MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON JA’FAR SALIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA
SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR
KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON
JA’FAR SALIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul “Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon” adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, Juli 2009 Ja’far Salim NIM P.062050534
ABSTRACT
JA’FAR SALIM, Model of Steel Industrial Waste Management for Maintaining The Sustainability of Coastal Region Krakatau Industrial Estate Cilegon. Under supervision of ASEP SAEFUDDIN, MARIMIN, and ETTY RIANI. Indonesia is rich in natural resources, raw material resources, and also human resources. Nevertheless, the environment contamination has become worse, especially in industrial area. The aims of this research are: To get information about condition of existing and amount of steel industrial disposal production which have not exploited yet; To find out the contamination of territorial water and health of society in industrial estate of Krakatau Cilegon from steel waste which cannot be recycled; To formulate the model of steel industrial waste management for maintaining the sustainability of coastal region and health of society; To formulate sustainable environmental oriented policy of steel industrial waste management system. System approaches in used in this research are: Investment analysis; AHP; ISM; and dynamic modeling. The result of this analysis: the measurement of assessment result of investment analysis NPV is 1,885,022 USD and BCR > 3, its mean beneficial investment, besides best level (1) is waste of slurry CRM with criterion value is feasible. Social impact in management of industrial disposal based on factor analysis using Health of Society coefficient is equal (0.36) + (0.04) Employment. So the value of social impact in model management of steel disposal is 36,662 persons. Selection priority in asphodel is obtained by result of calculation of weight importance focus variable to target variable are 0.325, 0.214, 0.201, 0.119, 0.084, and 0.056 (consistency ratio = 0,099) with sequences are: (1) exploiting of waste return, (2) waste minimalists, (3) prevention of contamination of coastal area, (4) prevention of contamination to society, (5) effort maintain continuity of coastal region, and (6) policy of management of waste with vision of and environment have continuation. Beside that, the result of calculation weight important actor variable to alternative variable 0.276, 0.170, 0.145, 0.114, 0.086, 0.075, 0.070, 0.065 are respectively: (1) the changing of raw material, (2) the changing of product, (3) the changing of technology and process, (4) applying environmental 5R, (5) lessening waste, (6) recycling waste, (7) changing waste, (8) rewiring waste. The determination of key parameter policies of steel industrial waste management for maintaining the sustainability of coastal region Krakatau Industrial Estate Cilegon by using ISM method base on environmental experts judgments from 20 item of question/statement. Furthermore, 10 answer items are taken to make key parameter as expert judgments sub-element. The model development as scenario in management of steel industrial waste using modeling dynamic system approach with powersim program especially for making the model with cause loop diagram and model structure model at resident sub model, coastal area and industrial disposal. Those models are verified by using historical data and validated by using faced and statistical validation methods. Key words: Steel waste management, coastal region, AHP, ISM, dynamic modeling
RINGKASAN
JA’FAR SALIM. Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Dibimbing oleh: ASEP SAEFUDDIN, MARIMIN, dan ETTY RIANI
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah, baik sumber daya energi, sumber daya bahan baku, serta sumber daya manusia yang kompetitif, akan menjadi negara yang kuat di era global apabila bangsa Indonesia mampu mengelola dengan baik sumber-sumber daya tersebut, sehingga tidak hanya dapat dieksplotasi saat ini, melainkan juga untuk masa mendatang Salah satu sumber daya alam yang melimpah dan dapat digunakan untuk pembangunan berkelanjutan adalah bahan baku baja untuk industri dan kemakmuran masyarakat.
PT. Krakatau Steel merupakan pabrik baja terpadu dan termasuk salah satu industri baja terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini diharapkan mampu menjadi perusahaan unggulan terutama dalam teknis pembuatan baja dengan teknologi tinggi serta dituntut mampu meraih keuntungan secara finansial dalam meningkatkan kapasitas produksinya. Namun proses produksi tidak akan lepas dari timbulnya limbah. Seperti halnya limbah industri lainnya, jika limbah industri baja tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai permasalahan, bahkan pencemaran lingkungan saat ini terus meningkat dan cenderung semakin memprihatinkan terutama di kawasan industri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja yang dihasilkan namun belum dimanfaatkan kembali; untuk mengetahui pencemaran perairan dan kesehatan masyarakat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang; untuk merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat disekitarnya; dan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Model pengelolaan limbah industri baja yang dirancang dalam penelitian ini menggunakan metode maupun analisis penyelesaian masalah, yaitu: analisa investasi net present value (NPV) dan benefit cost ratio (BCR); model analisis statistik; model analytical hierarchy process (AHP Cdplus3.0); metode interpretative structural modelling (ISM VAXO); dan dynamic modeling (program powersim).
Hasil analisis kelayakan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menganalisis hasil penilaian net present value ini dengan tujuan agar semua investasi, pengeluaran dan penerimaan dalam pengelolaan limbah baja yang berbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai ekonomis proyek dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Untuk mengukur hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio ini menggunakan suku bunga yang berlaku pada akhir tahun 2007 yaitu suku bunga SBI sebesar 14 %, minimum attractive rate of return (MARR) sebesar 15 %, dan laju inflasi 6 %. Hasil pengukuran penilaian investasi analisis net present value sebesar 1,885,022 USD dan benefit cost ratio > 3 berarti investasi menguntungkan. Limbah slurry CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan investasi pengelolaan limbah baja.
Hasil analisis submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah baja ini dapat dilakukan dengan analisis multivariat. Dampak sosial pada pengelolaan limbah industri baja meliputi variabel kesehatan masyarakat, variabel lapangan kerja, dan variabel pencemaran lingkungan. Analisis dampak sosial berdasarkan analisis faktor dengan koefisien adalah (0,36) kesehatan masyarakat + (0,04) lapangan kerja, sehingga nilai dampak sosial dalam model pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 orang.
Analisis penentuan pemilihan prioritas dengan model AHP Cdplus3.0 dari pendapat para pakar lingkungan diperoleh hasil perhitungan bobot awal kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan pengelolaan limbah baja adalah 0,325, 0,214, 0,201, 0,119, 0,084, dan 0,056 dengan consistency ratio = 0,099 atau urutan tingkat kepentingannya adalah (1) pemanfaatan limbah kembali, (2) minimalisasi limbah, (3) pencegahan pencemaran pesisir, (4) pencegahan pencemaran terhadap masyarakat masyarakat, (5) upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir, dan (6) kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sedangkan hasil perhitungan akhir bobot kepentingan variabel aktor terhadap variabel alternatif pengelolaan limbah baja adalah 0,276, 0,170, 0,145, 0,114, 0,086, 0,075, 0,070, 0,065 atau urutannya: (1) perubahan bahan baku, (2) perubahan produk, (3) perubahan proses dan teknologi, (4) penerapan 5 R lingkungan, (5) mengurangi limbah, (6) mendaur ulang limbah, (7) mengganti limbah, (8) memakai kembali limbah.
Hasil analisis penentuan parameter kunci kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau Cilegon dengan metode ISM VAXO diperoleh dari jawaban para pakar lingkungan dari 20 butir pertanyaan/pernyataan, kemudian diambil menjadi 10 butir jawaban untuk dijadikan parameter kunci. Langkah-langkah penyusunan ISM VAXO terdiri dari penentukan sub elemen pendapat pakar dengan hasil urutan Pabrik baja, Area penyimpanan limbah, Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman, Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan, Jaringan pembuatan waste water, Kecepatan waktu pengolahan limbah, Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman, Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery), Studi pemanfaatan limbah, dan Mendatangkan pakar. Menentukan kontekstual antar elemen bertujuan untuk mengidentifikasi para pakar lingkungan terutama bekerja maupun yang berdomisili di sekitar lokasi pabrik yang berkecenderungan menghasilkan limbah untuk memberikan jawaban/pendapat kontekstual antar elemen dengan jumlah responden 5 orang pakar. Penentuan hasil pengolahan ISM VAXO diperoleh berdasarkan hasil pengolahan kontekstual antara elemen dengan melibatkan 5 orang responden dari para pakar lingkungan dengan meggunakan bantuan program ISM VAXO. Membuat grafik hasil pengolahan untuk melihat posisi elemen faktor parameter kunci model pengelolaan limbah baja.
Tahapan analisis pada pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri baja melalui pendekatan sistem meliputi: (a) analisis kebutuhan stakeholders, (b) formulasi masalah, (c) identifikasi sistem, (d) pembuatan model, dan (e) pengujian model. Hasil analisisnya adalah: 1) Analisis analisis kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon terdiri dari: Pemerintah yang mewakili kepentingan publik melalui Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten serta Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Perusahaan/industri perhasil baja, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, Masyarakat di sekitar kawasan industri Cilegon yang menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya perikanan, Perguruan Tinggi, serta Divisi Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT. Krakatau Steel. 2) Formulasi masalah dilakukan untuk penentuan informasi yang telah dilaksanakan melalui identifikasi sistem secara bertahap. Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholders, meskipun konflik kepentingannya dapat diidentifikasi antara keinginan yang diperoleh dari hasil perhitungan bobot kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor. 3) Identifikasi sistem pada tahapan pengelolaan limbah baja menggunakan model dinamis (powersim construction) dengan membuar rancang bangun model dengan dilakukan penggambaran diagram sebab akibat (cause loop diagram), karena identifikasi sistem ini merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari berbagai variabel pada pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon. 4) Pembuatan model dirancang berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah industri baja dan dibuat rancang bangun modelnya dengan menggunakan paket program powersim constructor terutama untuk pembuatan model rancang bangun dengan cause loop diagram dan struktur model pada submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri. Hasilnya dalam bentuk rancang bangun gambar cause loop diagram dan struktur model Cause loop diagram dan rancang bangun struktur model. 5) Pengujian model ini dilakukan agar hasil penelitian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah melalui hasil informasi tentang verifikasi dan validitasi model sebagai pengujian yang harus disampaikan oleh peneliti. Verifikasi model merupakan proses verifikasi model yang telah dirancang, kemudian dilakukan secara iteratif untuk memodifikasi struktur model, sedangkan pada validasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Validasi model pada submodel kependudukan dengan nilai AME = 0,045% dan nilai AVE = 0,254%, submodel pesisir laut dengan nilai AME = 0,0002% dan nilai AVE = 0 %, dan submodel limbah industri dengan nilai AME = 0,127% dan nilai AVE = 0,95%. Hasil validasi ketiga submodel tersebut adalah valid dan memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %.
Kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, dapat melakukan strategi kebijakan bersamaan dengan pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industr 1.500 ha., memperhatikan dampak sosial, dan melakukan pengelolaan limbah agar kualitas pesisir laut sehat dan aman. Pengelolaan limbah baja dengan penentuan pemilihan prioritas menggunakan model AHP Cdplus 3.0, penentuan parameter kunci menggunakan ISM VAXO menunjukkan hasil pendapat pakar lingkungan memposisikan yakni Sektor II (dependence) namun memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang kecil pada posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan kecepatan waktu pengolahan limbah (6); Sektor III (independent dan driver power yang kecil) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan area penyimpanan limbah (2), jaringan pembuatan waste water (5), membangun prasarana pengolahan limbah yang aman (7), penerapan 3 R (reuse, recyling, recovery) (8), Studi pemanfaatan limbah (9), dan mendatangkan pakar (9); Sektor IV (independent.) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan pabrik baja (1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman (3), dan pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas, hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar namun memiliki sedikit ketergantungan terhadap program, dan pengembangan model menggunakan program dinamik (powersim). Strategi kebijakan dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop) dan struktur model dengan model dinamik (powersim) yang memperlihatkan hasil analisis program berupa hasil trend naik maupun turun yang ditunjukkan dalam tabel maupun grafik. Arah kebijakan pengelolaan limbah berimplikasi pada metoda kebijakan yang didasarkan dari hasil analisis kebijakan berdasarkan hasil analisis struktur hirarki metoda AHP dan analisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis dari hasil analisis NPV dan BCR.
Kata kunci: Pengelolaan limbah baja, wilayah pesisir, AHP, ISM, dynamic modeling.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA
SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR
KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON
JA’FAR SALIM
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji luar pada ujian tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng.
2. Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi
Penguji luar pada ujian terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Rahman Abdullah, M.Sc.
2. Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, M.S.
Judul Disertasi : Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon
Nama : Ja’far Salim
NIM : P.062050534
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui:
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Anggota Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan SDA Dekan Sekolah Pascasarjana, dan Lingkungan,
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian: 09 Juli 2009 Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Karunia dan Hidayat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Model Pengelolaan Limbah
Industri Baja sebagai Upaya untuk Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan
Industri Krakatau Cilegon.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M,Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan
proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan petunjuk, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.
3. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan petunjuk, arahan dan motivasi kepada penulis sejak penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir, Rahman Abdullah, M.Sc., selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa – Serang, juga sebagai penguji luar ujian terbuka disertasi.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
7. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan SDA
dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
8. Bapak Prof. Dr. Bambang Pramudya, M.Eng,. selaku penguji luar ujian tertutup
disertasi.
9. Bapak Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, selaku penguji luar ujian tertutup disertasi.
10. Bapak Dr. Ir. Dedy Heryadi Sutisna, MS. selaku penguji luar ujian terbuka disertasi.
11. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Institut Pertanian Bogor.
12. Pemerintah Daerah Provinsi Banten, dan Pemerintah Kota Cilegon.
13. Istriku Dra. Hj. Kaniri, M.Pd, dan anak-anak kami Shifa Dini F., Dzikri Hidayat, dan
Faathira Y.H. yang terus menerus memberikan dorongan semangat, pengertian, dan
pengorbanan selama melaksanakan studi di IPB.
14. Rekan-rekan mahasiswa Program S3 PSL 2005 Kelas Khusus, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
15. Rekan-rekan dosen di lingkungan Fakultas Teknik, khususnya di Program Studi Teknik
Industri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
16. Staf Administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Akhirul kata, semoga disertasi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan di Wilayah Pesisir Kota Cilegon.
Bogor, Juli 2009 Ja’far Salim
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 5 Juni 1963 sebagai anak ke 10 dari 11
bersaudara dari pasangan H.M. Salim dan Hj. Rubiah. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di
Jurusan Teknik Industri Universitas Islam Bandung, lulus tahun 1988 dan pada tahun 1997
penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Pascasarjana (S2) Jurusan Teknik
Industri Universitas Indonesia Jakarta, lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program Doktor (S3) dimulai pada tahun 2005 di program studi
Pengelolaan SDA dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar PNS sejak tahun 1991 di Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa Serang pada Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Industri. Mata kuliah
yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Pengetahuan Lingkungan, Sistem Produksi,
Perencanaan dan Pengendalian Produksi, dan Pengambilan Keputusan.
Sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah:
1. Jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta LPPM Untirta, berjudul: Model
pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, diterbitkan pada Edisi 1 Volume
10, November 2008.
2. Jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta LPPM Untirta, berjudul: Model strategi
pengelolaan limbah baja berkelanjutan di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon, diterbitkan pada Edisi 3 Volume 12, April 2009.
Kedua hasil penelitian tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................................
I. PENDAHULUAN .................................................................................................
1.1 Latar Belakang .................................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ..............................................................................................
1.3 Kerangka Pemikiran ..........................................................................................
1.4 Perumusan Masalah ...........................................................................................
1.5 Kebaharuan .......................................................................................................
1.6 Ruang Lingkup...................................................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................
2.1 Konsep Pengelolaan Limbah ............................................................................
2.2 Dampak Limbah Terhadap Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Kesehatan
Masyarakat ......................................................................................................
2.2.1 Pencemaran Laut .....................................................................................
2.2.2 Limbah Logam Dalam Sistem Perairan dan Kesehatan Masyarakat ......
2.2.3 Toksisitas Logam pada Manusia dan Pencegahannya ............................
2.2.4 Beban Pencamaran Limbah Baja dan Kemampuan Asimilasi Wilayah
Pesisir …………………………………………………..........................
2.2.5 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat ...………………………………....
2.3 Pemanfaataan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah ...............................
2.4 Parameter Kriteria Kualitas Air dan Konsentrasi Logam Dalam Air ..............
2.5 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah ......................................................
2.5.1 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Spons ..........................
2.5.2 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Slab Baja .....................
2.5.3 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Billet Baja ...................
2.6 Karakteristik Limbah Padat Industri Baja ........................................................
2.7 Pemodelan Sistem, Verifikasi dan Validasi Model ..........................................
2.8 Analytical Hierarchy Process .........................................................................
2.8.1 Matriks Perbandingan Berpasangan .......................................................
xix
xxii
xxiv
1
1
5
5
7
8
8
11
11
12
14
17
18
20
22
22
25
27
27
28
29
29
33
36
38
xv
2.8.2 Besarnya bobot .......................................................................................
2.8.3 Indeks Konsistensi ................................................................................
2.9 Metode Interpretative Structural Modelling ...................................................
2.10 Pemodelan Sistem Dinamis ...........................................................................
2.11 Konsep Evaluasi Aspek Ekonomi dan Finansial ..........................................
III. METODE PENELITIAN ......................................................................................
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................
3.2 Jenis dan Sumber Data .................................................................................
3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................................
3.3.1 Studi Pendahuluan ................................................................................
3.3.2 Pengumpulan Data ...............................................................................
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................................
3.5 Jenis Data dan Teknis Analisis yang Digunakan ..........................................
3.6 Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah .............................................
3.7 Analisis Baku Mutu .....................................................................................
3.8 Pengambilan Sampling Sedimen .................................................................
3.9 Pengambilan Sampel Biota ..........................................................................
3.10 Pengelolaan Limbah berdasarkan Submodel ............................................
3.11 Analisis Kebijakan Model Pengelolaan Limbah Industri Baja……………
3.11.1 Diagram Sebab Akibat .....................................................................
3.11.2 Pemodelan Sistem Dinamik ...........................................................
3.11.3 Proses Hierarki Analitik ...........…………………………………
3.11.4 Pemodelan Interpretasi Struktural ...............................…………
3.11.5 Model Dinamik …………………………………..…………..
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ................................................
4.1 Kondisi Geografis ............................................................................................
4.2 Kependudukan ..................................................................................................
4.2.1 Luas Wilayah dan jumlah penduduk .......................................................
4.2.2 Kesehatan Masyarakat .............................................................................
4.3 Perekonomian Wilayah ...................................................................................
4.3.1 Industri ...................................................................................................
4.3.1.1 Kondisi Eksisting Pabrik di Kawasan Industri Krakatau ..........
4.3.1.2 Kondisi Eksisting Jumlah Limbah Baja ....................................
39
39
40
41
43
44
44
44
45
45
45
46
47
48
50
51
52
53
55
56
56
59
61
62
64
64
65
65
66
67
67
69
73
xvi
4.3.2 Pertanian .................................................................................................
4.3.2.1 Sumberdaya Perikanan ...............................................................
4.4 Kondisi Pesisir Laut ...................................................................................
V. ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH DI WILAYAH PESISIR ..................
5.1 Pendahuluan ......................................................................................................
5.1.1 Latar Belakang ........................................................................................
5.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ..................................................................
5.2 Tinjauan Pustaka ..............................................................................................
5.2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir ......................................................................
5.2.2 Toksisitas .................................................................................................
5.2.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah.................................................
5.3 Metode Analisis Pengelolaan Limbah di Wilayah Pesisir ..............................
5.4 Hasil dan Pembahasan ....................................................................................
5.4.1 Penataan Ruang di Wilayah Pesisir .......................................................
5.4.2 Uji Terhadap Pengaruh Lingkungan .....................................................
5.4.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah Baja ……………………….
5.5 Kesimpulan dan Saran …………..………………………………………….
5.5.1 Kesimpulan ............................................................................................
5.5.2 Saran ........................................................................................................
Daftar Pustaka ........................................................................................................
VI. ANALISIS INVESTASI PENGELOLAAN LIMBAH ……………………….
6.1 Pendahuluan …………………………………………………………………
6.1.1 Latar Belakang ........................................................................................
6.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ................................................................
6.2 Tinjauan Pustaka ...........................................................................................
6.3 Metode Analisis Finansial Pengelolaan Limbah …………………………….
6.4 Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………
6.4.1 Asumsi Analisis ....................................................................................
6.4.2 Analisis Keterpaduan Wilayah Pesisir ..........................………………
6.4.3 Analisis Nilai Manfaat Investasi Wilayah Pesisir …. ………………
6.4.4 Kelayakan pengelolaan Limbah ……………………………………….
6.5 Kesimpulan dan Saran ........………………………………………………….
6.5.1 Kesimpulan ............................................................................................
6.5.2 Saran ......................................................................................................
74
75
76
77
77
77
79
80
80
80
81
82
84
84
84
94
96
96
98
98
99
99
99
100
100
101
102
102
103
105
106
108
108
109
xvii
Daftar Pustaka ........................................................................................................
VII. MODEL STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN .............................
7.1 Pendahuluan ....................................................................................................
7.1.1 Latar Belakang ........................................................................................
7.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan ................................................................
7.2 Tinjauan Pustaka ..............................................................................................
7.3 Metode Strategi Pengelolaan Lingkungan ......................................................
7.4 Hasil dan Pembahasan Strategi Pengelolaan Lingkungan ..............................
7.4.1 Asumsi Model ........................................................................................
7.4.2 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Penduduk ........................
7.4.3 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Industri.............................
7.4.4 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Dampak Sosial ................................
7.4.5 Pengelolaan Limbah terhadap Pesisir Laut ..........................................
7.4.6 Analisis Baku Mutu ...............................................................................
7.4.7 Analisis terhadap Komponen-komponen Pengelolaan Limbah ...........
7.4.8 Penentuan-penentuan Pengelolaan Limbah ...........................................
7.4.8.1 Penentuan Pemilihan Prioritas ...................................................
7.4.8.2 Penentuan Parameter Kunci ......................................................
7.4.8.3 Pengembangan Model Dinamis pada Pengelolaan Limbah ......
7.5 Kesimpulan dan Saran........................................................................................
7.5.1 Kesimpulan ..............................................................................................
7.5.2 Saran ......................................................................................................
Daftar Pustaka .........................................................................................................
VIII. IMPLIKASI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH ...............
8.1 Pendahuluan ....................................................................................................
8.1.1 Latar Belakang ........................................................................................
8.1.2 Tujuan kebijakan Pengelolaan Limbah ..................................................
8.2 Metode Kebijakan Pengelolaan Limbah .........................................................
8.3 Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Limbah .................................
8.3.1 Analisis Kebijakan .................................................................................
8.3.2 Sintesa ...................................................................................................
8.3.2.1 Analisis Logam Berat ................................................................
8.3.2.2 Analisis Investasi Pengelolaan Limbah .....................................
8.4 Kesimpulan dan Saran ....................................................................................
109
110
110
110
112
112
113
114
114
115
115
117
118
119
130
132
132
139
143
171
171
172
173
174
174
174
175
175
176
176
180
181
181
183
xviii
8.4.1 Kesimpulan .............................................................................................
8.4.2 Saran ......................................................................................................
Daftar Pustaka .......................................................................................................
IX . KESIMPULAN DAN SARAN AKHIR...........................................................
9.1 Kesimpulan ....................................................................................................
9.2 Saran ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
LAMPIRAN ............................................................................................................
183
183
184
185
185
186
187
192
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Sumber pencemaran di wilayah pesisir dan lautan ...............................................
2. Baku mutu limbah cair ..........................................................................................
3. Jenis teknologi direct reduction ..........................................................................
4. Jenis teknologi blast furnace ................................................................................
5. Jenis teknologi direct smelting ............................................................................
6. Skala banding secara berpasangan dalam AHP ...................................................
7. Stakeholder dalam menentukan model pengelolaan limbah baja .........................
8. Tujuan penelitian, jenis data, teknis analisis dan keluaran ..................................
9. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon ..............................................
10. Jenis penyakit di Kota Cilegon ............................................................................
11. Perusahaan/pabrik baja hulu dan hilir di Kawasan Industri PT. Krakatau Steel
Grup ....................................................................................................................
12. Kondisi eksisting Kawasan Industri: Krakatau Industrial Estate Cilegon ..........
13. Data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007 .................
14. Produksi komoditi hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 ..............................
15. Hasil toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) limbah baja ..............
16. Data kualitas air laut di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon…
17. Logam berat pada sedimen ................................................................................
18. Kandungan logam berat pada organ tubuh kerang-kerangan ............................
19. Estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan industri
Krakatau Cilegon ………………………………………………………………..
20. Penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan
limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon ………………….
21. Presentase sektor lapangan usaha di empat Kecamatan Kota Cilegon tahun
2007 …………………………………………………………………………….
22. Dampak sosial model pengelolaan limbah industri baja tahun 2007 ……………
23. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di
Kecamatan Ciwandan tahun 2003 – 2007............................................................
24. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di
16
26
30
30
31
39
47
48
66
68
70
71
73
74
86
88
90
91
107
108
114
117
122
xx
Kecamatan Citangkil tahun 2003 – 2007. ............................................................
25. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di
Kecamatan Grogol tahun 2003 – 2007..................................................................
26. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di
Kecamatan Pulomerak tahun 2003 – 2007. .........................................................
27. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Ciwandan .................
28. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Citangkil ..................
29. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Grogol .......................
30. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Pulomerak .................
31. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Ciwandan tahun 2007
32. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Citangkil tahun 2007..
33. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Grogol tahun 2007 ...
34. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kecamatan Pulomerak tahun 2007
35. Hasil analisis bobot fokus terhadap tingkat kepentingan tujuan strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC .............................................
36. Hasil perhitungan bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada
strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ................................
37. Hasil analisis bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria startegi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC .............................................
38. Hasil perhitungan bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada
strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ...............................
39. Hasil analisis bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ............................................
40. Hasil perhitungan bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada
strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ...............................
41. Hasil analisis bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC ............................................
42. Hasil pendapat pakar lingkungan tentang pengelolaan limbah baja …………….
43. Sub elemen faktor kunci dalam pengelolaan limbah .........................................
44. Formulasi masalah keinginan dan konflik kepentingan pengelolaan limbah …...
45. Struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon ..................
46. PDRB dan pendapatan penduduk pada struktur sub model kependudukan di
wilayah pesisir Kota Cilegon .............................................................................
47. Kebutuhan tenaga kerja perairan dan pesisir pada struktur sub model pesisir
122
123
123
124
124
125
125
126
127
127
128
133
134
134
135
136
136
137
139
141
145
153
154
xxi
laut di wilayah pesisir Kota Cilegon ....................................................................
48. Jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri ..............................
49. Jumlah penduduk aktual dan hasil prediksi jumlah penduduk .........……………
50. Luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir ..............................................
51. Limbah baja aktual dan hasil prediksi limbah baja .............................................
52. Urutan tingkat kepentingan faktor tujuan pengelolaan limbah baja ……………
53. Hirarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung ………
54. Hirarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung …………
55. Hirarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung ……
56. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan limbah industri baja ……………………
158
161
166
168
170
177
178
179
180
183
xxii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Jenis limbah baja yang dapat di daur ulang kembali menjadi baja ......... ............
2. Jenis limbah baja yang tidak dapat di daur ulang kembali menjadi baja .............
3. Kerangka berpikir pengelolaan limbah industri baja ...........................................
4. Rancangan dan perumusan penyelesaian masalah ...............................................
5. Daur pencemaran lingkungan ................................................................................
6. Kawasan industri dan potensi sumber daya alam kabupaten/kota di Provinsi
Banten ...................................................................................................................
7. Sistem pengolahan air WTP DR plant …………………………………………..
8. Sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia ...............................................
9. Tahap pendekatan sistem ......................................................................................
10. Metode penelitian pengelolaan limbah industri baja .............................................
11. Struktur hirarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja ..............
12. Peta Kota Cilegon .................................................................................................
13. Data kuantitas jenis limbah baja ..........................................................................
14 Pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir ........................................................
15. Logam berat pada air, sedimen, insang, dan hepatopankreas .............................
16. Konsentrasi sedimen, insang, hepatopankreas, dan air pada logam berat ..........
17. Diagram alir proses RTP/IPAL ............................................................................
18. Model analisis investasi pengelolaan limbah ......................................................
19. Pemodelan sistem pengelolaan/pengendalian limbah baja ................................
20. Grafik prosentase sektor lapangan usaha di Kota Cilegon ..................................
21. Struktur hierarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja ............
22. Matriks driver-power – dependence untuk sub elemen faktor kunci ................
23. Diagram model struktural dari elemen faktor kunci pengelolaan limbah .............
24. Diagram input – output pengelolaan sumberdaya pesisir ...................................
25. Diagram hubungan sebab akibat submodel kependudukan pada model
pengelolaan limbah industri baja .........................................................................
26. Struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja .....
27. Grafik PDRB Kota Cilegon tahun 2003 – 2015 pada struktur sub model
kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon ................................................
3
3
7
10
14
17
28
32
35
46
60
65
74
83
92
92
97
102
114
116
138
142
143
149
150
151
154
xxiii
28. Diagram hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model
pengelolaan limbah industri baja .........................................................................
29. Struktur sub model pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja .....
30. Diagram hubungan sebab akibat submodel limbah industri pada model
pengelolaan limbah industri baja .........................................................................
31. Struktur sub model limbah industri pada model pengelolaan limbah industri
baja .......................................................................................................................
32. Struktur model keseluruhan model pengelolaan limbah industri baja sebagai
upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon ..................................................................................................
33. Grafik jumlah penduduk aktual dan prediksi jumlah penduduk pada submodel
kependudukan .....................................................................................................
34. Grafik jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 pada sub model kependudukan
di wilayah pesisir Kota Cilegon .........................................................................
35. Grafik luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir pada submodel pesisir
laut ......................................................................................................................
36. Grafik luas pesisir tahun 2003 – 2015 pada submodel pesisir laut di wilayah
pesisir Kota Cilegon ..........................................................................................
37. Grafik jumlah limbah aktual dan hasil prediksi jumlah limbah pada submodel
limbah industri ..................................................................................................
38. Grafik jumlah limbah baja tahun 2003 – 2015 pada submodel limbah industri
di wilayah pesisir Kota Cilegon .........................................................................
155
156
159
160
162
167
167
168
169
170
171
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Daftar istilah (Glossary) ........................................................................................
2. Analisa penilaian net present value limbah ............................. ..........................
3. Analisa penilaian benefit cost ratio limbah …………………...........................
4. Compound interest factors …………………..………………………………….
5. Kuesioner analytical hierarchy process (AHP) ……………………………….
6. Kuesioner interpretative structural modelling (ISM) ………………………….
7. Hasil matriks pasangan Fokus - Tujuan analisis AHP model pengelolaan limbah
baja ……………………………………………………………………………...
8. Hasil matriks pasangan Tujuan - Kriteria analisis AHP model pengelolaan
limbah baja ………………………………………………………………………
9 Hasil matriks pasangan Kriteria - Aktor analisis AHP model pengelolaan
limbah baja ………………………………………………………………………
10. Hasil matriks pasangan Aktor - Alternatif analisis AHP model pengelolaan
limbah baja ………………………………………………………………………
11. Hierarki analisis AHP aktor - alternatif model pengelolaan limbah baja ……….
12. Data input dan proses ISM VAXO .…………………………………………….
13. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model
Kependudukan ………………………………………………………………….
14. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model
Pesisir Laut….……………………..…………………………………………….
15. Program model dinamik pada model pengelolaan limbah baja, Sub model
Limbah Industri ……………………………………………………………….
15. Prediksi hasil pemodelan sistem tahun 2003 - 2015………………………….
192
194
197
200
201
225
234
234
235
235
236
237
239
240
242
244
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemakmuran dan kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh ketersediaan
dan pengelolaan sumber daya alam yang baik, seperti pengelolaan energi dan bahan
baku, sumber daya manusia, pengelolaan pasar (market), strategi dan teknologi. Oleh
karena itu, maka Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya
energi, sumber daya bahan baku, serta sumber daya manusia yang kompetitif, akan
menjadi negara yang kuat di era global apabila bangsa Indonesia mampu mengelola
dengan baik sumber-sumber daya tersebut, sehingga tidak hanya dapat dieksplotasi
saat ini, melainkan juga untuk masa mendatang. Menurut Salim (1993), dalam
rangka mengisi pembangunan berkelanjutan, sumber-sumber daya yang telah
dieksploitasi seperti bahan mentah pertambangan akan diolah menjadi sumber alam
produksi lainnya dengan melibatkan teknologi pengolahan sumber alam.
Salah satu sumber daya alam yang melimpah dan dapat digunakan untuk
pembangunan berkelanjutan adalah bahan baku baja untuk industri. Menurut
Mulyowahyudi (2005) industri baja sebagai based industry untuk banyak sektor lain.
Oleh karena itu maka industri ini diharapkan mampu menjadi katalis untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemandirian dan produktivitas industri dengan
melakukan optimalisasi natural resources secara berkesinambungan. Selain itu
industri baja juga diharapkan mampu menjadi penggerak pembangunan infrastruktur
nasional. Salah satu pabrik baja yang terkenal di Indonesia adalah PT. Krakatau Steel.
PT. Krakatau Steel merupakan pabrik baja terpadu dan termasuk pada salah
satu industri baja terkemuka di Indonesia. Perusahaan ini diharapkan mampu menjadi
perusahaan unggulan terutama dalam teknis pembuatan baja dengan teknologi tinggi
serta dituntut mampu meraih keuntungan secara finansial dalam meningkatkan
kapasitas produksinya. Namun dalam proses produksi, tidak akan lepas dari
timbulnya limbah. Seperti halnya limbah industri lainnya, jika limbah industri baja
tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai permasalahan. Kompleksitas
permasalahan dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten
semakin diperparah oleh beberapa faktor penghambat. Menurut Douven (2000) faktor
penghambatnya antara lain adalah perencanaan wilayah pesisir yang masih sangat
bersifat sektoral, perencanaan dan pengelolaan wilayah darat dan l aut yang masih
2
terpisah, dan rendahnya kesadaran para stakehoders pada masalah-masalah
lingkungan, dan permasalahan pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Khusus untuk limbah industri dengan semakin
cerdasnya masyarakat, limbah industri baja banyak mendapat sorotan dari berbagai
kalangan karena dikuatirkan akan membahayakan lingkungan. Dalam rangka
meminimalisasi bahaya yang akan ditimbulkan oleh industri baja terhadap
lingkungan, maka harus dilakukan pengelolaan secara komprehenshif, sehingga
limbah industri baja tidak mencemari lingkungan, baik terhadap pertanian maupun
kesehatan masyarakat sekitarnya.
Menurut Galeotti (1997), pabrik insenerasi (pengabuan) memiliki teknologi
yang efisien untuk perlakukan municipal solid wastes (MSW) menjadi bagian dari
pabrik yang ditangani secara terintegrasi dan memiliki kemampuan untuk mengurangi
volume limbah. Sedangkan pencemaran lingkungan saat ini terus meningkat dan
cenderung semakin memprihatinkan di kawasan industri. Hal ini terjadi akibat belum
optimalnya penanganan limbah industri yang berdampak pada kerugian bagi
masyarakat sekitarnya. Namun sampai saat ini, pihak perusahaan belum menghitung
berapa besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah baja dan dampaknya
terhadap tingkat kerusakan lingkungan khususnya lahan pertanian maupun kesehatan
masyarakat sekitarnya. Limbah industri merupakan bagian dari hasil produksi yang
pada umumnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang kurang baik,
namun jika limbah tersebut dapat dikelola atau dimanfaatkan kembali dalam bentuk
daur ulang menjadi jenis produk lainnya akan mempunyai nilai tambah (added value)
yang sangat menguntungkan. Salah satu contoh limbah industri baja yang dapat
didaur ulang adalah limbah yang berasal dari proses manufacturing yakni proses
pengubahan, baik bersifat fisik (bentuk atau ukuran) maupun bersifat kimiawi.
Menurut Samsudin (2006), lokasi buangan limbah dapat menimbulkan
pencemaran dan permasalahan pencemaran terjadi di area yang lembab, di mana
kelembaban yang ada melebihi kemampuan dari timbunan limbah yang menyerap air.
Jika limbah yang dihasilkan industri baja tidak dimanfaatkan kembali, maka
jumlahnya akan semakin banyak. Menurut Darmono (2006), dari jumlah tersebut
diperkirakan 20 % dibuang ke laut berupa sludge, lumpur yang bercampur dengan
bahan kimia toksik dan bahan padat yang berasal endapan pengelolaan limbah. Hal
ini berarti bahwa tempat membuangnya limbah tersebut diperkirakan akan terkena
pencemaran limbah baja yang dapat mengurangi produksi ikan laut terutama pesisir
sekitar pabrik tersebut. Oleh karena kegiatan di pabrik berlangsung setiap hari, maka
3
sludge yang akan dibuang ke laut juga dilakukan setiap hari. Kondisi ini akan
mengakibatkan semakin beratnya degradasi di pesisir tempat membuang limbah,
karena pesisir merupakan wilayah sebagai tempat aktivitas yang paling banyak
dilakukan, maka menurut MacDonald (2005), memperkirakan sekitar 70% penduduk
dunia hidup dan tinggal di wilayah pesisir. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengelolaan limbah yang jumlahnya semakin banyak dengan mengolahnya terlebih
dahulu pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan teknologi tertentu
sehingga dapat mengurangi bahaya dari limbah tersebut. Limbah industri baja berupa
limbah yang dihasilkan pabrik baja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Limbah padat proses produksi : scrap dan slag
2. Limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri : scale, slurry, dan sludge
3. Limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc
furnace.
Jenis-jenis limbah padat yang dihasilkan pada proses manufacturing, baik yang dapat
didaur ulang menjadi produk yang sejenis maupun produk yang tidak sejenis
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
(SLAG EAF) (SCALE SSP) (SCRAP)
Gambar 1. Jenis limbah baja yang dapat di daur ulang kembali menjadi baja
( DEBU EAF) ( SLUDGE) (SLURRY)
Gambar 2. Jenis limbah baja yang tidak dapat di daur ulang kembali menjadi baja
4
Sebenarnya PT. Krakatau Steel telah melakukan pengolahan terhadap limbah
yang dihasilkannya sehingga dihasilkan produk yang bernilai ekonomis melalui
sebuah proses transformasi. Proses transformasi ini akan merubah bentuk dan dimensi
fisik dari bahan baku serta sifat-sifat lainnya (non-fisik) sesuai dengan rancangan
yang diinginkannya. Proses transformasi ini baru akan memberikan arti positif
apabila diikuti dengan pertambahan nilai (added value) dari output yang dihasilkan,
baik berupa pertambahan nilai fungsional maupun nilai ekonomisnya. Sedangkan
pada umumnya perusahaan mengharapkan limbah yang dihasilkan seminimal
mungkin (zero waste). Menurut Sheehan (2000), zero waste merupakan sistem
manajemen sumber daya yang memaksimalkan pendauran ulang, memperkecil
limbah, mengurangi konsumsi dan memastikan bahwa produk dibuat untuk
digunakan kembali, diperbaiki atau didaur ulang kembali ke sifat asal atau menjadi
barang yang diminta oleh pasar.
Menurut Bateman (1997), baja dapat digunakan pada lokasi maupun tempat
yang sering mengalami kerusakan terkait dengan cuaca atau bencana alam seperti
angin topan, tsunami, dan gempa bumi. Banyak keuntungan dari baja dibandingkan
dengan kayu, karena baja mempunyai umur ekonomis lebih lama, sekalipun tak
memenuhi ramalan permintaan pasar tetapi industri baja dapat mengantisipasinya.
Industri dan produk baja yang dihasilkannya mempunyai dampak pada basis
sumberdaya alam melalui keseluruhan daur eksplotasi dan ekstrasi bahan mentah,
trasformasi menjadi produk, konsumsi energi, limbah produksi, dan pemakaian
produk serta pembuangan sampah yang dihasilkan produk itu oleh konsumen.
Dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan kegiatan industri pada
mulanya hanya dipandang sebagai masalah pencemaran udara, air, dan tanah yang
bersifat setempat.
Walaupun pabrik baja telah berupaya melakukan transformasi dari limbah
yang dihasilkannya menjadi produk yang bernilai ekonomis, namun masih tetap
dihasilkan limbah yang harus dibuang ke lingkungan. Hal ini sudah dibuktikan dalam
suatu percobaan, earthworms telah digunakan untuk menilai ecotoxicas dari waste
foundry sands (WFSs). Di U.S sebagai contoh industri pengecoran logam
menghasilkan beberapa juta ton limbah berupa pasir yang tidak lagi digunakan untuk
metalcasting (Dungan, 2006), padahal produksi baja dunia pada beberapa tahun
terakhir jumlahnya 900 juta ton dan sekitar 400 juta ton dari co-products, sludge dan
limbah padat. Menurut Kallio (2005), lebih dari 80% dari co-products yang
timbulkan dari produksi baja adalah ampas bijih (slags). Kondisi ini sudah barang
5
tentu akan mengganggu lingkungan karena limbah yang tidak dapat dimanfaatkan
kembali akan dibuang ke lingkungan pesisir, oleh karena itu dalam rangka menjaga
kelestarian wilayah pesisir dan menjaga kesehatan masyarakat di sekitar pabrik baja
PT. Krakatau Steel dan Kawasan Industri Krakatau Cilegon, maka agar segera
dilakukan.
Sebenarnya sudah banyak dilakukan penelitian yang mengarah pada
pemanfaatan limbah baja, namun hingga saat ini limbah industri baja masih
menimbulkan berbagai masalah terutama masalah ekologi, masalah kesehatan dan
masalah sosial. Namun masalah yang paling mendesak untuk dipecahkan saat ini
adalah masalah kerusakan wilayah pesisir yang ada di Kawasan Industri Krakatau
Cilegon. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan kelestarian wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon maka perlu dicari model pengelolaan limbah baja.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja
yang dihasilkan, yang belum dimanfaatkan kembali.
2. Mengetahui pencemaran di wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat di Kawasan
Industri Krakatau Cilegon dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang.
3. Merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitarnya.
4. Merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan.
1.3 Kerangka Pemikiran
Konsep berpikir pengelolaan limbah ke depan ditujukan pada pembangunan
berkelanjutan yang tidak saja hanya memperhatikan kesejahteraan pada saat ini,
namun mengusahakan kesejahteraan pada generasi yang akan datang. Hal ini terkait
dengan kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan mengakses bahan pokok, tetapi juga harus mampu mencari alternatif lain
untuk menaikkan tingkat kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah
pemanfaatan kembali limbah industri baja (didaur ulang) menjadi produk lain yang
mempunyai nilai tambah, sekaligus tidak merusak lingkungan. Namun negara
Indonesia yang menghasilkan bahan dasar magnet dari limbah pabrik besi baja, saat
ini belum mampu mengolah limbah berupa besi oksida menjadi magnet. Para
6
pengamat ekonomi Indonesia menginformasikan bahwa negara Indonesia setiap
tahunnya menghasilkan sekurang-kurangnya 10.000 ton besi oksida. Karena tidak
dilakukan proses pengolahan limbah, maka limbah tersebut dibeli dan diolah oleh
negara-negara produsen magnet terbesar, seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, dan
Jerman, yang kemudian mengekspor kembali produk magnet siap pakai ke Indonesia.
Pemanfaatan lain limbah padat industri baja adalah sebagai bahan substitusi semen
untuk pembuatan beton non struktur seperti produk batako, paving block, genteng
press, dan sebagainya. Namun demikian limbah yang tidak dapat dimanfaatkan akan
dibuang ke lingkungan, sehingga dalam jumlah yang banyak akan berakibat buruknya
pada lingkungan.
Untuk menghadapi permasalahan limbah yang setiap waktu bertambah dan
dapat berakibat buruk pada lingkungan, baik udara, air, tanah serta pada lahan
pertanian, diperlukan strategi pemecahan masalah ke depan. Berdasarkan data dan
informasi dimulai dari timbulnya limbah industri dari hasil proses produksi sampai
dengan model pengelolaan limbah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah.
Pada dasarnya limbah baja yang dihasilkan ada yang dapat didaur ulang
kembali menjadi produksi sejenis dan ada juga limbah yang tidak dapat didaur ulang.
Untuk limbah baja yang tidak dapat didaur ulang, jika dibiarkan di tempat
penampungan limbah, suatu saat akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap
lingkungan sekitarnya. Untuk itu perlu pengelolaan secara optimal sehingga tidak
memunculkan efek yang merugikan baik bagi karyawan, masyarakat di sekitar
perusahaan maupun lingkungan sekitarnya. Dalam rangka mencapai hal tersebut di
atas, maka perlu dilakukan penelitian pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Beberapa penelitian limbah baja yang sudah dilakukan, antara lain oleh
Nurdin (1992) yang meneliti mengenai proses pengendapan air pendingin limbah baja
berupa lumpur dan scale yang dihasilkannya dan dijadikan bahan pembuatan magnet.
Damanhuri (1997) mendapatkan konsep dasar atau teknologi terapan pengelolaan
limbah baja terutama dikaitkan dengan upaya daur ulang. Penelitian model
pengelolaan limbah industri baja dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan
kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang belum pernah
dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Kerangka
pemikiran penelitian ini, disajikan pada Gambar 3.
7
Gambar 3. Kerangka berpikir penelitian
1.4 Perumusan Masalah
PT. Krakatau Steel sebagai industri baja terpadu pertama yang dimiliki
negara Indonesia mempunyai kemampuan untuk bersaing di pasar dalam dan luar
negeri. Untuk menangkap peluang yang akan dicapai, perlu dilakukan tahapan
pengelolaan yang merupakan tahapan sangat penting karena pengelolaan akan
menjadi dasar acuan langkah-langkah selanjutnya. Pengelolaan limbah industri baja
dipengaruhi oleh beberapa karakteristik yang kompleks, yang melibatkan variabel-
variabel sumber daya yang membatasi setiap alternatif penanganan limbah dan
seberapa besar pengaruh limbah industri baja tersebut terhadap tingkat pencemaran
lingkungan industri maupun masyarakat sekitarnya.
Limbah baja (sludge,slurry, debu EAF, dll)
Tujuan Pengelolaan Limbah Baja: Pemanfaatan kembali limbah baja yang timbul, Meminimalisasi dampak limbah baja terhadap pencemaran lingkungan di masyarakat dan Upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir
Masalah pengelolaan limbah baja
Upaya pengelolaan limbah baja yaitu pengendalian limbah, minimalisasi limbah yang timbul, pemanfaatan limbah
Pemanfaatan dan pengelolaan limbah industri baja
Hasil: Pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk kelestarian lingkungan
Mengurangi, memakai kembali, mendaur ulang,
dan mengganti
Lingkungan (Ketahanan wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat)
8
Manajemen perusahaan memiliki kebijakan untuk melakukan
penganekaragaman usaha dengan cara memanfaatkan limbah industri baja yang
dihasilkan menjadi produk yang bernilai komersial. Hal ini juga dimaksudkan untuk
membuka peluang lapangan kerja baru dan membuka peluang usaha di luar bidang
usaha yang sudah ada, dan diharapkan usaha-usaha yang dilakukan selain menyerap
tenaga kerja yang mendapatkan nilai tambah yang lebih baik bahkan bukan tidak
mungkin akan mempunyai nilai yang lebih ekonomis. Menghadapi permasalahan
limbah industri yang timbul dan harus segera dicari penyelesaiannya dalam rangka
mengurangi pencemaran lingkungan, baik terhadap perikanan maupun kesehatan
masyarakat, perlu dibuat kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri
yang meliputi: pemanfaatan limbah baja yang mempunyai nilai tambah,
meminimalisasi limbah baja yang timbul dan pengendalian limbah baja. Selain itu,
beberapa aspek dalam pengelolaan limbah baja berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan ini diharapkan terciptanya pendapatan masyakatan sekitar, penyerapan
tenaga kerja, peningkatan ekonomi daerah, kesehatan masyarakat, serta terjaganya
kelestarian pesisir. Adapun rancangan dan perumusan penyelesaian masalah
selengkapnya disajikan pada Gambar 4.
1.5 Kebaharuan
Kebaharuan (novelty) hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Model
heuristik yang menggabungkan model AHP, metode ISM, dan pemodelan sistem
dinamik pada pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon, (2) Strategi pengelolaan limbah industri baja yang holistik dan
berwawasan lingkungan.
1.6 Ruang Lingkup
Untuk mengarahkan penulisan penelitian ini terfokus pada permasalahan yang
akan diteliti, maka ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di Pabrik baja terpadu PT. Krakatau Steel dan wilayah
pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi Kecamatan Ciwandan,
Citangkil, Grogol, dan Pulomerak
2. Jenis limbah yang diteliti adalah limbah padat hasil pengelolaan air limbah
industri melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL): slurry, dan sludge dari:
(a) direct reduction plant (DR I, II, III) yang berasal dari water treatment plant
(WTP). (b) billet steel plant (BSP), slab steel plant (SSP) yang tergabung di fluid
9
centre (FC). (c) wire rode mill (WRM), berasal dari WTP. (d) hot strip mill
(HSM), berasal dari WTP. (e) cold rolling mill (CRM), berasal dari WTP.
Serta jenis limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric
arc furnace (EAF) dari SSP.
3. Dampak masyarakat terhadap pengelolaan limbah baja dalam upaya
mempertahankan kelestarian ekosistem pesisir dan kesehatan masyarakat di
Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
4. Pengambilan sampel sedimen dan biota air khususnya kerang-kerangan dilakukan
untuk melihat kelestarian ekosistem wilayah pesisir.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pengelolaan Limbah
Pada Agenda 21 menganjurkan teknologi yang bersih dapat mengurangi
jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah secara aman (Memahami KTT
Bumi, 1992). Namun pada permasalahan limbah industri baja ini diperlukan upaya-
upaya yang dapat dilakukan dalam mengelola limbah industri baja saat ini yaitu
meminimasi jumlah limbah yang berada di sumber timbunan, pewadahan,
pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan lebih diprioritaskan pada upaya daur
ulang limbah. Adapun untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan kebijaksaan
dapat dilakukan dengan memperhatikan sistem pengolahan, konsep pengelolaan
limbah hingga pada konsep evaluasi investasi.
Menurut Chini dan Gupta (1997), baja yang diproduksi secara terus-menerus
diperoleh kembali dan didaur ulang tanpa penurunan atau kerugian. Respon industri
terhadap polusi dan pengrusakan sumberdaya tidak pernah dan tidak boleh terbatas
hanya pada kesediaan mengikuti peraturan. Industri harus menerima tanggung jawab
sosial yang luas dan selalu mempertimbangkan lingkungan semua tingkat. Untuk
mencapai itu, menurut Salim (1993) semua perusahaan industri harus menciptakan
kebijakan-kebijakan dari semua tingkatan dalam memperhatikan pengelolaan
lingkungan, termasuk ketaatan hukum dan persyaratan tempat beroperasinya suatu
perusahaan.
Intensitas pengolahan berikut kadar dampak kepada lingkungan sangat
dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan, maka pilihan teknologi yang kurang
merusak lingkungan menjadi sangat penting dalam usaha pengolahan sumber alam
tanpa merusak lingkungan (Memahami KTT Bumi, 1992). Adapun upaya-upaya yang
dapat dilakukan dalam mengelola limbah industri baja saat ini yaitu meminimasi
jumlah limbah yang berada di sumber timbunan, pewadahan, pengumpulan,
pengangkutan dan pembuangan lebih diprioritaskan pada upaya daur ulang limbah,
baik untuk kebutuhan di lingkungan industri sendiri maupun untuk di luar lingkungan
industri dengan cara menjual limbah. Menurut Heather (1997), limbah buangan padat
telah menjadi suatu perhatian utama di dalam area penyimpanan dan berpotensi
mengancam kesehatan masyarakat, merusak lingkungan, dan merintangi
perekonomian.
12
Menurut Fenton (1998), konsumsi besi dan skrap baja dari skrap industri
tergantung secara langsung terhadap industri pembuatan baja. Konsep tersebut sejalan
dalam rangka peningkatan produksi baja dan kebutuhan konsumen yang semakin
meningkat, maka suatu kegiatan industri pasti menimbulkan limbah, baik secara
langsung maupun tak langsung tak lepas dari masalah penanganan limbahnya. Agar
jumlah limbah yang ada saat ini berpotensi dapat mencemarkan lingkungan
sekitarnya dan menambah beban biaya bagi perusahaan, maka diperlukan sistem
pengelolaan limbah yang sudah dan akan ditimbulkan, sistem pengelolaan ini
meliputi penanganan limbah dari sumbernya. Oleh karena itu, menurut Thale (1994)
praktek buangan limbah pada masa lalu sudah ditinggalkan dari suatu warisan yang
berbahaya menuju ke keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Menurut Djajadiningrat (2001), pengelolaan limbah baja dalam upaya
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir sekitarnya, memerlukan adanya
perubahan dalam pola berpikir dengan teknologi produksi bersih yang meliputi: (1)
Sebagai alternatif faktor yang mempengaruhi, yaitu (a) Good house keeping,
mencakup tindakan prosedural, administratif atau institusional yang dapat digunakan
perusahaan untuk mengurangi terbentuknya limbah dan emisi. (b) Perubahan material
input, bertujuan untuk mengurangi bahan berbahaya dan beracun (B3) yang masuk
atau digunakan dalam proses produksi, sehingga dapat juga menghindari
terbentuknya limbah B3 dalam proses produksi. (c) Perubahan teknologi, mencakup
modifikasi proses dan peralatan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi
limbah dan emisi. (d) Perubahan produk, meliputi substitusi produk, konservasi
produk dan perubahan komposisi produk. (e) On-site reuse, merupakan upaya
penggunaan kembali bahan-bahan yang terkandung dalam limbah, baik untuk
digunakan kembali pada proses awal atau sebagai material input dalam proses yang
lain; (2) Sedangkan sebagai manfaat yang mempengaruhinya, yaitu (a) Penghematan
bahan baku. (b) Mengurangi biaya pengolahan limbah. (c) Mencegah kerusakan
lingkungan. (d) Mengurangi bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. (e)
Meningkatkan daya saing poduk.
2.2 Dampak Limbah terhadap Pencemaran Ekosistem Pesisir dan Kesehatan Masyarakat
Menurut Maduka (2006), proses perkembangan teknologi dan industrialisasi
merupakan awal dari adanya bahaya bahan kimia (hazardous chemicals) terhadap
lingkungan baik air, udara, maupun tanah. Sedangkan perkembangan industri yang
13
pesat dewasa ini tidak lain karena penerapan kemajuan teknologi oleh manusia guna
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Industri dan teknologi dimanfaatkan
oleh manusia untuk mengolah kekayaan alam yang ada. Udara, air, tanah, dan segala
kekayaan yang ada di dalamnya dicari dan diolah sedemikian rupa untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan (Wardhana, 2004). Namun, jika pengelolaannya
menimbulkan dampak yang kurang baik, justru akan merugikan kelangsungan hidup
manusia maupun makhluk hidup lainnya, seperti limbah hasil produksi dapat
menimbulkan pencemaran ekosistem pesisir/perairan dan kesehatan masyarakat.
Sedangkan menurut Bertram (2005), perjalanan ekosistem kesehatan di perairan
berorientasi pada tujuan untuk mendapatkan proses hubungan stakeholders dan
indikatornya adalah ketersediaan sumber alam, kesehatan manusia dan nilai sosial
lainnya.
Begitu juga, menurut Knuteson (2002) penggunaan pestisida dalam pertanian
yang tidak sesuai dapat mendorong kearah permasalahan lingkungan seperti
penurunan kualitas air dan tekanan terhadap ekologis. Di sisi lain, bahan kimia di
udara yang berpengaruh negatif pada manusia, hewan, tanaman, dan lainnya dapat
dikategorikan sebagai pencemar udara. Hampir semua emisi bahan pencemar yang
berasal dari proses alamiah selalu tersebar ke seluruh permukaan bumi sehingga
jarang terkonsentrasi dan mengakibatkan kerusakan. Pencemaran debu baja dari
limbah yang dihasilkan dari proses produksi dapat merusak lingkungan alam
sekitarnya. Pencemaran udara yang terjadi sejak revolusi industri telah banyak
dilaporkan, dan dari tahun ke tahun jenis dan jumlah bahan pencemar terus meningkat.
Menurut Darmono (2006), beberapa bahan pencemar yang menyebabkan polusi udara
telah banyak dilaporkan, terutama di negara industri seperti: Amerika dan Jepang.
Salah satu jenis bahan pencemaran yang sering dijumpai yaitu karbon manoksida
(CO). Jenis bahan tersebut terdapat pada kandungan limbah baja. Selain itu, berat
atau ringannya pencemaran udara di suatu daerah sangat tergantung pada iklim lokal,
topografi, banyaknya industri yang berlokasi di daerah tersebut. Adapun daur
pencemaran lingkungan disajikan pada Gambar 5.
14
Sumber Pencemaran
Udara Air Daratan
Tanaman Tanaman
Hewan Hewan
Manusia
Gambar 5. Daur pencemaran lingkungan (Wardhana, 2004)
Sedangkan menurut Maduka (2006) dalam kebijakan lingkungan yang efisien
terhadap polusi air/perairan dan kesehatan manusia, rekomendasinya kepada industri
dan hasil limbahnya yaitu agar industri dapat mendaur ulang limbahnya sehingga
permasalahan dampak pencemaran terhadap air/perairan maupun terhadap kesehatan
masyarakat dapat ditangani dengan baik.
2.2.1 Pencemaran Laut
Menurut Rodriguez (2007) berpendapat bahwa manusia mempunyai suatu
pengaruh yang kuat terhadap perubahan ekosistem yang berhubungan dengan air dan
aktivitasnya seperti kebutuhan akan kualitas perairan yang menggunakan teknologi
efektif untuk mendeteksi, mengatur, dan memeriksa terhadap penurunan kualitas air
(perairan) yang disebabkan oleh keaneka-ragaman polusi maupun pencemaran
kualitas perairan. Sedangkan menurut Darmono (2006), dalam kehidupan manusia di
bumi ini salah satunya sangat tergantung pada lautan, manusia harus menjaga
kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Lautan
merupakan tempat pembuangan benda-benda asing dan pengendapan barang sisa
yang diproduksi oleh manusia. Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh
air dari daerah pertanian dan limbah rumah tangga, sampah, dan sebagainya.
