Top Banner
1 EDISI #18 SEPTEMBER 2015 BIJAK KATA BIJAK BERBAGI Ilustrasi: http://penultimateword.com/
23

LENTERA NEWS #18 September 2015

Jul 23, 2016

Download

Documents

Majalah Lentera

kata, lalat, lebah, irfantinus tarigan, hubertus lidi, ananta bangun, eka dalanta tarigan, indonesia, prokrustes, velangkanni, ilham sehat, kursi, olah raga, bung joss, target, fokus, pelanggaran liturgi, katolisitas.org
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LENTERA NEWS #18 September 2015

1

EDISI #18 SEPTEMBER 2015

BIJAK KATABIJAK BERBAGI

Ilustrasi: http://penultimateword.com/

Page 2: LENTERA NEWS #18 September 2015

2

DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWSDENGAN DOA DAN DANA

Kunjungi kami di sini:

Bank Nasional IndonesiaRek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy

/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM

daft

ar is

i Tajuk Redaksi3Telisik4

6 Lentera khusus

9 Embun katekese

13

Opini

20 Ilham sehat

Awas, Pemakaman Karakter!!

18

Rumah Joss

14

Sastra

RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]

Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | [email protected] , [email protected] | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news

REDAKSI

Berbicara Tidak Sekedar Asbun

Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi­(IV)

Ini Indonesia?

Target & Fokus

Velangkanni

23 Lapo Aksara

Ranjang Prokrustes

Page 3: LENTERA NEWS #18 September 2015

3

Redaksi

3

TAJUK REDAKSI

Berkomunikasi merupakan satu keindahan. Disebut demikian, karena peran kasat mata-nya yang menjembatani gagasan dan perasaan. Tidak hanya di kalangan manusia saja. Bahkan sejumlah besar penelitian dan pengalaman menitinya hingga dengan mahluk hidup lain, semisal hewan juga tanaman. Kesadaran akan penyelenggaraan Ilahi juga menuntun iman untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Tentu saja melalui doa dan pengalaman spiritual lainnya.

Pastor Irfantinus Tarigan, dalam edisi ini, berkenan membagi pencerahannya perihal laku komunikasi manusia. Terutama dalam ragam kehidupan sehari-hari. Dengan analogi ‘lebah & lalat’ yang sungguh mengena, ilham Imam Diosesan KAM ini menuntun dan ‘sedikit’ menohok tentang perilaku yang selama ini kita abaikan. Yakni karakter yang kian jauh menuturkan dan berbagi kata-kata positif.

Bagaikan satu fikiran, Pastor Hubertus Lidi, OSC juga turut menyorot persoalan ini dalam tulisannya di kolom Telisik. Yang berjudul “Berbicara Tidak Sekedar Asbun”. Pandangan kritis beliau saling melengkapi dengan ilham dari Pastor Irfantinus. Tentu ini merupakan suguhan nilai yang berharga bagi sesama kita. Terutama bagi pembaca Lentera News yang kami cintai.

Sahabat Pembaca. Kami dari Redaksi dengan hati terbuka dan bahagia menerima percikan ilham lainnya yang hendak dibagi bersama. Tidak hanya Pastor Irfantinus maupun Pastor Hubertus sahaja. Banyak dari kita tentu telah menuai buah pengalaman dan pembelajaran yang juga berharga untuk kita sharing bersama.

Jangan lupa untuk menulusur pencerahan senada dari Eka Dalanta Tarigan yang mengupas sisi lain wilayah Indonesia. Desa terisolasi dari teknologi dan infrastruktur yang biasa kita kecap, khususnya di perkotaan. Tentu banyak nilai yang dapat kita petik dalam berbagai sudut pandang.

Seluruh gagasan dan pencerahan di Lentera News edisi September ini, kami persembahkan bagi setiap kita. Termasuk sahabat Pembaca Lentera News. Terima kasih untuk doa dan motivasi yang dicurahkan bagi kami, sehingga tiada padam semangat kami untuk terus menerbitkan majalah online kesayangan kita ini. Shalom.

Page 4: LENTERA NEWS #18 September 2015

4

RP Hubertus Lidi, OSC [email protected]

TELISIK | AKU DI ANTARA YANG LAIN

Prolog

“Julio berceritera kepada Grasianus bahwa ia bertemu dengan Rama dan Shinta di jalan. Grasianus berceritera kepada Laura, bahwa Julio bertemu dengan Ramah dan Shinta lagi asyik berceritera berduaan di jalan. Laura berceritera kepada Prudensia, istrinya Rama, bahwa ia mendengar dari Grasianus, bahwa Julio bertemu dengan Rama dan Shinta yang lagi asyik berdua sambil bergandengan tangan.

Prudesia berceritera kepada Markus suaminya Shinta bahwa ia mendengar dari Laura, bahwa suaminya dan istrinya Markus, lagi asyik berdua di jalan sambil bergandengan tangan.

Akhirnya ceritera yang berkembang di masyarakat adalah Rama berselingkuh dengan Shinta. Rose memberitahukan Prudensia, bahwa ternyata Rama itu hobinya berselingkuh. Paradigma bertuturnya berubah dari berjumpa di jalan menjadi isyu ‘berselingkuh.”

Kisah fiktif ini mengundang kita, secara sadar berefleksi tentang berbicara. Dampak, kekuatan, dan komplesitasnya.

