Page 1
1. ZAT-ZAT BERACUN PADA ROKOK
Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat
menimbulkan kanker (karsinogen). Kandungan racun pada rokok itu antara lain:
1. Tar
Tar terbentuk selama pemanasan tembakau. Tar merupakan kumpulan berbagai zat kimia
yang berasal dari dan tembakau sendiri, maupun yang ditambahkan dalam proses pertanian
dan industri sigaret. Tar adalah hidrokarbon aromtik polisiklik yang ada dalam asap rokok,
tergolong dalam zat karsinogen, yaitu zat yang dapat menumbuhkan kanker. Kadar tar yang
dikandung dalam asap rokok inilah yang berhubungan dengan risiko timbulnya kanker.
2. Nikotin
Nikotin adalah alkaloid toksis yang berasal dari tembakau. Sebatang rokok umumnya berisi
1 – 3 mg nikotin. Nikotin diserap melalui paru-paru dan kecepatan absorpsinya hampir sama
dengan masuknya nikotin secara intravena. Nikotin masuk ke dalam otak dengan ceat
dalam waktu kurang lebih 10 detik. Dapat melewati barrier di otak dan diedarkan ke seluruh
bagian otak, kemudian menurun secara cepat, setelah beredar keseluruh bagian tubuh
dalam wkatu 15 – 20 menit pada waktu penghisapan terakhir. Efek bifastik dari nikotin pada
dosis rendah menyebabkan rangsangan ganglionik yang eksitasi. Tetapi pada dosis tinggi
menyebabkan blokade ganglionik setelah eksitasi sepintas.
Gambar 1. Struktur molekul nikotin
Page 2
Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya
kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8-20 mg nikotin dan setelah dibakar nikotin yang
masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25%. Walau demikian jumlah kecil tersebut memiliki
waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak manusia.
Nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian terbagi ke jalur imbalan
dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasa nikmat, memacu sistem
dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih
cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan
mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan
sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan
mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok,
karena sudah ketergantungan pada nikotin.
3. Karbon monoksida (CO)
Karbonmonoksida merupakan gas beracun yang tidak berwarna. Kandungannya di dalam
asap rokok 2 – 6%. Karbonmonoksida pada paru-paru mempunyai daya pengikat (afinitas)
dengan hemoglobin (Hb) sekitar 200 kali lebih kuat dari pada daya ikat oksigen (O2) dengan
hemoglobin (Hb). Dalam waktu paruh 4 – 7 jam sebanyak 10% dari Hb dapat terisi oleh
karbon monoksida dalam bentuk COHb (Carboly Haemoglobin), dan akibatnya sel darah
merah akan kekurangan oksigen, yang akhirnya sel tubuh akan kekurangan oksigen.
Pengurangan oksigen jangka panjang dapat mengakibatkan pembluh darah akan terganggu
karena menyempit dan mengeras. Bila menyerang pembuluh darah jantung, maka akan
terjadi serangan jantung.
2. SAKIT KEPALA/ NYERI KEPALA
Sakit kepala adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah kepala dan leher bagian belakang.
Sebagian besar orang ( sekitar 90% ) pernah mengalami sakit kepala setidaknya sekali setahun.
Sakit kepala sebagian besar disebabkan penyakit yang ringan, namun sakit kepala tidak bisa
Page 3
dianggap sepele karena dapat menjadi tanda adanya penyakit serius seperti tumor otak,
perdarahan otak dan radang otak.
Rasa nyeri dapat dirasakan di sebagian sisi kepala seperti nyeri sekitar mata, nyeri di sebelah
kiri/kanan, dan dapat juga terasa di seluruh bagian kepala. Nyeri dapat bersifat tajam atau
tumpul, dan dapat disertai mual, muntah, dan sensitive terhadap cahaya. Karakteristik nyeri
dan gejala lain yang menyertai sakit kepala bervariasi pada setiap orang. Mengetahui
karakteristik nyeri dapat membantu kita mengetahui jenis sakit kepala dan mengambil tindakan
yang tepat untuk mengatasi sakit kepala.
Sakit kepala dikelompokkan menjadi sakit kepala primer dan sakit kepala sekunder.
Sakit kepala primer
Sakit kepala primer disebabkan oleh disfungsi (gangguan) atau aktivitas yang berlebihan dari
berbagai sistem yang terlibat pada nyeri kepala seperti sistem saraf, pembuluh darah dan otot.
Sakit kepala primer merupakan gangguan fungsi sehingga bukan merupakan gejala dari suatu
penyakit (underlying disease).
Sakit kepala primer yang paling sering dialami adalah :
1. Sakit kepala tipe tegang atau Tension-type headache
2. Migraine, dan
3. Sakit kepala cluster atau Cluster type headache
Sakit kepala tersebut biasanya timbul berkaitan dengan berbagai faktor pencetus diantaranya:
- Alcohol, dan makanan yang mengandung alcohol
- Makanan: coklat, keju, monosodium glutamate/ penyedap makanan, makanan yang
mengandung nitrat
- Kurang tidur atau gangguan tidur
- Stress/ depresi
- Menstruasi
Page 4
Sakit kepala sekunder
Sakit kepala sekunder merupakan sakit kepala yang disebabkan adanya suatu penyakit tertentu
(underlying disease). Pada sakit kepala kelompok ini, rasa nyeri di kepala merupakan tanda dari
berbagai penyakit.
Adapun penyakit yang dapat menimbulkan sakit kepala adalah:
1. Infeksi sistemik seperti flu, demam dengue/ demam berdarah dengue, sinusitis, radang
tenggorokan dan lain-lain
2. Aneurisma otak
3. Tumor otak
4. Keracunan karbon dioksida
5. Glaucoma
6. Kelainan refraksi mata (mata minus/plus)
7. Cedera kepala
8. Ensefalitis (radang otak)
9. Meningitis (radang selaput otak)
10. Perdarahan otak
11. Stroke
12. Efek samping obat
13. Dan lain-lain
Page 5
3. KLASIFIKASI STROKE
1. Menurut etiologinya :
a. Stroke Hemoragik
Stroke yang terjadi karena pendarahan subarakhnoid yang disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu. Biasanya terjadi saat
melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat
(pendarahan intraserebral, pecahnya aneurisme dan tumor otak yang mengalami
pendarahan).
1. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral terjadi di dalam substansi atau parenkim otak (di dalam
piamater). Penyebab utamanya adalah hipertensi, khususnya yang tidak
terkontrol. Penyebab lainnya yaitu malformasi arteriovenosa (MAV), angioma
cavernosa, alkoholisme, terapi anti-koagulan dan angiopati.
Pada perdarahan jenis ini arteri yang bergungsi memvaskularisasi otak ruptur atau
pecah sehingga akan menyebabkan kebocoran darah ke otak dna kadang
menyebabkan otak tertekan karena adanya penambahan cairan. Pada orang
dengan hipertensi kronis terjadi proses degeneratif pada otot dan unsur elastik
dari dinding arteri . Perubahan degeneratif ini dan ditambah dengan beban
tekanan darah tinggi, dapat membentuk penggembungan-penggembungan kecil
setempat yang disebut aneurisma Cahrcot-Bouchard, yang merupakan suatu locus
minorus resisten (LMR). Pada lonjakan tekanan darah sistemik, misalnya sewaktu
marah, saat aktivitas yang mengeluarkan tenaga banyak, mengejan dan
sebagainya, dapat menyebabkan pecahnya LMR ini. Oleh karena itu stroke
hemoragik dikenal juga sebagai “Stress Stroke”.
PERDARAHAN INTRASEREBRAL NONTRAUMATIKA
Page 6
Perdarahan intraserebral (PIS/ICH) spontan merupakan 6.3-12 % dari semua
kasus strok baru pada tiap tahunnyadan duapertiganya fatal. Insidens tahunan PIS
spontan umumnya sekitar 9 per 100.000 populasi. Pria lebih sering terkena.
Duapertiga berusia antara 45-75 tahun.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
PIS (ICH) primer biasa terjadi pada kapsul internal dan hematoma meluas
kemedial kesubstansi kelabu dalam dan kelateral melalui substansi putih yang
relatif aseluler korona radiata. Pembuluh yang ruptur adalah satu dari arteria
perforating kecil yang meninggalkan arteria serebral media dekat pangkalnya
dikarotid internal dan sering dijelaskan sebagai arteria lentikulostriata.
Pemeriksaan postmortem menunjukkan pada arteria perforating pasien
hipertensif terdapat banyak dilatasi aneurismal yang sangat kecil yang diduga
rupturnya menjadi sumber perdarahan. Lebih jarang perdarahan terjadi pada
fossa posterior yang dimulai pada pons atau hemisfer serebeler.PIS akut sering
terjadi saat atau setelah latihan fisik. Sekitar duapertiga akan mengalami
perburukan neurologis progresif dan sepertiganya dalam defisit maksimal saat
datang kerumah sakit. Penurunan kesadaran terjadi pada 60% dan duapertiganya
jatuh kedalam koma. Nyeri kepala dan mual dengan muntah terjadi pada 20-40%
kasus. Gejala ini karena peninggian TIK akibat perdarahan. Kejang kurang
umum terjadi, sekitar 7-14%. Gejala dan tanda lainnya tergantung ukuran dan
lokasi spesifik dari bekuan darah. Tanda khas perdarahan ganglia basal,
biasanya putaminal, adalah defisit motor kontralateral dan gaze ipsi lateral
dengan perubahan sensori, visual dan tabiat. Perubahan pupil terjadi akibat
ancaman herniasi unkal lobus temporal akibat peninggian TIK dan pergeseran
Page 7
garis tengah. Gejala afasik bila hemisfer dominan terkena.Perdarahan
menyebabkan kerusakan neurologis melalui dua cara:
1. Kerusakan otak yang nyata terjadi pada saat perdarahan. Ini terutama
pada kasus dimana hematoma meluas kemedial dan talamus serta ganglia basal
rusak.
2. Hematoma yang membelah korona radiata menyebabkan kerusakan yang
kurang selluler namun mungkin berukuran besar dan menyebabkan penekanan
serta gangguan fungsi neurologis yang mungkin reversibel. 80% pasien adalah
hipertensif dan biasanya dalam eksaserbasi akut dari hipertensinya pada saat
datang. Kebanyakan kasus hematoma memecah kesistema ventrikuler atau
rongga subarakhnoid menimbulkan gambaran klinis PSA. Pria terkena 5-20%
lebih sering dari wanita dan 75-90% terjadi antara usia 45-75 tahun. Pasien
dengan koagulopatia lebih berrisiko terhadap PIS seperti juga penderita yang
mendapat antikoagulan terutama Coumadin. Trombositopenia dengan hitung
platelet kurang dari 20.000, penyakit hati, leukemia, dan obat-obat seperti
amfetamin meninggikan risiko terjadinya PIS.PIS terjadi pada teritori vaskuler
arteriaperforating kecil seperti lentikulostriata pada ganglia basal,
talamoperforator diensefalon, cabang paramedian basiler pada pons. Karenanya
kebanyakan terjadi pada struktur dalam dari hemisfer serebral. Berikut ini
struktur beserta frekuensi kejadiannya: putamen 30-50%, substansi putih
subkortikal 30%, serebelum 16%, talamus 10-15%, serta pons 5-12%. Arteria yang
paling sering menimbulkan perdarahan adalah cabang lentikulostriata lateral
dari arteria serebral media yang mencatu putamen. PIS merupakan sekitar
10% dari semua strok. Seperti dijelaskan diatas, ia disebabkan oleh
perdarahan arterial langsung ke parenkhima otak. Ruptur vaskuler dikira terjadi
pada aneurisma milier kecil, dijelaskan oleh Charcot dan Bouchard 1868,
dan/atau pada arteria lipohialinotik yang sering tampak pada otopsi pasien
dengan hipertensi. Minoritas kasus PIS kemungkinan disebabkan aneurisma,
Page 8
AVM, malformasi kavernosa, amiloid serebral, atau tumor. Glioblastoma adalah
tumor otak primer yang paling sering mengalami perdarahan, sedangkan
melanoma, khoriokarsinoma dan ipernefroma adalah tumor metastatik yang
tersering menimbulkan perdarahan.Kematian akibat PIS sekitar 50% dengan 3/4
pasien yang hidup, tetap dengan defisit neurologis nyata. Penelitian
memperlihatkan bahwa prognosis terutama tergantung pada derajat klinis
saat pasien masuk, lokasi serta ukuran perdarahan. Pasien sadar tentu lebih
baik dari pada pasien koma. Penelitian Dixon 1984 memperlihatkan bahwa satu-
satunya prediktor terpenting atas outcome adalah Skala Koma Glasgow. Pasien
dengan hematoma lober superfisial cenderung lebih baik dari perdarahan batang
otak yang lebih dalam. Perluasan klot ke sistema ventrikuler memperburuk
outcome. Pasien dengan perdarahan dengan diameter lebih dari 3 sm atau
volumenya lebih dari 50 sk, lebih buruk. Pasien dengan kondisi medis buruk dan
yang berusia 70 tahun atau lebih cenderung mempunyai outcome buruk.
Tampilan klinis karenanya akan berupa meningisme pada onset akut dan
bersamaan dengan tampilan yang segera dari defisit neurologis fokal akibat
hematoma yang bila cukup besar, perburukan progresif akibat peninggian
tekanan intrakranial. Hilangnya kesadaran lebih sering dibanding ruptur
aneurisma serebral. Penelitian Herbstein dan Schaumberg 1974 dengan
menyuntikkan eritrosit yang dilabel radioaktif memperlihatkan bahwa fase
aktif perdarahan saat PIS akuta berakhir dibawah dua jam. Perburukan
selanjutnya diduga sebagai edema otak reaktif yang dapat dikurangi dengan
evakuasi secara bedah terhadap klot darah.
Hipertensi Arterial
Kelainan serebrovaskuler hipertensif merupakan 70-90 % PIS spontan. Sumber
tersering perdarahan adalah arteria penetrating kecil (80-300um), yaitu arteria
talamo-perforating dan lentikulostriata serta cabang para-median arteria
Page 9
basiler. Tampak degenerasi yang di-induksi oleh hipertensi pada media dinding
arterial, nekrosis fibrinoid, yang berakibat kelemahan progresif dan/atau
terbentuknya mikroaneurisma. Apa yang mem- presipitasi perdarahan tidak
jelas, walau peninggian tekanan darah mendadak karena latihan atau kegiatan
fisik umum terjadi. Predileksi perubahan patologis yang diinduksi hipertensi
pada arteria subkortikal dan perforating kecil menjelaskan lokasi anatomik khas
perdarahan ini. Daerah paling sering terkena adalah kaudat dan putamen (35-
45 %), diikuti substansi putih subkortikal (25 %), talamus (20 %), pons (5 %). 90 %
perdarahan pons adalah akibat hipertensi, dan 60-75 % perdarahan putaminal,
talamik, dan serebelar adalah hipertensif. Hipertensi tak jelas sebagai faktor
etiologis pada perdarahan lober. Perdarahan ulang tampaknya jarang,
penelitian mutakhir sekitar 2.7 %. Penyebab utama perburukan tunda adalah
sekunder terhadap edema serebral dan nekrosis iskemik jaringan otak sekitar
atau hidrosefalus.
