Top Banner
Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012 Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam Konflik di Darfur Sudan Lindra Darnela Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto D.I. Yogyakarta, 55281. Email: [email protected] Abstract: Massive demonstrations in several Arab countries lead to a civil war among the citizens. This is of special concern to the United Nations as the global nature of international organizations to participate in the intervention of the conflict accompanied by making resolutions. These cases are suing back the legitimacy of international law, especially international organizations like the UN. In this study describes about the legitimacy of the UN Security Council resolutions, and then apply it to analyze the conflict in Darfur. The UN is an international organization which is the subject of public international law, so that the resulting public policy becomes legally binding for member states based on the collective legitimation. In the application of collective legitimation is in practice often does not correspond to the value of morality and even a lot of opposition as in the case of the conflict in Darfur whose governments openly reject the contents of the resolution issued by the United Nations. Abstrak: Demonstrasi besar-besaran di beberapa negara Arab memicu terjadinya perang saudara antar warga. Hal ini menjadi perhatian khusus PBB sebagai organisasi internasional yang bersifat global untuk turut serta intervensi terhadap konflik yang terjadi disertai dengan membuat resolusi. Kasus-kasus ini menggugat kembali legitimasi hukum internasional terutama organisasi internasional seperti PBB. Dalam penelitian ini menguraikan mengenai legitimasi resolusi Dewan Keamanan PBB, dan kemudian menerapkannya dengan menganalisa konflik yang terjadi di Darfur. PBB merupakan organisasi internasional publik yang merupakan subjek hukum internasional, sehingga kebijakan publik yang dihasilkan menjadi mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota berdasarkan collective legitimation. Dalam penerapan collective legitimation ini dalam prakteknya seringkali tidak sesuai dengan nilai moralitas bahkan banyak ditentang seperti pada kasus konflik di Darfur yang pemerintahannya secara terang-terangan menolak isi resolusi yang dikeluarkan PBB.
24

Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Oct 15, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB dalam Konflik di Darfur Sudan

Lindra Darnela

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto D.I. Yogyakarta, 55281. Email: [email protected]

Abstract: Massive demonstrations in several Arab countries lead to a civil war among the citizens. This is of special concern to the United Nations as the global nature of international organizations to participate in the intervention of the conflict accompanied by making resolutions. These cases are suing back the legitimacy of international law, especially international organizations like the UN. In this study describes about the legitimacy of the UN Security Council resolutions, and then apply it to analyze the conflict in Darfur. The UN is an international organization which is the subject of public international law, so that the resulting public policy becomes legally binding for member states based on the collective legitimation. In the application of collective legitimation is in practice often does not correspond to the value of morality and even a lot of opposition as in the case of the conflict in Darfur whose governments openly reject the contents of the resolution issued by the United Nations. Abstrak: Demonstrasi besar-besaran di beberapa negara Arab memicu terjadinya perang saudara antar warga. Hal ini menjadi perhatian khusus PBB sebagai organisasi internasional yang bersifat global untuk turut serta intervensi terhadap konflik yang terjadi disertai dengan membuat resolusi. Kasus-kasus ini menggugat kembali legitimasi hukum internasional terutama organisasi internasional seperti PBB. Dalam penelitian ini menguraikan mengenai legitimasi resolusi Dewan Keamanan PBB, dan kemudian menerapkannya dengan menganalisa konflik yang terjadi di Darfur. PBB merupakan organisasi internasional publik yang merupakan subjek hukum internasional, sehingga kebijakan publik yang dihasilkan menjadi mengikat secara hukum bagi negara-negara anggota berdasarkan collective legitimation. Dalam penerapan collective legitimation ini dalam prakteknya seringkali tidak sesuai dengan nilai moralitas bahkan banyak ditentang seperti pada kasus konflik di Darfur yang pemerintahannya secara terang-terangan menolak isi resolusi yang dikeluarkan PBB.

Page 2: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

618 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

Kata Kunci: Legitimasi, Resolusi Dewan Keamanan PBB, Hukum internasional, Darfur

Pendahuluan

Sekitar 25 tahun yang lalu, sebelum jatuhnya tembok Berlin dan berakhirnya perang dingin, Tom Franck meneliti bahwa tidak ada satu pakar hukum internasionalpun yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang legitimasi hukum internasional.1 Namun, penilaian dari hasil penelitian tersebut saat ini sudah tidak berlaku lagi. Legitimasi hukum internasional telah menjadi sebuah kajian yang penting dalam wacana global. Apalagi saat ini telah berkembang organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional baik yang bersifat regional maupun sektoral yang memiliki andil dalam perkembangan hukum internasional.

PBB merupakan salah satu lembaga Internasional yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan keberadaannya menjadi sumber kebijakan negara-negara dalam melakukan hubungan internasional. Resolusi, salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Kemanan PBB, dalam banyak hal, menjadi sumber hukum internasional yang banyak ditaati oleh negara-negara. Resolusi 1970 dan 1973 tahun 2011 misalnya, Pemerintah Libya yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Kolonel Khadafi, tidak melakukan penolakan terhadap isi dari Resolusi tersebut. Setelah Diterbitkan Resolusi tersebut, beberapa pihak seperti Perancis, Inggris, dan NATO melakukan intervensi kemanusiaan dengan mendapatkan rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB, sebagaimana mandat dari resolusi 1973.

Berbeda dengan kasus Libya yang pemerintahnya seolah menerima Resolusi DK PBB, Sudan pada tahun 2006 memilih untuk menolak secara tegas Resolusi DK PBB No 1706. Penolakan ini didukung oleh Liga Arab dan beberapa tokoh Hukum Internasional. Dalam konflik di Darfur, PBB dan Uni Eropa melakukan tindakan berupa:

1 Franck, ―Why a Quest for Legitimacy?‖, (21 UC Davis L Rev,1987), hlm. 535.

Page 3: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 619

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

1. Melakukan pendekatan politik dengan cara melakukan perundingan-perundingan dengan pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini dengan pemberontak dan pemerintah Sudan.

2. Kerja sama bantuan kemanusiaan antara PBB dan Uni Eropa untuk mengoptimalkan bantuan kemanusiaan terhadap penduduk di Darfur

3. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan intensitas konflik 4. Penekanan kepada Pemerintah Sudan agar dapat

menyelesaikan konflik internal Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh PBB dan Uni Eropa dikarenakan pelaksanaan mandat intervesi kemanusiaan di Darfur ternyata tidak menyebabkan redanya konflik internal yang terjadi.

