Top Banner
EDISI #20 NOVEMBER 2015 TAK SENDIRI LAGI Juara III Lomba Narasi Foto - Worksop Fotografi oleh Komsos KAM & Pemko Medan
19

Lentera News #20 November 2015

Jul 24, 2016

Download

Documents

Majalah Lentera

catholic center, keuskupan agung medan, workshop, foto, smp st ignatius medan, hubertus aguustus lidi osc, angkot, agama, ruang publik, bung joss, inspirasi, memberi, dian purba, danau toba, mi gomak, adam, cerpen, harga, senyuman, ananta bangun, blindekuh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lentera News #20 November 2015

1

EDISI #20 NOVEMBER 2015

TAK SENDIRI LAGI

Juara III Lomba Narasi Foto - Worksop Fotografi oleh Komsos KAM & Pemko Medan

Page 2: Lentera News #20 November 2015

2

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWSDENGAN DOA DAN DANA

Kunjungi kami di sini:

Bank Nasional IndonesiaRek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM

daft

ar is

i Tajuk Redaksi3Telisik4

6 Lentera khusus

8 Embun katekese

10

Pollung

17 Ilham sehatTak Lagi Sendiri

14

Rumah Joss

12

Sastra

RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]

Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | [email protected] , [email protected] | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

REDAKSI

Meng-agama-kan Ruang Publik (I)

Mengapa Kamu Seorang Katolik?

Letusan Toba, Adam & Mi Gomak

Dengan Memberi, Engkau Menerima

Harga Sebuah Senyuman (II)

19 Lapo Aksara

Blindekuh

Page 3: Lentera News #20 November 2015

3

Redaksi

3

TAJUK REDAKSI

Salam sejahtera sahabat pembaca Lentera News,

Menapaki bulan November 2015, tentu sejumlah rencana indah tengah dirancang untuk menyambut akhir tahun ini. Tidak hanya sekedar hendak menikmati masa berlibur namun juga menyerap kesegaran inspirasi sebagai bekal energi menuju tahun 2016 mendatang.

Berkenaan dengan bincang inspirasi tersebut, majalah online Lentera News dengan senang menyajikan karya jawara ke-III narasi foto dari Workshop Fotografi yang diselenggarakan oleh Komisi Komsos KAM pada 31 Oktober hingga 2 November 2015 lalu. Mengapa karya pemenang ke-III yang lebih dahulu ditampilkan? Untuk menjawab rasa penarasan, sila lirik langsung ke halaman Lentera Khusus.

Pada edisi bulan ini, Pemimpin Redaksi Lentera News mengupas satu sisi keberagaman hidup di negeri kita. Tidak sekedar beretorika, namun juga menyisipkan sebuah kisah yang tentu pernah kita alami, lihat atau setidaknya didengar dari sesama kita.

Jangan lewatkan juga petikan pengalaman bung Dian Purba yang kembali mengulas keindahan Danau Toba. Tidak sekedar menjabarkan ringkas perihal dahsyatnya letusan Gunung Toba, namun juga menyelipkan perihal makanan khas daerah Tapanuli. Dan mungkin dilatari semangat senada, Redaktur Lentera News, Ananta Bangun juga menyisipkan tulisannya tentang restoran di Zurich, Swiss.

Segenap rajut aksara di dalam edisi ini dapat hadir di tengah-tengah sahabat pem-baca adalah berkat doa dan dukungan dari kita semua. Redaksi berkutat di meja hanya seputaran penyuntingan kata. Tentu sebe-lum sampai di sana, semestinya haruslah terlebih dahulu lahir dari pemikiran atau-pun pengalaman dari sahabat penulis/ pembaca Lentera News. Sila kirimkan tu-lisan sahabat, bila hendak turut dimuat di LN melalui email: [email protected]. Shalom!

Page 4: Lentera News #20 November 2015

4

RP Hubertus Lidi, OSC [email protected]

TELISIK | RUANG PUBLIK

Toleransi beragama di Indonesia merupakan hal yang vital, bersesuaian

dengan semboyan hidup berbangsa; Bineka Tunggal Ika.