Aneurisma Intrakranial
Perdarahan akibat aneurisma yang ruptur biasanya keruang subarakhnoid
dan jarang keventrikel lateral atau parenkhim otak. Aneurisma yang pecah
merupakan 18-23 % kasus. Peradarahan biasanya pada lobus frontal dan temporal,
diakibatkan oleh aneurisma arteria karotid internal atau serebral media.
Kemungkinan perdarahan ulang 4 % pada 24 jam pertama sejak perdarahan
inisial, dan 1.5 % setiap hari. Insidens perdarahan ulang 19 % selama 2
minggu pertama, 64 % pada 1 bulan, mencapai 78 % pada 2 bulan. Patogenesis
pembentukan dan perdarahan aneurisma kontroversial. Lesi ini diperkirakan
sebagai kelemahan kongenital pada lapisan muskuler yang memungkinkan
intima menonjol diantaranya, akhirnya merobek membrana elastik. Pendapat
lain, lesi ini adalah didapat dan perubahan degeneratif membrana elastik
internal memungkinkan intima mengalami herniasi melalui area yang lemah.
Page 10
Mungkin juga kedua hal tersebut terjadi bersamaan. Aneurisma mikotik, 1-
2 % dari seluruh aneurisma serebral, paling sering akibat emboli septik keotak
dari endokarditis bakterial. Perdarahan tersering keparenkhima otak akibat
lokasinya distal dari sirkel Willis dan biasanya dilobus parietal.Aneurisma
intrakranial jarang terjadi setelah cedera kepala, biasa sepanjang arteria
perikalosal didekat falks atau pada cabang distal arteria serebral media pada
permukaan kortikal didekat fraktura tengkorak. Aneurisma traumatika
biasanya berakibat perdarahan parenkhimal dalam masa minggu, bulan, bahkan
tahun setelah cedera kepala berat.
Angiopati Amiloid Serebral
Penyebab tersering ketiga PIS setelah hipertensi arterial dan aneurisma,
sekitar 10 % dari PIS spontan. Autopsi menunjukkan 40-70 % pasien ini mati
karena perdarahan. Kelainan ini khas dengan deposit fibril amiloid pada media
dan intima arteria ukuran kecil dan sedang pada otak dan leptomening pasien tua.
Perdarahan mungkin akibat robeknya dinding pembuluh yang lemah atau
mikroaneurisma. Insidens angiopati amiloid pada pemeriksaan setelah mati
sekitar 8 % pada dekade ketujuh dan 60 % pada dekade kesepuluh. Angiopati
amiloid serebral tidak berhubungan dengan angiopati amiloid sistemik dan
terjadi sporadis, namun hubungan famili pernah dilaporkan. Hubungan
dengan Alzheimer dipostulasikan karena plak dijumpai pada lebih dari 50 %
kasus dan 10-30 % pasien menunjukkan demensia progresif. Berbeda
dengan perdarahan hipertensif, ia mempunyai predileksi pada lapisan superfisial
dari korteks serebral, terutama pada lobus parietal dan oksipital, dan jarang
tampak pada substansi putih atau kelabu dalam. Perdarahan spontan berganda
pada pasien tua normotensif lebih mungkin karena angiopati amiloid.
Perdarahan berulang tidak jarang pada kasus yang operatif maupun non-
operatif.
Page 11
Malformasi Vaskuler
Malformasi vaskuler intrakranial umumnya dibagi empat jenis kelainan patologis:
(1) malformasi arteria venosa (AVM),
(2) telangiektasia kapiler,
(3) malformasi kavernosa ('angioma'),
(4) malformasi venosa ('angioma').
AVM merupakan 6-13 % penyebab PIS spontan. Suatu kelainan kongenital yang
terjadi minggu keempat hingga kedelapan kehidupan embrio. Terdapat hubungan
persisten antara sistema arterial dan vena tanpa adanya bed kapiler. Nidus
pembuluh yang berkelok-kelok dicatu oleh arteri, membesar progresif sesuai
waktu karena volume yang beraliran kuat akibat tahanan perifer yang rendah dari
pintas arteria-venosa. Peninggian tekanan vena dan volume dengan aliran deras
menyebabkan pembesaran vena pencurah yang progresif. Terjadinya hambatan
aliran curah vena atau varises menambah risiko perdarahan. AVM terletak
terutama di hemisfer serebral (70-93 %) dan lebih sering mengenai cabang arteria
serebral media. Umumnya, risiko perdarahan subarakhnoid atau
intraparenkhimal dari AVM setelah didiagnosis sekitar 3-4 % pertahun. Risiko
perdarahan yang tampil dengan kejang atau tanpa kejang adalah serupa (3.9 dan
4.3 %). Tingkat perdarahan mungkin tinggi selama tahun pertama setelah
didiagnosis bahkan pada pasien tanpa riwayat perdarahan. Tak ada data konklusif
yang memperlihatkan bahwa AVM yang lebih kecil lebih sering berdarah
dibanding yang lebih besar.
Page 12
Telangiektasia kapiler adalah kapiler kecil, soliter, berdilatasi abnormal dengan
intervensi pada parenkhima otak. Predominan pada pons dan atap ventrikel
keempat. Hanya kadang-kadang berhubungan dengan perdarahan spontan.
Malformasi kavernosa adalah anomali vaskuler sinusoid yang berdilatasi tanpa
mengintervensi jaringan neural kecuali pada tepinya. Bervariasi dalam ukuran,
terkadang berganda, dan ditemukan terutama pada hemisfer serebral. Lesi
ini paling sering tampil dengan nyeri kepala, bangkitan, atau defisit neurologis
fokal. Walau MRI biasanya menunjukkan adanya perdarahan tersembunyi,
perdarahan yang nyata adalah jarang. Perkiraan risiko perdarahan yang nyata
secara klinis adalah 0.25-0.7 % per orang-tahun eksposur.
Malformasi venosa adalah koleksi vena yang tersusun radial dan dialirkan
kevena sentral. Terdapat intervensi parenkhima neural didalam malformasi vena.
Terletak biasanya dilobus frontal atau parietal atau substansi putih dalam dari
serebelum. Diagnosisnya insidental. Insidens perdarahan yang berhubungan
dengan lesi ini agak tinggi (17-22 %), pada pasien yang didiagnosis setelah
timbulnya komplikasi yang berat. Pada semua kasus yang radiologis
menunjukkan angioma venosa, perkiraan risiko perdarahan 0.22 % pertahun
(Garner, 1991). Temuan ini membenarkan pendekatan konservatif. Variks
venosa, jenis patologis yang berbeda dari malformasi vaskuler, dikira sebagai
varian malformasi venosa. Berisi vena tunggal yang berdilatasi yang tidak
berhubungan dengan pintas arteriovenosa. Perdarahan spontan dari variks
sangat jarang.
Tumor Otak
Page 13
Perdarahan spontan kedalam tumor otak kurang dari 1 % dari tumor otak,
sedang tumor yang bertanggung-jawab dijumpai pada 2-10 % pasien dengan PIS.
Jenis tumor yang paling sering berdarah adalah glioma malignan dan metastase,
tersering adalah melanoma, karsinoma sel renal, khoriokarsinoma, dan
karsinoma bronkhogenik. Kecenderungan tumor malignan untuk berdarah
dikira berhubungan dengan kecenderungannya untuk mengalami nekrosis
spontan akibat pertumbuhannya yang cepat dan vaskulatur yang kaya namun
mudah rusak. Tumor jinak jarang pecah spontan.
Antikoagulan
Sodium warfarin, antikoagulan oral, sering digunakan mencegah embolisme
venosa atau arterial. Sekitar 8 % pasien yang mendapat sodium warfarin akan
mengalami komplikasi perdarahan. Walau perdarahan intrakranial hanya 0.5-1.5
% dari semua komplikasi, namun biasanya mematikan. Pasien dengan
antikoagulan oral memiliki risiko perdarahan 11 kali lebih tinggi dibanding pasien
tanpa antikoagulan pada faktor risiko yang sama. Sekitar 80 % pasien dengan
antikoagulan yang mengalami PIS mempunyai waktu protrombin yang sangat
memanjang (lebih dari 16-18 dt). Walau ada yang menemukan bahwa
penambahan usia, infarksi serebral sebelumnya, hipertensi, dan penambahan
durasi terapi antikoagulan meninggikan risiko PIS, peneliti lain tidak
menemukan adanya hubungan. Cedera kepala tidak menunjukkan sebagai
etiologi yang bermakna dari PIS pada pasien ini. Lokasi tersering perdarahan
adalah ruang subdural, diikuti parenkhima otak dan kemudian perdarahan sub-
arakhnoid.
Kelainan Perdarahan Herediter
Page 14
Hemofilia dan kelainan von Willebrand merupakan 90 % dari defek perdarahan
herediter yang berat. Hemofilia adalah defisiensi faktor VIII (hemofilia A) atau
yang lebih jarang, faktor IX (hemofilia B), yang resesif X-link. Terdapat
pemanjangan waktu tromboplastin parsial. Tampilan klinis bervariasi berdasar
derajat faktor defisiensi yang didapat dari pemeriksaan pembekuan invitro.
Perdarahan intrakranial dapat terjadi spontan atau akibat cedera kepala tak
berarti.Penyakit von Willebrand adalah kelainan dominan autosom yang khas
dengan defisiensi aktifitas faktor VIII, waktu perdarahan yang memanjang,
aggregasi platelet ristosetin abnormal.. Tindakan berat seperti operasi tidak
merupakan risiko besar pada pasien dengan kelainan von Willebrand, tidak
seperti yang terjadi pada hemofilia. Perdarahan spontan jarang.
Trombositopenia
Trombositopenia (jumlah platelet kurang dari 80.000/mm3) adalah penyebab
tersering dari perdarahan abnormal karena produksi platelet yang menurun,
ataupun peninggian sekuestrasi atau destruksi yang bertambah. Penyebab
penurunan produksi platelet antaranya anemia aplastik, leukemia, keadaan gagal
sumsum tulang lain, dan setelah terapi khemoterapi sitotoksik. Penyebab
peninggian destruksi platelet antaranya trombositopenik purpura idiopatik
(autoimun), trombositopenia sekunder atau yang diinduksi obat-obatan, purpura
trombositopenia trombotik, sindroma uremik hemolitik, koagulasi intravaskuler
diseminata, dan vaskulitis. Secara umum, jumlah platelet lebih dari 50.000/mm3
tidak berkaitan dengan komplikasi perdarahan yang bermakna, dan
perdarahan spontan berat jarang dengan jumlah platelet lebih dari 20.000/mm3.
Walau jarang, PIS spontan bisa terjadi dan khas dengan onset yang tak jelas dari
nyeri kepala, diikuti perburukan tingkat kesadaran. Hematoma subdural lebih
jarang.
Page 15
Obat-obatan Simpatomimetik
Amfetamin, fenilpropanolamin, dan kokain adalah obat simpatomimetik yang
paling sering berhubungan dengan strok hemoragik. Penggunaan kokain yang
meningkat pada dekade terakhir ini paralel dengan peninggian kasus strok yang
berhubungan dengan kokain. Usia pasien strok yang berkait dengan kokain rata-
rata 32 tahun, paling sering pada usia duapuluhan. PIS terjadi pada 49 %
pasien, PSA pada 29 %, dan infarksi serebral pada 22 %. Ditemukan kelainan
pada 72 % pasien yang mendapatkan angiografi, seperti aneurisma, AVM,
vaskulitis, dan vasospasme, oklusi atau stenosis arterial. Ada juga yang
mempunyai anomali lebih dari satu. Dipostulasikan bahwa peninggian transien
tekanan darah setelah pemakaian obat ini mungkin bertanggungjawab atas
rupturnya pembuluh darah serebral, termasuk anurisma dan AVM intrakranial.
Sebagai tambahan, perdarahan akibat vaskulitis yang tampak pada angiografi
sebelumnya, menambah kemungkinan dari angiopati yang diinduksi obat-
obatan. Dalam hal ini, secara patologis, terdapat angitis nekrotizing yang
khas dengan degenerasi fibrinoid dan nekrosis dari media dan intima arteria
berukuran kecil dan sedang serta arteriola. Apakah perubahan disebabkan oleh
efek toksik langsung dari obat atau reaksi hipersensitifitas terhadap obat
belum jelas.
GAMBARAN KLINIS
PIS spontan khas dengan onset mendadak dan evolusi yang relatif cepat dari
gejala dalam hitungan menit, jam, dan terkadang hari. Perdarahan sekunder
terhadap terapi antikoagulan biasanya mempunyai perjalanan gejala yang lebih
lambat. Terjadi khas dengan tiadanya tanda-tanda peringatan; pasien umumnya
merasa sehat sebelum iktus. Saat datang, 72 % pasien dengan PIS dalam koma, 8%
dalam stupor, walau perdarahan lobar mempunyai insidens koma lebih
rendah. Diantara pasien yang non koma, 60 % adalah hemiplegik, 43 % kesulitan
Page 16
bicara, 13% dengan kelainan pupil, dan 16 % dengan bangkitan. Nyeri kepala
tampil hanya pada 33 % pasien pada onset gejala dan pada 60 % sebelum,
selama, atau setelah timbulnya defisit neurologis. Nyeri kepala berat atau
nyeri kepala yang memburuk progresif yang bersamaan dengan defisit neurologis
harus mewaspadakan kita akan kemungkinan PIS. Walau nyeri kepala biasanya
nonspesifik, Ropper dan Davis menemukan bahwa lokasi mungkin membantu
memperkirakan letak perdarahan lober. Muntah terjadi pada 51 % pasien.
Terjadi lebih sering pada onset PIS dibanding dengan infarksi. Tanda dan gejala
neurologis tergantung lokasi dan ukuran perdarahan. Sindroma klinis
berdasarkan pada perdarahan pada suatu lokasi anatomis tertentu telah
diketahui. Kebanyakan berkaitan dengan hipertensi.
Putamen
Perdarahan putaminal khas dengan onset progresif pada hampir duapertiga
pasien, dan kurang dari sepertiga mempunyai gejala mendadak dan hampir
maksimal saat onset. Nyeri kepala tampil saat onset gejala hanya pada 14 %
kasus dan pada setiap waktu hanya 28 %; semua pasien menunjukkan berbagai
bentuk defisit motori dan sekitar 65 % mengalami perubahan reaksi terhadap
pin- prick. Perdarahan putaminal kecil menyebabkan defisit
sedang motori dan sensori kontralateral. Perdarahan berukuran sedang
mula-mula mungkin tampil dengan hemi-plegia flaksid, defisit hemisensori, deviasi
konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim, dan disfasia bila
yang terkena hemisfer dominan. Progresi menjadi perdarahan masif berakibat
stupor dan lalu koma, variasi respirasi, pupil tak berreaksi yang berdilatasi,
hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons Babinski
bilateral.