Dalam sejarah konflik di Darfur, selain dari Resolusi DK PBB No 1706 Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan sejumlah resolusi dalam rangka menyelesaikan konflik tersebut, yaitu: 1. Resolusi 1547 (2004) mengenai pembentukan U.N. Advance

Mission in Sudan (UNAMIS). 2. Resolusi 1556 (2004), yang memerintahkan pemerintah

Sudan melucuti senjata milisi Janjaweed dalam waktu sebulan. Liga Arab bereaksi, meminta agar batas waktu tersebut diperlonggar dan mengingatkan agar Sudan tidak bernasib seperti Irak.

3. Resolusi 1585 (2005) yang memperpanjang mandat UNAMIS;

4. Resolusi 1591 (Maret 2005) mengenai larangan bepergian dan pembekuan asset para pejabat Pemerintah dan pihak pemberontak yang diduga terkait dengan pelanggaran HAM di Darfur.

5. Resolusi 1593 (April 2005) yang memberikan sanksi tambahan untuk Sudan, antara lain embargo senjata bagi Pemerintah Sudan dan larangan pesawat Pemerintah Sudan melakukan operasi militer dan mengharuskan Pemerintah Sudan untuk melapor pada DK-PBB jika ingin mengirimkan peralatan militer ke wilayah Darfur. Resolusi juga menyangkut pengajuan tersangka pelanggar HAM ke

Page 4: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

620 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

Mahkamah Internasional. PBB sebelumnya mengirimkan International Commission of Inquiry on Darfur (Februari 2005).

Hal ini menjadi lebih menarik untuk dianalisa untuk menyoroti legitimasi Dewan Keamanan PBB, karena dalam kasus Sudan ini, Dewan Keamanan PBB dalam kasuss ini seolah tidak (dianggap) memiliki legitimasi dalam hukum internasional dan konflik terus saya berulir sampai tahun 2009.

Dalam tulisan ini, akan mengupas mengenai legitimasi PBB dalam bentuk Resolusi, dan juga menganalisa legitimasi Dewan Kemanaan PBB dalam kasus Konflik di Darfur. Memahami Legitimasi Dewan Keamanan PBB 1. Pengantar tentang Legitimasi

Istilah legitimasi digunakan secara berbeda-beda, meskipun sebagian besar istilah tersebut merujuk pada pembenaran otoritas. Gagasan atas pembenaran otoritas ini dipahami sebagai suatu pemahaman yang setara dengan suatu kekuatan yang mengambil keputusan yang mengikat serta untuk melaksanakan aturan yang mengikat tersebut. Keputusan-keputusan tersebut dapat bersifat umum atau spesifik.2

Legitimasi dipahami juga sebagai prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual formal yang bersifat religius atau non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan umum dan "sumpah" dalam demokrasi dan seterusnya. Dalam konteks Weber, dalam pengertian secara mendasar, legitimasi adalah tentang hubungan sosial tertentu yang dikukuhkan sebagai hal yang benar dan tepat secara moral

2 Wolfrum, Rüdiger “Legitimacy in International Law from a Legal Perspective: Some Introductory Considerations‖ dalam Legitimacy in International Law, editor: Volker Röben (Germany: Springer, 2008), hlm. 2-3.

Page 5: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 621

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

Legitimasi memiliki arti secara normatif dan sosiologis. Untuk mengatakan bahwa sebuah lembaga itu legitimate secara normatif adalah dengan menegaskan bahwa lembaga tersebut memiliki hak untuk mengatur (the right to rule)—di mana lembaga tersebut menetapkan aturan dan berusaha untuk menjamin adanya kepatuhan atas pelaksanaan aturan tersebut dengan memberikan sanksi denda bagi yang melanggar. Sedangkan secara sosiologis, sebuah lembaga itu legitimate ketika lembaga tersebut secara luas diyakini (believed) memiliki hak untuk mengatur.3

2. Legitimasi Hukum Internasional

Memahami arti legitimasi dalam konteks hukum internasional tidak lah mudah. Bila tidak berhati-hati dalam mencari makna tersebut maka akan terjadi penyederhanaan dalam menemukan arti legitimasi dalam konteks hukum internasional.

Salah satu mazhab dalam ilmu hukum menyatakan bahwa hukum internasional memiliki legitimasi yang lemah setidaknya bila dibandingkan dengan legitimasi hukum dari sebuah pemerintahan demokratis di tingkat nasional. Dengan membandingkan hukum nasional terhadap hukum internasional, maka hukum yang kedua ini memiliki otoritas yang lebih rendah bila dibanding hukum nasional.4

Madzhab lain cenderung berargumen bahwa, sebagai konsekuensi dari globalisasi, lembaga-lembaga internasional seharusnya dikembangkan ulang dengan sebuah pandangan yang memberikan kekuatan lebih kuat terhadap legitimasi hukum internasional agar mampu menjawab tantangan-tantangan baru dari globalisasi dengan cara memperkuat lembaga-lembaga

3 Allen Buchanan dan Robert O. Keohane ―The Legitimacy of Global Governance Institutions‖ dalam Legitimacy in International Law, editor: Rüdiger Wolfrum dan· Volker Röben (Germany: Springer. 2008), hlm. 34-40. 4 E. A. Young, ―The Trouble with Blobal Constitutionalism‖, Texas International Law Journal 38/2003, hlm. 527-544.

Page 6: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

622 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

internasional atau meningkatkan pengaruh lembaga-lembaga non pemerintah.5

Diskusi tentang legitimasi dalam persoalan hukum internasional harus dimulai dari perjanjian internasional sebagai sumber utama hukum internasional. Perjanjian hukum internasional dibangun atas dasar sebuah konsensus. Perwakilan-perwakilan negara menetapkan aturan-aturan internasional yang kemudian diadopsi oleh lembaga nasional tersebut dalam mekanisme yang dirancang dalam bingkai hukum nasional. Oleh karena itu, penting bagi hukum nasional untuk memastikan bahwa ada rantai legitimasi yang membenarkan adanya pelaksanaan atas kewajiban-kewajian internasional melalui lembaga-lembaga nasional (negara). Sebagai sebuah prinsip, baik untuk dikatakan bahwa legitimasi untuk melaksanakan kewajiban internasional tersebut dibangun melalui mekanisme yang dibingkai secara nasional.6

Sebagai contoh, pemerintah Indonesia baru saja meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan anggota keluarganya. Konfensi ini telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1990, dan sampai saat ini, ada 46 negara yang ikut meratifikasi Konfensi ini, termasuk Indonesia.

