Top Banner
1 EDISI #16 JULI 2015 Sumber gambar: http://mungkopas.blogspot.com/ MUDIK
29

Lentera News edisi #16 Juli 2015

Aug 10, 2015

Download

Self Improvement

Ananta Bangun
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lentera News edisi #16 Juli 2015

1

EDISI #16 JULI 2015

Sumber gambar: http://mungkopas.blogspot.com/

MUDIK

Page 2: Lentera News edisi #16 Juli 2015

2

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWSDENGAN DOA DAN DANA

Kunjungi kami di sini:

Bank Nasional IndonesiaRek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM

daft

ar is

i Tajuk Redaksi3Telisik4

6 Lentera khusus

10 Embun katekese

14

Opini

22 Ilham sehat

Mudik ke Pohon Zaitun

19

Rumah Joss

16

Sastra

RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]

Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | [email protected] , [email protected] | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

REDAKSI

Korupsi Kini Menjadi Mode

Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi­(bag.­II)

Kepada Yang Terhormat, Calon Medan 1

Serangan Semut

Sinta­(bag.­II)

24 Pollung

Gereja & Global Warming(bag.­II)

29 Lapo Aksara

Kapak Penebang Pohon

Page 3: Lentera News edisi #16 Juli 2015

3

Redaksi

3

TAJUK REDAKSI

Satu peristiwa besar dalam bulan ini ialah perayaan Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Tidak hanya bagi sahabat umat Muslim, Redaksi Lentera News juga tergerak menyerap inspirasi dalam momentum ini. Diantaranya ialah semangat mudik yang lazim berlang-sung semenjak moyang kita dahulu .

Redaksi Lentera News sungguh berterima kasih pada bapak Ahmad Kusaeni yang berkenan memberi sumbangsih gagasannya perihal mudik ini. Tentang bagaimana kita bisa menyelami ihwal dan semangat mudik dari kacamata eks Pemimpin Redaksi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA tersebut. Lebih dari sekedar sebuah tindak mengepak pakaian dan oleh-oleh saat hendak pulang ke kampung halaman.

Berbicara tentang kampung halaman, tentu tak ada salahnya mengerjapkan pandang pada kota Medan. Tempat di mana sebagian besar awak redaksi dan para pembaca bercokol. Meskipun jarak waktu masih cukup lama, Vinsensius Sitepu telah menguak isi hatinya kepada para insan yang hendak mencalon di Pilkada Kota Medan.

Harapan Vinsensius untuk menemukan calon Pemimpin yang mumpuni bersih, seirama dengan keprihatinan Pemimpin Redaksi RP Hubertus Lidi, OSC. Tanpa tanggung, Romo Hubert mengupas isu korupsi di Medan dan Sumatera Utara. Isu yang kini menghangat seiring penangkapan Gubernur Sumut oleh KPK.

Sahabat pembaca Lentera News, dalam edisi Juli 2015 ini, kami kembali mengetengahkan dua karya tulis Dian Purba. Baik dalam essay tentang permasalahan global warming, dan karya sastra-nya yang terbalut dalam cerpen berjudul ‘Sinta’.

Jangan lupa sempatkan waktu melirik perenungan Bung Joss dalam artikelnya tentang serangan semut.

Akhirul kata, kami Redaksi Lentera News juga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H bagi sahabat pembaca dan umat Muslim yang merayakannya.

Page 4: Lentera News edisi #16 Juli 2015

4

RP Hubertus Lidi, OSC [email protected]

KORUPSI KINI MENJADI MODE

TELISIK | KORUPSI

Ungkapan Korupsi <Perbuatannya> dan Koruptor <Pelakukannya>

sudah sangat bersahabat dengan kita. Hampir setiap hari media-media sosial, baik cetak maupun elektronik menulis, memberitakan, dan mempertontonkannya. Bahkan korupsi itu telah menghantar koruptornya, bak selebritis. Ia dinanti dan dikerumuni oleh para kuli tinta dari dalam dan luar negeri.

Sorotan lampu kamera serta kilapan blitz membuat aura ‘sang subyek’ menjadi makin indah saja. Seragam yang membalut raganya,yang seharusnya menjadi symbol aib malah menjadi atribut yang membuat bahu orang yang mengenakannya ‘terangkat.’ Laki maupun perumpuan sama saja. Hal yang paling mengejutkan masyarakat Indonesia

adalah beberapa orang yang bekerja di bagian rana hukum justru menjadi subyek dan aktor utama korupsip.

Beberapa saudara yang berkerja di Depertemen yang berurusan dengan ‘hal-hal Suci’ justru memanfaatkan pekerjaan yang ilahi itu untuk korupsi. Berkenaan dengan gencarnya korupsi di Indonesia, suatu waktu temanku berseloroh, “Wan sari-sari korupsi di negaramu, kayanya udah meresap ke semua orang dan semua lini kehidupan ini, termasuk kepadamu.” “Ohya?” “Yalah….siapa tahu sumbangan, kolekte, dan ucapan-ucapapan terimakasih yang kamu dapat, adalah dari hasil dari korupsi.” “Ah .. bisa-bisa saja kamu. Bagaimanapun masih ada orang baik di tanah Indonesia ini, wan, ” aku membantah kata-katanya, yang senang mengeneralisasikan hal itu.

Page 5: Lentera News edisi #16 Juli 2015

5

Harian kota Medan, ‘Analisa’, Jumat 10 Januari 2014, memberitakan di halaman depan; “Hasil Iktisar Badan Pemeriksaan Keuangan 2013. Sumatera Utara Provinsi Terkorup di Indonesia. Potensi kerugiannya Rp. 400.100.810. 000,-, dengan jumlah kasus 278”. Wah….. luar biasa menjadi sebuah prestasi gemilang. Tentu kita bedecak dalam ketidak mengertian…..’koh bisa ya!’ Gradasi paling atas. Koran yang sama, pada hari sama pula di rubrik kota, hal 6, menulis bah-wa korupsi sudah menjadi masalah utama bangsa, bahkan sudah pada tahap darurat. Luar biasa seakan kita sedang hidup di dunia angkara murka yang buram durjana.

Pertanyaan di balik ini semua adalah: apakah pemberitaan, seremoni Pra Penahanan, uniform, dan hukuman penjara, dll itu mendatangkan efek jera? Kita tetap berharap upaya-upaya dari penegak hukum secara khusus dari KPK, bisa membantu mengurangi dan tidak menambah subyek yang baru, lebih jauh dari itu menyiapkan sebuah generasi yang bermental “say no to corruption”

Secukupnya Vs Berlebihan

Ada sebuah Doa Katolik ‘Bapa Kami’ yang selalu didoakan oleh orang-orang Katolik pada setiap kesempatan. Dari sekian permohonan yang termaktub dalam rumusan doa itu, ada satu permohonan yang berkaitan dengan Rezeki atau Nafkah. Menarik kalau kita refleksikan bersama, berkaitan dengan topik Korupsi. Para Jemaat Katolik bermohon: “Berilah Kami rezeki secukupnya pada hari ini.” Secukupnya dalam konteks ini adalah yang wajar dan pas, sesuai den-gan kebutuhan. Dengan kata lain menghindari mentalitas yang menim-bun rezeki.