Merekat dan Meretakan

Berbicara atau berkomunikasi secara oral, bagi orang-orang beriman merupakan anugerah Tuhan. Pada hakekatnya manusia sadar dan tahu akan hal yang dibicarakan. Pada bagian lain anugerah berbicara merupakan bagian dari ekspresi manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Makhluk yang tahu dan sadar akan tindakan dan keberadaannya. Konteks berbicara dalam refleksi ini secara eksistensial merupakan bagian dari ungkapan ‘tahu dan sadar.’ itu. Toh aspek kesadaran inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Allah yang lainnya.

Pada saat berbicara, kita berperan sebagai komunikator atau subyek yang mengekspreskan dan mengkomunikasikan, ide, gagasan, pendapat, dan perasaannya secara

BERBICARA TIDAK SEKEDAR ‘ASBUN’

Page 5: LENTERA NEWS #18 September 2015

5

oral. Tujuannya agar hal-hal yang diungkapkan itu didengar, dimengerti dan ditanggapi oleh audiens atau pendengar.

Pada saat yang sama orang yang mendengar berperan sebagai komunikan, yang menerima pesan. Tali persaudaraan, rasa solidaritas, dan kesetiakawanan serta persahabatan dengan sesama bertumbuh dan selanjutnya secara pelan serta pasti, terajut menjadi sahabat, karena berbicara. Lebih jauh dari itu terjadi keakraban dan intiminitas antar pribadi dalam komunitas-komunitas manusia. Hal ini tergantung intensitas, kecocokan, dan tercapainya tujuan. Dr. A. Supratiknya dalam bukunya: KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI dalam konteks kedalaman komunikasi, menyebutnya sebagai Taraf Pertama, atau hubungan Puncak Komununikasi, yang ditandai dengan kejujuran, keterbukaan, dan saling percaya. Dalam pandangan Jhon Powell yang dikutip Supratiknya, bahwa dalam konteks kedalaman komunikasi ada 5 taraf mulai dari taraf basa-basi sampai pada puncaknya tahap pertama, saling percaya (Kanisius:2003)

Tak dapat dipungkiri....berbicara pada tataran lain merupakan komu-nikasi oral yang juga tidak ditandai dengan kejujuran, keterbukaan, bah-kan bearomakan kebenciaan dan balas dendam. Dalam konteks ini berbicara merupakan media yang ber-peran mengumbar emosi dan amarah. Berbicara mempunyai ‘kekuatan’ yang memecah bahkan menghancurkan relasi dan hubungan antar manusia. Berdampak pada permusuhan, perkelahian, perang dll. Untaian kata-kata menjadi rangkaian‘kampanye hitam’, mengkompor-kompori sehingga menjadi panas dan mem-bara. Ibaratnya: penyulut yang siap disentuhkan ke rumput yang tersiram bensin. Pasti terbakar dan menghanguskan segalanya.

Analogi Lidah

Lidah- tongue, merupakan salah satu organ tubuh dalam mulut/oral. Dalam Konteks berbicara lidah merupakan salah satu organ yang berperan penting, mengartikulasikan setiap kata yang keluar dari mulut. Dalam kerjasama dengan organ mulut yang lain, maka setiap kata yang keluar mulut selalu mempunyai makna. Dari perspektif positif dan negatif, sebagaimana yang digambar dalam kisah fiktif itu. Lidah itu bak pedang bermata dua; Tajam dua sisi. Sisi positif, berdampak mempererat tali persaudaraan-silaturahmi, dan sisi negatif, mengurai bahkan memutus-kan tali silaturahmi itu. Pilihan ada pada kita yang mempunyai lidah.

Kaitan dengan dampak, maka subyek yang berbicara alias komunikator perlu mempertangung jawabkan setiap kata-kata atau pembicaraan yang keluar dari mulutnya. Ia menghadapi dan menyikapinya secara positif dan negatif pula. Positif berarti akur atau sebaliknya negatif berarti bertentangan dengan pendengar atau komunikan. Tindak lanjut akibat dari pertanggung jawaban ini tentu berjalan sebagaimana prosesnya menuju pada tahapan penyelesaian atau endingnya. Happy ending atau tragic ending.

Ungkapan ‘Lidah Tak Bertulang’, lentur, dan fleksibel itu bukan berarti yang mempunyai lidah seenaknya mengerak-gerakan alias ‘memain-kan’ dari segala sisi. Ia tidak boleh seenak bokongnya, bersembunyi di balik ungkapanya, membenarkan diri; memanipulasi, memutar- balikan fakta, serta mempelintir kebenaran. Lalu ia menghidangkan kebenaran versinya, yang belum tentu benar, dan ‘bersilat lidah.’ Aspek yang dipaparkan ke permukaan merupakan ‘polesan’. Yang lapisan dalamnya adalah palsu.

(bersambung)

Page 6: LENTERA NEWS #18 September 2015

6

LENTERA KHUSUS | KARAKTER POSITIF

“Mengapa LEBAH cepat menemukan bunga? Sedangkan LALAT cepat menemukan kotoran? Karena naluri lebah hanya untuk menemukan bunga, sedangkan naluri lalat hanya untuk menemukan kotoran. LEBAH tidak tertarik pada kotoran. Sebaliknya, LALAT tidak tertarik pada harum dan keindahan bunga.

Alhasil, LEBAH kaya akan madu sedangakan LALAT kaya kuman penyakit.” Demikian kata-kata seorang motivator yang menganut kepercayaan, “apa yang kamu pikirkan tentang orang lain atau sesuatu biasanya itu yang kamu dapatkan, sebab kamu memang selalu memandang mereka dengan kacamata pikiranmu itu. Kalau kacamata Lebah ya .. kamu dapat madu .. kalau kacamata Lalat ... ya kamu dapat kotoran.” Saya sedikit banyak mengamini juga cara pikirnya itu.