Ratifikasi atas konvensi tersebut memiliki konsekuensi bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi warga negara yang menjadi buruh migran, dan juga anggota keluarganya baik formal maupun nonformal, sebagaimana yang tertuang dalam isi Konvensi. Sebagai tindak lanjut, pemerintah Indonesia dalam kebijakannya yang menyangkut buruh migran, harus mengacu pada konvensi ini,

5 P. Spiro, ―Accounting for NGOs‖, Chicago Journal of International Law Vol. 3/2002, hlm. 161. 6 Wolfrum, Rüdiger, ―Legitimacy in International Law‖, hlm. 6-8

Page 7: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 623

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

sehingga perlindungan benar-benar diberikan kepada buruh migran dan anggota keluarganya.

Ratifikasi atas Konvensi Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia merupakan sebuah contoh adanya sebuah rantai yang membenarkan adanya pelaksanaan atas kewajiban-kewajian internasional melalui lembaga-lembaga nasional (negara). Artinya, Pemerintah Indonesia memiliki kewajian untuk melaksanakan Konvensi Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya melalui hukum nasional yang berbentuk UU dan peraturan lainnya. Kondisi ini berbeda bila dibandingkan dengan negara yang tidak melakukan ratifikasi atas konvensi tersebut. Negara-negara tersebut tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan konvensi di negara mereka karena mereka tidak meratifikasinya.

3. Perdebatan tentang Legitimasi Hukum Internasional Hukum internasional telah lama dianggap sebagai instrumen hukum yang semu. Hans Morgenthau adalah salah satu akademisi yang mengkritik hukum internasional sebagai decentralized and primitive legal system, sebagaimana yang ia ungkapkan dalam buku klasiknya Politics Among Nations. Morgenthau berargumen bahwa konfigurasi yang tidak memusat pada komunitas internasional telah menghasilkan hukum internasional yang tidak memusat pula. Desentralisasi telah melekat pada hukum internasional sebagai sifat dasar dari komunitas internasional. Dalam konfigurasi yang terdesentralisasi tersebut, tidak ada pusat kekuatan atau kekuasaan di antara negara-negara yang berdaulat yang mewakili dan memimpin komunitas tersebut.7

Morgenthau juga menambahkan bahwa hukum internasional di bawah sistem yang terdesentralisasi tidak didukung oleh perwakilan dan instrumen yang mampu mengimplementasikan hak-hak hukum internasional di antara

7 Hans Morgenthau, Politics Among Nations, the Struggle for Power and Peace, Cet. 6 (New York: McGraw-Hill, 1930), hlm. 255.

Page 8: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

624 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

negara-negara yang berdaulat. Morgenthau membuat ilustrasi sebagai berikut. Ketika hak-hak negara B dilanggar oleh negara A, negara B harus berjuang sendiri untuk melindungi hak-haknya karena tidak ada negara lain yang akan membantu negara B untuk melindungi hak-haknya. Akan tetapi, seandainya negara B tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, negara tersebut harus mencari bantuan lain dari mitranya untuk membantu melindungi hak-haknya yang dilanggar atau dirampas. Seandainya tidak ada mitra yang membantu, maka negara B tidak memiliki pilihan lain kecuali melawan negara A meskipun kalah. Atas kondisi tersebut, Morgenthau menyatakan bahwa ―no more primitive and no weaker system of law enforcement” kecuali hukum internasional8

Situasi yang digambarkan dan dianalisis oleh Morgenthau di atas tidak jauh bebeda dengan sistem internasional yang bercorak anarki. Sistem ini menghadirkan tata dunia yang memiliki corak tanpa ada kekuatan yang memusat, kewenangan yang memusat, dan struktur yang vertikal di antara negara-negara yang berdaulat. Dalam kondisi demikian, setiap negara dituntut untuk melindungi sendiri karena setiap negara tidak memiliki kewajiban untuk saling membantu. Dalam kondisi terburuk, sebuah negara akan menjajah negara lain untuk memperkuat kekuatan negara penjajah dan untuk menjaga keamanan nasionalnya atau bahkan untuk meningkatkan kekayaan nasionalnya. Tidak diragukan lagi bahwa dalam hubungan internasional yang anarki, negara-negara dituntut untuk memperkuat keamanan mereka sendiri agar supaya mampu melindungi keamanan negara mereka masing-masing dari berbaga serangan atau penjajahan dari negara-negara lain.

Sistem hukum internasional yang terdesentralisasi dan sistem internasional yang bersifat anarkhi berbeda situasinya bila dibandingkan dengan hukum domestik atau nasional. Hukum nasional memiliki pemerintahan pusat yang mampu mengatur sistem hukum dalam wilayahnya secara efektif. Sistem hukum demikian dapat diwujudkan oleh “the group that holds the monopoly of

8 Ibid., hlm. 265-266.

Page 9: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 625

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

organized force: that is, the officials of the state”9. Dalam sistem ini, ada garansi bagi hak-hak individu yang tinggal di dalam wilayah nasional tersebut, dan pemerintah pusat akan melindungi individu-individu tersebut ketika individu atau kelompok lain mengancam keamanan mereka. Dengan kata lain, tidak ada anarki di antara individu yang tinggal dalam suatu wilayah nasional.

Sejak Politics Among Nations pertama kali diterbitkan pada 1948, tiga tahun setelah kelahiran Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), kritik terhadap hukum internasional terus muncul hingga saat ini. Kritik tersebut bahkan juga ditujukan kepada organisasi internasional seperti PBB sebagai salah satu lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan dan menetapkan produk hukum internasional yang sifatnya mengikat.

Sebuah contoh yang mengkritik atas legitimasi organisasi internasional adalah ketika Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) merespon permintaan Amerika Serikat untuk mengeluarkan sebuah resolusi yang memberi kewenangan kepada negara tersebut untuk menyerang Iraq serta menurunkan Saddam Hussein pada 25 Oktober 2002. DK PBB menolak permohonan Amerika Serikat tersebut. Namun, Amerika Serikat tetap menyerang Iraq. Di sini lah perdebatan antar akademisi itu muncul, di antaranya adalah Michael J. Glennon yang menilai bahwa DK PBB gagal mempertahankan legitimasinya, dan sebaliknya Ian Hurd yang menilai bahwa DK PBB tetap berhasil menjaga legitimasinya dengan cara menolak permohonan Amerika Serikat.