Para jemaat, berasumsi dalam iman, bahwa mentalitas menimbun rezeki yang berlebihan lawan dari secukupnya membuat sang penimbun menjadi rakus alias tamak dan tidak segan-segan mencaplok hak orang lain demi memenuhi hasrat serakahnya. Korupsi yang dipertontonkan sekarang ini adalah mode penimbunan harta yang berlebihan dengan cara mencaplok hak orang lain sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. Mentalitas yang dipertotonkan kepada kita adalah orang menjadi tidak mau tahu dan tidak perduli dengan orang lain, yang penting diri dan kroninya menikmati.

Aspek lain membuat sang penimbun itu menjadi licik dan lihai. Licik dalam konteks ini ialah memanfaatkan kuasa dan wewenang yang dipercayakan kepadanya demi kepentingannya. Lihai dalam konteks ini ialah ‘mengotak-ngatik’ aturan dan kebijakan demi membenarkan dan memuluskan akal bulus alias akal gundulnya. Yang menarik para tersangka korupsi dan koruptor selalu berteriak hak azazi manusia, kala mereka ditangkap oleh pihak-pihak yang berwajib.

Tanpa sadar mereka sedang mempromosikan diri sebagai Pejuang hak azazi yang merusak hak azazi itu sendiri. Lagi-lagi temanku berkomentar: “Wan, kalau kepandaian berbohong, kelicikan dan kelihaian para koruptor itu diformulasikan untuk sebuah kebaikan, pasti bangsa ini maju dan rakyaknya sejahtera. Benar juga sih!”

(bersambung)

Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com

Pertanyaan di balik ini semua adalah:

apakah pemberitaan, seremoni pra Pena-

hanan, uniform, dan hukuman penjara,

dll itu mendatangkan efek jera?

Page 6: Lentera News edisi #16 Juli 2015

6

LENTERA KHUSUS | MUDIK

Mudik adalah kata yang paling sering diucapkan pada hari-hari terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orang-

orang membicarakan mudik dimana saja, di lobi, di lift, di tempat kerja, di mesjid atau mushola, bahkan di dapur.

Sugianti, asisten rumah tangga di rumah saya, sejak mempersiapkan sahur untuk puasa hari pertama sudah sibuk merencanakan mudiknya. Ia membelanjakan uang THR yang diberikan isteri saya untuk membeli android dan langganan paket internet.

“Biar di kampung nanti gampang upload facebook dan Instagram,” katanya dalam suatu obrolan dengan isteri saya di dapur sambil mempersiapkan kolak pembuka puasa.

Sugianti yang sudah bekerja di rumah lebih 3 tahun itu cukup aktif di media sosial. Akun facebooknya dengan nama alter “AiCko BarbIe-cweett” ramai diisi postingan soal rencana mudik sesama asisten rumah tangga.

“Tiap buka fb..ngliat sttus otw otw otw. Kampung halman muluk..... “Kok pda lbih awal ya pulangnya.. Ongkos.y msih murahh x..hahahaha,” begitu postingan Sugianti yang ramai di-likes dan dikomentari teman-temannya yang juga semangat 45 untuk pulang ke kampung halaman di Kendal, Jawa Tengah.

Sugianti dan Tuyono, sopir saya, adalah bagian dari 20 juta orang yang akan mudik dari Jakarta ke berbagai daerah di Tanah Air. Saya sendiri yang asal Lebak, daerah di Banten yang hanya sekitar 80 km dari Jakarta, selalu merasa kikuk kalau ada yang nanya apakah saya lebaran ini mudik apa tidak.

MUDIK KE POHON ZAITUN

oleh : Ahmad Kusaeni

Page 7: Lentera News edisi #16 Juli 2015

7

“Saya nggak mudik, cuma geser pantat ke Lebak,” begitu selalu jawaban saya. Orang Betawi tentunya lebih kikuk dari saya kalau ditanya soal mudik.

Mengapa banyak orang, tak peduli pembantu rumah tangga, sopir atau direktur, selalu bersemangat untuk mu dik lebaran?

Jawabannya pasti beraneka ragam. Bisa dijawab dari berbagai macam segi baik itu agama, ekonomi, sosial dan budaya. Sudah banyak kajian dari ipoleksosbud hamkanas seperti itu.

Yang akan saya sampaikan di tulisan ini adalah alasan yang dilatarbelakangi kajian dari buku Thomas L Friedman yang berjudul “The Lexus and the Olive Tree (Understanding Globalization)” terbitan Anchor Book tahun 1999.

Friedman adalah kolumnis beken dari koran The New York Times. Ia menulis bahwa di zaman globalisasi sekarang ini, meskipun orang sudah maju dan hidup dalam teknologi tinggi, tetap saja memerlukan akar rumput budayanya dan asal mula dirinya.

Lexus dan pohon zaitun adalah simbol yang pas untuk menggambarkan kondisi zaman globalisasi sekarang ini. Lexus yang merupakan merk mobil termahal dan tercanggih adalah simbol kemajuan. Sedangkan pohon zaitun yang banyak tumbuh di kawasan Israel dan Masjidil Aqsa adalah simbol kepurbaan atau asal muasal kemanusiaan.

Modernisasi, privatisasi dan pertumbuhan ekonomi, serta perkembangan teknologi memungkinkan orang untuk menikmati kemajuan dan kehidupan yang tidak bisa lagi dibatasi oleh ruang dan perbatasan. Tapi, pohon zaitun tetap penting. Pohon zaitun memanifestasikan akar kita sebagai manusia, ia merupakan jangkar tempat berlabuh kita, yang bisa mengidentifikasi kita dan menempatkan titik kita di dunia ini. Pohon zaitun bisa berbentuk keluarga, komunitas, suku bangsa, atau yang paling mendasar adalah tempat yang kita sebut sebagai “rumah”.

Kehangatan keluarga

Pohon zaitun adalah apa yang bisa memberikan kita kehangatan keluarga, persahabatan, keintiman personal dan ritual, kedalaman hubungan antar pribadi, silaturahmi, dan juga keamanan dan ketentraman diri ketika berhubungan dengan “ayah, ibu, om, tante, kakek, nenek, cucu, sepupu, kawan-kawan masa kecil”.

Kita berjuang keras dalam kehidupan kita, meniti karier, bekerja, mencari nafkah dan sesuap nasi. Sedikit demi sedikit kita mengumpulkan harta dan kekayaan. Kita berkelana, bermigrasi dan pindah kota. Di tempat baru kita menjadi sesuatu, memiliki pekerjaan, dan juga kekayaan. Tapi, sebagai manusia, kita tidak bisa menjadi manusia yang utuh seutuhnya sendirian.

Kita tidak bisa menjadi kaya sendirian. Kita tidak bisa menjadi pintar sendirian. Kita tidak bisa menjadi orang terhormat sendirian. Kita baru merasa komplit dan kaffah sebagai manusia bila ada manusia lain yang mengakui dan ikut menikmati apa yang kita miliki. Untuk itu kita membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa menjadi pohon zaitun kita. Setahun sekali pada saat lebaran orang merasa harus mudik. Ia kembali ke pohon zaitunnya, akar kehidupannya yang purba, dan menyiraminya dengan air yang mereka bawa, uang yang mereka bagikan ke sanak saudara, atau sekadar kisah suka dan duka menaklukan Jakarta. Kembali ke akar itulah makna mudik yang paling hakiki. Sejenak di kampung halaman kita isi baterai kehidupan kita yang kering kerontang untuk kembali ke tempat pengelanaan kita. Selamat mudik dan bersukacitalah kembali ke akar purbamu, wahai manusia.

