbah B3.

2. Walaupun limbah industri baja masuk pada kriteria limbah B3, namun tidak

mengakibatkan buruknya kualitas air laut di wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon sehingga masih memenuhi batas aman dan belum melewati

baku mutu air laut.

3. Walaupun konsentarsi logam berat dalam air tidak terdeteksi, tetapi konsentrasi

pada sedimen dan kerang cukup tinggi yakni Pb pada insang mencapai 87 mg/l,

sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai 97 mg/l. Konsentrasi Cd pada

insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati mencapai 171 mg/l. Konsentarasi

Page 121: Limbah Padat Baja

97

MASUK PENGOLAHAN KELUAR 1 Sodic Effluent (Q -> 60 m3/jam) 60 m3/jam ke sludge II Acid Effluent (Q -> 8 m3/jam) Emisi gas (tidak diopesikan) Bahan Pembantu : 8 m3/jam 1. Air 2. Lime Hydrate (Ca(OH)2 .> 70%) - 80 Kg/Jam) 3. Udara 4. Koagulant (- 100 ppm) - 5,7 Lt/jam - 7,5 Kg/jam 5. Anionic Polimer (- 100 ppm) - 7,5 Kg/jam 6. Udara Lumpur Bucket Truck 7. H2SO4 - 0,105 m3/jam (- 25 Kg/jam) Filtrat (- 0,117 ton/jam - 14 Lt/jam 74 m3 Air ..... Air buangan pH: 6-9

Gambar 17. Diagram alir proses RTP/IPAL

Cr pada insang mencapai 13,3 mg/l, sedangkan pada hati mencapai 75,64 mg/l.

Konsentrasi Hg pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati mencapai

121,52 mg/l .

4. Proses instalasi pengelohan air limbah baja dilakukan dengan proses regenerasi

atau recovery sebagai upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi

dalam buangan limbah cair.

TANKI PENAMPUNG LIMBAH BASA

(pH .> 9)

TANKI PENAMPUNG LIMBAH ASAM

(pH < 1)

PH ADJUSMENT (pH: 8 – 9)

TANKI OKSIDA (Fe++ -> F+++

AERASI

TANKI KOAGULASI/ OIL CRACKING

TANKI FLOKULASI

KLARIFIKASI/ SEDIFLOAT

TANKI CLEAR WATER

TANKI NETRALISASI

LAMELLA SETTELER

OIL PIT (70OC)

INCENIRATOR (850OC)

TANKI SLURRY

FILTER PRESS

(1,6 m3/jam, 12 bar)

LAMELLA SETTELER

Page 122: Limbah Padat Baja

98

5.5.2 Saran

Sebagai saran dalam analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini, adalah

sebagai berikut:

1. Hendaknya perusahaan dapat menekan seminimum mungkin jumlah limbah yang

ditimbulkan dari hasil proses produksi baja.

2. Perlunya pengelolaan limbah baja secara terpadu dan komprehensip melalui

proses pengujian limbah baja dan upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi

kontaminasi buangan limbah.

Daftar Pustaka

Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327. Rome.Italy.

Dahuri, R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.

Damanhuri, E. dan Tim.1997. Studi Pengelolaan Limbah Industri PT. Krakatau Steel. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel. Cilegon

Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta.

Gaskin, J.W., R.B. Brobst, W. P. Miller, E.W. Tollner. 2003. Long-Term Biosolids Application Effects on Metal Concentration in Soils and Bermudagrass Forage, Journal of Environmental Quality 32:146-152

Hadi, A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Horiguchi.T, M.Kojima, F. Hamada, A. Kajiwaha, H. Shiraishi, M. Morita and H. Shimizu. 2006. Impact Tributiltin and Tripeniltin on Evory Shell (Babylonia Japonika Population). Environmental Health Prospective. Vo. 114 Suplement.

[Law]. 1981. Law EA 1981 Aquatic Pollution, John Wiley and Sons. New York.

Koenafi, K.D. dan D.A Herto. 2000. Potensi Bioakumulasi Logam Berat di Perairan Sekitar Kepulauan Seribu. Studi Kasus Pulau Kelapa. Jurnal Taksikologi Indonesia Vol. 1 No. 2. 2000. h. 16 – 21.

Riani, E., S.H. Sutjahjo, dan Firmansyah. 2004. Analisa Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB dengan Pemprov. DKI Jakarta.

Otobboni. 1996. Dangerous Properties of Industrial Materials. Reinhold Publishing Co. New York.

Sukreeyapongse, O, P.E. Holm, B.W. Strobel, S. Panichasakpatana, J. Magid, H.C.B. Hansen. 2002. pH-Dependent Release of Cadmium, Copper, and Lead from Natural and Sludge Amended Soil, Journal Environmental. Quality, 31:1901-1909.

Page 123: Limbah Padat Baja

VI. ANALISIS INVESTASI PENGELOLAAN LIMBAH

ABSTRAK

Pembangunan yang pesat dibidang perekonomian akan meningkatkan

kualitas hidup manusia, di sisi lain pencemaran lingkungan baik yang berasal dari limbah industri maupun limbah rumah tangga berakibat pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat sekitar. Tujuan dari analisis investasi pengelolaan limbah baja ini, yaitu: menganalisa pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir, menganalisis nilai manfaat finansial wilayah pesisir. Metode yang digunakan dalam analisis pengelolaan limbah ini yaitu model investasi NPV dan BCR analysis. Dari hasil pengukuran nilai investasi pengelolaan limbah baja: Pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, agar kelestarian kawasan industri Krakatau Cilegon tetap terjaga sesuai harapan; Penilaian manfaat finansial wilayah pesisir dapat diketahui dengan melakukan kelayakan pengelolaan limbah melalui pengukuran hasil pengolahan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD dan benefit cost ratio dengan nilai rasio > 3, yang berarti bahwa investasi menguntungkan; Hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio, maka limbah baja slurry CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan investasi pengelolaan limbah baja.

Kata kunci: Investasi pengelolaan limbah, NPV analysis, BCR analysis

6.1 Pendahuluan

6.1.1 Latar Belakang

Pembangunan yang pesat dibidang perekonomian wilayah, disatu sisi akan

meningkatkan kualitas hidup manusia yaitu dengan meningkatnya pendapatan

masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya

pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumah tangga. Hal ini karena

kurangnya atau tidak memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah

tersebut. Sedangkan dalam pembangunan berkelanjutan merupakan konsep

pembangunan tidak hanya melihat pada sisi ekonomi tetapi juga pada sisi sosial dan

lingkungan hidup, hingga kini belum berhasil diterapkan di Indonesia. Selama ini

boleh dibilang pembangunan hanya dilihat pada sisi ekonomi saja sehingga

lingkungan hidup semakin rusak. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena justru akan

mengakibatkan kemunduran pembangunan.

Kebijakan pengelolaan limbah di wilayah pesisir dari waktu ke waktu semakin

penting dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah. Hal ini tidak lepas dari

pemanfaatan wilayah pesisir sebagai perekonomian pembangunan wilayah, karena

pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan tata ruang akan berakibat

Page 124: Limbah Padat Baja

100

munculnya pemasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan tata ruang pesisir ini.

Pada skala tertentu akan menimbulkan konflik antar kepentingan sektor, swasta dan

masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering

saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang

polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.

6.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan

Tujuan dari analisis investasi pengelolaan limbah baja ini, yaitu: (1)

menganalisis pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir; (2) Menganalisis nilai

manfaat finansial wilayah pesisir. Sedangkan lingkup bahasan pengelolaan limbah

baja ini difokuskan pada penilaian kelayakan investasi dengan analisis NPV dan BCR.

6.2 Tinjauan Pustaka

Menurut Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya

harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya; dan

2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain

sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang

dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi

kedalam dua kelompok, yaitu: 1) Kelompok stok (non renewable), sumberdaya ini

dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap

sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, sumber stok

dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhuastible), 2)

Kelompok flow, jenis sumberdaya ini di mana jumlah dan kualitas fisik dari

sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang dimanfaatkan sekarang,

bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di

masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) yang

regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.

Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa Sumberdaya

baja, menurut Mulyowahyudi (2005), bahan baku industri baja domestik saat ini

adalah pellet, disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat

digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa

mengakomodasi, karena industri nasional yang mengolah bijih besi menjadi pellet

belum ada. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya berasal dari impor,

meski terdapat bijih besi di Pulau Kalimantan yang disebut bijih besi laterit.

Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan

Page 125: Limbah Padat Baja

101

dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di

ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun

menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara

nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect terdapat

penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya

yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional.

6.3. Metode Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

Untuk menganalisis investasi pengelolaan limbah industri baja dapat

dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor pemanfaatan keterpaduan wilayah

pesisir pada permasalahan di bidang kelautan yang dihadapi dalam pembangunan

Kawasan Industri Krakatau Cilegon dan menganalisis nilai manfaat finansial wilayah

pesisir melalui kelayakan pengelolaan limbah yang meliputi: analisis penilaian net

present value (NPV) dan analisis penilaian benefit cost ratio (BCR) suatu kegiatan

pengelolaan limbah industri baja. Hal tersebut diungkapkan oleh Heal (1998) yang

menyatakan dalam konsep ekonomi berkelanjutan paling tidak mengandung dua

dimensi, yaitu: 1) dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa

yang terjadi mendatang; 2) dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem

sumberdaya alam dan lingkungan. Sedangkan menurut Fauzi (2000), perspektif

ekonomi berkelanjutan dapat diartikan sebagai maksimimasi kesejahteraan sepanjang

waktu pada perspektif sosio-ekonomi pada lingkungan termasuk di wilayah

pesisir/pantai (marine park).

Permasalahan limbah bukanlah permasalahan lingkungan hidup yang berdiri

sendiri, karena sesungguhnya permasalahan limbah terkait dengan ekonomi yang

diciptakan oleh pelaku ekonomi (perusahaan) yang memainkan peranannya di dalam

melakukan rekayasa pengelolaan limbah yang terjadi pada saat produksi. Pada

penelitian ini didasarkan pada hasil analisis finansial pengelolaan limbah industri baja

di wilayah pesisir kawasan industri Krakatau dilakukan 10 tahun ke depan untuk

analisis penilaian net present value dan analisis penilaian benefit cost ratio dengan

tingkat suku bunga bank Indonesia (SBI) dan minimum attractive rate of return

(MARR) (Newnan, 1988). Model analisis investasi pengelolaan limbah baja disajikan

pada Gambar 18.

Page 126: Limbah Padat Baja

102

Gambar 18. Model analisis investasi pengelolaan limbah

6.4 Hasil dan Pembahasan

6.4.1 Asumsi Analisis

Kota Cilegon yang memiliki luas wilayah sebesar 175,45 Km2 dan pada

tahun 2007 terdapat 85 perusahaan swasta ditambah dengan industri yang bergerak

pada kelompok industri Krakatau Steel Group di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Salah satu industrinya adalah PT. Krakatau Steel yang memproduksi baja. Industri

tersebut, selain menghasil baja juga dalam proses produksinya menghasilkan limbah

baja. Limbah baja tersebut setiap tahun bertambah sejalan dengan proses produksi

dan bertumpuk pada area penampungan dengan jumlah ribuan ton limbah baja. Hal

ini jika dibiarkan akan berdampak pada kerusakan lingkungan, baik di darat, udara,

dan air khususnya di pesisir. Dengan jumlah ribuan ton limbah baja tersebut

diperlukan pengelolaan limbah agar memiliki nilai tambah (added value).

Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai pemanfaatan limbah baja

menjadi produk yang tidak sejenis, namun tindak lanjutnya mengalami kendala-

kendala, baik terhadap nilai investasi awal yang cukup tinggi maupun produk yang

dihasilkan belum menjamin terhadap kesehatan masyarakat maupun lingkungan.

Dengan asumsi agar limbah baja tidak mencemari lingkungan sekitar, maka terdapat

upaya lain yang dilakukan yaitu dengan menjual langsung baik untuk keperluan

pabrik baja yang beroperasi di area Krakatau Group maupun dijual atas permintaan

pabrik seperti pabrik semen, juga melakukan ekspor limbah baja dalam bentuk mill

steel untuk keperluan pabrik baja di luar negeri. Untuk menghitung kelayakan

pengelolaan limbah tersebut, penulis membuat asumsi analisis dengan net present

value (NPV) dan benefit cost ratio (BCR).

Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

NPV Analysis BCR Analysis

Jumlah dan Harga Limbah Baja

Page 127: Limbah Padat Baja

103

6.4.2 Analisis Keterpaduan Wilayah Pesisir

Keterpaduan wilayah pesisir (integrated coastal management – ICM)

Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang memiliki luas + 11.520 hektar, termasuk

zona ekonomi di Perairan Selat Sunda. Perairan ini termasuk zona penyeberangan

antar pulau yaitu Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang padat dengan lalu lintas

penyebaran maupun pelayaran. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan Laut di wilayah

ini bersifat unik dan sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau

perairan, Oleh sebab itu di wilayah ini diperlukan program pengelolaan khusus yang

disebut dengan integrated coastal zona Management (ICZM) (Clark, 1998), karena

wilayah tersebut strategis untuk lalu perdagangan antar pulau bahkan antar negara,

maka perlu dilakukan keterpaduan wilayah pesisir. ICZM ini berfokus pada

pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan

lingkungan dan penanggulangan bencana alam di wilayah pesisir dan Laut. Data

produksi komoditas hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 menyebutkan khususnya

hasil tangkapan ikan sebesar 1.103 ton/tahun, jika dikaitkan dengan kuantitasnya

maka besaran tersebut masing tergolong rendah dibandingkan dengan luas wilayah

pesisir dan kerusakan ratusan hektar magrove di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Untuk itu, perlu pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir secara terpadu dan

berkelanjutan.

ICZM dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir secara terpadu dan

berkelanjutan perlu mempertimbangkan berbagai aspek penting seperti keterlibatan

stakeholders, keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan swasta

serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisr dan laut. Dalam

pengelolaan lingkungan faktor pendukung, maksud dan tujuan serta alternatif lain

yang dapat diterapkan dalam membuat kebijakan pengelolaan lingkungan terutama

yang berkaitan dengan model pengelolaan limbah di kawasan pesisir. Oleh karena itu,

pemanfaatan limbah industri baja sangat penting dilakukan guna memperoleh nilai

tambah (added value) bagi perusahaan dan berdampak bagi peningkatan

kesejahteraan karyawan dan masyarakat disekitarnya. Sedangkan permasalahan yang

timbul dari ketidakpaduan itu akan berimbas pada kelestarian alam dari wilayah

pesisir itu sendiri, seperti potensi dan pemanfaatan hasil laut di wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon mengalami tekanan lingkungan yang cukup berat,

akibat dari sedimentasi, limbah aneka industri yang dibuang di laut, penangkapan

ikan yang berlebihan, dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Page 128: Limbah Padat Baja

104

Permasalahan pesisir dan pantai yang terjadi juga kerusakan hutan mangrove, abrasi

pantai, perubahan tata guna lahan di wilayah pesisir, dan pencemaran air laut.

Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi empat Kecamatan

yaitu Ciwandan, Citangkil, Grogol dan Pulomerak nampaknya pada tahun belakangan

ini menjadi semakin banyaknya industri-industri berat. Hal ini menjadi kebijaksanaan

pemerintah daerah untuk menjadikan bagian barat daerah banten sebagai area pabrik

industri berat atas beberapa pertimbangan, tetapi hal itu dapat ditanggulangi jika

potensi dan daerah pesisir dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa harus merusak

keindahan hayati pesisir bagi masyarakat terutama di wilayah pesisir Kawasan

Industri Krakatau Cilegon. Semua hal tersebut terjadi akibat pemanfaatan pesisir yang

kurang terpadu berdampak pada kepentingan social-ekonomi tanpa memperhatikan

dampak lingkungan fisik dari wilayah pesisir dan pelestarian lingkungan.

Pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan limbah ke laut yang semakin

marak telah menurunkan potensi ekonomi kelautan, karena pembuangan limbah

industri walaupun tidak berada di atas ambang batas yang sudah ditentukan namur

karena banyak yang bersifat akumulatif seperti logam berat Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn

maka dapat membahayakan kehidupan yang ada dudalamnya sangat rentan terhadap

pemcemaran pesisir laut. Apabila pantai yang dikelilingi oleh kegiatan industri

semisal pabrik, dan lain-lain, tentu dampaknya akan negatif bagi kuantitas mupun

kualitas wilayah pesisir tersebut.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara para

stakeholders memperlihatkan bahwa permasalahan di bidang kelautan yang dihadapi

dalam pembangunan Kawasan Industri Krakatau Cilegon antara lain: (1) belum

optimalnya pengelolaan wilayah pesisir, laut, pulau-pulau kecil secara terpadu; (2)

rusaknya ekosistem pesisir dan laut, seperti mangrove dan terumbu karang, yang

disebabkan oleh manusia seperti penangkapan ikan yang bersifat merusak,

sedimentasi dan pencemaran; (3) belum optimalnya pengelolaan konservasi laut dan

perairan umum; (4) belum optimalnya upaya pengendalian dan pengawasan sumber

daya kelautan dari kegiatan pencurian ikan di kawasan yang dapat menyebabkan

turunnya kemampuan regenerasi ikan; (5) konflik pemanfaatan tata ruang di wilayah

pesisir dan laut; (6) belum optimalnya pemanfaatan potensi sumber daya kelautan non

konvensional seperti jasa kelautan dan keanekaragaman hayati laut; (7) belum

berkembangnya sistem mitigasi bencana lingkungan laut, mengingat wilayah kelautan

Indonesia terletak di wilayah rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan

kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global; (8) masih lemahnya penegakan

Page 129: Limbah Padat Baja

105

hukum; dan (9) masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting dan nilai

strategis sumber daya kelautan dan perikanan bagi pembangunan ekonomi daerahnya.

6.4.3 Analisis Nilai Manfaat Investasi Wilayah Pesisir

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa nilai manfaat ekonomi wilayah

pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, jika dipandang dari data produksi

komoditas hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 khususnya hasil tangkapan ikan

sebesar 1.103 ton/tahun. Namun wilayah tersebut termasuk zona penyebarangan antar

pulau bahkan antar negara, maka diharapkan wilayah ini akan memperoleh

pendapatan sebagai devisa daerah atau devisa negara. Kenyataan ada wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang didalamnya tumbuh dan berkembang

industri menengah dan industri berat yang sebagian besar mempunyai kepentingan

melalui kawasan tersebut. Menurut hasil penelitian oceanografi yang oleh Lembaga

Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) tahun 2008 menyebutkan + seluas 300 hektar terjadi

kerusakan berskala berat pada hutan mangrove (bakau) di Kawasan Industri

Karakatau Cilegon, hal tersebut sangat berdampak terhadap kondisi pantai/pesisir

karena fungsi hutan mangrove salah satunya adalah untuk mengantisipasi terjadinya

abrasi pantai dan dapat meredam gelombang tsunami.

Sejalan dengan kebijakan pengelolaan limbah pada wilayah pesisir merupakan

suatu kebijakan politik dan ekonomi dalam rangka pembangunan ekonomi yang

meninggalkan paradigma lama yang menempatkan kelautan sebagai sektor pinggiran.

Dengan kata lain, kebijakan pengelolaan limbah pada wilayah pesisir merupakan

paradigma baru yang menempatkan sektor kelautan sebagai arus utama (mainstream)

dalam pembangunan perekonomian. Sedangkan perekonomian wilayah pesisir

merupakan pemikiran ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya

kelautan sebagai basis dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan

guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan khususnya di

wilayah pesisir.

Di dalam aspek nilai finansial guna menentukan apakah aktivitas

pengelolaan limbah akan memberikan sumbangan atau mempunyai peranan yang

positif dalam pengelolaan perekonomian wilayah pesisir dan peranannya cukup besar

dalam penggunaan sumber-sumber yang dibutuhkan. Analisis aspek nilai finansial

yang perlu diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas yang diperoleh dari

semua sumber yang dipakai dalam kegiatan untuk masyarakat atau perekonomian

secara komprehensif tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumbernya dan

Page 130: Limbah Padat Baja

106

masyarakat dapat menerima hasil kegiatan tersebut. Manfaat aspek nilai

perekonomian/sosial adalah kemampuan kegiatan dalam menciptakan lapangan kerja

baru, meningkatkan perekonomian daerah, dan menunjang pendapatan devisa.

Aspek nilai investasi pengelolaan limbah baja ini dapat menjadi aktivitas

yang sehat apabila dapat memberikan kontribusi yang layak dan mampu memenuhi

kewajiban finansialnya. Pengkajian berbagai aspek nilai investasi ini, kemungkinan

yang akan timbul adalah: (a) Suatu proyek cukup sehat ditinjau dari berbagai aspek

sehingga rencana investasi dapat dilanjutkan; (b) Proyek cukup sehat apabila syarat-

syarat tertentu dapat dipenuhi; (c) Proyek tidak cukup sehat sehingga rencana

investasi seyogyanya dibatalkan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan hasil

wawancara memperlihatkan bahwa limbah baja dapat dimanfaatkan dan dapat

menghasilkan keuntungan investasi.

Menurut Sjaifuddin (2008), untuk mengukur nilai investasi pengelolaan

limbah yang akan berdampak pada wilayah pesisir, dapat dianalisis melalui hasil

kelayakan pengelolaan limbah meliputi: analisis penilaian net present value dan

benefit cost ratio.

6.4.4 Kelayakan Pengelolaan Limbah

Saat ini limbah baja yang merupakan hasil proses pabrik baja yang dihasilkan

oleh PT. Krakatau Steel sudah dimanfaatkan melalui penjualan langsung baik untuk

keperluan pabrik baja yang beroperasi di area Krakatau Group maupun dijual atas

permintaan pabrik semen dengan pengiriman limbah baja sebanyak 300 ton/bulan,

juga melakukan ekspor limbah baja dalam bentuk mill steel di negara China untuk

keperluan pabrik baja.

Analisis kelayakan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menganalisis

hasil penilaian net present value ini dengan tujuan agar semua investasi, pengeluaran

dan penerimaan dalam pengelolaan limbah baja yang berbentuk cash flow untuk

periode waktu tertentu sampai kelayakan proyek dan nilai suatu proyek diubah ke

dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Untuk

mengukur hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio ini

menggunakan suku bunga yang berlaku pada akhir tahun 2007 yaitu suku bunga SBI

sebesar 14 %, minimum attractive rate of return (MARR) sebesar 15 %, dan laju

inflasi 6 %.

Estimasi nilai jual limbah yang dapat dimanfaatkan yaitu: limbah sludge

senilai $22/ton, sedangkan limbah baja yang berasal dari debu EAF atau DR slurry

Page 131: Limbah Padat Baja

107

senilai $18/ton. Harga jual limbah tersebut tidak termasuk biaya transportasi. Biaya

transportasi untuk pengiriman (shipping) ke China melalui Kapal laut sebasar

$ 34/ton, sedangkan jika menggunakan kontainer biaya transportasinya sebesar

$ 27/ton. Biaya lain yang menjadi beban industri yaitu biaya pengerukan limbah yang

berada di sekitar pabrik untuk dipindahkan ke area penampungan limbah sebesar

$9/ton.

Berikut ini besaran estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja

di Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2007 dapat disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Benefit-Cost Komponen

Jumlah (ton)

Harga (USD/ton)

Nilai (USD)

Benefit

Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM Shipping

6.423

12.062 9.969 2.503 1.300

11.196 43.453

18 18 18 22 22 22 24

115,614 217,116 179,442 55,066 28,600

246,312 1,042,872

Cost Area transport

43.453

9

391,077

Berdasarkan Tabel 19 di atas terlihat bahwa komponen limbah baja yang berasal dari

debu EAF BSP, debu EAF SSP, dan debu EAF SSP2 memiliki benefit harga limbah

sebesar 18 USD/ton, sedangkan komponen limbah baja yang berasal dari sludge DR,

sludge WRM, dan slurry CRM memiliki benefit harga limbah sebesar 22 USD/ton,

sehingga hasil pengelolaan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar

1,885,022USD, selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi benefit dan cost

pengelolaan limbah baja untuk 10 tahun yang disajikan pada lampiran 2 – 3. Untuk

mengetahui hasil penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap

pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan

pada Tabel 20.

Page 132: Limbah Padat Baja

108

Tabel 20. Penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon

No. Pengelolaan Kriteria Nilai Peringkat Limbah NPV (USD) BCR NPV(USD) BCR Opsi

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM

10,929,328 20,722,145 17,087,813 4,588,718

2,275,133 21,306,917

3,6 3,6 3,6 3,7 3,7 3,7

480 911 751 202 100 937

100 100 100 103 103 103

290 506 426 153 102 520

4 2 3 5 6 1

Kriteria bobot 0,5 0,5

Berdasarkan Tabel 20 di atas, pengukuran hasil penilaian investasi analisis net

present value (NPV) untuk 10 tahun dapat diketahui dengan total nilai sebesar

76,910,054USD dan benefit cost ratio (BCR) dengan nilai rasio > 3, yang berarti

bahwa investasi menguntungkan. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan

kriteria, nilai opsi, dan peringkat dari masing-masing jenis limbah. Dari hasil analisis

kriteria dan opsi pengelolaan diperoleh urutan nilai 520, 506, 426, 290, 153, 290, dan

102, maka berdasarkan urutan pengelolaan tersebut diperoleh peringkat terbaik (1)

yakni limbah baja yang berasal dari limbah slurry CRM, hal ini berarti limbah slurry

CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan

investasi pengelolaan limbah baja. Meskipun demikian, jenis limbah baja lainnya juga

perlu pengelolaan secara berkelanjutan agar semua limbah dapat dimanfaatkan,

sehingga limbah tersebut mempunyai nilai tambah (added value) bagi perusahaan dan

masyarakat sekitar dapat menerima manfaaatnya.

6.5 Kesimpulan dan Saran

6.5.1 Kesimpulan

Hasil menganalisis investasi pengelolaan limbah dapat disimpulkan:

1. Pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, agar

Kawasan Industri Krakatau Cilegon tetap lestari sesuai harapan.

2. Penilaian pemanfaatan wilayah pesisir dapat diketahui dengan melakukan

kelayakan pengelolaan limbah melalui pengukuran hasil pengolahan limbah baja

yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD dan benefit cost ratio dengan

nilai rasio > 3 berarti investasi menguntungkan.

3. Hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio berdasarkan nilai

kriteria dan opsi pengelolaan, maka jenis limbah baja slurry CRM merupakan

opsi yang dinilai paling layak dalam pengelolaan limbah baja.

Page 133: Limbah Padat Baja

109

6.5.2 Saran

Sebagai saran dalam analisis investasi pengelolaan limbah ini adalah:

1. Perlu perusahaan mengelola limbah baja secara optimal, agar limbah yang ada

saat ini dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk kebutuhan perusahaan sendiri

maupun perusahaan lainnya.

2. Agar perusahaan mencari alternatif penggunaan lain dari limbah baja yang

bernilai lebih layak, sehingga masyarakat sekitar dapat merasakan manfaat hasil

pengelolaan limbah.

Daftar Pustaka

Clark, J.R. 1998. Coastal Zone Management for The New Century. Ocean & Coastal Management. 37(2): 191.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fauzi, A. dan Buchary, E. 2002. A Socio-Economic Perspective of Environmental Degredation at Kepulauan Seribu Nasional Marine Park. Coastal Management Journal. Vol. 30 (2): 167 – 181.

Heal, G. (1988). Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York.

Newnan, D. G. 1990. Engineering Economic Analysis. Third Edition. Engineering Press Inc. California.

Mulyowahyudi, A. 2005. KS-Review: Steel as National Power. PT. Krakatau Steel. Cilegon

Sjaifuddin. 2008. Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan.Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajaran Vol.3 No.1.

Page 134: Limbah Padat Baja

VII. MODEL STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN

ABSTRAK

Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam membangun perekonomian nasional. Kebijakan yang mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan mampu bersinergi dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya. Tujuan model strategi pengelolaan lingkungan ini yaitu: mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan dampak sosial; menganalisis baku mutu limbah; menentukan pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri. Metode yang digunakan dalam model strategi pengelolaan lingkungan ini, yaitu model analisis faktor, metode AHP Cdplus3.0, metode ISM VAXO, dan dinamic modeling (powersim). Hasil analisis model strategi pengelolaan lingkungan: Pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industri 1.500 ha., dampak sosial, dan pengelolaan limbah terhadap pesisir laut. Model pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan penentuan pemilihan prioritas menggunakan AHP, penentuan parameter kunci menggunakan ISM, dan pengembangan model sebagai skenario pengelolaan dengan menggunakan dynamic modeling. Hasil analisis baku mutu limbah baja terhadap kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir masih memenuhi nilai ambang batas (NAB). Sedangkan model strategi kebijakan dalam pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop) dan struktur model dengan bantuan program powersim.

Kata kunci: Model AHP, metode ISM, dynamic modeling, NAB, cause loop, struktur model.