Glennon berargumen bahwa DK PBB telah gagal menghentikan serangan Amerika Serikat terhadap Iraq. Serangan itu sendiri telah membunuh bukan hanya militer Iraq, tapi juga ratusan ribu warga sipil Iraq. ―That action blatantly violated the UN Charter, which does not permit humanitarian intervention any more than it does preventive war‖.10 Serangan ini menghasilkan bukan saja

9 Ibid., hlm. 255. 10 Glennon, M. J.. ―Why the Security Council failed”, Foreign Affairs”. Vol. 82. No. 3 2003, hlm. 24.

Page 10: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

626 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

kegagalan DK PBB dalam mempertahankan keamanan dan perdamaian dunia, tapi juga menimbulkan delegitimasi atas keberadaan DK PBB. Argumen Glennon yang lain adalah bahwa serangan Amerika Serikat terhadap Iraq menunjukkan bahwa hukum internasional tidak mampu lagi mengantisipasi terjadinya perang antar negara. Ketiadaan legitimasi hukum internasional ini membiarkan setiap negara melakukan penjajahan terhadap negara lain secara bebas. “The default of international law has long been that when no restriction can be authoritatively established, a country is considered free to act”.11 Atas kondisi ini lah Glennon berargumen bahwa kematian hukum internasional telah datang.

Ian Hurd memiliki argumen yang berlawanan dengan Michael J. Glennon. Hurd menilai bahwa DK PBB telah sukses dalam menjaga legitimasinya dengan menolak permintaan Amerika Serikat untuk menyerang Iraq. Menurut Hurd, kegagalan Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan DK PBB menunjukkan bahwa DK PBB mampu mempertahankan legitimasinya sehingga Amerika Serikat tidak mampu mewujudkan kepentingan pribadi negara tersebut. Amerika Serikat menuduh Iraq telah menyimpan senjata pemusnah massal dan karena itu pemerintahan Saddam Hussein harus digulingkan. Faktanya, tuduhan tersebut tidak lah benar. Hal ini berdasarkan temuan DK PBB di mana tim khusus DK PBB tidak menemukan senjata pemusnah massal di Iraq. DK PBB menyadari bila lembaga tersebut memberikan persetujuan kepada Amerika Serikat, maka negara ini akan menggunakan persetujuan tersebut sebagai landasan untuk menyerang Iraq secara sah (a legitimized strike). Seandainya hal ini terjadi, DK PBB akan kehilangan independensinya dan ini akan menurunkan kredibilitas tersebut dihadapan negara-negara anggota PBB.

Lebih lanjut, Hurd berpendapat bahwa DK PB tidak memiliki kewenangan untuk mencegah Great Powers seperti Amerika Serikat dalam upaya untuk mempengaruhi atau bahkan menyerang negara-negara yang lebih kecil.

11 Ibid. hlm. 23.

Page 11: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 627

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

“The Council is not now empowered, and was never intended, to stop Great Powers from intervening in smaller states, and it contains no obligation of collective action except when the permanent members choose it” 12

Dengan kata lain, serangan Amerika Serikat atas Iraq

adalah diluar tanggung jawab DK PBB, dan lembaga ini tidak bertanggung jawab atas serangan tersebut, meskipun Amerika Serikat adalah salah satu anggota tetap DK PBB. Hurd juga berpendapat bahwa serangan tanpa persetujuan DK PBB telah mengakibatkan biaya tinggi terhadap kepentingan militer dan diplomasi Amerika Serikat. Bahkan, serangan ini telah mengundang dukungan yang lemah dari komunitas internasional untuk terlibat dalam invasi ke Iraq pada Maret 2003. 4. Legitimasi PBB sebagai Organisasi Internasional David Mitrany menyatakan pada 1943 bahwa organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional akan secara bertahap mengambil fungsi-fungsi pemerintahan nasional, dan hanya akan menyisakan kepada pemerintahan-pemerintahan tersebut persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerintahan lokal, seperti kesehatan dan keamanan masyarakat.13 Tujuannya adalah untuk mengurangi persoalan-persoalan politik yang bisa menyebabkan terjadinya konflik antar negara. Saat ini seandainya kita melihat kekuatan yang sedang berkembang pada lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional, maka pernyataan Mitrany menemui kebenarannya. Lembaga-lembaga tersebut mencakup the World Bank, the International Monetary Fund (IMF), the Multilateral Investment Guarantee Agency, the Inter-American Development Bank, the Council of Europe, the European Union, NATO, the OAU, ASEAN, dan the World Trade Organization (WTO). Lembaga-lembaga seperti ini lah yang ikut mengatur sebagian hajat hidup

12 Ibid., hlm. 191. 13 David Mitrany, A Working Peace System (London: Royal Institute of International Affairs, 1943), hlm. 60-66.

Page 12: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

628 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

kita sehari-hari. Sebagai contoh, kemudahan kita dalam menemukan produk-produk China yang murah tidak terlepas dari kebijakan ASEAN yang membuka kran yang sangat lebar terhadap produk-produk tersebut. Membanjirnya produk-produk China tersebut ikut mempengaruhi pilihan kita apakah kita akan membeli produk-produk China yang lebih murah atau produk-produk Indonesia yang cenderung lebih mahal. Organisasi-organisasi di atas adalah lembaga dan organisasi internasional yang sah. Piagam PBB sendiri bahkan menganjurkan pembentukan organisasi-organisasi regional dan organisasi antar pemerintah yang lebih spesifik, seperti Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Mungkin ada yang ingin menyatakan bahwa organisasi-organisasi internasional tersebut adalah legitimate (sah). Karena itu, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh organisasi-organasasi internasional tersebut juga legitimate (sah). Sehingga, tidak berlebihan bila kemudian dikatakan bahwa organisasi-organisasi internasional tersebut memiliki legitimasi di mata komunitas internasional. Lalu pertanyaannya, legitimasi seperti apakah yang dimiliki oleh organisasi-organisasi internasional tersebut.