Berawal dari seorang teman ...

Pagi hari, ketika tahu seorang teman lagi sibuk-sibuknya, dengan sengaja saya kerjai dia. Saya kirim sms: “Lagi sibuk ya?” (Itu hanya basa-basi sebab saya tahu ritmenya)“Iya ... memang ada apa ya?” “Ada yang sangat penting mau kukatakan ...”“Oh ... tunggu ya ... nanti saya telepon balik ...”“Ok ..” (Dalam benak saya terbayang: dia buru-buru meninggalkan kerjanya, pasti dengan harap-harap cemas. Kemudian dia telepon saya ...)“Ada apa tadi, kok tumben bicara seperti tadi ..”“Gimana kabarnya? Baikkah?”“Oh ... baik-baik saja ... kamu kenapa ... lagi ada masalahkah?”“Endak juga, tetapi memang ada yang

sangat penting mau kukatakan untukmu ..”“Wah ... apa itu ya?”“Iya ... penting sekali ...”“Apa?”“AKU MENGASIHIMU ...” (Sengaja saya buat lambat-lambat. Saya tunggu reaksinya. Dalam benak sudah saya bayangkan reaksinya, dan benar saja perkiraan saya itulah yang terjadi ...)

“Ihh ... itu aja pun... kukira tadi entah apa, ... iihhh ...” (Lalu dia mulai merepet sana-sini. Saya cengar-cengir saja, sebab sudah memperkirakan reaksi itu sebelumnya.)

Saya katakan “kerjai”, tidak berarti saya main-main dengan kata AKU MENGASIHIMU itu. Konteks kerjai itu hanya dalam hal pemilihan waktu saja, yakni tepat saya pilih ketika dia sibuk. Soal “mengasihi” itu memang betul demikian. Saya sungguh-sungguh dengan kata itu. Pengakuan itu mun-cul setelah sekian lama mengenal dan bergaul dengannya; setelah ada ragam pengalaman yang terjadi.

Cuplikan cerita tadi bukan bohong-bohongan, tetapi real terjadi. Titik renung yang mau disasar: orang cenderung menganggap berita baik-agung-mulia seperti AKU MENGASIHIMU bukan berita penting, malah dianggap main-main. Sementara kalau saya mengatakan, “Kamu tahu enggak kalau Pastor IT itu tak pernah ibadat harian, dan lihat saja bentar lagi dia akan mengundurkan diri ...”, ini pasti dianggap berita penting. Karena begitu pentingnya, tidak lama kemudian akan menjadi menu percakapan tambahan di meja-meja makan. Tampaknya memang tiap orang memiliki “spirit” jurnalis: bad news is good news (berita buruk adalah berita baik).

RD Irfantinus Tarigan

Formator di Seminari Menengah Pematang-siantar,

dan sedang berjuang memproduksi kata-kata positif

AWAS, PEMAKAMAN KARAKTER!!

6

Page 7: LENTERA NEWS #18 September 2015

7

Secara naluriah, berita negatif memang sering dianggap lebih penting, lebih menarik, dan tentu cenderung lebih lama diingat. Tetapi apakah lebih membangun, lebih menggembirakan? Rasanya tidak. Secara tak sadar, energi dari dalam diri akan dikuras saat mendengar berita-berita negatif, sebaliknya kabar sukacita justru akan menambah energi. Bisa dibuat tes sederhana: tontonlah video pemenggalan oleh ISIS lalu tonton juga cuplikan Kick Andy. Bandingkan perasaan yang muncul setelahnya! Saya telah coba: video ISIS itu membuat mual, muak dan anti-pati, sedangkan video kedua menyegarkan pikiran.

Saya amat-amati, kecenderungan untuk menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi daripada menyebarkan hal-hal positif. Misalnya saja, berita tentang seorang suster yang keluar akan cepat tersebar/menyebar/disebarkan, daripada misalnya berita tentang seorang suster yang kena malaria tropicana karena harus berjibaku di tanah misi. Itu kecenderungan, tetapi haruskah tunduk pada kecenderungan? Tidak rasanya.

Aku mencintaimu atau Aku membencimu

Kalau ada orang yang mengatakan kepada saya, “Pastor aku mencintaimu,” atau “Pastor aku membencimu” saya tidak sekadar menerima informasi yang berguna bagi saya. Kata-kata itu mengerjakan sesuatu dalam diri saya. Kata-kata itu membuat darah saya bergerak, jantung saya berdetak, nafas saya menjadi lebih cepat. Kata-kata itu mempunyai daya untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan saya. Secara ilmiah, kekuatan kata-kata manusia itu sudah dibuktikan: Prof Emoto Masaru (http://www.masaru-emoto.net/english/water-crystal.html) dari Jepang telah meneliti kristal-kristal air selama bertahun-tahun. Kemudian dia menemukan bahwa air yang dihadapannya diucapkan kata-kata syukur, terimakasih, ganteng, cantik atau kata-kata positif lainnya kemudian memiliki kristal-kristal yang sungguh indah dan teratur. Sementara

air yang dihadapannya dirapalkan setiap hari kata-kata buruk, misalnya bodoh, pembunuh dst... memiliki bentuk susunan kristal yang jelek dan menyeramkan. Ini menunjukkan bahwa kata-kata manusia itu punya daya yang menghidupkan tapi juga daya yang merusak.

Model Problem Solving dan Appreciative Inquary

Perbincangan sebelumnya, lebih menyangkut gerakan pribadi; ajakan untuk memakai kata-kata positif. Berikut coba kita lihat, dalam konteks gerakan bersama dalam sebuah organisasi (Gereja).