Page 17
Talamus
Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan
talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih berat dari perdarahan
putaminal. Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila
kapsula internal tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori
kontralateral yang nyata yang mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh.
Perluasan perdarahan kesubtalamus dan batang otak berakibat gambaran
okuler klasik yaitu terbatasnya gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil
namun berreaksi baik atau lemah. Anisokoria, hilangnya kon- vergensi, pupil tak
berreaksi, deviasi serong, defisit lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga
tampak. Anosognosia yang berkaitan dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan
bicara yang berhubungan dengan lesi sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala
terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus dapat terjadi akibat penekanan jalur
CSS.
Pons
Perdarahan pontin paling umum menyebabkan kematian dari semua
perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil
pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf
kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor. Nyeri kepala, mual dan muntah
jarang.
Cerebelum
Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas oleh Fisher.
Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu bejalan
atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan neurologis
Page 18
terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus. Duapertiga dari
pasien dengan perdarahan serebeler spontan mengalami gangguan tingkat
kesadaran dan tetap responsif saat datang; hanya 14 % koma saat masuk. 50 %
menjadi koma dalam 24 jam, dan 75 % dalam seminggu sejak onset. Mual dan
muntah tampil pada 95 %, nyeri kepala (umumnya bioksipital) pada 73 %, dan
pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau berdiri pada 94 %.
Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi termasuk ataksia
langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler ipsi-lateral (65 %).
Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61 %), palsi gaze ipsilateral (54
%), nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30 %). Hemi-plegia dan hemiparesis
jarang, dan bila ada biasanya disebabkan oleh strok oklusif yang terjadi
sebelumnya atau bersamaan. Triad klinis ataksia apendikuler, palsi gaze ipsilateral,
dan palsi fasial perifer mengarahkan pada perdarahan serebeler. Perdarahan
serebeler garis tengah menimbulkan dilema diagnostik atas pemeriksaan
klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan tampil dengan
oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. Pada pasien koma,
diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena disfungsi batang otak
berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal yang lengkap,
53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial ipsilateral.
Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 % pasien.
Lober
Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis. Hipertensi
kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma saat datang.
Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata ipsilateral dan
hemianopsia yang jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan nyeri ringan
pada atau dekat bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan pengertian
pendengaran yang buruk namun repetisi relatif baik. Perdarahan frontal
Page 19
menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan muka dan
tungkai ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan nyeri
kepala temporal anterior ('temple') serta defisit hemisensori, terkadang
mengenaitubuh kegaris tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa
menit, namun tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut
membantu membedakan perdarahan lober dari strok jenis lain. Kebanyakan
AVM dan tumor memiliki lokasi lober.
Kortikal
Manifestasi klinis dari perdarahan kortikal spontan tergantung ukuran dan lokasi
perdarahan. Bila lesi ini terjadi pada pasien normotensif, demensia, tua, lebih
sering diakibatkan angiopati amiloid serebral. Perdarahan berganda atau
berulang memperkuat diagnosis. Walau dapat berlokasi lober, berbeda dengan
perdarahan lober, yang mana mereka terjadi dari korteks. Kadang-kadang
meluas kesubstansi putih dalam dan pecah keventrikel lateral atau
kesuperfisial keruang sub-arakhnoid atau subdural.
Intraventrikuler
Perdarahan intraventrikuler spontan tidak berkaitan dengan sindroma klinis
akut tertentu. Namun onset mendadak nyeri kepala berat dan kekakuan
nukhal mewaspadakan akan kemungkinan pecahnya aneurisma, yang terkadang
pecah kesistema ventrikuler. Sebagai tambahan, perburukan neurologis
progresif setelah onset gejala non fokal mengarahkan pada hidrosefalus
obstruktif akuta akibat darah intraventrikuler. Umumnya tanda dan gejala
perdarahan intra-ventrikuler berhubungan dengan etiologi perdarahan dan PIS
yang terjadi. Sekitar 78 % perdarahan ventrikuler bersamaan dengan
perdarahan subarakhnoid atau parenkhimal. Pada pasien dengan
Page 20
perdarahan hiper- tensif, 62 % pecah kesistema ventrikuler. Aneurisma atau
AVM intraventrikuler yang pecah harus sangat diduga bila tidak dijumpai
perdarahan parenkhimal yang menyertai.
2. Perdarahan Subarachnoid (PSA)
Penyebab tersering perdarahan ini adalah rupturnya aneurisma arterial yang
terletak di dasar otak dan perdarahan dari malformasi vaskuler yang terletak dekat
dengan permukaan piamater. Penyebab yang lain dapat berupa perdarahan
diatesis, trauma, angiopati amiloid dan penggunaan obat.
Sebelum pecah aneurysm biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala sampai
menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit, biasanya sebelum
pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian menghasilkan tanda
bahaya, seperti berikut di bawah ini :
Sakit kapala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat (kadangkala
disebut sakit kepala thunderclap).
Nyeri muka atau mata.
Penglihatan ganda.
Kehilangan penglihatan sekelilingnya.
Tanda bahaya bisa terjadi hitungan menit sampai mingguan sebelum pecah. Orang
harus melaporkan segala sakit kepala yang tidak biasa kepada dokter dengan
segera.
Pecahnya bisa terjadi karena hal yang tiba-tiba, sakit kepala hebat yang memuncak
dalam hitungan detik. Hal ini seringkali diikuti dengan kehilangan kesadaran yang
singkat. Hampir separuh orang yang terkena meninggal sebelum sampai di rumah
sakit. Beberapa orang tetap dalam koma atau tidak sadar. Yang lainnya tersadar,
Page 21
merasa pusing dan mengantuk. Mereka bisa merasa gelisah. Dalam hitungan jam
atau bahkan menit, orang bisa kembali menjadi mengantuk dan bingung. Mereka
bisa menjadi tidak bereaksi dan sulit untuk bangun. Dalam waktu 24 jam, darah
dan cairan cerebrospinal disekitar otak melukai lapisan pada jaringan yang
melindungi otak (meninges), menyebabkan leher kaku sama seperti sakit kepala
berkelanjutan, sering muntah, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah.
Frekwensi naik turun pada detak jantung dan bernafas seringkali terjadi,
kadangkala disertai kejang.
Sekitar 25% orang mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada
bagian spesifik pada otak, seperti berikut di bawah ini :
Kelelahan atau lumpuh pada salah satu bagian tubuh (paling sering terjadi).
Kehilangan perasa pada salah satu bagian tubuh.
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa (aphasia).
Gangguan hebat bisa terjadi dan menjadi permanen dalam hitungan menit atau
jam. Demam adalah hal yang biasa selama 5 sampai 10 hari pertama.
Page 22
b. Stroke Non Hemoragik
Stroke ini biasanya dapat berupa iskenik, trombosis dan emboli serebral, biasanya
terjadi pada saat setelah lama beraktivitas, baru bangun tidur atau dipagi hari.
Tidak terjadi askemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul
edema sekunder, kesadaran pasien umumnya baik.
2. Stroke menurut perjalanan penyakitnya
a. TIA (Transient Ischemic Attoks)
Merupakan gangguan neurologik fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang dalam beberapa detik sampai beberapan jam. Gejala hilang < 24 jam
b. RIND (Reversible Iskemic Neurologik Defisit)
Terjadi lebih lama dari TIA, gejala hilang < 24 jam tapi tidak lebih dari 1 minggu.
c. Progesif Stroke Inevaluation
Perkembangan stroke perlahan-lahan sampai akut munculnya gejala makin lama
semakin buruk proses pregresif berupa jam sampai beberapa hari.
d. Stroke Lengkap
Gangguan neurologi maksimum sejak saat serangan dan sedikit memperlihatkan
perbaikan didahului TIA yang berulang dan stroke inevaluatior. Bentuk kelainan
sudah menetap, gangguan neurologis sudah maksimal/berat sejak awal serangan.
3. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
Tipe karotis
Tipe vertebrobasiler
Page 23
Etiologi
1. Trombosis
Trombosis merupakan penyebab utama dari stroke, sering terjadi pada pembuluh
darah yang mengalami arterosktesosis. Terbentuknya trombosis biasanya
dipercabangan arteri dan umumnya pada permukaan antara arteri karetis internal
dan arteri vertebra atau antara arteri vertebra dan arteri basiler. Trombus sering
terjadi pada usia dan jantung asterosklerosis. Stroke karena trombosis akan lebih
berat bila didahului TIA.
2. Emboli Serebral
Emboli yang terjadi berupa bekuan darah, lemak, bakteri, tumor dan udara
sehingga menyebabkan sumbatan. Tempat disangkutnya/berhentinya embelus
umumnya di pembuluh darah kecil. Emboli berasal dari jantung kiri atau plaqe di
arteri karotis yang mengalami arterosklerosis. Daerah yang mengalami stroke
adalah daerah yang dialiri oleh arteri serebral medials.
3. Iskemia/TIA
Iskemia yang terjadi karena trombus atau ploqi arteresklerosis yang terlepas
sehingga menggangu aliran darah atau menyumbat. TIA merupakan keadaan awal
atau serangan sebelum stroke atau sering disebut anginaserebral stroke yang
terkena iskemia dapat terjadi 6 bulan setelah menderita TIA atau mengalami TIA
secara berulang.
4. Perdarahan Serebral
Berdasarkan serebral merupakan penyebab stroke yang paling total pembuluh
darah yang pecah menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak atau area
sekitarnya.
a. Perdarahan ekstradural (perdarahan epidural)
Terjadi karena fraktur tengkorak dan sobekan pada arteri serebral media
b. Perdarahan Subdural (antara durameter dan subarakhnoid)
Page 24
Pada dasarnya sama dengan perdarahan epidural, tapi pembuluh darah yang
pecah adalah vena, terjadi dalam periode yang lama sehingga terjadi
hematom menyebabkan di dalam otak meningkat.
c. Perdarahan Intraserebral
Terjadi karena pasien dengan hipertensi atau arterosklerosis serebral terjadi
juga karena perubahan degeneratif penyakit yang biasanya ruptur pembuluh
darah.
4. PENEGAKAN DIAGNOSIS STROKE
1. Anamnesa : Pokok manifestasi stroke adalah hemiparesis, hemiparestesia, afasia,
disartria dan hamianopia. Semantik memduduki tempat penting dalam anamnesa. Dalam
anamnesa kita harus dapat mengerti maksud kata-kata yang diucapkan pasien dalam
menggambarkan gejala yang dideritanya.
2. Diagnosa fisik : Pertama pemeriksaan ketangkasan gerak. Pada penderita stroke pasti
terjadi gangguan ketangkasan gerak. Namun, kita perlu membedakan dengan gangguan
ketangkasan akibat lesi pada serebelum. Pada penderita stoke gangguan ketangkasan gerak
akan disertai gangguan upper motoneuron yang berupa :
a. Tonus otot pada sisi yang lumpuh meninggi.
b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh.
c. Refleks patologik positif (misal refleks Babinski, Chaddocck dan Oppenheim pada sisi
yang lumpuh.
Jika lesi pada serebelum maka gangguan ketangkasan tidak disertai gangguan upper
motoneuron. Kedua diagnosa klinis stroke. Pada penderita stroke, terjadi kerusakan pada
beberapa atau salah satu arteri yang ada di otak. Kerusakan salah satu arteri akan
menimbulkan gejala yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijelaskan ada
patofisiologi stroke.
Page 25
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan Neuro-radiologik, antara lain :
CT Scan: sangat membantu diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan
terutama pada fase akut
MRI: pemeriksaan yang menggunakan kemampuan dari medan magnet
Angiografi cerebral: untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh
darah yang terganggu atau hasil CT Scan tidak jelas
Pemeriksaan Cerebrospinal: dapat membantu membedakan infark, perdarahan
otak, baik perdarahan intraserebral maupun perdarahan subarachnoid.
Perbedaan MRI dan CT scan
a. Mri dapat dipergunakan untuk melihat bagian tubuh dengan berbagai irisan.
b. Citra MRI dihasilkan berdasarkan interaksi inti atom dengan radiofrekuensi dalam
medan magnet. Sedangkan Ct berdasarkan atenuasi Sinar X.
c. MRI dipengaruhi oleh parameter seperti T1, T2, dan proton density serta medan
magnet, sedangkan CT dipengaruhi oleh densitas jaringan.
d. Mri tidak dapat menampakkan gambaran udara dan tulang dengan baik sementara CT
dapat
e. MRI menggunakan Medan magnet, CT-scan menggunakan radiasi X-ray.
Salah satu kelebihan tinjau MRI adalah, menurut pengetahuan pengobatan masa kini,
tidak berbahaya kepada orang yang sakit. Berbanding dengan CT scans "computed axial
tomography" yang menggunakan aksial tomografi berkomputer yang melibatkan dos
radiasi mengion, MRI hanya menggunakan medan magnet kuat dan radiasi tidak
mengion "non-ionizing" dalam jalur frekuensi radio. Bagaimanapun, perlu diketahui
bahwa orang sakit yang membawa benda asing logam (seperti serpihan peluru) atau
implant terbenam (seperti tulang Titanium buatan, atau pacemaker) tidak boleh
dipindai di dalam mesin MRI, disebabkan penggunaan medan megnet yang kuat. Satu
Page 26
lagi kelebihan scan MRI adalah kualitas gambar yang diperoleh biasanya mempunyai
resolusi lebih baik berbanding CT scan. Lebih-lebih lagi untuk scan otak dan tulang
belakang walaupun mesti dicatat bahwa CT scan kadangkala lebih berguna untuk cacat
tulang.
4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan yang menentukan faktor risiko : Hb, Ht, leukosit, eritrosit, LED
Komponen kimia darah, gas, elektrolit
Doppler, ECG.
5. Penatalaksanaan Cerbrovascular Disease
Penyakit serebrovaskular merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat dan
banyak negara lainnya termasuk Indonesia. Kemajuan yang di capai dalam bidang epidemiologi,
etiologi dan patogenesis dari penyakit serebrovaskular telah menghasilkan pendekatan baru
dalam diagnosa dan pengobatannya.
Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan penyakit serebrovaskular.
Obat–obatan ini dapat dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu obat–obatan anti trombotik yang
meliputi anti koagulan, anti platelet dan trombolitik; serta obat yang melindungi sel saraf (nerve
cell protectants) berupa calsium channel blockers seperti nimodipine dan beberapa zat yang
masih dalam tahap eksperimental.