15
Mengingat bahwa pencemaran lingkungan, baik yang melalui udara, air, daratan
(tanah) pada akhirnya akan sampai juga kepada manusia.
Dalam kegiatan industri yang dilakukan oleh manusia di daratan bermacam-
macam, namun yang paling potensial menimbulkan pencemaran disebabkan oleh
limbah industri yang dihasilkan limbah adalah industri kertas dan pulp, industri
pengolahan makanan dan minuman, industri pertambangan, industri farmasi-kimia,
dan industri lainnya. Limbah industri-industri tersebut mengandung logam berat
seperti merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn) dan
sebagainya. Unsur-unsur tersebut mempunyai daya racun yang kuat (toksisitas tinggi),
sehingga dapat menurunkan kualitas air dan meracuni organisme makhluk hidup
lainnya. Menurut Darmono (2006), daya racun (toksisitas) logam berat tergantung
dari jenis, kadar, efek sinergis-antagonis dan sifat fisika-kimianya.
Menurut Williams (1997), dalam International Oceangraphic Commission
(IOC) untuk UNESCO mendefinisikan pencemaraan laut sebagai berikut:
dimasukkannya oleh manusia langsung atau tidak langsung substansi ke dalam
lingkungan laut menghasilkan pengaruh merusak terhadap sumberdaya alam,
sehingga menggangu kesehatan manusia dan aktivitas dilaut. Pencemaran di laut
memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan. Kehidupan biota dan
kenyamanan manusia serta sumberdaya menjadi terganggu akibat pencemaran. Oleh
karena itu, pencemaran terjadi akibat dari aktivitas manusia dan alam. Menurut Miller
(1991) menjelaskan terdapat dua bentuk sumber pencemar yang masuk ke perairan
laut: (1) Sumber pencemar berasal dari pembungan limbah cair melalui pipa, saluran
air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu, seperti pabrik, tempat pengolahan
limbah, rumah sakit, dan lain-lain. (2) Sumber pencemar berasal dari pembuangan
limbah ke badan air maupun tanah pada suatu daerah yang luas, sepert limpasan air
dari daerah pertanian, peternakan, lokasi pembangunan dan lain-lain. Adapun sumber
pencemaran di wilayah pesisir dan lautan disajikan pada Tabel 1.
16
Tabel 1. Sumber pencemaran di wilayah pesisir dan lautan Pencemar Sumber (Pollution) Pertanian Limbah
Cair Limbah Cair
Perkotaan Pertambangan Budidaya
Perikanan Industri Pelayaran
Sediemen *** ** *** *** * * Nutrien *** *** ** ** * Logan beracun * * * *** *** * Zat kimia beracun * ** * * * ** * Pestisida *** * * Organisme eksotik * ** Organisme patogen *** * * Sampah * * *** * ** Bahan penyebab turunnya oksigen terlarut
*
***
**
**
*
Sumber: Dahuri (2001)
Keterangan: *** = sumber terbesar ** = sumber moderat * = sumber terkecil
Selain itu, pencemaran pantai (pesisir) menurut Clark (1996) menyatakan
bahwa pencemaran pantai dapat berakibat menurunnya populasi, kerusakan habitat
dan lingkungan perairan sebagai media hidup ikan. Sebagai parameter yang
berpengaruh yaitu menurunnya kandungan oksigen perairan yang membatasi habitan
ikan, eutrofikasi menimbulkan blooming alga yang membahayakan kehidupan ikan,
kehadiran zat beracun seperti logam berat. Juga pencemaran perairan pantai dapat
berdampak pada kesehatan manusia secara tidak langsung. Mikroorganisme yang
bersifat patogen dan bahan kimian beracun dapat terakumulasi pada jaringan tubuh
biota laut seperti kerang-kerangan. Apabila manusia mengkonsumsi biota tersebut
akan menimbulkan penyakit. Dampak lain akibat pencemaran perairan pantai yaitu
menurunnya jumlah pengunjung dalam kegiatan parawisata di lokasi yang
membutuhkan perairan yang bersih dan nyaman yang bebas dari pencemaran
lingkungan perairan. Gambar 6 memperlihatkan kawasan industri dan potensi
sumber alam di Provinsi Banten khususnya di Kota Cilegon terdapat beberapa
industri yang berdiri di lokasi perairan pantai.
17
SEKTOR UNGGULAN :
TAMBANG (FOSFAT ALAM, ZEOLIT, BENTONIK, EMAS, BATUBARA)
PERKEBUNAN (KELAPA SAWIT, KARET, CENGKEH, MELINJO)
PARIWISATA
PERIKANAN
INDUSTRI
KEHUTANAN
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
KAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAMKAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM
Gambar 6. Kawasan industri dan potensi sumber daya alam kabupaten/kota
di Provinsi Banten
2.2.2 Limbah Logam dalam Sistem Perairan dan Kesehatan Manusia
Banyak logam berat yang bersifat toksik maupun esensial terlarut dalam air
dan mencemari air tawar maupun air laut. Sumber pencemaran ini banyak berasal dari
pertambangan, peleburan logam dan jenis industri lainnya, juga dapat berasal lahan
pertanian yang menggunakan pupuk yang mengandung logam (Darmono, 2006).
Sedangkan daya toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat tergantung
pada spesies, lokasi, umur, daya tahan (detoksikasi) dan kemampuan individu untuk
sifatmenghindari diri dari pengaruh polusi.
Menurut Rachmansyah (1998), logam berat yang masuk ke dalam jaringan
tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: saluran pernapasan, pencernaan,
dan penetrasi melalui kulit. Jika hal ini dibiarkan, maka toksik logam akan
mengganggu terhadap kesehatan manusia maupun makhluk hidup lainnya. Karena
pencemaran logam berat, juga dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas,
18
keanekaragaman dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan
ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor kadar
dan keseimbangan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas dan
bioakumulasi, karena pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya
perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek
fisikologi, genetik dan resistensi.
Di antara jenis-jenis logam yang telah ditemukan ternyata hanya beberapa
logam yang sangat berbahaya dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan
keracunan fatal. Menurut Gossel dan Bricker (1984) terdapat 5 logam yang berbahaya
pada munusia yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi
(Fe). Diantara kelima logam tersebut, maka logam besi (Fe) merupakan bagian dari
proses produksi baja yang menghasilkan limbah baja.
Menutur Darmono (2006), logam bersifat toksik karena logam tersebut terikat
dengan ligan dari struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut
dalam beberapa jenis sistem enzim dalam tubuh. Ikatan tersebut mengakibatkan tidak
dapat aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah penyebab utama dari toksisitas
logam tersebut. Tempat ikatan logam yang spesifik tersebut menjadi dasar perkiraan
dari organ atau jaringan yang sensitif terhadap keracunan logam dosis kecil.
Di sisi lain kegiatan manusia di darat yang mempunyai dampak meningkatnya
sedimentasi khususnya di wilayah pesisir akan menghasilkan beban sedimen.
Kelebihan sedimen cenderung akan membunuh biota-biota yang bernafas dengan
insang dan hewan-hewan air pemakan sedimen, apalagi jika sedimen tersebut
mengandung pestisida maupun logam berat yang mempunyai konsentrasinhya sangat
tinggi.
2.2.3 Toksisitas Logam pada Manusia dan Pencegahannya
Pengaruh negatif toksisitas logam terhadap manusia seperti keracunan logam
telah banyak diketahui, seperti ada nama khusus terhadap keracunan logam tertentu,
yaitu “Minamata Disease” karena keracunan metil merkuri. Keracunan akut dari
logam berbahaya biasanya terjadi pada orang termakan dosis tinggi logam yang
bersangkutan atau karena pengaruh obat yang mengandung logam. Hal tersebut
biasanya terjadi pada kelompok orang tertentu atau perorangan. Tetapi pada
keracunan kronis yang disebabkan oleh orang yang mengkonsumsi logam dalam
jumlah sedikit tetapi berlangsung lama biasanya terjadi dalam komunitas atau
19
penduduk yang tinggal dalam suatu lingkungan yang tercemar, seperti penduduk di
pemukiman nelayan sepanjang pesisir/pantai.
Menurut Darmono (2006), terjadinya toksisitas logam dapat melalui beberapa
jalan, yaitu inhalasi melalui pernapasan, termakan melalui saluran pencernaan, dan
penetrasi melalui kulit. Hubungan antara lokasi industri dan inhalasi debu adalah
sangat nyata dalam proses keracunan logam melalui saluran pernapasan. Kejadian
luka pada kulit yang menyebabkan logam diserap melalui kulit sudah sering terjadi.
Menurut Gossel dan Briker (1984) terdapat 5 logam yang berbahaya pada manusia
yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe), selain itu
terdapat 3 logam yang kurang beracun yaitu: tembaga (Cu), selenium (Se), dan seng
(Zn).
Limbah baja memiliki kandungan logam besi (Fe), meskipun logam ini
termasuk kelompok logam esensial, tetapi kasus keracunan Fe sering dilaporkan
terutama pada anak-anak. Keracunan pada anak-anak terjadi secara tidak sengaja, saat
anak memakan makanan atau benda yang mengandung Fe, sedangkan pada orang
dewasa jarang terjadi. Walaupun toksisitas Fe jarang menyebabkan kematian, tetapi
dapat menyebabkan gangguan mental serius. Kasus terjadinya toksisitas Fe pada anak
kemungkinan besar terjadi karena banyak preparat yang mengandung Fe diberikan
pada anak, baik berupa obat dan vitamin. Di samping itu, kebiasaan anak makan
sembarangan di lingkungan sekitarnya.
Besi (Fe) merupakan logam dalam kelompok makromineral di dalam kerak
bumi, tetapi termasuk kelompok mikro dalam sistem biologi. Logam ini termasuk
yang pertama ditemukan dan digunakan oleh manusia sebagai alat pertanian. Sebagai
sumber utama pencemaran udara oleh Fe adalah pabrik besi dan pabrik baja. Inhalasi
Fe oksida dari asap dan debu yang sering terjadi di lokasi pertambangan atau pabrik
baja, dapat menyebabkan radang paru-paru “benigna pneumoconiosis”. Pada waktu
pemeriksaaan sinar rontgen terlihat adanya endapan Fe dalam alveoli paru-paru. Pada
umumnya setiap jaringan tubuh manusia mengandung Fe sebanyak 4 g Fe. Hampir
semua Fe dalam tubuh terikat dengan protein porfirin dan komponen hemoglobin.
Besi (Fe) sering tersedia dalam preparat obat dan vitamin, termasuk tablet suplemen,
sebagai sulfat, glukonat, dan garam fumarat. Dalam tablet multivitamin-mineral
biasanya diberikan pada ibu hamil yang menjelang melahirkan untuk mencegah
defisiensi Fe. Sebagai upaya untuk melakukan antisipasi pencegahan suatu kasus
terjadinya keracunan logam yang lebih luas, perlu dilakukan pengamatan kondisi
lingkungan. Kondisi lingkungan yang menurun baik udara, air, ataupun makanan
20
yang selalu digunakan penduduk setiap hari perlu diteliti. Bilamana suatu kawasan
lingkungan yang mulai dipergunakan sebagai kawasan industri, maka perlu dipikirkan
relokasi pemindahan penduduk ke daerah lain yang bersih.
2.2.4 Beban Pencemaran Limbah Baja dan Kemampuan Asimilasi Wilayah Pesisir
Peningkatan jumlah limbah baja pada pesisir akan mengalami peningkatan
tingkat pencemaran melalui aliran sungai dari pabrik yang membawa limbah menuju
daerah wilayah pesisir sekitarnya. Besarnya beban pencemaran limbah ditentukan
melalui pengukuran debit air sungai dan konsentrasi limbah baja yang mengalir
menuju wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.
Menurut Quano (1993) menerangkan bahwa kapasitas asimilasi sebagai
kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya.
Limbah yang ke pesisir akan mengalami 3 macam peristiwa yaitu: pengenceran
(dilution), penyebaran (dispersion), dan penguraian (decompotition) (UNEP, 1993).
Pengenceran terjadi ketika limbah masuk ke perairan akan bereaksi dengan unsur atau
senyawa yang berada dalam air. Penyebaran terjadi akibat pengaruh arus atau
gelombang, sedangkan penguraian dilakukan oleh aktifitas bakteri. Bila kemampuan
asimilasi pesisir mengalami penurunan akibat dampak dari pengelolaan limbah baja
tidak terkendali, kondisi tersebut akan merugikan di antaranya: (1) Meningkatnya
evapontranspirasi. (2) Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan
sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air. (3)
Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia. (4) Menurunkan nilai
estetika lingkungan perairan.
Di dalam pengukuran kapasitas asimilasi yang bersifat spesifik tergantung
lokasi, membutuhkan pengembangan dari model skala hidrolik dan komputer yang
menggunakan metode elemen terbatas dari persamaan penyebaran larutan (UNEP,
1993). Menurut Dahuri (2001), penentuan kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode, yaitu:
1. Metode perhitungan pengukuran limbah awal, dispersi dan penguraian;
Metode ini dipergunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi melalui
penggabungan nilai pengurangan nilai limbah awal, nilai dispersi limbah dan nilai
pengurangan limbah.
21
Kelebihan dari metode ini yaitu perhitungan lebih ditekankan pada faktor-faktor
fisik, sehingga ketepatan perhitungannnya tinggi. Sedangkan kekurangan dari
metode ini yaitu tidak memperhitungkan faktor-faktor kimia seperti perbedaan
jenis limbah yang masuk ke sungai tidak diperhitungkan.
2. Metode arus bermuatan partikel;
Metode ini dipergunakan untuk menentukan nilai kapasitas asimilasi dengan cara
membandingkan konsentarasi limbah dengan konsentrasi air sungai menerima
limbah. Kelebihan dari metode ini yaitu penentuan perbandingan antara
konsentarasi limbah dan air sungai yang sangat penting bagi perhitungan
kapasitas asimilasi. Sedangkan kekurangannya yaitu kesulitan dalam perhitungan
konsentrasi limbah berupa bahan kimia yang masuk ke sungai karena
membutuhkan waktu lama.
3. Metode penurunan oksigen dari streeter dan phelps;
Metode ini menentukan nilai kapasitas asimilasi dengan cara mengamati
pengurangan nilai oksigen terlarut. Faktor-faktor yang diperhitungkan antara lain
waktu perjalanan limbah di sungai dan konsentrasi asam karbonat yang tetap pada
saat perjalanan limbah. Kelebihannya adalah perhitungan yang lebih teliti karena
perhitungan waktu perjalanan limabah. Sedangkan keekurangannya adalah
membutuhkan waktu lebih lama.
4. Metode pengukuran biological oxygen demand dari Jorgensen;
Metode ini menentukan kapasitas asimilasi yaitu hanya pada bahan yang mudah
terurai dengan menentukan nilai BOD awal dan nilai BOD yang tersisa pada
waktu akhir. Metode ini relatif mjudah dilakukan, namun kekurangannya adalah
penggunaan banyak asumsi dan lebih sesuai untuk perairan agak tertutup seperti
pelabuhan.
5. Metode hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya;
Metode ini menentukan kapasitas asimilasi yaitu dengan cara memplotkan nilai-
nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah
yang dikandungnya ke dalam suatu grafik, selanjutnya direferensikan dengan
baku mutu air untuk diperuntukan bagi biota laut berdasarkan Kepmen KLH No.
51 tahun 2004. Selanjutnya dari titk potong yang diperoleh diketahui waktu
(tahun) terjadinya, kemudian dilihat nilai beban limbahnya sebagai nilai kapasitas
asimilasi. Kelebihannya mudah dilakukan dan dapat menerangkan semua
parameter yang diamati. Sedangkan kekurangannya hanya berdasarkan hubungan
22
kualitas air dengan beban limbahnya tanpa memperhatikan dinamika perairan
yang ada.
2.2.5 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
Dalam persepsi kehidupan masyarakat yang berada di daerah pesisir pantai
dapat berupaya untuk menekan tingkat pencemaran dengan cara melakukan
pengendalian dan pengurangan pencemaran di wilayah sekitarnya. Di sisi lain,
menurut Soemarwoto (2004), persepsi masyarakat terdapat anggapan bahwa
kehidupan di daerah pesisir pantai adalah masyarakat yang hidup terpisah dari
masyakat umum padahal mereka butuh sosialisasi dengan masyarakat lainnya, butuh
kehidupan yang layak baik lingkungan bersih, kesehatan dan pendapatan yang
memadai.
Menurut pendekatan ekologik, persepsi terjadi secara spontan dan langsung.
Spontanitas terjadi karena organisme selalu menjajaki dengan lingkungannya dan
penjajakan itu melibatkan setiap objek yang terdapat di lingkungannya. Setiap objek
menonjolkan sifat-sifat yang khas untuk organisme yang bersangkutan. Begitu juga,
partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran limbah di wilayah pesisir
pantai harus berperan aktif, mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah. Partisipasi yang dimaksud adalah suatu proses ikut ambil bagian dalam suatu
kagitan. Menurut Davis (1985), parisipasi adalah keterlibatan mental emosional,
kesediaan memberikan kontribusi, kesediaan untuk bertanggung jawab dalam
mencapai tujuan bersama. Pada penelitian ini persepsi dan partipasi masyarakat
dalam hubungannya dengan pengelolaan limbah meliputi: pengendalian limbah,
upaya pengurangan limbah yang timbul, dan pemanfaatan limbah.
2.3 Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah
Wilayah pesisir sekitar kawasan industri Krakatau Cilegon merupakan
kawasan yang memiliki dinamika pertumbuhan yang paling pesat, terutama untuk
industri-industri. Karena wilayah pesisir tersebut memiliki arti strategis yang
merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik
laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu.
Kebijakan pemerintah daerah yang sektoral dan bias, belum menyentuh pada
kebutuhan masyarakat sekitar. Menurut Dahuri (1996), dari sisi sosial-ekonomi,
pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar. Nelayan
sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.
23
Sedangkan dalam permasalahan lingkungan hidup telah menjadi suatu penyakit
kronis yang dirasa sangat sulit untuk dipulihkan. Padahal permasalahan lingkungan
hidup yang selama ini terjadi di Perairan Indonesia disebabkan paradigma
pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan faktor
lingkungan yang dianggap sebagai penghambat. Posisi tersebut dapat menyebabkan
terabaikannya pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup di dalam pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan. Akibatnya kualitas lingkungan makin hari
semakin menurun, ditandai dengan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup di berbagai wilayah perairan atau pesisir.
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah kabupaten dan kota untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah
laut adalah: (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut. (2) Pengaturan kepentingan administratif. (3)
Pengaturan tata ruang. (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan
oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. (5) Bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Oleh karena itu yang termasuk wilayah
laut daerah provinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai
arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut daerah
kabupaten dan kota adalah sepertiga dari wilayah laut daerah provinsi. Dengan
memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari
daerah kabupaten dan kota.
Wilayah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut
berada dalam kewenangan daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari kabupaten/kota
adalah sepertiga dari wilayah laut provinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari
garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan daerah kabupaten atau
kota setempat. Sejalan dengan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya, maka daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah
wilayah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah maka seluruh potensi sumber daya yang
tersedia di daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber
24
daya yang dimiliki sebagian daerah adalah potensi daerah wilayah pesisir. Oleh sebab
itu, secara alamiah potensi wilayah pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri
dari nelayan. Nelayan di wilayah pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan,
rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada umumnya potensi wilayah pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para
nelayan baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir secara besar-besaran untuk
mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan
perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan wilayah pesisir untuk
usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota
yang berada di daerah wilayah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan
daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah, pemerintah daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah wilayah
pesisir ini untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Disamping itu
pemerintah daerah juga memanfaatkan potensi daerah wilayah pesisir ini untuk
meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah. Mengingat
kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk
juga daerah wilayah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka
pemanfaatan potensi daerah wilayah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh
daerah kabupaten atau kota yang berada di wilayah pesisir, sehingga belum semua
kabupaten dan kota dapat memanfaatkan potensi wilayah pesisir.
Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat
maupun pemerintah daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan
sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi
daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya
alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah wilayah pesisir masih terdapat beberapa kendala sebagai berikut: (1)
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah pesisir belum diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang jelas, sehingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan suatu kebijakan. (2) Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah pesisir
cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang
tumpang tindih satu sama lain. (3) Pemanfaatan dan pengelolaan daerah wilayah
25
pesisir belum memperhatikan konsep daerah wilayah pesisir sebagai suatu kesatuan
ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal
ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah. (4) Kewenangan daerah
dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para
stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sektor timbul berbagai
pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah
wilayah pesisir.
2.4 Parameter Kriteria Kualitas dan Konsentrasi Logam di dalam Air
Pesisir merupakan pertemuan daratan dan laut yang rentan pencemaran,
karena banyak industri yang membuang limbah di pesisir baik limbah kimia, fisika
atau biologi. Menurut Darmono (2006), dampaknya yang sudah pasti selain gangguan
terhadap kelestarian lingkungan, juga keselamatan dan kesehatan masyarakat tidak
dijamin. Meskipun logam berat biasa ditemukan di perairan/pesisir secara alamiah
sangat sedikit yaitu dari 1µg/l, tetapi apabila terjadi erosi alamiah, konsentarasi
logam tersebut dapat meningkat.
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang baku mutu limbah cair bagi
kegiatan yang telah beroperasi di bagi empat golongan I, II, III, dan IV. Baku mutu
limbah cair selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
26
Tabel 2. Baku mutu limbah cair Golongan Baku Mutu Air Limbah
No. Parameter Satuan I II III IV
FISIKA 1 Temperatur oC 35 35 35 35 2 Zat padat terlarut mg/l 1500 2000 4000 50003 Zat padat tersuspensi mg/l 100 200 400 500 KIMIA 1 pH mg/l 6 - 9 6 - 9 6 - 9 5 - 9 2 Besi terlarut mg/l 1 5 10 20 3 Mangan terlarut mg/l 0,5 2 5 10 4 Barium mg/l 1 2 3 5 5 Tembaga mg/l 1 2 3 5 6 Seng mg/l 2 5 10 15 7 Khrom hexavalen mg/l 0,05 0,1 0,5 1 8 Khrom total mg/l 0,1 0,5 1 2 9 Kadmium mg/l 0,01 0,05 0,1 0,5
10 Raksa mg/l 0,001 0,002 0,005 0,0111 Timbal mg/l 0,03 0,1 1 2 12 Stanum mg/l 1 2 3 5 13 Arsen mg/l 0,05 0,1 0,5 1 14 Selenium mg/l 0,01 0,05 0,5 1 15 Nikel mg/l 0,1 0,2 0,5 1 16 Kobalt mg/l 0,2 0,4 0,6 1 17 Sianida mg/l 0,02 0,05 0,5 1 18 Sulfida mg/l 0,01 0,05 0,1 1 19 Fluorida mg/l 1,5 2 3 5 20 Khlorin bebas mg/l 0,5 1 2 5 21 Amoniak bebas mg/l 0,02 1 5 20 22 Nitrat mg/l 10 20 30 50 23 Nitrit mg/l 0,06 1 3 5 24 BOD5 mg/l 20 50 150 300 25 COD mg/l 40 100 300 600 26 Senyawa aktif biru
metilan mg/l 0,5 5 10 15
27 Fenol mg/l 0,01 0,5 1 2 28 Minyak nabati mg/l 1 5 10 20 29 Minyak mineral mg/l 1 10 50 100 30 Radioaktivitas** mg/l 31 Pestisida, termasuk
PCB*** mg/l
Sumber: SK MENNEG KLH No. KEP-03/MENKLH/II/1991
*) Kadar limbah yang memenuhi persyaratan baku mutu air limbah tersebut tidak
diperbolehkan dengan cara pengenceran yang airnya langsung diambil dari
sember air.
Kadar bahan limbah tersebut adalah kadar maksimum yang diperbolehkan,
kecuali pH yang meliputi juga kadar yang minimal.
**) Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.
***) Limbah pestisida yang berasal dari industri yang memformulasi atau
memproduksi dan dari konsumen yang mempergunakan untuk pertanian dan
27
lain-lain tidak boleh menyebabkan pencemaran air yang mengganggu
pemanfaatannya.
2.5 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah
Menurut Damanhuri (1997), untuk mengetahui proses produksi dan timbulnya
limbah industri baja yang dihasilkan oleh masing-masing pabrik dapat dijelaskan
dalam uraian subbab-subbab berikut ini.
2.5.1 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Spons
Pabrik besi spons atau DR plant terdari dua pabrik yang menggunakan
teknologi HYL I (Hoyalata Y Lamina I disebut pabrik besi spons I dan II) serta satu
pabrik dengan teknologi HYL III (disebut pabrik HYL III). Ketiga pabrik ini
menghasilkan besi spons dari bahan baku pellet dengan proses reduksi langsung
yaitu menggunakan gas reduksi CO dan H2. Di dalam proses pembuatan bijih besi
spons merupakan proses reduksi Fe dari bijih besi Fe2O3. Oksigen yang diambil dari
proses ini melalui oksidasi besi pada suhu di bawah titik lebur besi. Untuk
kelangsungan proses tersebut digunakan gas alam (metana) dan uap air (Nurdin,
1992).
Menurut Damanhuri (1997), aktivitas proses produksi yang berjalan oleh
masing-masing pabrik tersebut, maka tidak lepas dari timbulnya limbah. Selama
proses produksi berlangsung membutuhkan pendinginan aliran gas pereduksi setelah
keluar dari reaktor. Gas keluar dengan temperatur berkisar antara 3800C - 4000C
dengan membawa air dalam bentuk uap yang ditimbulkan reaksi reduksi secara
kimia. Gambar 7 menunjukkan sistem pengolahan air WTP DR plant PT. Krakatau
Steel.
28
Air dari Kerenceng
Hot Cold Quench Blow Water Water Water down System tank
Cooling Tower
Clarifer
Sludge Draying Belt Vacuum belt Filter press
Thichener
Coke
Gambar 7. Sistem pengolahan air WTP DR plant (Damanhuri, 1997)
Berdasarkan gambar 7 di atas, sebagian aliran gas juga membawa debu-debu
besi yang terbawa saat gas itu mengalir dalam reaktor. Sumber limbah diperoleh dari
air yang didinginkan dan mengkondensikan gas. Air tersebut membilas vassel dan
mendelegasi vassel kemudian mengalir ke clarifier. Pada clarifier, debu-debu dan
bahan pengotor lainnya akan diendapkan dengan bantuan koagulan.
2.5.2 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Slab Baja
Pabrik slab baja ini memiliki 2 (dua) pabrik yaitu pabrik slab baja I dan II.
Pabrik slab baja I mempunyai 4 (empat) unit dapur listrik dilengkapi dengan 2 (dua)
continous feeding dan pabrik slab baja II yang merupakan perluasan dari pabrik slab
baja I mempunyai 2 (dua) unit dapur listrik dilengkapi dengan 1 (satu) continous
feeding. Dalam pembuatan slab baja menggunakan bahan baku besi spons yang
dilebur dalam tanur listrik EAF (electric arc furnace) dan dicor ke dalam cetakan
dengan menggunakan mesin continous casting (concast). Dalam proses pembuatan
slab baja, dimasukkan juga scrap sebagai bahan tambahan dan bahan-bahan paduan
logam lainnya seperti karbon, nikel, mangan, alunium, untuk menghasilkan baja
dengan kualitas (grade) tertentu. Dari proses produksi tersebut, maka limbah yang
ditimbulkan berupa buangan limbah padat lumpur (sludge), scale, dan debu EAF
(Nurdin, 1992).
29
2.5.3 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Billet Baja
Menurut Damanhuri (1997), proses pembuatan billet baja tidak dengan proses
pembuatan slab baja. Yang berbeda adalah dimensi produk baja yang dihasilkan.
Billet baja ini merupakan bahan baku untuk pabrik kawat. Limbah yang dihasilkan
adalah scale, sludge, dan debu EAF. Untuk pengolahan air yang mensuplai dan
mengelola air bersih untuk pabrik slab baja dan pabrik billet baja diperlukan
bangunan pengolahan air yang disebut fluid centre, yang terdiri dari fluid centre I dan
II. Proses produksi di kedua pabrik ini sama yaitu menggunakan tanur listrik EAF
untuk melebur besi spons. Sedangkan jenis buangan padat yang ditimbulkan di fluid
centre I adalah scale dan sludge. Scale berasal dari proses pendinginan slab baja dan
billet baja pada concast plant. Slab dan billet baja yang telah selesai dicetak
didinginkan dengan menyemprotkannya dengan air. Sebagian sisik-sisik baja ikut
terlepas dan akan terbawa air. Air ini juga membawa sebagian minyak pelumas mesin
concast. Sisik-sisik baja kemudian akan disisihkan melalui pengendapan, minyak
(grease) disisihkan dengan menggunakan oil skimmer. Buangan padat yang berasal
dari sisik-sisik baja ini disebut dengan scale. Lumpur (sludge) ditimbulkan dari
proses pencucian (backwash) gravel filter.
Untuk pembuatan baja berkualitas, selain menggunakan bijih besi (sponge)
juga menggunakan slag baja. Menurut Solomon (1994), slag baja digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan baja yang proses melalui tanur pembakaran bijih baja.
Proses peleburan besi selain menghasilkan buangan lumpur juga mengemisi debu ke
udara. Debu berasal dari EAF ini ditangkap dengan menggunakan dedusting plant.
Sisa emisi debu EAF yang tidak tertangkap oleh dedusting plant akan masuk ke
dalam aliran air pendingin proses dan tersaring di gravel filter. Pada suatu saat
tertentu tangki-tangki akan dibersihkan dengan cara pencucian. Air buangan yang
berasal dari tangki-tangki penyaring ini akan ditampung di backwash water basin dan
lumpur yang dihasilkan ditampung ditangki lumpur (scale tank).
2.6 Karakteristik Limbah Padat Industri Baja
Menurut Mulyowahyudi (2005), teknologi pengolahan besi menjadi baja
dapat dipisahkan menjadi tiga macam. Masing-masing teknologi mempunyai
karakteristik yang berbeda mengenai bahan baku, produk, dan bahan pendukung
utama yang lain, sebagai berikut:
30
1. Direct Reduction (DR)
DR adalah proses pembuatan besi dari bahan baku pellet (Fe2O3) menjadi DRI
(direct reduced iron) dengan menggunakan bahan pembantu utama proses natural
gas. Penggunaan bahan pembantu utama ini yang menjadi alasan utama pemilihan
teknologi. Saat ini PT Krakatau Steel menggunakan teknologi HYL III. Bahan
baku pellet PT Krakatau Steel seluruhnya diimport karena bijih besi lokal
mengandung kadar Fe yang rendah dan tidak adanya industri pengolahan bijih
besi menjadi pellet (pengkayaan dan pembuatan pellet). Perkembangan teknologi
direct reduction terbaru sudah mampu mengolah bijih besi secara langsung
melalui teknologi FINMET dan menggunakan bahan pembantu utama natural gas
(NG) secara lebih hemat. Di masa mendatang, apabila supply sumber daya
natural gas dapat berkembang dengan lebih baik, maka teknolog seperti FINMET
merupakan pilihan yang direkomendasikan. Jenis teknologi direct reduction
selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis teknologi direct reduction (DR).
HYL III (KS) MIDREX FINMET Input Pellet, Lump Pellet, Lump Fines Produk DRI/HBI DRI/HBI HBI Konsumsi NG NG NG
Electricity Electricity Electricity
Sumber: Mulyowahyudi (2005)
2. Blast Furnace
Blast Furnace merupakan teknologi tertua dalam pembuatan hot metal dari
bahan baku agglomerated ore dan menggunakan cooking coal. Cooking coal
disini adalah batu bara dengan kandungan karbon tertentu yang digunakan sebagai
bahan baku proses pembuatan hot metal. Dan cooking coal jenis ini yang tidak
ada di Indonesia. Jenis teknologi blast furnace disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis teknologi blast furnac.
Input Agglomerated ore Produk Hot metal Karakeristik
Perlu coke/coking coalIssue lingkungan Investasi besar
Sumber: Mulyowahyudi, (2005)
31
3. Direct Smelting
Teknologi direct smelting merupakan teknologi terbaru dari pengolahan besi
baja. Teknologi ini mampu memproduksi DRI langsung dari bijih besi dengan
bahan pembantu utama batu bara. Batu bara yang dibutuhkan bukan batu bara
dengan kadar/kualitas tertentu, tapi bisa menggunakan batu bara muda yang
banyak terdapat di Indonesia. Bijih besi yang dibutuhkan pun tidak perlu yang
berkadar tinggi, tapi bisa bijih besi kadar rendah yang juga banyak terdapat di
Indonesia. Sampai saat ini teknologi ini masih terus dikembangkan untuk
disempurnakan dan belum banyak digunakan (skala komersial). Jenis teknologi
direct smelting selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis teknologi direct smelting.
Corex Hismelt DIOS Input Iron ores Iron ores Iron ores
Produk DRI/HBI DRI/HBI HBI Konsumsi Coal Coal Coal
NG NG Status Comercial Under
Construction Pilot Plant
Sumber: Mulyowahyudi, (2005)
Dari ketiga teknologi di atas, mengingat ketersediaan bahan baku dan bahan
pembantu utama yang banyak terdapat di Indonesia, teknologi direct reduction
(sejenis FINMET) dan direct smelting merupakan pilihan teknologi pengolahan
industri baja yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.
Sedangkan kekayaan cadangan bijih beji Indonesia cukup besar, diperkirakan
mencapai lebih dari 2 milyar ton dan belum termanfaatkan secara optimal baik secara
industri maupun ekonomi. Prospek pemanfaatan bahan baku lokal ini dapat
memberikan kontribusi cost advantages bagi penguatan daya saing industri nasional
secara signifikan. Dalam mempotensikan pemberdayaan bahan baku lokal sebenarnya
telah banyak upaya-upaya sistematis untuk mempersiapkan ke arah itu, mulai dari
pemetaan cadangan bijih besi di Indonesia, penelitian skala laboratorium maupun
industri, kajian-kajian prospek bisnis, hingga pelurusan pemahaman tentang bijih besi
secara objektif dan proporsional.
Menurut Mulyowahyudi (2005), Bahan baku industri baja domestik saat ini
adalah pellet, disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat
digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa
32
mengakomodasi hal itu dan belum ada industri nasional yang mengolah bijih besi
menjadi pellet. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya di ekspor.
Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan
dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di
ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun
menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara
nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect dalam hal
penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya
yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional. Gambar 8
merupakan kondisi sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia.
Gambar 8. Sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia (Mulyowahyudi, 2005)
Seharusnya bahan baku baja tersebut diatas merupakan ketahanan nasional
untuk dapat menekan pasar, sehingga industri baja nasional mempunyai kekuatan
posisi tawar dengan supplier. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah agar
penambangan bijih besi yang ada di dalam negeri dikelola dari hulu-hilir terjadi
terciptanya keharmonisan, maka kebijakan pemerintah yang diperlukan adalah:
1. Izin konsesi penguasaan penambangan yang selama ini sudah terlanjur
diotonomikan ke pemerintah daerah, agar dapat ditarik dan dikelola pemerintah
pusat. Alasannya adalah : (a) Agar eksploitasi sumber daya dapat dilakukan
secara good mining practice (sudah memperhatikan AMDAL dan dampak sosial
33
lainnya). (b) Untuk menghindar penambangan-penambangan liar yang dapat
merusak lingkungan. (c) Pengelolaan industri mining harus dikelola secara
industrialisasi agar memenuhi economic skill. (d) Untuk menjamin industri mining
sustainable.
2. Untuk menjamin pengelolaan bijih besi dan komoditi lain atau produk turunannya
dapat dikelola secara baik, dengan mengemukakan kepentingan nasional.
3. Menciptakan iklim investasi yang kondusif disektor industri mining, misalnya
dengan memberikan incentif perpajakan terhadap aktivitas pembangunan industri
mining.
4. Pemerintah membangun infrastruktur di pusat-pusat lokasi yang akan dibangun
industri mining, terutama prasarana jalan, pelabuhan, sumber energi dan air.
2.7 Pemodelan Sistem
Menurut Eriyatno (1999), menyatakan bahwa model merupakan suatu
abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung
serta kaitan timbal balik dalam istilah. Menurut Arimin (2001), menjelaskan
penggunaan istilah model menunjukkan dua hal, yaitu: (1) Model dalam pengertian
contoh atau teladan atau suatu yang perlu ditiru. (2) Model dalam pengertian bentuk,
pola, rancangan, Pemodelan merupakan teknik untuk membantu konseptualisasi dan
pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi
dari sistem terhadap tindakan manusia. Menurut Murdick (1982) mengemukakan
bahwa terdapat dua keuntungan menggunakan model yaitu: (1) Dengan modelkan
sistem lebih ekonomik dari bentuk lain. Untuk melakukan perubahan (modifikasi)
sistem lebih murah. (2) Model memungkinkan kita mengkaji dan melakukan
percobaan situasi yang rumit sampai ke tingkat tertentu yang tidak mungkin
dilakukan dengan membangun sistem nyata dengan lingkungannya. Membangun
suatu model dilakukan bertujuan untuk melihat perilaku sistem dalam membantu
kebijakan dan strategi pengololaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Menurut Muhammadi (2001), mengelompokkan model menjadi 3 (tiga) jenis,
yaitu: (1) Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik,
statistk, atau komputerisasi. (2) Model kualitatif adalah model yang berbentuk
gambar, diagram atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. (3) Model
ekonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik dengan barang yang ditirukan,
meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil.
34
Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem. Pada dasarnya
pendekatan sistem merupakan pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan
ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Karena itu, di dalam manajemen sistem
dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai ciri dasar sistem yang
perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem (Marimin,
2004). Dengan demikian, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan elemen-elemen
yang saling berkaitan dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Menurut Eriyatno (1998), karena pemikiran sistem selalu mencari
keterpaduan (integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan
suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach).
Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian permasalahan yang dimulai dengan
dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan–kebutuhan sehingga
dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi : (1) Analisis kebutuhan antar
pelaku, (2) Formulasi permasalahan, (3) Identifikasi sistem, (4) permodelan sistem,
(5) Verifikasi dan Validasi model serta (6) Implementasi model. Pada tahap analisis
kebutuhan dapat dijadikan sebagai permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam
tahap ini juga dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dari masing-masing
pelaku yang terlibat dalam sistem. Pada tahap formulasi permasalahan dirumuskan
permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah
diidentifikasi dari masing-masing pelaku tersebut. Tahap identifikasi sistem
merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan
dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Di dalam tahap pemodelan sistem dibuat kaitan antara masukan
dan keluaran sistem yang akan diverifikasi dan divalidasi pada tahap selanjutnya.
Pada tahap akhir dilakukan rencana implementasi model, adapun tahapan pendekatan
sistem disajikan pada Gambar 9.
35
Mulai Tidak A Absah ? Ya Absah ? Tidak Absah ? Tidak Ya Ya Tidak Tidak Absah ? Absah ? Ya Ya A Selesai Gambar 9. Tahap pendekatan sistem (Eriyatno, 1999)
Anderson (1977) menjelaskan bahwa verifikasi dan validasi model merupakan
bagian penting dalam setiap menganalisis yang bersifat empiris. Artinya bahwa
setelah model dibangun dengan pemograman komputer dan format input-output telah
dirancang dan hasilnya memadai, maka tahap selanjutnya yaitu melakukan verifikasi
(pembuktian) yang berkaitan dengan kesesuaian antara model konseptual dengan
model matematik. Sedangkan menurut Eriyatno (1999), validasi merupakan usaha
untuk menyimpulkan apakah model sistem merupakan perwakilan yang sah dan
realitas yang dikaji. Karena itu, suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya
dapat menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem
nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan
dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem
nyata bekerja. Pembuktian validasi model suatu hal yang sebenarnya sulit untuk
dilakukan.
Analisis Kebutuhan Stakehoders
Formulasi Permasalahan
Identifikasi Sistem
Pemodelan Sistem
Verifikasi dan Validasi
36
Muhammadi (2001) menjelaskan bahwa untuk menguji validasi model dibagi
menjadi dua yaitu: validasi struktur dan validasi kinerja (output model). Validasi
struktur bertjuan untuk memperoleh suatu keyakinan tentang sejauhmana kesamaan
struktur model mendekati struktur nyata. Sedangkan validasi kinerja merupakan
aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem dan ditujukan untuk memperoleh
suatu keyakinan tentang sejauhmana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata
sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah sesuai dengan fakta. Oleh karena itu,
validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, cara kualitatif yaitu
dengan membandingkan secara visual antara simulasi dengan aktual. Kedua, cara
kuantitatif yaitu: dengan uji statistik antara simulasi dengan aktual.
2.8 Analytical Hierarchy Process
Adapun prinsip kerja dalam pengelolaan limbah baja menggunakan model
analytical hierarchy process (AHP – criterium decision plus). Pada dasarnya AHP ini
berlandaskan pada pola pikir manusia yang sistematis guna menghadapi kompleksitas
yang ditangkapnya, sehingga diwujudkan dalam suatu metode yang merumuskan
masalah dalam bentuk hirarki dan pertimbangan-pertimbangan dimasukkan guna
menghasilkan skala prioritas. Menurut Saaty (1999), analytical hierarchy process
adalah suatu model yang luwes yang memungkinkan kita mengambil keputusan
dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai pribadi secara logis.
Model AHP ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak
mempunyai struktur, biasanya digunakan untuk memecahkan permasalahan (problem
solving) yang dapat terukur, masalah yang memerlukan pendapat (judgement)
maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi di mana data,
informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kuantitatif
yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. Menurut Saaty (1999), selain
itu model AHP juga banyak digunakan sebagai pengambilan keputusan untuk banyak
kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-
strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik.
Menurut Saaty (1993), terdapat beberapa keuntungan dalam penggunaan
model AHP sebagai alat analisis, yaitu:
1. Memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk keragam persoalan
yang tidak struktur;
2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam
memcahkan persoalan kompleks;
37
3. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas;
4. Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan
tidak memaksa pemikiran linier;
5. Mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah-milah elemen-
elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berlainan dan mengelompokkan
unsur serupa dalam setisiap tingkat;
6. Menuntun ke suatu tafsiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif;
7. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang gunakan dalam
penetapkan berbagai prioritas;
8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan
memungkinkan orang memilih alternatif terbaik suatu tahapan pelaksanaan
kegiatan, berdasarkan tujuan masing-masing;
9. Tidak memaksakan konsensus tetapi tetapi mensintesis suatu hasil yang
representatif dari penilaian yang berbeda.
10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan
memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Selain tersebut di atas, kelebihan model AHP dibandingkan dengan yang
lainnya adalah: (1) struktur yang berhirarki, sebagi konsekuensi dari kriteria yang
dipilih, sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, (2) memperhitungkan
validitas sampai dengan batas toleransi inkonsisten berbagai kriteria dan alaternatif
yang dipilih oleh para pengambil keputusan, (3) memperhitungkan daya tahan output
analisis sensitifitas pengambilan keputusan. Model AHP juga mempunyai
kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-obyek dan multi-kriteria yang
berdasar pada pertimbangan preferensi dari setiap elemen. Jadi, model ini merupakan
model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Menurut Suryadi (2002), langkah-langkah yang dilakukan pada analisis AHP
adalah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.
2. Membuat matrik perbandingan berpasangan untuk setiap elemen dalam hirarki.
3. Memasukkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan
perangkat matrik.
4. Mengolah data dalam matrik perbandingan berpasangan sehingga didapatkan
prioritas setiap elemen hirarki.
5. Menguji konsistensi dari prioritas yang telah diperoleh.
38
6. Melakukan langkah-langkah di atas untuk setiap level hirarki.
7. Menggunakan komposisi hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas
dengan bobot-bobot kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas yang sudah
diberi bobot tadi dengan nilai prioritas dari level bawah berikutnya dan seterusnya.
Hasilnya adalah vektor prioritas menyeluruh untuk level hirarki paling bawah.
8. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hirarki dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil
kalinya. Hasil ini kemudian dibagi dengan pernyataan sejenis menggunakan
indeks konsistensi random/acak yang sesuai dengan dimensi tiap matrik. Rasio
konsistensi hirarki tersebut tidak boleh lebih dari 0,1. Jika tidak maka proses
harus diperbaiki.
2.8.1 Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks perbandingan berpasangan dibuat untuk menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat
diatasnya, perbandingan berdasarkan penilaian (judgement) dari para pengambil
keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan
elemen lainnya. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen
terhadap elemen yang lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala proses
AHP yang disarankan, seperti yang disajikan pada Tabel 6.
39
Tabel 6. Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat
Kepentingan Keterangan Penjelasan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Kedua elemen sama pentingnya.
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada
elemen yang lainnya.
Elemen yang satu lebih penting dari pada elemen
yang lain.
Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada
elemen yang lain.
Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada
elemen yang lain.
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang
berdekatan.
Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila
dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai
nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama terhadap tujuan.
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung satu elemen
dibandingkan elemen lainnya.
Pengalaman dan penilaian sangat
kuat mendukung satu elemen
dibanding elemen lainnya.
Satu elemen dengan kuat didukung
dan dominan terlihat dalam praktek.
Bukti yang mendukung elemen
yang satu terhadap elemen lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan.
Nilai ini diberikan bila ada dua
kompromi diantara dua pilihan.
Sumber: Saaty (1999)
Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara digunakan
nilai skala komparasi 1 sampai 9. Skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala yang
terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya yang
ditunjukkan dengan nilai RMS (root mean square deviation) dan MAD (median
absolute deviation).
2.8.2 Besarnya Bobot
Menurut Marimin (2005), terdapat 3 langkah untuk menentukan besarnya
bobot yang dimulai kasus khusus yang sederhana sampai dengan kasus-kasus umum,
adalah sebagai berikut:
1. Langkah 1:
wi/wj = aij (i,j = 1, 2,...,n) ......................................................................... (1)
wi = bobot input dalam baris
wj = bobot input dalam lajur
2. Langkah 2:
wi = aij wj (i,j = 1, 2,...,n) ..................................................................... (2)
40
Untuk kasus-kasus umum mempunyai bentuk:
n wi = 1 ∑ aij wj (i = 1, 2,...,n) n j=i
wi = rata-rata dari ai1 w1 , ..., ain wn
3. Langkah 3:
Bila perkiraan aij baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah wi/wj. Jika n
juga berubah, maka n diubah menjadi λ maksimum sehingga diperoleh:
n wi = 1 ∑ aij wj (i = 1, 2,...,n) ................................................. (3) λ max j=i
2.8.3 Indeks Konsistensi (CI)
Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang
akan berpengaruh kepada keabsahan hasil. Indeks konsistensi untuk menyatakan
penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu
penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dihitung dengan
menggunakan rumus:
CI = 1
max−−
nnλ ............................................................. (4)
Keterangan: λ max = akar ciri maksimum; n = ukuran matriks
Nilai pengukuran indeks konsistensi (CI) diperlukan untuk mengetahui
kekonsistensian jawaban dari key person yang akan berpengaruh terhadap keabsahan
hasil.
Perhitungan Consistency Ratio (CR)
Consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa
apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak
(Marimin, 2004). Consistency ratio dapat dihitung dengan persamaan:
RICICR = ................................................ (5)
Di mana nilai RI diperoleh dari nilai indeks random.
2.9 Metode Interpretative Structural Modelling
Menurut Marimin (2005), salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan
untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural
41
(interpretative structural modelling - ISM). Sedangkan menurut Eriyatno (1998),
ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-
model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta
kalimat. Oleh karena itu, Teknik ISM merupakan salah satu teknik pemodelan
sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang
yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau
aplikasi statistik deskriptif. Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip dasarnya adalah
identifikasi dari di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi
guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
Menurut Marimin (2004), teknik ISM memberikan basis analisis di mana
kebijakan serta perencanaan strategis, seperti yang diungkapkan Saxena (1992)
program dapat dibagi menjadi 9 (sembilan) elemen: (1) Sektor masyarakat yang
terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala utama, (4) Perubahan yang
dimungkinkan, (5) Tujuan dari program, (6) Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan,
(7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, (9) Lembaga yang terlibat
dalam pelaksanaan program. Adapun keluaran dari program ISM ini adalah berupa
rangking masing-masing subelemen dan plot masing-masing subelemen ke dalam (4)
empat sektor beserta koordinatnya. Dari hasil rangking masing-masing sub elemen,
maka dapat dibuat hierarki setiap sub elemen secara manual di mana sub elemen
dengan rangking yang lebih tinggi akan berada pada hierarki yang lebih rendah.
2.10 Pemodelan Sistem Dinamik
Menurut Muhammadi (2001), sistem merupakan keseluruhan interaksi antar
unsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai
tujuan. Pengertian dari keseluruhan adalah lebih sekedar penjumlahan atau susunan
(aggregate), yaitu terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh seluruh itu
jauh lebih besar dari suatu pen jumlahan atau susunan.
Di dalam sistem dinamik, proses perumusan mekanisme tersebut pada
dasarnya adalah penyederhanaan kerumitan untuk menciptakan sebuah konsep model
(mental model). Penanganan kerumitan itu berarti membuat penyerhanaan terhadap
kerumitan, namun penyederhanaan bukan berarti mengabaikan unsur-unsur yang
saling mempengaruhi yang membentuk unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Ada 2
42
(dua) jenis kerumitan yang perlu disederhanakan, yaitu kerumitan rinci (detail
complexity) dan kerumitan perubahan (dynamic complexity). Kerumitan rinci (detail
complexity) yaitu yang menyangkut ciri dan cara bekerja unsur-unsur yang terlibat
dalam sistem yang diamati dalam mengisi kesenjangan. Sedangkan kerumitan
perubahan (dynamic complexity) yaitu proses dan kecepatan/kelambatan waktu yang
diperlukan sistem dalam bentuk simpal-simpal (loops) umpan balik, yang
menunjukkan struktur dan mekanisme dinamis mempengaruhi proses nyata dalam
menciptakan kejadian nyata (Muhammadi, 2001).
Eriyanto (1999) menjelaskan elemen atau komponen sistem adalah unsur
(entity) yang mempunyai tujuan atau realitas fisik. Elemen mempunyai atribut berupa
nilai bilangan, formula intensitas atau statu keadaan fisik seperti seseorang, mesin,
dan organisasi. Menurut Shrode dan Voich dalam Arimin (2001), secara garis besar
sistem dibagi menjadi 2 (dua) pengertian yaitu:
(1) Sistem sebagai entitas (wujud) merupakan statu himpunan bagi yang saling
berkaitan membentuk satu keseluruhan yang rumit atau kompleks terapi
merupakan satu kesatuan. Contoh wujud: alam semesta, manusia, pesawat, dan
sebagainya. Dengan demikian sistem di sini menganggap sebagai suatu entitas
yang pada dasarnya bersifat menggambarkan (deskriptif).
(2) Sistem sebagi suatu metode. Sistem di sini dapat dirtikan sebagai tata cara yang
bersifat preskriptif selain keteraturan dan ketertiban juga memiliki makna
pendekatann rasional dan logik dalam mencapai suatu tujuan. Pengertian sistem
sebagai suatu metode dikenal dalam pengertian umum sebagai pendekatan sistem.
Di dalam pengelolaan limbah industri baja diperlukan suatu sistem yang melibatkan
berbagai elemen seperti sumberdaya, konsep dan prosedur untuk pencapaian tujuan
dengan menekan berbagai aspek tingkat pencemaran lingkungan melalui program
pengendalian limbah, minimalisasi limbah dan pemanfaatan kembali limbah yang ada.
Untuk membangun sistem model tersebut diperlukan model dinamik
(dinamic modeling) yang dilakukan bertujuan untuk melihat perilaku sistem dalam
membantu penyusunan model (Handoko, 2005), seperti model pengelolaan limbah
industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan
Industri Krakatau Cilegon. Model dinamik ini dapat dibuat dengan bantuan software
powersim, sehingga kompleksitas permasalahan dapat diselesaikan sesuai dengan
keinginan yang diharapkan.
43
2.11 Konsep Evaluasi Aspek Ekonomi dan Finansial
Menurut Mulyowahyudi (2005), meningkatnya konsumsi baja di Indonesia
akan sangat tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, terutama untuk
sektor-sektor yang erat kaitanya dengan baja, seperti halnya sektor konstruksi. Namun
sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 dimana tingkat pertumbuhan
ekonomi merosot tajam hingga mencapai rata-rata per tahun dibawah 4 %, ternyata
berdampak pada pertumbuhan sektor konstruksi yang paling banyak menyerap baja,
dengan pertumbuhan hanya di bawah 2,5 % per tahun. Namun kemudian, secara
sektor industri konstruksi sudah mulai memperlihatkan kegiatannya, terbukti selama
periode tahun 2000-2003 sektor ini mampu mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi
yaitu rata-rata 8,19 % per tahun. Dengan berkembangnya sektor properti,
infrastruktur dan pembangunan-pembangunan perumahan di Indonesia yang bersifat
individual, akan sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan di sektor ini. Oleh
sebab itu, diperkirakan trend ini akan terus berkembang untuk tahun-tahun
mendatang, diperkirakan kegiatan pembangunan di sektor infrastruktur akan semakin
tinggi.
Menurut Helfert (1997), berkembangnya kegiatan pembangunan di sektor
infrastruktur harus diikuti dengan konsep evaluasi aspek ekonomi dan finansial.
Konsep ini dilakukan untuk menentukan apakah suatu proyek itu akan memberikan
sumbangan atau mempunyai peranan yang menguntungkan dalam mengelola limbah
industri baja menjadi produk yang lebih bermanfaat dan mempunyai nilai tambah
(added value). Diharapkan manfaat aspek ekonomi dapat memberikan kemampuan
suatu perusahaan/proyek dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan
penghasilan suatu perusahaan dan sebagainya. Sedangkan pada aspek finansial,
proyek dikatakan sehat apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu
memenuhi kewajiban finansialnya. Evaluasi aspek ekonomi dan finansial juga pada
hakekatnya merupakan hasil keputusan yang diambil ketika diadakan aspek-aspek
lainnya seperti aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi, dan aspek
manajemen operasional, dari proyek yang direncanakan. Sebagai contoh perhitungan
kebutuhan dana modal tetap sebagian besar dilakukan berdasarkan jumlah dan jenis
harta tetap proyek seperti tanah, bangunan, mesin, peralatan yang secara teknis dan
teknologi dinilai layak untuk disarankan dipergunakan dalam proyek.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kawasan Industri Pabrik baja terpadu PT. Krakatau
Steel Cilegon yang meliputi area pabrik besi sponge atau direct reduction (DR) plant,
pabrik slab baja, dan pabrik billet baja dan wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon yang berlokasi empat kecamatan yaitu Kecamatan Ciwandan, Kecamatan
Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak di Kota Cilegon. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret 2007 sampai dengan Mei 2008.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara observasi langsung di lokasi penelitian
seperti pengambilan sampel sedimen dan kerang-kerangan di wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon dan pengambilan data secara purpossive melalui
kuesioner, diskusi dan wawancara dengan pakar lingkungan. Sedangkan data
sekunder penelitian ini diperoleh dari jenis limbah baja yang dihasilkan oleh pabrik,
baik limbah industri baja yang berada di area masing-masing pabrik tersebut maupun
di area penampungan limbah industri baja yang sudah ditentukan lokasinya, yakni:
1. Jenis limbah padat hasil pengelolaan buangan gas/emisi udara : debu electric arc
furnace (EAF) dari billet steel plant (BSP) dan slab steel plant (SSP I/II).
2. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: sludge dari: direct
reduction plant (DR I, II, III) yang berasal dari water treatment plant (WTP) dan
wire rode mill (WRM), berasal dari WTP.
3. Jenis limbah padat hasil pengelolaan air limbah industri: slurry dari: cold rolling
mill (CRM), berasal dari WTP.
4. Data demografi, kesehatan masyarakat, dan dampak industri terhadap kesehatan
masyarakat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Selain data tersebut di atas, juga diperlukan data untuk mendukung hasil penelitian
berupa hasil pengujian-pengujian karakteristik jenis limbah industri baja, serta untuk
kelengkapan data yang terkumpul sebagai validasi model pengelolaan limbah industri
baja sebagai upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir, perlu dilakukan
dengan bantuan pakar (expert) yang kemampuan dalam bidang pengendalian
pencemaran pesisir.
45
Marimin (2002) menjelaskan kriteria-kriteria yang memenuhi syarat sebagai
pakar, adalah sebagai berikut:
1. Pakar yang mendapat pendidikan formal S2/S3 pada bidang yang dikaji.
2. Pakar yang berpengalaman pada bidang yang dikaji, tetapi memilki pendidikan
formal di bidang lain.
3. Pakar yang berpendidikan formal dan berpengalaman pada bidang yang dikaji.
4. Pakar berasal dari praktisi, didasarkan pada lama kerja dan kewenangan di suatu
posisi tertentu.
Dalam penelitian ini yang menjadi stakeholder sebagai pakar lingkungan yang
berasal dari perguruan tinggi, instansi pemerintah maupun instansi terkait lainnya
yang berpendidikan S2/S3 seperti IPB, ITB, dan UNTIRTA, Puspiptek Serpong,
Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Provinsi Banten
seperti Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel
dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan.
3.3 Tahapan Penelitian
Untuk mempermudah penyelesaian masalah dalam rangka menentukan model
pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Untuk itu diperlukan tahapan
penelitian yang selengkapnya disajikan pada Gambar 10.
3.3.1 Studi Pendahuluan
Sebelum dilakukan penelitian utama, dilakukan studi pendahuluan yang
bertujuan untuk mengenal keadaan lokasi dan menemukan permasalahan
pemanfaatan limbah inidustri baja untuk keperluan daur ulang limbah menuju ke arah
dan sasaran yang hendak dicapai dalam rangka memanfaatkan penggunaan sumber
daya yang dimiliki. Untuk keperluan tersebut yang dilakukan adalah mempelajari
kepustakaan-kepustakaan, observasi lapang untuk mengidentifikasi permasalahan-
permasalahan yang ada di perusahaaan serta mempelajari sistem pengelolaan limbah
industri baja saat ini di Pabrik baja PT. Krakatau Steel.