(Akhmad Kusaeni adalah mantan Direktur Pemberitaan LKBN Antara, mendapat Master of Arts dari Ateneo de Manila University, Filipina)

Copyright ilustrasi: Litbang.Depkes.go.id

Kita baru merasa komplit dan kaffah sebagai

manusia bila ada manusia lain yang

mengakui dan ikut menikmati apa yang kita

miliki.

Untuk itu kita membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa menjadi pohon zaitun

kita

Page 8: Lentera News edisi #16 Juli 2015
Page 9: Lentera News edisi #16 Juli 2015
Page 10: Lentera News edisi #16 Juli 2015

10

EMBUN KATAKESE | LITURGI

PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI

OLEH:

Katolisitas.org

Page 11: Lentera News edisi #16 Juli 2015

11

Selama Liturgi Sabda, sangat

cocok disisipkan saat hening

sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun.

Saat hening ini merupakan

kesempatan bagi umat untuk

meresapkan sabda Allah

“Pada edisi Juni lalu, telah dipaparkan dua pelanggaran dalam bagian-bagian Misa Kudus. Berikutnya akan kembali dilanjutkan pada tiga pelanggaran lainnya yang umum terjadi.

3. Kurangnya saat hening.

Seharusnya:

PUMR 45 Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah aja-kan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar.Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.

Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.

PUMR 56 Liturgi Sabda haruslah dilak-sanakan sedemikian rupa sehingga men-dorong umat untuk merenung. Oleh ka-rena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.

4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam homili (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).

Seharusnya:

RS 64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, ter-gantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….”

RS 66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.

RS 74 Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.

RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain…..

5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam turun dari panti imam.

Seharusnya:

RS 71 Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk

Page 12: Lentera News edisi #16 Juli 2015

12

saling menyampaikan salam damai men-jelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimak-sudkan sebagai rekonsiliasi atau pengam-punan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi re-konsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus per-tama.

RS 72 “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”

Salam Damai perlu dipertahankan, han-ya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya ka-rena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak ek-splisit disyaratkan dalam dokumen Ger-eja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang un-tuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.

Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:

1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.

Seharusnya:

RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri– apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.

RS 104 Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..

PUMR 160 Umat tidak diperkenankan

mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…

Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.

2. Pengantin saling menerimakan Komuni.

Seharusnya, tidak boleh:

RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan.

Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.

(bersambung...)

Page 13: Lentera News edisi #16 Juli 2015

13

Page 14: Lentera News edisi #16 Juli 2015

14

KOLOM “RUMAH JOSS” | SEMUT

Yoseph Tien

Wakil Ketua KomIsi Kepemudaan di Keuskupan Agung Medan

14

Pkl. 03.00 WIB, ketika saya baru saja tidur, tiba-tiba bagian punggung terasa nyeri, seperti disengat listrik. Terbangunlah saya secara spontan, rupanya ada banyak semut diatas tempat tidur, tepatnya dibawah bantal.

Serangan semut yang serupa, pada malam minggu kemarin juga membuat istri saya harus terbangun tengah malam, bahkan mengungsi ke kamar anak-anak.

Pagi ini semut menyerang lagi. Dan kali ini, titik serangan dan targetnya adalah saya. Jitu! Hehehe...

Memang beberapa bulan terakhir ini, semut sepertinya sedang ramai-ramainya mengunjungi rumah kami. Semut selalu ada pada hampir semua penjuru rumah. Mungkin karena penghuni rumah kami manis-manis dan segala isi rumahnya juga manis-manis. Hahaha...

Setelah melakukan prosedur ‘pulbaket’ atau pengumpulan bahan dan keterangan, saya melihat sendiri bahwa rupanya satu-satunya jalan masuk semut-semut tersebut adalah melalu lubang angin pada dinding belakang dapur kami.

Setelah mengetahui locus tersebut, berbagai cara kami lakukan untuk menghadang pasukan merah mungil ini. Mulai dari penggunaan baygon, jeruk, kapur barus, dan entah apalagi. Setelah operasi kami lakukan, mereka hilang dan tak muncul, namun beberapa jam kemudian atau besoknya mereka muncul lagi.

Akhirnya kami jadi terbiasa, bahkan sepertinya kami mulai mengakrabi mereka. Haha..! Kami tak pernah lagi melakukan operasi penghadangan atau operasi militer alias perang. Tapi dua hari ini, tampaknya mereka mulai menyerang ring satu, pusat ken-dali nuklir, markas komando alias tem-pat tidur pemilik rumah. Gawat!

Perang total tampaknya harus dimainkan! Semoga ada bantuan dari para sahabat tentang strategi perang, apakah perang gerilya atau strategi ala Sun Tzu.

*** Belajar dari semut

Pagi ini setelah terbangun, saya membaca status facebook seorang sahabat, tentang bagaimana caranya seekor yang gajah mati dapat dimakan semut dan jawaban tersuratnya semut makan secara perlahan-lahan jawaban tersiratnya semut makan bersama-sama.

Pesan dari status kawan saya tersebut, bahwa sebesar apapun masalahnya, selesaikan sedikit demi sedikit atau tahap demi tahap alias tak bisa sekaligus.

Saya kemudian teringat dengan semut yang masuk ke rumah kami, bahwa ternyata mereka melewati sebuah tembok yang sangat tinggi, mungkin ribuan kali panjang tubuhnya sendiri. Tiada jalan mundur dalam diri semut. Ketika mereka menghadapi masalah,

SERANGAN SEMUT

Page 15: Lentera News edisi #16 Juli 2015

1515

tembok tinggi, mereka memanjatnya, naik ke atas. Mereka maju terus, tidak meratapi tingginya tembok, apalagi balik kanan dan pulang. Bagi mereka pulang harus membawa hasil.

Perjuangan pasukan semut mengais atau mencari makan, selalu dilakukan bersama-sama. Dan bila panen tiba, mereka panen bersama-sama, lalu menikmatinya juga bersama-sama.

Siapapun diantara pasukan semut tersebut, yang pertama kali menemukan makanan, dia akan memanggil teman-temannya, para saudaranya dan memberitahu bahkan mengantar teman atau saudaranya menuju ke sumber makanan itu, lalu bersama-sama mereka menikmati bahkan membawa pulang makanan tersebut.

Pada daerah-daerah dekat sumber makanan, semut membangun sarang atau rumah mereka. Di sana, mereka tinggal dan hidup bersama, bekerja dan makan bersama. Semut tahu, bahwa mereka tak bisa hidup sendiri, mereka harus hidup bersama dan bekerja sama. Semut tahu, bahwa mereka harus ‘dekat sumber makanan’!

Dalam kehidupan sehari-hari, sedang dalam perjalanan apapun mereka, para semut akan selalu berhenti dan saling ‘berciuman’, saling menegur sapa satu sama lain. Semut juga tahu arti pentingnya komunikasi secara langsung! Kata demi kata, wajah berhadapan wajah!