Dalam sebuah artikel yang sangat inspiratif yang dipublikasikan pada 1966, Inis L. Claude Jr. membahas konflik konseptual antara otonomi negara dan kewajiban internasional. Claude menilai bahwa negara-negara kadang menganggap keberadaan organisasi-organisasi internasional itu legitimate (sah) dan karena itu memandang bahwa peran-peran yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut dapat diterima dan benar. Menyinggung keberadaan DK PBB, Claude menilai bahwa lembaga ini memiliki kekuatan karena statemen dan resolusinya dianggap mewakili pandangan-pandangan mayoritas negara-negara di dunia. DK PBB mendapat kewenangan untk berbicara dan berbuat atas nama komunitas global, dan karena itu pengaruhnya memiliki kekuatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan suara maupun aksi yang dilakukan oleh anggota DK PBB secara individu. Tujuan Claude adalah untuk menjawab kritik atas DK PBB yang dinilai hanya mampu berbicara tanpa mampu berbuat secara berarti. Claude sadar

Page 13: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 629

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

bahwa DK PBB begitu kuat karena sikap dan aksinya mewakili sentimen kolektif atas komunitas internasional. Kekuatan dari collective legitimization14 ini lah yang menjadi salah satu sumber potensial di mana sikap dan aksi DK PBB dapat diterima oleh komunitas internasional. Dalam artikelnya, Claude berpendapat:

… collective legitimization has developed, for better or for worse, as essentially a political function, sought for political reasons, exercised by political organs through the operation of a political process, and productive of political results. My thesis is that the function of collective legitimization is one of the most significant elements in the pattern of political activity that the United Nations has evolved in response to the set of limitations and possibilities posed by the political realities of our time.15

Meskipun gagasan tentang collective legitimization ini

diungkapkan oleh Claude pada tahun 1966, namun gagasan ini tampaknya justru makin cocok bila diterapkan dalam kondisi saat ini. Adanya tambahan jumlah DK PBB dari 5 negara menjadi 15 negara menunjukkan betapa sifat collective legitimization menjadi lebih kuat bila dibanding dengan periode-periode yang lalu. Penambahan jumlah DK PBB ini juga bisa dimaknai sebagai upaya lembaga tersebut dalam memberikan ruang yang lebih luas atas negara-negara di luar anggota tetap DK PBB untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang dihasilkan oleh lembaga tersebut.

30 tahun berikutnya, gagasan Claude atas collective legitimization ini diperkuat oleh pendapat David D. Caron melalui artikelnya Governance and Collective Legitimation in the New World Order.16 Bagi Caron, collective Legitimation adalah aspek yang lembut dan kadang-kadang menjadi signifikan bagi organisasi internasional dan pemerintahan. Namun demikian, ada kemungkinan bahwa collective legitimation ini akan disalahgunakan dan konsekuensinya organisasi dan masyarakat internasional lah

14 Istilah collective Legitimization ini juga terkadang menggunakan istilah lain yaitu collective Legitimation. 15 Inis Claude, ―Collective Legitimization as a Political Function of the United Nations‖. Jurnal International Organization 1966. 16 David D. Caron, Governance and Collective Legitimation in the New World Order. Makalah disampaikan pada the Conference Commemorating the 70th

Anniversary of the AAA yang dilaksanakan di Hague, 19-21 Juli 1993.

Page 14: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

630 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

yang akan membayar harga penyalahgunaan tersebut. Keberadaan organisasi internasional pun akan dilihat pada periode-periode mendatang sebagai bentuk ujian apakah organisasi tersebut menggunakan collective legitimation secara benar. Bagi Caron, akan lebih mudah mewujudkan collective legitimation bila ada sebuah kesepakatan yang kuat dari organisasi internasional, tetapi hal demikian seringkali tidak terjadi.

Dalam artikel yang lain, David D. Caron menjelaskan bahwa kapasitas collective legitimation dapat digunakan pada 3 (tiga) kondisi.17 Pertama, sebuah organisasi dapat melegitimate atau mendelegitimate sebuah negara atau pemerintahan. Majlis Umum PBB sebagai contoh, menganggap bahwa keanggotaan Yugoslavia perlu dicabut. Contoh yang lain, PBB dan the Organization of American States (OAS) tetap mengakui Presiden Aristide sebagai presiden yang sah atas pemerintahan Haiti meskipun kehilangan kontrol yang efektif.

Kedua, sebuah organisasi dapat melegitimate atau mendelegitimate atas aksi sebuah pemerintahan. Sebagai contoh, DK PBB memutuskan untuk mendelegitimate invasi Iraq atas Kuwait. Contoh yang lain, DK PBB melegitimate berbagai respon atas invasi Iraq dengan membolehkan negara-negara lain beraksi bersama-sama dengan Kuwait. Sedangkan contoh terakhir adalah DK PBB mendelegitimate serangan Israel atas Palestina. Ketiga, sebuah organisasi dapat melegitimate atau mendelegitimate beberapa ide. Sebagai contoh, Majelis Umum PBB melalui resolusinya secara berkesinambungan mendelegitimate ide atas kolonialisme dan melegitimate prinsip sebuah sikap negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Inis Claude dalam artikelnya Collective Legitimization as a Political Function of the United Nations menawarkan dua proposisi:

(1) “the functon of legitimization in the international realm has tended in recent years to be increasingly conferred upon international political institutions”; dan

17 David D. Caron, Governance and Collective Legitimation in the New World Order (Berkeley: University of California press, 1994), hlm. 31.

Page 15: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 631

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

karena itu (2) “the exercise of this function is, and will continue to be, a highly significant pat of the political role of the United Nations.”18

Proposisi ini tampak lebih kuat dalam situasi sekarang ini.

Bahkan, gagasan Claude bahwa organisasi-organisasi internasional mengemban posisi sebagai agen dominan atas legitimasi dapat dilihat sebagai sebuah karakter yang mendefinisikan atas retorika Tata Dunia Baru yang berlangsung sekarang ini. Legitimasi DK PBB dalam Konflik Darfur, Sudan

Konflik di Sudan berawal pada tahun 2003 ketika sebuah pemberontakan diumumkan dan dimulai oleh beberapa pemberontak dari the Sudan Liberation Army (SLA) dan kelompok yang lebih kecil, Justice and Equality Movement (JEM). Pemerintah Sudan merespon dengan mengerahkan pasukan militer darat dan udara, serta para milisi yang direkrut dari anggota suku-suku Arab di Darfur, yang kemudian dikenal dengan the Janjawid. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Darfur awalnya digawangi oleh beberapa konflik bersenjata di Sudan. Konflik bersenjata yang terlama adalah ―perang‖ antara pemerintah Sudan dan para pemberontak di bagian selatan Sudan yang bernama the Sudan People's Liberation Movement/Army (SPLM/A), yang secara formal berakhir dengan penandatanganan a Comprehensive Peace Agreement (CPA) pada bulan Januari 2005.19

Konflik internal yang menjadi pemicu dilakukannya intervensi kemanusiaan di Darfur secara kronologis dimulai sejak 26 Februari 2003 hingga penghujung tahun 2006. Berbagai pertempuran yang diwarnai dengan jatuhnya korban baik meninggal maupun pengungsian telah terjadi sepanjang tahun 2003 sampai dengan penghujung tahun 2006. Pada tahun 2003, khususnya di bulan Februari, Maret, April tercatat pertempuran

18 Inis Claude, ―Collective Legitimization as a Political Function of the United Nations‖. Jurnal International Organization 1966, hlm. 367. 19 ―International Response‖, dari http://www.eyesondarfur.org/response.html, diunduh pada 12 November 2011.