TERAPI ANTI TROMBOTIK
Hemostasis merupakan proses penghentian pendarahan pada pembuluh darah yang
cedera. Secara garis besar proses pembekuan darah berjalan melalui 3 tahap, yaitu:
1. Aktifitas tromboplastin
2. Pembentukan trombin dari protrombin
Page 27
3. Pembentukan fibrin dari fibrinogen
Dalam proses ini di butuhkan faktor–faktor pembekuan darah, yang sampai saat ini
telah dikenal 15 faktor (kaskade pembekuan darah tercantum pada lampiran). Proses
pembekuan darah akan dihentikan oleh sistem anti koagulan dan fibrinolitik di dalam tubuh.
Faktor-faktor yang menghentikan proses pembekuan darah adalah :
1. Larutnya faktor pembekuan darah dalam darah yang mengalir.
2. Metabolisme bentuk aktif faktor pembekuan darah oleh hati .
3. Mekanisme umpan balik di mana trombin menghambat aktifitas faktor V dan VIII.
4. Adanya mekanisme anti koagulasi alami terutama oleh antitrombin III, protein C dan
S.
Penggunaan obat anti trombotik bertujuan mempengaruhi proses trombosis atau
mempengaruhi pembentukan bekuan darah (clot) intravaskular, yang melibatkan platelet dan
fibrin. Obat anti platelet bekerja mencegah perlekatan (adesi) platelet dengan dinding
pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya, yang merupakan langkah awal
terbentuknya trombus. Obat anti koagulan mencegah pembentukan fibrin yang merupakan
bahan esensial untuk pembentukan trombus. Obat trombolitik mempercepat degradasi fibrin
dan fibrinogen oleh plasmin sehingga membantu larutnya bekuan darah.
ANTI TROMBOSIT.
Anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan
pada sistem arteri. Beberapa obat yang termasuk golongan ini adalah aspirin, sulfinpirazon,
dipiridamol, dekstran, tiklopidin, prostasiklin ( PGI-2 ). Obat anti trombosit yang telah terbukti
efektifitasnya dalam pencegahan stroke adalah :
1. Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat).
Aspirin bekerja mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan
enzim cyclic endoperoxides. Aspirin juga menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn
trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit. Aspirin menginaktivasi enzim-
Page 28
enzim pada trombosit tersebut secara permanen. Penghambatan inilah yang mempakan cara
kerja aspirin dalam pencegahan stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack). Pada endotel
pembuluh darah, aspirin juga menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu
mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak.
Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa aspirin dapat menurunkan resiko
terjadinya stroke, infark jantung non fatal dan kematian akibat penyakit vaskular pada pria dan
wanita yang telah pernah mengalami TIA atau stroke sebelumnya.
Farmakokinetik :
Mula kerja : 20 menit -2 jam.
Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalarn plasma tidak berbanding lurus
dengan besamya dosis.
Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung
besar dosis yang diberikan.
Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH
lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.
Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan
didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada
plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.
Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta
konyugasi metabolitnya.
Farmakodinamik :
Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama
antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan absorbsinya.
Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.
lndikasi :
Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah menderita
iskemi otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita
Page 29
resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti
koagulan.
Kontra indikasi .
hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat,
riwayat gangguan pembekuan darah.
lnteraksi obat:
obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan, angiotensin -
converting enzymes.
Efek samping:
nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung.
Hati -hati
Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun
karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih sering
menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada trimester terakhir
kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau menimbulkan komplikasi
pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.
Dosis :
FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian.
Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih sedikit.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf merekomendasikan dosis 80-320 mg/hari untuk
pencegahan sekunder stroke iskemik.
2. Tiklopidin
Tiklopidin adalah inhibitor agregasi platelet yang bekerja menghalangi ikatan antara
platelet dengan fibrinogen yang diinduksi oleh ADP (Adenosin Di Pospat) secara irreversibel,
Page 30
serta menghalangi interaksi antara platelet yang mengikutinya. Proses ini menyebabkan
penghambatan pada agregasi platelet dan pelepasan isi granul platelet.
Penderita yang diberi Tiklopidin harus dimonitor jumlah netrofil dan trombositnya
setiap dua minggu selama 3 bulan pertama pengobatan. Netropeni berat dapat terjadi dalam
waktu 3 minggu sampai 3 bulan sejak pengobatan dimulai. Karena waktu paruhnya panjang,
maka penderita yang berhenti mendapat Tiklopidin dalam waktu 90 hari sejak dimulai harus
tetap dimonitor darah lengkap clan hitung jenis lekositnya. Kadang-kadang dapat terjadi
trombositopeni saja atau kombinasi dengan netropeni.
Tiklopidin adalah obat pilihan pertama untuk pencegahan stroke pada wanita yang
pemah mengalami TIA serta pada pria dan wanita yang pemah mengalami stroke non
kardioembolik. Walaupun Tiklopidin telah terbukti efektif pada pria yang pernah mengalami
TIA, tetapi obat ini merupakan pilihan kedua bila tidak ada intoleransi terhadap aspirin.
Farmakokinetik :
Mula kerja : diabsorbsi cepat.
Kadar puncak dalam plasma: 2 jam.
Waktu paruh : 4-5 hari.
Bioavailabilitas : > 80%.
Metabolisme : terutama di hati .
Ekskresi : 60% melalui urine daD 23% melalui feses
Farmakodinamik :
bioavailabilitas oral meningkat 20% hila diminum setelah makan ; pemberian
bersama makan dianjurkan untuk meningkatkan toleransi gastrointestinal.
98% terikat secara reversibel dengan protein plasma terutama albumin dan
lipoprotein.
Indikasi :
Page 31
Mengurangi resiko stroke trombotik pada penderita yang pemah mengalami prekursor
stroke atau pemah mengalami stroke merupakan pilihan bila terjadi intoleransi terhadap
aspirin.
Kontraindikasi :
Hipersensitivitas terhadap Tiklopidin, kelainan darah (misalnya netropeni,
trombositopeni), gangguan pembekuan darah, perdarahan patologis aktif (misalnya perdarahan
lambung, perdarahan intrakranial), gangguan fungsi hati berat.
Interaksi obat
aspirin, antasida, simetidin, digoksin, teofilin, fenobarbital, fenitoin, propanolol, heparin,
antikoagulan oral, obat tibrinolitik.
Efek samping :
Paling sering : diare, mual, dispepsia, rash, nyeri gastrointestinal, netropeni,
purpura, pruritus, dizziness, anoreksia, gangguan fungsi hati.
Kadang-kadang ecchymosis, epistaksis, hematuria, perdarahan konjunktiva,
perdarahan gastrointestinal, perdarahan perioperatif, perdarahan intraserebral,
urtikaria, sakit kepala, asthenia, nyeri, tinnitus.
Hati -hati
Pada usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Tidak
dianjurkan pada penderita gangguan fungsi hati berat. Penggunaan selama kehamilan hanya
bila sangat dibutuhkan. Bila diberi pada wanita menyusui harus dihentikan menyusuinya.
Dosis :
Dewasa dan orang tua : 2 x 250 mg/hari diminum bersama makanan. Tidak dianjurkan
untuk usia di bawah 18 tahun. Dosis yang direkomendasikan Perdossi adalah 250-500 mg/hari
pada penderita yang tidak tahan dengan aspirin.
Page 32
ANTI KOAGULAN
1. Warfarin
Warfarin adalah anti koagulan oral yang mempengaruhi sintesa vitamin K-yang berperan
dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati
dengan menghambat karboksilasi vitamin K dari protein prekursomya. Karena waktu paruh dari
masing-masing faktor pembekuan darah tersebut, maka hila terjadi deplesi faktor Vll waktu
protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti trombotik baru mencapai puncak setelah
terjadi deplesi keempat faktor tersebut. Jadi efek anti koagulan dari warfarin membutuhkan
waktu beberapa hari karena efeknya terhadap faktor pembekuan darah yang baru dibentuk
bukan terhadap faktor yang sudah ada disirkulasi.
Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap trombus yang sudah terbentuk,
tetapi dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin telah terbukti efektif untuk pencegahan
stroke kardioembolik. Karena meningkatnya resiko pendarahan, penderita yang diberi warfarin
harus dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.
Farmakokinetik :
Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian.
Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.
Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.
Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV.
Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.
Ekskresi: melalui urine clan feses.
Farmakodinamik :
Page 33
99% terikat pada protein plasma terutama albumin.
Absorbsinya berkurang hila ada makanan di saluran cerna.
Indikasi :
Untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan
fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya emboli
sistemik setelah infark miokard (FDA approved). Profilaksis TIA atau stroke berulang yang tidak
jelas berasal dari problem jantung.
Kontraindikasi .
Semua keadaan di mana resiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan yang
diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada kehamilan, kecenderungan perdarahan
atau blood dyscrasias dll.
Interaksi obat :
Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta
bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon,
sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol, omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin,
sefalosporin, anti inflamasi non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat,
karbamazepin dll.
Efek samping
Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria,
dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus.
Hati -hati :
Untuk usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati
bila digunakan pada orang tua. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati
Page 34
plasenta sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya. Dijumpai pada ASI
dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.
Dosis :
Dosis inisial dimulai ,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat
diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat
dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada
kasusnya. Secara umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya
emboli dan trombosis sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap
hari begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas
terapeutik. Setelah tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada
penilaian dokter dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4
minggu.
2. Heparin
Heparin adalah bahan alami yang diisolasi dari mukosa intestinum porcine atau dari
paru-paru sapi. Obat bekerja sebagai anti koagulan dengan mempotensiasi kerja anti trombin III
(AT-III) membentuk kompleks yang berafinitas lebih besar dari AT -III sendiri, terhadap
beberapa faktor pembekuan darah, termasuk trombin, faktor IIa, IXa, Xa, XIa,dan XIla. Oleh
karena itu heparin mempercepat inaktifasi faktor pembekuan darah. Heparin biasanya tidak
mempengaruhi waktu perdarahan. Waktu pembekuan memanjang bila diberikan heparin dosis
penuh, tetapi tidak terpengaruh bila diberikan heparin dosis rendah. Heparin dosis kecil dengan
AT-III menginaktifasi faktor XIIIa dan mencegah terbentuknya bekuan fibrin yang stabil.
Penggunaan hefarin dimonitor dengan memeriksa waktu tromboplastin parsial (aPTT) secara
berkala.
Penggunaan heparin untuk stroke akut masih diperdebatkan. Belum ada uji klinis yang
memberikan hasil yang konklusif. American Heart Association merekomendasikan "
penggunaan heparin tergantung pada preferensi dokter yang menanganinya. Harus dimengerti
Page 35
bahwa penggunaan heparin bisa tidak memperbaiki hasil akhir yang diperoleh pada penderita
stroke iskemik akut ".
Heparin dapat diberikan secara IV atau SK. Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena
sering terjadi perdarahan dan hematom yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan. aPTT
dimonitor ketat agar berkisar 1,5 kali nilai kontrol. Tujuan terapi adalah meminimalkan resiko
transformasi infark menjadi perdarahan dan memaksimalkan pengurangan resiko serangan
ulang. Penderita dengan infark luas (baik secara klinis maupun basil CT -scan kepala)
mempunyai resiko besar untuk mengalami transformasi tersebut, sehingga pemberian heparin
sebaiknya ditunda.
Farmakokinetik :
Mula kerja : segera pada pemberian IV, 20-60 menit setelah pemberian SK
Kadar puncak dalam plasma: 2 – 4 jam setelah pemberian SK
Waktu paruh : 30-180 menit.
Bioavailabilitas : karena tidak diabsorbsi di saluran cerna, harns diberikan secara
parenteral.
Metabolisme : terutama di hati dan sistem retikuloendotelial (SRE) ; bisa juga di
ginjal
Ekskresi : secara primer diekskresi oleh hati daD SRE.
Farmakodinamik : terikat pada protein plasma secara ekstensif
Indikasi :
Dosis rendah untuk pencegahan stroke atau komplikasi tromboembolik. Profilaksis
trombosis serebral pada evolving stroke (masih diteliti).
Kontraindikasi :
hipersensitif terhadap heparin, trombositopeni berat, perdarahan yang tidak terkontrol.
Interaksi obat :
Page 36
antikoagulan oral, aspirin, dextran, fenilbutazon, ibuprofen, indometasin, dipiridamol,
hidroksiklorokuin, digitalis, tetrasiklin, nikotin, anti histamin, nitrogliserin.
Efek samping :
perdarahan, iritasi lokal, eritema, nyeri ringan, hematom, ulserasi, menggigil, demam,
urtikaria, asma, rhinitis, lakrimasi, sakit kepala, mual, muntah,reaksi anafilaksis, trombositopeni,
infark miokard, emboli paru, stroke, priapismus, gatal dan rasa terbakar, nekrosis kulit, gangren
pada tungkai. Penggunaan 15.000 U atau lebih setiap hari selama lebih dari 6 bulan dapat
menyebabkan osteoporosis dan fraktur spontan.
Dosis :
dosis rendah dianjurkan untuk pencegahan stroke dan profilaksis evolving stroke. Pada
pemberian secara SK dimulai dengan 5000 U lalu 5000 U tiap 8-12 jam sampai 7 hari atau
sampai penderita sudah dapat dimobilisasi (mana yang lebih lama). Bila diberi IV, sebaiknya
didrips dalam larutan Dekstrose 5% atau NaCI fisiologis dengan dosis inisial 800 U/jam. Hindari
pemberian dengan bolus. Sesuaikan dosis berdasarkan basil aPTT (sekitar 1,5 kali nilai normal).
Pada anak dimulai dengan 50 U/kgBB IV bolus dengan dosis pemeliharaan sebesar 100
U/kgBB/4jam perdrips atau 20.000 U/m2/24 jam dengan infus.
OBAT TROMBOLITIK
Biasanya obat ini digunakan untuk infark jantung akut untuk melarutkan bekuan darah
yang terbentuk pada arteri koronaria. Walaupun riwayat adanya gangguan pembuluh darah
otak merupakan kontra indikasi penggunaannya, pada saat ini sedang berlangsung beberapa
penelitian mengenai penggunaannya pada stroke (misalnya tissue plasminogen activator,
streptokinase dan urokinase). Pemberiannya secara IV atau IA, dan harus segera diberikan
dalam waktu 90 menit sampai 6 jam setelah serangan. Saat ini penggunaanya masih dalam
taraf eksperimental.
Page 37
Streptokinase berasal dari Streptococcus C. hemolyticus .Ia menginaktifasi plasminogen
dengan cara tidak langsung yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan plasminogen untuk
membentuk kompleks aktifator. Selanjutnya kompleks tersebut mengkatalisis perubahan
plasminogen bebas menjadi plasmin. Waktu paruhnya bifasik. Fase cepat 11-13 menit dan fase
lambat 23 menit. Loading dose 250.000 IU per infus selama 30 menit diikuti dengan 100.000
IU/jam (biasanya selama 24-72 jam).
Urokinase diisolasi dari urin manusia .Urokinase bekerja langsung mengaktifkan
plasminogen. Seperti streptokinase obat ini tidak bekerja spesifik terhadap fibrin sehingga
menimbulkan lisis sistemik (fibrinogenolisis dan destruksi faktor pembekuan darah lainnya).