Jadi, kita bisa belajar tentang kehidupan dari perilaku semut:

1) Ketika menghadapi masalah, tetaplah maju terus menghadapi masalah tersebut dan per-cayalah bahwa selalu ada jalan ke atas. Tembok tantangan adalah jalan naik mencapai puncak. Pantang menyerah dan selalu berusaha mencari ‘lubang’ penyelesaian, itu penting. Setiap masalah sebesar apapun, hendaknya diselesaikan tahap-demi tahap secara cermat dan pasti.

2) Dalam hidup bersama, kerjasama dan sama-sama kerja sungguh merupakan sesuatu yang mutlak dan mampu membuat kita melakukan banyak hal besar.

3) Dalam hal rejeki, apapun bentuk dan warnanya, semangat berbagi hendaknya selalu diperjuangkan terus menerus. Berapa banyakpun yang kita

peroleh, selalu ada bagian orang lain di dalamnya.

4) Hidup bersama yang harmonis hanya terbangun dari komunikasi efektif dan penuh cinta, yang terdorong dari semangat membuka diri dan menerima kelebihan-kekurangan sesama apa adanya. Dalam bekerja, semut selalu berbaris dengan rapi dan tertib.

5) Ketika menghadapi ‘musuh’, dan tak cukup bertahan saja, terpaksa harus menyerang, seranglah mereka secara bertahap, mulai dari pinggir-pinggir kemudian masuk ke tengah pada ‘pusat kendali nuklir’.

Para Sahabat Joss Terkasih,Semoga 5 pelajaran dari semut ini bermanfaat mengawali Senin Ceria kita masing-masing.

SERANGAN SEMUT....Serangkai Ancaman dan Tan-tangan....Selalu Engkau Mampu Untuk Teruji! Per-cayalah..!

Salam Joss..!

Page 16: Lentera News edisi #16 Juli 2015

16

Vinsensius G.K. Sitepu

Founder Komunitas [email protected]

OPINII | POLITIK

KEPADA YANG TERHORMAT, CALON MEDAN 1

Saya lahir di Bandung pada tahun 1982. Sekadar “menumpang lahir”, dari kota itu, setahun kemudian, saya dibesarkan di Medan, kota besar sarat hiruk pikuk. Hingga 32 tahun kemudian, saya adalah salah satu dari warga Medan lainnya seba-gai saksi hidup pembangunan yang penuh dinamika. Maka, kepada para calon pemimpin Medan, tulisanku ini adalah lukisan luka di hati. Engkau jangan menghempasnya, jikalau tidak ingin kau sentuh. Saya tahu pasti hatimu tahu, walau tidak membacanya.

Tiga kalimat terakhir itu adalah plesetan atas syair lagu apik yang dibawakan oleh Hedi Yunus pada tahun 1990-an, tentang curahan isi hati seorang anak manusia yang sedang jatuh cinta. Ia in-

gin diperhatikan dan ingin kasih sayang. Sebagai sebuah pesan komunikasi, tiga kalimat itu paling layak dikumandangkan menjelang perhelatan pemilihan Walikota Medan alias Medan 1, tentang beragam kegundahan banyak anak Medan hebat mengenai kota yang kian tidak ramah ini.

Mengharapkan Medan berubah seperti yang tergambar dalam benak kita, mestilah dimulai dari mendorong calon pemimpin yang benar-benar memahami hasrat paling hakiki orang Medan, serta tentu saja setiap individu warga yang harus kerap tertunduk bercermin, tidak berharap seratus persen kepada pemimpin. Mimpi idealnya adalah sifat kerjasama dan komunikasi yang efektif di antara

Page 17: Lentera News edisi #16 Juli 2015

17

Kami berharap hidup hari

ini di Medan adalah mimpi buruk, tetapi

kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami

mencubit, ia tetap nyata.

Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan

tegas, calon Medan 1 akan tampak

kerdil dan rendah di hadapan warga

pemimpin dan warga kota.

Sekali peristiwa dan setiap pertemuan sebelumnya, termasuk beragam artikel di halaman ini, kalau membincangkan kota Medan, wacana yang selalu mengemuka adalah, pertama jalan kota yang rusak tidak terawat. Kedua, orang Medan masih bisa hidup tanpa walikota. Ketiga, orang Medan itu individualistis. Keempat, angkutan kota terlalu banyak dan tidak digantikan mass rapid transportation. Kelima,kok sok kali menyebut Medan Kota Metropolitan? Keenam, di atas semua itu, sebagian dari jajaran pemimpin kota ini tidak memiliki kepedulian yang tinggi, karena moralnya bobrok. Dan ketujuh, masalah itu semakin bertambah. Ketujuh masalah itu berlangsung selama lebih dari dua dekade. Bayangkan, 20 tahun!

Tentu saja kita iri dengan Kota Bogor dan Bandung yang memiliki pemimpin yang berhasil membuat gebrakan signifikan, walaupun permasalahan mendasar kurang dalam tersentuh. Medan, seperti Bogor dan Bandung masih pening kepalanyamengurus kemacetan lalu lintas. Padahal kalau mau jujur, kalau pajak mobil sebagai kendaraan mewah dinaikkan tiga kali lipat, serta pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor roda dua dilakukan, kemacetan tidak akan muncul. Kenyamanan bertransportasi digantikan dengan bus dalam kota yang nyaman.

Kepadatan tinggi lalu lintas Medan membawa preseden buruk dan berdampak negatif. Ambulans yang seharusnya lekas membawa pasien ke rumah sakit, harus pasrah “terjepit” di tengah jalan. Bunyi sirene yang meraung lebih terasa seperti suara orang bodoh yang memelas. Sebelum terjepit meraung, ambulans tentu saja sudah masuk ke lubang jalanan. Kalau saja pasiennya adalah seorang perempuan hamil, ia berisiko melahirkan di ambulan. Tetapi jujur, saya berharap ada sapi di jalan yang berkubang itu.

Di masa depan, Medan harus ber-solek kemuliaan dan kesejahteraan-

nya dan saya yakin ini, bagi sebagian orang adalah absurd. Di Medan kelak tidak ada lagi kemacetan kendaraan bermotor yang menambah polusi udara. Ia digantikan dengan budaya bersepeda atau pilihan kendaraan ramah lingkungan. Moda transportasi publik lebih banyak, termasuk kereta bawah tanah. Para pengusaha kecil menjadi lebih tertib, karena pindah dari trotoar ke tempat yang lebih layak, rapi dan bersih. Pusat bisnis ini tentu saja harus memiliki lahan parkir yang luas, tidak seperti kondisi di pasar-pasar tradisional saat ini. Dengan demikian pelebaran atas jalan kota yang sempit seperti sekarang ini dapat dapat dilakukan.

Wacana kedua dan ketiga berkorelasi erat, bahwa seseorang akan menilai dirinya berdikari, tatkala muncul pemimpin kota yang tidak berkompeten menata pembangunan yang merata dan berkeadilan. Perkataan, “Kami bisa hidup tanpa pemimpin.” adalah pseudo-entity, tampak nyata, tetapi rapuh dalam perjalanan. Benar orang Medan dapat hidup tanpa walikota, karena walikota tidak bekerja keras menghidupi kota. Walikota yang bekerja layaknya kapitalis-manajerial dan bukan kapitalis sejati menghasilkan Medan yang penuh tikus yang rakus uang.