7.1 Pendahuluan

7.1.1 Latar Belakang

Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam

membangun perekonomian nasional, Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang

mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan yang mampu bersinergi

dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya, khususnya Kota Cilegon.

Hal ini juga, dikarenakan pendayagunaan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam

mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Menurut Sjaifuddin (2007), sampai saat ini banyak teori pengembangan

wilayah yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan pesisir

dan teluk Banten. Teori tersebut dibangun atas dasar atas dasar dan tujuan yang

berbeda-beda. Kelompok pertama adalah toeri-teori yang memberi penekanan pada

kerjasama wilayah (regional prosperty). Kelompok kedua memberi penekanan pada

Page 135: Limbah Padat Baja

111

sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem

produksi (sustainable production) atau kelompok yang peduli pada pembangunan

berkelanjutan. Kelompok ketiga teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam

fokus pengembangan wilayah. Penerapan teori ini didasarkan pada masalah utama

yang dihadapi masyarakat/wilayah dengan sasaran tertentu.

Menurut Dahuri (1998), dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti wilayah

pesisir dan lautan, langkah pertama yang harus dikerjakan oleh para perencana dan

pengambil keputusan adalah menentukan batas-batas (boundaries) dari wilayah yang

akan dikelolanya sebagai suatu satuan pengelolaan (management unit). Dengan

mengetahui batas-batas dari suatu wilayah pesisir dan lautan sebagai satuan

pengelolaan lingkungan, maka komponen-komponen beserta segenap interaksi antar

komponen tersebut di dalam sistem pengelolaan lingkungan dan interaksi antar satuan

wilayah pengelolaan dengan satuan wilayah pengelolaan lingkungan lainnya dapat

diketahui dengan baik.

Menurut para pakar, diantaranya Brown (1997), bahwa penentuan batas-batas

wilayah pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut: (1)

Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline).

Republik Rakyat Cina, misalnya, mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai suatu

wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan

darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15

km dari garis pantai (Zhijie, 1990); (2) Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara

bagian Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, misalnya,

batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar

(coastal baseline) (Sorensen, 1990); (3) Karakteristik dan dinamika ekologis

(biofisik), yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural

features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota,

dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria

ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai.

Di dalam pengelolaan limbah baja ini terdapat upaya-upaya yang dapat

dilakukan saat ini yaitu meminimasi jumlah limbah yang dihasilkan dan tersimpan di

sumber penimbunan, pewadahan, pengumpulan dan lebih diutamakan pengolahan

kembali untuk kebutuhan di lingkungan sendiri maupun dijual di luar lingkungan

perusahaan. Oleh karena itu pengelolaan limbah harus tetap mengedepankan

kelestarian wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk menghadapi

Page 136: Limbah Padat Baja

112

permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan model-model yang

secara komprehenship dan integral dapat menyelesaiakan permasalahan tersebut.

7.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan

Tujuan dan lingkup bahasan pada model strategi pengelolaan lingkungan ini

yaitu: (1) Mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar,

pesisir laut, dan dampak sosial; (2) Menganalisis baku mutu limbah; (3) Menentukan

pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi

submodel kependudukan, pesisir laut, dan limbah industri.

7.2 Tinjauan Pustaka

A. Model Keputusan dengan Analysis Hierarchy Process

Menurut Suryadi (2002), analysis hierarchy process (AHP) memfokuskan

pada pencapaian obyektif. Penggunaan AHP menghasilkan keputusan yang rasional.

Keputusan rasional adalah dimana pencapaian obyektif yang banyak oleh para

pengambil keputusan. Kuncinya adalah fokus pada obyektif dari pada alternatif,

kriteria atau atribut (Saaty, 1999).

Sebagai metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan, AHP

mempunyai beberapa kelebihan: 1) mampu memecahkan masalah yang bersifat multi

obyektif dan multi kriteria. Kebanyakan model pengambilan keputusan yang ada

hanya memakai tujuan tunggal dengan multi kriteria; 2) mampu memecahkan suatu

masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam beberapa kelompok atau

bagian dan menyusun semua bagian tersebut menjadi suatu bentuk hirarki; 3) mampu

memperhitungakan elemen atau kriteria kuantitatif sekaligus kualitatif, 4)

memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitifitas pengambil

keputusan; 5) memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan dari konsistensi,

pengukuran dan pada ketergantungan di dalam dan diantara kelompok kriteria

strukturnya, atau dengan kata lain memperhitungkan validitas sampai batas toleransi

inkonsistensi berbagai elemen dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil

keputusan. Sedangkan kelemahan dari analysis hierarchy process adalah

subyektifitas pengambil keputusan masih merupakan pengaruh besar pada keputusan

akhir. Model keputusan dengan analysis hierarchy process selengkapnya telah

diuraikan bagian sebelumnya.

Page 137: Limbah Padat Baja

113

B. Model Keputusan dengan Interpretative Structural Modelling

Menurut Marimin (2005), interpretative structural modelling (ISM)

merupakan salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok

mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang komplek. Oleh

karena itu ISM dapat menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam

struktur grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-

elemen itu merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor penilaian, dan lain-

lain. Model keputusan dengan interpretative structural modelling selengkapnya telah

diuraikan pada bagian sebelumnya.

C. Pemodelan Sistem Dinamis

Menurut Ottosson (2003), dynamisc systems memiliki mekanisme internal

untuk selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Dynamisc systems digunakan

untuk mencari penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi

secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan

konsep inti yang digunakan di dalam dynamisc systems untuk memahami struktur

sistem.

Untuk melakukan simulasi dari sebuah model diperlukan perangkat lunak

(software) yang secara cepat dapat melihat perilaku (behavior) dari model yang

dibuat. Pada bagian ini perangkat lunak yang digunakan berupa program yang

dinamakan powersim. Menurut Muhammadi (2001), powersim digunakan untuk

membangun dan melakukan simulasi suatu model dinamis. Suatu model dinamis

merupakan kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antar satu

dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Karena setiap variabel berkorespondensi

dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri.

Untuk menjalankan program powersim ini dibuatkan terlebih dahulu diagram

sebab akibat (cause effect diagram) dan struktur modelnya, sedangkan hasil

simulasinya berupa gambar atau grafik yang menggambarkan perilaku (behavior) dari

sisitem.

7.3 Metoda Strategi Pengelolaan Lingkungan

Untuk menentukan model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya

untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau

Cilegon, perlu dilakukan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut: (1)

Pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan

dampak sosial; (2) Menganalisis komponen-komponen pengelolaan limbah: proses

Page 138: Limbah Padat Baja

114

dan teknologi, penduduk dan lingkungan, serta ekonomi; (3) Menganalisis baku mutu

pengaruhnya terhadap: kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir; (4) Penentuan-

penentuan pengelolaan limbah: penentuan pemilihan parameter, penentuan parameter

kunci, pengembangan model sebagai skenario pengelolaan.

Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan lingkungan dilakukan

langkah-langkah, yaitu penentuan pemilihan prioritas dengan menggunakan metode

AHP, penentuan parameter kunci dengan menggunakan metode ISM, dan penentuan

skenario dengan menggunakan dinamic modeling.

Menurut Handoko (2005), untuk mengembangkan kebutuhan model tersebut

diperlukan model dinamik (dinamic modeling) yang dilakukan bertujuan untuk

melihat perilaku sistem dalam membantu penyusunan model, seperti model

pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah

pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Model dinamik ini dapat dibuat dengan

bantuan software powersim, sehingga kompleksitas permasalahan dapat diselesaikan

sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Gambar 19 merupakan pemodelan sistem

pengelolaan/pengendalian limbah baja.

Gambar 19. Pemodelan sistem pengelolaan/pengendalian limbah baja

7.4 Hasil dan Pembahasan Strategi Pengelolaan Lingkungan

7.4.1 Asumsi Model

Model strategi pengelolaan lingkungan difokuskan pada pengelolaan limbah

baja dengan asumsi model yang berkaitan dengan penentuan pemilihan prioritas,

penentuan parameter kunci, dan pengembangan model dengan menggunakan dynamic

Penentuan pakar (expert)

Kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir

Analisis Kondisi Eksiting

PEMODELAN . Pendekatan system . Analisis dinamik

Data primer & Data sekunder

Powersim & MS-Excel

Strategi pengendalian limbah baja

Page 139: Limbah Padat Baja

115

modeling. Untuk membuat asumsi model pengelolaan limbah baja ini, maka dapat

dibuat struktur model. Rancang bangun struktur model ini meliputi submodel

kependudukan, submodel pesisir laut, dan submodel limbah industri. Ketiga

submodel tersebut diasumsikan secara terpadu pada pembuatan rancang bangun

model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan

kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, sehingga model

tersebut dapat menggambarkan kondisi obyektif, baik permasalahan penduduk,

wilayah pesisir maupun limbah industri khususnya limbah baja di masa mendatang.

7.4.2 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Penduduk

Penduduk merupakan bagian terpenting di dalam pengelolaan limbah industri

baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, Kota Cilegon pada tahun

2007 memiliki jumlah penduduk sebanyak 339.716 jiwa. Dengan komposisi 176.276

jiwa laki-laki dan 163.440 jiwa perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-

rata sebesar 2,32 % per-tahun dan tingkat kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2.

Selain itu, data Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2007 diperoleh rata-rata angka

kelahiran penduduk sebanyak 1,85 % per-tahun dan angka kematian penduduk

sebesar 1,15 % per-tahun dari jumlah penduduk, dan angka urbanisasi penduduk

0,90 % per-tahun jumlah penduduk.

Dengan kondisi penduduk tersebut di atas, maka untuk menyusun submodel

penduduk dilakukan dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui beban

pencemaran limbah yang berasal dari aktivitas penduduk pada suatu waktu ditentukan

oleh jumlah populasi penduduk saat ini, persentase jumlah angka kelahiran,

persentase jumlah urbanisasi, dan persentase jumlah angka kematian, maka aktivitas

jumlah penduduk Kota Cilegon adalah 42.846.944 jiwa (dari persamaan 8).

7.4.3 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Industri

Di dalam menentukan submodel industri ditentukan berdasakan hubungan

antara luas areal kawasan industri Krakatau Cilegon dengan pertumbuhan industri,

dimana pengelolaanya tangani oleh satu perusahaan yaitu PT. KIEC. Pertumbuhan

dan perkembangan industri di Kota Cilegon setiap tahun selalu bertambah hingga saat

ini, baik industri menengah maupun industri besar/berat sebanyak 85 perusahaan

swasta ditambah dengan industri yang bergerak pada kelompok industri Krakatau

Steel Grup di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Page 140: Limbah Padat Baja

116

Prosentase sektor lapangan usaha baik sektor industri manufaktur maupun

industri di Kota Cilegon tahun 2007 disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Prosentase sektor lapangan usaha di 4 kecamatan Kota Cilegon tahun 2007

Sektor Tenaga Kerja Prosentase (%)

Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jasa-jasa, dll

9.741 937

46.629 1.226 9.247

47.242 21.339 73.74 2

6.567

5,72 0,55

27,38 0,72 5,43

27,74 12,53 4,33

15,60Jumlah 170,303 100,00

Tabel 21 di atas, menunjukkan bahwa sektor lapangan usaha pada aktivitas

industri terutama industri manufaktur yang berkecendrungan menghasilkan limbah

sebanyak 27,38 % dari total sektor lapangan usaha yang ada di Kota Cilegon.

Meskipun prosentase sektor lapangan usaha industri lebih kecil dari prosentase dari

lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran, maka aktivitas industri mendapat

perhatian dari pemerintah daerah, terutama permasalahan AMDALnya. Prosentase

sektor lapangan usaha di Kota Cilegon disajikan pada Gambar 20.

PROSENTASE SEKTOR LAPANGAN USAHA

05

1015202530

Per

tana

ian

Indu

stri

Ban

guna

n

Ang

kuta

n da

nK

omun

ikas

i

Jasa

-jasa

Sektor

Pro

sent

ase

PROSENTASE

Gambar 20. Grafik prosentase sektor lapangan usaha di Kota Cilegon

Selain tersebut di atas, juga diperlukan penyusunan submodel industri untuk

menentukan Jumlah beban limbah industri (Li) (ton/tahun) dipengaruhi oleh Jumlah

industri pada waktu ti (Jlti), Jumlah industri awal (Jlto) sebanyak 16

pabrik/perusahaan, Fraksi pembangunan industri (FPI) sebesar 462,5 %, Luas lahan

Page 141: Limbah Padat Baja

117

kawasan (LK) seluas 1.500 Ha, Fraksi limbah industri (Fli) sebesar 15 %. Dari

persamaan 10 dan 11 submodel industri halaman 56, maka diperoleh jumlah industri

pada waktu ke ti adalah 74 pabrik/perusahaan/1.500 Ha. Sehingga dapat dihitung dan

diperolah Jumlah beban limbah industri adalah 11,1 ton/tahun untuk 74

industri/pabrik dengan luas lahan kawasan pabrik 1.500 ha.

Dalam menyusun submodel pengolah limbah perlu diketahui bahwa Jumlah

limbah (JL) (ton/tahun) yang masuk ke pesisir pantai dipengaruhi oleh beban limbah

sebesar 11,1 ton/tahun bersumber dari industri baja dan kapasitas instalasi pengolahan

limbah yaitu 95 % dari beban limbah. Sehingga dari persamaan 12 submodel

pengoleh limbah halaman 56, dapat diperoleh bahwa jumlah limbah yang masuk ke

pesisir pantai adalah (11,1 – (0,95 x 11,1)) ton/tahun adalah 0,56 ton/tahun.

7.4.4 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Dampak Sosial

Untuk menyusun submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah

baja ini dapat dilakukan dengan analisis regresi. Dampak sosial pada pengelolaan

limbah industri baja meliputi variabel kesehatan masyarakat, variabel lapangan kerja,

dan variabel pencemaran lingkungan. Hasil analisis submodel dampak sosial

menggunakan analisis faktor dengan koefisien adalah (0,36) kesehatan masyarakat +

(0,04) lapangan kerja. Hasil selengkapnya submodel dampak sosial model

pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah

pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Dampak sosial model pengelolaan limbah baja tahun 2007

Kesehatan Lapangan Dampak Bulan

Masyarakat

(orang) Kerja

(orang) Sosial (orang)

1 2.487 564 3.052 2 2.488 564 3.053 3 2.489 564 3.054 4 2.480 564 3.044 5 2.484 569 3.053 6 2.441 569 3.010 7 2.480 569 3.049 8 2.484 569 3.053 9 2.489 570 3.059 10 2.488 570 3.058 11 2.516 570 3.086 12 2.521 570 3.091

Total 29.847 6.812 36.662

Page 142: Limbah Padat Baja

118

Berdasarkan Tabel 22 di atas dapat diketahui pengaruh kesehatan masyarakat

dan lapangan kerja di Kota Cilegon terhadap dampak sosial dalam model

pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 orang, hal ini berarti faktor kesehatan

masyarakat sebanyak 29.847 orang dan faktor lapangan kerja sebanyak 6.812 orang

dapat mempengaruhi dampak sosial di Kota Cilegon sebanyak 36.662 orang.

7.4.5 Pengelolaan Limbah terhadap Pesisir Laut

Kelautan merupakan multi sektor dan lintas departemen, sehingga sangat

wajar bila terjadi konflik kepentingan antar lembaga negara. Lembaga negara yang

terlibat dalam mengurusi kelautan diantaranya, yaitu Departemen Pertahanan,

POLRI, Perhubungan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Industri dan

Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Keuangan, Lingkungan Hidup serta

Pemukiman dan Prasarana Wilayah.

Sementara itu, di samping kurangnya perhatian pemerintah terhadap

pembangunan kelautan yang berlangsung selama tiga dasa warsa, kompleksitas

permasalahan kelautan juga disebabkan oleh banyaknya lembaga negara yang terlibat.

Hal ini dikarenakan, pembangunan kelautan tidak dilakukan secara koordinatif oleh

satu lembaga negara. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, masing-

masing lembaga negara mengeluarkan aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang

sama. Akibatnya adalah, kerusakan lingkungan laut yang tidak bisa terelakan, padahal

kelestarian sumberdaya menjadi isu sentral masyarakat dunia dan pembangunan

berkelanjutan (sustainable development).

Perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat-zat hara bahan-

bahan buangan. Oleh karena itu pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan

cermat akan menimbulkan masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan

buangan. Sampah organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan

buangan dan sebaginya, akan terbawa aliran air sungai dan pada akhirnya akan

mencapai ke perairan wilayah pesisir. Kota Cilegon dilalui oleh bebarapa sungai

antara lain sungai Kahal, Tompos, Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuarsa,

Sumur Wuluh, Grogol, Cipangurungan, dan sungai Cijalumpang. Diantara sebelas

sungai tersebut sungai Grogol merupakan yang terbesar dan hampir semuanya

bermuara di Selat Sunda atau pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, karena

kawasan ini juga berada di wilayah pesisir 4 (empat) kecamatan yaitu: Ciwandan,

Citangkil, Grogol, dan Pulomerak merupakan badan air yang langsung menampung

limbah, terutama limbah industri, sehingga wilayah ini rawan terhadap pencemaran.

Page 143: Limbah Padat Baja

119

Pesisir pantai wilayah Kawasan Industri Krakatau Cilegon mempunyai banyak

kegiatan diantaranya terdapat di Kecamatan Ciwandan industri kimia, baja, pelabuhan,

hotel dan wisata bahari. Perkembangan industri dan pertambahan penduduk yang

cukup pesat sampai saat ini, akan berakibat timbulnya bahan/limbah cemaran.

Kemajuan di bidang industri dan pertanian wilayah perairan/pesisir di masa

sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan

tekanan terhadap pertanian di perairan sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah

industri dan penduduk membawa akibat bertambahnya beban pencemaran yang

disebabkan oleh pembuatan limbah industri. Pencemaran akibat limbah industri dapat

menyebabkan kerugian besar, karena umumnya buangan/limbah mengandung zat

beracun antara lain senyawa khlor, raksa, cadmium, khrom, timbal dan zat lainnya

yang sering digunakan dalam proses produksi suatu industri, baik sebagai bahan baku,

katalisator, maupun bahan lama.

Logam berat merupakan bahan buangan yang sudah sering menimbulkan

pencemaran laut atau pantai. Diketahui jenis-jenis logam berat yang dipertimbangkan

sebagai bahan pencemar, namun ada beberapa dari logam berat tersebut yang esensial

untuk kehidupan organisme, seperti Mn, Fe, dan Cu, tetapi dalam jumlah berlebih

sangat beracun bagi kehidupan organisme. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke parairan termasuk perairan wilayah

pesisir, yaitu: 1) Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan; 2)

Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi

oseanografi setempat; 3) Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi

bahan buangan dengan lingkungan perairan; 4) Pengaruh bahan buangan terhadap

kehidupan dan rantai makanan; 5) Proses degradasi dan perubahan biogeokimia; 6)

Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di masa datang; 7)

Faktor-faktor lain yang has. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian daya

guna perairan wilayah pesisir perlu diatur berdasarkan peraturan perundangan

maupun Perda.

7.4.6 Analisis Baku Mutu

Produksi limbah (bahan pencemar) industri semakin meningkat dengan cepat,

terutama limbah B3, dan pada umumnya dibuang langsung ke perairan laut. Limbah

B3 yang dihasilkan oleh industri antara lain adalah logam berat, sianida, pestisida,

zat pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya. Masukan kuantitas limbah ke dalam

ekosistem pesisir dan lautan di Indonesia terus meningkat secara tajam terutama

Page 144: Limbah Padat Baja

120

dalam dua dasawarsa terakhir. Berbagai upaya telah diupayakan dalam mengontrol

dan memantau kehadiran limbah B3, khususnya logam di perairan laut. Dalam upaya

tersebut Pemerintah Indonesia menetapkan suatu aturan baku sebagai suatu patokan

penilaian kualitas suatu lingkungan, aturan baku yang dikenal untuk perairan adalah

baku mutu air laut (BMAL).

Penetapan BMAL adalah sebagai salah satu instrumen dalam upaya

perlindungan ekosistem perairan laut dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Namun pada BMAL Indonesia, khususnya dalam baku mutu limbah cair untuk logam,

proses pengukuran konsentrasi logam, sebagai salah satu parameter pencemar air laut,

hanya di titik beratkan pada air dan sedimen. Sekalipun menggunakan biota tetapi

tidak mempertimbangkan pada dampak biologi yang signifikan di mana terjadi pada

waktu yang lama setelah terjadi kontaminasi. Dengan demikian, hasil yang diperoleh

belum dapat dianggap akurat secara ilmiah, mengingat kondisi ekosistem perairan

laut sering mengalami perubahan akibat fenomena alam.

Sampai saat ini orang masih menganggap bahwa perairan laut adalah tempat

pembuangan sampah atau limbah yang paling aman. Salah satu kriteria aman adalah

sejalan dengan kriteria penentuan ambang batas atau konsentrasi maksimum yang

diijinkan menurut baku mutu air laut (BMAL) Indonesia untuk kegiatan

pertambangan dan industri, misalnya baku mutu limbah cair untuk Industri Pelapisan

Logam sesuai Kep-51/MENLH/10/1995. Selain itu, kriteria aman juga ditetapkan

apabila limbah yang dimasud tidak termasuk dalam golongan limbah B3. Sedangkan

Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Nomor KEP-03/MENKLH/II/1991tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan yang

telah beroperasi di bagi empat golongan I, II, III, dan IV. Golongan I diperuntukkan

baku mutu alir limbah yang paling keras atau ketat, sedangkan Golongan IV

diperuntukkan baku mutu air limbah yang paling longgar. Ketentuan golongan baku

mutu air limbah yang akan digunakan di suatu daerah ditetapkan oleh pemerintah

daerah misalnya Gubernur, yang disesuaikan dengan keadaan kualitas ambien daerah

tersebut, sehingga baku mutu ambiennya dapat dijaga tidak akan dilampaui.

Dalam penetapan kadar logam berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn) dalam sedimen

lebih rendah dibandingkan air laut. Data ini menunjukkan adanya akumulasi logam

berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn) dalam sedimen. Baku mutu logam berat di dalam

lumpur atau sediman di Indonesia belum ditetapkan, padahal senyawa-senyawa

logam berat lebih banyak terakumulasi dalam sedimen (karena proses pengendapan)

di mana terdapat kehidupan biota dasar. Biota dasar yang resisten terhadap perubahan

Page 145: Limbah Padat Baja

121

kualitas lingkungan atau tercemar oleh logam berat, umumnya dijadikan sebagai

indikator pencemaran.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu pengaturan baku mutu limbah dan baku

mutu lingkungan, yaitu: (1) baku mutu lingkungan untuk mengarahkan pemanfaatan

lingkungan, termasuk media lingkungan untuk budidaya, baku air laut, dan

sebagainya (penggolongan media untuk berbagai keperluan); (2) baku mutu limbah

untuk membatasi jumlah limbah yang dapat dikembalikan ke media lingkungan; serta

(3) mengarahkan perencanaan penggunaan teknologi produksi, teknologi pengolahan

limbah.

A. Kesehatan Masyarakat

Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat.

Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar

zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya.

Pemanfaatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan

manusia. Besi adalah salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan baja.

Pembuatan baja dalam proses produksinya menghasilkan limbah baja. Seperti yang

telah diuraikan dalam penelitian ini sebelumnya, bahwa limbah baja berdasarkan hasil

uji pelindian atau toxicity charcteristic leaching prosedure (TCLP) dapat diketahui

berkriteria sebagai limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu

seperti diatur dalam standard TCLP No. 04/09/1995, yaitu: DR (untuk Pb), HSM

(untuk Cr, Cu, dan Pb), FC (untuk Cr dan Cu) dan EAF (untuk semua komponen

kecuali Cu). Limbah baja WRM dan CRM tidak terkena kriteria tersebut. Setelah

dicampur sebagai material lainnya, ternyata nilai TCLPnya di bawah baku mutu yang

dipersyaratkan.

Berdasarkan hasil uji toksisitas limbah baja yang pada jenis limbah: DR (Pb

11 mg/l), HSM (Cr 7,2 mg/l, Cu 18 mg/l, Pb 6,2 mg/l), EAF (Cd 3,8 mg/l, Cr 19,2

mg/l, Pb 21 mg/l, Zn 60,5 mg/l) yang diketahui berkriteria sebagai limbah B3, maka

pihak perusahaan maupun pemerintah daerah dapat antisipasi dampak negatif dari

limbah B3 terhadap kesehatan masyarakat.

Limbah industri baja yang mengandung unsur Fe, walaupun logam ini

termasuk dalam kelompok logam esensial, namun pengaruh terhadap kesehatan

masyarakat disekitarnya seperti penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

akibat dari debu limbah baja dan sering pula dilaporkan terutama kasus keracunan Fe

pada anak-anak. Keracunan Fe pada anak terjadi secara tidak sengaja, saat anak

Page 146: Limbah Padat Baja

122

memakan makanan atau benda yang menganndung Fe. Walaupun toksisitas Fe jarang

menyebabkan kematian, tetapi dapat menyebabkan gangguan mental secara serius.

Di sisi lain dampak pada kesehatan manusia terkait dengan sumber-sumber

pencemaran lingkungan yang menimbulkan berbagai jenis penyakit. Untuk

menunjang hal tersebut diperlukan data dari Badan Kependudukan dan Catatan Sipil

Kota Cilegon, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel Cilegon, dan Dinas Kesehatan Kota

Cilegon tahun 2007 yang selengkapnya disajikan pada Tabel 23 – 26.

Tabel 23. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Ciwandan tahun 2003 – 2007

Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Ciwandan (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya

2003 36.384 34.558 5.285 2.878 1.485 1.160 2004 37.658 35.765 5.465 3.150 1.658 1.285 2005 38.552 37.155 5.671 3.212 1.890 1.301 2006 38.898 39.110 6.098 3.453 2.032 1.399 2007 39.800 43.456 6.775 3.837 2.258 1.554

Berdasarkan Tabel 23 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,

jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon dari

tahun 2003 – 2007 berkecenderungan naik.

Tabel 24. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Citangkil tahun 2003 – 2007

Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Citangkil (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya

2003 53.040 34.558 9.868 1.844 925 985 2004 54.299 35.765 10.015 1.995 997 1.056 2005 55.589 37.155 10.246 2.021 1.045 1.211 2006 56.472 39.110 11.017 2.173 1.123 1.302 2007 57.782 43.456 12.241 2.414 1.248 1.447

Berdasarkan Tabel 24 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk

dan jumlah limbah baja berkenderungan naik, sedangkan jumlah penyakit dari jenis

penyakit di Kecamatan Citangkil Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2007

berkecenderungan naik dengan jumlah penyakit lebih besar dibandingkan dengan

kecamatan lainnya.

Page 147: Limbah Padat Baja

123

Tabel 25. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Grogol tahun 2003 – 2007

Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Grogol (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya

2003 30.810 34.558 918 275 603 51 2004 31.425 35.765 932 285 646 56 2005 32.291 37.155 991 291 673 58 2006 32.862 39.110 1.066 313 724 63 2007 33.624 43.456 1.184 347 804 70

Berdasarkan Tabel 25 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,

jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Grogol Kota Cilegon dari tahun

2003 – 2007 berkecenderungan naik, namun jumlah penyakit dermatis, TBC Paru

TBA, dan artritis lainnya cukup rendah kecuali penyakit ISPA tergolong tinggi.

Tabel 26. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Pulomerak tahun 2003 – 2007

Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Pulomerak (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya

2003 38.884 34.558 234 152 169 159 2004 40.831 35.765 327 165 178 172 2005 41.801 37.155 336 175 201 192 2006 42.037 39.110 362 188 216 206 2007 43.012 43.456 402 209 240 229

Berdasarkan Tabel 26 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,

jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Pulomerak Kota Cilegon dari

tahun 2003 – 2007 berkecenderungan naik, namun tingkat kenaikan jumlah penyakit

seperti halnya di Kecamatan Pulomerak menunjukkan angka yang kecil termasuk

penyakit ISPA, karena di wilayah ini keberadaan jumlah industri tidak banyak.

Berdasarkan Tabel-tabel tersebut di atas, baik jumlah penduduk, jumlah

limbah, dan jenis penyakit di empat kecamatan Kota Cilegon yakni Kecamatan

Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak, dan Kecamatan Grogol. Hal

tersebut disebabkan oleh adanya pertumbuhan dan berkembangnya jumlah industri

yang sangat pesat, sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk, jumlah

limbah, dan berbagai jenis penyakit, dengan asumsi bahwa jenis penyakit di wilayah

pesisir ini berasal dari limbah baja yang mencemari.

Selanjutnya untuk mengetahui hubungan jenis penyakit dengan jumlah

penduduk di tiap-tiap kecamatan wilayah pesisir Kota Cilegon dapat diperlihatkan

besaran persentasinya (%) disajikan pada Tabel 27 – 30.