3.3.2 Pengumpulan Data
Penelitian ini dikumpulkan dan didentifikasi data jenis limbah baja yang
timbul baik dalam bentuk sludge, slurry, slag, scale, dan debu EAF yang berasal dari
hasil proses produksi pabrik baja yang sedang berjalan maupun jenis limbah yang ada
saat ini di area penampungan limbah dari pabrik baja penghasil limbah yaitu: billet
46
STUDI PENDAHULUAN
steel plant, slab steel plant, direct reduction plant I, II, dan III, wire rode Mill, dan
cold rolling mill. Selain itu penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap parameter
Gambar 10. Tahapan penelitian pengembangan model pengelolaan limbah industri baja
air yang akan menyebabkan terjadi degradasi pesisir maupun timbulnya penyakit bagi
kesehatan manusia baik pada karyawan maupun penduduk di Kawasan Industri
Krakatau Cilegon, untuk penelitian ini data diperoleh dari instansi terkait yaitu: Divisi
Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT. Krakatau Steel,
Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi (DLHPE) Kota Cilegon, Dinas
Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Banten.
Data kualitas air selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu dan dianalisis secara
deskriptif.
Studi Pustaka
Observasi Lapangan
Pengelolaan Limbah Baja Saat ini
PENGUMPULAN DATA
Identifikasi Data Jenis Limbah
PEMANFAATAN LIMBAH
Analiasa Limbah (Slurry, Sludge,
Debu EAF)
(AHP, ISM) (POWERSIM) (NPV, BCR)
Dampak Pencemaran Lingkungan
Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah
Degradasi Pesisir
Kesehatan Masyarakat
Analisis Baku Mutu
Kebijakan dan Strategi Model
Pengelolaan Limbah Baja
Limbah: - Hasil uji Toksisitas - Hasil uji lainnya
Produk substitusi limbah yang memenuhi standar
mutu
Proses Produksi bersubstitusi
Limbah
Pemanfaatan Limbah
Pengelolaan Limbah Baja
Penentuan Pemilihan Prioritas
Penentuan Parameter
Kunci
Komponen Proses dan Teknologi, Penduduk dan Lingkungan, serta Ekonomi
Masyarakat Sekitar
Pesisir Laut
Industri
Pengem-bangan Model
Analisis Kebijakan
Model Dinamis
Sintesa
47
3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sejumlah data yang dikumpulkan merupakan jenis data yang digunakan yaitu
data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengambilan
secara purpossive berjumlah 14 orang pakar lingkungan dengan jenjang pendidikan
S2 dan S3 melalui penyebaran kuesioner dan wawancara dengan stakehoder, baik
dari perguruan tinggi yang berasal dari IPB, ITB, Untirta, instansi terkait yang
berasal dari Dinas Lingkungan Kota Cilegon dan Provinsi Banten, Puspiptek Serpong,
DPRD Kota Cilegon dan Provinsi Banten, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM)
peduli lingkungan Kota Cilegon. Hasil kuesioner tersebut digunakan untuk penentuan
pemilihan prioritas dan penentuan parameter kunci pada model pengelolaan limbah,
selain itu juga dilakukan pengambilan sampel sedimen dan biota air khususnya
kerang-kerangan di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Sedangkan
pengumpulan data sekunder dilakukan dengan survei mendatangi instansi terkait
berupa pengambilan data statistik, data demografi: jumlah penduduk, angka kelahiran
dan angka kematian penduduk, kesehatan masyarakat, potensi wilayah, hasil-hasil
penelitian, rencana pengelolaan limbah, dan data hasil olahan lainnya.
Stakeholder yang terkait dengan kebijakan model pengelolaan limbah industri
baja dalam upaya untuk mempertahankan kelestarian pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon ditentukan berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan
kriteria kepentingan dan pengaruh setiap stakeholder. Pemilihan pakar didasarkan
pada latar belakang pendidikan, pengalaman atau jabatan, dan perilaku (attitude) para
stakeholder terkait. Secara rinci hasil identifikasi dengan para stakeholder disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Stakeholder dalam menentukan model pengelolaan limbah baja
Stakeholder Provinsi Banten dan lainnya
Kota Cilegon
Pemerintah - Bapedalda - Dinas Perindakop - Dinas Perikanan dan Kelautan - Dinas Pertanian dan Peternakan - Dinas Kesehatan
- Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi - Badan Kependudukan dan Catatan Sipil - Dinas Koperasi dan Pertanian - Dinas Kesehatan - Badan Pusat Statistik
Pengusaha Kadinda Kadinda Perusahaan - Divisi K3LH PT.KS, PT. KIEC LSM/Tokoh Masyarakat - LSM terkait
- Walhi - DPRD Propinsi
- LSM terkait - DPRD Kota Cilegon
Peneliti/Pakar - Puspiptek, ITB, IPB UNTIRTA
48
3.5 Jenis Data dan Teknis Analisis yang Digunakan
Jenis data dan teknis analisis yang digunakan serta keluaran (output) dalam
proses penelitian disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Tujuan penelitian, jenis data, teknis analisis dan keluaran
Tujuan Penelitian Jenis data yang dikumpulkan
Teknis Analisis Keluaran
Mendapatkan informasi kondisi eksisting jenis dan jumlah limbah industri baja yang dihasilkan, namun belum dimanfaatkan kembali.
Data jenis limbah baja: slag, scale, sludge, slurry dan debu EAF di Area penampungan
- Analisis hasil uji toksisitas - Analisis hasil uji kualitas air laut - Analisis IPAL
Karakteristiik jenis limbah baja: sludge, slurry dan debu EAF yang memenuhi standar mutu.
Mengetahui pencemaran di wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitar KIKC dari limbah baja yang tidak dapat didaur ulang.
Data limbah baja yang mencemari perairan dan kesehatan masyarakat yang lolos dari proses IPAL, kualitas air, sedimen dan kandungan logam berat pada kerang
Deskriptif Tingkat pemcemaran pesisir dan kesehatan bagi masyarakat sekitar dan konsentrasi logam berat pada organ tubuh kerang.
Merumuskan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir dan kesehatan masyarakat sekitarnya.
. Nilai ekonomis limbah
.Indikator dari para Peneliti/pakar dan bobot setiap atribut hasil kuesioner
. Analisis investasi pengolahan limbah NPV dan BCR
. Analisis model pngelolaan limbah: AHP, ISM, dan
pemodelan sistem dinamik (powersim)
. Nilai NPV dan BCR
. Prioritas kebijakan
. Faktor penentu parameter kunci . Penyusunan model untuk melihat perilaku sistem
Merumuskan kebijakan pengelolaan limbah industri baja yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
Instansi terkait: Pemerintah Daerah, LSM/tokoh masyarakat, Peneliti/pakar PT dan Pengusaha
.Analisis baku mutu . Model dinamis
. Analisis kebijakan
. Sintesa
Model pengelolaan limbah baja dalam upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir
3.6 Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah
Model ini bertujuan untuk menentukan analisis pengelolaan limbah industri
baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Juga model analisis
investasi pengelolaan limbah baja digunakan untuk mengevaluasi peran lingkungan
hidup di kawasan pesisir secara sinergi memberikan manfaat kepada masyarakat dan
lingkungan secara berkelanjutan.
Model analisis investasi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir Kawasan
Industri Krakatau Cilegon dapat diukur dengan mengevaluasi manfaat nilai kelayakan
49
lingkungan, yaitu dengan menghitung net present value (NPV) dan benefit cost ratio
analysis (BCR).
A. Net Present Value Analysis
Menurut Hisrich (1991), di dalam menganalisa nilai sekarang (net present
value/NPV analysis) ini bertujuan agar semua investasi, pengeluaran dan penerimaan
yang terbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai umur ekonomis proyek
dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat
suku bunga yang relevan. Formulanya sebagai berikut:
n n NPV(i) = ∑ Bt (1 + i)-t - ∑ Ct (1 + i)-t ............................................................. (6) t = 0 t = 0
Keterangan: Bt = Total penerimaan (benefit) dari proyek pada periode t
Ct = Total biaya (cost) untuk proyek yang dikeluarkan
i = Tingkat suku bunga (interst rate)
(1+i)-t = Faktor nilai sekarang (present worth factors) atau discount
factor koreksi pengaruh waktu terhadap nilai uang pada
periode t dengan interst rate i per-tahun.
Jika nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang lebih
besar dari nilai sekarang investasi, maka proyek tersebut dikatakan menguntungkan
sehingga diterima (NPV > 0). Sedangkan jika nilai sekarang lebih kecil (NPV < 0),
maka proyek ditolak karena dinilai tidak menguntungkan. Dan apabila NPV = 0,
berarti nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang sama
dengan nilai sekarang investasi.
B. Benefit Cost Ratio Analysis
Benefit cost ratio analysis digunakan untuk menentukan pengelolaan
sumberdaya yang dimiliki di wilayah pesisir laut secara lebih efisien, terutama
digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan pesisir di Kawasan
Industri Krakatau Industri. Dengan menggunakan pendekatan benefit cost ratio
analyisis (BCR) ini, sebuah proyek atau program dengan net present value (NPV)
positif direkomendasikan sebagai sebuah investasi yang baik dalam arti bahwa proyek
tersebut akan menghasilkan pengembalian yang lebih besar dan merupakan hasil
pengelolaan sumberdaya terbaik di masa mendatang. Formulanya sebagai berikut:
n Bt/(1 + i)t BCR = ∑ …………………………………………. (7) t = 1 Ct /(1 + i)t
50
Prosedur untuk mengevaluasi penentuan pengelolaan limbah baja di wilayah
pesisir dan laut didasarkan pada nilai BCR tertinggi.
3.7 Analisis Baku Mutu
Analisis baku mutu terhadap lingkungan ditujukan untuk mengetahui batas
aman dari bahan yang membahayakan dalam pengelolaan limbah baja terhadap
degradasi kelestarian wilayah pesisir atau terhadap ekosistem perairan dan kesehatan
masyarakat. Batas aman disini apakah lingkungan masih dapat mentoleransi sehingga
tidak terjadi akumulasi standar kualitas dan dapat dijadikan sebagai pembanding
untuk mengetahui perubahan kualitas lingkungan. Tujuan dilakukan analisis baku
mutu untuk: (1) keperluan pemantauan (monitoring), dan (2) pengendalian
(controlling).
Di dalam penetapan baku mutu ini terdapat prinsip-prinsip yang dapat
dilakukan yaitu: (1) tidak terlalu memberatkan pengusaha (tidak terlalu ketat). (2)
tidak mengabaikan kesehatan masyarakat (tidak terlalu longgar). Sehingga
diharapkan dalam penetapan baku mutu ini terjadi keseimbangan antara kepentingan
pengusaha dengan lingkungan sekitarnya.
Menurut Suratmo (2002) menjelaskan teknik pendekatan penyusunan Baku
Mutu melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi dari penggunaan sumberdaya atau media ambien yang harus
dilindungi.
2. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan
pengolahan dari berbagai informasi ilmiah.
3. Merumuskan baku mutu ambien (berkenaan dengan lingkungan) dari hasil
penyusunan kriteria
4. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dikemas ke dalam lingkungan.
5. Membentuk program pemantauan dan pengumpulan berbagai informasi untuk
penyempurnaan.
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor: 03 tahun 1991 pasal 13, menyatakan untuk mencegah pembuangan
kejutan (stock loading) pada sistem pengolahan limbah atau pada sumber air, setiap
pabrik harus mengadakan suatu sistem dengan mencegah agar beban pencemaran
limbah tidak boleh lebih tinggi 100% dari beban pencemaran cair rata-rata setiap
bulan. Adapun penelitian ini difokuskan pada pengambilan sampel sedimen dan biota
di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
51
3.8 Pengambilan Sampling Sedimen
Pengambilan sampel sedimen dilakukan di wilayah pesisir dimana sampel
bentik diambil dan stasiun yang diambil mengikuti stasiun pengambilan sampel
bentik. Hal ini dimaksudkan agar ada kesinambungan terutama untuk interpretasikan
data komunitas bentik sangat membutuhkan data karakter fisik dan kimia sedimen di
lokasi tempat hidup biota bentik tersebut. Adapun alat yang digunakan adalah sama
dengan pada pengambilan sample bentos yaitu Petersen Grab (luasan 0.1 m2) dengan
cara pengambilan yang sama seperti pengambilan bentos. Adapun cara pengambilan
sampling sedimen disajikan di bawah ini.
A. Penggunaan Grab Sampler
Turunkan grab sampler ke kolom air pada posisi terbuka dengan kecepatan
terkontrol sekitar 1 m/3 detik melalui kabel dengan menggunakan whinch. Pastikan
grab sampler tidak jatuh bebas ke dasar perairan. Hydrowire (kabel yang digunakan
untuk menurunkan grab sampler) harus lurus selama grab sampler diturunkan.
Sampler akan tertutup ketika menyentuh dasar dan kabel agak mengendor. Angkat
sedikit grab sampler dari dasar air agar bisa tertutup dengan tepat tanpa ada sedimen
tertumpah. Setelah grab sampler terangkat dari dasar air, kecepatan penarikan dapat
dinaikkan sampai sekitar 1 m/detik.
B. Pengambilan sampel
Pada saat dilakukan pengambilan sampel tangan menggunakan sarung tangan
lateks. Setelah grab diangkat ke permukaan yang pertama harus dilakukan adalah
membuang air dari atas sedimen dengan menggunakan syringe tanpa jarum.
Selanjutnya memeriksa sampel dan mencatat pada catatan buku lapangan hal-hal
mengenai warna, tekstur, aroma, kotoran, struktur biologi, batu besar, kilap minyak,
hal-hal yang tidak biasa pada sampel dan hal lain yang tidak biasa pada proses
pengambilan sampel. Selanjutnya dilakukan pembuangan kotoran, struktur biologi,
batu besar yang ada pada sampel. Sementara itu juga disiapkan botol sampel yang
diberi label sesuai dengan nomor stasiun dengan tinta permanen, dan mencatat pada
buku catatan lapang mengenai identifikasi sampel (lokasi pengambilan sampel),
tanggal dan waktu pengambilan sampel, klien, parameter yang akan dianalisis dan
petugas pengambil sampel.
Selanjutnya 2 cm teratas dari sampel tersebut diambil dengan sendok stainless
steel dan dimasukan ke dalam 3 botol sampel bersih yang masing-masing volumenya
250 ml dan masing-masing botol tersebut akan dimanfaatkan untuk analisa butiran
52
sedimen dan logam. Selain itu juga akan diambil sampel tambahan pada setiap
stasiun untuk keperluan sampel duplikat. Selanjutnya botol dimasukan ke dalam
plastik dua rangkap, dan dimasukkan pada cooler dengan kualitas yang baik, yang
berisi frozen ice park dan tutup cooler dan didalamnya diberi es batu yang telah
dibungkus plastik, sehingga selama penyimpanan dan pengiriman sampel tetap dingin.
Namun demikian untuk keperluan pemeriksaan butir sedimen, sample tidak
dibekukan. Selanjutnya sampel akan dikirim ke laboratorium. Analisis di
laboratorium akan menggunakan metoda standar US EPA (environmental protection
agence). Untuk ukuran butiran akan dianalisis distribusi ukuran butiran, sedangkan
pemeriksaan logam merkuri, arsenik, besi, mangan, alumunium, dan silikon. Jika ada
kelebihan air, maka akan diaduk masuk ke dalam sampel dan dihomogenkan (diaduk)
dengan spatula, dan selanjutnya sampel akan dikeringkan dengan oven pada suhu 60C.
C. Penentuan konsentrasi logam berat
Pelarutan sampel dan analisis total merkuri digunakan metoda US EPA
dengan menggunakan aqua regia sebagai bagian dari proses pelarutan, sehingga
dihasilkan perolehan total (setiap jenis) logam berat pada sedimen laut yang baik.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap setiap jenis logam berat dengan
menggunakan cold vapor atomic absorption.
3.9 Pengambilan Sampel Biota
Pengambilan sampel biota khususnya kerang yang akan diambil contoh
jaringannya dilakukan di lokasi dimana sampel sedimen diambil. Hal ini
dimaksudkan agar ada kesinambungan terutama untuk interpretasi data kandungan
logam pada jaringan kerang di lokasi diambil diduga ada kaitannya dengan
kandungan logam pada sedimen. Adapun alat yang digunakan di sini adalah sama
dengan pada pengambilan sampel kerang.. Kerang sampel yang diambil untuk
dijadikan sampel dalam keadaan hidup. Selanjutnya kerang dicuci dengan deionized
water, Setiap sampel tersebut dimasukkan pada cooler yang kualitasnya baik dengan
dilengkapi es batu yang dibungkus dengan plastik.
Pengambilan potongan sampel insang dan hati (hepatopankreas) pada kerang
dilakukan secara hati-hati tidak boleh kena tangan langsung (menggunakan sarung
tangan lateks) yang dilakukan di atas papan penyiangan yang bersih dengan
menggunakan bilah scalpel stainless steel yang baru. Untuk keperluan tersebut yang
pertama kali dilakukan adalah melepas kulit dan otot pengaitnya dengan hati-hati
sehingga jaringan yang diambil tidak terkontaminasi lendir, kotoran, sedimen atau hal
53
lain. Selanjutnya sampel otot dorsal dimasukkan ke dalam plastik bersih yang dapat
disegel dengan plastik rangkap dua, dan diantara kedua plastik tersebut diberi label
yang berisi identifikasi sampel, tanggal dan jam pengumpulan, nama klien, parameter
yang akan dianalisis dan nama pengumpul sampel. Selanjutnya sampel dibekukan,
dan baik pada saat disimpan maupun sampel dikirim diupayakan semaksimal
mungkin sehingga ada dalam keadaan beku. Sampel segera dikirim ke laboratorium
untuk dianalisis. Analisis logam pada jaringan dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan metoda US EPA. Untuk keperluan ini sampel beku akan dithawing
terlebih dahulu dan selanjutnya dihomogenkan dengan cara diblender pada blender
dengan botol kaca dan bilahnya dari stainless steel yang sudah dibilas dengan asam
dan blanko pembilasannya digunakan untuk memferifkasi. Selanjutnya sampel yang
sudah dihomogenkan disimpan dalam keadaan beku. Pada waktu sampel tersebut
akan dianalisis sampel dithawing kemudian dilarutkan pada asam nitrit/H2O2 dengan
menggunakan wadah berupa bejana terbuka dan memanaskan serta melarutkan
sampelnya dengan menggunakan hot plate. Selanjutnya logam berat dianalisis
dengan cold vapor atomic adsorption (CVAA).
3.10 Pengelolaan limbah berdasarkan Submodel
Pada penelitian ini dugunakan analisis sistem dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut: (1) Analisis kebutuhan antar pelaku, (2) Formulasi permasalahan, (3)
Identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) Verifikasi dan validasi model serta (6)
Implementasi model. Pembangunan suatu model dilakukan dengan tujuan untuk
melihat perilaku sistem dalam membantu perencanaan strategi dan kebijakan
pengolahan limbah industri baja sebagai upaya mempetahankan kelestarian wilayah
pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Perumusan pemodelan ini dilakukan
berdasarkan hasil pendekatan black box dan kondisi faktual hasil studi yang
dikombinasikan dengan konsep teoritis dari berbagai kepustakaan yang digambarkan
dalam diagram input-output pengelolaan sumberdaya pesisir/perikanan. Sedangkan
untuk merumuskan model tersebut, maka dibangun sub-sub model yang akan
disajikan di bawah ini.
A. Submodel Penduduk
Untuk membuat submodel penduduk perlu dirumuskan bahwa Pertambahan
penduduk mengikuti suatu fungsi dari jumlah angka kelahiran, angka kematian, dan
urbanisasi. Penduduk pada suatu waktu (Pti) (jiwa) ditentukan oleh jumlah populasi
54
penduduk saat ini (Pto) (jiwa), jumlah kelahiran (Kel)) (%), jumlah urbanisasi (Urb)
(%), dan jumlah kematian (Kem)(%), dapat dirumuskan:
Pti = Pto + Pto (Kel + Urb – Kem) ............................................................... (8)
B. Submodel Industri
Untuk menyusun submodel industri perlu dirumuskan bahwa Jumlah beban
limbah industri (Li) (ton/tahun) dipengaruhi oleh Jumlah industri pada waktu ti (Jlti),
Jumlah industri awal (Jlto), Fraksi pembangunan industri (FPI) (%), Luas lahan
kawasan (LK) (ha), Fraksi limbah industri (Fli) (%). Dengan asumsi untuk setiap
industri membutuhkan satu hektar lahan, dapat dirumuskan:
Jlti = Jlto (1+FPI)/LK ............................................................................. (9)
Li = Jlti * Fli ..............................................................................(10)
C. Submodel Pengolah limbah
Untuk menyusun submodel pengolah limbah perlu dirumuskan bahwa jumlah
limbah (JL) (ton/tahun) yang masuk ke pesisir pantai dipengaruhi oleh beban limbah
(BL) (ton/tahun) bersumber dari industri baja dan kapasitas instalasi pengolahan
limbah (Kipal) (ton/tahun), dapat dirumuskan:
JL = BL – Kipal ....................................................................................... (11)
Pengolahan limbah yaitu upaya untuk mengurangi beban limbah hingga memenuhi
baku mutu.
D. Submodel Dampak Sosial
Untuk menyusun submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah
baja digunakan model dinamis. Model dinamis ini digunakan untuk mengetahui
dampak limbah terhadap demografi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Model dinamis ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Demografi = f(Kesehatan masyarakat, sosial ekonomi, dan daya dukung lingkungan)
Dampak demografi tersebut merupakan model populasi yang berkaitan dengan
submodel penduduk dapat diselesaikan dengan model dinamis (powersim) sebagai
pada model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah
pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
55
3.11 Analisis Kebijakan Model Pengelolaan Limbah Industri Baja
Pencemaran lingkungan hidup terjadi di mana-mana. Pesisir maupun perairan
adalah korban pertama yang menderita di era pembangunan seperti ekosistem pantai.
Dinamika pesisir/perairan pantai mempunyai kelebihan dalam kemampuan untuk
mencerna limbah, namun bukan tidak ada batasnya. Keluhan tentang limbah yang
mencemari pesisir/perairan laut melalui air sungai mengalir ke laut, yang
menyebabkan makin berkurangnya produktivitas hasil tangkapan ikan dan lain-lain.
Penanganannya banyak tergantung dari cara menangani limbah di darat.
Penentuan kebijakan model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Komponen-komponen limbah industri baja, yaitu: (a) jenis limbah baja; (b)
toksisitas limbah baja; (c) karakteristik limbah baja; dan (d) potensi tingkat
pencemaran limbah terhadap lingkungan.
2. Faktor-faktor yang menimbulkan limbah industri baja, yaitu: (a) proses produksi
pembuatan baja; (b) instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kurang baik; (c) daya
dukung lingkungan kurang; (d) Area penampungan limbah terbatas; dan (e)
Kapasitas limbah baja semakin meningkat.
3. Indikatornya, yaitu: (a) Reduce (mengurangi); sebisa mungkin meminimalisasi
material yang digunakan karena semakin banyak kita menggunakan material,
semakin banyak sampah yang dihasilkan; (b) Reuse (memakai kembali); sebisa
mungkin memilih material yang bisa dipakai kembali dan menghindari pemakaian
material yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang
waktu pemakaian material sebelum menjadi sampah; (c) Recycle (mendaur-
ulang); sebisa mungkin, material yang sudah tidak berguna dapat didaur ulang;
(d) Replace (mengganti); teliti material yang digunakan secara kontinu. Ganti
material yang hanya bisa dipakai sekali dengan material yang lebih tahan lama;
(e) Degradasi lingkungan; lakukan upaya untuk mengurangi degradasi pesisir; (f)
Kesehatan masyarakat; upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan
masyarakat di lingkungan sekitar dari pengaruh limbah.
Untuk memenuhi 3 (tiga) hal tersebut di atas, perlu dianalisis kebijakan dan
strategi model pengelolaan limbah industri baja yang digunakan yaitu menyusun
alternatif tindakan atau keputusan yang akan diambil untuk mempengaruhi proses
nyata. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
56
Adapun analisis kebijakan model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya
untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon seperti berikut ini.
3.11.1 Diagram Sebab Akibat
Hubungan antar variabel pada model pengelolaan limbah baja dapat
digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop). Keterkaitan antara pelaku
maupun kegiatan yang terlibat dalam pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Pemecahan masalah ini telah diformulasikan pada tahap sebelumnya dengan
kerkaitan 3 (tiga) subsistem, yaitu subsistem kependudukan, subsistem pesisir laut,
dan subsistem limbah industri.
Dalam diagram sebab akibat (cause loop) ini, setiap subsistem memiliki
struktur masing-masing dengan karakteristik kegiatannya. Selanjutnya dalam proses
pengkontruksian diagram sebab akibat pada masing-masing subsistem dilakukan
secara bertahap.
3.11.2 Pemodelan Sistem Dinamik
Membangun suatu model dilakukan dengan tujuan untuk memperhatikan
perilaku sistem dalam menentukan kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah
industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan
Industri Krakatau Cilegon. Model ini berstandar pada pendekatan sistem dengan
menggunakan powersim, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan
(integritas) antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu
kerangka fikir melalui pendekatan sistem.
Berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan dibuat untuk model
pengelolaan limbah industri baja terutama yang berkaitan dengan diagram sebab
akibat yang dirancang, maka perlu dilakukan pemodelan sistem dengan rancang
bangun model dinamis dengan menggunakan bantuan progam powersim yang dapat
menterjemahkan diagram sebab akibat (cause loop) yang telah dirancang ke dalam
program komputer.
Tahapan pendekatan sistem dalam pembangunan model pengelolaan limbah
industri baja, adalah sebagai berikut:
57
A. Analisis Kebutuhan
Analisa kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian sistem. Pada tahap
analisa ini dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, kemudian
dilakukan tahapan yang mengarah pada pengembangan terhadap kebutuhan-
kebutuhan. Menurut Marimin (2007), dalam analisis kebutuhan perlu diketahui faktor
yang menentukan dari pengembangan sistem pakar, yaitu resiko yang diterima oleh
pemakai, resiko teknik didalam pertukaran informasi dan jawaban yang diberikan
pemakai, ketersediaan sumberdaya manusia yang mendukung, dan software yang
tersedia. Tahap ini juga memberikan informasi mengenai tanggapan dari pengambil
keputusan terhadap jalannya sistem.
B. Formulasi Permasalahan
Menurut Eriyatno (1999), formulasi permasalahan dilakukan atas dasar
penentuan informasi yang telah dilaksankan melalui identifikasi sistem secara
bertahap. Karena formulasi permasalahan memberikan ilustrasi tentang kompleksitas
permasalahan dalam hubungan dengan interaksi variabel baik di dalam maupun antar
sistem. Untuk mengetahui permasalahan secara rinci maka dilakukan analisis
berbagai keinginan dan konflik kepentingan oleh masing-masing aktor/pelaku, yaitu:
pemerintah, industri, LSM, masyarakat sekitar, peneliti/pakar, dan Divisi K3LH.
C. Identifikasi sistem
Identifikasi sistem dilakukan untuk mengetahui komponen-komponen yang
terlibat di dalam sistem yang akan dikaji. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai
hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyatan khusus dari
masalah yang harus diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Selanjutnya
identifikasi sistem dilakukan dengan menghubungkan antara pernyataan-pernyataan
masalah dengan kebutuhan-kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem. Identifikasi
sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi.
D. Pembuatan Model
Model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan
kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dilakukan dengan
menggunakan pendekatan sistem, kedudukan model sistem sebagai informasi dasar
dalam menyusun strategi dengan merubah kondisi suatu daerah aliran beban limbah.
58
E. Simulasi Model
Simulasi merupakan suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik
kesimpulan tentang perilaku sistem melalui penelaahan perilaku model. Simulasi
model digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model berdasarkan hasil
simulasi model akan dianalisis dan ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pola dan kecenderungan yang digambarkan dengan diagram sebab akibat
(cause loop diagram). Tahap berikutnya perlu dijelaskan bagaimana mekanisme
kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model dijadikan
dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem.
F. Verifikasi dan Validasi Model
Suatu model dapat dijalankan secara bebas apabila data maupun informasinya
cocok. Karena itu, suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya dapat
menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata,
atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan
dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem
nyata bekerja.
Verifikasi terhadap model yang disusun bertujuan untuk meyakinkan bahwa
program komputer dan implementasi dari model konseptualnya adalah benar.
Verifikasi model ini menggunakan software Powersim untuk pemodelan sistem
dinamis akan menghasilkan tingkat kesalahan yang relatif lebih sedikit bila
dibandingkan menggunakan bahasa simulasi yang penggunaannya secara general.
Proses verifikasi terhadap model komputer, selain dilakukan sebelum validasi model,
juga dilakukan setelah proses validasi model. Di dalam proses tersebut dapat
dilakukan secara iteratif termasuk merubah atau memodifikasi struktur model
komputer untuk menghasilkan yang memuaskan dan diperoleh kesesuaian dengan
tujuan dari penyusunan model yang diharapkan.
Sedangkan validasi terhadap model merupakan proses menguji substansi
model, yaitu sejauhmana model komputer yang dibuat dalam lingkup aplikasinya
memiliki kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan tujuan dari penerapan
model tersebut. Menurut Sargent (1998), menjelaskan bahwa atribut yang digunakan
dalam proses validasi sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem yang digunakan dalam
model tersebut, dengan kata lain apakah sistem dapat diobservasi atau sistem tidak
dapat diobservasi. Sistem tersebut dapat diobservasi, bila memungkinkan data yang
dikumpulkan di dunia nyata tentang perilaku operasional dari sistem yang dikaji.
59
Oleh karena itu, validasi kinerja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: Pertama, cara
kualitatif yaitu dengan membandingkan secara visual antara simulasi dengan aktual.
Kedua, cara kuantitatif yaitu: dengan uji statistik antara simulasi dengan aktual.
Validasi terhadap model dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan
proses simulasi yang dilakukan terhadap submodel kependudukan, pesisir laut, dan
limbah industri. Ketiga submodel ini dirangkaikan menjadi satu kesatuan yang
membentuk struktur model pada model pengelolaan limbah baja sebagai upaya
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Dengan demikian proses validasi terhadap model ini terlihat bahwa output (keluaran)
yang ditunjukkan dalam proses simulasi menggambarkan perilaku yang sesuai
dengan tujuan dari model.
Menurut Muhammadi (2001), pembuktian validasi model merupakan suatu
hal yang sebenarnya sulit untuk dilakukan. Walaupun validasi suatu sistem dibatasi
oleh mental model dari penyusun model, namun demikian untuk memenuhi kaidah
keilmuan pada model sistem tetap perlu dilakukan uji validasi. Pengujian validasi
perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan
dapat digunakan, yaitu: 1) Absolute mean error (AME) yaitu penyimpangan (deviasi)
antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute
variation error (AVE) yaitu penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap
aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 5 – 10%.
AME = [(Si – Ai)/Ai].................................................................................. (12)
Si = Si N, dimana S = nilai simulasi
Ai = Ai N, dimana A = nilai aktual
N = interval waktu pengamatan
AVE = [(Ss – Sa)/Sa].................................................................................. (13)
Ss = ((Si – Si)2 N) = deviasi nilai simulasi
Sa = ((Ai – Ai) 2 N) = deviasi nilai aktual
3.11.3 Proses Hierarki Analitik
Untuk menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja menggunakan
model proses hierarki analitik (AHP-analytical hierarchy process) yang
disajikan berdasarkan struktur hierarki pada Gambar 11.
Gambar 11. Struktur hierarki kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah baja
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH BAJA FOKUS
KRITERIA Timbulnya limbah
Pencemaran & kerusakan lingkungan
Efisiensi material &
energi
“Environmental equity”
Degradasi lingkungan
Ekosistem lingkungan
Daya dukung
lingkungan
TUJUAN Pemanfaatan kembali limbah
Minimalisasi
limbah
Pencegahan pencemaran pesisir
Pencegahan pencemaran
thp kesehatan masyarakat
Upaya mem-pertahankan kelestarian wil. pesisir
Kebijakan pengelo-laan limbah
berwawasan lingk. dan berkelanjutan
AKTOR Industri Penghasil Baja
Divisi K3LH PT. KS
Masyarakat sekitar
LSM Pemerintah Daerah
Peneliti/ Pakar
ALTERNATIF Perubahan bahan baku
Perubahan proses & teknologi
Perubahan produk
Penerapan 5 R
lingkungan
Mengura-ngi limbah
Memakai kembali limbah
Mendaur ulang
limbah
Meng-ganti
limbah
61
Gambar 11 tersebut di atas, terlihat bahwa struktur yang dibangun terdiri
atas 5 level atau hirarki. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada analisis
AHP adalah sebagai berikut: (1) Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan
yang diinginkan, (2) Membuat matrik perbandingan berpasangan untuk setiap elemen
dalam hirarki, (3) Memasukkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk
mengembangkan perangkat matrik, (4) Mengolah data dalam matrik perbandingan
berpasangan sehingga didapatkan prioritas setiap elemen hirarki, (5) Menguji
konsistensi dari prioritas yang telah diperoleh. Sedangkan menurut Marimin (2004),
penentuan pemilihan prioritas pengelolaan limbah industri baja menggunakan model
AHP – criterium decision plus dengan langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
(1) Jalankan program criterium decision plus dengan perintah
start/program/criterium decision plus, lalu double klik criterium decision plus. (2)
Buat file bainstorming dengan perintah file/new, lalu buat atruktur masalah. Setelah
selesai simpan dengan perintah file/save as dan beri nama file.BST. (3) Buat struktur
hierarki dengan perintah view/general hierarchy. (4) Tentukan model AHP dengan
perintah model/technique/AHP. (5) Lakukan penilaian terhadap kriteria dengan
perintah:
a. Klik kotak memilih
b. Lakukan perintah: block rate subcriteria
c. Penilaian kriteria dengan jalan:
i. Lakukan perintah: methods/full pairwase
ii. Isikan nilai seperti yang ada pada contoh
d. Lakukan penilaian perbandingan antara dua alternatif untuk setiap kriteria yang
bersedia, tetapi untuk teknologi proses, harus diubah menjadi pengisiannya
perintah method/direct, lalu dimasukkan secara langsung data efisiensi dari
masing-masing teknologi proses.
e. Setelah selesai klik OK
(6) Untuk melihat hasil akhir, gunakan perintah result decision/decision scores.
Grafik hasilnya dapat diperoleh. (7) Untuk melihat hasil akhir dalam bentuk tabel
gunakan perintah view/result data. Hasilnya dapat diperoleh.
3.11.4 Pemodelan Interpretasi Struktural
Menurut Marimin (2004), penentuan parameter kunci dalam pengelolaan
limbah industri baja menggunakan teknik pemodelan interpretasi struktural (ISM-
interpretative structural modelling), dengan langkah-langkah adalah: (a) Identifikasi
62
elemen yaitu elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat diperoleh
melalui penelitian, brainstorming, dan lain-lain. (b) Hubungan Kontekstual: Sebuah
hubungan kontekstual antar elemen dibangun, tergantung pada tujuan dari pemodelan.
(c) Matriks interkasi tunggal tersetruktur (structural self interaction matrix/SSIM).
Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang
dituju. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara
dua elemen dari sistem yang dipertimbangan, adalah:
V … hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
A ... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X ... hubungan interrelasi antara Ei terhadap Ej (dapat sebaliknya)
O ... menunjunjuk bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
(d) Matriks reachabilita (reachabilita matrix/RM. (e) Tingkat partisipasi dilakukan
untuk mengklasifikasikan elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari
struktur ISM. (f) Matriks canonial: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang
sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari
elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. (g) Digraph:
adalah konsep yang berasal dari directional graph, sebuah elemen-elemen yang
saling berhubungan secara langsung, dan level hirarki. Digraph awal dipersiapkan
dalam baisis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan
memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digarph akhir. (h)
Interpretative structural model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh
jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan
gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.
3.11.5 Pemodelan Sistem Dinamik
Untuk membuat model pengelolaan limbah industri baja menggunakan sistem
dinamis melalui analisis kebutuhan dan black box. Sebagai tahap awal dalam
melakukan pengkajian menggunakan pendekatan sistem adalah analisa kebutuhan.
Analisis ini dinyatakan dalam kebutuhan stakeholders yang berpengaruh terhadap
sistem yang dikaji. Analisis kebutuhan stakeholders terhadap upaya pengendalian
pencemaran kelestarian wilayah pesisir yaitu: (1) Pemerintah daerah: sebagai
pengendali yang melibatkan partisipasi masyarakat, bantuan dana dan kerjasama
dengan instansi lain. (2) Masyarakat: pengendalian yang berkeadilan secara
menyeluruh. (3) Pengusaha: pengendalian yang tepat sasaran dan berkelanjutan. (4)
63
Lembaga swadaya masyarakat: pengendalian yang melibatkan partisipasi masyarakat
dan berkeadilan. (5) Perguruan tinggi: sebagai pengendalian yang efektif dan efisien.
IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis
Kota Cilegon merupakan kota otonomi yang secara yuridis dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 15/1999. Sebagai kota yang berada di ujung barat
Pulau Jawa, juga bagian dari wilayah Provinsi Banten. Kota Cilegon merupakan pintu
gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Secara geografis, Kota Cilegon yang berada pada koordinat 5o52’24”–
6o04’07” Lintang Selatan dan 105o54’05” – 106o05’11” Bujur Timur, dibatasi oleh:
- Sebelah Barat : Selat Sunda
- Sebelah Utara : Kabupaten Serang
- Sebelah Timur : Kabupaten Serang
- Sebelah Selatan : Kabupaten Serang
Kota Cilegon yang luasnya 175,45 Km2 dibagi kedalam delapan kecamatan
yakni Kecamatan Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak,
Kecamatan Grogol, Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Cilegon, Kecamatan
Jombang, dan Kecamatan Cibeber serta 43 kelurahan. Kota ini memiliki iklim tropis
dengan temperatur berkisar 21,1oC – 34,1oC dan curah hujan rata-rata 114 mm per
bulan.
Kota Cilegon dilalui beberapa sungai antara lain Sungai Kahal, Tompos,
Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuarsa, Sumur Wuluh, Grogol,
Cipangurungan, dan Sungai Cijalumpang. Diantara sebelas sungai tersebut Sungai
Grogol merupakan yang terbesar dan hampir semuanya bermuara di Selat Sunda.
Selain beberapa sungai, di Kota Cilegon juga terdapat sebuah waduk yang cukup luas
yakni Waduk Kerenceng yang membelah Desa Kebonsari, Lebakdenok, dan
Tamansari di Kecamatan Ciwandan dan merupakan sumber air PDAM yang dialirkan
ke rumah tangga untuk sebagian wilayah di Kota Cilegon. Waduk Krenceng juga
dimanfaatkan oleh industri-industri di wilayah kawasan industri Krakatau Cilegon
yang pengelolaannya oleh PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) yang merupakan anak
perusahaan PT. Krakatau Steel. Kondisi geografis Kota Cilegon disajikan pada
Gambar 12.
65
Gambar 12. Peta Kota Cilegon
4.2 Kependudukan
4.2.1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
Dari tahun ke tahun jumlah Kota Cilegon mengalami pertambahan yang
semakin besar. Jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007 sebesar 347.599 jiwa.
Penduduk Kota Cilegon terdiri dari 180.366 jiwa laki-laki dan 167.232 jiwa
perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,32 % per-tahun
dan tingkat kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2. Selain itu, data Dinas Kesehatan
Kota Cilegon tahun 2007 diperoleh rata-rata angka kelahiran penduduk sebanyak
1,85 % per-tahun dan angka kematian penduduk sebesar 1,15 % per-tahun dari
jumlah penduduk.
Sumber utama data pendudukan tersebut adalah sensus penduduk. Selain
sensus untuk menjembatani ketersediaan data penduduk, Badan Pusat Statistik (BPS)
Kota Cilegon melakukan survey penduduk. Di dalam sensus penduduk, pencacahan
dilakukan terhadap seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah geografis Kota
66
Cilegon. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007 disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9. Luas wilayah dan jumlah penduduk Kota Cilegon tahun 2007
Luas Penduduk Kecamatan Km2 % Laki-
laki Perempu-
an Jumlah %
1. Ciwandan
2. Citangkil
3. Pulomerak
4. Grogol
5. Purwakarta
6. Cilegon
7. Jombang
8. Cibeber
51,85
22,98
19,91
23,28
15,23
9,16
11,55
21,49
29,55
13,10
11,35
13,27
8,68
5,22
6,58
12,25
21.115
30.029
22.260
17.455
19.655
19.922
29.028
20.893
18.686
27753
20753
16.168
18.174
18.434
27.006
20.258
39.801
57.782
43.013
33.623
37.839
38.356
56.034
41.151
11,45
16,62
12,37
9,67
10,89
11,03
16,12
11,84
Jumlah 175,45 100,00 180.366 167.232 347.599 100.00
Sumber: Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Cilegon, Tahun 2007
Adapun kecamatan yang didalamnya terdapat pada penelitian ini yaitu
wilayah Kawasan Industri Krakatau Cilegon (KIKC) meliputi: Kecamatan Ciwandan,
Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak dan Kecamatan Grogol. Mengingat
penelitian dilakukan di KIKC maka fokus penelitiannya ditujukan pada empat
kecamatan tersebut. Dari keempat kecamatan tersebut yang merupakan wilayah
pesisir: 1). di Kecamatan Ciwandan yang merupakan wilayah pesisir hádala Desa
Tegal Ratu, Desa Gunung Sugih, Desa Kepuh, Desa Randakari, dan Desa Kubang
Sari; 2). di Kecamatan Citangkil meliputi Desa Warnasari, dan Desa Semang Raya, 3).
di Kecamatan Pulomerak meliputi Desa Suralaya, Desa Tamansari, Desa Mekarsari,
dan Desa Lebak Gede; 4). di Kecamatan Grogol meliputi Desa Gerem, dan Desa
Rawa Arum.
4.2.2 Kesehatan Masyarakat
Perkembangan pesat industri di Kota Cilegon saat ini tidak lain karena
banyaknya investor yang menanamkan sahamnya di daerah yang sangat strategis dan
menjanjikan dalam dunia usaha. Di sisi lain penerapan teknologi oleh perusahaan
maupun manusia guna mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik seringkali tidak
diikuti oleh faktor keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai, yang pada
akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Cilegon terdapat sepuluh besar jenis
penyakit yang hampir ditemukan pada setiap empat kecamatan yang merupakan
67
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yaitu penyakit: ISPA, tukak
lambung, TBC paru BTA, dermatitis (penyakit kulit), myalgia (nyeri sendi),
hypertensi esensial, diare & gastroentiritis, artritis (radang), demam, dan gejala
penyakit lainnya. Berdasarkan sepuluh jenis penyakit tersebut, selanjutnya dapat
diidentifikasi menjadi empat jenis penyakit yang diakibatkan oleh pengaruh
pencemaran limbah industri (polusi udara, air, dan tanah) di Kawasan Industri
Krakatau Cilegon. Adapun empat jenis penyakit disajikan pada Tabel 10.
Berdasarkan Tabel 10 tersebut, jumlah penderita penyakit yang paling besar yang
dijumpai di empat kecamatan adalah jenis penyakit infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA). Hal ini terjadi karena masyarakat yang berdomisili dekat dengan kawasan
industri yang udaranya sudah tercemar oleh pabrik-pabrik yang beroperasi di kawasan
tersebut.
4.3 Perekonomian Wilayah
Kota Cilegon merupakan wilayah bagian barat dari Provinsi Banten atau
bagian barat dari daratan pulau Jawa. Oleh karena perkembangan pembangunan yang
cukup, teutama dalam bidang industri, pertanian/perikanan, dan wisata. Salah satu
kekuatan Kota Cilegon terletak bidang industri dan pelabuhan, secara sektoral
pelabuhan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan turut memberikan artikulasi politik
bagi daerahnya, karena pelabuhan merupakan infrastruktur strategis bagi kegiatan
ekonomi dan transportasi, terutama bagi industri untuk kegiatan arus masuk dan
keluarnya barang, bahkan bagi kelancaran akulturasi dan komunitas antar berbagai
wilayah, baik dalam negeri maupun dengan luar negeri.
Perekonomian wilayah Kota Cilegon telah memasuki daerah industrialisasi
yang secara tidak langsung memanfaatkan wilayah pesisir untuk pembangunan
kawasan industri yang tumbuh dengan industri-industri raksasa seperti pabrik baja
dan kimia, serta jenis-jenis industri lainnya.
4.3.1 Industri
Pertumbuhan bidang industri di Kota Cilegon yang berkembang di masa
sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan
tekanan terhadap sektor perikanan, semakin meningkat. Pertambahan jumlah industri
dan penduduk membawa dampak bertambahnya beban pencemaran. Pencemaran
akibat kegiatan industri dapat menyebabkan kerugian besar, karena umumnya
Tabel 10. Jenis penyakit di wilayah pesisir Kota Cilegon Jenis Penyakit di Wilayah Pesisir Kota Cilegon Tahun 2003 - 2007No. Jenis Penyakit Kecamatan Ciwandan (Org) Kecamatan Citangkil (Org) Kecamatan Grogol (Org) Kecamatan Pulomerak (Org)
2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 1 ISPA 5285 5465 5.671 6.098 6.775 9868 10015 10.246 11.017 12.241 318 327 336 362 402 2468 2505 2.664 2.865 3.183 2 Dermatitis 2878 3150 3.212 3.453 3.837 1844 1995 2.021 2.173 2.414 152 165 175 188 209 590 611 624 671 745 3 TBC Paru BTA 1485 1658 1890 2.032 2.258 925 997 1.045 1.123 1.248 169 178 201 216 240 603 646 673 724 804 4 Artritis lainnya 1160 1285 1.301 1.399 1.554 985 1056 1.211 1.302 1.447 159 172 192 206 229 305 340 352 378 420
Total 10808 11558 12.074 12.980 14.424 13622 14063 14.522 15.615 17.350 798 842 904 972 1.08 3966 4102 4.312 4.637 5.152
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2007
INFORMASI RANCANGAN
PENGELOLAAN
ANALISIS INVESTASI
PENGELOLAAN LIMBAH
OBSERVASI LANGSUNG TERHADAP JENIS LIMBAH BAJA DI AREA PENAMPUNGAN YANG BERKECENDERUNGAN MENIMBULKAN
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PROSES INPUT – OUTPUT Data Order Input Output - Scrap, Slag Jenis Limbah: Karakteristik jenis - Scale,Sludge, Slurry - Sludge, Slurry limbah proses hasil - Debu EAF - Debu EAF uji toksisitas
G G
Ga Gambar 4. Rancangan dan perumusan penyelesaian masalah
KEBIJAKAN DAN STRATEGI MODEL PENGELOLAAN LIMBAH BAJA
Pemanfaatan limbah
Area penyimpanan limbah
Limbah yang akan diolah
Proses
Pemanfaatan limbah
Jenis limbah Karakteristik limbah baja
Pencemaran lingkungan
Pengendalian limbah
Kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri baja
sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian
ekosistem pesisir kawasan industri
Minimalisasi limbah
Pendapatan masyarakat
sekitar
Aspek-aspek Pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
Peningkatan ekonomi daerah
Kesehatan masyarakat
Terjaganya kelestarian
pesisir
Penyerapan tenaga kerja
69
buangan/limbah dari kegiatan industri tersebut mengandung zat beracun seperti
senyawa klor, raksa, kadmium, krom, timbal dan lain sebagainya munculnya zat
beracun ini disebabkan bahan tersebut sering digunakan dalam proses produksi suatu
industri, baik bahan baku, katalisator, maupun bahan utamanya.
Dilain pihak hingga saat ini industri yang tumbuh dan berkembang di Kota
Cilegon setiap tahun selalu bertambah, baik industri menengah maupun industri
berat. Saat ini terdapat 85 perusahaan swasta ditambah dengan industri yang bergerak
pada kelompok industri Krakatau Steel Group di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
4.3.1.1 Kondisi Eksisting Pabrik di Kawasan Industri Krakatau Cilegon
Kawasan industri yang prospektif bila didukung oleh infrastruktur yang
memadai dapat memacu perkembangan ekonomi kawasan di Kota Cilegon dan
Provinsi Banten pada umumnya. Oleh karena itu, setelah diketahui kawasan industri
yang prospektif tersebut, maka perlu diidentifikasi kebutuhan investasi infrastruktur
sesuai kondisi masing-masing kawasan industri tersebut dengan memperhatikan
langkah-langkah dukungan melalui pendekatan: (1) Mengidentifikasi kebutuhan
infrastruktur untuk mendorong percepatan perkembangan kawasan industri yang
prospektif berkembang. (2) Melakukan upaya sinkronisasi kebutuhan infrastruktur
yang telah diidentifikasi tersebut terhadap sistem infrastruktur wilayah yang telah
ditetapkan dalam struktur rencana tata ruang wilayah (RTRW Kota Cilegon dan
Provinsi Banten). (3) Melakukan kajian dan analisa kebutuhan investasi untuk
infrastruktur kawasan industri yang sinkron dengan kebijakan yang ditetapkan
dalam RTRW Kota Cilegon dan Propinsi Banten. (4) Menyusun dalam sebuah profil
untuk kebutuhan investasi infrastruktur kawasan andalan.
Kondisi eksisting Kawasan Industri PT. Krakatau Steel memiliki luas lahan +
1.500 ha dan Kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon yang dikelola oleh PT.
KIEC sebuah anak perusahaan PT. Krakatau Steel mengelola luas lahan + 2.000 ha
dan total luas lahan kawasan industri Cilegon luasnya + 3.500 ha. Nama-nama
perusahaan/pabrik yang beroperasi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan
pada Tabel 11.
70
Tabel 11. Perusahaan/pabrik baja hulu dan hilir di Kawasan Industri PT. Krakatau Steel Group
No. Nama Pabrik/Perusahaan Jenis Kegiatan 1 Besi Spons Mengolah besi pellet menjadi besi spons 2 Billet Baja Mengolah besi spons menjadi billet baja 3 Slab Baja Mengolah besi spons menjadi slab baja 4 Hot Strip Mill (HSM) Mengolah slab baja menjadi baja lembaran 5 Cold Rolling Mill (CRM) Mengolah baja lembaran �ngá ketebalan
tertentu 6 Wire Rode Mill (WRM) Mengolah billet baja menjadi batang kawat 7 PT. Krakatau Daya Listrik (KDL) Mengelola listrik untuk kawasan industri,
perumahan, dan perkantoran 8 PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) Mengelola air untuk kawasan industri,
perumahan, dan perkantoran 9 PT. Krakatau Bandar Samudera (KBS) Mengelola pelabuhan barang eksport – import
untuk keperluan PT. Krakatau Steek Group10 PT. Krakatau Information Technology
(KITech) Mengelola jaringan informasi dan teknologi baik untuk keperluan PT. KS Group maupun non PT. KS.
11 PT. Krakatau Medika Mengelola Rumah Sakit untuk keperluan karyawan PT. KS Group maupun untuk umum.
12 PT. Krakatau Industrial Estate Cilegon Mengelola lahan di kawasan industri Cilegon (+ 2.000 ha)
13 PT. Krakatau Engineering Mengelola jasa konstruksi 14 PT. KHI Pipe Industries Memproduksi pipa baja 15 PT. Krakatau Wajatama Memproduksi besi ulir dan besi profil 16 PT. Plat Timah Nusantara (Latinusa) Memproduksi plat timah
Sumber: (Divisi Umum, PT. Krakatau Steel, 2007)
Sedangkan untuk mengelola Kawasan Industri Krakatau Cilegon, PT.KIEC
dalam kegiatannya bergerak juga dalam bidang property dan bidang pendukung
lainnya sebagai berikut:
1. Property industri untuk kawasan industri:
- Area industri baja : 1.500 Ha
- Area industri umum : 602 Ha (kemungkinan diperluas sampai 1.600 Ha)
- Area komersial : 1.250 Ha
2. Property komersil: perkantoran, hotel, stadion sepak bola dan lapangan golf
3. Property residen: perumahan direksi dan karyawan
4. Investasi dan perdagangan
Kota Cilegon selain tumbuh dengan industri milik pemerintah pusat (BUMN)
yaitu PT. Krakatau Steel, juga memiliki anak perusahaan yang tergabung dalam PT.
Krakatau Steel Group dan nama-nama perusahaan yang tergabung dalam PT.
Krakatau Group + 58 jenis perusahaan dengan berbagai jenis usaha. Pabrik-pabrik
yang beroperasi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang dikelola oleh PT.
Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) disajikan pada Tabel 12.
71
Tabel 12. Kondisi eksisting Kawasan Industri Krakatau Cilegon No. Nama Investor Jenis Produk/Kegiatan Keterangan
1 PT. Air Liquide Indonesia Liquid nitrogen, liquid oxygen, liquid argon, gas hydrogen
2 PT. Argamas Bajatama Paku, Bedrad 3 PT. Ashahimas Chemical Caustic Soda, Ethylene
Dichlorida, Vinyl Chloride Monomer, Polyvinyl Chlorida, Hydrochloric Acid, Luquid Chlorine, Sodium Hypochlorite
4 PT. Barchock & Wilcox Asia Workshop 5 PT. Barata Indonesia Jasa kontruksi & pemesinan
(vessel)
6 PT. BASF Polimer dispersion Belum/tidak beroperasi
7 PT. Beton Agung Cilegon Concrete ready mix 8 PT. Blue Scope Steel Indonesia Zincalum coated coiol, paint
coated coil
9 PT. Briketama Anugrah Cold bricket iron 10 PT. Cabot Indonesia Carbon black 11 PT Cahya Anugrah Tama Design, engineering, fabrication
and contruction, testing and painting of pressure vessel, column, heat exchanger, storage tank, drum, piping, steel structural and similar steel, material
12 PT. Cerestar Flour Mills Pabrik tepung Belum/tidak beroperasi
13 PT. Cheetham Garam Indonesia Garam 14 PT. Cigading Habeam Centra Welded H-beam, steel
fabricator, coil centre, electric pole
15 PT. Citra Indokarbon Perkasa Calcined coke Belum/tidak beroperasi
16 a PT. Citra Industri Logam Mesin Pig iron Belum/tidak beroperasi
17 PT. Clariant Indonesia Bahan baku cat dan tekstil 18 PT. Commonweath steel Indonesia Grinding media (steel grinding
balls)
19 PT. Commucation Cable Industri kabel 20 PT. Daekyung Indah Heavy Industry Heat exchange, pressure vessel,
tower & column, boiler, tank.
21 PT. Daya Swahasta Cipta Pengolahan plat baja limbah CRM
22 PT. Dongjin Indonesia Azodicarbonamide, modified azodicarbonamide, dinitro pentamethylene, tetramine, urea promoter.
23 PT. Dresser-Rand Services Indonesia Jasa perbaikan dan pemeliharaan alat-alat berat untuk keperluan operasi pertambangan minyak dan gas
24 PT. DySar Colours Indonesia Zat warna tekstil 25 PT. Harbison-Walker Refractories Refractories 26 PT. Indocement Tunggal Perkasa Tbk. Coal storage terminal 27 PT. Indonesia Asri Refractories Perotit S, Pertundit M, Peramit
M, Perfrit HL-78 (basic refractories mixes)
28 PT. Kapurindo Sentana Baja Kapur bakar
72
29 PT. Karunia Berca Indonesia Fabrikasi konstruksi baja umum dan galvanisasi
30 PT. Kokusai Keiso Engineering, construction, and maintenance work of instrumentation and electrical
31 PT. Krakatau Prima Dharma Sentana Alumunium pellet & ingot 32 PT. Lautan Otsuka Chemical Blowing agent (azodicarbon-
amide)
33 PT. Man Ferrostaal Indonesia Engineering, fabrication and industrial erection, maintenance
34 PT. Mitraguna Pancatama Wire mesh 35 PT. Multi Fabrindo Gemilang Engineering, fabrication and
Construction of pressured vessel, oil & gas production equipment, steel structure
36 PT. Nusaraya Putra Mandiri Pengemasan oli 37 PT. NX Indonesia Fenite magnet, fenite material,
die tooling (peralatan pengerjaan logam)
38 PT. Petrojaya Boral PlasterBoard Gypsum board 39 PT. Prajamita Internusa Packaging oil & gas industry 40 PT. Pundi Kencana Pabrik tepung Belum/tidak
beroperasi 41 PT. RC Grease & Lublicant Manufaktur pelumas & gemuk 42 PT. Resource Management Indonesia CO2 Belum/tidak
beroperasi 43 PT. Rohm and Hass Indonesia Acrylic emulsion resin (adhesive
chemical)
44 PT. Samator Gas Indonesia Pembotolan gas oksigen 45 PT. Samson Tiara Pusat pelatihan kesehatan 46 PT. Santika Pramesti Refined sugar Belum/tidak
beroperasi 47 PT. Savanmulia Indah Briket besi 48 PT. Seamless Pipi Indonesia Jaya Seamless pipe 49 PT. Selago Makmur Plantation Biodiesel dan minyak goreng Belum/tidak
beroperasi 50 PT. Sentra Usahatama Jaya Sugar refinery 51 PT. Siemens Indonesia Servicing and manufacturing of
turbine component & part, misc.power geraration component, kondensator, precision parts for industries
52 PT. Surya Besindo Sakti Fabricator & Engineering Service
53 PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk. Jasa telekomunikasi 54 PT. Jokro Putra Persada Komponen mesin, steel
fabriated parts
55 PT. Tritara Pradipta Steel inustry Belum/tidak beroperasi
56 PT. Umikasentana Bajatama Kapur bakar Belum/tidak beroperasi
57 PT. Wastec International Pengolahan limbah B3 58 PT. Yosomulyo Jajag Splier carbon, distributor semen
padang Belum/tidak beroperasi
Sumber: (Divisi Properti Industri PT. KIEC, 2007)
73
4.3.1.2 Kondisi Eksisting Jumlah Limbah Baja
Kondisi eksisting jumlah limbah padat baja yang berasal dari pabrik-pabrik
yang menghasilkan limbah baja dan disimpan di area penampungan limbah sebagai
lahan pembuangan akhir dilakukan dengan menghitung frekuensi pengangkutan.