Waktu paruhnya sekitar 20 menit. Loading dose yang dianjurkan 1000-4.500 IU/kgBB IV
dilanjutkan dengan infus IV 4.400 IU/kgBB/jam.
NERVE-CELL PROTECTANTS
Akhir-akhir ini sedang dikembangkan sejumlah sediaan yang dikenal sebagai nerve-cell
protectants. Sediaan -sediaan ini diharapkan dapat bekerja melindungi, sel neuron dari
kematian bila mengalami iskemi, walaupun dengan efek farmakologis yang berbeda-beda.
Beberapa sediaan seperti calcium channel blockers, N-methyl-D-aspartate (NMDA) antagonists,
free radical scavengers dan membrane stabilizers telah dicoba pada infark serebri akut. Sejauh
ini hanya nimodipin yang memperoleh rekomendasi dari FDA untuk profilaksis atau terapi
stroke akut karena terbukti menurunkan morbiditas dari perdarahan sub arakhnoid akut (PSA).
Nimodipin
Sebagai calcium channel blockers kerjanya sama seperti calcium channel blockers yang
lain. Nimodipin mempunyai efek yang lebih besar pada arteri serebral daripada arteri lainnya,
mungkin karena sifat lipofiliknya yang kuat. Mekanisme kerjanya mengurangi defisit neurologis
setelah PSA (perdarahan sub arachnoid) belum diketahui. Penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa untuk PSA nimodipin terbukti mengurangi neurologic ischemic deficits bila
diberikan sebelum 96 jam mulai serangan dan dilanjutkan selama 21. hari dengan dosis 60
mg/4 jam. Sedangkan untuk stroke iskemik akut nimodipin tidak memberikan basil yang baik.
Page 38
Farmakokinetik :
Kadar puncak dalam plasma: dalam 1 jam setelah pemberian.
Waktu paruh : 8-9 jam.
Bioavailabilitas: diabsorbsi dengan cepat, tetapi karena langsung dimetabolisme
di hati maka bioavailibilitas(BA) rata-ratanya hanya 13%.
Metabolisme : di hati (first-pass metabolism).
Ekskresi : melalui urine dalam bentuk metabolit, hanya < 1 % dalam bentuk aktif.
Farmakodinamik :
Pemberian bersama makanan menurunkan kadar plasma dan BA bila
dibandingkan dengan pemberian saat lambung kosong.
Lebih dari 95% terikat pada protein plasma.
Pada gangguan fungsi hati metabolismenya berkurang ; pada sirosis hati, BA nya
meningkat.
lndikasi :
Perbaikan hasil secara neurologis dengan mengurangi insidens dan beratnya kerusakan
pada penderita dengan PSA akibat pecahnya aneurisma kongenital yang berada dalam kondisi
neurologis yang baik setelah serangan.
Interaksi obat : dengan calcium channel blockers yang lain.
Efek samping :
Sering : penurunan tekanan darah, gangguan fungsi hati, edema, diare, rash, sakit
kepala, keluhan saluran cerna, mual, dispnoe, kelainan EKG, takikardi, bradikardi, nyeri/kram
otot, depresi.
Kadang-kadang : hepatitis, gatal, perdarahan lambung, trombositopeni, anemi, palpitasi,
muntah, wheezing, dizziness, rebound vasospasm, hipertensi, light-headedness, jaundice.
Page 39
Dosis :
60 mg/4 jam per oral selama 21 hari, sebaiknya 1 jam sebelum atau 2 jam setelah
makan. Pemberian pertama harus dimulai sebelum 96 jam terjadi serangan. Penderita dengan
sirosis hati harus diturunkan dosisnya menjadi 30 mg/4 jam dan dimonitor tekanan darah dan
nadinya secara ketat.
Dalam tatalaksana stroke waktu merupakan hal yang sangat penting mengingat jendela
terapinya hanya berkisar antara 3 sampai 6 jam. Tindakan di gawat darurat untuk stroke akut
sebaiknya ditekankan pada hal-hal berikut:
1. Stabilisasi pasien
2. Pemeriksaan darah, EKG dan rontgen toraks
3. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI sesegera mungkin
Pendekatan yang dilakukan di gawat darurat sebaiknya singkat dan terfokus pada hal-
hal berikut:
1. Apa saja gejala yang muncul?
2. Kapan gejala tersebut muncul?
3. Bagamana tanda vital pasien?
4. Apakah pasien mempunyai riwayat hipertensi, diabetes melitus atau penyakit
jantung?
5. Apakah pasien memakai aspirin atau warfarin?
Tindakan yang harus segera dilakukan di gawat darurat :
1. Pemasangan jalur intravena dengan cairan normal salin 0,9% dengan
kecepatan 20 ml/jam. Cairan hipotonis seperti dekstrosa 5% sebaiknya tidak
digunakan karena dapat memperhebat edema serebri.
2. Pemberian oksigen melalui nasal kanul.
Page 40
3. Jangan memberikan apapun melalui mulut.
4. Pemeriksaan EKG
5. Pemeriksaan rontgen toraks.
6. Pemeriksaan darah:
Darah perifer lengkap dan hitung trombosit
Kimia darah (glukosa, ureum, kreatinin dan elektrolit)
PT (Prothrombin Time)/PTT (Partial Thromboplastin time)
7. Jika ada indikasi lakukan pemeriksaan berikut:
Kadar alkohol
Fungsi hepar
Analisa gas darah
Skrining toksikologi
8. Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras
9. Pasien dengan kesadaran yang sangat menurun (stupor/koma) ataupun
dengan gagal nafas perlu dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan intubasi
sebelum CT Scan.
Hal yang harus selalu diingat adalah komplikasi tersering yang dapat menyebabkan
kematian. Herniasi transtentorial dapat terjadi pada infark yang luas ataupun perdarahan luas
dengan perluasan ke ventrikel atau perdarahan subarakhnoid. Pneumonia aspirasi juga
penyebab kematian yang cukup sering pada stroke akut. Semua pasien stroke akut harus
diperlakukan sebagai pasien dengan disfagia sampai terbukti tidak. Komplikasi lainnya adalah
infark miokard akut, sekitar 3% penderita stroke iskemik mengalami komplikasi ini.
1. Infark (80%)
a. Emboli
a) Emboli kardiogenik
Fibrilasi atrium atau aritmia lainnya
Trombus mural ventrikel kiri
Penyakit katup mitral atau aorta
Page 41
Endokardditis (infeksi atau non infeksi
b) Emboli paradoksal (foramen ovale paten)
c) Emboli arkus aorta
b. Aterotrombotik
a) Ekstrakranial
Karotis interna
Arteri vertebralis
b) Intrakranial
Ateri karotis interna
Arteri serebri media
Arteri basilaris
c. Lakunar (oklusi arteri perforans kecil)
2. Perdarahan intraserebral (15%)
a. Hipertensi
b. Malformasi artei-vena
c. Angiopati amilod
3. Perdarahan subarakhnoid (5%)
4. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)
a. Trombosis sinus dura
b. Diseksi arteri karotis atau vertebralis
c. Vaskulitis sistim saraf pusat
d. Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
e. Migren
f. Kondisi hiperkoagulasi
g. Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)
h. Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
Page 42
i. Miksoma atrium
Penatalaksanaan stroke iskemik
Konsep tentang area penumbra merupakan dasar dalam penatalaksanaan stroke
iskemik. Jika suatu arteri mengalami oklusi, maka bagian otak yang mengalami infark akan
dikelilingi oleh area penumbra. Aliran darah ke area ini berkurang sehingga fungsinya pun akan
terganggu, akan tetapi kerusakan yang terjadi tidak seberat area infark dan masih bersifat
reversibel. Jika aliran darah ke area ini cukup adekuat selama masa kritis, maka area ini dapat
diselamatkan. Pada studi eksperimental, didapatkan aliran darah ke otak yang rendah hanya
dapat ditolerir selama periode waktu yang singkat. Sedangkan aliran darah ke otak yang
cenderung tinggi masih dapat ditolerir selama beberapa jam tanpa menyebabkan infark.
I. Terapi umum dan komplikasi akut
Oksigenasi
Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut stroke iskemik untuk
mencegah hipoksia dan perburukan neurologis. Penyebab tersering gangguan oksigenasi
diantaranya obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi, pneumonia aspirasi ataupun atelektasis.
Pasien dengan kesadaran menurun dan stroke batang otak beresiko mengalami gangguan
oksigenasi. Tindakan intubasi harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas. Secara
umum, pasien yang memerlukan tindakan intubasi mempunyai prognosis yang buruk, kurang
lebih 50% nya meninggal dalam 30 hari.
Monitoring dengan oksimetri sebaiknya dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%.
Suplementasi oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil analisa gas
darah atau oksimetri.
Indikasi pemasangan pipa endotrakeal:
• PO2 <50-60 mmHg
• PCO2 >50-60 mmHg
• Kapasitas vital < 500-800 Ml
• Resiko aspirasi pada pasien yang kehilangan refleks proteksi jalan nafas
Page 43
• Takipneu >35 kali/menit
• Dyspneu dengan kontraksi muskulus asesorius
• Asidosis respiratorik berat
Indikasi trakeostomi:
• Koma dengan pemakaian ventilator lebih dari 14 hari
• Proteksi bronkial/bronkial cleansing
• Gangguan menelan dengan resiko aspirasi
• Obstruksi laring
• Pemakaian ETT lama
Hipertensi pada stroke iskemik akut
Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut bahkan pasien yang
sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami peningkatan tekanan darah
yang sifatnya transient. Pada 24 jam pertama fase akut stroke, lebih dari 60% pasien datang
dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan lebih dari 28% memiliki tekanan darah diastolik
> 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah pada stroke iskemik merupakan respon otak yang
bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak sehingga aliran darah ke area penumbra
pun akan meningkat. Diharapkan dengan respon tersebut kerusakan di area penumbra tidak
bertambah berat. Akibatnya, penurunan tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik
akut dapat memperluas infark dan perburukan neurologis. Tetapi tekanan darah yang terlalu
tinggi, dapat menimbulkan infark hemoragik dan memperhebat edema serebri.
Monitoring tekanan darah
1. Pengukuran TD dilakukan pada kedua lengan
2. Pastikan perbedaan TD antara kedua lengan tidak lebih dari 10 mmHg, jika
terdapat perbedaan > 10 mmHg maka TD yang dipakai adalah yang lebih tinggi
3. Gunakan lengan yang paresis
4. Lengan harus setinggi jantung
5. Manset yang digunakan harus sesuai dengan besar lengan
Page 44
6. Frekuensi pengukuran TD:
Dua jam pertama setiap 15 menit
Dua sampai delapan jam berikutnya setiap 30 menit
Sembilan sampai 24 jam selanjutnya setiap 1 jam
AHA/ASA merekomendasikan penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik akut
sebagai berikut:
A. Pasien yang tidak akan diberikan terapi trombolisis
TD sistolik < 220 atau diastolik < 120 Observasi kecuali jika ditemukan
kegawatdaruratan hipertensi non neurologis seperti infark miokard akut, edema paru
kardiogenik, ensefalopati hipertensi, retinopati hipertensi, diseksi aorta).
Berikan terapi simptomatis (sakit kepala, nausea, muntah, agitasi, nyeri).
Atasi komplikasi stroke lainnya seperti hipoksia, peningkatan tekanan intrakranial, kejang, hipo
ataupun hiperglikemi.
TD sistolik < 220 atau diastolik 121-140 Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit (maksimal 300 mg) atau
Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial), dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5 mg/jam
setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.
Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya. TD diastolik > 140 Nitroprusid
0,5ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dengan monitoring TD kontinyu.
Penurunan TD 10-20% dari TD sebelumnya
B. Pasien kandidat terapi trombolisis
Praterapi, sistolis > 185 atau diastolik >110 Labetolol 10-20 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang satu kali atau nitropasta 1-2 inchi
Selama/setelah terapi.
Page 45
1. Monitor TD Periksa TD setiap 15 menit selama 2 jam setelah mulai terapi lalu setiap
30 menit selama 6 jam, selanjutnya tiap 60 menit sampai 24 jam.
2. Diastolik > 140 Sodium Nitroprusid 0,5 ug/KgBB/menit IV infus (dosis inisial) dititrasi
sampai TD yang diinginkan.
3. Sistolik > 230 atau diastolik 121-140 Labetolol 10ug IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial
lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit.
Atau
Nicardipin 5 mg/jam IV infus (dosis inisial) dititrasi sampai efek yang diinginkan 2,5
mg/jam setiap 5 menit sampai maksimal 15 mg/jam.
4. Sistolik 180-230 atau diastolik 105-120 Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit.
Dapat diulang setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau berikan dosis inisial
lalu lanjutkan dengan drip 2-8 mg/menit.
Selain terapi seperti diatas, obat anti hipertensi oral yang dapat digunakan adalah
captopril atau nicardipin. Pemakaian nifedipin sublingual sebaiknya dihindari karena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis.
Hiperglikemia
Broderick et al, Weir CJ et al, Kawai N et al membuktikan bahwa hiperglikemi reaktif maupun
non reaktif selama iskemia otak akut menimbulkan efek yang berbahaya dan keluaran klinis
yang lebih buruk terutama pada stroke non lakuner.
Konsentrasi glukosa yang meningkat di area iskemik akan meningkatkan konsentasi
laktat dan menyebabkan asidosis. Hal ini akan meningkatkan pembentukan radikal bebas
oksigen yang akan merusak neuron-neuron. Hiperglikemia juga memperparah edema,
meningkatkan pelepasan neurotransmiter excitatory amino acid dan melemahnya pembuluh
darah di area iskemik.
Batas kadar gula darah yang dianggap masih aman pada fase akut stroke iskemik non lakunar
adalah 100-200 mg% (Hack W, et al, 1997).
Indikasi dan syarat pemberian insulin
Page 46
1. Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM
2. Bukan lakunar stroke dengan diabetes melitus.
Kontrol gula darah selama fase akut stroke:
1. Insulin reguler diberikan subkutan setiap 6 jam dengan cara skala luncur atau infus
intravena terus menerus.
Insulin reguler dengan skala luncur
Gula darah (mg/dL) Insulin tiap 6 jam SC/ sebelum makan
< 80 Tidak diberikan insulin
80-150 Tidak diberikan insulin
150-200 2 unit
201-250 4 unit
251-300 6 unit
301-350 8 unit
351-400 10 unit
>400 12 unit
Bila kadar gula darah sulit dikendalikan dengan skala luncur, diperlukan infus kontinyu
dengan dosis dimulai 1 unit/jam dan dapat dinaikkan sampai 10 unit/jam. Kadar gula darah
harus dimonitor dengan ketat setiap 1-2 jam sehingga kecepatan infus dapat disesuaikan.
Hiperglikemia yang hebat >500 mg/dL, diberikan bolus pertama 5-10 unit insulin reguler tiap
jam. Setelah kadar gula darah stabil dengan infus kontinyu atau skala luncur dilanjutkan dengan
pemberian insulin reguler subkutan (fixdosed).