Toleransi selalu mengedepankan saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama. Penekanannya bukan ada pada minoritas dan mayoritas tetapi pada saling menghargai dan menghormati satu sama lain se-bagai warga bangsa tercintai ini. Refleksi: Mengagamakan Ruang Publik merupakan penghargaan akan toleransi beragama itu, dengan mengedepankan manusia sebagai ciptaan Allah yang universal serta berharkat dan bermatabat yang mendambakan kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam spasial kehidupannya.

“Apa, isi di karung itu pak?” Tanya

sopir angdes (angkutan desa) kepada Boni. “Oh itu, nangka pak.” “Ah yang benar saja,” sambil melajukan angdesnya itu. Sang sopir tetap memperlihatkan reaksi tak tenang, selalu melirik-lirik karungnya Boni. “Bang nagka ko bergerak-gerak,” usik sopir. Boni sudah merasa tak nyaman. “Pak yang benar saja, masa sih nangka ko bergerak-gerak.” “Ya nangka,” tanggap Boni, ketus.

Sampai di pasar Boni menurunkan karungnya, dan sang sopir memerik-sa isi karung itu, ternyata seekor babi, yang kaki dan mulutnya sudah diikat. “Wah tidak boleh membawa hewan, di angdesku ini.” “Ya tapi aku melihat yang lain membawa kambing.” “Ah itu beda.” “Apakah kambing bukan hewan?” “Ah kamu ada-ada saja, membawa babi malah menyebutnya nangka,” gerutu sopir agak geram. “Ya pak, ini babi namanya nangka, makanya tadi saya

MENG-AGAMA-KANRUANG PUBLIK

Page 5: Lentera News #20 November 2015

5

katakan membawa nagka ” tanggap Boni.

Agama sang sopir dan ruang penumpang merupakan dua hal yang berbeda. Boni menggunakan ruang publik itu karena ia penumpang, dan memang angkot itu untuk penumpang. Persoalannya akan menjadi sangat berbeda kalau Sang sopir melarang Boni membawa barangnya itu karena secara sosial mengganggu kenyamanan penumpang lain enta karena bising atau jorok. Konteksnya bukan lagi agama tetapi etika soial - kemasyarakatan. Boni membantah kalau angkot ini tidak boleh membawa binatang, karena ia melihat bahwa pernah orang membawa kambing, yang nota bene adalah binatang.

Saat Agama Menjadi Label

Substansi kisah pada pengantar ini adalah fiktif, alias rekaan pengarang. Pada tataran kehidupan soasial masyarakat , kita menyaksikan, kisah-kisah dikotomi yang mirip, melabelkan agama pada benda-benda atau fasilitas-fasilitas umum. Misalnya Rumah Sakit, Sekolah, rumah makan, tempat kos putra atau putri. Ruangan dan seluruh isinya, seakan-akan “ dibabtis” dan “memeluk” agama tertentu. Spasial ruangan publiknya otomatis menjadi lebih terbatas. Upaya semacam itu bisa menjadi ajang

promosi, dalam arti mengajak agar ‘orang-orang yang sehaluan’ datang, bergabung, dan menikmati privasinya; fasilitas, irama, style, dll. Penggunanya tentu mengalami ‘athome’ dengan kondisi yang ada. Pada bagian lain menjadi ajang pembatas bagi para pengguna. Dalam arti bahwa ruangan publik itu khusus, ‘untuk kami’, yang sehaluan. Mereka lain adalah asing.

Ruang publik seperti sekolah, rumah sakit, rumah makan, tempat kos selalu berurusan dengan manusia dan kehidupan sosialnya. Nimbrung, masuk rumah sakit dengan label agama tertentu, bukan karena penyakit atau virusnya harus dilawan dengan obat yang agama tertentu pula. Katakan saja, Si Goma masuk sekolah dengan label agama tertentu apakah pelajaran Fisikanya, beragama tertentu? Si Koi ingin menikmati sayur lode, dan ia menuju ke sebuah rumah makan dengan tulisan rumah makan agama tertentu itu bukan berarti lode kesukaannya beragama tertentu?