Kapitalis-manajerial mencari uang untuk dirinya, sedangkan kapitalis sejati mencetak uang sendiri bagi dirinya termasuk orang lain, karena tipe ini mengajak orang bekerja bersamanya, lalu menularkan semangat bekerja itu membentuk perusahaan lain. Itulah semangat menjadi kupu-kupu, bukan sekadar kepompong.

Anggapan karakter individualistis adalah resultan kepemimpinan kota yang tidak akur dengan warganya. Alhasil secara konkret dalam membuka perusahaan rintisan misalnya, sulit mencari rekan yang bisa diajak kerjasamanya. Yang membuat miris, ide kita dicaplok lalu mendirikan perusahaan rintisan dengan karakter yang serupa bersama rekanan lain yang dipikirnya bisa dengan cepat mendulang laba. Mengapa tidak

Page 18: Lentera News edisi #16 Juli 2015

18

misalnya, dengan satu ide serupa dipadu-kan dengan tujuan menghasilkan profit besar, ketimbang terpecah-pecah bentuk usaha yang kurang solid berencana.

Gambaran Medan tidak punya pemimpin adalah gambaran ketidaktegasan pemimpin, seperti misalnya menertibkan pedagang kaki lima dengan cara santun atau misalnya mendidik pengendara kendaraan bermotor agar disiplin berhenti di belakang garis zebra cross tatkala lampu merah menyala. Ketidaktegasan pemimpin adalah entitas nyata gagalnya pemimpin berkomunikasi dengan warga. Pemimpin gagal mengakomodir keinginan warga untuk maju lebih baik, hingga dengan soknyamemamerkan sebutan Medan Kota Metropolitan. Bukankah itu sangat menjijikkan?

Tren dan pola pemimpin muda

Mengambil contoh menggembirakan dari pemimpin kota Bima Arya Sugiarto dan Ridwan Kamil adalah gambaran tren dan pola kepemimpin publik yang paling mencolok di tengah perubahan dunia. Untuk menyebut yang lebih hebat adalah si muda kaya raya seperti Mark Zucker-berg, Sergey Brin dan Larry Page, dan Merry Riana. Pemimpin muda ternama dan kaya bukan tidak mungkin diusung oleh kemajuan teknologi informasi, di mana komunikasi berlangsung cair dan relatif terbuka. Percepatan era itu lebih cepat, sekitar 15 tahun perubahannya. Bandingkan dengan Era Revolusi Industri yang perlu waktu beberapa dekade untuk mencapai kebulatannya.

Tren anak muda sebagai pemimpin adalah cerminan bahwa orang-orang kini lebih rasional memilih, bahwa orang-orang lama yang didominasi orang-orang tua yang lebih senior diasosiakan tak lagi berkompeten memimpin. Bahwa kondisi ini didorong pula oleh faktor bonus demografi, di mana orang-orang Indonesia berusia produktif sudah berjumlah 140 juta orang yang memiliki harapan lebih baik tentang masa depannya. Ini artinya orang-orang muda lebih kreatif menelurkan beragam gagasan segar dan punya tekad mewujudkannya.

Namun demikian, mengusung para

pemimpin muda naik menjadi pemimpin Kota Medan masih menyimpan halangan. Sebut saja misalnya, anggapan bahwa orang muda Medan tidak memiliki pengalaman memimpin serumit memimpin kota yang sarat birokratik. Pemimpin muda kota Medan selanjutnya harus lahir dari kepemimpinan organisasi kepemudaan yang juga kompleks dan memiliki jam terbang tinggi pada program-program berkarakter penguatan yang pernah dijalankannya. Pengalaman memimpin organisasi di kampus, tentu saja menjadi nilai tambah.

Harus diakui beragam organisasi kepemudaan di Medan, tetapi sepak terjangnya tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat luas. Kalau mau jujur organisasi kepemudaan di Medan masih banyak yang pragmatis dan hanya mengunggulkan kepentingan pribadi untuk naik ke tingkat berikutnya yang lebih tinggi. Ya, pokoknya geraknya di situ-situ saja. Saya tidak mengatakan mereka jahat atau memiliki motif jangka pendek, namun karena didera bisikan anggota lain, alhasil program organisasi tidak menjadi besar. Ia sehausnya mengarah ke lembah, di mana masyarakat merasakannya demi tujuan jangka panjang.

Contoh misalnya, belum ada program kerja organisasi kepemudaan yang mendorong secara total perihal pengembangan ekonomi kreatif di Medan. Orang-orang Medan yang kreatif, seperti penyanyi justru berangkat ke Jakarta untuk mengail rejeki, tidak mengembangkan bersama kawan-kawan di Medan untuk bersaing dengan kota lain. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh, potensi ekonomi kreatif tidak kalah dengan anak muda di kota lainnya di Indonesia.

Organisasi kepemudaan ataupun komunitas lain harus mengembangkan program kerja mereka dalam wujud nyata yang memiliki nilai kewirausahaan, ada nilai tambah ekonomi. Jikalau seorang anak Medan memiliki bakat membuat komik strip misalnya, mereka jangan berhenti memamerkannya di media sosial. Organisasi kepemudaan bersama perusahaan swasta mendorong mereka menambah nilainya dalam bentuk visual lainnya, seperti film animasi dalam format iklan produk lokal atau dengan durasi yang

Page 19: Lentera News edisi #16 Juli 2015

19

lebih panjang, tetapi berkonten budaya Medan yang beragam.

Hal yang sama dapat diterapkan pada bakat membuat peranti lunak mobile, pembuat film dan lain-lain. Semuanya dipadukan pada lembaga inkubator yang menjembatani mereka dengan para calon investor dalam membuat startup company(perusahaan rintisan). Tanpa pemanfaatan konsep itu potensi kreatif akan menjadi sia-sia dan hanya berakhir di lemari. Pada pokoknya, mesti ada entitas kota ini yang mempunyai nyali besar untuk menyusun kerangka besar masa depan, tempat anak muda ini berkreasi dan memiliki sikap berwirausaha.

Sekolah Wirausaha

Satu lagi pekerjaan rumah organisasi kepemudaan dan komunitas di Medan, dan tentu saja ini didorong oleh pemimpin-pemimpin senior lainnya adalah menggagas sekolah wirausaha secara serius. Sekolah dalam hal ini ada kajian kurikulum yang tepat, bukan sekadar workshop sehari-dua hari yang ecek-ecek atau seminar yang terkadang lebih mirip kuliah daripada mendekatkan mereka kepada dunia nyata. Sekolah wirausaha bertujuan mendidik perihal uang, utang, aset, liabilitas dan investasi. Rentang waktunya bisa 6 bulan ataupun 2 tahun. Kelak jikalau sekolah ini berhasil, maka bisa diterapkan dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Peserta didik bukanlah kaum mahasiswa, tetapi ibu rumah tangga bahwa anak SD sekalipun.