Page 148: Limbah Padat Baja

124

Tabel 27. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Ciwandan

No.

Uraian

Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Ciwandan

2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %

1 ISPA

5.285 14,53

5.465 14,51 5.671 14,71 6.098 15,68 6.775 17,02

2 Dermatitis

2.878 7,91

3.150 8,36 3.212 8,33 3.453 8,88 3.837 9,64

3 TBC Paru BTA

1.485 4,08

1.658 4,40 1.890 4,90 2.032 5,22 2.258 5,67

4 Artritis lainnya

1.160 3,19

1.285 3,41 1.301 3,37 1.399 3,60 1.554 3,90

5

Penduduk

36.384

37.658

38.552

38.898

39.800

Berdasarkan Tabel 27 di atas menunjukaan persentasi orang terkena penyakit

ISPA > 14%. Urutan berikutnya jenis penyakit berikutnya adalah penyakit dermatitis

> 7% tahun 2003 – 2007, hal tersebut terjadi karena di Kecamatan Ciwandan telah

berdiri dan berkembangnya jumlah industri yang sangat pesat berkecenderungan

terjadinya pencemaran lingkungan.

Tabel 28. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Citangkil

No.

Uraian

Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Citangkil

2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %

1 ISPA

9.868 18,60

10.015 18,44

10.246

18,43

11.017

19,51

12.241 21,18

2 Dermatitis

1.844 3,48

1.995 3,67

2.021

3,63

2.173

3,85

2.414 4,18

3 TBC Paru BTA

925

1,74

997 1,84

1.045

1,88

1.123

1,99

1.248 2,16

4 Artritis lainnya

985

1,86

1.056 1,94

1.211

2,18

1.302

2,31

1.447 2,50

5

Penduduk

53.040

54.299

55.589

56.472

57.782

Berdasarkan Tabel 28 di atas menunjukaan persentasi orang terkena penyakit

yang cukup tinggi, seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Ciwandan. Di

Kecamatan Citangkil jenis penyakit tertinggi adalah penyakit ISPA > 18% dan di

kecamatan ini telah tumbuh dan berkembangnya sejumlah industri, baik industri

menengah maupun industri berat yang berkecenderungan terjadinya pencemaran

lingkungan sehingga jumlah penyakit ISPA tergolong sangat besar dari tahun 2003 -

2007, namun jenis penyakit lainnnya masih tergolong normal.

Page 149: Limbah Padat Baja

125

Tabel 29. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Grogol

No.

Uraian

Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Grogol

2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %

1 ISPA

2.468 8,01

2.505 7,94 2.664 8,25 2.865 8,72 3.183 9,47

2 Dermatitis

590 1,91

611 1,94 624 1,93 671 2,04 745 2,22

3 TBC Paru BTA

603 1,96

646 2,05 673 2,08 724 2,20 804 2,39

4 Artritis lainnya

305 0,99

340 1,08 352 1,09 378 1,15 420 1,25

5

Penduduk

30.810

31.542

32.291

32.862

33.624

Berdasarkan Tabel 29 di atas, jenis penyakit ISPA di Kecamatan Grogol

persentasinya tergolong cukup tinggi > 7% dan berkecenderungan naik, sedangkan

jenis penyakit dermatitis, TBC paru TBA, dan artritis masih relatif rendah.

Tabel 30. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Pulomerak

No.

Uraian

Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Pulomerak

2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %

1 ISPA

318 0,80

327 0,80 336 0,80 362 0,86 402 0,93

2 Dermatitis

152 0,38

165 0,40 175 0,42 188 0,45 209 0,49

3 TBC Paru BTA

169 0,42

178 0,44 201 0,48 216 0,51 240 0,56

4 Artritis lainnya

159 0,40

172 0,42 192 0,46 206 0,49 229 0,53

5

Penduduk

39.884

40.831

41.801

42.037

43.012

Berdasarkan Tabel 30 di atas, jumlah penyakit di Kecamatan Pulomerak

menunjukaan persentasinya realatif kecil < 1% untuk jenis penyakit ISPA, dermatitis,

TBC dan artritis. Meskipun jumlah penyakit ini berkecenderungan naik, namun

tingkat kenaikan penyakitnya masih relatif kecil dibandingkan dengan jumlah

penyakit yang terdapat di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil.

Selain hal tersebut di atas, untuk mengetahui pengaruh limbah baja terhadap

jenis penyakit di empat kecamatan Kota Cilegon yakni Kecamatan Ciwandan,

Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak, adalah sebagai

berikut:

1. Jumlah limbah baja dari tahun ke tahun cenderung meningkat, karena limbah

tidak diolah dan menumpuk di area penyimpanan.

Page 150: Limbah Padat Baja

126

2. Sementara itu kapasitas produksi meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan

dampak teknologi untuk meminimalisasi limbah belum nampak berubah secara

signifikan.

3. Secara deskriptif terdapat hubungan antara jumlah masyarakat yang tinggal di

sekitar wilayah pesisir dengan jenis penyakit yang ditimbulkannya dan ada

indikasi bahwa tumbuhnya industri-industri yang terdapat di wilayah tersebut

akan berdampak pada semakin meningkatnya orang terkena penyakit seperti

penyakit ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis lainnya.

4. Dari penelitian terlihat bahwa semakin jauh lokasi industri, maka jumlah

masyarakat yang terkena penyakit semakin rendah, hal ini disebabkan semakin

jauh dari lokasi industri maka pencemaran udara semakin rendah sehingga

berdampak semakin rendahnya pencamaran udara.

Untuk mengetahui dampak limbah terhadap jumlah orang yang terkena penyakit

tertentu yang dipengaruhi oleh jarak, waktu musin hujan, bahan-bahan

mencemarinya yang ada diatmosfir sebagai akibat tercemarnya air hujan di wilayah

pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2007 disajikan pada Tabel 31 – 34.

Tabel 31. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec. Ciwandan tahun 2007

Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Ciwandan (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 445 261 141 100 2 485 257 142 109 3 587 305 210 126 4 591 345 217 130 5 603 338 220 135 6 610 346 239 144 7 622 365 239 150 8 641 389 243 156 9 650 395 255 165 10 512 283 152 109 11 476 278 145 120 12 453 275 155 110

Jumlah 6.675 3.837 2.358 1.554

Wilayah pesisir di Kecamatan Ciwandan merupakan titik lokasi industri baja

dan industri lainnya. Pada tahun 2007 wilayah ini berpenduduk 39.800 jiwa, karena

jaraknya antara tempat tinggal penduduk dengan lokasi berdekatan, maka sangat

memungkinkan sebagai sumber limbah dapat mencemari lingkungan sekitar yang

mengakibatkan masyarakat mudah terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis,

TBC, dan artritis yang sangat tinggi seperti terlihat pada Tabel 31 di atas.

Page 151: Limbah Padat Baja

127

Tabel 32. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec. Citangkil tahun 2007

Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Citangkil (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 965 107 85 100 2 968 113 87 109 3 1.023 187 105 115 4 1.011 209 116 119 5 1.013 235 122 121 6 1.065 245 125 124 7 1.085 265 124 130 8 1.103 272 130 150 9 1.109 270 96 162 10 986 185 88 109 11 968 111 86 106 12 945 215 84 102

Jumlah 12.241 2.414 1.248 1.447

Seperti halnya di Kecamatan Ciwandan, juga terjadi di wilayah pesisir

Kecamatan Citangkil. Wilayah ini merupakan titik lokasi industri baja dan industri

lainnya. Pada tahun 2007 wilayah ini berpenduduk 57.782 jiwa dan jaraknya antara

tempat tinggal penduduk dengan lokasi sangat berdekatan, maka memungkinkan

sekali penduduk tercemari lingkungannya oleh limbah yang mengakibatkan

masyarakat mudah terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis

yang sangat tinggi seperti terlihat pada Tabel 32 di atas.

Tabel 33. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec.Grogol tahun 2007

Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Grogol (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 76 25 55 3 2 78 25 60 4 3 107 32 67 5 4 114 25 70 55 112 33 71 6 6 113 36 76 8 7 112 34 78 8 8 115 35 75 9 9 113 36 76 9 10 87 23 58 5 11 78 23 59 4 12 79 20 59 4

Jumlah 1184 347 804 70

Wilayah pesisir di Kecamatan Grogol berpenduduk 33.624 jiwa pada tahun

2007, relatif cukup rendah penduduk terkena penyakit akibat pencemaran lingkungan

oleh pabrik-pabrik yang ada di Kota Cilegon. Wilayah ini tidak banyak industri yang

Page 152: Limbah Padat Baja

128

tumbuh dan berkembang di Kecamatan ini dan jarak antara penduduk dengan lokasi

industri baja dan industri lainnya cukup jauh sehinga masyarakat tidak banyak

terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis, seperti terlihat

pada Tabel 33 di atas.

Tabel 34. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec.Pulomerak tahun 2007

Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Pulomerak (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 26 13 15 16 2 26 14 15 16 3 34 16 19 20 4 35 18 21 21 5 37 20 22 22 6 37 21 25 22 7 35 22 26 24 8 36 20 26 22 9 39 18 25 20 10 33 18 15 15 11 32 14 15 15 12 32 15 16 16

Jumlah 402 209 240 229

Wilayah pesisir di Kecamatan Pulomerak berpenduduk 43.012 jiwa pada

tahun 2007, lokasinya cukup aman dan relatif cukup rendah dari pencemaran

lingkungan sehingga penduduk yang terkena penyakit akibat pencemaran lingkungan

oleh pabrik-pabrik yang ada di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil di Kota Cilegon.

Wilayah ini jaraknya cukup jauh dari lokasi sumber pabrik baja dan hanya beberapa

industri yang berdiri di wilayah ini, sehingga di waktu musim hujan limbah baja yang

memcemari udara tidak sampai pada lokasi yang diinginkan. Jumlah penduduk yang

terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis, masih relatif

rendah seperti terlihat pada Tabel 34 di atas.

Berdasarkan tabel 31 - 34 di atas disimpulkan, bahwa 1) semakin jauh dari

sumber limbah, maka semakin berkurang prosentasi masyarakat yang terkena

penyakitnya, 2) dari data tahun 2007, pada musim hujan masyarakat yang terkena

penyakit relatif berkurang.

B. Degradasi Pesisir

Lingkungan pesisir dan kelautan di Indonesia panjang seluruh garis pesisir di

Indonesia mencapai 81.000 kilometer, hal ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia.

Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem

kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung

Page 153: Limbah Padat Baja

129

kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang

paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia.

Keadaaan mikroorganisme ini sangat memungkinkan degradasi senyawa

organik dalam sampel sehingga senyawa karbon rantai panjang putus dan menjadi

senyawa karbon lebih pendek. Degradasi mikroorganisme pada umumnya

diminimalisasi dengan pengendalian pH dan suhu atau penambahan bahan kimia.

Kondisi pH yang sangat rendah atau sangat tinggi dan suhu rendah merupakan cara

efektif untuk meminimalisasi degradasi, hal ini juga dapat terjadi pada degradasi

pesisir. Sedangkan dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk pengelolaan

limbah adalah permasalahan yang sangat serius dan berkesinambungan tentang

manajemen dan kebijaksanaan, karena degradasi pengelolaan sumberdaya alam lebih

banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-

kaidah syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tersebut

dalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak

diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya

alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak

tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya

alam sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan sumberdaya alam.

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 18 mengenai data kualitas air laut

di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi kecamatan,

yaitu: Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak, memperlihatkan parameter fisik

pada kadar logam berat dalam air laut: tidak berbau, kecerahan > 3,0 m, zat padat

tersuspensi < 80 mg/l, lapisan minyak negatif, sampah bernilai negatif. Begitu juga,

Parameter kimia memperlihatkan kadar logam berat dalam sedimen (Hg, Cd, Cu, Pb,

dan Zn) pada kadar logam berat dalam air laut masih tergolong rendah, sehingga

degradasi pesisir masih menunjukkan titik atau angka aman.

Hasil analisa logam berat dalam air laut menunjukkan air raksa (Hg),

kadmium (Cd), dan tembaga (Cu) berkisar (rata-rata < 0,0005 mg/l), tembaga (Pb)

rata-rata: < 0,0005 mg/l. Sedangkan untuk Seng (Zn ) rata-rata: 0,005 mg/l.

Rendahnya kadar logam Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn kemungkinan karena logam tersebut

mengalami proses pengenceran oleh pola arus pasang surut.

Pengelolaan limbah baja adalah perkara yang sangat serius dan

berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi pengelolaan

limbah lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan

Page 154: Limbah Padat Baja

130

menerapkan kaidah-kaidah syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-

kaidah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak

diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja

sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak

tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan limbah baja

sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan limbah baja.

Dengan melihat keterkaitan pada semua level yang dikaitkan dengan konteks

kekinian, gagasan ini perlu dikembangkan dalam merumuskan pembangunan

kelautan nasional. Hal ini dikarenakan mencuatnya beberapa isu yang bersifat multi

dimensi, multi struktural, dan memiliki keterkaitan antar lembaga pemerintahan

(antar departemen maupun lembaga non-departemen), sehingga memudahkan dalam

proses penyelesaian. Mencermati perkembangan permasalahan yang terjadi hingga

sekarang, sudah selayaknya gagasan ocean policy yang komprehensif tersebut mampu

mengatasi kompleksnya permasalahan, diantaranya yaitu penambangan pasir laut,

illegal fishing, kerusakan pulau-pulau kecil, pengembangan pariwisata bahari,

pengembangan budidaya ikan, penanganan pelabuhan umum dan perikanan serta

lemahnya armada laut nasional, ancaman perdagangan perikanan, lemahnya

sumberdaya manusia, degradasi lingkungan pesisir dan laut, serta pertahanan dan

keamanan laut.

7.4.7 Analisis terhadap Komponen-komponen Pengelolaan Limbah

Untuk memperoleh hasil analisis pengelohan air limbah yang baik, diperlukan

sampling yang tepat. Sample yang diambil harus mewakili seluruh air limbah baja.

Untuk menganalisis pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan melihat

komponen proses dan teknologi, komponen penduduk dan lingkungan, serta

komponen ekonomi.

A. Komponen Proses dan Teknologi

Untuk analasis instalasi pengolahan air limbah pada komponen proses dan

teknologi yang menghasilkan limbah industri baja akan tergantung pada kompleksitas

instalasi. Masalah-masalah yang mengkin muncul dapat diakibatkan oleh kelemahan

desain, penurunan kualitas kerja konstruksi, kesalahan peralatan, dan kesalahan yang

dibuat oleh buruh operasi. Kesalahan yang berhubungan dengan desain biasanya

merupakan masalah yang serius karena dapat menimbulkan gangguan aktivitas secara

Page 155: Limbah Padat Baja

131

keseluruhan untuk jangka waktu tidak pasti. Misalnya, desain proses dan teknologi

yang tidak tepat atau kesalahan dalam perhitungan kapasitas dan dimensi.

Komponen proses dan teknologi dalam penanganan instalasi pengolahan air

limbah industri berpengaruh terhadap jumlah limbah, jenis industri, daya dukung

lingkungan, bahkan terhadap jumlah industri. Untuk memperbaiki komponen proses

dan teknologi tersebut diperlukan investasi yang tidak sedikit.

B. Komponen Penduduk dan Lingkungan

Permasalahan lingkungan hidup pada dasarnya mencakup interaksi antara

manusia/penduduk dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan

sosial. Hubungan dan keadaan saling tergantung ini haruslah didasari dengan adanya

keselarasan dan keseimbangan. Kesesuaian tersebut dapat terjadi apabila manusia

dapat memilih berbagai alternatif yang disajikan lingkungannya.

Untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan pengelolaan limbah yang

mempengaruhi faktor penduduk dan lingkungannya diperlukan langkah-langkah: 1)

pengurangan limbah; 2) melestarikan tatanan lingkungan; 3) mengindahkan daya

dukung lingkungan; 4) menaikkan mutu lingkungan; 5) menggairahkan peran serta

masyarakat pada peduli lingkungan melalui program kesehatan masyarakat, dan

sebagainya.

C. Komponen Ekonomi

Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan

kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di

sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang

berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak

memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.

Di dalam pengelolaan limbah tidak lepas dari beban pembiayaan, karena

pengelolaan dan peningkatan kualitas lingkungan bukan pilihan yang cuma-cuma,

akan tetapi membutuhkan dana dan memanfaatkan sumber-sumber yang riil.

Pengeluaran yang aktual sebagai pengelolaan limbah atau pengurangan kerusakan

lingkungan diperlukan perhitungan ekonomi dari manfaat lingkungan yang dapat

dilestarikan. Untuk dapat membantu setiap analisis sampai kesesuaian sosial dari

pengelolaan limbah, yaitu pilihan dengan manfaat bersih (manfaat lebih besar dari

biaya) merupakan hal yang diutamakan berdasarkan konsiderasi yang berkaitan

dengan minat generasi masa depan. Pemikiran tersebut dapat diformulasikan, dengan

Page 156: Limbah Padat Baja

132

perhitungan untuk membandingkan biaya dan manfaat dua atau lebih pilihan dalam

pengelolaannya menggunakan analisa biaya manfaat (cost-benefit analysis).

7.4.8 Penentuan-penentuan Pengelolaan Limbah

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada

wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yaitu dengan cara melakukan

pengelolaan limbah industri baja. Penentuan pengelolaan limbah baja ini meliputi:

penentuan pemilihan parameter, penentuan parameter kunci, dan pengembangan

model berdasarkan skenario pengelolaan

7.4.8.1 Penentuan Pemilihan Prioritas

Untuk penentukan pemilihan prioritas pada model pengelolaan limbah industri

baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan

Industri Krakatau Cilegon ini didasarkan oleh pengumpulan pendapat pakar terutama

para pakar pengamat, pemerhati dan pelaksana lingkungan. Pelaksanaan penjaringan

pendapat para pakar tentang perbandingan tingakat kepentingan yang mempunyai

peranan masing-masing derajat kepentingan dalam pengelolaan limbah industri baja

menggunakan model AHP-criterium decision plus (Cdplus3.0). Pada analisis ini,

struktur pengelolaan limbah industri baja dikelompokkan menurut fokus, tujuan,

kriteria, aktor, dan alternatif.

a. Analisis tingkat kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan

Berdasarkan struktur tersebut, fokus yang ingin dicapai adalah strategi dan

kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan

kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon (KIKC). Tujuan

yang ingin dicapai adalah pemanfaatan kembali limbah, minimalisasi limbah,

pencegahan pencemaran terhadap wilayah pesisir, pencegahan pencemaran terhadap

kesehatan masyarakat, upaya mempertahankan wilayah pesisir, dan kebijakan

pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelajutan. Kriteria yang menjadi

sasaran keberhasilan dalam pengelolaan limbah ini adalah melakukan pencegahan

timbulnya limbah, mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, efisiensi

material dan energi, mendukung prinsip “environmental equity”, mencegah degradasi

lingkungan, memelihara ekosistem lingkungan, dan memperkuat daya dukung

lingkungan. Aktor yang berkepentingan terdiri: pemerintah daerah, industri penghasil

baja, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel, masyarakat sekitar, lembaga swadaya

masyarakat, dan para peneliti/pakar dari berbagai perguruan tinggi maupun instansi

Page 157: Limbah Padat Baja

133

terkait lainnya. Selanjutnya untuk mencapai sasaran yang diinginkan dalam

pengelolaan limbah industri baja ini diperlukan kebijakan atau alternatif-alternatif

program yang diperlukan sesuai dengan fokus yang ditetapkan. Dalam strategi dan

kebijakan pengelolaan limbah industri baja ini alternatif program yang dilaksanakan

adalah perubahan bahan baku, perubahan proses dan teknologi, perubahan produk,

perubahan 5 R lingkungan, mengurangi limbah, memakai kembali limbah, mendaur

ulang limbah, dan mengganti limbah.

Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat pakar lingkungan dapat dilakukan

dengan menggunakan model AHP Cdplus3.0 diperoleh hasil perhitungan tingkat

kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Hasil analisis bobot fokus terhadap tingkat kepentingan tujuan pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

No. Variabel Nilai

1 2 3 4 5 6

Pemanfaatan limbah kembali Minimalisasi limbah Pencegahan pencemaran pesisir Pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat Upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berlanjutan

0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056

Consisitency ratio 0,099

Berdasarkan Tabel 35 di atas, terlihat bahwa bobot fokus terhadap tingkat

kepentingan tujuan yang memiliki rangking tertinggi adalah pemanfaatan kembali

limbah baja dengan nilai bobot 0,325 pada strategi pengelolaan limbah baja di

wilayah pesisir KIKC.

b. Analisis tingkat kepentingan variabel tujuan terhadap variabel kriteria

Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan

diperoleh bobot masing-masing variabel kriteria sesuai dengan acuan yang menjadi

variabel tujuan pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya

disajikan pada Tabel 36.

Page 158: Limbah Padat Baja

134

Tabel 36. Hasil perhitungan bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

Tujuan

Kriteria

Pemanfaatan limbah kembali

Minimalisasi limbah

Pencegahan pencemaran

pesisir

Upaya menpertahankan

kelesterian wilayah pesisir

Kebijakan Pengel. Limb berwws lingk

dan berkelanjutan

Pencegahan pencemaran

terhadap kesehatan

masyarakat Timbulnya limbah 0.402 0.092 0.239 0.219 0.170 0.297 Pencemaran & kerusakan lingkungan

0.153 0.067 0.104 0.119 0.149 0.216

Efisiensi material & energi

0.050 0.151 0.233 0.085 0.051 0.161

“Environmental equity” 0.118 0.153 0.088 0.088 0.277 0.101 Degradasi lingkungan 0.062 0.147 0.121 0.140 0.050 0.090 Ekosistem lingkungan 0.117 0.162 0.152 0.254 0.199 0.055 Daya dukung lingkungan

0.098 0.229 0.062 0.096 0.104 0.079

Consistency 0,100 0,092 0,097 0,095 0,096 0,099

Berdasarkan Tabel 36 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut

memiliki konsistensi positif, antara variabel tujuan terhadap variabel kriteria pada

pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil

pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel

tujuan dengan variabel kriteria. Pada tahapan ini, dapat dilakukan perhitungan bobot

untuk setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel tujuan terhadap

variabel kriteria. Hasil perhitungan dengan menggunakan model AHP Cdplus3.0,

maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu dari variabel tujuan

terhadap masing-masing variabel kriteria.

Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan model AHP

Cdplus3.0 berupa hasil perhitungan tingkat kepentingan variabel tujuan yaitu

pemanfaatan kembali limbah, menimalisasi limbah, pencegahan pencemaran terhadap

wilayah pesisir, pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat, upaya

mempertahankan wilayah pesisir, dan kebijakan pengelolaan limbah berwawasan

lingkungan dan berkelajutan terhadap variabel kriteria dalam pengelolaan limbah

industri baja ini disajikan pada Tabel 37.

Tabel 37. Hasil analisis bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

No. Variabel Bobot Nilai

1 2 3 4 5 6 7

Timbulnya limbah Ekosistem lingkungan “Environmental equity” Pencemaran dan kerusakan Efisiensi material dan energi Daya dukung lingkungan Degradasi lingkungan

0,237 0,157 0,137 0,135 0,122 0,111 0,102

Page 159: Limbah Padat Baja

135

Berdasarkan Tabel 37 di atas, terlihat bahwa bobot tujuan terhadap tingkat

kepentingan kriteria yang memiliki rangking tertinggi adalah timbulnya limbah baja

dengan nilai bobot sebesar 0,237 dengan consistency ratio sebesar 0,100 pada strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.

c. Analisis tingkat kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor

Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan

diperoleh bobot masing-masing variabel aktor sesuai dengan acuan yang menjadi

variabel kriteria pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya

disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38. Hasil perhitungan bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

Kriteria

Aktor

Timbulnya limbah

Pencemaran & Kerusakan Lingkungan

Effisiensi Material

dan Energi

Environmental Equity

Degradasi Lingkungan

Ekosistem Lingkungan

Daya Dukung

Lingkungan

Pemerintah Daerah

0.301 0.403 0.335 0.313 0.293 0.353 0.076

Industri Penghasil Baja

0.168 0.219 0.248 0.162 0.238 0.187 0.244

Divisi K3LH PT. KS

0.222 0.157 0.155 0.203 0.178 0.192 0.155

Masyarakat sekitar

0.118 0.074 0.099 0.119 0.124 0.092 0.121

Lembaga Swadaya Masyrakat

0.107 0.074 0.094 0.129 0.105 0.100 0.091

Peneliti/ Pakar

0.083 0.074 0.068 0.075 0.063 0.076 0.078

Consistency 0,095 0,086 0,078 0,090 0,099 0,081 0,094

Berdasarkan Tabel 38 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut

memiliki konsistensi positif, antara variabel kriteria terhadap variabel aktor pada

pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil

pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel

kriteria dengan variabel aktor. Pada tahapan ini, juga dapat dilakukan perhitungan

bobot untuk setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel kriteria

terhadap variabel aktor. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model

AHP Cdplus3.0, maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu

dari variabel kriteria terhadap masing-masing variabel aktor.

Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan model AHP

Cdplus3.0 berupa hasil perhitungan bobot kepentingan variabel kriteria yaitu:

timbulnya limbah, pencemaran dan kerusakan lingkungan, efisiensi material dan

energi, “environmental equity”, degradasi lingkungan, ekosistem lingkungan, dan

Page 160: Limbah Padat Baja

136

daya dukung lingkungan terhadap variabel aktor dalam pengelolaan limbah industri

baja ini disajikan pada tabel 39.

Tabel 39. Hasil analisis bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

No. Variabel Bobot Nilai

1 Sar 3 4 5 6

Pemerintah Daerah Industri penghasil baja Divisi K3LH PT. KS Masyarakat sekitar Lembaga Swadaya Masyarakat Peneliti/Pakar

0,330 0,209 0,189 0,107 0,100 0,074

Berdasarkan Tabel 39 di atas, terlihat bahwa bobot kriteria terhadap tingkat

kepentingan aktor yang memiliki rangking tertinggi adalah pemerintah daerah dengan

nilai bobot sebesar 0,330 dan consistency ratio sebesar 0,099 pada strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.

d. Analisis tingkat kepentingan variabel aktor terhadap variabel alternatif

Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan

diperoleh bobot masing-masing variabel alternatif sesuai dengan acuan yang menjadi

variabel aktor pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya

disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Hasil perhitungan bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

Aktor Alternatif

Lembaga Swadaya

Masyarakat

Masyarakat Sekitar

Divisi K3LH PT. KS

Industri Penghasil

Baja

Peneliti/ Pakar

Pemerintah Daerah

Perubahan Bahan Baku 0.295 0.283 0.297 0.252 0.223 0.306

Perubahan proses dan Teknologi

0.142 0.187 0.127 0.114 0.159 0.139

Perubahan Prosuk 0.160 0.130 0.169 0.203 0.195 0.161

Penerapan 5 R Lingkungan

0.111 0.115 0.125 0.091 0.141 0.100

Mengurangi Limbah 0.074 0.098 0.117 0.095 0.052 0.078

Memakai Kembali Limbah 0.068 0.053 0.059 0.091 0.058 0.062

Mendaur Ulang Limbah 0.077 0.067 0.060 0.096 0.078 0.069

Mengganti Limbah 0.073 0.067 0.045 0.058 0.093 0.086

Consistency 0,094 0,099 0,093 0,093 0,090 0,080

Berdasarkan Tabel 40 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut

memiliki konsistensi positif, antara variabel aktor terhadap variabel alternatif pada

pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil

pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel aktor

Page 161: Limbah Padat Baja

137

dengan variabel alternatif. Pada tahapan ini, juga dilakukan perhitungan bobot untuk

setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel aktor terhadap variabel

alternatif. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model AHP

Cdplus3.0, maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu dari

variabel aktor terhadap masing-masing variabel alternatif.

Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan berupa hasil

perhitungan bobot kepentingan variabel aktor yaitu: Pemerintah Daerah, Industri

penghasil baja, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel, Masyarakat sekitar, Lembaga

Swadaya Masyarakat, dan para peneliti/pakar terhadap variabel alternatif dalam

pengelolaan limbah industri baja ini disajikan pada Tabel 41.

Tabel 41. Hasil analisis bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC

No. Variabel Bobot Nilai

1 2 3 4 5 6 7 8

Perubahan bahan baku Perubahan produk Perubahan proses dan teknologi Penerapan 5 R lingkungan Mengurangi limbah Mendaur ulang limbah Mengganti limbah Memakai kembali limbah

0,276 0,170 0,145 0,114 0,086 0,075 0,070 0,065

Berdasarkan Tabel 41 di atas, terlihat bahwa bobot aktor terhadap tingkat

kepentingan alternatif yang memiliki rangking tertinggi adalah perubahan bahan baku

dengan nilai bobot sebesar 0,276 dan consistency ratio sebesar 0,099 pada strategi

pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.