Dalam konteks ini label itu sebenarnya sekilas sedang ‘memenjarahkan’ ruang publik itu dan kita terperangkap di dalamnya. Sekilas menciptakan jarak bagi yang membaca, kalau kebetulan orang yang membaca itu tidak seagama. Ruang gerak kemanusian menjadi terbatas dan lebih eksklusif.

bersambung...

Page 6: Lentera News #20 November 2015

6

LENTERA KHUSUS | CATHOLIC CENTER KAM

Sahabat pembaca Lentera News yang berbahagia. Ko-lom Lentera Khusus kali ini,

Redaksi hendak berbagi inspirasi dari karya Peserta Workshop Fo-tografi yang lalu diselenggarakan pada 31 Oktober – 2 November 2015 di Gedung Catholic Center Keuskupan Agung Medan (KAM).

Ada 2 hal yang menarik perhatian kami. Pertama, tulisan dan foto-foto dalam tulisan ini merupakan karya peserta dari SMP St. Ignatius Medan. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana mereka dapat memupuk rasa percaya diri di tengah-tengah peserta yang mayoritas merupakan mahasiswa. Bahkan mereka dapat menggondol juara ke-III dalam kontes Narasi Foto.

Hal kedua ialah perspektif lugas, Dhea Abigail Yohana Munthe dan temannya Femi Agintsi Putri, men-emukan sisi historis Gedung Catholic Center KAM untuk bahan narasi foto

mereka. Walaupun disemat beberapa kekurangan, namun pesan dan kesan dalam karya mereka sungguh kuat. Memperhatikan kedua daya ini, kami dengan bangga menampilkan karya tersebut dalam Lentera News edisi bulan November ini. Berikut rangka-ian narasi foto tersebut:

“Radio Maria merupakan media komunikasi milik Keuskupan Agung Medan (KAM) dan telah beberapa tahun menempati Gedung Chatolic Center di lantai 5. Awalnya, pemban-gunan Gedung Chatolic Center KAM sudah direncanakan sejak tahun 1987 oleh Paus Yohanes Paulus II, yakni saat beliau berkunjung ke Kota Medan. Rencana itu kemudian diterima oleh Uskup Mgr. AGP Datubara (saat itu). Meskipun sudah lama direncanakan, pembangunan gedung baru terealisasi pada tahun 2006 dan selesai pada tahun 2008.

Selama tujuh tahun berdiri, gedung ini belum digunakan secara maksimal.

TAK SENDIRI LAGI

Page 7: Lentera News #20 November 2015

7

Universitas Katolik St. Thomas (UNIKA) merupakan pengguna pertama Chatolic Center KAM. Setelah UNIKA menggunakan gedung, kemudian disusul Ra-dio Maria turut menempatinya. Sebelumnnya, stasiun mereka bertempat di Biara Emaus Helvetia. Selama beberapa tahun, Radio Maria sendiri menempati Gedung Chatolic Center. Baru pada awal tahun 2015, KOMSOS KAM menempatinya. Tepatnya di lantai 2 gedung.

Kini Chatolic Center sudah lebih bermanfaat, karena banyak ruangan yang menempatinya dan hal itu ‘menemani Radio Maria dalam kesendiriannya yang panjang’. Pada lantai 1 gedung terdapat Canteen, Restaurant, dan Ford Court. Lantai 2 direncanakan sebagai kantor seluruh Komisi di bawah KAM. Lantai 3 dan 4 untuk sementara ini dijadikan sebagai sekolah dan rencananya akan dijadikan museum dan perpus-takaan.

Di lantai 5 terdapat Radio Maria, Kantor Chatolic Center, dan Kapel. Pada lantai 6 dan 7 digunakan sebagai penginapan. Lantai 8 dijadikan sebagai aula yang sering digunakan untuk berbagai pertemuan dan Lantai 9 digunakan untuk tempat olahraga.”

(Dhea Abigail Yohana Munthe & Femi Agintsi Putri)

Page 8: Lentera News #20 November 2015

8

EMBUN KATAKESE | KATOLIK

MENGAPA KAMU SEORANG KATOLIK?

Pertanyaan:Terkadang saya bertemu dengan orang-orang yang mengatakan, “Oh, saya dulu seorang Katolik.” Kemudian mereka bertanya, “Mengapakah kamu tetap tinggal dalam Gereja Katolik?” Mohon jawaban yang baik untuk menanggapi pertanyaan “Mengapa kamu seorang Katolik?”