Jumlah pengangkutan limbah dihitung tiap bulan kemudian dikonversikan menjadi
satuan ton. Berdasarkan informasi dari Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (2006),
memperlihatkan bahwa kondisi eksiting jumlah limbah baja dibuang ke lahan
pembuangan akhir berdasarkan limbah baja yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja
sebagai sumber limbah dalam ukurun waktu 10 tahun terakhir (1994 – 2002) masing-
masing menghasilkan jenis limbah: (1) Debu EAF yang berasal dari sumber limbah:
BSP, SSP I/II, menghasilkan total limbah + 512.523 ton, (2) Sludge yang berasal dari
sumber limbah: DR plant dan WRM plant menghasilkan total limbah + 260.361 ton,
dan (3) Slurry yang berasal dari sumber limbah CRM plant menghasilkan total limbah
+ 1.056.375 ton.
Di dalam ruang lingkup penelitian pengelolaan limbah industri baja di
Kawasan Industri Krakatau Cilegon difokuskan pada pengambilan data kuantitas
limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007 yang berasal dari pabrik besi
spons, besi billet, direct reduction plant (DR), dan wire rode mill (WRM). Tabel 13.
merupakan data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007.
Tabel 13. Data kuantitas limbah padat/lumpur PT. Krakatau Steel tahun 2007
Jenis Limbah Baja NO. Bulan Debu EAF Debu EAF Debu EAF Sludge Sludge Slurry
BSP SSP1 SSP2 DR WRM CRM (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) 1 Januari 567 1107 906 215 130 1146 2 Pebruari 240 498 923 350 50 968 3 Maret 570 740 790 182 100 1304 4 April 570 1036 882 173 130 1096 5 Mei 585 1151 986 100 220 701 6 Juni 564 1027 770 131 150 789 7 Juli 552 1010 1030 203 120 928 8 Agustus 573 1070 869 173 160 1033 9 September 552 1110 679 145 90 855
10 Oktober 522 1028 429 464 60 728 11 Nopember 552 1123 926 367 90 688 12 Desember 576 1162 779 0 0 963
Jumlah 6423 12062 9969 2503 1300 11196
Sumber: Divisi K3LH PT. KS, (2007)
Dari Tabel 13 di atas, memperlihatkan bahwa jumlah limbah baja tahun 2007
dari masing-masing jenis limbah yang dihasilkan oleh pabrik baja yakni BSP, SSP,
74
DR, WRM, CRM masih memperlihatkan jumlah limbah yang cukup besar. Untuk itu
perlu penanganan limbah baja yang serius, agar limbah yang ada saat ini dapat
dimanfaatkan dan mempunyai nilai tambah (added value). Adapun data kuantitas
jenis limbah baja tahun 2007 yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja yang berada di
area pabrik baja PT. Krakatau Steel disajikan pada Gambar 13.
JENIS LIMBAH BAJA
0100020003000400050006000
Janu
ari
Peb
ruar
i
Mar
et
Apr
il
Mei
Juni
Juli
Agu
stus
Sep
tem
ber
Okt
ober
Nop
embe
r
Des
embe
r
Bulan
Jml L
imba
h Debu EAF BSP (Ton)Debu EAF SSP1 (Ton)
Debu EAF SSP2 (Ton)
Sludge DR (M2)Sludge WRM (Ton)
Slurry (M2)
Gambar 13. Kuantitas setiap jenis limbah baja tahun 2007
4.3.2 Pertanian
Sektor pertanian di Kota Cilegon yang menjadi unggulan sebagai hasil
produksi pertanian meliputi perikanan, tanaman pangan, dan perkebunan. Kegiatan
pertanian ini banyak diperoleh di darat dan di Perairan Selat Sunda yang merupakan
daerah pesisir pada empat kecamatan di wilayah Kota Cilegon yaitu Kecamatan
Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol dan Kecamatan Pulomerak.
Kegiatan sektor pertanian ini berupa komoditas hasil tanaman pangan yaitu padi
(beras), hasil perkebunan yaitu kacang tanah. Sedangkan komoditas hasil perikanan
berasal dari hasil penangkapan ikan laut.
Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon
diperoleh data komoditas hasil produksi pertanian berupa hasil tangkapan ikan,
produksi padi dan produksi perkebunan kacang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Produksi komoditi hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007
Produksi Hasil Pertanian Tiap Kecamatan (Ton) No. Komoditi Ciwandan Citangkil Pulomerak Grogol Jumlah
1. Tangkapan Ikan
299 266 166 372 1.103
2. Padi 1.532 1.491
452 1.754 5.229
3. Kacang Tanah
1.446 1.290 1.192 864 4.792
Sumber: Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon, tahun 2007
75
Permasalahan yang dihadapi oleh Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon
sampai saat ini adalah 1). Kota Cilegon belum memiliki tempat pelelangan ikan (TPI)
dan Peraturan Daerah tentang perijinan usaha perikanan; 2). Sebagian besar nelayan
masih termasuk nelayan tradisional dengan armada perikanan dan alat tangkap yang
sederhana karena kurangnya modal usaha.
Meskipun demikian, ada upaya-upaya pemecahan masalah oleh Pemerintah
Daerah, yaitu: 1). Pemerintah Kota Cilegon beserta pihak terkait lainnya berusaha
untuk mendirikan TPI agar sistem pendaratan dan pemasaran ikan menjadi lebih baik,
serta membuat peraturan daerah tentang peraturan perijinan usaha perikanan untuk
menciptakan iklim usaha perikanan yang kondusif; 2). Akses permodalan bagi
nelayan dibuat sesederhana mungkin dengan tidak memberatkan nelayan, serta
mendorong para nelayan untuk menggunakan lembaga permodalan yang ada seperti
Koperasi LEP-M3, Linbuk, dan sebagainya.
4.3.2.1 Sumberdaya Perikanan
Kondisi pelimpahan ikan di perairan wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon terutama di daerah penangkapan ikan tradisional belum memiliki
tempat pelelangan (TPI) yang hal ini menyulitkan bagi para petani khususnya
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, terlihat bahwa para nelayan di
wilayah pesisir 4 (empat) kecamatan yakni Kecamatan Ciwandan, Kecamatan
Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak hanya mampu menangkap
ikan + 1.103 ton/tahun, sedangkan konsumsi masyarakat untuk kebutuhan ikan lebih
dari angka tersebut. Namun secara faktual Dinas Koperasi dan Pertanian Kota
Cilegon telah membentuk kelompok petani khususnya perikanan tangkap sampai
tahun 2007 yang meliputi: 1). Jumlah petani: (a) Rumah tangga perikanan (RTP)
terdiri dari: punya perahu sebanyak 519 Kepala Keluarga (KK), tanpa perahu
sebanyak 77 KK; (b) Rumah tangga buruh perikanan (RTBP) sebanyak 208 KK. 2).
Armada perikanan tangkap terdiri dari: perahu tanpa motor sebanyak 204 unit, motor
tempel sebanyak 239 unit, dan kapal motor: < 5GT sebanyak 6 unit, dan 5 – 10 GT
sebanyak 70 unit. 3). Alat tangkap terdiri dari: jaring insang hanyut 33 unit, jaring
insang tetap 6 unit, bagan perahu 54 unit, bagan tancap 9 unit, pancing 421unit, bubu
71 unit, dan serok 80 unit.
Program lain pemerintah Kota Cilegon dalam upaya meningkatkan
produktifitas sumberdaya ikan di perairan wilayah pesisir yang dicanangkan dalam
dekat akan membentuk Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Cilegon. Dinas tersebut
76
merupakan pemisahan Dinas Koperasi dan Pertanian Kota Cilegon, yang diharapkan
wilayah pesisir Kota Cilegon mampu menghasilkan devisa bagi pendapatan asli
daerah (PAD) Kota Cilegon.
4.4 Kondisi Pesisir Laut
Pemukiman di sekitar pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon
menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang
sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan sesuai dengan keadaan lingkungan
wilayah pesisir. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam,
ekploitasi hutan laut, perdagangan dan industri merupakan dasar bagi tata ekonomi
masyarakat wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Tekanan jumlah penduduk yang selalu bertambah sering mengakibatkan
rusaknya/degradasi lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa limbah rumah
tangga, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan
keamanan umum. Oleh karena itu perlu pemahaman tentang proses perubahan yang
terjadi di wilayah pesisir tersebut. Perlu diketahui pula bahwa perairan wilayah pesisir
umumnya merupakan perangkap zat-zat hara maupun bahan-bahan buangan, karena
pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan cermat akan menimbulkan
masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan buangan seperti dari sampah
organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan
sebagainya akann terbawa aliran sungai dan pada akhirnya akan mencapai perairan
wilayah pesisir tersebut.
Menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi Kota
Cilegon hingga tahun 2007, bahwa kadar logam berat dalam air laut disepanjang
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon sangat bervariasi namun kisaran
kadar logam beratnya konsentrasi masih tergolong rendah dan masih memenuhi baku
mutu air laut yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negera Kependudukan dan
Lingkungan Hidup tahun 1988 dan tahun 2004. Keputusan Menteri Negera
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep 51/MNKLH/I/2004 tentang Pedoman
Penetapan Baku Mutu Air Laut.
V. ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH DI WILAYAH PESISIR
ABSTRAK
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan,
juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan. Kebijakan pengelolaan limbah di wilayah pesisir dirasakan sangat penting bagi masyarakat maupun pemerintah daerah. Tujuan analisis pengelolaan limbah ini yaitu: untuk mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja, mengetahui kualitas air laut di wilayah pesisir, mengetahui proses instalasi pengelohan air limbah baja. Metode analisis pengelolaan limbah baja ini mengacu pada: toxicity characteristic leaching prosedure (TCLP) untuk mengetahui hasil uji toksisitas; Peraturan Pemerintah RI. No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3); Proses IPAL untuk regenerasi atau recovery limbah. Hasil analisisnya yaitu: hasil uji toksisitas limbah industri baja tersebut masuk pada limbah B3, karena melebihi baku mutu untuk limbah DR (untuk Pb), limbah HSM (untuk Cr, Cu, dan Pb), limbah FC (untuk Cr dan Cu) dan limbah EAF kecuali Cu sedangkan limbah baja WRM dan CRM tidak terkena kriteria limbah B3. Kualitas air laut di wilayah pesisir masih memenuhi batas aman, tidak melewati baku mutu air laut. Proses instalasi pengelohan air limbah baja dilakukan dengan proses regenerasi atau recovery sebagai upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair.
Kata kunci: Limbah baja, toksisitas, kualitas air laut, IPAL, wilayah pesisir.
5.1 Pendahuluan
5.1.1 Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan lautan,
juga merupakan kawasan di permukaan bumi yang padat dihuni oleh umat manusia
serta tempat berlangsungnya berbagai macam jenis kegiatan dalam pembangunan.
Laporan dari UNESCO (1993), sekitar 60% dari total penduduk dunia bermukim di
daerah sekitar 60 km dari garis pantai. Dua per tiga dari kota-kota dunia dengan
penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pesisir.
Menurut Dahuri (1998), keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, dalam hal
ini hampir sebagian kota-kota besar serta lebih dari 60% jumlah penduduknya
terdapat di wilayah pesisir. Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai
kegiatan pembangunan di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan
disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat, yaitu: (1)
wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis paling produktif
di planet bumi ini. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti
hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria, berada di wilayah
78
pesisir. Menurut Clark yang dikeluarkan oleh FAO (1992), lebih dari 90% total
produksi perikanan dunia (sekitar 82 juta ton), baik melalui kegiatan penangkapan
maupun budidaya, berasal dari wilayah pesisir; (2) wilayah pesisir menyediakan
berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi
kegiatan industri, pemukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, dari pada yang
dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-landareas). Kemudahan tersebut berupa
media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin (cooling
water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, serta
bahan baku industri lainnya; (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama
keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik
dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur,
perairan pesisir untuk renang, selancar, dan berperahu; dan terumbu karang serta
keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam, dan sebagainya.
Kemajuan di bidang industri dan pertanian di masa sekarang ini
mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan tekanan
terhadap pertanian sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah industri dan penduduk
membawa akibatnya bertambahnya beban pencemaran yang disebabkan oleh
pembuangan limbah industri dan domestik. Pencemaran tersebut menyebabkan
kerugian besar karena umumnya limbah mengandung zat beracun antara lain klor,
raksa, kadmium, khrom, timbal, dan lain sebagainya yang sering digunakan dalam
proses produksi suatu industri, baik sebagai bahan baku, katalisator atau bahan utama.
Hal tersebut karena paradigma dan pola pembangunan yang selama ini terlampau
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya perhatian yang memadai
terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem wilayah pesisir yang
menyusun daya dukung dan kapasitas ekosistem ini bagi kelangsungan pembangunan,
maka dikawatirkan akan terjadi pencemaran lingkungan di wilayah pesisir.
Menurut Dahuri (1998), banyak wilayah pesisir di dunia termasuk Indonesia
telah mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks, baik berupa
pencemaran, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pengikisan
keanekaragaman hayati, degradasi fisik habitat pesisir, maupun konflik penggunaan
ruang dan sumberdaya. Bahkan di beberapa daerah pesisir tingkat kerusakan ekologis
tersebut telah mencapai atau melampaui daya dukung lingkungan dan kapasitas
keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem wilayah pesisir untuk menopang
kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia di masa mendatang. Salah satu
pencemaran lingkungan pesisir adalah masuknya logam berat di perairan.
79
Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar
zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya.
Akibatnya lingkungan menjadi salah satu sasaran pencemaran, terutama sekali
lingkungan perairan yang sudah pasti terganggu oleh adanya limbah industri, baik
industri pertanian maupun industri pertambangan. Sebagian besar dari limbah itu
biasanya dibuang begitu saja tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Menurut Gaskin (2003), adanya kontaminan logam berat di tanah yang
berasal dari lumpur (sludge) mendorong peningkatan akumulasi kandungan logam
berkorelasi positif dengan dosis lumpur, sedangkan menurut Sukreeyapongse (2002),
Peningkatan akumulasi logam Pb dan Cd di dalam lumpur (sludge) mengalami
mobilisasi dan ditranslokasikan ke kawasan sekitarnya. Hal ini juga dapat
menghambat perbaikan lingkungan yang rusak akibat pencemaran air limbah yang
mengalir di lingkungan sekitarnya termasuk di wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon. Karena hal yang paling ditakutkan adalah menurunnya kualitas
badan air penerima, karena sebagian besar bahan baku industri logam bersifat
karsinogenik. Meskipun beberapa industri telah memiliki instalasi pengolahan air
limbah (IPAL) namun pengolahannya diduga belum maksimal. Memperhatikan
permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan teknik pemanfaatan kembali
(recovery) limbah tersebut untuk memperoleh kembali salah satu unsur logam yang
ada didalamnya.
Analisis pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon ditujukan untuk mengetahui hasil pengelolaan limbah, baik yang
telah dilakukan melalui pengujian limbah terhadap lingkungan sekitar maupun di
wilayah pesisir kawasan industri yang berkecenderungan terkena dampak pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas-aktivitas pabrik yang beroperasi di
wilayah tersebut.
5.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan
Tujuan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini, yaitu untuk: (1)
Mengetahui hasil uji toksisitas limbah industri baja; (2) Mengetahui kualitas air laut
di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon; dan (3) Mengetahui proses
instalasi pengolahan air limbah baja.
Sedangkan lingkup bahasan dari analisis pengelolaan limbah di wilayah
pesisir ini yaitu: mengetahui toksisitas limbah industri baja berdasarkan hasil uji yang
telah dilakukan; mengetahui kondisi kualitas air laut di wilayah pesisir di empat
80
kecamatan Kota Cilegon yang termasuk wilayah pesisir; dan mengetahui proses IPAL
yang dilakukan oleh pabrik baja tersebut.
5.2 Tinjauan Pustaka
5.2.1 Ekosistem Wilayah Pesisir
Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi
sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut banyak dimanfaatkan dan
memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat
maupun sebagai sebagai devisi negara yang sangat penting. Aktifitas perekonomian
yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya kegiatan perikanan seperti perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, industri dan parawisata. Selain dimanfaatkan
sebagai kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga sebagai digunakan sebagai
tempat membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik di darat maupun di
kawasan pesisir, sehingga wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis
berupa pencemaran yang bersumber dari aktivitas manusia. Melimpahnya bahan
pencemar di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian
perikanan laut.
Menurut Dahuri (1996), akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir
terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktivitas
industri. Hal tersebut disanyilir terjadi di perairan wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon yang berasal dari muara 11 sungai yang berada di Kota Cilegon .
5.2.2 Toksisitas
Menurut Otobboni (1996) yang dikutip dari Sax (1957), toksisitas dapat
diartikan sebagai kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila
masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Semua pencemar
baik yang berasal dari udara, air dan tanah sebagian besar akan tersalurkan dan masuk
ke dalam pesisir/laut. Menurut Kunaefi (2000), dalam penelitian di Kepulauan Seribu
menunjukkan bahwa konsentrasi beberapa logam berat sudah melampaui standar
yang berlaku. Enam jenis ikan yang biasa dimakan turis, ternyata juga mengandung
Cd, Cu, Pb, Zn, dan Hg dalam konsentrasi yang jauh lebih besar dari yang
diperbolehkan. Hal ini dapat diperkirakan akibat dari proses biokonsentrasi. Faktor
biokonsentrasi (BCF) yang diperkirakan untuk logam-logam tersebut sangat
bervariasi, mulai dari yang terkecil 11,20 mol/l untuk Pb sampai 65.196,50 mol/l
untuk Zn.
81
Menurut Sax (1957), Toksisitas dapat diartikan sebagai kemampuan racun
(molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi
organ yang rentan terhadapnya. Sedangkan menurut Sumirat (2003), di dalam
pengujian toksisitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan racun dari limbah
yang dapat menimbulkan kerusakan pada produk yang dibuat. Di dalam tujuan
taksikologi lingkungan diharapkan mampu menguraikaan perlunya mencari substansi
yang aman, mencegah terjadinya efek yang tidak dikehendaki dari racun terhadap
organisme dan kualitas lingkungan, dapat membuat kriteria dasar untuk standarisasi
lingkungan, dan dapat memperbaiki cara pengobatan karena mengetahui mekanisme
terjadinya efek, dan keracunan.
Adapun upaya yang dilakukan untuk antisipasi pencegahan terjadinya
keracunan (toksisitas) logam yang lebih luas, perlu dilakukan pengamatan kondisi
lingkungan. Kondisi lingkungan yang menurun baik udara, air maupun yang selalu
digunakan penduduk di wilayah pesisir setiap saat perlu diteliti. Bilamana suatu
kawasan lingkungan yang mulai dipergunakan sebagai kawasan industri, maka perlu
dipikirkan relokasi pemindahan penduduk ke daerah lain yang bersih.
Adapun yang dimaksud dengan toksisitas dalam penelitian ini adalah tujuan
toksisitas lingkungannya, menurut Soemirat (2003) dengan toksisitas lingkungan
diharapkan mampu: (1) menguraikan perlunya mencari substansi yang aman, yang
berarti harus mengetahui mekanisme bagaimana racun (toksik) menyerang organisme,
sehingga timbul efek yang tidak dikehendaki atau terjadi struktur yang tidak normal;
(2) Mencegah efek yang tidak dikehendaki dari racun terhadap organisme dan
kualitas lingkungan; (3) dapat membuat kriteria dasar untuk standarisasi kualitas
lingkungan, yakni menentukan konsentrasi yang dapat diterima masyarakat; (4) dapat
memperbaiki cara pengobatan karena mengetahui mekanisme terjadinya efek dan
keracunan.
5.2.3 Proses Instalasi Pengelolaan Air Limbah
Saat ini beberapa industri hanya sebagian saja yang mempunyai instalasi
pengolahan air limbah (IPAL) yang baik, sedangkan yang lainnya bisa dikatakan
membuang limbahnya sembarangan, sehingga pada akhirnya akan menimbukan
berbagai macam dampak. Salah satu dampak tersebut adalah merosotnya kualitas
lingkungan akibat limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri tersebut. Usaha yang
dilakukan oleh pihak perusahaan untuk menghindari hal tersebut diantaranya adalah
82
dengan cara mengolah limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air,
sehingga pencemaran lingkungan dapat dihindari.
Untuk mempertahankan efektivitas pengolahan air limbah baja, secara berkala
lumpur diangkat dari dasar kolam di instalasi pengolahan air limbah oleh industri dan
selanjutnya ditimbun di area penampungan limbah. Dalam hal limbah baja,
penggunaan lumpur baja sebagai bahan campuran (substitusi) untuk produksi baja
atau produk jenis lain yang telah banyak dilakukan di berbagai negara maju dengan
pertimbangan bahwa limbah baja mengandung bahan perekat dan sejumlah elemen
yang mendukung penggunaan limbah ini. Namun logam berat di dalam lumpur
limbah dapat juga mengancam rantai makanan di tanah.
Menurut Damanhuri (1997), konsep dasar atau teknologi terapan pengelolaan
limbah baja terutama dikaitkan dengan upaya daur ulang mempunyai nilai tambah
(added value) yang sangat menjanjikan, misal negara Jepang sudah membuat keramik
dengan bahan substitusi (campuran) dari bahan limbah baja dengan nilai ekonomis
yang sangat besar. Di sisi lain penggunaan lumpur limbah sebagai bahan campuran
pada produksi baja maupun jenis produk lain merupakan cara yang praktis untuk
memanfaatkan limbah, dan dianggap menguntungkan. Namun lumpur mengandung
logam berat, sehingga penggunaan dalam jumlah berlebih dan jangka panjang dapat
berpengaruh buruk terhadap kualitas tanah dan air/pesisir dan mengkontaminasi.
Logam berat seperti baja ini yang masuk ke perairan laut/pesisir secara
fisiologis tidak diperlukan bagi kehidupan makhluk hidup laut. Oleh karena itu,
limbah yang dihasilkan dari proses produksi perlu mendapatkan prioritas penanganan
melalui proses instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) yang distandarisasi, agar
limbah baja yang mengalir ke pesisir dipastikan dosisnya memiliki nilai ambang batas
yang memenuhi kualitas air laut yang disyarakatkan. Karena setiap makhluk hidup di
perairan seperti ikan memiliki perbedaan sensitivitas terhadap logam berat dan
memperlihatkan kemampuan yang berbeda dalam mengakumulasi logam berat.
5.3 Metode Analisis Pengelolaan Limbah di Wilayah Pesisir
Metode analisis pengelolaan limbah baja ini meliputi:
1. Uji toksisitas, bertujuan untuk mengevaluasi jumlah komponen limbah yang
terlepas kembali dari masing-masing sampel limbah yang telah disolidifikasi
akibat pengaruh air yang bersifat asam. Uji ini berlaku untuk limbah baja
berkategori B3 yang akan mengalami landfilling yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No.19/1994 dan Peraturan Pemerintah No. 12/1995.
83
Pengujian dilakukan dengan cara toxicity characteristic leaching prosedure
(TCLP). Setelah dianalisis, bila kandungan logam logam berat dari hasil leachate
(lindi) tersebut lebih rendah dari baku mutu TCLP yang dikeluarkan oleh
pemerintah, maka limbah padat tersebut dikatakan tidak berbahaya/beracun
sehingga dapat di timbun setelah dilakukan proses stabilisasi dan solidifikasi
terlebih dahulu. Adapun cara pengujian pelindian (leachate) limbah beracun ini
adalah: a). Sampel padat imbah B3 tanpa fasa cair, diayak terlebih dahulu dengan
partikel yang lolos dari ayakan 0,9 cm, b). Ke dalam masing-masing botol
pengekstrak yang berkapasitas lebih dari 1000 mL, masukkan contoh limbah
padat B3 masing-masing sebanyak 50 gram. Selanjutnya tambahkan larutan asam
asetat (pH 5) sebanyak 1000 mL. Perbandingan berat limbah padat B3 dengan
larutan asam asetat yaitu 1 : 20
2. Pengujian kualitas air ini, bertujuan untuk mengetahui tingkat atau daya racun
logam berat berdasarkan sifat fisika, kimia, dan biologi dari limbah baja yang
mengalir ke wilayah pesisir sesuai dengan Surat Keputusan Kementerian Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Golongan Baku Mutu
Air Limbah. Untuk mengetahui jenis polutan yang terdapat dalam air limbah,
dapat ditentukan unit proses yang diperlukan.
3. Menganalisis proses instalasi pengolahan air limbah (IPAL) oleh pabrik baja PT.
Krakatau Steel dikenal dengan nama reject treatment plant (RTP) atau waste
water treat plant (WWTP), tujuannya adalah sebagai upaya optimalisasi
konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair pada proses
produksi baja melalui proses regenerasi atau recovery. Untuk memisahkan
kontaminasinya dari air, dilakukan melalui proses asam dan proses basa.
Oleh karena itu, dalam analisis pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir
difokuskan pada hasil uji toksisitas, kualitas air laut, dan proses instalasi air limbah
seperti yang disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir
HASIL UJI TOKSISITAS
KUALITAS AIR LAUT
PROSES IPAL
ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH BAJA DI WILAYAH PESISIR
LIMBAH BAJA
84
5.4 Hasil dan Pembahasan
5.4.1 Penataan Ruang di Wilayah Pesisir
Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat menyebabkan
peningkatan kebutuhan manusia akan pengelolaan sumberdaya. Pemenuhan
kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Pada pengelolaan limbah
bajapun memerlukan pengendalian dan pengelolaan yang harus dilakukan secara
komprehensif dan terpadu. Sehingga diharapkan limbah baja dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia secara lestari dan berkelanjutan. Adanya tekanan
penduduk terhadap kebutuhan lahan pesisir dan laut, baik untuk kegiatan
pertanian/perikanan, rekreasi, maupun kegiatan lain akan menyebabkan perubahan
penggunaan sumberdaya pesisir. Perubahan penggunaan sumberdaya pesisir yang
paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian pesisir adalah perubahan dari kawasan
pesisir ke penggunaan sumberdaya lainnya seperti perhotelan, perumahan, industri
dan perumahan diperlukan tata ruang di wilayah pesisir.
Struktur tata ruang wilayah meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan
yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi
pengembangan sektor unggulan, khususnya dalam kegiatan pemanfaatan tata ruang di
wilayah pesisir yang menggunakan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, kapital,
teknologi, dan sebagainya. Untuk membuat kawasan industri kelautan dan perikanan
perlu didukung oleh regulasi yang mengatur pembuatan kawasan industri (cluster
industry) baik yang bersumber dari departemen teknis yaitu Departemen Kelautan
dan Perikanan yang mengatur tata ruang pembangunan kawasan industri perikanan
sehingga unsur untuk menjaga stabilitas lingkungan pesisir tetap terjaga maupun
instansi lain yang berkaitan dengan pengaturan rencana tata ruang kabupaten/kota.
Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan
sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terestrial (darat) atau sumber daya
akuatik (perairan).
5.4.2 Uji Terhadap Pengaruh Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara dan survei, maka penelitian pengaruh limbah
terhadap lingkungan, adalah sebagai berikut:
85
A. Hasil Uji Toksisitas Limbah
Berdasarkan hasil survei di lapangan, karakteristik limbah padat industri
diperlukan sistem pengelolaan limbah secara tepat dalam upaya mengurangi
pencemaran terhadap lingkungan dengan terlebih dahulu mengetahui hasil pengujian
berupa hasil uji toksisitas terhadap limbah. Karakteristik fisik limbah menunjukkan
bahwa semua limbah, kecuali CRM mempunyai specific gravity yang lebih besar
daripada aggregate halus. Berat volume FC, HSM, DR, dan WRM lebih besar
dibandingkan aggregate halus. Untuk modulus kehalusan, limbah FC dan CRM lebih
besar dibandingkan aggregate halus. Sedangkan specific surface area limbah WRM
dan DR lebih tinggi dibandingkan aggregate halus. Secara fisik diantara semua
limbah, limbah CRM mempunyai bentuk yang paling sulit ditangani, hal ini antara
lain disebabkan oleh kandungan air dan volatil yang tinggi dan limbah tersebut ada
dalam bentuk slurry. Sedangkan untuk karakretistik kimia menunjukkan bahwa
semua limbah mempunyai pH diatas 7 sehingga dapat dikatakan bersifat basa.
Uji toksisitas limbah baja disebut sebagai uji pelindian atau toxicity
charcteristic leaching prosedure (TCLP). Tujuan pengujian ini adalah untuk
mengevaluasi jumlah komponen limbah yang terlepas kembali dari limbah baja yang
telah disolidifikasi akibat pengaruh air yang bersifat asam. Uji ini berlaku untuk
limbah berkategori B3 yang mengalami landfilling yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No.19/1994 dan Peraturan Pemerintah No. 12/1995. Uji
pelindian dilakukan dengan cara TCLP. Fitratnya kemudian dianalisis terhadap logam
Cr, Cd, Cu, Ni, Pb, dan Zn. Limbah untuk uji TCLP diambil dari limbah yang
dihasilkan.
Untuk melakukan identifikasi limbah sebagai limbah B3, diperlukan uji
karakteristik dan uji toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi
karateristik limbah atas sifat-sifat: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif,
beracun, bersifat korosif, dan dapat menyebabkan infeksi. Sedangkan uji toksikologi
digunakan untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah.
Hasil uji toksisitas digunakan untuk menilai efek akut, subakut, dan kronis.
Uji ini perlu didasarkan atas waktu, karena semua zat baru akan memasuki atau
dipakai di industri harus diuji terlebih dahulu toksisitasnya. Untuk melihat efek
jangka panjang, maka uji toksisitas setiap zat harus dikaji pula efek kronisnya, Karena
itu, menurut Sumirat (2003), di dalam toksisitas logam seperti limbah baja dapat
bersifat kronis dan akut, sangat tergantung pada berbagai faktor:
86
1. Toksisitas akut tergantung pada: (a) dosis tinggi sekaligus dalam waktu yang
pendek, maka efek bisa akut dan parah. (b) waktu pemaparan pendek tetapi pasif.
(c) organ absorpsi memungkinkan masuk ke peredaran darah dengan cepat.
2. Toksisitas kronis tergantung pada: (a) dosis tidak tinggi, tetapi paparan yang
menahun. (b) gejala tidak mendadak ataupun sangat gradual/kronis. (c) organ
dapat seluruh terkena.
Uji TCLP tersebut dilakukan untuk mengetahui kemungkinan pelindian logam
berat dalam air hujan secara maksimum. Uji ini dilakukan terhadap limbah baja yang
dihasilkan dari proses produksi baja. Hasil uji TCLP limbah baja selengkapnya
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil toxicity characteristic leaching prosedure (TCLP) limbah baja.
Parameter(mg/l) Jenis Limbah Cd Cr Cu Pb Zn
DR * * * 11,0 *
WRM * 4,5 * * *
HSM * 7,2 18,0 6,2 *
CRM FC * 6,2 13,0 4,5 *
EAF 3,8 19,2 7,8 21,0 60,5
Keterangan: (*) tidak dilakukan analisa karena total lebih kecil dari standar TCLP.
Dalam kaitannya dengan baku mutu yang ditetapkan, maka uji TCLP tersebut
di atas merupakan pendekatan dalam upaya pengendalian terhadap pembuangan
limbah berbahaya. Adapun sasaran uji TCLP ini adalah membatasi adanya lindi
(leaching) berbahaya yang dihasilkan dari penimbunan (landfilling) setelah limbah di
stabilisasi/solidifikasi. Untuk melakukan uji perlindian (TCLP) terhadap limbah
beracun memerlukan alat rotary agitator yaitu suatu alat yang berputar secara rotasi
end-over-end dengan kecepatan putaran 30 + 2 rpm selama 18 + 2 jam.
Berdasarkan analisa TCLP di atas dapat disimpulkan bahwa limbah tersebut
masuk pada kriteria limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu
seperti diatur dalam standar TCLP No. 04/09/1995 dan baku mutu TCLP Peraturan
Pemerintah RI. No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3), yaitu: direct reduction (DR, untuk Pb), hot strip mill (HSM, untuk
Cr, Cu, dan Pb), furnace centre (FC, untuk Cr dan Cu) dan electric arc furnace (EAF,
untuk semua komponen kecuali Cu). Limbah baja wire rode mill (WRM) dan cold
Tabel 16. Data kualitas air laut di wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon HASIL UJI LABOTARIUM TIAP KECAMATAN No. PARAMETER SATUAN BAKU CIWANDAN CITANGKIL PULOMERAK GROGOL
MUTU 2005 2006 2007 2005 2006 2007 2005 2006 2007 2005 2006 2007 A. FISIKA
1 Bau - Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau Tdk
berbau 2 Kecerahan Meter > 3 3,25 3,0 3,0 3,0 3,5 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3 Zat padat tersuspensi Mg/l 80 5 3 1 5 5 1 12 4 5 12 7 2 4 Suhu oC Alami 31,2 29,6 30,0 30,8 30,0 29,7 30,0 29,7 30,1 30,0 31,9 30,0 5 Lapisan Minyak - Nihil Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 6 Sampah - Nihil Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
B. KIMIA
1 pH - 6,5 - 8,5 7,85 8,09 7,70 7,89 8,10 7,80 8,4 7,87 7,40 8,5 7,93 7,70 2 Salinitas o/oo Alami 33,7 33,7 32,4 33,3 32,4 32,32 33,2 32,0 32,4 33,3 32,4 32,2 3 Amonia Total (NH3-N) mg/l 0,3 0,02 < 0,01 < 0,01 0,02 < 0,01 < 0,01 0,05 < 0,01 < 0,01 0,01 < 0,01 < 0,01 4 Sulfida (H2S) mg/l 0,03 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 < 0,002 5 Fenol mg/l 0,002 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001 6 Surfactan Anion mg/l 1,0 0,25 < 0,01 < 0, 01 0,23 < 0,01 < 0, 01 0,21 < 0,01 < 0, 01 0,23 < 0,01 < 0, 01 7 Minyak dan Lemak mg/l 5,0 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 < 0,2 8 Air Raksa (Hg) mg/l 0,003 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 9 Kadmium (Cd) mg/l 0,01 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005
10 Tembaga (Cu) mg/l 0,05 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 < 0,0005 11 Timbal (Pb) mg/l 0,05 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 < 0,005 12 Seng (Zn) mg/l 0,1 0,332 0,0284 0,0208 0,0290 0,0284 0,0211 0,332 0,0287 0,0201 0,333 0,0265 0,0212
C. MIKROBIOLOGI
1
kolifrom Total
MPN/100 ml
1.000
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan dan Energi, Kota Cilegon tahun 2007
87
rolling mill (CRM) tidak terkena kriteria tersebut. Setelah dicampur sebagai material
lainnya, ternyata nilai TCLPnya di bawah baku mutu yang dipersyaratkan.
B. Kualitas Air Laut di Wilayar Pesisir
Menurut Darmono (2006), logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan
bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik,
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22
sampai 92 dari perioda 4 sampai 7. Sebagian logam berat seperti timbal (Pb),
kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas
yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang
dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat
(-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan
tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transformasi melalui
dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau
mengkatalis penguraiannya.
Pada penelitian ini dilihat seberapa besar pengaruh limbah baja yang
mengalir ke wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon terhadap kualitas air
laut. Adapun pengaruh dari limbah baja ini ditunjukkan oleh kualitas air seperti yang
disajikan pada Tabel 16. Analisis kualitas air dilihat pada penelitian ini terutama
kandungan logam beratnya, karena adanya logam berat di perairan, berbahaya, baik
secara langsung terhadap kehidupan organisme maupun efeknya secara tidak
langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam
berat, yaitu:
1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan
keberadaannya secara alami sulit dihilangkan.
2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan
membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut.
3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari
konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena
pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya ke
dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala
waktu tertentu.
Kadmium (Cd) dalam air berasal dari pembuangan industri dan limbah
pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam
penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali. Keracunan kadmium
89
dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa
penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan
kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang.
Seperti diketahui bahwa limbah baja termasuk limbah logam berat, yang
didalamnya terkandung unsur-unsur bahan kimia. Tembaga merupakan logam yang
ditemukan dialam dalam bentuk senyawa dengan sulfida (CuS). Tembaga sering
digunakan pada pabrik-pabrik yang memproduksi peralatan listrik, gelas, dan alloy.
Tembaga masuk keperairan merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan
dari batuan mineral sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat
dalam lapisan udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga berasal dari buangan
bahan yang mengandung tembaga seperti dari industri galangan kapal, industri
pengolahan kayu, dan limbah domestik. Pada konsentrasi 2,3 – 2,5 mg/l dapat
mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu kerusakan pada selaput
lendir . Tembaga dalam tubuh berfungsi sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah
dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan protein, sebagian
dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses, sebagian lagi
menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit anemia dan
tuberkulosis.
Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi, yang bersifat
racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses korosi lead bearing
alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan zat organik. Namun
pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi timbal (Pb) pada air laut masih di
bawah baku mutunya.
Kadmium (Cd) lebih beracun bila terisap melalui saluran pernapasan daripada
melalui saluran pencernaan. Kasus keracunan akut kadmium sebagian besar dari
mengisap debu dan asap kadmium, terutama kadmium oksida (CdO). Dalam beberapa
jam setelah mengisap, korban akan mengeluh pada gangguan pencernaan, muntah,
kepala pusing, dan sakit pinggang. Kadmium merupakan logam toksik yang diketahui
berinteraksi dengan seng (Zn), sehingga hadirnya Cd dapat mengganggu sifat esensial
dari Zn. Dalam penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi kadmium (Cd) dan seng (Zn)
pada kualitas air laut di Kawasan Industri Krakatau Cilegon tergolong masih di
bawah baku mutunya.
Pada ion merkuri (Hg) menyebabkan pengaruh toksik karena terjadinya proses
presipitasi protein, menghambat aktivitas enzim dan bertindak sebagai bahan yang
korosif. Pengaruh toksisitas merkuri pada manusia bergantung pada bentuk komposisi
90
merkuri, rute masuknya ke dalam tubuh dan lamanya ekspose. Sedangkan tembaga
(Cu) merupakan logam berat esensial, kecenderungan untuk menimbulkan keracunan
pada hewan. Keracunan terjadi apabila garam Cu langsung kontak dengan dinding
usus hewan sehingga menimbulkan radang, hewan menjadi shock dan akhirnya mati.
Namun pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi merkuri (Hg) dan tembaga
(Cu) pada air laut masih di bawah baku mutunya.
Walaupun kandungan logam berat di dalam air tidak terdeteksi, namun
kandungan logam berat di dalam sedimen cukup tinggi, begitupun kandungan logam
berat pada biota air terutama biota air yang bersifat menetap seperti kerang-kerangan.
Rendahnya kandungan berat pada air disebabkan pada air disebabkan oleh tingginya
flushing yang terjadi di wilayah pesisir dan sifat logam berat tersebut mempunyai
densitas lebih dari 5, sehingga logam berat akan cenderung mengendap ke dasar
perairan (Riani, dkk., 2004). Hal ini sesuai pendapat Law (1981) yang menyatakan
bahwa terjadinya peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasi dalam air
dapat berubah setiap saat, karena adanya berbagai macam proses yang dialami oleh
senyawa tersebut selama dalam kolom air. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dipahami jika kandungan logam berat pada air laut semuanya tidak terdeteksi.
Sedangkan logam berat pada sedimen disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Logam berat pada sedimen
No. Logam berat pada sedimen Konsentrasi (mg/l)
1 Timbal (Pb) 11,05
2 Kadmium (Cd) 10,2
3 Crom (Cr 0,7
4 Merkuri (Hg) 8,3
Berdasarkan Tabel 17 di atas, kandungan logam berat pada sedimen
memperlihatkan konsentrasi yang cukup tinggi, bila dibandingkan dengan ketentuan
dari yang dikeluarkan oleh swedian environmental protection agence (SEPA)
terutama pada kandungan logam berat kadmium (Cd) mencapai 0,02 mg/l dan
merkuri (Hg) < 0,05 mg/l. Dari analisis hasil laboratorium memperlihatkan bahwa
konsentrasi timbal (Pb) pada sedimen mencapai 11,05 mg/l. Kadmium (Cd) pada
sedimen mencapai 10,2 mg/l, Crom (Cr) pada sedimen mencapai 0,7 mg/l dan
merkuri (Hg) pada sedimen mencapai 8,3 mg/l. Kondisi ini memperlihatkan bahwa
sumbangan dari limbah industri di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon cukup tinggi. Dan logam berat yang terdapat pada limbah industri terdapat di
91
Kawasan Industri tersebut akan mengendap dan terakumulasi di dasar perairan
pesisir. Hal ini sesuai dengan pendapat environmental protection agence (APE) tahun
1973 yang menyatakan bahwa zat pencemar seperti logam berat akan masuk ke dalam
ekosisitem laut dan melalui proses fisika kimia akan mengakibatkan logam berat
mengendap di dasar air. Demikian juga pada kandungan logam berat pada organ
tubuh kerang-kerangan seperti disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Kandungan logam berat pada organ tubuh kerang-kerangan
No. Jenis logam berat Konsentrasi pada Insang (mg/l)
Konsentrasi pada Hati (mg/l)
1 Timbal (Pb) 87 97
2 Kadmium (Cd) 69 171
3 Crom (Cr) 13,3 75,64
4 Merkuri (Hg) 69 121,52
Berdasarkan Tabel 18 di atas, berbeda dengan kandungan logam berat pada air
dan sedimen, kandungan logam berat pada kerang-kerangan yang siap dikonsumsi,
kandungan beratnya sangat tinggi. Dalam hal ini konsentrasi Pb pada insang
mencapai 87 mg/l, sedangkan pada hati(hepatopankreas) mencapai 97 mg/l.
Konsentrasi Cd pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati
(hepatopankreas) mencapai 171 mg/l. Konsentarasi Cr pada insang mencapai 13,3
mg/l, sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai 75,64 mg/l. Konsentrasi Hg
pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai
121,52 mg/l. Konsentarasi tersebut terjadi karena adanya akumulasi logam berat pada
biota air (Lu, 1995). Hal ini sesuai dengan pernyataan EPA 1973 yang menyatakan
bahwa logam berat yang masuk ke lingkungan laut akan dipekatkan melalui proses
biologis, karena logam berat tersebut diserap oleh biota air terutama yang bersifat
menetap seperti kerang-kerangan dan selanjutnya mengalami pemekatan di dalam
kerang-kerangan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Horiguchi, et al. (2006)
yang menyatakan bahwa logam berat yang terdapat pada ekosistem perairan juga
akan mengalami proses pemekatan dengan melalui proses makan memakan
(biomagnifikasi).
Untuk melihat pengaruh logam berat terhadap air, sedimen, dan biota air
seperti kerang pada insang dan hati (hepatopankreas) disajikan pada histogram
Gambar 15.
92
Gambar 15. Logam berat pada air, sedimen, insang dan hepatopankreas
Sedangkan pengaruh sedimen, insan, hati (hepatopankreas), dan air pada logam berat
disajikan pada histogram Gambar 16.
Sedimen 0,7 – 11,05 mg/l Insang 13,3 – 87 mg/l
Hepatopankreas 75,64 – 171mg/l Air tidak terdeteksi
Gambar 16. Konsentrasi sedimen, insang, hepatopankreas, dan air pada logam berat
Masalah pencemaran lingkungan di pesisir merupakan masalah besar sebagai
salah satu dampak negatif dari kemajuan di bidang industri. Limbah industri jika
tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan dampak bagi lingkungan terhadap
93
manusia maupun organisme-organisme yang dihidup disekitarnya. Bahan pencemaran
logam berat biasanya berasal dari kegiatan industri selain bersifat racun bagi
organisme perairan, logam berat dapat terakumulasi dalam tubuh ikan maupun hasil
laut lainnya. Hal ini berakibat akan membahayakan kesehatan manusia yang
mengkonsumsi hasil-hasil laut tersebut. Namun rendahnya logam berat Cu, Pb, Hg,
Cd, dan Zn dalam perairan tidak berarti bahwa pasti aman, karena logam berat pada
makhluk hidup bersifat akumulatif yang pada akhirnya dapat membahayakan
makhluk hidup yang terdapat didalamnya.
Bahan buangan yang sering menimbulkan pencemaran laut atau pantai
ditemui di negara-negara yang sedang berkembang. Diketahui ada beberapa jenis
logam berat yang dipertimbangkan sebagai pencemar, namun ada beberapa logam
berat tersebut yang esensial untuk kehidupan organisme, misalnya Mn, Fe, dan Cu
tetapi dalam penggunaan jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme.
Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas
industri, pertambangan, pertanian dan pemukinan penduduk. Kandungan logam berat
dalam perairan/pesisir dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia yaitu arus, suhu,
salinitas, pedatan tersuspensi dan derajat keasaman (pH), namun kandungannya pada
pesisir sekitar Kawasan Industri Krakatau Cilegon masih dalam batas belum
membahayakan.
Pencemaran logam berat terhadap alam lingkungan estuaria merupakan suatu
proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia.
Menurut Darmono (2006), pada air laut di lautan lepas kontaminasi logam berat
biasanya terjadi secara langsung dari atmosfir atau tumpahan minyak dari kapal-kapal
tangker yang melaluinya, sedangkan di wilayah sekitar pantai kontaminasi logam
kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan
industri.
Berdasarkan analisis kualitas air terhadap parameter bau, kecerahan, zat padat
tersuspensi, suhu, lapisan minyak, sampah, pH, salinitas, amoniak sulfida, fenol,
surfactan anion, minyak dan lemak, serta Hg, Cu, Cd, Pb, dan Zn memperlihatkan
bahwa semua parameter ada di bawah ambang batas (Tabel 18). Hal ini mengandung
arti bahwa wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon masih ada dalam
kondisi baik.
94
5.4.3 Proses Instalasi Pengelohan Air Limbah Baja
Proses instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pada perusahan baja PT.
Krakatau Steel dikenal dengan nama reject treatment plant (RTP) atau waste water
treat plant (WWTP). Proses IPAL /RTP/WWTP limbah baja ini melalui fluida-fluida
proses setelah digunakan pada proses cold rolling mill (CRM) sebelum dibuang
sebagai limbah, dilakukan proses regenerasi atau recovery sebagai upaya optimalisasi
konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam buangan limbah cair.
Limbah cair ini pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua bagian menurut
sifat keasamannya, yaitu:
1. Acid Effluent (AE) adalah limbah cair asam yang berasal dari bocoran-bocoran
mekanikal seal diproses acid regenerasi plant (ARP) dan sisa-sisa FeCl2 < 10
gr/lt, HCl < 5 gr/lt dalam air demin (eks kondensat dan rinsing), dengan jumlah
buangan rata-rata 8 m3/jam.
2. Waste Industrial Effluent (WIE) adalah limbah basa yang berasal dari sisa-sisa air
pencucian strip di ECL 1-2, CAL, air eks coolant atau tumpahan rolling oil di
CTCM dan TPM, tumpahan/bocoran pelumas-pelumas mesin maupun kotoran-
kotoran dari cleaning mill. Jumlah rata-rata buangan adalah 60 m3/jam, dengan
kontaminasinya adalah minyak berkisar 0,12%, NaOH < 0,66% dan partikel-
partikel pengotor lainnya (pasir, tanah, dan sebagainya).
Limbah cair tersebut dipompakan dari mill ke IPAL/RTP ke dalam masing-
masing tangki penampungannya, yaitu asam ke AE Storage Tank dengan kapasitas
penampung 200 m3 dan Presettler Tank dengan kapasitas 1.500 m3 untuk limbah basa.
Dari kedua penampung ini selanjutnya diolah dalam tangki-tangki pengolahan yang
tersedia guna memisahkan kontaminasinya dari air, yaitu melalui proses asam dan
proses basa.
A. Proses Asam
Pada acid effluent (AE) storage tersedia dua buah pompa asam dengan
kapasitas masing-masing sebesar 12 m3/jam (1 untuk standby). Limbah AE
dipompokan ke tangki pencampuran slurry untuk dinaikkan pHnya, dari pH 8 – 10.
Pada tangki ini dilengkapi dengan sebuah agitator dan sistem pH controller. Setelah
pH sudah sesuai, fluida terolah akan mengalir secara gravitasi menuju ke tangki
oksida yang berkapasitas 450 m3. Oksidasi dilakukan dengan menggunakan Aerator
dan Blowing Fan yang berkapasitas 2.500 m3 udara/jam (1 unit operasi dan 1 unit
standby). Pada oksidasi ini terjadi perubahan Fe2+ menjadi Fe3
+, yang merupakan inti
95
koagulant. Oleh karenanya fluida hasil olahan ini akan dimanfaatkan lebih lanjut
untuk koagulasi diproses basa (WIE). Berdasarkan proses asam ini, manfaat yang
diperoleh adalah dapat melakukan optimalisasi konsumsi dan minimalisasi
kontaminasi dalam buangan limbah cair.
B. Proses Basa
Seperti halnya dalam proses asam, proses basa juga bertujuan untuk
melakukan upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi dalam
buangan limbah cair. Adapun proses basa yang dilakukan adalah limbah basa
ditampung pada tangki presettler, akan mengalami pemisahan fisik sepanjang
perjalanan (selama waktu tinggal 24 jam). Kontaminan minyak akan mengapung
dipermukaan, partikel tak terlarut/kotoran akan mengendap di dasar dan di posisi
tengah adalah air yang terkontaminasi emulsion oil dan sistem koloid atau terlarut
lainnya. Bagian permukaan sebagai lumpur minyak akan dikumpulkan untuk
dipompakan keluar tangki pada truk. Sementara pada bagian dasarnya adalah
kumpulan partikel-partikel terendapkan yang secara kondisional dipompakan ke
sludge tank.
Untuk bagian cairannya, akan mengalir pada water separator berada di ujung
tangki presettler, yaitu suatu desain system trapping yang dapat menghidari lumpur
minyak ataupun partikel padatan yang masih terikut. Pada water separator tersedia 3
buah pompa dengan kapasitas masing-masing 80 m3/jam, 100 m3/jam dan 120 m3/jam,
Pengolahan dilakukan secara semi kontinyu tergantung dari pada level permukaan
tangki yang dialirkan ke tangki koagulasi, yaitu berfungsi untuk memecah emulsi
minyak dan menstabilkan larutan koloid dengan menambahkan fluida hasil olahan
oksidasi atau dari chemical koagulasi. Target hasil pada proses ini adalah ditandai
dengan timbulnya bintik-bintik partikel yang berada dalam cairan bening.
Selanjutnya, fluida terolah mengalir secara gravitasi ke tangki flokulasi yang
bertujuan untuk memperbesar atau mengumpulkan bintik-bintik partikel padatan
menjadi lebih besar sehingga cairan beningnya menjadi nyata. Kumpulan-kumpulan
padatan ini dialirkan ke tangki pemisahan padatan. Untuk mempecepat pemisahannya
dialirkan air jernih yang diinjeksikan udara pada kedalaman tertentu. Padatan yang
terangkat maupun yang mengendap diangkat menggunakan scrapper untuk
dimasukkan ke sludge pit, sludge tank untuk selanjutnya diumpankan ke filter press.
Hasil dari filtrasi ini dari 5% menjadi 70% solid content (cake), sementara air
beningnya di tampung pada tangki clear water, sebagian akan mengalir ke tangki
netralisasi. Netralisasi dilakukan dengan menambah H2SO4 yang terkontrol melalui
96
pH controller, yang di set pada pH 6,5 sampai dengan pH 8,5. Air setelah dinetralkan
akan dialirkan secara gravitasi ke bak Lamelia Settler. Bak ini memiliki sarana
perangkap lumpur sehingga air terakhir dari hasil pengolahan di IPAL/RTP
diharapkan sudah tidak terikut lagi kontamin-kontaminan atau minimal memenuhi
nilai ambang batas (NAB) air buangan yang berlaku. Di dalam penanganan kualitas
air limbah diperlukan pemahaman mengenai karakteristik sifat-sifat air limbah.
Pemahaman ini akan memberikan gambaran mengenai akibat-akibat dari perlakuan
industri terhadap air limbah tersebut. Gambar di bawah ini merupakan diagram alir
proses RTP/IPAL pada pabrik baja PT. Krakatau Steel yang selengkapnya disajikan
pada Gambar 17.
Berdasarkan Gambar 17 tersebut memperlihatkan aliran proses RTP/IPAL di
PT. Krakatau Steel yang selama ini penanganan instalasi pengelohan air limbah baja
masih dilakukan di perusahaan tersebut, karena prosesnya sudah tergolong dan
memenuhi standar operasional prosedur yang benar, baik peralatan yang digunakan,
proses, dan hasil akhir proses IPAL yang diharapkan limbahnya tidak akan
mencemari lingkungan sekitarnya termasuk wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon.
5.5 Kesimpulan dan Saran
5.5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir, maka dapat
disimpulkan:
1. Hasil uji toksisitas limbah industri baja tersebut masuk pada kriteria sebagai
limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu yaitu: limbah DR
(untuk Pb), limbah HSM (untuk Cr, Cu, dan Pb), limbah FC (untuk Cr dan Cu)
dan limbah EAF (untuk semua komponen kecuali Cu). Limbah baja WRM dan
CRM tidak terkena kriteria limbah B3.
2. Walaupun limbah industri baja masuk pada kriteria limbah B3, namun tidak
mengakibatkan buruknya kualitas air laut di wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon sehingga masih memenuhi batas aman dan belum melewati
baku mutu air laut.
3. Walaupun konsentarsi logam berat dalam air tidak terdeteksi, tetapi konsentrasi
pada sedimen dan kerang cukup tinggi yakni Pb pada insang mencapai 87 mg/l,
sedangkan pada hati (hepatopankreas) mencapai 97 mg/l. Konsentrasi Cd pada
insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati mencapai 171 mg/l. Konsentarasi
97
MASUK PENGOLAHAN KELUAR 1 Sodic Effluent (Q -> 60 m3/jam) 60 m3/jam ke sludge II Acid Effluent (Q -> 8 m3/jam) Emisi gas (tidak diopesikan) Bahan Pembantu : 8 m3/jam 1. Air 2. Lime Hydrate (Ca(OH)2 .> 70%) - 80 Kg/Jam) 3. Udara 4. Koagulant (- 100 ppm) - 5,7 Lt/jam - 7,5 Kg/jam 5. Anionic Polimer (- 100 ppm) - 7,5 Kg/jam 6. Udara Lumpur Bucket Truck 7. H2SO4 - 0,105 m3/jam (- 25 Kg/jam) Filtrat (- 0,117 ton/jam - 14 Lt/jam 74 m3 Air ..... Air buangan pH: 6-9
Gambar 17. Diagram alir proses RTP/IPAL
Cr pada insang mencapai 13,3 mg/l, sedangkan pada hati mencapai 75,64 mg/l.
Konsentrasi Hg pada insang mencapai 69 mg/l, sedangkan pada hati mencapai
121,52 mg/l .
4. Proses instalasi pengelohan air limbah baja dilakukan dengan proses regenerasi
atau recovery sebagai upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi kontaminasi
dalam buangan limbah cair.
TANKI PENAMPUNG LIMBAH BASA
(pH .> 9)
TANKI PENAMPUNG LIMBAH ASAM
(pH < 1)
PH ADJUSMENT (pH: 8 – 9)
TANKI OKSIDA (Fe++ -> F+++
AERASI
TANKI KOAGULASI/ OIL CRACKING
TANKI FLOKULASI
KLARIFIKASI/ SEDIFLOAT
TANKI CLEAR WATER
TANKI NETRALISASI
LAMELLA SETTELER
OIL PIT (70OC)
INCENIRATOR (850OC)
TANKI SLURRY
FILTER PRESS
(1,6 m3/jam, 12 bar)
LAMELLA SETTELER
98
5.5.2 Saran
Sebagai saran dalam analisis pengelolaan limbah di wilayah pesisir ini, adalah
sebagai berikut:
1. Hendaknya perusahaan dapat menekan seminimum mungkin jumlah limbah yang
ditimbulkan dari hasil proses produksi baja.
2. Perlunya pengelolaan limbah baja secara terpadu dan komprehensip melalui
proses pengujian limbah baja dan upaya optimalisasi konsumsi dan minimalisasi
kontaminasi buangan limbah.
Daftar Pustaka
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327. Rome.Italy.
Dahuri, R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.
Damanhuri, E. dan Tim.1997. Studi Pengelolaan Limbah Industri PT. Krakatau Steel. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel. Cilegon
Darmono. 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta.
Gaskin, J.W., R.B. Brobst, W. P. Miller, E.W. Tollner. 2003. Long-Term Biosolids Application Effects on Metal Concentration in Soils and Bermudagrass Forage, Journal of Environmental Quality 32:146-152
Hadi, A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan, Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Horiguchi.T, M.Kojima, F. Hamada, A. Kajiwaha, H. Shiraishi, M. Morita and H. Shimizu. 2006. Impact Tributiltin and Tripeniltin on Evory Shell (Babylonia Japonika Population). Environmental Health Prospective. Vo. 114 Suplement.
[Law]. 1981. Law EA 1981 Aquatic Pollution, John Wiley and Sons. New York.
Koenafi, K.D. dan D.A Herto. 2000. Potensi Bioakumulasi Logam Berat di Perairan Sekitar Kepulauan Seribu. Studi Kasus Pulau Kelapa. Jurnal Taksikologi Indonesia Vol. 1 No. 2. 2000. h. 16 – 21.
Riani, E., S.H. Sutjahjo, dan Firmansyah. 2004. Analisa Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB dengan Pemprov. DKI Jakarta.
Otobboni. 1996. Dangerous Properties of Industrial Materials. Reinhold Publishing Co. New York.
Sukreeyapongse, O, P.E. Holm, B.W. Strobel, S. Panichasakpatana, J. Magid, H.C.B. Hansen. 2002. pH-Dependent Release of Cadmium, Copper, and Lead from Natural and Sludge Amended Soil, Journal Environmental. Quality, 31:1901-1909.