Demam
Peningkatan suhu tubuh pada stroke iskemik akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologik. Hal ini diduga karena peningkatan kebutuhan metabolik, meningkatnya pelepasan
neurotransmiter dan radikal bebas. Antipeiretik dan selimut dingin dapat digunakan untuk
mengatasi demam. Pada pasien stroke peningkatan suhu dapat disebabkan oleh efek sentral
akan tetapi hal ini lebih sering disebabkan karena infeksi sekunder. Oleh karenya, mencari
Page 47
penyebab demam adalah hal yang penting dan antibiotik harus segera diberikan jika memang
diperlukan.
II. Terapi stroke iskemik akut
Trombolisis rt-PA intravena
Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke iskemik akut satu-satunya
yang disetujui oleh FDA sejak tahun 1996 karena terbukti efektif membatasi kerusakan otak
akibat stroke iskemik. Terapi ini meningkatkan keluaran stroke pada kelompok penderita yang
telah diseleksi ketat dan terapi diberikan dalam waktu 3 jam sejak onset stroke. Komplikasi
terapi ini adalah perdarahan intraserebral (hanya ditemukan pada 6,4% pasien bila
menggunakan protokol NINDS secara ketat).
Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan trombolisis rt-PA intravena.
Kriteria inklusi:
1. Stroke iskemik akut dengan onset tidak lebih dari 3 jam.
2. Usia >18 tahun
3. Defisit neurologik yang jelas
4. Pemeriksaan CT Scan, tidak ditemukan perdarahan intracranial
5. Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut dan mengerti resiko dan
keuntungannya
Kriteria eksklusi:
1. Defisit neurologis yang cepat membaik
2. defisit neurologik ringan dan tunggal seperti ataksia atau gangguan sensorik saja,
disartria saja atau kelemahan minimal
3. CT Scan menunjukkan perdarahan intracranial
4. Gambaran hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri pada CT Scan
Page 48
5. Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan
subarachnoid
6. Kejang pada saat onset stroke
7. Riwayat stroke sebelumnya atau trauma kapitis dalam waktu 3 bulan sebelumnya
8. Operasi besar dalam waktu 14 hari
9. Pungsi lumbal dalam 1 minggu
10. Perdarahan saluran cerna atau urin dalam 21 hari
11. Infark miokard akut dalam 3 bulan
12. TD sistolik sebelum terapi > 185 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg
13. Gula darah < 50 mg/dL atau > 400 mg/dL
14. Penggunaan obat antikoagulan oral atau waktu protrombin > 15 detik, INR > 1,7
15. Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial
memanjang
16. Trombosit < 100.000/mm
Pemberian trombolisi rt-PA intravena:
1. Infus 0,9 mg/kgBB (maksimum 90 mg), 10% dari dosis diberikan bolus pada menit
pertama, 90% sisanya infus kontinyu selama 60 menit.
2. Pemantauan dilakukan di ICU atau unit stroke.
3. Lakukan analisa neurologik setiap 15 menit selama infus rt-PA dan setiap 30 menit
dalam 6 jam, selanjutnya setiap jam sampai 24 jam pertama
4. Jika timbul sakit kepala hebat, hipertensi akut, nausea atau vomiting, hentikan infus
dan segera lakuan pemeriksaan CT Scan.
5. Ukur TD setiap 15 menit dalam 2 jam pertama, tiap 30 menit dalam 6 jam
berikutnya, tiap 60 menit sampai 24 jam pertama.
6. Lakukan pengukuran TD lebih sering jika TD sistolik > 180 mmHg atau diastolik > 105
mmHg.
7. Jika TD sistolik 180-230 mmHg atau diastolik 105-120 mmHg pada 2 atau lebih
pembacaan selang 5-10 menit, berikan Labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit. Dosis
Page 49
dapat diulangi atau digandakan tiap 10-20 menit sampai dosis total 300 mg atau
berikan bolus pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Pantau TD tiap 15 menit
dan perhatikan timbulnya hipotensi.
8. Jika TD sistolik > 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg pada 2 atau lebih
pembacaan selang 5-10 menit, berikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit. Dosis
dapat diulangi atau digandakan tiap 10 menit sampai dosis total 300 mg atau
berikan bolus pertama diikuti labetolol drip 2-8 mg/menit. Jika TD tidak terkontrol
dapat dipertimbangkan infus sodium nitroprusid.
9. Bila TD diastolik > 140 mmHg pada 2 atau lebih pembacaan selang 5-10 menit, infus
sodium nitroprusid 0,5 ug/kgBB/menit.
10. Tunda pemasangan NGT dan kateter.
11. jangan lakukan pungsi arteri, prosedur invasif atau suntikan IM selama 24 jam
pertama.
Terapi perdarahan pasca trombolisis rt-PA intravena
1. Hentikan infus trombolitik
2. Lakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, fibrinogen, masa protrombin/INR,
masa tromboplastin parsial dan trombosit.
3. Siapkan tranfusi darah (PRC), FFP, kriopresipitat atau trombosit atau darah segar bila
perlu.
4. Berikan FFP 2 unit setiap 6 jam selama 24 jam.
5. Berikan kriopresipitat 5 unit. Jika fibrinogen < 200 mg% ulangi pemberian
kriopresipitat.
6. Berikan trombosit 4 unit.
7. Lakukan CT Scan otak segera.
8. Konsul bedah saraf jika perlu tindakan dekompresi.
Antikoagulan dan antiplatelet
Joint Guideline Statement from the AHA and th AAN merekomendasikan:
Page 50
1. Aspirin 160-325 mg/hari harus diberikan pada pasien stroke iskemik dalam 48 jam
setelah onset untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas (pada pasien yang tidak
diterapi dengan trombolisi rt-PA intravena).
2. Subkutan unfractionated heparin, low molecular weight heparin dan heparinoid
dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksis pada pasien dengan resiko DVT
(deep vein thrombosis). Efektifitasnya dalam mencegah edema pulmonal belum
terbukti, sehingga perlu dipertimbangakan resiko perdarahan yang dapat
ditimbulkan.
3. Pemakaian subkutan unfractionated heparin untuk menurunkan resiko kematian,
morbiditas dan kekambuhan tidak direkomendasikan.
4. Unfractionated heparin dengan dosis yang disesuaikan juga tidak direkomendasikan
untuk menurunkan morbiditas, mortalitas dan kekambuhan pada pasien dengan
stroke akut (48 jam pertama) karena bukti-bukti menunjukkan terapi ini tidak efektif
dan meningkatkan resiko perdarahan. LMWH/ heparinoid dosis tinggi juga tidak
direkomendasikan.
5. IV unfractionated heparin, LMWH/heparinoid dosis tinggi tidak direkomendasikan
pada pasien stroke iskemik akut dengan kardioemboli, aterosklerotik pembuluh
darah besar, vertebrobasiler ataupun progresing stroke karena data-data yang
mendukung dianggap masih kurang.
Neuroprotektan
Sampai saat ini penggunaan neuroprotektan masih kontroversial.
III. Perawatan rumah sakit dan terapi komplikasi neurologic
Sekitar 25% pasien stroke fase akut akan mengalami perburukan dalam 24-24 jam
setelah onset. Meskipun demikian sulit untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami
perburukan. Oleh karena itu pasien stroke pada fase akut dianjurkan untuk dirawat di rumah
sakit.
Tujuan perawatan rumah sakit adalah:
1. Pemantauan pasien untuk persiapan tindakan/terapi selanjutnya
Page 51
2. Pemberian terapi medikamentosa maupun pembedahan untuk meningkatkan
keluaran
3. Mencegah komplikasi subakut
4. Pengobatan terhadap penyakit sebelumnya atau faktor resiko yang ada
5. Merencanakan terapi jangka panjang untuk mencegah stroke berulang
6. Memulai program neuro-restorasi
Perawatan umum
Pemantauan tanda vital dan status neurologik harus sering dilakukan dalam 24 jam
setelah pasien masuk rumah sakit. Umumnya pasien yang dirawat dianjurkan untuk tirah
baring, akan tetapi mobilisasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin jika kondisi pasien sudah
dianggap stabil. Mobilisasi yang segera dapat mencegah komplikasi pneumonia, DVT, emboli
paru dan dekubitus. Latihan gerakan pasif dan full range of motion pada sisi yang paresis dapat
dimulai dalam 24 jam pertama. Miring kanan-miring kiri, pemakaian pressure mattresses serta
perawatan kulit dapat mencegah timbulnya dekubitus.
Nutrisi
Nutrisi yang adekuat diperlukan selama perawatan stroke, karena kondisi malnutrisi
dapat menghambat proses penyembuhan.
Kebutuhan kalori dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict:
BEE (pria)= 66,47 + 13,75 x BB + 5,0 X TB – 6,76 x umur [kcal/hari]
BEE (wanita)= 655,1 + 9,56 x BB +1,85 X TB – 4,68 x umur [kcal/hari]
Faktor stress (dikalikan dengan BEE untuk memperkirakan kebutuhan kalori)
Sakit berat F= 1,25
Pneumonia F= 1,5
Infark luas F= 1,75
Demam F= 1,13/1oC
*BEE = Basal Energy Expenditure, Umur dalam tahun
Kebutuhan protein lebih tinggi dari orang normal (1,2-1,5 g/kgBB), normal 0,8 g/ kgBB.
Page 52
Disfagia cukup sering dijumpai pada pasien stroke oleh karenanya semua pasien stroke
harus diperlakukan sebagai pasien dengan gangguan menelan sampai terbukti tidak. Skrining
test yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan disfagia adalah dengan tes menelan. Test ini
dilakukan pada pasien tanpa penurunan kesadaran. Pasien diminta untuk menelan satu sendok
teh air putih dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi ke dapan sampai dagu menyentuh
dada. Perhatikan apakah pasien tersedak, batuk atau muncul perubahan suara. Jika tidak ada
tanda-tanda aspirasi dapat dicoba untuk minum air dalam jumlah yang lebih besar langsung
dari gelas. Pasien dengan kesadaran meurun atau tes menelan negatif sebaiknya dipasang pipa
nasogastrik.
Infeksi
Pneumonia merupakan penyebab kematian yang cukup sering pada pasien stroke.
Biasanya terjadi pada pasien dengan imobilisasi atau dengan kemampuan batuk yang menurun.
Pneumonia harus dipikirkan jika timbul demam setelah serangan stroke dan antibiotik yang
sesuai harus diberikan.
Infeksi saluran kemih juga cukup sering terjadi pada pasien stroke dan dapat
menyebabkan sepsis pada sekitar 5% pasien. Kateter urin menetap sebaiknya hanya dipakai
dengan pertimbangan khusus (kesadaran menurun, demensia, afasia global). Pada pasien yang
sadar dengan gangguan berkemih, kateterisasi intermiten secara steril setiap 6 jam lebih disukai
untuk mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu dan gangguan sfingter vesika.
Latihan vesika harus dilakukan sedini mungkin bila pasien sudah sadar.
Trombosis vena
Faktor resiko terjadinya DVT antara lain:
1. Usia tua
2. Imobilisasi
3. Paresis ekstremitas bawah
4. Paresis yang berat
5. Fibrilasi atrium
Page 53
Antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah DVT dan emboli paru pada pasien stroke.
Beberapa penelitian menunjukkan efektifitas unfractinated heparin, enoxaprine dan danaparin
dalam menurunkan kejadian emboli paru.
Pasien dengan imobilisasi lama yang tidak dalam pengobatan heparin IV dapat diberikan
heparin 5000 unit setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan trombus.
Pilihan lain LMWH (enoxaparine atau nadroparine) 2 kali 30 mg subkutan.
IV. Terapi komplikasi neurologik akut
Komplikasi penting neurologik akut pada pasien stroke adalah:
1. Edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat
menyebabkan herniasi atau kompresi batang otak.
2. Kejang
3. Transformasi hemoragik.
Edema serebri dan peningkatan tekanan intracranial
Tujuan penatalaksanaan edema serebri:
1. Menurunkan tekanan intracranial
2. Mempertahankan perfusi serebral yang adekuat untuk mencegah bertambahnya lesi
iskemik
3. Mencegah kerusakan otak akibat proses herniasi
4. Terapi peningkatan tekanan intrakranial terdiri atas:
• Terapi medikamentosa/konservatif
• Terapi pembedahan
5. Terapi konservatif
1. Hiperventilasi
Penurunan pCO2 5-10 mmHg akan menurunan tekanan intrakranial 25-30%.
Hiperventilasi menyebabkan kadar CO2 menurun sehingga terjadi vasokonstriksi
dan menurunkan volume darah otak dan tekanan intrakranial. PCO2 sebaiknya
dipertahankan 25-30 mmHg. Efek hiperventilasi tidak bertahan lama maka
Page 54
diperlukan intervensi tambahan lain untuk mengontrol peningkatan tekanan
intrakranial.
2. Osmoterapi
Diuretik osmotik menurunkan tekanan intrakranial dengan menaikkan
osmolalitas serum sehingga cairan akan ditarik keluar dari sel otak.
Manitol dapat digunakan dengan dosis 0,25-0,5 g/kgBB IV selama 20 menit, tiap
6 jam. Tidak dianjurkan menggunakan manitol untuk jangka panjang. Manitol
diberikan bila osmolalitas serum tidak lebih dari 310 mOsm/ l. Furosemid 40 mg
IV/hari dapat memperpanjang efek osmotik serum manitol.
Beberapa studi menunjukkan kortikosteroid tidak bermanfaat dalam
menurunkan tekanan intrakranial pada pasien stroke.
3. Barbiturat intravena
Barbiturat dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan CMRO2
(cerebral metabolism rate of oxygen), menyebabkan vasokonstriksi dan
menghambat radikal bebas/ Dosis yang digunakan, inisial 10 mg/kgBB
pentobarbital selama 30 menit, rumatan 3-5 mg/kgBB/jam. Pemakaian
barbiturat sangat terbatas mengingat efek sampingnya berupa hipotensi, depresi
cardiac, hepatotoksik dan predisposisi infeksi. Schwab, 1997, melaporkan
barbiturat tidak memperbaiki keluaran peningkatan tekanan intrakranial.
Terapi pembedahan
Jika terapi medikamentosa gagal menurunkan tekanan intrakranial tindakan dekompresi
dapat dipertimbangkan.
Ventrikulostomi dapat dilakukan pada pasien dengan hidrosefalus obstruksi yang
disertai dengan penurunan kesadaran.
Kejang
Kejang biasanya muncul dalam 24 jam pertama pasca stroke dan biasanya parsial
dengan atau tanpa berkembang menjadi umum. Kejang berulang terjadi pada 20-80% kasus.
Penggunaan antikonvulsan sebagai profilaksis kejang pada pasien stroke tidak terbukti
Page 55
bermanfaat. Terapi kejang pada pasien stroke sama dengan penanganan kejang pada
umumnya.