Tanggapan:

Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan suatu jawaban

yang mantap dan mendalam atas pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?” Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu, jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin agak berbeda dari jawaban orang lain.

Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah dewasa akan

sekedar menjawab, “Yah, karena orang tua membaptisku Katolik” atau “Aku dibesarkan secara Katolik” atau “Keluargaku semuanya Katolik.” Bukan. Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan.

Saya akan memberikan jawaban saya atas pertanyaan ini.

Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan Yesus Kristus. Sejarawan paling ahli sekali pun akan harus mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma. Perpecahan be-sar pertama dalam kekristenan baru muncul pada tahun 1054, ketika Patriark Konstantinopel berselisih dengan paus atas siapa yang lebih berwenang; sang Pa-triark mengekskomunikasi paus,

oleh :Pater William P. Saunders

8

Page 9: Lentera News #20 November 2015

9

yang ganti mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah Gereja-gereja “Orthodox”. Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin, Zwingli, dan Henry VIII. Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya.

Namun demikian, satu-satunya Gereja dan Gereja Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah Ger-eja Katolik. Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lain-nya. Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen lainnya tidak dapat masuk surga. Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai Gereja Katolik. Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja” memaklumkan bahwa KEPENUHAN dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus (No. 8).

Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah karena Suksesi Apostolik. Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada para rasul. Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus, yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan kepada siapa Ia mempercayakan kunci Kerajaan Allah. Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan melalui Sakramen Imamat dari uskup ke uskup, dan kemudian diperluas ke imam dan diakon.

Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga ke jaman para rasul. Dalam tahbisan imamat yang suci, Bapa Uskup menumpangkan tangannya ke atas kepala calon imam yang akan ditahbiskan. Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik diwariskan. Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja Bapa Uskup, melainkan St. Petrus dan St. Paulus, bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci. Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri atau memproklamirkan dirinya sendiri; tetapi otoritas itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh Gereja.

bersambung ...

Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

Sumber: “Straight Answers: ‘Why Are You A Catholic?’” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1997 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.

http://www.indocell.net/yesaya/pustaka2/id139.htm

9

Page 10: Lentera News #20 November 2015

10

KOLOM “RUMAH JOSS” | ENDORFIN

Yoseph Tien

Wakil Ketua Komisi Kepemudaan di Keuskupan Agung Medan

Pekan lalu, pimpinan saya mengingatkan tentang level manusia,

bahwa level paling rendah adalah menerima, level kedua adalah memberi dan level ketiga (paling tinggi) adalah menginspirasi.

Hari Minggu ini, Pemimpin Agung saya mengingatkan untuk “Selalu memberi yang terbaik, sekalipun itu dari kekurangan dan keterbatasan. Berilah bahkan sampai engkau merasa sakit!”

Jadi, jangan suka menerima, jangan suka berusaha supaya selalu menerima, jangan menghalalkan segala cara agar engkau selalu menerima. Semua ini adalah tindakan paling rendah dari seorang anak manusia!

Tetapi, berusaha selalu untuk memberi, apapun yang kau

bisa, dalam aneka warna dan bentuk, dengan berbagai cara dari segenap keterbatasan dan kekuranganmu. Dengan demikian, perkara menginspirasi tinggal satu anak tangga lagi.Sesungguhnya apapun yang kau berikan itu, adalah berasal dari pemberian orang lain, dan semua itu adalah pemberian Yang Kuasa.

Maka percayalah, ketika kau memberi, sebenarnya kau sedang menerima!

Hidup tanpa memberi seperti perjalanan memasuki ruang gelap tanpa cahaya!

Salam Joss..!

DENGAN MEMBERI KAU MENERIMA

Salam se-jahtera sahabat pem-baca Lentera News,

Menapaki bulan No-vember 2015, tentu sejum-

lah rencana indah ten-gah diran-cang untuk menyambut akhir tahun ini. Tidak hanya sek-edar hendak menikmati

10

Page 11: Lentera News #20 November 2015

11

Page 12: Lentera News #20 November 2015

1212

POLLUNG | DANAU TOBA

Kory Silaban sudah memulainya saat di TB Silalahi Center. “Terangkan

lagilah tentang letusan Gunung Toba itu,” pintanya. Aku tak begitu kesulitan menjelaskan karena kami sedang berdiri di depan kotak kaca yang di dalamnya tersimpan rapi klipingan ekspedisi cincin api Kompas.