Saya mengungkapkan ini, sebab karak-ter bangsa kita ini masih bernyali pega-wai, bukan pengusaha yang tidak bera-ni mengambil resiko, yang tidak berani berutang untuk sejahtera. Mental orang Indonesia masih dihiasi pemikiran, bahwa dengan bersekolah setinggi-tingginya, maka mendapatkan gaji, tunjangan dan bonus sebesar-besarnya. Ketika gaji sudah tinggi pada perusa-haan besar, ia merasa sudah menjadi kapitalis, padahal ia tidak lebih adalah kapitalis manajerial, bukan kapitalis sejati yang bersandarkan diri pada cara mengatasi resiko dan menghadapi rasa

takut dengan memiliki bisnis sendiri dan berinvestasi di perusahaan lain.Maaf pula kalau saya katakan masyarakat kita masih terlalu bergantung pada pemerintah, berharap menyediakan lapangan pekerjaan, mendapatkan insentif dan mendorong pemimpin kota menghadirkan investor asing masuk. Padahal sesungguhnya dengan menjadi pengusaha di negeri sendiri, nilai tambahnya lebih besar daripada mengajak perusahan asing di tanah sendiri. Kita kurang terdorong mengimbangi kinerja pemerintah yang sebenarnya sudah cukup kompleks. Mengapa tidak memulai membuang sampah pada tempatnya, misalnya. Bukankah perubahan sikap itu efektif menghindari banjir di rumah kita, daripada sekadar memaki-maki petu-gas kebersihan yang enggan menyapu pinggiran jalan kita?

Akhir kata ini yang harus saya sampaikan kepada calon Medan 1. Saya dan segenap anak Medan memiliki harapan besar kepada pemimpin kota ini nantinya. Kami berharap hidup hari ini di Medan adalah mimpi buruk, tetapi kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami mencubit, ia tetap nyata. Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan tegas, calon Medan 1 akan tampak kerdil dan rendah di hadapan warga serta pasti akan tampak “sebelas dua belas” dengan para pemimpin kota ini sebelumnya yang berakhir dalam keterpurukan, membawa kota ini ke jalan yang tidak jelas.

Page 20: Lentera News edisi #16 Juli 2015

20

SASTRA | SINTA

19

Sinta

Toh setelah mencari-cari alasan yang membuatnya menyukainya, dia

hanya menemukan kegantengan sematalah

penyebabnya.

“Tidak takut sendiri?” tanya Ganup.

“Sudah biasa.”

“Tadi sudah ke sopo yang itu,” sambung Ganup sembari menunjuk ke sebelah kanannya, “atapnya bocor.” Sinta mencoba memperhatikan lebih dalam tamu tiba-tibanya itu. Sedari tadi mereka nyaris tidak bertatapan. Ganup menghadap ke sebelah sungai. Sinta menghadap Ganup. Dengan begitu dia leluasa menata diri. Terbersit sekilas angan. Sesungguhnya bukan angan. Semester silam tertera beberapa nilai di rapornya yang mendatangkan amarah ibunya. Dia merasa sudah mengerahkan semua tenaga untuk belajar. Di titik inilah dia menemukan satu jalan terang. “Ganup,” bisiknya dalam hati. Tiba-tiba Ganup berpaling sempurna. “Semester depan kita akan satu sekolah.” Lama Sinta terdiam. Dia perhati-kan lagi pria, yang entah kenapa, dia rasai telah mencubit satu sisi kecil hatinya. Cubitan kecil yang mendatangkan asa. Dia kemudian membayangkan bangku sekolah.

Lalu teringat guru-gurunya. Melintas-lintas pula beberapa teman-teman sekelas. Sekarang dia baru saja menambahkan satu teman baru di daftar teman-temannya: Ganup. “Aku akan dapat saingan baru.” Sinta mencoba mencairkan kebekuan. Ganup tidak membalas.

“Maksudku, aku akan sangat berun-tung berteman denganmu.”

“Kita bahkan belum kenalan,” jawab Ganup sembari mengumbar senyum. Sinta mengulurkan tangan. Dia tidak menyadari senyum simpulnya membuat teman barunya itu tak segera menyambut tangannya.

“Kenapa?” tanya Sinta. Agak-agaknya Ganup grogi. Sinta memang ayu. Semua ungkapan puja-puji ke bidadari kerap dialamatkan teman-temannya kepadanya. Meski hidung tidak bisa disebut mancung, kedua mata itu sangat bening. Rambutnya menyapu-nyapu keningnya. Warna kulitnya yang tak begitu cerah berpadu dengan senyum renyah ditambah pula tutur kata yang anggun membuat siapa saja yang bersua dengannya serasa diawasi bidadari-bidadari sorgawi karena satu orang temannya sedang terdampar di bumi. Ganup tidak berencana sedikit pun untuk menyerangnya dengan rayuan.

(bagian II)

Dian Purba

[email protected]

Page 21: Lentera News edisi #16 Juli 2015

21

Sesuatu yang sering dilakukan tiap kali bertemu gadis cantik. Bukan karena dia menggigil kedinginan, namun lebih-lebih karena sesuatu alasan yang dia sendiri pun tidak tahu. “Padi-padi itu sudah menguning,” Ganup mengalihkan suasana. “Belum bisa dipanen?”

“Semestinya sudah. Tapi anak tulangku menikah hari ini.”

“Besok aku bisa ke mari lagi?”

“Besok hujan tidak akan turun lagi.”

Ganup tertawa. “Tidak untuk hujan, tapi untuk padi itu,” seru Ganup. Sebelum Sinta berhasil menyimpulkan, Ganup kembali berujar, “Bapak sering cerita tentang hauma. Aku rela tak digaji mem-bantu Sinta manggotil [v].” Sesingkat itu sesungguhnya perkenalan mereka. Sore itu mereka berjalan beriringan di jalan sempit ke kampung. Tentu saja hujan masih turun. Dua helai daun pisang mereka tebas dan dijadikan pengganti payung. Hampir-hampir mereka tidak bercakap sepanjang jalan.

Pastilah Sinta terpeleset di jalan yang sesekali licin. Dan pasti pulalah Ganup bertindak semestinya melihat Sinta nyaris terjatuh. Setelah itu kemudian mereka tertawa bersama. Mereka kemudian mengambil ranting kayu dan memasukkan sandal mereka berdua ke sana. Memilih bertelanjang kaki di jalan licin sepertinya cukup ampuh. Parit di dekat desa mereka manfaatkan mencuci kaki dan membersihkan sandal mereka yang kotor.

“Kalaupun besok tak mendapat ijin dari orangtuamu ikut manggotil, harapan terakhirku hanyalah pada hujan,” ujar Ganup sebelum jalan memisahkan mereka. Sebelum Sinta berpaling, tam-pak jelas wajahnya memerah.

***

Masa panen sudah usai. Emak-emak bahkan sudah menggiling gabah mereka dan menjualnya untuk keperluan-keperluan sekolah anak-anak. Banyak orang kota yang berkunjung ke desa ini berpendapat warga desa sesungguhnya tidak mendapat untung apa-apa dari menanam padi. Terlebih-lebih, menurut mereka, pola bertani yang sekarang ini sudah sangat tradisional, tidak mengikuti jaman.

Namun, warga desa tidak ambil pusing dengan pendapat mereka. Bagi mereka padi, sawah, dan hauma tidak semata-mata perkara untung-rugi. Bagi mereka padi adalah bagian dari penghuni rumah. Kita akan menjumpai rumah-rumah warga tidak akan pernah kering dari padi. Mereka selalu meninggalkan paling tidak satu karung padi meski mereka mesti membeli beras untuk ditanak di dapur. Kepercayaan ini lebih-lebih untuk menggambarkan kesiapsiagaan untuk menangkal sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Inilah yang diterangkan Sinta ke Gan-up suatu siang saat mereka pulang dari sekolah. Mereka cukup banyak waktu untuk berganti kisah tentang diri mereka masing-masing. Jarak dari desa ke sekolah enam kilometer. Saban pagi, pukul enam, mereka sudah mesti berjalan kaki. Demikian juga di selepas sekolah. Waktu sejam untuk menempuh yang enam kilometer itu terpakai sempurna. Sinta merasakan kakinya semakin ringan saja melangkah.