Ada ragam model yang digunakan untuk mengembangkan sebuah organisasi. Model Problem Solving (PS) dan Appreciative Inquary (AI) adalah dua diantaranya. Model AI dimulai pada 1987 oleh Cooperrider DL & Srivastva, S. (1987), pakar tentang organisasi.

Ini merupakan semacam pemberontakan pada model PS, yang dianggap tak memadai lagi untuk membenahi sebuah organisasi. Hakekat AI dan PS sebenarnya sama yakni, ingin membuat organisasi berjalan lebih baik. Namun bagi Cooperrider dan Srivasti model PS tak lagi cocok. Model PS melulu menanyakan apa masalah, dan bagaimana mengatasinya. Model PS masih melandaskan pada asas insentif/penghargaan (bagi yang berprestasi) dan punishment/hukuman (bagi yang tidak berprestasi). Model PS otoritatif, dan bahkan dianggap jauh dari persuasif. Padahal tujuannya adalah, bagaimana membenahi organisasi.

Nampaknya, akhir-akhir ini sudah semakin banyak perusahaan yang menggunakan metode AI ketimbang PS. Mengapa AI? Model ini memaksa manajamen atau pimpinan perusahaan untuk mendengar, ketimbang menanyakan masalah semata. Model PS, ekstremnya demikian: ketika kita mencoba memecahkan sebuah masalah, sering terjadi masalah itu malah jadi dua (sebab sudah dipecah), lagi pula kemungkinan munculnya resistensi/

Saya amati, kecenderungan

untuk menyebarkan hal-hal negatif juga jauh lebih tinggi daripada menyebarkan hal-hal positif.

..... tetapi haruskah

tunduk pada kecenderungan?

7

Page 8: LENTERA NEWS #18 September 2015

8

perlawanan sangat besar dengan model PS. Efek psikologis yang ditimbulkan dari pendekatan ini adalah kita akan merasa bahwa ternyata masalahnya banyak sekali dan untuk memecahkannya akan sulit sekali.

“Menurut kamu, apa yang terbaik, dan apa yang paling berkesan?” demikian kira-kira pesan model AI ini. Model AI ini, menurut dua pakar itu, menuntut kita untuk berkomunikasi langsung, bahkan sampai komunikasi “one on one”. Mendengar siapa saja yang dianggap bisa memberikan ide tentang perbaikan organisasi. Contoh konkret: Ada seorang bapak yang marah pada anaknya, dan bertanya, “kenapa kamu malas-malas saja?”, dengan nada tinggi. Model AI menuntut, si bapak ini harus menyelami betul apa yang membuat anaknya malas. Si bapak kemudian memilih untuk berkomunikasi dari hati ke hati. Dite-mukanlah, si anak malas karena merasa dilecehkan rekan sekelasnya. Artinya, model AI membutuhkan afeksi, empati, understanding. ( info lain misalnya di http://www.academia.edu/3666487/Mengenal_Appreciative_Inquiry)

Kemana arah pembicaraan?

Kalau diringkaskan, baik Prof Emoto Masaru maupun pendekatan pengembangan organisasi model Appreciatif Inquary, sama-sama menawarkan: penggunaan kata-kata positif meneguhkan ketimbang kata-kata negatif melelahkan; lebih melihat kemungkinan pengembangan daripada masalah-masalah. Paling tidak ada tiga titik refleksi yang menggugah saya:

Pertama, hati-hati berkata-kata atau menyebarkan kata-kata, terutama dengan kata-kata negatif. Setiap kata yang lepas punya daya tertentu, entah

merusak entah membangun. Jangan-jangan komentar-komentar saya malah mematikan/memakamkan karakter orang lain. (Tapi juga saya harus hati-hati dengan tulisan ini sendiri, sebab mungkin akan memancing komentar negatif juga hehe ...)

Kedua, sebagai seorang Pengurus Gereja/Pastor yang sering menyampaikan kotbah boleh bertanya: Apakah aku lebih banyak bicara tentang dosa-dosa yang menakut-nakuti (hal-hal negatif ) daripada rahmat yang menyegarkan (hal-hal positif, kemungkinan-kemungkinan)? Apakah kotbahku menggugah semangat umat untuk berbuat baik atau malah berseru dalam hati sembuhkan dahulu dirimu tabib?

Paus Fransiskus berpesan (saya per-luas pesan itu), “hendaknya wajah-wajah orang Katolik yang pulang dari Gereja (doa lingkungan/pernikahan/tahbisan/kaul kekal dll) jangan seperti wajah orang yang baru pulang dari pemakaman (bisa juga dibaca-direfleksi-kan: jangan jadikan Gereja Pemakaman Karakter dengan pintu mimbar kotbah)” Saya perhatikan, soal keceriaan itu sangat banyak dipengaruhi oleh kotbah-kotbah yang disampaikan forhanger/pastor/uskup. Kotbah yang baik biasanya membangkitkan karakter baik yang ter-pendam di dalam diri pendengar. Ketiga, lewat model AI, si Bapak/ Pimpinan membuat anaknya merasa telah didengar, dimengerti dan dipahami. Dia tidak hanya menjadi sasaran pertanyaan atau kemarahan (apalagi di hadapan publik misalnya), “Mengapa kamu malas?” karena si anak sudah tahu bahwa ia sedang malas. Dia hanya ingin sesuatu agar kemalasannya, yang dia tahu turut mengganggu dirinya, bisa dia lepaskan.