Gunung Toba: meletus terakhir kali 74.000 tahun silam dan menjadi letusan terkuat di bumi, luncuran awan panasnya menutupi area seluas 20.000 km persegi, menimbun daratan Sumatra dari Samudra Hindia di seb-elah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur, ketebalan timbunan material awan panas rata-rata 100 me-ter dan di beberapa tempat mencapai 400 meter, menyemburkan abu yang menutupi wilayah 4 juta km persegi, menciptakan kolom api setinggi lebih dari 40 km lalu jatuh ke tanah karena gravitasi dan menciptakan

gelombang awan panas raksasa yang menghanguskan.

Hujan asam belerang selama enam tahun yang jejaknya terlacak di Greenland, badai debu selama 200 tahun, bumi kering, dingin, dan gelap selama enam tahun, menyisakan manusia sekitar 5.000 jiwa.

Kory tampak bingung. Dia tak menyangka proses pembentukan Danau Toba sedahsyat itu. Dia yang melewatkan masa kecil hingga remajanya di Balige seakan-akan sudah menerima danau itu tanpa tanya ini dan itu.

Kami kemudian beranjak meninggalkan museum dan lanjut ke Tarabunga. Memilih jalur menyusuri garis pantai Lumban Silintong, jalan kemudian mendaki tajam dan: inilah Tarabunga. Sanjaya Nababan memang pengemudi handal. Mobil berjalan santai seakan-akan sedang bernyanyi di jalan setanjakan itu. Selain melihat

Dian Purba

[email protected] Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM

LETUSAN TOBA, ADAM, DAN MI GOMAK

Copyright photo: AnantaBangun.com

Page 13: Lentera News #20 November 2015

13

matahari terbenam kami ingin sekali melihat lokasi pembuatan film Toba Dreams. Dengan demikian, juga, sekalian “ziarah” ke makam Ronggur.

Teman-teman di Jawa yang belum pernah ke Danau Toba sering bertanya tentang keindahan danau besar ini. Dan selalu kujawab: danau ini indah dilihat dari sudut mana pun, dan tidak keliru mengatakan Bali itu seperduapuluhnya Danau Toba. Dan di Tarabunga kami membenarkan itu. Kami terpacak. Terpaku. Kekaguman dan kekaguman kami itu membawa kami ke bincang-bincang sore yang dahsyat. Melihat danau ini dari sini pasti sesaat mungkin membuat siapa pun akan menjadi seorang penanya tak berkesudahan. Ahhh...sudahlah. Hanya berkunjung ke sini sajalah yang mampu menjelaskan segala detailnya.

Malam pun sudah turun. Kami bersepakat beristirahat di rumah Kory saja sebelum melanjutkan perjalanan besok hari.

Di rumah Kory kami disajikan kejutan-kejutan Toba. Pertama, air di kamar mandi itu sangat segar dan dingin dan melimpah dan bersumber dari danau. Sungguh, aku ingin mandi dua kali malam itu. Kedua, ini dia: makan malam. Santapan kami sangat istimewa: ikan mujahir goreng dipadu dengan sambal Toba yang sangat khas itu. Yah, andaliman. Sambal beran-daliman. Kalau tak salah andaliman itu tanaman khas Toba. Aku teringat dengan Dee mengisahkan andaliman, “Amanguda pernah berpesan ke-padaku, kalau sampai terjadi kebakaran atau bencana alam menimpa ge-dung kami, jangan lupa selamatkan andaliman.” Malam itu pun kami makan sembari menyelamatkan andaliman di perut kami sehingga akan menjadi kenangan nikmat bersantap. Malam yang indah sekali. Letih seharian hilang sempurna.

Tiba waktunya berbaring. Tikar sudah digelar. Bantal dan selimut sudah sedia. Kory yang masih penasaran dengan letusan Gunung Toba itu membuatnya

mengajak diskusi lanjutan.