Sinta selalu bertanya-tanya kenapa Ganup menganggurkan motornya di rumah oppungnya dan memilih berjalan kaki 12 kilometer setiap hari. Tapi dia selalu berusaha menutupinya dengan senyum sumringah. Dia tahu Ganup melakukan itu demi dia. Setiap kali memikirkan itu Sinta selalu mengakhirinya dengan senyuman.

(bersambung ...)

20

Page 22: Lentera News edisi #16 Juli 2015

22

ILHAM SEHAT | TIDUR SIANG

22

Semasa kecil dahulu, kita tentu ingat, orangtua kita kerap mengingatkan untuk tidur siang.

Anjuran tersebut tidak sekedar kiat ‘mengheningkan’ suasana rumah sejenak. Namun, ada sejumlah manfaat penting dalam jeda sementara bagi tubuh kita.

Kebanyakan orang menggunakan waktu malam hari untuk tidur dan siang hari untuk

bekerja. Oleh karena itu bagi beberapa orang yang sibuk bekerja mungkin tidak memiliki waktu untuk tidur siang. Tidur merupakan aktivitas penting, karena dapat membantu memulikan tenaga setelah kelelahan beraktivitas. Disamping juga bermanfaat bagi kesehatan otak dan tubuh kita.

Sila lirik lima manfaat penting Tidur Siang, yang kami rangkum dalam edisi ini.

5 MANFAATTIDUR SIANG

Page 23: Lentera News edisi #16 Juli 2015

23

ManfaatTidur Siang

bagi Kesehatan

Meningkatkan daya ingat

Sebuah penelitian tahun 2008 menemukan bahwa tidur siang selama 45 menit bisa membantu meningkatkan daya ingat. Peningkatan ini terjadi dalam fase slow-wave sleep atau tidur gelombang pendek sebagaimana biasa terjadi saat tidur siang.

Meningkatkan produktivitas

Tidur siang dapat melindungi otak dari pengolahan informasi yang terjadi secara berlebihan dan membantu mengkonsolidasikan informasi yang baru dipelajari.

Mengobati insomnia

Penelitian telah menemukan bahwa orang yang tidur siang selama 15 menit merasa lebih waspada dan kurang mengantuk, bahkan ketika malam hari sebel-umnya kurang tidur.

Menurunkan stres

Ingin memotong hormon stres kortisol sebanyak separuh? Penelitian menunjukkan bahwa hormon stres secara dramatis mengalami penurunan setelah tidur siang, terutama jika semalam tidurnya kurang begitu nyenyak.

Mencegah penyakit jantung

Tidur siang yang pendek selama 20-40 menit bisa mengurangi risiko penyakit kardiovaskular seperti jantung dan stroke.

Page 24: Lentera News edisi #16 Juli 2015

24

Dian Purba

[email protected] Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

POLLUNG | GLOBAL WARMING

Page 25: Lentera News edisi #16 Juli 2015

25

Gereja dan Pemanasan Global

Inilah yang kita namai dengan kamuflase hijau. Perubahan bentuk perusahaan-perusahaan perusak

lingkungan menjadi laiknya penyelamat bumi dengan mengenakan topeng “hijau”. Salah satu topeng itu adalah dengan menggunakan media-media besar berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat berbahaya saat anak-anak tumbuh dengan pikiran bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jagoan pelestari lingkungan.

Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain pemerintah dan organisasi antarpemerintah dapat diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam

menuntut penuaian kewajiban dan pertanggung-jawaban mereka karena telah merusak alam.

Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan pangan Indonesia”, pemerintah lewat Departemen Pertanian menggulirkan megaproyek penggunaan lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup berarti andai lahan yang luasnya sama dengan setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100 persen ke swasta. Yang kita saksikan kemudian adalah berbondongnya para konglomerat Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru

(bagian II)Gereja dan Pemanasan Global(bagian II)

Page 26: Lentera News edisi #16 Juli 2015

26

Gereja tidak terpisah dari semua proses

itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja

melihat. Gereja mendengar.

Gereja mengalami

sendiri bagaimana kekuatan-

kekuatan itu menjajah

kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam

komunitasnya sendiri.

“di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin Panigoro di bawah bendera Medco Foundation & Conservation Internasional mendapat jatah 35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo, PT Cemexindo Internasional, mendapat jatah 200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha Graha, mendapat jatah 2.500 hektar.

Pemerintah memanjakan pengusaha kakap itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank Mandiri menggelar acara khusus yang mereka namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan ini untuk menyinergikan korporasi sebagai investor dengan pemerintah dan perbankan. Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati Merauke John Gluba Gebze, para investor takkan mendapat gangguan dari masyarakat adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun telah disiapkan guna membangun jalan dan pembangunan pelabuhan.

Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga perut penduduk Indonesia tidak kekurangan makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan teramat penting ini diserahkan sepenuhnya kepada swasta? Di kemanakan rakyat Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah memberdayakan mereka? Para konglomerat itu mendapat tanah gratis, insentif pajak, serta upah buruh murah. Petani Merauke akan semakin terpinggirka karena lahan semakin sempit. Cara pandang pemerintah dengan cara pandang rakyat Papua dengan tanah itu bertolak belakang. Rakyat Papua memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat, pemerintah memandangnya sebagai lahan produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani kecil akan diposisikan sebagai penonton di pinggiran saja.

Dampak lain penggunaan lahan seluas itu tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan apa yang sudah disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim berlangsung di Kopenhagen, Denmark, be-berapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020. Target itu hanya akan terjadi apabila pemerintah mengurangi alih fungsi lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6 persen.

Selanjutnya kita akan menyaksikan penebangan besar-besaran pohon hutan tropis dan menggantinya dengan tana-man satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna dan hayati akan terancam keberadaannya. Pemerintah memandangnya berbeda: “Itu lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, per-gilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI

Bayu Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti ini dinamai pemerintah sebagai perwujudan “iklim bisnis yang kondusif”. Iklim di mana: “kini pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun) yang bisa ditawarkan kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan investasi, dalam supermarket dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional (dan juga hutan)”.

Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar karbon dioksida: pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara. Untuk keperluan pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan besar lintasnegara (perusahaan transnasional: selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas, kampanye-kampanye raksasa mereka yang “memaksa” kita betapa mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita artikan sebagai penggunaan topeng kamuflase hijau semata.

Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik saat revolusi industri abad ke-18 meletus. Saat itu batubara menjadi sumber energi dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak bumi menggeser posisi batubara. Abad ke-20 penggunaan gas diperkenalkan. Pasca penemuan mesin uap, industri berkembang laiknya jamur di musim hujan. Dan kini, kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50 persen lebih dari semua gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh seluruh sektor industri.