Berdasarkan hasil terhadap variabel-variabel terhadap tingkat kepentingan,

maka disusun suatu strategi kebijakan pengelolaan limbah yang ditunjukkan pada

struktur hierarki disajikan pada Gambar 21.

Page 162: Limbah Padat Baja

138

Page 163: Limbah Padat Baja

139

7.4.8.2 Penentuan Parameter Kunci

Untuk mengidentifikasi struktur sistem pada penentuan parameter kunci

kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan

kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon menggunakan

metodologi interpretative structural modelling (model ISM). Hasil pengolahan data

kuesioner beberapa pendapat pakar lingkungan yang mendominasi jawaban

pertanyaan/pernyataan seperti pada Tabel 42.

Tabel 42. Hasil pendapat pakar lingkungan tentang pengelolaan limbah baja

No. Pertanyaan/Pernyataan Pendapat Pakar 1 Dalam pengelolaan limbah baja,

menurut saudara mana urutan aktor yang paling berperan?

Pabrik baja

2 Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu urutan aspek pemilihan penyimpanan limbah baja yang bagaimana yang akan dipilih?

Area penyimpanan limbah yang jelas status kawasannya

3 Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu bagaimana urutan bentuk Area penyimpanan limbah yang akan dipilih?

Pembangunan Area penyimpanan limbah dari yang jauh pemukiman penduduk

4 Pengelolaan limbah baja yang selama ini dilaksanakan oleh pabrik baja ini ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana urutan permasalahan yang telah berhasil diatasi dengan dimulai sistem pengelolaan limbah baja?

Pergeseran lokasi/Area penyimpanan limbah

5 Model pengelolaan limbah baja akan berdampak pada permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana dampak yang paling besar terjadi dengan dibangunnya model pengelolaan limbah baja?

Pergeseran lokasi pembangunan

6 Model pengelolaan limbah baja dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor yang paling penting dengan dibangunnya model pengelolaan limbah baja?

Pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi lingkungan

7 Model pengelolaan limbah baja diikuti dengan pembangunan

Jaringan pembuangan air limbah/waste water

Page 164: Limbah Padat Baja

140

prasarana, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor prasarana dasar penyimpanan limbah yang paling penting?

8 Penggunaan teknologi pengolahan limbah ditinjau dari beberapa aspek, menurut bapak/ibu bagaimana urutan teknologi pengolahan limbah yang baik dan dapat meminimalkan jumlah pencemaran lingkungan yang akan bapak/ibu pilih?

Kecepatan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah baja

9 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menumpuk di sekitar penampungan?

Pernah, karena kebutuhan biaya untuk membuat prasarana pengolahan limbah yang aman, dan sebagainya.

10 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menyumbat di saluran drainase sekitar perusahaan pada waktu musim hujan?

Tidak pernah, karena penerapan 3R sudah jalan (Reuse, Recyling, Recovery)

11 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja di lingkungan saudara pada saat anda melintasi kawasan industri tersebut?

Ya pernah disekitar tahun 70 – 80-an

12 Pernahkah pemerintah melibatkan bapak/ibu dalam pengelolaan lingkungan dari limbah baja?

Pernah, Studi pemanfaatan limbah baja

13 Apakah di lingkungan bapak/ibu pernah ada sosialisasi kebijakan pengelolaan limbah baja ?

Pemerintah melalui KLH yang mendatang ahli-ahli yang berpengalaman

14 Adakah fasilitas pengelolaan limbah baja di daerah sekitar tempat tinggal bapak/ibu?

Kerjasama yang saling menguntungkan untuk pelaksanaan pemanfaatan kembali limbah

15 Apakah bapak/ibu setuju dengan model pengelolaan limbah baja yang ada sekarang?

Setuju, karena sifatnya adalah pemanfaatan limbah

16 Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja?

- Ditinjau dari lokasi sudah sesuai - Ditinjau dari sistem perlu Peningkatan

17 Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja

Ada, PP 95 tahun 1994, dan lain-lain

18 Apakah di lingkungan bapak/ibu sudah mempunyai strategi pengelolaan limbah baja (diPerdakan)?

Perda layak uji belum ada, dan hanya terbatas pada NAB

19 Apakah bapak/ibu dilibatkan dalam menyusun strategi pengelolaan limbah baja?

Tidak

20 Menurut bapak/ibu apakah di lingkungannya sudah terjadi pencemaran saat ini?

Sejauh ini belum terasa adanya pencemaran lingkungan

Page 165: Limbah Padat Baja

141

Berdasarkan hasil dari 20 butir pertanyaan/pernyataan dan pendapat para pakar

tersebut di atas, maka diambil 10 jawaban pendapat para pakar sebagai parameter

kunci pada model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan

kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yang selanjutnya

diolah dengan bantuan program ISM VAXO, dengan tahapan sebagai berikut:

1. Menentukan sub elemen pendapat pakar

Sub elemen pendapat pakar dari hasil jawaban pendapat para pakar lingkungan

dari berbagai instansi terkait seperti pakar lingkungan yang berasal dari perguruan

tinggi, instansi pemerintah maupun instansi terkait lainnya yang berpendidikan

S2/S3 seperti: IPB, ITB, dan UNTIRTA, Puspiptek Serpong, Dinas Lingkungan

Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Provinsi Banten seperti:

Bapedalda, Dinas perikanan dan Kelautan, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel dan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, dengan jumlah 15

orang responden sebagai pakar lingkungan yang telah memberikan kontribusi

jawaban atas 20 butir pertanyaan/pernyataan, kemudian diambil menjadi 10 butir

jawaban yang memenuhi keseragaman jawaban untuk diprioritaskan sebagai

parameter kunci dalam menentukan sub elemen pendapat pakar, seperti yang

disajikan pada Tabel 43.

Tabel 43. Sub elemen faktor kunci dalam pengelolaan limbah

No. Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pabrik baja Area penyimpanan limbah Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan Jaringan pembuatan waste water Kecepatan waktu pengolahan limbah Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery) Studi pemanfaatan limbah Mendatangkan pakar

2. Menentukan kontekstual antar elemen

Setelah menentukan sub elemen pendapat pakar, selanjutnya peneliti melakukan

identifikasi para pakar lingkungan terutama bekerja maupun yang berdomisili di

sekitar lokasi pabrik yang berkecenderungan menghasilkan limbah untuk

memberikan jawaban/pendapat kontekstual antar elemen dengan jumlah

responden 5 orang pakar, hasilnya seperti yang tersedia pada Lampiran 10.

Page 166: Limbah Padat Baja

142

3. Menentukan hasil pengolahan ISM VAXO

Hasil pengolahan ISM VAXO diperoleh berdasarkan hasil pengolahan

kontekstual antara elemen dengan melibatkan 5 orang responden dari para pakar

lingkungan dengan meggunakan bantuan program ISM VAXO. Hasil pengolahan

program ISM VAXO tersedia pada lampiran 10.

4. Membuat grafik hasil pengolahan

Grafik hasil pengolahan ini dibuat dengan bantun program ISM VAXO (matriks

driver power - dependence) atau diagram kartesius dengan sumbu Y adalah driver

power dan sumbu X adalah dependence. Grafik ini dapat melihat posisi elemen

faktor parameter kunci model pengelolaan limbah baja disajikan pada Gambar 22.

Gambar 22. Matriks driver power-dependence untuk sub elemen faktor kunci

Berdasarkan grafik matriks driver power-dependence di atas menunjukkan sub

elemen faktor kunci pendapat pakar lingkungan memposisikan yakni Sektor II

(dependence) namun memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang kecil posisi

sub elemen pendapat pakar menyatakan kecepatan waktu pengolahan limbah (6);

Sektor III (independent dan driver power yang kecil) posisi sub elemen pendapat

pakar menyatakan area penyimpanan limbah (2), jaringan pembuatan waste water (5),

membangun prasarana pengolahan limbah yang aman (7), penerapan 3 R (reuse,

recyling, recovery) (8), Studi pemanfaatan limbah (9), dan mendatangkan pakar (9);

Sektor IV (independent.) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan pabrik baja

(1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman (3), dan pengolahan yang

dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas, hal ini berarti kekuatan

Dependence(Ketergantungan)

Drive

r Pow

er (D

aya D

oron

g)

Page 167: Limbah Padat Baja

143

penggerak (driver power) yang besar namun memiliki sedikit ketergantungan

terhadap program. Berdasarkan hasil keluaran program tersebut di atas, maka dapat

disajikan pada Gambar 23.

Level 1

Level 2

Level 3

Level 4

Keterangan:

artinya mempengaruhi

Gambar 23. Diagram model struktural dari elemen faktor kunci pengelolaan limbah

Dari Gambar 23 di atas, tertera bahwa untuk melakukan kecepatan waktu

pengolahan limbah (6) adalah pengubah pengait dari sistem, karena diharapkan setiap

tindakan tersebut akan menghasilkan sukses program pengelolaan limbah industri

baja di wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Berdasarkan diagram

model struktural di atas, maka yang menjadi elemen kunci (key element) adalah

submodel dengan peringkat satu pada model pengelolaan limbah industi baja ini

adalah subelemen pabrik baja (1).

7.4.8.3 Pengembangan Model Dinamis pada Pengelolaan Limbah

Pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri

baja melalui pendekatan sistem yang tahapannya meliputi: (a) analisis kebutuhan

stakeholders, (b) formulasi masalah, (c) identifikasi sistem, (d) pembuatan model, dan

(e) pengujian model.

6. Kecepatan waktu pengolahan limbah

2. Area penyim-panan limbah

5. Jaringan pembuatan waste water

7. Membangun prasarana

pengolahan limbah yang

aman

8. Pene-rapan

5R

9. Studi peman-faatan limbah

10. Men datang-

kan pakar

3. Membangun area limbah yang jauh dari pemukiman

4. Pengolahan yang dapat dipertanggung-

jawabkan

1. Pabrik baja

Page 168: Limbah Padat Baja

144

A. Analisis Kebutuhan Stakeholders

Analisis kebutuhan dapat diidentifikasi melalui stakeholders yang terlibat

dalam pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon adalah pemerintah yang mewakili

kepentingan publik melalui Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas

Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten serta Dinas Lingkungan Hidup,

Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Perusahaan/industri perhasil baja, Lembaga

swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, Masyarakat di sekitar yang

menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya perikanan, Perguruan

Tinggi, serta Divisi Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT.

Krakatau Steel. Analisis kebutuhan stakeholders digunakan untuk menentukan pelaku

sistem dengan kebutuhan pelaku sistem dengan komponen-komponen yang terlibat

serta kebutuhan masing-masing komponen yang dilaksanakan dalam pengelolaan

limbah industri baja adalah sebagai berikut:

1) Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Cilegon serta dinas instansi teknis lainnya

membutuhkan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya untuk menjaga

kelestarian lingkungan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan

masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah, dan peningkatan dinamika

ekonomi daerah.

2) Perusahaan/Industri penghasil baja membutuhkan keberlanjutan usaha,

terjaminnya sumber bahan baku baja yang kontinu, dan harga produk yang

memiliki daya saing tinggi untuk dapat dijual.

3) Lembaga swadaya masyarakat (LSM) membutuhkan dan mengharapkan

terjaminnya hak-hak masyarakat sekitar pabrik baja, terjaganya kelestarian

wilayah pesisir sekitar dan penyediaan tenaga kerja daerah sekitar.

4) Masyarakat sekitar membutuhkan tersedianya sumber daya alam sebagai sumber

pendapatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar.

5) Peneliti/pakar dari perguruan tinggi membutuhkan pengelolaan limbah industri

ini sebagai bahan kajian akademik/ilmiah.

6) Divisi K3LH PT. Krakatau Steel membutuhkan dan mempersiapkan pengelolaan

kawasan industri baja secara komprehensif dan holisik serta berkelanjutan.

B. Formulasi Masalah

Formulasi masalah dilakukan atas dasar penentuan informasi yang telah

dilaksanakan melalui identifikasi sistem secara bertahap. Pada pelaksanaannya,

Page 169: Limbah Padat Baja

145

seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholders, meskipun

demikian konflik kepentingan dalam pengelolaan limbah industri baja perlu

diidentifikasi antara keinginan yang diperoleh dari hasil perhitungan bobot

kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor pada Tabel 38 dengan konflik

kepentingannya seperti yang disajikan pada Tabel 44.

Tabel 44. Formulasi masalah keinginan dan konflik kepentingan pengelolaan limbah

No. Aktor/Pelaku Keinginan Konflik Kepentingan

1 Pemerintah Mencegah limbah dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik di sekitar pabrik maupun di wilayah pesisir

Produsen: Masih banyak limbah baja yang tersimpan di area penampungan limbah, namun belum dikelola dengan baik Petani: Petani menilai wilayah pesisir belum terbebas dari limbah industri yang mengalir, karena masih ada industri yang belum memanfaatkan limbah menjadi material yang mempunyai nilai tambah

2 Industri Efisiensi pemakaian material dan energi

Produsen: Just in time sudah dilakukan pada pemakaian bahan baku baja dan energinya, namun masih ada sarana yang kurang mendukung.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat

Mendukung prinsip “environmental equity”

Produsen: Masih lemahnya tanggung jawab dan kepedulian para stakeholder untuk menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat/Petani: Masyarakat menilai prinsip “environmental equity” masih membutuhkan waktu, sehingga belum terpikir kearah tersebut.

4. Masyarakat Sekitar

Memperkuat daya dukung lingkungan

Pemerintah Daerah: Peraturan yang memperkuat daya dukung lingkungan masih mempunyai faktor kepentingan, sehingga potensi wilayah pesisir belum memiliki tata ruang. Petani: Petani perikanan belum

Page 170: Limbah Padat Baja

146

merasakan daya dukung lingkungan, sehingga hasil laut dirasakan masih minim dan masih sulitnya masyarakat pesisir mencari pekerjaan yang layak.

5. Pakar/Peneliti Perlunya pencegahan timbulnya limbah

Produsen/Pengusaha: Upaya untuk pencegahan timbulnya limbah sudah ada, namun pengelolaannya belum optimal sehingga masih banyak limbah yang belum tertangani. Petani: Hasil laut semakin menurun dikarenakan buangan limbah industri sampai mengalir di pesisir

6. Divisi K3LH Mencegah timbulnya limbah dengan menekan angka kecelakaan kerja, dan penyakit lingkungan

Produsen/Pengusaha: Biaya pencegahan timbulnya limbah masih terbatas dan tidak terfokuskan pada upaya penanganannya.

Seperti yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi perhatian

para stakeholders yaitu bagaimana pengelolaan limbah baja yang tidak dapat

mengganggu kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Perlu diketahui bahwa permasalahan rendahnya hasil pertanian di empat

Kecamatan yaitu Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak yang merupakan

daerah termasuk wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang

memiliki produksi komoditas hasil pertanian yang sangat rendah pada tahun 2007

seperti tangkapan ikan, padi, dan kacang tanah. Diketahui pula bahwa hasil laut di

wilayah pesisir berupa tangkapan ikan sebanyak 1.103 ton/tahun. Jika dikaitkan

dengan jumlah penduduk Kota Cilegon, maka kebutuhan ikan/lauk pauk tidak

mencukupi dan sampai saat ini masih dipasok oleh daerah lain seperti

Kabupaten/Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang. Untuk mengatasi permasalahan

tersebut, maka perlu mencari sumber penyebab akar permasalahan yang menjadi

penghambat perkembangan dan pembangunan wilayah. Pengelolaan limbah industri

dan berkembang industri budi daya hasil kelautan secara tidak langsung akan

mengurangi kerusakan terumbu karang akibat lahan penangkapan ikan dilakukan

dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Bagi pemerintah daerah dan industri

di Kota Cilegon, pengelolaan limbah industri akan memberikan dampak ekonomi

yaitu peningkatan pendapatan nelayan atau petani ikan, juga berpengaruh terhadap

Page 171: Limbah Padat Baja

147

peningkatan devisa daerah meningkat dan pada akhirnya akan terwujud yang

berdampak pada kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakakatau Cilegon.

C. Identifikasi Sistem

Pada identifikasi sistem ini, tahapan pengelolaan limbah baja menggunakan

model dinamis. Dalam tahap ini dilakukan rancang bangun model dengan dilakukan

penggambaran diagram sebab akibat (cause loop diagram), karena identifikasi sistem

merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari

berbagai variabel pada pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Secara spesifik konsep diagram sebab akibat untuk model pengelolaan limbah

industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dapat

digambarkan dalam struktur sub model.

1. Cause loop diagram

Hubungan antar variabel yang terlibat dalam model pengelolaan limbah

industri di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon digambarkan dalam

diagram sebab akibat (cause loop diagram) pada Gambar 30. Penelitian ini ditujukan

pada pemecahan berbagai jenis masalah yang diformulasikan pada tahap sebelumnya.

Dalam diagram sebab akibat ini terfokus pada 3 (tiga) subsistem, yaitu kependudukan,

pesisir laut dan limbah industri.

Diagram sebab akibat untuk subsistem kependudukan di wilayah pesisir

Kawasan Industri Krakatau Cilegon menunjukkan adanya timbal balik antara jumlah

penduduk, angka kelahiran, angka kematian, dan tingkat kedewasaan penduduk. Laju

pertumbuhan penduduk ditentukan oleh laju kelahiran, laju kematian, dan jumlah

penduduk. Karena jumlah penduduk akan meningkatkan pendapatan perkapita dan

konsumsi hasil laut penduduk. Laju penduduk juga medorong laju kelahiran semakin

tinggi, jumlah penduduk yang meningkat memberi peluang laju kematian yang lebih

tinggi sehingga mengurangi jumlah penduduk. Jumlah penduduk produktif usia 19 –

60 tahun yang merupakan angkatan kerja di Kota Cilegon memiliki presentasi

yang paling besar, sehingga memenuhi ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan

termasuk tenaga kerja pertanian atau perikanan di pesisir.

Diagram sebab akibat untuk subsistem pesisir laut Kawasan Industri Krakatau

Cilegon diawali dari lahan pesisir/perairan laut yang dipersiapkan menjadi luas pesisir.

Luas pesisir yang diharapkan ini memerlukan produktivitas pesisir, dan konsumsi

ikan total. Wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon mengalami

Page 172: Limbah Padat Baja

148

pengurangan luas pesisir akibat dibangunnya beberapa pabrik menjadi luas konversi

perairan laut, pengalihan lahan pesisir yang menyebabkan berkurangnya pendapatan

nelayan sekitar pesisir tersebut. Demikian juga pendapatan nelayan diperoleh dari

produksi ikan dan pengaruh supply dan demand ikan terhadap harga ikan ditentukan.

Diagram sebab akibat untuk subsistem untuk limbah industri baja

menunjukkan tingkat permintaan limbah yang terkait dengan hasil limbah pada proses

produksi, tingkat persediaan limbah, dan penilaian hasil limbah yang berasal dari

limbah dalam proses produksi. Sedangkan tingkat penerimaan limbah dipengaruhi

oleh jumlah produksi baja, produksi yang menghasilkan limbah, dan waktu proses

produksi baja. Selain itu persediaan limbah juga dipengaruhi oleh tingkat kedatangan

limbah dan waktu persediaan limbah yang diharapkan.

2. Diagram Input-output

Diagram input dan output merupakan tahapan lebih lanjut dari diagram sebab

akibat. Diagram ini juga sebagai implementasi dari konsep block box. Menurut

Eriyatno, (1999), konsep black box dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) golongan

yaitu: 1) peubah input, 2) peubah output, 3) parameter-parameter yang membatasi

struktur sistem. Peubah input terbagi dalam 2 golongan yaitu: a) input yang tidak

terkendali meliputi kondisi area penampungan limbah, daya dukung lingkungan,

tingkat keanekaragaman hayati pesisir/perikanan, dan kondisi iklim dan cuaca; b)

input yang terkendali meliputi teknologi, sarana dan prasarana, SDM dan modal.

Input lingkungan meliputi Undang-Undang Republik Indonesia tentang pengelolaan

lingkungan hidup, dan peraturan Perundang-perundangan yang berlaku seperti

peraturan daerah lainnya (Perda). Sedangkan peubah output terbagi dalam 2 golongan

yaitu: a) output yang diinginkan kelestarian sumber daya di perairan pesisir,

penyerapan tenaga kerja di perairan pesisir, dan sebagainya; b) output yang tidak

diinginkan seperti degradasi pesisir, dan menurunnya kesehatan masyarakat,

menurunnya kualitas lingkungan, dan terjadinya konflik.

Pada diagram input output model pengelolaan limbah industri baja dalam

upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah di Kawasan Industri Krakatau

Cilegon ini bertujuan secara penilaian ekonomis adalah peningkatan devisa negara

dan pendapatan asli daerah, penyerapan tenaga kerja daerah, dan peningkatan

dinamika ekonomi daerah. Meskipun demikian, jika output yang tidak diinginkan

terdapat penurunan kualitas lingkungan di wilayah pesisir tersebut dan terjadi konflik

antara wilayah perbatasan antara Kota Cilegon dengan wilayah lainnya, maka perlu

pengendalian sistem dalam pengelolaan ini.

Page 173: Limbah Padat Baja

149

Untuk pengendalian sistem agar terfokus pada output yang diinginkan, maka

dibuatlah suatu mekanisme umpat balik (feedback) berupa manajemen pengendali

model pengelolaan limbah industri baja mengarah pada output yang diinginkan.

Dengan demikian pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir akan mencegah

terjadi eksploitasi hasil laut di perairan Kawasan Industri Krakatau Cilegon, sehingga

dapat menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Adapun diagram Input-Output

pengelolaan sumberdaya pesisir selengkapnya disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24. Diagram Input-Output pengelolaan sumberdaya pesisir

D. Pembuatan Model

Berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan digunakan dalam membuat

model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan

• Kelestarian

sumberdaya perikanan/pesisir

• Peningkatan devisa negara dan PAD

• Penyerapan tenaga kerja

• Peningkatan dinamika ekonomi daerah

• Terbinanya hubungan yang harmonis dengan daerah perbatasan

• Degradasi Pesisir • Penurunan

kesehatan masyarakat

• Penurunan kualitas lingkungan

• Terjadi konflik

OUTPUT TIDAK DIINGINKAN

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI

BAJA

Manajemen Pengendalian

INPUT LINGKUNGAN

• Kondisi area penampungan limbah

• Daya dukung lingkungan.

• Tingkat keanekaragama-an hayati perikanan

• Kondisi iklim dan cuaca

INPUT TIDAK TERKENDALI

• Teknologi • Sarana dan

prasarana, SDM, dan Modal.

• Kerjasama lintas sektor.

• Kuantitas dan kualitas produk

• Kapasitas produksi terpasang

INPUT TERKENDALI

OUTPUT DIINGINKAN

• UU RI No. 23/1997 • Peraturan perundang-

undangan lainnya (Perda)

Page 174: Limbah Padat Baja

150

kelestarian wilayah di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, maka dibuat rancang

bangun model dinamis dengan menggunakan paket program powersim.

1. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel penduduk

Penduduk merupakan bagian terpenting bagi aktivitas pembangunan daerah,

karena jumlah penduduk yang memadai akan berpengaruh besar kecilnya terhadap

perubahan suatu wilayah. Submodel penduduk yang merupakan main model dari

model pengelolaan limbah industri baja yang secara terinci disajikan dapat

ditunjukkan pada Gambar 25.

Gambar 25. Diagram hubungan sebab akibat submodel penduduk pada model pengelolaan limbah industri baja

Berdasarkan Gambar 25 di atas, dapat dideskripsikan keterkaitan antar elemen

yang terlibat dalam submodel penduduk pada model pengelolaan limbah industri baja

akan terjadi ketersediaan tenaga kerja seperti tenaga kerja pertanian atau perikanan.

Hal tersebut dapat terjadi karena wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau

Cilegon sangat membutuhan tenaga kerja di bidang perairan atau kelautan, tenaga

kerja di wilayah ini sudah banyak yang terserap oleh industri-industri yang berada di

Page 175: Limbah Padat Baja

151

kawasan ini. Penduduk yang tergolong angkatan kerja usia 19 sampai 60 tahun sangat

dibutuhkan, oleh karena itu dengan jumlah penduduk yang cukup dan lapangan kerja

yang serap banyak akan mempengaruhi pendapatan perkapita daerah atau produk

domestik regional brutto (PDRB) semakin meningkat di Kota Cilegon.

Selanjutnya setelah dibuatkan diagram sebab akibat (cause loop diagram)

secara utuh, maka perlu dibuat struktur sub model kependudukan pada model

pengelolan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon. Diagram sebab akibat (cause loop) di atas dan hasil keterkaitan antar elemen

submodel kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja, maka struktur

model dengan menggunakan program powersim yang digunakan untuk proses

simulasi disajikan pada Gambar 26.

Gambar 26. Struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja

Keterangan:

: Flow : Konstanta : Fungsi IF

: Level : Fungsi Graph

Page 176: Limbah Padat Baja

152

Berdasarkan Gambar 26 di atas, struktur model kependudukan pada model

pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang

tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu jumlah penduduk,

tingkat kelahiran penduduk, tingkat kematian penduduk, tingkat kedewasaan

penduduk, laju pertumbuhan penduduk, laju kematian penduduk, laju kematian

penduduk, pendapatan penduduk, dan sebagainya. Sedangkan angka imigrasi

penduduk dan emigrasi penduduk tingkat tidak mempengaruhi tingakat kepadatan

penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon karena warga lebih menyukai tinggal di

pemukiman di wilayah Kabupaten/Kota Serang sehingga untuk penentuan jumlah

penduduk di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dipengaruhi oleh

laju kelahiran penduduk, dan laju kematian penduduk, maka untuk merumuskan hal

tersebut dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:

JPt = JP(t-1) + (dt* LKlt – dt* LKmt)

LKlt = LKlt-1) + JPt * AKlt

LKmt = LKm(t-1) + JPt * AKmt

LPPt = LPP(t-1) + ((LKlt – LKmt)/ JPt*100%)

Keterangan:

JPt = Jumlah penduduk sekarang (orang)

JP(t-1) = Jumlah penduduk sebelumnya (orang)

LKlt = Laju kelahiran penduduk sekarang (orang/tahun)

LKl(t-1) = Laju kelahiran penduduk sebelumnya (orang/tahun)

LKmt = Laju kematian penduduk sekarang (orang/tahun)

LKl(t-1) = Laju kematian penduduk sebelumnya (orang/tahun)

AKlt = Angka kelahiran penduduk (orang)

AKmt = Angka kematian penduduk (orang)

dt = Laju kelahiran atau laju kematian penduduk (%)

LPPt = Laju pertumbuhan penduduk sekarang (%/tahun)

LPP(t-1)= Laju pertumbuhan penduduk sebelumnya (%/tahun)

Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka dapat diasumsikan penduduk total, laju

kelahiran penduduk, laju kematian penduduk, angka kelahiran penduduk, dan angka

kematian penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 sampai dengan

tahun 2015 seperti yang disajikan pada Tabel 45.

Page 177: Limbah Padat Baja

153

Tabel 45. Struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Tabel 45 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk, laju

kelahiran penduduk dan laju kematian penduduk di wilayah Kota Cilegon dari tahun

2003 – 2015 mengalami trend kenaikan tiap tahunnya.

Gambar 26, juga dapat memperlihatkan pendapatan penduduk di wilayah

pesisir Kota Cilegon dipengaruhi oleh perekonomian daerah melalui PDRB (produk

domestik regional bruto) Kota Cilegon. PDRB ini dapat dijadikan sebagai sarana

untuk merencana belanja daerah yang ditetapkan tiap tahun oleh pemerintah daerah.

Untuk mengetahui pendapatan penduduk dapat dirumuskan berikut ini.

PPt = PP(t-1) + (PDRBt/JPt*10)

Keterangan:

PPt = Pendapatan pendudukan sekarang (rupiah/orang)

PP(t-1) = Pendapatan pendudukan sebelumnya (rupiah/orang)

PDRBt = Produk domestik regional brutto (rupiah/tahun)

JPt = Jumlah penduduk (orang)

Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa PDRB dan pendapatan

penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2015 diperlihatkan pada

Tabel 46.

Tahun Laju Kelahiran Laju Pert. Penddk. Laju Kematian Jumlah Penduduk

Page 178: Limbah Padat Baja

154

Tabel 46. PDRB dan pendapatan penduduk pada struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Tabel 46 di atas menunjukkan peningkatan PDRB dan

pendapatan penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2015

seperti disajikan pada Gambar 27.

Gambar 27. Grafik PDRB Kota Cilegon tahun 2003 - 2015 pada struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Gambar 27 di atas terlihat bahwa PDRB Kota Cilegon

mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan PDRB tersebut berdampak positif

pada kenaikan pendapatan penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon.

2. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel pesisir laut

Wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau Cilegon merupakan kawasan

yang memiliki dinamika pertumbuhan yang paling pesat, terutama untuk industri

yang tergolong industri berat. Karena wilayah pesisir tersebut memiliki arti strategis

Tahun Pendapatan Pendd.