8

Page 9: LENTERA NEWS #18 September 2015

9

EMBUN KATAKESE | LITURGI

PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI

(IV)OLEH:

Katolisitas.org

Page 10: LENTERA NEWS #18 September 2015

10

Harus dibedakan

bahwa untuk lagu-lagu

liturgis, lagu bukan hanya

sebagai ungkapan perasaan

tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi)

“Sejumlah pelanggaran berkenaan dengan Penerimaan Komuni telah rampung diulas dalam edisi Agustus lalu. Dalam edisi ini, kita akan men-gulas Pelanggaran dalam hal musik liturgis.

Pelanggaran Dalam Hal Musik Liturgis

1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi

Seharusnya:

Tra le Sollecitudini 1 Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman.

Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus tersebut.

Tra le Sollecitudini 2 Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.

Tra le Sollecitudini 5 Gereja telah selalu mengakui dan menyukai ke-majuan dalam hal seni, dan men-erima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepan-jang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah

liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis.

Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-si-sa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.

Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).

2. Adanya tari-tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.

Seharusnya:

RS 78 … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.

Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17 …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….

Page 11: LENTERA NEWS #18 September 2015

11

Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…

Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan.

Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius.

Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”

Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya-budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘.

Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan.

3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.

Seharusnya:

Tra le Sollecitudini 19 Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius(frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.

Tra le Sollecitudini 20 Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tem-pat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.

Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.

Page 12: LENTERA NEWS #18 September 2015

12

Page 13: LENTERA NEWS #18 September 2015

13

KOLOM “RUMAH JOSS” | TARGET & FOKUS

Yoseph Tien

Wakil Ketua KomIsi Kepemudaan di Keuskupan Agung Medan

14

TARGET DAN FOKUS

Siang ini saya belajar lagi tentang target, sasaran yang ingin dicapai, melalui

sebuah permainan sederhana “Dart”. Untuk menuju sasaran secara tepat dengan perolehan angka tertinggi, semuanya butuh perjuangan dan pengorbanan. Semuanya butuh waktu dan proses. Latihan dan latihan terus menerus, tampaknya akan menentukan anak panah meluncur mengenai sasaran secara tepat atau tidak. Disini dibutuhkan: arah dan titik sasaran, sudut lemparan, kecepatan dan ketepatan lemparan. Sejatinya setiap kita harus punya target...dalam hal apa saja...dalam hidup pribadi...pada aspek kognitif, afeksi, maupun konatif. Pada aspek spiritualitas, kesehatan, keuangan, relasi sosial, juga dibutuhkan target tertentu. Itulah pencapaian-penca-paian yang kita inginkan-yang kita harapkan-yang kita impikan. Kalaupun dalam proses ke arah sasaran, ada seonggok ketertundaan, target meleset, bangun lagi, berlatih lagi dan terus kejar target itu.

Sesungguhnya target tak pernah bergeser, semangat kita yang bisa berubah setiap waktu. Selanjutnya, problem pokoknya bukan pada saat engkau jatuh, tetapi bagaimana engkau bangkit dari setiap kejatuhanmu.

Jadi, mari tetapkan target kita dan berlatih mencapainya. Mulailah dari yang kecil dan sederhana, mulai dari diri sendiri, mulailah dari sekarang, semangat dan tetap fokus! Sementara itu, tentang fokus, mentor saya Bang Ikhwan Sopa, penulis buku “Manajemen Pikiran dan Perasaan”, pernah menulis demikian:

“Fokus itu tentang tujuan. Fokus itu fleksibel dalam pendekatan, tetapi tetap teguh dalam prinsip. Fokus itu bukan hanya cupet seperti berkaca mata kuda.

Agar semakin fokus, perluaslah wawasan. Fokus itu mengharuskan adanya berbagai hal yang tidak jelas sebagai nuansa lingkungan. Jika semuanya jelas di dalam frame, maka itu bukanlah fokus. Perluas bingkainya dan masukkan yang tidak terlalu jelas ke dalamnya. Dari situ, kita akan tahu perbedaannya dan tahu bagaimana harus berfokus. Fokus, tidak sama dengan katak dalam tempurung!”

Page 14: LENTERA NEWS #18 September 2015

1414

OPINII | PENDIDIKAN

Eka Dalanta Tarigan

Founder @ KemanaAja.comOwner @ BrandTalkID

Page 15: LENTERA NEWS #18 September 2015

15

Dari mana ditakar nilai keindonesiaan kita? Apakah dari bahasa yang kita gunakan? Atau dari nama yang melekat di diri kita. Seperti

nama saya misalnya, bagi masyarakat sesuku saya, sangat mudah menilai bahwa saya adalah bagian dari mereka hanya dengan mengandalkan nama saja. Lalu apakah nilai keindonesiaan kita dinilai dari itu? Saya pikir tidak! Lalu apa keindonesiaan itu?

INIINDONESIA?

Ilustrasi: HipWee.com -- Herman Damar

15

Page 16: LENTERA NEWS #18 September 2015

16

Yang paling pantas disebut dengan Keindonesiaan adalah sesuatu yang melekat dalam pikiran saat menyebutkan Indonesia. Sesuatu yang muncul dalam pikiran saat menyebut Indonesia. Buat saya, Indonesia selalu muncul sebagai negeri yang kaya raya bertanah subur dengan hasil alam yang melimpah. Seperti yang biasa saya terima sejak di bangku sekolah dasar. Perjalanan saya ke beberapa bagian kecil Indonesia mengukuhkannya. Dalam setiap perjalanan saya saya selalu bertemu dengan keinda-han, pemandangan tropis yang selalu membuat saya berdecak kagum. Keanekaragaman budaya, keramahannya, kesediaannya menolong yang itu selalu bergandengan dengan ironi. Di dekatnya, kemiskinan selalu melekat.