Entah siapa yang memulai, malam itu kami memasukkan Alkitab ke pembahasan kami. Tepatnya tentang hubungan letusan itu dengan Adam/Hawa. Kuajukan pertanyaan menantang ini: Mana lebih dulu terjadi, letusan Toba atau Adam?

Letusan Toba terakhir terjadi 74.000 tahum silam. Lalu kami mencoba melacak tahun penciptaan Adam melalui silsilah Yesus. Alkitab memulainya dari Abraham. Dari Abraham hingga ke Yusuf, ayah Yesus, terbentang 40 generasi. Kami mengira satu generasi 50 tahun. Artinya dari Abraham hingga Yesus berjarak seki-tar 2000 tahun. Nah, berapa tahun dari Adam ke Abraham? Kami tak bisa memperkirakan. Namun, kami menco-ba menyebut angka: 3000-4000 tahun. Dengan begitu, simpul kami, dari Adam hingga Yesus berselang 5000 hingga 6000 tahun.

Kembali aku bertanya, “Apakah ini artinya Adan bukan manusia pertama?” Diskusi itu sangat menarik. Kami kemudian mencoba menghubungkan letusan Toba dengan Adam: Gunung Toba sudah meletus 70.000 tahun sebelum Adam “tercipta”. Benarkah demikian? Bila itu adanya, lantas siapakah Adam sesungguhnya? Bila kita mengetahui rentang waktu dari Abraham ke Adam, maka tahu pula kita tentang “yang mana yang pertama dan mana yang kemudian”. Letusan Gunung Toba boleh jadi pintu yang pas untuk memulai diskusi tentang itu. Cepat-cepat kami memutuskan untuk tidur sebelum pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” yang lain bermunculan.

Sebelum tidur kami kembali disajikan Kory kejutan terakhir penutup hari penghantar mimpi, “Pengumuman: besok pagi sarapan kita adalah MI GOMAK.” Sangat sempurna.

13

Page 14: Lentera News #20 November 2015

14

SASTRA | SENYUMAN

Sepanjang perjalanan, air mataku tak hentinya menetes. Entah apa yang aku tangisi, tapi rasanya cukup sakit dan mampu membuat dadaku menjadi sangat sesak. Dion... Laki-laki yang aku cintai. Laki-laki yang selama ini selalu ada didalam hari-hariku. Mungkinkah kini ia akan pergi meninggalkanku, yang hanya sebatas sahabat dimatanya. Aku tidak rela, bahkan sangat-sangat tidak mampu untuk kehilangan-nya. Tapi apa yang dapat aku laku-kan jika Dion lebih memilih Restu dibanding aku ?

Ya Allah... Segera akhiri perasaan ini. Aku ingin mencintainya kerna memang Engkau yang memberikan rasa itu untuk ada didalam hatiku. Tidak seperti ini yang hanya menja-di sebuah keegoisan didalam diriku sendiri.

***

“Kakak abis nangis ya ?” pertanyaan Puput cukup membuatku kaget.

“Nangis... ? Ngga kok, mungkin kelilipan debu tadi dijalan.” sebisa mungkin aku mencoba menyembu-nyikan perasaanku didepan Puput.

“Kakak ga usah bohong, Puput bukan anak kecil lagi kak. Puput tau kok, kakak cinta kan sama kak Dion ?” kembali Puput bertanya sambil merangkulku.

Aku tak dapat menjawab pertan-yaan Puput, rasanya bibir ini kelu dan tak dapat berucap sepatah kata pun. Hanya tetesan air mata yang menggambarkan betapa sesak dadaku saat ini.

“Kalo kakak mau nangis, nangis aja kak. Itu wajar kok, setidaknya air mata kakak bisa sedikit meringan-kan rasa sakit dihati kak Tara.” hibur Puput sambil memelukku.

Aku pun menangis sejadi-jadinya. Dalam isak tangisku, aku berdoa. Semoga setiap tetes air mata ini dapat menjadi kebahagiaan untuk Dion. Betapa besar rasa cintaku untuknya. Dan aku tak pernah berharap Dion dapat membalas perasaanku sebesar rasa yang ada didalam hatiku saat ini.