Tahun

Page 179: Limbah Padat Baja

155

yang merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki

potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun,

karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara

terpadu. Wilayah pesisir ini terdapat beberapa pelabuhan bongkar muat barang dan

kebijakan pemerintah daerah yang sektoral dan bias, belum menyentuh pada

kebutuhan masyarakat sekitar, sedangkan dari sisi sosial-ekonomi pemanfaatan

kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar/industri sehingga mata

pencaharian para nelayan semakin terbatas dan termasuk kelompok profesi yang

miskin.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat digambarkan diagram

hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri

baja yang secara terinci dapat ditunjukkan pada Gambar 28.

Gambar 28. Diagram hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja

Page 180: Limbah Padat Baja

156

Berdasarkan Gambar 28 di atas, dapat dideskripsikan bahwa keterkaitan antar

elemen yang terlibat dalam submodel pesisir pada model pengelolaan limbah industri

baja dengan angkatan kerja Kota Cilegon sebagai ketersediaan tenaga kerja/nelayan

yang diharapkan saling memenuhi kebutuhan nelayan di wilayah pesisir, sehingga

pemerintah daerah harus mempersiapkan lahan pesisir bagi kebutuhan petani/nelayan

mengingat periran/pesisir di wilayah pesisir Kota Cilegon cukup luas belum seluruh

dikelola secara optimal. Selanjutnya setelah dibuatkan diagram sebab akibat (cause

loop diagram) secara terinci, maka perlu dibuat struktur sub model pesisir laut pada

model pengelolan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau

Cilegon. Diagram sebab akibat (cause loop) di atas dan hasil keterkaitan antar elemen

submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja, maka struktur

model dengan menggunakan program powersim yang digunakan untuk proses

simulasi disajikan pada Gambar 29.

Gambar 29. Struktur sub model pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja

Berdasarkan Gambar 29 di atas, struktur model pesisir laut pada model

pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang

Page 181: Limbah Padat Baja

157

tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu luas pesisir, lahan

yang dipersiapkan, pengurangan pesisir, luas panen, produksi hasil pesisir,

pendapatann nelayan, luas lahan pesisir yang diharapkan dan sebagainya.

Pengelolaan wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon terutama

oleh pemerintah daerah Kota Cilegon perlu mendapat prioritas penanganannya,

termasuk mempersiapkan tenaga kerja dan lahan pesisir tersedia. Untuk merumuskan

hal tersebut, perlu dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:

NTt = NT(t-1) + AKt*PAK

LPt = LP(t-1) + (dt*LPSt – dt*PPt)

KNt = KN(t-1) + LPt*KNh

LPSt = LPS(t-1) + ((LPt – LPHt)/WPPt*0,01)

Keterangan:

NTt = Nelayan tersedia sekarang (orang)

NT(t-1) = Nelayan tersedia sebelumnya (orang)

AKt = Angkatan kerja Kota Cilegon (orang/tahun)

PAK = Prosentase angkatan kerja (%)

LPt = Luas pesisir sekarang (ha)

LP(t-1) = Luas pesisir sebelumnya (ha)

LPSt = Lahan pesisir yang dipersiapkan sekarang (ha)

LPS(t-1)= Lahan pesisir yang dipersiapkan sebelumnya (ha)

KNt = Kebutuhan nelayan sekarang (orang)

KN(t-1) = Kebutuhan nelayan sekarang (orang)

PPt = Pengurangan pesisir (ha)

LPHt = luas pesisir diharapkan (ha)

WPPt = Waktu perluasan pesisir (tahun)

Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa angkatan kerja, kebutuhan

nelayan, lahan pesisir yang dipersiapkan dan luas pesisir di wilayah pesisir Kota

Cilegon dari tahun 2003 – 2015 disajikan pada Tabel 47.

Page 182: Limbah Padat Baja

158

Tabel 47 Kebutuhan tenaga kerja perairan, dan pesisir pada struktur sub model pesisir laut di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Tabel 47 di atas menunjukkan bahwa ketersediaannya tenaga kerja di

pesisir, kebutuhan nelayan, lahan pesisir yang persiapkan, dan luas pesisir di

Kawasan Industri Kota Cilegon.

3. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel limbah industri

Jumlah limbah baja yang mengalir di wilayah pesisir akan mengalami

peningkatan tingkat pencemaran melalui aliran sungai dari industri yang membawa

limbah menuju wilayah pesisir disekitarnya. Besarnya beban pencemaran limbah

ditentukan melalui pengukuran debit air sungai dan konsentrasi limbah yang

mengalir menuju wilayah pesisir. Untuk itu rancangan submodel limbah industri

yang merupakan main model dari model pengelolaan limbah industri baja yang secara

terinci disajikan pada Gambar 30.

Tahun Nelayan Sedia Kebut.Nelayan Lahan Pesisir Siap Luas Pesisir

Page 183: Limbah Padat Baja

159

Gambar 30. Diagram hubungan sebab akibat submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja

Berdasarkan Gambar 30 di atas, dapat dideskripsikan bahwa keterkaitan antar

elemen yang terlibat dalam submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah

industri baja meliputi penanganan limbah yang ada pada sumber dari lokasi pabrik

sampai di area penyimpanan limbah. Pengelolaan limbah baja ini berkaitan dengan

timbulnya limbah dari hasil proses produksi, persediaan limbah yang ada, tingkat

kedatangan limbah, konsumsi pemakaian limbah, pengiriman limbah, dan sebagainya.

Selanjutnya diagram sebab akibat (cause loop diagram) di atas dan hasil

keterkaitan antar elemen submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah

industri baja, maka dibuatkan rancangan struktur model dengan menggunakan

program powersim yang digunakan untuk proses simulasi seperti yang disajikan pada

Gambar 31.

Page 184: Limbah Padat Baja

160

Gambar 31. Struktur sub model limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja

Berdasarkan Gambar 31 di atas, struktur model limbah industri pada model

pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang

tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu persediaan limbah

baja, jumlah produksi yang diharapkan, jumlah limbah baja dalam proses, persediaan

limbah baja yang diharapkan, dan sebagainya. Untuk merumuskan hal tersebut, perlu

dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:

JLt = JL(t-1) + ( (dt*TKLt + dt*TKLLt) – dt*TPLt)

Keterangan:

JLt = Jumlah limbah baja sekarang (ton)

JL(t-1) = Jumlah limbah baja sebelumnya (ton)

TKLLt = Tingkat kedatangan limbah luar (baja bongkah)(ton/tahun)

TKLt = Tingkat kedatangan limbah (ton/tahun)

TPLt = Tingkat pengiriman limbah keluar (ton/tahun)

Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa jumlah limbah baja sekarang

dipengaruhi oleh jumlah limbah baja sebelumnya, tingkat kedatangan baja bongkah,

Page 185: Limbah Padat Baja

161

tingkat kedatangan limbah baja, dan tingkat pengiriman limbah ke luar. Adapun hasil

simulasi jumlah limbah baja untuk tahun 2003 – 2015 disajikan pada Tabel 48.

Tabel 48. Jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri

Berdasarkan Tabel 48 di atas, terjadi peningkatan jumlah limbah dari tahun

2003 – 2009, sedangkan pada tahun 2009 – 2015 terjadi penurunan jumlah limbah,

sehingga pada akhir tahun 2015 jumlah limbah menjadi 1.863.258 ton. Selanjutnya

rancang bangun pemodelan sistem dinamik struktur model keseluruhan pada

pengelolaan limbah industri baja ini disajikan pada Gambar 32.

Berdasarkan Gambar 32 diatas, maka struktur model yang dirancang tersebut

dapat mensimulasikan submodel penduduk, submodel pesisir laut, dan submodel

limbah industri yang merupakan pola model pengelolan limbah industri baja,

sehingga keterpaduan tiga submodel ini dapat memberikan gambaran komprehenship

pada pembentukan model-model yang diinginkan.

E. Pengujian Model

Pembuatan alat ukur tidaklah mudah karena dalam pendefinisian operasional

(operational definition) variabel-variabel persepsi dan sikap (attitudes). Peneliti perlu

mengevaluasi kebaikan atau kesesuaian alat ukur untuk menjamin bahwa instrumen

tersebut dapat mengukur variabel-variabel yang semestinya diukur dengan sebaik

mungkin. Dua kriteria pokok untuk menguji model adalah verifikasi dan validitas

model. Agar hasil penelitian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, maka

informasi tentang verifikasi dan validitasi model sebagai pengujian harus

disampaikan dalam penelitian ini.

Tahun Tk.Kedatangan Limb.Luar Tk.Pengiriman Limbah Tk.KedatanganLimb Jumlah Limbah

Page 186: Limbah Padat Baja

162

Page 187: Limbah Padat Baja

163

1. Verifikasi model

Verifikasi model terhadap model pengelolaan limbah industri baja dalam

upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau

Cilegon. Model ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa program yang dijalankan

oleh bantuan program Powersim ini memiliki kesesuaian dan implementasinya dari

model konseptual adalah benar. Menurut Sargent (1998), jenis bahasa komputer yang

digunakan akan mempengaruhi hasil pemrosesan program yang benar. Penggunaan

program powersim untuk pemodelan sistem dinamik akan menghasilkan tingkat

kesalahan yang relatif lebih kecil dibandingkann dengan bahasa simulasi pada

umumnya.

Proses verifikasi model ini yang menggunakan program powersim

menggambarkan persamaan-persamaan dari struktur model yang merupakan bagian

yang ditampilkan. Juga menggambarkan suatu persamaan sederhana seperti

penjumlahan, penguraangan, perkalian, dan pembagian untuk membuat struktur

model pada model pengelolaan limbah industri baja.

Pada proses verifikasi terhadap model-model yang dirancang dilakukan

sebelum dilakukan validasi model, tetapi dapat juga dilakukan setelah proses validasi

model untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan

penyusunan model yaitu pengaruh submodel kependudukan, submodel pesisir laut,

dan submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja dalam

upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau

Cilegon. Dalam proses verifikasi tersebut dilakukan secara iteratif untuk

memodifikasi struktur model, yaitu:

a. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel kependudukan

Verifikasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa program komputer

(powersim) dan implementasi dari model konseptualnya terutama untuk mengetahui

jumlah penduduk, tingkat kedewasaan penduduk, laju kelahiran dan kematian

penduduk, serta laju pertumbuhan penduduk di Kawasan Industri Cilegon. Adapun

bentuk verifikasi modelnya adalah:

init JPendd018 = 66753

flow JPendd018 = -dt*TkKmt018 +dt*LjKlhr -dt*TkDws1819 doc JPendd018 = Jumlah penduduk Cilegon (KIKC) usia 0-18 tahun (orang) init JPendd1960 = 75077

Page 188: Limbah Padat Baja

164

flow JPendd1960 = -dt*TkKmt1960 +dt*TkDws1819 -dt*TkDws6065 doc JPendd1960 = Jumlah penduduk Cilegon (KIKC) usia 19-60 tahun (orang) aux TkDws1819 = JPendd018 * (1- AKmtKasar)/18 doc TkDws1819 = Tingkat Kedewasaan usia 18-19 tahun (orang/tahun) aux TkDws6065 = JPendd1960*(1-AKmtKasar)/42 doc TkDws6065 = Tingkat Kedewasaan usia 60-65 tahun (orang/tahun) aux TkKmt018 = JPendd018*AKmtKasar doc TkKmt018 = Tingkat Kematian usia 0-18 tahun (orang/tahun) aux TkKmt1960 = JPendd1960*AKmtKasar doc TkKmt1960 = Tingkat kematian usia 19 – 60 tahun. (orang/tahun) aux LjKlhr = PenddTotal*AKlhrKasar doc LjKlhr = Laju kelahiran (orang/tahun) aux LjKmt = PenddTotal*AKmtKasar doc LjKmt = Laju kematian (orang/tahun) init PenddTotal = 166838 flow PenddTotal = -dt*LjKmt +dt*LjKlhr doc PenddTotal = Penduduk Total di 4 Kecamatan Kota Cilegon(orang) aux LjPertPendd = (LjKlhr-LjKmt)/PenddTotal*100% doc LjPertPendd = Laju Pertumbuhan Penduduk (%/tahun)

b. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel pesisir laut

Verifikasi model ini bertujuan untuk mengetahui luas pesisir, lahan pesisir

yang dipersiapkan, dan pengurangan lahan pesisir di Kawasan Industri Cilegon.

Adapun bentuk verifikasi modelnya adalah:

init LuasPessr = 11520 flow LuasPessr = +dt*LahPessrSiap -dt*PengrngPessr doc LuasPessr = Luas lahan pesisir KIC (hektar) aux LahPessrSiap = (LuasPessr-LuasPessrHarap)/WPerlPessr*0.01 doc LahPessrSiap = Lahan Pesisir yang dipersiapkan (hektar/tahun) aux PengrngPessr = LuasKonve/WPeralihLahan*PPendNelyn doc PengrngPessr = Pengurangan Pesisir (hektar/tahun)

c. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel limbah industri

Verifikasi model ini bertujuan untuk mengetahui jumlah limbah dan tingkat

permintaan limbah. Adapun bentuk verifikasi modelnya adalah:

init LimbahAw = 1863817*WRataProd flow LimbahAw = +dt*TkPermtLimb -dt*TkPenerLimb -dt*TkPenerLimbLuar doc LimbahAw = Limbah baja awal (ton) init JumlahLimb = 1863817*WPersedLimbHarap flow JumlahLimb = -dt*TkPengirmLimb +dt*TKedatgLimbLuar

Page 189: Limbah Padat Baja

165

+dt*TkKedatgLimb doc JumlahLimb = Jumlah limbah baja (ton) aux TkPermtLimb = JProdHarap+NilaiPersedLimb doc TkPermtLimb = Tingkat permintaan limbah baja (ton/tahun)

2. Validasi model

Validasi adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang

bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur. Menurut Arikunto (2005),

untuk mengukur validitasi tiap butir instrumen dilakukan pengujian dengan cara

menganalisis hubungan antara skor tiap butir dan skor total.Validitasi menentukan

sampai seberapa bagus suatu alat ukur yang dirancang mampu mengukur suatu

konsep tertentu yang ingin diukur. Dalam penelitian survei maka kuesioner yang

disusun oleh peneliti harus mengukur apa yang ingin diukurnya.

Proses validitasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang

dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup

aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan

tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Menurut Sargent

(1998), atribut yang gunakan dalam proses validitasi sangat dipengaruhi oleh kondisi

sistem yang digunakan dalam model tersebut apakah dapat diobservasi atau tidak

dapat diobservasi.

Rancangan model pemecahan masalah ini yang memfokuskan pada 3 (tiga)

submodel kependudukan, submodel pesisir laut, dan submodel limbah industri

semaksimal mungkin dapat memperoleh data observasi. Rancangan pembuatan

struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja yang

terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling

berkaitan yaitu jumlah penduduk, tingkat kelahiran penduduk, tingkat kematian

penduduk, tingkat kedewasaan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, laju kematian

penduduk, laju kematian penduduk, pendapatan penduduk, dan sebagainya dapat

diperoleh. Rancangan pembuatan struktur model pesisir laut pada model pengelolaan

limbah industri baja yang terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan

sistem operasi yang saling berkaitan yaitu luas pesisir, lahan yang dipersiapkan,

pengurangan pesisir, luas panen, produksi hasil pesisir, pendapatann nelayan, luas

lahan pesisir yang diharapkan, produksi ikan, dan sebagainya dapat diperoleh. Begitu

juga pada rancangan struktur model limbah industri pada model pengelolaan limbah

industri baja yang terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan sistem

operasi yang saling berkaitan yaitu jumlah limbah baja, persediaan, tingkat

Page 190: Limbah Padat Baja

166

kedatangan limbah, tingkat pengiriman limbah, tingkat permintaan limbah, jumlah

produksi yang diharapkan, kebutuhan limbah, limbah dalam proses, penilaian hasil

limbah, penilaian persediaan limbah, persediaan limbah yang diharapkan dan

sebagainya dapat diperoleh meskipun hampir semua jenis data adalah data skunder.

Proses validasi terhadap model ini dilakukan dengan proses simulasi

menggunakan program powersim terhadap submodel kependudukan, submodel

pesisir laut, dan submodel limbah industri yang menggunakan data dan informasi

tahun 2003 sampai dengan 2007 diperlihatkan dalam bentuk Tabel dan Gambar:

1. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel kependudukan

Tabel ini, memperlihatkan jumlah penduduk aktual dengan prediksi jumlah

penduduk menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program

powersim). Adapun formulasi masing-masing model yaitu:

Model 1: JPt = JP(t-1) + (JPt x PPPt)

Model 2: JPt = JP(t-1) + (dt* LKlt – dt* LKmt)

Keterangan:

JPt = Jumlah penduduk sekarang (orang)

JP(t-1) = Jumlah penduduk sebelumnya (orang)

PPPt = Prosentase pertambahan penduduk (asumsi: 0,7 %/tahun)

LKlt = Laju kelahiran penduduk sekarang (orang/tahun)

LKl(t-1) = Laju kelahiran penduduk sebelumnya (orang/tahun)

LKmt = Laju kematian penduduk sekarang (orang/tahun)

Berdasarkan formulasi tersebut di atas, maka dapat diketahui hasil prediksi jumlah

penduduk seperti yang disajikan pada Tabel 49.

Tabel 49. Jumlah penduduk aktual dan hasil prediksi jumlah penduduk

Jumlah Penduduk Prediksi Jumlah Penduduk (Jiwa) Tahun Aktual (Jiwa) Model 1 Model 2 2003 166.838 166.838 166.838 2004 167.761 168.006 167.642 2005 168.233 169.182 168.778 2006 170.269 170.366 170.457 2007 174.219 171.559 173.227

Dari Tabel 49 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi jumlah penduduk

aktual dan prediksi jumlah penduduk model 1 dan model 2 seperti yang disajikan

pada Gambar 33.

Page 191: Limbah Padat Baja

167

Jumlah Penduduk Th. 2003 - 2007

162000164000166000168000170000172000174000176000

2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Jum

lah

Pend

uduk

Penduduk Aktual

Prediksi PendudukModel 1Prediksi PendudukModel 2

Gambar 33. Grafik jumlah penduduk aktual dan prediksi jumlah penduduk pada submodel kependudukan

Berdasarkan Tabel 49 dan Gambar 33 di atas, diperoleh hasil validasi model

antara jumlah penduduk aktual dengan hasil prediksi jumlah penduduk model 1

yang memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,162% dan nilai

kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0,597%. Sedangkan hasil validasi

model antara jumlah penduduk aktual dengan hasil prediksi jumlah penduduk

model 2 memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,045% dan

nilai kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0,254%. Hal ini berarti bahwa

hasil validasi model 2 (simulasi) sangat valid dan memiliki kesalahan (AME dan

AVE) sangat kecil dan memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10

%. Berdasarkan hasil submodel kependudukan diperoleh hasil prediksi jumlah

penduduk tahun 2003 – 2015 dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil

prediksi jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 disajikan pada Gambar 34.

0

50000

100000

150000

200000

250000

2003

2005

2007

2009

2011

2013

2015

Tahun

Jum

lah

Pend

uduk

(jiw

a)

Jumlah Penduduk

Gambar 34. Grafik jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 pada struktur submodel kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Gambar 34 di atas, memperlihatkan jumlah penduduk di wilayah

pesisir Kota Cilegon berkecenderungan mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Page 192: Limbah Padat Baja

168

2. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel pesisir laut

Tabel ini memperlihatkan luas pesisir aktual dengan prediksi luas pesisir

menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program powersim).

Adapun formulasi masing-masing model yaitu:

Model 1: LPt = LP(t-1) - ( LPt x PPLPt)

Model 2: LPt = LP(t-1) + (dt*LPSt – dt*PPt)

Keterangan:

LPt = Luas pesisir sekarang (ha)

LP(t-1) = Luas pesisir sebelumnya (ha)

PPLPt = Prosentase pengurangan luas pesisir (asumsi: 0,5 %/tahun)

LPSt = Lahan pesisir yang dipersiapkan sekarang (ha)

PPt = Pengurangan pesisir (ha)

Berdasarkan formulasi tersebut diatas, maka dapat diketahui hasil prediksi luas

pesisir seperti yang disajikan pada Tabel 50.

Tabel 50. Luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir

Luas Pesisir Prediksi Luas Pesisir (ha) Tahun Aktual (ha) Model 1 Model 2 2003 11.520 11.520 11.520.00 2004 11.520 10.944 11.519.96 2005 11.520 10.397 11.519.97 2006 11.520 9.877 11.519.97 2007 11.520 9.383 11.519.97

Dari Tabel 50 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi luas pesisir aktual dan

prediksi luas pesisir model 1 dan model 2 seperti yang disajikan pada Gambar 35.

Luas Pesisir Tahun 2003 - 2007

02000400060008000

100001200014000

2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Luas

Pes

isir

(ha)

Luas Pesisir Aktual

Prediksi Luas PesisirModel 1Prediksi Luas PesisirModel 2

Gambar 35. Grafik luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir pada submodel pesisir laut.

Page 193: Limbah Padat Baja

169

Berdasarkan Tabel 50 dan Gambar 35 di atas, dapat diperoleh hasil validasi

model antara luas pesisir aktual dengan hasil prediksi luas pesisir model 1 yang

memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 9,512% dan nilai

kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0 %. Sedangan hasi validasi model

antara luas pesisir aktual dengan hasil prediksi luas pesisir model 2 memiliki nilai

kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,0002% dan nilai kesalahan variansi

mutlak (AVE) sebesar 0 %. Hal ini berarti bahwa hasil validasi model 2

(simulasi) sangat valid dan memiliki kesalahan (AME dan AVE) sangat kecil dan

memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %. Berdasarkan Hasil

submodel pesisir laut diperoleh hasil prediksi luas pesisir tahun 2003 – 2015

dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil prediksi luas pesisir tahun

2003 – 2015 disajikan pada Gambar 36.

11,518.00

11,518.50

11,519.00

11,519.50

11,520.00

11,520.50

2003

2005

2007

2009

2011

2013

2015

Tahun

Luas

Pes

isir

Prediksi Luas Pesisir

Gambar 36. Grafik luas pesisir tahun 2003 – 2015 pada struktur sub model pesisir laut di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Gambar 36 di atas, dapat diketahui hasil simulasi luas pesisir di

wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2003 – 2015

memperlihatkan berkecenderungan mengalami pengurangan luas pesisir.

Pengurangan lahan psesisir tersebut dapat terjadi, karena di wilayah pesisir ini

tumbuh dan berkembangnya industri, jasa perhotelan, dan sebagainya, sehingga

luas pesisir berkecenderungan mengalami pengurangan/penurunan.

3. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel limbah industri

Tabel ini memperlihatkan jumlah limbah aktual dengan prediksi jumlah

limbah menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program

powersim). Adapun formulasi masing-masing model yaitu:

Page 194: Limbah Padat Baja

170

Model 1: JLt = JL(t-1) + (JLTt + (PPLt x JLTt))

Model 2: JLt = JL(t-1) + ( (dt*TKLt + dt*TKLLt) – dt*TPLt)

Keterangan:

JLt = Jumlah limbah baja sekarang (ton)

JL(t-1) = Jumlah limbah baja sebelumnya (ton)

JLTt = Jumlah limbah tahunan (ton)

PPL t = Prosentase penambahan limbah (asumsi:10%/tahun )

TKLt = Tingkat kedatangan limbah (ton/tahun)

TKLLt = Tingkat kedatangan limbah luar (baja bongkah) (ton/tahun)

TPLt = Tingkat pengiriman limbah keluar (ton/tahun)

Berdasarkan formulasi tersebut diatas, maka dapat diketahui hasil prediksi jumlah

limbah seperti yang disajikan pada Tabel 51.

Tabel 51. Limbah baja aktual dan hasil prediksi limbah baja

Limbah Baja Prediksi Limbah Baja (ton) Tahun Aktual (ton) Model 1 Model 2 2003 1.863.817 1.863.817 1.863.817 2004 1.865.024 1.867.273 1.864.217 2005 1.865.024 1.871.074 1.864.793 2006 1.869.369 1.875.256 1.865.342 2007 1.872.715 1.879.856 1.865.891

Dari Tabel 51 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi jumlah limbah aktual

dan prediksi jumlah limbah model 1 dan model 2 seperti yang disajikan pada

Gambar 37.

Limbah Industri Tahun 2003 - 2007

1855000

1860000

1865000

1870000

1875000

1880000

1885000

2003 2004 2005 2006 2007

Tahun

Jum

lah

Lim

bah

(ton) Limbah Aktual

Prediksi LimbahModel 1Prediksi LimbahModel 2

Gambar 37. Grafik jumlah limbah aktual dan hasil prediksi

jumlah limbah pada submodel limbah industri

Berdasarkan Tabel 51 dan Gambar 37 di atas dapat diperoleh hasil validasi model

antara jumlah limbah aktual dengan hasil prediksi limbah model 1 yang memiliki

Page 195: Limbah Padat Baja

171

nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,228% dan nilai kesalahan

variansi mutlak (AVE) sebesar 1,873%. Sedangkan hasil validasi model antara

jumlah limbah aktual dengan hasil prediksi limbah model 2 memiliki dengan nilai

kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,127% dan nilai kesalahan variansi

mutlak (AVE) sebesar 0,95%. Hal ini berarti bahwa hasil validasi model 2

(simulasi) tersebut valid dengan tingkat kesalahan cukup kecil dan validasi

tersebut memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %.

Berdasarkan hasil submodel pesisir laut diperoleh hasil prediksi luas pesisir tahun

2003 – 2015 dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil prediksi limbah

baja tahun 2003 – 2015 disajikan pada Gambar 38.

1861000186200018630001864000186500018660001867000

2003

2005

2007

2009

2011

2013

1015

Tahun

Jum

lah

limba

h (t

on)

Prediksi LimbahIndustri

Gambar 38. Grafik jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri di wilayah pesisir Kota Cilegon

Berdasarkan Gambar 38 tersebut di atas, menunjukkan terjadi peningkatan

jumlah limbah dari tahun 2003 – 2009, sedangkan pada tahun 2009 – 2015 terjadi

penurunan jumlah limbah baja.

7.5 Kesimpulan dan Saran

7.5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan strategi model pengelolaan

lingkungan dapat disimpulkan:

1. Strategi pengelolaan lingkungan dapat dilakukan bersamaan dengan pengelolaan

limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas

industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industri 1.500 ha., dan

dampak sosialnya pada model pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 jiwa.

2. Kesehatan masyarakat pada penduduk yang tinggal dipemukiman wilayah pesisir

di empat Kecamatan Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak

Page 196: Limbah Padat Baja

172

berkecenderungan mengalami penyakit ISPA, bahkan jenis penyakit tersebut

dapat mengalami kenaikan jumlah penyakit ISPA, mengingat pada wilayah ini

banyak berdiri industri menengah hingga industri berat.

3. Hasil analisis baku mutu limbah baja terhadap kesehatan masyarakat dan

degradasi pesisir masih memenuhi nilai ambang batas (NAB), namun analisa

logam berat dalam air laut menunjukkan air raksa (Hg), kadmium (Cd), dan

tembaga (Cu) berkisar (rata-rata < 0,0005 mg/l), tembaga (Pb) rata-rata: < 0,0005

mg/l. Sedangkan untuk seng (Zn ) rata-rata: 0,005 mg/l. Rendahnya kadar logam

Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn karena logam tersebut mengalami proses pengenceran

oleh pola arus pasang surut.

4. Hasil pemilihan prioritas pendapat pakar yang menggunakan metode AHP

Cdplus3.0 terpilih perubahan bahan baku sebagai urutan kepentingan variabel

alternatif pada menentuan strategi pengelolaan limbah baja.

5. Hasil penentuan parameter kunci model pengelolaan limbah baja berdasarkan sub

elemen pendapat pakar lingkungan diposisikan pada sektor IV (independent) yang

menyatakan pabrik baja (1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman

(3), dan pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas,

hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar namun memiliki

sedikit ketergantung terhadap program.

6. Strategi kebijakan dalam pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan

membuat submodel pemecahan masalah meliputi submodel penduduk, pesisir

laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause

loop) dan struktur model dengan bantuan program powersim yang

memperlihatkan hasilnya trend meningkat maupun menurun, seperti yang

diperlihatkan baik melalui tabel dan grafik pada sub model pengelolaan limbah

baja.

7.5.2 Saran

Sebagai saran dalam model strategi pengelolaan limbah, adalah berikut:

1. Hendaknya perusahaan dapat menentukan strategi pengelolaan limbah

berdasarkan pemilihan prioritas, parameter kunci, dan mengembangkan model-

modelnya.

2. Agar perusahaan memperhatikan secara kontinu melakukan strategi pengelolaan

limbah baja dengan cara menganalisis baku mutu limbah baja yang pengaruhnya

terhadap kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir dari pencemaran lingkungan.