Saya memang tidak lahir sebagai anak orang kaya. Saya akrab dengan dunia pasar dan keseharian masyarakat awam. Tapi saya masih bisa bersekolah hingga tingkat universitas -walau untuk itu mesti membuat keluarga dan diri sendiri sedikit ngos-ngosan- bisa makan tiga kali sehari, bisa sesekali hang out dengan teman di kafe, bisa membaca buku dan mengoleksi buku kesukaan, bahkan sesekali bisa travelling.

Dan perjalanan kali ini, membuat saya tersentak. Ini Indonesia? Benarkah ini masih Indonesia? Di belahan manakah ia dalam peta kesejahteraan yang digaung-gaung-kan itu? Apa ini sudah ada yang tahu? Atau memang sengaja tutup mata? Kenapa pembangunan tidak merata. Kata-kata itu terus menghantui pikiran. Mencoba mencari kepastian, membangunkan diri dari mimpi buruk sebuah realitas tetang Indonesia.

Hari itu, saya bertugas sebagai penulis skrip untuk video profil sebuah lembaga swadaya masyarakat

di Sumatera Utara. Bersama dengan dua orang pendamping dari yayasan, saya dan dua orang rekan kerja lainnya berangkat menuju sebuah desa kecil di Kecamatan Sibolangit, Sumatera Utara. Desa Laja namanya

“Di mana itu bang?” tanya saya pada salah satu staf. “Ah, kau juga belum pernah kemari,” kata teman yang lain protes pada saya karena tidak tahu tempatnya. “Orang Karo juga tidak semua tahu ya?” Sindirnya lagi.

“Ah… tak usah dibahas lah, bang seberapa jauhnya. Nanti jadi enggak selera berangkat dan mual sebelum sampai,” kata staf yayasan yang lain sambil bercanda. Dalam pikirian, saya hanya membayangkan rute perjalanan yang hanya jauh.

“Sekitar 3 jam lah, tapi kita harus naik motor trail,” lanjutnya lagi. Bayangan terburuk saya ternyata hanya separuh dari kenyataan perjalanan sesungguhnya.

Berbekal 5 nasi bungkus, minuman botol, rasa percaya diri, mengendarai 3 sepeda motor kami menuju lokasi tujuan. Meninggalkan jalan besar Jamin Ginting kami memasuki perkampungan masyarakat Karo di Simpang Pasar Baru, Sibolangit. Melewati jalanan Desa Rumah Kinangkung. Jalanan beraspal sudah habis. Jalanan tanah sudah menyambut di depan. 300 meter kemudian, jalanan tanah sudah habis diganti jalanan tanah basah dan licin kemudian berganti dengan jalanan berlumpur. Walah… apa ini? Butuh tenaga ekstra agar motor tidak terhalang jalannya.

Saya yang berada dalam boncengan harus selalu berpegangan erat. Gila… saya tidak akan berani mengendarai motor di jalanan seperti itu. Di kiri atau kanan jalan –bergantian- jurang dalam dan dangkal siap menam-pung. Sementara itu jalanan ber-

Page 17: LENTERA NEWS #18 September 2015

17

lumpur terkadang berbelok menurun dan menukik tajam ke atas diganti jalanan berbatu besar dan berserpih. Beberapa kali saya harus turun dan berjalan kaki demi keamanan.

Celana jeans saya sudah digulung ke atas agar nyaman. Sepatu kets saya sudah tidak jelas lagi bentuknya. Bercampur tanah lembek dan rumput kering. Kepala saya panas didera angin gerah siang. Teman saya Anto dan Onny, harus merela-kan sandal gunungnya yang tak kuat menarik gravitasi dari lumpur. Sesekali motor harus didorong atau diangkat. Sekali kami melihat ular melintas mencoba menyambut perjalanan kami. Sembari tak lupa juga kami menikmati keindahan alam. Pengobat lelah dan penat. Menghirup hijau klorofil dan keluasan semesta. Saya merasa kerdil di tengah alam begini.

Kami melewati beberapa perkampungan. Kami telah masuk ke dalam hutan tropis. Saat beristirahat setelah setengah perjalanan sebuah pemandangan membuat saya tidak bisa tidur malamnya. Dua bocah kecil berjalan akrab di tengah hutan itu. Mereka mengenakan seragam putih merah. Baru pulang sekolah. Sebuah kantong plastik menjadi wadah penyimpan buku-buku. Seragam putih itu telah terkena lumpur, rok dan celana merah itu telah berubah warna. Tidak ada alas kaki. Kaki-kaki mungil itu penuh lumpur dan bersisik.

Perjalanan mereka ke sekolah membutuhkan waktu 2 jam berjalan kaki. Mereka telah melewati jalanan yang kami lalui tadi. Juga melewati sungai yang kami lalui atau jalan potong lain yang sama saja. Namun bagi mereka itu sudah menjadi keseharian dan tak perlu diperdebatkan apalagi dikeluhkan. Sambil berjalan mereka bisa men-cari buah hutan, serangga hutan,

bermain rumput, mencari belalang atau capung.

Tapi hati kecil saya sulit menerima. “Ya… Tuhan… Terima kasih buat hari ini. Saya bisa melihat dari dekat, belajar banyak dari mereka, dan menjejakkan kaki pada bumi.” Kesadaran yang tumbuh. Dan hati kecil saya masih terus bertanya, “Di bagian mana Indonesia lagi yang seperti ini?”