VI. ANALISIS INVESTASI PENGELOLAAN LIMBAH
ABSTRAK
Pembangunan yang pesat dibidang perekonomian akan meningkatkan
kualitas hidup manusia, di sisi lain pencemaran lingkungan baik yang berasal dari limbah industri maupun limbah rumah tangga berakibat pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat sekitar. Tujuan dari analisis investasi pengelolaan limbah baja ini, yaitu: menganalisa pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir, menganalisis nilai manfaat finansial wilayah pesisir. Metode yang digunakan dalam analisis pengelolaan limbah ini yaitu model investasi NPV dan BCR analysis. Dari hasil pengukuran nilai investasi pengelolaan limbah baja: Pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, agar kelestarian kawasan industri Krakatau Cilegon tetap terjaga sesuai harapan; Penilaian manfaat finansial wilayah pesisir dapat diketahui dengan melakukan kelayakan pengelolaan limbah melalui pengukuran hasil pengolahan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD dan benefit cost ratio dengan nilai rasio > 3, yang berarti bahwa investasi menguntungkan; Hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio, maka limbah baja slurry CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan investasi pengelolaan limbah baja.
Kata kunci: Investasi pengelolaan limbah, NPV analysis, BCR analysis
6.1 Pendahuluan
6.1.1 Latar Belakang
Pembangunan yang pesat dibidang perekonomian wilayah, disatu sisi akan
meningkatkan kualitas hidup manusia yaitu dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, tetapi di sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya
pencemaran yang berasal dari limbah industri dan rumah tangga. Hal ini karena
kurangnya atau tidak memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah
tersebut. Sedangkan dalam pembangunan berkelanjutan merupakan konsep
pembangunan tidak hanya melihat pada sisi ekonomi tetapi juga pada sisi sosial dan
lingkungan hidup, hingga kini belum berhasil diterapkan di Indonesia. Selama ini
boleh dibilang pembangunan hanya dilihat pada sisi ekonomi saja sehingga
lingkungan hidup semakin rusak. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena justru akan
mengakibatkan kemunduran pembangunan.
Kebijakan pengelolaan limbah di wilayah pesisir dari waktu ke waktu semakin
penting dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah. Hal ini tidak lepas dari
pemanfaatan wilayah pesisir sebagai perekonomian pembangunan wilayah, karena
pemanfaatan wilayah pesisir yang tidak sesuai dengan tata ruang akan berakibat
100
munculnya pemasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan tata ruang pesisir ini.
Pada skala tertentu akan menimbulkan konflik antar kepentingan sektor, swasta dan
masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering
saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang
polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.
6.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan
Tujuan dari analisis investasi pengelolaan limbah baja ini, yaitu: (1)
menganalisis pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir; (2) Menganalisis nilai
manfaat finansial wilayah pesisir. Sedangkan lingkup bahasan pengelolaan limbah
baja ini difokuskan pada penilaian kelayakan investasi dengan analisis NPV dan BCR.
6.2 Tinjauan Pustaka
Menurut Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya
harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya; dan
2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain
sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang
dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi
kedalam dua kelompok, yaitu: 1) Kelompok stok (non renewable), sumberdaya ini
dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap
sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, sumber stok
dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhuastible), 2)
Kelompok flow, jenis sumberdaya ini di mana jumlah dan kualitas fisik dari
sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang dimanfaatkan sekarang,
bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di
masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) yang
regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.
Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa Sumberdaya
baja, menurut Mulyowahyudi (2005), bahan baku industri baja domestik saat ini
adalah pellet, disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat
digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa
mengakomodasi, karena industri nasional yang mengolah bijih besi menjadi pellet
belum ada. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya berasal dari impor,
meski terdapat bijih besi di Pulau Kalimantan yang disebut bijih besi laterit.
Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan
101
dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di
ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun
menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara
nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect terdapat
penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya
yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional.
6.3. Metode Analisis Investasi Pengelolaan Limbah
Untuk menganalisis investasi pengelolaan limbah industri baja dapat
dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor pemanfaatan keterpaduan wilayah
pesisir pada permasalahan di bidang kelautan yang dihadapi dalam pembangunan
Kawasan Industri Krakatau Cilegon dan menganalisis nilai manfaat finansial wilayah
pesisir melalui kelayakan pengelolaan limbah yang meliputi: analisis penilaian net
present value (NPV) dan analisis penilaian benefit cost ratio (BCR) suatu kegiatan
pengelolaan limbah industri baja. Hal tersebut diungkapkan oleh Heal (1998) yang
menyatakan dalam konsep ekonomi berkelanjutan paling tidak mengandung dua
dimensi, yaitu: 1) dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa
yang terjadi mendatang; 2) dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem
sumberdaya alam dan lingkungan. Sedangkan menurut Fauzi (2000), perspektif
ekonomi berkelanjutan dapat diartikan sebagai maksimimasi kesejahteraan sepanjang
waktu pada perspektif sosio-ekonomi pada lingkungan termasuk di wilayah
pesisir/pantai (marine park).
Permasalahan limbah bukanlah permasalahan lingkungan hidup yang berdiri
sendiri, karena sesungguhnya permasalahan limbah terkait dengan ekonomi yang
diciptakan oleh pelaku ekonomi (perusahaan) yang memainkan peranannya di dalam
melakukan rekayasa pengelolaan limbah yang terjadi pada saat produksi. Pada
penelitian ini didasarkan pada hasil analisis finansial pengelolaan limbah industri baja
di wilayah pesisir kawasan industri Krakatau dilakukan 10 tahun ke depan untuk
analisis penilaian net present value dan analisis penilaian benefit cost ratio dengan
tingkat suku bunga bank Indonesia (SBI) dan minimum attractive rate of return
(MARR) (Newnan, 1988). Model analisis investasi pengelolaan limbah baja disajikan
pada Gambar 18.
102
Gambar 18. Model analisis investasi pengelolaan limbah
6.4 Hasil dan Pembahasan
6.4.1 Asumsi Analisis
Kota Cilegon yang memiliki luas wilayah sebesar 175,45 Km2 dan pada
tahun 2007 terdapat 85 perusahaan swasta ditambah dengan industri yang bergerak
pada kelompok industri Krakatau Steel Group di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Salah satu industrinya adalah PT. Krakatau Steel yang memproduksi baja. Industri
tersebut, selain menghasil baja juga dalam proses produksinya menghasilkan limbah
baja. Limbah baja tersebut setiap tahun bertambah sejalan dengan proses produksi
dan bertumpuk pada area penampungan dengan jumlah ribuan ton limbah baja. Hal
ini jika dibiarkan akan berdampak pada kerusakan lingkungan, baik di darat, udara,
dan air khususnya di pesisir. Dengan jumlah ribuan ton limbah baja tersebut
diperlukan pengelolaan limbah agar memiliki nilai tambah (added value).
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai pemanfaatan limbah baja
menjadi produk yang tidak sejenis, namun tindak lanjutnya mengalami kendala-
kendala, baik terhadap nilai investasi awal yang cukup tinggi maupun produk yang
dihasilkan belum menjamin terhadap kesehatan masyarakat maupun lingkungan.
Dengan asumsi agar limbah baja tidak mencemari lingkungan sekitar, maka terdapat
upaya lain yang dilakukan yaitu dengan menjual langsung baik untuk keperluan
pabrik baja yang beroperasi di area Krakatau Group maupun dijual atas permintaan
pabrik seperti pabrik semen, juga melakukan ekspor limbah baja dalam bentuk mill
steel untuk keperluan pabrik baja di luar negeri. Untuk menghitung kelayakan
pengelolaan limbah tersebut, penulis membuat asumsi analisis dengan net present
value (NPV) dan benefit cost ratio (BCR).
Model Analisis Investasi Pengelolaan Limbah
NPV Analysis BCR Analysis
Jumlah dan Harga Limbah Baja
103
6.4.2 Analisis Keterpaduan Wilayah Pesisir
Keterpaduan wilayah pesisir (integrated coastal management – ICM)
Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang memiliki luas + 11.520 hektar, termasuk
zona ekonomi di Perairan Selat Sunda. Perairan ini termasuk zona penyeberangan
antar pulau yaitu Pulau Jawa dan Pulau Sumatera yang padat dengan lalu lintas
penyebaran maupun pelayaran. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan Laut di wilayah
ini bersifat unik dan sangat berbeda dengan pengelolaan sumberdaya terrestrial atau
perairan, Oleh sebab itu di wilayah ini diperlukan program pengelolaan khusus yang
disebut dengan integrated coastal zona Management (ICZM) (Clark, 1998), karena
wilayah tersebut strategis untuk lalu perdagangan antar pulau bahkan antar negara,
maka perlu dilakukan keterpaduan wilayah pesisir. ICZM ini berfokus pada
pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan
lingkungan dan penanggulangan bencana alam di wilayah pesisir dan Laut. Data
produksi komoditas hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 menyebutkan khususnya
hasil tangkapan ikan sebesar 1.103 ton/tahun, jika dikaitkan dengan kuantitasnya
maka besaran tersebut masing tergolong rendah dibandingkan dengan luas wilayah
pesisir dan kerusakan ratusan hektar magrove di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Untuk itu, perlu pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir secara terpadu dan
berkelanjutan.
ICZM dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir secara terpadu dan
berkelanjutan perlu mempertimbangkan berbagai aspek penting seperti keterlibatan
stakeholders, keluasan partisipasi publik, koordinasi antara pemerintah dengan swasta
serta pengembangan keilmuan tentang konservasi wilayah pesisr dan laut. Dalam
pengelolaan lingkungan faktor pendukung, maksud dan tujuan serta alternatif lain
yang dapat diterapkan dalam membuat kebijakan pengelolaan lingkungan terutama
yang berkaitan dengan model pengelolaan limbah di kawasan pesisir. Oleh karena itu,
pemanfaatan limbah industri baja sangat penting dilakukan guna memperoleh nilai
tambah (added value) bagi perusahaan dan berdampak bagi peningkatan
kesejahteraan karyawan dan masyarakat disekitarnya. Sedangkan permasalahan yang
timbul dari ketidakpaduan itu akan berimbas pada kelestarian alam dari wilayah
pesisir itu sendiri, seperti potensi dan pemanfaatan hasil laut di wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon mengalami tekanan lingkungan yang cukup berat,
akibat dari sedimentasi, limbah aneka industri yang dibuang di laut, penangkapan
ikan yang berlebihan, dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
104
Permasalahan pesisir dan pantai yang terjadi juga kerusakan hutan mangrove, abrasi
pantai, perubahan tata guna lahan di wilayah pesisir, dan pencemaran air laut.
Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi empat Kecamatan
yaitu Ciwandan, Citangkil, Grogol dan Pulomerak nampaknya pada tahun belakangan
ini menjadi semakin banyaknya industri-industri berat. Hal ini menjadi kebijaksanaan
pemerintah daerah untuk menjadikan bagian barat daerah banten sebagai area pabrik
industri berat atas beberapa pertimbangan, tetapi hal itu dapat ditanggulangi jika
potensi dan daerah pesisir dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa harus merusak
keindahan hayati pesisir bagi masyarakat terutama di wilayah pesisir Kawasan
Industri Krakatau Cilegon. Semua hal tersebut terjadi akibat pemanfaatan pesisir yang
kurang terpadu berdampak pada kepentingan social-ekonomi tanpa memperhatikan
dampak lingkungan fisik dari wilayah pesisir dan pelestarian lingkungan.
Pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan limbah ke laut yang semakin
marak telah menurunkan potensi ekonomi kelautan, karena pembuangan limbah
industri walaupun tidak berada di atas ambang batas yang sudah ditentukan namur
karena banyak yang bersifat akumulatif seperti logam berat Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn
maka dapat membahayakan kehidupan yang ada dudalamnya sangat rentan terhadap
pemcemaran pesisir laut. Apabila pantai yang dikelilingi oleh kegiatan industri
semisal pabrik, dan lain-lain, tentu dampaknya akan negatif bagi kuantitas mupun
kualitas wilayah pesisir tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan hasil wawancara para
stakeholders memperlihatkan bahwa permasalahan di bidang kelautan yang dihadapi
dalam pembangunan Kawasan Industri Krakatau Cilegon antara lain: (1) belum
optimalnya pengelolaan wilayah pesisir, laut, pulau-pulau kecil secara terpadu; (2)
rusaknya ekosistem pesisir dan laut, seperti mangrove dan terumbu karang, yang
disebabkan oleh manusia seperti penangkapan ikan yang bersifat merusak,
sedimentasi dan pencemaran; (3) belum optimalnya pengelolaan konservasi laut dan
perairan umum; (4) belum optimalnya upaya pengendalian dan pengawasan sumber
daya kelautan dari kegiatan pencurian ikan di kawasan yang dapat menyebabkan
turunnya kemampuan regenerasi ikan; (5) konflik pemanfaatan tata ruang di wilayah
pesisir dan laut; (6) belum optimalnya pemanfaatan potensi sumber daya kelautan non
konvensional seperti jasa kelautan dan keanekaragaman hayati laut; (7) belum
berkembangnya sistem mitigasi bencana lingkungan laut, mengingat wilayah kelautan
Indonesia terletak di wilayah rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan
kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global; (8) masih lemahnya penegakan
105
hukum; dan (9) masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting dan nilai
strategis sumber daya kelautan dan perikanan bagi pembangunan ekonomi daerahnya.
6.4.3 Analisis Nilai Manfaat Investasi Wilayah Pesisir
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa nilai manfaat ekonomi wilayah
pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon, jika dipandang dari data produksi
komoditas hasil pertanian Kota Cilegon tahun 2007 khususnya hasil tangkapan ikan
sebesar 1.103 ton/tahun. Namun wilayah tersebut termasuk zona penyebarangan antar
pulau bahkan antar negara, maka diharapkan wilayah ini akan memperoleh
pendapatan sebagai devisa daerah atau devisa negara. Kenyataan ada wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang didalamnya tumbuh dan berkembang
industri menengah dan industri berat yang sebagian besar mempunyai kepentingan
melalui kawasan tersebut. Menurut hasil penelitian oceanografi yang oleh Lembaga
Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) tahun 2008 menyebutkan + seluas 300 hektar terjadi
kerusakan berskala berat pada hutan mangrove (bakau) di Kawasan Industri
Karakatau Cilegon, hal tersebut sangat berdampak terhadap kondisi pantai/pesisir
karena fungsi hutan mangrove salah satunya adalah untuk mengantisipasi terjadinya
abrasi pantai dan dapat meredam gelombang tsunami.
Sejalan dengan kebijakan pengelolaan limbah pada wilayah pesisir merupakan
suatu kebijakan politik dan ekonomi dalam rangka pembangunan ekonomi yang
meninggalkan paradigma lama yang menempatkan kelautan sebagai sektor pinggiran.
Dengan kata lain, kebijakan pengelolaan limbah pada wilayah pesisir merupakan
paradigma baru yang menempatkan sektor kelautan sebagai arus utama (mainstream)
dalam pembangunan perekonomian. Sedangkan perekonomian wilayah pesisir
merupakan pemikiran ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya
kelautan sebagai basis dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan khususnya di
wilayah pesisir.
Di dalam aspek nilai finansial guna menentukan apakah aktivitas
pengelolaan limbah akan memberikan sumbangan atau mempunyai peranan yang
positif dalam pengelolaan perekonomian wilayah pesisir dan peranannya cukup besar
dalam penggunaan sumber-sumber yang dibutuhkan. Analisis aspek nilai finansial
yang perlu diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas yang diperoleh dari
semua sumber yang dipakai dalam kegiatan untuk masyarakat atau perekonomian
secara komprehensif tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumbernya dan
106
masyarakat dapat menerima hasil kegiatan tersebut. Manfaat aspek nilai
perekonomian/sosial adalah kemampuan kegiatan dalam menciptakan lapangan kerja
baru, meningkatkan perekonomian daerah, dan menunjang pendapatan devisa.
Aspek nilai investasi pengelolaan limbah baja ini dapat menjadi aktivitas
yang sehat apabila dapat memberikan kontribusi yang layak dan mampu memenuhi
kewajiban finansialnya. Pengkajian berbagai aspek nilai investasi ini, kemungkinan
yang akan timbul adalah: (a) Suatu proyek cukup sehat ditinjau dari berbagai aspek
sehingga rencana investasi dapat dilanjutkan; (b) Proyek cukup sehat apabila syarat-
syarat tertentu dapat dipenuhi; (c) Proyek tidak cukup sehat sehingga rencana
investasi seyogyanya dibatalkan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan hasil
wawancara memperlihatkan bahwa limbah baja dapat dimanfaatkan dan dapat
menghasilkan keuntungan investasi.
Menurut Sjaifuddin (2008), untuk mengukur nilai investasi pengelolaan
limbah yang akan berdampak pada wilayah pesisir, dapat dianalisis melalui hasil
kelayakan pengelolaan limbah meliputi: analisis penilaian net present value dan
benefit cost ratio.
6.4.4 Kelayakan Pengelolaan Limbah
Saat ini limbah baja yang merupakan hasil proses pabrik baja yang dihasilkan
oleh PT. Krakatau Steel sudah dimanfaatkan melalui penjualan langsung baik untuk
keperluan pabrik baja yang beroperasi di area Krakatau Group maupun dijual atas
permintaan pabrik semen dengan pengiriman limbah baja sebanyak 300 ton/bulan,
juga melakukan ekspor limbah baja dalam bentuk mill steel di negara China untuk
keperluan pabrik baja.
Analisis kelayakan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menganalisis
hasil penilaian net present value ini dengan tujuan agar semua investasi, pengeluaran
dan penerimaan dalam pengelolaan limbah baja yang berbentuk cash flow untuk
periode waktu tertentu sampai kelayakan proyek dan nilai suatu proyek diubah ke
dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Untuk
mengukur hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio ini
menggunakan suku bunga yang berlaku pada akhir tahun 2007 yaitu suku bunga SBI
sebesar 14 %, minimum attractive rate of return (MARR) sebesar 15 %, dan laju
inflasi 6 %.
Estimasi nilai jual limbah yang dapat dimanfaatkan yaitu: limbah sludge
senilai $22/ton, sedangkan limbah baja yang berasal dari debu EAF atau DR slurry
107
senilai $18/ton. Harga jual limbah tersebut tidak termasuk biaya transportasi. Biaya
transportasi untuk pengiriman (shipping) ke China melalui Kapal laut sebasar
$ 34/ton, sedangkan jika menggunakan kontainer biaya transportasinya sebesar
$ 27/ton. Biaya lain yang menjadi beban industri yaitu biaya pengerukan limbah yang
berada di sekitar pabrik untuk dipindahkan ke area penampungan limbah sebesar
$9/ton.
Berikut ini besaran estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja
di Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2007 dapat disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Benefit-Cost Komponen
Jumlah (ton)
Harga (USD/ton)
Nilai (USD)
Benefit
Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM Shipping
6.423
12.062 9.969 2.503 1.300
11.196 43.453
18 18 18 22 22 22 24
115,614 217,116 179,442 55,066 28,600
246,312 1,042,872
Cost Area transport
43.453
9
391,077
Berdasarkan Tabel 19 di atas terlihat bahwa komponen limbah baja yang berasal dari
debu EAF BSP, debu EAF SSP, dan debu EAF SSP2 memiliki benefit harga limbah
sebesar 18 USD/ton, sedangkan komponen limbah baja yang berasal dari sludge DR,
sludge WRM, dan slurry CRM memiliki benefit harga limbah sebesar 22 USD/ton,
sehingga hasil pengelolaan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar
1,885,022USD, selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi benefit dan cost
pengelolaan limbah baja untuk 10 tahun yang disajikan pada lampiran 2 – 3. Untuk
mengetahui hasil penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap
pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan
pada Tabel 20.
108
Tabel 20. Penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon
No. Pengelolaan Kriteria Nilai Peringkat Limbah NPV (USD) BCR NPV(USD) BCR Opsi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM
10,929,328 20,722,145 17,087,813 4,588,718
2,275,133 21,306,917
3,6 3,6 3,6 3,7 3,7 3,7
480 911 751 202 100 937
100 100 100 103 103 103
290 506 426 153 102 520
4 2 3 5 6 1
Kriteria bobot 0,5 0,5
Berdasarkan Tabel 20 di atas, pengukuran hasil penilaian investasi analisis net
present value (NPV) untuk 10 tahun dapat diketahui dengan total nilai sebesar
76,910,054USD dan benefit cost ratio (BCR) dengan nilai rasio > 3, yang berarti
bahwa investasi menguntungkan. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan
kriteria, nilai opsi, dan peringkat dari masing-masing jenis limbah. Dari hasil analisis
kriteria dan opsi pengelolaan diperoleh urutan nilai 520, 506, 426, 290, 153, 290, dan
102, maka berdasarkan urutan pengelolaan tersebut diperoleh peringkat terbaik (1)
yakni limbah baja yang berasal dari limbah slurry CRM, hal ini berarti limbah slurry
CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan
investasi pengelolaan limbah baja. Meskipun demikian, jenis limbah baja lainnya juga
perlu pengelolaan secara berkelanjutan agar semua limbah dapat dimanfaatkan,
sehingga limbah tersebut mempunyai nilai tambah (added value) bagi perusahaan dan
masyarakat sekitar dapat menerima manfaaatnya.
6.5 Kesimpulan dan Saran
6.5.1 Kesimpulan
Hasil menganalisis investasi pengelolaan limbah dapat disimpulkan:
1. Pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, agar
Kawasan Industri Krakatau Cilegon tetap lestari sesuai harapan.
2. Penilaian pemanfaatan wilayah pesisir dapat diketahui dengan melakukan
kelayakan pengelolaan limbah melalui pengukuran hasil pengolahan limbah baja
yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD dan benefit cost ratio dengan
nilai rasio > 3 berarti investasi menguntungkan.
3. Hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio berdasarkan nilai
kriteria dan opsi pengelolaan, maka jenis limbah baja slurry CRM merupakan
opsi yang dinilai paling layak dalam pengelolaan limbah baja.
109
6.5.2 Saran
Sebagai saran dalam analisis investasi pengelolaan limbah ini adalah:
1. Perlu perusahaan mengelola limbah baja secara optimal, agar limbah yang ada
saat ini dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk kebutuhan perusahaan sendiri
maupun perusahaan lainnya.
2. Agar perusahaan mencari alternatif penggunaan lain dari limbah baja yang
bernilai lebih layak, sehingga masyarakat sekitar dapat merasakan manfaat hasil
pengelolaan limbah.
Daftar Pustaka
Clark, J.R. 1998. Coastal Zone Management for The New Century. Ocean & Coastal Management. 37(2): 191.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. dan Buchary, E. 2002. A Socio-Economic Perspective of Environmental Degredation at Kepulauan Seribu Nasional Marine Park. Coastal Management Journal. Vol. 30 (2): 167 – 181.
Heal, G. (1988). Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York.
Newnan, D. G. 1990. Engineering Economic Analysis. Third Edition. Engineering Press Inc. California.
Mulyowahyudi, A. 2005. KS-Review: Steel as National Power. PT. Krakatau Steel. Cilegon
Sjaifuddin. 2008. Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan.Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajaran Vol.3 No.1.
VII. MODEL STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN
ABSTRAK
Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam membangun perekonomian nasional. Kebijakan yang mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan mampu bersinergi dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya. Tujuan model strategi pengelolaan lingkungan ini yaitu: mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan dampak sosial; menganalisis baku mutu limbah; menentukan pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri. Metode yang digunakan dalam model strategi pengelolaan lingkungan ini, yaitu model analisis faktor, metode AHP Cdplus3.0, metode ISM VAXO, dan dinamic modeling (powersim). Hasil analisis model strategi pengelolaan lingkungan: Pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industri 1.500 ha., dampak sosial, dan pengelolaan limbah terhadap pesisir laut. Model pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan penentuan pemilihan prioritas menggunakan AHP, penentuan parameter kunci menggunakan ISM, dan pengembangan model sebagai skenario pengelolaan dengan menggunakan dynamic modeling. Hasil analisis baku mutu limbah baja terhadap kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir masih memenuhi nilai ambang batas (NAB). Sedangkan model strategi kebijakan dalam pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop) dan struktur model dengan bantuan program powersim.
Kata kunci: Model AHP, metode ISM, dynamic modeling, NAB, cause loop, struktur model.
7.1 Pendahuluan
7.1.1 Latar Belakang
Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam
membangun perekonomian nasional, Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang
mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan yang mampu bersinergi
dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya, khususnya Kota Cilegon.
Hal ini juga, dikarenakan pendayagunaan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam
mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Menurut Sjaifuddin (2007), sampai saat ini banyak teori pengembangan
wilayah yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan pesisir
dan teluk Banten. Teori tersebut dibangun atas dasar atas dasar dan tujuan yang
berbeda-beda. Kelompok pertama adalah toeri-teori yang memberi penekanan pada
kerjasama wilayah (regional prosperty). Kelompok kedua memberi penekanan pada
111
sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem
produksi (sustainable production) atau kelompok yang peduli pada pembangunan
berkelanjutan. Kelompok ketiga teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam
fokus pengembangan wilayah. Penerapan teori ini didasarkan pada masalah utama
yang dihadapi masyarakat/wilayah dengan sasaran tertentu.
Menurut Dahuri (1998), dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti wilayah
pesisir dan lautan, langkah pertama yang harus dikerjakan oleh para perencana dan
pengambil keputusan adalah menentukan batas-batas (boundaries) dari wilayah yang
akan dikelolanya sebagai suatu satuan pengelolaan (management unit). Dengan
mengetahui batas-batas dari suatu wilayah pesisir dan lautan sebagai satuan
pengelolaan lingkungan, maka komponen-komponen beserta segenap interaksi antar
komponen tersebut di dalam sistem pengelolaan lingkungan dan interaksi antar satuan
wilayah pengelolaan dengan satuan wilayah pengelolaan lingkungan lainnya dapat
diketahui dengan baik.
Menurut para pakar, diantaranya Brown (1997), bahwa penentuan batas-batas
wilayah pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut: (1)
Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline).
Republik Rakyat Cina, misalnya, mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai suatu
wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan
darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15
km dari garis pantai (Zhijie, 1990); (2) Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara
bagian Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, misalnya,
batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar
(coastal baseline) (Sorensen, 1990); (3) Karakteristik dan dinamika ekologis
(biofisik), yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural
features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota,
dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria
ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai.
Di dalam pengelolaan limbah baja ini terdapat upaya-upaya yang dapat
dilakukan saat ini yaitu meminimasi jumlah limbah yang dihasilkan dan tersimpan di
sumber penimbunan, pewadahan, pengumpulan dan lebih diutamakan pengolahan
kembali untuk kebutuhan di lingkungan sendiri maupun dijual di luar lingkungan
perusahaan. Oleh karena itu pengelolaan limbah harus tetap mengedepankan
kelestarian wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk menghadapi
112
permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan model-model yang
secara komprehenship dan integral dapat menyelesaiakan permasalahan tersebut.
7.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan
Tujuan dan lingkup bahasan pada model strategi pengelolaan lingkungan ini
yaitu: (1) Mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar,
pesisir laut, dan dampak sosial; (2) Menganalisis baku mutu limbah; (3) Menentukan
pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi
submodel kependudukan, pesisir laut, dan limbah industri.
7.2 Tinjauan Pustaka
A. Model Keputusan dengan Analysis Hierarchy Process
Menurut Suryadi (2002), analysis hierarchy process (AHP) memfokuskan
pada pencapaian obyektif. Penggunaan AHP menghasilkan keputusan yang rasional.
Keputusan rasional adalah dimana pencapaian obyektif yang banyak oleh para
pengambil keputusan. Kuncinya adalah fokus pada obyektif dari pada alternatif,
kriteria atau atribut (Saaty, 1999).
Sebagai metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan, AHP
mempunyai beberapa kelebihan: 1) mampu memecahkan masalah yang bersifat multi
obyektif dan multi kriteria. Kebanyakan model pengambilan keputusan yang ada
hanya memakai tujuan tunggal dengan multi kriteria; 2) mampu memecahkan suatu
masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam beberapa kelompok atau
bagian dan menyusun semua bagian tersebut menjadi suatu bentuk hirarki; 3) mampu
memperhitungakan elemen atau kriteria kuantitatif sekaligus kualitatif, 4)
memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitifitas pengambil
keputusan; 5) memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan dari konsistensi,
pengukuran dan pada ketergantungan di dalam dan diantara kelompok kriteria
strukturnya, atau dengan kata lain memperhitungkan validitas sampai batas toleransi
inkonsistensi berbagai elemen dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil
keputusan. Sedangkan kelemahan dari analysis hierarchy process adalah
subyektifitas pengambil keputusan masih merupakan pengaruh besar pada keputusan
akhir. Model keputusan dengan analysis hierarchy process selengkapnya telah
diuraikan bagian sebelumnya.
113
B. Model Keputusan dengan Interpretative Structural Modelling
Menurut Marimin (2005), interpretative structural modelling (ISM)
merupakan salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok
mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang komplek. Oleh
karena itu ISM dapat menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam
struktur grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-
elemen itu merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor penilaian, dan lain-
lain. Model keputusan dengan interpretative structural modelling selengkapnya telah
diuraikan pada bagian sebelumnya.
C. Pemodelan Sistem Dinamis
Menurut Ottosson (2003), dynamisc systems memiliki mekanisme internal
untuk selalu mengalami perubahan sepanjang waktu. Dynamisc systems digunakan
untuk mencari penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi
secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan
konsep inti yang digunakan di dalam dynamisc systems untuk memahami struktur
sistem.
Untuk melakukan simulasi dari sebuah model diperlukan perangkat lunak
(software) yang secara cepat dapat melihat perilaku (behavior) dari model yang
dibuat. Pada bagian ini perangkat lunak yang digunakan berupa program yang
dinamakan powersim. Menurut Muhammadi (2001), powersim digunakan untuk
membangun dan melakukan simulasi suatu model dinamis. Suatu model dinamis
merupakan kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antar satu
dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Karena setiap variabel berkorespondensi
dengan suatu besaran yang nyata atau besaran yang dibuat sendiri.
Untuk menjalankan program powersim ini dibuatkan terlebih dahulu diagram
sebab akibat (cause effect diagram) dan struktur modelnya, sedangkan hasil
simulasinya berupa gambar atau grafik yang menggambarkan perilaku (behavior) dari
sisitem.
7.3 Metoda Strategi Pengelolaan Lingkungan
Untuk menentukan model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya
untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau
Cilegon, perlu dilakukan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut: (1)
Pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan
dampak sosial; (2) Menganalisis komponen-komponen pengelolaan limbah: proses
114
dan teknologi, penduduk dan lingkungan, serta ekonomi; (3) Menganalisis baku mutu
pengaruhnya terhadap: kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir; (4) Penentuan-
penentuan pengelolaan limbah: penentuan pemilihan parameter, penentuan parameter
kunci, pengembangan model sebagai skenario pengelolaan.
Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan lingkungan dilakukan
langkah-langkah, yaitu penentuan pemilihan prioritas dengan menggunakan metode
AHP, penentuan parameter kunci dengan menggunakan metode ISM, dan penentuan
skenario dengan menggunakan dinamic modeling.
Menurut Handoko (2005), untuk mengembangkan kebutuhan model tersebut
diperlukan model dinamik (dinamic modeling) yang dilakukan bertujuan untuk
melihat perilaku sistem dalam membantu penyusunan model, seperti model
pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestarian wilayah
pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Model dinamik ini dapat dibuat dengan
bantuan software powersim, sehingga kompleksitas permasalahan dapat diselesaikan
sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Gambar 19 merupakan pemodelan sistem
pengelolaan/pengendalian limbah baja.
Gambar 19. Pemodelan sistem pengelolaan/pengendalian limbah baja
7.4 Hasil dan Pembahasan Strategi Pengelolaan Lingkungan
7.4.1 Asumsi Model
Model strategi pengelolaan lingkungan difokuskan pada pengelolaan limbah
baja dengan asumsi model yang berkaitan dengan penentuan pemilihan prioritas,
penentuan parameter kunci, dan pengembangan model dengan menggunakan dynamic
Penentuan pakar (expert)
Kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir
Analisis Kondisi Eksiting
PEMODELAN . Pendekatan system . Analisis dinamik
Data primer & Data sekunder
Powersim & MS-Excel
Strategi pengendalian limbah baja
115
modeling. Untuk membuat asumsi model pengelolaan limbah baja ini, maka dapat
dibuat struktur model. Rancang bangun struktur model ini meliputi submodel
kependudukan, submodel pesisir laut, dan submodel limbah industri. Ketiga
submodel tersebut diasumsikan secara terpadu pada pembuatan rancang bangun
model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan
kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, sehingga model
tersebut dapat menggambarkan kondisi obyektif, baik permasalahan penduduk,
wilayah pesisir maupun limbah industri khususnya limbah baja di masa mendatang.
7.4.2 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Penduduk
Penduduk merupakan bagian terpenting di dalam pengelolaan limbah industri
baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, Kota Cilegon pada tahun
2007 memiliki jumlah penduduk sebanyak 339.716 jiwa. Dengan komposisi 176.276
jiwa laki-laki dan 163.440 jiwa perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk rata-
rata sebesar 2,32 % per-tahun dan tingkat kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2.
Selain itu, data Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun 2007 diperoleh rata-rata angka
kelahiran penduduk sebanyak 1,85 % per-tahun dan angka kematian penduduk
sebesar 1,15 % per-tahun dari jumlah penduduk, dan angka urbanisasi penduduk
0,90 % per-tahun jumlah penduduk.
Dengan kondisi penduduk tersebut di atas, maka untuk menyusun submodel
penduduk dilakukan dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui beban
pencemaran limbah yang berasal dari aktivitas penduduk pada suatu waktu ditentukan
oleh jumlah populasi penduduk saat ini, persentase jumlah angka kelahiran,
persentase jumlah urbanisasi, dan persentase jumlah angka kematian, maka aktivitas
jumlah penduduk Kota Cilegon adalah 42.846.944 jiwa (dari persamaan 8).
7.4.3 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Aktivitas Industri
Di dalam menentukan submodel industri ditentukan berdasakan hubungan
antara luas areal kawasan industri Krakatau Cilegon dengan pertumbuhan industri,
dimana pengelolaanya tangani oleh satu perusahaan yaitu PT. KIEC. Pertumbuhan
dan perkembangan industri di Kota Cilegon setiap tahun selalu bertambah hingga saat
ini, baik industri menengah maupun industri besar/berat sebanyak 85 perusahaan
swasta ditambah dengan industri yang bergerak pada kelompok industri Krakatau
Steel Grup di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
116
Prosentase sektor lapangan usaha baik sektor industri manufaktur maupun
industri di Kota Cilegon tahun 2007 disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Prosentase sektor lapangan usaha di 4 kecamatan Kota Cilegon tahun 2007
Sektor Tenaga Kerja Prosentase (%)
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Jasa-jasa, dll
9.741 937
46.629 1.226 9.247
47.242 21.339 73.74 2
6.567
5,72 0,55
27,38 0,72 5,43
27,74 12,53 4,33
15,60Jumlah 170,303 100,00
Tabel 21 di atas, menunjukkan bahwa sektor lapangan usaha pada aktivitas
industri terutama industri manufaktur yang berkecendrungan menghasilkan limbah
sebanyak 27,38 % dari total sektor lapangan usaha yang ada di Kota Cilegon.
Meskipun prosentase sektor lapangan usaha industri lebih kecil dari prosentase dari
lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran, maka aktivitas industri mendapat
perhatian dari pemerintah daerah, terutama permasalahan AMDALnya. Prosentase
sektor lapangan usaha di Kota Cilegon disajikan pada Gambar 20.
PROSENTASE SEKTOR LAPANGAN USAHA
05
1015202530
Per
tana
ian
Indu
stri
Ban
guna
n
Ang
kuta
n da
nK
omun
ikas
i
Jasa
-jasa
Sektor
Pro
sent
ase
PROSENTASE
Gambar 20. Grafik prosentase sektor lapangan usaha di Kota Cilegon
Selain tersebut di atas, juga diperlukan penyusunan submodel industri untuk
menentukan Jumlah beban limbah industri (Li) (ton/tahun) dipengaruhi oleh Jumlah
industri pada waktu ti (Jlti), Jumlah industri awal (Jlto) sebanyak 16
pabrik/perusahaan, Fraksi pembangunan industri (FPI) sebesar 462,5 %, Luas lahan
117
kawasan (LK) seluas 1.500 Ha, Fraksi limbah industri (Fli) sebesar 15 %. Dari
persamaan 10 dan 11 submodel industri halaman 56, maka diperoleh jumlah industri
pada waktu ke ti adalah 74 pabrik/perusahaan/1.500 Ha. Sehingga dapat dihitung dan
diperolah Jumlah beban limbah industri adalah 11,1 ton/tahun untuk 74
industri/pabrik dengan luas lahan kawasan pabrik 1.500 ha.
Dalam menyusun submodel pengolah limbah perlu diketahui bahwa Jumlah
limbah (JL) (ton/tahun) yang masuk ke pesisir pantai dipengaruhi oleh beban limbah
sebesar 11,1 ton/tahun bersumber dari industri baja dan kapasitas instalasi pengolahan
limbah yaitu 95 % dari beban limbah. Sehingga dari persamaan 12 submodel
pengoleh limbah halaman 56, dapat diperoleh bahwa jumlah limbah yang masuk ke
pesisir pantai adalah (11,1 – (0,95 x 11,1)) ton/tahun adalah 0,56 ton/tahun.
7.4.4 Pengelolaan Limbah Berdasarkan Dampak Sosial
Untuk menyusun submodel dampak sosial pada model pengelolaan limbah
baja ini dapat dilakukan dengan analisis regresi. Dampak sosial pada pengelolaan
limbah industri baja meliputi variabel kesehatan masyarakat, variabel lapangan kerja,
dan variabel pencemaran lingkungan. Hasil analisis submodel dampak sosial
menggunakan analisis faktor dengan koefisien adalah (0,36) kesehatan masyarakat +
(0,04) lapangan kerja. Hasil selengkapnya submodel dampak sosial model
pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah
pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Dampak sosial model pengelolaan limbah baja tahun 2007
Kesehatan Lapangan Dampak Bulan
Masyarakat
(orang) Kerja
(orang) Sosial (orang)
1 2.487 564 3.052 2 2.488 564 3.053 3 2.489 564 3.054 4 2.480 564 3.044 5 2.484 569 3.053 6 2.441 569 3.010 7 2.480 569 3.049 8 2.484 569 3.053 9 2.489 570 3.059 10 2.488 570 3.058 11 2.516 570 3.086 12 2.521 570 3.091
Total 29.847 6.812 36.662
118
Berdasarkan Tabel 22 di atas dapat diketahui pengaruh kesehatan masyarakat
dan lapangan kerja di Kota Cilegon terhadap dampak sosial dalam model
pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 orang, hal ini berarti faktor kesehatan
masyarakat sebanyak 29.847 orang dan faktor lapangan kerja sebanyak 6.812 orang
dapat mempengaruhi dampak sosial di Kota Cilegon sebanyak 36.662 orang.
7.4.5 Pengelolaan Limbah terhadap Pesisir Laut
Kelautan merupakan multi sektor dan lintas departemen, sehingga sangat
wajar bila terjadi konflik kepentingan antar lembaga negara. Lembaga negara yang
terlibat dalam mengurusi kelautan diantaranya, yaitu Departemen Pertahanan,
POLRI, Perhubungan, Energi dan Sumberdaya Mineral, Pariwisata, Industri dan
Perdagangan, Kelautan dan Perikanan, Keuangan, Lingkungan Hidup serta
Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
Sementara itu, di samping kurangnya perhatian pemerintah terhadap
pembangunan kelautan yang berlangsung selama tiga dasa warsa, kompleksitas
permasalahan kelautan juga disebabkan oleh banyaknya lembaga negara yang terlibat.
Hal ini dikarenakan, pembangunan kelautan tidak dilakukan secara koordinatif oleh
satu lembaga negara. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, masing-
masing lembaga negara mengeluarkan aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang
sama. Akibatnya adalah, kerusakan lingkungan laut yang tidak bisa terelakan, padahal
kelestarian sumberdaya menjadi isu sentral masyarakat dunia dan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat-zat hara bahan-
bahan buangan. Oleh karena itu pemanfaatan ganda yang tidak direncanakan dengan
cermat akan menimbulkan masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan
buangan. Sampah organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan
buangan dan sebaginya, akan terbawa aliran air sungai dan pada akhirnya akan
mencapai ke perairan wilayah pesisir. Kota Cilegon dilalui oleh bebarapa sungai
antara lain sungai Kahal, Tompos, Sehang, Gayam, Medek, Sangkanila, Cikuarsa,
Sumur Wuluh, Grogol, Cipangurungan, dan sungai Cijalumpang. Diantara sebelas
sungai tersebut sungai Grogol merupakan yang terbesar dan hampir semuanya
bermuara di Selat Sunda atau pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, karena
kawasan ini juga berada di wilayah pesisir 4 (empat) kecamatan yaitu: Ciwandan,
Citangkil, Grogol, dan Pulomerak merupakan badan air yang langsung menampung
limbah, terutama limbah industri, sehingga wilayah ini rawan terhadap pencemaran.
119
Pesisir pantai wilayah Kawasan Industri Krakatau Cilegon mempunyai banyak
kegiatan diantaranya terdapat di Kecamatan Ciwandan industri kimia, baja, pelabuhan,
hotel dan wisata bahari. Perkembangan industri dan pertambahan penduduk yang
cukup pesat sampai saat ini, akan berakibat timbulnya bahan/limbah cemaran.
Kemajuan di bidang industri dan pertanian wilayah perairan/pesisir di masa
sekarang ini mengakibatkan banyaknya aktivitas manusia di darat yang menyebabkan
tekanan terhadap pertanian di perairan sekitarnya meningkat. Pertambahan jumlah
industri dan penduduk membawa akibat bertambahnya beban pencemaran yang
disebabkan oleh pembuatan limbah industri. Pencemaran akibat limbah industri dapat
menyebabkan kerugian besar, karena umumnya buangan/limbah mengandung zat
beracun antara lain senyawa khlor, raksa, cadmium, khrom, timbal dan zat lainnya
yang sering digunakan dalam proses produksi suatu industri, baik sebagai bahan baku,
katalisator, maupun bahan lama.
Logam berat merupakan bahan buangan yang sudah sering menimbulkan
pencemaran laut atau pantai. Diketahui jenis-jenis logam berat yang dipertimbangkan
sebagai bahan pencemar, namun ada beberapa dari logam berat tersebut yang esensial
untuk kehidupan organisme, seperti Mn, Fe, dan Cu, tetapi dalam jumlah berlebih
sangat beracun bagi kehidupan organisme. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke parairan termasuk perairan wilayah
pesisir, yaitu: 1) Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan; 2)
Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi
oseanografi setempat; 3) Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi
bahan buangan dengan lingkungan perairan; 4) Pengaruh bahan buangan terhadap
kehidupan dan rantai makanan; 5) Proses degradasi dan perubahan biogeokimia; 6)
Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di masa datang; 7)
Faktor-faktor lain yang has. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian daya
guna perairan wilayah pesisir perlu diatur berdasarkan peraturan perundangan
maupun Perda.
7.4.6 Analisis Baku Mutu
Produksi limbah (bahan pencemar) industri semakin meningkat dengan cepat,
terutama limbah B3, dan pada umumnya dibuang langsung ke perairan laut. Limbah
B3 yang dihasilkan oleh industri antara lain adalah logam berat, sianida, pestisida,
zat pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya. Masukan kuantitas limbah ke dalam
ekosistem pesisir dan lautan di Indonesia terus meningkat secara tajam terutama
120
dalam dua dasawarsa terakhir. Berbagai upaya telah diupayakan dalam mengontrol
dan memantau kehadiran limbah B3, khususnya logam di perairan laut. Dalam upaya
tersebut Pemerintah Indonesia menetapkan suatu aturan baku sebagai suatu patokan
penilaian kualitas suatu lingkungan, aturan baku yang dikenal untuk perairan adalah
baku mutu air laut (BMAL).
Penetapan BMAL adalah sebagai salah satu instrumen dalam upaya
perlindungan ekosistem perairan laut dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Namun pada BMAL Indonesia, khususnya dalam baku mutu limbah cair untuk logam,
proses pengukuran konsentrasi logam, sebagai salah satu parameter pencemar air laut,
hanya di titik beratkan pada air dan sedimen. Sekalipun menggunakan biota tetapi
tidak mempertimbangkan pada dampak biologi yang signifikan di mana terjadi pada
waktu yang lama setelah terjadi kontaminasi. Dengan demikian, hasil yang diperoleh
belum dapat dianggap akurat secara ilmiah, mengingat kondisi ekosistem perairan
laut sering mengalami perubahan akibat fenomena alam.
Sampai saat ini orang masih menganggap bahwa perairan laut adalah tempat
pembuangan sampah atau limbah yang paling aman. Salah satu kriteria aman adalah
sejalan dengan kriteria penentuan ambang batas atau konsentrasi maksimum yang
diijinkan menurut baku mutu air laut (BMAL) Indonesia untuk kegiatan
pertambangan dan industri, misalnya baku mutu limbah cair untuk Industri Pelapisan
Logam sesuai Kep-51/MENLH/10/1995. Selain itu, kriteria aman juga ditetapkan
apabila limbah yang dimasud tidak termasuk dalam golongan limbah B3. Sedangkan
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor KEP-03/MENKLH/II/1991tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan yang
telah beroperasi di bagi empat golongan I, II, III, dan IV. Golongan I diperuntukkan
baku mutu alir limbah yang paling keras atau ketat, sedangkan Golongan IV
diperuntukkan baku mutu air limbah yang paling longgar. Ketentuan golongan baku
mutu air limbah yang akan digunakan di suatu daerah ditetapkan oleh pemerintah
daerah misalnya Gubernur, yang disesuaikan dengan keadaan kualitas ambien daerah
tersebut, sehingga baku mutu ambiennya dapat dijaga tidak akan dilampaui.
Dalam penetapan kadar logam berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn) dalam sedimen
lebih rendah dibandingkan air laut. Data ini menunjukkan adanya akumulasi logam
berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn) dalam sedimen. Baku mutu logam berat di dalam
lumpur atau sediman di Indonesia belum ditetapkan, padahal senyawa-senyawa
logam berat lebih banyak terakumulasi dalam sedimen (karena proses pengendapan)
di mana terdapat kehidupan biota dasar. Biota dasar yang resisten terhadap perubahan
121
kualitas lingkungan atau tercemar oleh logam berat, umumnya dijadikan sebagai
indikator pencemaran.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu pengaturan baku mutu limbah dan baku
mutu lingkungan, yaitu: (1) baku mutu lingkungan untuk mengarahkan pemanfaatan
lingkungan, termasuk media lingkungan untuk budidaya, baku air laut, dan
sebagainya (penggolongan media untuk berbagai keperluan); (2) baku mutu limbah
untuk membatasi jumlah limbah yang dapat dikembalikan ke media lingkungan; serta
(3) mengarahkan perencanaan penggunaan teknologi produksi, teknologi pengolahan
limbah.
A. Kesehatan Masyarakat
Salah satu pencemaran pada badan air adalah masuknya logam berat.
Peningkatan kadar logam berat di dalam perairan akan diikuti oleh peningkatan kadar
zat tersebut dalam organisme air seperti kerang, rumput laut dan biota laut lainnya.
Pemanfaatan organisme ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan
manusia. Besi adalah salah satu bahan baku yang digunakan untuk pembuatan baja.
Pembuatan baja dalam proses produksinya menghasilkan limbah baja. Seperti yang
telah diuraikan dalam penelitian ini sebelumnya, bahwa limbah baja berdasarkan hasil
uji pelindian atau toxicity charcteristic leaching prosedure (TCLP) dapat diketahui
berkriteria sebagai limbah B3, karena beberapa komponen melebihi baku mutu
seperti diatur dalam standard TCLP No. 04/09/1995, yaitu: DR (untuk Pb), HSM
(untuk Cr, Cu, dan Pb), FC (untuk Cr dan Cu) dan EAF (untuk semua komponen
kecuali Cu). Limbah baja WRM dan CRM tidak terkena kriteria tersebut. Setelah
dicampur sebagai material lainnya, ternyata nilai TCLPnya di bawah baku mutu yang
dipersyaratkan.
Berdasarkan hasil uji toksisitas limbah baja yang pada jenis limbah: DR (Pb
11 mg/l), HSM (Cr 7,2 mg/l, Cu 18 mg/l, Pb 6,2 mg/l), EAF (Cd 3,8 mg/l, Cr 19,2
mg/l, Pb 21 mg/l, Zn 60,5 mg/l) yang diketahui berkriteria sebagai limbah B3, maka
pihak perusahaan maupun pemerintah daerah dapat antisipasi dampak negatif dari
limbah B3 terhadap kesehatan masyarakat.
Limbah industri baja yang mengandung unsur Fe, walaupun logam ini
termasuk dalam kelompok logam esensial, namun pengaruh terhadap kesehatan
masyarakat disekitarnya seperti penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
akibat dari debu limbah baja dan sering pula dilaporkan terutama kasus keracunan Fe
pada anak-anak. Keracunan Fe pada anak terjadi secara tidak sengaja, saat anak
122
memakan makanan atau benda yang menganndung Fe. Walaupun toksisitas Fe jarang
menyebabkan kematian, tetapi dapat menyebabkan gangguan mental secara serius.
Di sisi lain dampak pada kesehatan manusia terkait dengan sumber-sumber
pencemaran lingkungan yang menimbulkan berbagai jenis penyakit. Untuk
menunjang hal tersebut diperlukan data dari Badan Kependudukan dan Catatan Sipil
Kota Cilegon, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel Cilegon, dan Dinas Kesehatan Kota
Cilegon tahun 2007 yang selengkapnya disajikan pada Tabel 23 – 26.
Tabel 23. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Ciwandan tahun 2003 – 2007
Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Ciwandan (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya
2003 36.384 34.558 5.285 2.878 1.485 1.160 2004 37.658 35.765 5.465 3.150 1.658 1.285 2005 38.552 37.155 5.671 3.212 1.890 1.301 2006 38.898 39.110 6.098 3.453 2.032 1.399 2007 39.800 43.456 6.775 3.837 2.258 1.554
Berdasarkan Tabel 23 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,
jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon dari
tahun 2003 – 2007 berkecenderungan naik.
Tabel 24. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Citangkil tahun 2003 – 2007
Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Citangkil (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya
2003 53.040 34.558 9.868 1.844 925 985 2004 54.299 35.765 10.015 1.995 997 1.056 2005 55.589 37.155 10.246 2.021 1.045 1.211 2006 56.472 39.110 11.017 2.173 1.123 1.302 2007 57.782 43.456 12.241 2.414 1.248 1.447
Berdasarkan Tabel 24 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk
dan jumlah limbah baja berkenderungan naik, sedangkan jumlah penyakit dari jenis
penyakit di Kecamatan Citangkil Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2007
berkecenderungan naik dengan jumlah penyakit lebih besar dibandingkan dengan
kecamatan lainnya.
123
Tabel 25. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Grogol tahun 2003 – 2007
Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Grogol (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya
2003 30.810 34.558 918 275 603 51 2004 31.425 35.765 932 285 646 56 2005 32.291 37.155 991 291 673 58 2006 32.862 39.110 1.066 313 724 63 2007 33.624 43.456 1.184 347 804 70
Berdasarkan Tabel 25 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,
jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Grogol Kota Cilegon dari tahun
2003 – 2007 berkecenderungan naik, namun jumlah penyakit dermatis, TBC Paru
TBA, dan artritis lainnya cukup rendah kecuali penyakit ISPA tergolong tinggi.
Tabel 26. Kondisi jumlah penduduk, jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Pulomerak tahun 2003 – 2007
Tahun Penduduk Limbah Jenis Penyakit di Kecamatan Pulomerak (Org) (Org) (ton) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya
2003 38.884 34.558 234 152 169 159 2004 40.831 35.765 327 165 178 172 2005 41.801 37.155 336 175 201 192 2006 42.037 39.110 362 188 216 206 2007 43.012 43.456 402 209 240 229
Berdasarkan Tabel 26 tersebut di atas, terlihat bahwa angka jumlah penduduk,
jumlah limbah baja, dan jenis penyakit di Kecamatan Pulomerak Kota Cilegon dari
tahun 2003 – 2007 berkecenderungan naik, namun tingkat kenaikan jumlah penyakit
seperti halnya di Kecamatan Pulomerak menunjukkan angka yang kecil termasuk
penyakit ISPA, karena di wilayah ini keberadaan jumlah industri tidak banyak.
Berdasarkan Tabel-tabel tersebut di atas, baik jumlah penduduk, jumlah
limbah, dan jenis penyakit di empat kecamatan Kota Cilegon yakni Kecamatan
Ciwandan, Kecamatan Citangkil, Kecamatan Pulomerak, dan Kecamatan Grogol. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya pertumbuhan dan berkembangnya jumlah industri
yang sangat pesat, sehingga sangat berpengaruh terhadap jumlah penduduk, jumlah
limbah, dan berbagai jenis penyakit, dengan asumsi bahwa jenis penyakit di wilayah
pesisir ini berasal dari limbah baja yang mencemari.
Selanjutnya untuk mengetahui hubungan jenis penyakit dengan jumlah
penduduk di tiap-tiap kecamatan wilayah pesisir Kota Cilegon dapat diperlihatkan
besaran persentasinya (%) disajikan pada Tabel 27 – 30.
124
Tabel 27. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Ciwandan
No.
Uraian
Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Ciwandan
2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %
1 ISPA
5.285 14,53
5.465 14,51 5.671 14,71 6.098 15,68 6.775 17,02
2 Dermatitis
2.878 7,91
3.150 8,36 3.212 8,33 3.453 8,88 3.837 9,64
3 TBC Paru BTA
1.485 4,08
1.658 4,40 1.890 4,90 2.032 5,22 2.258 5,67
4 Artritis lainnya
1.160 3,19
1.285 3,41 1.301 3,37 1.399 3,60 1.554 3,90
5
Penduduk
36.384
37.658
38.552
38.898
39.800
Berdasarkan Tabel 27 di atas menunjukaan persentasi orang terkena penyakit
ISPA > 14%. Urutan berikutnya jenis penyakit berikutnya adalah penyakit dermatitis
> 7% tahun 2003 – 2007, hal tersebut terjadi karena di Kecamatan Ciwandan telah
berdiri dan berkembangnya jumlah industri yang sangat pesat berkecenderungan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Tabel 28. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Citangkil
No.
Uraian
Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Citangkil
2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %
1 ISPA
9.868 18,60
10.015 18,44
10.246
18,43
11.017
19,51
12.241 21,18
2 Dermatitis
1.844 3,48
1.995 3,67
2.021
3,63
2.173
3,85
2.414 4,18
3 TBC Paru BTA
925
1,74
997 1,84
1.045
1,88
1.123
1,99
1.248 2,16
4 Artritis lainnya
985
1,86
1.056 1,94
1.211
2,18
1.302
2,31
1.447 2,50
5
Penduduk
53.040
54.299
55.589
56.472
57.782
Berdasarkan Tabel 28 di atas menunjukaan persentasi orang terkena penyakit
yang cukup tinggi, seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Ciwandan. Di
Kecamatan Citangkil jenis penyakit tertinggi adalah penyakit ISPA > 18% dan di
kecamatan ini telah tumbuh dan berkembangnya sejumlah industri, baik industri
menengah maupun industri berat yang berkecenderungan terjadinya pencemaran
lingkungan sehingga jumlah penyakit ISPA tergolong sangat besar dari tahun 2003 -
2007, namun jenis penyakit lainnnya masih tergolong normal.
125
Tabel 29. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Grogol
No.
Uraian
Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Grogol
2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %
1 ISPA
2.468 8,01
2.505 7,94 2.664 8,25 2.865 8,72 3.183 9,47
2 Dermatitis
590 1,91
611 1,94 624 1,93 671 2,04 745 2,22
3 TBC Paru BTA
603 1,96
646 2,05 673 2,08 724 2,20 804 2,39
4 Artritis lainnya
305 0,99
340 1,08 352 1,09 378 1,15 420 1,25
5
Penduduk
30.810
31.542
32.291
32.862
33.624
Berdasarkan Tabel 29 di atas, jenis penyakit ISPA di Kecamatan Grogol
persentasinya tergolong cukup tinggi > 7% dan berkecenderungan naik, sedangkan
jenis penyakit dermatitis, TBC paru TBA, dan artritis masih relatif rendah.
Tabel 30. Persentasi orang terkena penyakit tertentu di Kecamatan Pulomerak
No.
Uraian
Persentasi (%) Orang Terkena Penyakit Tertentu Di Kecamatan Pulomerak
2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 %
1 ISPA
318 0,80
327 0,80 336 0,80 362 0,86 402 0,93
2 Dermatitis
152 0,38
165 0,40 175 0,42 188 0,45 209 0,49
3 TBC Paru BTA
169 0,42
178 0,44 201 0,48 216 0,51 240 0,56
4 Artritis lainnya
159 0,40
172 0,42 192 0,46 206 0,49 229 0,53
5
Penduduk
39.884
40.831
41.801
42.037
43.012
Berdasarkan Tabel 30 di atas, jumlah penyakit di Kecamatan Pulomerak
menunjukaan persentasinya realatif kecil < 1% untuk jenis penyakit ISPA, dermatitis,
TBC dan artritis. Meskipun jumlah penyakit ini berkecenderungan naik, namun
tingkat kenaikan penyakitnya masih relatif kecil dibandingkan dengan jumlah
penyakit yang terdapat di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil.
Selain hal tersebut di atas, untuk mengetahui pengaruh limbah baja terhadap
jenis penyakit di empat kecamatan Kota Cilegon yakni Kecamatan Ciwandan,
Kecamatan Citangkil, Kecamatan Grogol, dan Kecamatan Pulomerak, adalah sebagai
berikut:
1. Jumlah limbah baja dari tahun ke tahun cenderung meningkat, karena limbah
tidak diolah dan menumpuk di area penyimpanan.
126
2. Sementara itu kapasitas produksi meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan
dampak teknologi untuk meminimalisasi limbah belum nampak berubah secara
signifikan.