Page 197: Limbah Padat Baja

173

Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Brown, B.E. 1997. Integrated Coastal Management. South Asia. University of Newcastle Upon Tyne. United Kingdom.

Dahuri, R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.

Eriyanto. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid satu. IPB Press. Bogor.

Handoko, I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamic for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Marimin. 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.

Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.

Ottosson, S. and E. Bjorg. 2003. Research on Dynamic Systems-Some Considerations. Technovation 24: 863 – 869.

Sargent, RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of the 1998 Winter Simulation Conference. D.J. Medeiros, E.F. Watson. J.S. Carson and M.S. Manivannan, eds.

Saaty, TL. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.

Sjaifuddin. 2007. Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten. Jurnal Ilmu Perikanan dan Budidaya Perikanan. Vol. 4 No.1.

Sorensen, J. C. and Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of California of Barkeley.

Suryadi, K dan Ramdhani. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Zhijie, F. and R. P. Cote. 1990. Coastal Zone of Peoples Republic of China: Management Approaches and Institutions. Marine Policy.

Page 198: Limbah Padat Baja

VIII. IMPLIKASI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH

ABSTRAK

Kebijakan merupakan upaya untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan dalam pengelolaan limbah industri baja yang diinginkan mempengaruhi kerja unsur tertentu dari sebuah sistem yang sasarannya mempengaruhi unsur tertentu dari sistem, baik bersifat teknis maupun rutinitas yang umumnya bersifat jangka pendek dan terbatas. Tujuan dari kebijakan ini adalah Menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja berdasarkan hasil analisis struktur hirarki; Menganalisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis; Menganalisis prospektif kebijakan ke arah produktivitas. Metode yang digunakan pada kebijakan pengelolaan limbah industri baja adalah: Analisis kebijakan dengan metode AHP, Menganalisis dan sintesa terutama terhadap perubahan-perubahan nilai investasi. Hasil analisisnya, yaitu analisa kebijakan dengan metode AHP untuk menentukan 5 (lima) faktor tujuan pengelolaan limbah; memperoleh hasil analisis dan sintesa terhadap perubahan-perubahan nilai investasi seperti net present value analysis (NPV) terbesar adalah slurry CRM dengan nilai dana sebesar 21,306,917 USD dan benefit cost ratio (BCR) sebesar 3,7.

Kata kunci: Implikasi, Analisis kebijakan, Analisis sintesa

8.1 Pendahuluan

8.1.1 Latar Belakang

Kebijakan yang merupakan upaya untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan

dalam pengelolaan limbah industri baja yang diinginkan mempengaruhi kerja unsur

tertentu dari sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi unsur tertentu

dari sistem, maka tindakan tersebut bersifat teknis, bahkan rutinitas yang umumnya

bersifat jangka pendek dan terbatas. Arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja

dapat dilakukan dengan cara membuat analisis kebijakan, Menurut Muhammadi (2001),

analisis kebijakan merupakan pekerjaan intektual memilih dan mengelompokkan upaya

dan tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam

mempengaruhi suatu sistem mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut Sterner (2003), mengungkapkan terdapat beberapa altenatif kebijakan

untuk mengatasi permaslahan pengelolaan sumberdaya alam dann lingkungan yang dapat

dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu decentralized polices, command and control

polices, dan incentives-based polices. Decentralized polices merupakan kebijakan publik

yang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengelola masalah sendiri.

Page 199: Limbah Padat Baja

175

Sedangkan command and control polices merupakan kebijakan publik yang menuntut

perilaku masyarakat agar mematuhi standar pengelolaan yang telah ditetapkan di dalam

Undang-Undang. Begitu juga dengan incentives-based polices merupakan kebijakan

publik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan

melalui mekanisme changes and subsidies.

Kota Cilegon yang wilayahnya diperkirakan memiliki luas pesisir 11.520 ha

merupakan daerah bahari yang dilalui oleh kapal-kapal besar yang singgah di Pelabuhan

Merak maupun pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki oleh berbagai industri di wilayah

Kawasan Industri Krakatau Cilegon, namun menurut Douven (1999), Cilegon dan

Bojonegara merupakan penyumbang industri terbesar pertama dan kedua yang

mengalirkan limbahnya di Teluk Banten termasuk di wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon. Saat ini berbagai perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang

cukup pesat pada wilayah pesisir akan berakibat kepada intensitas penggunaan lahan

yang semakin tinggi dan kecenderungan meluasnya lahan untuk pemenuhan

kebutuhannya. Untuk menentukan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasaniindustri Krakatau Cilegon akan

berhasil bila didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaannya. Hal

ini dapat dilakukan dengan dukungan stakeholders yang memilki peran penting dari

berbagai pihak yang berkepentingan seperti faktor pendukung dan tujuan pengelolaan

yang ditentukan.

8.1.2 Tujuan kebijakan pengelolaan limbah

Tujuan kebijakan pengelolaan limbah industri baja, yaitu:

1. Menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja berdasarkan hasil analisis

struktur hirarki metoda AHP.

2. Menganalisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis dari NPV dan BCR.

8.2 Metoda Kebijakan Pengelolaan Limbah

Arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja berimplikasi pada metoda

kebijakan yang didasarkan dari hasil analisis kebijakan yang merupakan suatu aktivitas

untuk memperoleh pengertian dan pemahaman dalam upaya atau tindakan untuk

mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan.

Page 200: Limbah Padat Baja

176

Untuk melakukan analisis sintesa, para pakar berpendapat bahwa informasi dari

publikasi ilmiah, data dan model ilmiah, serta pengetahuan yang dimiliki untuk

melakuan kajian ilmiah dapat dijadikan sebagai sistem dalam upaya menjaga dan

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri dari pencemaran

lingkungan disekitarnya. Pendekatan ini oleh pakar digunakan untuk membuat suatu

dokumen sintesa yang merangkum hasil penelitian ilmiah dalam rangka menentukan

kebijakan atas dasar proses pengambilan keputusan dan perencanaan di dalam

pengelolaan limbah industri baja.

Sedangkan pada analisis prospektif dalam pengelolaan limbah industri baja di

wilayah pesisir digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan

terjadi di masa depan yang bertujuan untuk penataan dan pengelolaan limbah,

penggunakan teknologi IPAL, serta peraturan daerah (Perda) yang membuat peraturan

ketat agar kelangsungan kelestarian wilayah pesisir menjadi aman dan terkendali dari

gangguan pencemaran limbah terhadap lingkungan sekitarnya mengingat banyaknya

jenis-jenis industri yang berdiri di Kawasan Industri Krakatau Cilegon hingga terdapat 58

jenis industri yang sebagian besar adalah industri berat.

8.3 Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Limbah

Untuk mengkaji lebih dalam lagi, peneliti melakukan berbagai kebijakan

pengelolaan limbah melalui analisis kebijakan, dan analisis sintesa.

8.3.1 Analisis Kebijakan

Analisis pengelolaan limbah industri dalam upaya mempertahankan kelestarian

wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dapat dilakukan dengan

menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP). Dalam analisis pengelolaan

limbah ini terdapat 5 level pengambilan keputusan yang secara garis sebesar terdiri dari:

1) fokus pada strategi pengelolaan lingkungan; 2) tujuan upaya mempertahankan

kelestarian wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; 3) kriteria

untuk mencegah timbulnya limbah dan pencemaran serta kerusakan lingkungan; 4)

dukungan stakeholders dari berbagai pihak; dan 5) alternatif-alternatif kebijakan yang

memungkinkan dapat dilaksanakan.

Page 201: Limbah Padat Baja

177

Kebijakan pengelolaan lingkungan sampai sekarang belum holistik (antar

instansi) maupun integral (menyeluruh). Ketika terjadi persoalan lingkungan, instansi

mempunyai program sendiri-sendiri dan saling berbenturan akibatnya program-program

tersebut menjadi cuma-cuma (proyek semata). Sehubungan dengan permasalahan

tersebut, maka berdasarkan pengolahan limbah dengan menggunakan model AHP

Cdplus3.0 (Marimin, 2005) diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Faktor tujuan pengelolaan limbah

Untuk membuat strategi dan kebijakan model pengelolaan limbah industri baja

sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri

Krakatau Cilegon ini, diperlukan 6 (enam) faktor tujuan yang ingin dicapai pada

tingkat kepentingan dalam strategi dan kebijakan pengelolaan limbah baja ini.

Berdasarkan perhitungan dengan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 52.

Tabel 52. Urutan tingkat kepentingan faktor tujuan pengelolaan limbah baja

No. Faktor Tujuan Pengelolaan Limbah

1 2 3 4 5 6

Pemanfaatan kembali limbah Minimalisasi limbah Pencegahan pencemaran terhadap wilayah pesisir Upaya mempertahankan wilayah pesisir Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan Pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat

2. Hierarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (tujuan)

Hierarki kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon

ditentukan berdasarkan faktor pendukung (tujuan). Hasil pengolahan dengan

menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 53.

Page 202: Limbah Padat Baja

178

Tabel 53. Hierarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung

Faktor Kriteria Pengelolaan Limbah Baja

Faktor Pendukung (Tujuan)

Timbulnya

limbah

Pencemaran & kerusakan lingkungan

Efisiensi material & energi

"Environmental equity"

Degradasi lingkungan

Ekosistem lingkungan

Daya dukung

lingkungan Pemanfaatan limbah kembali 0.402 0.153 0.050 0.118 0.062 0.117 0.098 Minimalisasi limbah 0.092 0.067 0.151 0.153 0.147 0.162 0.229

Pencegahan pencemaran pesisir 0.239 0.104 0.233 0.088 0.121 0.152 0.062 Upaya menpertahankan kelesterian wilayah pesisir 0.219 0.119 0.085 0.088 0.140 0.254 0.096 Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingk dan berkelanjutan 0.170 0.149 0.051 0.277 0.050 0.199 0.104 Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat 0.297 0.216 0.161 0.101 0.090 0.055 0.079 Results 0.237 0.135 0.122 0.138 0.102 0.157 0.111

Berdasarkan Tabel 53 tersebut di atas, memperlihatkan bahwa faktor pendukung

tujuan paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini

adalah: (1) Pemanfaatan limbah kembali memberi nilai tertinggi pada faktor kriteria

timbulnya limbah dengan nilai 0,402, (2) Minimalisasi limbah memberi nilai pada

faktor kriteria degradasi lingkungan dengan nilai 0,247 dan faktor kriteria daya

dukung lingkungan dengan nilai 0,229, (3) Pencegahan pencemaran pesisir

memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria efisiensi material dan energi

dengan nilai 0,233, (4) Upaya mempertahankan pesisir memberikan nilai tertinggi

terdapat pada faktor kriteria ekosistem lingkungan dengan nilai 0,254, (5) Kebijakan

mengelola limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan memberikan

nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria "Environmental equity" dengan nilai

0,277, (6) Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat dengan memberikan

nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria pencemaran & kerusakan lingkungan

dengan nilai 0,216.

3. Hierarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (kriteria)

Hierarki aktor model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon

ditentukan berdasarkan faktor pendukung (kriteria). Hasil pengolahan dengan

menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 54.

Page 203: Limbah Padat Baja

179

Tabel 54. Hierarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung

Faktor Aktor Pengelolaan Limbah Baja

Faktor Pendukung (Kriteria) Pemerintah Daerah

Industri penghasil

baja

Divisi K3LH PT. KS

Masyarakat sekitar

Lembaga Swadaya

Masyrakat

Peneliti/ Pakar

Tmbulnya limbah 0.301 0.168 0.222 0.118 0.107 0.083

Pencemaran dan kerusakan lingkungan 0.403 0.219 0.157 0.074 0.074 0.074 Efisiensi material dan energi 0.335 0.248 0.155 0.099 0.094 0.068

"Environmental Equity” 0.313 0.162 0.203 0.119 0.129 0.075 Degradasi lingkungan 0.293 0.238 0.178 0.124 0.105 0.063

Ekosistem lingkungan 0.353 0.187 0.192 0.092 0.100 0.076

Daya dukung lingkungan 0.312 0.244 0.155 0.121 0.091 0.078

Results 0.330 0.209 0.180 0.107 0.100 0.074

Berdasarkan Tabel 54 tersebut di atas, menunjukkan bahwa faktor pendukung

kriteria paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini

terdapat 5 (lima) faktor pendukung yang memiliki nilai tertinggi dari 7 (tujuh) faktor

pendukung (kriteria) yaitu: (1) Timbulnya limbah memberi nilai tertinggi pada faktor

aktor adalah Divisi K3LH PT. Krakatau Steel dengan nilai 0,403 dan Peneliti/Pakar

dengan nilai 0,083, (2) Pencemaran dan kerusakan lingkungan memberi nilai pada

faktor aktor adalah pemerintah daerah dengan nilai 0,403, (3) Efisiensi material dan

energi memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor aktor adalah Industri

penghasil baja dengan nilai 0,248, (4) "Environmental equity” memberikan nilai

tertinggi terdapat pada faktor aktor adalah lembaga swadaya masyarakat dengan nilai

0,129, (5) Degradasi lingkungan dengan memberikan nilai tertinggi terdapat pada

faktor aktor adalah masyarakat sekitar dengan nilai 0,124.

4. Hierarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (aktor)

Hierarki alternatif model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon

ditentukan berdasarkan faktor pendukung (aktor). Hasil pengolahan dengan

menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 55.

Page 204: Limbah Padat Baja

180

Tabel 55. Hierarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung

Faktor Alternatif Pengelolaan Limbah Baja

Faktor Pendukung (Aktor)

Perubahan Bahan Baku

Perubahan proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Penerapan 5 R

Lingkungan

Mengurangi Limbah

Memakai kembali Limbah

Mendaur ulang

Limbah

Mengganti Limbah

Lembaga Swadaya Masyrakat 0.295 0.142 0.160 0.111 0.074 0.068 0.077 0.073 Masyarakat sekitar 0.283 0.187 0.130 0.115 0.098 0.053 0.067 0.067

Divisi K3LH PT. Krakatau Steel 0.297 0.127 0.169 0.125 0.117 0.059 0.06 0.045 Industri Penghasil Baja 0.252 0.114 0.203 0.091 0.095 0.091 0.096 0.058 Peneliti/ Pakar 0.223 0.159 0.195 0.141 0.052 0.058 0.078 0.093

Pemerintah Daerah 0.306 0.139 0.161 0.100 0.078 0.062 0.069 0.086

Results 0.276 0.145 0.170 0.114 0.086 0.065 0.075 0.070

Berdasarkan Tabel 55 tersebut di atas, memperlihatkan bahwa faktor pendukung

aktor paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini,

terdapat 5 (lima) faktor pendukung yang memiliki nilai tertinggi dari 6 (enam) faktor

pendukung (aktor) yaitu: (1) Masyarakat sekitar memberi nilai tertinggi pada faktor

alternatif Perubahan proses dan Teknologi dengan nilai 0,187, (2) Divisi K3LH PT.

Krakatau Steel memberi nilai pada faktor alternatif Mengurangi limbah dengan nilai

0,117, (3) Industri penghasil baja memberikan nilai tertinggi terdapat pada 3 (tiga)

faktor alternatif yaitu: Perubahan produk dengan nilai 0,203, Memakai kembali

limbah dengan nilai 0,091, dan Mendaur ulang limbah dengan nilai 0,096, (4)

Peneliti/Pakar memberikan nilai tertinggi terdapat pada 2 (dua) faktor alternatif

Penerapan 5 R lingkungan dengan nilai 0,141, dan Mengganti limbah dengan nilai

0,093, (5) Pemerintah daerah memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor

alternatif Perubahan bahan baku dengan nilai 0,306. Dari tabel 41 juga, terdapat

dominasi faktor pendukung (aktor) terhadap 3 (tiga) faktor alternatif strategi dan

kebijakan pengelolaan limbah baja.

8.3.2 Sintesa

Pengelolaan limbah baja secara terpadu yang melibatkan Pemerintah daerah,

dunia usaha, serta stakeholders lainnya, untuk membentuk kelompok kerja yang

melakukan analisis terhadap: (1) Kondisi dan kecenderungan ekosistem, serta

kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; (2) Skenario perubahan masa depan pada

Page 205: Limbah Padat Baja

181

ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; (3) Respons terhadap

pelestarian ekosistem yang lebih baik dan terhadap peningkatan peran ekosistem untuk

kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; dan (4) Penilaian sub-global terhadap

konsekuensi perubahan ekosistem untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.

Para pakar maupun ilmuan dapat melakukan analisis sintesa informasi dari

publikasi ilmiah, data dan model ilmiah, serta menggunakan pengetahuan yang dimiliki

untuk dapat berpartisipasi melakuan kajian ilmiah dalam upaya menjaga dan

mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri akibat adanya limbah

yang mencemari maupun merusak lingkungan sekitarnya. Pendekatan yang digunakan

oleh pakar yaitu membuat suatu dokumen sintesa singkat yang merangkum seluruh hasil

kajian ilmiah dan siap digunakan oleh para penentu kebijakan atas dasar untuk

menyebarluaskan penemuan, metoda, data dan perangkat yang dapat digunakan dalam

proses pengambilan keputusan dan perencanaan di dalam pengelolaan limbah industri

baja. Untuk itu perlu dilakukan sintesa hasil penelitian, yakni analisis logam berat dan

analisis investasi pengelolaan limbah baja.

8.3.2.1 Analisis Logam Berat

Untuk menganalisis logam berat di perairan wilayah pesisir ini terutama pada air,

sedimen, biota air yaitu walaupun logam berat dalam air tidak terdeteksi, tetapi dalam

sedimen tinggi apalagi jika dilihat organ tubuh kerang. Hal ini memperlihatkan bahwa

konsentrasi bahan pencemar yang berasal dari insang dan hepatopankreas (hati) yang

jumlahnya kecil dalam air harus tetap diwaspadai karena bahan pencemar tersebut, dalam

hal ini terutama bahan B3 yang berasal dari kegiatan industri di Kawasan Industri

Krakatau Cilegon terutama yang berasal dari kegiatan pabrik baja dapat terakumulasi

pada sedimen dan biota air, sehingga dapat mengakibatkan kelestarian wilayah pesisir

disekitar industri Krakatau Cilegon akan terganggu.

8.3.2.2 Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

Untuk pengelolaan limbah industri baja ini, para pakar menilai, bahwa model

penanganan limbah baja terdapat 2 (dua) opsi skenario. Skenario pertama, perusahaan

dapat mengolah limbah baja menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (value

added). Opsi ini, perusahaan harus mengeluarkan dana untuk investasi awal yang cukup

Page 206: Limbah Padat Baja

182

besar dalam arti perusahaan mendirikan pabrik baru dengan bahan substitusi (campuran)

limbah. Berapa negara seperti Jepang sudah memanfaatkan limbah baja untuk bahan

substitusi (campuran) membuat produk tersebut, seperti batako, genteng, paving block,

lantai keramik, dan sebagainya. Skenario kedua, perusahaan dapat menjual langsung

limbah yang dihasilkan oleh pabrik saat beroperasi proses produksi. Opsi ini telah

dilakukan oleh perusahan dengan cara menjual limbah baja ke perusahaan lain di dalam

dan luar negeri. Setiap bulannya perusahaan dapat menjual + 3.000 ton untuk pabrik

semen di Indonesia dan pabrik baja di negara Cina. Skenario opsi kedua dianggap

mendukung program lingkungan bersih, karena secara berangsur-angsur limbah yang

berada di area penampungan semakin berkurang, maka sejak tahun 2007 perusahaan

memulai melaksanakan penanganan limbah baja dengan cara menjual.

Analisis sistesa model pengelolaan limbah industri baja dapat dilakukan dengan

penetapan prioritas penanganan limbah baja terpakai yang didasarkan atas hasil

perhitungan. Hal ini dapat dilakukan untuk penetapan prioritas penanganan jenis limbah

baja yang dihasilkan oleh masing-masing pabrik baja yang berada di Cilegon dengan

memiliki karakteristik jenis limbah baja berbeda-beda, sehingga diperlukan analisis dan

sintesa terutama terhadap perubahan-perubahan nilai investasi seperti net present value

analysis dan benefit cost ratio analysis.

Hasil analisis investasi pengelolaan limbah baja yang diuraikan pada bab

sebelumnya diperoleh estimasi nilai manfaat (benefit) dari komponen debu EAF BSP,

debu EAF SSP1, debu EAF SSP2, sludge DR, sludge WRM, slurry CRM, shipping

bernilai 1.885.022 USD, sedangkan nilai biaya (cost) adalah 391.077 USD.

Analisis investasi dari NPV dan BCR (Helfert, 1997 dan Perman, 2003)

berdasarkan hasil perhitungan untuk masing-masing jenis limbah baja, seperti yang

disediakan pada Tabel 59.

Page 207: Limbah Padat Baja

183

Tabel 59. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan limbah industri baja

No. Jenis Limbah NPV (USD) BCR

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM

10,929,328 20,722,145 17,087,813 4,588,718

2,275,133 21,306,917

3,6 3,6 3,6 3,7 3,7 3,7

Berdasarkan Tabel di 59 atas menunjukkan bahwa nilai benefit cost ratio (BCR)

masing-masing jenis limbah baja nilai >1, maka keputusan pengelolaan limbah industri

baja dengan opsi menjual limbah baja langsung ke konsumen dianggap sangat

menguntungkan. Sedangkan menurut Damanhuri (1997), limbah baja yang bertumpuk di

area penampungan limbah perlu dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai

tambah (added value) artinya perusahaan dapat mengolah kembali menjadi produk yang

sejenis atau tidak sejenis, namun dalam penanganan limbah baja ini memerlukan

investasi awalnya cukup besar.

8.4 Kesimpulan dan Saran

8.4.1 Kesimpulan

Implikasi arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja dapat disimpulkan

dalam 3 bagian, yaitu:

1. Analisis kebijakan menentukan hirarki kebijakan pengelolaan limbah baja dengan

metoda AHP Cdplus 3.0, dapat mengungkap hal-hal yang menjadi fokus, tujuan,

kriteria, aktor, dan alternatif.

2. Analisis sintesa untuk menghitung penilaian investasi NPV dan BCR dengan rasio >

1, berarti pengelolaan limbah baja sangat menguntungkan nilai investasinya.

8.4.2 Saran

Sebagai saran dalam implikasi arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja ini

yaitu:

1. Agar manajemen perusahaan dalam menentukan arah kebijakannya harus

melibatkan steakeholder dalam program pengelolaan limbah.

Page 208: Limbah Padat Baja

184

2. Perlu dibuat kebijakan pengelolaan limbah baja oleh perusahaan lebih mengarah

pada peningkatan produktivitas hasil produksi dengan program minimasi timbulnya

limbah.

Daftar Pustaka

Douven, WJAM.1999. Human Pressure on Marine Ecosystems in The Teluk Banten Coastal Zone: Present Situation and Future Prospects. Teluk Research Program Report Series 3: 1 – 38.

Marimin. 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.

Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.

Perman, R, Y Ma, J McGilvray, and M Common. 2003. Natural Resource and Environmental Economic., Pearson. Addison Wesley.

Saaty, TL. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.

Sterner, T. 2003. Policy Instrument for Environmental and Natural Resource Mangement. Resources for the Future. RFF Press. W shington, DC.

Page 209: Limbah Padat Baja

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, M. 2001. Pokok-Pokok Teori Sistem, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Anderson,, JA.1977. An Overview of Modelling in Agricultural Management Review of Marketing and Economic. Vol. 40, No. 3, pp. 111 – 121.

Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Bateman, BW. 1997. Light-Gauge Steel Verses Conventional Wood Framing In Residential Construction. Journal of Construction Education by the Associated Schools of Construction Vol. 2, No. 2, pp. 99 – 108

Bergh, J and CJM Ven Den. 2002. Handbook of Environmental and Resaource Economics. MPG Books Ltd. Bodmin. Cornwall.

Bertram, P., C. Forst and P. Horvatin. 2005. Ecology, Health and Management. Ecovision World Manograh Series. State of Lake Michigan. pp 505 – 519.

Brown, B.E. 1997. Integrated Coastal Management. South Asia. University of Newcastle Upon Tyne. United Kingdom.

Chini A. and K.Gupta. 1997. A Comparison Between Steel and Wood Residential Framing Systems. The Associated Schools of Construction Vol. 2, No. 2, pp. 133 – 145.

Clark, RB. 1996. Marine Pollution. Clarendon Press. Oxford University Press. New York.

Dahur,i R, J Rais, P Ginting dan MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.

Dahuri R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.

Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Damanhuri, E. dan Tim. 1997. Studi Pengelolaan Limbah Industri PT. Krakatau Steel. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel. Cilegon

Darmono, 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta.

Davisna K. 1995. Human Relation at Work. McGraw Hill Book Company. New York.

Djajadiningrat, ST. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan, Penerbit Studi Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri, ITB.

Djajadiningrat, ST. 1997. Pengantar Ilmu Lingkungan. LP3ES. Jakarta

Douven, WJAM.1999. Human Pressure on Marine Ecosystems in The Teluk Banten Coastal Zone: Present Situation and Future Prospects. Teluk Research Program Report Series 3: 1 – 38.

Page 210: Limbah Padat Baja

188

Douven, WJAM, DA Tiwi and J Heun. 2000. Integrated Research to Support Coastal Zone Management in Banten Bay. Indonesia Journal of Coastal and Marine Resource Management 3: 1.

Dungan, RS and NH Dees. 2006. Metals in Waste Foundry Sands: Assessment with Earthworms. Journal of Residuals Science & Technology 3:177-184.

[EPA]. 2001. Update of Ambien Water Quality Criteria for Cadmium. http://w.w.w. epa.gov

Eriyanto. 1998. Analisa Sistem Industri Pangan, PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Eriyantos. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid satu. IPB Press. Bogor.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fauzi, A. dan Buchary, E. 2002. A Socio-Economic Perspective of Environmental Degredation at Kepulauan Seribu Nasional Marine Park. Coastal Management Journal. Vol. 30 (2): 167 – 181.

Fentona MD. 1998. Iron and Steel Recycling in the United States in 1998. U.S. Departement of The Interior. U.S. Geological Survey.

Field BC and MK Field. 2002. Environmental Economics: An Introduction. McGraw-Hill Irwin. Landon

Galeottib BSL, F Lombardi, E Mogensen, and P Sirini. 1997. Mass Balance and Heavy Metals Distribution in Municipal Solid Waste Incineration. The Journal of solid waste Technology and Management. Volume 24 Number 1. Rome. Italia.

Handokos I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamic for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Helfert, E. 1997. Techniques of financial Analysis. Irwin Professional Publishing.

Heal, G. (1988). Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York.

Hisrich RD and MP Peters. 1991. Marketing Decision for New and Mature Product. McMillian Publishing Co. New York.

Horiguchi.T, M.Kojima, F. Hamada, A. Kajiwaha, H. Shiraishi, M. Morita and H. Shimizu. 2006. Impact Tributiltin and Tripeniltin on Evory Shell (Babylonia Japonika Population). Environmental Health Prospective. Vo. 114 Suplement.

[IAEA]. 1996. Irradiation treatment of water, wastewater and sludge. IAEA.Vienna. Austria.

Kallio R and M Makikyro. 2005. The Untilization and Status of Steel Industri Slags: A Perspective from Finland. The Journal of waste Tchnology and Management. Volume 32 Number 2. Finland.

[KMNKLH]. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1991. Nomor: KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan yang sudah beroperasi.

Knuteson, SL, T Whitwell and SJ Klaine. 2002. Influence of Plant Age and Size on Simazine Toxicity and Uptake. American Society of Agronomy, Crop Science

Page 211: Limbah Padat Baja

189

Society of America, and Soil Science Society of America. Journal of Environmental Quality 31:2096-2103

Koenafi, K.D. dan Herto D.A. 2000. Potensi Bioakumulasi Logam Berat di Perairan Sekitar Kepulauan Seribu. Studi Kasus Pulau Kelapa. Jurnal Taksikologi Indonesia Vol. 1 No. 2. 2000. h. 16 – 21.

[Law]. 1981. Law EA 1981 Aquatic Pollution, John Wiley and Sons. New York.

Maduka HC. 2006. Water Pollution and Man's Health. Department Of Biochemistry College Of Medical Sciences University Of Maiduguri Borno State Nigeria. The Internet Journal of Gastroenterology. Volume 4 Number 1.

Marimin, 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.

Marimin, 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.

McDonald, RB. 2005. Managing Marine Misbehavior: Good Science, Good Policy, Bad Human. Journal of International Affairs (59).

McFarlane, HF, KM Goff, FS Felicione, CC Dwight, and DB Barber. 1997. Hot Demonstrations of Nuclear Waste Processing Technologies. The Journal JOM, The Minerals, Metals & Materials Society. North Carolina State University, pp. 14-21, 83

Miller GT. 1991. Environmental Science; Sustaning the Earth, Wadswort Publishing Co. California. USA.

Moberly, H.K. 1997. Alternatives to Waste Disposal, Rural Information Center Publication Series, No. 58 Revised Edition. The Pennsylvania State University

Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.