Setibanya di Desa Laja, kami disambut dengan suguhan buah durian dan duku. Rasa lelah masih tersisa. Tapi saya menyerap banyak hal, termasuk gotong-royong memperbaiki sumber air bersih di sungai yang terkena longsor, tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Inilah Indonesia yang sesungguhnya.

Namun begitu tidak terbayangkan bila harus tinggal di sana. Lain ceritanya kawan jika saya memang sedang ingin trekking ke dalam hutan. Untuk tinggal di sebuah tempat seperti itu, saya berdoa, “ Tuhan, jangan, ku mohon!.” Satu hal lagi yang akan terus saya ingat, seberapa berjelagapun kemiskinan itu, miskin nurani adalah yang paling hina.

Page 18: LENTERA NEWS #18 September 2015

18

SASTRA | VELANGKANNI

Pagi, seperti biasa. Surya menguak cahya dari ufuk Timur. Namun, aku

mengistimewakan pagi ini untuk suatu tujuan. Sebuah rumah ibadah. Tak jauh dari kediaman pribadi dan yang terpenting ini: hening.

Sebuah keheningan bisa jadi teramat penting. Jika hiruk lalu-lintas di jantung kota bisa kalah bising dengan gemuruh kerja otak, ini menandakan sesuatu tidak beres. Coba mengutip nasihat orang bijak “menyeimbangkan”. Hmmm. Sebenarnya, aku lebih ingin bungkam saja swara-swara tersebut. Atau lebih asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit burung gereja taling-tarung berebut betina.

Derak terali sepeda motor turut bersumbang swara menuju ‘syurga hening’. Aku sempatkan mengumpat debu kemarau yang berebut masuk ke lubang hidung. Sedikit nanar, di

mulut gang rumah, kulihat sesosok manusia. Tiada bertangan. Tak pernah kutahu namanya. Namun, lebih mudah dikenali karena ia cacat tangan, dan berjualan tape. Ia mencari-cari sinar mataku. Aku melihat bola matanya. Kami tak ubahnya dokter mata dan pasien. Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan pasien.

“Mas, hendak pigi kemana?,” ia membuka cakap sembari senyum. “Velangkanni,” jawabku sekenanya. Aku kurang suka senyum pria ini. Setiap kali bersua dengan sepeda penjaja tape yang dikemudi dengan dadanya, ia selalu tersenyum. Acap kali seperti ejekan. Aku yang bertubuh lengkap, malas tersenyum. Berkebalikan dengannnya. “ Apakah aku harus tak bertangan untuk tersenyum,” rutuk dalam hatiku.

“Saya minta tolong. Numpang diboncengin ke (Rumah Sakit) Adam Malik,” pintanya.

VELANGKANNI

Ananta Bangun

anantabangun.com

Redaktur Tulis di Lentera News

Page 19: LENTERA NEWS #18 September 2015

19

“Ndak ada becak?”“Ndak ada duit.”“Lho? Hmm. Ya, sudah. Pulang, sendiri ya.” Ia mengangguk. Aku masih belum tanya nama.

Derak terali sepeda motor dan swara pria di belakang kini berpadu ria. Pun, sebuah firasat ia berbicara sesenggukan. Ya, Tuhan. Jangan bilang ia sedang menitikkan air mata. “Saya baru mendapat surat BPJS, mas,” ia bertutur sendirian. “Untuk operasi mata anak saya. Saya ndak tega setiap kali dia minta dibeliin krayon warna untuk menggambar.”

“Putri saya ini juga bilang bercita-cita jadi penemu. Agar saya punya tangan utuh. Dan bisa menggambar bersama. Ekh”. Ban motorku terjerembab satu lubang peninggalan semenjak zaman penjajah. Dan menyela cakapnya.

Tak tahan bungkam, aku nyahut: “ Memang anak kam, sakit apa?”“Ndak tahu.”“Lho? Kok dioperasi.”“Kata dokter. Tapi, saya sudah syukur bisa dapat surat ini. Sudah 3 minggu bolak-balik kantor pemerintah, baru dapat sekarang.”

Ia pun sedu sedan mengalami perlakuan tak adil selama proses pengurusan tersebut. Terzolimi. “Yeahhh,” aku dengus nafas berat. “Kalau yang begituan, musti ada duit dulu.” Memang pelik, fikirku, layanan untuk orang kurang duit harus setor duit laiknya orang bergelimang duit. Dan cecuit-cecuit burung galak kembali riuh di kepalaku.

Kami tiba (akhirnya). “Terima kasih ya, Mas. Mau ke Velangkanni untuk apa?” ia tak henti juga bercakap. “Berdoa,”

aku sedikit risih. Mungkin, ia kira hendak berfoto gaya dan pajang di Facebook segala. Tapi, dengan segala umpatan rutuk tadi sepertinya bukan awal tepat mengawali doa.

Karenanya, aku sedikit kaget saat ia meminta: “Tolong doakan anak saya ya, Mas,” pintanya dengan lirih. Aku menatap wajahnya. Benar, ia sedang menitikkan air mata.

----

Kini, aku bersimpuh di bantalan bangku Velangkanni. Hanya permintaan pria tiada bertangan itu tersisa sebagai ngiang. Cecuit-cecuit tak lagi menjepit relung jiwa. Hanya ngiang permintaan pria itu, dan kibas putaran kipas angin sedikit mengusik.

Aku pun tenggelam dalam hening. “Sayang, aku lupa tanya namanya,” aku membathin.