Page 16: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

632 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

di Golo, distrik Jebel Marra yang dilakukan oleh Darfur Liberation Front (DLF), di daerah Tine, daerah sepanjang perbatasan dengan Negara Chad, Pada tahun yang lama, SLA dan JEM juga telah melakukan penyerangan ke daerah al-Fashir sehingga menimbulkan korban meninggal. Pada tahun 2004, tepatnya musim semi, beberapa ribu orang terutama penduduk non-Arab telah dibunuh dan jutaan orang lebih telah diusir dari rumah mereka disebabkan krisis kemanusiaan di Darfur, yang dilakukan oleh militan Janjaweed. Penghancuran terhadap desa-desa di wilayah administrasi Shattaya juga terjadi pada tahun 2004, tepatnya bulan Agustus, sehingga menyebabkan desa-desa di Shattaya tidak berpenghuni akibat dari pembakaran terhadap desa-desa tersebut yang dilakukan dalam waktu 2 hari. Penyerangan terhadap kota Adre di wilayah negara Chad, yang berdekatan dengan perbatasan Sudan pada bulan Desember tahun 2005 oleh 300 pemberontak dalam dua kali serangan selama tiga hari, menyebabkan eskalasi konflik meningkat. Hal ini membuat negara tetangga, Chad mengeluarkan pernyataan untuk melawan Sudan dan meminta warga negaranya untuk memobilisasi diri alas penyerangan tersebut. Sedangkan di tahun 2006, terutama di bulan Juli dan Agustus, telah terjadi ancaman untuk menghentikan bantuan internasional dikarenakan telah terjadi penyerangan terhadap petugas-petugas kemanusiaan di Darfur, seperti yang terjadi di Kalma, kota di Darfur.

Pada musim semi tahun 2004, Uni Afrika (African Union) mengganggap dirinya sebagai pemegang utama dari usaha-usaha internasional dalam menjembatani terwujudnya sebuah resolusi untuk merespon konflik di Darfur. Tak lama kemudian, pada tanggal 25 Mei 2004, Dewan Keamanan PBB membuat pernyataan pertama dalam sebuah situasi untuk menanggapi laporan yang disusun oleh the UN High Commissioner on Human Rights. Dewan tersebut menyatakan keprihatinannya atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Darfur dan serangan yang membabi buta terhadap warga sipil, dan menyatakan dukungan bagi upaya mediasi Uni Afrika.20

20 Ibid.

Page 17: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 633

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

Dalam perjalanannya, misi Uni Afrika telah gagal dalam menghentikan pembunuhan yang terjadi di Darfur. NATO dan Uni Eropa (the European Union) juga telah membuat pernyatan yang jelas bahwa mereka tidak akan mengirimkan pasukan tentara mereka ke Darfur. Dalam situasi demikian, pilihan yang mungkin adalah pengerahan pasukan perdamaian PBB (UN peacekeeping force) dengan sebuah mandat yang jelas yang memberikan kewenangan kepada pasukan tersebut untuk melindungi masyarakat sipil serta mewujudkan kondisi yang baik. Misi seperti ini akan menggunakan sumber keuangan dan pasukan militer PBB dan negara-negara anggotanya, sehingga akan menghindari atas keraguan misi Uni Afrika.21

Keadaan negative peace sempat tercapai di Sudan pada tahun 2005 ketika Comprehensive Peace Agreement disepakati dan ditandatangani oleh pihak pemerintah dan kelompok pemberontak SPLA. Restrukturisasi pemerintah dengan memasukkan etnis Afrika kedalam badan pemerintahan Sudan dianggap mampu menyudahi perbedaan-perbedaan yang menjadi alasan bagi kedua pihak untuk memulai konflik.

Namun kondisi negative peace ini tidak berlangsung lama karena baik SPLA maupun Janjaweed melanggar kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dan melakukan tindak kekerasan kepada kaum sipil, bahkan pasukan Uni Afrika yang tergabung dalam AMIS turut menjadi sasaran dari kedua belah pihak.

Pada 31 Agustus 2006, DK PBB akhirnya mengadopsi Resolusi 1706 setelah mendapatkan persetujuan 12 negara, yaitu: Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Congo, Denmak, Gana, Yunani, Japan, Peru, Slovakia, dan Tanzania. Sedangkan 3 anggota DK PBB yang lain, China, Rusia, dan Qatar, memberikan suara abstain dalam penetapan Resolusi 1706 tersebut.22 Melalui Resolusi 1706, DK PBB memperluas mandat

21 Nick Grono, ―Briefing-Darfur: The International Community‘s Failure to Protect‖. African Affairs, 105/421 2006, hlm. 621–631. 22 "Sudan rejects Darfur resolution". BBC News. August, 31 2006. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2012.