Mulyowahyudi, A. 2005. KS-Review: Steel as National Power. PT. Krakatau Steel. Cilegon

Murdick, RG and JE Ross. 1982. Information Syatem for Modern Management Ed. 2nd. Prentice-Hall. India, New Delhi.

Newnan, D. G. 1990. Engineering Economic Analysis. Third Edition. Engineering Press Inc. California.

Nurdin, HM dan Tim. 1992. Penanganan Limbah di Pabrik Baja Canai Dingin, Audit Lingkungan. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel Cilegon.

Ottosson, S. and E. Bjorg. 2003. Research on Dynamic Systems-Some Considerations. Technovation 24: 863 – 869.

Perman, R, Y Ma, J McGilvray, and M Common. 2003. Natural Resource and Environmental Economic., Pearson. Addison Wesley.

[PPRI]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.18 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Quano. 1993. Training Manual on Assement of the Quantity and Type of Land Based Pollution Discharge into the Marine and Coastal Environment.UNEP. Bangkok.

Page 212: Limbah Padat Baja

190

Rachmansyah, PR Dalfiah, Pongmasak dan T Ahmad.1998. Uji Toksisitas Logam Berat terhadap Benur Udang Windu dan Nener Bandeng. Jurnal Perikanan Indonesia. 4(1): 55-56.

Riani, E., S.H. Sutjahjo, dan Firmansyah. 2004. Analisa Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB dengan Pemprov. DKI Jakarta.

Rodriguez, V, D Aguirre de Cárcer, V Loza, E Perona and P Mateo. 2007. A Molecular Fingerprint Technique to Detect Pollution-Related Changes in River Cyanobacterial Diversity. Departamento de Biología, Universidad Autónoma de Madrid, Spain. Published in Journal of Environmental Quality 36:464-468

Samsudin, A.R, B Elwali AR, W Zuhairi WY, and U Hamzah. 2006. Mapping of contamination plumes at municipal solid waste disposal sites using geoelectric imaging technique: Case studies in Malaysia, Journal of Spatial Hydrology Vol.6, No.2, School of Environment & Natural Resources Sciences, Faculty of Science & Technology National University of Malaysia

Saaty, T.L. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.

Salim, E. 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.

Sargent, R.G. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of the 1998 Winter Simulation Conference. D.J. Medeiros, E.F. Watson. J.S. Carson and M.S. Manivannan, eds.

Sax, N.I. 1957. Dangerous Properties of Industrial Materials. Reinhold Publishing Co. New York.

Sheehan, B. 2000. Zero Wast., Recycling and Climate Change. Grass Roots Recycling Network. The United States.

Shuang-Ling, C. 2004. Preventing Corrosion in Steel Bridges, Published in the Journal of Protective Coatings and Linings. The State University of New Jersey.Vol. 68 No. 2, pp.42.

Sorensen, J. C. and Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of California of Barkeley.

Sjaifuddin. 2008. Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan.Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajaran Vol.3 No.1.

[SKEPHI]. 1992. Memahami KTT Bumi: Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan. Rio De Janeiro. Brazil.

Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Solomon, C. 1994. Slag-Iron and Steel. Journal of 29. No. 5. pp. 71-74

Sterner, T. 2003. Policy Instrument for Environmental and Natural Resource Mangement. Resources for the Future. RFF Press. W shington, DC.

Sumirat, J. 2003. Taksikologi Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Suratmo, F.G. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Page 213: Limbah Padat Baja

191

Suryadi, K dan Ramdhani. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Thale, C. 1994. Waste Disposal. Journal of Historical Geography 20.2, pp.124–142.

[UNEP]. 1993. Water Quality Assement Edition by Chapman. Chapman and Hall Ltd. London.

[UURI]. Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Waldichuk, M. 1974. Some Biological Concerns in Heavy Metals Pollution. Dalam: Pollution and Physiology of Marine organism. Vernberg and Vernberg (Ed.). Academic Press. London.

[WCED] The World Commission on Environment and Development. 1988. “Our Common Future terjemahan Hari Depan Kita Bersama”. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Williams, J. 1979. Introduction to Marine Pollution Control. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Yim, M.S. and KL Murty. 2000. Materials Issues in Nuclear-Waste Management. Journal JOM, The Minerals, Metals & Materials Society. North Carolina State University, pp. 26-29.

Zhijie, F. and R. P. Cote. 1990. Coastal Zone of Peoples Republic of China: Management Approaches and Institutions. Marine Policy.

Page 214: Limbah Padat Baja

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 215: Limbah Padat Baja

192

Lampiran 1. Daftar Istilah (GLOSSARY) AHP : Analytical Hierarchy Process , berlandaskan pada pola pikir

manusia yang sistematis guna menghadapi kompleksitas yang ditangkapnya, sehingga diwujudkan dalam suatu metode yang merumuskan masalah dalam bentuk hirarki dan pertimbangan-pertimbangan dimasukkan guna menghasilkan skala prioritas.

AME : Absolute Mean Error adalah penyimpangan (deviasi) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual

Artritis : Penyakit radang dan sejenisnya

APE Environmental Protection Agence

AVE : Absolute Variance Error adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktua

Baku mutu : Batas aman dari bahan yang membahayakan

BCR : Benefit Cost Ratio digunakan untuk menentukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki di wilayah pesisir laut secara lebih efisien, terutama digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan

BPS : Badan Pusat Statistik

Daya dukung lingkungan

: Kemampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup sampai memenuhi ambang batas sebelu terjadi degradasi.

Dermatitis : Penyakit kulit dan sejenisnya

IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah

ISM : Interpretative Structural Modelling, merupakan proses pengkajian kelompok di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

MARR Minimum Attractive Rate of Return, merupakan mengembalian dana yang telah dikeluarkan dengan suku bunga (1 % - 2 %) diatas suku bunga bank Indonesia (SBI) yang berlaku

Model : Simplikasi dari sistem yang dihadapi

NPV

:

Net Present Value ini bertujuan agar semua investasi,

Page 216: Limbah Padat Baja

193

pengeluaran dan penerimaan yang terbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai umur ekonomis proyek dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan

Pemodelan Sistem Dinamis

: Proses dan kecepatan/kelambatan waktu yang diperlukan sistem dalam bentuk simpal-simpal (loops) umpan balik, yang menunjukkan struktur dan mekanisme dinamis mempengaruhi proses nyata dalam menciptakan kejadian nyata

Pesisir : Jangkauan lebih luas selain perairan laut, darat dan rawa serta kawasan pasang laut estuari (pembatas darat dan laut).

Reduce : Sebisa mungkin meminimalisasi barang atau material yang digunakan karena semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.

Reuse : Sebisa mungkin memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali dan menghindari pemakaian barang yang disposable (sekali pakai, buang)

Recycle : Sebisa mungkin, barang-barang yang sudah tidak berguna lagi didaur ulang.

Replace : Teliti barang yang dipakai sehari-hari. Ganti barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama.

Toksisitas : Kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organn yang rentan terhadapnya

TBC : Tuberculosis

TCLP : Toxicity Characteristic Lleaching Prosedur, Tujuan pengujian ini adalah untuk mengevaluasi jumlah komponen limbah yang terlepas kembali dari limbah baja yang telah disolidifikasi akibat pengaruh air yang bersifat asam.

Page 217: Limbah Padat Baja

Lampiran 2.1 Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Debu EAF BSPTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 176.779,2 2 0,7561 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 406.575,9 3 0,6575 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 609.863,9 4 0,5718 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 813.151,8 5 0,4972 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.016.439,8 6 0,4323 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.219.727,7 7 0,3759 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.423.015,7 8 0,3269 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.626.303,6 9 0,2843 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.829.591,6

10 0,2472 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 2.032.879,5 10.929.328,5

Lampiran 2.2Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Debu EAF SSP1 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 331.980,5 2 0,7561 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 763.524,6 3 0,6575 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.145.286,9 4 0,5718 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.527.049,2 5 0,4972 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.908.811,5 6 0,4323 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 2.290.573,8 7 0,3759 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 2.672.336,1 8 0,3269 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.054.098,4 9 0,2843 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.435.860,7

10 0,2472 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.817.623,0 20.722.144,7

Page 218: Limbah Padat Baja

Lampiran 2.3 Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Debu EAF SSP2Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 274.381,8 2 0,7561 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 631.053,0 3 0,6575 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 946.579,5 4 0,5718 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.262.106,0 5 0,4972 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.577.632,5 6 0,4323 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.893.159,0 7 0,3759 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.208.685,5 8 0,3269 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.524.212,0 9 0,2843 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.839.738,5

10 0,2472 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 3.155.265,0 17.087.812,8

Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Sludge DRTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 76.290,1 2 0,7561 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 175.460,3 3 0,6575 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 263.190,5 4 0,5718 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 350.920,6 5 0,4972 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 438.650,8 6 0,4323 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 526.380,9 7 0,3759 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 614.111,1 8 0,3269 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 701.841,2 9 0,2843 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 789.571,4

10 0,2472 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 877.301,5 4.588.718,2

lampiran 2.4

Page 219: Limbah Padat Baja

Lampiran 2.5 Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Sludge WRM Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 39.623,3 2 0,7561 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 91.130,0 3 0,6575 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 136.695,0 4 0,5718 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 182.260,0 5 0,4972 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 227.825,0 6 0,4323 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 273.390,0 7 0,3759 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 318.955,0 8 0,3269 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 364.520,0 9 0,2843 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 410.085,0

10 0,2472 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 455.650,0 2.275.133,3

Lampiran 2.6Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Slurry CRMTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih

[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 341.248,3 2 0,7561 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 784.839,6 3 0,6575 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.177.259,4 4 0,5718 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.569.679,2 5 0,4972 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.962.099,0 6 0,4323 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 2.354.518,8 7 0,3759 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 2.746.938,6 8 0,3269 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.139.358,4 9 0,2843 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.531.778,2

10 0,2472 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.924.198,0 21.306.917,5

Page 220: Limbah Padat Baja

Lampiran 3.1 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Debu EAF BSPTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 310.218,5 86.418,0 3,6 2 0,7561 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 356.786,1 99.390,4 3,6 3 0,6575 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 410.290,5 114.295,2 3,6 4 0,5718 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 471.783,8 131.425,5 3,6 5 0,4972 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 542.570,4 151.144,6 3,6 6 0,4323 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 624.025,0 173.835,5 3,6 7 0,3759 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 717.653,6 199.917,8 3,6 8 0,3269 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 825.224,8 229.884,1 3,6 9 0,2843 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 948.877,9 264.330,3 3,6

10 0,2472 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 1.091.286,4 304.001,2 3,6

Lampiran 3.2 Analisa Penilaian Benefit Cost Ratio Limbah Debu EAF SSP1 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 582.571,3 162.287,7 3,6 2 0,7561 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 670.022,5 186.649,1 3,6 3 0,6575 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 770.500,4 214.639,4 3,6 4 0,5718 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 885.981,1 246.809,0 3,6 5 0,4972 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.018.913,9 283.840,3 3,6 6 0,4323 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.171.880,6 326.452,5 3,6 7 0,3759 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.347.709,5 375.433,4 3,6 8 0,3269 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.549.721,6 431.708,2 3,6 9 0,2843 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.781.934,6 496.396,1 3,6

10 0,2472 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 2.049.368,9 570.895,6 3,6

Page 221: Limbah Padat Baja

Lampiran 3.3 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Debu EAF SSP2 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 481.483,4 134.127,5 3,6 2 0,7561 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 553.760,1 154.261,7 3,6 3 0,6575 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 636.803,0 177.395,1 3,6 4 0,5718 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 732.245,5 203.982,7 3,6 5 0,4972 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 842.111,8 234.588,3 3,6 6 0,4323 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 968.535,7 269.806,4 3,6 7 0,3759 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.113.854,7 310.288,1 3,6 8 0,3269 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.280.813,7 356.798,1 3,6 9 0,2843 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.472.733,0 410.261,3 3,6

10 0,2472 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.693.762,1 471.833,7 3,6

Lampiran 3.4 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Sludge DRTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 132.403,4 35.403,5 3,7 2 0,7561 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 152.278,8 40.718,0 3,7 3 0,6575 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 175.114,8 46.824,2 3,7 4 0,5718 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 201.360,6 53.842,1 3,7 5 0,4972 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 231.572,8 61.920,6 3,7 6 0,4323 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 266.338,2 71.216,5 3,7 7 0,3759 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 306.299,5 81.901,8 3,7 8 0,3269 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 352.211,7 94.178,3 3,7 9 0,2843 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 404.987,7 108.290,2 3,7

10 0,2472 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 465.768,6 124.542,5 3,7

Page 222: Limbah Padat Baja

Lampiran 3.5 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Sludge WRMTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 68.767,2 18.387,8 3,7 2 0,7561 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 79.090,1 21.148,0 3,7 3 0,6575 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 90.950,6 24.319,4 3,7 4 0,5718 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 104.582,0 27.964,3 3,7 5 0,4972 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 120.273,5 32.160,1 3,7 6 0,4323 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 138.329,9 36.988,2 3,7 7 0,3759 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 159.084,9 42.537,9 3,7 8 0,3269 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 182.930,6 48.914,0 3,7 9 0,2843 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 210.341,2 56.243,4 3,7

10 0,2472 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 241.909,4 64.684,5 3,7

Lampiran 3.6 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Slurry CRM Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun

Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR

[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 592.244,7 158.361,1 3,7 2 0,7561 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 681.148,0 182.133,1 3,7 3 0,6575 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 783.294,3 209.446,1 3,7 4 0,5718 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 900.692,5 240.837,4 3,7 5 0,4972 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.035.832,7 276.972,6 3,7 6 0,4323 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.191.339,3 318.553,8 3,7 7 0,3759 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.370.087,8 366.349,6 3,7 8 0,3269 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.575.454,3 421.262,8 3,7 9 0,2843 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.811.523,0 484.385,5 3,7

Page 223: Limbah Padat Baja

10 0,2472 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 2.083.398,1 557.082,5 3,7

Page 224: Limbah Padat Baja

200

Lampiran 4. Compound Interest Factors

Page 225: Limbah Padat Baja

201

Lampiran 5. Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP)

KUESIONER ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI

UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON

SURVEI PAKAR

No. Responden : ........................................................................... .......

Nama Responden : ………………………………………………………

Umur : ………………………………………………………

Jenis Kelamin : ………………………………………………………

Pendidikan terakhir : ………………………………………………………

Jabatan Responden : ………………………………………………………

Alamat Responden : ………………………………………………………

………………………………………………………

HP. : ..................................................................................

Kabupaten / Kota : ……………………………………………………...

Tanggal Wawancara : ………………………………………………………

Pewawancara : ………………………………………………….......

Oleh:

Ja’far Salim P.062050534

PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 226: Limbah Padat Baja

206

Tabel 5.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Pemanfaatan Kembali Limbah.

Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah

kiri lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah “Environment Equity” Timbulnya Limbah Degradasi Lingkungan Timbulnya Limbah Ekosistem Lingkungan Timbulnya Limbah Daya Saing Produk Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

“Environment Equity”

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingkungan

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingkungan

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi “Environment Equity”

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingkungan

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingkungan

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan “ Environment Equity” Degradasi Lingkungan

“Environment Equity” Ekosistem Lingkungan

“Environment Equity” Daya Dukung

Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingkungan Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

Page 227: Limbah Padat Baja

207

Tabel 5.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Minimalisasi Limbah.

Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri

lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung

Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Environment Equity

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung

Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

Page 228: Limbah Padat Baja

208

Tabel 5.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Mencegah Pencemaran Pesisir.

Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri

lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung

Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Environment Equity

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung

Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

Page 229: Limbah Padat Baja

209

Tabel 5.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Mencegah Pencemaran terhadap Kesehatan Masyarakat.

Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah

kiri lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung

Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Environment Equity

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Saing Produk Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

Page 230: Limbah Padat Baja

210

Tabel 5.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Upaya Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir.

Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri

lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung

Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Environment Equity

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung

Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

Page 231: Limbah Padat Baja

211

Tabel 5.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Kebijakan Pengelolaan Limbah Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan.

Kolom Kiri

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Kriteria

kolom sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom

sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &

Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &

Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung

Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Efisiensi Material & Energi

Pencemaran & Kerusakan Lingk.

Environment Equity

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.

Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity

Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.

Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.

Efisiensi Material & Energi Daya Dukung

Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung

Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung

Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung

Lingkungan

3. Penentuan Bobot Aktor untuk Masing-Masing Kriteria model pengelolaan limbah

lndustri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.

Aktor-Aktor yang berperan dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:

a. Pemerintah Daerah (Pemda) b. Industri Penghasil Baja (IPB) c. Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (K3LH) d. Masyarakat Sekitar (Masyarakat) e. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) f. Peneliti/Pakar(Pakar)

Page 232: Limbah Padat Baja

212

Tabel 6. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Aktor dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, untuk setiap Kriteria

Nilai Skor Keterangan

1 Aktor yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Aktor yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Aktor lainnya. 5 Aktor yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding

Aktor lainnya 7 Aktor yang satu sangat penting dibanding Aktor lainnya 9 Aktor yang satu ekstrim pentingnya dibanding Aktor lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas Tabel 6.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Timbulnya Limbah.

Kolom Kiri

Diisi jika Aktor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Page 233: Limbah Padat Baja

213

Tabel 6.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.

Kolom

Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Tabel 6.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Efisiensi Material dan Energi.

Kolom

Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Page 234: Limbah Padat Baja

214

Tabel 6.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mendukung Prinsip ”Environment Equity”.

Kolom

Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Tabel 6.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Degradasi Lingkungan.

Kolom

Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Page 235: Limbah Padat Baja

215

Tabel 6.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Memelihara Ekosistem Lingkungan.

Kolom Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Tabel 6.7. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Memperkuat Daya Dukung Lingkungan.

Kolom

Kiri Diisi jika Aktor kolom

sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih

penting dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar

Page 236: Limbah Padat Baja

Lampiran 7. Hasil matriks pasangan Fokus - Tujuan analisis AHP model pengelolaan limbah baja Pemanfaatan Minimalisasi Pencegahan Pencegahan Upaya Kebijakan pengelolaan

Level kembal limbah limbah pencemaran pencemaran thp mempertahankan limbah berwws lingk. Weights pesisir kesehatan masy. kelestarian wil. Pesisir dan berkelanjuran

Strategi pengelolaan limbah 0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056 1,00 Results 0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056

Lampiran 8. Hasil matriks pasangan Tujuan - Kriteria analisis AHP model pengelolaan limbah baja

Level Timbulnya limbah Pencemaran dan Efisiensi material "Environmental Degradasi Ekosistem Daya dukung Weights kerusakan lingkungan & energi equity" lingkungan lingkungan lingkungan

Pemanfaatan limbah kembali 0,402 0,153 0,050 0,118 0,062 0,117 0,098 1,00 Minimalisasi limbah 0,092 0,067 0,151 0,153 0,147 0,162 0,229 1,00 Pencegahan pencemaran pesisir 0,239 0,104 0,233 0,088 0,121 0,152 0,062 1,00 Upaya menpertahankan kelesterian wilayah pesisir 0,219 0,119 0,085 0,088 0,140 0,254 0,096 1,00 Kebij. pengel. limb berwws lingk dan berkelanjutan 0,170 0,149 0,051 0,277 0,050 0,199 0,104 1,00 Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat 0,297 0,216 0,161 0,101 0,090 0,055 0,079 1,00 Results 0,237 0,135 0,122 0,138 0,102 0,157 0,111

Page 237: Limbah Padat Baja

Lampiran 9. Hasil matriks pasangan Kriteria - Aktor analisis AHP model pengelolaan limbah baja

Level Pemerintah Daerah Industri penghasil baja Divisi K3LH PT. KS Masyarakat sekitar LSM Peneliti/Pakar Weights Timbulnya limbah 0,301 0,168 0,222 0,118 0,107 0,083 1,00 Pencemaran dan kerusakan lingkungan 0,403 0,219 0,157 0,074 0,074 0,074 1,00 Efisiensi material dan energi 0,335 0,248 0,155 0,099 0,094 0,068 1,00 "Environmental" Equity 0,313 0,162 0,203 0,119 0,129 0,075 1,00 Degradasi lingkungan 0,293 0,238 0,178 0,124 0,105 0,063 1,00Ekosistem lingkungan 0,353 0,187 0,192 0,092 0,100 0,076 1,00Daya dukung lingkungan 0,312 0,244 0,155 0,121 0,091 0,078 1,00 Results 0,330 0,209 0,180 0,107 0,100 0,074

Lampiran 10. Hasil matriks pasangan Aktor - Alternatif analisis AHP model pengelolaan limbah baja

Level Perubahan Perubahan proses Perubahan Penerapan 5 R Mengurangi Memakai kembali Mendaur ulang Mengganti Weights Bahan Baku dan Teknologi Produk Lingkungan Limbah Limbah Limbah Limbah Lembaga Swadaya Masyarakat 0,295 0,142 0,160 0,111 0,074 0,068 0,077 0,073 1,00 Masyarakat sekitar 0,283 0,187 0,130 0,115 0,098 0,053 0,067 0,067 1,00 Divisi K3LH PT. KS 0,297 0,127 0,169 0.,25 0,117 0,059 0,060 0,045 1,00 Industri Penghasil Baja 0,252 0,114 0,203 0,091 0,095 0,091 0,096 0,058 1,00 Peneliti/ Pakar 0,223 0,159 0,195 0,141 0,052 0,058 0,078 0,093 1,00 Pemerintah Daerah 0,306 0,139 0,161 0,100 0,078 0,062 0,069 0,086 1,00 Results 0,276 0,145 0,170 0,114 0,086 0,065 0,075 0,070

Page 238: Limbah Padat Baja

Lampiran 11. Hierarki analisis AHP aktor - alternatif model pengelolaan limbah baja

Page 239: Limbah Padat Baja

202

PENGANTAR Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara(i) untuk diwawancarai, adapun

wawancara ini untuk kepentingan penelitian tentang model pengelolaan limbah baja sebagai

upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau

Cilegon. Dalam wawancara ini tidak akan mempengaruhi konduite, status maupun

kelangsungan pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara(i). Hasil wawancara ini kami rahasiakan untuk

kepentingan penelitian.

I. Tata Cara Pengisian Quesioner

Isilah perbandingan antara masing-masing atribut seperti tertera pada Tabel 2 dengan Skala Saaty seperti yang tertera pada Tabel 1.

Misalnya pada Tabel 2, bila Atribut B lebih penting dari pada Atribut A maka nilai Skala Saaty = 5 diberikan pada Atribut B yang terletak disisi kanan angka-angka pertbandingan itu. Sebaliknya, bila Atribut A sangat penting maka nilai Skala Saaty = 7 diberikan pada Atribut A yang terletak disisi kiri angka-angka pertbandingan itu.

Dimohonkan pengisian ini dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila Atribut A lebih baik dari Atribut C, dan Atribut B lebih baik dari Atribut C maka Atribut A harus lebih baik dari Atribut C.

Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing atribut

Nilai Skor Keterangan

1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang

lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding

Kriteria yang lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian di atas Tabel 2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat

kepentingan masing-masing atribut. Kolom

Kiri Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting

dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Atribut A v Atribut B Atribut A v Atribut C Selanjutnya Selanjutnya

Page 240: Limbah Padat Baja

203

I. Struktur hirarki AHP kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.

II. Daftar Kuisioner yang dimohonkan bapak dan ibu bersedia untuk mengisinya pada tabel-tabel berikut ini:

1. Penentuan Bobot Kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya

untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.

Tujuan yang:digunakan untuk membuat model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:

a. Pemanfaatan Kembali Limbah b. Minimalisasi Limbah c. Pencegahan Pencemaran Pesisir d. Pencegahan Pencemaran terhadap Kesehatan Masyarakat e. Upaya Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir f. Kebijakan Pengelolaan Limbah Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan

STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH BAJA FOKUS

KRITERIA Timbulnya limbah

Pencemaran & kerusakan lingkungan

Efisiensi material &

energi

“Environmental equity”

Degradasi lingkungan

Ekosistem lingkungan

Daya dukung

lingkungan

TUJUAN Pemanfaatan kembali limbah

Minimalisasi

limbah

Pencegahan pencemaran pesisir

Pencegahan pencemaran

thp kesehatan masyarakat

Upaya mem-pertahankan kelestarian wil. pesisir

Kebijakan pengelo-laan limbah

berwawasan lingk. dan berkelanjutan

AKTOR Industru Penghasil Baja

Dvisi K3LH PT. KS

Masyarakat sekitar

LSM Pemerintah Daerah

Peneliti/ Pakar

ALTERNATIF Perubahan bahan baku

Perubahan proses & teknologi

Perubahan produk

Penerapan 5 R

lingkungan

Mengura-ngi limbah

Memakai kembali limbah

Mendaur ulang

limbah

Mengganti limb.

Page 241: Limbah Padat Baja

204

Tabel 3. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Tujuan pengelolaan limbah industri baja.

Nilai Skor Keterangan

1 Tujuan yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Tujuan yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Tujuan yang

lainnya. 5 Tujuan yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding

Tujuan yang lainnya 7 Tujuan yang satu sangat penting dibanding Tujuan yang lainnya 9 Tujuan yang satu ekstrim pentingnya dibanding Tujuan yang lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas Tabel 4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat

kepentingan masing-masing Tujuan.

Kolom Kiri

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom

sebelah kanan

Diisi Bila Sama

Penting

Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan

di kolom sebelah kanan

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemanfaatan Kembali Limbah

Minimalisasi Limbah

Pemanfaatan Kembali Limbah Pencegahan

Pencemaran PesisirPemanfaatan Kembali Limbah Pencegahan

Pencemaran thd Kesehatan Masy.

Pemanfaatan Kembali Limbah Upaya

Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir

Pemanfaatan Kembali Limbah Kebij. Pengelolaan

Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj.

Minimalisasi Limbah Pencegahan Pencemaran Pesisir

Minimalisasi Limbah Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.

Minimalisasi Limbah Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir

Minimalisasi Limbah Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj.

Pencegahan Pencemaran Pesisir

Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.

Pencegahan Pencemaran Pesisir Upaya

Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir

Pencegahan Pencemaran Pesisir Kebij. Pengelolaan

Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj

Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.

Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir

Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.

Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj

Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir

Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj

Page 242: Limbah Padat Baja

205

2. Penentuan Bobot Aktor untuk Masing-Masing Kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.

Kriteria yang digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:

a. Timbulnya Limbah b. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan c. Efisiensi Material dan Energi d. “Environmental Equity” e. Degradasi Lingkungan f. Ekosistem Lingkungan g. Daya Dukung Lingkungan

Tabel 5. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Kriteria model

pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, setiapTujuan

Nilai Skor Keterangan

1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria

lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding

Kriteria lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria lainnya

2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

Page 243: Limbah Padat Baja

216

4. Penentuan Bobot Alteratif masing-masing Aktor dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon

Alternatif yang dapat digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, adalah:

a. Perubahan Bahan Baku b. Perubahan Proses dan Teknologi c. Perubahan Produk d. Penerapan 5 R Lingkungan e. Mengurangi Limbah f. Memakai Kembali Limbah g. Mendaur Ulang Limbah h. Mengganti Limbah

Tabel 7. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Alternatif atau

Strategi penentuan strategi penutupan tambang yang berkelanjutan untuk setiap Aktor

Nilai Skor Keterangan

1 Alternatif/Strategi yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Alternatif/Strategi yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding

Alternatif/Strategi lainnya. 5 Alternatif/Strategi yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya)

dibanding Alternatif/Strategi lainnya 7 Alternatif/Strategi yang satu sangat penting dibanding Alternatif/Strategi

lainnya 9 Alternatif/Strategi yang satu ekstrim pentingnya dibanding

Alternatif/Strategi lainnya 2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas

Page 244: Limbah Padat Baja

217

Tabel 7.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Pemerintah Daerah (Pemda).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbahPerubahan Bahan Baku Mengganti

limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengganti limbah

Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang

limbahPerubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbah

Page 245: Limbah Padat Baja

218

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbah Memakai Kembali limbah Mengganti

limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti

limbah Tabel 7.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Industri Penghasil Baja (IPB).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

LimbahPerubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbah Perubahan Bahan Baku Mengganti

limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Mengganti

limbah

Page 246: Limbah Padat Baja

219

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang

limbahPerubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbahMengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbah Memakai Kembali limbah Mengganti

limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti

limbah Tabel 7.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (K3LH).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbah

Page 247: Limbah Padat Baja

220

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Mengganti

limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengganti limbah

Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang

limbah Perubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbah Mengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbahMemakai Kembali limbah Mengganti

limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti

limbah

Page 248: Limbah Padat Baja

221

Tabel 7.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Masyarakat Sekitar (Masyarakat).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbahPerubahan Bahan Baku Mengganti

limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengganti limbah

Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang

limbahPerubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbah

Page 249: Limbah Padat Baja

222

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbah Memakai Kembali limbah Mengganti

limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti

limbah Tabel 7.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

LimbahPerubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbah Perubahan Bahan Baku Mengganti

limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Mengganti

limbah

Page 250: Limbah Padat Baja

223

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang

limbahPerubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbahMengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbah Memakai Kembali limbah Mengganti

limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti

limbah Tabel 7.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian

tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Peneliti/Pakar (Pakar).

Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses

dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan

Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi

Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai

Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang

limbah Perubahan Mengganti

Page 251: Limbah Padat Baja

224

Kolom Kiri

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom

sebelah kanan

Diisi Bila

Sama Penting

Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting

dibanding kolom sebelah kiri

Kolom Kanan

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Bahan Baku limbah Perubahan Proses dan Teknologi

Perubahan Produk

Perubahan Proses dan Teknologi

Penerapan 5 R Lingkungan

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengurangi Limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Memakai Kembali limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mendaur Ulang limbah

Perubahan Proses dan Teknologi

Mengganti limbah

Perubahan Produk Penerapan 5 R

Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi

Limbah Perubahan Produk Memakai

Kembali limbahPerubahan Produk Mendaur Ulang

limbah Perubahan Produk Mengganti

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi

Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai

Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang

limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti

limbahMengurangi Limbah Memakai

Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang

limbah Mengurangi Limbah Mengganti

limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang

limbah Memakai Kembali limbah Mengganti

limbahMendaur Ulang limbah Mengganti

limbah

Page 252: Limbah Padat Baja

225

Lampiran 6. Kuesioner Interpretative Structur Modelling (ISM)

KUESIONER

INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)

MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI

UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON

SURVEI PAKAR

No. Responden : ……………………………………………………..

Nama Responden : ………………………………………………………

Umur : ………………………………………………………

Jenis Kelamin : ………………………………………………………

Pendidikan terakhir : ………………………………………………………

Jabatan Responden : ………………………………………………………

Alamat Responden : ………………………………………………………

………………………………………………………

HP. : ...................................................................................

Kabupaten / Kota : ……………………………………………………...

Tanggal Wawancara : ………………………………………………………

Pewawancara : …………………………………………………........

Oleh: Ja’far Salim P062050534

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 253: Limbah Padat Baja

226

PENGANTAR

Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara(i) untuk diwawancarai, adapun

wawancara ini untuk kepentingan penelitian tentang model pengelolaan limbah baja dalam

upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau

Cilegon. Dalam wawancara ini tidak akan mempengaruhi konduite, status maupun

kelangsungan pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara(i). Hasil wawancara ini kami rahasiakan untuk

kepentingan penelitian.

1. Dalam pengelolaan limbah baja, menurut bapak/ibu mana urutan aktor yang paling

berperan di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pemerintah Daerah b. ( ) Pabrik baja/BUMN c. ( ) Instansi terkait d. ( ) Masyarakat e. ( ) Perguruan Tinggi/Peneliti/Pakar f. ( ) LSM

2. Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu urutan aspek pemilihan penyimpanan limbah baja yang bagaimana yang akan dipilih di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Area penyimpanan limbah yang aman b. ( ) Area penyimpanan limbah yang jauh dari lingkungan masyarakat c. ( ) Area penyimpanan limbah yang teratur dan rapih d. ( ) Area penyimpanan limbah yang sehat e. ( ) Area penyimpanan limbah yang jelas status kawasannya

3. Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu bagaimana urutan bentuk Area penyimpanan limbah yang akan dipilih di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pengelolaan Area penyimpanan limbah baru b. ( ) Area penyimpanan limbah tidak mencemari tanah, air, dan udara c. ( ) Adanya petugas yang menangani Area penyimpanan limbah d. ( ) Pembangunan Area penyimpanan limbah dari yang jauh pemukiman penduduk

4. Pengelolaan limbah baja yang selama ini dilaksanakan oleh pabrik baja ini ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut saudara bagaimana urutan permasalahan yang telah berhasil diatasi dengan dimulai sistem pengelolaan limbah baja di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu:

Page 254: Limbah Padat Baja

227

a. ( ) Kesenjangan kebutuhan dan persediaan limbah baja b. ( ) Pergeseran lokasi/Area penyimpanan limbah c. ( ) Kesenjangan kebutuhan prasarana dan utilitas d. ( ) Kesenjangan kebutuhan sarana dan fasilitas e. ( ) Kesenjangan kesempatan kerja f. ( ) Perbaikan daya dukung lingkungan

5. Model pengelolaan limbah baja akan berdampak pada permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana dampak yang paling besar terjadi dengan dibangunnya area pengelolaan limbah baja dibawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Kesenjangan kebutuhan stakeholder b. ( ) Pergeseran lokasi pembangunan c. ( ) Kesenjangan kebutuhan prasarana dan utilitas d. ( ) Kesenjangan kebutuhan sarana dan fasilitas e. ( ) Kesenjangan kesempatan kerja f. ( ) Kerusakan daya dukung lingkungan

6. Model pengelolaan limbah baja dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor yang paling penting dengan dibuatnya model pengelolaan limbah baja dibawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pengelolaan limbah yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan

dipertanggungjawabkan (socially and culturally suitable and accountable), b. ( ) Pengelolaan yang secara politis bisa diterima (politically acceptable) c. ( ) Pengelolaan yang layak secara ekonomis (economically feasible), d. ( ) Pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi lingkungan

(environmentally sound and sustainable) 7. Model pengelolaan limbah baja diikuti dengan perbaikan prasarana, menurut bapak/ibu

bagaimana urutan faktor prasarana dasar penyimpanan limbah yang paling penting di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Jalan raya ke lokasi penampungan limbah baja b. ( ) Perluasan area penampungan limbah baja c. ( ) Jaringan pembuangan air limbah/waste water d. ( ) Penataan area penampungan limbah

8. Penggunaan teknologi pengolahan limbah ditinjau dari beberapa aspek, menurut

bapak/ibu bagaimana urutan teknologi pengolahan limbah yang baik dan dapat meminimalkan jumlah pencemaran lingkungan yang akan bapak/ibu pilih. Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Kebutuhan perluasan lahan untuk instalasinya b. ( ) Kecepatan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah baja c. ( ) Penggunaan bahan lain dalam proses pengolahan d. ( ) Kemampuan menghilangkan warna, bau dan bahan beracun berbahaya lainnya e. ( ) Jumlah kandungan kotoran berupa lumpur yang mengendap f. ( ) Kemudahan dalam pengoperasian dan perawatan g. ( ) Biaya operasional yang murah

Page 255: Limbah Padat Baja

228

9. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menumpuk di sekitar area penampungan

limbah ?

• Jika pernah, bagaimana menurut bapak/ibu ?

• Apa penyebabnya ?

10. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menyumbat di saluran/kanal sekitar

perusahaan pada waktu musim hujan?

• Jika pernah, bagaimana keadaan perusahaan pada saat musim hujan?

• Dan bagaimana pada saat musim kemarau?

11. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja di lingkungan kerja bapak/ibu pada saat

anda melintasi kawasan industri tersebut?

• Jika pernah, menurut bapak/ibu apa penyebab adanya limbah tersebut?

12. Pernahkah pemerintah melibatkan bapak/ibu dalam pengelolaan lingkungan dari limbah

baja ?

• Jika pernah, dalam bentuk apa saja bapak/ibu dilibatkan?

13. Apakah di lingkungan bapak/ibu pernah ada sosialisasi kebijakan pengelolaan limbah

baja?

• Jika pernah, siapa saja yang pernah melakukan sosialisasi tersebut?

(.....) LSM

(.....) Perguruan Tinggi

(.....) Industri

(.....) Masyarakat setempat

(.....) Pemerintah Daerah

(.....) Lainnya, sebutkan

........................................................................................................................................

........................................................................................................

Alasannya,......................................................................................................................

........................................................................................................................................

........................................................................................................................................

........................................................................................................................................

(Keterangan: berikan tanda√ pada pilihan bapak/ibu)

14. Adakah fasilitas pengelolaan limbah baja di lokasi sekitar tempat kerja bapak/ibu ?

• Dalam bentuk apa fasilitas tersebut ?

Page 256: Limbah Padat Baja

229

Penyusunan Strategi Pengelolaan Limbah Baja, (Pemerintah, Industri, Masyarakat

Sekitar, LSM, Para Pakar)

15. Apakah bapak/ibu setuju dengan model pengelolaan limbah baja yang ada sekarang?

Jelaskan!

16. Menurut bapak/ibu apakah pemanfaatan lahan penyimpanan limbah sudah sesuai

dengan peruntukannya? Jelaskan

- Jika tidak, bagaimana seharusnya pemanfaatan yang baik?

17. Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah

baja? Jelaskan !

- Jika tidak, bagaimana seharusnya?

- Jika ya, Perda nomor berapa yang mengatur tentang pengelolaan limbah tersebut?

18. Apakah di lingkungan tempat kerja bapak/ibu sudah mempunyai strategi pengelolaan

limbah baja dan (di Perdakan)?

- Jika tidak, bagaimana seharusnya?

- Jika ya, perda nomor berapa yang mengatur strategi pengelolaan limbah baja ?

19. Apakah bapak/ibu dilibatkan dalam menyusun strategi pengelolaan limbah baja?

pencemaran - Jika ya, dalam bentuk apa bapak/ibu dilibatkan?

20. Menurut bapak/ibu apakah di lingkungan tempat kerja bapak/ibu, limbah baja sudah

terjadi pencemaran saat ini?

- Jika ya, bagaimana cara mengatasinya dan bagaimana pengelolaan pecemaran yang

seharusnya?

- Jika tidak, menurut bapak/ibu strategi apa yang harus dilakukan jika belum terjadi?

dan bagaimana bentuk strategi tersebut?

Page 257: Limbah Padat Baja

230

Teknik Permodelan Interpretasi Struktural

(Interpretatif Structural Modelling--ISM)

Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling)

digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Analisis ini

digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian yang dilakukan dengan judul

”Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai upaya untuk Mempertahankan

Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon ”. Dengan analisis ingin

diketahui faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam peningkatan daya

dukung lingkungan, sesuai dengan pendapat dari para pelaku (stakeholder) yang terlibat di

dalam pemanfaatan dan pengelolaan sampah dan limbah di lingkungan perumahan.

Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategis tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan

dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi daya dukung lingkungan,

melalui pemodelan dinamika sistem. Oleh karena itu, penentuan faktor kunci dan tujuan

strategis tersebut adalah penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak

yang berkompeten sebagai ahli (expert) mengenai lingkungan perumahan.

A. Faktor Kunci

Menurut Bapak/Ibu, faktor kunci apa saja yang berperan dalam pengelolaan

limbah domestik, agar tercapai suatu pengelolaan yang komprehensif dan berkelanjutan

di masa datang? (mohon dituliskan pada urutan dibawah ini sesuai dengan tingkat

/ranking kepentingan dari faktor-faktor tersebut, adapun jumlah faktor-faktor dapat

berapa saja, misalnya 10 faktor saja atau bahkan lebih dari 20 faktor) adalah sebagai

berikut: (1) Pabrik baja, (2) Area penyimpanan limbah (3) Pembangunan area limbah

yang jauh dari pemukiman, (4) Pengelolaan limbah yang dapat dipertanggungjawabkan,

(5) Jaringan pembuatan waste water, (6) Kecepatan waktu pengolahan limbah, (7)

Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman, (8) Penerapan 3 R, (9) Studi

pemanfaatan limbah, (10) Mendatangkan Pakar.

Faktor Kunci Model pengelolaan limbah industri baja

A._________________ tingkat kepentingan :

B._________________ tingkat kepentingan :

C._________________ tingkat kepentingan :

D._________________ tingkat kepentingan :

E._________________ tingkat kepentingan :

F._________________ tingkat kepentingan :

Page 258: Limbah Padat Baja

231

G._________________ tingkat kepentingan :

H._________________ tingkat kepentingan :

I._________________ tingkat kepentingan :

J._________________ tingkat kepentingan :

K._________________ tingkat kepentingan :

L._________________ tingkat kepentingan :

M._________________ tingkat kepentingan :

N._________________ tingkat kepentingan :

O._________________ tingkat kepentingan :

B. Pengaruh Antar Faktor Kunci

Berdasarkan faktor kunci yang telah diidentifikasi di atas, menurut Bapak/Ibu

bagaimana pengaruh antar pasangan faktor kunci tersebut?

Mohon pengaruh antar faktor kunci tersebut ditulis dalam bentuk huruf (V, A, X, O)

pada matriks yang memuat pasangan faktor secara dua arah, misalnya pengaruh faktor

A terhadap faktor B, dan sebaliknya pengaruh faktor B terhadap faktor A seperti

diilustrasikan di bagian atas matriks. Huruf yang digunakan adalah sebagai berikut:

V = lebih penting faktor A dari pada faktor B

A = lebih penting faktor B dari pada faktor A

X = faktor A dan Faktor B mempunyai nilai tingkat kepentingan yang sama dan

saling terkait

O = faktor A dan faktor B tidak saling terkait

Page 259: Limbah Padat Baja

232

Pengaruh langsung dan tingkat kepentingan antar faktor dalam sistem pengendalian

pencemaran pesisir, dapat diisi pada kolom tabel di bawah ini:

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 V A 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

III. Keadaan (State) Faktor Di Masa Datang

Berdasarkan faktor kunci yang telah diidentifikasi pada pertanyaan diatas, menurut

Bapak/Ibu bagaimana keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang?

Mohon keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang di tulis dalam matriks

yang disediakan. Keadaan (state) faktor di masa datang dapat berupa dinamika seperti:

meningkat, tetap, menurun, atau lainnya. Keadaan untuk masing-masing faktor di masa

datang tidak perlu sama, misalnya untuk faktor A dibuat 5 macam keadaan, mungkin

saja untuk faktor B hanya 2 atau 3 macam keadaan seperti diilustrasikan pada tiga baris

pertama matriks.

Contoh Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci Keadaan (State) di Masa Datang

(Ilustrasi) Meningkat karena.....

Tetap Menurun karena.....

(Ilustrasi) Mendukung dengan.....

Tidak mendukung dengan.....

Tetap seperti sekarang

Menjadi tidak efektif

(Ilustrasi) Meningkat karena.....

Tetap

1 lebih penting dari 12 6 lebih penting dari 1

Page 260: Limbah Padat Baja

233

Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci Keadaan (State) di Masa Datang

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

O

Page 261: Limbah Padat Baja

234

Page 262: Limbah Padat Baja

235

Page 263: Limbah Padat Baja

236

Page 264: Limbah Padat Baja

237

Lampiran 12. Data input dan proses ISM VAXO

1. Inisialisasi sub elemen pendapat pakar

No. Sub Elemen

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pabrik baja Area penyimpanan limbah Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan Jaringan pembuatan waste water Kecepatan waktu pengolahan limbah Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery) Studi pemanfaatan limbah Mendatangkan pakar

2. Data input pendapat pakar

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 V V V V V V V V V 2 A A O O O O A V 3 O O O O O O O 4 V V V V V V 5 V X X X A 6 O O O O 7 X X X 8 V A 9 O 10

3. Tabel hasil pengolahan ISM VAXO

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 5 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 7 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 8 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 9 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 10 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1

Page 265: Limbah Padat Baja

238

4. Struktur hasil pengolahan ISM VAXO

Page 266: Limbah Padat Baja

239

Lampiran 13. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Kependudukan init JPendd018 = 66735 flow JPendd018 = -dt*TkKmt018 +dt*LjKlhr -dt*TkDws1819 doc JPendd018 = Penduduk Cilegon (KIC) usia 0-18 tahun (orang) init JPendd1960 = 75077 flow JPendd1960 = -dt*TkKmt1960 +dt*TkDws1819 -dt*TkDws6065 doc JPendd1960 = Penduduk Cilegon (KIC) usia 19-60 tahun (orang) init PenddTotal = 166838 flow PenddTotal = -dt*LjKmt +dt*LjKlhr doc PenddTotal = Penduduk Total: 4 Kecamatan Kota Cilegon ((KIC)(orang) aux LjKlhr = PenddTotal*AKlhrKasar doc LjKlhr = Laju kelahiran (orang/tahun) aux LjKmt = PenddTotal*AKmtKasar doc LjKmt = Laju kematian (orang/tahun) aux TkDws1819 = JPendd018 * (1- AKmtKasar)/30 doc TkDws1819 = Tingkat Kedewasaan usia 18-19 tahun (orang/tahun) aux TkDws6065 = JPendd1960*(1-AKmtKasar)/42 doc TkDws6065 = Tingkat Kedewasaan usia 60-65 tahun (orang/tahun) aux TkKmt018 = JPendd018*AKmtKasar doc TkKmt018 = Tingkat Kematian usia 0-18 tahun (orang/tahun) aux TkKmt1960 = JPendd1960*AKmtKasar doc TkKmt1960 = Tingkat kematian usia 19 - 60 tahun. (orang/tahun) aux AKlhrKasar = GRAPH(PendPendd/PendlkanAw,11,1.3,[0.0143,0.0153,0.0174,0.0204,0.0268,0.0373,0.0465"Min:0.013;Max:0.048"]) doc AKlhrKasar = Angka Kelahiran Kasar (tanpa satuan) aux AKmtKasar = GRAPH(PendPendd/PendlkanAw,0.3,0.2,[0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115"Min:0.0100;Max:0.0150"]) doc AKmtKasar = Angka Kematian Kasar (tanpa satuan) aux LjPertPendd = (LjKlhr-LjKmt)/PenddTotal*100% doc LjPertPendd = Laju Pertumbuhan Penduduk (%/tahun) aux PDRB = GRAPH(TIME,2003,1,[ 406670000000,440745000000,478606000000,520673000000,567415000000,586750000000,610914000000,672005400000,739205940000"MIN: 400000000000 MAX:800000000000"])*(1+WLjPertEk*WPertEk) doc PDRB = PDRB dari tahun 2007 (rupiah/tahun) aux PendPendd = PDRB/PenddTotal*10 doc PendPendd = Pendapatan perkapita penduduk Kota Cilegon (rupiah/orang) aux WLjPertEk = RAMP(0.0232,2003) doc WLjPertEk = Waktu laju pertumbuhan ekonomi 2,32% per tahun (% /tahun) const WPertEk = 0.1 doc WPertEk = Waktu lpertumbuhan ekonomi (tahun)

Page 267: Limbah Padat Baja

240

Lampiran 14. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Pesisir Laut init LuasPessr = 11520 flow LuasPessr = +dt*LahPessrSiap -dt*PengrngPessr doc LuasPessr = Luas lahan pesisir KIC (hektar) aux LahPessrSiap = (LuasPessr-LuasPessrHarap)/WPerlPessr*0.01 doc LahPessrSiap = Lahan Pesisir yang dipersiapkan (hektar/tahun) aux PengrngPessr = (LuasKonve/WPeralihLahan)*PPendNelyn doc PengrngPessr = Pengurangn Pesisir (hektar/tahun) aux AKClg = JPendd1960*PAKClg doc AKClg = Angkatan kerja Kota Cilegon (KIC) orang) aux HasProdIkan = ProdPessr doc HasProdIkan = Hasil produksi ikan (ton/tahun) aux HIkan = PSDIkan*THIkan doc HIkan = Harga Ikan (rupiah/ton) aux KebNelyn = LuasPessr*KebNelynHa doc KebNelyn = Kebutuhan Nelayan/tenaga kerja perikanan pesisir (orang) aux KonsIkan = PenddTotal*KonsIkanKap doc KonsIkan = konsumsi ikan (ton/tahun) aux KonsIkanKap = PPendKonsIkan*TkKonsIkan aux KonsIkanTotal = KonsIkan*(100/11520) doc KonsIkanTotal = Konsumsi ikan total (ton/tahun) aux LuasKonve = GRAPH(TIME,2003,1,[332.3,332.3,332.8,332.9,332.49,332.2,331.93,328.57,327.45,327.37,326.89,326.81,326.81"Min:326;Max:334"]) aux LuasPanen = LuasPessr*IntensNelyn doc LuasPanen = Luas panen (hektar/tahun) aux LuasPessrHarap = KonsIkanTotal/ProdtvtsPessr doc LuasPessrHarap = Luas pesisir yang diharapkanan (hektar/tahun) aux NelynTersedia = AKClg*PAKPerk doc NelynTersedia = Ketersediaan nelayan/tenaga kerja perikanan (orang) aux PendNelyn = PendTunai/KebNelyn*12 doc PendNelyn = pendapatan nelayana perkapita (rupiah/orang) aux PendTunai = HIkan*HasProdIkan doc PendTunai = pendapatan tunai (rupiah) aux PNlelynTersedia = GRAPHCURVE(RasioNelyn,0.038,0.002,[8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43"Min:8.42;Max:1.1;Zoom"]) doc PNlelynTersedia = Pengaruh persediaan tenaga kerja/nelayan (tanpa satuan) aux PPendKonsIkan = GRAPHCURVE(RasioPend,12,0.2,[1,1,1,0.988,0.982,0.980,0.973,0.961,0.948,0.931"Min:0.9;Max:1.50"]) doc PPendKonsIkan = Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi limbah baja (tanpa satuan) aux PPendNelyn = GRAPH(RasioPendNelyn,50,21.5,[0.961,0.964,0.967,0.969,0.971,0.973,0.975,0.976,0.977,0.979,0.981,0.983,0.985,0.986"Min:0.95;Max:1.05"]) doc PPendNelyn = Pengaruh pendapatan nelayan (tanpa satuan) aux ProdPessr = LuasPanen*ProdtvtsPessr

Page 268: Limbah Padat Baja

241

doc ProdPessr = produksi pesisir(ton/tahun) aux ProdtvtsPessr = GRAPH(TIME,2003,1,[10000,10500,11025,11576,12155,12763,13401,14071,14774,15513"Min:10000;Max:16000"]) doc ProdtvtsPessr = Produktivitas pesisir (ton/hektar) aux PSDIkan = GRAPHCURVE(RasioSDIkan,1,010,[0.998,0.993,0.99,0.988,0.985,0.983,0.98,0.978,0.976,0.973"MIN:0.9;MAX:1.1;Zoom"]) doc PSDIkan = Pengaruh penawaran dan permintaan ikan (tanpa satuan) aux RasioNelyn = NelynTersedia/KebNelyn doc RasioNelyn = Rasio nelayan/tenaga kerja perikanan (tanpa satuan) aux RasioPend = PendPendd/PendlkanAw doc RasioPend = Rasio pendapatan perkapita (tanpa satuan) aux RasioPendNelyn = PendNelyn/PendNelynAw doc RasioPendNelyn = Rasio pendapatan nelayan (tanpa satuan) aux RasioSDIkan = HasProdIkan/KonsIkanTotal doc RasioSDIkan = Rasio penawaran dan permintaan ikan (tanpa satuan) aux THIkan = GRAPH(TIME,2003,1,[553.66,628.51,626.67,702.08,905.1,939,1049.51,2266,2753,2452"Min:550;Max:2800"]) doc THIkan = Tingkat harga ikan pengaruh dari penawarn dan permintaan ikan(rupiah/ton) aux TkKonsIkan = GRAPH(TIME,2003,1,[1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103"Min:130;Max:160"]) doc TkKonsIkan = Tingkat Konsumsi ikan perkapita (ton/orang/tahun) aux WPerlPessr = WPembPessr/PNlelynTersedia doc WPerlPessr = Waktu perluasan pesisir (tahun) const IntensNelyn = 1.73 doc IntensNelyn = Intensitas nelayan (tanpa satuan) const KebNelynHa = 2 doc KebNelynHa = Kebutuhan nelayan/tenaga kerja perikanan dalam pengelolaan ikan dalam satu hektar (orang/hektar) const PAKClg = 0.2738 doc PAKClg = Persentase angkatan kerja (Kota Cilegon (tanpa satuan) const PAKPerk = 0.0572 doc PAKPerk = Persentase Angkatan Kerja Perikanan (tanpa satuan) const PendlkanAw = 1885022 doc PendlkanAw = Pendapatan perkapita ikan awal (rupiah/orang/tahun) const PendNelynAw = 1103000 doc PendNelynAw = Pendapatn nelayan perkapita awal (rupiah/orang) const WPembPessr = 3 doc WPembPessr = Waktu pembukaan pesisir (tahun) const WPeralihLahan = 1 doc WPeralihLahan = Waktu peralihan lahan (tahun)

Page 269: Limbah Padat Baja

242

Lampiran 15. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Limbah Industri init JumlahLimb = 1863817 flow JumlahLimb = -dt*TkPengirmLimb +dt*TKedatgLimbLuar +dt*TkKedatgLimb doc JumlahLimb = Persediaan Limbah Baja (ton) init LimbahAw = 1863817*WRataProd flow LimbahAw = +dt*TkPermtLimb -dt*TkPenerLimb -dt*TkPenerLimbLuar doc LimbahAw = Lmbah baja dalam persediaan awal (ton) aux TKedatgLimbLuar = TkPenerLimbLuar aux TkKedatgLimb = GRAPH(TkPenerLimb,1660800,78000,[1501800,1501530,1501340,1501070,1500770,1500520,1500280,1500020,1499780,1499590,1499420,1499320,1499180"Min:1498500;Max:1501800"]) doc TkKedatgLimb = Tingkat kedatangan limbah baja lokal (ton/tahun) aux TkPenerLimb = DELAYINF(HasProdIkan,WRataProd,1)/120 doc TkPenerLimb = Tingkat penerimaan limbah baja lokal (ton/tahun) aux TkPenerLimbLuar = DELAYINF(KebutLimbLuar, WPenerLimb,1) doc TkPenerLimbLuar = tingkat penerimaan limbah baja luar (ton/tahun) aux TkPengirmLimb = GRAPH(KonsIkanTotal,223000,112000,[1499900,1500100,1500230,1500440,1500700,1500900,1501100,1501300,1501500,1501660,1501810,1502000,1502200"Min:1499000;Max:1503000"]) doc TkPengirmLimb = Tingkat pengiriman limbah baja (ton/tahun) aux TkPermtLimb = JProdHarap+NilaiPersedLimb doc TkPermtLimb = tingkat permintaan limbah baja (ton/tahun) aux JProdHarap = (1+WSiklusProd*PengPertPermLimb)*RataTkPengrmLimb doc JProdHarap = Jumlah produksi yang diharapkan (ton/tahun) aux KebutLimbLuar = MAX(KonsIkanTotal-HasProdIkan,800) doc KebutLimbLuar = Kebutuhan limbah baja luar (ton) aux LimbdlmProses = JProdHarap*WRataProd doc LimbdlmProses = Limbah dalam proses (ton) aux NilaiHasLimb = (LimbahAw-LimbdlmProses)/WNilaiPersed doc NilaiHasLimb = Penilaian hasil limbah imbah baja pemesanan (ton/tahun) aux NilaiPersedLimb = (JumlahLimb-PersedLimbHarap)/WNilaiPersed doc NilaiPersedLimb = Penilaian persediaan limbah baja (ton/tahun) aux PengPertPermLimb = TREND(TkPengirmLimb,WPengPertumPermLimb) aux PersedLimbHarap = JProdHarap*WPersedLimbHarap doc PersedLimbHarap = Persediaan limbah baja yang diharapkan (Ton) aux RataTkPengrmLimb = DELAYINF(TkPengirmLimb,10,1) doc RataTkPengrmLimb = Rata-rata tingkat pengiriman limbah baja (ton/tahun) const WNilaiPersed = 1 doc WNilaiPersed = Waktu penilaian persediaan (tahun) const WPenerLimb = 0.5 doc WPenerLimb = Waktu penerimaan laut (tahun) const WPengPertumPermLimb = 10

Page 270: Limbah Padat Baja

243

doc WPengPertumPermLimb = Waktu pengamatan pertumbuhan permintaan limbah baja (tahun) const WPersedLimbHarap = 0.75 doc WPersedLimbHarap = Waktu persediaan limbah baja yang diiharkan (tahun) const WRataProd = 1 doc WRataProd = Waktu rata rata produksi (tahun) const WSiklusProd = 0.1 doc WSiklusProd = Waktu siklus produksi (tahun)

Page 271: Limbah Padat Baja

244

Lampiran 16. Prediksi hasil pemodelan sistem tahun 2003 – 2115

Tahun Prediksi Jumlah Penduduk

(jiwa)

Prediksi Luas Pesisir

(ha)

Prediksi Limbah Baja

(ton) 2003 166.838 11.520,00 1.863.817

2004 167.642 11.519,96 1.864.217

2005 168.778 11.519,97 1.864.793

2006 170.457 11.519,97 1.866.342

2007 173.227 11.519,97 1.865.891

2008 177.742 11.519,81 1.866.395

2009 182.599 11.519,79 1.866.562

2010 187.951 11.519,64 1.866.445

2011 194.529 11.519,41 1.866.303

2012 201.338 11.519,20 1.866.218

2013 208.385 11.519,07 1.865.607

2014 215.678 11.519,03 1.864.561

2015 222.992 11.518,73 1.863.258