3. Secara deskriptif terdapat hubungan antara jumlah masyarakat yang tinggal di
sekitar wilayah pesisir dengan jenis penyakit yang ditimbulkannya dan ada
indikasi bahwa tumbuhnya industri-industri yang terdapat di wilayah tersebut
akan berdampak pada semakin meningkatnya orang terkena penyakit seperti
penyakit ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis lainnya.
4. Dari penelitian terlihat bahwa semakin jauh lokasi industri, maka jumlah
masyarakat yang terkena penyakit semakin rendah, hal ini disebabkan semakin
jauh dari lokasi industri maka pencemaran udara semakin rendah sehingga
berdampak semakin rendahnya pencamaran udara.
Untuk mengetahui dampak limbah terhadap jumlah orang yang terkena penyakit
tertentu yang dipengaruhi oleh jarak, waktu musin hujan, bahan-bahan
mencemarinya yang ada diatmosfir sebagai akibat tercemarnya air hujan di wilayah
pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2007 disajikan pada Tabel 31 – 34.
Tabel 31. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec. Ciwandan tahun 2007
Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Ciwandan (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 445 261 141 100 2 485 257 142 109 3 587 305 210 126 4 591 345 217 130 5 603 338 220 135 6 610 346 239 144 7 622 365 239 150 8 641 389 243 156 9 650 395 255 165 10 512 283 152 109 11 476 278 145 120 12 453 275 155 110
Jumlah 6.675 3.837 2.358 1.554
Wilayah pesisir di Kecamatan Ciwandan merupakan titik lokasi industri baja
dan industri lainnya. Pada tahun 2007 wilayah ini berpenduduk 39.800 jiwa, karena
jaraknya antara tempat tinggal penduduk dengan lokasi berdekatan, maka sangat
memungkinkan sebagai sumber limbah dapat mencemari lingkungan sekitar yang
mengakibatkan masyarakat mudah terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis,
TBC, dan artritis yang sangat tinggi seperti terlihat pada Tabel 31 di atas.
127
Tabel 32. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec. Citangkil tahun 2007
Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Citangkil (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 965 107 85 100 2 968 113 87 109 3 1.023 187 105 115 4 1.011 209 116 119 5 1.013 235 122 121 6 1.065 245 125 124 7 1.085 265 124 130 8 1.103 272 130 150 9 1.109 270 96 162 10 986 185 88 109 11 968 111 86 106 12 945 215 84 102
Jumlah 12.241 2.414 1.248 1.447
Seperti halnya di Kecamatan Ciwandan, juga terjadi di wilayah pesisir
Kecamatan Citangkil. Wilayah ini merupakan titik lokasi industri baja dan industri
lainnya. Pada tahun 2007 wilayah ini berpenduduk 57.782 jiwa dan jaraknya antara
tempat tinggal penduduk dengan lokasi sangat berdekatan, maka memungkinkan
sekali penduduk tercemari lingkungannya oleh limbah yang mengakibatkan
masyarakat mudah terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis
yang sangat tinggi seperti terlihat pada Tabel 32 di atas.
Tabel 33. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec.Grogol tahun 2007
Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Grogol (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 76 25 55 3 2 78 25 60 4 3 107 32 67 5 4 114 25 70 55 112 33 71 6 6 113 36 76 8 7 112 34 78 8 8 115 35 75 9 9 113 36 76 9 10 87 23 58 5 11 78 23 59 4 12 79 20 59 4
Jumlah 1184 347 804 70
Wilayah pesisir di Kecamatan Grogol berpenduduk 33.624 jiwa pada tahun
2007, relatif cukup rendah penduduk terkena penyakit akibat pencemaran lingkungan
oleh pabrik-pabrik yang ada di Kota Cilegon. Wilayah ini tidak banyak industri yang
128
tumbuh dan berkembang di Kecamatan ini dan jarak antara penduduk dengan lokasi
industri baja dan industri lainnya cukup jauh sehinga masyarakat tidak banyak
terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis, seperti terlihat
pada Tabel 33 di atas.
Tabel 34. Jumlah masyarakat yang terkena penyakit di Kec.Pulomerak tahun 2007
Bulan Jumlah Masyarakat Terkena Penyakit di Kec. Pulomerak (org) ISPA Dermatitis TBC Paru TBA Artritis Lainnya 1 26 13 15 16 2 26 14 15 16 3 34 16 19 20 4 35 18 21 21 5 37 20 22 22 6 37 21 25 22 7 35 22 26 24 8 36 20 26 22 9 39 18 25 20 10 33 18 15 15 11 32 14 15 15 12 32 15 16 16
Jumlah 402 209 240 229
Wilayah pesisir di Kecamatan Pulomerak berpenduduk 43.012 jiwa pada
tahun 2007, lokasinya cukup aman dan relatif cukup rendah dari pencemaran
lingkungan sehingga penduduk yang terkena penyakit akibat pencemaran lingkungan
oleh pabrik-pabrik yang ada di Kecamatan Ciwandan dan Citangkil di Kota Cilegon.
Wilayah ini jaraknya cukup jauh dari lokasi sumber pabrik baja dan hanya beberapa
industri yang berdiri di wilayah ini, sehingga di waktu musim hujan limbah baja yang
memcemari udara tidak sampai pada lokasi yang diinginkan. Jumlah penduduk yang
terkena penyakit tertentu yakni ISPA, dermatitis, TBC, dan artritis, masih relatif
rendah seperti terlihat pada Tabel 34 di atas.
Berdasarkan tabel 31 - 34 di atas disimpulkan, bahwa 1) semakin jauh dari
sumber limbah, maka semakin berkurang prosentasi masyarakat yang terkena
penyakitnya, 2) dari data tahun 2007, pada musim hujan masyarakat yang terkena
penyakit relatif berkurang.
B. Degradasi Pesisir
Lingkungan pesisir dan kelautan di Indonesia panjang seluruh garis pesisir di
Indonesia mencapai 81.000 kilometer, hal ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia.
Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem
kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung
129
kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang
paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia.
Keadaaan mikroorganisme ini sangat memungkinkan degradasi senyawa
organik dalam sampel sehingga senyawa karbon rantai panjang putus dan menjadi
senyawa karbon lebih pendek. Degradasi mikroorganisme pada umumnya
diminimalisasi dengan pengendalian pH dan suhu atau penambahan bahan kimia.
Kondisi pH yang sangat rendah atau sangat tinggi dan suhu rendah merupakan cara
efektif untuk meminimalisasi degradasi, hal ini juga dapat terjadi pada degradasi
pesisir. Sedangkan dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk pengelolaan
limbah adalah permasalahan yang sangat serius dan berkesinambungan tentang
manajemen dan kebijaksanaan, karena degradasi pengelolaan sumberdaya alam lebih
banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan menerapkan kaidah-
kaidah syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-kaidah tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak
diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya
alam, sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak
tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan sumberdaya
alam sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan sumberdaya alam.
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 18 mengenai data kualitas air laut
di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang meliputi kecamatan,
yaitu: Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak, memperlihatkan parameter fisik
pada kadar logam berat dalam air laut: tidak berbau, kecerahan > 3,0 m, zat padat
tersuspensi < 80 mg/l, lapisan minyak negatif, sampah bernilai negatif. Begitu juga,
Parameter kimia memperlihatkan kadar logam berat dalam sedimen (Hg, Cd, Cu, Pb,
dan Zn) pada kadar logam berat dalam air laut masih tergolong rendah, sehingga
degradasi pesisir masih menunjukkan titik atau angka aman.
Hasil analisa logam berat dalam air laut menunjukkan air raksa (Hg),
kadmium (Cd), dan tembaga (Cu) berkisar (rata-rata < 0,0005 mg/l), tembaga (Pb)
rata-rata: < 0,0005 mg/l. Sedangkan untuk Seng (Zn ) rata-rata: 0,005 mg/l.
Rendahnya kadar logam Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn kemungkinan karena logam tersebut
mengalami proses pengenceran oleh pola arus pasang surut.
Pengelolaan limbah baja adalah perkara yang sangat serius dan
berkesinambungan tentang manajemen dan kebijaksanaan. Degradasi pengelolaan
limbah lebih banyak disebabkan oleh kelalaian manusia dalam mengikuti dan
130
menerapkan kaidah-kaidah syariat, serta keberanian manusia dalam melawan kaidah-
kaidah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai persoalan krusial sebagai implikasi yang timbul dari tidak
diterapkannya aturan yang benar yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja
sangat kita rasakan akibatnya hingga kini. Permasalahan berpangkal dari tidak
tegaknya aturan main regulasi penerapan dan mekanisme pengelolaan limbah baja
sebagai syarat utama bekerjanya sistem aturan pengelolaan limbah baja.
Dengan melihat keterkaitan pada semua level yang dikaitkan dengan konteks
kekinian, gagasan ini perlu dikembangkan dalam merumuskan pembangunan
kelautan nasional. Hal ini dikarenakan mencuatnya beberapa isu yang bersifat multi
dimensi, multi struktural, dan memiliki keterkaitan antar lembaga pemerintahan
(antar departemen maupun lembaga non-departemen), sehingga memudahkan dalam
proses penyelesaian. Mencermati perkembangan permasalahan yang terjadi hingga
sekarang, sudah selayaknya gagasan ocean policy yang komprehensif tersebut mampu
mengatasi kompleksnya permasalahan, diantaranya yaitu penambangan pasir laut,
illegal fishing, kerusakan pulau-pulau kecil, pengembangan pariwisata bahari,
pengembangan budidaya ikan, penanganan pelabuhan umum dan perikanan serta
lemahnya armada laut nasional, ancaman perdagangan perikanan, lemahnya
sumberdaya manusia, degradasi lingkungan pesisir dan laut, serta pertahanan dan
keamanan laut.
7.4.7 Analisis terhadap Komponen-komponen Pengelolaan Limbah
Untuk memperoleh hasil analisis pengelohan air limbah yang baik, diperlukan
sampling yang tepat. Sample yang diambil harus mewakili seluruh air limbah baja.
Untuk menganalisis pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan melihat
komponen proses dan teknologi, komponen penduduk dan lingkungan, serta
komponen ekonomi.
A. Komponen Proses dan Teknologi
Untuk analasis instalasi pengolahan air limbah pada komponen proses dan
teknologi yang menghasilkan limbah industri baja akan tergantung pada kompleksitas
instalasi. Masalah-masalah yang mengkin muncul dapat diakibatkan oleh kelemahan
desain, penurunan kualitas kerja konstruksi, kesalahan peralatan, dan kesalahan yang
dibuat oleh buruh operasi. Kesalahan yang berhubungan dengan desain biasanya
merupakan masalah yang serius karena dapat menimbulkan gangguan aktivitas secara
131
keseluruhan untuk jangka waktu tidak pasti. Misalnya, desain proses dan teknologi
yang tidak tepat atau kesalahan dalam perhitungan kapasitas dan dimensi.
Komponen proses dan teknologi dalam penanganan instalasi pengolahan air
limbah industri berpengaruh terhadap jumlah limbah, jenis industri, daya dukung
lingkungan, bahkan terhadap jumlah industri. Untuk memperbaiki komponen proses
dan teknologi tersebut diperlukan investasi yang tidak sedikit.
B. Komponen Penduduk dan Lingkungan
Permasalahan lingkungan hidup pada dasarnya mencakup interaksi antara
manusia/penduduk dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan
sosial. Hubungan dan keadaan saling tergantung ini haruslah didasari dengan adanya
keselarasan dan keseimbangan. Kesesuaian tersebut dapat terjadi apabila manusia
dapat memilih berbagai alternatif yang disajikan lingkungannya.
Untuk menyelaraskan dan menyeimbangkan pengelolaan limbah yang
mempengaruhi faktor penduduk dan lingkungannya diperlukan langkah-langkah: 1)
pengurangan limbah; 2) melestarikan tatanan lingkungan; 3) mengindahkan daya
dukung lingkungan; 4) menaikkan mutu lingkungan; 5) menggairahkan peran serta
masyarakat pada peduli lingkungan melalui program kesehatan masyarakat, dan
sebagainya.
C. Komponen Ekonomi
Pembangunan yang pesat dibidang ekonomi disatu sisi akan meningkatkan
kualitas hidup manusia, yaitu dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, tetapi di
sisi lain akan berakibat pada penurunan kesehatan akibat adanya pencemaran yang
berasal dari limbah industri dan rumahtangga. Hal ini karena kurangnya atau tidak
memadainya fasilitas atau peralatan untuk menangani dan mengelola limbah tersebut.
Di dalam pengelolaan limbah tidak lepas dari beban pembiayaan, karena
pengelolaan dan peningkatan kualitas lingkungan bukan pilihan yang cuma-cuma,
akan tetapi membutuhkan dana dan memanfaatkan sumber-sumber yang riil.
Pengeluaran yang aktual sebagai pengelolaan limbah atau pengurangan kerusakan
lingkungan diperlukan perhitungan ekonomi dari manfaat lingkungan yang dapat
dilestarikan. Untuk dapat membantu setiap analisis sampai kesesuaian sosial dari
pengelolaan limbah, yaitu pilihan dengan manfaat bersih (manfaat lebih besar dari
biaya) merupakan hal yang diutamakan berdasarkan konsiderasi yang berkaitan
dengan minat generasi masa depan. Pemikiran tersebut dapat diformulasikan, dengan
132
perhitungan untuk membandingkan biaya dan manfaat dua atau lebih pilihan dalam
pengelolaannya menggunakan analisa biaya manfaat (cost-benefit analysis).
7.4.8 Penentuan-penentuan Pengelolaan Limbah
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada
wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yaitu dengan cara melakukan
pengelolaan limbah industri baja. Penentuan pengelolaan limbah baja ini meliputi:
penentuan pemilihan parameter, penentuan parameter kunci, dan pengembangan
model berdasarkan skenario pengelolaan
7.4.8.1 Penentuan Pemilihan Prioritas
Untuk penentukan pemilihan prioritas pada model pengelolaan limbah industri
baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan
Industri Krakatau Cilegon ini didasarkan oleh pengumpulan pendapat pakar terutama
para pakar pengamat, pemerhati dan pelaksana lingkungan. Pelaksanaan penjaringan
pendapat para pakar tentang perbandingan tingakat kepentingan yang mempunyai
peranan masing-masing derajat kepentingan dalam pengelolaan limbah industri baja
menggunakan model AHP-criterium decision plus (Cdplus3.0). Pada analisis ini,
struktur pengelolaan limbah industri baja dikelompokkan menurut fokus, tujuan,
kriteria, aktor, dan alternatif.
a. Analisis tingkat kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan
Berdasarkan struktur tersebut, fokus yang ingin dicapai adalah strategi dan
kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan
kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon (KIKC). Tujuan
yang ingin dicapai adalah pemanfaatan kembali limbah, minimalisasi limbah,
pencegahan pencemaran terhadap wilayah pesisir, pencegahan pencemaran terhadap
kesehatan masyarakat, upaya mempertahankan wilayah pesisir, dan kebijakan
pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelajutan. Kriteria yang menjadi
sasaran keberhasilan dalam pengelolaan limbah ini adalah melakukan pencegahan
timbulnya limbah, mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, efisiensi
material dan energi, mendukung prinsip “environmental equity”, mencegah degradasi
lingkungan, memelihara ekosistem lingkungan, dan memperkuat daya dukung
lingkungan. Aktor yang berkepentingan terdiri: pemerintah daerah, industri penghasil
baja, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel, masyarakat sekitar, lembaga swadaya
masyarakat, dan para peneliti/pakar dari berbagai perguruan tinggi maupun instansi
133
terkait lainnya. Selanjutnya untuk mencapai sasaran yang diinginkan dalam
pengelolaan limbah industri baja ini diperlukan kebijakan atau alternatif-alternatif
program yang diperlukan sesuai dengan fokus yang ditetapkan. Dalam strategi dan
kebijakan pengelolaan limbah industri baja ini alternatif program yang dilaksanakan
adalah perubahan bahan baku, perubahan proses dan teknologi, perubahan produk,
perubahan 5 R lingkungan, mengurangi limbah, memakai kembali limbah, mendaur
ulang limbah, dan mengganti limbah.
Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat pakar lingkungan dapat dilakukan
dengan menggunakan model AHP Cdplus3.0 diperoleh hasil perhitungan tingkat
kepentingan variabel fokus terhadap variabel tujuan disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Hasil analisis bobot fokus terhadap tingkat kepentingan tujuan pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
No. Variabel Nilai
1 2 3 4 5 6
Pemanfaatan limbah kembali Minimalisasi limbah Pencegahan pencemaran pesisir Pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat Upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berlanjutan
0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056
Consisitency ratio 0,099
Berdasarkan Tabel 35 di atas, terlihat bahwa bobot fokus terhadap tingkat
kepentingan tujuan yang memiliki rangking tertinggi adalah pemanfaatan kembali
limbah baja dengan nilai bobot 0,325 pada strategi pengelolaan limbah baja di
wilayah pesisir KIKC.
b. Analisis tingkat kepentingan variabel tujuan terhadap variabel kriteria
Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan
diperoleh bobot masing-masing variabel kriteria sesuai dengan acuan yang menjadi
variabel tujuan pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya
disajikan pada Tabel 36.
134
Tabel 36. Hasil perhitungan bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
Tujuan
Kriteria
Pemanfaatan limbah kembali
Minimalisasi limbah
Pencegahan pencemaran
pesisir
Upaya menpertahankan
kelesterian wilayah pesisir
Kebijakan Pengel. Limb berwws lingk
dan berkelanjutan
Pencegahan pencemaran
terhadap kesehatan
masyarakat Timbulnya limbah 0.402 0.092 0.239 0.219 0.170 0.297 Pencemaran & kerusakan lingkungan
0.153 0.067 0.104 0.119 0.149 0.216
Efisiensi material & energi
0.050 0.151 0.233 0.085 0.051 0.161
“Environmental equity” 0.118 0.153 0.088 0.088 0.277 0.101 Degradasi lingkungan 0.062 0.147 0.121 0.140 0.050 0.090 Ekosistem lingkungan 0.117 0.162 0.152 0.254 0.199 0.055 Daya dukung lingkungan
0.098 0.229 0.062 0.096 0.104 0.079
Consistency 0,100 0,092 0,097 0,095 0,096 0,099
Berdasarkan Tabel 36 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut
memiliki konsistensi positif, antara variabel tujuan terhadap variabel kriteria pada
pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil
pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel
tujuan dengan variabel kriteria. Pada tahapan ini, dapat dilakukan perhitungan bobot
untuk setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel tujuan terhadap
variabel kriteria. Hasil perhitungan dengan menggunakan model AHP Cdplus3.0,
maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu dari variabel tujuan
terhadap masing-masing variabel kriteria.
Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan model AHP
Cdplus3.0 berupa hasil perhitungan tingkat kepentingan variabel tujuan yaitu
pemanfaatan kembali limbah, menimalisasi limbah, pencegahan pencemaran terhadap
wilayah pesisir, pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat, upaya
mempertahankan wilayah pesisir, dan kebijakan pengelolaan limbah berwawasan
lingkungan dan berkelajutan terhadap variabel kriteria dalam pengelolaan limbah
industri baja ini disajikan pada Tabel 37.
Tabel 37. Hasil analisis bobot tujuan terhadap tingkat kepentingan kriteria pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
No. Variabel Bobot Nilai
1 2 3 4 5 6 7
Timbulnya limbah Ekosistem lingkungan “Environmental equity” Pencemaran dan kerusakan Efisiensi material dan energi Daya dukung lingkungan Degradasi lingkungan
0,237 0,157 0,137 0,135 0,122 0,111 0,102
135
Berdasarkan Tabel 37 di atas, terlihat bahwa bobot tujuan terhadap tingkat
kepentingan kriteria yang memiliki rangking tertinggi adalah timbulnya limbah baja
dengan nilai bobot sebesar 0,237 dengan consistency ratio sebesar 0,100 pada strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.
c. Analisis tingkat kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor
Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan
diperoleh bobot masing-masing variabel aktor sesuai dengan acuan yang menjadi
variabel kriteria pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya
disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil perhitungan bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
Kriteria
Aktor
Timbulnya limbah
Pencemaran & Kerusakan Lingkungan
Effisiensi Material
dan Energi
Environmental Equity
Degradasi Lingkungan
Ekosistem Lingkungan
Daya Dukung
Lingkungan
Pemerintah Daerah
0.301 0.403 0.335 0.313 0.293 0.353 0.076
Industri Penghasil Baja
0.168 0.219 0.248 0.162 0.238 0.187 0.244
Divisi K3LH PT. KS
0.222 0.157 0.155 0.203 0.178 0.192 0.155
Masyarakat sekitar
0.118 0.074 0.099 0.119 0.124 0.092 0.121
Lembaga Swadaya Masyrakat
0.107 0.074 0.094 0.129 0.105 0.100 0.091
Peneliti/ Pakar
0.083 0.074 0.068 0.075 0.063 0.076 0.078
Consistency 0,095 0,086 0,078 0,090 0,099 0,081 0,094
Berdasarkan Tabel 38 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut
memiliki konsistensi positif, antara variabel kriteria terhadap variabel aktor pada
pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil
pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel
kriteria dengan variabel aktor. Pada tahapan ini, juga dapat dilakukan perhitungan
bobot untuk setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel kriteria
terhadap variabel aktor. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model
AHP Cdplus3.0, maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu
dari variabel kriteria terhadap masing-masing variabel aktor.
Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan model AHP
Cdplus3.0 berupa hasil perhitungan bobot kepentingan variabel kriteria yaitu:
timbulnya limbah, pencemaran dan kerusakan lingkungan, efisiensi material dan
energi, “environmental equity”, degradasi lingkungan, ekosistem lingkungan, dan
136
daya dukung lingkungan terhadap variabel aktor dalam pengelolaan limbah industri
baja ini disajikan pada tabel 39.
Tabel 39. Hasil analisis bobot kriteria terhadap tingkat kepentingan aktor pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
No. Variabel Bobot Nilai
1 Sar 3 4 5 6
Pemerintah Daerah Industri penghasil baja Divisi K3LH PT. KS Masyarakat sekitar Lembaga Swadaya Masyarakat Peneliti/Pakar
0,330 0,209 0,189 0,107 0,100 0,074
Berdasarkan Tabel 39 di atas, terlihat bahwa bobot kriteria terhadap tingkat
kepentingan aktor yang memiliki rangking tertinggi adalah pemerintah daerah dengan
nilai bobot sebesar 0,330 dan consistency ratio sebesar 0,099 pada strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.
d. Analisis tingkat kepentingan variabel aktor terhadap variabel alternatif
Penjaringan pendapat pakar tentang perbandingan tingkat kepentingan
diperoleh bobot masing-masing variabel alternatif sesuai dengan acuan yang menjadi
variabel aktor pengelolaan limbah industri baja ini. Hasil pengolahan selengkapnya
disajikan pada Tabel 40.
Tabel 40. Hasil perhitungan bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
Aktor Alternatif
Lembaga Swadaya
Masyarakat
Masyarakat Sekitar
Divisi K3LH PT. KS
Industri Penghasil
Baja
Peneliti/ Pakar
Pemerintah Daerah
Perubahan Bahan Baku 0.295 0.283 0.297 0.252 0.223 0.306
Perubahan proses dan Teknologi
0.142 0.187 0.127 0.114 0.159 0.139
Perubahan Prosuk 0.160 0.130 0.169 0.203 0.195 0.161
Penerapan 5 R Lingkungan
0.111 0.115 0.125 0.091 0.141 0.100
Mengurangi Limbah 0.074 0.098 0.117 0.095 0.052 0.078
Memakai Kembali Limbah 0.068 0.053 0.059 0.091 0.058 0.062
Mendaur Ulang Limbah 0.077 0.067 0.060 0.096 0.078 0.069
Mengganti Limbah 0.073 0.067 0.045 0.058 0.093 0.086
Consistency 0,094 0,099 0,093 0,093 0,090 0,080
Berdasarkan Tabel 40 di atas, menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut
memiliki konsistensi positif, antara variabel aktor terhadap variabel alternatif pada
pengelolaan limbah industri baja ini. Juga dilakukan pengolahan data hasil
pengumpulan pendapat pakar tentang perbandingan berpasangan antara variabel aktor
137
dengan variabel alternatif. Pada tahapan ini, juga dilakukan perhitungan bobot untuk
setiap faktor yang mengacu pada masing-masing variabel aktor terhadap variabel
alternatif. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model AHP
Cdplus3.0, maka dapat diketahui bobot masing-masing faktor yang mengacu dari
variabel aktor terhadap masing-masing variabel alternatif.
Berdasarkan hasil pengolahan pendapat pakar yang menggunakan berupa hasil
perhitungan bobot kepentingan variabel aktor yaitu: Pemerintah Daerah, Industri
penghasil baja, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel, Masyarakat sekitar, Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan para peneliti/pakar terhadap variabel alternatif dalam
pengelolaan limbah industri baja ini disajikan pada Tabel 41.
Tabel 41. Hasil analisis bobot aktor terhadap tingkat kepentingan alternatif pada strategi pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC
No. Variabel Bobot Nilai
1 2 3 4 5 6 7 8
Perubahan bahan baku Perubahan produk Perubahan proses dan teknologi Penerapan 5 R lingkungan Mengurangi limbah Mendaur ulang limbah Mengganti limbah Memakai kembali limbah
0,276 0,170 0,145 0,114 0,086 0,075 0,070 0,065
Berdasarkan Tabel 41 di atas, terlihat bahwa bobot aktor terhadap tingkat
kepentingan alternatif yang memiliki rangking tertinggi adalah perubahan bahan baku
dengan nilai bobot sebesar 0,276 dan consistency ratio sebesar 0,099 pada strategi
pengelolaan limbah baja di wilayah pesisir KIKC.
Berdasarkan hasil terhadap variabel-variabel terhadap tingkat kepentingan,
maka disusun suatu strategi kebijakan pengelolaan limbah yang ditunjukkan pada
struktur hierarki disajikan pada Gambar 21.
138
139
7.4.8.2 Penentuan Parameter Kunci
Untuk mengidentifikasi struktur sistem pada penentuan parameter kunci
kebijakan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan
kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon menggunakan
metodologi interpretative structural modelling (model ISM). Hasil pengolahan data
kuesioner beberapa pendapat pakar lingkungan yang mendominasi jawaban
pertanyaan/pernyataan seperti pada Tabel 42.
Tabel 42. Hasil pendapat pakar lingkungan tentang pengelolaan limbah baja
No. Pertanyaan/Pernyataan Pendapat Pakar 1 Dalam pengelolaan limbah baja,
menurut saudara mana urutan aktor yang paling berperan?
Pabrik baja
2 Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu urutan aspek pemilihan penyimpanan limbah baja yang bagaimana yang akan dipilih?
Area penyimpanan limbah yang jelas status kawasannya
3 Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu bagaimana urutan bentuk Area penyimpanan limbah yang akan dipilih?
Pembangunan Area penyimpanan limbah dari yang jauh pemukiman penduduk
4 Pengelolaan limbah baja yang selama ini dilaksanakan oleh pabrik baja ini ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana urutan permasalahan yang telah berhasil diatasi dengan dimulai sistem pengelolaan limbah baja?
Pergeseran lokasi/Area penyimpanan limbah
5 Model pengelolaan limbah baja akan berdampak pada permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana dampak yang paling besar terjadi dengan dibangunnya model pengelolaan limbah baja?
Pergeseran lokasi pembangunan
6 Model pengelolaan limbah baja dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor yang paling penting dengan dibangunnya model pengelolaan limbah baja?
Pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi lingkungan
7 Model pengelolaan limbah baja diikuti dengan pembangunan
Jaringan pembuangan air limbah/waste water
140
prasarana, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor prasarana dasar penyimpanan limbah yang paling penting?
8 Penggunaan teknologi pengolahan limbah ditinjau dari beberapa aspek, menurut bapak/ibu bagaimana urutan teknologi pengolahan limbah yang baik dan dapat meminimalkan jumlah pencemaran lingkungan yang akan bapak/ibu pilih?
Kecepatan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah baja
9 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menumpuk di sekitar penampungan?
Pernah, karena kebutuhan biaya untuk membuat prasarana pengolahan limbah yang aman, dan sebagainya.
10 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menyumbat di saluran drainase sekitar perusahaan pada waktu musim hujan?
Tidak pernah, karena penerapan 3R sudah jalan (Reuse, Recyling, Recovery)
11 Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja di lingkungan saudara pada saat anda melintasi kawasan industri tersebut?
Ya pernah disekitar tahun 70 – 80-an
12 Pernahkah pemerintah melibatkan bapak/ibu dalam pengelolaan lingkungan dari limbah baja?
Pernah, Studi pemanfaatan limbah baja
13 Apakah di lingkungan bapak/ibu pernah ada sosialisasi kebijakan pengelolaan limbah baja ?
Pemerintah melalui KLH yang mendatang ahli-ahli yang berpengalaman
14 Adakah fasilitas pengelolaan limbah baja di daerah sekitar tempat tinggal bapak/ibu?
Kerjasama yang saling menguntungkan untuk pelaksanaan pemanfaatan kembali limbah
15 Apakah bapak/ibu setuju dengan model pengelolaan limbah baja yang ada sekarang?
Setuju, karena sifatnya adalah pemanfaatan limbah
16 Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja?
- Ditinjau dari lokasi sudah sesuai - Ditinjau dari sistem perlu Peningkatan
17 Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah baja
Ada, PP 95 tahun 1994, dan lain-lain
18 Apakah di lingkungan bapak/ibu sudah mempunyai strategi pengelolaan limbah baja (diPerdakan)?
Perda layak uji belum ada, dan hanya terbatas pada NAB
19 Apakah bapak/ibu dilibatkan dalam menyusun strategi pengelolaan limbah baja?
Tidak
20 Menurut bapak/ibu apakah di lingkungannya sudah terjadi pencemaran saat ini?
Sejauh ini belum terasa adanya pencemaran lingkungan
141
Berdasarkan hasil dari 20 butir pertanyaan/pernyataan dan pendapat para pakar
tersebut di atas, maka diambil 10 jawaban pendapat para pakar sebagai parameter
kunci pada model pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan
kelestaraian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, yang selanjutnya
diolah dengan bantuan program ISM VAXO, dengan tahapan sebagai berikut:
1. Menentukan sub elemen pendapat pakar
Sub elemen pendapat pakar dari hasil jawaban pendapat para pakar lingkungan
dari berbagai instansi terkait seperti pakar lingkungan yang berasal dari perguruan
tinggi, instansi pemerintah maupun instansi terkait lainnya yang berpendidikan
S2/S3 seperti: IPB, ITB, dan UNTIRTA, Puspiptek Serpong, Dinas Lingkungan
Hidup, Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Provinsi Banten seperti:
Bapedalda, Dinas perikanan dan Kelautan, Divisi K3LH PT. Krakatau Steel dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, dengan jumlah 15
orang responden sebagai pakar lingkungan yang telah memberikan kontribusi
jawaban atas 20 butir pertanyaan/pernyataan, kemudian diambil menjadi 10 butir
jawaban yang memenuhi keseragaman jawaban untuk diprioritaskan sebagai
parameter kunci dalam menentukan sub elemen pendapat pakar, seperti yang
disajikan pada Tabel 43.
Tabel 43. Sub elemen faktor kunci dalam pengelolaan limbah
No. Sub Elemen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pabrik baja Area penyimpanan limbah Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan Jaringan pembuatan waste water Kecepatan waktu pengolahan limbah Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery) Studi pemanfaatan limbah Mendatangkan pakar
2. Menentukan kontekstual antar elemen
Setelah menentukan sub elemen pendapat pakar, selanjutnya peneliti melakukan
identifikasi para pakar lingkungan terutama bekerja maupun yang berdomisili di
sekitar lokasi pabrik yang berkecenderungan menghasilkan limbah untuk
memberikan jawaban/pendapat kontekstual antar elemen dengan jumlah
responden 5 orang pakar, hasilnya seperti yang tersedia pada Lampiran 10.
142
3. Menentukan hasil pengolahan ISM VAXO
Hasil pengolahan ISM VAXO diperoleh berdasarkan hasil pengolahan
kontekstual antara elemen dengan melibatkan 5 orang responden dari para pakar
lingkungan dengan meggunakan bantuan program ISM VAXO. Hasil pengolahan
program ISM VAXO tersedia pada lampiran 10.
4. Membuat grafik hasil pengolahan
Grafik hasil pengolahan ini dibuat dengan bantun program ISM VAXO (matriks
driver power - dependence) atau diagram kartesius dengan sumbu Y adalah driver
power dan sumbu X adalah dependence. Grafik ini dapat melihat posisi elemen
faktor parameter kunci model pengelolaan limbah baja disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22. Matriks driver power-dependence untuk sub elemen faktor kunci
Berdasarkan grafik matriks driver power-dependence di atas menunjukkan sub
elemen faktor kunci pendapat pakar lingkungan memposisikan yakni Sektor II
(dependence) namun memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang kecil posisi
sub elemen pendapat pakar menyatakan kecepatan waktu pengolahan limbah (6);
Sektor III (independent dan driver power yang kecil) posisi sub elemen pendapat
pakar menyatakan area penyimpanan limbah (2), jaringan pembuatan waste water (5),
membangun prasarana pengolahan limbah yang aman (7), penerapan 3 R (reuse,
recyling, recovery) (8), Studi pemanfaatan limbah (9), dan mendatangkan pakar (9);
Sektor IV (independent.) posisi sub elemen pendapat pakar menyatakan pabrik baja
(1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman (3), dan pengolahan yang
dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas, hal ini berarti kekuatan
Dependence(Ketergantungan)
Drive
r Pow
er (D
aya D
oron
g)
143
penggerak (driver power) yang besar namun memiliki sedikit ketergantungan
terhadap program. Berdasarkan hasil keluaran program tersebut di atas, maka dapat
disajikan pada Gambar 23.
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Keterangan:
artinya mempengaruhi
Gambar 23. Diagram model struktural dari elemen faktor kunci pengelolaan limbah
Dari Gambar 23 di atas, tertera bahwa untuk melakukan kecepatan waktu
pengolahan limbah (6) adalah pengubah pengait dari sistem, karena diharapkan setiap
tindakan tersebut akan menghasilkan sukses program pengelolaan limbah industri
baja di wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon. Berdasarkan diagram
model struktural di atas, maka yang menjadi elemen kunci (key element) adalah
submodel dengan peringkat satu pada model pengelolaan limbah industi baja ini
adalah subelemen pabrik baja (1).
7.4.8.3 Pengembangan Model Dinamis pada Pengelolaan Limbah
Pengembangan model sebagai skenario dalam pengelolaan limbah industri
baja melalui pendekatan sistem yang tahapannya meliputi: (a) analisis kebutuhan
stakeholders, (b) formulasi masalah, (c) identifikasi sistem, (d) pembuatan model, dan
(e) pengujian model.
6. Kecepatan waktu pengolahan limbah
2. Area penyim-panan limbah
5. Jaringan pembuatan waste water
7. Membangun prasarana
pengolahan limbah yang
aman
8. Pene-rapan
5R
9. Studi peman-faatan limbah
10. Men datang-
kan pakar
3. Membangun area limbah yang jauh dari pemukiman
4. Pengolahan yang dapat dipertanggung-
jawabkan
1. Pabrik baja
144
A. Analisis Kebutuhan Stakeholders
Analisis kebutuhan dapat diidentifikasi melalui stakeholders yang terlibat
dalam pengelolaan limbah industri baja dalam upaya mempertahankan kelestaraian
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon adalah pemerintah yang mewakili
kepentingan publik melalui Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Banten serta Dinas Lingkungan Hidup,
Pertambangan dan Energi Kota Cilegon, Perusahaan/industri perhasil baja, Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan, Masyarakat di sekitar yang
menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya perikanan, Perguruan
Tinggi, serta Divisi Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup (K3LH) PT.
Krakatau Steel. Analisis kebutuhan stakeholders digunakan untuk menentukan pelaku
sistem dengan kebutuhan pelaku sistem dengan komponen-komponen yang terlibat
serta kebutuhan masing-masing komponen yang dilaksanakan dalam pengelolaan
limbah industri baja adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah Provinsi Banten dan Kota Cilegon serta dinas instansi teknis lainnya
membutuhkan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya untuk menjaga
kelestarian lingkungan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan
masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah, dan peningkatan dinamika
ekonomi daerah.
2) Perusahaan/Industri penghasil baja membutuhkan keberlanjutan usaha,
terjaminnya sumber bahan baku baja yang kontinu, dan harga produk yang
memiliki daya saing tinggi untuk dapat dijual.
3) Lembaga swadaya masyarakat (LSM) membutuhkan dan mengharapkan
terjaminnya hak-hak masyarakat sekitar pabrik baja, terjaganya kelestarian
wilayah pesisir sekitar dan penyediaan tenaga kerja daerah sekitar.
4) Masyarakat sekitar membutuhkan tersedianya sumber daya alam sebagai sumber
pendapatan dan mata pencaharian masyarakat sekitar.
5) Peneliti/pakar dari perguruan tinggi membutuhkan pengelolaan limbah industri
ini sebagai bahan kajian akademik/ilmiah.
6) Divisi K3LH PT. Krakatau Steel membutuhkan dan mempersiapkan pengelolaan
kawasan industri baja secara komprehensif dan holisik serta berkelanjutan.
B. Formulasi Masalah
Formulasi masalah dilakukan atas dasar penentuan informasi yang telah
dilaksanakan melalui identifikasi sistem secara bertahap. Pada pelaksanaannya,
145
seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholders, meskipun
demikian konflik kepentingan dalam pengelolaan limbah industri baja perlu
diidentifikasi antara keinginan yang diperoleh dari hasil perhitungan bobot
kepentingan variabel kriteria terhadap variabel aktor pada Tabel 38 dengan konflik
kepentingannya seperti yang disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44. Formulasi masalah keinginan dan konflik kepentingan pengelolaan limbah
No. Aktor/Pelaku Keinginan Konflik Kepentingan
1 Pemerintah Mencegah limbah dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik di sekitar pabrik maupun di wilayah pesisir
Produsen: Masih banyak limbah baja yang tersimpan di area penampungan limbah, namun belum dikelola dengan baik Petani: Petani menilai wilayah pesisir belum terbebas dari limbah industri yang mengalir, karena masih ada industri yang belum memanfaatkan limbah menjadi material yang mempunyai nilai tambah
2 Industri Efisiensi pemakaian material dan energi
Produsen: Just in time sudah dilakukan pada pemakaian bahan baku baja dan energinya, namun masih ada sarana yang kurang mendukung.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat
Mendukung prinsip “environmental equity”
Produsen: Masih lemahnya tanggung jawab dan kepedulian para stakeholder untuk menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat/Petani: Masyarakat menilai prinsip “environmental equity” masih membutuhkan waktu, sehingga belum terpikir kearah tersebut.
4. Masyarakat Sekitar
Memperkuat daya dukung lingkungan
Pemerintah Daerah: Peraturan yang memperkuat daya dukung lingkungan masih mempunyai faktor kepentingan, sehingga potensi wilayah pesisir belum memiliki tata ruang. Petani: Petani perikanan belum
146
merasakan daya dukung lingkungan, sehingga hasil laut dirasakan masih minim dan masih sulitnya masyarakat pesisir mencari pekerjaan yang layak.
5. Pakar/Peneliti Perlunya pencegahan timbulnya limbah
Produsen/Pengusaha: Upaya untuk pencegahan timbulnya limbah sudah ada, namun pengelolaannya belum optimal sehingga masih banyak limbah yang belum tertangani. Petani: Hasil laut semakin menurun dikarenakan buangan limbah industri sampai mengalir di pesisir
6. Divisi K3LH Mencegah timbulnya limbah dengan menekan angka kecelakaan kerja, dan penyakit lingkungan
Produsen/Pengusaha: Biaya pencegahan timbulnya limbah masih terbatas dan tidak terfokuskan pada upaya penanganannya.
Seperti yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang menjadi perhatian
para stakeholders yaitu bagaimana pengelolaan limbah baja yang tidak dapat
mengganggu kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Perlu diketahui bahwa permasalahan rendahnya hasil pertanian di empat
Kecamatan yaitu Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak yang merupakan
daerah termasuk wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang
memiliki produksi komoditas hasil pertanian yang sangat rendah pada tahun 2007
seperti tangkapan ikan, padi, dan kacang tanah. Diketahui pula bahwa hasil laut di
wilayah pesisir berupa tangkapan ikan sebanyak 1.103 ton/tahun. Jika dikaitkan
dengan jumlah penduduk Kota Cilegon, maka kebutuhan ikan/lauk pauk tidak
mencukupi dan sampai saat ini masih dipasok oleh daerah lain seperti
Kabupaten/Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, maka perlu mencari sumber penyebab akar permasalahan yang menjadi
penghambat perkembangan dan pembangunan wilayah. Pengelolaan limbah industri
dan berkembang industri budi daya hasil kelautan secara tidak langsung akan
mengurangi kerusakan terumbu karang akibat lahan penangkapan ikan dilakukan
dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. Bagi pemerintah daerah dan industri
di Kota Cilegon, pengelolaan limbah industri akan memberikan dampak ekonomi
yaitu peningkatan pendapatan nelayan atau petani ikan, juga berpengaruh terhadap
147
peningkatan devisa daerah meningkat dan pada akhirnya akan terwujud yang
berdampak pada kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakakatau Cilegon.
C. Identifikasi Sistem
Pada identifikasi sistem ini, tahapan pengelolaan limbah baja menggunakan
model dinamis. Dalam tahap ini dilakukan rancang bangun model dengan dilakukan
penggambaran diagram sebab akibat (cause loop diagram), karena identifikasi sistem
merupakan langkah penting untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari
berbagai variabel pada pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan kelestaraian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon.
Secara spesifik konsep diagram sebab akibat untuk model pengelolaan limbah
industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dapat
digambarkan dalam struktur sub model.
1. Cause loop diagram
Hubungan antar variabel yang terlibat dalam model pengelolaan limbah
industri di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon digambarkan dalam
diagram sebab akibat (cause loop diagram) pada Gambar 30. Penelitian ini ditujukan
pada pemecahan berbagai jenis masalah yang diformulasikan pada tahap sebelumnya.
Dalam diagram sebab akibat ini terfokus pada 3 (tiga) subsistem, yaitu kependudukan,
pesisir laut dan limbah industri.
Diagram sebab akibat untuk subsistem kependudukan di wilayah pesisir
Kawasan Industri Krakatau Cilegon menunjukkan adanya timbal balik antara jumlah
penduduk, angka kelahiran, angka kematian, dan tingkat kedewasaan penduduk. Laju
pertumbuhan penduduk ditentukan oleh laju kelahiran, laju kematian, dan jumlah
penduduk. Karena jumlah penduduk akan meningkatkan pendapatan perkapita dan
konsumsi hasil laut penduduk. Laju penduduk juga medorong laju kelahiran semakin
tinggi, jumlah penduduk yang meningkat memberi peluang laju kematian yang lebih
tinggi sehingga mengurangi jumlah penduduk. Jumlah penduduk produktif usia 19 –
60 tahun yang merupakan angkatan kerja di Kota Cilegon memiliki presentasi
yang paling besar, sehingga memenuhi ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan
termasuk tenaga kerja pertanian atau perikanan di pesisir.
Diagram sebab akibat untuk subsistem pesisir laut Kawasan Industri Krakatau
Cilegon diawali dari lahan pesisir/perairan laut yang dipersiapkan menjadi luas pesisir.
Luas pesisir yang diharapkan ini memerlukan produktivitas pesisir, dan konsumsi
ikan total. Wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon mengalami
148
pengurangan luas pesisir akibat dibangunnya beberapa pabrik menjadi luas konversi
perairan laut, pengalihan lahan pesisir yang menyebabkan berkurangnya pendapatan
nelayan sekitar pesisir tersebut. Demikian juga pendapatan nelayan diperoleh dari
produksi ikan dan pengaruh supply dan demand ikan terhadap harga ikan ditentukan.
Diagram sebab akibat untuk subsistem untuk limbah industri baja
menunjukkan tingkat permintaan limbah yang terkait dengan hasil limbah pada proses
produksi, tingkat persediaan limbah, dan penilaian hasil limbah yang berasal dari
limbah dalam proses produksi. Sedangkan tingkat penerimaan limbah dipengaruhi
oleh jumlah produksi baja, produksi yang menghasilkan limbah, dan waktu proses
produksi baja. Selain itu persediaan limbah juga dipengaruhi oleh tingkat kedatangan
limbah dan waktu persediaan limbah yang diharapkan.
2. Diagram Input-output
Diagram input dan output merupakan tahapan lebih lanjut dari diagram sebab
akibat. Diagram ini juga sebagai implementasi dari konsep block box. Menurut
Eriyatno, (1999), konsep black box dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) golongan
yaitu: 1) peubah input, 2) peubah output, 3) parameter-parameter yang membatasi
struktur sistem. Peubah input terbagi dalam 2 golongan yaitu: a) input yang tidak
terkendali meliputi kondisi area penampungan limbah, daya dukung lingkungan,
tingkat keanekaragaman hayati pesisir/perikanan, dan kondisi iklim dan cuaca; b)
input yang terkendali meliputi teknologi, sarana dan prasarana, SDM dan modal.
Input lingkungan meliputi Undang-Undang Republik Indonesia tentang pengelolaan
lingkungan hidup, dan peraturan Perundang-perundangan yang berlaku seperti
peraturan daerah lainnya (Perda). Sedangkan peubah output terbagi dalam 2 golongan
yaitu: a) output yang diinginkan kelestarian sumber daya di perairan pesisir,
penyerapan tenaga kerja di perairan pesisir, dan sebagainya; b) output yang tidak
diinginkan seperti degradasi pesisir, dan menurunnya kesehatan masyarakat,
menurunnya kualitas lingkungan, dan terjadinya konflik.
Pada diagram input output model pengelolaan limbah industri baja dalam
upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah di Kawasan Industri Krakatau
Cilegon ini bertujuan secara penilaian ekonomis adalah peningkatan devisa negara
dan pendapatan asli daerah, penyerapan tenaga kerja daerah, dan peningkatan
dinamika ekonomi daerah. Meskipun demikian, jika output yang tidak diinginkan
terdapat penurunan kualitas lingkungan di wilayah pesisir tersebut dan terjadi konflik
antara wilayah perbatasan antara Kota Cilegon dengan wilayah lainnya, maka perlu
pengendalian sistem dalam pengelolaan ini.
149
Untuk pengendalian sistem agar terfokus pada output yang diinginkan, maka
dibuatlah suatu mekanisme umpat balik (feedback) berupa manajemen pengendali
model pengelolaan limbah industri baja mengarah pada output yang diinginkan.
Dengan demikian pengelolaan limbah industri baja di wilayah pesisir akan mencegah
terjadi eksploitasi hasil laut di perairan Kawasan Industri Krakatau Cilegon, sehingga
dapat menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Adapun diagram Input-Output
pengelolaan sumberdaya pesisir selengkapnya disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Diagram Input-Output pengelolaan sumberdaya pesisir
D. Pembuatan Model
Berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan digunakan dalam membuat
model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan
• Kelestarian
sumberdaya perikanan/pesisir
• Peningkatan devisa negara dan PAD
• Penyerapan tenaga kerja
• Peningkatan dinamika ekonomi daerah
• Terbinanya hubungan yang harmonis dengan daerah perbatasan
• Degradasi Pesisir • Penurunan
kesehatan masyarakat
• Penurunan kualitas lingkungan
• Terjadi konflik
OUTPUT TIDAK DIINGINKAN
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI
BAJA
Manajemen Pengendalian
INPUT LINGKUNGAN
• Kondisi area penampungan limbah
• Daya dukung lingkungan.
• Tingkat keanekaragama-an hayati perikanan
• Kondisi iklim dan cuaca
INPUT TIDAK TERKENDALI
• Teknologi • Sarana dan
prasarana, SDM, dan Modal.
• Kerjasama lintas sektor.
• Kuantitas dan kualitas produk
• Kapasitas produksi terpasang
INPUT TERKENDALI
OUTPUT DIINGINKAN
• UU RI No. 23/1997 • Peraturan perundang-
undangan lainnya (Perda)
150
kelestarian wilayah di Kawasan Industri Krakatau Cilegon, maka dibuat rancang
bangun model dinamis dengan menggunakan paket program powersim.
1. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel penduduk
Penduduk merupakan bagian terpenting bagi aktivitas pembangunan daerah,
karena jumlah penduduk yang memadai akan berpengaruh besar kecilnya terhadap
perubahan suatu wilayah. Submodel penduduk yang merupakan main model dari
model pengelolaan limbah industri baja yang secara terinci disajikan dapat
ditunjukkan pada Gambar 25.
Gambar 25. Diagram hubungan sebab akibat submodel penduduk pada model pengelolaan limbah industri baja
Berdasarkan Gambar 25 di atas, dapat dideskripsikan keterkaitan antar elemen
yang terlibat dalam submodel penduduk pada model pengelolaan limbah industri baja
akan terjadi ketersediaan tenaga kerja seperti tenaga kerja pertanian atau perikanan.
Hal tersebut dapat terjadi karena wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau
Cilegon sangat membutuhan tenaga kerja di bidang perairan atau kelautan, tenaga
kerja di wilayah ini sudah banyak yang terserap oleh industri-industri yang berada di
151
kawasan ini. Penduduk yang tergolong angkatan kerja usia 19 sampai 60 tahun sangat
dibutuhkan, oleh karena itu dengan jumlah penduduk yang cukup dan lapangan kerja
yang serap banyak akan mempengaruhi pendapatan perkapita daerah atau produk
domestik regional brutto (PDRB) semakin meningkat di Kota Cilegon.
Selanjutnya setelah dibuatkan diagram sebab akibat (cause loop diagram)
secara utuh, maka perlu dibuat struktur sub model kependudukan pada model
pengelolan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon. Diagram sebab akibat (cause loop) di atas dan hasil keterkaitan antar elemen
submodel kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja, maka struktur
model dengan menggunakan program powersim yang digunakan untuk proses
simulasi disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja
Keterangan:
: Flow : Konstanta : Fungsi IF
: Level : Fungsi Graph
152
Berdasarkan Gambar 26 di atas, struktur model kependudukan pada model
pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang
tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu jumlah penduduk,
tingkat kelahiran penduduk, tingkat kematian penduduk, tingkat kedewasaan
penduduk, laju pertumbuhan penduduk, laju kematian penduduk, laju kematian
penduduk, pendapatan penduduk, dan sebagainya. Sedangkan angka imigrasi
penduduk dan emigrasi penduduk tingkat tidak mempengaruhi tingakat kepadatan
penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon karena warga lebih menyukai tinggal di
pemukiman di wilayah Kabupaten/Kota Serang sehingga untuk penentuan jumlah
penduduk di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon dipengaruhi oleh
laju kelahiran penduduk, dan laju kematian penduduk, maka untuk merumuskan hal
tersebut dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:
JPt = JP(t-1) + (dt* LKlt – dt* LKmt)
LKlt = LKlt-1) + JPt * AKlt
LKmt = LKm(t-1) + JPt * AKmt
LPPt = LPP(t-1) + ((LKlt – LKmt)/ JPt*100%)
Keterangan:
JPt = Jumlah penduduk sekarang (orang)
JP(t-1) = Jumlah penduduk sebelumnya (orang)
LKlt = Laju kelahiran penduduk sekarang (orang/tahun)
LKl(t-1) = Laju kelahiran penduduk sebelumnya (orang/tahun)
LKmt = Laju kematian penduduk sekarang (orang/tahun)
LKl(t-1) = Laju kematian penduduk sebelumnya (orang/tahun)
AKlt = Angka kelahiran penduduk (orang)
AKmt = Angka kematian penduduk (orang)
dt = Laju kelahiran atau laju kematian penduduk (%)
LPPt = Laju pertumbuhan penduduk sekarang (%/tahun)
LPP(t-1)= Laju pertumbuhan penduduk sebelumnya (%/tahun)
Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka dapat diasumsikan penduduk total, laju
kelahiran penduduk, laju kematian penduduk, angka kelahiran penduduk, dan angka
kematian penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 sampai dengan
tahun 2015 seperti yang disajikan pada Tabel 45.
153
Tabel 45. Struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Tabel 45 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk, laju
kelahiran penduduk dan laju kematian penduduk di wilayah Kota Cilegon dari tahun
2003 – 2015 mengalami trend kenaikan tiap tahunnya.
Gambar 26, juga dapat memperlihatkan pendapatan penduduk di wilayah
pesisir Kota Cilegon dipengaruhi oleh perekonomian daerah melalui PDRB (produk
domestik regional bruto) Kota Cilegon. PDRB ini dapat dijadikan sebagai sarana
untuk merencana belanja daerah yang ditetapkan tiap tahun oleh pemerintah daerah.
Untuk mengetahui pendapatan penduduk dapat dirumuskan berikut ini.
PPt = PP(t-1) + (PDRBt/JPt*10)
Keterangan:
PPt = Pendapatan pendudukan sekarang (rupiah/orang)
PP(t-1) = Pendapatan pendudukan sebelumnya (rupiah/orang)
PDRBt = Produk domestik regional brutto (rupiah/tahun)
JPt = Jumlah penduduk (orang)
Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa PDRB dan pendapatan
penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2015 diperlihatkan pada
Tabel 46.
Tahun Laju Kelahiran Laju Pert. Penddk. Laju Kematian Jumlah Penduduk
154
Tabel 46. PDRB dan pendapatan penduduk pada struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Tabel 46 di atas menunjukkan peningkatan PDRB dan
pendapatan penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon dari tahun 2003 – 2015
seperti disajikan pada Gambar 27.
Gambar 27. Grafik PDRB Kota Cilegon tahun 2003 - 2015 pada struktur sub model kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Gambar 27 di atas terlihat bahwa PDRB Kota Cilegon
mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan PDRB tersebut berdampak positif
pada kenaikan pendapatan penduduk di wilayah pesisir Kota Cilegon.
2. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel pesisir laut
Wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau Cilegon merupakan kawasan
yang memiliki dinamika pertumbuhan yang paling pesat, terutama untuk industri
yang tergolong industri berat. Karena wilayah pesisir tersebut memiliki arti strategis
Tahun Pendapatan Pendd.
Tahun
155
yang merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki
potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun,
karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara
terpadu. Wilayah pesisir ini terdapat beberapa pelabuhan bongkar muat barang dan
kebijakan pemerintah daerah yang sektoral dan bias, belum menyentuh pada
kebutuhan masyarakat sekitar, sedangkan dari sisi sosial-ekonomi pemanfaatan
kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar/industri sehingga mata
pencaharian para nelayan semakin terbatas dan termasuk kelompok profesi yang
miskin.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat digambarkan diagram
hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri
baja yang secara terinci dapat ditunjukkan pada Gambar 28.
Gambar 28. Diagram hubungan sebab akibat submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja
156
Berdasarkan Gambar 28 di atas, dapat dideskripsikan bahwa keterkaitan antar
elemen yang terlibat dalam submodel pesisir pada model pengelolaan limbah industri
baja dengan angkatan kerja Kota Cilegon sebagai ketersediaan tenaga kerja/nelayan
yang diharapkan saling memenuhi kebutuhan nelayan di wilayah pesisir, sehingga
pemerintah daerah harus mempersiapkan lahan pesisir bagi kebutuhan petani/nelayan
mengingat periran/pesisir di wilayah pesisir Kota Cilegon cukup luas belum seluruh
dikelola secara optimal. Selanjutnya setelah dibuatkan diagram sebab akibat (cause
loop diagram) secara terinci, maka perlu dibuat struktur sub model pesisir laut pada
model pengelolan limbah industri baja di wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau
Cilegon. Diagram sebab akibat (cause loop) di atas dan hasil keterkaitan antar elemen
submodel pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja, maka struktur
model dengan menggunakan program powersim yang digunakan untuk proses
simulasi disajikan pada Gambar 29.
Gambar 29. Struktur sub model pesisir laut pada model pengelolaan limbah industri baja
Berdasarkan Gambar 29 di atas, struktur model pesisir laut pada model
pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang
157
tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu luas pesisir, lahan
yang dipersiapkan, pengurangan pesisir, luas panen, produksi hasil pesisir,
pendapatann nelayan, luas lahan pesisir yang diharapkan dan sebagainya.
Pengelolaan wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon terutama
oleh pemerintah daerah Kota Cilegon perlu mendapat prioritas penanganannya,
termasuk mempersiapkan tenaga kerja dan lahan pesisir tersedia. Untuk merumuskan
hal tersebut, perlu dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:
NTt = NT(t-1) + AKt*PAK
LPt = LP(t-1) + (dt*LPSt – dt*PPt)
KNt = KN(t-1) + LPt*KNh
LPSt = LPS(t-1) + ((LPt – LPHt)/WPPt*0,01)
Keterangan:
NTt = Nelayan tersedia sekarang (orang)
NT(t-1) = Nelayan tersedia sebelumnya (orang)
AKt = Angkatan kerja Kota Cilegon (orang/tahun)
PAK = Prosentase angkatan kerja (%)
LPt = Luas pesisir sekarang (ha)
LP(t-1) = Luas pesisir sebelumnya (ha)
LPSt = Lahan pesisir yang dipersiapkan sekarang (ha)
LPS(t-1)= Lahan pesisir yang dipersiapkan sebelumnya (ha)
KNt = Kebutuhan nelayan sekarang (orang)
KN(t-1) = Kebutuhan nelayan sekarang (orang)
PPt = Pengurangan pesisir (ha)
LPHt = luas pesisir diharapkan (ha)
WPPt = Waktu perluasan pesisir (tahun)
Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa angkatan kerja, kebutuhan
nelayan, lahan pesisir yang dipersiapkan dan luas pesisir di wilayah pesisir Kota
Cilegon dari tahun 2003 – 2015 disajikan pada Tabel 47.
158
Tabel 47 Kebutuhan tenaga kerja perairan, dan pesisir pada struktur sub model pesisir laut di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Tabel 47 di atas menunjukkan bahwa ketersediaannya tenaga kerja di
pesisir, kebutuhan nelayan, lahan pesisir yang persiapkan, dan luas pesisir di
Kawasan Industri Kota Cilegon.