Page 18: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

634 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

kepada the United Nations Mission in the Sudan (UNMIS) untuk menyebar ke Darfur guna memperkuat the Darfur Peace Agreement.23

Namun, Resolusi 1706 menuai kritik. Bahkan sebelum Resolusi tersebut diadopsi, kalangan internasional sudah mengkritik adanya intervensi DK PBB di Darfur. Liga Arab dan sebagian besar negara yang menjadi anggota Liga Arab, menentang dengan rasa ketakutan atas intervensi yang dipimpin oleh negara Barat di Afrika Utara, dan sangat protektif atas keberadaan mereka. Uni Afrika sendiri sedang bertugas di Darfur dengan persetujuan pemerintah Sudan. Uni Afrika juga telah berusaha untuk membuktikan diri bahwa mereka mampu mengatasi salah satu konflik terparah yang terjadi di Afrika, meski akhirnya mereka tak mampu mewujudkannya.24

Selain dari Liga Arab, kritik yang paling utama justru datang dari pemerintah Sudan yang tidak mendukung Resolusi 1706.25 Pemerintah Sudan menolak resolusi tentang pengiriman pasukan perdamaian ke Darfur, Sudan, dengan alasan bahwa pengiriman pasukan tersebut akan melanggar kedaulatan negeri Sudan. Pemerintah Sudan lebih mendukung pasukan perdamaian Uni Afrika yang telah beroperasi di negeri tersebut. Sejalan dengan sikap pemerintah Sudan, partai yang berkuasa di Sudan juga mendorong rakyat Sudan untuk strengthen further their cohesion and ranks and prepare to face any development.26

Penolakan pemerintah Sudan atas Resolusi 1706 mendapat dukungan artis Hollywood, George Clooney, yang pada tanggal 14 Septemer 2006 berhadapan dengan DK PBB dan mengatakan bahwa Pemerintah Sudan memang seharusnya menolak Resolusi 1706:

23 "Security Council expands mandate of UN Mission in Sudan to include Darfur". United Nations. August, 31 2006. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2012. 24 Nick Grono, ―Briefing-Darfur: The International Community‘s Failure to Protect‖. African Affairs, 105/421 2006, hlm. 621–631. 25 "Sudan rejects Darfur resolution". BBC News. August, 31 2006. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2012. 26 Ibid.

Page 19: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 635

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

You will simply need men with shovels and bleached white linen and headstones. In many ways, it’s unfair, but it is, nevertheless, true that this genocide will be on your watch. How you deal with it will be your legacy, your Rwanda, your Cambodia, your Auschwitz.27

Bagi kalangan yang mendukung intervensi militer DK PBB di Sudan, mereka menilai bahwa Resolusi 1706 merupakan langkah lanjutan yang penting untuk mewujudkan perdamaian di Sudan. Meski demikian, bahasa Resolusi 1706 yang mengharapkan adanya dukungan dari Pemerintah Sudan untuk pengiriman pasukan perdamaian ke wilayah tersebut justru menambah rintangan politik dalam menyelesaikan persoalan di Sudan. Menurut mereka, Resolusi 1706 tidak akan berhasil sampai semua negara dapat menekan secara diplomatik kepada Pemerintah Sudan untuk membiarkan pasukan perdamaian PBB beroperasi di Darfur.28

Keadaan yang tidak aman terus mewarnai perkembangan usaha perdamaian di Darfur dan Sudan. Tahun-tahun berikutnya hingga akhir tahun 2008, penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata masih terjadi. Perjanjian-perjanjian tambahan tetap diusahakan untuk diimplementasikan oleh peacekeeping operation PBB, namun progres berjalan lambat karena pasukan PBB belum mampu untuk membangun kepercayaan antar sesama pihak yang bertikai. Tidak hanya confidence building, beberapa hal lain juga menyebabkan peacekeeping operation PBB di Darfur tidak berjalan secara efektif dalam menghentikan konflik etnis tersebut.

Melihat bahwa terus terjadinya kekerasan terhadap kaum sipil pada saat pasukan perdamaian telah ditempatkan di daerah konflik, dapat disimpulkan bahwa peacekeeping operation yang dijalankan PBB serta Uni Afrika gagal dalam menekan eksklamasi konflik dan mewujudkan stabilitas keamanan di Darfur. Hal ini beralasan ketika melihat diperpanjangnya mandat UNAMID

27http://www.americanrhetoric.com/speeches/georgeclooneyunitednations.htm, diunduh pada 12 November 2011. 28http://archive1.globalsolutions.org/programs/peace_security/news/sc_rec_1706.html, diunduh pada 12 November 2011.

Page 20: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

636 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

untuk melakukan operasi perdamaian di Darfur hingga tahun 2009, berdasarkan Resolusi 1706 yang mendapat tentangan dari Negara tujuan dari Resolusi.

Dalam kasus ini, analisa Hans Morgenthau bahwa konfigurasi yang tidak memusat pada komunitas internasional telah menghasilkan hukum internasional yang tidak memusat pula,29 nampaknya sesuai dengan kasus ini. PBB yang merupakan representatif dari Negara-negara di dunia, tidak dianggap sebagai pusat kekuatan dan kekuasaan yang mewakili Negara-negara di dunia, sehingga keputusan dari lembaga tersebut tidak harus dipatuhi oleh Negara-negara, dalam hal ini Sudan.

Sesuai dengan analisa Morgenthau bahwa hukum internasional di bawah sistem yang terdesentralisasi tidak didukung oleh perwakilan dan instrumen yang mampu mengimplementasikan hak-hak hukum internasional di antara negara-negara yang berdaulat, maka dalam konflik di Darfur, sebagai sebuah Negara, Darfur berusaha secara mandiri untuk menyelesaikan konflik internalnya dan juga berhak untuk meminta bantuan kepada Negara atau organisasi internasional yang dipercaya sesuai dengan kedaulatannya, tanpa ada intervensi dari Negara atau organisasi lain.

Dalam hal ini, legitimasi DK PBB dalam praktiknya tidak dapat difungsikan mengingat tidak adanya pengakuan dari negara bersangkutan, meskipun Resolusi yang dikeluarkan disetujui oleh lebih lebih dari 75% anggota Dewan Keamanan (12 negara). Secara teoretik, Resolusi ini sesuai dengan hukum internasional, karena mencerminkan collective legitimation dalam hukum internasional dan juga pengambilan keputusan dilakukan secara sah. Akan tetapi, secara sosiologis/ praktis, dengan adanya penolakan dari negara tujuan Resolusi, maka collective legitimation tidak dapat dijalankan karena menyangkut kedaulatan negara. Prinsip Kedaulatan dan prinsip non-intervensi menjadi prinsip umum dalam hukum internasional yang harus diikuti oleh Negara-negara dan juga subjek hukum lainnya. Sedangkan negara

29 Hans Morgenthau, Politics Among Nations, the Struggle for Power and Peace, Cet. 6 (New York: McGraw-Hill, 1930), hlm. 255

Page 21: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 637

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

diakui sebagai subjek hukum internasional yang utama daripada organisasi internasional yang merupakan subjek hukum internasional buatan. Maka dengan melihat kasus ini, bisa saja menjadi benar apa yang dikatakan oleh Glennon bahwa kematian hukum internasional telah datang. Penutup