Transformasi perdarahan
Beberapa penelitian menduga pada hampir semua kejadian infark selalu disertai
komponen perdarahan berupa petekie. Dengan menggunakan CT Scan 5% dari kejadian infark
dapat berkembang menjadi transformasi perdarahan. Lokasi, ukuran dan etiologi stroke dapat
mempengaruhi terjadinya komplikasi ini. Penggunaan antitrombotik, terutama antikoagulan
dan trombolitik meningkatkan kejadian transformasi perdarahan. Terapi pasien dengan infark
berdarah tergantung pada volume perdarahan dan gejala yang ditimbulkannya.
V. Pencegahan stroke dan pengelolaan faktor resiko
Stroke, penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat merupakan penyakit yang
menyebabkan kecacatan neurologis dan merupakan penyakit neurologis yang paling banyak
memerlukan perawatan rumah sakit. Meskipun penatalaksanaan stroke akut dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan akan tetapi tindakan pencegahan ternyata lebih
efektif dalam menurunkan angka tsb.
Tindakan pencegahan dibedakan atas pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan
primer bertujuan untuk mencegah stroke pada mereka yang belum pernah terkena stroke.
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mereka yang pernah terkena stroke termasuk TIA.
Faktor resiko stroke dibedakan atas:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi:
Umur
Jenis kelamin
Ras/etnis
Riwayat keluarga
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi:
Hipertensi
Merokok
Diabetes melitus
Page 56
Stenosis karotis asimtomatis
Penyakit sel sabit
Hiperlipidemia
Fibrilasi atrium (non valvular)
Obesitas
Inaktivitas fisik
Pola makan yang tidak sehat
Alkoholisme
Hiperhomosisteinemia
Penyalahgunaan obat
Hiperkoagulabiliti
Terapi sulih hormon
Kontrasepsi oral
Proses peradangan
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Umur
Dengan meningkatnya usia resiko stroke juga turut meningkat. The Farmingham Study
menunjukkan resiko stroke meningkat sebesar 22%, 32%, 83% pada kelompok umur 45-55, 55-
64, 65-74 tahun. Stroke iskemik kebanyakan muncul pada pasien yang berusia lebih dari 65
tahun.
Jenis kelamin
Stroke lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi
karena angka harapan hidup wanita lebih tinggi dari pada laki-laki, tidak jarang pada studi-studi
tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak.
Ras/etnis
Orang kulit hitam, Hispanic American, Cina dan Jepang memiliki insiden stroke yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih.
Riwayat keluarga
Page 57
Riwayat keluarga pernah mengalami serangan stroke, maternal maupun paternal,
berhubungan dengan meningkatnya insiden stroke. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara
genetik dan pengaruh lingkungan.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko stroke yang utama, baik iskemik maupun
hemoragik. Mengendalikan hipertensi terbukti menurunkan insiden stroke.
Klasifikasi tekanan darah menurut 7th report of the Joint National Committee on
prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC 7).
Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi stage 2 > 160 Atau > 100
Follow-up TD pada orang dewasa tanpa kerusakan target organ (Rekomendasi JNC 7)
TD awal (mmHg) Follow-up
Normal Cek ulang dalam 2 tahun
Prehipertensi Cek ulang dalam 1 tahun dengan anjuran memperbaiki gaya hidup
Hipertensi stage 1 Konfirmasi ualgn dalam 2 bulan dengan anjuran memperbaiki gaya hidup
Hipertensi stage 2 Evaluasi atau rujuk ke spesialis dalam 1 bulan. Jika TD lebih tinggi evaluasi
dan segera terapi.
Waktu follow-up dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi klinis pasien termasuk resiko
kardiovaskular lainnya dan kerusakan target organ.
Obat-obat antihipertensi yang dianjurkan (JNC 7)
Antihipertensi yang direkomendasikan
Indikasi penyerta Diuretic BB ACEI ARB CCB Aldo ANT
Gagal jantung
Page 58
Pasca MCI
Resiko tinggi jantung koroner
Diabetes
CKD (chronic kidney disease)
Pencegahan stroke ulang
BB: Beta Blocker, ACEI: angiotensin-converting enzyme inhibitor, ARB: angiotensin
reseptor blocker, CCB: calcium channel blocker, Aldo ANT: aldosterone antagonist.
Algoritma penatalaksanaan hipertensi
Modifikasi gaya hidup meliputi:
Menurunkan berat badan: Mengupayakan berat badan normal
Pola makan yang tidak memicu hipertensi: Mengkonsumsi buah-buahan, sayuran
dan produk susu rendah lemak serta mengurangi konsumsi lemak jenuh.
Diet rendah garam: Mengurangi intake garam < 100 mmol/hari (2,4 gr Na atau 6 g
NaCl)
Aktifitas fisik: Aktivitas fisik rutin seperti jalan santai min 30 menit/hari.
Mengurangi konsumsi alkohol
Merokok
Merokok telah lama diketahui sebagai faktor resiko stroke. patofisiologi efek rokok
bersifat multifaktorial baik pada pembuluh darah sistemik maupun reologi darah. Rokok
menyebabkan kekakuan pembuluh darah. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya
kadar fibrinogen, agregari trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit. Dengan
berhenti merokok resiko stroke menurun 50%.
Diabetes
Insulin-dependent diabetics meningkatkan resiko stroke: 1) meningkatkan prevalensi
aterosklerosis dan 2) meningkatkan prevalensi faktor resiko lain seperti hipertensi, obesitas dan
hiperlipidemia. Beberapa penelitian menunjukkan pengontrolan tekanan darah pada penderita
diabetes lebih efektif menurunkan resiko stroke dibandingkan pengontrolan ketat kadar gula
Page 59
darah. Dianjurkan target TD pada penderita diabetes <130/80 mmHg. Sedangkan pengontrolan
gula darah direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi mikrovaskular.
Stenosis karotis asimptomatis
Cardiovascular Health Study menunjukkan stenosis karotis >50% ditemukan pada 7%
laki-laki dan 5% perempuan yang berusia > 65 tahun. Iskemik serebral lebih sering ditemukan
pada pasien dengan stenosis karotis berat (75%), stenosis artei karotis progresif, penyakit
jantung dan pada laki-laki. Enarterektomi dapat dipertimbangkan pada secara selektif pada
kasus dengan karotis stenosis > 60% dan < 100% yang dilakukan oleh ahli bedah yang memiliki
mortalitas dan morbiditas < 3%. Seleksi pasien didasarkan pada kondisi komorbid: angka
harapan hidup, pertimbangan pasien dan faktor individual lainnya.
Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrium merupakan aritmia yang sering terjadi dan merupakan faktor resiko
stroke yang sering. Pemakaian antikoagulan oral jangka panjang dapat menurunkan resiko
stroke sampai 68%.
Rekomendasi
Umur < 65 tahun, tanpa faktor resiko Aspirin
Umur < 65 tahun, dengan faktor resiko Warfarin (target INR 2,5; range 2,0-3,0)
Umur 65-75 tahun, tanpa faktor resiko Aspirin atau Warfarin
Umur 65-75 tahun, dengan faktor resiko Warfarin (target INR 2,5 range 2,0-3,0)
Umur >75 tahun, dengan atau tanpa faktor resiko Warfarin (target INR 2,5 range 2,0-3,0)
Faktor resiko fibrilasi atrium: hipertensi, DM, fungsi ventrikel kiri yang buruk, penyakit
jantung rheuma, riwayat TIA atau stroke, emboli sistemik atau stroke, katup jantung prostetik
(target INR lebih tinggi)
Hiperlipidemia
Resiko stroke dan ateroma karotis dapat diturunkan dengan menurunkan kadar
kolesterol. National Cholesterol Education Program II merekomendasikan pengelolan pasien
dengan kolesterol meningkat SBB:
Lipid Target Rekomendasi
Evaluasi awal (tidak ada PJK)
Page 60
TC < 200 mg/dL dan HDL > 35 mg/dL Ulang TC dan HDL dalam 5 tahun atau dengan
latihan fisik
TC < 200 mg/dL dan HDL < 35 mg/dL Analisa lipoprotein
TC 200-239 mg/dL dan HDL > 35 mg/dL dan <2 faktor resiko PJK Modifikasi pola makan,
evaluasi ulang 1-2 tahun
TC 200-239 mg/dL dan HDL < 35 mg/dL atau <2 faktor resiko PJK Analisa lipoprotein
TC > 240 mg/dL Analisa lipoprotein
Evaluasi LDL
Tidak ada PJK dan <2 faktor resiko PJK LDL < 160 mg/dL Modifikasi pola makan selama 6
bulan. Medikamentosa bila LDL tetap > 190 mg/dL
Tidak ada PJK tetapi > 2 faktor resiko PJK LDL < 130 mg/dL Modifikasi pola makan selama 6
bulan.
Medikamentosa bila LDL tetap > 160 mg/dL
PJK atau aterosklerotik lain LDL < 100 mg/dL 6-12 minggu modifikasi pola makan.
Medikamentosa bila LDL > 130 mg/dL
PJK: penyakit jantung koroner.
Faktor resiko PJK: laki-laki > 45 tahun, perempuan > 55 tahun atau menopause lebih
cepat tanpa terapi sulih hormon, riwayat keluarga dengan prematur PJK, merokok, hipertensi,
HDL < 35 mg/dL, DM. Pasien dengan PJK dan LDL yang meningkat perlu dipertimbangkan untuk
mendapat terapi statin.
Obesitas
Obesitas (body mass index [BMI] > 30 kg/m2) merupakan faktor predisposisi penyakit
kardiovaskular dan stroke. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan usia selain itu
obesitas juga berhubungan dengan meningkatnya tekanan darar, gula darah dan lemak.
Pengendalian berat badan pada mereka dengan berat badan berlebih direkomendasikan untuk
mencegah timbulnya komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke.
Inaktivitas fisik
Page 61
Aktifitas fisik rutin telah terbukti dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular dan
juga stroke. Centers for Disease Control and Prevention and the National Institutes of Health
merekomendasikan latihan fisik rutin (> 30 menit /hari latihan fisik moderat) sebagai bagian
dari gaya hidup sehat untuk mengurangi komorbid yang dapat menjadi faktor resiko stroke.
Pola makan/nutrisi
Data tentang hubungan antara status gizi dengan resiko stroke masih sangat terbatas.
Suplemen vitamin E dan C juga tidak terbukti menurunkan resiko stroke. Diduga buah-buahan
dan sayur-sayuran lebih bermanfaat dalam mencegah stroke. Makanan sehat yang
mengandung 5 porsi buah-buahan dan sayuran dapat menurunkan resiko stroke.
Alkohol
Efek alkohol sebagai faktor resiko stroke iskemik masih kontroversial dan diduga
tergantung pada dosis yang dikonsumsi. Sedangkan pada stroke hemoragik alkohol memiliki
efek langsung yang juga tergantung pada dosis. Mengurangi konsumsi alkohol terbukti dapat
menurunkan resiko stroke.
Hiperhomosisteinemia
Hosistein dikatakan normal bila kadar dalam plasma (puasa) antara 5 dan 15umol/L.
Kadar >16 umol/L diklasifikasikan sebagai hiperhomosisteinemia. Banyak studi kasus kontrol
yang menunjukkan hubungan antara hiperhomosisteinemia dengan kejadian stroke. Asam
folat, vitamin B6 dan B12 ternyata efektif dalam mencegah hiperhomosisteinemia akan tetapi
belum ada RCT yang menunjukkan keefektifan penegendalian hiperhomosisteinemia dengan
menurunnya resiko stroke. Dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan folat (400 ug/hari), vitamin
B6 (1,7 mg/hari) dan vitamin B12 (2,4 ug/hari) dengan mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-
buahan, daging, ikan, sereal. Pada pasien dengan peningkatan kadar homosistein dapat
dipertimbangkan pemberian suplemen asam folat dan vitamin B.
Penyalahgunaan Obat
Termasuk di dalamnya pemakaian amfetamin, kokain dan heroin. Beberapa studi
menunjukkan resiko stroke meningkat 7 kali pada para penyalah guna obat-obatan tsb.
Page 62
Meskipun demikian ada pula studi lain yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna
antara pemakaian obat-obat tsb dengan stroke. Patogenesis stroke karena penyalahgunaan
obat bersifat multifaktorial, kemungkinan karena perubahan tekanan darah yang tiba-tiba,
vaskulitis dan abnormalitas hemostasis dan hematologi yang dapat menyebabkan peningkatan
viskositas darah agregasi trombosit.
Pencegahan sekunder
Ditujukan pada pasien yang pernah mengalami stroke dan TIA.
Stroke Council of the American Heart Association merekomendasikan:
Faktor resiko Target Rekomendasi
Hipertensi TD sistolik < 140 dan diastolik < 90 mmHg
TD sistolik <135 dan diastolik <85 mmHg bila ada kerusakan target organ
Modifikasi gaya hidup dan terapi antihipertensi
Merokok Berhenti Edukasi untuk menghentikan kebiasaan merokok, konseling,
pengganti nikotin.
DM GD <126 mg/dL (6,99 mmol/L) Diet, obat anti diabetik, insulin
Lemak LDL < 100 mg/dL (2,59 mmol/L)
HDL > 35 mg/dL (0,91 mmol/L)
TC < 200 mg/dL (5,18 mmol/L)
TG < 200 mg/dL (2,26 mmol/L) Diet AHA step II: < 30% lemak, < 7% lemak jenuh,
< 200 mg/hari kolesterol, pengendalian berat badan dan aktifitas fisik. Jika target
tidak tercapai tambahkan terapi medikamentosa (mis: statin) jika LDL > 130
mg/dL (3,37 mmol/L) dan pertimbangkan medikamentosa bila LDL 100-130
mg/dL.
Alkohol Mengurangi konsumsi alkohol Edukasi pasien dan keluarga untuk
mengurangi atau menghentikan kebiasaan minum alkohol
Aktifitas fisik 30-60 menit dalam 3-4 kali/minggu Latihan fisik sedang ( jalan
santai, jogging, bersepeda atau aerobik). Program dengan supervisi medis bagi
pasien dengan resiko tinggi ( penyakit jantung)
Obesitas < 120% dari BB ideal berdasarkan tinggi Diet dan latihan fisik
Page 63
AHA: American Heart Association, HDL: high density lipoprotein, LDL: low density
lipoprotein, TC: total cholesterol, TG: trigliseride
Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi pada 23-25% kejadian stroke yang terdiri dari perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya
ektravasasi darah kedalam jaringan parenkim yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam.
Kerusakan pembuluh darah ini sebagai akibat dari hipertensi kronik atau angiopati amiloid.