***

Sesampainya dirumah aku lang-sung bergegas memasuki kamarku. Menaruh tas diatas meja riasku, dan membuka lemariku untuk mengam-bil notebook kesayanganku. Dis-analah kutulis semua perasaanku kepadan Dion. Kata demi kata aku rangkai menjadi beberapa kali-mat, dengan lincah jemariku terus mengetik apa yang ada didalam pikiranku saat itu.

Hatiku terasa sakit, terlebih lagi ke-tika melihat Dion bermesraan den-gan Restu tadi. Tak dapat kugambar-kan rasa perih yang kurasakan saat ini. Sempat aku menginginkan aku-lah yang menggantikan posisi Restu saat itu. Namun aku adalah wanita yang cukup tahu diri. Tak mung-kin Dion mau bersamaku, apalagi menjadikanku sebagai kekasihnya. Mungkin inilah takdirku. Hanya dapat mencintai Dion didalam doa-doa yang setiap malam aku panjatkan kepadaNya. Sebab hanya kepadaNya lah aku dapat mengadu semua kegelisahanku. Kegelisahaan dan ketakutanku akan kehilangan

Harga Sebuah Senyuman

14

Debora Tanujaya

Entrepreneur,tingggal di Jakarta

Page 15: Lentera News #20 November 2015

15

Dion.

***

Sebulan sudah waktu berlalu se-menjak aku dikenalkan dengan Restu saat itu. Hubungan aku dan Dion pun semakin merenggang, entah karna mungkin Dion sibuk dengan aktivitasnya, atau mungkin Dion sibuk dengan Restu kekasihn-ya. Entahlah, aku tak ingin berburuk sangka dulu terhadap Dion. Yang aku tau, Dion bukanlah tipe orang yang dengan mudahnya melupakan teman apalagi sahabatnya. Apapun yang sedang dilakukan Dion saat ini, aku selalu berharap dan berdoa agar Allah selalu memudahkan setiap urusannya dan memberikan-nya jalan keluar yang terbaik pada setiap masalah yang mungkin hadir saat itu.

Kulihat kalender yang tergantung di kamarku. Kubuka-buka melihat bulatan diantara angka-angkanya. Sampai pada akhirnya mataku ter-tuju pada bulatan merah di tanggal 21 Maret. Mungkin hanya tang-gal pengumpulan tugas saja, tapi setelah aku ingat-ingat kembali, dan kubuka lembaran kalender itu, ter-tulis jelas tanggal 21 Maret adalah tanggal dimana Dion dilahirkan. Itu artinya seminggu lagi Dion ulang tahun.

Kucoba memberanikan diri meng-hubungi Dion. Kutekan no telepon nya dan kemudian terdengar nada sambung. Tidak lama ada suara yang sangat khas menyapa dis-ebrang sana.

“Halo...” suara itu sangat khas ditelin-gaku. Selama ini aku sangat merin-dukan suara itu.

“Ha.. Halo Dion.” jawabku agak sedikit terbata-bata.

“Hei Ra, apa kabar ?” dia tidak

berubah, tetap ramah dan penuh semangat.

“Kabar aku baik, kamu gimana ? Lagi sibuk apa sekarang ?” hanya pertanyaan standart sih, tapi me-mang saat itu aku benar-benar ingin mengetahui bagaimana keadaan-nya saat ini.

“Kabar aku baik. Lagi di rumah sakit Ra, tumben telepon kamu.” masih saja Dion sempat menggodaku. Dia tidak tau, saat ini aku begitu meng-khawatirkannya.

“Di rumah sakit ? Rumah sakit mana, kenapa ga bilang-bilang kamu masuk rumah sakit ?” tanyaku den-gan sangat khawatir.

“Ya udah kamu datang aja kesini, sekalian temenin aku yah. Nanti aku sms alamat rumah sakit dan kamarnya, ok ?”

“Iya..” dan sambungan telepon pun terputus.