3. Pengelolaan limbah industri baja berdasarkan submodel limbah industri
Jumlah limbah baja yang mengalir di wilayah pesisir akan mengalami
peningkatan tingkat pencemaran melalui aliran sungai dari industri yang membawa
limbah menuju wilayah pesisir disekitarnya. Besarnya beban pencemaran limbah
ditentukan melalui pengukuran debit air sungai dan konsentrasi limbah yang
mengalir menuju wilayah pesisir. Untuk itu rancangan submodel limbah industri
yang merupakan main model dari model pengelolaan limbah industri baja yang secara
terinci disajikan pada Gambar 30.
Tahun Nelayan Sedia Kebut.Nelayan Lahan Pesisir Siap Luas Pesisir
159
Gambar 30. Diagram hubungan sebab akibat submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja
Berdasarkan Gambar 30 di atas, dapat dideskripsikan bahwa keterkaitan antar
elemen yang terlibat dalam submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah
industri baja meliputi penanganan limbah yang ada pada sumber dari lokasi pabrik
sampai di area penyimpanan limbah. Pengelolaan limbah baja ini berkaitan dengan
timbulnya limbah dari hasil proses produksi, persediaan limbah yang ada, tingkat
kedatangan limbah, konsumsi pemakaian limbah, pengiriman limbah, dan sebagainya.
Selanjutnya diagram sebab akibat (cause loop diagram) di atas dan hasil
keterkaitan antar elemen submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah
industri baja, maka dibuatkan rancangan struktur model dengan menggunakan
program powersim yang digunakan untuk proses simulasi seperti yang disajikan pada
Gambar 31.
160
Gambar 31. Struktur sub model limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja
Berdasarkan Gambar 31 di atas, struktur model limbah industri pada model
pengelolaan limbah industri baja secara terperinci terdiri dari elemen-elemen yang
tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling berkaitan yaitu persediaan limbah
baja, jumlah produksi yang diharapkan, jumlah limbah baja dalam proses, persediaan
limbah baja yang diharapkan, dan sebagainya. Untuk merumuskan hal tersebut, perlu
dibuatkan persamaan matematis, adalah sebagai berikut:
JLt = JL(t-1) + ( (dt*TKLt + dt*TKLLt) – dt*TPLt)
Keterangan:
JLt = Jumlah limbah baja sekarang (ton)
JL(t-1) = Jumlah limbah baja sebelumnya (ton)
TKLLt = Tingkat kedatangan limbah luar (baja bongkah)(ton/tahun)
TKLt = Tingkat kedatangan limbah (ton/tahun)
TPLt = Tingkat pengiriman limbah keluar (ton/tahun)
Berdasarkan rumus di atas dapat diasumsikan bahwa jumlah limbah baja sekarang
dipengaruhi oleh jumlah limbah baja sebelumnya, tingkat kedatangan baja bongkah,
161
tingkat kedatangan limbah baja, dan tingkat pengiriman limbah ke luar. Adapun hasil
simulasi jumlah limbah baja untuk tahun 2003 – 2015 disajikan pada Tabel 48.
Tabel 48. Jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri
Berdasarkan Tabel 48 di atas, terjadi peningkatan jumlah limbah dari tahun
2003 – 2009, sedangkan pada tahun 2009 – 2015 terjadi penurunan jumlah limbah,
sehingga pada akhir tahun 2015 jumlah limbah menjadi 1.863.258 ton. Selanjutnya
rancang bangun pemodelan sistem dinamik struktur model keseluruhan pada
pengelolaan limbah industri baja ini disajikan pada Gambar 32.
Berdasarkan Gambar 32 diatas, maka struktur model yang dirancang tersebut
dapat mensimulasikan submodel penduduk, submodel pesisir laut, dan submodel
limbah industri yang merupakan pola model pengelolan limbah industri baja,
sehingga keterpaduan tiga submodel ini dapat memberikan gambaran komprehenship
pada pembentukan model-model yang diinginkan.
E. Pengujian Model
Pembuatan alat ukur tidaklah mudah karena dalam pendefinisian operasional
(operational definition) variabel-variabel persepsi dan sikap (attitudes). Peneliti perlu
mengevaluasi kebaikan atau kesesuaian alat ukur untuk menjamin bahwa instrumen
tersebut dapat mengukur variabel-variabel yang semestinya diukur dengan sebaik
mungkin. Dua kriteria pokok untuk menguji model adalah verifikasi dan validitas
model. Agar hasil penelitian dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, maka
informasi tentang verifikasi dan validitasi model sebagai pengujian harus
disampaikan dalam penelitian ini.
Tahun Tk.Kedatangan Limb.Luar Tk.Pengiriman Limbah Tk.KedatanganLimb Jumlah Limbah
162
163
1. Verifikasi model
Verifikasi model terhadap model pengelolaan limbah industri baja dalam
upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau
Cilegon. Model ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa program yang dijalankan
oleh bantuan program Powersim ini memiliki kesesuaian dan implementasinya dari
model konseptual adalah benar. Menurut Sargent (1998), jenis bahasa komputer yang
digunakan akan mempengaruhi hasil pemrosesan program yang benar. Penggunaan
program powersim untuk pemodelan sistem dinamik akan menghasilkan tingkat
kesalahan yang relatif lebih kecil dibandingkann dengan bahasa simulasi pada
umumnya.
Proses verifikasi model ini yang menggunakan program powersim
menggambarkan persamaan-persamaan dari struktur model yang merupakan bagian
yang ditampilkan. Juga menggambarkan suatu persamaan sederhana seperti
penjumlahan, penguraangan, perkalian, dan pembagian untuk membuat struktur
model pada model pengelolaan limbah industri baja.
Pada proses verifikasi terhadap model-model yang dirancang dilakukan
sebelum dilakukan validasi model, tetapi dapat juga dilakukan setelah proses validasi
model untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan
penyusunan model yaitu pengaruh submodel kependudukan, submodel pesisir laut,
dan submodel limbah industri pada model pengelolaan limbah industri baja dalam
upaya mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri Krakatau
Cilegon. Dalam proses verifikasi tersebut dilakukan secara iteratif untuk
memodifikasi struktur model, yaitu:
a. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel kependudukan
Verifikasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa program komputer
(powersim) dan implementasi dari model konseptualnya terutama untuk mengetahui
jumlah penduduk, tingkat kedewasaan penduduk, laju kelahiran dan kematian
penduduk, serta laju pertumbuhan penduduk di Kawasan Industri Cilegon. Adapun
bentuk verifikasi modelnya adalah:
init JPendd018 = 66753
flow JPendd018 = -dt*TkKmt018 +dt*LjKlhr -dt*TkDws1819 doc JPendd018 = Jumlah penduduk Cilegon (KIKC) usia 0-18 tahun (orang) init JPendd1960 = 75077
164
flow JPendd1960 = -dt*TkKmt1960 +dt*TkDws1819 -dt*TkDws6065 doc JPendd1960 = Jumlah penduduk Cilegon (KIKC) usia 19-60 tahun (orang) aux TkDws1819 = JPendd018 * (1- AKmtKasar)/18 doc TkDws1819 = Tingkat Kedewasaan usia 18-19 tahun (orang/tahun) aux TkDws6065 = JPendd1960*(1-AKmtKasar)/42 doc TkDws6065 = Tingkat Kedewasaan usia 60-65 tahun (orang/tahun) aux TkKmt018 = JPendd018*AKmtKasar doc TkKmt018 = Tingkat Kematian usia 0-18 tahun (orang/tahun) aux TkKmt1960 = JPendd1960*AKmtKasar doc TkKmt1960 = Tingkat kematian usia 19 – 60 tahun. (orang/tahun) aux LjKlhr = PenddTotal*AKlhrKasar doc LjKlhr = Laju kelahiran (orang/tahun) aux LjKmt = PenddTotal*AKmtKasar doc LjKmt = Laju kematian (orang/tahun) init PenddTotal = 166838 flow PenddTotal = -dt*LjKmt +dt*LjKlhr doc PenddTotal = Penduduk Total di 4 Kecamatan Kota Cilegon(orang) aux LjPertPendd = (LjKlhr-LjKmt)/PenddTotal*100% doc LjPertPendd = Laju Pertumbuhan Penduduk (%/tahun)
b. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel pesisir laut
Verifikasi model ini bertujuan untuk mengetahui luas pesisir, lahan pesisir
yang dipersiapkan, dan pengurangan lahan pesisir di Kawasan Industri Cilegon.
Adapun bentuk verifikasi modelnya adalah:
init LuasPessr = 11520 flow LuasPessr = +dt*LahPessrSiap -dt*PengrngPessr doc LuasPessr = Luas lahan pesisir KIC (hektar) aux LahPessrSiap = (LuasPessr-LuasPessrHarap)/WPerlPessr*0.01 doc LahPessrSiap = Lahan Pesisir yang dipersiapkan (hektar/tahun) aux PengrngPessr = LuasKonve/WPeralihLahan*PPendNelyn doc PengrngPessr = Pengurangan Pesisir (hektar/tahun)
c. Verifikasi terhadap struktur model pada submodel limbah industri
Verifikasi model ini bertujuan untuk mengetahui jumlah limbah dan tingkat
permintaan limbah. Adapun bentuk verifikasi modelnya adalah:
init LimbahAw = 1863817*WRataProd flow LimbahAw = +dt*TkPermtLimb -dt*TkPenerLimb -dt*TkPenerLimbLuar doc LimbahAw = Limbah baja awal (ton) init JumlahLimb = 1863817*WPersedLimbHarap flow JumlahLimb = -dt*TkPengirmLimb +dt*TKedatgLimbLuar
165
+dt*TkKedatgLimb doc JumlahLimb = Jumlah limbah baja (ton) aux TkPermtLimb = JProdHarap+NilaiPersedLimb doc TkPermtLimb = Tingkat permintaan limbah baja (ton/tahun)
2. Validasi model
Validasi adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang
bersangkutan mampu mengukur apa yang akan diukur. Menurut Arikunto (2005),
untuk mengukur validitasi tiap butir instrumen dilakukan pengujian dengan cara
menganalisis hubungan antara skor tiap butir dan skor total.Validitasi menentukan
sampai seberapa bagus suatu alat ukur yang dirancang mampu mengukur suatu
konsep tertentu yang ingin diukur. Dalam penelitian survei maka kuesioner yang
disusun oleh peneliti harus mengukur apa yang ingin diukurnya.
Proses validitasi model ditujukan untuk menguji substansi model yang
dirancang untuk mengetahui sejauh mana model yang dibuat dalam lingkup
aplikasinya memiliki kemampuan kisaran akurasi yang memuaskan, konsisten dengan
tujuan yang telah direncanakan dari pembuatan aplikasi model. Menurut Sargent
(1998), atribut yang gunakan dalam proses validitasi sangat dipengaruhi oleh kondisi
sistem yang digunakan dalam model tersebut apakah dapat diobservasi atau tidak
dapat diobservasi.
Rancangan model pemecahan masalah ini yang memfokuskan pada 3 (tiga)
submodel kependudukan, submodel pesisir laut, dan submodel limbah industri
semaksimal mungkin dapat memperoleh data observasi. Rancangan pembuatan
struktur model kependudukan pada model pengelolaan limbah industri baja yang
terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan sistem operasi yang saling
berkaitan yaitu jumlah penduduk, tingkat kelahiran penduduk, tingkat kematian
penduduk, tingkat kedewasaan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, laju kematian
penduduk, laju kematian penduduk, pendapatan penduduk, dan sebagainya dapat
diperoleh. Rancangan pembuatan struktur model pesisir laut pada model pengelolaan
limbah industri baja yang terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan
sistem operasi yang saling berkaitan yaitu luas pesisir, lahan yang dipersiapkan,
pengurangan pesisir, luas panen, produksi hasil pesisir, pendapatann nelayan, luas
lahan pesisir yang diharapkan, produksi ikan, dan sebagainya dapat diperoleh. Begitu
juga pada rancangan struktur model limbah industri pada model pengelolaan limbah
industri baja yang terdiri dari elemen-elemen yang tersusun sesuai dengan sistem
operasi yang saling berkaitan yaitu jumlah limbah baja, persediaan, tingkat
166
kedatangan limbah, tingkat pengiriman limbah, tingkat permintaan limbah, jumlah
produksi yang diharapkan, kebutuhan limbah, limbah dalam proses, penilaian hasil
limbah, penilaian persediaan limbah, persediaan limbah yang diharapkan dan
sebagainya dapat diperoleh meskipun hampir semua jenis data adalah data skunder.
Proses validasi terhadap model ini dilakukan dengan proses simulasi
menggunakan program powersim terhadap submodel kependudukan, submodel
pesisir laut, dan submodel limbah industri yang menggunakan data dan informasi
tahun 2003 sampai dengan 2007 diperlihatkan dalam bentuk Tabel dan Gambar:
1. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel kependudukan
Tabel ini, memperlihatkan jumlah penduduk aktual dengan prediksi jumlah
penduduk menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program
powersim). Adapun formulasi masing-masing model yaitu:
Model 1: JPt = JP(t-1) + (JPt x PPPt)
Model 2: JPt = JP(t-1) + (dt* LKlt – dt* LKmt)
Keterangan:
JPt = Jumlah penduduk sekarang (orang)
JP(t-1) = Jumlah penduduk sebelumnya (orang)
PPPt = Prosentase pertambahan penduduk (asumsi: 0,7 %/tahun)
LKlt = Laju kelahiran penduduk sekarang (orang/tahun)
LKl(t-1) = Laju kelahiran penduduk sebelumnya (orang/tahun)
LKmt = Laju kematian penduduk sekarang (orang/tahun)
Berdasarkan formulasi tersebut di atas, maka dapat diketahui hasil prediksi jumlah
penduduk seperti yang disajikan pada Tabel 49.
Tabel 49. Jumlah penduduk aktual dan hasil prediksi jumlah penduduk
Jumlah Penduduk Prediksi Jumlah Penduduk (Jiwa) Tahun Aktual (Jiwa) Model 1 Model 2 2003 166.838 166.838 166.838 2004 167.761 168.006 167.642 2005 168.233 169.182 168.778 2006 170.269 170.366 170.457 2007 174.219 171.559 173.227
Dari Tabel 49 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi jumlah penduduk
aktual dan prediksi jumlah penduduk model 1 dan model 2 seperti yang disajikan
pada Gambar 33.
167
Jumlah Penduduk Th. 2003 - 2007
162000164000166000168000170000172000174000176000
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
Penduduk Aktual
Prediksi PendudukModel 1Prediksi PendudukModel 2
Gambar 33. Grafik jumlah penduduk aktual dan prediksi jumlah penduduk pada submodel kependudukan
Berdasarkan Tabel 49 dan Gambar 33 di atas, diperoleh hasil validasi model
antara jumlah penduduk aktual dengan hasil prediksi jumlah penduduk model 1
yang memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,162% dan nilai
kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0,597%. Sedangkan hasil validasi
model antara jumlah penduduk aktual dengan hasil prediksi jumlah penduduk
model 2 memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,045% dan
nilai kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0,254%. Hal ini berarti bahwa
hasil validasi model 2 (simulasi) sangat valid dan memiliki kesalahan (AME dan
AVE) sangat kecil dan memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10
%. Berdasarkan hasil submodel kependudukan diperoleh hasil prediksi jumlah
penduduk tahun 2003 – 2015 dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil
prediksi jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 disajikan pada Gambar 34.
0
50000
100000
150000
200000
250000
2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015
Tahun
Jum
lah
Pend
uduk
(jiw
a)
Jumlah Penduduk
Gambar 34. Grafik jumlah penduduk tahun 2003 – 2015 pada struktur submodel kependudukan di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Gambar 34 di atas, memperlihatkan jumlah penduduk di wilayah
pesisir Kota Cilegon berkecenderungan mengalami kenaikan setiap tahunnya.
168
2. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel pesisir laut
Tabel ini memperlihatkan luas pesisir aktual dengan prediksi luas pesisir
menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program powersim).
Adapun formulasi masing-masing model yaitu:
Model 1: LPt = LP(t-1) - ( LPt x PPLPt)
Model 2: LPt = LP(t-1) + (dt*LPSt – dt*PPt)
Keterangan:
LPt = Luas pesisir sekarang (ha)
LP(t-1) = Luas pesisir sebelumnya (ha)
PPLPt = Prosentase pengurangan luas pesisir (asumsi: 0,5 %/tahun)
LPSt = Lahan pesisir yang dipersiapkan sekarang (ha)
PPt = Pengurangan pesisir (ha)
Berdasarkan formulasi tersebut diatas, maka dapat diketahui hasil prediksi luas
pesisir seperti yang disajikan pada Tabel 50.
Tabel 50. Luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir
Luas Pesisir Prediksi Luas Pesisir (ha) Tahun Aktual (ha) Model 1 Model 2 2003 11.520 11.520 11.520.00 2004 11.520 10.944 11.519.96 2005 11.520 10.397 11.519.97 2006 11.520 9.877 11.519.97 2007 11.520 9.383 11.519.97
Dari Tabel 50 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi luas pesisir aktual dan
prediksi luas pesisir model 1 dan model 2 seperti yang disajikan pada Gambar 35.
Luas Pesisir Tahun 2003 - 2007
02000400060008000
100001200014000
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Luas
Pes
isir
(ha)
Luas Pesisir Aktual
Prediksi Luas PesisirModel 1Prediksi Luas PesisirModel 2
Gambar 35. Grafik luas pesisir aktual dan hasil prediksi luas pesisir pada submodel pesisir laut.
169
Berdasarkan Tabel 50 dan Gambar 35 di atas, dapat diperoleh hasil validasi
model antara luas pesisir aktual dengan hasil prediksi luas pesisir model 1 yang
memiliki nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 9,512% dan nilai
kesalahan variansi mutlak (AVE) sebesar 0 %. Sedangan hasi validasi model
antara luas pesisir aktual dengan hasil prediksi luas pesisir model 2 memiliki nilai
kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,0002% dan nilai kesalahan variansi
mutlak (AVE) sebesar 0 %. Hal ini berarti bahwa hasil validasi model 2
(simulasi) sangat valid dan memiliki kesalahan (AME dan AVE) sangat kecil dan
memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %. Berdasarkan Hasil
submodel pesisir laut diperoleh hasil prediksi luas pesisir tahun 2003 – 2015
dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil prediksi luas pesisir tahun
2003 – 2015 disajikan pada Gambar 36.
11,518.00
11,518.50
11,519.00
11,519.50
11,520.00
11,520.50
2003
2005
2007
2009
2011
2013
2015
Tahun
Luas
Pes
isir
Prediksi Luas Pesisir
Gambar 36. Grafik luas pesisir tahun 2003 – 2015 pada struktur sub model pesisir laut di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Gambar 36 di atas, dapat diketahui hasil simulasi luas pesisir di
wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2003 – 2015
memperlihatkan berkecenderungan mengalami pengurangan luas pesisir.
Pengurangan lahan psesisir tersebut dapat terjadi, karena di wilayah pesisir ini
tumbuh dan berkembangnya industri, jasa perhotelan, dan sebagainya, sehingga
luas pesisir berkecenderungan mengalami pengurangan/penurunan.
3. Tabel dan Gambar validasi model pada submodel limbah industri
Tabel ini memperlihatkan jumlah limbah aktual dengan prediksi jumlah
limbah menggunakan model 1 dan model 2 (simulasi dengan bantuan program
powersim). Adapun formulasi masing-masing model yaitu:
170
Model 1: JLt = JL(t-1) + (JLTt + (PPLt x JLTt))
Model 2: JLt = JL(t-1) + ( (dt*TKLt + dt*TKLLt) – dt*TPLt)
Keterangan:
JLt = Jumlah limbah baja sekarang (ton)
JL(t-1) = Jumlah limbah baja sebelumnya (ton)
JLTt = Jumlah limbah tahunan (ton)
PPL t = Prosentase penambahan limbah (asumsi:10%/tahun )
TKLt = Tingkat kedatangan limbah (ton/tahun)
TKLLt = Tingkat kedatangan limbah luar (baja bongkah) (ton/tahun)
TPLt = Tingkat pengiriman limbah keluar (ton/tahun)
Berdasarkan formulasi tersebut diatas, maka dapat diketahui hasil prediksi jumlah
limbah seperti yang disajikan pada Tabel 51.
Tabel 51. Limbah baja aktual dan hasil prediksi limbah baja
Limbah Baja Prediksi Limbah Baja (ton) Tahun Aktual (ton) Model 1 Model 2 2003 1.863.817 1.863.817 1.863.817 2004 1.865.024 1.867.273 1.864.217 2005 1.865.024 1.871.074 1.864.793 2006 1.869.369 1.875.256 1.865.342 2007 1.872.715 1.879.856 1.865.891
Dari Tabel 51 tersebut, maka dapat digambarkan kondisi jumlah limbah aktual
dan prediksi jumlah limbah model 1 dan model 2 seperti yang disajikan pada
Gambar 37.
Limbah Industri Tahun 2003 - 2007
1855000
1860000
1865000
1870000
1875000
1880000
1885000
2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Jum
lah
Lim
bah
(ton) Limbah Aktual
Prediksi LimbahModel 1Prediksi LimbahModel 2
Gambar 37. Grafik jumlah limbah aktual dan hasil prediksi
jumlah limbah pada submodel limbah industri
Berdasarkan Tabel 51 dan Gambar 37 di atas dapat diperoleh hasil validasi model
antara jumlah limbah aktual dengan hasil prediksi limbah model 1 yang memiliki
171
nilai kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,228% dan nilai kesalahan
variansi mutlak (AVE) sebesar 1,873%. Sedangkan hasil validasi model antara
jumlah limbah aktual dengan hasil prediksi limbah model 2 memiliki dengan nilai
kesalahan rata-rata mutlak (AME) sebesar 0,127% dan nilai kesalahan variansi
mutlak (AVE) sebesar 0,95%. Hal ini berarti bahwa hasil validasi model 2
(simulasi) tersebut valid dengan tingkat kesalahan cukup kecil dan validasi
tersebut memenuhi batas penyimpangan yang diterima, yakni < 10 %.
Berdasarkan hasil submodel pesisir laut diperoleh hasil prediksi luas pesisir tahun
2003 – 2015 dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya hasil prediksi limbah
baja tahun 2003 – 2015 disajikan pada Gambar 38.
1861000186200018630001864000186500018660001867000
2003
2005
2007
2009
2011
2013
1015
Tahun
Jum
lah
limba
h (t
on)
Prediksi LimbahIndustri
Gambar 38. Grafik jumlah limbah baja pada struktur sub model limbah industri di wilayah pesisir Kota Cilegon
Berdasarkan Gambar 38 tersebut di atas, menunjukkan terjadi peningkatan
jumlah limbah dari tahun 2003 – 2009, sedangkan pada tahun 2009 – 2015 terjadi
penurunan jumlah limbah baja.
7.5 Kesimpulan dan Saran
7.5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan strategi model pengelolaan
lingkungan dapat disimpulkan:
1. Strategi pengelolaan lingkungan dapat dilakukan bersamaan dengan pengelolaan
limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas
industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industri 1.500 ha., dan
dampak sosialnya pada model pengelolaan limbah baja sebanyak 36.662 jiwa.
2. Kesehatan masyarakat pada penduduk yang tinggal dipemukiman wilayah pesisir
di empat Kecamatan Ciwandan, Citangkil, Grogol, dan Pulomerak
172
berkecenderungan mengalami penyakit ISPA, bahkan jenis penyakit tersebut
dapat mengalami kenaikan jumlah penyakit ISPA, mengingat pada wilayah ini
banyak berdiri industri menengah hingga industri berat.
3. Hasil analisis baku mutu limbah baja terhadap kesehatan masyarakat dan
degradasi pesisir masih memenuhi nilai ambang batas (NAB), namun analisa
logam berat dalam air laut menunjukkan air raksa (Hg), kadmium (Cd), dan
tembaga (Cu) berkisar (rata-rata < 0,0005 mg/l), tembaga (Pb) rata-rata: < 0,0005
mg/l. Sedangkan untuk seng (Zn ) rata-rata: 0,005 mg/l. Rendahnya kadar logam
Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn karena logam tersebut mengalami proses pengenceran
oleh pola arus pasang surut.
4. Hasil pemilihan prioritas pendapat pakar yang menggunakan metode AHP
Cdplus3.0 terpilih perubahan bahan baku sebagai urutan kepentingan variabel
alternatif pada menentuan strategi pengelolaan limbah baja.
5. Hasil penentuan parameter kunci model pengelolaan limbah baja berdasarkan sub
elemen pendapat pakar lingkungan diposisikan pada sektor IV (independent) yang
menyatakan pabrik baja (1), pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman
(3), dan pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan (4) adalah peubah bebas,
hal ini berarti kekuatan penggerak (driver power) yang besar namun memiliki
sedikit ketergantung terhadap program.
6. Strategi kebijakan dalam pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan
membuat submodel pemecahan masalah meliputi submodel penduduk, pesisir
laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause
loop) dan struktur model dengan bantuan program powersim yang
memperlihatkan hasilnya trend meningkat maupun menurun, seperti yang
diperlihatkan baik melalui tabel dan grafik pada sub model pengelolaan limbah
baja.
7.5.2 Saran
Sebagai saran dalam model strategi pengelolaan limbah, adalah berikut:
1. Hendaknya perusahaan dapat menentukan strategi pengelolaan limbah
berdasarkan pemilihan prioritas, parameter kunci, dan mengembangkan model-
modelnya.
2. Agar perusahaan memperhatikan secara kontinu melakukan strategi pengelolaan
limbah baja dengan cara menganalisis baku mutu limbah baja yang pengaruhnya
terhadap kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir dari pencemaran lingkungan.
173
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Brown, B.E. 1997. Integrated Coastal Management. South Asia. University of Newcastle Upon Tyne. United Kingdom.
Dahuri, R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.
Eriyanto. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid satu. IPB Press. Bogor.
Handoko, I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamic for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Marimin. 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.
Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.
Ottosson, S. and E. Bjorg. 2003. Research on Dynamic Systems-Some Considerations. Technovation 24: 863 – 869.
Sargent, RG. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of the 1998 Winter Simulation Conference. D.J. Medeiros, E.F. Watson. J.S. Carson and M.S. Manivannan, eds.
Saaty, TL. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.
Sjaifuddin. 2007. Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten. Jurnal Ilmu Perikanan dan Budidaya Perikanan. Vol. 4 No.1.
Sorensen, J. C. and Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of California of Barkeley.
Suryadi, K dan Ramdhani. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Zhijie, F. and R. P. Cote. 1990. Coastal Zone of Peoples Republic of China: Management Approaches and Institutions. Marine Policy.
VIII. IMPLIKASI ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN LIMBAH
ABSTRAK
Kebijakan merupakan upaya untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan dalam pengelolaan limbah industri baja yang diinginkan mempengaruhi kerja unsur tertentu dari sebuah sistem yang sasarannya mempengaruhi unsur tertentu dari sistem, baik bersifat teknis maupun rutinitas yang umumnya bersifat jangka pendek dan terbatas. Tujuan dari kebijakan ini adalah Menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja berdasarkan hasil analisis struktur hirarki; Menganalisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis; Menganalisis prospektif kebijakan ke arah produktivitas. Metode yang digunakan pada kebijakan pengelolaan limbah industri baja adalah: Analisis kebijakan dengan metode AHP, Menganalisis dan sintesa terutama terhadap perubahan-perubahan nilai investasi. Hasil analisisnya, yaitu analisa kebijakan dengan metode AHP untuk menentukan 5 (lima) faktor tujuan pengelolaan limbah; memperoleh hasil analisis dan sintesa terhadap perubahan-perubahan nilai investasi seperti net present value analysis (NPV) terbesar adalah slurry CRM dengan nilai dana sebesar 21,306,917 USD dan benefit cost ratio (BCR) sebesar 3,7.
Kata kunci: Implikasi, Analisis kebijakan, Analisis sintesa
8.1 Pendahuluan
8.1.1 Latar Belakang
Kebijakan yang merupakan upaya untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan
dalam pengelolaan limbah industri baja yang diinginkan mempengaruhi kerja unsur
tertentu dari sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi unsur tertentu
dari sistem, maka tindakan tersebut bersifat teknis, bahkan rutinitas yang umumnya
bersifat jangka pendek dan terbatas. Arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja
dapat dilakukan dengan cara membuat analisis kebijakan, Menurut Muhammadi (2001),
analisis kebijakan merupakan pekerjaan intektual memilih dan mengelompokkan upaya
dan tindakan untuk memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam
mempengaruhi suatu sistem mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut Sterner (2003), mengungkapkan terdapat beberapa altenatif kebijakan
untuk mengatasi permaslahan pengelolaan sumberdaya alam dann lingkungan yang dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu decentralized polices, command and control
polices, dan incentives-based polices. Decentralized polices merupakan kebijakan publik
yang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengelola masalah sendiri.
175
Sedangkan command and control polices merupakan kebijakan publik yang menuntut
perilaku masyarakat agar mematuhi standar pengelolaan yang telah ditetapkan di dalam
Undang-Undang. Begitu juga dengan incentives-based polices merupakan kebijakan
publik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan
melalui mekanisme changes and subsidies.
Kota Cilegon yang wilayahnya diperkirakan memiliki luas pesisir 11.520 ha
merupakan daerah bahari yang dilalui oleh kapal-kapal besar yang singgah di Pelabuhan
Merak maupun pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki oleh berbagai industri di wilayah
Kawasan Industri Krakatau Cilegon, namun menurut Douven (1999), Cilegon dan
Bojonegara merupakan penyumbang industri terbesar pertama dan kedua yang
mengalirkan limbahnya di Teluk Banten termasuk di wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon. Saat ini berbagai perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang
cukup pesat pada wilayah pesisir akan berakibat kepada intensitas penggunaan lahan
yang semakin tinggi dan kecenderungan meluasnya lahan untuk pemenuhan
kebutuhannya. Untuk menentukan pengelolaan limbah industri baja dalam upaya
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di Kawasaniindustri Krakatau Cilegon akan
berhasil bila didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaannya. Hal
ini dapat dilakukan dengan dukungan stakeholders yang memilki peran penting dari
berbagai pihak yang berkepentingan seperti faktor pendukung dan tujuan pengelolaan
yang ditentukan.
8.1.2 Tujuan kebijakan pengelolaan limbah
Tujuan kebijakan pengelolaan limbah industri baja, yaitu:
1. Menganalisis kebijakan pengelolaan limbah industri baja berdasarkan hasil analisis
struktur hirarki metoda AHP.
2. Menganalisis sintesa terhadap penilaian investasi yang ekonomis dari NPV dan BCR.
8.2 Metoda Kebijakan Pengelolaan Limbah
Arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja berimplikasi pada metoda
kebijakan yang didasarkan dari hasil analisis kebijakan yang merupakan suatu aktivitas
untuk memperoleh pengertian dan pemahaman dalam upaya atau tindakan untuk
mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan.
176
Untuk melakukan analisis sintesa, para pakar berpendapat bahwa informasi dari
publikasi ilmiah, data dan model ilmiah, serta pengetahuan yang dimiliki untuk
melakuan kajian ilmiah dapat dijadikan sebagai sistem dalam upaya menjaga dan
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri dari pencemaran
lingkungan disekitarnya. Pendekatan ini oleh pakar digunakan untuk membuat suatu
dokumen sintesa yang merangkum hasil penelitian ilmiah dalam rangka menentukan
kebijakan atas dasar proses pengambilan keputusan dan perencanaan di dalam
pengelolaan limbah industri baja.
Sedangkan pada analisis prospektif dalam pengelolaan limbah industri baja di
wilayah pesisir digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi di masa depan yang bertujuan untuk penataan dan pengelolaan limbah,
penggunakan teknologi IPAL, serta peraturan daerah (Perda) yang membuat peraturan
ketat agar kelangsungan kelestarian wilayah pesisir menjadi aman dan terkendali dari
gangguan pencemaran limbah terhadap lingkungan sekitarnya mengingat banyaknya
jenis-jenis industri yang berdiri di Kawasan Industri Krakatau Cilegon hingga terdapat 58
jenis industri yang sebagian besar adalah industri berat.
8.3 Hasil dan Pembahasan Kebijakan Pengelolaan Limbah
Untuk mengkaji lebih dalam lagi, peneliti melakukan berbagai kebijakan
pengelolaan limbah melalui analisis kebijakan, dan analisis sintesa.
8.3.1 Analisis Kebijakan
Analisis pengelolaan limbah industri dalam upaya mempertahankan kelestarian
wilayah pesisir di Kawasan Industri Krakatau Cilegon dapat dilakukan dengan
menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP). Dalam analisis pengelolaan
limbah ini terdapat 5 level pengambilan keputusan yang secara garis sebesar terdiri dari:
1) fokus pada strategi pengelolaan lingkungan; 2) tujuan upaya mempertahankan
kelestarian wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; 3) kriteria
untuk mencegah timbulnya limbah dan pencemaran serta kerusakan lingkungan; 4)
dukungan stakeholders dari berbagai pihak; dan 5) alternatif-alternatif kebijakan yang
memungkinkan dapat dilaksanakan.
177
Kebijakan pengelolaan lingkungan sampai sekarang belum holistik (antar
instansi) maupun integral (menyeluruh). Ketika terjadi persoalan lingkungan, instansi
mempunyai program sendiri-sendiri dan saling berbenturan akibatnya program-program
tersebut menjadi cuma-cuma (proyek semata). Sehubungan dengan permasalahan
tersebut, maka berdasarkan pengolahan limbah dengan menggunakan model AHP
Cdplus3.0 (Marimin, 2005) diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Faktor tujuan pengelolaan limbah
Untuk membuat strategi dan kebijakan model pengelolaan limbah industri baja
sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri
Krakatau Cilegon ini, diperlukan 6 (enam) faktor tujuan yang ingin dicapai pada
tingkat kepentingan dalam strategi dan kebijakan pengelolaan limbah baja ini.
Berdasarkan perhitungan dengan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 52.
Tabel 52. Urutan tingkat kepentingan faktor tujuan pengelolaan limbah baja
No. Faktor Tujuan Pengelolaan Limbah
1 2 3 4 5 6
Pemanfaatan kembali limbah Minimalisasi limbah Pencegahan pencemaran terhadap wilayah pesisir Upaya mempertahankan wilayah pesisir Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan Pencegahan pencemaran terhadap kesehatan masyarakat
2. Hierarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (tujuan)
Hierarki kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon
ditentukan berdasarkan faktor pendukung (tujuan). Hasil pengolahan dengan
menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 53.
178
Tabel 53. Hierarki kriteria pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung
Faktor Kriteria Pengelolaan Limbah Baja
Faktor Pendukung (Tujuan)
Timbulnya
limbah
Pencemaran & kerusakan lingkungan
Efisiensi material & energi
"Environmental equity"
Degradasi lingkungan
Ekosistem lingkungan
Daya dukung
lingkungan Pemanfaatan limbah kembali 0.402 0.153 0.050 0.118 0.062 0.117 0.098 Minimalisasi limbah 0.092 0.067 0.151 0.153 0.147 0.162 0.229
Pencegahan pencemaran pesisir 0.239 0.104 0.233 0.088 0.121 0.152 0.062 Upaya menpertahankan kelesterian wilayah pesisir 0.219 0.119 0.085 0.088 0.140 0.254 0.096 Kebijakan pengelolaan limbah berwawasan lingk dan berkelanjutan 0.170 0.149 0.051 0.277 0.050 0.199 0.104 Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat 0.297 0.216 0.161 0.101 0.090 0.055 0.079 Results 0.237 0.135 0.122 0.138 0.102 0.157 0.111
Berdasarkan Tabel 53 tersebut di atas, memperlihatkan bahwa faktor pendukung
tujuan paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini
adalah: (1) Pemanfaatan limbah kembali memberi nilai tertinggi pada faktor kriteria
timbulnya limbah dengan nilai 0,402, (2) Minimalisasi limbah memberi nilai pada
faktor kriteria degradasi lingkungan dengan nilai 0,247 dan faktor kriteria daya
dukung lingkungan dengan nilai 0,229, (3) Pencegahan pencemaran pesisir
memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria efisiensi material dan energi
dengan nilai 0,233, (4) Upaya mempertahankan pesisir memberikan nilai tertinggi
terdapat pada faktor kriteria ekosistem lingkungan dengan nilai 0,254, (5) Kebijakan
mengelola limbah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dengan memberikan
nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria "Environmental equity" dengan nilai
0,277, (6) Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat dengan memberikan
nilai tertinggi terdapat pada faktor kriteria pencemaran & kerusakan lingkungan
dengan nilai 0,216.
3. Hierarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (kriteria)
Hierarki aktor model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon
ditentukan berdasarkan faktor pendukung (kriteria). Hasil pengolahan dengan
menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 54.
179
Tabel 54. Hierarki aktor pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung
Faktor Aktor Pengelolaan Limbah Baja
Faktor Pendukung (Kriteria) Pemerintah Daerah
Industri penghasil
baja
Divisi K3LH PT. KS
Masyarakat sekitar
Lembaga Swadaya
Masyrakat
Peneliti/ Pakar
Tmbulnya limbah 0.301 0.168 0.222 0.118 0.107 0.083
Pencemaran dan kerusakan lingkungan 0.403 0.219 0.157 0.074 0.074 0.074 Efisiensi material dan energi 0.335 0.248 0.155 0.099 0.094 0.068
"Environmental Equity” 0.313 0.162 0.203 0.119 0.129 0.075 Degradasi lingkungan 0.293 0.238 0.178 0.124 0.105 0.063
Ekosistem lingkungan 0.353 0.187 0.192 0.092 0.100 0.076
Daya dukung lingkungan 0.312 0.244 0.155 0.121 0.091 0.078
Results 0.330 0.209 0.180 0.107 0.100 0.074
Berdasarkan Tabel 54 tersebut di atas, menunjukkan bahwa faktor pendukung
kriteria paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini
terdapat 5 (lima) faktor pendukung yang memiliki nilai tertinggi dari 7 (tujuh) faktor
pendukung (kriteria) yaitu: (1) Timbulnya limbah memberi nilai tertinggi pada faktor
aktor adalah Divisi K3LH PT. Krakatau Steel dengan nilai 0,403 dan Peneliti/Pakar
dengan nilai 0,083, (2) Pencemaran dan kerusakan lingkungan memberi nilai pada
faktor aktor adalah pemerintah daerah dengan nilai 0,403, (3) Efisiensi material dan
energi memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor aktor adalah Industri
penghasil baja dengan nilai 0,248, (4) "Environmental equity” memberikan nilai
tertinggi terdapat pada faktor aktor adalah lembaga swadaya masyarakat dengan nilai
0,129, (5) Degradasi lingkungan dengan memberikan nilai tertinggi terdapat pada
faktor aktor adalah masyarakat sekitar dengan nilai 0,124.
4. Hierarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung (aktor)
Hierarki alternatif model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon
ditentukan berdasarkan faktor pendukung (aktor). Hasil pengolahan dengan
menggunakan model AHP Cdplus3.0 disajikan pada Tabel 55.
180
Tabel 55. Hierarki alternatif pengelolaan limbah baja berdasarkan faktor pendukung
Faktor Alternatif Pengelolaan Limbah Baja
Faktor Pendukung (Aktor)
Perubahan Bahan Baku
Perubahan proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Penerapan 5 R
Lingkungan
Mengurangi Limbah
Memakai kembali Limbah
Mendaur ulang
Limbah
Mengganti Limbah
Lembaga Swadaya Masyrakat 0.295 0.142 0.160 0.111 0.074 0.068 0.077 0.073 Masyarakat sekitar 0.283 0.187 0.130 0.115 0.098 0.053 0.067 0.067
Divisi K3LH PT. Krakatau Steel 0.297 0.127 0.169 0.125 0.117 0.059 0.06 0.045 Industri Penghasil Baja 0.252 0.114 0.203 0.091 0.095 0.091 0.096 0.058 Peneliti/ Pakar 0.223 0.159 0.195 0.141 0.052 0.058 0.078 0.093
Pemerintah Daerah 0.306 0.139 0.161 0.100 0.078 0.062 0.069 0.086
Results 0.276 0.145 0.170 0.114 0.086 0.065 0.075 0.070
Berdasarkan Tabel 55 tersebut di atas, memperlihatkan bahwa faktor pendukung
aktor paling penting pada pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon ini,
terdapat 5 (lima) faktor pendukung yang memiliki nilai tertinggi dari 6 (enam) faktor
pendukung (aktor) yaitu: (1) Masyarakat sekitar memberi nilai tertinggi pada faktor
alternatif Perubahan proses dan Teknologi dengan nilai 0,187, (2) Divisi K3LH PT.
Krakatau Steel memberi nilai pada faktor alternatif Mengurangi limbah dengan nilai
0,117, (3) Industri penghasil baja memberikan nilai tertinggi terdapat pada 3 (tiga)
faktor alternatif yaitu: Perubahan produk dengan nilai 0,203, Memakai kembali
limbah dengan nilai 0,091, dan Mendaur ulang limbah dengan nilai 0,096, (4)
Peneliti/Pakar memberikan nilai tertinggi terdapat pada 2 (dua) faktor alternatif
Penerapan 5 R lingkungan dengan nilai 0,141, dan Mengganti limbah dengan nilai
0,093, (5) Pemerintah daerah memberikan nilai tertinggi terdapat pada faktor
alternatif Perubahan bahan baku dengan nilai 0,306. Dari tabel 41 juga, terdapat
dominasi faktor pendukung (aktor) terhadap 3 (tiga) faktor alternatif strategi dan
kebijakan pengelolaan limbah baja.
8.3.2 Sintesa
Pengelolaan limbah baja secara terpadu yang melibatkan Pemerintah daerah,
dunia usaha, serta stakeholders lainnya, untuk membentuk kelompok kerja yang
melakukan analisis terhadap: (1) Kondisi dan kecenderungan ekosistem, serta
kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; (2) Skenario perubahan masa depan pada
181
ekosistem dan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; (3) Respons terhadap
pelestarian ekosistem yang lebih baik dan terhadap peningkatan peran ekosistem untuk
kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir; dan (4) Penilaian sub-global terhadap
konsekuensi perubahan ekosistem untuk kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.
Para pakar maupun ilmuan dapat melakukan analisis sintesa informasi dari
publikasi ilmiah, data dan model ilmiah, serta menggunakan pengetahuan yang dimiliki
untuk dapat berpartisipasi melakuan kajian ilmiah dalam upaya menjaga dan
mempertahankan kelestarian wilayah pesisir di kawasan industri akibat adanya limbah
yang mencemari maupun merusak lingkungan sekitarnya. Pendekatan yang digunakan
oleh pakar yaitu membuat suatu dokumen sintesa singkat yang merangkum seluruh hasil
kajian ilmiah dan siap digunakan oleh para penentu kebijakan atas dasar untuk
menyebarluaskan penemuan, metoda, data dan perangkat yang dapat digunakan dalam
proses pengambilan keputusan dan perencanaan di dalam pengelolaan limbah industri
baja. Untuk itu perlu dilakukan sintesa hasil penelitian, yakni analisis logam berat dan
analisis investasi pengelolaan limbah baja.
8.3.2.1 Analisis Logam Berat
Untuk menganalisis logam berat di perairan wilayah pesisir ini terutama pada air,
sedimen, biota air yaitu walaupun logam berat dalam air tidak terdeteksi, tetapi dalam
sedimen tinggi apalagi jika dilihat organ tubuh kerang. Hal ini memperlihatkan bahwa
konsentrasi bahan pencemar yang berasal dari insang dan hepatopankreas (hati) yang
jumlahnya kecil dalam air harus tetap diwaspadai karena bahan pencemar tersebut, dalam
hal ini terutama bahan B3 yang berasal dari kegiatan industri di Kawasan Industri
Krakatau Cilegon terutama yang berasal dari kegiatan pabrik baja dapat terakumulasi
pada sedimen dan biota air, sehingga dapat mengakibatkan kelestarian wilayah pesisir
disekitar industri Krakatau Cilegon akan terganggu.
8.3.2.2 Analisis Investasi Pengelolaan Limbah
Untuk pengelolaan limbah industri baja ini, para pakar menilai, bahwa model
penanganan limbah baja terdapat 2 (dua) opsi skenario. Skenario pertama, perusahaan
dapat mengolah limbah baja menjadi produk yang mempunyai nilai tambah (value
added). Opsi ini, perusahaan harus mengeluarkan dana untuk investasi awal yang cukup
182
besar dalam arti perusahaan mendirikan pabrik baru dengan bahan substitusi (campuran)
limbah. Berapa negara seperti Jepang sudah memanfaatkan limbah baja untuk bahan
substitusi (campuran) membuat produk tersebut, seperti batako, genteng, paving block,
lantai keramik, dan sebagainya. Skenario kedua, perusahaan dapat menjual langsung
limbah yang dihasilkan oleh pabrik saat beroperasi proses produksi. Opsi ini telah
dilakukan oleh perusahan dengan cara menjual limbah baja ke perusahaan lain di dalam
dan luar negeri. Setiap bulannya perusahaan dapat menjual + 3.000 ton untuk pabrik
semen di Indonesia dan pabrik baja di negara Cina. Skenario opsi kedua dianggap
mendukung program lingkungan bersih, karena secara berangsur-angsur limbah yang
berada di area penampungan semakin berkurang, maka sejak tahun 2007 perusahaan
memulai melaksanakan penanganan limbah baja dengan cara menjual.
Analisis sistesa model pengelolaan limbah industri baja dapat dilakukan dengan
penetapan prioritas penanganan limbah baja terpakai yang didasarkan atas hasil
perhitungan. Hal ini dapat dilakukan untuk penetapan prioritas penanganan jenis limbah
baja yang dihasilkan oleh masing-masing pabrik baja yang berada di Cilegon dengan
memiliki karakteristik jenis limbah baja berbeda-beda, sehingga diperlukan analisis dan
sintesa terutama terhadap perubahan-perubahan nilai investasi seperti net present value
analysis dan benefit cost ratio analysis.
Hasil analisis investasi pengelolaan limbah baja yang diuraikan pada bab
sebelumnya diperoleh estimasi nilai manfaat (benefit) dari komponen debu EAF BSP,
debu EAF SSP1, debu EAF SSP2, sludge DR, sludge WRM, slurry CRM, shipping
bernilai 1.885.022 USD, sedangkan nilai biaya (cost) adalah 391.077 USD.
Analisis investasi dari NPV dan BCR (Helfert, 1997 dan Perman, 2003)
berdasarkan hasil perhitungan untuk masing-masing jenis limbah baja, seperti yang
disediakan pada Tabel 59.
183
Tabel 59. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan limbah industri baja
No. Jenis Limbah NPV (USD) BCR
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM
10,929,328 20,722,145 17,087,813 4,588,718
2,275,133 21,306,917
3,6 3,6 3,6 3,7 3,7 3,7
Berdasarkan Tabel di 59 atas menunjukkan bahwa nilai benefit cost ratio (BCR)
masing-masing jenis limbah baja nilai >1, maka keputusan pengelolaan limbah industri
baja dengan opsi menjual limbah baja langsung ke konsumen dianggap sangat
menguntungkan. Sedangkan menurut Damanhuri (1997), limbah baja yang bertumpuk di
area penampungan limbah perlu dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai
tambah (added value) artinya perusahaan dapat mengolah kembali menjadi produk yang
sejenis atau tidak sejenis, namun dalam penanganan limbah baja ini memerlukan
investasi awalnya cukup besar.
8.4 Kesimpulan dan Saran
8.4.1 Kesimpulan
Implikasi arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja dapat disimpulkan
dalam 3 bagian, yaitu:
1. Analisis kebijakan menentukan hirarki kebijakan pengelolaan limbah baja dengan
metoda AHP Cdplus 3.0, dapat mengungkap hal-hal yang menjadi fokus, tujuan,
kriteria, aktor, dan alternatif.
2. Analisis sintesa untuk menghitung penilaian investasi NPV dan BCR dengan rasio >
1, berarti pengelolaan limbah baja sangat menguntungkan nilai investasinya.
8.4.2 Saran
Sebagai saran dalam implikasi arah kebijakan pengelolaan limbah industri baja ini
yaitu:
1. Agar manajemen perusahaan dalam menentukan arah kebijakannya harus
melibatkan steakeholder dalam program pengelolaan limbah.
184
2. Perlu dibuat kebijakan pengelolaan limbah baja oleh perusahaan lebih mengarah
pada peningkatan produktivitas hasil produksi dengan program minimasi timbulnya
limbah.
Daftar Pustaka
Douven, WJAM.1999. Human Pressure on Marine Ecosystems in The Teluk Banten Coastal Zone: Present Situation and Future Prospects. Teluk Research Program Report Series 3: 1 – 38.
Marimin. 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.
Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.
Perman, R, Y Ma, J McGilvray, and M Common. 2003. Natural Resource and Environmental Economic., Pearson. Addison Wesley.
Saaty, TL. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.
Sterner, T. 2003. Policy Instrument for Environmental and Natural Resource Mangement. Resources for the Future. RFF Press. W shington, DC.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, M. 2001. Pokok-Pokok Teori Sistem, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Anderson,, JA.1977. An Overview of Modelling in Agricultural Management Review of Marketing and Economic. Vol. 40, No. 3, pp. 111 – 121.
Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
Bateman, BW. 1997. Light-Gauge Steel Verses Conventional Wood Framing In Residential Construction. Journal of Construction Education by the Associated Schools of Construction Vol. 2, No. 2, pp. 99 – 108
Bergh, J and CJM Ven Den. 2002. Handbook of Environmental and Resaource Economics. MPG Books Ltd. Bodmin. Cornwall.
Bertram, P., C. Forst and P. Horvatin. 2005. Ecology, Health and Management. Ecovision World Manograh Series. State of Lake Michigan. pp 505 – 519.
Brown, B.E. 1997. Integrated Coastal Management. South Asia. University of Newcastle Upon Tyne. United Kingdom.
Chini A. and K.Gupta. 1997. A Comparison Between Steel and Wood Residential Framing Systems. The Associated Schools of Construction Vol. 2, No. 2, pp. 133 – 145.
Clark, RB. 1996. Marine Pollution. Clarendon Press. Oxford University Press. New York.
Dahur,i R, J Rais, P Ginting dan MJ Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Dahuri R 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan: Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. No ISSN : 1410 7821. Vol. 1 No. 2 1998. IPB. Bogor.
Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Damanhuri, E. dan Tim. 1997. Studi Pengelolaan Limbah Industri PT. Krakatau Steel. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel. Cilegon
Darmono, 2006. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta.
Davisna K. 1995. Human Relation at Work. McGraw Hill Book Company. New York.
Djajadiningrat, ST. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan, Penerbit Studi Tekno Ekonomi. Departemen Teknik Industri, ITB.
Djajadiningrat, ST. 1997. Pengantar Ilmu Lingkungan. LP3ES. Jakarta
Douven, WJAM.1999. Human Pressure on Marine Ecosystems in The Teluk Banten Coastal Zone: Present Situation and Future Prospects. Teluk Research Program Report Series 3: 1 – 38.
188
Douven, WJAM, DA Tiwi and J Heun. 2000. Integrated Research to Support Coastal Zone Management in Banten Bay. Indonesia Journal of Coastal and Marine Resource Management 3: 1.
Dungan, RS and NH Dees. 2006. Metals in Waste Foundry Sands: Assessment with Earthworms. Journal of Residuals Science & Technology 3:177-184.
[EPA]. 2001. Update of Ambien Water Quality Criteria for Cadmium. http://w.w.w. epa.gov
Eriyanto. 1998. Analisa Sistem Industri Pangan, PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Eriyantos. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid satu. IPB Press. Bogor.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. dan Buchary, E. 2002. A Socio-Economic Perspective of Environmental Degredation at Kepulauan Seribu Nasional Marine Park. Coastal Management Journal. Vol. 30 (2): 167 – 181.
Fentona MD. 1998. Iron and Steel Recycling in the United States in 1998. U.S. Departement of The Interior. U.S. Geological Survey.
Field BC and MK Field. 2002. Environmental Economics: An Introduction. McGraw-Hill Irwin. Landon
Galeottib BSL, F Lombardi, E Mogensen, and P Sirini. 1997. Mass Balance and Heavy Metals Distribution in Municipal Solid Waste Incineration. The Journal of solid waste Technology and Management. Volume 24 Number 1. Rome. Italia.
Handokos I. 2005. Quantitative Modeling of System Dynamic for Natural Resources Management. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Helfert, E. 1997. Techniques of financial Analysis. Irwin Professional Publishing.
Heal, G. (1988). Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York.
Hisrich RD and MP Peters. 1991. Marketing Decision for New and Mature Product. McMillian Publishing Co. New York.
Horiguchi.T, M.Kojima, F. Hamada, A. Kajiwaha, H. Shiraishi, M. Morita and H. Shimizu. 2006. Impact Tributiltin and Tripeniltin on Evory Shell (Babylonia Japonika Population). Environmental Health Prospective. Vo. 114 Suplement.
[IAEA]. 1996. Irradiation treatment of water, wastewater and sludge. IAEA.Vienna. Austria.
Kallio R and M Makikyro. 2005. The Untilization and Status of Steel Industri Slags: A Perspective from Finland. The Journal of waste Tchnology and Management. Volume 32 Number 2. Finland.
[KMNKLH]. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1991. Nomor: KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan yang sudah beroperasi.
Knuteson, SL, T Whitwell and SJ Klaine. 2002. Influence of Plant Age and Size on Simazine Toxicity and Uptake. American Society of Agronomy, Crop Science
189
Society of America, and Soil Science Society of America. Journal of Environmental Quality 31:2096-2103
Koenafi, K.D. dan Herto D.A. 2000. Potensi Bioakumulasi Logam Berat di Perairan Sekitar Kepulauan Seribu. Studi Kasus Pulau Kelapa. Jurnal Taksikologi Indonesia Vol. 1 No. 2. 2000. h. 16 – 21.
[Law]. 1981. Law EA 1981 Aquatic Pollution, John Wiley and Sons. New York.
Maduka HC. 2006. Water Pollution and Man's Health. Department Of Biochemistry College Of Medical Sciences University Of Maiduguri Borno State Nigeria. The Internet Journal of Gastroenterology. Volume 4 Number 1.
Marimin, 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.
Marimin, 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Gramedia. Jakarta.
McDonald, RB. 2005. Managing Marine Misbehavior: Good Science, Good Policy, Bad Human. Journal of International Affairs (59).
McFarlane, HF, KM Goff, FS Felicione, CC Dwight, and DB Barber. 1997. Hot Demonstrations of Nuclear Waste Processing Technologies. The Journal JOM, The Minerals, Metals & Materials Society. North Carolina State University, pp. 14-21, 83
Miller GT. 1991. Environmental Science; Sustaning the Earth, Wadswort Publishing Co. California. USA.
Moberly, H.K. 1997. Alternatives to Waste Disposal, Rural Information Center Publication Series, No. 58 Revised Edition. The Pennsylvania State University
Muhammadi, E Aminullah, dan B Susilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Penerbit UMJ. Jakarta.
Mulyowahyudi, A. 2005. KS-Review: Steel as National Power. PT. Krakatau Steel. Cilegon
Murdick, RG and JE Ross. 1982. Information Syatem for Modern Management Ed. 2nd. Prentice-Hall. India, New Delhi.
Newnan, D. G. 1990. Engineering Economic Analysis. Third Edition. Engineering Press Inc. California.
Nurdin, HM dan Tim. 1992. Penanganan Limbah di Pabrik Baja Canai Dingin, Audit Lingkungan. Divisi Pengendalian Lingkungan Industri PT. Krakatau Steel Cilegon.
Ottosson, S. and E. Bjorg. 2003. Research on Dynamic Systems-Some Considerations. Technovation 24: 863 – 869.
Perman, R, Y Ma, J McGilvray, and M Common. 2003. Natural Resource and Environmental Economic., Pearson. Addison Wesley.
[PPRI]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.18 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Quano. 1993. Training Manual on Assement of the Quantity and Type of Land Based Pollution Discharge into the Marine and Coastal Environment.UNEP. Bangkok.
190
Rachmansyah, PR Dalfiah, Pongmasak dan T Ahmad.1998. Uji Toksisitas Logam Berat terhadap Benur Udang Windu dan Nener Bandeng. Jurnal Perikanan Indonesia. 4(1): 55-56.
Riani, E., S.H. Sutjahjo, dan Firmansyah. 2004. Analisa Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB dengan Pemprov. DKI Jakarta.
Rodriguez, V, D Aguirre de Cárcer, V Loza, E Perona and P Mateo. 2007. A Molecular Fingerprint Technique to Detect Pollution-Related Changes in River Cyanobacterial Diversity. Departamento de Biología, Universidad Autónoma de Madrid, Spain. Published in Journal of Environmental Quality 36:464-468
Samsudin, A.R, B Elwali AR, W Zuhairi WY, and U Hamzah. 2006. Mapping of contamination plumes at municipal solid waste disposal sites using geoelectric imaging technique: Case studies in Malaysia, Journal of Spatial Hydrology Vol.6, No.2, School of Environment & Natural Resources Sciences, Faculty of Science & Technology National University of Malaysia
Saaty, T.L. 1999. Fundamental of Decision Making The Analytic Hierarchy Process and Priority Theory, Vol. VI. RWS Publication.
Salim, E. 1993. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Sargent, R.G. 1998. Verification and Validation of Simulation Models. Proceeding of the 1998 Winter Simulation Conference. D.J. Medeiros, E.F. Watson. J.S. Carson and M.S. Manivannan, eds.
Sax, N.I. 1957. Dangerous Properties of Industrial Materials. Reinhold Publishing Co. New York.
Sheehan, B. 2000. Zero Wast., Recycling and Climate Change. Grass Roots Recycling Network. The United States.
Shuang-Ling, C. 2004. Preventing Corrosion in Steel Bridges, Published in the Journal of Protective Coatings and Linings. The State University of New Jersey.Vol. 68 No. 2, pp.42.
Sorensen, J. C. and Mc.Creary, 1990. Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources. University of California of Barkeley.
Sjaifuddin. 2008. Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan.Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajaran Vol.3 No.1.
[SKEPHI]. 1992. Memahami KTT Bumi: Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan. Rio De Janeiro. Brazil.