Mengenai legitimasi Resolusi Dewan Kemanan PBB, diawali dengan adanya perdebatan legitimasi hukum internasional itu sendiri, kemudian legitimasi organisasi atau lembaga internasional khususnya PBB. Terkait dengan perdebatan PBB, Inis L. Claude menilai bahwa lembaga ini memiliki kekuatan karena statemen dan resolusinya dianggap mewakili pandangan-pandangan mayoritas negara-negara di dunia. DK sebagai salah satu badan khusus di PBB mendapat kewenangan untuk berbicara dan berbuat atas nama komunitas global, dan karena itu pengaruhnya memiliki kekuatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan suara maupun aksi yang dilakukan oleh anggota DK PBB secara individu. Dalam hal ini, DK PBB begitu kuat karena sikap dan aksinya mewakili sentimen kolektif atas komunitas internasional. Kekuatan dari collective legitimation ini lah yang menjadi salah satu sumber potensial di mana sikap dan aksi DK PBB dapat diterima oleh komunitas internasional. Collective legitimation ini menggantikan legitimasi tunggal yang tergantung pada sosok tokoh tertentu. Kuantitas dalam penentuan suara menjadi sangat penting dalam teori ini. Collective legitimation ini tidak hanya sekedar kesepakatan banyak pihak, namun juga perlu memperhatikan unsur-unsur moralitas dalam menentukan hasil keputusannya.

Pada kasus di Darfur Sudan, Resolusi DK PBB 1706 yang disepakati oleh 12 negara, yaitu: Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Congo, Denmak, Gana, Yunani, Japan, Peru, Slovakia, dan Tanzania (China, Rusia, dan Qatar memilih abstain) mendapatkan penolakan oleh Pemerintah Sudan. Melalui Resolusi 1706, DK PBB memberikan mandat kepada the United Nations Mission in the Sudan (UNMIS) untuk menyebar ke Darfur guna memperkuat the Darfur Peace Agreement. Pemerintah Sudan

Page 22: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

638 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

menolak Resolusi tersebut karena khawatir dengan intervensi dari pihak asing (PBB) tersebut akan mengganggu kedaulatan negaranya. Liga Afrika juga menolak Resolusi ini karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan konflik di Danfur meskipun akhirnya gagal.

Dalam konteks collective legitimation, Resolusi ini mendapat dukungan yang banyak, akan tetapi pada kasus ini, collective legitimation tidak mampu menekan suatu negara untuk melaksanakan isi resolusi jika tidak mendapat dukungan dari negara tersebut.

Daftar Pustaka

Ahrnens, Anette, A Quest for Legitimacy: Debating UN Security Council Rules on Terrorism and Non-Proliferation. Disertasi pada Departemen Ilmu Politik Universitas Lund, Swedia, 2007

Bowett, D.W. Hukum Organisasi Internasional, terjemahan: Bambang Irianan Djajaatmadja, Jakarta:Sinar Grafika, 1990

Buchanan, Allen dan Robert O. Keohane, Legitimacy in International Law, editor: Rüdiger Wolfrum dan Volker Röben Germany: Springer. The Legitimacy of Global Governance Institutions, 2008.

Bukovansky, Mlada, Legitimacy and Power Politics: The American and French revolutions in International Political Culture. New Jersey: Princeton, Princeton University Press, 2002.

Claude, Inis, Collective Legitimization as a Political Function of the United Nations. Cambridge University, 20 International Organization, June 1966.

Caron, D.D., Governance and Collective Legitimation in the New World Order. Makalah disampaikan pada the Conference Commemorating the 70th Anniversary of the AAA yang dilaksanakan di Hague, 19-21 Juli 1993.

Grono, Nick, Briefing-Darfur: The International Community’s Failure to Protect. African Affairs, 105/421, 2006.

David Mitrany, A Working Peace System, London: Royal Institute of International Affairs, 1943.

Page 23: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi… 639

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

David D. Caron, Governance and Collective Legitimation in the New World Order. University of California, Barkeley, 1994.

Djamin, Safril, Mengenal Lebih Jauh PBB dan Negara–Negara di Dunia, Klaten: PT. Intan Pariwara.

Franck, ‗Why a Quest for Legitimacy?‘, 21 UC Davis L Rev 1987 Glennon, M. J. Why the Security Council Failed. In Foreign Affairs.

Vol. 82. No.3, 2003. Hurd, Ian, After Anarchy: Legitimacy and Power in the United Nations

Security Council. New Jersey, USA: Princeton University Press, 2007.

Morgenthau, Hans and Kenneth Thompson, Politics Among Nations, the Struggle for Power and Peace, 6th edition, New York: McGraw-Hill, 1993.

Suryokusumo, Soermaryo, Organisasi Internasional, Jakarta: UI Press, 1987.

Spiro, P., ―Accounting for NGOs‖, dalam Chicago Journal of International, 2002.

Young, E, A., ―The Trouble with Global Constitutionalism‖, dalam Texas International Law Journal 38 2003.

Basic Fact about UN Charter of the United Nation S.C. Res. 1973, U.N. Doc S/RES/1973 (Mar, 17, 2011). http://peoplewithvoices.com/2011/04/07/invasion-of-libya-

violates-international-law-says-former-mep/ pada 15 April 2011.

http://theredtelephone.wordpress.com/2011/03/07/libya-where-international-law-died/ March 7, 2011 in International Humanitarian and Criminal Law oleh Peter Anagnostou

http://english.pravda.ru/opinion/columnists/27-02-2011/117026-libya_law-0/

http://www.eyesondarfur.org/response.html http://www.americanrhetoric.com/speeches/georgeclooneyunit

ednations.htm, diunduh pada 12 November 2011. http://archive1.globalsolutions.org/programs/peace_security/n

ews/sc_rec_1706.html, diunduh pada 12 November 2011. http://globalr2p.org/ diakses pada . 18 November 2011.

Page 24: Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan PBB

640 Lindra Darnela: Legitimasi Resolusi…

Asy-Syir’ah

Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012

http://www.iciss.ca/report2-en.asp#chapter_7, diakses pada 18 November 2011.

Kompas, Minggu 10 April 2011, Peperangan yang Dikobarkan Peraih Nobel Perdamaian.

"Sudan rejects Darfur resolution". BBC News. 31 August 2006.