“Kita” menggali lebih dari enam miliar ton bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca terbanyak dari bumi setiap tahunnya. Dari ketiga bahan bakar fosil itu, batubara berbiaya paling rendah, harganya murah, berjumlah banyak, dan yang paling kotor dibandingkan koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri Tiongkok. Cina berencana membangun 762 pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang dihasilkan bagi lingkungan dari pembakaran 2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat serius dan luas cakupannya. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000 kematian premature setiap tahun di Cina. Dan kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia.

Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970, jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200 juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta. Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin dikonsumsi setiap hari tahun 2004.

Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar

Page 27: Lentera News edisi #16 Juli 2015

27

fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. SO2 menyebabkan problem saluran pernapasan; radang paru-paru menahun; hujan asam yang dapat merusak lingkungan danau, sungai, dan hutan; mengurangi jarak pandang. NOx menyebabkan sakit pada saluran pernapasan; hujan asam; dan ozon menipis yang mengakibatkan kerusakan hutan. Par-tikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata dan tenggorokan; bronkitis dan kerusakan saluran pernapasan; dan mengganggu jarak pandang. Emisi CO2 merupakan sumber terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global dan kerusakan ekosistem. Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan.

Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta 6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun waktu 30 tahun. Berdasarkan World Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari peng-gunaan energi maupun dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia mempunyai emisi sebesar 296 juta ton atau sebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia.

Pertobatan ekologis

Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke sebelah mana? Di mana gereja menempatkan posisinya? Atau pertanyaannya barangkali boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja menghadapi arus deras perusakan lingkungan tersebut? Deretan pertanyaan itu mengingatkan kita dengan kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran di Indonesia.

Amerika Serikat dan Eropa Barat teramat kuatir paham komunisme menjamur di dunia ketiga. Berbagai cara yang mereka lakukan menghempang penyebaran paham yang bersebarangan dengan paham kapitalisme itu kita kenal dengan Perang Dingin. Amerika dan sekutunya menelurkan istilah “pembangunan” (developmentalism). Penerapan paham ini di lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan rezim-rezim korup dengan bantuan persenjataan dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak men-dapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat. Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah rakyat saat mereka mencoba berdiri berseberan-gan. Penolakan dengan kondisi inilah yang mel-ahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah, gereja bangkit menggaungkan suara kenabian

menentang kezoliman ini. Teologi pembebasan diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan Marxisme.

Di Indonesia kita mengenal Romo Mangunwijaya yang dengan istilah berbeda, teologi pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan.

Mengacu ke teologi pembebasan di Ameri-ka Latin, Romo Mangun mengartikan teologi pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, pen-emuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada haki-katnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pen-galaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bah-wa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan, dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu.

Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua data-data di atas, dan semua data-data yang belum tercatum tentang betapa planet yang kita tempati ini sudah begitu rusak, mestilah menjadi pengetahuan wajib setiap anggota jemaat. Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata ke geraja secara institusional, melainkan wujud mendasar dari pertanggungjawaban iman.

Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri, tetapi hidup bersama dan punya kepentingan dengan yang lain.

Mata air di lembah sudah lama kering. Gunung-gunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan. Binatang-binatang di padang sudah lama punah. Siulan burung merdu di pepohonan di antara daun-daun sudah lama tidak bersenandung bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini menemukan kembali awal baru memulai sebuah pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni menyelamatkan bumi?

Page 28: Lentera News edisi #16 Juli 2015

28

Page 29: Lentera News edisi #16 Juli 2015

29

LAPO AKSARA

Ananta Bangun

anantabangun.com

Redaktur Tulis di Lentera News

29

KAPAK PENEBANG POHON

Seorang pria bertenaga kuat, pada satu hari, melamar pekerjaan di Usaha Perkayuan. Kepada si Pemilik

usaha itu, ia memohon diterima sebagai penebang kayu. Menilik postur tubuh dan ototnya yang besar si pemilik usaha itu pun coba menguji pria tersebut. Sesuai posisinya, ia diuji berapa banyak pohon yang mampu ditebangnya dalam satu hari itu.

Hasilnya memuaskan. Pria tersebut dapat menebang sebanyak 20 pohon dalam satu hari itu. Pemilik Usaha Perkayuan pun menerimanya, dan dapat mulai bekerja mulai esok hari. Pada lima hari pertama bekerja, tak ada yang berubah dari hasil kerja pria tersebut. Dengan bersemangat, ia kerap mampu menebang 20 pohon dalam satu hari.Keanehan terjadi di hari ke-6, hanya 19 pohon yang mampu ia tebas. VHatinya pun sedikit gusar. Perasaan heran dan gelisahnya semakin hari semakin membubung. Tatkala cuma 15 pohon yang dapat ditebangnya pada hari ke-10. “Ada apa dengan diriku?” Ia bertanya dalam hati.

Pada akhirnya sang penebang tersebut tak kuasa menahan jengkel di hari ke-20. Musababnya, pada satu hari itu ia cuma menebang 2 pohon saja. Sembari menahan malu, ia kemudian mengadukan permasalahannya itu kepada si Pemilik Usaha Perkayuan. Perihal penurunan kinerjanya selama 20 hari tersebut.

Sang Pemilik usaha pun menjawab anak buahnya dengan bertanya: “Apakah selama 20 hari tersebut, kamu pernah mengasah kapakmu?”

“Tidak, Pak. Karena saya sungguh sibuk untuk bekerja memenuhi target, menebang banyak pohon,” aku pria itu.“Nah. Ini lah yang menjadi akar masalahmu. Kegigihan dalam bek-

erja tak dibarengi perhatian pada alat yang menopang pekerjaanmu,” terang si Pemilik. “Tentu mustahil engkau mencapai targetmu, jika hanya mengandalkan tenaga fisikmu saja.”

Kisah di atas bukanlah ihwal baru dalam perjalanan hidup kita. Namun, kerap saja kita terlupa bahwa setiap profesi yang kita tekuni membutuhkan ‘perkakas khusus’. Bila penebang pohon mengandalkan pohon, maka petani juga memberdayakan cangkul. Pun nelayan, polisi dan rupa profesi lainnya.

Bagaimana dengan profesi yang mengandalkan kecerdasan semata. Terlebih bagi sosok pemimpin bagi banyak insan. Dengan apakah kita mengasahnya? Boleh jadi fikiran kita lalu mencuat pada kisah silam di Alkitab. Yakni ketika Raja Salomo memohon hikmat kebijaksanaan dari Allah; alih -alih meminta kekayaan berlimpah.

Maka Allah pun menjawab permohonan putra Daud itu: “Oleh karena itu yang kauingini dan engkau tidak meminta kekayaan, harta benda, kemuliaan atau nyawa pembencimu, dan juga tidak mem-inta umur panjang, tetapi sebaliknya eng-kau meminta kebijaksanaan dan penger-tian untuk dapat menghakimi umat-Ku yang atasnya Aku telah merajakan engkau, maka kebijaksanaan dan penger-tian itu diberikan kepadamu ; selain itu Aku berikan kepadamu kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sebagaimana belum pernah ada pada raja-raja sebelum engkau dan tidak akan ada t pada raja-raja sesudah engkau.” (2 Tawarikh 1:8-12).

Marilah kita tetap ‘mengasah’ hati dan ‘perkakas’ kita dengan tekun, rendah hati dan penuh syukur yang selalu ditengadahkan bagi-Nya.