Benakku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Mengapa Dion tak memberitahuku bahwa saat ini ia sedang sakit ? Lalu mengapa aku yang dia suruh datang untuk mene-maninya, kenapa tidak Restu ? Apa mungkin, mereka sudah berpisah ? Akh tidak mungkin, aku tau Dion, dia adalah laki-laki yang sangat setia dengan pasangannya. Setelah men-erima sms dari Dion, aku pun berge-gas merapihkan penampilanku. Ku sisir rambutku yang lurus, lalu ku ikat dengan sembarang. Ku ambil tas kesayanganku yang tergeletak di meja riasku, lalu bersiap pergi untuk segera meluncur ke rumah sakit di-mana Dion saat ini sedang dirawat.

15

Page 16: Lentera News #20 November 2015

1620

Page 17: Lentera News #20 November 2015

1717

Page 18: Lentera News #20 November 2015

18

Page 19: Lentera News #20 November 2015

19

LAPO AKSARA

Ananta Bangun

anantabangun.com

Redaktur Tulis di Lentera News

19

Kota Zurich (Swiss), tidak sekedar dikenal dengan bank-bank besar. Di salah

satu ruang kota termahal dunia tersebut, juga tumbuh inspirasi dari satu konsep restorannya: Blindekuh! Berseberangan dengan konsep rumah makan yang lazim, para penikmat kuliner di restoran Blindekuh menikmati makanan dan minuman dengan penutup mata.

Blindekuh (yang berarti sapi buta) sengaja menggamit para pelanggannya untuk turut merasakan sensasi rasa dan aroma tanpa melihat sajian yang disuguhkan. Restoran yang dimiliki oleh Yayasan Blind-Liecht hendak menunjukkan pada banyak insan bagaimana dunia kebutaan itu. Serta mengetahui perjuangan yang diemban insan tuna netra setiap harinya.

Restoran Blindekuh akhirnya mereng-kuh perhatian dan empati tidak hanya populer sebagai tempat mengenyang-kan perut, namun lebih sebagai lang-kah memahami saudara-saudara kita yang ‘memanggul salib-nya’ sebagai penyandang tuna netra. Tentu saja, tak ada dari kita yang bersedia kehilangan salah satu peran indra tubuhnya. Tetapi hal ini bukan berarti mengesamping-kan diri untuk memperhatikan sesama.

Tak heran jika konsep restoran unik ini dipelopori oleh empat insan yang juga merupakan penyandang keterbatasan fisik dalam melihat, yakni Stefan Zappa (seorang psikolog), Juerg Spielmann, Andrea Blaser (seorang pekerja sosial)

dan Thomas Moser (seorang penyanyi). Pada 17 September 1999, restoran Blindekuh pertama resmi berdiri. Dan kini, konsep unik ini pun diadopsi di se-jumlah negara di Eropa, Amerika, Asia dan Australia.

Terlepas dari perusahaan yang men-gadopsinya, Blindekuh di Zurich masih teguh mempertahankan tujuan se-benarnya dari pembentukan restoran ini: membuka lahan karya seluasnya bagi para tuna netra. Selain terobosan baru dengan konsep gelap, restoran ini juga memperkerjakan tuna netra dan penderita rabun. Di bawah naungan Blind-Liecht Foundation, Blindekuh Zu-rich merekrut 30 pekerja paruh waktu.

Selain memuaskan para pelanggan, kepuasan dari setiap karyawannya juga menjadi tujuan utama. Ini bisa diketahui dari situasi kerja yang men-dukung dan upah yang di atas rata-rata bagi karyawan. Bagi para pelanggan, Blindekuh menjadi sebuah kesempa-tan sesi spiritual untuk mensyukuri kelebihan potensi fisik, dalam melihat. Tentunya, sembari menikmati suguhan penggugah selera dari restoran tadi.

Ada benarnya sebuah pepatah yang berujar: “Dengan menutup mata, eng-kau akan melihat.” Penglihatan itu mer-upakan sisi lain dari menatap dengan mata fisik, yakni menerbitkan syukur dalam benak hati terdalam. Syukur atas karunia yang diperoleh seutuhnya dari Sang Pencipta. Juga syukur atas rezeki sehingga dapat berbagi bagi mereka yang tak lelah berjuang di tengah kekurangannya.

BLINDEKUH

Ilustrasi: FashionForwardTrends.com