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Solomon, C. 1994. Slag-Iron and Steel. Journal of 29. No. 5. pp. 71-74
Sterner, T. 2003. Policy Instrument for Environmental and Natural Resource Mangement. Resources for the Future. RFF Press. W shington, DC.
Sumirat, J. 2003. Taksikologi Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Suratmo, F.G. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
191
Suryadi, K dan Ramdhani. 2002. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Thale, C. 1994. Waste Disposal. Journal of Historical Geography 20.2, pp.124–142.
[UNEP]. 1993. Water Quality Assement Edition by Chapman. Chapman and Hall Ltd. London.
[UURI]. Undang-Undang Republik Indonesia. 1999. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Waldichuk, M. 1974. Some Biological Concerns in Heavy Metals Pollution. Dalam: Pollution and Physiology of Marine organism. Vernberg and Vernberg (Ed.). Academic Press. London.
[WCED] The World Commission on Environment and Development. 1988. “Our Common Future terjemahan Hari Depan Kita Bersama”. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Williams, J. 1979. Introduction to Marine Pollution Control. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Yim, M.S. and KL Murty. 2000. Materials Issues in Nuclear-Waste Management. Journal JOM, The Minerals, Metals & Materials Society. North Carolina State University, pp. 26-29.
Zhijie, F. and R. P. Cote. 1990. Coastal Zone of Peoples Republic of China: Management Approaches and Institutions. Marine Policy.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
192
Lampiran 1. Daftar Istilah (GLOSSARY) AHP : Analytical Hierarchy Process , berlandaskan pada pola pikir
manusia yang sistematis guna menghadapi kompleksitas yang ditangkapnya, sehingga diwujudkan dalam suatu metode yang merumuskan masalah dalam bentuk hirarki dan pertimbangan-pertimbangan dimasukkan guna menghasilkan skala prioritas.
AME : Absolute Mean Error adalah penyimpangan (deviasi) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual
Artritis : Penyakit radang dan sejenisnya
APE Environmental Protection Agence
AVE : Absolute Variance Error adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktua
Baku mutu : Batas aman dari bahan yang membahayakan
BCR : Benefit Cost Ratio digunakan untuk menentukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki di wilayah pesisir laut secara lebih efisien, terutama digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan lingkungan
BPS : Badan Pusat Statistik
Daya dukung lingkungan
: Kemampuan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan makhluk hidup sampai memenuhi ambang batas sebelu terjadi degradasi.
Dermatitis : Penyakit kulit dan sejenisnya
IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah
ISM : Interpretative Structural Modelling, merupakan proses pengkajian kelompok di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
MARR Minimum Attractive Rate of Return, merupakan mengembalian dana yang telah dikeluarkan dengan suku bunga (1 % - 2 %) diatas suku bunga bank Indonesia (SBI) yang berlaku
Model : Simplikasi dari sistem yang dihadapi
NPV
:
Net Present Value ini bertujuan agar semua investasi,
193
pengeluaran dan penerimaan yang terbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai umur ekonomis proyek dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan
Pemodelan Sistem Dinamis
: Proses dan kecepatan/kelambatan waktu yang diperlukan sistem dalam bentuk simpal-simpal (loops) umpan balik, yang menunjukkan struktur dan mekanisme dinamis mempengaruhi proses nyata dalam menciptakan kejadian nyata
Pesisir : Jangkauan lebih luas selain perairan laut, darat dan rawa serta kawasan pasang laut estuari (pembatas darat dan laut).
Reduce : Sebisa mungkin meminimalisasi barang atau material yang digunakan karena semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Reuse : Sebisa mungkin memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali dan menghindari pemakaian barang yang disposable (sekali pakai, buang)
Recycle : Sebisa mungkin, barang-barang yang sudah tidak berguna lagi didaur ulang.
Replace : Teliti barang yang dipakai sehari-hari. Ganti barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama.
Toksisitas : Kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organn yang rentan terhadapnya
TBC : Tuberculosis
TCLP : Toxicity Characteristic Lleaching Prosedur, Tujuan pengujian ini adalah untuk mengevaluasi jumlah komponen limbah yang terlepas kembali dari limbah baja yang telah disolidifikasi akibat pengaruh air yang bersifat asam.
Lampiran 2.1 Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Debu EAF BSPTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 176.779,2 2 0,7561 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 406.575,9 3 0,6575 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 609.863,9 4 0,5718 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 813.151,8 5 0,4972 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.016.439,8 6 0,4323 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.219.727,7 7 0,3759 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.423.015,7 8 0,3269 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.626.303,6 9 0,2843 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 1.829.591,6
10 0,2472 115.614,0 57.807,0 57.807,0 8.671,1 154.152,0 203.288,0 2.032.879,5 10.929.328,5
Lampiran 2.2Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Debu EAF SSP1 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 331.980,5 2 0,7561 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 763.524,6 3 0,6575 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.145.286,9 4 0,5718 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.527.049,2 5 0,4972 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 1.908.811,5 6 0,4323 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 2.290.573,8 7 0,3759 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 2.672.336,1 8 0,3269 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.054.098,4 9 0,2843 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.435.860,7
10 0,2472 217.116,0 108.558,0 108.558,0 16.283,7 289.488,0 381.762,3 3.817.623,0 20.722.144,7
Lampiran 2.3 Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Debu EAF SSP2Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 274.381,8 2 0,7561 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 631.053,0 3 0,6575 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 946.579,5 4 0,5718 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.262.106,0 5 0,4972 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.577.632,5 6 0,4323 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 1.893.159,0 7 0,3759 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.208.685,5 8 0,3269 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.524.212,0 9 0,2843 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 2.839.738,5
10 0,2472 179.442,0 89.712,0 89.730,0 13.459,5 239.256,0 315.526,5 3.155.265,0 17.087.812,8
Analisa Penilaian Net Present Value Limbah Sludge DRTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 76.290,1 2 0,7561 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 175.460,3 3 0,6575 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 263.190,5 4 0,5718 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 350.920,6 5 0,4972 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 438.650,8 6 0,4323 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 526.380,9 7 0,3759 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 614.111,1 8 0,3269 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 701.841,2 9 0,2843 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 789.571,4
10 0,2472 55.066,0 22.527,0 32.539,0 4.880,9 60.072,0 87.730,2 877.301,5 4.588.718,2
lampiran 2.4
Lampiran 2.5 Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Sludge WRM Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 39.623,3 2 0,7561 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 91.130,0 3 0,6575 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 136.695,0 4 0,5718 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 182.260,0 5 0,4972 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 227.825,0 6 0,4323 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 273.390,0 7 0,3759 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 318.955,0 8 0,3269 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 364.520,0 9 0,2843 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 410.085,0
10 0,2472 28.600,0 11.700,0 16.900,0 2.535,0 31.200,0 45.565,0 455.650,0 2.275.133,3
Lampiran 2.6Analisa Penilaian Net Present ValueLimbah Slurry CRMTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Pendapatan Pajak Biaya Pendapatan NPVTahun P/F Penerimaan Pengeluaran Sebelum Pajak Operasional Bersih
[1] [2] [3] [4] [5] = {3] -[4] [6} = 15 % x [5] [7] [8] = [5] - [6] + [7] [8] = [2]x [7]0 1,0000 - 225.000,0 (225.000,0) - - (225.000,0) (225.000,0) 1 0,8696 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 341.248,3 2 0,7561 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 784.839,6 3 0,6575 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.177.259,4 4 0,5718 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.569.679,2 5 0,4972 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 1.962.099,0 6 0,4323 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 2.354.518,8 7 0,3759 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 2.746.938,6 8 0,3269 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.139.358,4 9 0,2843 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.531.778,2
10 0,2472 246.312,0 100.764,0 145.548,0 21.832,2 268.704,0 392.419,8 3.924.198,0 21.306.917,5
Lampiran 3.1 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Debu EAF BSPTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 310.218,5 86.418,0 3,6 2 0,7561 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 356.786,1 99.390,4 3,6 3 0,6575 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 410.290,5 114.295,2 3,6 4 0,5718 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 471.783,8 131.425,5 3,6 5 0,4972 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 542.570,4 151.144,6 3,6 6 0,4323 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 624.025,0 173.835,5 3,6 7 0,3759 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 717.653,6 199.917,8 3,6 8 0,3269 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 825.224,8 229.884,1 3,6 9 0,2843 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 948.877,9 264.330,3 3,6
10 0,2472 115.614,0 154.152,0 17.342,1 57.807,0 1.091.286,4 304.001,2 3,6
Lampiran 3.2 Analisa Penilaian Benefit Cost Ratio Limbah Debu EAF SSP1 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 582.571,3 162.287,7 3,6 2 0,7561 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 670.022,5 186.649,1 3,6 3 0,6575 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 770.500,4 214.639,4 3,6 4 0,5718 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 885.981,1 246.809,0 3,6 5 0,4972 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.018.913,9 283.840,3 3,6 6 0,4323 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.171.880,6 326.452,5 3,6 7 0,3759 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.347.709,5 375.433,4 3,6 8 0,3269 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.549.721,6 431.708,2 3,6 9 0,2843 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 1.781.934,6 496.396,1 3,6
10 0,2472 217.116,0 289.488,0 32.567,4 108.558,0 2.049.368,9 570.895,6 3,6
Lampiran 3.3 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Debu EAF SSP2 Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 481.483,4 134.127,5 3,6 2 0,7561 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 553.760,1 154.261,7 3,6 3 0,6575 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 636.803,0 177.395,1 3,6 4 0,5718 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 732.245,5 203.982,7 3,6 5 0,4972 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 842.111,8 234.588,3 3,6 6 0,4323 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 968.535,7 269.806,4 3,6 7 0,3759 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.113.854,7 310.288,1 3,6 8 0,3269 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.280.813,7 356.798,1 3,6 9 0,2843 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.472.733,0 410.261,3 3,6
10 0,2472 179.442,0 239.256,0 26.916,3 89.721,0 1.693.762,1 471.833,7 3,6
Lampiran 3.4 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Sludge DRTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 132.403,4 35.403,5 3,7 2 0,7561 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 152.278,8 40.718,0 3,7 3 0,6575 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 175.114,8 46.824,2 3,7 4 0,5718 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 201.360,6 53.842,1 3,7 5 0,4972 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 231.572,8 61.920,6 3,7 6 0,4323 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 266.338,2 71.216,5 3,7 7 0,3759 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 306.299,5 81.901,8 3,7 8 0,3269 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 352.211,7 94.178,3 3,7 9 0,2843 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 404.987,7 108.290,2 3,7
10 0,2472 55.066,0 60.072,0 8.259,9 22.527,0 465.768,6 124.542,5 3,7
Lampiran 3.5 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Sludge WRMTingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 68.767,2 18.387,8 3,7 2 0,7561 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 79.090,1 21.148,0 3,7 3 0,6575 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 90.950,6 24.319,4 3,7 4 0,5718 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 104.582,0 27.964,3 3,7 5 0,4972 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 120.273,5 32.160,1 3,7 6 0,4323 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 138.329,9 36.988,2 3,7 7 0,3759 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 159.084,9 42.537,9 3,7 8 0,3269 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 182.930,6 48.914,0 3,7 9 0,2843 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 210.341,2 56.243,4 3,7
10 0,2472 28.600,0 31.200,0 4.290,0 11.700,0 241.909,4 64.684,5 3,7
Lampiran 3.6 Analisa Penilaian Benefit Cost RatioLimbah Slurry CRM Tingkat Suku Bunga MARR = 15 % dengan n = 10 tahun
Biaya Tahun P/F Penerimaan Operasional Pajak Pengeluaran Benefit Cost BCR
[1] [2] [3] [4] [5] = 15%x[3] [6] [7]=[[3]+[4]]/[2] [8]=[[5]+[6]]/[2] [9]=[7]/[8]1 0,8696 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 592.244,7 158.361,1 3,7 2 0,7561 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 681.148,0 182.133,1 3,7 3 0,6575 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 783.294,3 209.446,1 3,7 4 0,5718 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 900.692,5 240.837,4 3,7 5 0,4972 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.035.832,7 276.972,6 3,7 6 0,4323 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.191.339,3 318.553,8 3,7 7 0,3759 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.370.087,8 366.349,6 3,7 8 0,3269 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.575.454,3 421.262,8 3,7 9 0,2843 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 1.811.523,0 484.385,5 3,7
10 0,2472 246.312,0 268.704,0 36.946,8 100.764,0 2.083.398,1 557.082,5 3,7
200
Lampiran 4. Compound Interest Factors
201
Lampiran 5. Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP)
KUESIONER ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI
UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON
SURVEI PAKAR
No. Responden : ........................................................................... .......
Nama Responden : ………………………………………………………
Umur : ………………………………………………………
Jenis Kelamin : ………………………………………………………
Pendidikan terakhir : ………………………………………………………
Jabatan Responden : ………………………………………………………
Alamat Responden : ………………………………………………………
………………………………………………………
HP. : ..................................................................................
Kabupaten / Kota : ……………………………………………………...
Tanggal Wawancara : ………………………………………………………
Pewawancara : ………………………………………………….......
Oleh:
Ja’far Salim P.062050534
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
206
Tabel 5.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Pemanfaatan Kembali Limbah.
Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah
kiri lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah “Environment Equity” Timbulnya Limbah Degradasi Lingkungan Timbulnya Limbah Ekosistem Lingkungan Timbulnya Limbah Daya Saing Produk Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
“Environment Equity”
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingkungan
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingkungan
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi “Environment Equity”
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingkungan
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingkungan
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan “ Environment Equity” Degradasi Lingkungan
“Environment Equity” Ekosistem Lingkungan
“Environment Equity” Daya Dukung
Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingkungan Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
207
Tabel 5.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Minimalisasi Limbah.
Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri
lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung
Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Environment Equity
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung
Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
208
Tabel 5.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Mencegah Pencemaran Pesisir.
Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri
lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung
Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Environment Equity
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung
Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
209
Tabel 5.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Mencegah Pencemaran terhadap Kesehatan Masyarakat.
Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah
kiri lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung
Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Environment Equity
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Saing Produk Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
210
Tabel 5.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Upaya Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir.
Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri
lebih penting dibanding Kriteria kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung
Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Environment Equity
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung
Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
211
Tabel 5.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Kriteria untuk Tujuan Kebijakan Pengelolaan Limbah Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan.
Kolom Kiri
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Kriteria
kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Kriteria kolom sebelah kanan lebih penting dibanding kolom
sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Timbulnya Limbah Pencemaran &
Kerusakan Lingk. Timbulnya Limbah Efisiensi Material &
Energi Timbulnya Limbah Environment Equity Timbulnya Limbah Degradasi Lingk. Timbulnya Limbah Ekosistem Lingk. Timbulnya Limbah Daya Dukung
Lingkungan Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Efisiensi Material & Energi
Pencemaran & Kerusakan Lingk.
Environment Equity
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Degradasi Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Ekosistem Lingk.
Pencemaran & Kerusakan Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Efisiensi Material & Energi Environment Equity
Efisiensi Material & Energi Degradasi Lingk.
Efisiensi Material & Energi Ekosistem Lingk.
Efisiensi Material & Energi Daya Dukung
Lingkungan Environment Equity Degradasi Lingk. Environment Equity Ekosistem Lingk. Environment Equity Daya Dukung
Lingkungan Degradasi Lingk. Ekosistem Lingk. Degradasi Lingk. Daya Dukung
Lingkungan Ekosistem Lingk. Daya Dukung
Lingkungan
3. Penentuan Bobot Aktor untuk Masing-Masing Kriteria model pengelolaan limbah
lndustri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.
Aktor-Aktor yang berperan dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:
a. Pemerintah Daerah (Pemda) b. Industri Penghasil Baja (IPB) c. Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (K3LH) d. Masyarakat Sekitar (Masyarakat) e. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) f. Peneliti/Pakar(Pakar)
212
Tabel 6. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Aktor dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, untuk setiap Kriteria
Nilai Skor Keterangan
1 Aktor yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Aktor yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Aktor lainnya. 5 Aktor yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding
Aktor lainnya 7 Aktor yang satu sangat penting dibanding Aktor lainnya 9 Aktor yang satu ekstrim pentingnya dibanding Aktor lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas Tabel 6.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Timbulnya Limbah.
Kolom Kiri
Diisi jika Aktor kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
213
Tabel 6.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
Kolom
Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
Tabel 6.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Efisiensi Material dan Energi.
Kolom
Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda MasyarakatPemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB MasyarakatIPB LSM IPB Pakar K3LH MasyarakatK3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
214
Tabel 6.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mendukung Prinsip ”Environment Equity”.
Kolom
Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
Tabel 6.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Mencegah Degradasi Lingkungan.
Kolom
Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
215
Tabel 6.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Memelihara Ekosistem Lingkungan.
Kolom Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
Tabel 6.7. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Aktor untuk Kriteria Memperkuat Daya Dukung Lingkungan.
Kolom
Kiri Diisi jika Aktor kolom
sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Aktor kolom sebelah kanan lebih
penting dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemda IPB Pemda K3LH Pemda Masyarakat Pemda LSM Pemda Pakar IPB K3LH IPB Masyarakat IPB LSM IPB Pakar K3LH Masyarakat K3LH LSM K3LH Pakar Masyarakat LSM Masyarakat Pakar LSM Pakar
Lampiran 7. Hasil matriks pasangan Fokus - Tujuan analisis AHP model pengelolaan limbah baja Pemanfaatan Minimalisasi Pencegahan Pencegahan Upaya Kebijakan pengelolaan
Level kembal limbah limbah pencemaran pencemaran thp mempertahankan limbah berwws lingk. Weights pesisir kesehatan masy. kelestarian wil. Pesisir dan berkelanjuran
Strategi pengelolaan limbah 0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056 1,00 Results 0,325 0,214 0,201 0,119 0,084 0,056
Lampiran 8. Hasil matriks pasangan Tujuan - Kriteria analisis AHP model pengelolaan limbah baja
Level Timbulnya limbah Pencemaran dan Efisiensi material "Environmental Degradasi Ekosistem Daya dukung Weights kerusakan lingkungan & energi equity" lingkungan lingkungan lingkungan
Pemanfaatan limbah kembali 0,402 0,153 0,050 0,118 0,062 0,117 0,098 1,00 Minimalisasi limbah 0,092 0,067 0,151 0,153 0,147 0,162 0,229 1,00 Pencegahan pencemaran pesisir 0,239 0,104 0,233 0,088 0,121 0,152 0,062 1,00 Upaya menpertahankan kelesterian wilayah pesisir 0,219 0,119 0,085 0,088 0,140 0,254 0,096 1,00 Kebij. pengel. limb berwws lingk dan berkelanjutan 0,170 0,149 0,051 0,277 0,050 0,199 0,104 1,00 Pencegahan pencemaran thd kesehatan masyarakat 0,297 0,216 0,161 0,101 0,090 0,055 0,079 1,00 Results 0,237 0,135 0,122 0,138 0,102 0,157 0,111
Lampiran 9. Hasil matriks pasangan Kriteria - Aktor analisis AHP model pengelolaan limbah baja
Level Pemerintah Daerah Industri penghasil baja Divisi K3LH PT. KS Masyarakat sekitar LSM Peneliti/Pakar Weights Timbulnya limbah 0,301 0,168 0,222 0,118 0,107 0,083 1,00 Pencemaran dan kerusakan lingkungan 0,403 0,219 0,157 0,074 0,074 0,074 1,00 Efisiensi material dan energi 0,335 0,248 0,155 0,099 0,094 0,068 1,00 "Environmental" Equity 0,313 0,162 0,203 0,119 0,129 0,075 1,00 Degradasi lingkungan 0,293 0,238 0,178 0,124 0,105 0,063 1,00Ekosistem lingkungan 0,353 0,187 0,192 0,092 0,100 0,076 1,00Daya dukung lingkungan 0,312 0,244 0,155 0,121 0,091 0,078 1,00 Results 0,330 0,209 0,180 0,107 0,100 0,074
Lampiran 10. Hasil matriks pasangan Aktor - Alternatif analisis AHP model pengelolaan limbah baja
Level Perubahan Perubahan proses Perubahan Penerapan 5 R Mengurangi Memakai kembali Mendaur ulang Mengganti Weights Bahan Baku dan Teknologi Produk Lingkungan Limbah Limbah Limbah Limbah Lembaga Swadaya Masyarakat 0,295 0,142 0,160 0,111 0,074 0,068 0,077 0,073 1,00 Masyarakat sekitar 0,283 0,187 0,130 0,115 0,098 0,053 0,067 0,067 1,00 Divisi K3LH PT. KS 0,297 0,127 0,169 0.,25 0,117 0,059 0,060 0,045 1,00 Industri Penghasil Baja 0,252 0,114 0,203 0,091 0,095 0,091 0,096 0,058 1,00 Peneliti/ Pakar 0,223 0,159 0,195 0,141 0,052 0,058 0,078 0,093 1,00 Pemerintah Daerah 0,306 0,139 0,161 0,100 0,078 0,062 0,069 0,086 1,00 Results 0,276 0,145 0,170 0,114 0,086 0,065 0,075 0,070
Lampiran 11. Hierarki analisis AHP aktor - alternatif model pengelolaan limbah baja
202
PENGANTAR Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara(i) untuk diwawancarai, adapun
wawancara ini untuk kepentingan penelitian tentang model pengelolaan limbah baja sebagai
upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau
Cilegon. Dalam wawancara ini tidak akan mempengaruhi konduite, status maupun
kelangsungan pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara(i). Hasil wawancara ini kami rahasiakan untuk
kepentingan penelitian.
I. Tata Cara Pengisian Quesioner
Isilah perbandingan antara masing-masing atribut seperti tertera pada Tabel 2 dengan Skala Saaty seperti yang tertera pada Tabel 1.
Misalnya pada Tabel 2, bila Atribut B lebih penting dari pada Atribut A maka nilai Skala Saaty = 5 diberikan pada Atribut B yang terletak disisi kanan angka-angka pertbandingan itu. Sebaliknya, bila Atribut A sangat penting maka nilai Skala Saaty = 7 diberikan pada Atribut A yang terletak disisi kiri angka-angka pertbandingan itu.
Dimohonkan pengisian ini dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila Atribut A lebih baik dari Atribut C, dan Atribut B lebih baik dari Atribut C maka Atribut A harus lebih baik dari Atribut C.
Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing atribut
Nilai Skor Keterangan
1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang
lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding
Kriteria yang lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian di atas Tabel 2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat
kepentingan masing-masing atribut. Kolom
Kiri Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting
dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Atribut A v Atribut B Atribut A v Atribut C Selanjutnya Selanjutnya
203
I. Struktur hirarki AHP kebijakan dan strategi model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.
II. Daftar Kuisioner yang dimohonkan bapak dan ibu bersedia untuk mengisinya pada tabel-tabel berikut ini:
1. Penentuan Bobot Kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya
untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.
Tujuan yang:digunakan untuk membuat model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:
a. Pemanfaatan Kembali Limbah b. Minimalisasi Limbah c. Pencegahan Pencemaran Pesisir d. Pencegahan Pencemaran terhadap Kesehatan Masyarakat e. Upaya Mempertahankan Kelestarian Wilayah Pesisir f. Kebijakan Pengelolaan Limbah Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan
STRATEGI PENGELOLAAN LIMBAH BAJA FOKUS
KRITERIA Timbulnya limbah
Pencemaran & kerusakan lingkungan
Efisiensi material &
energi
“Environmental equity”
Degradasi lingkungan
Ekosistem lingkungan
Daya dukung
lingkungan
TUJUAN Pemanfaatan kembali limbah
Minimalisasi
limbah
Pencegahan pencemaran pesisir
Pencegahan pencemaran
thp kesehatan masyarakat
Upaya mem-pertahankan kelestarian wil. pesisir
Kebijakan pengelo-laan limbah
berwawasan lingk. dan berkelanjutan
AKTOR Industru Penghasil Baja
Dvisi K3LH PT. KS
Masyarakat sekitar
LSM Pemerintah Daerah
Peneliti/ Pakar
ALTERNATIF Perubahan bahan baku
Perubahan proses & teknologi
Perubahan produk
Penerapan 5 R
lingkungan
Mengura-ngi limbah
Memakai kembali limbah
Mendaur ulang
limbah
Mengganti limb.
204
Tabel 3. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Tujuan pengelolaan limbah industri baja.
Nilai Skor Keterangan
1 Tujuan yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Tujuan yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Tujuan yang
lainnya. 5 Tujuan yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding
Tujuan yang lainnya 7 Tujuan yang satu sangat penting dibanding Tujuan yang lainnya 9 Tujuan yang satu ekstrim pentingnya dibanding Tujuan yang lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas Tabel 4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat
kepentingan masing-masing Tujuan.
Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom
sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan
di kolom sebelah kanan
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pemanfaatan Kembali Limbah
Minimalisasi Limbah
Pemanfaatan Kembali Limbah Pencegahan
Pencemaran PesisirPemanfaatan Kembali Limbah Pencegahan
Pencemaran thd Kesehatan Masy.
Pemanfaatan Kembali Limbah Upaya
Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir
Pemanfaatan Kembali Limbah Kebij. Pengelolaan
Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj.
Minimalisasi Limbah Pencegahan Pencemaran Pesisir
Minimalisasi Limbah Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.
Minimalisasi Limbah Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir
Minimalisasi Limbah Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj.
Pencegahan Pencemaran Pesisir
Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.
Pencegahan Pencemaran Pesisir Upaya
Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir
Pencegahan Pencemaran Pesisir Kebij. Pengelolaan
Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj
Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.
Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir
Pencegahan Pencemaran thd Kesehatan Masy.
Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj
Upaya Mempertahankan Kelestarian Wil. Pesisir
Kebij. Pengelolaan Limb.Berwawasan Lingk & Berkelanj
205
2. Penentuan Bobot Aktor untuk Masing-Masing Kriteria model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon.
Kriteria yang digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon adalah:
a. Timbulnya Limbah b. Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan c. Efisiensi Material dan Energi d. “Environmental Equity” e. Degradasi Lingkungan f. Ekosistem Lingkungan g. Daya Dukung Lingkungan
Tabel 5. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Kriteria model
pengelolaan limbah industri baja sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, setiapTujuan
Nilai Skor Keterangan
1 Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria
lainnya. 5 Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding
Kriteria lainnya 7 Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria lainnya 9 Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
216
4. Penentuan Bobot Alteratif masing-masing Aktor dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon
Alternatif yang dapat digunakan dalam membuat model pengelolaan limbah baja sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau Cilegon, adalah:
a. Perubahan Bahan Baku b. Perubahan Proses dan Teknologi c. Perubahan Produk d. Penerapan 5 R Lingkungan e. Mengurangi Limbah f. Memakai Kembali Limbah g. Mendaur Ulang Limbah h. Mengganti Limbah
Tabel 7. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing Alternatif atau
Strategi penentuan strategi penutupan tambang yang berkelanjutan untuk setiap Aktor
Nilai Skor Keterangan
1 Alternatif/Strategi yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Alternatif/Strategi yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding
Alternatif/Strategi lainnya. 5 Alternatif/Strategi yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya)
dibanding Alternatif/Strategi lainnya 7 Alternatif/Strategi yang satu sangat penting dibanding Alternatif/Strategi
lainnya 9 Alternatif/Strategi yang satu ekstrim pentingnya dibanding
Alternatif/Strategi lainnya 2, 4, 6, 8 Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
217
Tabel 7.1. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Pemerintah Daerah (Pemda).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbahPerubahan Bahan Baku Mengganti
limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengganti limbah
Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang
limbahPerubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbah
218
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbah Memakai Kembali limbah Mengganti
limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti
limbah Tabel 7.2. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Industri Penghasil Baja (IPB).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
LimbahPerubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbah Perubahan Bahan Baku Mengganti
limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Mengganti
limbah
219
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang
limbahPerubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbahMengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbah Memakai Kembali limbah Mengganti
limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti
limbah Tabel 7.3. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Divisi K3LH PT. Krakatau Steel (K3LH).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbah
220
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Mengganti
limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengganti limbah
Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang
limbah Perubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbah Mengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbahMemakai Kembali limbah Mengganti
limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti
limbah
221
Tabel 7.4. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Masyarakat Sekitar (Masyarakat).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbahPerubahan Bahan Baku Mengganti
limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengganti limbah
Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang
limbahPerubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbah
222
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbah Memakai Kembali limbah Mengganti
limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti
limbah Tabel 7.5. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
LimbahPerubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbah Perubahan Bahan Baku Mengganti
limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Mengganti
limbah
223
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbah Perubahan Produk Mendaur Ulang
limbahPerubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbahMengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbah Memakai Kembali limbah Mengganti
limbah Mendaur Ulang limbah Mengganti
limbah Tabel 7.6. Berilah Tanda ( V) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian
tingkat kepentingan masing-masing Alternatif untuk Aktor Peneliti/Pakar (Pakar).
Kolom Kiri Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perubahan Bahan Baku Perubahan Proses
dan Teknologi Perubahan Bahan Baku Perubahan
Produk Perubahan Bahan Baku Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Bahan Baku Mengurangi
Limbah Perubahan Bahan Baku Memakai
Kembali limbah Perubahan Bahan Baku Mendaur Ulang
limbah Perubahan Mengganti
224
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor kolom
sebelah kanan
Diisi Bila
Sama Penting
Diisi jika Alternatif kolom sebelah kanan lebih penting
dibanding kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Bahan Baku limbah Perubahan Proses dan Teknologi
Perubahan Produk
Perubahan Proses dan Teknologi
Penerapan 5 R Lingkungan
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengurangi Limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Memakai Kembali limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mendaur Ulang limbah
Perubahan Proses dan Teknologi
Mengganti limbah
Perubahan Produk Penerapan 5 R
Lingkungan Perubahan Produk Mengurangi
Limbah Perubahan Produk Memakai
Kembali limbahPerubahan Produk Mendaur Ulang
limbah Perubahan Produk Mengganti
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengurangi
Limbah Penerapan 5 R Lingkungan Memakai
Kembali limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mendaur Ulang
limbah Penerapan 5 R Lingkungan Mengganti
limbahMengurangi Limbah Memakai
Kembali limbah Mengurangi Limbah Mendaur Ulang
limbah Mengurangi Limbah Mengganti
limbah Memakai Kembali limbah Mendaur Ulang
limbah Memakai Kembali limbah Mengganti
limbahMendaur Ulang limbah Mengganti
limbah
225
Lampiran 6. Kuesioner Interpretative Structur Modelling (ISM)
KUESIONER
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)
MODEL PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI BAJA SEBAGAI
UPAYA UNTUK MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN WILAYAH PESISIR KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU CILEGON
SURVEI PAKAR
No. Responden : ……………………………………………………..
Nama Responden : ………………………………………………………
Umur : ………………………………………………………
Jenis Kelamin : ………………………………………………………
Pendidikan terakhir : ………………………………………………………
Jabatan Responden : ………………………………………………………
Alamat Responden : ………………………………………………………
………………………………………………………
HP. : ...................................................................................
Kabupaten / Kota : ……………………………………………………...
Tanggal Wawancara : ………………………………………………………
Pewawancara : …………………………………………………........
Oleh: Ja’far Salim P062050534
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SDA DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
226
PENGANTAR
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara(i) untuk diwawancarai, adapun
wawancara ini untuk kepentingan penelitian tentang model pengelolaan limbah baja dalam
upaya untuk mempertahankan kelestarian wilayah pesisir kawasan industri Krakatau
Cilegon. Dalam wawancara ini tidak akan mempengaruhi konduite, status maupun
kelangsungan pekerjaan Bapak/Ibu/Saudara(i). Hasil wawancara ini kami rahasiakan untuk
kepentingan penelitian.
1. Dalam pengelolaan limbah baja, menurut bapak/ibu mana urutan aktor yang paling
berperan di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pemerintah Daerah b. ( ) Pabrik baja/BUMN c. ( ) Instansi terkait d. ( ) Masyarakat e. ( ) Perguruan Tinggi/Peneliti/Pakar f. ( ) LSM
2. Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu urutan aspek pemilihan penyimpanan limbah baja yang bagaimana yang akan dipilih di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Area penyimpanan limbah yang aman b. ( ) Area penyimpanan limbah yang jauh dari lingkungan masyarakat c. ( ) Area penyimpanan limbah yang teratur dan rapih d. ( ) Area penyimpanan limbah yang sehat e. ( ) Area penyimpanan limbah yang jelas status kawasannya
3. Jika akan memilih area penyimpanan limbah baja, menurut bapak/ibu bagaimana urutan bentuk Area penyimpanan limbah yang akan dipilih di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pengelolaan Area penyimpanan limbah baru b. ( ) Area penyimpanan limbah tidak mencemari tanah, air, dan udara c. ( ) Adanya petugas yang menangani Area penyimpanan limbah d. ( ) Pembangunan Area penyimpanan limbah dari yang jauh pemukiman penduduk
4. Pengelolaan limbah baja yang selama ini dilaksanakan oleh pabrik baja ini ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut saudara bagaimana urutan permasalahan yang telah berhasil diatasi dengan dimulai sistem pengelolaan limbah baja di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu:
227
a. ( ) Kesenjangan kebutuhan dan persediaan limbah baja b. ( ) Pergeseran lokasi/Area penyimpanan limbah c. ( ) Kesenjangan kebutuhan prasarana dan utilitas d. ( ) Kesenjangan kebutuhan sarana dan fasilitas e. ( ) Kesenjangan kesempatan kerja f. ( ) Perbaikan daya dukung lingkungan
5. Model pengelolaan limbah baja akan berdampak pada permasalahan ekologi, ekonomi maupun sosial, menurut bapak/ibu bagaimana dampak yang paling besar terjadi dengan dibangunnya area pengelolaan limbah baja dibawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Kesenjangan kebutuhan stakeholder b. ( ) Pergeseran lokasi pembangunan c. ( ) Kesenjangan kebutuhan prasarana dan utilitas d. ( ) Kesenjangan kebutuhan sarana dan fasilitas e. ( ) Kesenjangan kesempatan kerja f. ( ) Kerusakan daya dukung lingkungan
6. Model pengelolaan limbah baja dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut bapak/ibu bagaimana urutan faktor yang paling penting dengan dibuatnya model pengelolaan limbah baja dibawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Pengelolaan limbah yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan
dipertanggungjawabkan (socially and culturally suitable and accountable), b. ( ) Pengelolaan yang secara politis bisa diterima (politically acceptable) c. ( ) Pengelolaan yang layak secara ekonomis (economically feasible), d. ( ) Pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi lingkungan
(environmentally sound and sustainable) 7. Model pengelolaan limbah baja diikuti dengan perbaikan prasarana, menurut bapak/ibu
bagaimana urutan faktor prasarana dasar penyimpanan limbah yang paling penting di bawah ini? Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Jalan raya ke lokasi penampungan limbah baja b. ( ) Perluasan area penampungan limbah baja c. ( ) Jaringan pembuangan air limbah/waste water d. ( ) Penataan area penampungan limbah
8. Penggunaan teknologi pengolahan limbah ditinjau dari beberapa aspek, menurut
bapak/ibu bagaimana urutan teknologi pengolahan limbah yang baik dan dapat meminimalkan jumlah pencemaran lingkungan yang akan bapak/ibu pilih. Jawaban diberi nomor berdasarkan prioritas menurut bapak/ibu: a. ( ) Kebutuhan perluasan lahan untuk instalasinya b. ( ) Kecepatan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah baja c. ( ) Penggunaan bahan lain dalam proses pengolahan d. ( ) Kemampuan menghilangkan warna, bau dan bahan beracun berbahaya lainnya e. ( ) Jumlah kandungan kotoran berupa lumpur yang mengendap f. ( ) Kemudahan dalam pengoperasian dan perawatan g. ( ) Biaya operasional yang murah
228
9. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menumpuk di sekitar area penampungan
limbah ?
• Jika pernah, bagaimana menurut bapak/ibu ?
• Apa penyebabnya ?
10. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja menyumbat di saluran/kanal sekitar
perusahaan pada waktu musim hujan?
• Jika pernah, bagaimana keadaan perusahaan pada saat musim hujan?
• Dan bagaimana pada saat musim kemarau?
11. Apakah bapak/ibu pernah melihat limbah baja di lingkungan kerja bapak/ibu pada saat
anda melintasi kawasan industri tersebut?
• Jika pernah, menurut bapak/ibu apa penyebab adanya limbah tersebut?
12. Pernahkah pemerintah melibatkan bapak/ibu dalam pengelolaan lingkungan dari limbah
baja ?
• Jika pernah, dalam bentuk apa saja bapak/ibu dilibatkan?
13. Apakah di lingkungan bapak/ibu pernah ada sosialisasi kebijakan pengelolaan limbah
baja?
• Jika pernah, siapa saja yang pernah melakukan sosialisasi tersebut?
(.....) LSM
(.....) Perguruan Tinggi
(.....) Industri
(.....) Masyarakat setempat
(.....) Pemerintah Daerah
(.....) Lainnya, sebutkan
........................................................................................................................................
........................................................................................................
Alasannya,......................................................................................................................
........................................................................................................................................
........................................................................................................................................
........................................................................................................................................
(Keterangan: berikan tanda√ pada pilihan bapak/ibu)
14. Adakah fasilitas pengelolaan limbah baja di lokasi sekitar tempat kerja bapak/ibu ?
• Dalam bentuk apa fasilitas tersebut ?
229
Penyusunan Strategi Pengelolaan Limbah Baja, (Pemerintah, Industri, Masyarakat
Sekitar, LSM, Para Pakar)
15. Apakah bapak/ibu setuju dengan model pengelolaan limbah baja yang ada sekarang?
Jelaskan!
16. Menurut bapak/ibu apakah pemanfaatan lahan penyimpanan limbah sudah sesuai
dengan peruntukannya? Jelaskan
- Jika tidak, bagaimana seharusnya pemanfaatan yang baik?
17. Menurut bapak/ibu apakah sudah ada Perda yang mengatur tentang pengelolaan limbah
baja? Jelaskan !
- Jika tidak, bagaimana seharusnya?
- Jika ya, Perda nomor berapa yang mengatur tentang pengelolaan limbah tersebut?
18. Apakah di lingkungan tempat kerja bapak/ibu sudah mempunyai strategi pengelolaan
limbah baja dan (di Perdakan)?
- Jika tidak, bagaimana seharusnya?
- Jika ya, perda nomor berapa yang mengatur strategi pengelolaan limbah baja ?
19. Apakah bapak/ibu dilibatkan dalam menyusun strategi pengelolaan limbah baja?
pencemaran - Jika ya, dalam bentuk apa bapak/ibu dilibatkan?
20. Menurut bapak/ibu apakah di lingkungan tempat kerja bapak/ibu, limbah baja sudah
terjadi pencemaran saat ini?
- Jika ya, bagaimana cara mengatasinya dan bagaimana pengelolaan pecemaran yang
seharusnya?
- Jika tidak, menurut bapak/ibu strategi apa yang harus dilakukan jika belum terjadi?
dan bagaimana bentuk strategi tersebut?
230
Teknik Permodelan Interpretasi Struktural
(Interpretatif Structural Modelling--ISM)
Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretatif Structural Modelling)
digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Analisis ini
digunakan sebagai salah satu alat (tool) dalam penelitian yang dilakukan dengan judul
”Model Pengelolaan Limbah Industri Baja sebagai upaya untuk Mempertahankan
Kelestarian Wilayah Pesisir Kawasan Industri Krakatau Cilegon ”. Dengan analisis ingin
diketahui faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam peningkatan daya
dukung lingkungan, sesuai dengan pendapat dari para pelaku (stakeholder) yang terlibat di
dalam pemanfaatan dan pengelolaan sampah dan limbah di lingkungan perumahan.
Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategis tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan
dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi daya dukung lingkungan,
melalui pemodelan dinamika sistem. Oleh karena itu, penentuan faktor kunci dan tujuan
strategis tersebut adalah penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak
yang berkompeten sebagai ahli (expert) mengenai lingkungan perumahan.
A. Faktor Kunci
Menurut Bapak/Ibu, faktor kunci apa saja yang berperan dalam pengelolaan
limbah domestik, agar tercapai suatu pengelolaan yang komprehensif dan berkelanjutan
di masa datang? (mohon dituliskan pada urutan dibawah ini sesuai dengan tingkat
/ranking kepentingan dari faktor-faktor tersebut, adapun jumlah faktor-faktor dapat
berapa saja, misalnya 10 faktor saja atau bahkan lebih dari 20 faktor) adalah sebagai
berikut: (1) Pabrik baja, (2) Area penyimpanan limbah (3) Pembangunan area limbah
yang jauh dari pemukiman, (4) Pengelolaan limbah yang dapat dipertanggungjawabkan,
(5) Jaringan pembuatan waste water, (6) Kecepatan waktu pengolahan limbah, (7)
Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman, (8) Penerapan 3 R, (9) Studi
pemanfaatan limbah, (10) Mendatangkan Pakar.
Faktor Kunci Model pengelolaan limbah industri baja
A._________________ tingkat kepentingan :
B._________________ tingkat kepentingan :
C._________________ tingkat kepentingan :
D._________________ tingkat kepentingan :
E._________________ tingkat kepentingan :
F._________________ tingkat kepentingan :
231
G._________________ tingkat kepentingan :
H._________________ tingkat kepentingan :
I._________________ tingkat kepentingan :
J._________________ tingkat kepentingan :
K._________________ tingkat kepentingan :
L._________________ tingkat kepentingan :
M._________________ tingkat kepentingan :
N._________________ tingkat kepentingan :
O._________________ tingkat kepentingan :
B. Pengaruh Antar Faktor Kunci
Berdasarkan faktor kunci yang telah diidentifikasi di atas, menurut Bapak/Ibu
bagaimana pengaruh antar pasangan faktor kunci tersebut?
Mohon pengaruh antar faktor kunci tersebut ditulis dalam bentuk huruf (V, A, X, O)
pada matriks yang memuat pasangan faktor secara dua arah, misalnya pengaruh faktor
A terhadap faktor B, dan sebaliknya pengaruh faktor B terhadap faktor A seperti
diilustrasikan di bagian atas matriks. Huruf yang digunakan adalah sebagai berikut:
V = lebih penting faktor A dari pada faktor B
A = lebih penting faktor B dari pada faktor A
X = faktor A dan Faktor B mempunyai nilai tingkat kepentingan yang sama dan
saling terkait
O = faktor A dan faktor B tidak saling terkait
232
Pengaruh langsung dan tingkat kepentingan antar faktor dalam sistem pengendalian
pencemaran pesisir, dapat diisi pada kolom tabel di bawah ini:
12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 1 V A 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
III. Keadaan (State) Faktor Di Masa Datang
Berdasarkan faktor kunci yang telah diidentifikasi pada pertanyaan diatas, menurut
Bapak/Ibu bagaimana keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang?
Mohon keadaan (state) faktor-faktor tersebut di masa datang di tulis dalam matriks
yang disediakan. Keadaan (state) faktor di masa datang dapat berupa dinamika seperti:
meningkat, tetap, menurun, atau lainnya. Keadaan untuk masing-masing faktor di masa
datang tidak perlu sama, misalnya untuk faktor A dibuat 5 macam keadaan, mungkin
saja untuk faktor B hanya 2 atau 3 macam keadaan seperti diilustrasikan pada tiga baris
pertama matriks.
Contoh Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci Keadaan (State) di Masa Datang
(Ilustrasi) Meningkat karena.....
Tetap Menurun karena.....
(Ilustrasi) Mendukung dengan.....
Tidak mendukung dengan.....
Tetap seperti sekarang
Menjadi tidak efektif
(Ilustrasi) Meningkat karena.....
Tetap
1 lebih penting dari 12 6 lebih penting dari 1
233
Matriks Keadaan (State) Faktor Kunci Faktor Kunci Keadaan (State) di Masa Datang
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
234
235
236
237
Lampiran 12. Data input dan proses ISM VAXO
1. Inisialisasi sub elemen pendapat pakar
No. Sub Elemen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pabrik baja Area penyimpanan limbah Pembangunan area limbah yang jauh dari pemukiman Pengolahan yang dapat dipertangungjawabkan Jaringan pembuatan waste water Kecepatan waktu pengolahan limbah Membangun prasarana pengolahan limbah yang aman Penerapan 3 R (Reuse, Recyling, Recovery) Studi pemanfaatan limbah Mendatangkan pakar
2. Data input pendapat pakar
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 V V V V V V V V V 2 A A O O O O A V 3 O O O O O O O 4 V V V V V V 5 V X X X A 6 O O O O 7 X X X 8 V A 9 O 10
3. Tabel hasil pengolahan ISM VAXO
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 3 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 5 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 7 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 8 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 9 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 10 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1
238
4. Struktur hasil pengolahan ISM VAXO
239
Lampiran 13. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Kependudukan init JPendd018 = 66735 flow JPendd018 = -dt*TkKmt018 +dt*LjKlhr -dt*TkDws1819 doc JPendd018 = Penduduk Cilegon (KIC) usia 0-18 tahun (orang) init JPendd1960 = 75077 flow JPendd1960 = -dt*TkKmt1960 +dt*TkDws1819 -dt*TkDws6065 doc JPendd1960 = Penduduk Cilegon (KIC) usia 19-60 tahun (orang) init PenddTotal = 166838 flow PenddTotal = -dt*LjKmt +dt*LjKlhr doc PenddTotal = Penduduk Total: 4 Kecamatan Kota Cilegon ((KIC)(orang) aux LjKlhr = PenddTotal*AKlhrKasar doc LjKlhr = Laju kelahiran (orang/tahun) aux LjKmt = PenddTotal*AKmtKasar doc LjKmt = Laju kematian (orang/tahun) aux TkDws1819 = JPendd018 * (1- AKmtKasar)/30 doc TkDws1819 = Tingkat Kedewasaan usia 18-19 tahun (orang/tahun) aux TkDws6065 = JPendd1960*(1-AKmtKasar)/42 doc TkDws6065 = Tingkat Kedewasaan usia 60-65 tahun (orang/tahun) aux TkKmt018 = JPendd018*AKmtKasar doc TkKmt018 = Tingkat Kematian usia 0-18 tahun (orang/tahun) aux TkKmt1960 = JPendd1960*AKmtKasar doc TkKmt1960 = Tingkat kematian usia 19 - 60 tahun. (orang/tahun) aux AKlhrKasar = GRAPH(PendPendd/PendlkanAw,11,1.3,[0.0143,0.0153,0.0174,0.0204,0.0268,0.0373,0.0465"Min:0.013;Max:0.048"]) doc AKlhrKasar = Angka Kelahiran Kasar (tanpa satuan) aux AKmtKasar = GRAPH(PendPendd/PendlkanAw,0.3,0.2,[0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115,0.0115"Min:0.0100;Max:0.0150"]) doc AKmtKasar = Angka Kematian Kasar (tanpa satuan) aux LjPertPendd = (LjKlhr-LjKmt)/PenddTotal*100% doc LjPertPendd = Laju Pertumbuhan Penduduk (%/tahun) aux PDRB = GRAPH(TIME,2003,1,[ 406670000000,440745000000,478606000000,520673000000,567415000000,586750000000,610914000000,672005400000,739205940000"MIN: 400000000000 MAX:800000000000"])*(1+WLjPertEk*WPertEk) doc PDRB = PDRB dari tahun 2007 (rupiah/tahun) aux PendPendd = PDRB/PenddTotal*10 doc PendPendd = Pendapatan perkapita penduduk Kota Cilegon (rupiah/orang) aux WLjPertEk = RAMP(0.0232,2003) doc WLjPertEk = Waktu laju pertumbuhan ekonomi 2,32% per tahun (% /tahun) const WPertEk = 0.1 doc WPertEk = Waktu lpertumbuhan ekonomi (tahun)
240
Lampiran 14. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Pesisir Laut init LuasPessr = 11520 flow LuasPessr = +dt*LahPessrSiap -dt*PengrngPessr doc LuasPessr = Luas lahan pesisir KIC (hektar) aux LahPessrSiap = (LuasPessr-LuasPessrHarap)/WPerlPessr*0.01 doc LahPessrSiap = Lahan Pesisir yang dipersiapkan (hektar/tahun) aux PengrngPessr = (LuasKonve/WPeralihLahan)*PPendNelyn doc PengrngPessr = Pengurangn Pesisir (hektar/tahun) aux AKClg = JPendd1960*PAKClg doc AKClg = Angkatan kerja Kota Cilegon (KIC) orang) aux HasProdIkan = ProdPessr doc HasProdIkan = Hasil produksi ikan (ton/tahun) aux HIkan = PSDIkan*THIkan doc HIkan = Harga Ikan (rupiah/ton) aux KebNelyn = LuasPessr*KebNelynHa doc KebNelyn = Kebutuhan Nelayan/tenaga kerja perikanan pesisir (orang) aux KonsIkan = PenddTotal*KonsIkanKap doc KonsIkan = konsumsi ikan (ton/tahun) aux KonsIkanKap = PPendKonsIkan*TkKonsIkan aux KonsIkanTotal = KonsIkan*(100/11520) doc KonsIkanTotal = Konsumsi ikan total (ton/tahun) aux LuasKonve = GRAPH(TIME,2003,1,[332.3,332.3,332.8,332.9,332.49,332.2,331.93,328.57,327.45,327.37,326.89,326.81,326.81"Min:326;Max:334"]) aux LuasPanen = LuasPessr*IntensNelyn doc LuasPanen = Luas panen (hektar/tahun) aux LuasPessrHarap = KonsIkanTotal/ProdtvtsPessr doc LuasPessrHarap = Luas pesisir yang diharapkanan (hektar/tahun) aux NelynTersedia = AKClg*PAKPerk doc NelynTersedia = Ketersediaan nelayan/tenaga kerja perikanan (orang) aux PendNelyn = PendTunai/KebNelyn*12 doc PendNelyn = pendapatan nelayana perkapita (rupiah/orang) aux PendTunai = HIkan*HasProdIkan doc PendTunai = pendapatan tunai (rupiah) aux PNlelynTersedia = GRAPHCURVE(RasioNelyn,0.038,0.002,[8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43,8.43"Min:8.42;Max:1.1;Zoom"]) doc PNlelynTersedia = Pengaruh persediaan tenaga kerja/nelayan (tanpa satuan) aux PPendKonsIkan = GRAPHCURVE(RasioPend,12,0.2,[1,1,1,0.988,0.982,0.980,0.973,0.961,0.948,0.931"Min:0.9;Max:1.50"]) doc PPendKonsIkan = Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi limbah baja (tanpa satuan) aux PPendNelyn = GRAPH(RasioPendNelyn,50,21.5,[0.961,0.964,0.967,0.969,0.971,0.973,0.975,0.976,0.977,0.979,0.981,0.983,0.985,0.986"Min:0.95;Max:1.05"]) doc PPendNelyn = Pengaruh pendapatan nelayan (tanpa satuan) aux ProdPessr = LuasPanen*ProdtvtsPessr
241
doc ProdPessr = produksi pesisir(ton/tahun) aux ProdtvtsPessr = GRAPH(TIME,2003,1,[10000,10500,11025,11576,12155,12763,13401,14071,14774,15513"Min:10000;Max:16000"]) doc ProdtvtsPessr = Produktivitas pesisir (ton/hektar) aux PSDIkan = GRAPHCURVE(RasioSDIkan,1,010,[0.998,0.993,0.99,0.988,0.985,0.983,0.98,0.978,0.976,0.973"MIN:0.9;MAX:1.1;Zoom"]) doc PSDIkan = Pengaruh penawaran dan permintaan ikan (tanpa satuan) aux RasioNelyn = NelynTersedia/KebNelyn doc RasioNelyn = Rasio nelayan/tenaga kerja perikanan (tanpa satuan) aux RasioPend = PendPendd/PendlkanAw doc RasioPend = Rasio pendapatan perkapita (tanpa satuan) aux RasioPendNelyn = PendNelyn/PendNelynAw doc RasioPendNelyn = Rasio pendapatan nelayan (tanpa satuan) aux RasioSDIkan = HasProdIkan/KonsIkanTotal doc RasioSDIkan = Rasio penawaran dan permintaan ikan (tanpa satuan) aux THIkan = GRAPH(TIME,2003,1,[553.66,628.51,626.67,702.08,905.1,939,1049.51,2266,2753,2452"Min:550;Max:2800"]) doc THIkan = Tingkat harga ikan pengaruh dari penawarn dan permintaan ikan(rupiah/ton) aux TkKonsIkan = GRAPH(TIME,2003,1,[1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103,1103"Min:130;Max:160"]) doc TkKonsIkan = Tingkat Konsumsi ikan perkapita (ton/orang/tahun) aux WPerlPessr = WPembPessr/PNlelynTersedia doc WPerlPessr = Waktu perluasan pesisir (tahun) const IntensNelyn = 1.73 doc IntensNelyn = Intensitas nelayan (tanpa satuan) const KebNelynHa = 2 doc KebNelynHa = Kebutuhan nelayan/tenaga kerja perikanan dalam pengelolaan ikan dalam satu hektar (orang/hektar) const PAKClg = 0.2738 doc PAKClg = Persentase angkatan kerja (Kota Cilegon (tanpa satuan) const PAKPerk = 0.0572 doc PAKPerk = Persentase Angkatan Kerja Perikanan (tanpa satuan) const PendlkanAw = 1885022 doc PendlkanAw = Pendapatan perkapita ikan awal (rupiah/orang/tahun) const PendNelynAw = 1103000 doc PendNelynAw = Pendapatn nelayan perkapita awal (rupiah/orang) const WPembPessr = 3 doc WPembPessr = Waktu pembukaan pesisir (tahun) const WPeralihLahan = 1 doc WPeralihLahan = Waktu peralihan lahan (tahun)
242
Lampiran 15. Program Model Dinamik pada Model Pengelolaan Limbah Baja Sub model Limbah Industri init JumlahLimb = 1863817 flow JumlahLimb = -dt*TkPengirmLimb +dt*TKedatgLimbLuar +dt*TkKedatgLimb doc JumlahLimb = Persediaan Limbah Baja (ton) init LimbahAw = 1863817*WRataProd flow LimbahAw = +dt*TkPermtLimb -dt*TkPenerLimb -dt*TkPenerLimbLuar doc LimbahAw = Lmbah baja dalam persediaan awal (ton) aux TKedatgLimbLuar = TkPenerLimbLuar aux TkKedatgLimb = GRAPH(TkPenerLimb,1660800,78000,[1501800,1501530,1501340,1501070,1500770,1500520,1500280,1500020,1499780,1499590,1499420,1499320,1499180"Min:1498500;Max:1501800"]) doc TkKedatgLimb = Tingkat kedatangan limbah baja lokal (ton/tahun) aux TkPenerLimb = DELAYINF(HasProdIkan,WRataProd,1)/120 doc TkPenerLimb = Tingkat penerimaan limbah baja lokal (ton/tahun) aux TkPenerLimbLuar = DELAYINF(KebutLimbLuar, WPenerLimb,1) doc TkPenerLimbLuar = tingkat penerimaan limbah baja luar (ton/tahun) aux TkPengirmLimb = GRAPH(KonsIkanTotal,223000,112000,[1499900,1500100,1500230,1500440,1500700,1500900,1501100,1501300,1501500,1501660,1501810,1502000,1502200"Min:1499000;Max:1503000"]) doc TkPengirmLimb = Tingkat pengiriman limbah baja (ton/tahun) aux TkPermtLimb = JProdHarap+NilaiPersedLimb doc TkPermtLimb = tingkat permintaan limbah baja (ton/tahun) aux JProdHarap = (1+WSiklusProd*PengPertPermLimb)*RataTkPengrmLimb doc JProdHarap = Jumlah produksi yang diharapkan (ton/tahun) aux KebutLimbLuar = MAX(KonsIkanTotal-HasProdIkan,800) doc KebutLimbLuar = Kebutuhan limbah baja luar (ton) aux LimbdlmProses = JProdHarap*WRataProd doc LimbdlmProses = Limbah dalam proses (ton) aux NilaiHasLimb = (LimbahAw-LimbdlmProses)/WNilaiPersed doc NilaiHasLimb = Penilaian hasil limbah imbah baja pemesanan (ton/tahun) aux NilaiPersedLimb = (JumlahLimb-PersedLimbHarap)/WNilaiPersed doc NilaiPersedLimb = Penilaian persediaan limbah baja (ton/tahun) aux PengPertPermLimb = TREND(TkPengirmLimb,WPengPertumPermLimb) aux PersedLimbHarap = JProdHarap*WPersedLimbHarap doc PersedLimbHarap = Persediaan limbah baja yang diharapkan (Ton) aux RataTkPengrmLimb = DELAYINF(TkPengirmLimb,10,1) doc RataTkPengrmLimb = Rata-rata tingkat pengiriman limbah baja (ton/tahun) const WNilaiPersed = 1 doc WNilaiPersed = Waktu penilaian persediaan (tahun) const WPenerLimb = 0.5 doc WPenerLimb = Waktu penerimaan laut (tahun) const WPengPertumPermLimb = 10
243
doc WPengPertumPermLimb = Waktu pengamatan pertumbuhan permintaan limbah baja (tahun) const WPersedLimbHarap = 0.75 doc WPersedLimbHarap = Waktu persediaan limbah baja yang diiharkan (tahun) const WRataProd = 1 doc WRataProd = Waktu rata rata produksi (tahun) const WSiklusProd = 0.1 doc WSiklusProd = Waktu siklus produksi (tahun)
244
Lampiran 16. Prediksi hasil pemodelan sistem tahun 2003 – 2115
Tahun Prediksi Jumlah Penduduk
(jiwa)
Prediksi Luas Pesisir
(ha)
Prediksi Limbah Baja
(ton) 2003 166.838 11.520,00 1.863.817
2004 167.642 11.519,96 1.864.217
2005 168.778 11.519,97 1.864.793
2006 170.457 11.519,97 1.866.342
2007 173.227 11.519,97 1.865.891
2008 177.742 11.519,81 1.866.395
2009 182.599 11.519,79 1.866.562
2010 187.951 11.519,64 1.866.445
2011 194.529 11.519,41 1.866.303
2012 201.338 11.519,20 1.866.218
2013 208.385 11.519,07 1.865.607
2014 215.678 11.519,03 1.864.561
2015 222.992 11.518,73 1.863.258