Aku pun merasa amat kecil kini. Kesal dan bising-bising itu tak lagi memamah kewarasanku. Hanya aku, mendekap punggung bangku. Berdoa untuk seorang insan tak kukenal namanya, agar matanya sembuh. Berdoa untuk seorang ayah tak bertangan.

Dalam doa, aku merasa tak bermata dan bertangan. Hingga air mata berlinang sendiri.

“Puji syukur atas kemurahan-Mu, Tuhan,” aku membathin lagi. Dan, beringsut perlahan keluar, menuruni lekuk tangga berundak kerikil kecil.

Aku melap kerjap air mata tera-khir. Senja memeluk pinggang Velangkanni kini.

ilustrasi: Velangkanni.blogspot.com

Page 20: LENTERA NEWS #18 September 2015

20

ILHAM SEHAT | OLAH RAGA

20

OLAHRAGA DENGAN KURSI KERJA

Page 21: LENTERA NEWS #18 September 2015

2121

Jam kerja yang tinggi membuat karyawan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk untuk bekerja. Secara tidak sadar, aktivitas itu malah mengurangi

kegiatan fisik, yang justru berbahaya bagi kesehatan.

Baiknya, selama di kantor kegiatan bekerja memang harus diselingi dengan aktivitas fisik yang bergerak. Para pakar kesehatan menganjurkan agar Anda berdiri dan berjalan-jalan setiap 30 menit sekali.

Tidak mau berjalan karena pekerjaan Anda menuntut untuk selalu memantau pekerjaan secara online di komputer? Denny Santoso, pakar olahraga, memberikan tip melakukan olahraga dengan memanfaatkan kursi kerja.

Cat cow stretch. Caranya, duduk dengan posisi punggung tegak dan kedua tangan memegang lutut. Tarik napas dan condongkan pinggang ke depan. Tahan beberapa detik. Embuskan napas, dan lengkungkan punggung ke belakang. Lakukan masing-masing sebanyak 10 repetisi dalam tempo lambat.

Chair dip. Latihan ini berguna untuk melatih tubuh bagian atas. Caranya, berdiri membelakangi kursi dan tumpukan berat badan Anda dengan kedua tangan memegang ujung kursi. Pastikan kursi yang Anda pergunakan cukup

kuat dan stabil menopang berat tubuh Anda. Angkat tubuh Anda dengan memberikan kontraksi otot dada, bahu dan

trisep secara bersamaan. Turunkan tubuh secara perlahan ke bawah dengan posisi punggung tetap lurus, kemudian

angkat tubuh Anda kembali. Ulangi gerakan ini sebanyak 8-10 kali.

Sumber: http://www.readersdigest.co.id

Page 22: LENTERA NEWS #18 September 2015

22

Page 23: LENTERA NEWS #18 September 2015

23

LAPO AKSARA

Ananta Bangun

anantabangun.com

Redaktur Tulis di Lentera News

23

Alkisah pada suatu masa di neg-eri Yunani, nama ‘Prokrustes’ menimbulkan kegegeran. Siapa Prokrustes? Dalam bukunya “Ranjang Prokrustes”, Nassim Nicholas Taleb coba menuturkan sosok tersebut memiliki nama asli Damastes. Ia dijuluki Prokrustes yang berarti ‘meregangkan’. Sang penjagal ini terkenal karena muslihatnya mengundang para musafir yang bertualang ke daerah Attica.

Usai menjamu dengan suguhan nikmat. Ia mengajak tamunya untuk tidur di ranjang besi miliknya. Bila ukuran ranjang terlalu panjang, maka Prokrustes akan meregangkan tangan dan kaki tamunya hingga benar-benar pas. Acapkali hingga anggota tubuh tersebut lepas. Bila kaki tamunya terlalu panjang dari ukuran ranjang, ia akan memotongnya sesuai panjang ranjang tersebut.

Prokrustes mungkin tak lebih dari satu cemooh yang dibungkus dalam sebuah epos. Perihal laku manusia menilai dan mengukur sesamanya. Terkotak-kotak dalam status, kepemilikan materi serta prestasinya. Tidak jarang pula ‘ukuran-ukuran’ ini menjagal keyakinan dan kehidupan banyak insan.

Fanatisme Prokrustes untuk mendapatkan segala sesuatu ideal menurut egonya menjadi inspirasi Nassim Nicholas Taleb. Ia mencibir ego serupa yang mewabah pada masyarakat kita kini. Dalam aforisme

di bukunya “Ranjang Prokrustes” Taleb mendapati banyak manusia yang sejatinya hendak mewujudkan sesuatu yang ideal terjebak dalam fanatisme Prokrustes.

Ukuran ideal yang diterakan oleh sesama manusia, sayangnya, seolah tiada berkesudahan. Menilai kesalahan semasing laiknya pencaharian harta karun yang mesti ada. Karena kerasukan ruh Prokrustes ini, kita (juga saya) kerap lupa bahwa manusia itu lemah adanya.

Kegusaran tersebut lah kiranya mendorong Rasul Paulus menorehkan pesannya, yang berlaku bagi kita. Yakni: “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” (Roma 12:3).

Nasihat Paulus tersebut bukan sekedar berlaku bagi Jemaat di Roma. Sabda yang dicurahkan Allah dalam suratnya itu, telah memahami bahwa Prokrustes bukan sekedar legenda tentang satu pribadi. Ia ada sebagai laku yang menjangkiti. Inilah sebabnya, Firman Allah juga tiada henti menjadi rujukan. Sang Maha Rahim yang menilai kita bukan seturut ukuran manusia.

RANJANG PROKRUSTES