Adanya produk darah dalam parenkim serebral menyebabkan rusaknya traktus dari substansia
alba dan neuron-neuron dari nukleus atau korteks serebral yang permanen. Adanya perdarahan
intraserebral menyebabkan terjadinya penambahan volume dalam ruang intrakranial, hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakrnaial yang dapat menambah luas
kerusakan yang disebabkan terjadinya hipoperfusi. Iskemik selular akan memicu terjadinya
edema serebral yang dapat menambah peningkatan terkanan intrakranial. Hidrosefalus dapat
terjadi pada perdarahan serebelar, selain itu perdarahan yang luas pada daerah ganglia basal
dapat menyebabkan pembesaran sistim ventrikel. Pada stroke hemoragik, tatalaksana
ditujukan untuk mengurangi efek massa dan mencegah penambahan volume perdarahan atau
rebledding.
Penatalaksanaan stroke hemragik
Pada stroke hemoragik, manifestasi perdarahan yang terjadi dapat berupa:
1. Perdarahan intraserebral
2. Perdarahan subarachnoid
1. Perdarahan intraserebral
A. Medikamentosa
Pada fase akut perdarahan intraserebral hal yang menjadi perhatian meliputi jalan
nafas, tekanan darah dan perfusi serebral. Pada pasien dengan GCS ≤8 sebaiknya dilakukan
pemasangan endotracheal tube. Pada fase akut biasanya disertai peningkatana tekanan darah,
Page 64
hal ini menjadi suatu hal yang menjadi perhatian dalam tatalaksanya, karena disatu sisi
penambahan volume darah akan terjadi jika tidak dilakukan penanganan hipertensi sedangkan
terjadinya iskemik pada daerah perihematom juga menjadi perhatian dalam menurunkan
tekanan darah. Hal tersebut dapat diatasi jika penurunan tekanan darah sekitar 20% dari MABP.
Perfusi serebral dipengaruhi oleh tekanan intrakranial, semakin tinggi tekanan intrakranial
semakin rendah perfusi sehingga disarankan tekanan intrakranial >70mmHg.
a. Penatalaksanaan tekanan darah pada stroke hemoragik
Hipertensi
Labetalol : 5-100 mg/jam secara bolus berkala 10-40 mg atau 2-8 mg/min
perdrip
Esmolol : Loading : 500 μg/kg; Maintenance : 50-200 μg/kg/min
Nitroprusside : 0,5 – 10 μg/kg/min
Hidralazine : 10-20 mg tiap 4-6 jam
Enalapril : 0,625-1,2 mg tiap 6 jam
Algoritme penatalaksanaan hipertensi pada perdarahan intraserebral:
Sistolik > 230mmHg atau Diastolik >140mmHg dapat diberikan nitroprusside
Sistolik > 180- 230mmHg atau Diastolik >105-140mmHg atau MABP ≥130mmHg
dapat diberikan labetalol,esmolol,enalapril atau preparat intravena lainnya yang
dapat dititrasi seperti diltiazem, lisinopril dan verapamil.
Sistolik < 180mmHg atau Diastolik <105mmHg hindari penggunaan antihipertensi.
Pertahankan tekanan perfusi serebral > 70mmHg
Hipotensi
Pada keaadaan awal penanganan penurunan tekanan darah sistolik <90mmHg dapat
dilakukan loading cairan koloid atau salin isotonik. Jika tekanan darah tetap rendah dapat
digunakan phenylephrine 2-10 μg/kg/min atau dopamine 2-20 μg/kg/min atau Norepinephrine
yang dititrasi dari 0,05-0,2 μg/kg/min.
b. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat adanya volume perdarahan dan terjadinya
Page 65
edema serebri diatasi dengan osmoterapi yang menggunakan manitol (0,25-0,5 g/kg tiap 4 jam)
dan furosemid (10 mg tiap 2-8jam). Pemantauan osmolaritas serum dan kadar natrium
dilakukan tiap 2 kali sehari dengan target osmolaritas <310mOsm/L.
Penggunaan sedatif seperti propofol,benzodiazepine atau morfin dengan paralisis
neuromuskular dapat menurunan tekanan intrakranial tetapi diperlukan pemantauana yang
intensif.
B. Operatif
Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi efak massa serta mengurangi efek
neurtoksik dari bekuan darah. Dengan kemajuan teknik operatif, angka kematian semakin
rendah dibandingkan dengan menggunakan modalitas medikamentosa. Mortalitas pada suatu
penelitian pada perdarahan intraserebral yang dilakukan operatif pada 12 jam setelah onset
sekitar 18%.
Pemilihan pasien dengan perdarahan intraserebral yang memerlukan tindakan operatiff
tergantung dari ukuran dan lokasi perdrahan dan defisit yang diakibatkan. Tindakan operatif
dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan serebelar dengan volume > 3cm3 dengan
penurunanan nerulogis atau adanya penekanan batrang otak atau adanya hidrosefalus atau
pada dewasa muda dengan perdarahan lobar yang sedang atau besar. Perdarahan pada daerah
pons,medula oblongata dan mesensefalon tidak dilakukan tindakan operatif.
3. Perdarahan subarachnoid
A. Perawatan umum:
Tekanan darah
Hipertensi setelah onset perdarahan subarakhnoid merupakan fenomena kompensasi
guna mempertahankan perfusi serebral dan sebaiknya tidak dilakukan penurunan tekanan
darah yang agresif. Pada beberapa penelitian yang berusaha menurunkan tekanan darah,
didapatkan kejadian re-bleeding yang menurun tetapi kejadian serebral infark yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan penanganan hipertensi pada perdarahan subarakhnoid menjadi sulit.
Pemberian antihipertensi sebaiknya digunakan pada pasien dengan hipertensi berat yang
Page 66
disertai kerusakan target organ lainnya seperti gangguan ginjal dan jantung atau dengan rerata
tekanan arteri >130. Preparat yang disarankan:
Diaxozide 50-150 mg IV bolus, diulang tiap 5-10 menit atau 15-30 mg/menit
perdrip. Dosis maksimal 600mg
Labetalol hidroklorida 20-80mg IV bolus tiap 10 menit atau 2mg/menit perdrip.
Dosis maksimal 300mg
Nitroprusid dianjurkan penggunaannya pada krisis hipertensi tetapi bukan
merupakan pengobatan lini pertama karena dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
Cairan dan elektrolit
Terapi cairan pada perdarahan subarakhnoid untuk mencegah penurunan volume
plasma yang dapat menyebabkan terjadinya serebral iskemia. Sekitar 30% kasus perdarahan
subarakhnoid terjadi penurunan volume plasma sekitar 10% antara hari kedua dan kesepuluh
onset. Hal ini terkait dengan balans negatif natrium. Fludrokortisone asetat 0,02mg dalam
200ml D5%/12jam digunakan pada pasien dengan hiponatremi. Penggunaan cairan yang
dianjurkan adalah normal salin 0,9% 3 liter perhari. Pada pemberian makanan enteral, jumlah
tesebut harus dikurangi karena kebanyakan makanan enteral mengandung 1-2 kalori/ml.
Pemantauan kebutuhan cairan dengan melihat tekanan vena sentral (central venous pressure)
yang dipertahankan diatas 8mmHg tetapi biasanya penghitungan balans carian yang dilakukan
4 kali sehari selama 10 hari dapat memperkirakan jumlah cairan yang dibutuhkan.
Nutrisi
Pemberian nutrisi secara oral dapat diberikan pada pasien dengan refleks menelan yang
baik. Usahakan pemberian makanan yang dapat menjaga konsistensi feses tetap lunak,
pemberian cairan yang adekuat dan pengurangan makanan yang mengandung susu dan
pemberian laxative dapat dilakukan. Pada pasien yang menggunakan selang nasogastrik,
pemberian makanan enteral dilakukan pada hari kedua perawatan dengan menghindari
asparasi dengan cara pemberian makanan pada posisi duduk dan mengecek kembali residu
gaster tiap jam.
Peningkatan tekanan intracranial
Page 67
Nyeri dan manuver yang meningkatkan tekanan intraabdomen seperti batuk, mengedan
dan bersin dapat memicu peningkatan tekanan intrakranial sehingga hal tersebut harus
dihindari agar tidak menambah buruk keadaan pasien terutama kemungkinan terjadinya re-
bleeding. Pasien perdarahan subarachnoid yang diterapi secara medikamentosa sebaiknnya
dirawat dalam ruangan perawatan yang tenang dengan lampu penerangan yang minimal
sehingga pasien dapat tirah baring secara maksimal. Pemantauan derajat kesadaran dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale dapat digunakan untuk menduga adanya serebral iskemi,
re-bleeding, hidrosefalus akut atau komplikasi lainnya. Nyeri kepala kadang dapat diatasi
dengan analgetik ringan seperti parasetamol 500 mg tiap 3-4 jam dengan atau tanpa
dextropropoxiphene, pada nyeri kepala hebat penggunaan kodein 20mg peroral atau morfin 1-
2 mg IV atau tramadol 50-100mg tiap 4 jam dapat ditambahkan. Penggunaan pelunak feses
pada kejadian konstipasi lebih dianjurkan dibandingkan enema karena dapat meningkatkan
tekanan abdominal dan memicu peningkatan tekanan kranial.
B. Pencegahan perdarahan berulang (re-bleeding)
Perdarahan berulang terjadi pada 15% kasus perdarahan subarakhnoid yang ditandai
dengan penurunan kesadaran. Pada suatu penelitian dikatakan 20% re-bleeding terjadi pada
hari pertama onset dan pada beberapa kasus terjadi pada 6 jam setelah onset. Hijdra dkk
mengatakan bahwa pada kasus yang telah melewati hari pertama onset, 40% rebleeding masih
dapat terjadi dalam 4 minggu berikutnya dengan puncaknya pada minggu ketiga. Perdarahan
berulang diyakini sebagai akibat dari lisis bekuan darah didaerah aneurisma yang pecah.
Penaganganan aneurisma secara surgical masih merupakan sesuatu yang kontroversial karena
belum didukung oleh data yang cukup. Penggunaan antifibrinolitik seperti asam traneksamat
(1g IV atau 1,5g peroral tiap 4-6 jam) atau asam epsilon-aminokaproat (3-4g tiap 3 jam IV atau
peroral) dapat menurunkan kejadian rebleeding, tetapi efek kerja sebagai antifibrinolitik baru
tercapai setelah 36 jam. Seperti halnya tindakan surgical, pemberian antifibrinolitik juga
sesuatu yang controversial. Pada beberapa penelitian dikatakan, kejadian serebral iskemi
meningkat (OR 2,03; 95% IK 1,40-2,94) dengan pemberian antifibrinolitik, sehingga
penggunaanya ditinggalkan.
C. Pencegahan iskemik serebral
Page 68
Berbeda dengan kejadian stroke lainnya dimana berasal dari gangguan pada arteri
intracranial atau ektrakranial, pada perdarahan subarakhnoid iskemik tidak berdasarkan teritori
dari salah satu arteri serebri atau percabangannya tetapi bersifat menyeluruh. Delayed cerebral
ischemic atau vasospasm terjadi dengan puncak kejadiannya dihari ke 5 hingga hari ke 14.
Pencegahan dilakukan dengan menghindari pemberian antihipertensi sehingga tekanan darah
sedikit hipertensi, pemberian cairan dan natrium yang adekuat serta pemberian kalsium
antagonis dan setelah oklusi aneurisma diberikan preparat antitrombotik seperti aspirin.
Kalsium antagonis seperti nimodipine bekerja dengan menghambat kontraksi otot polos pada
arteri serebral serta sebagai neuroprotektor dengan mencegah kerusakan sel lebih lanjut
setelah kejadian iskemik. Nimodipine digunakan peroral dengan dosis 60mg tiap 4 jam yang
diberikan selama 3 minggu. Pada pasien yang menggunakan selang nasogaster, preparat dibuat
puyer dan diberikan melalui selang dengan menggunakan cairan normal salin 0,9%. Pada kasus
hipotensi pemberiannya dapat dikurangi hingga setengahnya.
D. Penanganan perdarahan berulang (re-bleeding)
Penurunan kesadaran merupakan manifestasi utama dari terjadinya re-bleeding. Sekitar
30% kasus disertai adanya sefalgia. Penurunan kesadaran dapat disertai henti nafas, sehingga
resusitasi dan ventilator assisted diperlukan hingga nafas spontan. Pemeriksaan pencitraan
ulang perlu dilakukan untuk pemantauan volume perdarahan. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan tindakan operatif pada penanganan perdarahan berulang.
E. Penanganan iskemik serebral
a. Tanpa gejala klinis
• Pasang kateter vena sentral
• Pertahankan balans cairan tiap jam
• Pemberian cairan kristaloid
• Hindari penggunaan obat antihipertensi dan diuretic
b. Dengan gejala klinis
Pemeriksaan angiografi
Pemasangan kateter arteri pulmoner
Page 69
Pemberian bolus kristaloid atau albumin 5% hingga terjadi peningkatan index stroke
volume <10% tiap 2mmHg peningkatan tekanan kapiler pulmoner
Balans cairan, jika pengeluaran cairan >250ml/jam maka pemberian fludrokortison
asetat 0,02mg/12jam
Jika perbaikan belum terjadi, mulai dengan pemberian phenylephrine 10-20mg/menit
hingga peningkatan tekanan rerata arterial 25% diatas batas normal atau > 120mmHg
Pemberian dobutamin 5-10mg/kg/menit guna menaikan indeks kardiak >
3,5L/menit/m2.
Pertimbangkan penggunaan norepinephrine jika phenylephrine tidak memberikan hasil
optimal.
Angioplasti dan infus papaverin merupakan modalitas yang dipakai jika hal diatas tidak
memperbaiki vasospasm yang terjadi
F. Penanganan hidrosefalus akut
Hidrosefalus akut terjadi pada 20% kasus dan hanya 10-28% tanpa disertai penurunan
kesadaran. Pemeriksaan pencitraan CT scan kepala dengan melihat index bikaudatus. Perbaikan
spontan dapat terjadi pada 50% kasus dalam 24 jam pertama. Tindakan operatif dilakukan jika
terdapat penurunan klinis atau dalam 24 jam tidak terjadi perbaikan klinis. Lumbal pungsi relatif
aman pada kasus hidrosefalus akut yang tidak disertai pergeseran garis tengah dan diyakini
tanpa adanya obstruksi intraventrikular. Drainase ekternal efektif dalam memperbaiki derajat
kesadaran tetapi beresiko dalam terjadinya re-bleeding dan infeksi pada penggunaan drain
jangka lama.
G. Penanganan unruptured aneurisma
Terapi definitif aneurisma direkomendasikan untuk dilakukan sedini mungkin, terutama
pada derajat I-III dari WFNS. Pilihan terapi yang dilakukan saat ini adalah kraniotomi dengan
clipping atau transvaskular koiling.
Sistim grading klasifikasi perdarahan subarakhnoid dari World Federation of
Neurological Surgeons (WFNS)
Grading GCS Defisit motorik
Page 70
I 15 Tidak ada
II 14-13 Tidak ada
III 14-13 Ada
IV 12-7 Ada atau tidak ada
V 6-3 Ada atau tidak ada